I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadaan kawasan hutan saat ini sebagian besar berisi tegakan hutan
yang keadaannya jauh di bawah ukuran tegakan hutan yang ideal. Hal ini
terjadi karena tingginya tingkat kerusakan sebagai dampak pengelolaan yang
tidak sejalan dengan prinsip dan teknik yang dibenarkan dalam pengelolaan
hutan yang disepakati, yaitu pengelolaan hutan lestari (PHL) atau Sustainable
Forest Management (SFM). Data Kementerian Kehutanan mengemukakan
laju degradasi hutan mencapai 2,83 juta ha per tahun (Dephut, 2006 dalam
Suryandari dan Alviya, 2009), sehingga kondisi ini berimplikasi terhadap
potensi produksi hutan alam yang semakin menurun.
Tahun 2012 tercatat produksi kayu bulat Indonesia sebesar 49.26 juta
m , hanya sebanyak 5,14 juta m3 yang berasal dari hutan alam dan sisanya
3
dari hutan tanaman sebesar 26,13 juta m 3, Perhutani 142,46 ribu m3, Izin
Pemanfaatan Kayu (IPK) 747,79 ribu m3 dan dari kayu ijin sah lainnya 17,10
juta m3, sedangkan kebutuhan bahan baku kayu industri perkayuan nasional
berdasarkan jumlah kapasitas industri pada tahun 2012 sebesar 67,86 juta m 3
kayu bulat. Fakta data di atas menunjukkan telah terjadi defisit pasokan
bahan baku kayu sebesar 18,60 juta m3.
Rendahnya pasokan bahan baku kayu dari hutan alam dan hutan
tanaman yang telah terbangun hingga saat ini, menjadikan pemenuhan
pasokan kebutuhan bahan baku kayu di masa mendatang adalah dengan
penambahan luasan hutan tanaman maupun peningkatan produktivitasnya.
Areal yang akan dijadikan lokasi perluasan pembangunan hutan tanaman
dapat memanfaatkan areal-areal tertentu pada kawasan Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH) yang sesuai dengan persyaratan tumbuh jenis yang akan
dikembangkan. Pemilihan areal KPH sebagai lokasi pengembangan hutan
tanaman, terutama hutan tanaman kayu pertukangan didasari beberapa
pertimbangan antara lain: a. KPH sebagai penyelenggara pengelolaan hutan
di tingkat tapak diharapkan mampu menjamin pengelolaan hutan secara
lestari dan sesuai fungsinya (kepastian dan kemantapan kawasan), b.
B. Tujuan
C. Luaran
Keluaran yang diharapkan adalah :
a. Diperolehnya data dan informasi karakteristik lahan untuk lokasi
pengembangan kayu pertukangan
b. Diperolehnya data dan informasi tindakan silvikultur yang tepat untuk
menghasilkan pertumbuhan kayu bawang dan bambang lanang yang baik
c. Diperolehnya informasi mengenai para pihak yang berkepentingan dalam
pengelolaan KPH berkaitan dengan potensi kerjasama pembangunan plot
kayu pertukangan
d. Diketahuinya kelayakan finansial budidaya dan potensi pasar kayu
pertukangan
B. Analisis Kelayakan
Analisis biaya manfaat (Cost-Benefit Analysis-CBA) merupakan
teknik yang sering digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka
perencanaan dan pengelolaan kegiatan kehutanan (Gregersen dan Contreras,
1979; Hufschmidt et al, 1983; Munasinghe, 1992; Bann, 1997). Dalam CBA,
manfaat berkaitan dengan dampak positif dari suatu kegiatan yang bersifat
peningkatan kualitas hidup manusia. Biaya berkaitan dengan sumberdaya
yang digunakan untuk menghasilkan output maupun opportunity cost, yang
merupakan benefit foregone (manfaat yang hilang) apabila tidak
menggunakan sumberdaya untuk alternatif pemanfaatan terbaik. Suatu
pilihan dinyatakan layak apabila manfaat bersih (net benefit) bernilai positif.
Proses pengambilan keputusan didasarkan pada analisis terhadap
besaran dari kerugian pengelolaan yang ditransfer dalam komponen biaya
(cost) dan keuntungan pengelolaan direpresentasikan oleh komponen manfaat
(benefit). Kriteria yang digunakan adalah nilai manfaat bersih sekarang (Net
Present Value, NPV), perbandingan antara biaya dan manfaat (Benefit Cost
Ratio, BCR) dan Internal Rate of Return (IRR). Formulasinya adalah sebagai
berikut:
n
Bt Ct
NPV
t 0 1 r t
n
Bt
1 r
t 0
t
BCR n
Ct
1 r
t 0
t
di mana :
Bt = manfaat yang diperoleh pada waktu t (Rp)
Ct = biaya yang dikeluarkan pada waktu t (Rp)
t = tahun
r = discount rate
Kriteria kelayakan yang digunakan adalah jika NPV lebih besar dari
nol dan BCR lebih besar dari 1 (Benefit Cost Ratio, BCR). Sedangkan IRR
adalah tingkat diskonto di mana nilai sekarang bersih dari investasi
(Gregersen dan Contreras, 1979).
Setiap pilihan pengelolaan berlangsung untuk periode yang lama.
Sehingga arus manfaat dan biaya harus didiskon agar manfaat dan biaya dapat
dibandingkan dalam satu dasar waktu yang disebut nilai sekarang atau
present value (PV).
III. METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan di tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten
Musi Banyuasin (2 KPH), Kabupaten Banyuasin (1 KPH), dan Kabupaten
Lahat.
C. Prosedur Kerja
Kegiatan penelitian yang akan dilaksanakan meliputi aspek karakteristik
lahan, silvikultur, dan sosial ekonomi. Informasi karakteristik (kondisi) lahan
aktual dari lokasi pengembangan akan digunakan sebagai dasar pemilihan
jenis tanaman yang sesuai dengai persyaratan tempat tumbuhnya. Selain itu,
pemilihan jenis tanaman akan disesuaikan pula dengan hasil kajian sosial
ekonomi. Kegiatan silvikultur yang akan dilakukan adalah pengadaan bibit
jenis terpilih, pemeliharaan dan aplikasi treatment pada plot ujicoba kayu
bawang dan bambang lanang di KHDTK Kemampo, Kabupaten Banyuasin.
Metode penelitian untuk setiap kegiatan diuraikan sebagai berikut :
a. Karakteristik lahan
pengumpulan data sekunder seperti data iklim, curah hujan dan bahaya
kebakaran.
c. Analisis Stakeholder
Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan observasi dan wawancara
(interview) terhadap sejumlah informan kunci. Kegiatan observasi
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai para pihak terkait
(stakeholder) dalam pengelolaan KPH berkaitan dengan kerjasama
pembangunan plot kayu pertukangan. Sedangkan kegiatan wawancara
dimaksudkan untuk mendapatkan penjelasan mengenai kepentingan (interest)
dan pengaruh (power) setiap stakeholder, serta peran stakeholder. Pemilihan
informan kunci dilakukan secara purposive yang didasarkan pada kepakaran
dan pengetahuan yang dimiliki.
Hal mendasar dalam analisis stakeholder berkaitan dengan pihak yang
mempengaruhi keputusan dan tindakan dan pihak yang dipengaruhi oleh
keputusan dan tindakan tersebut. (Grimble, 1998). Menurut Grimble and
Wellard (1997), kategori stakeholders dibagi menjadi delapan (8) antara lain :
1) Kategori PIL (dominan); power sangat kuat, interest terpengaruh,
legitimasi tinggi
2) Kategori PI (bertenaga); power sangat kuat, interest terpengaruh, klaim
tidak diakui atau legitimasi lemah
D. Analisis Data
Data yang telah terkumpul dari hasil pengukuran pada plot ujicoba diolah
dan dianalisis menggunakan sidik ragam (Uji F) untuk mengetahui respon dari
faktor-faktor yang diterapkan terhadap peubah-peubah yang diamati. Bila hasil
analisis ragam menunjukkan perbedaan yang nyata atau sangat nyata, pengujian
dilanjutkan dengan menggunakan uji BNJ atau DMRT untuk mengetahui
perbedaan antara taraf perlakuan dari suatu faktor dan atau interaksi antara faktor-
faktor yang diujicobakan. Data yang dikumpulkan dari kegiatan sosial ekonomi
dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif
digunakan untuk menjelaskan stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KPH,
kepentingan (interest) dan pengaruh (power) setiap stakeholder dalam pengelolaan
KPH.
A B
Kepentingan/Interes
t
D C
Pengaruh/Power
Tabel 1. Rata-rata riap pertumbuhan kayu bawang pada berbagai jarak tanam
Hasil uji lanjut seperti yang tercantum pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
bahwa riap pertumbuhan tinggi dan diameter kayu bawang paling rendah pada
jarak tanam 3 m x 3 m, masing-masing sebesar 2,61 m/tahun dan 2,37 cm/tahun.
Pertumbuhan diameter paling besar pada jarak tanam 4 m x 5 m sebesar 3,29
cm/tahun. sedangkan pertumbuhan tinggi terbesar pada jarak tanam 3 m x 4 m
sebesar 2,81 m/tahun.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa pengaturan ruang tumbuh melalui
pengaturan jarak tanam berhubugan erat dengan pertumbuhan tanaman. Ruang
tumbuh yang luas akan berdampak pada pertumbuhan diameter tanaman yang
lebih tinggi. Hal ini terlihat dari pertumbuhan diameter tanaman kayu bawang
yang paling besar pada jarak tanam 4 m x 5 m. Kondisi tersebut terjadi pada
kondisi yang normal, dengan daya dukung lahan yang masih baik. Jika daya
dukung lahan sudah mulai terbatas, maka riap pertumbuhan tanaman akan mulai
menurun. Kondisi ini sudah terlihat pada jarak tanam 3 m x 3 m, kecepatan
Tabel 2. Pertambahan diameter, tinggi total dan tinggi bebas cabang tanaman
kayu bawang setelah 1 tahun perlakuan penjarangan.
Hasil uji lanjut seperti yang tercantum pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
perlakuan penjarangan baik berseling maupun baris mampu meningkatkan
pertumbuhan diameter masing-masing sebesar 38 % dan 48 % dibanding kontrol.
Sementara pertumbuhan tinggi total dan tinggi bebas cabang tanaman kayu
bawang yang dijarangi, baik berseling mauun baris cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan tanaman kayu bawang yang tidak dijarangi (kontrol).
Berdasarkan hal tersebut di atas menunjukkan bahwa perlakuan
penjarangan sistematis yang diterapkan mampu memberikan penambahan ruang
tumbuh dan mengurangi persaingan antara pohon yang pada akhirnya mampu
meningkatkan kembali pertumbuhan tanaman kayu bawang yang telah menurun,
dalam hal ini pertumbuhan diameter tanaman.
Tabel 3. Pertumbuhan tinggi dan diameter bambang lanang umur 34 bulan pada
dua jarak tanam berbeda
Tabel 4. Pertambahan tinggi dan diameter batang bambang lanang setelah 1 tahun
dipangkas
Selain plot ujicoba bambang lanang di Lahat, juga telah terjadi kebakaran
permukaan pada plot ujicoba kayu bawang yang berlokasi di KHDTK Kemampo,
Kabupaten Banyuasin pada bulan Oktober 2015. Walaupun telah dilakukan
pemeliharaan penyiangan dan dibuat sekat bakar di sekeliling plot ujicoba,
api/bara yang berasal dari semak belukar di sekitar plot yang terbakar masih dapat
menyeberang/melewati sekat bakar dan membakar tanaman kopi yang berada di
bawah tegakan kayu bawang.
Hasil pemeriksaan dan inventarisasi pasca kebakaran diperoleh data seperti
dapat dilihat pada Tabel 5. Tanaman kopi yang mati dengan persentase tertinggi
terdapat pada tegakan kayu bawang jarak tanam 4 m x 5 m, yaitu sebesar 90,17%,
sedangkan tanaman kayu bawang dengan persentase yang mati tertinggi akibat
kebakaran terdapat pada tegakan kayu bawang jarak tanam 3 m x 4 m (26,47%).
Dengan terbakarnya sebagaian besar tanaman kopi maka kegiatan ujicoba
penanaman kopi di bawah tegakan kayu bawang yang bertujuan sebagai upaya
pemanfaatan ruang tumbuh yang masih kosong, tidak dapat dilanjutkan. Sedangkan
kegiatan pemeliharaan dan pengamatan pertumbuhan kayu bawang masih dapat
dilanjutkan, karena populasi tanaman yang ada masih banyak dan masih layak untuk
digunakan sebagai plot ujicoba.
Tabel 5. Hasil inventarisasi tanaman kayu bawang dan kopi pasca kebakaran
(a) (b)
Gambar 3. Tanaman kopi (a) dan tegakan kayu bawang (b) pasca kebakaran
me/100
17,40 15,23 13,05 13,05 15,23 15,23 17,40 15,23
KTK g
* Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah
me/100
0,32 0,38 0,26 0,26 0,19 0,19 0,19 0,19
K g
Renda
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
* h
me/100
0,11 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11
Na g
Renda
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
* h
me/100
0,78 0,75 0,45 0,45 0,35 0,38 0,45 0,38
Ca g
Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat
* rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah
me/100
0,10 0,10 0,13 0,10 0,05 0,10 0,05 0,05
Mg g
Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat
* rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah
me/100
2,60 3,64 2,76 3,32 2,80 2,64 2,18 2,80
Al g
me/100
2,00 1,32 2,32 2,32 1,44 1,50 2,00 1,48
H-dd g
Tekstur
Pasir (%) 36,74 42,73 55,16 52,94 45,24 49,14 38,94 40,73
Debu (%) 41,46 35,38 33,34 31,35 35,10 31,11 47,58 39,49
Liat (%) 21,80 21,89 11,50 15,71 19,66 19,75 13,48 19,78
Lempun
Lempung Lempung Lempung Lempung Lempung Lempung Lempung
Kelas tekstur ** g
berpasir berpasir berpasir berpasir
Keterangan :
PB1 : Lahan sebelum land clearing
PB2 : Lahan setelah land clearing lereng bagian atas
PB3 : Lahan setelah land clearing lereng bagian tengah
PB4 : Lahan setelah land clearing lereng bagian bawah
karakteristik sedikit lebih sulit dalam pengolahan tanah, karena jika terlalu kering
atau terlalu basah akan mengeras. Pengolahan tanah berlempung akan lebih baik
dilakukan pada awal musim penghujan. Tanah pada lokasi penelitian mempunyai
kemasaman (pH) yang sangat masam, kesuburan tanah rendah terutama pada
kedalaman 15-30 cm, sehingga diperlukan pemupukan untuk meningkatkan
kesuburan tanah, terutama untuk meningkatkan N dan K. Namun harus juga
diperhatikan kebutuhan tanaman terhadap pupuk. Pemberian mulsa berbahan
organik dilahan yang miring akan lebih baik karena selain akan meningkatkan
kandungan C-organik tanah dapat juga mencegah terjadinya erosi yang berlebih.
Banyuasin II, Pulau Rimau, Air Salek Muara Sugihan, sebagian Kecamatan
Talang Kelapa, Betung dan Tungkal Ilir. Beberapa wilayah berupa lahan rawa
lebak terdapat di Kecamatan Rantau Bayur, sebagian Kecamatan Rambutan,
sebagian kecil Kecamatan Banyuasin I. Sedangkan lahan kering sebagian besar
terdapat di HP Kemampo. Berdasarkan tipe ekosistim hutan, KPH Lindung
Banyuasin didominasi oleh hutan mangrove, sedangkan potensi tanaman hasil
hutan non kayu yang sudah ada untuk diambil hasilnya adalah Nipah.
Pada wilayah KPHP Unit IV Meranti Musi Banyuasin, Kepala KPHP telah
menyutujui untuk kegiatan pengembangan kayu pertukangan di areal ini. Lokasi
yang cukup prospektif untuk lokasi penanaman kayu pertukangan oleh tim
penelitian dari Balai Penelitian Kehutanan adalah daerah Macang Sakti karena
areal ini merupakan areal tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh KPH. Selain itu
juga telah dilakukan komunikasi dengan Manajemen PT SBB (PT Sentosa
Bahagia Bersama) dan mereka telah menyetujui apabila tim peneliti akan
melakukan kegiatan pengembangan kayu pertukangan di wilayah kerja PT SBB
dengan luasan 5-10 ha. KPHP Meranti telah berencana untuk mengembangkan
kayu pertukangan jenis kalimuru yang diambil dari Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Menurut informasi yang diperoleh, kesesuaian lahan dan iklim untuk jenis
tanaman ini telah dilakukan analisis dan dinyatakan sesuai untuk dikembangkan di
wilayah Sumatera Selatan, khususnya areal KPHP Meranti. Rencana lokasi
pengembangan tanaman kalimuru ini adalah di Desa Tampang Baru, simpang gas
km 29. Areal ini dipilih karena merupakan wilayah tertentu yang dapat dikelola
oleh KPH, untuk sementara ini merupakan areal yang paling dekat sehingga akses
ke lokasi lebih mudah dan bisa lebih intensif. Walaupun beberapa lokasi di
wilayah ini telah dikelola oleh masyarakat, hasilnya masih belum optimal. Hal ini
dapat diketahui dari kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih tetap miskin
dan saat ini lokasi ini didominasi oleh tanaman karet tua yang hasilnya kurang
dari Rp. 1.000.000 per bulan.
Tanaman kalimuru ini rencananya akan dikembangkan dengan jarak 4 m x
6 m dengan tanaman sela berupa kaliandra. Kaliandra ini dimaksudkan untuk
pakan ternak dan juga pengembangan lebah madu. Rencananya untuk tahun
pertama dan kedua akan dikembangkan tanaman ubi kayu di lokasi penanaman
kayu pertukangan ini, sehingga diharapkan hasil yang diperoleh dapat lebih
berkesinambungan bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bibit
tanaman kalimuru pada saat ini telah dikembangkan oleh KPHP Meranti dan saat
ini jumlahnya telah mencapai 35 ribu batang yang diperkirakan dapat
dikembangkan di lahan seluas lebih kurang 50 ha.
KPHP Lalan Mangsang Mendis di Kabupaten Musibanyuasin akan
melakukan pengelolaan terhadap (1) lahan bekas terbakar, (2) lahan yang telah
ditinggal masyarakat, serta akan melakukan (3) modifikasi tanaman sela.
Penguasaan lahan oleh masyarakat di wilayah KPHP Lalan Mangsang Mendis
sangat tinggi intensitasnya. Untuk lokasi dengan jenis tanah mineral, pada
umumnya apabila tidak dibebani ijin khusus perusahaan telah dikuasai oleh
masyarakat. Oleh karena itu peluang pengembangan kayu pertukangan oleh tim
peneliti di wilayah kerja KPHP Lalan Mangsang Mendis cukup terbatas. Kepala
KPHP Lalan Mangsang Mendis menyebutkan bahwa lokasi yang mungkin bisa
dimanfaatkan adalah di wilayah kerja PT Sinar Mas. Apabila hanya luasan 5
sampai 10 ha kemungkinan dapat difasilitasi oleh Kepala KPHP. Akan tetapi PT
Sinar Mas selama ini hanya mengembangkan jenis tanaman serat untuk
pemenuhan bahan baku pulp and paper, yaitu jenis mangium dan crasicarpa.
Upaya pengembangan kayu jenis ini semakin gencar dilakukan karena PT Sinar
Mas saat ini tengah membangun industri pulp and paper terbesar di Asia yang
berlokasi di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Pembangunan industri ini telah
mencapai 70% dan direncanakan akan mulai beroperasi pada tahun 2016. Jenis
kayu pertukangan yang selama ini telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di
wilayah KPHP Lalan Mangsang Mendis adalah jenis bungur, rengas, meranti dan
ptaling. Jenis ini masih banyak terdapat di KPHP Lalan dengan ukuran cukup
besar. Sedangkan untuk upaya penanaman tanaman kehutanan oleh masyarakat
masih sangat minim dilakukan, karena masyarakat pada umumnya mengandalkan
keberadaan kayu alam yang masih tersedia.
Desa Pangkalan Bulian merupakan Desa tua yang semula hanya terdiri
dari satu Dusun dan kemudian berkembang menjadi 4 dusun. Dusun 1 dan 3
berada di lokasi yang merupakan tempat desa ini pada awalnya berdiri, sedangkan
dusun 2 dan 4 berada di lokasi pengembangan yang berjarak kurang lebih 23 Km
dari lokasi asli desa. Lokasi dusun 2 dan 4 ini lebih mendekati akses ke jalan raya.
Sehingga perkembangannya jauh lebih cepat dibandingkan dusun 1 dan 3.
Pada awalnya, sebagian besar masyarakat hidup dari berkebun tanaman
karet. Karena kepemilihan lahan mereka cukup luas, penghasilan dari tanaman
karet cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Akan tetapi setelah harga
turun, yaitu sampai ke level Rp. 4.500,- per kilogram, kehidupan masyarakat
semakin sulit. Sehingga akhirnya masyarakat beralih melakukan penambangan
minyak dari sumur-sumur tua yang merupakan peninggalan jaman Belanda.
Bahkan beberapa diantara mereka ada yang membuat sumur minyak dengan
modal sendiri, yaitu berkisar antara 15-25 juta per sumur. Setelah mata
pencaharian masyarakat beralih ke minyak, kehidupan ekonomi masyarakat
kembali membaik, karena 1 (satu) drum minyak ini dihargai Rp 300.000 per drum
dalam kondisi ambil di tempat. Apabila pemilik sumur mengupahkan kegiatan
pengambilan minnyak tersebut, upah yang harus dibayar per drumnya adalah Rp.
60 ribu.
Pengetahuan masyarakat tentang tanaman kayu pertukangan belum cukup
luas. Pada umumnya tanaman kayu yang dikenal masyarakat dengan baik adalah
tanaman karet. Sedangkan masyarakat yang sudah cukup dewasa dan tua, mereka
mengenal jenis-jenis tanaman kayu yang pada jaman sebelumnya banyak tumbuh
di hutan kawasan sekitar desa mereka, seperti kayu bulian (ulin), kayu medang,
kayu tembesu, kayu meranti, kayu merbau, jelutung dan lain sebagainya. Hanya
sebagian kecil di antara mereka yang mengenal kayu cepat tumbuh seperti jabon,
sungkai dan kayu bawang. Sedangankan jenis kayu bambang lanang tidak cukup
dikenal oleh masyarakat.
Berdasarkan diskusi kelompok fokus (focus group discussion/fgd) yang
telah dilakukan kepada perangkat desa dan tokoh masyarakat, pada umumnya
hutan atau membuka lahan di kawasan hutan, karena sudah mampu memenuhi
kebutuhan hidup dari lahan yang sudah mereka garap saat ini.
Jelutung
Jelutung merupakan salah satu jenis pohon yang menghasilkan kayu
dan getah. Jelutung tersebar di lahan basah maupun lahan kering. Saat ini
jenis jelutung yang hidup lahan kering bisa dikatakan sudah sulit ditemui,
sedangkan jelutung rawa justru dibudidayakan di beberapa tempat. Jelutung
rawa (Dyera polyphylla; sinonim: Dyera lowii) termasuk dalam keluarga
Apocynaceae yang menghasilkan getah berwarna putih dan bernilai ekonomi.
Getah jelutung digunakan sebagai bahan baku permen karet dan isolator.
Kayunya dapat diolah menjadi moulding, pensil slate, veneer, dan berbagai
peroduk kayu lainnya.
Budidaya jelutung rawa menunjukkan bahwa jenis ini mempunyai
prospek untuk dikembangkan karena layak untuk dibudidayakan berdasarkan
hasil analisis finansial. Monika (2002) menyatakan bahwa proyek
penanaman jelutung di Palangkaraya layak secara finansial. Jal ini
ditunjukkan oleh nilai NPV = Rp. 1.351.751.870.000, BCR = 1,26, dan IRR
= 69,05%. Mintardjo dan Betlina (2006) menyatakan bahwa penanaman
jeluutng satu siklus di sekitar Taman nasional Sebangau layak secara finansial
yang ditunjukkan oleh nilai BCR = 2,89, NPV = Rp. 154.315. 338.168 dan
IRR = 24.22%. Rahmat dan bastoni (2006) menyatakan bahwa jelutung
layak untuk dibudidayakan dalam rangka rehabilitasi hutan rawa gambut yang
terdegradasi. Pada tingkat suku bunga 12,25 %, budidaya jelutung
memberikan nilai NPV = Rp. 18.032.750, BCR = 1,38 and IRR 15,82%.
Harun (2011) melakukan analisis finasial hutan rakyat jelutung di Provinsi
Kalimantan Tengah. Hail analisis menunjukkan bahwa hutan rakyat jelutung
pola campuran jelutung dan karet layak untuk diusahakan (NPV, BCR dan
IRR adalah Rp. 9.799.338; 8,68 and 29%. Budiningsih dan Efendi (2013)
menginformasikan bahwa budidaya jelutung oloeh masyarakat di Desa
Jabiren, Provinsi Kalimantan Tengah layak untuk diusahakan baik secara
monokultur maupun campuran. Budidaya jelutung secara monokultur
memberikan nilai NPV, BCR, and IRR sebesar Rp. 10.248.888; 4,28; dan
14.7% sedangkan untuk campran jelutung dan karet memberikan NPV, BCR,
dan IRR sebesar Rp. 59.247.417; 5,35; and 24,1%. Tata et al. (2015)
tahun memberikan manfaat finansial. Hal ini ditunjukkan oleh nilai NPV
lebih dari nol (NPV > 0), nilai BCR lebih dari satu (BCR > 1), dan nilai IRR
lebih besar dari tingkat suku bunga berlaku. (Lestari, Premono dan Ulya,
2014).
Sungkai
Sungkai merupakan jenis kayu pertukangan yang mempunyai
sebaran merata di Pulau Sumatera. Analisis finansial perkebunan kayu
sungkai pola pembiayaan usaha kecil (PPUK) dilakukan oleh Direktorat
Kredit, BPR dan UMKM Bank Indonesia. Analisis finansial dilakukan untuk
jangka waktu budidaya 12 tahun dan suku bunga kredit 24%. Pendapatan
berasal dari hasil penjarangan pada tahun ke-8, tahun ke-10 dan tebang habis
pada tahun ke-12. Hasil analisis menunjukkan budidaya kayu sungkai dalam
layak untuk dikembangkan, yang ditunjukkan oleh nilai IRR = 75,75%, NPV
= Rp. 193.171.187.939, BCR = 14,27 dan payback period 8 tahun.
Kayu bawang
Kayu bawang pada umunya ditanam dengan pola tanam campuran.
Pola penanaman campuran kayu bawang yang banyak ditemukan di Provinsi
Bengkulu antara lain kayu bawang-karet, kayu bawang-kakao, kayu bawang-
sawit dan kayu bawang-karet unggul. Hasil analisis finansial pada tingkat
suku bunga 11% dan 13% menunjukkan bahwa pola-pola yang
dikembangkan masyarakat layak secara finansial. Hasil analisis sensitivitas
menunjukkan bahwa pola penanaman tidak peka terhadap perubahan tingkat
harga dan volume produksi. Agar dapat memenuhi kebutuhan hidup secara
layak maka masyarakat di lokasi penelitian dapat mengelola sekitar 0,34-1,01
Ha dengan pola penanaman campuran kayu bawang dan tanaman tahunan.
(Premono dan Lestari, 2013).
900.000,00 per pohon dengan perkiraan volume sekitar 1 m 3. Harga kayu bawang
olahan di tingkat lokal (desa) berkisar Rp. 1.500.000,00 sampai Rp. 2.000.000,00
per m3, tergantung ukuran kayu dan kualitas kayunya. Para tengkulak
kayu/pengepul desa menjual kayunya untuk kebutuhan lokal dan ke wilayah
lainnya. Ada juga tengkulak luar daerah yang datang ke desa-desa untuk membeli
kayu dari para pengepul di desa (Premono dan Lestari, 2012).
Terdapat empat saluran pemasaran kayu bawang di Provinsi Bengkulu,
yaitu: 1) Saluran 1: Petani/pemilik kayu-penebang/pemilik chainsaw-
tengkulak/pengumpul kayu-konsumen; 2) Saluran 2: Petani/pemilik kayu-
tengkulak/pemborong di desa- depot kayu-konsumen; 3) Saluran 3: Petani/pemilik
kayu- tengkulak/pemborong di desa-depot kusen di kota-konsumen; 4) Saluran 4:
Petani/pemilik kayu-tengkulak di desa- depot kayu di kota-depot kusen di kota-
konsumen. Saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran 1 dengan nilai
efisiensi sebesar 20,83%. Pemasaran kayu bawang di Provinsi Bengkulu secara
umum dapat dikatakan efisien, hal ini diduga disebabkan telah berkembangnya
usaha perkayuan. Hampir di setiap desa yang menjadi sumber kayu bawang telah
memiliki usaha pengolahan kayu bawang skala kecil. Disamping itu, jumlah
pelaku pemasaran kayu bawang cukup banyak sehingga memudahkan petani
untuk melakukan transaksi proses tawar menawar dan memperoleh informasi
mengenai harga kayu bawang (Premono dan Lestari, 2012).
Kayu pertukangan lokal, selain ditampung oleh industri kecil skala lokal,
juga mempunyai peluang untuk diserap oleh industri pengolahan hasil hutan kayu
dengan kapasitas produksi diatas 6.000 m 3 per tahun. Untuk Provinsi Sumatera
Selatan, terdapat 2 industri kayu lapis (kapasitas 140.000 m 3 per tahun), kayu
gergajian (5 industri, kapasitas 137.500 m 3 per tahun), veneer (3 industri,
kapasitas 110.000 m3 per tahun). LVL terdiri dari 1 industri dengan kapasitas
50.000 m3 per tahun. Industri yang bisa menyerap kayu bambang lanang dan
kayu bawang di Provinsi Bengkulu adalah 1 industri veneer dengan kapasitas
40.000 m3 per tahun. Untuk skala nasional (termasuk Provinsi Sumatera Selatan
dan Bengkulu), kayu bambang lanang dan kayu bawang mempunyai peluang
untuk diserap oleh industri kayu lapis (150 industri, kapasitas 12.397.315 m 3 per
tahun), penggergajian (278 industri, kapasitas 7.155.596 m3 per tahun), veneer
(102 industri, kapasitas 3.040.295 m3 per tahun) dan industri LVL (14 industri,
kapasitas 565.750 m3 per tahun) (Kementerian Kehutanan, 2014).
Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa kayu pertukangan baik yang
dikenal secara tradisional (tembesu, meranti dan jelutung) maupun yang diminati
oleh masyarakat (jabon, sungkai dan kayu bawang) di rencana lokasi
pengembangan berdasarkan pertimbangan finansial layak untuk dibudidayakan.
Pengembangan kayu pertukangan juga didukung oleh pasar yang prospektif baik
di tingkat lokal maupun nasional.
V. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA