GERD
GERD
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) merupakan gangguan berulang
berupa regurgitasi isi lambung yang menyebabkan heartburn dan gejala lain.
Secara signifikan gerd berhubungan erat dengan stress psikososial dan
berhubungan dengan derajat stressnya (Eun et al.,2013). Faktor psikososial yang
merugikan, termasuk stres yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti
gastroesophageal reflux disease (GERD) dapat meningkatkan masalah
kesehatan di negara-negara industri. Penelitian berbasis populasi
mengungkapkan adanya hubungan antara faktor psikososial stres, termasuk
ketegangan kerja dengan gejala GERD (Jansson et al., 2010).
Prevalensi kejadian GERD di seluruh dunia pada orang dewasa rata-rata
11% sampai 38,8% dan berbeda di setiap negara. Angka kejadian GERD
mengalami peningkatan di Asia; di Malaysia prevalensi GERD 2,7% (1991-
1992) menjadi 38,8% (2004), di Singapura prevalensi GERD mencapai 10,5 %,
sedangkan di Indonesia pendataan prevalensi GERD belum dilakukan. (Ridha et
al.,2016)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syam dkk, telah dilaporkan
bahwa prevalensi GERD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo telah meningkat
dari 5,7% pada tahun 1997 menjadi 25,18% pada tahun 2002. Selain itu, survei
online terbaru yang dilakukan oleh Syam et al. antara Agustus 2013 dan Juni
2015 melaporkan bahwa dari 2045 subyek yang berpartisipasi survei di
Indonesia, ada 57,6% subyek dengan GERD.
B. Tujuan Praktikum
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan mampu :
1. Menjelaskan tentang Patofisiologi dan Patologi klinik penyakit (Etiologi,
manifestasi klinis, interpretasi data laboratorium, dan patogenesisnya)
2. Menjelaskan farmakologi obat-obat yang digunakan
3. Memilih pengobatan sesuai algoritma pengobatan
4. Menjelaskan Drug Related Problems (DRP) atau masalah-masalah yang terkait
penggunaan obat
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Penyakit
Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) terjadi ketika isi perut yang
direfluks menyebabkan gejala dan atau komplikasi yang menyusahkan. Mulas
episodic yang tidak sering atau cukup menyakitkan untuk mengganggu tidak
termasuk dalam definisi. (Dipiro, 2015:206)
Gerd mengacu pada gejala atau kerusakan mukosa yang dihasilkan dan
pergerakan retrograd yang abnormal pada isi lambung dari lambung ke
esophagus. Ketika kerongkongan berulang kali terkena materi yang direfluks
untuk periode yang lama, radang esophagus (refluks esofagitis) dapat terjadi dan
dalam beberapa kasus berkembang menjadi erosi epitel skuamosa (esofagitis
erosif). Gejala refluks yang berat terkait dengan temuan endoskopi normal
dirujuk kesebagai “GERD Simtomatik” penyakit refluks nonerosif, atau
penyakit refluks endoskopi negatif. (Dipiro, 2009:263)
Gastroesophageal reflux disease (GERD) mengacu pada gejala atau
kerusakan mukosa yang dihasilkan dari refleks lambung isi abnormal ke
esofagus. GERD dapat dibagi menjadi tiga kategori berbeda: (1) esofagitis
erosif, (2) penyakit refluks non-erosif, dan (3) esofagus Barrett. Esofagitis erosif
terjadi ketika esofagus berulang kali terkena materi yang direfluks untuk periode
yang lama. Peradangan yang terjadi berkembang menjadi erosi epitel skuamosa.
Penyakit refluks non-erosif, juga disebut sebagai GERD simptomatik atau
penyakit refluks endoskopi-negatif, berhubungan dengan gejala refluks berat
dengan temuan endoskopi normal. Esofagus Barrett adalah komplikasi GERD
yang ditandai dengan penggantian lapisan epitel normal skuamosa
kerongkongan oleh epitel khusus berbentuk kolom. Esofagus Barrett lebih
mungkin terjadi pada pasien dengan riwayat panjang (tahun) refluks
simptomatik dan mungkin merupakan faktor risiko untuk mengembangkan
adenokarsinoma esofagus. (Dipiro, 2008:257)
2
B. Epidemiologi dan Etiologi
GERD lazim pada pasien dari segala usia. Meskipun kematian yang terkait
dengan GERD jarang terjadi, gejala secara signifikan dapat menurunkan kualitas
hidup. Prevalensi dan kejadian GERD yang sebenarnya tidak diketahui karena :
1. Banyak pasien tidak mencari perawatan medis,
2. Gejala tidak selalu berkorelasi baik dengan tingkat keparahan penyakit, dan
3. Tidak ada standar emas untuk mendiagnosis penyakit.
Prevalensi esofagitis erosif meningkat pada orang dewasa yang lebih tua
dari 40 tahun. Namun, penyakit refluks nonerosif dapat mulai sekitar satu dekade
lebih cepat. Tampaknya tidak ada perbedaan besar dalam insiden antara pria dan
wanita kecuali hubungannya dengan kehamilan dan mungkin penyakit refluks
nonerosif yang terlihat pada wanita. Meskipun gender memainkan peran utama
dalam pengembangan GERD, ini merupakan faktor penting dalam
perkembangan esofagus barret, yang lebih sering terjadi pada laki-laki. (Dipiro,
2008:258)
C. Patofisiologi
1. Faktor kuncinya refluks adalah refluks abnormal isi lambung dari lambung
ke esofagus. Dalam beberapa kasus, refluks berhubungan dengan tekanan
atau fungsi Lower Esophageal Sphinter (LES) yang rusak. Pasien mungkin
mengalami penurunan tekanan LES dari relaksasi LES sementara spontan,
peningkatan sementara tekanan intraabdominal, atau LES etonik.
Beberapa makanan dan obat menurunkan tekanan LES.
2. Masalah dengan mekanisme pertahanan mukosa normal lainnya dapat
berkontribusi pada perkembangan GERD, termasuk anatomi esofagus
abnormal, pembersihan esofagus cairan lambung yang tidak tepat,
mengurangi resistensi mukosa terhadap asam, pengosongan lambung yang
terlambat atau tidak efektif, produksi faktor pertumbuhan epidermal yang
tidak memadai, dan mengurangi buffer saliva dari asam.
3. Esofagitis terjadi ketika esophagus berulang kali terkena isi lambung yang
direfluks untuk periode yang lama. Ini dapat berkembang menjadi erosi
epitel skuamasa esofagus (esofagitis erosif).
3
4. Zat yang meningkatkan kerusakan esofagus setelah refluks ke esofagus
termasuk asam lambung, pepsin, asam empedu dan enzim pankreas.
Komposisi dan volume refluks dan durasi paparan merupakan penentu
utama dari konsekuensi GERD.
5. Komplikasi dari paparan asam jangka panjang termasuk esofagitis,
struktur esofagus, barret esfagus dan adenokarsinama esofagus. (Dipiro,
2015:206)
D. Tanda dan Gejala
Gejala Tipikal (Typical Symptoms)
- Mulas adalah gejala khas GERD dan umumnya digambarkan sebagai
sensasi kehangatan atau terbakar yang naik dari perut yang mungkin
menyebar ke leher. Mungkin waxing dan memudar dalam karakter.
- Regurgitasi juga sangat umum.
- Gejala mungkin lebih buruk setelah makan berlemak, ketika
membungkuk, atau ketika berbaring dalam posisi telentang.
- Gejala lain termasuk air kurang ajar (hipersalivasi) dan bersendawa.
Gejala Atipikal (Atypical Symptoms)
- Gejala atipikal termasuk asma non-alergi, batuk kronis, suara serak,
faringitis, nyeri dada, dan erosi gigi.
- Dalam beberapa kasus, gejala ekstra-esofagus ini mungkin satu-
satunya yang ada, membuatnya lebih sulit untuk mengenali GERD
sebagai penyebabnya, terutama ketika studi endoskopi normal.
- Penting untuk membedakan gejala GERD dari penyakit lain, terutama
ketika nyeri dada atau gejala paru hadir.
Gejala yang rumit (Complicated Symptoms)
- Ini termasuk nyeri terus-menerus, disfagia (menelan yang sulit),
odynophagia (nyeri menelan), pendarahan, penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan, dan tersedak.
- Gejala-gejala ini dapat mengindikasikan komplikasi GERD seperti
esofagus Barrett, penyempitan esofagus, atau kanker esofagus.
(Dipiro, 2008:259)
4
E. Diagnosis
1. Riwayat klinik cukup untuk mendiagnosis GERD pada pasien dengan gejala
khas.
2. Lakukan tes diagnostik pada pasien yang tidak menanggapi terapi atau yang
dating dengan gejala alarm. Endoskopi lebih disukai untuk menilai cedera
mukosa dan mengidentifikasi esofagus barret dan komplikasi lainnya.
3. Pemantauan pH ambulatori, manometri esofagus, pemantauan pH
impedansi gabungan, topografi tekanan esofagus resolusi tinggi (HREDT)
dan uji coba empiris dan inhibitor pompa proton mungkin berguna dalam
beberapa situasi. (Dipiro, 2015:206)
F. Pemeriksaan Penunjang
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD,
yaitu:
1. Endoskopi saluran cerna bagian atas: dengan ditemukannya mucosa/ break,
jika tidak ditemukan mucosal break pada pasien dengan gejala khas GERD,
maka keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD)
2. Esofagografi dengan Barium: pemeriksaan ini kurang peka terhadap
esofagitis ringan dibanding endoskopi. Pada keadaan lebih berat, gambar
radiologi dapat berupa penebalan dinding & lipatan mukosa, ulkus/
penyempitan lumen.
3. Pemantauan pH 24 jam : pengukuran pH pada esofagus bagian distal dapat
memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak
5 cm diatas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal
4. Tes Bernstein: tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang
selang transnasal & melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl
0,1 M dalam waktu ≤ 1 jam. Bila larutan ini menimbulkan nyeri dada,
sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri, maka dianggap (+)
5. Monometri esofagus
6. Sintigrafi gastroesofageal
7. Ppi test/ (tes supresi asam) acid supression test
5
G. Alogaritma
6
BAB III
METODOLOGI PRAKTKUM
7
PERTANYAAN
1. Apa tujuan terapi pada pasien
2. Apakah pasien memerlukan terapi pemeliharaan? Jika iya, sebutkan (obat,
dosis, serta durasi)
3. Bagaimana rencana monitoring terapi pada pasien ?
4. Sebutkan tatalaksana non farmakologi pada pasien tersebut
5. Perbedaan GERD dan ulkus pektik
6. Apakah alarm symptom yang mengindkasikan adanya komplikasi gerd ?
8
BAB IV
PEMBAHASAN
Ibu KR (48 TAHUN) datang kerumah sakit dengan keluhan nyeri ulu hati
yang di sertai rasa terbakar hingga ke leher dan punggung, nyeri tersebut dirasakan
sejak 2 bulan yang lalu dan semakin memburuk sejak 14 hari terakhir, terutama saat
malam hari saat pasien berbaring. Sedikitnya pasien merasakan gejala tersebut 4
kali seminggu, gejala ini membuat pasien sulit tidur sehingga pada siang hari pasien
merasa lelah, pasien sudah mencoba mengkonsumsi antasida 3x sehari sebelum
makan selama 2 minggu terakhir, namun gejala hanya membaik sementara, berikut
adalah data pasien :
1. keluhan
9
rasa pahit di mulut dan terkadang pasien merasa sesak nafas
2. Riwayat Penyakit
Objektif
Sedangkan data objektif merupakan data yang bersumber dari hasil pemeriksaan
klinis pasien. Didapatkan hasil data objektif pada pasien kasus diatas yaitu:
Assesment
Merupakan evaluasi atau pengkajian terhadap problem medik pada terapi obat.
Pada problem medik terapi obat biasa juga disebut dengan istilah DRP (Drug
Related Problem) yang merupakan keadaan tidak diinginkan pasien terkait dengan
terapi obat serta hal-hal yang mengganggu keberhasilan penyembuhan yang
diharapkan. Pada kasus ini didapatkan terapi obat yang tidak sesuai yaitu:
Planning
Dari pengkajian problem medik terapi obat diatas, farmasis dapat memberikan
rencana pelayanan kefarmasian yaitu:
1. Pengunaan antasida di jeda dengan penggunaan ppi
2. Pada penderita Gerd moderat terapi yang sesuai adalah dengan pemberian
PPI
3. Penggunaan ranitidin di rasa kurang tepat seharusnya diberikan golongan
PPI selama 4 minggu 1 x sehari dengan kerja yang lebih baik dan lebih cepat
10
4. Penggunaan Metoklopramid sebaiknya tidak perlu karna memiliki efek
samping yang lebih besar di banding dengan efek terapi yang di harapkan
5. Menurunkan berat badan
11
Hindari alkohol.
Hindari pakaian ketat.
Untuk obat-obatan wajib yang mengiritasi mukosa esofagus, ambil
12
Dysphonia
Batuk berulang atau terus-menerus
Pendarahan saluran cerna
Sering mual dan muntah
Pengobtan Gerd dapat di tentukan oleh tingkat keparahan penyakit yang meliputi :
Perubahan gaya hidup dapat diterapi dengan antasida atau agonis reseptor
H2R dan PPI
Pengobatan farmalogis dan terapi supresi asam
Oprasi antirefluk
Terapi awal yang digunakan sebagai tergantung pada kondisi pasien, dapat
dilihat dari frekuensi gejala, derajat esofagus Cities dan tindakan komplikasi pada
tahap awal dimulai dengan pemberian pipi dan kemudian turun ke dosis yang lebih
rendah penekanan asam yang diperlukan untuk pengendalian gejala (Dipiro 2017)
Pada kasus grd ini pasien mengalami keluhan yang menunjukkan grd
moderat, gejala moderat adalah gejala yang sedang hingga besar yang terjadi pada
satu atau lebih dari per minggu, dengan cara mengurangi gejala dengan segera dan
dapat membantu mempertahankan PH gastristis lebih besar dari 4 secara umum
antasida memiliki durasi kerja sangat singkat yang mengharuskan pemberian
antasida yang sering pada kasus ini dokter meresepkan antasida tiga kali sehari
sedangkan pasien mengeluh sudah mengkonsumsi antasida 3 kali sehari selama 2
minggu gejala hanya membaik, maka dari itu pemberian antasida dikombinasi
dengan golongan pipi karena sesuai pemberian antasida dosis tunggal tidak
memberikan Efek sementara netralisasi asam lambung juga dapat menyebabkan
peningkatan les maka harus dikombinasi dengan penekanan asam
Ranitidin merupakan obat golongan antagonis reseptor H2 terapi penekan
asam lambung dengan antagonis reseptor H2 dan inhibitor pompa Proton terapi
andalan untuk mengatasi gejala gerd pada kasus ini pasien mengalami grd moderat
terapi ranitidin diganti dengan obat golongan PPI pakai dengan obat Omeprazole
20 mg penggunaan dosis Cukup dua kali sehari untuk dengan pasien grd sedang
sampai berat dimulai dengan pipi sebaiknya terapi yang dianjurkan karena lebih
13
efektif pemulihan gejala yang paling cepat terapi antagonis reseptor H2 tidak efektif
dalam menghilangkan gejala
Metoklopramid adalah obat golongan Promag Little agen biasa digunakan
untuk terapi penekan asam pasien dengan cara motilitas yang diketahui misalnya
ketidakmampuan les penurunan pemberian esofagus keterlambatan pengosongan
lambung dari banyak pertimbangan efek samping obat tersebut dan kurang
efektifnya penggunaan obat maka sebaiknya metoklopramid tidak digunakan dalam
terapi
Pada data pasien diutliskan BB pasien 70 kg dengan tinggi badan 150 cm
maka dinyatakan pasien mengalami obesitas menurut perhitungn IMT ( Indeks Mas
𝑏𝑏 𝑘𝑔
Tubuh ) 𝑇𝐵 (𝑀) 𝑋 𝑇𝐵 (𝑀) = 31,1
Hasil yang diperoleh dari perhitungan IMT adalah 31,1 pasien di nyatakan
mengalami obesitas, obesitas merupakan salah satu pemicu Gerd, di harapkan
pasien untuk menurunkan berat badannya (Dipiro 2017)
14
DAFTAR PUSTAKA
Eun Mi Song, Hye KJ, JI MJ. 2013. The Association Between Reflux Esophagitis
and Psychosocial Stress.NCBI.58(2):471-477
Ikatan Apoteker Indonesia. 2010. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia, Volume
46 – 2011 s/d 2012. Jakarta : PT ISFI
Ridha Andayani, Sunnati, Amatu Sholiha. 2016. Perbedaan Laju Aliran Saliva
Terstimulasi Antara Pengunyahan Parafin Wax Dengan Permen Karet
Xylitol Pada Pasien Terindikasi GERD. Dalam: ODONTO Dental Jurnal,
Semarang. Hlm. 105
Syam AF, Sobur CS, Abdullah M, Makmun D. GerdQ online survey: prevalence
and risk factors of GERD in the Indonesian population. Am J Gastroenterol.
2015;110:S709-10
15