Anda di halaman 1dari 5

4.3.

7 Visualisasi Pollen pada Pengamatan Anther Lily dan Jeruk Purut

Stadium haploid dari siklus seksual dihasilkan dari proses pembelahan inti
yang disebut meiosis. Meiosis berlangsung pada sel-sel yang terdapat di dalam
jaringan reproduksi pada suatu organisme. Seperti halnya dengan mitosis, meiosis
berlangsung setelah fase G1, S dan G2 dari interfase dan menentukan distribusi
kromosom yang tepat ke dalam sel-sel anak. Pembelahan meiosis akan
menghasilkan 4 sel anak yang memiliki jumlah kromosom hanya setengah dari
kromosom tetuanya. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar jumlah kromosom
individu tetap dari generasi ke generasi (Sastrosumarjo, 2006).

Gambar 1 Tahapan pembentukan microsporogenesis (Ashari, 2002)


Serbuk sari sangat berperan dalam proses reproduksi karena dalam kondisi
masak, serbuk sari ini mengandung inti generatif dan inti vegetatif. Terkait dengan
reproduksi, inti generatif inilah yang akan berdiferensiasi menjadi sel sperma.
Kartikaningrum et al. (2011) berpendapat bahwa butir serbuk sari dikatakan masak
apabila memiliki lebih dari satu inti. Pada angiospermae, serbuk sari masak
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tipe binukleat dan tipe trinukleat, dan
sebagian besar tumbuhan memiliki serbuk sari masak dengan dua inti atau
binukleat. Selain terkait dengan jumlah inti, kondisi masak serbuk sari dapat
diketahui dari morfologi, diantaranya dalam hal ukuran serta struktur dinding
terluarnya.
Dalam perkembangan lebih lanjut, sel-sel sporogen primer akan membentuk
mikrosporosit atau sel induk mikrospora, meskipun tidak seluruhnya (Pramanik et
al., 2016), melalui berbagai pembelahan ke segala arah secara mitosis. Peristiwa ini
tetap terjadi bersamaan dengan perkembangan dinding mikrosporangium. Setiap
mikrosporosit fungsional akan mengalami pembelahan meiosis dan sitokinesis
untuk membentuk tetrad mikrospora atau empat mikrospora haploid. Pada
pembelahan meiosis ini terdapat dua tahap yang saling berurutan yaitu meiosis I
dan meiosis II. Pembelahan meiosis I merupakan pembelahan reduksi, yang
menghasilkan sel haploid. Pembelahan tersebut meliputi profase, metafase anafase
dan telofase yang diikuti fase istirahat. Tahap berikutnya dalam pembentukan
mikrospora adalah pembelahan meiosis II, yang pada dasarnya merupakan
pembelahan mitosis biasa, dengan posisi dinding yang dibentuk berlawanan arah
dengan hasil pembelahan meiosis I. Beberapa saat menjelang terjadinya
pembelahan meiosis, dinding primer mikrosporosit digantikan oleh lapisan-lapisan
tebal dari kalose. Pada akhir pembelahan meiosis, mikrospora haploid mengumpul
di dalam tetrad yang masing-masing diselubungi oleh kalose dan tanpa ada
hubungan plasmodesmata antar mikrospora. Menurut cara pembentukan dinding
kalose, tetrad mikrospora dapat dibedakan atas dasar susunan butir serbuk sari
dalam tetrad yaitu tetrahedral, isobilateral, dekusata, bentuk T dan linear (Pramanik
et al., 2016). Keanekaragaman susunan ini terdapat pada spesies yang berbeda
maupun dalam spesies yang sama (Tunistra dan Wedel, 2000).
Berdasarkan pembentukan dinding yang mengikuti pembelahan meiosis dari
mikrosporositnya terdapat dua tipe dengan perbedaan yang jelas (Mulyawati dan
Na’Iem, 2004). pembelahan nukleus diikuti oleh pembentukan dinding. Sedangkan
tipe yang kedua adalah tipe simultan, yaitu pembelahan nukleusnya tidak langsung
diikuti oleh pembentukan dinding. Pengambilan sampel anther yang akan
digunakan pada praktikum disarankan telah berada pada tipe ini, karena
penyempitan perifer dimulai setelah empat nukleus terbentuk dan pembentukan
dinding dimulai dari penyempitan-penyempitan ini ke arah dalam sebelum anther
pecah. Umumnya pada bunga lili Spathiphyllum secara morfologi dapat dicirikan
dengan anther berukuran kecil dan belum menggembung (polen belum pecah),
kelopak bunga masih kuncup, dan warna anther putih kehijauan. Sama halnya
dengan bunga jeruk purut (sampel kedua praktikum) secara morfologi, anther yang
baik untuk pengamatan meiosis adalah yang memiliki bentuk dan ukuran kecil dan
belum menggembung, berwana hijau dan diperoleh saat mahkota bunga masih
kuncup. Pembengkakan pada kuncup bunga menunjukkan bahwa di dalam kuncup
sedang berlangsung proses pembentukan perkembangan ovary yang mendukung
ovula, serbuk sari (polen) dan putik (Ashari, 2002). Perkembangan bunga setelah
fase inisiasi bunga dilanjutkan dengan kuncup yang terus membesar dengan ukuran
maksimal dan ujung kuncup mulai membelah (stadia F1) yang menunjukkan bunga
menuju anthesis (Nyine dan Pillay, 2007).
Jika anther yang digunakan telah matang (fase anthesis) maka sulit terlihat
pembelahan sel saat pengamatan meiosis. Menurut Ulfah et al., (2016) anther yang
telah matang secara fisiologis akan siap pecah dan mengeluarkan serbuk sari atau
polen. Sebelum dinding kepala sari pecah dan serbuk sari dilepaskan, umumnya
butir-butir serbuk sari dari setiap tetrad berpisah satu sama lain dan terdapat bebas
dalam mikrosporangium, sehingga ketika dilakukan pengamatan pada mikroskop
yang terlihat hanya serbuk sari.
Pada pengamatan anther bunga lili dan jeruk purut tidak ditemukan materi
genetic berupa kromosom, melainkan ditemukan polen. Hal ini dapat terjadi akibat
beberapa kesalahan pada teknis pengamatan. Salah satu kemungkinan yang
menyebabkan kromosom tidak tampak adalah bunga yang digunakan sudah mekar
sehingga polen sudah pecah. Perbesaran yang digunakan juga mungkin
berpengaruh. Pada praktikum yang dilakukan perbesaran terbesar yang digunakan
adalah 400x sedangkan untuk perbesaran 1000x tidak dapat dilakukan dikarenakan
tidak tersedianya minyak imersi. Berikut adalah fase pembelahan meiosis pada
bunga lili (Gambar…..)
Gambar 2 Pembelahan Meiosis Polen Bunga Lili
DAFTAR PUSTAKA

Ashari, S. 2002. Pengantar Biologi Reproduksi Tanaman. Jakarta : Rineka Cipta.


Kartikaningrum, A.P., G.A. Wattimena, B. Marwoto dan D. Sukma. 2011. Induksi
tanaman haploid Dianthus sp, melalui pseudofertilisasi menggunakan polen
yang diiradiasi dengan sinar gamma. Prosiding Seminar Nasional
PERHORTI. Lembang, 23-24 November 2011. p 1196-1205.
Mulyawati P., M. Na’Iem. 2004. Study fenologi pembungaan Santalum album
Linn. Di Wanagama I Yogyakarta. Grosains 18(4): 387-394. Nitta, K., A. Y.
Akiko, Y. Tetsukazu. 2010. Variation of flower opening and closing times in
F1 and F2 hybrids of daylily (Hemerocallis fulva; Hemerocallidaceae) and
nightlily (H. citrine). Am. J. Bot. 97(20): 261-267.
Nyine, M. and M. Pillay. 2007. Banana Nectar as A Medium for Testing Pollen
Viability and Germination in Musa. African J. of Biotech 6(10): 1175-1180.
Pramanik, D., N. Istiqomah, L. Chaidir. 2016. Studi Tingkat Ploidi pada Lili (Lilium
sp.) Hasil Kultur Anthera melalui Perhitungan Jumlah Kloroplas dan
Kromosom. J. Agro. 3(2): 34-42.
Sastrosumarjo, S. 2006. Panduan laboratorium, hal. 38 – 63. Dalam S.
Sastrosumarjo (Ed.) Sitogenetika Tanaman. IPB Press. Bogor.
Tuinstra, M.R. and J. Wedel. 2000. Estimation of Pollen Viability in Grain
Sorghum. Crop Sci. 40(4): 968-970.
Ulfah, S.M., Dorly. Rahayu, S. 2016. Perkembangan Bunga dan Uji Viabilitas
Serbuk Sari Bunga Lipstik Aeschynanthus radicans var. 'Monalisa' Di Kebun
Raya Bogor. J. 19(1):21-32.

Anda mungkin juga menyukai