DISUSUN OLEH:
NIM:
0501193250
JURUSAN:
EKONOMI ISLAM
SUMATERA UTARA
2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukursaya panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
petunjuk-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan Karya Tulis Ilmiah yang
berjudul “Deradikalisasi Agama dalam Perspektif Negara Hukum” dengan baik.
Sebelumnya, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen Pembimbing saya yang
telah membimbing saya dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini,
Saya menyadari berbagai kelemahan dan keterbatasan yang ada, sehingga terbuka
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini. Penulis sangat
memerlukan kritik dan saran yang membangun dari para dewan juri terhadap Karya Tulis
Ilmiah saya ini, terutama untuk mengoreksi lagi Karya Tulis Ilmiah ini agar menjadi Karya
Tulis Ilmiah yang baik sehingga dapat berlomba di kancah yang lebih tinggi lagi.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, penulis berharap Karya Tulis Ilmiah ini
mendapatkan nilai terbaik dari dewan juri sekalian.
1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
B. Saran
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasca reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi telah menjadi
lahan subur tumbuhnya kelompok Islam radikal1. Fenomena radikalisme di kalangan umat
Islam seringkali disandarkan dengan paham keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme
bisa lahir dari berbagai sumbu, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.
Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat
Islam Indonesia dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama
teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan suci untuk menyebarkan
agamanya. Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta bahwa pelaku teror
di Indonesia adalah seorang Muslim garis keras sangat membebani psikologi umat Islam
secara keseluruhan.
Sejarah redikalisme di Indonesia telah berkembang di era Orde Baru dan Reformasi
dengan pola yang berbeda-beda, di era Reformasi kemunculan radikalisme dilatarbelakangi
oleh kepentingan politik dengan mengatasnamakan agama sedangkan di era Soeharto aksi
radikalisme dilakukan dengan rekayasa politik yang merekrut mantan anggota DI/TII
untuk menjadi anggota jihad dan memojokan Islam. Gerakan radikalisme tersebut
kemudian bermunculan di daerah Poso dan Ambon. Pemahaman tentang radikalisme
1
Menurut Fealy dan Hooker: Radical Islam refers to those Islamic movement that seek dramatic change in
society and the state. The comprehensive implementation of Islamic law and the upholding of “Islamic
norms’, however defined, are central elements in the thinking of most radical groups. Radical Muslims tend
to have a literal interpretation of the Qur’an, especially those sections relating to social relations, religious
behavior and the punishment of crimes, and they also seek to adhere closely to the perceived normative
model based on the example of the Prophet Muhammad. Greg Fealy and Virginia Hooker (ed.), Voices of
Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook, (Singapore: ISEAS, 2006), h. 4.
3
sebagai sebuah pemahaman yang menghendaki gerakan perubahan secara drastis yang
dilakukan secara kasar tanpa proses yang sistematis dan bertahap dapat menimbulkan
gesekan-gesekan dalam lingkungan sosial. Sedangkan radikalisme agama yang marak
terjadi belakangan ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan syariat dengan
gerakan perubahan secara kasar dan keras untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu sesuai
dengan persepsi mereka terhadap agama. Keinginan untuk menerapkan Negara Islam salah
satu motif khusus dari radikalisme dan teroris karena adanya kekecewaan terhadap
penerapan sistem yang diberlakukan di Indonesia, namun hal tersebut mustahil untuk
diwujudkan karena masyarakat Indonesia terdiri dari beragam agama, suku dan ras
sehingga terlalu prematur jika mengovergeneralisasi dengan mempersamakan di zaman
Rasulullah dan Khulafaurasyidin yang menegakan Negara Islam menjadi dasar penegakan
negara agama. Hal optimis yang dapat kita lakukan untuk mencapai suatu pemerintahan
yang baik adalah menerapkan nilai-nilai Islam dalam setiap sistem di Indonesia seperti
menerapkan nilai-nilai hukum Islam dalam hukum hukum positif di Indonesia baik secara
normatif maupun kontekstual.
B. Rumusan Masalah
A. Apa itu Deradikalisasi ?
B. Apa itu Pengertian Deradikalisasi Menurut BNPT ?
C. Apa saja Tujuan dari Deradikalisasi ?
D. Apa saja Subjek dalam Deradikalisasi ?
E. Apa saja yang terdapat di dalam Pemutusan dan Deideologisasi ?
F. Bagaimana Radikalisme di Indonesia dan Integrasi Hukum Islam dalam Hukum
Nasional ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian deradikalisasi agama
2. Untuk mengetahui deradikalisasi agama dalam pesrpektif negara hukum
3. Untuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah tingkat
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peengertian Deradikalisasi
Deradikalisasi berasal dari kata “radikal” denga imbuhan “de” yang berarti
mengurangi atau mereduksi, dan kata “asasi”, dibelakang kata radikal berarti proses, cara
atau perbuatan. Jadilah deradikalisasi Jadilah deradikalisasi adalah suatu upaya mereduksi
kegiatan-kegiatan radikal dan menetralisasi paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris
dan simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah terekspose paham-paham radikal
teroris, (Deradikalisasi Nusantara, ASB).
2
Pusbangdatin. “Detailpost -Program eradikalisasi sebagai upaya Pencegahan Terjadinya Tindakan
Terorisme di Indonesia”. Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM I Kementerian Hukum dan
HAM Republik Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-02.
5
C. Tujuan Deradikalisasi
A.S Hikam dalam bukunya yang berjudul “Peran Masyarakat Sipil Indonesia
Membendung Radikalisme – Deradikalisasi” menyatakan bahwa ada dua subjek
Deradikalisasi, yaitu:
1. Pemutusan (Disengaagment)
Pemutusan bisa berarti mendorong kelompok radikal untuk meorientasi diri
melalui perubahan social kognitif sehingga mereka meninggalkan pemahaman
radikal yang mereka anut sebelumnya, menuju norma yang baru dalam artian
menuju kembali kepemikiran yang tidak radikal.
3
Op. cit, R. Petrus Golose (2007).Deradicalisation and Indonesia Prisons. Asia Report. hlm. 81.
4
A.S., Hikam, Muhammad (2016) Deradikalisasi : peran masyarakat sipil Indonesia membendung
radikalisme. Jakarta : Penerbit Buku Kompas ISBN 9789797099855. OCLC 934509967.
6
2. Deideologisasi (Deideologization)
Artinya penghapusan ideologi atas agama serta agama tidak dipandang sebagai
ideologi politik melainkan dapat dipahami sebagai nilai-nilai luhur yang
menyemai pesan perdamaian5. Kemunculan Negara Islam Irak dan Suriah telah
menimbulkan persepsi bahwa agama dijadikan ideologi politik sehingga mudah
untuk merekrut anggota baru yang pemikiran agamanya sesuai dengan
pemikiran mereka.
Menurut Ahmad Asrori yang dikutif dari Khamami Zada kemunculan gerakan
Islam radikal di Indonesia disebabkan oleh dua faktor yaitu: pertama, faktor internal dari
dalam umat Islam sendiri yang telah menjadi penyimpangan norma-norma agama. Kedua,
faktor eksternal di luar umat Islam, baik yang dilakukan oleh penguasa maupun hegemoni
Barat, seperti kasus gerakan Warsadi, Salman Hafidz dan Imron atau dikenal sebagai
Komando Jihad telah membangkitkan radikalisme di Indonesia. Gerakan radikalisme
Indonesia yang mencoba merongrong keutuhan NKRI akan sangat berbahaya jika
dibiarkan begitu saja atas nama kebebasan berpendapat dan berekspresi karena dengan
adanya pembiaran tersebut makan potensi munculnya terorisme yang akar pemikiran dari
radikalismenya akan menjamur di Indonesia dan mencoba merongrong sistem yang sudah
ada. Tindakan tersebut merupakan makar yang hendak mengguling tatanan pemerintahn
terlebih ingin mengganti ideologi Pancasila. Kita sering mendegar ajakan jihad fi
sabilillah sebagai salah satu seruan yang mereka dengungkan, namun interpretasi jihad
fisabilillah oleh gerakan radikal dan teroris sebetulnya telah melenceng dari konteks
hukum dalam ajaran agama Islam karena prinsip jihad fi sabilillah harus memperhatikan
aspek maslahat yang tidak merugikan masyarakat. Penafsiran jihad fi sabilillah yang selain
Islam adalah kafir dan wajib diperangi. Menghancurkan kemungkaran atau membunuh
pelakunya adalah interpretasi yang salah dan harus diluruskan. Interpretasi tersebut jelas
akan mengguncang tatanan sosial yang multikultur yang berbeda agama dan keyakinan
sehingga perlu kiranya makna fi sabilillah (Jihad di jalan Allah) diinterpretasikan dengan
5
Hikam, Muhammad A.S (2016). Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme –
Deradikalisasi. Jakarta : Kompas. hlm. viii. ISBN 9789797099855.
7
menggunakan teori maslahat sebagaimana yang dikemukan oleh Sobirin yang dikutif oleh
Al-Syasthibi bahwa maslahat itu mengajarkan 1) hukum itu dibuat untuk kemaslahatan
manusia, yaitu melindungi kesejahteraan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta kekayaan
manusia, agar mendapat manfaat dan terhindar dari kerusakan. 2) Apablila dalam
mewujudkan kemaslahatan itu menghendaki perubahan hukum, maka hukum pun harus
diubah mengikuti kemaslahatanya tersebut meskipun harus diubah mengikuti
kemaslahatanya tersebut, meskipun harus menyimpang dari atau berbeda dengan teks
hukumya. 3) Apabila demi terwujudya kemaslahatan harus dibentuk hukum baru meskipun
tidak ada peritah dalam syariah. 4) Apabila terjadi pertentangan atau perbedaan
kemaslahatan satu sama lain, maka diambil maslahah yang lebih besar atau kemaslahatan
yang paling unggul. 5) pembentukan hukum baru melalui maslahah berdasarkan akal
manusia tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Syariah yang bersifat ubudiyah yang
menjadi hak Allah. Jihad fi sabilillah tidak boleh dimaknai dengan hanya persfektif
tekstual dengan menegakan yang maaruf dan mencegah yang mungkar sehingga membuat
korban berjatuhan dan kerusakan dimana-mana terlebih menganggu stabilitas keamanan
masyrakat Indonesia.
8
atau fasilitas Internasional. Menurut pasal tersebut teroris bukan hanya kejahatan nasional
tetapi termasuk kejahatan Internasional yang memiliki jaringan di beberapa negara.
Terorisme Indonesia bisa saja berasal dari gejolak politik di negara lain yang menimbulkan
tindakan separatis dari warga yang ingin mengguling pemerintahan sehingga masuk di
Indonesia lalu dikemas menjadi gerakan pembela agama/ jihad fi sabilillah. Pemerintah
sedang melakukan proses Revisi UU Teroris Nomo 15 Tahun 2003 dan memperluas
definisi teroris meliputi motif politik, ideologi, dan gangguan keamanan. Dengan demikian
terorisme bukan hanya bermotifkan agama namun segala tindakan yang menimbulkan
ketakutan dan pengrusakan serta pengacaman dengan motif politik, ideologi dan gangguan
keamanan dapat ditindaki hanya saja yang masih menjadi persoalan ialah belum ada
tindakan preventif oleh pemerintah, sejauh ini masih berupa tindakan represif dengan
menyiapakan payung hukum dan melibatkan TNI dalam pemberantasan korupsi sehingga
jika aksi tersebut masih seputar wacana dengan pencucian otak belum bisa secara tegas
untuk ditangani karena batasan hukum dan tindakan main hakim sendiri.
Gerakan radikalisme hingga teroris dapat dilakukan dengan mekanisme pencucian otak
dan penolakan terhadap Pancasila. Hal ini sebenarya dapat diantisipasi jika ruang-ruang
diskusi keagamaan dapat lebih terbuka dengan melibatkan pihak-pihak yang berkompeten.
Eksklusifisme yang mereka bangun akan sangat berbahaya jika mereka berdialog dengan
komunitas mereka sendiri. Keterbatasan BIN dan BNPT dalam menaggulangi terorisme
juga tidak bisa gegabah untuk bertindak namun hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang mecurigakan dengan menyelidiki kajian mereka
yang secara kontinuitas dan tertutup.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
10