Anda di halaman 1dari 66

Diabetes Melitus

Aditiawati

1. Definisi:
Kelainan metabolisme komplek yang ditandai oleh hiperglikemia kronis yang
disebabkan oleh defek pada sekresi insulin, atau defek pada kerja insulin
atau keduanya. Tidak adekuatnya sekresi insulin dan atau kurangnya respon
jaringan terhadap insulin melalui jalur komplek dari kerja hormon yang
menyebabkan berkurangnya kerja insulin pada target jaringan, yang pada
akhirnya menyebabkan abnormalitas dari metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein.

2. Anamnesis
Polifagia, poliura / sering kencing malam, polidipsia, berat badan turun,
badan lemas, gatal-gatal, keluarga (+/-) DM.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Penilaian Antropometri
b. adanya sindroma lain
c. acantosis nigrans (+/-)

4. Kriteria Diagnosis
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut:

1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, beratbadan yang


menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/dL.
2. Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah, sewaktu
>200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggidari normal≥ 126
mg/dl. Puasa didefinisikan jika tidak ada intake kalori setidaknya selama 8
jam.
3. 3 Pada kasus yang meragukan, dengan tes toleransi glukosa yang terganggu
pada lebih dari satu kali pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan tes toleransi
glukosa , anak menderita DM apabila:Kadar glukosa darah puasa ≥ 140
mg/dLatauKadar glukosa darah pada jam ke 2 ≥200 mg/dL

Indikasi Rawat :
- Pertama kali didiagnosis diabetes  untuk mempersiapkan anak /
anggota keluarga dalam menangani DM dan komplikasi akut yang dapat
timbul
- Diabetik ketoasidosis/ koma diabetik
- Hipoglikemi yang tidak bisa diatasi dengan terapi oral

5. Diagnosis
Diabetes Melitus

1
6. Diagnosis Banding
1. DM tipe I
2. DM tipe II
3. Diabetik sekunder

7. Pemeriksaan Penunjang
Kadar gula darah, bila perlu OGTT (bila meragukan), gula urin / reduksi,
ketonemia urin, - peptide, HbA1c, ICA/IAA (kalau mampu).

8. Terapi
Tujuan utama terapi DM tipe 1 adalah:
- Mencapai kondisi metabolik mendekati normal
- Menghindari komplikasi akut
- Meminimalisasi risiko timbulnyakomplikasi jangka panjang mikrovaskular
dan makrovaskular
- Memberi kesempatan kepada anak dan keluarga untuk mencapai
kematangan psikologis, kemandirian dan gaya hidup normal.

JENIS TATALAKSANA YANG DIBERIKAN:

a. TERAPI MEDIKAMENTOSA:

1. Terapi medikamentosa untuk DM tipe 1:


Insulin
Menggunakan regimen basal-bolus. Bolus menggunakan insulin kerja
cepat /pendek ( rapid/short acting) diberikan sebelum makan utama,
dengan insulin basal (long acting) diberikan sekali sehari. Komponen
basal biasanya berkisar 40-50% dari kebutuhan total insulin, yang dapat
diberikan menjelang tidur malam atau diberikan sebelum makan pagi
atau siang. Sisanya sebagai komponen bolus terbagi yang disuntikkan
segera sebelum atau sesudah makan dengan menggunakan insulin
rapid/short acting.

Dosis harian insulin tergantung beberapa faktor: antara lain; usia, status
pubertas, lama dan fase diabetes, tempat suntikan,asupan makanan,
pola olahraga, rutinitas sehari-hari, hasil pemantauan glukosa dan
HbA1c, serta saat sakit. Pedoman dosis sebagai berikut:
- Selama periode honeymoon, total dosis insulin harian < 0,5
U/kgbb/hari.
- Anak sebelum pubertas dalam kisaran dosis 0,7-1 U/kgbb/hari.
- Selama pubertas, kebutuhan akan menningkat diatas 1 U sampai 2
U/kgbb/hari.

2
2. Terapi medikamentosa untuk DM tipe 2:

Gula darah > 250 mg/dl Gejala Ringan


DIAGNOSIS
HbA1c >9%, gejala (+) Ketosi (-)
Ketosis (+), KAD (+)

Asimptomatik

Insulin, diet, OR, Metfomin


Diet, Olahraga
GD puasa >90-130 GD 13/180
PP GD <180 HbA1c<7%

Evaluasi tiap bulan


HbA1c tiap 3 bulan
Stop Insulin

Metformin

GD <130/80
HbA1c<7%

Evaluasi tiap bulan


HbA1c tiap bulan
GD >130/80
HbA1c>7%

Nilai kepatuhannya
Pertimbangan pemberian:
Sulfonilurea
Glitazon
DPP-IV inhibitor
Insulin glargine atau
+ Meglitinide
+ amilin
+ GLP-1 mimetik

Alur tatalaksana DM tipe 2 pada anak dan remaja

3
b. NUTRISI DAN EXERCISE
Tujuan:
- DM tipe I: mempertahankan normal lipemia dan mencegah
hiperlipoproteinemia
- DM tipe II: mencegah overweight dengan pengaturan diet dan
exercise.

Jumlah kalori sampai usia 12 tahun : 1.000 kalori + [100 X Usia (tahun)]

Pembagian kalori per 24 jam: 20% pagi, 20-25% siang, 25-30% malam
(di antaranya 3 X makanan kecil masing-masing 10%)
Komposisi seimbang: karbohidrat 50-55%, lemak 30%, protein 15-20%.

c. TERAPI TERHADAP PENYAKIT PENYERTA


Pengobatan seperti standar prosedur masing-masing penyakit.

9. Tindak lanjut
Monitoring pengamatan rutin
- Idealnya pengukuran gula darah / reduksi urin sebelum makan setiap
hari (home monitoring)
- Pemeriksaan HbA1c setiap 3 bulan sekali
- Pertumbuhan grafik tumbuh kembang (berat badan-tinggi badan) setiap
6 bulan
- Pemeriksaan perkembangan intelektual, emosional dan fisik
- Pemeriksaan ke bagian Ilmu penyakit mata setiap 6 bulan sekali
- Pemeriksaan mikroalbuminuria setiap 1 tahun/kali.
Bila memungkinkan ikut dalam kegiatan diabetic camp.

10. Indikasi Pulang


- Kadar gula darah terkontrol
- Anak makan dan minum baik
- Tanda-tanda infeksi tidak dijumpai lagi
- Keluarga / orang tua siap.

11. Edukasi
Penyuluhan (pasien dan orang tua / keluarga): merupakan hal yang sangat
penting!
- Tentang penyakit, komplikasi dan penanggulangan diabetes
- Pemakaian insulin (cara, dosis, waktu, efek samping), insulin pada IDDM
diberikan seumur hidup, tetapi hati-hati ada periode “honeymoon”
- Pengaturan makanan, olahraga, home monitoring
- Aspek psikososial
- Tumbuh dan kembang

4
12. Prognosis
30% anak dengan diabetik ketoasidosis (umumnya anak usia < 5 tahun, 6-
10% meninggal dengan diabetik ketosidosis)
Retinopati : 63% pada usia 30 tahun, 88% pada usia 50 tahun
Nefropati : 18% pada usia 30 tahun, 50% pada usia 50 tahun
Mortalitas meningkat 2,5 kali lebih besar pada DM yang kontrol tidak teratur
(50% kematian karena gagal ginjal).

Daftar Pustaka
1. Oentario M Connie, Rochman Nur, Marzuki Nanis S. Hipoglikemia pada
Neonatus dan Bayi. In: Batubara Jose RL, Tridjaja Bambang, Pulungan
Aman B. Buku Ajar Endokrinologi Anak Edisi Kedua. Jakarta: Abdan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017: 236-250.
2. Acerini CL, Williams RM, Dunger DB: Metabolik impact of puberty on the
course of type 1 Diabetes. Diabetes Metab 2001;27:S19-S25.
3. Diabetes control and complication Trial research group: The effect of
intensive treatment of diabetes on the development and progression of long
term complication in insulin dependent diabetes mellitus. N Engl J Med
1993;329:977-986.
4. Brook CGD, ed. Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden,
Mass.: Blackwell; 2008.
5. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007
6. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
7. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.
8. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
9. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.

5
Diabetes Ketoasidosis
Aditiawati

1. Definisi
Ketoasidosis diabetes adalah keadaan klinis diabetes melitus yang ditandai
dengan: kadar gula darah > 200 mg/dL, pH darah < 7,3 dan / atau bikarbonat
< 15 mmol/L, serta ditemukan ketonemia atau ketonuria.

2. Anamnesis
a. Penderita DM lama dengan riwayat kepatuhan berobat yang kurang atau
riwayat muntah-muntah disertai nyeri perut atau sesak disertai kesadaran
menurun
b. Penderita baru DM dengan riwayat Poliuria, polidipsia dan polifagia
disertai dengan berat badan menurun, sesak napas dengan / tanpa
kesadaran menurun. Nyeri perut, muntah -muntah
c. Pada kasus rujukan ditanyakan jumlah maupun jenis cairan, insulin dan
jumlah bikarbonas natrikus yang telah diberikan

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum dan tanda vital. Tampak sakit sedang sampai berat,
kesadaran menurun, asidosis, sesak nafas (pernapasan Kussmaul),
dehidrasi dengan / tanpa tanda-tanda renjatan, kejang +/-, pada pH 6,9
dapat terjadi depresi pernafasan
b. Status lokalis. Kadang disertai distensi abdomen.

4. Kriteria Diagnosis
a. Hiperglikemia yang nyata (> 300 mg/dl),
b. Asidosis (pH < 7,30, bikarbonat < 15 mEq/L),
c. Ketonuria dan ketonemia.

5. Diagnosis
Diabetes Ketoasidosis

6. Diagnosis Banding
- Diare akut dengan dehidrasi
- bronkopneumonia
- ensefalitis

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah.
- Kimia darah: glukosa darah, serum elektrolit, fungsi ginjal
- Darah tepi lengkap.
- Analisis gas darah.
b. Urin: keton urin, reduksi urin, poliuria (> 900 ml/m2/hari).

6
8. Terapi
Setiap penderita KAD berat, KAD dengan penurunan kesadaran, KAD
berusia kurang dari 5 tahun dan KAD dengan kecurigaan edema serebri dan
KAD dengan acute kidney injury, sebaiknya dirawat di ICU.
Fase akut
a. Resusitasi cairan
- Tentukan status hidrasi dan defisit cairan dalam 48 jam (lihat
tabel)
Dehidrasi
Ringan Sedang Berat
Bayi 5%: 50 ml/kg 10%: 100 ml/kg 15%: 150 ml/kg
6%-7,5%: 60-75
Anak 3%: 30 ml/kg 9%: 90 ml/kg
ml/kg

- Bila ditemukan renjatan


Berikan cairan (NaCl 0,9% atau RL) 20 ml/kg/jam, dapat diulang
sampai renjatan teratasi.
- Bila tidak ditemukan renjatan / setelah renjatan teratasi
 Pemberian cairan dilakukan secara gradual dalam 48 jam
untuk menghindari terjadinya edema otak
 Sisa defisit cairan adalah defisit cairan dalam 48 jam (sesuai
tabel di atas) dikurangi jumlah cairan yang diberikan untuk
mengatasi renjatan.
 Jumlah cairan yang diberikan dalam 48 jam adalah sisa
defisit cairan ditambah kebutuhan cairan rumat untuk 48 jam
kemudian (lihat tabel).
Tabel Cairan Rumat untuk 48 Jam Kemudian
Berat Badan Jumlah Cairan Rumat
10 kg pertama 200 ml/kg
10 kg berikutnya + 100 ml/kg
Penambahan BB selanjutnya + 40 ml/kg

 Jenis cairan yang digunakan adalah cairan fisiologis yang


isotonis (NaCl 0,9% atau RL) dan selanjutnya disesuaikan
dengan kondisi.
 Lakukan balans cairan setiap 4 jam. Bila ada penurunan
kesadaran perlu dipasang kateter urin.

7
b. Pemberian insulin.
- Berikan regular insulin 0,05-0,1 U/kgBB/jam secara intravena
(perdrip) dan diberikan secara terpisah dengan jalur infus untuk
resusitasi cairan
 50 Iµ insulin dimasukkan dalam 500 ml NS 0,9% atau 10 Iµ
insulin dalam 100 ml NS 0,9% 1ml setara dengan0,1 unit
insulin.
 Kadar gula darah tidak boleh turun > 100 mg/dL per jam
 Jumlah cairan untuk pemberian insulin ini diperhitungkan
juga, sehingga tetesan resusitasi cairan perlu dikurangi
dengan jumlah tetesan insulin.
- Insulin tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba ( bolus). Kecepatan
pemberian insulin dapat disesuaikan (misal menjadi 0,05
µ/kgBB/jam) sesuai klinis. Penggantian pemberian secara
subkutan harus dilakukan dulu 30-60 menit sebelumnya baru
insulin drip distop.
- Apabila kadar gula darah telah mencapai 250-300 mg/dL, cairan
resusitasi ditambahkan dekstrose 5% dalam perbandingan 1:1
dengan cairan NaCl 0,9%.
- Pertahankan kadar gula darah antara 200-250 mg/dl selama
pemberian insulin intravena dengan melakukan monitoring
berkala.
c. Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit
- Gangguan asam basa
 Koreksi asidosis hanya dilakukan apabila pH darah < 6,9
 Koreksi dilakukan secara perlahan dan dosis bikarbonas
natrikus yang diberikan adalah 0,6 X BE X BB
 Monitoring dilakukan minimal setiap 2-4 jam.
- Gangguan elektrolit.
 Natrium. Pada KAD ditemukan pseudohiponatremia
sehingga harus dilakukan koreksi atas hasil pemeriksaan
kadar natrium yang ditemukan. Apabila kadar natrium yang
sesungguhnya berdasarkan hasil perhitungan adalah > 125
mEq/l maka tidak dilakukan koreksi.
Rumus:
Kadar Na+(sebenarnya) =
Kadar Na+ (terukur) + 1,6 (kadar gula darah - 100 mg/dl)
100
 Kalium( diberikan bila ada urine)maka sebaiknya sejak awal
sudah diberikan kalium yaitu 40 mEq/L (anak < 30 kg) dan 80
mEq/L (anak > 30 kg)
 Lakukan monitoring EKG pada gangguan kalium
 Kecepatan pemberian kalium tidak boleh melebihi 40
mEq/jam atau 0,3 mEq/kg/jam.
d. Terapi nutrisi. Sebaiknya tidak diberikan makanan oral bila ditemukan
nyeri perut dan distensi abdomen.

8
e. Monitor
- Awasi tanda-tanda vital
- Monitoring gula darah kapiler: dilakukan secara ketat (setiap
jam dan hal ini harus di cross check dengan gula darah vena)
pada 4 jam pertama dan selanjutnya setiap 4 jam
- Periksa Na, K, Cl, ureum, hematokrit, gula darah, analisis gas
darah setiap 2-4 jam. Peningkatan lekosit dapat disebabkan
oleh stress dan tidak dapat dijadikan sebagai tanda infeksi
- Waspadai terjadinya edema serebri yang biasanya terjadi pada
jam-jam pertama resusitasi dengan gejala kesadaran menurun
dan hipernatremia.
- Bila terjadi edema serebri berikan manitol 0,5-1 g/kgBB/drip
dalam 20 menit dan bisa diulang 2 jam kemudian
- Cari faktor pencetus KAD (misal infeksi, noncompliance).
Fase Subakut
o Pemberian insulin secara intravena dapat diganti secara subkutan
apabila
 Penderita sudah tidak mengeluh nyeri perut
 Kedaruratan asidosis telah teratasi (pernafasan Kussmaul tidak
ada, kadar HCO3> 15 mEq/L).
o Pemberian nutrisi
o Edukasi

9. Tindak lanjut
Sangat penting dilakukan edukasi pada orangtua, penderita DM dan
lingkungan agar tercapai kontrol metabolik yang baik dan mencegah
terjadinya komplikasi DM (KAD).
Kontrol metabolik optimal dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
 Insulin
 Pengaturan makan
 Exercise
 Edukasi
 Monitoring gula darah teratur.

10. Edukasi
Sangat penting dilakukan edukasi pada orangtua, penderita DM dan
lingkungan agar tercapai kontrol metabolik yang baik dan mencegah
terjadinya komplikasi DM (KAD).

11. Prognosis
Baik bila penanganan benar dan tidak terjadi komplikasi

9
PENILAIAN AWAL (SEGERA)

ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Poliuria Nilai tanda dehidrasi Keton urin
Polidipsi Pernapasan cepat dan Glukosa darah 
Berat badan  dalam(kussmaul) Asidemia
Nyri abdomen Letargi/ mengantuk Analisis gas darah, Urea, elektrolit dan lain
Mudah lelah lain sesuai indikasi
Muntah
Bingung
Diagnosis KAD tegak
Hubungi konsulen endokrinologi

Dehidrasi minimal
Syok (nadi perifer lemah) Dapat minum per oral
Penurunan kesadaran /koma Dehidrasi >5 %
Tidak Syok
Asidotik (hiperventilasi)
Muntah
RESUSITASI
Jalan nafas TERAPI
Pipa nasogastrik Mulai insulin (sc)
TERAPI CAIRAN INTRAVENA
Pernapasan (O2 100%) Rehidrasi oral
Hitung kebutuhan cairan
Sirkulasi: Nacl 0,9% 10-20 Koreksi selama 48 jam
mL/kg dalam 1-2 jam Nacl 0,9%
Ulangi sampai sirkulasi EKG untuk melihat gelombang T
membaik tetapi jangan lebih Tambahkan KCl 40 mMol/L cairan
dari 30 mL/kg
Tidak Membaik
Infus Insulin Kontinu
0,1 unit/kg/jam

MONITOR PENTING
Gula darahtiap jam
Deteriorasi status neurologi
Inputdanoutputcairan tiap jam
TANDA BAHAYA
Status neurologistiap jam
Nyeri kepala, bradikardi,
Elektrolittiap 2 jam setelah dimulai nya cairan intravena
irritabilitas, penurunan
MonitoringEKG:Perubahan gelombang T
tingkat kesadaran,
inkontinensia, munculnya
masalah neurologis
Asidosis tidak membaik Gula darah > 17 mMol/L(300 g/dl) Atau
penurunan gula darah 5 mMol/L/jam
(90g/dl/jam)
Re-Evaluasi: Singkirkan hipoglikemia,
Perhitungan cairan iv Edema serebri?
Dosis dan cara pemberian insulin
Perlu resusitasi ulangan?
Sepsis ? Cairan intravena (iv):
Ganti dengan Nacl 0,45%+glukosa 5%
Seuaikan kadar Na untuk meningkatkan
Na serum terukur TATALAKSANA
Beri manitol 0,5-1g/KgBB
Batasi cairan (iv) sepertiganya
Hubungi konsulen
endokrinologi
Pindah ke ICU
Mulai insulin (sc), kemudian Stop CTScan kepala setelah
insulin (iv) setelah 30-90 menit penderita stabil
sesuai jenis insulin yang dipakai

10
Daftar Pustaka
1. Charlen MA, Fernandez-Frackelton M: Diabetic Ketoacidosis. Emerg Med clin
North Am 2005;23:609-628.
2. Dunger DB, Sperling MA, Acerini CL, Bohn DJ, Daneman D, Danne TPA,
Glaser NS, Hanas R,Hintz. ESPE/Lawrence Wilkins Concensus Statement on
Diabetic Ketoacidosis in Children and Adolescents. Paediatrics
2004;113:133-140.
3. Lebovits HE: Diabetic ketoacidosis. Lancet 1995;345:767-772
4. Brook CGD, ed. Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden,
Mass.: Blackwell; 2008.
5. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007
6. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
7. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.
8. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
9. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014

11
Hipoglikemia pada Neonatus dan Anak

1. Definisi
Hipoglikemia adalah kadar gula darah< 40 mg/dL ( glukosa plasma < 45
mg/dL).

2. Anamnesis
Riwayat ibu dengan DM, IUGR, asfiksia perinatal, eritroblastosis fetalis,
sindrom Beckwith-Wiedemann, penggunaan obat-obatan (misalnya
sulfonilurea) pada ibu atau setelah infus glukosa pada ibu selama persalinan.
Pada umumnya, bayi-bayi ini cenderung gelisah karena hipoglikemia, namun
dapat pula menunjukkan gejala hipotonia, letargi dan malas minum yang
disebabkan oleh hipokalsemia.

3. Pemeriksaan Fisik
Gejala hipoglikemia tidak spesifik. Gejala hipoglikemia dibagi menjadi 2
kategori besar berdasarkan mekanisme penyebabnya:
1. gejala neurogenik akibat aktivasi saraf otonom berupa: gemetar, jittery,
takikardi, lapar, pucat, hipotermia.
2. gejala neuroglikopenik akibat penurunan glukosa dan oksigenasi
otakberupa: letargi, gelisah, minum berkurang, kejang, sianosis,
takipnea, episode apnea, tangisan lemah/ high pitch, floppy, eye-rolling,
lip-smacking, twitching, kejang

4. Diagnosis
Hipoglikemia

5. Diagnosis banding
Hipokalsemia

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan gula darah dilakukan pada bayi yang berisiko hipoglikemia atau
yang menunjukan gejala hipoglikemia, gula darah diperiksa 1-2 jam setelah
lahir. Pemantauan dilakukan samapai 12-24 jam. Jika setelah 24 jam masih
hipoglikemia. Pemantauan dilanjukan samapi bayi dapat minum dengan baik.
Jenis hipoglikemia pada neonatus:
1. Hipoglikemia transisional: karena proses adapatasi ekstrauterine, tidak
perlu tatalaksana khusus.
2. Hipoglikemia transien: karena kegagalan proses adapatasi ekstrauterine,
dapat berlangsung sampai beberapa minggu, penanganan berupa
pemberian glukosa intravena.
3. Hipoglikemia persisten: hipogikemia berulang berlangsung > 5-7 hari,
memerlukan GIR > 10-12 mg/kg/menit untuk mempertahankan glukosa
normal.

Untuk mengkonfirmasi hipoglikemia perlu dilakukan pemeriksaan darah:


glukosa, keton, laktat, piruvat,asam amino atau alanin, amonia, asam urat,

12
serum elektrolit, pH, bikarbonat, AST, ALT, CPK, insulin, C peptide, growth
hormon, kortisol, glukagon, epinefrin, free fatty acid, ß-hidroksibutirat,
asetoasetat, karnitin, asilkarnitin. Pemeriksaan urine berupa keton, reduksi di
urin, asam organik dan asilglisin.

Algoritme diagnosis hipoglikemia dapat dilihat pada diagram berikut.

7. Terapi
a. Tatalaksana hipoglikemia pada neonatus yang asimptomatis adalah
teruskan pemberian ASI setiap 1-2 jam atau 3-10 ml/kg, selanjutnya
monitor kadar gula darah setiap kali sebelum bayi minum sampai gula
darah stabil. Hindari pemberian minum yang berlebihan. Jika kadar gula
darah tetap rendah walaupun setelah diberi minum, dapat dimulai infus
glukosa. Pemberian ASI dapat dilanjutkan selama pemberian infus
glukosa

b. Tatalaksana hipoglikemia pada neonatus yang simptomatis atau kadar


gula plasma <20-25 mg/dL (<1,1-1,4 mmol/L) adalah segera diberikan
intravena glukosa 10%, sebanyak 2 ml/kgBB secara bolus intravena,
dilanjutkan dengan IV glukosa 10% 4-6 mg/kgBB/menit. Jangan
memberikan secara oral atau intragastrik pada kasus hipoglikemiaa yang
berat atau simptomatis. Konsentrasi gula darah pada hipoglikemiaa
simptomatis dipertahankan >45 mg/dL (>2,5 mmol/L), sesuaikan tetesan
cairan intravena dengan kadar glukosa darah. Selanjutnya dianjurkan
pemberian ASI yang lebih sering, monitor konsentrasi gula darah setiap
sebelum diberi minum sampai kadar gula darah stabil dan pemberian
cairan intravena distop. Bila kebutuhan glukosa melebihi 12

13
mg/kgBB/menit (GIR) segera lakukan pemeriksaan kadar gula darah,
insulin, kortisol, growth hormon, laktat untuk mendeteksi adanya
gangguan hormon. Setelah itu diberikan hidrokortisom suksinat 10
mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi dua.

c. Tatalaksana pada anak, segera diberikan injeksi dekstrosa 10% 0,3


gr/kgBB secara bolus intravena selama 10 menit sampai konsentrasi
glukosa normal. Kemudian dilanjutkan dengan infus dekstrosa 10% atau
6-8 gr/kgBB/menit. Konsentrasi plasma gula darah dimonitor dan tetesan
infus disesuaikan untuk mempertahankan gula darah ± 80 mg/dL.

d. Pada kasus-kasus kegawatan yang berat dengan hipoglikemia


karena induksi insulin dapat diberikan glukagon 1 mg subkutan atau
secara intravena. Pada neonatus dapat diberikan 0,5 mg. Pengobatan
lain dapat diberikan diazokside 5-15 mg/kgBB perhari dibagi dalam 2-3
dosis. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dosis diazokside
dimulai dengan dosis maksimal 15 mg/kgBB (1-2 hari). Selain itu
pengobatan untuk hipoglikemia dapat diberikan ocreotide secara
intravena atau subkutan dimulai dengan dosis 2-10 µg/kgBB/hari, dapat
ditingkatkan sampai >50 µg/kgBB/hari, diberikan setiap 6-8 jam atau
secara kontinu.

8. Prognosis
Prognosis umumnya baik pada hipoglikemia yang didiagnosis cepat dan
ditataksana secara cepat dan tepat.
Pada umumnya hipoglikemia pada anak dapat dicegah, walaupun demikian
dapat terjadi hipoglikemia yang tidak terduga. Hal-hal yang sering
menyebabkan hipoglikemia misalnya jatah makanan yang tidak dikonsumsi,
olah raga (tidak terencana atau lebih lama dari biasanya) tanpa ditunjang
makanan yang cukup, pemberian insulin yang keliru dan minum alkohol.
Secara umum untuk mencegah hipoglikemia pada malam hari maka kadar
gula darah tengah malam diusahakan sekitar 90-180 mg/dl. Bila melakukan
olah raga, perlu diberikan glukosa tambahan yaitu 15 g karbohidrat untuk
setiap 30-45 menit. Untuk olah raga yang intensif, dosis insulin pada hari itu
perlu dikurangi dan pemantauan gula darah perlu diperketat. Bila karena
sakit, anak tidak mau makan atau muntah-muntah maka pertimbangkan
pemberian air gula dan mengurangi dosis insulin.

Daftar Pustaka
1. Oentario M Connie, Rochman Nur, Marzuki Nanis S. Hipoglikemia pada
Neonatus dan Bayi. In: Batubara Jose RL, Tridjaja Bambang, Pulungan
Aman B. Buku Ajat Endokrinologi Anak Edisi Kedua. Jakarta: Abdan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017: 236-250.
2. Wolsdorf JI, Weinstein DA. Hypoglycemia in Children. Dalam: Lifshitz F,
penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-5. Vol 1. New York: Informa
Healthcare; 2007. h. 291-317.
3. Brook CGD, ed. Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden,
Mass.: Blackwell; 2008.

14
4. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007.
5. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
6. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.
7. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
8. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.
9. Hussain K, Dunne MJ. Hypoglycemia. Dalam: Brook CGD, Clayton PE,
Brown RS, penyunting. Brooks clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-5.
Australia: Blackwell; 2005. h. 474-91.
10. Stanley CA. Hypoglycemia. Dalam: Radovick S, MacGillivray MH,
penyunting. Pediatric endocrinology: A practical clinical guide. Edisi ke-1.
New Jersey: Humana Press; 2003. h. 511-21.
11. Thornton PS, Finegold DN, Stanley CA, Sperling MA. Hypoglycemia in the
infant and child. Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology.
Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier Science; 2002. h. 367-84.
12. Wight N, Marinelli KA. ABM clinical protocol #1: Guidelines for glucose
monitoring and treatment of hypoglycemia in breastfed neonates. Dalam:
Breastfeeding medicine. Liebert MA, penyunting. 2006;3:178-84.
13. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE, penyunting.
Hypoglycemia. Neonatology: management, procedures, on-call problems,
diseases, and drugs. Edisi ke-5. New York: Lange Medical Books/McGraw-
Hill; 2004. h. 262-6.
14. Wintergenrst AK, Buckingham B, Gandrud L, dkk. Association of
hypoglycemia, hyperglycemia, glucose variability with morbidity and death in
the pediatric intensive care unit. Pediatrics. 2006;118:173-9.
15. Frederick LG, Zrebiec J, Bauchowitz A, dkk. Detection of hypoglycemia by
children with type 1 diabetes 6 to 11 years of age and their parents: a field
study. Pediatrics. 2008;121:489-95.
16. Raju B, Arbelaez AM, Breckenridge SM, Cryer PE. Nocturnal hypoglycemia
in type 1 diabetes: an assesment of preventive bedtime treatments. J Clin
Endocrinol Metab. 2006;6:2087-92.
17. Hussain K, Bryan J, Christensen HT, dkk. Serum glucagon counterregulatory
hormonal response to hypoglyemia is blunted in congenital hyperinsulism.
Diabetes. 2005;54:2946-51.
18. Briscoe VJ, Navis SN. Hypoglycemia in type 1 and type 2 diabetes:
physiology, pathophysiology and management. Clin Diabetes. 2006;24:115-
21.
19. Bareness H, Valea I, Nagot N, dkk. Sublingual sugar administration as an
alternative to intravenous dextrose administration to correct hypoglycemia
among childrens in the tropics. Pediatrics. 2005;116:648-53.

15
HIPOTIROID KONGENITAL
Aditiawati

1. Definisi
Keadaan di mana kekurangan hormon tiroid yang disebabkan kelenjar tiroid
tidak terbentuk sempurna, tidak terbentuk sama sekali, atau terdapat
gangguan produksi ataupun fungsi hormon tiroid yang didapat sejak lahir.

2. Anamnesis
a. Asal daerah gondok endemik?
b. Riwayat kelainan kelenjar tiroid pada ibu, obat selama kehamilan,
Pertumbuhan dan perkembangan anak

3. Pemeriksaan Fisik
a. Tentukan diagnosis hipotiroid berdasarkan scoring neonatal hypothyroid
index:
Klinis Score
 Feeding problem 1
 Constipation 1
 Inactivity 1
 Hypotonia 1
 Umbilical hernia (>0,5) 1
 Enlarge tongue 1
 Dry skin 1,5
 Skin mottling 1
 Open posterior fontanella 1,5
 Typical facies 3
Bila total nilai score ≥ 4  dicurigai hipotiroid  lakukan pemeriksaan
laboratorium untuk memastikan
b. Bayi baru lahir
Gejala klinis sering belum jelas, dapat berupa
 Ikterus fisiologis yang memanjang
 Hipotermi sementara (suhu rektal< 35,5oC) dalam 0-45 jam pasca
lahir
 Ubun-ubun besar melebar (> 0,5 cm) terutama fontanella posterior
 Makroglosi, kesulitan minum, sering keselek dan sering kesulitan
bernafas
 Suara besar dan parau, tangis serak
 Hernia umbilikalis (hipotoni otot), sering obstipasi, distensi abdomen
 Reflek tendon melambat
 Nadi lambat, kulit kering dan dingin, terdapat mottling (bercak-bercak)
 Miksedema / sembab pada wajah, hipertelorisme.
 ECG (tidak spesifik): low voltage, prolonged conduction time
 Foto toraks: bayangan jantung membesar.
c. Masa bayi dan anak
 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan (motorik, mental, gigi,
tulang, pubertas)

16
 Miksedema, sering obstipasi
 Ubun-ubun besar terlambat menutup
 Makroglosi
 Kesulitan belajar, anemia
 Aktivitas lambat, retardasi mental makin jelas.
Catatan: goiter jarang dijumpai (tetapi bayi dengan goiter sering didapat
pada ibu Grave yang diobati dengan PTU).

4. Kriteria Diagnosis
a. TSH ↑, T4/fT4 ↓( hipotiroid primer)
b. fT4 ↓, TSH ↓ (suspek pituitary/sekunder hipotiroid, isolated TSH
deficiency atau tersier hypothyroid)  evaluasi ulang  fT4
c. T4/fT4 normal, TSH ↑  evaluasi ulang 2-3 minggu T4/fT4 ↓, TSH ↑
(immature feedback mechanism).
d. Awal fT4 normal/rendah dan TSH meninggi, selanjutnya fT4 normal, TSH
meninggi hipotiroid kompensata
e. fT4 rendah dan TSH tinggi selanjutnya fT4 dan TSH normal  hipotiroid
transien.
Catatan: fT4 lebih disarankan dibanding T4.

5. Diagnosis
a. Hipotiroid primer: kelainan pada kelenjar tiroid sendiri (95% kasus)
b. Hipotiroid sekunder: kelainan akibat kegagalan stimulasi hipofise pada
kelenjar tiroid
c. Hipotiroid tersier: kelainan kerena kegagalan stimulasi dari hipotalamus.

Hipotiroid sekunder dan tersier disebut “central hypothyroid”.

6. Diagnosis
Sindrom Down

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium: TSH, fT4 atau T4
- Untuk skrining bisa dimulai dengan pemeriksaan TSH dulu
- Bila TSH > 20  kemungkinan hipotiroid besar
- TSH >100  95% merupakan hipotiroid walaupun gejala masih
negatif
b. Radiologi: bone age, foto toraks, skintigrafi kelenjar tiroid, ultrasonografi
tiroid(atas indikasi)
c. Lain-lain: BERA / tes pendengaran, EMG (Elektromiografi) atas indikasi

8. Terapi
Berikan hormon tiroid: sodium levotiroksin (L-T4) dengan dosis:
Usia: Dosis

0 - 3 bulan 10 – 15g/kg BB/hari

17
3 – 6 bulan 8 – 10g/kg BB/hari

6 – 12 bulan 6 – 8 g/kg BB/hari

1 – 5 tahun 5 – 6 g/kg BB/hari

6 – 12 tahun 4-5 g/kg BB/hari

12 tahun 2-3g/kg BB/hari

Dosis ditingkatkan atau diturunkan tergantung evaluasi klinis dan


pemeriksaan laboratorium

Bila terdapat kelainan jantung atau pada hipotiroid berat (dengan


miksedema) dosis dimulai dengan ¼ dosis rumatan dan ditingkatkan secara
bertahap tiap 5 hari sampai tercapai dosis optimum.

9. Tindak lanjut
Selama terapi harus selalu dievaluasi :
a. Klinis :
- Gejala timbulnya hipotiroid (bila dosis terlalu rendah / tidak teratur
berobat)
- Gejala timbulnya hipertiroid ( bila dosis terlalu tinggi)
- Pertumbuhan dan perkembangan termasuk :
- Motorik kasar
- Motorik halus
- Bicara
- Perkembangan sosial
b. Laboratorium: T4/fT4, TSH  4–6 minggu sekali untuk 3 bulan pertama,
kemudian setiap 3 bulan dan 4 bulan sekali untuk tahun kedua,
seterusnya setiap 6 bulan selama 5 tahun
c. Radiologis: Bone age / maturasi tulang  2 tahun sekali
d. Psikometri: dimulai sejak usia 12-18 bulan setiap 2 tahun
e. BERA / tes pendengaran: sedini mungkin dan evaluasi setiap tahun
f. EMG (bila mungkin)  untuk evaluasi “ conducting nerve “
g. EEG (atas indikasi ).

10. Edukasi
Skrining Hypothyroid saat bayi baru lahir (usia 1 – 2 hari)

11. Prognosis
Tergantung pada umur saat terapi dimulai dan ada tidaknya komplikasi
Makin dini dimulai pemberian terapi, makin baik prognosisnya.
Apabila terapi dimulai sesudah umur 1 tahun  sulit mencapai IQ yang
maksimal.

18
Daftar Pustaka
1. Oentario M Connie, Rochman Nur, Marzuki Nanis S. Hipoglikemia pada
Neonatus dan Bayi. In: Batubara Jose RL, Tridjaja Bambang, Pulungan
Aman B. Buku Ajat Endokrinologi Anak Edisi Kedua. Jakarta: Abdan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017: 236-250
2. Foley TP Jr, Malvaux P, Blizzard RM: Thiroid disease: in Kappy MS, Blizard
RM, Migeon CJ: Wilkins: the Diagnosis and treatment of Endocrine Disorders
in childhood and adolescence, ed 4. Springfield, Thomas,1994,pp457-533.
3. Svenson J, ericsson UB, Nilsson P, et al: Levothyroxin treatment reduces
thyroid size in children and adolescence with chronic autoimun thyroiditis.
JClin Endocrinol metabolic.
4. Brook CGD, ed. Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden,
Mass.: Blackwell; 2008.
5. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007.
6. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
7. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.
8. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
9. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.

19
HIPERTIROID
Aditiawati

1. Definisi
Hipertiroid adalah suatu kondisi terjadinya peningkatan jumlah produksi
hormon tiroid dalam tubuh disebabkan kelenjar tiroid yang bekerja lebih aktif.

2. Anamnesis
a. Adanya faktor genetik yang dipicu oleh lingkungan (infeksi, obat, stress,
bahan kimia)
b. Gejala klinis: keluhan dada berdebar, berkeringat, mudah lelah, mata
menonjol

3. Pemeriksaan Fisik
a. Sturma
b. Takikardi
c. Gelisah
d. Peninggkatan denyut jnatung
e. Proptosis
f. Tremor
g. Penurunan berat badan
h. Intoleransi panas

4. Kriteria Diagnosis
- T4 atau fT4 ↑, T3 ↑, TSH ↓
- Uptake RAI naik 34 - 40%
- Pada saat sakit T3 meningkat (merupakan tes terbaik untuk skrining)
- Ada thyroid stimulating Ig, TRAb.
Langkah Diagnosis :
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisis / gejala klinis
- Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis
Hipertiroid (grave diases)

6. Diagnosis Banding :
Penyebab lain hipertiroid selain karena grave disease (tiroiditis, hipertiroid
congenital,koriokarsinoma, adenoma toksik soliter)

7. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium fungsi tiroid
USG tiroid dan skintigrafi kalau perlu
EKG bila perlu
Pemeriksaan imunologi (bila fasilitas ada).

20
8. Terapi
a) Konservatif / medikamentosa dengan obat anti tiroid/ATD:
Dapat diberikan :
1. Methimazol dengan dosis :
Dosis 0,25-1 mg/kgbb/hari dibagi 1-2 kali sehari, dosis maksimal 30
mg/hari.
2. Propiltiourasil (PTU) dengan dosis :
o Anak kecil: 5-10 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis, dosis ditingkatkan /
diturunkan bertahap sesuai dengan evaluasi klinis dan laboratorium
o Anak besar : pada umumnya 3 X 100 mg/hari.
Pemantauan klinis dimulai setelah terapi dimulai. Gejala klinis berkurang
setelah 2-3 minggu, Peningkatan TSH melebihi normal menujukan dosis PTU
atau metimazol. Pemeriksaan fungsi tiroid harus dinilai setiap 2-4 minggu
hingga dicapai keadaan eutiroid. Dosis obat dapat diturunkan sampai ke
dosis minimal yang dapat mempertahankan keadaan eutiroid. Pengobatan
dapat diberikan selama 5 tahun atau lebih.
30-40% pasien remisi setelah 2-3 tahun dan di tappering 6 bln-1 th sehingga
bila dihentikan tidak terjadi hipertiroid.
Obat lain yang sering digunakan :
1. Obat  Adrenergic antagonis misalnya propanolol
 Merupakan obat tambahan yang dapat diberikan selain ATD.
 Kerjanya menurunkan gejala hipertiroid dan obat distop setelah
eutiroid.
 Dosis propanolol 0,5-2 mg/kg/hari dibagi menjadi 3 dosis.
 Hati-hati pada pasien asma atau gagal jantung.
2. Obat yang mengandung iodide
 Inorganic Iodide misalnya iopanoic acid dan sodium ipodate
 Indikasi pada neonatal Graves: Iopanoic Acid (Telepaque) 500 mg p.o.
tiap 3 hari dan diberikan juga dengan Propanolol. Obat distop dalam
60 hari.
 Efek samping: diare.
3. Potassium Iodide dan Lugol ‘s Solution
 Indikasi: pasien yang akan dilakukan pembedahan atau pada krisis
tirotoksik.
 Dosis 0,1-0,3 ml (iodine 5% dan 10% potassium iodide dalam air) 3
hari sekali
4. Glukokortikoid
Indikasi: krisis hipertiroid dan progressive severe Grave’s opthalmopathy.
b) Pembedahan (tiroidektomi)
Indikasi: obat-obatan antitiroid tidak dapat diberikan terutama untuk anak
dibawah usia 5 tahun, hasil pengobatan yang tidak adekuat atau gagal
mengalami remisi permanen, adanya efek samping yang berat sehingga
pemberiaan obat antitiroid tidak dapat dilanjutkan, penderita goiter yang
besar sehingga terjadi gejala penekanan, atau dugaan keganasan.
Persiapan:

21
 Sebelum pembedahan pasien harus tirah baring dengan diet cukup 1-3
minggu Pra pembedahan hingga 1 minggu pasca bedah diberi larutan KY
jenuh 10 tetesan untuk mencegah timbulnya thyroid storm
 Thyroid Storm keadaan darurat
Terapi :
- Sodium iodida iv 1-2 gram
- Dexamethason
- Propanolol
- Kontrol hipertermi dan cairan (infus)
 Setelah tiroidektomi perlu observasi
- Hipotiroid akibat reseksi berlebih (harus diberi hormon tiroid seumur
hidup)
- Tirotoksikosis berulang karena reseksi tiroid kurang
- Hipoparatiroid (kelenjar paratiroid secara tidak sengaja terambil).
c) Ablasi Terapi dengan Radioactive Iodine (RAI)
 Diindikasikan pada tirotoksikosis rekuren setelah pembedahan
 Digunakan 131 I atau 123 I (14)
 Efek biologi dari 131I adalah  partikel radiasi  necrosis dan kegagalan
replikasi dari folikel sel yang tidak dirusak.
 Sasaran terapi adalah membuat euthyroid atau hipothyroid .
Hipotiroid biasanya terjadi dalam 6 bulan-satu tahun (10%-20%) dan bisa
transien atau permanen sehingga perlu tiroksin sepanjang hidupnya.

9. Tindak lanjut
a. Monitor efek samping obat
ES PTU : agranulositopenia, hepatitis, cholestasis jaundice,
trombositopenia, anemia aplastik (sangat jarang), gatal, urtikaria,
atralgia, demam (dapat dikurangi dengan mengganti jenis obat
tionamida lain).
b. Monitor kemungkinan relaps.
c. Monitor pertumbuhan.

10. Prognosis
Remisi sebesar 25 % terjadi dalam 2 tahun pertama pengobatan. Relaps
biasanya timbul dalam 3-6 bulan setelah terapi dihentikan. Beberapa studi
menyebutkan usia yang lebih muda, ukuran goiter yang besar, indeks massa
tubuh yang rendah, kadar hormon tiroid pada awal pengobatan yang tinggi
terkait dengan kemungkinan relaps.

Daftar Pustaka
1. Beck-Pecoz P, Persani L, La Franchi S: Safety of medications and hormons
used in the treatment of pediatric thyroid disorders. Pediatric endocrinol Rev
2004;2 (suppl 1) 124-133
2. 2.Dallas JS, Folley TP Jr.Hyperthyroidism: inlifshitz F (ed): Pediatric
Endocrinology, ed5 New York, Informa Health Care 2007, pp 415-442.

22
3. Brook CGD, ed. Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden,
Mass.: Blackwell; 2008.
4. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007.
5. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
6. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.
7. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
8. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.

23
PUBERTAS PREKOK
Aditiawati

1. Definisi
Pada wanita : awitan perkembangan seksual sekunder terjadi sebelum usia 8
tahun
Pada laki-laki: awitan perkembangan seksual sekunder terjadi sebelum usia 9
tahun

2. Anamnesis
- Usia awitan saat terjadi pubertas dan progresivitas perubahan fisik
pubertal.
- Pola pertumbuhan (kecepatan tumbuh) anak sejak bayi.
- Adanya kelainan SSP atau gejala kelainan SSP, seperti sakit kepala,
meningkatnya lingkar kepala, gangguan visus, dan kejang.
- Riwayat penyakit dahulu, termasuk riwayat kemoterapi, radiasi, operasi,
trauma atau infeksi SSP, riwayat konsumsi obat-obatan jangka panjang
(obat yang mengandung hormon steroid seks)
- Riwayat penyakit keluarga, meliputi adakah anggota keluarga yang
mengalami hal yang sama seperti pasien, riwayat pubertas anggota
keluarga yang lain, tinggi badan, dan rerata pertumbuhan orangtua dan
saudara kandungnya.
- Adanya paparan kronik terhadap hormon seks steroid eksogen.

3. Pemeriksaan Fisik
- Pengukuran tinggi badan, berat badan, rasio segmen atas/bawah tubuh.
- Palpasi tiroid: ukuran, ada tidaknya nodul, konsistensi, dan bruit
- Status pubertas sesuai dengan skala maturasi Tanner- Perempuan:
rambut aksila (A), payudara atau mammae (M), dan rambut pubis (P).
- Laki-laki: rambut aksila (A), rambut pubis (P), dan genital (G).
- Pemeriksaanukurantestisharusdilakukansecarahati-
hatibaikvolumeataupun panjang aksis longitudinal. Ukuran testis dan
asimetri memberikan petunjuk kemungkinan penyebab pubertas prekoks.
- Lesi kulit hiperpigmentasi menunjukkan neurofibromatosis atau sindrom
McCune- Albright.
- Palpasi abdomen untuk mendeteksi adanya tumor intraabdomen.
- Pemeriksaan status neurologis, funduskopi, visus.

4. Kriteria Diagnosis
1. Peningkatan pertumbuhan dan kematangan epifisis
2. Pada wanita: tanda pertama adalah perkembangan payudara. Rambut
pubis dapat timbul bersamaan tapi lebih sering terjadi kemudian,diikuti
oleh perkembangan genitalia eksterna,timbulnya rambut aksila dan
menstruasi. Silkus menstruasi awal dapat irreguler dibandingkan dengan
pubertas normal. Siklus awal biasanya anovulasi.
3. Pada pria: kedua testis membesar,penis membesar,ereksi,tumbuh
rambut pubis, akne suara dalam,kelakuan agresif

24
4. Gambaran yang berhubungan dengan penyebab : pigmentasi kulit dari
sindrom McCune Albright,kenaikan tekanan intrakranial,dll.

5. Diagnosis
Pubertas Prekok

6. Diagnosis Banding
1. Pemature pubarche (hanya rambut pubis tumbuh dini lainnya tidak ada)
2. Premature telarch ( hanya pembesaran buah dada,umur kira-kira 2
tahun)

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Hormon FSH,LH dan estradiol atau testoteron
Baku emasnya dengan GnRH stimulation test,yaitu penyuntikan GnRH
secara intravena atau subkutan aetelah puasa pada malam
hari.kemudian kadar FSH dan LH diukur menit ke 15,30,45 dan 60
setelah injeksi. Pada anak yang mengalami pubertas prekoks tipe
sentral akan terjadi peningkatan kadar hormon FSH dan LH dua sampai
tiga kali lipat
2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto kepala dan sela tursika : untuk melihat apakah ada tumor
seperti hamartoma,astrositoma,mokroadenoma,hidrosefalus.
b. USG pelvis dan genitalia interna : untuk mengetahui ada kista
ovarium atau tumor
3. MRI/scanning kepala,bila gonadotropin meningkat (MRI lebih bagus
untuk memeriksa sisterna supraseller

8. Terapi
1. Medroksiprogesteron asetat (provera)
Dosis yang diberikan 100 mg/m2/hari secara oral atau preparat long
acting 200-300 mg setiap 15 hari atau setiap 7 hari
2. LNRH agonis
3. Cyproteron acetat

9. Tindak lanjut
Monitoring pertumbuhan dan perkembangan

10. Prognosis
Pubertas prekoks sentral
Pada pubertas prekoks sentral yang diterapi dengan GnRHa, prognosis lebih
baik jika terapi dimulai lebih dini.
- Aktivitas poros HPG pubertal fisiologis akan mulai segera setelah
penghentian terapi dan menjadi sempurna dalam hitungan minggu atau
bulan.
- Pemantauan jangka panjang menunjukkan bahwa terapi GnRHa tidak
mempengaruhi fertilitas maupun fungsi seksual.
Pubertas prekoks perifer
Prognosis sangat ditentukan oleh etiologi dan terapi terhadap etiologi.

25
- Anak dengan HAK yang diterapi adekuat memiliki prognosis yang
baik,
- Anak dengan hipotiroid primer yang mendapat terapi substitusi
hormon tiroid juga memiliki prognosis yang baik.

Daftar Pustaka
1. Feuilian P, Merke D, Leschek EW, Cutler GB Jr. Use of aromatase inhibitors
in precocious puberty. Endocrine-Related Cancer 1999;6:303-306.
2. Himes JH:Examining the evidence for recent secular changes in the timing of
puberty in US Children in light Of increases in the prevalence of obesity. Mol
Cell Endocrinol 2006;254-255:13-21Brook CGD, ed. Handbook of Clinical
Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden, Mass.: Blackwell; 2008.
3. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007
4. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
5. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.
6. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
7. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.

26
PREMATURE TELARCHE
Kode ICD 10 : Q53.9

1. Definisi
Merupakan perkembangan payudara pada anak wanita kurang dari 8 tahun
tanpa diikuti perkembangan tanda-tanda seks sekunder lain.

2. Anamnesis
Pertumbuhan dini payudara tanpa disertai tanda seks sekunder lain pada ank
perempuan usia kurang dari 8 tahun.

3. Pemeriksaan Fisik
Pertumbuhan payudara uni/bilateral

4. Kriteria Diagnosis
- Biasanya terjadi pada 2 tahun setelah lahir.
- Tidak ada rambut pubis atau aksila.
- Kecepatan pertumbuhan normal.
- Perkembangan umur tulang normal.
- USG : ratio corpus dan cervix masih fase prepubertas
- LH/FSH/Estradiol setara dengan prepubertas
- Gonadotropin stimulation test (jika perlu)
Pemeriksaan ditujukan untuk membedakan dengan pubertas precox
sentral

5. Diagnosis
Prematue Telarche

6. Diagnosis Banding
Pubertas Prekoks

7. Terapi
Premature telarche biasanya tidak memerlukan intervensi.

8. Tindak lanjut
Pemantauan secara berkala dan teratur untuk kemungkinan terjadi pubertas
sentral prekoks.

9. Edukasi
Penjelasan kepada orang tua menjelaskan bahwa Prematur telarche bersifat
jinak dan tidak peru khawatir terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak
selanjutnya.

10. Prognosis
Pada bayi,prematur telarche akan mengalami regresi dalam 6 bulan hinggal 6
tahun setelah terdiagnosis. Prematur telarche pada usia < 3 tahun prognosis
baik regresi total 70% kasus. Pada anak yang lebih besar Prematur telarche
lebih sering bersifat menetap.

27
Daftar Pustaka
1. Feuilian P, Merke D, Leschek EW, Cutler GB Jr. Use of aromatase
inhibitors in precocious puberty. Endocrine-Related Cancer 1999;6:303-
306.
2. Himes JH:Examining the evidence for recent secular changes in the
timing of puberty in US Children in light Of increases in the prevalence of
obesity. Mol Cell Endocrinol 2006;254-255:13-21Brook CGD, ed.
Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden, Mass.:
Blackwell; 2008.
3. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007
4. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition.
Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2016.
5. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York:
M. Dekker; 2003.
6. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
7. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology
and Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.

28
PUBERTAS TERLAMBAT
Aditiawati

1. Definisi
Pubertas terlambat (delayed puberty) pada perempuan didefinisikan tidak
membesarnya payudara sampai umur 13 tahun atau tidak adanya menstruasi
sampai umur 16 tahun. Pada laki-laki pubertas terlambat apabbila panjang
testis tidak mencapai variasinormal.

2. Anamnesis
Anamnesis yang seksama perlu diperhatikan, antara lain :
- Adanya penyakit kronik
- Anoreksi/bulimia
- Olah raga berlebihan
- Adanya riwayat keluarga dengan pubertas terlambat
- Riwayat lahir adanya kelainan kongenital
- Riwayat operasi, kemoterapi
- Gejala-gejala neurologis (gangguan visus, gangguan penciuman)
- Obat-obatan atau zat-zatkimiawi yang pernah terpapar
- Trauma kepala

3. Pemeriksaan Fisik
Anak dengan pubertas terlambat perlu diperiksa dengan saksama, untuk
menemukan penyebab fisik maupun fungsional (lihat tabel 1)
- Pengukuran pertumbuhan : eunuchoid, perawakan pendek, obesitas,
kahektis
- Sesuaikan kriteria pubertas Tanner:- Pembesaran testis (>2,5 mL)
pada anak laki diukur menggunakan Prader Orchidometeratau
pembesaran payudara pada anak wanita,.
- Rambut pubis tidak serta merta menunjukkan proses pubertas
berjalan
- Evaluasi terhadap kemungkinan mikropenis
- Pelvis ultrasonografi untuk menentukan perkembangan uterus dan
ovarium
- Pemeriksaan kelenjar tiroid
- Pemeriksaan neurologis: sensori penciuman, pendengaran, medan
penglihatan, diskus optik (fundus okuli)
- Perkembangan kognitif/perilaku abnormal
- Periksa berbagai stigmata untuk kemungkinan sindrom: Turner,
Klinefelter, Prader- Willi, Kallmann’s.

4. Kriteria Diagnosis
Diagnosis pubertas terlambat gejalanya dapat berupa :
Anak wanita:
- Payudara belum tumbuh pada usia 13 tahun
- Jarak antara tumbuhnya payudara dan haid pertama lebih dari 5
tahun

29
- Rambut pubis belum tumbuh pada usia 14 tahun
- Belum menstruasi pada usia 16 tahun
Anak Laki:
- Tidak ada pembesaran testis pada usia 14 tahun
- Rambut pubis belum tumbuh sampai usia 15 tahun
- Dibutuhkan lebih dari 5 tahun untuk pembesaran genital

5. Diagnosis
Pubertas Terlambat

6. Diagnosis Banding
1. Hipogonadotropik Hipogonadisme
- Constitutional Delayed of Growth &
Puberty (sering)
- Defisiensi kongenital: - Hipo-hipofisis herediter- Hipogonadotropik
Hipogonadisme Idiopatik (IHH) - Sindrom Kallmann- Sindrom Prader-
Willi, Laurence-Moon-Biedel- Kerusakan reseptor LH/FSH
- Defisiensi yang didapat:- Gangguan fungsi: penyakit kronik, anoreksia
nervosa, olah raga berlebihan, hipotiroid, hiperprolaktinemia.
- Gangguan anatomi: tumor hipofisis, kraniofaringioma, trauma kepala,
pemakaian
- obat-obatan (opiat, marijuana), penyakit invasif lain.
2. Hipergonadotropik Hipogonadisme: - Kongenital:
- Disgenesis gonad:- Sindrom Klinefelter - Sindrom Turner
- Resisten Androgen (kerusakan reseptor)
- Gangguan enzim steroidogenik - Didapat: - Kriptorkismus-
Radiasi/kemoterapi- Trauma/pasca pembedahan.- Autoimun atau
pasca infeksi (mumps, coxsackie)

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan antara lain :
b. Darah tepi lengkap, TSH, kortisol pagi/sore, kimia darah, petanda radang
kronik, prolaktin.
c. Evaluasi pertumbuhan: pemeriksaan bone age (usia tulang) untuk
menilai adanya retardasi pertumbuhan. 

d. Hormon gonadotropin: LH/FSH- Kadar normal atau rendah bisa pada
CDGP atau hipogonadisme sekunder- Meningkat pada kegagalan gonad
primer-
Kecualibilanormalkadarnyabelumtentumenunjukkanhipogonadismeprime
r bila usia-tulang (bone age) pre-pubertas.
e. CT scan kepala atau MRI otak, hipotalamus, dan hipofisis, bila diduga
ada kelainan sentral.
f. Pemeriksaan kariotip/kromosom pada anak wanita, kemungkinan
sindrom Turner.

30
8. Terapi
Tujuan terapisubstitusi steroid seks adalah pada ank perempuan
mempertahankan perkembangan seks sekunder, libido, dan menstruasi, e.
Sedangkan pada anak laki-laki untuk mempertahankan pertumbuhan rambut
dan libido, mineralisasi tulang, dan hemostasis sistem kardiovaskular.
Terapi induksi pubertas dengan estradiol atau testosteron estes ( dilakukan
oleh ahli endokrinologi anak)

9. Tindak lanjut
Monitoring status pubertas dan problem psikologis.

10. Prognosis
Prognosis pubertas terlambat ditentukan oleh etiologi. Pada kasus CDGP,
prognosisnya baik, karena pada kasus CDPG hanya terjadi keterlambatan
maturitas aksis HPG. Tanpa diberikan terapi, pubertas akan berkembang
normal tetapi dalam waktu yang lebih lama dibandingkan orang rata-rata,
namun pada akhirnya fungsi seksual dan fertilitas dan tinggi badan akhir
akan normal.Pubertas terlambat yang disebabkan oleh penyakit kronis yang
mendasari, prognosis ditentukan oleh penantalaksaan masing-masing
penyakit yang mendasari.

Daftar Pustaka
1. Feuilian P, Merke D, Leschek EW, Cutler GB Jr. Use of aromatase inhibitors
in precocious puberty. Endocrine-Related Cancer 1999;6:303-306.
2. Himes JH:Examining the evidence for recent secular changes in the timing of
puberty in US Children in light Of increases in the prevalence of obesity. Mol
Cell Endocrinol 2006;254-255:13-21 Brook CGD, ed. Handbook of Clinical
Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden, Mass.: Blackwell; 2008.
3. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007
4. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
5. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.
6. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
7. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.

31
HIRSUTISME
Aditiawati

1. Definisi
Pertumbuhan rambut terminal yang berlebihan, bersifat androgen-dependent,
pada perempuan dengan pola distribusi seperti pada laki-laki dewasa.
Tampak pertumbuhan rambut dengan pola distribusi maskulin yaitu di atas
bibir dan depan telinga

2. Anamnesis
- Riwayat keluarga yang mempunyai distribusi rambut serupa,
- Riwayat menstruasi.
- Pertumbuhan rambut berlebih pada perempuan, sekitar 80% disertai
kadar hormon androgen dalam serum yang meningkat
- Riwayat penggunaan obat-obatan (Dehidroepiandrosterone sulfate
(DHEA-S), testosteron, danazol, dan anabolic steroids, fenitoin,
minoksidil, diazoxide, siklosporin, streptomisin, psoralen, penisilamin,
kortikosteroid dosis tinggi, metirapon, fenothiazin, asetazolamid, dan
heksklorobenzen).

3. Pemeriksaan Fisik
- tanda virilisasi, bersifat generalisata, sekresi keringat dan sebum
meningkat, tidak ditemukan tumor pelvis.
- Bila ukuran klitoris cukup besar ataupun terjadi peningkatan kadar
hormon testosteron dalam plasma, mungkin ada penyakit sistemik yang
mendasarinya
- Klasifikasi hirsutisme berdasarkan Sistem Skoring Ferriman and Gallwey
sebagai berikut:

Table 1. Ferriman and Gallwey Scoring System

Site Grade Definition

Upper Lip 1 A few hairs at outer margin


2 A small moustache at outer margins
3 A moustache extending halfway from outer
margin
4 A moustache extending to midline
Chin 1 A few scattered hair
2 Scattered hairs with small concentrations
3 Complete cover, light
4 Complete cover, heavy
Chest 1 Circumareolar hairs
2 With midline hair in addition
3 Fusion of these areas, with three-quarter cover
4 Complete cover
Upper back 1 A few scattered hair
2 Rather more, still scattered

32
3 Complete cover, light
4 Complete cover, heavy
Lower back 1 A sacral tuft of hair
2 With some lateral extension
3 Three quarter cover
4 Complete cover
Upper abdomen 1 A few midline hairs
2 Rather more, still midline
3 Half cover
4 Full cover
Lower abdomen 1 A few midline hairs
2 A midline streak of hair
3 A midline band of hair
4 \An inverted V-shaped growth
Upper arm 1 Sparse growth < three quarters
2 More than this: cover still incomplete
3 Complete cover, light
4 Complete cover, heavy
Thigh 1 Sparse growth < three quarters
2 More than this: cover still incomplete
3 Complete cover, light
4 Complete cover, heavy

Skor ≥ 7 menunjukkan adanya hirsutisme yang bermakna, sedangkan skor <


7 disebut hirsutisme ringan.

Gambar 1.Pola distribusi maskulinisasi

4. Kriteria Diagnosis
- Hirsutisme menyebabkan pembesaran akar rambut, pembesaran dan
peningkatan pigmentasi rambut serta pertumbuhan rambut dengan pola
penyebaran yang secara normal ditemukan pada pria.

33
- Masalah yang sangat mengganggu pada hirsutisme adalah pertumbuhan
rambut wajah yang berlebihan.
- Hirsutisme bisa dihubungkan dengan suatu keadaan yang disebut
maskulinisasi, dimana didapatkan keadaan:
a. Suara menjadi lebih berat.
b. Rambut di wajah tumbuh secara berlebihan.
c. Massa otot bertambah.
d. Ukuran payudara mengecil
e. Ukuran alat kelamin membesar.
f. Siklus menstruasi tidak teratur.
- Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan
fisik.
- Mungkin perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik

5. Diagnosis
Hirsutisme

6. Diagnosis Banding
- Hipertrikosis
- Adenoma Adrenal
- Karsinoma Adrenal
- Defisiensi C-11 Hydroksilase
- Defisiensi C-17 Hydroksilase
- Sindroma Cushing
- Lesi maligna ovarium
- Kanker ovarium
- Ovarian Polycystic Disease

7. Pemeriksaan Penunjang
- Testosteron serum
- 17-Hydroxyprogesterone
- Pemeriksaan darah untuk menentukan kadar LH (luteinizing hormone),
FSH, prolaktin dan hormon lainnya.
- CT scan abdomen
- USG.
- Bone age.

8. Terapi
Pengobatan hirsutisme adalah berdasarkan kelainan kosmetik atau merupakan
penyakit sistemik yang mendasarinya.
a. Mekanis
Terutama dilakukan untuk mengobati hirsutisme idiopatik. Caranya bervariasi
dalam hal frekuensi, biaya, dan kenyamanan.
1. Cara temporer
1.1. Pemudaran rambut (bleaching)
1.2. Pencukuran rambut (shaving)
1.3. Epilasi (plucking/teezing dan waxing)
1.4. Depilasi

34
1.5. Pemakaian amplas (hair removing gloves)
2. Cara permanen
2.1. Elektrolisis atau galvanisasi
2.2. Termolisis atau diatermi
2.3. Kombinasi elektrolisis dan termolisis
2.4. Tindakan bcdah pada tempat yang dikeluhkan
2.5. Radiasi
b. Medikamentosa
 Bertujuan menekan produksi hormon androgen dari kelenjar adrenal
maupun ovarium, atau menghentikan kerja kelenjar adrenal pada folikel
rambut, sehingga fase pertumbuhan aktif rambut terminal lebih pendek
dan rambut lebih tipis serta kurang berpigmen.
 Respons terhadap obat adalah lambat dan tidak selalu memberi hasil
memuaskan. Umumnya dibutuhkan waktu 6-12 bulan untuk menentukan
keberhasilan pengobatan.
1) Glukokortikoid
Tujuannya untuk mengobati penderita hiperplasia kelenjar adrenal.
Pemakaian secara rutin untuk bentuk selain hirsutisme tidak dianjurkan.
- Deksametason : 0,08-0,3 mg/kg/hari, p.o. atau 2,5 mg-10
mg/m2/hari, p.o, 4-6 kali pemberian.
- Prednison : 4-5 mg/m2/hari, p.o, atau 0,05-2 mg/kg, p.o, dalam 2-
3 dosis, tapering off 2 minggu sampai gejala teratasi.
2) Antiandrogen
- Spironolakton : 1,5-3,5 mg/kg/hari, p.o dibagi 4-6 kali pemberian.
c. Operatif
Tindakan pengangkatan tumor yang mensekresi hormon androgen.

9. Prognosis
Tergantung pada penyebab yang mendasarinya dan jenis terapi

Daftar Pustaka
1. Azziz R: The evaluation and management of hirsutism. Obstet Gynecol
2003;101:995-1007
2. 2. Rosenfield RL: Hirsutism and the variable response of the pilosebaceous
unit to androgen. J investing Dermatol Symp Proc 2005;10:205-208
3. Brook CGD, ed. Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden,
Mass.: Blackwell; 2008.
4. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007
5. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
6. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.
7. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
8. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.

35
OSTEOGENESIS IMPERFECTA
Aditiawati

1. Definisi
Kelainan pembentukan jaringan ikat yang umumnya ditandai dengan tulang
mudah patah, kelainan pada ligamen, kulit, sklera, gigi, ataupun tuli.

2. Anamnesis
Riwayat mudah fraktur/patah tulang berulang, adanya riwayat penyakit yang
sama dalam keluarga
Pada bentuk yang ringan penderita bisa tidak mengalami patah tulang
sampai masa dewasa. Sedangkan pada bentuk yang berat patah tulang
dapat dialami sejak dalam uterus/prenatal.

3. Pemeriksaan Fisik
Terdapat fraktur multisegmen, perawakan pendek, sklera berwarna biru,
masalah gigi (dentinogenesis imperfecta), dan gangguan pendengaran yang
makin progresif setelah masa pubertas.

4. Kriteria Diagnosis
Diagnosis OI ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang sama pada
keluarga dan atau manifestasi klinis yang berbeda-beda tiap penderita,
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan Radiologi dan kadar kalsium
serta fosfat.

5. Diagnosis
 Berdasarkan tingkatan beratnya penyakit:
- Osteogenesis imperfecta ringan sedang
- Osteogenesis imperfecta dengan deformitas progresif dan letal di
masa perinatal
 Klasifikasi Sillence tahun 2007 membagi OI atas 8 tipe, ada pula ahli lain
menambahkan klasifikasi OI menjadi 13 tipe.
 Beberapa bentuk klinis OI:
- OI tipe 1: OI tanpa deformitas dengan sklera biru
- OI tipe 4: bentuk umum OI dengan fraktur berulang,
osteoporosisdengan berbagai derajat deformitas tulang, namun sklera
normal
- OI tipe 3: OI dengan deformitas progresif
- OI tipe 2: OI yang letal di masa perinatal
- OI tipe 5: OI dengan kalsifikasi pada membran intraosseus

6. Diagnosis Banding
- Kekerasan anak dan penelantaran pada anak (child abuse & neglect)
- Osteoporosis Juvenil Idiopatik (OJI)
- Achondroplasia
- Riketsia

36
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kadar Elektrolit Darah (terutama Kalsium dan Fosfat)
Pemeriksaan Radiologi
 Radiografi tulang skeletal setelah lahir (bone survey):
- Bentuk ringan (tipe I) tampak korteks tulang panjang yang menipis,
tidak tampak deformitas tulang panjang. Bisa menunjukkan gambaran
Wormian (Wormian bones) pada cranium.
-
Bentuk sangat berat (tipe II) tampak gambaran manik-manik (beaded
appearance) pada tulang iga, tulang melebar, fraktur multipel dengan
deformitas tulang panjang.
-
Bentuk sedang dan berat (tipe III dan IV) tampak metafisis kistik atau
gambaran popcorn pada kartilago, tulang dapat normal atau melebar
pada awalnya kemudian menipis, dapat ditemukan fraktur yang
menyebabkan deformitas tulang panjang, sering disertai fraktur
vertebra.
 Densitas mineral tulang (bone densitometry) diukur dengan Dual-Energy
X-Ray Absorptiometry (DEXA) yang menghasilkan nilai rendah pada
penderita.
 Ultrasonografi prenatal pada minggu 15-18 kehamilan untuk mendeteksi
kelainan panjang tulang anggota badan.Yang tampak dapat berupa
gambaran normal (tipe ringan) sampai dengan gambaran isi intrakranial
yang sangat jelas karena berkurangnya mineralisasi tulang kalvaria atau
kompresi kalvaria. Selain itu dapat juga ditemukan tulang panjang yang
bengkok, panjang tulang berkurang (terutama tulang femur), dan fraktur
iga multipel. USG prenatal ini terutama untuk mendeteksi OI tipe II.
Selain pemeriksaan Radiologis, juga dapat dilakukan pemeriksaan berikut :
 Analisa sintesa kolagen didapat melalui kultur fibroblas dari biopsi kulit,
terutama untuk mendeteksi osteogenesis imperfecta tipe I, III dan IV.
 Analisa mutasi DNA prenatal dilakukan pada kehamilan dengan resiko OI,
melalui kultur villus korion. Pemeriksaan kombinasi antara analisa DNA
dan biopsi kolagen akan mendeteksi hampir 90% dari semua tipe mutasi
gen pengkode prokolagen tipe I.

8. Terapi
a. Zoledronic acid 0,025-0,05 mg/kgbb pemberian drip dalam 30-45 menit,
satu kali pemberian, diulang setiap 3-6 bulan.
b. Bisa juga dengan Bisfosfonat (pamidronat) dengan dosis 1,5-3
mg/kgbb/hari pemberian drip dalam 4 jam, diberikan 3 hari berturut-turut,
diulang tiap 4-6 bulan.
c. Suplementasi Vitamin D 400-800 IU dan Kalsium 500-1000 mg sebagai
profilaktik defisiensi Vitamin D dan Kalsium

9. Tindak lanjut
Monitoring BMD, Ca dan P, fracture

37
10. Prognosis
Sebelum ada modalitas terapi seperti saat ini, sekitar 2/3 pasien OI tipe 3
meninggal, namun dengan adanya modalitas terapi saat ini seperti bifosfonat
diharapakan sebagian besar pasien OI tipe 3 dapat mencapai usia dewasa

Daftar Pustaka
1. Marini JC. Osteogenesis imperfecta. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB,eds. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders, 2004, 2336-8
2. Marini JC. Osteogenesis imperfecta-managing brittle bones. N Engl J Med
1998; 339: 986-7
3. Root AW, Diamond Jr FB. Disorders of calcium metabolism in the child and
adolescent. Dalam: Sperling MA, eds. Pediatric endocrinology, edisi ke-2.
Philadelphia: Saunders, 2002, 657-85.
4. Nussbaum RL, McInnes RR, Willard HF. The molecular and biochemical
basis of genetic disease. Dalam: Thompson and thompson genetic in
medicine, edisi ke-6. Philadelphia: Saunders, 2004, 229-346.
5. http://www.ema.europa.eu: Assessment report for Zometa (Zoledronic acid).
European Medicines Agency. Evaluation of Medicine for human use.
London.2010.

38
SINDROMA TURNER
Aditiawati

1. Definisi
Kelainan pada wanita dengan karakteristik tidak terdapatnya sebagian atau
seluruh dari seks kromosom kedua yang normal yang memegang peranan
pada penampilan fisik yang sering disertai dengan limfedema kongenital,
perawakan pendek, dan disgenesis gonad.

2. Anamnesis
- Keterlambatan pubertas
- Postur tubuh yang pendek

3. Pemeriksaan Fisik
Defek Primer Keadaan Sekunder Insiden (%)
Keadaan Fisik
Gangguan pertumbuhan
Perawakan pendek 100
skeletal
Leher pendek 40
Rasio segmen atas dan
97
bawah abnormal
Cubitus vagus 47
Metakarpal pendek 37
Deformitas madelung 7,5
Skoliosis 12,5
Genu valgum 35
Muka khas dengan
Obstruksi limfatik 60
mikrognati
Palatum arch tinggi 36
Webbed neck 25
Low posterior hairline 42
Rotated ears Sering
Edema pada tangan/tungkai 22
Displasia kuku 13
Dermatoglipi yang khas 35
Faktor yang tidak
Strabismus 17,5
diketahui
Ptosis 11
Nevi pigmentosa multipel 26
Keadaan Fisiologis
Gangguan pertumbuhan
Gagal tumbuh 100
skeletal
Otitis media 73
Defek kromosom sel
Kegagalan gonad 90
germinal
Infertilitas 95
Gonadoblastoma 5

39
Defek Primer Keadaan Sekunder Insiden (%)
Faktor-faktor yang tidak Anomali kardiovaskuler 55
diketahui – Embrionik Hipertensi 7
Anomali renal dan
39
renovaskuler
Faktor-faktor yang tidak Tiroiditis Hashimoto 34
diketahui – Metabolik Hipotiroid 10
Alopesia 2
Vitiligo 2
Kelainan gastrointestinal 2,5
Intoleransi karbohidrat 40

4. Kriteria Diagnosis
Klinis : Perawakan pendek dan kelainan skeletal. Disgenesis gonad, pubertas
terlambat, Dengan atau tanpa Gambaran dismorfik: webbed neck, low
posterior hairline, ptosis lipatan epikaptus, displasia kuku, pektus
ekskavatum, inversi puting susu, gangguan belajar.

Diagnosis definitif: karyotyping

5. Diagnosis
Sindrom Turner

6. Diagnosis Banding
Banyak gambaran fisik sindroma Turner yang merupakan konsekuensi
adanya limfedema intrauterine. Gambaran yang sangat mirip ditemukan pada
sindroma Noonan dengan gangguan gen yang memberikan efek pada laki-
laki dan wanita dengan gambaran tubuh yang pendek dan adanya defek
kongenital pada jantung (biasanya kardiomiopati pada jantung kanan

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Masa Prenatal : deteksi dengan USG
Jarang ditemukan higroma kistik dan kelainan pada ginjal (horse shoe
kidney) dan abnormalitas jantung.
b. Masa bayi dan anak-anak
- Insiden terjadinya aorta bicuspid lebih dari 50% dan koarktasio aorta
kurang dari 20%. Evaluasi dengan ekokardiografi tiap 5 tahun untuk
memantau diameter pembuluh darah jantung.
- Dilakukan skrining terhadap fungsi tiroid meliputi pengukuran level
tirotropin. Sebaiknya pada penderita usia 10 tahun yang
asimptomatik dan diulang tiap tahunnya.
- Terdapat conductive hearing loss menyebabkan otitis media yang
berulang dan puncaknya terjadi pada usia 1-6 tahun. Pemeriksaan
audiologi dapat dilakukan pada usia sekitar 7 tahun.
- Limfedema terjadi waktu bayi pada daerah tangan dan kaki dapat
diberikan stoking. Strabismus, ptosis dapat terjadi, penilaian
dilakukan tiap tahun oleh seorang oftalmolog. Crowding dan

40
maloklusi yang diakibatkan mandibula yang mengecil. Pemeriksaan
gigi dilakukan pada usia pertengahan anak-anak.
- Pemeriksaan psikologi bila diperlukan

8. Terapi
Sejak didiagnosis, terapi terpenting yaitu pemberian hormon pertumbuhan
(oleh subdivisi endokrinologi anak). Terapi hormon pertumbuhan sangat
bermanfaat untuk mengoptimalisasi pertumbuhan anak dengan sindroma
Turner. Pemberian hormon pertumbuhan tunggal atau kombinasi dengan
anabolik steroid seperti Oksandrolon telah menjadi standar di beberapa
negara. Yang kedua yaitu pada saat anak mencapai usia pubertas dilakukan
induksi pubertas sesuai usianya untuk mencegah terjadinya osteoporosis.
Terapi lainnya tergantung klinis yang ditemukan

9. Prognosis
Penderita dengan sindroma Turner mengalami penurunan kualitas hidup,
primer akibat dari komplikasi dari penyakit jantung dan diabetes. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Sybert, dari 532 penderita yang lahir hidup, 30
meninggal, 13 diantaranya disebabkan oleh penyakit jantung.

Daftar Pustaka
1. Bannink EM, Raat H, Mulder PG, de Muinck Keizer Schrama SM : Quality of
life after growth hormone theraphy and induced puberty in women with Turner
syndrome. J Pedriatr 2006;148:95-101.
2. Bondy CA: Care of girls and women with Turner syndrome: a guideline of the
Turner syndrome study group. J Clin Endocrinol Metab 2007;92:10-25.
3. Brook CGD, ed. Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden,
Mass.: Blackwell; 2008.
4. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007
5. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
6. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.
7. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
8. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.

41
HIPERPLASIA ADRENAL KONGENITAL
Aditiawati

1. Definisi
Hiperplasia adrenal kongenital adalah suatu kelainan genetik yang diturunkan
secara autosomal resesif akibat defisiensi atau gangguan pada salah satu
dari tahapan-tahapan enzimatik yang diperlukan untuk biosintesis steroid
adrenal.

2. Anamnesis
Riwayat muntah berulang, gagal tumbuh, maskulinisasi, hiperpigmentasi

3. Pemeriksaan Fisik
Maskulinisasi, failure to thrive, hiperpigmentasi, tanda-tanda dehidrasi,
asidosis (tergantung tipe HAK)

4. Kriteria Diagnosis
Gejala Klinis
a. DSD ( disorders of sex development)
Pseudohermafroditism dengan klitoromegali dan fusi lipatan labioskrotal
parsial/komplit.
Keadaan berat  laki-laki dengan kriptokismus
a) Pubertas prekoks
b) Salt wasting / Hiponatremia
 Kehilangan garam  hiponatremia, gagal tumbuh, dehidrasi, dan
hiperkalemia
 Krisis adrenal  tidak mau minum, muntah-muntah, diare, failure to
thrive, dehidrasi, hiperkalemia, hiponatremia, asidosis.
 Hipoglikemia
 Hiperpigmentasi
c) Pertumbuhan linier :
Pada awalanya penderita mengalami percepatan pertumbuhan (growth
spurt), namun karena paparan tinggi hormon androgen mempercepat
maturasi tulang sehingga hasil tinggi akhirpendek.

d) Fungsi reproduksi
 Wanita : oligomenore, amenore, menstruasi tidak teratur atau
infertilitas
 Pajanan androgen  tingkah laku wanita seperti laki-laki
 Laki-laki  defisiensi spermatogenesis
e) Simple virilizing form
f) Tipe non klasik
 Tergantung umur onset
 Pubertas prekoks
 Umur tulang maju
 Pertumbuhan pesat
 Pada perempuan: polikistik ovarii hirsutisme, menstruasi tidak
teratur, perawakan pendek, fertilitas menurun.

42
g) Heterozigot
Gejala kelebihan androgen

5. Diagnosis
Berdasarkan manifestasi klinis ada 2 bentuk Hiperplasia Adrenal Kongenital
(HAK), yaitu:
- Klasik : Salt Wasting Syndrome dan Simple Virilizing (non salt losing)
- Non Klasi: Late Onset Non Classical Form

6. Diagnosis Banding
a. Female pseudohermaphrodite
b. Gangguan elektrolit sebab lain (hiponatremia dan hiperkalemia)
c. Hipertrofi stenosis plorus
d. Kriptorkismus

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Tipe Klasik
 Na rendah dan K tinggi
 Peningkatan serum 17-OHP dan hormon androgen adrenal
 Kortisol serum rendah
 DSD (disorders of sex development)
 Pemeriksaan PRA merupakan indesi sensitif untuk insufisiensi
mineralokortikoid.
 Genitografi: terlihat uterogenital dan uterus
 USG genitalia interna: terlihat uterus
 Foto rontgen usia tulang untuk evaluasi pubertas prekoks.
 Tes genetik
b. Tipe Non Klasik
Perlu uji stimulasi ACTH

8. Terapi
Terapi yang diberikan pada penderita CAH terdiri dari:
1.Terapi Hormonal
Prinsip: mencegah terjadinya insufisiensi adrenal
a. Pada keadaan akut HAK Salt Wasting
 Terapi syok dengan NaCl 0,9% 20 ml/kg, dalam 1 jam dilanjutkan
dengan 3.200 ml/m2/24 jam cairan isotonis.
 Bila hipoglikemia berikan 2-4 ml/kgBB Dekstrose 10%
 Hidrokortison hemisuksinat 50-100 mg/m2 atau 1-2 mg/kgBB
dilanjutkan dengan 50-100 mg/m2 dengan dosis terbagi tiap 6 jam,
dilanjutkan dengan dosis rumatan per oral seumur hidup 15-20
mg/m2/hari dalam 2-3 kali pemberian setelah fase akut terlewati.
Alternatif lain Metilprednisolon sodium suksinat 0,25-0,5 mg/kg IV
atau Deksametason 1-2 mg/m2.

43
Sebelum diberikan hidrokortison dosis rumatan per oral, mulai
dengan dosis 20-30 mg/m2/hari dalam 1-2 minggu untuk mengontrol
overproduksi ACTH.
 Terapi mineralokortikoid pada krisis adrenal dengan
Deoksikortikosteron asetat (DOCA) 0,5-1 mg/hari IM dilanjutkan
dengan Fludrokortison asetat peroral 50-200 mg/hari 3 kali
pemberian.
 Suplementasi NaCl 1-2 g/hari sampai usia 2 tahun.
Monitoring Terapi
 Pemberian kortisol seumur hidup.
 Evaluasi 17-OHP dan testoteron tiap 2 bulan-1 tahun dan
pemeriksaan plasma renin activity secara periodik.
 Hidrokortison 10-20 mg/m2/hari.
 Alternatifnya Prednison 5-7,5 mg/m2/hari atau Deksametason 0,25-
0,5 mg/m2/hari dengan pemantauan.
 Evaluasi terapi dengan memantau pertumbuhan, umur tulang, serum
17-OHP, androstenedion, dan testosteron.

a. Kondisi Khusus
 Pada pembedahan atau trauma, muntah hebat, dan diare, pasien
dirawat dan obat diberikan secara IM.
 Pada kegawatan / infeksi, dosis dapat ditingkatkan 2-3 kali untuk
beberapa hari.
2.Terapi pembedahan
Individual dan kesepakatan multidisiplin ( clitoroplasti dan vaginoplasti)
3.Konseling psikiatri
4. Konseling genetik

9. Tindak Lanjut
Konseling psikologi, konseling genetik, monitoring terapi

10. Edukasi
Kepatuhan pengobatan, monitoring ketat terhadap timbulnya komplikasi

11. Prognosis
Prognosis anak dengan defisiensi 21-hidroksilase pada sebagian besar
kasus adalah baik, jika terdeteksi secara dini dan terapi penggantian
hormonal segera diberikan dan disertai penyesuaian dosis yang tepat.
Pertumbuhan normal dapat diharapkan, tinggi akhir optimal dapat dicapai,
dan pubertas terjadi pada waktunya.

Daftar Pustaka
1. Clayton P, Miller WL, Oberfield SE, Ritzen EM, Sippel WG, Speiser PW:
Consensus statement on 21-hydroxylase deficiency from the Europen Society
for Paediatric Endocrine Society. J Clin Endoc Metab 2002;87: 4048-4053.

44
2. Speiser PW, White PC, New MI: Congenital adrenal hyperplasia; James VH
(ed): The Adrenal Gland. Comprehensive Endocrinology, revised ser. New
York, Raven Press, 1992,pp 371-372
3. Brook CGD, ed. Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden,
Mass.: Blackwell; 2008.
4. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007
5. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
6. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.
7. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
8. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.

45
MIKROPENIS
Aditiawati

1. Definisi
Bentuk penis yang normal tanpa disertai kelainan diferensiasi seksual,tetapi
ukurannya sangat kecil yaitu kurang dari -2,5 simpang baku (SB) ukuran
normal menurut usia. Merupakan suatu kelainan tunggal (isolated) atau
bagian penyakit kelainan suatu sistem dan sindrom tertentu.

2. Etiologi
Kelainan SSP :
Hipogonadotropikhipogonadisme,hipergonadotropik
hipogonadisme,gangguan hipofise,anensefal,midlinedefect,sindrom
Kalman,sindrom Prader Willi,defisiensi GH,sindrom Rotnow, dan sindrom lain
Kelainan gonad :
Disgenesis gonad,sindrom knilefelter,sindrom insentivitas partial,sindrom
Bjoreson,idiopatik dll

3. Anamnesis
Adanya riwayat lahir mati atau hipospadia,kriptokidismus,infertilitas,atau
kelainan kongenital kearah kelainan genetik yang diturunkan
Riwayat obstetri
Berupa penurunan gerakan janin atau otot bayi yang lemas waktu dilahirkan
(sindrom prader Willi)

4. Pemeriksaan Fisik
Mencari adanya dismorfik yang merupakan tanda sindrom malformasi
Ukuran penis kurang dari 2,5 SB ukuran normal menurut usia tanpa
diketemukan kelainan differensiasi seksual.
Gambar 1. Cara mengukur panjang penis.

46
Tabel 1. Ukuran penis berdasarkan usia

Usia Rerata ±SB Rerata -2,5 SD


Gestasi 30 mgg 2,5 ± 0,4 1,5
Gestasi 34 mgg 3,0 ± 0,4 2,0
Cukup bulan 3,5 ± 0,4 2,5
0-5 bln 3,9 ± 0,8 1,9
6-12 bln 4,3 ± 0,8 2,3
1-2 4,7 ± 0,8 2,6
2-3 5,1 ± 0,9 2,9
3-4 5,5 ± 0,9 3,3
4-5 5,7 ± 0,9 3,5
5-6 6,0 ± 0,9 3,8
6-7 6,1 ± 0,9 3,9
7-8 6,2 ± 0,9 3,7
8-9 6,3 ± 0,9 3,8
9-10 6,3 ± 1,0 3,8
10-11 6,4± 1,0 3,7
Dewasa 13,3±1,6 9,3

5. Pemeriksaan Penunjang
- Bone age
- Hormonal (LH,FSH,testosteron) bila dicurigai adanya pan-hipopituarima
- Analisa kromosom dilakukan atas indikasi,misalnya pada kaus
mikropenis

6. Terapi
Testosteron dilakukan oleh ahli endokrin anak
Terapi dari penyakit primer,bila merupakan bagian dari kelainan
sistemik,penyakit atau sindrom tertentu.

Daftar Pustaka
1. Feuilian P, Merke D, Leschek EW, Cutler GB Jr. Use of aromatase inhibitors
in precocious puberty. Endocrine-Related Cancer 1999;6:303-306.
2. Himes JH:Examining the evidence for recent secular changes in the timing of
puberty in US Children in light Of increases in the prevalence of obesity. Mol
Cell Endocrinol 2006;254-255:13-21 Brook CGD, ed. Handbook of Clinical
Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden, Mass.: Blackwell; 2008.
3. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007
4. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
5. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.

47
6. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
7. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.

48
Disorders of Sex Development (DSD)
Kode ICD 10 : E.25

1. Definisi
Disorders of Sex Development (DSD) merupakan kondisi medis dengan
ketidakselarasan kromosom, perkembangan gonad, dan anatomi jenis
kelamin, sehingga perkembangan sistem reproduksi menyimpang
atauatipikal.
Merupakan suatu kondisi kegawatan sosial
Etiologi : 46,XX DSD. 46,XY DSD. DSD kromosom seks, DSD ovotestikuler,
46,XX DSD testikuler

2. Anamnesis
Riwayat pranatal: a. Ibu mengkonsumsi seks steroid, b. Diagnosis antenatal:
androgen producing tumor,c. Virilisasi ibu
Riwayat keluarga:a. Riwayat kematian perinatal yang tidak diketahui
penyebabnya, abortus b. Riwayat genitalia ambigus, c. Gangguan
perkembangan pubertas, d. Infertilitas, e. Kosanguitas
Riwayat penyakit:a. Mulai timbulnya, b. Progresivitasc. Riwayat pertumbuhan
(adakah gagal tumbuh) dan pubertasd. Riwayat penyakit dahulu (muntah-
muntah saat perinatal) atau operasi yang pernah dijalani

3. Pemeriksaan Fisik
Genitalia ambigu pada neonatus
Testis tak teraba
Penonjolan di daearah inguinal pada bayi perempuan
Hipospadia berat
Klitoromegali

a. Catat derajat genitalia ambigus dengan skala Prader 0-5


• Prader 0: genitalia perempuan normal
• Prader 1: phallus membesar
• Prader 2: phallus membesar dengan lubang uretra dan vagina
terpisah secara nyata
• Prader 3: phallus membesar dengan satu lubang sinus urogenitalis
• Prader 4: phallus membesar dengan hipospadia
• Prader 5: Genitalia laki-laki normal

Gambar 1. Skala Prader untuk menentukan derajat genitalia ambigus

49
b. Periksa sinus urogenitalis, lubang vagina dengan teliti, hymen,
warnanya
c. Ada/tidaknya gonad, letaknya, volumenya, konsistensinya
d. Periksa lubang uretra, letaknya
e. Adakah dismorfik wajah atau gangguan perkembangan,
hiperpigmentasi
f. Tekanan darah

Keadaan-keadaan berikut ini dapat mengarahkan pada kondisi DSD:


a. Ambigus genitalia yang khas (misalnya ekstrofi kloaka)
b. Terlihat seperti genitalia perempuan dengan pembesaran klitoris, fusi
labia posterior, atau terdapat massa di inguinal/labia yang berisi
gonad. Hernia inguinalis sangat jarang pada perempuan, sehingga
pikirkan selalu adanya gonad, bila ditemukan hernia inguinalis pada
anak perempuan
c. Terlihat seperti genitalia laki-laki dengan undescended testes (UDT)
bilateral, mikropenis, hipospadia perineal, atau hipospadia ringan
dengan UDT atau skrotum yang terbelah
d. Riwayat keluarga dengan DSD
e. Riwayat pemeriksaan kromosom seks pranatal, yang tidak sesuai
dengan klinis genitalia saat lahir

4. Kriteria Diagnosis

50
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan lini pertama yang perlu dilakukan adalah analisis kromosom
dengan kariotipe, dan fluorescence in-situ hybridisation (FISH) dengan probe
DNA khusus kromosom X dan Y dengan atau tanpa pemeriksaan gen SRY.
Selain itu pemeriksaan pecitraan untuk visualisai genitalia interna, dapat berupa
genitogram dan/ atau ultrasonografi (USG), serta CT scan/ MRI bila diperlukan.
Bila ditemukan gangguan pubertas pemeriksaan aksis hipotalamus-hipofisis-
gonad, yaitu LH, FSH, testosteron atau estradiol perlu ditambahkan dalam
pemeriksaan awal ini. Pemeriksaan selanjutnya seperti yang tercantum berikut
ini dilakukan sesuai hasil pemeriksaan lini pertama. Algoritme diagnosis
(Gambar 2) dapat dipakai sebagai panduan.
Jenis-jenis pemeriksaan penunjang pada kasus DSD dapat meliputi:
1. Analisis kromosom: dengan kariotip atau FISH kromosom seks. Analisis
kromosom merupakan pemeriksaan awal yang diharapkan dilakukan
pada setiap kasus DSD
2. Gen SRY
3. Elektrolit serum, urin lengkap
4. 17 hidroksi progesteron (17-OHP)
5. Aktivitas renin plasma
6. Dihidroepiandrosteron (DHEA), androstenedion
7. Uji HCG
8. Rasio testosteron dan dihidrotestosteron (T/DHT)
9. Ultrasonografi pelvis
10. Genitogram
11. CT scan dan MRI pelvis

6. Terapi
Tujuan tatalaksana kasus DSD adalah:
- Menjamin semaksimal mungkin fertilitas/reproduksi 

- Menjamin semaksimal mungkin fungsi seksual 

- Menjamin kesesuaian hasil akhir fenotip dan psikososial dengan jenis
kelamin yang ditentukan 

Tatalaksana DSD meliputi:
a. Penentuan jenis kelamin, hanya dapat dilakukan setelah pemeriksaan
lengkap oleh tim ahli yang terdiri dari:
- Endokrin anak
- Genetik
- Obstetri ginekologi
- Psikiatri
- Psikolog
- Patologi
- Bedah Urologi/Plastik/Anak
- Radiologi, dan lain-lain
Komunikasi terbuka dengan pasien dan keluarganya sangat dianjurkan
dan diharapkan mereka diikutsertakan dalam penentuan keputusan.
Perubahan jenis kelamin dilakukan oleh pengadilan atas rekomendasi
tim medis.

51
b. Medis : Tatalaksana medis sesuai dengan diagnosis penyebab setelah
konsultasi dengan Divisi Endokrinologi Anak: a. Terapi sulih hormon.
Perempuan dengan menggunakan estrogen, etinil estradiol ii. Laki-laki
dengan menggunakan testosteron b. Hiperplasia adrenal kongenital:i.
Hidrokortison 15-20 mg/m2/ hari dalam dosis bagi 2-3 kali/hari; ii.
Fludrokortison: 25-50 μg/hari
c. Bedah : Tujuan tatalaksana bedah adalah antara lain untuk diagnosis
(laparaskopi/laparatomi eksplorasi untuk melihat struktur genitalia
interna), juga untuk koreksi atau pengangkatan testis. Tindakan bedah
sebaiknya dilakukan oleh tenaga ahli yang khusus telah dilatih dalam
menghadapi kasus khusus seperti DSD. Tindakan bedah koreksi hanya
dilakukan pada virilisasi berat (Prader III-IV), sekaligus dengan koreksi
sinus urogenitalis. Tindakan tersebut diharapkan memperhatikan fungsi
ereksi, dan inervasi klitoris, dan tidak hanya memperhatikan gambaran
kosmetik saja. Pada pasien HAK perempuan tindakan ini biasanya dapat
dilakukan saat terapi hormonal pengganti dimulai. Vagina yang letaknya
rendah dapat dikoreksi dengan tindakan bedah lebih dini, tapi dapat pula
ditunda sampai usia 1 tahun atau bahkan lebih.
Waktu dan indikasi pembedahan pada kasus DSD ditentukan oleh tim
ahli multidisipliner, karena sangat tergantung pada tiap kasus yang
dihadapi. Pada anak lelaki, testis yang tidak turun dan diputuskan untuk
dipertahankan, sebaiknya diturunkan ke skrotum saat biopsi gonad awal.
Koreksi korda dan uretroplasti pada anak lelaki dengan hipospadia
biasanya dilakukan di usia antara 6-18 bulan. Pengangkatan testis
dianjurkan untuk dilakukan segera setelah lahir pada bayi dengan SIA
parsial atau disgenesis testis, yang ukuran phallusnya sangat kecil,
sehingga diputuskan untuk dibesarkan sebagai perempuan.
Rekomendasi waktu pengangkatan testis ini berbeda sesuai kasusnya.
d. Psikososial
Tatalaksana psikososial merupakan bagian integral dari tatalaksana
DSD.

Daftar Pustaka
1. Low Y, Hutson JM, Murdoch children research institute sex study group.
Rules for clinical diagnosis in babies with ambiguous genitalia. J Pediatr Child
Health. 2003;39:406-13. 

2. Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA. Consensus statement on
management of intersex disorders. Pediatrics, 2006;118:e488-e500. 

3. American Academy of Pediatris: Committee on Genetics, Section on
Endocrinology and Section on Urology. Evaluation of the newborn with
developmental anomalies of external genitalia. Pediatrics. 2000;106:138-42.
4. Hyun G, Kolon TF. A practical approach to intersex in the newborn period.
Urol Clin N Am. 2004;435- 43.
5. Houk CP, Hughes IA, Ahmed SF, Lee PA dan Writing Committee for the
International Consensus Conference Participants. Summary of consensus
statement on intersex disorders and their management. Pediatrics.
2006;118:753-7.

52
6. Marzuki NS,Tridjaja B. Disorders of Sexual Development (Gangguan
Perkembangan Sistem Reproduksi). Dalam: Lubis B, Ali M, Yanni GN,
Trisnawati Y, Ramayani OR, Irsa L, dkk, penyunting. Kumpulan Naskah
Lengkap PIT IV IKA Medan 2010. Medan: USU Press, 2010.h.552-69.

53
Kriptorkismus
Undesensus testis/UDT
Aditiawati

1. Definisi
Kriptorkismus adalah malposisi testis, atau tidak terabanya testis di dalam
skrotum, dapat unilateral atau bilateral.

2. Anamnesis
a. Orangtua mengeluh buah zakar anak tidak teraba atau kantung zakar
terlihat rata. 

b. Riwayat kelahiran kurang bulan. 


3. Pemeriksaan Fisik
a. Posisi terbaik adalah posisi frog-leg. Tangan pemeriksa harus hangat.
Pemeriksaan genitalia eksterna harus dilakukan secara seksama
termasuk tanda-tanda kelainan kongenital lainnya (bentuk dan ukuran
penis, hipospadia, torsio testis). Adanya UDT bilateral dan hipospadia
sering berkaitan dengan DSD.

Gambar 2. Frog leg position

b. Ukuran dan lokasi testis harus dipastikan setelah manipulasi, antara lain
milking (harus dengan hati-hati).

Gambar 3. Orchidometer

c. Bedakan dengan testis rektraktil dengan teknik:


 Cross leg (tailor) positiongambar
 Squatting positiongambar

54
 Kompres hangat pada daerah inguinal.Dengan suasana lebih hangat
retraktil akan teraba -definisi retraktile
d. Cari tanda-tanda sindrom-sindrom yang berhubungan dengan
kriptorkismus, seperti sindrom Kallman, sindrom Prader-Willi, Prune Belly
Sindrome, dan lain lain

4. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis

5. Diagnosis
UDT/Kriptorkismus

6. Diagnosis Banding
- Testis ektopik
- Testis retraktil
- Disorder of sex development

7. Pemeriksaan Penunjang
a. USG untuk menentukan lokasi (terutama bilateral), sedini mungkin, bila
tidak ditemukan dapat dilakukan CT scan.
b. Bila mungkin laparoskopi untuk uji diagnostik inisial.
c. Bila ditemukan kelainan genitalia eksterna seperti hipospadia atau
hiperpigmentasi skrotum, perlu dilakukan analisis kromosom.
d. Pada kriptorkismus bilateral lakukan pemeriksaan :
- Uji HCG (oleh endokrinologi anak)
- Analisis kromosom (bila perlu)
- LH, FSH, testosterone dan elektrolit lengkap (bila perlu)
- Kadar AMH bila perlu

8. Terapi
a. Sebelum usia 6 bulan: observasi sampai usia 6 bulan
b. Lakukan orchidopexy ( pilihan pertama)
- Usia 6 bln - 1 tahun
- Testis ektopik.
- UDT dengan hernia
- UDT pada usia pubertas
c. Berikan terapi hormonal (Keberhasilan bilateral lebih tinggi dibanding
unilateral) dan dengan pertimbangan khusus
1. HCG 2 kali per minggu selama 5 minggu dengan dosis

55
2. Pilihan terapi hormonal lain: GnRH agonis intranasal. Tiga kali sehari
@ 0,4 mg (2 semprot) selama 4 minggu atau
3. Gabungan GnRH agonis dan HCG.
- GnRH agonis seperti di atas disertai
- HCG 1500 Iµ/dosis 1 kali seminggu sebanyak 3 kali.
Pengobatan dinyatakan gagal apabila testis tidak berada di dasar
skrotum setelah terapi hormonal. Evaluasi pengobatan dilakukan
selama pengobatan, pada akhir pengobatan, serta 1, 3, 6, dan 12
bulan kemudian. Relaps setelah pengobatan cukup sering
sehingga pemantauan setelah pengobatan sangat penting dan jika
tetap tidak teraba dikonsulkan ke bagian Bedah Urologi atau Bedah
anak.
Indikasi rawat : torsio testis Konsul bedah CITO

9. Tindak lanjut
a. Pantau komplikasi.
b. Pada usia pubertas: ajarkan pasien untuk memeriksa testis sendiri tiap
bulan untuk deteksi dini keganasan.

10. Edukasi
Untuk mencegah komplikasi perlu diagnosis dan tatalaksana dini. Hal ini
dapat dicapai jika kesadaran akan kelainan ini ditingkatkan, khususnya bagi
dokter anak. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan rutin genitalia eksterna
yang cermat pada setiap bayi baru lahir .

11. Prognosis
- Bila testis tidak diturunkan, saat umur 1,5 tahun sel-sel testis sudah
mulai mengalami perubahan (secara histologi) dengan risiko
terjadinya infertilitas dan tumor testis meningkat.
- 2-3% penderita dengan riwayat kriptorkismus mengalami carsinoma in
situ.
- Tumor testis terjadi pada dekade ke-3 dan 4 kehidupan.
- InfertilitasPenurunan testis saat pubertas : 35% infertil.
- Penurunan testis setelah pubertas: 86,5% infertil untuk unilateral,
100% infertil untuk bilateral

Daftar Pustaka
1. Ferlin A, Siminato M, Bartolini L, Rizzo G, Betella A, Dottorini T, dellapicola B:
the INSL3-LGR8/GREAT ligand receptor pair in human cryptochidism. J Clin
Endocrinol Metab 2003;88: 4273-4279
2. Brook CGD, ed. Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden,
Mass.: Blackwell; 2008.
3. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007.
4. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
5. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.

56
6. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
7. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.
8. Whitesel JA: intrauterine and newborn tortion of spermatic cord. J urol
106:786,1991
9. Hudson JM, Hasthorpe S, Heyns CF: Anatomic and functional aspects of
testicular descent and cryptorchidism. Endocr Rev 1997;18:259-280

57
Perawakan Pendek
Aditiawati

1. Definisi
Perawakan pendek atau short stature merupakan panjang badan / tinggi
badan berada dibawah P3 atau < –2SD pada kurva

2. Anamnesis
a. Pola pertumbuhan anak (berat badan dan tinggi badan mulai bayi)
b. Riwayat kehamilan ibu
c. Riwayat kehamilan dan perkembangan fisis
d. Riwayat penyakit kronis, operasi dan obat-obatan
e. Riwayat penyakit dalam keluarga
f. Riwayat pubertas orang tua
g. Riwayat nutrisi
h. Aspek psikososial
Mid Parental Height (MPH):

TB anak laki-laki = (TB ibu + 13) + TB Ayah


2

TB anak perempuan = (TB ayah – 13 ) + TB Ibu


2

Potensi tinggi genetik = MPH ± 8,5 cm


(Potensi tinggi genetik adalah rentang nilai tinggi badan akhir seseorang
akibat dari kedua orang tua biologis).

3. Pemeriksaan Fisik
a. kepala tubuh yang tidak proporsional dapat terlihat pada beberapa
kelainan tulang, kelainan dismorfik seperti sindrom-sindrom tertentu.
b. Proporsi tubuh
- Rentang lengan (proposional : antara tinggi badan dan rentang tangan
+ 2,5cm)
c. Rasio upper segmen/ratio lower segmen (tergantung usia).Rasio segmen
atas terhadap segmen bawah tubuh semula sekitar 1,7 pada saat lahir
akan mendekati 1 pada usia 8-10 tahun.
d. Ada tidaknya stigmata dismorfik / sindrom
e. Ada tidaknya kelainan tulang
f. Ada tidaknya kelainan GIT, paru, jantung, urogenital, kulit dan organ lain
g. Ada tidaknya gejala kelainan neurologis
h. Status pubertas.
i. Pemeriksaan fisik lain.

Interpretasikan hasil pengukuran :

58
 Bila TB di antara –2SD dan –3SD: 80% varian normal.
 Bila TB < -3SD: 80% patologis.
 Penurunan kecepatan pertumbuhan antara umur 2-12 tahun (memotong
beberapa garis persentil)  dianggap patologis kecuali dibuktikan lain.

Ratio TB dan BB mungkin mempunyai nilai diagnostik dalam menentukan


etiologi. (Pada kelainan endokrin umumnya tidak mengganggu BB sehingga
anak terlihat gemuk. Kelainan sistemik umumnya lebih mengganggu BB
dibanding TB sehingga anak lebih terlihat kurus)

4. Kriteria Diagnosis

a. Perawakan pendek patologis :


- TB < P3 atau < –2SD
- Kecepatan tumbuh < P25( Untuk usia anak, kecepatan tunbuh < 2 cm
dalam 6 bulan atau < 4 cm dalam 1 tahun)
- Prakiraan tinggi dewasa dibawah target height(dapat diprediksi
dengan bone age)
- Umur tulang (bone age) terlambat.
b. Defisiensi hormon pertumbuhan harus terlebih dahulu ditetapkan :
- TB < P3 atau < –2 SD
- Kecepatan tumbuh < P25
- Usia tulang terlambat  2 tahun
- Kadar GH  10 ng/ml pada uji provokasi / stimulasi hormon
pertumbuhan (oleh bagian endokrinologi anak)
- Tidak ada dismorfik, kelainan tulang maupun sindrom tertentu.

5. Diagnosis Banding
a. Varian normal
b. Perawakan pendek primer
c. Perawakan pendek sekunder
d. Perawakan pendek idiopatik

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Lakukan pemeriksaan penunjang:
- Laboratorium rutin ( Darah, urin, feses ) untuk mencari kelainan
sistemik
- Pemeriksaan umur tulang (bone age)
b. Pemeriksaan lanjutan (atas indikasi):
- Fungsi tiroid (T3, fT4)
- Analisis kromosom (pada wanita): untuk diagnosis sindrom Turner
- Uji stimulasi / provokasi hormon pertumbuhan, oleh endokrin anak
(pemeriksaan hormon pertumbuhan secara acak tidak ada
manfaatnya sama sekali dan tidak bisa diinterpretasi hasilnya).

59
7. Terapi
a. Perawakan pendek variasi normal tidak memerlukan pengobatan
b. Perawakan pendek kelainan patologis terapi sesuai dengan etiologinya:
- Nutrisi
- Penyakit organik
- Hormonal
- Mekanikal/pembedahan
c. Terapi hormon pertumbuhan (dilakukan atas advis dan pengawasan
dokter di sub endokrinologi anak):
Indikasi :
- Defisiensi hormon pertumbuhan
- Sindrom Turner, sindrom Noonan
- Anak dengan IUGR, gagal ginjal kronik
- Sindrom Prader Willi, sindrom Leriweill.
d. Bedah
Pada kasus tertentu misalnya skeletal dysplasia diperlukan koreksi
mekanik/ pembedahan (bone lengthening), juga pada kasus tumor.
e. Suportif.
Psikososial
f. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya, dll.)
Sesuai dengan etiologi.

8. Tindak lanjut
Monitoring:
 Terapi: terhadap tinggi badan dan efek samping obat
 Tumbuh kembang

9. Edukasi
Monitoring terhadap:
- Terapi: pertambahan tinggi badan dan efek samping obat
- Tumbuh kembang
10. Prognosis
Makin cepat diketahui adanya penyimpangan pertumbuhan  makin cepat
terapi diberikan  hasil yang optimum bisa tercapai.
Setelah usia 6 tahun dapat diprediksi tinggi akhir melalui bone age.

Daftar Pustaka
1. Dunger DB,Ong KK: Endocrine and metabolic consequences of
intrauterine growth retardation. Endocrinol Metab Clin North Am
2005;34:597-615
2. Brook CGD, ed. Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed.
Malden, Mass.: Blackwell; 2008.
3. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007.
4. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition.
Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2016.
5. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York:
M. Dekker; 2003.

60
6. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
7. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology
and Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.
8. Lee MM: Clinical practice. Idiopathic short stature. N Engl J Med
2006;354:2576-2582.
9. Rosenfeld RG, Hwa V: Toward a molecular basis for idiopathic short
stature. J Clin Endocrinol Metab 2004;89:1066-1067.
Algoritme
Perawakan Pendek

Anamnesis / Pemeriksaan
Fisik

Dismorfik Tampak Sehat / Tampak Sakit


Dismorfik
Penyakit
Kromosom
Hambatan Pertumbuhan Penyakit
Intrauterine/IUGR Sistemik
Disproporsi Tubuh Periksa umur tulang (UT).
Bandingkan dengan Umur
Kronologis (UK)
Penyakit Tulang

UT > UK UT < UK UT = UK

Idioptik, Periksa faal Familial genetik


periksa faal tiroid
tyroid,
pubertas dini

T4 ↓/N, TSH ↑ Normal T4 ↓, TSH ↓

Hipotiroidisme Primer ITT (Tes GH) Hipopituitarism


?

Rendah < 10 Normal


ng/ml
Coba beri GH
Defisiensi GH
Respon (+) Respon (-)

GH Bio-inactive Laron
GH Bio-inactive Dwarfism
(Idiopatik)
61
SINEKIA VAGINA
Aditiawati

1. Definisi
Sinekia vagina adalah perlekatan labia minora akibat iritasi dan inflamasi.
Nama lain: aglutinasi labia minora, adhesi labia minora

2. Anamnesis
a. Tidak tampak lubang vagina, lubang vagina tertutup
b. Terdapat faktor predisposisi (Higiene daerah sekitar vulvovagina jelek)

3. Pemeriksaan Fisik
Tampak perlekatan labia minora sebagian atau menyeluruh

4. Kriteria Diagnosis
Gejala klinis: tampak labia minora tertutup dengan adanya rafe garis tengah
translusen yang nyata pada adhesi.

5. Diagnosis Banding
Atresia Vagina

6. Terapi
Lakukan tindakan pemisahan secara traumatik dengan alat tumpul, atau
Berikan krim estrogen, dioleskan pada malam hari selama 2 minggu dan
dilanjutkan selang sehari selama 2 minggu, atau
Laser vaporasi dengan anestesi lokal ( bila perlu)

7. Edukasi
a. Bersihkan genitalia eksterna setiap BAK/BAB
b. Gunakan celana dalam longgar dari bahan katun dan diganti bila basah
c. Hindari sabun yang bersifat basa
d. Pengawasan yang cermat dari ibu terhadap higiene anaknya.

Daftar Pustaka
1. Papagiani M, Stanhope R. Labial adhesions in a girl with isolated
premature telarch: the important of organization. J pediatric adolesense
Gynecol 2003; 16(1):31,2
2. Leung AK, Robson TL. The incidence of labial fusion in children. J
pediatric Child Health 1993; 29.(3): 235-236
3. Brook CGD, ed. Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed.
Malden, Mass.: Blackwell; 2008.
4. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007
5. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition.
Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2016.
6. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York:
M. Dekker; 2003.

62
7. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
8. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology
and Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.

63
OBESITAS PADA ANAK DAN REMAJA
ADITIAWATI

1. Definisi
Obesitas atau kegemukan adalah keadaan yang terjadi apabila kuantitas
jaringan lemak tubuh dibandingkan berat badan total lebih besar dari pada
normal atau terjadinya peningkatan energi yang ditimbun sebagai lemak
tubuh akibat ambilan makanan yang berlebihan.

2. Anamnesis
- Riwayat pertumbuhan/pertambahan berat badan: perawakan pendek atau
defek pertumbuhan linear pada anak dengan obesitas harus dicurigai
kemungkinan defisiensi growth hormone, hipotiroidisme, kelebihan
kortisol, pseudohipoparatiroidisme, atau sindrom genetik, misalnya
sindrom Prader-Willi
- Riwayat kerusakan pada SSP (misalnya infeksi, trauma, perdarahan,
radiasi, kejang) mengarah pada obesitas hipotalamikus dengan atau
tanpa defisiensi growth hormone atau hipotiroidisme hipotalamus.
Riwayat sakit kepala pagi hari, muntah, gangguan penglihatan dan miksi
berlebih juga merupakan petunjuk bahwa obesitas disebabkan oleh tumor
atau massa di hipotalamus
- Kulit kering, konstipasi, intoleransi terhadap cuaca dingin atau cepat lelah
mengarah pada hipotiroidisme
- Kapan mulai tampak gemuk: pranatal, early adiposity rebound, remaja
- Riwayat masukan makanan dan obat-obatan misalnya kortikosteroid
- Riwayat obesitas dalam keluarga
- Pola makan dan aktivitas harian
- Riwayat penyakit keluarga yang berkaitan dengan risiko obesitas
misalnya penyakit kardiovaskular dini (misalnya stroke atau serangan
jantung sebelum usia 55 tahun), peningkatan kadar kolesterol, hipertensi,
diabetes tipe II

3. Pemeriksaan fisik
 Pengukuran BB, TB, BB/TB, body mass index (BMI) dan tekanan darah
 Kulit kering, intoleransi terhadap dingin, konstipasi, cepat lelah
 Muka tembem, dagu rangkap, leher pendek,Tonsil / adenoid
 Akumulasi lemak di leher dan badan, tetapi tidak pada ekstremitas
 Pseudoacanthosis nigricans (hiperpigmentasi di kulit leher, lipatan ketiak,
di bawah payudara, daerah pinggang)
 Rambut wajah yang berlebihan, jerawat, menstruasi iregular pada remaja
perempuan
 Perkembangan seksual yang tidak sesuai untuk usianya (pubertas
praecox)
 Ginekomastia pada anak lelaki
 Perut membuncit dan pendular, striae ungu
 Ektremitas: kaki berbentuk X atau O, jari meruncing
 Genitalia: burried penis

64
4. Kriteria Diagnosis
Diagnosis obesitas ditegakkan bila indeks massa tubuh (BMI) terletak sama dengan
atau di atas persentil 95 kurva BMI menurut usia dan jenis kelamin CDC 2000,
sedangkan bila BMI terletak sama dengan atau di atas persentil 85 sampai persentil
95 kurva BMI menurut usia dan jenis kelamin CDC 2000 dikatakan mengalami
overweight.

5. Diagnosis
Obesitas primer
Obesitas Skunder

6. Diagnosis Banding
1. Hipotiroidisme
2. Cushing Syndrome
3. Pseudohipoparatiroidisme

7. Pemeriksaan Penunjang
Jika memungkinkan dilakukan secara rutin pada semua pasien obesitas
 Darah perifer lengkap
 Profil lipid: trigliserida, kolesterol total, HDL dan LDL
 Tes toleransi glukosa oral, insulin puasa
 Fungsi hati: SGPT, SGOT
 Fungsi ginjal: ureum, creatinin, asam urat

Dilakukan sesuai indikasi:


 Fungsi tiroid
 Sekresi dan fungsi growth hormone
 Kalsium, fosfat dan kadar hormon paratiroid bila dicurigai
pseudohipoparatiroidisme
 Foto orofaring AP dan Lateral bila dicurigai hipertrofi tonsiloadenoid
 Sleep studies untuk mendeteksi sleep apnea
 USG hati jika dicurigai NASH
 Echocardiography jika terindikasi secara klinis
 Pemindaian MRI otak dengan fokus hipotalamus dan hipofisis, bila
terindikasi secara klinis
 Pemeriksaan analisis kromosom jika terdapat dismorfisme
 Pemeriksaan analisis genetik jika diduga berkaitan dengan sindrom
tertentu

8. Tata laksana
Sasaran utama tata laksana obesitas pada anak adalah pengaturan berat
badan dan penimbunan lemak dengan pemberian nutrisi yang tetap adekuat
untuk tumbuh kembang anak. Sebaiknya tata laksana ini memberikan pola
perubahan yang menetap dalam jangka panjang sehingga dengan demikian
perlu disertai modifikasi pola makan dan perilaku aktivitas fisis sehari-hari.
Tata laksananya antara lain:

65
 Pengaturan diet, petunjuk praktis diet pediatrik dapat dilihat pada Tabel 1.
 Pengaturan aktivitas
 Modifikasi perilaku: membina cara makan dan cara beraktifitas yang sehat
 Melibatkan keluarga

9. Tindak Lanjut

Secara umum adalah dengan memberikan pengertian, memperbaiki pola


asuhan makan, meningkatkan kegiatan aktivitas fisis, mengenalkan
pendidikan gizi sedini mungkin disekolah, membatasi promosi makanan tidak
sehat, melakukan inovasi produk makanan, dan deteksi dini obesitas pada
anak.
 Memperbaiki pola makan agar sejak masa bayi anak tidak dirangsang
nutrien–nutrien yang meningkatkan kadar insulin (insulinogenik) dan
memudahkan terjadinya resistensi insulin seperti gula-gula sederhana dan
lemak bebas.
 Meningkatkan aktivitas fisis agar terjadi keseimbangan insulin dengan
counter regulatory hormon dan peningkatan oksidasi lemak yang
ditimbun.
 Membuat produk makanan yang kurang efek insulonogeniknya tetapi
cukup mengandung kalori, tidak tinggi lemak dan mempunyai rasa yang
disukai anak.

Daftar pustaka
1. Brook CGD, ed. Handbook of Clinical Pediatric Endocrinology. 1. ed. Malden,
Mass.: Blackwell; 2008.
2. Hochberg Z ’ev. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Basel:
Karger; 2007.
3. Jameson JL, ed. Endocrinology: Adult & Pediatric. 7th edition. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2016.
4. Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. 4th ed., and expanded. New York: M.
Dekker; 2003.
5. Sperling M, ed. Pediatric Endocrinology. Fourth edition. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders; 2014.
6. Wass JAH, Owen K, Turner HE, eds. Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Third edition. Oxford: Oxford University Press; 2014.
7. Donohoue PA. Obesity. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders; 2004. h.173-6.
8. Freemark M. Obesity. [Diakses pada 2006 April 8]. Diunduh dari:
www.emedicine.com/ped.
9. Roberts SB, Hoffman DJ. Energy and Substrate Regulation in Obesity.
Dalam: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, penyunting. Nutrition in
Pediatrics, Basic Science and Clinical Applications. Edisi ke-3. Hamilton:BC
Decker; 2003. h. 414-28.

66

Anda mungkin juga menyukai