Anda di halaman 1dari 12

MODUL BASIC MEDICAL SCIENCE

SMALL GROUP DISCUSSION

RESUME

MEKANISME PERUBAHAN TANDA VITAL

Tutor:

drg. Amilia Ramadhani, M.Sc

Disusun Oleh:

Nabiel Lavina Elgiva

G1B019031

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

PURWOKERTO

2019
SKENARIO

Tugas Mahasiswa

1. Diskusikan mengenai perbedaan hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dari 3 aktivitas


fisik tersebut.
2. Mekanisme perubahan tanda-tanda vital yang terjadi dari aktivitas yang dilakukan
I. Perbedaan Hasil Pemeriksaan Tanda – Tanda Vital
Berlar Jalan Aktivitas
Perbedaan
i Cepat Ringan
I II III I II III I II III
Denyut Nadi 76.2 99.3 23.1 79.1 90.7 11.6 73.78 74.44 0.66
Suhu Tubuh 36.84 37.03 0.19 36.77 36.68 0.09 36.80 36.67 0.13
Laju Respirasi 16.6 31 14.4 19.2 23.3 4.1 16.56 16.89 0.33
Tekanan Darah 105/ 119/68 104/72 112.7/ 110/75.78 105.5/74.4
75
74

Keterangan:
I : Rata – rata sebelum aktivitas
II : Rata – rata setelah aktivitas
III : Perubahan rata – rata yang terjadi

Pembahasan:
Rata – rata perubahan denyut nadi pada probandus dengan aktivitas berlari
meningkat signifikan sebesar 23.1 kali/menit, sedangkan untuk probandus dengan
aktivitas jalan cepat meningkat sebesar 11.6 kali/menit, dan untuk probandus dengan
aktivitas ringan hanya meningkat sebesar 0.66 kali/menit
Rata – rata perubahan suhu tubuh pada probandus dengan aktivitas berlari
meningkat sebesar 0.19 ᵒC, sedangkan untuk probandus jalan cepat dan aktivitas
ringan menurun masing – masing sebesar 0.09 ᵒC dan 0.13 ᵒC.
Rata – rata perubahan laju respirasi mengalami peningkatan pada ketiga
aktivitas dengan peningkatan pada aktivitas berlari sebesar 14.4 kali/menit, jalan cepat
sebesar 4.1 kali/menit, dan aktivitas ringan sebesar 0.33 kali/menit.
Rata – rata perubahan tekanan darah yang terjadi pada probandus dengan
aktivitas berlari untuk sistole naik sebesar 15 mmHg dan diastole menurun sebesar 7
mmHg, sedangkan probandus dengan aktivitas jalan cepat mengalami peningkatan
sistole sebesar 8.7 mmHg dan diastole sebesar 2 mmHg, dan probandus dengan
aktivitas ringan mengalami penurunan sistole sebesar 4.5 mmHg dan diastole sebesar
1.38 mmHg.
Perbedaan hasil yang ada ini menunjukkan bahwa probandus dengan aktivitas
berlari mengalami peningkatan pada perubahan tanda vital yang sangat signifikan,
sedangkan ptobandus dengan aktivitas jalan cepat juga mengalami peningkatan
namun tidak secara drastis. Untuk probandus dengan aktivitas ringan tidak mengalami
perubahan yang cukup signifikan dan pada beberapa probandus hasil yang didapat
cenderung tetap.
II. Mekanisme Perubahan Tiap Tanda – Tanda Vital
A. Denyut Nadi

Saat aktivitas seperti berlari atau jalan cepat dimulai dengan jantung berdegup
yang menandakan adanya peningkatan denyut jantung. Selama berolahraga
cardiac output meningkat untuk memasok jaringan dengan peningkatan jumlah
oksigen dan nutrisi. Mekanisme homeostasis dalam mempertahankan cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas yang dipengaruhi
system saraf autonom dan hormone yang dilepaskan oleh medulla adrenal yaitu
epinefrin dan norepinefrin (Guyton dan Hall, 2016)

Sebelum aktivitas fisik, detak jantung mungkin akan naik, peningkatan


antisipatif ini karena pengiriman impuls saraf ke pusat kardiovaskuler di medula
oleh sistem limbik. Ketika dimulainya aktivitas fisik, posisi anggota tubuh dan ot
akan dipantau oleh proprioreseptor untuk dapat mengirimkan impuls saraf pada
frekuensi yang meningkat menuju pusat kardiovaskuler. Selain proprioreseptor,
reseptor sensorik lain yaitu kemoreseptor untuk memantau perubahan kimia
dalam darah dan baroreseptor untuk memantau peregangan arteri dan vena akibat
tekanan darah yang mengalir untuk memberikan input menuju pusat
kardiovaskular di medulla oblongata (Tortora, 2014)
Impuls pada saraf akselerator jantung memicu pelepasan norepinefrin, yang
berikatan dengan reseptor beta-1 pada serat otot jantung. Interaksi ini memiliki
dua efek terpisah yaitu pada simpul SA (dan AV), norepinefrin mempercepat laju
depolarisasi spontan sehingga impuls alat pacu jantung ini memacu impuls lebih
cepat dan denyut jantung meningkat dan pada serat kontraktil di seluruh atrium
dan ventrikel, norepinefrin meningkatkan pemasukan Ca2 melalui saluran Ca2
yang terjaga tegangannya, sehingga meningkatkan kontraktilitas. Akibatnya,
volume darah yang lebih besar dikeluarkan selama sistol. Ada keseimbangan
yang terus berubah antara stimulasi jantung simpatis dan parasimpatis. Saat
istirahat, stimulasi parasimpatis mendominasi (Tortora, 2014)

Bahan kimia seperti hipoksia (kadar oksigen rendah), asidosis (pH rendah),
dan alkalosis (pH tinggi) dapat mempengaruhi fisiologi dasar otot jantung dan
detak jantung. Hormon. Epinefrin dan norepinefrin (dari medullae adrenal)
meningkatkan efektivitas pemompaan jantung. Hormon-hormon ini memengaruhi
serat otot jantung dengan cara yang sama seperti norepinefrin yang dilepaskan
oleh saraf akselerator jantung dengan meningkatkan detak jantung dan
kontraktilitas. Medullae adrenal melepaskan lebih banyak hormone ketika
olahraga, stres, dan kegembiraan. Hormon tiroid juga meningkatkan kontraktilitas
jantung dan meningkatkan denyut jantung. Selain hormon – hormon tersebut,
kation sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi denyut jantung. Perbedaan
antara konsentrasi intraseluler dan ekstraseluler beberapa kation (misalnya, Na
dan K) sangat penting untuk produksi potensial aksi di semua serabut saraf dan
otot, ketidakseimbangan ion dapat dengan cepat mengganggu efektivitas
pemompaan dari jantung. Konsentrasi relatif tiga kation K, Ca2, dan Na
memiliki efek besar pada fungsi jantung di mana peningkatan kadar K atau Na
dalam darah menurunkan detak jantung dan kontraktilitas. Tingkat Ca2 interstitial
(dan intraseluler) yang meningkat secara moderat mempercepat detak jantung dan
memperkuat detak jantung. Kelebihan Na menghambat aliran Ca2 selama potensi
aksi jantung, sehingga mengurangi kekuatan kontraksi, sedangkan K yang
berlebihan menghambat potensi aksi (Tortora, 2014).
Peningkatan suhu tubuh, seperti yang terjadi selama demam atau olahraga
berat, menyebabkan simpul SA melepaskan impuls lebih cepat, sehingga
meningkatkan denyut jantung. Penurunan suhu tubuh menurunkan detak jantung
dan kekuatan kontraksi.
B. Suhu Tubuh
Suhu tubuh dapat diartikan sebagai keseimbangan antara panas yang
diproduksi dengan panas yang hilang dari tubuh. Suhu tubuh akan diatur dengan
umpan balik negatif. Peningkatan suhu tubuh ditandai dengan dihasilkannya
panas sebagai produk utama dari metabolisme. Kecepatan tubuh dalam
metabolisme untuk menghasilkan panas dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya kecepatan basal semua sel tubuh, kecepatan metabolisme tambahan
dalam hal ini oleh aktivitas otot, pengaruh hormon dan aktvitas kimiawi yang ada
dalam tubuh (Guyton dan Hall, 2016).
Ketika ada aktivitas fisik akan memungkinkan kenaikan suhu yang berlebihan,
stimulus ini akan diterima oleh termoreseptor pada kulit dan hypothalamus untuk
dikirimkan menuju pusat kendali. oleh system saraf pusat akan merangsang saraf
simpatis sehingga memicu pengeluaran homon epinefrin, salah satu efek dari
hormon epinefrin ini yaitu vasodilatasi pada pembuluh darah. Pembuluh darah
tepi akan melebar diikuti juga dengan melebarnya pori – pori kulit agar keringat
dapat keluar banyak agar produksi panas yang dihasilkan saat beraktivitas dapat
menurun (Tortora, 2014)
Rangsangan area preoptik di bagian anterior hipotalamus, baik secara listrik
atau oleh panas yang berlebihan, akan menyebabkan berkeringat. Impuls saraf
dari area yang menyebabkan berkeringat ini dihantarkan melalui jaras otonom ke
medula spinalis dan kemudian melalui jaras simpatis mengalir ke kulit di seluruh
tubuh. Kelenjar ini dapat juga dirangsang di beberapa tempat oleh epinefrin atau
norepinefrin yang bersirkulasi dalam darah, walaupun kelenjar ini tidak memiliki
persarafan adrenergik. Hal ini penting selama kerja, saat hormon ini disekresi
oleh medula adrenal dan tubuh perlu melepaskan panas yang berlebihan yang
dihasilkan oleh otot yang aktif (Guyton dan Hall, 2016)
Faktor pakaian juga dapat memengaruhi keluarnya keringat, seperti bila
menggunakan pakaian tebal yang sulit menyerap keringat akan membuat suhu
tubuh meningkat lebih tinggi karena kurang maksimalnya pengeluaran keringat.
C. Laju Respirasi

Ketika kita memulai olahraga, sebagian besar dari total peningkatan ventilasi
dimulai sebelum perubahan faktor kimia dalam tubuh. Sinyal – sinyal saraf
langsung akan merangsang pusat pernapasan untuk memasok O2 tambahan yang
dibutuhkan dan melepaskan CO2 tambahan. Perubahan sinyal kontrol pernapasan
yang tidak menentu, terlalu lemah atau terlalu kuat, membuat perubahan faktor
kimia memainkan peran penting dalam penyesuaian akhir respirasi untuk
menjaga konsentrasi O2, CO2, dan Hidrogen (Guyton dan Hall,2016)

Sistem pernapasan dan kardiovaskuler melakukan penyesuaian dalam


menanggapi intensitas dan durasi latihan. Ketika cardiac output meningkat, aliran
darah menuju paru – paru juga akan meningkat, diikuti dengan peningkatan
kapasitas difusi O2 yang dapat meningkat tiga kali lipat karena banyaknya kapiler
paru yang dipompa. Otot akan mengonsumsi O2 lebih banyak dan menghasilkan
CO2 lebih banyak juga ketika berkontraksi (Tortora, 2014)

Pada awal latihan, akan ada peningkatan pernapasan secara tiba-tiba dikuti
dengan peningkatan yang lebih bertahap. Pada latihan fisik sedang, peningkatan
ventilasi disebabkan oleh kedalaman aktivitas pernapasan, sedangkan untuk
latihan fisik yang berat kedalaman pernapasan akan disertai dengan
bertambahnya frekuensi pernapasan. Peningkatan ventilasi pada awal latihan ini
karena perubahan saraf meliputi antisipasi aktivitas yang merangsang system
limbic, impuls sensoris dari propioreseptor pada otot, sendi, dan tendon, juga
impuls motorik dari korteks motor primer, yang akan mengirimkan rangsangan
menuju dorsal respiratory group (DRG) dari pusat pernapasan meduler di medulla
(Tortora, 2014; Guyton dan Hall, 2016)

Selain perubahan saraf, perubahan kimia dan fisik juga memengaruhi


peningkatan ventilasi meliputi PO2 yang menurun karena peningkatan konsumsi
O2, PCO2 yang meningkat karena peningkatan produksi CO2 akibat kontraksi
otot, dan peningkatan suhu karena membebaskan lebih banyak panas (Tortora,
2014)

Pada awal latihan peningkatan ventilasi alveolar meningkat cukup besar tanpa
peningkatan awal pada arteri CO2. Peningkatan yang cukup besar ini benar –
benar menurunkan PCO2 arteri di bawah normal. Namun, setelah sekitar 30
hingga 40 detik, jumlah CO2 yang dilepaskan ke dalam darah dari otot-otot aktif
kira-kira sama dengan tingkat peningkatan ventilasi, dan PCO2 arteri kembali
pada dasarnya menjadi normal bahkan ketika latihan berlanjut (Guyton dan Hall,
2016)

Ket: Grafik perbedaan tingkat ventilasi alveolar dan PCO2 pada awal memulai latihan

Source : Guyton and Hall,2016

Peningkatan ventilasi sebanding dengan peningkatan konsumsi O2, latihan


fisik meningkatkan kadar K+ plasma yang dapat merangsang kemoreseptor
perifer. Kepekaan neuron-neuron yang mengontrol respons terhadap CO2
mungkin meningkat sehingga meskipun PCO2 rata rata darah arteri tidak
meningkat, CO2 yang akan berperan dalam meningkatkan ventilasi (Barrett dkk,
2012)
Ketika latihan fisik berhenti, ventilasi akan berkurang secara mendadak
disebabkan oleh perubahan faktor saraf ketika gerakan berhenti atau melambat
dan terjadi jeda diikuti penurunan bertahap sampai pada ventilasi sebelum latihan
yang mencerminkan kembalinya tingkat kimia darah dan suhu menuju kondisi
istirahat. Besar hutang O2 merupakan jumlah konsumsi O2 di atas konsumsi
basal, mulai saat dihentikannya latihan fisik sampai tingkat konsumsi O2 kembali
semula sebelum latihan. Selama pelunasan hutang O2, konsentrasi O2 dalam
mioglobin otot akan sedikit meningkat, ATP dan kreatinfosforil disintesis
kembali,dan bila ada asam laktat yang sempat diproduksi akan dihilangkan
(Barrett dkk, 2012; Guyton dan Hall, 2016)

D. Tekanan Darah
Darah mengalir dari daerah dengan tekanan lebih tinggi ke daerah dengan
tekanan lebih rendah, semakin besar perbedaan tekanan, semakin besar aliran
darah. Kontraksi ventrikel menghasilkan tekanan darah, tekanan hidrostatik yang
diberikan oleh darah pada dinding pembuluh darah (Tortora, 2014).
Setiap perubahan pada tekanan darah memicu suatu refleks baroreseptor
secara autonom yang memengaruhi jantung dan pembuluh darah untuk
menyesuaikan curah jantung dan resistensi perifer total dalam upaya untuk
memulihkan tekanan darah ke normal. Seperti semua refleks, refleks baroreseptor
mencakup reseptor, jalur aferen, pusat integrasi, jalur eferen, dan organ efektor.
Pusat integrasi yang menerima impuls aferen tentang keadaan tekanan darah
adalah pusat kontrol kardiovaskular, yang terletak di medula di dalam batang
otak. Jalur eferennya adalah sistem saraf autonom. Pusat kontrol kardiovaskular
mengubah perbandingan antara aktivitas simpatis dan parasimpatis ke organ-
organ efektor (Sherwood, 2013)
Pusat kardiovaskular menerima input baik dari daerah otak yang lebih tinggi
dan dari reseptor sensorik. Impuls saraf turun dari korteks serebral, sistem limbik,
dan hipotalamus untuk memengaruhi pusat kardiovaskular. Saat sebelum berlari,
detak jantung mungkin akan meningkat karena impuls saraf yang disampaikan
dari sistem limbik ke pusat kardiovaskular. Tiga jenis utama reseptor sensorik
yang memberikan input ke pusat kardiovaskular adalah proprioseptor,
baroreseptor, dan chemoreseptor. Proprioceptors memantau pergerakan sendi dan
otot dan memberikan input ke pusat kardiovaskular selama aktivitas fisik
penyumbang peningkatan dalam detak jantung pada awal latihan, baroreseptor
memantau perubahan tekanan dan peregangan di dinding pembuluh darah, dan
chemoreseptor memantau konsentrasi berbagai bahan kimia dalam darah. Output
dari pusat kardiovaskular mengalir sepanjang neuron simpatis dan parasimpatis
sistem saraf autonom. Impuls simpatik mencapai jantung melalui saraf akselerator
jantung. Peningkatan stimulasi simpatis meningkatkan denyut jantung dan
kontraktilitas, sedangkan stimulasi parasimpatis, yang disampaikan sepanjang
saraf vagus (X), menurunkan denyut jantung. Pusat kardiovaskular juga terus
mengirimkan impuls ke otot polos di dinding pembuluh darah melalui saraf
vasomotor. Stimulasi simpatik sebagian besar vena menyebabkan penyempitan
yang memindahkan darah keluar dari reservoir darah vena dan meningkatkan
tekanan darah.

Keterangan : Pengaruh stimulasi saraf simpatis dan saraf parasimpatis


Source : Tortora, 2014
Akibat vasodilatasi pada otot jantung dan otot rangka juga vasokonstriksi
arteriol yaitu menyempitnya arteriol menyebabkan kontraksi jantung tiap satuan
waktu meningkat. Hal ini menyebabkan volume darah pada arteriol meningkat
dan tekanan darah juga meningkat. Saat olahraga aliran darah menuju saluran
pencernaan dan ginjal akan berkurang untuk menunjang otot rangka dan aktivitas
metabolik dari kerja jantung itu sendiri (Handayani dkk., 2016)

III. Mekanisme Perubahan Tanda – Tanda Vital Saat Aktivitas Berlari


Saat kita memulai olahraga, tubuh sudah akan mempersiapkan
beberapa kebutuhannya. Ketika olahraga, kebutuhan akan O2 akan meningkat,
hal ini akan diikuti dengan peningkatan denyut nadi sebagai pemasok O2
untuk otot atau organ yang akan digunakan. Peningkatan denyut nadi
dibutuhkan juga peningkatan tekanan darah agar O2 lebih cepat untuk sampai
pada sel atau jaringan targetnya. Setelah beberapa lama, karena kebutuhan
akan O2 meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan juga produksi
CO2, hal ini akan berefek pada peningkatan laju respirasi untuk memenuhi
kebutuhan O2. Dengan adanya peningkatan kebutuhan O2, metabolisme
dalam tubuh akan meningkat yang mengakibatkan meningkatnya suhu dalam
tubuh.
IV. Mekanisme Perubahan Tanda – Tanda Vital Saat Aktivitas Jalan Cepat
Mekanisme yang terjadi saat jalan cepat hampir sama dengan berlari.
Namun yang membedakan adalah kebutuhan O2 saat jalan cepat tidak terlalu
meningkat seperti berlari, tetapi cenderung konstan dan masih dapat
dipertahankan. Sehingga perubahan tanda – tanda vital yang terjadi berubah
tidak terlalu meningkat seperti aktivitas berlari.
V. Mekanisme Perubahan Tanda – Tanda Vital Saat Aktivitas Ringan
Saat tubuh dalam aktivitas ringan atau diam, otot – otot dalam tubuh
sebenarnya tetap berkontraksi. Namun, kontraksi yang terjadi disebut
kontraksi isometrik, ketika tegangan yang dihasilkan tidak terdapat perubahan
ukuran otot, kontraksi ini penting karena untuk menjaga benda tetap pada
posisinya dan menstabilkan sendi2 saat bergerak. Sehingga saat melakukan
aktivitas ringan, perubahan tanda – tanda vital yang terjadi tidak berubah
terlalu signifikan dan cenderung tetap karena kebutuhan akan O2 cenderung
tetap atau tidak berubah.
VI. Kesimpulan
Perubahan tanda – tanda vital yang berbeda di antara ketiga aktivitas
dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kebutuhan O2, konsentrasi bahan kimia
dalam tubuh, dan sebagainya. Probandus dengan aktivitas berlari terjadi
peningkatan yang cukup signifikan pada perubahan tanda vital sebelum
dengan sesudah aktivitas. Probandus dengan aktivitas jalan cepat terjadi
perubahan namun tidak terlau signifikan seperi berlari, sedangkan probandus
dengan aktivitas ringan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan
pada beberapa probandus hasilnya cenderung tetap, bergantung pada keadaan
tubuh masing – masing probandus
DAFTAR PUSTAKA

Barrett, K.E., Barman, S.M., Boitano, S., Brooks, H.L., 2012. Ganong Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 24. Mc Graw Hill. Amerika Serikat.

Hall, J.E., 2016. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 13th Edition. Elsevier.
USA.
Handayani, G., Lintong, F., Rumampuk, J.F., 2016. Pengaruh aktivitas berlar terhadap
tekanan darah dan suhu pada pria dewasa normal. Jurnal e-Biomedik (eBm). 4 (1).
Januari – Juni 2016

Sherwood, L., 2013. Introduction to Human Physiology. 8th Edition. Yolanda Cossio. Kanada.

Tortora, G.J. dan Derrickson, B., 2014. Principles of Anatomy and Physiology. 14th Edition.
John Wiley & Sons, Inc. USA.

Anda mungkin juga menyukai