Resume SGD 4
Resume SGD 4
RESUME
Tutor:
Disusun Oleh:
G1B019031
FAKULTAS KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2019
SKENARIO
Tugas Mahasiswa
Keterangan:
I : Rata – rata sebelum aktivitas
II : Rata – rata setelah aktivitas
III : Perubahan rata – rata yang terjadi
Pembahasan:
Rata – rata perubahan denyut nadi pada probandus dengan aktivitas berlari
meningkat signifikan sebesar 23.1 kali/menit, sedangkan untuk probandus dengan
aktivitas jalan cepat meningkat sebesar 11.6 kali/menit, dan untuk probandus dengan
aktivitas ringan hanya meningkat sebesar 0.66 kali/menit
Rata – rata perubahan suhu tubuh pada probandus dengan aktivitas berlari
meningkat sebesar 0.19 ᵒC, sedangkan untuk probandus jalan cepat dan aktivitas
ringan menurun masing – masing sebesar 0.09 ᵒC dan 0.13 ᵒC.
Rata – rata perubahan laju respirasi mengalami peningkatan pada ketiga
aktivitas dengan peningkatan pada aktivitas berlari sebesar 14.4 kali/menit, jalan cepat
sebesar 4.1 kali/menit, dan aktivitas ringan sebesar 0.33 kali/menit.
Rata – rata perubahan tekanan darah yang terjadi pada probandus dengan
aktivitas berlari untuk sistole naik sebesar 15 mmHg dan diastole menurun sebesar 7
mmHg, sedangkan probandus dengan aktivitas jalan cepat mengalami peningkatan
sistole sebesar 8.7 mmHg dan diastole sebesar 2 mmHg, dan probandus dengan
aktivitas ringan mengalami penurunan sistole sebesar 4.5 mmHg dan diastole sebesar
1.38 mmHg.
Perbedaan hasil yang ada ini menunjukkan bahwa probandus dengan aktivitas
berlari mengalami peningkatan pada perubahan tanda vital yang sangat signifikan,
sedangkan ptobandus dengan aktivitas jalan cepat juga mengalami peningkatan
namun tidak secara drastis. Untuk probandus dengan aktivitas ringan tidak mengalami
perubahan yang cukup signifikan dan pada beberapa probandus hasil yang didapat
cenderung tetap.
II. Mekanisme Perubahan Tiap Tanda – Tanda Vital
A. Denyut Nadi
Saat aktivitas seperti berlari atau jalan cepat dimulai dengan jantung berdegup
yang menandakan adanya peningkatan denyut jantung. Selama berolahraga
cardiac output meningkat untuk memasok jaringan dengan peningkatan jumlah
oksigen dan nutrisi. Mekanisme homeostasis dalam mempertahankan cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas yang dipengaruhi
system saraf autonom dan hormone yang dilepaskan oleh medulla adrenal yaitu
epinefrin dan norepinefrin (Guyton dan Hall, 2016)
Bahan kimia seperti hipoksia (kadar oksigen rendah), asidosis (pH rendah),
dan alkalosis (pH tinggi) dapat mempengaruhi fisiologi dasar otot jantung dan
detak jantung. Hormon. Epinefrin dan norepinefrin (dari medullae adrenal)
meningkatkan efektivitas pemompaan jantung. Hormon-hormon ini memengaruhi
serat otot jantung dengan cara yang sama seperti norepinefrin yang dilepaskan
oleh saraf akselerator jantung dengan meningkatkan detak jantung dan
kontraktilitas. Medullae adrenal melepaskan lebih banyak hormone ketika
olahraga, stres, dan kegembiraan. Hormon tiroid juga meningkatkan kontraktilitas
jantung dan meningkatkan denyut jantung. Selain hormon – hormon tersebut,
kation sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi denyut jantung. Perbedaan
antara konsentrasi intraseluler dan ekstraseluler beberapa kation (misalnya, Na
dan K) sangat penting untuk produksi potensial aksi di semua serabut saraf dan
otot, ketidakseimbangan ion dapat dengan cepat mengganggu efektivitas
pemompaan dari jantung. Konsentrasi relatif tiga kation K, Ca2, dan Na
memiliki efek besar pada fungsi jantung di mana peningkatan kadar K atau Na
dalam darah menurunkan detak jantung dan kontraktilitas. Tingkat Ca2 interstitial
(dan intraseluler) yang meningkat secara moderat mempercepat detak jantung dan
memperkuat detak jantung. Kelebihan Na menghambat aliran Ca2 selama potensi
aksi jantung, sehingga mengurangi kekuatan kontraksi, sedangkan K yang
berlebihan menghambat potensi aksi (Tortora, 2014).
Peningkatan suhu tubuh, seperti yang terjadi selama demam atau olahraga
berat, menyebabkan simpul SA melepaskan impuls lebih cepat, sehingga
meningkatkan denyut jantung. Penurunan suhu tubuh menurunkan detak jantung
dan kekuatan kontraksi.
B. Suhu Tubuh
Suhu tubuh dapat diartikan sebagai keseimbangan antara panas yang
diproduksi dengan panas yang hilang dari tubuh. Suhu tubuh akan diatur dengan
umpan balik negatif. Peningkatan suhu tubuh ditandai dengan dihasilkannya
panas sebagai produk utama dari metabolisme. Kecepatan tubuh dalam
metabolisme untuk menghasilkan panas dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya kecepatan basal semua sel tubuh, kecepatan metabolisme tambahan
dalam hal ini oleh aktivitas otot, pengaruh hormon dan aktvitas kimiawi yang ada
dalam tubuh (Guyton dan Hall, 2016).
Ketika ada aktivitas fisik akan memungkinkan kenaikan suhu yang berlebihan,
stimulus ini akan diterima oleh termoreseptor pada kulit dan hypothalamus untuk
dikirimkan menuju pusat kendali. oleh system saraf pusat akan merangsang saraf
simpatis sehingga memicu pengeluaran homon epinefrin, salah satu efek dari
hormon epinefrin ini yaitu vasodilatasi pada pembuluh darah. Pembuluh darah
tepi akan melebar diikuti juga dengan melebarnya pori – pori kulit agar keringat
dapat keluar banyak agar produksi panas yang dihasilkan saat beraktivitas dapat
menurun (Tortora, 2014)
Rangsangan area preoptik di bagian anterior hipotalamus, baik secara listrik
atau oleh panas yang berlebihan, akan menyebabkan berkeringat. Impuls saraf
dari area yang menyebabkan berkeringat ini dihantarkan melalui jaras otonom ke
medula spinalis dan kemudian melalui jaras simpatis mengalir ke kulit di seluruh
tubuh. Kelenjar ini dapat juga dirangsang di beberapa tempat oleh epinefrin atau
norepinefrin yang bersirkulasi dalam darah, walaupun kelenjar ini tidak memiliki
persarafan adrenergik. Hal ini penting selama kerja, saat hormon ini disekresi
oleh medula adrenal dan tubuh perlu melepaskan panas yang berlebihan yang
dihasilkan oleh otot yang aktif (Guyton dan Hall, 2016)
Faktor pakaian juga dapat memengaruhi keluarnya keringat, seperti bila
menggunakan pakaian tebal yang sulit menyerap keringat akan membuat suhu
tubuh meningkat lebih tinggi karena kurang maksimalnya pengeluaran keringat.
C. Laju Respirasi
Ketika kita memulai olahraga, sebagian besar dari total peningkatan ventilasi
dimulai sebelum perubahan faktor kimia dalam tubuh. Sinyal – sinyal saraf
langsung akan merangsang pusat pernapasan untuk memasok O2 tambahan yang
dibutuhkan dan melepaskan CO2 tambahan. Perubahan sinyal kontrol pernapasan
yang tidak menentu, terlalu lemah atau terlalu kuat, membuat perubahan faktor
kimia memainkan peran penting dalam penyesuaian akhir respirasi untuk
menjaga konsentrasi O2, CO2, dan Hidrogen (Guyton dan Hall,2016)
Pada awal latihan, akan ada peningkatan pernapasan secara tiba-tiba dikuti
dengan peningkatan yang lebih bertahap. Pada latihan fisik sedang, peningkatan
ventilasi disebabkan oleh kedalaman aktivitas pernapasan, sedangkan untuk
latihan fisik yang berat kedalaman pernapasan akan disertai dengan
bertambahnya frekuensi pernapasan. Peningkatan ventilasi pada awal latihan ini
karena perubahan saraf meliputi antisipasi aktivitas yang merangsang system
limbic, impuls sensoris dari propioreseptor pada otot, sendi, dan tendon, juga
impuls motorik dari korteks motor primer, yang akan mengirimkan rangsangan
menuju dorsal respiratory group (DRG) dari pusat pernapasan meduler di medulla
(Tortora, 2014; Guyton dan Hall, 2016)
Pada awal latihan peningkatan ventilasi alveolar meningkat cukup besar tanpa
peningkatan awal pada arteri CO2. Peningkatan yang cukup besar ini benar –
benar menurunkan PCO2 arteri di bawah normal. Namun, setelah sekitar 30
hingga 40 detik, jumlah CO2 yang dilepaskan ke dalam darah dari otot-otot aktif
kira-kira sama dengan tingkat peningkatan ventilasi, dan PCO2 arteri kembali
pada dasarnya menjadi normal bahkan ketika latihan berlanjut (Guyton dan Hall,
2016)
Ket: Grafik perbedaan tingkat ventilasi alveolar dan PCO2 pada awal memulai latihan
D. Tekanan Darah
Darah mengalir dari daerah dengan tekanan lebih tinggi ke daerah dengan
tekanan lebih rendah, semakin besar perbedaan tekanan, semakin besar aliran
darah. Kontraksi ventrikel menghasilkan tekanan darah, tekanan hidrostatik yang
diberikan oleh darah pada dinding pembuluh darah (Tortora, 2014).
Setiap perubahan pada tekanan darah memicu suatu refleks baroreseptor
secara autonom yang memengaruhi jantung dan pembuluh darah untuk
menyesuaikan curah jantung dan resistensi perifer total dalam upaya untuk
memulihkan tekanan darah ke normal. Seperti semua refleks, refleks baroreseptor
mencakup reseptor, jalur aferen, pusat integrasi, jalur eferen, dan organ efektor.
Pusat integrasi yang menerima impuls aferen tentang keadaan tekanan darah
adalah pusat kontrol kardiovaskular, yang terletak di medula di dalam batang
otak. Jalur eferennya adalah sistem saraf autonom. Pusat kontrol kardiovaskular
mengubah perbandingan antara aktivitas simpatis dan parasimpatis ke organ-
organ efektor (Sherwood, 2013)
Pusat kardiovaskular menerima input baik dari daerah otak yang lebih tinggi
dan dari reseptor sensorik. Impuls saraf turun dari korteks serebral, sistem limbik,
dan hipotalamus untuk memengaruhi pusat kardiovaskular. Saat sebelum berlari,
detak jantung mungkin akan meningkat karena impuls saraf yang disampaikan
dari sistem limbik ke pusat kardiovaskular. Tiga jenis utama reseptor sensorik
yang memberikan input ke pusat kardiovaskular adalah proprioseptor,
baroreseptor, dan chemoreseptor. Proprioceptors memantau pergerakan sendi dan
otot dan memberikan input ke pusat kardiovaskular selama aktivitas fisik
penyumbang peningkatan dalam detak jantung pada awal latihan, baroreseptor
memantau perubahan tekanan dan peregangan di dinding pembuluh darah, dan
chemoreseptor memantau konsentrasi berbagai bahan kimia dalam darah. Output
dari pusat kardiovaskular mengalir sepanjang neuron simpatis dan parasimpatis
sistem saraf autonom. Impuls simpatik mencapai jantung melalui saraf akselerator
jantung. Peningkatan stimulasi simpatis meningkatkan denyut jantung dan
kontraktilitas, sedangkan stimulasi parasimpatis, yang disampaikan sepanjang
saraf vagus (X), menurunkan denyut jantung. Pusat kardiovaskular juga terus
mengirimkan impuls ke otot polos di dinding pembuluh darah melalui saraf
vasomotor. Stimulasi simpatik sebagian besar vena menyebabkan penyempitan
yang memindahkan darah keluar dari reservoir darah vena dan meningkatkan
tekanan darah.
Barrett, K.E., Barman, S.M., Boitano, S., Brooks, H.L., 2012. Ganong Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 24. Mc Graw Hill. Amerika Serikat.
Hall, J.E., 2016. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 13th Edition. Elsevier.
USA.
Handayani, G., Lintong, F., Rumampuk, J.F., 2016. Pengaruh aktivitas berlar terhadap
tekanan darah dan suhu pada pria dewasa normal. Jurnal e-Biomedik (eBm). 4 (1).
Januari – Juni 2016
Sherwood, L., 2013. Introduction to Human Physiology. 8th Edition. Yolanda Cossio. Kanada.
Tortora, G.J. dan Derrickson, B., 2014. Principles of Anatomy and Physiology. 14th Edition.
John Wiley & Sons, Inc. USA.