Anda di halaman 1dari 8

Lab/SMF Dermatologi dan Venereologi Journal Reading

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

IMPETIGO HERPETIFORMIS : ULASAN PATOGENESIS, KOMPLIKASI DAN


TERAPI

Oleh:
Muhamad Chairul Fadhil
NIM. 1710029054

Pembimbing:
dr. Daulat Sinambela, Sp.KK

LABORATORIUM/SMF DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT karena atas petunjuk dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini disusun sebagai syarat menyelesaikan kepaniteraan
klinik di Stase Dermatologi dan Venereologi. Penulisan tugas ini dapat terselesaikan atas
bantuan berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi Pendidikan
Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Vera Madonna L., M.Kes., M.Ked(DV)., Sp.DV selaku kepala Laboratorium
Dermatologi dan Venereologi RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. M. Darwis Toena, Sp.KK., FINSDV., FAADV selaku kepala SMF Dermatologi
dan Venereologi RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
5. dr. Daulat Sinambela, Sp.KK selaku dosen pembimbing klinik dan pembimbing dalam
penyusunan tugas ini yang telah meluangkan banyak waktu dan kesempatan dalam
memberikan bimbingan.
6. Seluruh dosen pembimbing selama menjalani kepaniteraan klinik di Laboratorium
Dermatologi dan Venereologi yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan
untuk memberikan bimbingan.
7. Kedua orang tua tercinta, keluarga, serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tugas ini.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Samarinda, 20 Agustuts 2019

Penulis
Ulasan Artikel

Impetigo Herpetiformis : Ulasan Patogenesis, Komplikasi dan Terapi

Nastaran Namazi dan Sahar Dadkhahfar

Skin Research Center, Shahid Behesti University of Medical Science, Teheran

Publikasi 4 April 2018

1. Pendahuluan
Impetigo herpetiformis (IH) adalah dermatosis langka yang terjadi saat
kehamilan dan dapat mengancam jiwa. Impetigo herpetiformis sering dianggap
sebagai bagian dari psoriasis pustular meskipun ada pendapat lain yang menyatakan
bahwa kondisi tersebut tidaklah sama. Kondisi ini sebagian besar terjadi pada
trimester ketiga kehamilan dan biasanya akan mengalami perbaikan setelah
persalinan, namun terdapat kemungkinan untuk kambuh kembali pada kehamilan
berikutnya.

2. Patogenesis
Etiologi dari IH masih belum dapat dijelaskan. Menurut beberapa bukti,
riwayat IH pada keluarga dan faktor genetik dapat mempengaruhi terjadinya IH.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, kebanyakan dari kasus psoriasis pustular tanpa
riwayat psoriasis vulgaris ditemukan adanya mutasi homozigot ataupun mutasi
majemuk heterozigot dari Reseptor Antagonis Interleukin 36 (IL36RN) yang
mengkodekan reseptor antagonis IL-36.
IL-36 sebenarnya tidak ditemukan pada kulit normal, namun pada dermatosis
pustularis didapatkan adanya induksi oleh sitokin seperti Tumor Necrosis Factor
Alpha, IL-17A dan IL-22. Laporan dari dua kasus IH yang terjadi di Jepang
memperlihatkan adanya mutasi homozigot dan heterozigot dari IL36RN. Baru-baru
ini, mutasi IL36RN juga telah dilaporkan terjadi pada pasien IH di Cina.
Meskipun terdapat proporsi penderita IH dengan hasil IL36RN negatif dan
perlu untuk dipantau lebih lanjut, adanya mutasi pada gen ini dapat dipertimbangkan
mengingat memiliki peran yang menjanjikan dalam memprediksi kejadian IH dan
mencegah kemungkinan risiko yang dapat terjadi pada ibu hamil dan janin yang
dikandung.
Meskipun sulit untuk mempertimbangkan sebab dan akibat, terdapat beberapa
kondisi yang ditemukan berhubungan dengan IH dan yang paling tampak adalah
hipokalsemia. Kondisi lain yang telah dilaporkan mendasari terjadinya hipokalsemia
pada pasien IH antara lain hipoparatirodisme, hipoalbuminemia, kadar vitamin D
yang rendah, dan berkurangnya ionisasi serum kalsium oleh karena malabsorpsi.
Hipoparatiroidisme adalah kondisi paling menonjol yang mungkin diketahui
memiliki peran dalam terjadinya IH. Meskipun mekanismenya masih sangat belum
dipahami, beberapa obat mungkin dapat menginduksi terjadinya IH. Dalam sebuah
laporan IH yang dipicu oleh N-butyl-scopolammonium bromide, IH terjadi pada
minggu ke-34 kehamilan setelah 5 hari obat tersebut dikonsumsi. Ritodrine
hidrokloride, sebuah obat yang digunakan untuk menekan kontraksi uterus prematur
juga dilaporkan dapat menginduksi IH.

3. Gambaran Klinis

Lesi yang khas pada IH adalah plak eritematosa yang dikelilingi oleh
beberapa pustula steril di bagian tepi, dengan predileksi didaerah lipatan tubuh, dapat
berkembang secara sentrifugal, dapat pula terbentuk erosi dan krusta yang mungkin
dapat terbentuk impetiginasi.

Gambar 1 : Lesi anular psoriasis pustular saat kehamilan pada paha kiri
seorang wanita hamil G1 dengan usia kehamilan 36 minggu

Meskipun jarang ditemukan, lesi vegetatif yang menyerupai Pemfigus


vegetans dapat ditemui pada pasien IH. Dapat pula ditemukan adanya kelainan pada
daerah lain seperti pada kuku dan lesi mukosa lidah, mulut dan bahkan di esofagus.
Hipoparatiroidisme dan hipokalsemia mungkin dapat ditemukan pada pasien IH.

4. Komplikasi

Aspek penting dari impetigo herpetiformis adalah komplikasi yang dapat


terjadi dan pada akhirnya membahayakan nyawa ibu hamil dan janin. Proporsi yang
signifikan pada komplikasi IH berhubungan erat dengan penurunan sirkulasi plasenta
dan ketidakseimbangan elektrolit, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa pada IH dapat terjadi perubahan pada kadar serum kalsium. Gejala sistemik
seperti mual, muntah, demam, diare, menggigil, syok hipovolemik, malaise dan
temuan laboratorium seperti leukositosis, peningkatan ESR, hipokalsemia,
hipoalbuminemia dan anemia defisiensi besi mungkin berhubungan dengan IH.
Hipertensi gestasional telah dilaporkan menjadi komplikasi pada wanita hamil 32
minggu dengan IH.

Selain itu, IH juga telah dilaporkan berhubungan dengan meningkatnya


komplikasi prenatal seperti IUGR sebagai akibat dari menurunnya sirkulasi plasenta,
ketuban pecah dini dan bahkan kelahiran mati. Tere juga telah melaporkan seorang
bayi yang lahir dengan Ondine’s Curse ( sindroma hipoventilasi sentral) dari seorang
ibu dengan IH yang ditemukan saat usia kehailan 8 bulan. Kekambuhan telah
dijelaskan terjadi pada 9 kehamilan pada wanita muda. Hal ini juga terjadi sebagai
akibat penggunaan pil kontrasepsi oral (kombinasi etinil estradiol dan progesteron)
pada pasien yang sama.

5. Terapi
Hal yang menjadi tantangan utama dalam pemberian terapi pasien IH adalah
kondisi kritis yang dialami oleh ibu hamil dan janin serta adanya kemungkinan
teratogenisitas dari obat yang digunakan selama pengobatan IH. Meskipun banyak
pilihan terapi yang diusulkan untuk IH, namun tidak ada pedoman pasti untuk
pengobatan IH dan bukti kemanjuran pengobatan yang masih belum jelas.
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit terutama hipovolemi, hipokalsemi, dan
rendahnya kadar vitamin D harus segera dikoreksi.
6. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik yang secara riwayat memang digunakan dalam
pemberian terapi psoriasis pustular tetap menjadi pilihan utama untuk pengobatan IH.
Dosis awal untuk kasus ringan hingga sedang adalah 15-30 mg per hari. Jika
diperlukan, dosis dapat ditingkatkan hingga 40-60 mg dan bahkan hingga 80 mg per
hari. Hal yang menjadi perhatian utama dalam pemberian terapi kortikosteroid pada
wanita hamil adalah terjadinya peningkatan insidensi dari kelainan celah mulut.
Karena IH lebih sering terjadi pada akhir trimester ketiga kehamilan, maka
penggunaan kortikosteroid dapat dipertimbangkan sebagai pilihan yang aman.
Penggunaan terapi kortikosteroid topikal yang poten mungkin dapat meningkatkan
resiko IUGR. Oleh karena itu, akan lebih bijak untuk mempergunakan kortikosteroid
potensi lemah hingga sedang dibandingkan kortikosteroid potensi tinggi atau super
poten.

7. Siklosporin
Siklosporin adalah pilihan terapi yang digunakan pada pasien yang tidak
responsif dengan pemberian kortikosteroid. Menurut literatur, siklosporin telah
digunakan dalam menerapi 14 pasien IH dan sebagian besar dikombinasikan dengan
kortikosteroid sistemik. Siklosporin telah digunakan dengan dosis 2-7.5 mg/kgBB/
hari dengan hasil akhir yang bervariasi. Setelah terapi awal dengan penggunaan
siklosporin dimulai, dosis kortikosteroid dapat di turunkan.
Terdapat sebuah laporan yang menyatakan bahwa terjadi penyembuhan yang
komplit pada pasien yang mendapatkan terapi siklosporin dengan dosis 4
mg/kgBB/hari dan diikuti dengan penurunan dosis prednisolone selama 1 minggu.
Dosis terakhir dari siklosporin diberikan 3 hari sebelum persalinan dan diikuti dengan
pemberian steroid topikal kerja poten.
Sama seperti penggunaan obat-obatan dalam kehamilan yang lainnya, tetap
terdapat kekhawatiran mengenai keamanan penggunaan siklosporin selama
kehamilan. Penelitian yang mempelajari komplikasi dari penggunaan siklosporin
banyak dilakukan pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal yang menyatakan
tidak terdapat gangguan fungsi ginjal. Faktanya, penyaluran siklosporin melalui
plasenta tergantung dari besarnya dosis dan dengan pemantauan yang baik dan tepat
pada janin, maka siklosporin dapat digunakan dan dianggap tidak berbahaya sebagai
pengganti dari kortikosteroid. Resiko dari hipertensi pada ibu hamil harus
dipertimbangkan.

8. Antibiotik
Pemberian antibiotik tampaknya efektif pada IH, meskipun antibiotik tidak
dapat mengendalikan penyakit secara keseluruhan.
Terapi antibiotik dapat dipertimbangkan pada kasus ringan, dan terapi
tambahan ataupun alternatif seperti penggunaan antibiotik dapat dipertimbangkan
apabila penggunaan kortikosteroid dirasa kurang efektif. Antibiotik yang disarankan
adalah golongan sefalosporin, terlepas dari kenyataan bahwa pustula yang ada pada
kasus IH adalah steril. Secara keseluruhan, sefalosporin tergolong aman pada ibu
hamil dan lebih disarankan menggunakan sefalosporin golongan awal.
Antibiotik seperti ampisilin, makrolida, dan klofazimine juga telah
menunjukan kemanjuran dalam pengobatan IH.

9. Agen Biologis
Obat anti TNF-𝛼 seperti infliximab dan adalimumab tergolong dalam
kategori B untuk kehamilan. Meskipun saat ini belum ada data yang
menunjukan peningkatan resiko komplikasi janin pada pasien yang selama
kehamilan terpapar TNF-𝛼 blocker, penggunaan obat ini secara rutin selama
kehamilan tidak disetujui oleh The United States Food and Drugs
Administration (FDA).
Menurut dewan yayasan psoriasis nasional, infliximab adalah salah satu
terapi terbaik untuk pasien IH; meskipun hal ini bertentangan dengan pedoman
European Academy of Dermatology and Venereology yang tidak menganjurkan
penggunaan infliximab dan adalimumab selama kehamilan. Terdapat laporan
kasus psoriasis dan IH yang sulit untuk disembuhkan namun ketika diberikan
pengobatan menggunakan infliximab selama kehamilan memiliki hasil akhir
yang baik.
Ustekinumab telah dilaporkan dapat mengatasi kasus psoriasis pustular
berat pada kehamilan dengan hasil akhir yang memuaskan.
10. Phototherapy
NBUVB dianggap sebagai pilihan yang aman pada kehamilan dan dapat
disertakan sebagai terapi IH ketika respon terapi dengan menggunakan kortikosteroid
tidak memadai. Meskipun beberapa penelitian telah menunjukan bahwa terjadi
penurunan kadar folat pada ibu hamil yang mendapatkan terapi NBUVB, namun hal
ini bukan lagi menjadi masalah pada trimester tiga kehamilan dimana pada trimester
tiga ini kasus IH biasanya baru muncul. Namun teteap perlu diperhatikan bahwa
kekurangan asam folat pada trimester pertama kehamilan dapat menyebabkan
terjadinya defek pada perkembangan tabung saraf.
PUVA relatif lebih aman dan penggunaannya tercatat tidak menyebabkan
peningkatan resiko cacat kongenital ataupun kematian pada bayi, tetapi PUVA
mungkin dapat menyebabkan berat bayi lahir rendah.

11. Retinoid
Mengingat efek teratogenik yang dimiliki oleh retinoid, maka semua
penggunaan retinoid sistemik dikontraindikasikan selama kehamilan, dan dapat
digunakan sebagai terapi IH apabila ibu hamil telah bersalin. Apabila
dipertimbangkan untuk menggunakan retinoid sistemik setelah persalinan,
pemberian informasi dan persetujuan untuk penggunaan kontrasepsi yang sesuai
harus diperoleh dari ibu tersebut.

12. Methotrexate
Penggunaan methotrexate tidak diizinkan selama kehamilan, namun
penggunaannya dianggap berhasil ketika dilakukan saat masa nifas.

13. Kesimpulan
Impetigo herpetiformis adalah istilah yang sering dianggap keliru, karena
kondisi ini tidak disebabkan oleh infeksi bakteri patogen dan juga tidak disebabkan
oleh virus. Kondisi ini dianggap varian dari psoriasis pustularis yang memiliki faktor
genetik, imunologis, dan lingkungan biokimia dan dapat menimbulkan resiko besar
kepada ibu hamil serta janin yang dikandung. Karena kondisi ini langka, tidak ada
studi kontrol ataupun pedoman untuk pemberian terapi dan pengobatan. Banyak
aspek dari penyakit ini yang belum dapat dijelaskan.

Anda mungkin juga menyukai