Menurut sejarah, angka romawi sudah ada sejak jaman romawi kuno. Awalnya sIstem
perhitungannya diadaptasi dari system perhitungan milik bangsa Etruscan. Begitu juga
dengan angka-angkanya, mirip sekali dengan angka-angka milik bangsa Etruscan
Namun, berhubung angka-angka Etruscan susah untuk ditulis maupun dibaca, akhirnya pada
abad pertengahan angka romawi di sederhanakan. Contoh dalam bahasa Etruscan tertulis
angka-angka : I ^ X П 8 П . Dalam deretan angka romawi yang baru angka-angka itu berubah
menjadi : I V X L C M.
Sistem bilangan numerik adalah sebuah simbol atau kumpulan dari simbol yang
merepresentasikan sebuah angka. Numerik berbeda dengan angka. Simbol “11”, “sebelas”
dan “XI” adalah numerik yang berbeda, tetapi merepresentasikan angka yang sama yaitu
sebelas. Secara garis besar terdapat dua sistem numerik, yaitu sistem numerik berdasarkan
penambahan dan sistem numerik berdasarkan posisi. Sistem numerik yang paling sederhana
adalah Sistem numerik Unary. Sistem ini sering dipakai untuk melakukan pemilihan pada
suatu voting. Contoh dari sistem numerik Unary adalah Tally mark. Kerugiann penggunaan
dari sistem numerik Unary adalah sistem ini membutuhkan tempat yang besar. Selain sistem
numerik Unary, contoh lain dari sistem numerik berdasarkan penambahan adalah angka
Romawi. Angka Romawi atau bilangan Romawi adalah sistem penomoran yang berasal dari
Romawi kuno. Sistem penomoran ini memakai huruf Latin untuk melambangkan angka
numerik: ( I = 1, V = 5, X = 10, L = 50, C = 100, D = 500, M = 1000).
Angka Romawi dituliskan dengan simbol dari angka yang tersedia kemudian
ditambahkan atau dikurangkan. Untuk angka yang lebih besar (≥5.000), sebuah garis
ditempatkan di atas simbol indikator perkalian dengan 1.000. Angka Romawi sangat umum
digunakan sekarang ini, antara lain digunakan di jam, bab buku, penomoran sekuel film,
penomoran seri event olahraga seperti Olimpiade. Menurut sejarah, angka romawi sudah ada
sejak jaman romawi kuno. Pada zaman dahulu kala orang romawi kuno menggunakan
penomoran tersendiri yang sangat berbeda dengan sistem penomeran pada jaman seperti
sekarang. Angka romawi hanya terdiri dari 7 nomor dengan simbol huruf tertentu di mana
setiap huruf melambangkan / memiliki arti angka tertentu. Awalnya system perhitungannya
diadaptasi dari sistem perhitungan milik bangsa Etruscan. Begitu dengan angka-angkanya,
mirip dengan tokoh ilmuwan penemu angka-angka milik bangsa Etruscan. Berhubung angka-
angka Etruscan susah buat ditulis maupun dibaca, akhirnya pada abad pertengahan angka
romawi disederhanakan.
Contoh dalam bahasa Etruscan tertulis angka-angka : I ^ X П 8 П. Dalam deretan
angka romawi yang baru angka-angka itu berubah menjadi : I V X L C M. Yang unik dalam
deretan angka romawi kalau diperhatikan tidak ada angka 0. Padahal konon konsep zero (0)
sebagai angka sudah dikenal oleh bangsa romawi sejak agama Kristen muncul karena dalam
pembuatan kalender kristiani, zero amat penting untuk menentukan hari paskah. Angka 0
diganti jadi huruf N. huruf N itu singkatan dari Nulla, sebuah kata dalam bahasa latin yang
memiliki arti Nothing alias nggak ada.
1. Ana tinggal bersama kedua orng tuanya di jalan H. Syamsudin III no. 33
Secara umum bilangan Romawi terdiri dari 7 angka (dilambangkan dengan huruf)
sebagai berikut :
- I melambangkan bilangan 1
- V melambangkan bilangan 5
- X melambangkan bilangan 10
- L melambangkan bilangan 50
- C melambangkan bilangan 100
- D melambangkan bilangan 500
- M melambangkan bilangan 1000
Dari ketujuh bilangan itu, kita bisa membuat bilangan-bilangan lain. Untuk bilangan-bilangan
yang lain, dilambangkan oleh perpaduan (campuran) dari ketujuh lambang bilangan tersebut.
Pada sistem bilangan romawi tidak dikenal bilangan 0 ( nol ). Untuk membaca
bilangan romawi, kita harus hafal dengan benar ketujuh lambang bilangan dasar romawi.
Contoh :
1. II = I + I
=1+1
= 2 Jadi, II dibaca 2
2. LXXVI = L + X + X + V + I
= 50 + 10 + 10 + 5 + 1
3. CXXXVII = C + X + X + X + V + I + I
= 100 + 10 + 10 + 10 + 5 + 1 + 1
Dalam aturan ini semakin ke kanan, nilainya semakin kecil dan tida ada lambang bilangan
dasar yang berjajar lebih dari tiga. Sehingga, dalam membaca bilangan romawi dalam aturan
ini adalah sebagai berikut :
- Jika lambang yang menyatakan angka lebih kecil terletak di kanan, maka lambang-
lambang romawi tersebut dijumlahkan.
- Penambahannya paling banyak tiga angka
1. IV = V – I
= 5–1
= 4 , Jadi IV dibaca 4
2. IX = X – I
= 10 – 1
= 9, Jadi IX dibaca 9
3. XL = L – X
= 50 – 10
= 40 , Jadi XL dibaca 40
3. Aturan Gabungan
Selain aturan penjumlahan dan pengurangan terdapat juga aturan gabungan, dimana
aturan penjumlahan dan pengurangan dapat digabung sehingga bisa lebih jelas dalam
membaca lambang bilangan romawi.
Contoh :
1. XIV = X + ( V – I )
= 10 + ( 5 – 1 )
Cara menuliskan lambang bilangan romawi yaitu dengan aturang-aturan yang ada dalam
bilangan romawi tersebut.
Contoh :
1. 24 = 20 + 4
= ( 10 + 10 ) + ( 5 – 1 )
= XX + IV
2. 139 = 100 + 30 + 9
= 100 + ( 10 + 10 + 10 ) + ( 10 – 1 )
= C + XXX + IX
= M + CD + XC + VI
http://dillamaths.blogspot.com/2016/03/sejarah-angka-romawi.html
Sejarah Bilangan Desimal
http://pakantondwilaksono.blogspot.com/2011/06/penemu-bilangan-desimal.html
Hampir tidak ada negara di dunia yang tidak mengenal apa itu bilangan. Semuanya
mengetahui bilangan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 0. Lalu, apakah pernah kita berpikir mengapa
simbol (1) kita menyebutnya “satu”, (2) dengan sebutan “dua” hingga untuk simbol (0) kita
menyebutnya “nol”? Disini kita akan bahas mengenai sejarah dibalik penamaan-penamaan
bilangan tersebut. Terdapat beberapa pendapat mengenai sejarah dari sistem penamaan
bilangan Indonesia.
1. Berdasarkan sudut yang terbentuk
Menurut sebagian pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa peletak pertama
nomor adalah seorang pembuat kaca dari maghribi (sekarang adalah negara Maroko). Dalam
peletakannya itu ia membuat dasar-dasar nomor berdasarkan banyaknya jumlah sudut. Suatu
bangun yang mempunyai satu sudut diletakkan untuk pengibaratan angka satu, dua sudut
untuk angka dua, tiga sudut untuk angka tiga, dan seterusnya. Jika pemahaman di atas
digambarkan dalam sebuah gambar maka modifiksi dari gambaran di atas itu dengan model :
Terlihat sangat jelas untuk model tersebut hanya ada satu sudut yang terbentuk, dan
ada dua sudut yang dilihat dari angka (2) hingga tidak melihat sudut dari angka (0). Dari
model bilangan diatas, jika teliti secara mendetail dengan tatanan : (1) pada angka 0 dan 9
tetap pada posisinya; (2) 8, 6, 5, 4, 3, 1 diputar 90º ke kanan kecuali angka 6 putar 180º; (3)
2, 7 dibalik.
Selanjutnya jika simbol-simbol itu kita sambungkan maka akan terbentuk huruf yang
menyerupai huruf arab yaitu : حساب وهدفيdengan bulatan nol sebagai ibarat dari sukun yang
berada di akhir dan mempunyai arti “dan tujuanku adalah berhitung”. Uraian tersebut
menyadarkan kita bahwa dari huruf arab pun terselip hubungan-hubungan khusus dengan
angka.
Hampir setiap muslim hafal dengan huruf-huruf Arab (huruf hijaiyah), tetapi hanya
sedikit orang yang mengetahui urutan abjad yang benar. Selama ini kita mengenal abjad Arab
dari alif sampai ya’ urutan tersebut merupakan abjad Arab yang disusun dan dikelompokan
menurut kemiripan bentuknya. Sedangkan urutan abjad Arab yang sebenarnya adalah dari alif
sampai ghain. Dimana dari setiap huruf mempunyai nilai numerik masing-masing.
Penggunaan nilai numerik ini untuk menghitung suatu nama, Asma Allah dan ayat-
ayat Al-Qur’an. Misalnya dalam bacaan wirid-wirid Asmaul Husnah. Ternyata yang memiliki
nilai numerik 3 adalah huruf jim bukan tsa yang selama ini kita tahu. Penyebutan nilai
numerik pada huruf Arab menunjukan perhatian Al-Qur’an terhadap bidang ilmu
pengetahuan khususnya matematika. Beberapa bilangan yang disebutkan memiliki
keterkaitan antara satu dengan yang lain.
Pada sistem numerasi Ijir pun terlihat keterkaitannya, dimana angka satu disimbolkan dengan
goresan berbentuk tongkat dan bentuknya menyerupai angka satu. Terlihat dari setiap sistem
numerasi lain pun seperti itu, seperti Mesir dan Attika.
Di Indonesia ada beragam bahasa daerah yang ada, namun kita ambil dua bahasa
daerah yaitu Jawa dan Sunda.
Angka Jawa Sunda Indonesia
1 Siji Hiji Satu
2 Loro Dua Dua
3 Telu Tilu Tiga
4 Papat Opat Empat
5 Limo Lima Lima
6 Enem Genep Enam
7 Pitu Tujuh Tujuh
8 Wolu Dalapan Delapan
9 Songo Salapan Sembilan
Sistem penamaan diantara bilangan tersebut memiliki sedikit persamaan satu sama
lain seperti pada angka tiga, empat, dan lima antar dua bahasa tersebut memiliki persamaan
pengucapan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Pada tabel kita bisa melihat ternyata penamaan angka dalam bahasa Indonesia lebih
memiliki banyak persamaan dengan penamaan menggunakan bahasa Sunda dari pada bahasa
Jawa. Bahasa Indonesia diadopsi dari bahasa Melayu, dari segi kultural bahasa daerah lebih
duluan muncul dari pada bahasa Indonesia. Karena dari fungsi bahasa Indonesia itu sendiri
yaitu untuk mempersatukan bangsa yang memiliki keanekaragaman termasuk dalam segi
bahasa daerah. Sehingga mungkin tidak menutup kemungkitan para sastrawan dan
matematikawan dulu mempertimbangkan dari bahasa daerah khususnya Sunda untuk sistem
penamaan bilangan tersebut. Secara tidak langsung kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa
Sunda mempengaruhi bahasa Melayu pada zaman dulu.
Dilihat dari segi sejarah bahasa Melayu lebih dulu muncul dari pada bahasa Sunda
yaitu 2500 SM pada gelombang pertama yang dikenal sebagai Melayu-proto. Dan bahasa
Sunda itu sendiri adalah sebuah bahasa dari cabang bahasa Melayu-polinesia dalam rumpun
bahasa Austronesia. Jadi bahasa penyebaran basa Melayu lebih dulu muncul di wilayah
Negara Indonesia sebelum bahasa Sunda dipergunakan yaitu sejak abad ke IV. Karena bahasa
Melayu pun mengalami berbagai perkembangan dan perubahan menjadi beberapa golongan
dan mungkin itu yang menjadi dasar terdapat sedikit kemiripan dari penamaan bilangan
dalam bahasa Sunda dengan bahasa Melayu.
Keanekaragaman budaya dan masyarakat serta pendapat orang-orang yang terkemuka
menimbulkan berbagai presepsi mengenai sejarah dari sistem penamaan bilangan ini.
Penjelasan diatas semestinya membuat kita sadar bahwa sesederhana apapun sebuah simbol
matematika, itu memiliki arti dan penjelasan yang logis.
http://megaea17.blogspot.com/2015/07/blog-post.html
Sistem numerasi adalah sekumpulan lambang dan aturan pokok untuk menuliskan
bilangan. Lambang yang menyatakan suatu bilangan disebut numeral / lambang bilangan.
Lambang yang menyatakan suatu bilangan disebut numeral.
Menurut sejarah ketika manusia mulai mengenal tulisan (zaman sejarah) dan
melakukan kegiatan membilang atau mencacah, mereka bingung bagaimana memberikan
lambang bilangannya. Sehingga kemudian dibuatlah suatu sistem numerasi yaitu sistem yang
terdiri dari numerial (lambang bilangan/angka) dan number (bilangan). Sistem numerasi
adalah aturan untuk menyatakan/menuliskan bilangan dengan menggunakan sejumlah
lambang bilangan.
Bilangan sendiri itu adalah ide abstrak yang tidak didefinisikan. Setiap Bilangan
mempunyai banyak lambang bilangan. Satu lambang bilangan menggambarkan satu
bilangan. Setiap bilangan mempunyai banyak nama. Misalnya bilangan 125 mempunyai
nama bilangan seratus dua puluh lima. terdiri dari lambang bilangan 1, 2, dan 5.
1. Aturan Aditif : Tidak menggunakan aturan tempat dan nilai dari suatu lambang
didapat dari menjumlah nilai lambang-lambang pokok. Simbolnya sama nilainya
sama dimanapun letaknya.
2. Aturan pengelompokan sederhana : Jika lambang yang digunakan mempunyai nilai-
nilai n0, n1, n2,… dan mempunyai aturan aditif.
3. Aturan tempat : Jika lambang-lambang yang sama tetapi tempatnya beda mempunyai
nilai yang berbeda.
4. Aturan Multiplikatif : Jika mempunyai suatu basis (misal b), maka mempunyai
lambang-lambang bilangan 0,1,2,3,..,b-1 dan mempunyai lambang untuk b2, b3, b4,..
dan seterusnya.
1. Sistem Numerasi Mesir Kuno Mesir (±3000 SM)
Bangsa Mesir Kuno telah mengenal alat tulis sederhana menyerupai kertas yang
disebut papyrus. Mereka membuat tulisan berbentuk gambar-gambar dengan menggunakan
sejenis pena sengan tinta berwarna hitam atau merah. Tulisan Mesir Kuno sering diesebut
tulisan Hieroglif, dan tulisan ini ditemukan dalam bentuk gambar pada papyrus ataupun
guratan pada batu atau potongan kayu.Tulisan Mesir Kuno diperkirakan berkembang pada
tahun 3400 S.M. Tulisan pada zaman mesir ini ditulis dari kata papu yaitu semacam tanaman.
Sistem Numerasi Mesir Mesir Kuno bersifat aditif, dimana nilai suatu bilangan merupakan
hasil penjumlahan nilai-nilai lambang-lambangnya.
Pada masa itu orang menulis angka-angka dengan sepotong kayu pada tablet yang
terbuat dari tanah liat (clay tablets). Tulisan atau angka Babilonia sering disebut sebagai
tulisan paku karena berbentuk seperti paku. Orang Babilonia menuliskan huruf paku
menggunakan tongkat yang berbentuk segitiga yang memanjang (prisma segitiga) dengan
cara manekankannya pada lempengan tanah yang masih basah sehingga dihasilkan cekungan
segitiga yang meruncing menyerupai gambar paku. Pertama kali orang yang mengenal
bilangan 0 (nol) adalah Babylonian.
Sistem angka babilonia (sekitar 2400 SM) disebut juga sistem sexagesimal, karena
menggunakan basis 60 yang diambil dari Sumeria. Sexagesimal masih ada sampai saat ini,
dalam bentuk derajat, menit, dan detik di dalam trigonometri dan pengukuran waktu yang
merupakan warisan budaya Babilonia.
Berbeda dengan sistem Mesir kuno, sistem Babilonia mengutamakan posisi. Untuk
bilangan lebih dari 60, lambang mendahului lambang , dan sebarang lambang di sebelah kiri
mempunyai nilai 60 kali nilai hasilnya,
Sistem angka babilonia tidak memiliki angka nol, mereka menggunakan spasi untuk
menandai tidak adanya angka dalam nilai tempat tertentu.
Zaman keemasan bangsa yunani kuno diperkirakan terjadi pada tahun 600 S.M
Bangsa Yunani telah mengenal huruf dan angka yang ditandai dengan tulisan-tulisan
bangsa Yunani pada kulit kayu atau logam sehingga bentuk tulisannya pun terlihat kaku
dan kuat.
Sistem numerasi ini berkembang sekitar abad 300 S.M. dan dikenal sebagai angka
acrophonic karena simbol berasal dari huruf pertama dari kata-kata yang mewakili
simbol: lima, puluhan, ratusan, ribuan dan puluh ribuan. Tulisan ini ditemukan di daerah
reruntuhan Yunani yang bernama Attika. Sistem numerasi attik dilambangkan sederhana,
dimana angka satu sampai empat dilambangkan dengan lambang tongkat.
Lambang-lambang lain yang mendasari sistem ini, yaitu:
1 Ι
10 Δ [Deka]
100 Η [Hekaton]
1000 Χ [Khilioi / Khilias]
10000 Μ [Myrion]
Dalam sistem numerasi ini, lambang nol belum ada. Sistem numerasi ini adalah
sistem numerasi aditif dan multiplikatif. Multiplikatif terlihat pada penggunaan
lambang dimana setiap lambang dasar yang sama dapat disingkat dengan
menggunakan lambang tersebut.
Contoh Penulisan Multiplikatif :
23 = Δ ΔIII
45 = Δ Δ Δ Δ┌
50 = Δ Δ Δ Δ Δ atau éΔ
120 = H Δ Δ
1234 = XHH Δ Δ ΔIIII
43210 =MMMMXXX HH Δ
Digunakan setelah S.N. Yunani kuno attic, Kira-kira tahun 450 SM. bangsa Ionia dari
Yunani telah mengembangkan suatu sistem angka, yaitu alphabet Yunani sendiri yang
terdiri dari 27 huruf. Bilangan dasar yang mereka pergunakan adalah 10.
- Bilangan yang terdiri dari 5 (lima) digit atau lebih, dengan menaruh angka yang
bersangkutan di atas tanda M.
Contoh:
23734 = β Mg’jld
231578 =Àg Ma’foh
1. Penjumlahan, jika lambang pada bagian kanan menyatakan bilangan yang lebih
kecil.
2. Pengurangan, jika lambang pada bagian kiri menyatakan bilangan yang lebih kecil.
Contoh
CX = 100+10 = 110 (dari kiri ke kanan nilainya menurun,jadi dijumlahkan)
XC = 100-10 = 90 (dari kiri ke kanan nilainya naik,jadi dikurangkan)
Adapun aturan resmi penggunaan huruf yang lain adalah sebagai berikut:
1) Huruf pengurangan hanyalah pangkat sepuluh, seperti l, X, dan C.
2) Kurangkan hanya satu huruf dari sebuah angka tunggal.
3) Jangan mengurangkan huruf dari huruf yang besarnya lebih dari sepuluh kali.
4) Aturan yang berlaku di Mesir, empay ditulis IV dan bukan IIII
5) Selama tahun pertengahan, angka Romawi N digunakan sebagai lambang “nullae”
yang menyatakan nol.
8. Sistem Numerasi Hindu-Arab (±300SM- 750 M)
Bangsa Hindu pada tahun 300 S.M diperkirakan sudah mempunyai angka-
angka dengan menggunakan bilangan basis 10, tetapi mereka belum mengenal
bilangan nol. Mereka mulai menggunakan sistem nilai tempat dan mengenal bilangan
nol diperkirakan terjadi pada tahun 500 M. Sistem numerasi Hindu-Arab
menggunakan sistem nilai tempat dengan basis 10 yang dipengaruhi oleh banyaknya
jari tangan, yaitu 10. Berasal dari bahasa latin decem yang artinya sepuluh, maka
sistem numerasi ini sering disebut sebagai sistem desimal.
Sistem Hindu-Arab berasal dari India sekitar 300 SM dan mengalami banyak
perubahan yang dipengaruhi oleh penggunaannya di Babilonia dan Yunani. Baru
sekitar tahun 750 sistem Hindu-Arab berkembang di Bagdad. Bukti sejarah hal ini
tertulis dalam buku karangan matematisi arab yang bernama Al-Khawarizmi yang
berjudul Liber Algorismi De Numero Indorum.
Sistem numerasi Hindu-Arab ini juga disebut dengan sistem numerasi desimal
(Ruseffendi, 1984). Dan menurut Troutman & Lichtenberg (1991) sistem numerasi
Hindu-Arab ini mempunyai karakteristik:
1) Menggunakan sepuluh macam angka yaitu 0 sampai dengan 9;
2) Menggunakan sistem bilangan dasar sepuluh.
3) Menggunakan sistem nilai tempat.
4) Menggunakan sistem penjumlahan dan perkalian.
http://sistemnumerasi.blogspot.com/2016/09/v-behaviorurldefaultvmlo.html
Sistem Bilangan
Sistem Bilangan atau Number System adalah Suatu cara untuk mewakili besaran dari
suatu item fisik. Sistem Bilangan menggunakan suatu bilangan dasar atau basis (base / radix)
yang tertentu. Dalam hubungannya dengan komputer, ada 4 Jenis Sistem Bilangan yang
dikenal yaitu : Desimal (Basis 10), Biner (Basis 2), Oktal (Basis 8) dan Hexadesimal (Basis
16). Berikut penjelesan mengenai 4 Sistem Bilangan ini :
Desimal (Basis 10) adalah Sistem Bilangan yang paling umum digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Sistem bilangan desimal menggunakan basis 10 dan menggunakan 10
macam simbol bilangan yaitu : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9. Sistem bilangan desimal dapat
berupa integer desimal (decimal integer) dan dapat juga berupa pecahan desimal (decimal
fraction).
Untuk melihat nilai bilangan desimal dapat digunakan perhitungan seperti berikut, misalkan
contoh bilangan desimal adalah 8598. Ini dapat diartikan :
Dalam gambar diatas disebutkan Absolut Value dan Position Value. Setiap simbol
dalam sistem bilangan desimal memiliki Absolut Value dan Position Value. Absolut value
adalah Nilai Mutlak dari masing-masing digit bilangan. Sedangkan Position Value adalah
Nilai Penimbang atau bobot dari masing-masing digit bilangan tergantung dari letak
posisinya yaitu bernilai basis di pangkatkan dengan urutan posisinya. Untuk lebih jelasnya
perhatikan tabel dibawah ini.
Dengan begitu maka bilangan desimal 8598 bisa diartikan sebagai berikut :
Sistem bilangan desimal juga bisa berupa pecahan desimal (decimal fraction), misalnya :
183,75 yang dapat diartikan :
2. Biner (Basis 2)
Biner (Basis 2) adalah Sistem Bilangan yang terdiri dari 2 simbol yaitu 0 dan 1.
Bilangan Biner ini di populerkan oleh John Von Neumann. Contoh Bilangan Biner 1001, Ini
dapat di artikan (Di konversi ke sistem bilangan desimal) menjadi sebagai berikut :
Position Value dalam sistem Bilangan Biner merupakan perpangkatan dari nilai 2 (basis),
seperti pada tabel berikut ini :
Berarti, Bilangan Biner 1001 perhitungannya adalah sebagai berikut :
3. Oktal (Basis 8)
Oktal (Basis 8) adalah Sistem Bilangan yang terdiri dari 8 Simbol yaitu 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7.
Contoh Oktal 1022, Ini dapat di artikan (Di konversikan ke sistem bilangan desimal) menjadi
sebagai berikut :
Position Value dalam Sistem Bilangan Oktal merupakan perpangkatan dari nilai 8 (basis),
seperti pada tabel berikut ini :
Hexadesimal (Basis 16), Hexa berarti 6 dan Desimal berarti 10 adalah Sistem Bilangan yang
terdiri dari 16 simbol yaitu 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, A(10), B(11), C(12), D(13), E(14),
F(15). Pada Sistem Bilangan Hexadesimal memadukan 2 unsur yaitu angka dan huruf. Huruf
A mewakili angka 10, B mewakili angka 11 dan seterusnya sampai Huruf F mewakili angka
15.
Contoh Hexadesimal F3D4, Ini dapat di artikan (Di konversikan ke sistem bilangan desimal)
menjadi sebagai berikut :
Position Value dalam Sistem Bilangan Hexadesimal merupakan perpangkatan dari nilai 16
(basis), seperti pada tabel berikut ini :
http://sistem-bilangan.blogspot.com/p/materi.html