Anda di halaman 1dari 9

Etika Gayatri Chakravorty Spivak

Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Sejarah dan Teori-Teori Etika

Dosen Pengampu:
Dra. Hj. Jirzanah, M. Hum

Disusun Oleh:

M. Ganiswara Afif K. (15/382254/FI/04109)


Sidik Nur Toha (15/382280/FI/04135)
Fajar Cahyono (15/382238/FI/04093)
Satria Widi Laksono (15/377501/FI/04043)
Reza Ayu Safitri (15/380991/FI/04063)
Oktafiana Nur M. (15/382262/FI/04117)
Risca Revina Desi Vionita (15/382268/FI/04123)
Talitha Neysa Firman (15/382282/FI/04137)
Ima Hikmatul Hasnah (15/379382/FI/04053)

Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
2016
I. GARIS BESAR PEMIKIRAN ETIKA ARISTOTELES

A. Pengantar ke Aristoteles
Meskipun Aristoteles murid Plato, Aristotles menolak ajaran Plato tentang Idea,
menurutnya tidak ada idea yang abadi. Apa yang dipahamai oleh Plato sebagai idea
sebenarnya tidak lain adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas inderawi sendiri.
Ajaran Plato tentang idea-idea merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa
manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal yang empiris. Untuk
menjelaskan kemampuan itu, tidak perlu menerima alam idea-idea abadi.
Aristoteles menolak juga paham Plato tentang idea yang baik dan bahwa hidup yang
baik tercapai dengan kontemplasi atau penyatuan dengan idea yang baik itu. Menurut
Aristoteles, paham yang baik itu sedikit pun tidak membantu seseorang tukang untuk
mengetahui bagaimana harus bekerja dengan baik, atau seorang negarawan untuk mengetahui
bagaimana ia harus memimpin negaranya. Jadi, tidak ada gunanya. Apa yang membuat
kehidupan manusia menjadi bermutu harus dicapai dengan bertolak dari realitas manusia
sendiri.
Aristoteles melakukan pembagian filsafat ke dalam filsafat teoritis dan praktis.
Teoritis lebih kepada ilmu memandang, mencoba memahami dan merefleksikan asal usul,
keteraturan, Aristoteles adalah pemikir pertama di dunia yang mengidentifikasikan dan
mengutarakan etika secara kritis, refleksif, dan argumentatif. Ia mengutarakan status teoritis
ilmu baru itu serta membahas metode yang sesuai dengan ciri khas nya. Karena itu aristoteles
dianggap sebagai filsuf moral pertama dalam arti yang sebenarnya.
Tiga karya besar Aristoteles yang menyangkut etika :
1. Etika eudemia
2. Etika Nikomacheia
3. Politike (bukunya) masalah kenegaraan

B. Tujuan Akhir : KEBAHAGIAAN


1. Etika Aristoteles mempertanyakah hidup yang baik : Bagaimana manusia
mencapai hidup yang baik atau sebaik mungkin?
Seluruh etika Yunani selalu mempertanyakan bagaimana manusia dapat
memperoleh hidup yang baik, termasuk Aristoteles. Yang dimaksud dengan hidup
yang baik adalah hidup yang terberkati, bermutu dan bermakna serta selalu terasa
mententramkan. Secara singkat itu terlukiskan dalam perkataan Aristoteles :
Survival, zen bukanlah merupakan tujuan manusia, melainkan euzen, hidup yang
baik.
2. Tujuan Manusia
Manusia akan menjadi “manusia yang seutuhnya apabila ia punya hidup yang
bermutu” setelah mencapai tujuannya yang paling akhir. Karena dengan itu, ia
akan menjadi manusia yang seutuh-utuhnya.
Tujuan ada dua :
a. Ada yang dicari demi tujuan yang lebih jauh, misalnya uang. Sesuatu yang
dicari demi tujuan yang lebih jauh hanyalah sebagai sarana dan bersifat
sementara. Sementara,
b. Ada yang dicari demi dirinya sendiri. Inilah tujuan terakhir dari tujuan
manusia, yakni kebahagaan (eudaimonia). Kebahagiaan bernialai pada dirinya
sendiri, apabila manusia sudah bahagia ia tidak membutuhkan hal lain dan
tidak masuk akal apabila mencari hal-hal lain.

C. Tiga Pola Hidup

Bahagia merupakan tujuan dari seorang hidup baik yang bersifat lahiriah maupun
batiniah. Oleh sebab itu kebahagiaan selalu dicari manusia baik melalui kebathilan dan
kebaikan.
1. Cara hidup mana yang membuat kita bahagia?
Aristoteles mengatakan bahwa kekayaan dan kehormatan merupakan sebuah
hasil bukan tujuan akhir dari kebahagiaan. Keutamaan lah yang menjadi tujuan
akhir. Kekayaan dan kehormatan merupakan sebuah hasil bukan pembentuk dari
keduanya tersebut. Maka dari itu mencari pola hidup untuk mendapat tujuan akhir
adalah yang utama.
2. Menurut Aristoteles ada tiga pola hidup manusia yang membuat kepuasan
dalam diri sendiri, yaitu hidup yang mencari nikmat, hidup praktis atau politik,
dan hidup sebagai filsuf hidup kontemplatif. Aristoteles mencoba menjelaskan
perihal tujuan akhir manusia merupakan bukan kebahagiaan. Tetapi bukan berarti
aristoteles menolak secara mentah kebahagiaan tersebut, melainkan mencoba
membuat kebahagiaan bukan menjadi tujuan. Apakah kebahagiaan itu baik atau
buruk, jawabannya bergantung pada tindakan apa yang memberikan kebahagiaan
baim atau buruk. Aristoteles mengatakan bahwa kebahagiaan tertinggi manusia
terletak pada suatu tindakan merealisasikannya. Manusia bahagia bukan secara
pasif menikmati sesuatu, melainkan bertindak.
3. Menurut Aristoteles, nilai tertinggi bagi manusia terletak dalam suatu
“Tindakan” yang merealisasikan kemampuan khas manusia. Kebahagiaan
akan tercapai melalui tindakan. Manusia menjadi bahagia bukan dengan secara
pasif menikmati sesuatu, melainkan lewat perbuatan manusia menyatakan diri,
menjadikan diri real.
4. Apa kegiatan khas manusia ? Menurut Aristoteles, kegiatan khas manusiawi
adalah kegiatan yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi. Kegiatan tersebut
terlaksana dalam dua pola kehidupan yaitu “Praxis” dan “Theoria”.
Praxis,terwujud melalui partisipasinya dalam masyarakat. Sedangkan Theoria
dapat diartikan sebagai “renungan”, dalam arti memandang sesuatu dalam-dalam.
Renungan merupakan kegiatan manusia yang paling luhur karena merealisasikan
bagian jiwa manusia yang paling luhur, bahkan yang ilahi, logos atau roh. Objek
renungan adalah realitas yang tidak berubah, abadi dan ilahi. Karena itu yang
paling membahagiakan manusia adalah filsafat atau perenungan hal-hal yang
abadi dan ilahi.
5. Aristoteles menegaskan bahwa manusia itu makhluk campur, bukan makhluk
rohani murni. Sehingga bidang perealisasian diri manusia yang sebenarnya adalah
polis, negara kota, dan kegiatannya adalah praxis.

D. Praxis
Aristoteles membedakan secara tajam kata praxis dari poiesis, perbuatan. Poiesis
merupakan perbuatan demi suatu hasil yang berada di luar perbuatan itu sendiri, misalkan
membangun untuk memperoleh rumah. Dalam poiesis, yang terpenting adalah hasil akhirnya
dan bukan prosesnya.
Berbeda dengan praxis atau tindakan. Aristoteles membandingkannya dengan orang
yang main seruling. Orang yang main seruling karena ia senang main seruling, bukan karena
ia mau mencapai sesuatu di luar permainan itu. Tindakan yang bernilai pada dirinya sendiri,
sedangkan hasilnya merupakan tidak terlalu penting.
Praxis merupakan tindakan yang dilakukan demi dirinya sendiri. Namun, praxis yang
terpenting adalah partisipasi dalam kehidupan sesama komunitas. Dalam praxis, manusia
merealisasikan diri sebagai makhluk sosial. Manusia secara hakiki adalah makhluk sosial.
Yang membahagiakan manusia adalah komunikasi aktif atau pergaulan dengan sesama
manusia. Manusia adalah manusia sepenuhnya apabila ia mengembangkan diri dalam
kehidupan berkeluarga, dikelilingi oleh sahabatnya-sahabatnya, dan berpartisipasi aktif dalam
urusan bersama komunitas, dalam polis.
Menurut Aristoteles, tujuan tiap-tiap orang dan seluruh komunitas itu sama, yaitu
eudaimonia, kebahagiaan. Dan demi mencapai tujuan tersebut, manusia berpartisipasi dalam
komunitas-komunitasnya, seperti keluarga, dan mencapai kebulatannya dalam polis. Manusia
adalah zoon politikon.
Arti zoon politikon adalah kesosialan manusia yang mencapai realisasi utuh melalui
partisipasi dalam kehidupan negara atau polis. Politikon berarti sosial, dengan maksud bahwa
kesosialan manusia baru terealisasi penuh melalui partisipasi dalam kehidupan negara-kota
(city state).
Karena itu hidup yang baik, menurut Aristoteles, hampir sama dengan “politis”. Bagi
Aristoteles, ada hubungan sangat erat antara etika dan “politik”. Melalui tinfakan etis
manusia merealisasikan diri dan dapat mencapai suatu optimum kebahagiaan.

E. Phronesis dan keutaman-keutamaan etis


Aristoteles bertolak belakang dengan pendapat Plato. Plato beranggapan bahwa
manusia hidup dengan betul ialah ketika Ia mengarahkan pada Idea Yang Baik, nilai mutlak
penggerak segala. Namun bagi Aristoteles, Idea itu tidak akan dapat membantu
menyelesaikan permasalahan-permasalahan di kota. Karena jikalau Idea itu ada, Ia kan
bersifat statis (sebagaimana dunia Ide menurut Plato) namun kenyataannya, di dunia manusia
ini semua hal berubah dan bergerak. Aristoteles lebih jelas lagi membagi antara praxis dan
theoria.
Berbeda lagi dengan Sokrates, yang menganggap tindakan yang baik sebagai masalah
pengetahuan yang tepat, namun bagi Aristoteles, tindakan tak dapat diketahui secara tepat.
Karena jika berbicara mengenai pengetahuan, maka itu adalah episteme yang menjurus pada
sesuatu yang eksak dan ada kepastiannya. Dijelaskan lebih lanjut, manusia adalah makhluk
bebas, Ia berakal budi (memiliki nous) dan mampu memilih sikap yang diambil (phronesis).
Ia berubah tak pasti, oleh karena itu episteme bukan pengetahuan yang cocok untuk etika.
Menggarisbawahi etika menurut Aristoteles, etika tidak menetapkan bagaimana
manusia harus bertindak, melainkan menyediakan visi atau perspektif (orthos logos).
Bertindak secara etis berarti bertindak sesuai perspektif itu. “Tepat” bukan berarti ada tolak
ukurnya, tetapi lebih ke sikap batin atau rasa. Dan manusia akan senantiasa bersikap etis
ketika ia memiliki rasa yang tajam tersebut.
Untuk mengetahui sesuatu yang tepat itu, kita harus memahami teori keutamaan
(arete) milik Aristoteles. Aristoteles membedakan keutamaan menjadi dua macam. Yaitu
keutamaan intelektual dan keutamaan etis. Keutamaan intelektual ini dimana manusia sebagai
animal rationale harus mampu mempergunakan akal budinya dengan baik. Sementara
keutamaan etis, ialah dimana manusia mampu mengambil sikap dan keputusan secara
bijaksana (phronesis).
Menurut Aristoteles, orang hanya dapat diajari etika apabila ia sudah memahami sikap
etis. Disini terdapat suatu ‘lingkaran hermeneutis’ : kita hanya dapat diajari kehidupan yang
etis apabila kita sebenarnya sudah tahu apa itu kehidupn yang etis. Jadi, orang belajar melalui
latihan dan praktek, mirip dengan pendalaman rasa dalam paham Jawa yang juga tidak dapat
diajarkan ; semakin lama mendalaminya akan menjadi semakin pandai untuk merasakan,
dalam tindakan yang berteggang rasa.
Kemantapan untuk bertindak secara etis didukung oleh keutamaan-keutamaan etis.
Dalam etika nikomacheia, pembahasan keutamaan-keutamaan mengambil bagian cukup luas.
Aristoteles membahas sekurang-kurangnya sebelas keutamaan, yaitu keberanian, penguasaan
diri, kemurahan hati, kebesaran hati, budi luhur, harga diri, sikap lemah lembut, kejujuran,
keberadaban, serta - secara amat bagus dan panjang lebar -, keadilan dan persahabatan. Misal
pada contoh keberanian, Aristoteles menjelaskan pahamnya tentang keutamaan. Keutamaan
bukan pertama-tama dipahami sebagai lawan sikap buruk, melainkan sebagai tengah (mesotes)
antara dua ekstrem. Keberanian terletak di tengah antara sikap nekad dan takutan. Jadi,
keutamaan-keutamaan dipahami sebagai sikap seimbang dan justru karena itu menunjukkan
kematangan dan kekuatan perkembangan pribadi.

F. Ciri khas ilmu etika


Objek etika adalah alam yang berubah, terutama alam manusia. Tujuan etika adalah
membuat orang hidup dengan baik. Aristoteles membandingkannya dengan ilmu kedokteran
yang tujuannya pun bukan pengetahuan tentang kesehatan, melainkan membuat orang
menjadi sehat. Oleh karena itu, etika tidak memberikan pengetahuan yang pasti dan jadi,
tetapi pengetahuan dalam garis besar. Etika tidak menentukan bagaimana harus bertindak
dalam situasi tertentu, tetapi bagaimana seseorang dalam situasi konkret mampu mengambil
keputusan yang tepat. Dalam hal ini, etika mendukung otonomi manusia. (Franz Magnis-
Suseno, 1997: 39-40)
II. ANALISIS

A. Kelebihan Pemikiran Etika Aristoteles


1. Pemikiran etika Aristoteles ini lebih konkret dari pada gurunya, yaitu Plato. Karena
Aristoteles berangkat dari realitas manusia yang selalu bergerak dan berubah. Hal ini
juga dapat dilihat dari metafisika Aristoteles, yaitu adanya gerak dari potensi ke
aktus. Berbeda dengan Plato yang menganggap bahwa manusia akan hidup dengan
benar jika ia mengarahkan jiwanya kepada Idea Yang Baik. Namun, Idea Yang Baik
itu sifatnya tetap, dan tidak berubah.
2. Lebih praktis, karena seperti yang kita tahu bahwa ia memiliki konsep theorea dan
praxis yang diterapkan dalam upaya untuk kemajuan negara kota atau polis.

B. Kekurangan Pemikiran Etika Aristoteles


1. Visi atau perspektif etika Aristoteles yang masih abstrak. Karena bertumpu pada
pengertian yang tepat (orthos logos).
III. PEMETAAN PEMIKIRAN ARISTOTELES

Jika digolongkan ke dalam teori etika yang ada, konsep etika Aristoteles ini masuk
pada teori keutamaan, yang tidak begitu menyoroti perbuatan satu demi satu, apakah sesuai
atau tidak dengan norma moral. Tetapi lebih memfokuskan pada manusia itu sendiri. Etika ini
mempelajari keutamaan (virtue ethics), artinya sifat atau watak yang dimiliki manusia. Jadi,
dapat dikatakan bahwa etika ini menekankan pada karakter seseorang bahwa dia baik atau
buruk, bukan apakah perbuatan itu baik atau buruk.
Jika ditinjau dari sistem etika, pemikiran Aristoteles termasuk dalam Etika Teleologis.
Menurut Aristoteles, tujuan dari manusia adalah kebahagiaan. Hal ini sesuai dengan konsep
etika teleologis bahwa sesuatu dianggap benar dalam arti moral jika akibatnya baik, dan salah
jika akibatnya salah. Etika Aristoteles juga disebut sebagai Etika Egois, dalam arti bahwa
yang menentukan adalah akibat bagi si pelaku. Egois yang dimaksudkan bukanlah dengan
memusatkan kepentingan “saya”, tetapi juga menerapkan sebagai zoon politikon, yaitu
dengan berpartisipasi dalam menjalankan kehidupan bersama warga polis.
Melihat penjelasan di atas dan mengacu pada buku Etika karya K. Bertens, pemikiran
Aristoteles mengenai etika termasuk dalam Etika normatif, dimana ia melibatkan diri dengan
mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Di sini Aristoteles tidak bertindak
sebagai penonton netral, seperti hanya dalam etika deskriptif, tapi ia melibatkan diri dengan
mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Suseno, Franz Magnis. 1997. 13 Tokoh Etika –Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19.
Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai