Anda di halaman 1dari 22

BAHAYA RADIKALISME

MAKALAH
Disusun dan Diajukan guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Study Islam
Dosen Pengampu : Adnan Yusufi,M.Pd.I

Oleh:
Farkhan Tsaqif Hanan Alhadi NIM. 42422010
Retno Mulyani NIM. 42422018
Ahmad Faozi NIM. 42422021
Alin Sukmawati NIM. 42422030
Nirvana Pretty Ali NIM. 42422038
Salman Afif Awaludin NIM. 42422049
Abi Al Zamili NIM. 42422055
Lia Nur Cahyani NIM. 42422056

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


INFORMATIKA
BUMIAYU
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Rabb semesta alam yang telah memberikan
taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada The Spiritual Father, Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarga dan sahabat dan para pengikut jejaknya
hingga hari perhitungan nanti, semoga Allah SWT mengagungkan perjuangan
mereka.
Amma ba’du. Makalah yang berjudul“Bahaya Radikalisme”ini disusun
guna memenuhi tugas terstrukur kelompok pada mata kuliah Studi Islam yang
diampu oleh Adnan Yusufi, M.Pd.I, Prodi Informatika, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Peradaban. Penulisan makalah ini juga dimaksudkan
sebagai media untuk menggembangkan dan meningkatkan kemampuan dalam
penelitian serta penulisan karya ilmiah mahasiswa.
Makalah ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, baik moril maupun materiil. Untuk itu, tim penyusun
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih
kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Akhirnya, kritik dansaran dari pembaca sangat kami harapkan demi
kesempurnaan dimasa mendatang. Dan kiranya, makalah ini bermanfaat bagi kita
semua. Semoga Allah SWT berkenan menjadikan karya ilmiah ini sebagai amal
jariyah bagi tim penyusun serta pihak-pihak yang pandangannya dikutip dalam
makalah ini. Amin.

Bumiayu, 14 Desember 2022


Ketua

Farkhan Tsaqif Hanan Alhadi


NIM. 42422010
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... 1

KATA PENGANTAR............................................................................................ 2

DAFTAR ISI........................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 4

A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 4

B. Rumusan Masalah.............................................................................. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan........................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 7

A. Pengertian radikalisme....................................................................... 7

B. Sejarah radikalisme............................................................................ 9

C. Karakteristik radikalisme.................................................................. 10

D. Ideologi Pancasila vs Radikalisme................................................... 11

E. Upaya pemerintah menanggkal paham radikalisme......................... 14

BAB III SIMPULAN......................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Radikalisme bisa diartikan suatu sikap atau paham yang secara ekstrim,
revolusioner dan militant untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang
dianut masyarakat. Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau
kekerasan fisik. Ideologi pemikiran, kampanye yang masif dan demontrasi sikap
yang berlawanan dan ingin mengubah mainstream dapat digolongkan sebagai
sikapradikal.
Pada skala global, potret religious extrimism ini tergambar pada gerakan
radikalisme agama yang diarti kulasikan oleh Hamas (Palestina), Hizbullah
(Libanon), Kelompok Fundamentalisme Islam Iran, AlQeda dan Taliban
(Afganistan). Pada masyarakat Barat, fenomena religious extimism juga dapat
diamati dari gerakan kaum radikalis seperti kelompok ekstrim dan fundamentalis
Yahudi yang melakukan penembakan brutal ratusan warga muslim Palestina yang
tengah melaksanakan shalat subuh di masjid al-Khalil (Hebron), serangan
kamikaze Jepang terhadap gedung WTC, sekte-sekte agama fundamentalis di
Barat yang mengajak jama’ahnya melakukan bunuh diri massal, penembakan
massal, dan berbagai aktivitas radikalisme lainnya.
Pada saat sekarang ini banyak sekali di media sosial informasi mengenai
kekerasan atas nama agama semakin banyak dijumpai. Fenomena kekerasan
agama dapat dilihat melalui media elektronik maupun media cetak. Berbagai
demonstrasi, apakah itubermuatan politik, sosial, ekonomi dan budaya mewarnai
kehidupan masyarakat. Ada yang dipicu oleh persoalan politik, seperti pilkada,
pelaksanaan syariah di dalam bernegara, ada yang difasilitasi oleh persoalan sosial
beragama seperti merebaknya interaksi antar umat beragama, pluralisme dan
hubungan lintas agama, ada yang disebabkan oleh persoalan ekonomi seperti
kapitalisme yang semakin perkasa. Masalah-masalah ini cenderung direspon
dengan tindakan kekerasan, yang dalam banyak hal justru kontra- produktif. Salah
satu implikasinya adalah kekerasan agama yang dikonstruksi sebagai radikalisme
menjadi variabel dominant dalam berbagai tindakan kekerasan yang
mengatasnamakan agama.
Melalui peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang kini telah dihadapi oleh
seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Meningkatnya radikalisme dalam agama
Indonesia menjadi fenomena sekaligus bukti nyata yang tidak bisa begitu saja
diabaikan ataupun dihilangkan. Radikalisme keagamaan yang semakin meningkat
di Indonesia ini ditandai dengan berbagai aksi kekerasan dan terror. Aksi tersebut
telah menyedot banyak potensi atau energi kemanusiaan serta telah merenggut
hak hidup orang banyak termasuk orang yang sama sekali tidak mengerti
mengenai permasalahan ini. Meski berbagai seminar dan dialog telah digelar
untuk mengupas persoalan ini yaitu mulai dari pencarian sebab hingga sampai
pada penawaran solusi, namun tidak juga kunjungan memperlihatkan adanya
suatu titik terang.
Fenomena tindak radikalisme dalam agama memang bisa dipaham secara
beragama, namun secara ensensial, radikalisme agama umunya memang selalu
dikaitkan dengan pertentangan secara tajam anatara nilai-nilai yang diperjuangkan
kelompok agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang
mapan pada saat itu. Dengan demikian, adanya pertentangan, pergesekan ataupun
ketegangan, pada akhirnya menyebabkan konsep dari radikalisme selalu saja
dikonotasikan dengan kekerasan fisik. Apalagi realitas yang saat ini telah terjadi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat mendukung dan semakin
memperkuat munculnya pemahaman seperti itu.
B. RUMUSAN MASALAH
A. Apa itu radikalisme?
B. Pengeartian konstruktivisme sebuah penghampiran?
C. Radikalisme, penggunaaan media sosial pada masyarakat dan
bagaimana pencegahan paham radikalisme pada media sosial?
D. Apa yang dimaksud dengan Idiologi Pancasila?
E. Bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi
radikalisme?
C. TUJUAN
A. Untuk mengetahui tentang pengertian radikalisme.
B. Untuk mengetahui sejarah dan karakteristik radikalisme.
C. Dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan tentang pengertian
radikalisme, penggunaan media sosial pada masyarakat dan
pencegahan paham radikalisme di media sosial.
D. Mengerti yang dimaksud dengan idiologi Pancasila.
E. Mengerti implementasi nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi
radikalisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PengertianRadikalisme
Radikalisme adalah suatau perubahan sosial dengan jalan kekerasan,
menyakinkan dengan satu tujuan yang dianggap benar tetapi dengan
menggunakan cara yang salah. Radikalisme dalam arti bahasa berarti paham atau
aliran yang mengingatkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan
cara kekerasan atau drastis.
Namun, dalam artian lain, ensensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa
dalam mengusung perubahan. Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain
adalah inti dari perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan. Yang dimaksud
dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandang kolot dan sering
menggunakan kekerasan dalam mengajarkan sikap berdamai dan mencari
perdamaian Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan
dalam menyabarkan agama, paham keagamaan serta paham politik.
(Hilmy, n.d.) Dawinsha mengemukakan definisi radikalisme menyamakan
dengan teroris. Tapi ia sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antar
budaya. Radikalisme adalah kebijakan dan terorisme bagaian dari kebijakan radik
tersebut. Definisi Dawinsha lebih nyata bahwa radikalisme itu mengandung sikap
jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah
tatanan kemampuan dan menggantinya dengan gagasan baru.
Makna yang terakhir ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman negatif
dan bahkan bisa menjadi berbahaya sebagai ekstrim kiri dan kanan.
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul
begitu saja tetapi mempunyai latar belakang yang sekaligurs menjadi faktor
pendorong munculnya gerakan radikalisme.
1. Faktor Sosial-Politik
Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik
daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah oleh Barat disebut sebagai
radikalisme itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya oleh sudut konteks
sosialpolitik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Secara
historis kita bisa melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan
radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan
membenturkan diri dengan kelompok lainnya ternyata lebih berakar pada masalah
sosial-politik.
Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama, kaum
radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk
mencapai tujuan “mulia” dari politiknya.
2. Faktor-faktor Emosi Keagamaan
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor
sentiment keagamaan, termasuk didalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk
kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu.
Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya,
dan bukan agama (wahyu suci yang obsolut) walaupun gerakan radikalisme selalu
mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dahil membela agama, jihad dan
mati syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah
agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretative. Jadi sifatnya nisbi
dan subjektif.
3. Faktor-faktor Kultural
Ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatar belakangi
munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural didalam
masyarakat selalu ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jarring-
jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai.
Sedangkan yang dimaksud faktor kultural disini adalah sebagai anti tesa
terhadap budaya sekularisme. Badaya barat merupakan sumber sakularisme yang
dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi.
Sedangkan faktor sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari
berbagai aspeknya atas negara-negara dan budaya.
Peradaban barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal
umat manusia yang telah dengan sengaja melakukan proses merjinalisasi seluruh
sendi-sendi kehidupan.
4. Faktor-faktor Ideologis Anti Westernisme
Motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan
keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme
justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memprosisikan diri sebagai
pesaing dalam budaya dan peradaban.
5. Faktor-faktor Kebijakan Pemerintah
Ketidakmampuan pemerintah di negara-negara Islam untuk bertindak
situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagai umat Islam
disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negara-negara besar.
Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negara-negara belum atau kurang dapat
mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme)
sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.
Disamping itu, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat
Islam juga menjadi faktor reaksi dengan kekerasan yang dilakukan.

B. Sejarah Radikalisme
Menurut ensiklopedi britanica kata radikalisme pertama kali digunakan
oleh charles james fox, pada tahun 1797, ia mendeklarasikan “ reformasi radikal “
sistem pemilihan, sehingga istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi
pergerakan reformasi parlemen.
Sedangkan radikalisme dalam konteks agama islam dimulai dari
muhammad bin abdul wahab, sejarah tentang kehidupan nya banyak ditulis oleh
sejarawan yang sejaman denganya atau setelahnya, sekte yang dibuat oleh
muhammad bin abdul wahab sering disebut juga wahabi atau wahabiyah, sering
kali bertentangan dengan mayoritas kaum muslimin yang lainya, yang sejak dulu
berpandangan ahlusunnah wal jamaah, dengan mengatakan tinggalkan segala
bentuk kesyirikan dan kekafiran seperti tawasul kepada nabi atau orang soleh
yang sudah wafat, mereka juga sering berteriak dengan lantang untuk
meninggalkan bid’ah dan sebagainya, mereka sering mengkafir kafirkan sesama
muslim jika tidak sejalan dengan pandangan nya, tetapi jika dari kalangan mereka
sendiri ada ulama yang bertentangan mereka menganggap bahwa itu adalah ijtihad
ulama.
Pada suatu waktu pandangan jahiliah menggangap bahwa hubungan yang
mengikat seseorang dengan yang lain itu adalah darah keturunan ,pada waktu
yang lain tanah air dan negeri, pada waktu yang lain lagi kaum dan\ bangsa , pada
waktu yang lain lagi warna kulit dan bahasa , pada waktu yang lain lagi jalinan
hubungan itu ditetntukan oleh profesi dan tingkatan (kelas sosial ekonomi) .
Dan ,pada waktu yang lain mengganggap bahwa tali hubungannya adalah
kesamaan kepentingan ,kesamaan sejarah, atau kesamaan tujuan .Semua itu
adalah pandangan-pandangan jahiliah ,baik semua pandangan itu secara terpisah
maupun secara keseluruhan yang bertentangan secara mendasar dengan pokok
pandangan islam.

C. Karakteristik radikalisme
1. Mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tidak
sependapat.
2. Mempersulit tata cara Islam yang dianut, bahwa sejatinya ajaran Islam
bersifat samhah atau toleran dengan menganggap perilaku, hukum dan
ibadah.
3. Bersikap berlebihan dalam menjalankan ritual agama yang tidak pada
tempatnya.
4. Mutlak dalam berinteraksi, keras dalam berbicara terutama terkait apa yang
diyakininya dan emosional dalam berdakwah atau menyampaikan pendapat.
5. Mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya yang tidak
sepaham.
6. Mudah mengafirkan atau memberi label takfiri

7. Orang atau kelompok lain yang berbeda pendapat.

Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme


Anti-Pancasila, Antikebhinekaan ,Anti-NKRI ,Anti-Undang-Undang Dasar 45.
D. Ideologi vs Radikalisme
Pancasila ditawarkan Soekarno sebagai philosofische Gronslag
(dasar,filsafat, atau jiwa) dari Indonesia merdeka. Sebelum mengutarakan gagasan
mengenai dasar negara, Soekarno merasa perlu untuk meyakinkan para peserta
sidang bahwa mereka tidak perlu terlalu memusingkan perkara yang kecil-kecil
daripada kemauan untuk merdeka.
Kemauan dan hasrat untuk merdeka, menurut Soekarno, harus mendahului
perdebatan mengenai dasar negara. Mengapa? Karena buat apa membicarakan
dasar negara jika kemerdekaan tidak ada? Dari sini dimengerti logika berpikir
Soekarno yang terlebih dahulu menggelorakan semangat untuk merdeka, bahkan
ketika rakyat masih miskin, belum bisa baca tulis, belum bisa mengendarai mobil,
dan seterusnya.
(Wisnu Dewantara, 2015) Argumentasi Soekarno mengenai dasar negara
dibuka dengan suatu pertanyaan, “Apakah Weltanschauung (dasar dan filsafat
hidup) kita, jikalau kita hendak mendiirkan Indonesia merdeka?” Selanjutnya
Soekarno menguraikan dasar-dasar apa saja yang perlu dimiliki bagi bangunan
Indonesia merdeka.
Dasar-dasar yang ia sebutkan adalah kebangsaan Indonesia,
internasionalisme (kemanusiaan), mufakat/permusyawaratan, kesejahteraan
(keadilan sosial), dan akhirnya Ketuhanan. Kelima prinsip itulah yang dia
namakan Pancasila, dan diusulkannya sebagai Weltanschauung negara Indonesia
merdeka.
(Wisnu Dewantara, 2015) Ideologi tentu haus memiliki fungsi, khsusunya
bagi sekelompok orang yang meyakininya. Fungsi Pancasila sebagai sebuah
ideologi bangsa tentunya sudah dipikirkan matang-matang sebelum oleh para
pendiri bangsa secara formal disepakati.
Pada perkembangannya, fungsi ideologi bangsa bisa makin variatif seiring
dengan dinamika kehidupan bangsa tersebut, bahkan mungkin berfungsi diluar
apa yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Fungsi yang muncul belakangan
ini bisa bersifat positif atau negatif.
(Wisnu Dewantara, 2017) Fungsi yang diharapkan tentu saja fungsi
positif. Pancasila sebagai ideologi negara memiliki fungsi dan peranan sebagai
berikut:
 Sebagai inspirasi seseorang untuk menemukan identitas dan jati diri
kebangsaannya.
 Sebagai prinsip dasar untuk memahami dan menafsirkaan kehidupannya
dalam konteks berbangsa dan bernegara.
 Sebagai kekuatan yang memotivasi seseorang untuk melaksanakan hak
dan kewajibannya sebagai warga negara.
 Sebagai pedoman seseorang dalam bertindak bagi bangsanya. - Sebagai
inspirasi tumbuhnya jiwa nasionalisme dan patriotisme.
 Sebagai sarana keilmuwan yang menghubungkan warga negara terhadap
pemikiran para pendiri bangsanya.
 Sebagai jalan untuk menemukan jawaban mengapa bangsa Indonesia
didirikan.
Selain fungsi yang telah disepakati, Pancasila sebagai ideologi bisa pula
dimanfaatkan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Fungsi ini tentu saja
bersifat negatif. Indonesia pernah mengalami masa dimana Pancasila nyaris
kehilangan makna dan hanya digunakan sebagai instrumen kekuasaan belaka.
Pancasila ditafsir oleh rezim berkuasa dan dimonopoli kebenarannya
seabgai alat untuk memberangus mereka yang berbeda pandangan. Ciri secara
tipikal berkaitan dengan rezim berkuasa yang menafsirkan Pancasila secara
sepihak. Sehingga pihak lain yang berbeda pandangan berpotensi dianggap
sebagai tidak mendukung rezim dan akhirnya dicap anti-Pancasila atau radikal.
Saat ini Pancasila adalah ideologi yang terbuka, dan sedang diuji daya
tahannya terhadap gempuran, pengaruh dan ancaman ideologi-ideologi besar
lainnya, seperti liberalism (yang menjunjung kebebasan dan persaingan),
sosialisme (yang menekankan harmoni), humanisme (yang menekankan
kemanusiaan), nihilisme (yang menafsirkan nilai-nilai luhur yang mapan),
maupun ideologi yang berdimensi keagamaan.
Pancasila, sebagai ideologi terbuka pada dasarnya memiliki nilai-nilai
yang sama dengan ideologi lainnya, seperti keberadaban, penghormatan akan
HAM, kesejahteraan, perdamaian dan keadilan. Di era globalisasi, romantisme
kesamaan historis zaman lalu tidak lagi merupakan pengikat rasa kebersamaan
yang kokoh. Kepentingan akan tujuan yang akan dicapai lebih kuat pengaruhnya
daripada kesamaan latar kesejahteraan.
Karena itu, implementasi nilai-nilai Pancasila, agar tetap aktual dalam
menghadapi ancaman radikalisme harus lebih ditekankan pada penyampaian tiga
massage berikut:
a. Negara yang dibentuk berdasarkan kesepakatan dan kesetaraan, dimana di
dalamnya tidak boleh ada yang merasa sebagai pemegang saham utama,
atau warga kelas satu.
b. Aturan main dalam bernegara telah disepakati, dan negara memiliki
kedaulatan penuh untuk menertibkan anggota negaranya yang berusaha
secara sistematis untuk merubah tatanan, dengan cara-cara yang melawan
hukum.
c. Negara memberikan perlindungan, kesempatan, masa depan dan
pengayoman seimbang untuk meraih tujuan nasional masyarakat adil dan
makmur, sejahtera, aman dan berkeadaban dan merdeka.
Nilai-nilai Pancasila dan UUD’45 yang harus tetap diimplementasikan itu adalah:
1. Kebangsaan dan persatuan
2. Kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia
3. Ketuhanan dan toleransi
4. Kejujuran dan ketaatan terhadap hukum dan peraturan
5. Demokrasi dan kekeluargaan
Ketahanan nasional merupakan suatu kondisi kehidupan nasional yang
harus diwujudkan dan dibina secara terus menerus secara sinergis dan dinamis
mulai dari pribadi, keluarga, lingkungan dan nasional yang bermodalkan keuletan
dan ketangguhan yang mengandung kemampuan pengembangan kekuatan
nasional.
Salah satu unsur ketahanan nasional adalah Ketahanan Ideologi.
Ketahanan Ideologi perlu ditingkatkan dalam bentuk:
 Pengamalan Pancasila secara objektif dan subjektif
 Aktualisasi, adaptasi dan relevansi ideologi Pancasila terhadap nilai-nilai
baru
 Pengembangan dan penanaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam
seluruh kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

E. Upaya Pemerintah Menanggkal Paham Radikalisme


Penggunaan media sosial pada masyarakat dan pencegahan paham
radikalisme di media sosial. Pada Masyarakat Situs jejaring sosial (bahasa Inggris:
Social network sites) merupakan sebuah web berbasis pelayanan yang
memungkinkan penggunanya untuk membuat profil, melihat list pengguna yang
tersedia, serta mengundang atau menerima teman untuk bergabung dalam situs
tersebut. Tampilan dasar situs jejaring sosial inimenampilkan halaman profil
pengguna, yang didalamnya terdiri dari identitas diri dan foto pengguna.
Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa
dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring
sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan
bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh
dunia.
Pendapat lain mengatakan bahwa media sosial adalah media online yang
mendukung interaksi sosial dan media sosial menggunakan teknologi berbasis
web yang mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif.
Kemunculan situs jejaring sosial ini diawali dari adanya inisiatif untuk
menghubungkan orang-orang dari seluruh belahan dunia. Sejak komputer dapat
dihubungkan satu dengan lainnya dengan adanya internet banyak upaya awal
untuk mendukung jejaring sosial melalui komunikasi antar komputer.
Situs jejaring sosial diawali oleh Classmates.com pada tahun 1995 yang
berfokus pada hubungan antar mantan teman sekolah dan SixDegrees.com pada
tahun 1997 yang membuat ikatan tidak langsung.
Seiring dengan berjalannya waktu, teknologipun berkembang pesat.
Dengan begitu, banyak pembaharuan-pembaharuan yang muncul dan semakin
mempermudah komunikasi antar individu maupun kelompok.
Tak hanya itu, ditiap media sosial selalu terdapat pembaharuan sistem
seperti Facebook yang awalnya hanya digunakan untuk chatting kini dapat
digunakan untuk liveStreaming.
Banyak orang menggunakan media sosial dengan tujuan mengekspresikan
dan mengungkapkan perasaan batinnya. Namun ada juga yang berbagi kisah
inspiratif yang memotivasi orang lain.
Perkembangan media sosial tentunya di dukung oleh aksesnya yang
semakin mudah untuk para penggunanya. Seperti halnya Facebook yang dapat
pembaharuan sistem contohnya, akses media sosial yang dapat dijalankan tanpa
menggunakan komputer saja namun juga menggunakan Smartphone.
Dan lagi dewasa ini, gadget menjadi kebutuhan primer bukan lagi menjadi
barang mewah yang merupakan kebutuhan tersier. Hal itu dikarenakan banyaknya
tuntutan zaman yang memaksa penggunaan gadget dalam beberapa waktu. Gadget
sendiri memiliki fitur-fitur yang menyuguhkan berbagai informasi tentang dunia
di dalamnya.
Dalam penggunaan media sosial sebagai warganet diharapkan mampu
memilah informasi yang benar dan teruji serta informasi yang belum diketahui
asalnya.
Sebab dengan adanya media sosial yang semakin bebas, informasi yang
masuk cenderung tidak terkontrol dan langsung diterima oleh masyarakat tanpa
melalui proses filterisasi. Dan lagi tanpa mengetahui kebenarannya masyarakat
langsung menyebarkan informasi yang di dapat dengan dalih membantu.
Menurut analisis penulis bahwa karakter media sosial yang tanpa batas
membuat penyebaran paham radikal semakin sulit dihalau.
Media sosial itu bersifat borderless dan luas, partisipatif dengan peserta
beragam, bersifat private dalam penggunaan, komunikasi bebas dan cepat dan
pesan mudah dibuat. Karakter media sosial itu berseiring dengan meningkatnya
penggunaan media sosial. Hal itu semakin mempercepat penyebaran paham
radikal di media sosial.
Percepatan paham radikalisme menyebar juga disebabkan oleh akselerasi
pengguna internet yang meningkat dan dominasi situs-situs hoaks dan radikalisme
juga masih tinggi.

F. TRANSFORMASI GERAKAN ISLAM RADIKAL DI INDONESIA

Transformasi gerakan Islam di Indonesia dalam sejarahnya


sesungguhnya terbagi ke dalam tiga babak yang tidak berkesinambungan
karena gerakan Islam tidak hanya bertransformasi, tetapi juga melakukan
metamorfosis yang terpisah-pisah dalam bentuk gerakan yang bermacam-macam.

Babak pertama dari gerakan Islam adalah gerakan Islam kebangsaan


(kemerdekaan) yang bertransformasi ke gerakan politik praktis dalam perhelatan
demokrasi. Meskipun di masa kolonial gerakan Islam kebangsaan (kemerdekaan)
terlibat dalam gerakan politik, seperti yang telah ditunjukkan oleh Sarekat Islam,
tetapi transformasi gerakan Islam kebangsaan (kemerdekaan) ke gerakan politik
praktis mengalami arus besar di hampir organisasi Islam.

Organisasi-organisasi Islam yang dulunya berada dalam jalur kultural, pada


awal-awal kemerdekaan bertransformasi sebagai gerakan politik. Organisasi-
organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persatuan
Tarbiyah Islam (Perti).

NU telah bertransformasi ke dalam Partai Nahdlatul Ulama (NU), Perti


bertransformasi ke dalam Perti, dan Muhammadiyah meskipun tidak mengubah
diri menjadi partai politik, tetapi mereka telah berhasil menguasai Masyumi
sebagai kekuatan mayoritas pada 1952.

Partai-partai ini tampil sebagai kekuatan penyeimbang dari kelompok


nasional yang memperdebatkan Piagam Jakarta. Kubu partai-partai Islam
menginginkan Piagam Jakarta dan kubu partai- partai nasionalis, seperti PNI, PSI
menginginkan Pancasila.
Militansi keislaman pada Pemilu 1955 hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara jika dilihat dari perspektif
sekarang ini merupakan bagian dari radikalisasi politik. Tokoh-tokoh Masyumi,
seperti Mohammad Natsir, Isa Anshari, K.H. Masjkur mengusulkan agar Islam
sebagai ideologi negara berdasarkan argumen,

(1) watak holistik Islam,

(2) keunggulan Islam atas semua ideologi dunia lain, dan

(3) kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warga negara


Indonesia. Pada Pemilu 1971 sebagai Pemilu Pertama Orde Baru masih
mencerminkan gerakan politik praktis sebagai perjuangan umat Islam.

Babak kedua dari gerakan Islam adalah transformasi dari gerakan politik
praktis ke gerakan dakwah (mindest, wacana, dan pemikiran) yang pada periode
ini melahirkan dua kelompok besar, yaitu kelompok Islam substansialistik dan
kelompok Islam legal-formalistik setelah arus politik Islam dipinggirkan oleh
Orde Baru muncul.

Kedua arus besar Islam di Indonesia ini sesungguhnya mewakili


organisasi-organisasi Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan organisasi Islam yang lahir di masa Orde
Baru, seperti Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII).

Orang-orang yang dikategorikan sebagai kelompok Islam substansialistik


dan kelompok Islam legal- formalistik ini sesungguhnya masih merupakan orang-
orang lama yang terlibat dalam konstelasi politik di Pemilu 1955 dan Pemilu 1971
dan 1977.

Transformasi politik praktis ke kultural dengan orientasi Islam


substansialistik dan legal-formalistik telah menjadi perdebatan serius dalam
perjuangan politik Islam di Indonesia.

Kelompok Islam substansialistik yang diwakili oleh gerbong Nurcholish


Madjid, Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali, Djohan Effendi, Dawam
Rahardjo dengan kelompok Islam legal formalistik bertarung dalam ruang publik,
terutama dalam Orde Baru yang meminggirkan umat Islam di periode
pertamanya, terutama dalam kasus dilarangnya rehabilitasi Masyumi, fusi partai,
dan penerapan asas tunggal Pancasila. Radikalisme yang ditampilkan kelompok
Islam legal-formalistik masih dalam bentuk wacana, bukan aksi kekerasan.
Namun demikian, pada periode inilah, di luar kecenderungan kelompok
substansialistik dan legal-formalistik, muncul kembali arus radikalisme Islam yang
diwakili oleh para eks Darul Islam/Negara Islam Indonesia dengan tetap lestarinya
ide negara Islam di kalangan NII. Pada 1974, digelar “Pertemuan Mahoni” yang
melahirkan Dewan Imamah di bawah pimpinan Daud Beureueuh.

Gaos Taufik menjadi komandan militer, Adah Jaelani dibantu Aceng


Kurnia dan Dodo Muhammad Darda (putra Kartosuwiryo) sebagai menteri dalam
negeri dan Danu Muhammad Hasan sebagai komandan teritorial besar. Pertemuan
Mahoni ini menjalin komitmen untuk tetap melanjutkan upaya mendirikan negara
Islam.

Radikalisme Islam di periode ini kemudian mewujud dalam Komando


Jihad, Woyla, Teror Warman, gerakan Imran dan peristiwa Lampung. Pada 1978,
Warman mengangkat dirinya sendiri sebagai pewaris semangat Kartosuwiryo.
Didukung oleh pengikutnya yang benar-benar radikal, gerakan Warman
menyetujui diambilnya langkah-langkah kekerasan.

Pada 1981, Imran Muhammad Zein muncul mengobarkan semangat


revolusi Islam di Indonesia, seperti konfrontasi fisik dengan jajaran militer
setempat (Cicendo, Jawa Barat) dan pembajakan pesawat penerbangan domestik
(Garuda Wyola).

Insiden kekerasan terus berlanjut pada pertengahan 1980-an seperti


pemboman Bank Central Asia (BCA) di Jakarta dan pemboman Candi
Borobudur di Magelang.

Namun yang paling menakjubkan adalah insiden berdarah Tanjung Priok


pada 12 September 1984. Yaitu dalam bentuk wacana dan aksi. Radikal dalam
level wacana adalah adanya mindset mendirikan negara Islam, negara kekhalifan
Islam, formalisasi syariat Islam secara kaffah tanpa menggunakan kekerasan
terbuka. Radikal dalam level aksi adalah melakukan perubahan dengan aksi-aksi
kekerasan atas nama agama.
Babak ketiga yang paling menegangkan dalam gerakan Islam di
Indonesia adalah transformasi dari Islam radikal ke Islam jihadis/teroris. Inilah
gerakan Islam di Indonesia yang paling kuat setelah peristiwa 11 September 2011
sebagai tragedi terorisme yang paling serius di dunia.
Konteks internasional ini sejatinya juga melibatkan praktik ketidakadilan
Amerika terhadap Palestina yang menggunakan kebijakan politik luar negeri
“standar ganda”.

Banyak kelompok-kelompok Islam di hampir penjuru negeri-negeri


Muslim merasakan ketidakadilan Amerika dalam memperlakukan Palestina.
Sedangkan di dalam negeri sendiri, transisi politik sejak 1998 dengan dibukanya
arus kebebasan, telah melahirkan gerakan-gerakan Islam yang mengancam
demokrasi itu sendiri.
Dengan demikian, gerakan Islam radikal bukanlah sesuatu yang unik,
karena memiliki elemen-elemen umum sebagaimana gerakan sosial pada
umumnya, seperti struktur organisasi, collective identity, mobilisasi sumber,
jaringan sosial dan sebagainya.
Yang spesifik dari gerakan Islam radikal adalah konteks politik dimana
mereka beroperasi. Setiap gerakan sosial selalu muncul dalam konteks lokal yang
spesifik, dan kondisi sosial-politik ini adalah kunci untuk memahami agenda
gerakan Islam dan trajektorin.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Radikalisme adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan,
meyakinkan denngan satu tujuan yang dianggap benar namun dengan
menggunakan cara yang salah.
Di tingkat lokal maupun nasional, NU dan Muhammadiyah telah
memainkan peran menentukan dalam proses-proses pembangunan peradaban
keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan.
Berdasarkan dari pemaparan di atas bahwa dalam pencegahan paham
radikalisme di media sosial harus diterapkan di keluarga, masyarakat agar bisa
mencegah perkembangan radikalisme yang menjadi aksi-aksi teror, bahkan bisa
mengurangi radikalisme itu sendiri. Dalam pencegahan paham radikalisme di
media sosial dapat ditanggulangi dengan berbagai cara antara lain dengan
pertama, memperdalam pendidikan literasi bermedia sosial agar proses
penyebaran informasi yang baik, serta teliti dalam hal-hal yang bersifat tidak
benar ataupun hal-hal yang tidak pasti agar masyarakat bijak dalam bermedia
social.
Radikalisme merupakan gerakan yang berpandang kolot dan sering
menggunakan kekerasan dalam mengajarkan sikap, berdamai dan mencari
perdamaian. Soekarno menawarkan suatu ideologi yang sesuai dengan dasar
kebiasaan yang ada di Indonesia. Soekarno sepertinya dapat melihat bahwa akan
terjadi berbagai gerakan yang dapat merusak atau mengancam negara Indonesia
salah satunya adalah Radikalisme.
Dengan mengamalkan nilai-nilai dalam ideologi Pancasila, suatu bangsa
dapat menjalankan proses hidup dalam berbangsa dan bernegara tanpa ada
ancaman dari gerakan yang mengancam keutuhan negara.

20
B. LAMPIRAN

A.PENGERTIAN

E. UPAYA
PEMERINTAH
MENANGGULANGI B.SEJARAH
PAHAM RADIKAL
BAHAYA
RADIKALISME

D. IDEOLOGI
PANCASILA vs C.KARAKTERISITIK
RADIKALISME

21
DAFTAR PUSTAKA

References
Abdullah, M. A. (2000). Mencari Islam, Studi Islam. Yogyakarta: Tiara.
Arief, A. (2002). Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta:
Ciputat Pers.
Azhary, D. S. (2015). Islam Radikal. Mesir: Dar al - faqih.
Azhary, D. U. (2015). Islam Radikal. Mesir: Dar al -faqih.
Hidayatulloh, M. (2015). Islam Radikal. Uni Emirat Arab: Dar al-Faqih .
Hilmy, M. (. (2019). RADIKALISME AGAMA DAN POLITIK DEMOKRASI DI.
Surabaya: Ferdi Budiman.
Wisnu Dewantara, A. (2015). PANCASILA DAN MULTIKULTURALISME
INDONESIA,. Jakarta.
Wisnu Dewantara, A. (2017). DISKURSUS FILSAFAT PANCASILA DEWASA
INI. Jakarta: Kanisius.

22

Anda mungkin juga menyukai