Anda di halaman 1dari 11

KURIKULUM 1984

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Telaah Kurikulum Matematika

Dosen Pengampu, Rika Sukmawati, M.Pd

Oleh :

Dyah Fitriana 1784202055

5A2

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYA TANGERANG

2019
PERKEMBANGAN KURIKULUM TAHUN 1984

A. Definisi Kurikulum 1984

Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan


proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut ‘Kurikulum 1975
yang disempurnakan’. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati
sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL).

Kurikulum yang terus berubah bertujuan untuk memperbaiki dan memperbaharui


dalam proses penyempurnaan kurikulum yang sebelumnya agar sesuai dengan tantangan masa
depan yang terus maju. Kurikulum 1984 merupakan hasil penyempurnaan dari kurikulum
1975. Secara umum, isi dari kurikulum 1984 mengarah pada orientasi pelajaran yang
menekankan pada keseimbangan antara kognitif, ketrampilan, sikap, antara teori dan praktik,
menunjang akan tercapainya tujuan pendidikan dan pengajaran. Kualifikasi lulusan lebih jelas
dan terarah pada lapangan pekerjaan tertentu. Mengandung unsur peningkatan aspek-aspek
kognitif dan psikomotor.

Kurikulum 1984 atau yang disebut juga dengan CBSA menunjuk pada keaktifan
mental, meskipun untuk mencapai maksud ini dalam hal di persyaratkan keterlibatan langsung
dalam berbagai bentuk keaktifan fisik. Salah satu cara untuk meninjau derajat ke CSBSA-an
di dalam peristiwa belajar mengajar adalah dengan menkonsepsikan rentangan antara dua
kutub gaya mengajar. Adapun dimensi-dimensi yang dimaksud adalah :

1. Partisipasi siswa di dalam menteapkan tujuan kegiatan belajar mengajar.


2. Tekanan pada aspek afektif dalam pengajaran.
3. Partispasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
4. Penerimaan (acceptance) guru terhadap perbuatan atau kontribusi siswa yang kurang
relevan atau bahkan sama sekali salah.
5. Kekohesifan kelas sebagai kelompok.
6. Kebebasan atau lebih tepat kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengambil
keputusan -keputusan penting dalam kehidupan sekolah.
7. Jumlah waktu yang dipergunakan untuk menanggulangi masalah pribadi siswa baik atau
tidak maupun yang berhubungan dengan pelajaran(Hasibuan, 1995:9).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan definisi kurikulum 1984 adalah kurikulum

sebagai pengalaman siswa karena dalam kurikulum ini siswa ditutut untuk berperan aktif dalam

kegiatan belajar mengajar.

B. Ciri-ciri Kurikulum 1984

Kurikulum 1984 banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi humanistik, yang


memandang peserta didik sebagai individu yang dapat dan mau aktif mencari sendiri,
menjelajah, dan meneliti lingkungannya. Adapun secara umum Kurikulum 1984 memiliki ciri-
ciri, sebagai berikut:

1. Berorientasi pada tujuan instruksional. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa pemberian
pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus
benar-benar fungsional dan efektif.
2. Pendekatan pengajaran berpusat pada peserta didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA). CBSA merupakan pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada
siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan
siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif,
maupun psikomotor.
3. Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah
pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan
keluasan materi pelajaran.
4. Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Sebagai penunjang
pengertian, alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep
yang dipelajari.
5. Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi
pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang
sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak
dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan.
6. Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan
belajar mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukan keterampilan,
memperoleh pengetahuan, dan mengomunikasikan perolehannya.
C. Komponen dan Tujuan Kurikulum 1984

Tujuan Kurikulum 1984 mengacu pada Tujuan Pendidikan Nasional seperti digariskan
dalam GBHN 1983, yaitu meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-
manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama sama
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa (Depdikbud, 1984).

D. Kebijakan Kurikulum 1984

Kurikulum 1984 memuat kebijakan, sebagai berikut:

1. Adanya perubahan dalam perangkat mata pelajaran inti. Kurikulum 1984 memiliki 16
mata pelajaran inti, yakni:
a. Agama;
b. Pendidikan Moral Pancasila;
c. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa;
d. Bahasa dan Kesusastraan Indonesia;
e. Geografi Indonesia;
f. Geografi dunia;
g. Ekonomi;
h. Kimia;
i. Fisika;
j. Biologi;
k. Matematika;
l. Bahasa Inggris;
m. Kesenian;
n. Keterampilan;
o. Pendidikan Jasmani dan Olahraga;
p. Sejarah Dunia dan Nasional.

2. Penambahan mata pelajaran pilihan yang sesuai dengan jurusan masing-masing.


3. Perubahan program jurusan. Jika semula pada Kurikulum 1975 terdapat 3 Jurusan di
SMA, yaitu IPA, IPS, dan Bahasa, maka dalam Kurikulum 1984 jurusan dinyatakan
dalam program A dan B. Program A, terdiri atas:
a. A1, penekanan pada mata pelajaran Fisika.
b. A2, penekanan pada mata pelajaran Biologi.
c. A3, penekanan pada mata pelajaran Ekonomi.
d. A4, penekanan pada mata pelajaran Bahasa dan Budaya.
e. B, penekanan keterampilan kejuruan, tetapi mengingat program B memerlukan
sarana sekolah yang cukup, maka program ini untuk sementera ditiadakan.

E. Pola Pengembangan Kurikulum 1984

Pada Kurikulum 1984 pemerintah menetapkan Pendidikan Pancasila sebagai mata


pelajaran wajib dalam kurikulum sejak SD sampai ke perguruan tinggi. Dalam TAP MPR
Nomor IV/MPR/1978 ditetapkan Pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib dan
diarahkan untuk menumbuhkan jiwa, semangat dan nilai-nilai 1945. Berdasarkan TAP MPR
Nomor II/MPR/1978 ditetapkan pula Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
sebagai “penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi
setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan
dan kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.”
Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P-4) dan juga dinamakan Ekaprasetia
Pancakarsa ditetapkan sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila melalui TAP MPR Nomor
II/MPR/1983.

Kurikulum SD 1984 memiliki struktur sama dengan kurikulum SD 1975. Semua mata
pelajaran tidak dibagi dalam kelompok-kelompok. Jumlah mata pelajaran bertambah menjadi
11 dengan adanya tambahan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)
dan Bahasa Daerah. PSPB untuk SD tidak diberikan di setiap catur wulan tetapi diberikan pada
setiap catur wulan III. Jumlah jam pelajaran per minggu dapat dikatakan sama dengan
kurikulum SD 1975 yaitu :

a. kelas I 26/27 jam,


b. kelas II 26/27 jam,
c. kelas III 33/33 jam,
d. kelas IV, V, dan VI masing-masing 36/37 jam.
Jika diperhatikan jumlah jam pelajaran ini berkurang dibandingkan dengan kurikulum
SD 1975 karena jam mata pelajaran Bahasa Daerah tidak dihitung dalam kurikulum SD 1975.
Bahasa Daerah hanya berlaku untuk di sejumlah daerah Indonesia seperti propinsi Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timut, dan Bali. Jam pelajaran untuk Bahasa Indonesia pada catur wulan
3 berkurang 1 jam untuk diberikan kepada PSPB.

Struktur kurikulum SMP 1984 sama dengan struktur kurikulum SMP 1975, yaitu
Program Pendidikan Umum, Program Pendidikan Akademis, dan Program Pendidikan
Ketrampilan. Dalam kelompok Program Pendidikan Umum terdapat mata pelajaran
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sehingga jumlah mata pelajaran di kelompok ini
bertambah satu dari kurikulum SMP 1975. Dalam kelompok Program Pendidikan Akademis,
IPA untuk kurikulum SMP 1984 langsung dibagi atas Biologi dan Fisika dengan alokasi waktu
terpisah masing-masing 3 jam pelajaran per minggu. IPS tidak dipisahkan dan tetap memiliki
jam pelajaran per minggu 4 jam sama dengan kurikulum sebelumnya. Di sini tampak adanya
pergeseran konsep dan filosofis dimana para pengembang kurikulum SMP 1984 terbagi dalam
kelompok yang berbeda. Pengembang kurikulum SMP 1984 masih tetap mempertahankan
pendidikan IPS sedangkan kelompok pengembang IPA sudah tidak lagi mempertahankan
pikiran semula yang digunakan dalam kurikulum SMP 1975. Mungkin saja kesulitan
mendapatkan guru yang mampu mengajar Biologi dan Fisika dalam satu mata pelajaran IPA
menjadi alasan utama pemisahan tersebut.

Struktur kurikulum SMA 1984 mengalami perubahan yang cukup mendasar


dibandingkan dengan kurikulum SMA 1975. Pada kurikulum SMA 1984 mata pelajaran
dikelompokkan Program Inti yang harus diikuti seluruh peserta didik dan Program Pilihan yang
mengganti istilah penjurusan. Perubahan terjadi juga dalam penjurusan baik mengenai waktu
mau pun mengenai jumlah penjurusan. Peserta didik baru memilih jurusan yang dinamakan
Program Pilihan pada saat mereka naik ke kelas II dan bukan pada semester II. Dalam hal
waktu penjurusan, kurikulum SMA 1984 sama dengan kurikulum SMA 1968. Nama Program
Pilihan adalah Program Ilmu-Ilmu Fisik, Program Ilmu-Ilmu Biologi, Program Ilmu-Ilmu
Sosial, dan Program Pengetahuan Budaya. Nama Ilmu Pasti yang selalu disejajarkan dengan
Pengetahuan Alam dalam kurikulum sebelumnya tidak digunakan lagi.
Orientasi pendidikan disiplin ilmu pada kurikulum SMA 1984 semakin kental dibandingkan
kurikulum sebelumnya. Orientasi pendidikan disiplin ilmu tampak pada nama-nama mata
pelajaran yang disamakan dengan nama disiplin ilmu dan pada mata pelajaran. Program Inti
yang tidak saja terdiri dari mata pelajaran umum seperti agama, PMP, dan pendidikan jasmani
terdapat pula mata pelajaran untuk landasan pendidikan akademik. Mata pelajaran Sejarah
(Indonesia dan Dunia), Geografi, Bahasa, Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, dan Bahasa
Inggris menjadi mata pelajaran dalam Program Inti.

Kurikulum 1984 pada dasarnya tidak banyak mengubah posisi belajar peserta didik.
Peserta didik harus memegang peran aktif dalam belajar terus dipertahankan. Bahkan
kurikulum baru menambah peran aktif itu dengan memperkenalkan ketrampilan proses. Pesta
didik harus melaksanakan ketrampilan proses sehingga mereka memiliki kemampuan dalam
mengembangkan masalah berdasarkan apa yang telah dibaca, diamati, dan dibahas.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0461/U/1983


tentang perbaikan kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah dalam lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Kurikulum dibawah pimpinan Prof. DR. Conny Semiawan
sesuai dengan tugasnya mengadakan perbaikan kurikulum yang hasilnya disebut dengan
Kurikulum 1984 TK, SD/SDLB, SMP/SMPLB, SMA/SMALB, SPG/LB dan SMK baik yang
setingkat dengan tingkat SMP maupun yang setingkat dengan tingkat SMA. Perbaikan
terhadap kurikulum mencakup:

1. Peninjauan kembali secara menyeluruh kurikulum yang berlaku melalui pendekatan


pengembangan dengan bertitik tolak pada:
a. Pilihan kemampuan dasar, baik pengetahuan maupun keterampilan yang perlu
dikuasai dalam pembentukan kemampuan dan watak peserta didik.
b. Keterpaduan dan keserasian antara matra kognitif, afektif dan psikomotorik.
c. Penyesuaian tujuan dan struktur kurikulum dengan perkembangan masyarakat,
pembangunan, ilmu pegetahuan dan teknologi.
2. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sebagai bidang/program yang
berdiri sendiri, dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan Sekolah Menengah
Tingkat Atas, termasuk Pendidikan Luar Sekolah.
3. Pengadaan program studi baru yang merupakan usaha memenuhi kebutuhan
perkembangan di lapangan kerja.
Salah satu prinsip pengembangan kurikulum 1984 adalah prinsip dekonsentrasi yang
mempunyai arti adanya pembagian kewenangan dalam pengembangan kurikulum antara Pusat
dan Daerah. Kewenangan daerah dalam hal ini terutama terletak pada pengembangan
keterampilan yang sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat dan lapangan kerja di
daerah. Untuk maksud ini maka Staf Bidang Dikdas dan Dikmenum, Kanwil Depdikbud
memerlukan koordinasi/kerjasama dengan Kantor Depdikbud tingkat Kabupatan dan atau
Tingkat Kecamatan, Instansi lain yang terkait, misalnya Kanwil Depnaker, KADIN, dan
Perusahaan, Pemerintah Daerah antara lain Gubernur, Walikota/Bupati, khususnya
BAPPEDA.
Pengembangan Kurikulum 1984 perlu berpedoman pada azas-azas
1) berdasarkan Pancasila, Undang-Undang 1945 dan GBHN,
2) Keluwesan dengan mempertimbangkan baik tuntutan kebutuhan peserta didik pada
umumnya maupun kebutuhan peserta didik secara individu sesuai dengan minat dan
bakatnya, serta kebutuhan lingkungan,
3) Pendekatan Pengembangan yang berarti bahwa pengembangan kurikulum
dilakukan secara bertahap dan terus menerus.yaitu dengan jalan melakukan
penilaian terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai untuk maksud
perbaikan/pemantapan dan pengembangan lebih lanjut, dan
4) Peran serta daerah dimana daerah berwewenang menjabarkan lebih lanjut materi
program keterampilan dan khususnya program B untuk Sekolah Menengah Atas.
Kurikulum 1984 dilaksanakan secara bertahap mulai dari kelas I pada tahun ajaran
1984/1985, kelas I dan kelas II pada tahun ajaran 1985/1986, dan seterusnya
(Soedirdjo, dkk, 2010: 45-46).

F. Matematika Pada Kurikulum 1984

Dengan memperhatikan karakteristik Kurikulum Matematika 1984 dan karakteristik


Pendidikan Matematika Realistik (PMR), seperti yang telah diuraikan di atas, dapat
dikemukakan beberapa argumentasi berikut ini.

1. Walaupun dalam Kurikulum Matematika 1984 disebutkan lebih memperhatikan


perkembangan kemampuan siswa, namun dalam pembelajaran penyajian matematika
terlalu cepat menuju bentuk formal (abstrak) matematika. Hal ini berbeda sama sekali
dengan PMR yang dalam pembelajaran menganut proses matematisasi horisontal dan
vertikal.
2. Pembelajaran matematika dalam Kurikulum 1984 lebih didominasi oleh pendekatan
deduktif serta metode ekspositori, demonstrasi, dan pemberian tugas. Kegiatan
pembelajaran lebih bersifat top-down, dilakukan melalui pemberian definisi, penjelasan
konsep, pemberian contoh soal dan latihan. Sedangkan dalam PMR siswa ditempatkan
sebagai bagian sentral dalam proses pembelajaran, dalam arti siswa dilibatkan serta aktif
berpartisifasi dalam membangun pengetahuannya. Pendekatan seperti ini bercirikan paham
konstruktivisme yang sesungguhnya mendorong siswa untuk membangun pengetahuan
mereka dengan pendekatan bottom-up diawali dengan pemanfaatan pengalaman serta apa
yang siswa ketahui.
3. Peranan guru dalam pendekatan top-down lebih sebagai pengajar untuk mentranfer
matematika dalam bentuk formal. Sedangkan dalam pendekatan yang bersifat bottom-up
peranan guru lebih sebagai fasilitator yang tidak 6 mendominasi keseluruhan proses
pembelajaran, melainkan memantau serta memberi arahan kepada siswa untuk menemukan
berbagai strategi penyelesaian terhadam masalah matematika yang diberikan, atau guru
menuntun siswa mengkonstrusi pengetahuan mereka.
4. Dalam Kurikulum Matematika 1984 masalah matematika atau lebih dikenal dengan soal
cerita atau soal aplikasi biasanya diberikan setelah konsep matematika dipahami siswa.
Sebaliknya, dalam PMR pemahaman dan pemaknaan matematika diharapkan dapat terjadi
melalui penyajian masalah kontekstual pada awal kegiatan pembelajaran.
5. Kurikulum Matematika 1984 dan PMR keduanya menekankan pada Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA). Pembelajaran matematika dalam Kurikulum 1984 CBSAnya lebih pada
aspek reinforcement, sedangkan dalam PMR CBSAnya lebih pada aspek reinvention.
6. Kurikulum Matematika 1984 dan PMR keduanya menekankan pemahaman matematika,
namun Kurikulum Matematika 1984 lebih berorientasi pada hasil belajar sedangkan dalam
PMR lebih berorientasi pada proses belajar.
7. Kurikulum Matematika 1984 memperhatikan keruntutan materi pelajaran namun belum
memadukan antarkonsep (intertwining) matematika. PMR “kurang” memperhatikan
urutan topik dalam kegiatan pembelajaran namun lebih mengutamakan pada intertwin
konsep.

Khusus untuk mata pelajaran matematika di SD, materi matematikanya difokuskan


kepada peningkatan keterampilan melakukan operasi hitung secara mencongak.

Pembelajaran matematika dalam Kurikulum 1984 lebih didominasi oleh pendekatan


deduktif serta metode ekspositori, demonstrasi, dan pemberian tugas. Kegiatan pembelajaran
lebih bersifat top-down, dilakukan melalui pemberian definisi, penjelasan konsep, pemberian
contoh soal dan latihan.

Dalam Kurikulum Matematika 1984 masalah matematika atau lebih dikenal dengan
soal cerita atau soal aplikasi biasanya diberikan setelah konsep matematika dipahami siswa.

G. Kelebihan dan Kekurangan

Terlepas dari berbagai pembaharuan yang ditawarkan oleh Kurikulum 1984, terdapat
kelebihan dan kekurangan dari Kurikulum 1984, sebagai berikut:

a. Kelebihan Kurikulum 1984:


1. Kurikulum 1984 memuat materi dan metode yang disebut secara rinci, sehingga
guru dan siswa mudah untuk melaksanakannya.
2. Keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar meningkat secara pesat, ditunjukkan
melalui peningkatan diri dalam melaksanakan tugas dan keberanian
mengemukakan pendapat dalam diskusi kelas.
3. Anak dapat belajar dari pengalaman langsung.
4. Kualitas interaksi antara siswa sangat tinggi, baik intelektual maupun sosial.

b. Kelemahan Kurikulum 1984:


1. Banyak sekolah yang salah menafsirkan metode CBSA dengan menganggap
disuksi yang dilakukan menjadikan suasana gaduh di kelas.
2. Guru dan siswa mengalami ketergantungan pada materi dalam suatu buku teks
dan metode yang disebut secara rinci, sehingga membentuk guru dan siswa
tidak kreatif untuk menentukan metode yang tepat dan memiliki sumber belajar
sangat terbatas.
3. Proses pembelajaran hanya didominasi oleh seorang atau sejumlah siswa
sehingga ia menolak pendapat siswa lain. Siswa yang pandai akan bertambah
pandai sedangkan yang kurang pandai tertinggal.
4. Guru berperan sebagai fasilitator, sehingga prakarsa serta tanggung jawab siswa
dalam kegiatan belajar sangat kurang. Hal ini juga mengakibatkan guru kurang
komunikatif dengan siswa.
5. Materi pelajaran tidak tuntas dikuasai siswa karena diperlukan waktu yang
banyak dalam pembelajaran menggunakan diskusi.
DAFTAR PUSTAKA

http://nurmarifa8.blogspot.com/2016/04/telaah-kurikulum-smpmts-tahun-1984.html

http://cakrawalaseribudunia.blogspot.com/2015/12/perkembangan-kurikulum-kurikulum-
1984.html

https://www.tintapendidikanindonesia.com/2017/07/kurikulum-1984.html

https://agussusilo121.wordpress.com/2015/06/30/kurikulum-1984/

http://haryatikurniawati96.blogspot.com/2015/11/kurikulum-1984-cbsa.html

Anda mungkin juga menyukai