Etika Aristoteles
Etika Aristoteles
Dosen Pengampu:
Dra. Hj. Jirzanah, M. Hum
Disusun Oleh:
Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
2016
I. GARIS BESAR PEMIKIRAN ETIKA ARISTOTELES
A. Pengantar ke Aristoteles
Meskipun Aristoteles murid Plato, Aristotles menolak ajaran Plato tentang Idea,
menurutnya tidak ada idea yang abadi. Apa yang dipahamai oleh Plato sebagai idea
sebenarnya tidak lain adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas inderawi sendiri.
Ajaran Plato tentang idea-idea merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa
manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal yang empiris. Untuk
menjelaskan kemampuan itu, tidak perlu menerima alam idea-idea abadi.
Aristoteles menolak juga paham Plato tentang idea yang baik dan bahwa hidup yang
baik tercapai dengan kontemplasi atau penyatuan dengan idea yang baik itu. Menurut
Aristoteles, paham yang baik itu sedikit pun tidak membantu seseorang tukang untuk
mengetahui bagaimana harus bekerja dengan baik, atau seorang negarawan untuk mengetahui
bagaimana ia harus memimpin negaranya. Jadi, tidak ada gunanya. Apa yang membuat
kehidupan manusia menjadi bermutu harus dicapai dengan bertolak dari realitas manusia
sendiri.
Aristoteles melakukan pembagian filsafat ke dalam filsafat teoritis dan praktis.
Teoritis lebih kepada ilmu memandang, mencoba memahami dan merefleksikan asal usul,
keteraturan, Aristoteles adalah pemikir pertama di dunia yang mengidentifikasikan dan
mengutarakan etika secara kritis, refleksif, dan argumentatif. Ia mengutarakan status teoritis
ilmu baru itu serta membahas metode yang sesuai dengan ciri khas nya. Karena itu aristoteles
dianggap sebagai filsuf moral pertama dalam arti yang sebenarnya.
Tiga karya besar Aristoteles yang menyangkut etika :
1. Etika eudemia
2. Etika Nikomacheia
3. Politike (bukunya) masalah kenegaraan
Bahagia merupakan tujuan dari seorang hidup baik yang bersifat lahiriah maupun
batiniah. Oleh sebab itu kebahagiaan selalu dicari manusia baik melalui kebathilan dan
kebaikan.
1. Cara hidup mana yang membuat kita bahagia?
Aristoteles mengatakan bahwa kekayaan dan kehormatan merupakan sebuah
hasil bukan tujuan akhir dari kebahagiaan. Keutamaan lah yang menjadi tujuan
akhir. Kekayaan dan kehormatan merupakan sebuah hasil bukan pembentuk dari
keduanya tersebut. Maka dari itu mencari pola hidup untuk mendapat tujuan akhir
adalah yang utama.
2. Menurut Aristoteles ada tiga pola hidup manusia yang membuat kepuasan
dalam diri sendiri, yaitu hidup yang mencari nikmat, hidup praktis atau politik,
dan hidup sebagai filsuf hidup kontemplatif. Aristoteles mencoba menjelaskan
perihal tujuan akhir manusia merupakan bukan kebahagiaan. Tetapi bukan berarti
aristoteles menolak secara mentah kebahagiaan tersebut, melainkan mencoba
membuat kebahagiaan bukan menjadi tujuan. Apakah kebahagiaan itu baik atau
buruk, jawabannya bergantung pada tindakan apa yang memberikan kebahagiaan
baim atau buruk. Aristoteles mengatakan bahwa kebahagiaan tertinggi manusia
terletak pada suatu tindakan merealisasikannya. Manusia bahagia bukan secara
pasif menikmati sesuatu, melainkan bertindak.
3. Menurut Aristoteles, nilai tertinggi bagi manusia terletak dalam suatu
“Tindakan” yang merealisasikan kemampuan khas manusia. Kebahagiaan
akan tercapai melalui tindakan. Manusia menjadi bahagia bukan dengan secara
pasif menikmati sesuatu, melainkan lewat perbuatan manusia menyatakan diri,
menjadikan diri real.
4. Apa kegiatan khas manusia ? Menurut Aristoteles, kegiatan khas manusiawi
adalah kegiatan yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi. Kegiatan tersebut
terlaksana dalam dua pola kehidupan yaitu “Praxis” dan “Theoria”.
Praxis,terwujud melalui partisipasinya dalam masyarakat. Sedangkan Theoria
dapat diartikan sebagai “renungan”, dalam arti memandang sesuatu dalam-dalam.
Renungan merupakan kegiatan manusia yang paling luhur karena merealisasikan
bagian jiwa manusia yang paling luhur, bahkan yang ilahi, logos atau roh. Objek
renungan adalah realitas yang tidak berubah, abadi dan ilahi. Karena itu yang
paling membahagiakan manusia adalah filsafat atau perenungan hal-hal yang
abadi dan ilahi.
5. Aristoteles menegaskan bahwa manusia itu makhluk campur, bukan makhluk
rohani murni. Sehingga bidang perealisasian diri manusia yang sebenarnya adalah
polis, negara kota, dan kegiatannya adalah praxis.
D. Praxis
Aristoteles membedakan secara tajam kata praxis dari poiesis, perbuatan. Poiesis
merupakan perbuatan demi suatu hasil yang berada di luar perbuatan itu sendiri, misalkan
membangun untuk memperoleh rumah. Dalam poiesis, yang terpenting adalah hasil akhirnya
dan bukan prosesnya.
Berbeda dengan praxis atau tindakan. Aristoteles membandingkannya dengan orang
yang main seruling. Orang yang main seruling karena ia senang main seruling, bukan karena
ia mau mencapai sesuatu di luar permainan itu. Tindakan yang bernilai pada dirinya sendiri,
sedangkan hasilnya merupakan tidak terlalu penting.
Praxis merupakan tindakan yang dilakukan demi dirinya sendiri. Namun, praxis yang
terpenting adalah partisipasi dalam kehidupan sesama komunitas. Dalam praxis, manusia
merealisasikan diri sebagai makhluk sosial. Manusia secara hakiki adalah makhluk sosial.
Yang membahagiakan manusia adalah komunikasi aktif atau pergaulan dengan sesama
manusia. Manusia adalah manusia sepenuhnya apabila ia mengembangkan diri dalam
kehidupan berkeluarga, dikelilingi oleh sahabatnya-sahabatnya, dan berpartisipasi aktif dalam
urusan bersama komunitas, dalam polis.
Menurut Aristoteles, tujuan tiap-tiap orang dan seluruh komunitas itu sama, yaitu
eudaimonia, kebahagiaan. Dan demi mencapai tujuan tersebut, manusia berpartisipasi dalam
komunitas-komunitasnya, seperti keluarga, dan mencapai kebulatannya dalam polis. Manusia
adalah zoon politikon.
Arti zoon politikon adalah kesosialan manusia yang mencapai realisasi utuh melalui
partisipasi dalam kehidupan negara atau polis. Politikon berarti sosial, dengan maksud bahwa
kesosialan manusia baru terealisasi penuh melalui partisipasi dalam kehidupan negara-kota
(city state).
Karena itu hidup yang baik, menurut Aristoteles, hampir sama dengan “politis”. Bagi
Aristoteles, ada hubungan sangat erat antara etika dan “politik”. Melalui tinfakan etis
manusia merealisasikan diri dan dapat mencapai suatu optimum kebahagiaan.
Jika digolongkan ke dalam teori etika yang ada, konsep etika Aristoteles ini masuk
pada teori keutamaan, yang tidak begitu menyoroti perbuatan satu demi satu, apakah sesuai
atau tidak dengan norma moral. Tetapi lebih memfokuskan pada manusia itu sendiri. Etika ini
mempelajari keutamaan (virtue ethics), artinya sifat atau watak yang dimiliki manusia. Jadi,
dapat dikatakan bahwa etika ini menekankan pada karakter seseorang bahwa dia baik atau
buruk, bukan apakah perbuatan itu baik atau buruk.
Jika ditinjau dari sistem etika, pemikiran Aristoteles termasuk dalam Etika Teleologis.
Menurut Aristoteles, tujuan dari manusia adalah kebahagiaan. Hal ini sesuai dengan konsep
etika teleologis bahwa sesuatu dianggap benar dalam arti moral jika akibatnya baik, dan salah
jika akibatnya salah. Etika Aristoteles juga disebut sebagai Etika Egois, dalam arti bahwa
yang menentukan adalah akibat bagi si pelaku. Egois yang dimaksudkan bukanlah dengan
memusatkan kepentingan “saya”, tetapi juga menerapkan sebagai zoon politikon, yaitu
dengan berpartisipasi dalam menjalankan kehidupan bersama warga polis.
Melihat penjelasan di atas dan mengacu pada buku Etika karya K. Bertens, pemikiran
Aristoteles mengenai etika termasuk dalam Etika normatif, dimana ia melibatkan diri dengan
mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Di sini Aristoteles tidak bertindak
sebagai penonton netral, seperti hanya dalam etika deskriptif, tapi ia melibatkan diri dengan
mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia.
DAFTAR PUSTAKA