Anda di halaman 1dari 51

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Decompensasi cordis adalah suatu sindrom kompleks yang terjadi akibat

gangguan jantung yang tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh, karena

adanya penurunan cardiac output (Mutaqqin, 2009). Ketika cardiac output atau

curah jantung turun maka tubuh secara fisiologis merespon dengan menskresikan

beberapa hormone guna meningkatkan curah jantung. Hormone yang

disekresikan oleh tubuh ini juga membawa dampak retensi cairan dan natrium

sehingga menimbulkan hypervolemia. Penumpukan cairan pada vaskuler atau

hypervolemia dapat menimbukan gejala – gejala seperti: seasak nafas, edema

ektemitas bawah, edema anasarca, distensi vena jugularis, oliguria, dan

peningkatan berat badan(Lemone, P; Burke, K; Bauldoff, 2016; SDKI, 2017;

Shigemi, 2018). Penumpukan cairan atau hypervolemia bila tidak segera

ditangani maka mengkibatkan timbulnya kegagalan organ vaskuler lain seperti

ginjal dan hepar (Yasmara, 2017).

Penyakit kardiovaskular tidak menular, tetapi penyakit ini penyebab kematian

nomor satu setiap tahunnya. World Health Organization (WHO) tahun 2016

melaporkan penyakit kardiovaskuler (CVD) mengambil nyawa 17,9 juta orang

setiap tahun, 31 % dari seluruh kematian global. Menurut Riset Kesehatan

Daerah Sekitar (RISKESDAS) Tahun 2018 prevalensi penyakit jantung pada

penduduk semua umur di provinsi jawa timur sebesar 1.6%, (Riskesdas, 2018)

prevalensi penyakit decompensasi cordis di Indonesia tertinggi pada umur 75 +

1
tahun (4,7%). Untuk yang di diagnosis dokter prevalensi lebih tinggi pada

perempuan (1,6%) dibanding laki- laki (1,3%), berdasarkan diagnosis dokter atau

gejala prevalensi sama banyaknya antara laki-laki dan perempuan (0,3%). Hasil

penelitian (Engkartini, 2019) mendapatkan data hypervolemia di ekemitas bawah

pada penyakit decompensasi cordis sebanyak 61,5% diderita pasien laki laki

berbanding terbalik pada pasien wanita hanya 38,5%. Penelitian tersebut

dilakukan di RSUD Cilacap pada tahun 2018. Hasil penelitian (Khasanah et al.,

2019) mendapatkan data penyakit decompensasai cordis rerata umur

penderitanya adalah 58,5 tahun, dengan rentang umur 45- 80 tahun dan yang

paling banyak mengalami penyakit decompensasi cordis dari data penelitian suci

adalah perempuan yaitu sebyanayk 55,3%. Penelitian tersebut dilakukan RSUD

Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Prevalensi penyakit decompensasi

cordis diruang HCU/Jantung di RSU Haji dari Januari sampai September 2019

mendapat peringkat tertinggi, mencapai 243 pasien dengan rentang usia 50 – 80

tahun. Berdasarakan rekapitulasi diruang HCU/jantung pada bulan Agustus 2019

terdapat 12 pasien denagan diagnosis decompensasi cordis. Kemudian pada bulan

September 2019 terdapat 21 pasien dengan diagnosis decompensasi cordis

dengan 12 paseien perempuan dan 9 pasien laki – laki, 12 pasien mengalami

hypervolemia, pemberian intervensi di ruangan pada pasien hypervolemia pada

decompensasi cordis adalah dengan menganjurkan tirah baring, kemudian

membatasi intake cairan, dan mengukur output cairan sehingga dapat mengetahui

keseimbangan cairan pada pasien. Selain itu pemberian deuritik sebagai tindakan

2
kolaborasi. Rata – rata hari rawat pasien dengan masalah hypervolemia pada

decompensasi cordis adalah 7 hari perawatan.

Penurunan cardiac output atau curah jantung secara otomatis mengaktifkan

respon fisiologis tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolic, salah satunya

adalah respon neuro endokrin. Beberapa hormone di sekresi oleh tubuh seperti

ketokolamin dari saraf simpatis yang berguna untuk meningkatkan frekwensi

jantung dan tekanan darah guna menyeimbangkan curah jantung. Ketokolamin

tidak hanya membantu menyeimbangkan tetapi juga mmemiliki efek samping

yaitu meningkatkan retensi cairan pada vaskuler. Ginjal juga merespon dengan

menskresikan dua hormonnya yaitu hormone renin dan angiotensin, kedua

hormone ini dapat meningktakan tekan darah. Angiotensin menimbulkan efek

sekresi hormone lainnya yaitu aldosterone yang dapat mengakibatkan retensi

garam dan air sehingga terjadi peningktan volume cairan yang mengakibatkan

peingkatan preload dan afterload jantung. Selain itu hipofisis posterior juga

menskresi antideuritik hormone yang akan memperparah retensi cairan dalam

vaskuler. Peningkatan cairan vaskuler atau hypervolemia sangat berbahaya jika

tidak ditangani dengan tepat, karena permasalahan vaskuler ini dapat

mempengaruhi banyak organ – organ lain. Paru – paru dipenuhi cairan karena

penumpukan cairan, penderita akan sesak nafas karena kongesti paru. Cairan

vaskuler yang berlebih akan keluar ke cairan ekstraseluler, cairan akan

menumpuk di cairan intertisial dan menyebabkan edema, pada tahap awal edema

akan terjadi pada ektemitas bawah. Tahap selanjutnya jika tidak ditangani maka

edema seluruh tubuh atau edema anasarca. Kemudian pada ginjal, ginjal yang

3
dipaksa untuk mempertahankan keseimbangan cairan akan merusak glomerulus

dan akhirnya sampai pada gagal ginjal (Mutaqqin, 2009; Lemone, P; Burke, K;

Bauldoff, 2016).

Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi hypervolemia dapat dilakukan

dengan membatasi asupan natrium untuk meminimal kan retensi natrium dan air.

Asupan biasanya dibatasi 1,5 gram sampai 2 gram garam natrium per hari.

Membatasi aktivitas seperti tirah baring untuk menurunkan beban kerja jantung

untuk rekompensasi. Pencegahan dapat dilakukan dengan menganjurkan

penderita untuk latihan fisik seperti olahraga ringan seperti jalan santai 10 sampai

20 menit yang diawali pemanasan 5 sampai 10 menit. Yang dilanjutkan dengan

sesi pendinginan (Lemone, P; Burke, K; Bauldoff, 2016)

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan kasus

keperawatan dengan judul "Asuhan Keperawatan Dengan Masalah Hipervolemia

Pada Kasus Decompensasi Cordis di RSU Haji Surabaya"

1.2 Batasan Masalah

Pada studi kasus ini penelitian membatasi penulisannya pada "Asuhan

Keperawatan Hipervolemia Pada Kasus Decompensasi Cordis di RSU Haji

Surabaya"

1.3 Rumusan

"Bagaimana Asuhan Keperawatan Hipervolemia Pada Kasus Decompensasi

Cordis di RSU Haji Surabaya?"

4
1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengelola "Asuhan Keperawatan Dengan Masalah Hipervolemia Pada

Kasus Decompensasi Cordis di RSU Haji Surabaya"

1.4.2 Tujuan Khusus

Mengelola Asuhan Keperawatan Dengan Masalah Penurunan Curah Jantung

Pada Kasus Decompensatio Cordis di RSU Haji Surabaya, penulis diharapkan

mampu untuk :

1) Melakukan pengkajian Keperawatan Dengan Masalah Hipervolemi Pada

Kasus Decompensasi Cordis di RSU Haji Surabaya

2) Menetapkan diagnosis Keperawatan Dengan Masalah Hipervolemia Pada

Kasus Decompensasi Cordis di RSU Haji Surabaya.

3) Menyusun rencana Keperawatan Dengan Masalah Hipervolemia Pada Kasus

Decompensasi Cordis di RSU Haji Surabaya.

4) Melaksanakan tindakan Keperawatan Dengan Masalah Hipervolemia Pada

Kasus Decompensasi Cordis di RSU Haji Surabaya.

5) Melakukan evaluasi Keperawatan Dengan Masalah Hipervolemia Pada Kasus

Decompensasi Cordis di RSU Haji Surabaya

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teritis

Hasil penelitian sebagai acuan standar asuhan keperawatan tentang

hipervolemia pada kasus decompensasi cordis.

5
1.5.2 Manfaat Praktis

1) Bagi Klien

Mendapatkan asuhan sesuai standar asuhan keperawatan yang baik

sehingga dapat mengurangi keluhan yang dirasakan pasien.

2) Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan intansi

pelayanan kesehatan dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang

tepat pada pasien decompensasi cordis dengan masalah hipervolemia.

3) Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan tambahan referensi dan sebagai bahan bacaan bagi

mahasiswa di perpustakaan tentang "Keperawatan Dengan Masalah

Hipervolemia Pada Kasus Decompensasi Cordis di RSU Haji Surabaya"

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Decompensasi Cordis

2.1.1 Definisi

Decompensasi cordis adalah suatu sindrom kompleks yang terjadi akibat

gangguan jantung yang merusak ventrikel untuk mengisi dan memompa cukup

darah untuk memenuhi kebutuhan metebolik tubuh (Lemone, P; Burke, K;

Bauldoff, 2016)

Decompensasi cordis yaitu suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi

jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebtuhan

metabolisme jaringan atau peningkatan tekanan pengisian diastolic dari ventrikel

kiri atau keduanya, sehingga tekanan kapiler paru meningkat (Asikin, M;

Nuralamsyah, 2016).

Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung untuk memopa darah ke

seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh, yang disebabkan oleh

gagalnya fungsi ventrikel kiri atau keduanya.

2.1.2 Etiologi

Kondisi yang dapat menyebabkan decompensasi cordis dapat dibagi secara

luas menjadi:

1) Keadaan yang merusak otot jantung secara langsung

a) Penyakit jantung iskemik: sebenarnya ini merupakan istilah yang kurang

tepat, karena yang akan menyebabkan gagal jantung adalah infark

7
miokardium Segmen ventrikel yang mengalami infark tidak dapat

kontraksi secara efektif sehingga menurunkan fungsi sistolik

b) Kandiomiopati: yaitu penyakit miokardium atau otot jantung, keadaan ini

terjadi karusakan atau gangguan miokardium sehingga jantung tidak

mampu berkontraksi secara adekuat, ditandai dengan hilangnya

kemampuan jantung untuk memompa darah dan berdenyut secara normal.

Kardiomiopati hipertrifi dan restriktif dapat menurunkan disenbilitas dan

pengisian ventrikular (gagal jantung kiri) sehingga dapat menurunkan

curah jantung

c) Disritmia : gangguan irama jantung akan mengganggu fungsi mekanisme

jantung dengan mengubah rangsangan listrik yang memulai respon

mekanis

d) Miokarditis: tergantung dari penyebab dan perjalanan klinis, miokarditis

dapat menyebabkan gagal jantung akut segera pada saat miokarditis,

ataupun gagal jantung setelah miokarditis sembuh. Contoh penyebab

miokarditis adalah infeksi dan reaks imunitas. Infeksi : virus ( influenza,

rubella, polio); bakteri (difteri, Chlamydia); protozoa (Toxoplasma

gondii); jamur (Candida). Reaksi imunitas: pasca infeksi; lupus

eritematosus sistemik; penolakan transplantasi; bahan kimia; radiasi dan

obat – obatan (klorokuin, metildopa, keracunan timbal).

2) Keadaan yang menyebabkan jantung bekerja lebih berat:

a) Hipertensi: peningkatan afterload yang kronis menyebabkan timbulnya

hipertrofi ventrikel kiri sebagai mekanisme kompensasi. Hipertrofi

8
menyebabkan gangguan pengisian saat diastolik karena penurunan

komplians ventrikel dan juga menyebabkan peningkatan kebutuhan

oksigen miokardium.

b) Penyakit jantung katup: dapat menyebabkan tekanan berlebih (stenosis

aorta) ataupun volume berlebih (regurgitasi aorta atau mitral) yang

menyebabkan ventrikel kiri kehilangan efisiensi pompa.

c) Anemia berat, tirotoksikosis, dan fistula arteriovenosa menyebabkan kerja

jantung lebih berat.

Proses-proses ini lebih sering mengenai ventrikel kiri, namun gagal jantung

kanan tanpa disertai gagal jantung kiri dapat timbul pada keadaan tertentu. Patut

diingat bahwa penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal jantung kiri.

Penyebab gagal jantung kanan saja termasuk:

1) Infark miokardium ventrikel kanan.

2) Kor pulmonale: merupakan gagal jantung kanan karena penyakit pada

pembuluh darah paru. Dapat disebabkan oleh emboli paru berulang,

hipertensi paru primer, ataupun penyakit paru lain dengan vasokonstriksi

pembuluh darah paru yang luas karena hipoksia seperti pada penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK). Kesemua kondisi tersebut meningkatkan resistensi

vaskular paru dan menyebabkan overload tekanan dan volume pada ventrikel

kanan.

Penurunan curah jantung kanan menurunkan pengisian dan isi sekuncup

ventrikel kiri, sehingga efek yang ditimbulkan dapat mirip pada kondisi di mana

ventrikel kiri yang mengalami kegagalan (Evans, 2017).

9
2.1.3 Manifestasi Klinis

1) Tanda dominan: Meningkatnya volume intravaskuler. Kongestif jaringan

akibat tekanan arteri dan vena meningkat karena penurunan curah jantung.

Manifestasi kongesti dapat berbeda tergantung pada kegagalan yang terjadi di

ventrikel (Majid, 2017).

2) Decompensasi cordis kiri, kongesti paru sangat menonjol karena adanya

peningkatan tekanan pada vascular pada paru yang dapat meyebabkan

perpindahan cairan dari pembuluh darah menuju jaringan itertitial dan alveoli.

Manifestasi klinis (Yasmara, 2017) :

a) Disnea karena aktivitas. Sesak napas pada saat melakukan aktivitas fisik.

Hal ini disesbabkan jantung tidak mampu memnuhi kebutuhan perfusi

darah saat terjadi peningkatan metabolisme.

b) Ortopnea. Keluhan sesak napas pada saat penderita berbaring dan akan

berkurang saat penderita duduk atau berdiri.

c) Dyspnea nocturnal proksimal. Sesak napas dirasakan pada malam hari dan

menybabkan penderita terbangun dari tidurnya. Sesak napas ini berbeda

dengann ortopnea karena terjadi lebih lama tiga menit sejak berbaring.

d) Takikardi

e) Hipotensi

f) Batuk darah

g) Keringat dingin

h) Pucat

10
3) Decompensasi cordis kanan, ventrikel kanan tidak kuat lagi memompa darah

keluar, sehingga tekanan diastole ventrikel kanan semakin meningkat.

Kondisi ini menyebabkan tekanan pada atrium kanan naik dan menghambat

pengisian atrium. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bendungan yang

terjadi pada vena akan menimbulkan gejala, antara lain (Yasmara, 2017):

a) Bendungan pada vena jugularis yang menyebabkan peningkatan tekanan

vena jugularis.

b) Hepatomegaly, yang disebabka bendungan pada vena hepatica.

c) Splenomegaly, yang disebabkan oleh bendungan pada vena lenalis

d) Edema perifer, akibat bendungan di vena – vena perifer sehingga terjadi

kenaikan tekanan hidrostatik yang melampaui tekanan osmotic.

2.1.4 Klasifikasi

Decompensasi cordis umumnya diklasifikasikan dalam cara berbeda,

bergantung pada patologi dasarnya. Sebagai berikut menurut (Lemone, P; Burke,

K; Bauldoff, 2016; Yasmara, 2017):

1) Decompensasi cordis sistolik terjai bila ventrikel gagal berkontraksi secara

adekuat untuk mengeluarkan volume darah yang cukup kedakam system arteri.

Fungsi ini hilang akibat iskemia atau infark, kardiomiopati, atau inflamasi.

2) Decompensasi cordis diastolic terjadi bila jantung tidak dapat relaks secara

sempurna pada diastole, mengganggu pengisian normal. Gangguan fungsi

diastole dikarekanan oleh penurunan complains ventrikel akibat hipertrofi dan

perubahan sel serta kerusaka otot jantung.

11
3) Decompensasi cordis sebelah kiri disebabkan oleh hipertensi atau penyakit

jantung coroner. Ketika fungsi ventrikel kiri gagal, curah jantung akan turun.

Tekanan dalam ventrikel dan atrium sebelah kanan meningkat saat jumlah

darah yang tersisa ventrikel setelah sistol meningkat. Peningkatan tekanan ini

yang menybabkan bedungan pada paru dan penngkatan vaskular paru.

Peningkatan tekanan pada vascular pada paru dapat meybabkan perpindahan

cairan dari pembuluh darah menuju jaringan itertitial dan alveoli.

4) Decompensasi cordis sebelah kanan, peningkatan tekanan vaskuler paru atau

kerusakan otot venntrikel kanan dapat merusak kemampuan ventrikel kanan

untuk memompa darah menuju sirkulasi pulmonaris. Ventrikel dan atrium

kanan menjadi distensi dan darah terakumulasi dala vena sistemik.peningkatan

tekanan vena menyebabkan organ abdomen menjadi kongesti dan odema

jaringann perifer.

5) Decompensasi cordis curah tinggi, diderita pada penderita anemia, hypertiroid,

dan paget. Penyakit penyakit tersebut memacu jantung untuk memetabolisme

secara terus – menerus, maka jantung dipaksa meningkatkan curah jantungnya.

6) Decompensasi cordis curah rendah, diderita oleh penderita gagal jantung

kronis. Disebabkan otot jantung sudah tidak kuat untun memacu jantug untuk

menstabilkan curah jantung karena tidak bisa menanggung beban yang

meningkat.

2.1.5 Patofisiologi

Reservasi jantung normal untuk merespons terhadap stress tidak adekuat

untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh, sehingga jantung gagal melakukan

12
tugasnya sebagai pompa, dan akibatnya terjadi gagal jantung. Tingkat awal

disfungsi komponen pompa secara nyata dapat mengakibatkan gagal jantung. Jika

reservasi jantung normal mengalami kepayahan dan kegagalan, respon fisiologis

tertentu pada penurunan curah jantung adalah peningkatan kerja jantung. Semua

upaya tubuh untuk mempertahankan perfusi jaringan vital tetap normal. Terdapat

empat mekanisme respon primer terhadap decompensasi cordis meliputi menurut

(Mutaqqin, 2009; Lemone, P; Burke, K; Bauldoff, 2016):

1) Mekanisme frank – starling

Mekanisme frank – starling terjadi saat penurunan curah jantung. Secara

fisiologis serabut otot jantung akan merenggang dan akan menimbulkan

tenaga kontraksi yang besar. Peingkatan kontraksi ini dapat membantu

meningkatkan curah jantung yang menurun akibat ventrikel tidak mampu

memompa dengan baik. Tidak hanya membawa efek baik, mekanisme frank -

starlink dapat menyebabkan efek buruk seperti kekurangan asupan oksigen

pada miokardium yang disebabkan peregangan berlebihan.

2) Respons neuro endokrin

Penurunan curah jantung dapat menstimulasi pengeluaran endokrin guna

memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang mengalami kekurangan darah

karena penurunan curah jantung.

Ketolamin akan dilepaskan saraf simpatis guna peningkatan frekwensi

jantung, tekanan darah, dan kontraktilitas yang akan mengakibatkan takikardi

dengan penurunan waktu pengisian dan penurunan curah jantung. Selain itu

13
ketokalimin menyebabkan peningkatan retensi vaskuler dan akan

meningkatkan aliran balik vena yang akan meningkatkan kerja miokardium.

Secara fisiolois ginjal juga mensekresi renin dan angiotensin. Efek dari

dua sekresi hormone dari ginjal tersebut dapat meningkatkan tekanan darah.

Komplikasi jika kedua hormone ini dikeluarkan oleh ginjal adalah

peningkatan kerja mioakardium kemudian dapat mengakibatkan

vasokontriksi ginjal dan penurunan perfusi ginjal. Angiotensin kemudian

menstimulasi pelepasan aldosterone dari korteks adrenal yang mengakibatkan

retensi garam dan air, terjadilah peningkatan voleme vaskuler dan

peningkatan preload dan afterload pada jantung. Selain itu akan

mengakibatkan terjadi kongesti paru.

Hipofisis posterior merespon dan mengeluarkan antideuritik hormone

yang akan memperparah retensi cairan dalam vaskuler. Efek baik dari respons

fisiologis ini adalah dapat memenuhi distribusi darah ke organ – organ vital

seperti jantung dan otak, namun mengakibatkan penurunan perfusi pada

organ lain yang akan berdampak pada metabolisme anaerob dan asdosis asam

laktat. Jika proses ini terjadi terlalu lama maka akan mengakibatkan gagal

ginjal.

3) Hipertropi ventrikel

Peningkatan beban kerja jantung menyebabkan otot miokardium

hipertrofi dan melebar. Hipertrofi otot miokardium dapat meningkakan tenaga

kontraktil untuk mempertahankan curah jantung. Semakin lebar atau hipertofi

14
otot jantung juga harus mendapatkan oksigen yang cukup. Ini mengakibatkan

kebutuhan oksigen bertambah.

15
Tabel 2.1 patofisiologi (Lemone, P; Burke, K; Bauldoff, 2016)

No. Mekanisme Fisiologi Efek Pada Komplikasi


Sistem Tubuh
1) Mekanisme Makin besar Peningkatan Peningkatan
frank – regangan serabut otot kontraktil yang kebutuhan
starling jantung semakin menyebabkan oksigen
besar tenaga peningkatan miokardium
kontraksi curah jantung Terbatas oleh
pergangan
berlebihan
2) Respons neuro Penurunan curah Peningkatan FJ, Takikardia
endokrin jantung menstimulasi TD dan dengan penurnan
system simpatis dan kontraktilitas. waktu pengisian
pelepasan Peningkatan dan penurunan
katekolamin resistensi curah jantung
vaskuler. Peningkatan
Peningkatan resistensi vaskuler
aliran balik Peningkatan kerja
vena. miokardium

Penurunan curah Vasokontriksi Peningkatan kerja


jantung dan perfusi dan peningkatan miokardium
ginjal menstimulasi TD Vasokontriksi
system ginjal dan
renin/angiotensin penurunan perfusi
ginjal
Angiotensin Retensi garam Peningkatan
menstimulasi dan air oleh preload dan
pelepasan ginjal afterload
aldosterone dari Peningkatan Kongesti paru
korteks adrenal volume vaskuler
ADH dilepaskan dari Ekresi air Retensi cairan
hiposfisis posterior dihambat dan peningkatan
Peningkatan preload dan
ekresi natrium asfterload
Deuresis
Aliran darah di Penurunan Gagal ginjal
distribusikan ke perfusi pada Metabolisme
organ vital (jantung organ lain anaerob dan
dan otak) Penurunan asidosis laktat
perfusi kulit dan
otot
3) Hipertrofi Beban kerja jantung Peningkatan Peningkatan
ventrikel menyebabkan tenaga kontraktil kebutuhan
hipertrofi otot untuk oksigen
miokardium dan mempertahankan miokardium
ventrikel curah jantung Pelebaran seluler
16
4) Overload volume

Overload volume (misalnya: keadaan curah iantung tinggi seperti

penyakit Paget, beri-beri. anemia, regurgitasi katup, dan pirau intrakardia).

Remodelling jantung terjadi agar dapat dihasilkan isi sekuncup yang besar

Oleh karena tiap sarkomer mempunyai jarak pemendekan puncak yang

terbatas, peningkatan isi sekuncup dicapai dengan peningkatan jumlah

sarkomer seri yang akan menyebabkan peningkatan volume ventrikel.

Pelebaran ini membutuhkan ketegangan dinding yang lebih besar agar dapat

menimbulkan tekanan intraventrikel yang sama, sehingga membutuhkan

peningkatan jumlah miofibril paralel. Sebagai akibatnya, terjadi peningkatan

ketebalan dinding ventrikel kiri. Jadi overload volume menyebabkan

pelebaran ruang dan hipertrofi eksentrik. Manifestasi dari ketiga respons

dalam usaha untuk mempertahankan curah jantung ini secara patofisiologis

akan memberikan berbagai manifestasi tanda dan gejala pada sistem tubuh.

Dengan berlanjutnya gagal jantung, maka kompensasi akan menjadi semakin

kurang efektif. Ketika curah jantung turun, mekanisme kompensasi

menyebabkan retensi garam dan air, meningkatkan volume darah.

Peningkatan volume cairan ini memberikan tekanan tambahan ventrikel yang

sudah gagal, membuat ventrikel bekerja lebih keras untuk memindahkan

cairan, jika cairan tidak berhasil dipindahkan makan caira akan menummpuk

dan akan menimbulkan kongesti.

17
2.1.6 Pathway Decompensasi Cordis

Hipertensi Kardiomiopati Infark Miokard

Nekrosis sel otot Ejeksi ventrikel kiri Gangguan pada


terganggu miokardium

Hipertrofi ventrikel
Statis darah dalam Gangguan kontraktilitas
atrium dan ventrikel jantung
Disfungsi diastolik
dan sistolik
Peningkatan beban Penurunan volume
awal dan akhir sekuncup

Decompensasi Cordis

Peningkatan Aktivasi system Peningkatan beban


renin – Kongesti
aktivitas kerja jantung
angiotensin - pulmonalis
adrenergic
simpatik aldosteron

Tekanan
Hipertofi ventrikel
hidrostatik>
kiri
Vasokontriksi Angiotensin I ke tekanan osmotik
sistematis angiotensin II

Pemendekan
miokard Penumpukan
Menurunkan GFR Pengeluaran cairan ke
nefron, ginjal aldosteron alveoli
mengalami
Pengisian LV
vasokontriksi
menurun
Gangguan
Meningkatka
pertukaran gas
Menurunkan ekresi n reabsorsi Aliran tidak
natrium dan air natrium dan adekuat ke
dalam urine air oleh jantung dan otak
tubulus Edema paru

18
Urine output
menurun, voleme Penurunan Pengembangan paru
plasma meningkat, curah tidak optimal
tekanan hdrodasti jantung
meningkat

Resiko pola nafas


Kelemahan fisik
tidak efektif
Hipervolemia
Intoleransi aktivitas

Gambar 2.1 Patofisiologi Decompencatio Cordis

(Mutaqqin, 2009; Nurarif, A. H. & Kusuma, 2015; Yasmara, 2017)

2.1.7 Komplikasi

Berikut komplikasi dari decompensasi cordis menurut (Wijaya, A. S; & Putri,

2013):

1) Adema paru akut dapat terjadi akibat gagal jantung kiri.

2) Syok kardiogenik.

Akibat penurunan dari curah jantung dan perfusi jaringan yang tidak

adekuat ke organ vital (jantung dan otak).

3) Episode trombolik.

Thrombus terbentuk akibat imobilitas pasien dan gangguan sirkulasi,

trombus dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah.

19
4) Efusi pericardial dan tamponade jantung.

Masuknya cairan ke kantung pericardium, cairan dapat meregangkan

pericardium sampai ukuran maksimal. Cardiac output menurun dan aliran

balik vena ke jantung.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

1) Ekokardiografi

Ekokardiografi sebaiknya digunakan sebagai alat pemeriksaan diagnostik

yang pertama dan sebagai alat yang pertama untuk manajemen gagal jantung;

sifatnya tidak invasif dan segera dapat memberikan diagnosis disfungsi

jantung dan informasi yang berkaitan dengan penyebab terjadinya disfungsi

jantung dengan segera. Dengan adanya kombinasi M-Mode, ekokardiografi

2D, dan Doppler, maka pemeriksaan invasif lain tidak lagi diperlukan.

Gambaran yang paling sering ditemukan pada gagal jantung akibat penyakit

jantung iskemik, kardiomiopati dilatasi, dan beberapa kelainan katup adalah

dilatasi ventrikel kiri yang disertai hipokinesis seluruh dinding ventrikel

(Mutaqqin, 2009; Marunung, 2016).

2) Rontgen Toraks

Foto Rontgen toraks posterior - anterior dapat menunjukkan adanya

hipertensi vena, edema paru, atau kardiomegali. Bukti yang menunjukkan

adanya peningkatan tekanan vena paru adalah adanya diversi aliran darah ke

daerah atas dan adanya peningkatan ukuran pembuluh darah (Mutaqqin,

2009).

20
3) Elektrokardiografi

Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) meskipun memberikan informasi

yang berkaitan dengan penyebab, tetapi tidak dapat memberikan gambaran

yang spesifik. Pada hasil pemeriksaan EKG yang normal perlu dicurigai

bahwa hasil diagnosis salah. Pada pemeriksaan EKG untuk klien dengan

gagal jantung dapat ditemukan kelainan EKC seperti (Mutaqqin, 2009;

Marunung, 2016);

a) Left bundle branch block, kelainan segmen ST/T menunjukkan disfungsi

ventrikel kiri kronis.

b) Gelombang Q menunjukkan infark sebelumnya dan kelainan segmen ST

menunjukkan. penyakit jantung iskemik.

c) Hipertrofi ventrikel kiri dan gelombang T terbalik: menunjukkan stenosis

aorta dan penyakit jantung hipertensi

d) Aritmia

e) Deviasi aksis ke kanan, right bundle branch block, danhipertrofi ventrikel

kanan menunjukkan disfungsi ventrikel kanan.

4) Pemeriksaan laboratoruium

Pemeriksaan laboratorium biasanya mencakup pemeriksaan laboratorium

rutin ditambah dengan pemeriksaan metabolik untuk memeriksa faktor

penyebab (mis., diabetes) atau malfungsi pada organ vital lainnya karena

perfusi yang buruk (akut atau kronis). Pemeriksaan ini harus dilakukan secara

21
komprehensif karena ketika terjadi gagal jantung, organ lain akan mengikuti.

Pemeriksaan laboratorium saat masuk ke rumah sakit meliputi (Hurst, 2015):

a) DPL (pemeriksaan darah lengkap)

b) Urinalisis

c) Elektrolit serum, termasuk magnesium dan kalium

d) Panel lipid puasa

e) Glukosa puasa dan glikohemoglobin

f) Kreatinin serum

g) Hormon tiroid

h) Uji fungsi hati

i) Nilai feritain (jika diduga hemokromatosis)

j) BNP (brain type natriuretic peptide)

BNP adalah protein yang disimpan terutama di jaringan miokardium ventrikel.

Ketika tekanan diastolik meningkat (peningkatan regangan ventrikel), BNP

dilepaskan. Kondisi ini terjadi saat ventrikel mengalami stres, yaitu pada

hipertrofi ventrikel, hipertensi, atau gagal jntung. Penigkatan nilai BNP yang

dikombinasikan dengan evaluasi klinis dapat membantu menegakkan diagnosis

gagal jantung, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk memastikan atau

menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Nilai kritis BNP >100 = stress ventrikel.

2.1.9 Penatalaksanaan

Tata laksana decompensasi cordis dan tujuan menurut (Evans, 2017) dalam

penanganan decompensasi cordis adalah sebagai berikut:

1) Penurunan preload.

22
2) Penurunan afterload dengan menurunkan baik volume ventrikel maupun

tekanan darah.

3) Membalikkan atau membatasi proses remodeling ventrikel.

4) Mengontrol laju denyut jantung.

5) Tujuan akhir adalah mengurangi morbiditas, mortalitas dan meningkatkan

kualitas hidup, dengan cara;

a) Pengelolaan umum

Pasien dengan gagal jantung harus membatasi asupan garam dan jika

terdapat kelebihan volume maka pasien juga harus membatasi asupan

cairan. Alkohol harus dihindari karena memiliki efek toksik pada jantung.

Pasien juga harus diberikan tata laksana komorbiditas yang dikelola secara

efektif.

b) Diuretik

Diuretik meningkatkan ekskresi garam dan air oleh ginjal. Diuretik

kuat seperti furosemide merupakan kelas yang paling banyak digunakan

dalam kasus gagal jantung untuk mengurangi volume sirkulasi, preload,

kongesti pulmonal, dan edema perifer. Diuretik golongan tiazid juga dapat

ditambahkan jika penggunaan diuretik kuat saja tidak efektif dalam

mengurangi gejala. Tidak seperti banyak obat lain yang digunakan pada

decompensasi cordis, diuretik tidak meningkatkan harapan hidup

meskipun dapat mengurangi gejala secara efektif.

23
c) Penghambat enzim konversi angiotensin (EKA)

Penghambat EKA (ACE-inhibitor) (seperti enalapril, lisinopril,

ramipril dan captopril) menghambat konversi angiotensin I (AI) ke

angiotensin II (AII) oleh EKA. Inhibisi (AII) pada gagal jantung akan

membatasi tingkat remodeling ventrikel, menurunkan afterload pada

jantung (dengan menghilangkan efek vasokonstriktor) dan membatasi

retensi garam dan air. Dalam banyak studi penghambat EKA telah

berulang kali terbukti meningkatkan harapan hidup dan harus diresepkan

untuk siapapun dengan gagal jantung baik simtomatik ataupun tidak. Jika

penghambat EKA tidak dapat ditoleransi karena batuk kering, maka

antagonis reseptor angiotensin II dapat digunakan dengan efikasi yang

sama.

d) Penyekat beta

Manfaat dari penyekat beta pada gagal jantung termasuk penurunan

laju jantung, meningkatkan aliran darah koroner. Mereka juga dapat

menurunkan kebutuhan metabolik miokardium. Pada kombinasi dengan

penghambat EKA, penyekat beta meningkatkan harapan hidup dan

membalikkan proses remodeling ventrikel. Apabila tidak ada

kontraindikasi penyekat beta wajib diberikan kepada pasien gagal jantung.

Pada beberapa kasus, penurunan kontraktilitas dan laju jantung dapat

memperburuk gejala, sehingga harus dimulai dengan pemberian dosis awal

rendah dan dosis ditingkatkan perlahan-lahan.

24
e) Antagonis aldosteron

Antagonis aldosteron seperti spironolakton dan eplerenon telah

terbukti meningkatkan harapan hidup pada gagal jantung. Mereka

mengurangi preload dengan menghambat aksi aldosteron dalam tubulus

ginjal. Antagonis aldosteron dapat meningkatkan risiko hiperkalemia yang

mengancam jiwa, terutama jika digunakan kombinasi dengan penghambat

EKA, sehingga kadar elektrolit harus diawasi secara ketat. Spironolakton

juga dapat menyebabkan ginekomastia yang menyakitkan untuk pasien.

f) Glikosida jantung

Digoksin merupakan penghambat Na +/K + ATPase. Hal ini dapat

menvebah. kan akumulasi Ca2+ di sitosol miosit sehingga timbul efek

inotropik positif. Digoksin secara sentral meningkatkan aliran vagal ke

jantung, menurunkan laju jantung. Penggunaan digoxin direkomendasikan

pada pasien dengan gagal jantung jika mereka memiliki fibrilasi atrium

guna mengontrol laju jantung dan pada pasien dengan gagal jantung berat

yang sudah mendapatkan terapi gagal jantung secara optimal masih

mengeluhkan gejala.

g) Nitrat

Gliseril trinitrat menyebabkan relaksasi sel otot polos pembuluh darah

dengan meningkatkan kadar cGMP. Gliseril trinitrat akan melebarkan

pembuluh vena dan penggunaannya dalam gagal jantung biasanya terbatas

pada keadaan akut karena akan timbul toleransi dengan penggunaan lebih

25
dari 1-2 hari. Dengan melebarkan pembuluh vena, gliseril trinitrat

menurunkan preload, mengurangi derajat overload volume ventrikel.

h) Obat inotropik

Obat inotropik meningkatkan kontraktilitas miokardium. Peran mereka

harus dibatasi pada pengelolaan gagal jantung akut karena dapat

meningkatkan mortalitas dengan pemakaian jangka panjang.

i) β1-Simpatomimetik

β1-simpatomimetik dobutamin dan dopamin meningkatkan kekuatan

kontraksi miokardium dan laju jantung. Mereka juga berperan sebagai

vasodilator dan mengurangi afterload.

j) Penghambat fosfodiesterase

Milrinon menghambat fosfodiesterase tipe III, yang merupakan enzim

yang memecah adenosin monofosfat siklik (cAMP) menjadi 5'-AMP.

Penghambatan ini menyebabkan peningkatan cAMP intraseluler dan

Ca2+. Hal ini akan meningkatkan kontraktilitas. Milrinon juga berperan

sebagai vasodilator dengan mekanisme yang sama pada otot polos

pembuluh darah. Obat ini digunakan pada gagal jantung berat yang tidak

respons dengan terapi lain.

k) Terapi resinkronisasi jantung/cardiac resynchronization therapy (CRT)

Pasien dengan gagal jantung sering disertai dengan blok cabang berkas

kiri. Karena sistem konduksi pada pasien dengan gangguan tersebut

menjadi abnormal, kontraksi ventrikel menjadi tidak sinkron. Alat pacu

jantung khusus saat ini tersedia untuk secara sinkron merangsang ventrikel

26
kiri dan kanan. Sehingga efek yang diharapkan adalah peningkatan curah

jantung. Pasien dengan gagal jantung dan kompleks QRS lebar

mendapatkan manfaat yang terbanyak dengan penggunaan alat ini.

l) Implan defibrilator jantung/implantable cardiac defibrillator (ICD)

Pasien dengan gagal jantung cenderung mengalami aritmia yang dapat

mengancam jiwa (misalnya takikardia ventrikel (VT), fibrilasi ventrikel

(VF). Defibrilator kardioverter implan dapat ditanamkan dengan cara yang

mirip dengan alat pacu jantung untuk memberikan kejut listrik kecil ketika

terjadi aritmia tersebut, sehingga dapat mencegah kematian jantung

mendadak. Perangkat ini juga dapat mencegah takiaritmia dengan override

pacing.

m) Alat bantu ventrikel/left ventricular assist device (LVAD)

Implantasi alat bantu ventrikel mekanik mampu mengambil alih kerja

ventrikel yang gagal. Alat ini dapat digunakan sebagai solusi sementara

sampai dilakukan transplantasi jantung atau sampai ventrikel kembali

pulih fungsinya.

n) Transplantasi

Transplantasi jantung merupakan satu-satunya tata laksana definitif

untuk gagal jantung berat. Prosedur ini memerlukan penggunaan

imunosupresi seumur hidup, yang menempatkan pasien pada peningkatan

risiko infeksi. Dengan pemilihan pasien yang baik, maka prognosis pasien

akan baik, dengan tingkat kelangsungan hidup selama 1 tahun adalah 80%

27
dan kelangsungan hidup 5 tahun adalah 70%. Mayoritas kualitas hidup

pasien meningkat secara drastis.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Hipervolemia

2.2.1 Definisi Hipervolemia

Hipervolemia adalah peningkatan volume cairan intravaskuler, intertisial,

dan intraseluler (SDKI, 2017).

Hipervolemia cairan mengacu pada perluasan isotonic dari CES yang

disebabkan oleh retensi air dan natrium yang abnormal dalam proporsi yang

kurang lebih sama dimana mereka secara normal berada dalam CES (Brunner

and Suddarth, 2002).

Hipervolemia adalah peningkatan volume cairan yang disebabkan oleh

retensi air dan natrium yang abnormal.

2.2.2 Penyebab Hipervolemia

Penyebab hypervolemia menurut (SDKI, 2017):

1) Gangguan mekanisme regulasi

2) Kelebihan asupan cairan

3) Kelebihan aspan natrium

4) Gangguan aliran balik venna

5) Efek agen farmakologis

2.2.3 Karakteristik Mayor dan Minor

Karakteristik mayor dan minor adalah tanda dan gejala dari suatu masalah

keperawatn, berikut adalah karakteristik mayor dan minor menurut (SDKI, 2017;

Shigemi, 2018):

28
1) Karakteristik mayor:

a) Ortopnea

b) Dyspnea

c) Paroximal nocturnal dyspnea

d) Edema anasarca

e) Berat badan meningkat dalam waktu singkat

f) Tekananan vena jugularis meningkat

g) Reflek hepatojugular positif

2) Karakteristik minor

a) Distensi vena jugularis

b) Terdengar suara napas tambahan

c) Hepatomegaly

d) Kadar Hb/Ht turun

e) Oliguria

f) Intake lebih banyak dari output

g) Ada bunyi jantung S3

h) Perubahan status mental

2.2.4 Faktor yang Berhubungan

Berikut adalah bebrapa faktor yang dapat mengakibatkan hypervolemia

menurut (Mubarak, Indrawati and Susanto, 2015):

1) Meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler akibat penambahan volume darah

Peningkatan tekanan hidrostatik mengakibatkan pergerakan cairan ke jaringan

sehingga terjadi penumpukan cairan edema. Peningkatan tekanan hidrostatik

29
juga berakibat meningkatnya resistansi vaskular perifer yang kemudian

meningkatkan tekanan ventrikel kiri jantung sehingga berakibat pada adanya

edema pada paru. Keadaan yang dapat menimbulkan edema karena

peningkatan tekanan hidrostatik gagal jantung, obstruksi vena pada ibu hamil.

2) Peningkatan permeabilitas kapiler seperti pada luka bakar dan infeksi.

Keadaan ini memungkinkan cairan intravaskular akan bergerak ke interstisial.

3) Penurunan tekanan plasma onkotik karena kadar protein plasma rendah

seperti karena malnutrisi, penyakit ginjal, dan penyakit hati. Protein plasma

berfungsi menahan cairan atau volume cairan vaskular atau intrasel, sehingga

jika terjadi penurunan maka cairan banyak keluar ke vaskular atau keluar sel.

4) Bendungan aliran limfe mengakibatkan aliran terhambat, sehingga cairan

masuk kembali ke kompartemen vaskular

5) Gagal ginjal yakni pembuangan air yang tidak adekuat menimbulkan

penumpukan cairan dan reabsorpsi natrium yang berlebihan mengakibatkan

air bertahan pada interstisial.

Tiga kategori osmolaritas, dan komposisi. Ketidakseimbangan volume

terutama memengaruhi cairan ekstraseluler (ECF) dan menyangkut kehilangan

atau bertambahnya natrium dan air dalam jumlah yang relatif sama, sehingga

berakibat pada kekurangan ekstraseluler (ECF). Ketidakseimbangan osmotik

terutama memengaruhi cairan intraseluler (ICF) dan menyangkut bertambahnya

atau kehilangan natrium dan air dalam jumlah yang relatif tidak seimbang.

Gangguan osmotik umumnya berkaitan dengan hiponatremia dan hipernatremia

sehingga nilai natrium serum penting untuk mengenali keadaan ini. Kadar dari

30
kebanyakan ion di dalam ruang ekstraseluler dapat berubah tanpa disertai

perubahan yang jelas dari jumlah total dari partikel-partikel yang aktif secara

osmotik sehingga mengakibatkan perubahan komposisional (Mubarak, Indrawati

and Susanto, 2015).

2.2.5 Hubungan Hipervolemia dan Decompensasi Cordis

Hubungan dengan decompensasi cordis, hypervolemia adalah salah satu efek

dari kerusakan atau gagalnya ventrikel untuk memompa darah keseluruh tubuh.

Gagalnya ventrikel memompa darah keseluruh tubuh menyebabkan turunnya

curah jantung yang menyebabkan angiotensin dan aldosterone bekerja untuk

menyetabilkan hemodinamika darah dalam tubuh. Efek selanjutnya adalah retensi

natrium dan air dalam darah, sehingga menyebabkan cairan terakumulasi dalam

cairan vaskuler dan akan meluber ke cairan itertisial melalui proses osmotic

(Lemone, P; Burke, K; Bauldoff, 2016).

2.3 Konsep Proses Keperawatan Hipervolemia pada Decompensasi Cordis

2.3.1 Pengkajian

Pengkajian hypervolemia pada kasus decompensasi cordis menurut

(Mutaqqin, 2009) sebagai berikut:

1) Keluhan utama

Keluhan utama klien dengan gagal jantung adalah kelemahan saat

beraktivitas dan sesak napas

2) Pengkajian riwayat penyakit sekarang

31
Pengkajian riwayat penyakit sekarang yang mendukung keluhan utama

dilakukan dengan mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai kelemahan

fisik klien secara PORST, yaitu;

a) Prapeking Incident: Kelemahan fisik terjadi setelah melakukan aktivitas

ringan sampai berat, sesuai derajat gangguan Riwayat Penyakit Saat Ini

pada jantung (lihat klasifikasi gagal jantung).

b) Quality of Pain: Seperti apa keluhan kelemahan dalam melakukan aktivitas

yang dirasakan atau digambarkan klien. Biasanya setiap beraktivitas klien

merasakan sesak napas (dengan menggunakan alat atau otot bantu

pernapasan).

c) Region: radiation, relief. Apakah kelemahan fisik bersifat lokal atau

memengaruhi keseluruhan sistem otot rangka dan apakah disertai

ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan. Severity

d) (Scale) of Pain: Kaji rentang kemampuan klien dalam melakukan aktivitas

sehari-hari. Biasanya kemampuan klien dalam beraktivitas menurun sesuai

derajat gangguan perfusi yang dialami organ.

e) Time: Sifat mula timbulnya (onset), keluhan kelemahan beraktivitas

biasanya timbul perlahan. Lama timbulnya (durasi) kelemahan saat

beraktivitas biasanya setiap saat, baik saat istirahat maupun saat

beraktivitas.

3) Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian RPD yang mendukung dikaji dengan menanyakan apakah

sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, hipertensi, iskemia

32
miokardium, infark miokardium, diabetes melitus, dan hiperlipidemia.

Tanyakan mengenai obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa

yang lalu dan masih relevan dengan kondisi saat ini. Obat-obatan ini meliputi

obat diuretik, nitrat, penghambat beta, serta antihipertensi. Catat adanya efek

samping yang terjadi di masa lalu, alergi obat, dan reaksi alergi yang timbul.

Sering kali klien menafsirkan suatu alergi sebagai efek samping obat.

4) Riwayat penyakit keluarga

Penyakit yang pernah dialami oleh keluarga, anggota keluarga yang

meninggal terutama pada usia produktif, dan penyebab kematiannya.

Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda

merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit jantung iskemik pada

keturunannya.

5) Riwayat pekerjaan dan pola hidup

Situasi tempat klien bekerja dan lingkungannya. Kebiasaan sosial dengan

menanyakan kebiasaan dan pola hidup misalnya minum alkohol atau obat

tertentu. Kebiasaan merokok dengan menanyakan tentang kebiasaan

merokok, sudah berapa lama, berapa batang per hari, dan jenis rokok

6) Pengkajian Psikososial

Perubahan integritas ego yang ditemukan pada klien adalah klien

menyangkal, takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah pada

penyakit/perawatan yang tak perlu, kuatir tentang keluarga, pekerjaan, dan

keuangan. Kondisi ini ditandai dengan sikap menolak, menyangkal, cemas,

kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku menyerang, dan fokus pada diri

33
sendiri. Interaksi sosial dikaji terhadap adanya stres karena keluarga,

pekerjaan, kesulitan biaya ekonomi, dan kesulitan koping dengan stresor yang

ada. Kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan,

stres akibat kesakitan bernapas dan pengetahuan bahwa jantung tidak

berfungsi dengan baik. Penurunan lebih lanjut dari curah jantung dapat terjadi

ditandai dengan adanya keluhan insomnia atau tampak kebingungan.

2.3.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien hypervolemia dengan decompensasi cordis

menurut (Mutaqqin, 2009; Asikin, M; Nuralamsyah, 2016):

1) Keadaan umum

Kesadaran klien decompensasi cordis biasanya baik atau composmentis

dan akan berubah sesuai tingkat gangguan yang melibatkan perfusi sistem

saraf pusat.

2) B1 (Breathing)

Pengkajian yang di dapat adalah adanya tanda kongesti vaskular

pulmonal akut. Crackles atau ronki basah halus secara umum terdengar pada

dasar posterior paru.

3) B2 (Bleeding)

a) Inspeksi

Inspeksi adanya parut pasca pembedahan jantung. Lihat adanya

dampak penurunan – penurunan curah jantung. Klien dapat mengeluh

lemah, mudah lelah, apatis, letargi, kesulitan konsentrasi, deficit memori,

dan penurunan toleransi latihan.

34
b) Palpasi

Peningkatan frekuensi jantung merupakan awal jantung terhadap stres,

bisa dicurigai sinus takikardia dan sering di temukan pada pemeriksaan

klien dengan kegagalan pompa jantung. Irama lain yang berhubungan

dengan kegagalan pompa meliputi: kontraksi atrium prematur, takikardia

atrium proksimal, dan denyut ventrikel prematur.

c) Auskultasi

Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan isi sekuncup.

Tanda fisik yang berkitan dengan kegagalan ventrikel kiri dapat dikenali

dengan mudah dibagian yang meliputi: bunyi jantung ketiga dan keempat

(S3,S4) serta crakles pada paru-paru. S4 atau gallop atrium, mengikuti

kontraksi atrium.

d) Perkusi

e) Batas jantung ada pergeseran yang menandakan adanya hipertrofi jantung

(kardiomegali).

4) B3 (Brain)

Kesadaran composmentis, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan

perfusi jaringan berat. Pengkajian obyektif klien: wajah meringis, menangis,

merintih,meregang, dan menggeliat.

5) B4 (Bladder)

Pengukuran volume keluaran urin berhubungan dengan asupan cairan,

karena itu perawat perlu memantau adanya oliguria karena merupakan tanda

35
awal dari syok kardiogenik. Edema ekstremitas menandakan adanya retensi

cairan yang parah.

6) B5 (Bowl)

Klien biasanya didapatkan mual dan muntah, penurunan nafsu makan

akibat pembesaran vena dan statis vena di dalam rongga abnomen, serta

penurunan berat badan. Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan

atas abnomen terjadi akibat pembesaran vena di hepar merupakan

manisfestasi dari kegagalan jantung.

7) B6 (Bone)

Hal-hal biasanya terjadi dan ditemukan pada pengkajian B6 adalah

sebagai berikut.

a) Kulit dingin

Gagal jantung depan pada ventrikel kiri meninbulkan tanda-tanda

berkurangnya perfusi ke organ. Darah di alihkan dari organ-organ non -

vital demi mempertahankan perfusi ke jantung dan otak, maka

manisfestasi paling dini paling depan adalah berkurangnya perfusi organ -

organ seperti kulit dan otot-otot rangka. Kulit yang pucat dan dingin di

akibatkan oleh vasokontriksi perifer, penurunan lebih lanjut dari curah

jantung dan meningkatnya kadar hemoglobin tereduksi mengakibatkan

sianosis.

b) Mudah lelah

36
Mudah lelah terjadi akibat curah jantung yang kurang, sehingga

menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya

pembuangan sisa hasil katabolisme.

2.3.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat menunjang untuk mengangkat diagnose

hypervolemia pada decompensasi cordis menurut (Mutaqqin, 2009; Hurst, 2015):

1) Ekokardiografi

2) Rontgen Toraks

3) Elektrokardiografi

4) DPL (pemeriksaan darah lengkap)

5) Urinalisis

6) Elektrolit serum, termasuk magnesium dan kalium

7) Panel lipid puasa

8) Glukosa puasa dan glikohemoglobin

9) Kreatinin serum

10) Hormon tiroid

11) Uji fungsi hati

12) Nilai feritain (jika diduga hemokromatosis)

13) BNP (brain type natriuretic peptide)

2.3.4 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa prioritas yang diangkat adalah hypervolemia berhubungan dengan

retensi natrium dalam vaskuler yang ditandai dengan sesak napas, edema, berat

badan meningkat dalam waktu singkat, tekananan vena jugularis meningkat,

37
distensi vena jugularis, terdengar suara napas tambahan, hepatomegaly,

kardiomegaly, kadar Hb/Ht turun, oliguria, intake lebih banyak dari output, ada

bunyi jantung S3 (SDKI, 2017; Shigemi, 2018).

Hypervolemia pada decompensasi cordis adalah masalah yang berat dan harus

segera ditangani. Karena retensi cairan yang berlebih dapat merusak organ –

organ lain terutama pada organ ginjal. Curah jantung yang turun menimbulkan

mekanisme fisiologis bekerja guna memenuhi kebutuhan metabolic. Tubuh secara

tidak langsung menskresi beberapa hormone seperti ketokolamine, renin, dan

angiotensin. Hormone – hormone tersebut dapat meningkatkan cardiac oupout,

namun efek sampingnya dapat meningkatkan retensi natrium dan air di vaskuler.

Keadaan dtersebut diperparah ketika angiotensin menstimulasi korteks adrenal

menskresi aldosterone yang menambah retensi cairan.kemudian disusul hipofisis

posterior yang mengeluarkan hormone antideuritik hormone yang menghambat

ekresi air dan peningkatan ekresi natrium dalam vaskuler, penumpukan cairan

dalam vaskuler membuat cairan mencari tempat lai dengan proses osmotic.

Sehingga dapat mengakibatkan tanda hypervolemia yaitu kongesti, sesak napas,

edema, berat badan meningkat dalam waktu singkat, tekananan vena jugularis

meningkat, distensi vena jugularis, terdengar suara napas tambahan,

hepatomegaly, kardiomegaly, kadar Hb/Ht turun, oliguria, intake lebih banyak

dari output, ada bunyi jantung S3 (Mubarak, Indrawati and Susanto, 2015;

Lemone, P; Burke, K; Bauldoff, 2016).

38
2.3.5 Intervensi Keperawatan

Tabel 2.2 Intervensi Keperawatan (SDKI, 2017; PPNI, 2018a; Tim Pokja SIKI

DPP PPNI, 2018)

Diagnosa NOC NIC

Hipervolemia Setelah diberi asuhan Manajemen hypervolemia:

berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 Observasi

retensi natrium dan air jam diharapkan 1) Periksa tanda dan gejala

dalam vaskuler. keseimbangan cairan hypervolemia (misal:

meningkat dengan kriteria ortopnea, dyspnea, edema,

hasil: JVP/CVP meningkat,

1) Haluaran urin refleks hepatojugular

meningkat positif, suara napas

2) Edema menurun tambahan)

3) Tekanan darah 2) Identifikasi penyebab

membaik hypervolemia

4) Denyut nadi radial 3) Monitar status

membaik hemodinamik ( misalnya:

5) Tekanan arteri rata frekuensi jantung, tekanan

– rata membaik darah, MAP, CVP, PAP,

6) Turgor kulit POMP, CO, CI), jika

membaik tersedia

4) Monitor intake dan output

cairan

5) Monitor tanda

hemokonsentrasi (missal:

kadar natrium, BUN,

39
hematrocrit, berat jenis

urin)

6) Monitor tanda peningkatan

tekanan onkotik plasma

(missal: kadar protein dan

albumin meningkat)

7) Monitor kecepatan infus

secara ketat

8) Monitor efek samping

diuretic (missal: hipotensi

ortortostatik, hypovolemia,

hypokalemia,

hiponatremia)

Terapeutik

1) Timbang berat badan setiap

hari pada waktu yang sama

2) Batasi asupan cairan dan

garam

3) Tinggikan kepala tempat

tidue 30-40 derajat

Edukasi

1) Anjurkan melapor jika

haluaran urin <0,5 mL/kg/

jam dalam 6 jam

2) Anjurkan melapor jika BB

bertambah > 1kg dalam

sehari

40
3) Anjurkan cara mengukur

dan mencatata asupan dan

haluaran urin

4) Ajarkan acara membatasi

cairan

Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian

deuretik

2) Kolaborasi penggantian

kehilangan kalium akibat

diuretic

3) Kolaborasi pemberian

continuous renal

replacement theraphy

(CRRT), jika perlu .

2.3.6 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan hipervolemi pada decompensasi cordis adalah

melaksanakan tindakan intervensi mandiri seperti mengobservasi tanda tanda

hypervolemia, kemudia megajurkan pasien untuk beristirahat dengan posisi semi

fowler, mengajakran membatasi asupan cairan dan natrium (Tim Pokja SIKI DPP

PPNI, 2018).

41
2.3.7 Evaluasi Keperawatan

Setelah diberi asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam penderita di evaluasi

haluaran urin, edema, tekanan darah, denyut nadi radial, tekanan arteri, turgor

kulit (PPNI, 2018).

42
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah sesuatu yang vital dalam penelitian yang

memungkinkan memaksimalkan suatu kontrol beberapa faktor yang bisa

mempengaruhi validity suatu hasil, selain itu desain riset juga berguna sebagai

petunjuk peneliti dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk mencapai

suatu tujuan atau menjawab suatu pernyataan (Nursalam., 2003).

Metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk menganalisis data

dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul

sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk

umum atau generalisasi (Sugiono, 2013).

Desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus yang

menjadi pokok bahasan penelitian ini adalah digunakan untuk mengeksplorasi

masalah asuhan keperawatan pada klien decompensasi cordis dengan masalah

kelebihan volume cairan. Studi kasus merupakan rancangan penelitian yang

mencakup satu unit, satu unit disini dapat berarti satu klien, keluarga, kelompok,

komunitas, atau institusi. Unit yang menjadi kasus tersebut secara mendalam

dianalisis baik dari segi yang berhubungan dengan keadaan kasus itu sendiri,

factor - faktor yang mempengaruhi, kejadian – kejadian khusus yang muncul

sehubungan dengan kasus, maupun tindakan dan reaksi kasus terhadap suatu

perlakuan atau pemaparan tertentu. Meskipun yang di teliti hanya berbentuk unit

43
tunggal, namun dianalisis secara mendalam meliputi berbagai aspek (Nursalam,

2017).

3.2 Batasan Istilah

Batasan istilah dalam studi kasus dengan judul "Asuhan keperawatan dengan

masalah kelebihan volume cairan pada kasus Decompencatio cordis di RSU Haji

Surabaya adalah sebagai berikut:

Decompensasi cordis adalah suatu sindrom kompleks yang terjadi akibat

gangguan jantung yang merusak ventrikel untuk mengisi dan memompa cukup

darah untuk memenuhi kebutuhan metebolik tubuh (Lemone, P; Burke, K;

Bauldoff, 2016).

Hipervolemia mengacu pada perluasan isotonic dari CES yang disebabkan

oleh retensi air dan natrium yang abnormal dalam proporsi yang kurang lebih

sama dimana mereka secara normal berada dalam CES (Brunner and Suddarth,

2002).

Kerusakan ventrikel adalah ketidakmampuan ventrikel untuk memompa darah

keseluruh tubuh. Disebabkan oleh adanya kelemahan otot jantung yang

diakibatkan oleh penyakit pjk atau disebabkan oleh tekanan yang terus menerus

seperti penyakit hipentensi. Kerusakan ventrikel ini juga disebabkan oleh

miokardium atau penyakit yang berhubungan dengan penyakit metabolisme

(Black and Hawks, 2014).

3.3 Partisipan

Partisipan dalam keperawatan adalah pasien dan keluarga. Subyek yang

digunakan adalah 2 klien, dalam penelitian ini yang digunakan adalah klien:

44
1) Keadaan sadar dan kooperatif

2) Masalah yang memperberat (obesitas)

3) Usia 45 – 75 tahun

4) Pengkajian maksimal dimulai hari ke – 3 perawatan..

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

1) Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di HCU/Jantung RSU HAJI SURABAYA

2) Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2019 - Maret tahun 2020

3.5 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam studi kasus ini adalah sebagai berikut:

1) Pengkajian: dilakukan melalui wawancara dengan klien atau keluarga yang

berisi tentang riwayat keperawatan yaitu data biografi, riwayat kesehatan

sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan keluarga

2) Observasi dan pemeriksaan fisik: data yang didapatkan dari hasil pemeriksaan

fisik yang terdiri dari keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda vital dan

pemeriksaan fisik Bl-B6 meliputi breathing, blood, brain, bowel, bladder,

bone

3) Studi dokumentasi: didapatkan dari hasil rekam medik berupa ekokardiografi,

EKG, foto rontgen dada, dan Laboratorium

45
3.6 Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data dimaksudkan untuk menghasilkan validitas data studi

kasus yang tinggi. Disamping integritas peneliti (karena peneliti menjadi

instrument utama), uji keabsahan data dilakukan dengan:

1) Memperpanjang waktu pengamatan/tindakan sampai kegiatan studi kasus

berakhir dan memperoleh validitas tinggi. Dalam studi kasus ini waktu yang

tentukan adalah 7 hari akan tetapi apabila belum mencapai validitas data

yang diinginkan maka waktu untuk mendapatkan data studi kasus

diperpanjang sampai 3 bulan.

2) Sumber informasi tambahan menggunakan triangulasi dari tiga sumber data

utama yaitu pasien, keluarga dan perawat untuk memperjelas data atau

informasi yang telah diperoleh.

3.7 Analisa Data

Analisa data dilakukan sejak peneliti dilapangan, sewaktu pengumpulan data

sampai dengan semua data terkumpul. Analisa data dilakukan dengan cara

mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan dengan teori yang ada dan

selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan. Teknik analisis yang digunakan

dengan cara menarasikan jawaban-jawaban yang diperoleh dari hasil interpretasi

wawancara mendalam yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah. Urutan

analisis data pada studi kasus, yaitu :

1) Mereduksi data

Data hasil wawancara seluruh data yang diperoleh dari lapangan

ditelaah, dicatat kembali dalam bentuk uraian atau laporan yang lebih rinci

46
dan sistematis dan dijadikan satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan

menjadi data subjektif dan objektif, dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan

diagnostik kemudian dibandingkan nilai normal.

2) Penyajian data

Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan maupun teks

naratif. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan identitas

dari klien.

3) Kesimpulan

Data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan

hasil-hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku kesehatan.

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induksi. Data yang

dikumpulkan terkait dengan data pengkajian, diagnosis, perencanaan,

tindakan, dan evaluasi.

3.8 Etika Penelitian

Menurut (Nursalam, 2017), dicantumkan prinsip etika yang perlu diperhatikan

dalam mendasari penyusunan studi kasus, terdiri dari :

1) Informed Consent (persetujuan menjadi klien)

Memberikan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden studi

kasus dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuan Informed Consent

adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan studi kasus.

2) Anonimity (tanpa nama)

Masalah etika studi kasus merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam penggunaan subjek studi kasus dengan cara memberikan

47
atau menempatkan nama responden dan hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data atau hasil studi kasus yang akan disajikan.

3) Confidentiality (kerahasiaan)

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya

oleh peneliti studi kasus.

48
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, M; Nuralamsyah, M. & S. (2016) keperawatan medikal bedah sistem

kardiovaskular. pare-pare: Erlangga medical Series. Jakarta: Penerbit Buku

Erlangga.

Black, J. M. and Hawks, J. H. (2014) Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen

Klinis Untuk Hasil yang Diharapkan, 3.

Brunner and Suddarth, & (2002) Keperawatan Medikal - Bedah. Vol 2, Edisi 8.

Jakarta: EGC.

Engkartini, K. * (2019) ‘Pijat Kaki Efektif Menurunkan Foot Oedema Pada

Penderita Congestive Heart Failure (Chf)’, Jurnal Ilmu Keperawatan Medial

Bedah, 2(1), pp. 1–54.

Evans, J. (2017) Sistem KardioVaskuler. Elsevier.

Hurst, M. (2015) Belajar mudah keperawatan medikal bedah. Jakarta: Penerbit

Bku Kedokteran EGC.

Khasanah, S. et al. (2019) ‘Perbedaan Saturasi Oksigen Dan Respirasi Rute

Pasien Congestive Heart Failure Pada Perubahan Posisi’, Jurnal Ilmu

Keperawatan Medial Bedah, 2(1), pp. 1–54.

Lemone, P; Burke, K; Bauldoff, & (2016) Keperawatan Medikal Bedah Vol 5. 3rd

edn. Jakarta: Penerbit Bku Kedokteran EGC.

Majid, A. (2017) Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem

Kardiovaskuar. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Marunung, N. (2016) Aplikasi Asuhan Keperawatan Sistem Kardiovaskuler.

49
Jakarta: CV. Trans Info Media.

Mubarak, W. I., Indrawati, L. and Susanto, J. (2015) Buku Ajar Ilmu Keperawatan

Dasar, Buku 1. doi: 10.1111/ecoj.12426.

Mutaqqin, A. (2009) Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, A. H. & Kusuma, H. (2015) Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan

Diagnosa Medis dan Nanda Nic - Noc. Jogjakarta: Medication Jogja.

Nursalam. (2003) Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian. Jakarta: Salemba

Medika.

Nursalam (2017) Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis,

Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis. Jakarta: Salemba

Medika.

PPNI, T. P. S. D. (2018a) Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan

Kriteria Hasil Keperawatan. 1st edn. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

PPNI, T. P. S. D. (2018b) Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan

Kriteria Hasil Keperawatan. Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Riskesdas (2018) ‘Hasil Utama Riskesdas Penyakit Tidak Menular 2018’, Hasil

Utama Riskesdas Penyakit Tidak Menular, p. 8.

SDKI, T. P. (2017) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. 1st edn. Jakarta:

Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Shigemi, herdman. T. H. K. (2018) NANDA-I Diagnosa Keperawatan Definisi

dan Klasifikasi 2018 - 2020. 11th edn, Egc. 11th edn. Jakarta: Penerbit Bku

50
Kedokteran EGC. doi: ISBN 978-xxx-xxx-xx-x.

Sugiono (2013) Metodoligi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. 1st

edn. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Wijaya, A. S; & Putri, Y. M. (2013) Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogyakarta:

Nuha Medika.

Yasmara, D. N. & A. (2017) Rencana Asuhan Keperawatan Medikal - Bedah

Diagnosis Nanda - 1 2015 - 2017. Jakarta: Penerbit Bku Kedokteran EGC.

51

Anda mungkin juga menyukai