Anda di halaman 1dari 24

PENILAIAN RISIKO PENIPUAN ORGANISASI

DOSEN: Dr.H.DAILIBAS,SE.,Ak.,M.Ak.,MM.,PIA.,CF.,CA.

MAKALAH

Dibuat sebagai syarat untuk memenuhi


tugas mata kuliah Sistem Pengendalian Managemen

KELOMPOK 6
KELAS 5 AK F
Disusun Oleh:
1. Elsa Hastuti Sudiman 1710631030186
2. Liana Sari 1710631030105
3. Mar’ie Aulia Darajat 1710631030107
4. Mineva Riskawati Vitaningrum 1710631030116
5. Muh. Farhan Ramadani 1710631030119
6. M. Ardine Ibnu Saputra 1710631030120
7. Yulia Sesaria 1710631030183
8. Ahmad Abdullah Hafizh 1710631030026

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2018/2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah , Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,


karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik serta tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas tentang PENILAIAN RISIKO PENIPUAN
ORGANISASI. Oleh karena itu, kami haturkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini.

Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan dan


dukungan yang sangat berarti dari berbagai pihak, khususnya kepada Dosen Mata
Kuliah Sistem Pengendalian Manajemen
Dr.H.Dailibas,SE.,Ak.,M.Ak.,MM.,PIA.,CF.,CA. yang tak pernah putus doa,
memberikan saran, waktu, semangat, bimbingan, nasehat dan pengetahuan yang
sangat bermanfaat umumnya untuk anak-anak didiknya, khususnya untuk penulis.
Serta pihak lain yang telah membantu dengan ketulusan hati mengucapkan
terimakasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Wahyudin Zarkasyi, SE., MS, Ak, CPA selaku
Rektor Universitas Singaperbangsa Karawang.
2. Ibu Dr. Hartelina, SE., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Singaperbangsa Karawang.
3. Bapak Dian Hakip Nurdiansyah, SE., MM. selaku Ketua Program Studi S1
Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Singaperbangsa
Karawang.
4. Teristimewa kepada orang tua yang tak pernah terputus doa, motivasi,
dukungan baik moral maupun material dan waktunya kepada penulis.
5. Para teman terdekat terimakasih sudah saling berbagi dan membantu selama
mata kuliah ini.

i
6. Para teman seperjuangan kelas 5F mata kuliah Sistem Pengendalian
Manajemen serta kawan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu
terimakasih atas doa dan motivasi dalam penyelesaian makalah ini.
7. Seluruh teman-teman sekalian Mahasiswa/i Akuntansi Angkatan 2017
UNSIKA
8. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung
dalam penyusunan makalah.
Kami menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan
mendasar dalam makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk
memberikan saran maupun kritik yang sifatnya membangun demi penyempurnaan
makalah selanjutnya.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih yang


bermanfaat bagi kita sekalian. Aamiin

Karawang, November 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .......................................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan ....................................................................................... 3
1.3 Tujuan ........................................................................................... 3
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................ 4
2.1 Definisi Fraud ............................................................................... 4
2.2 Tipe Fraud ..................................................................................... 4
2.3 Jenis jenis Fraud ........................................................................... 6
2.4 Unsur unsur Fraud ........................................................................ 6
2.5 Penyebab Terjadinya Fraud .......................................................... 7
2.6 Fraud Reg Flags ............................................................................ 8
2.7 Faktor Penilaian Risiko ................................................................. 10
2.7.1 Faktor Lingkungan Perusahaan ........................................... 11
2.7.2 Faktor Internal ..................................................................... 11
2.7.3 Faktor Fraud ........................................................................ 11
2.8 Risk Assessment Best Practice ..................................................... 12
2.9 Checklist Manajemen Risiko dan Dokumentasi ........................... 13
2.9.1 Checklist Skema Fraud ........................................................ 13
2.10 Studi Kasus ................................................................................... 14
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 19
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 19
3.2 Saran ............................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam mekanisma pelaporan keuangan, suatu audit dirancang untuk
memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan tidak dipengaruhi oleh salah saji
yang material dan juga memberikan keyakinan yang memadai atas akuntabilitas
manajemen atas aktiva perusahaan. Salah saji itu terdiri dari dua macam yaitu
kekeliruan (error) dan kecurangan (fraud). Fraud diterjemahkan dengan
kecurangan sesuai Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 70, demikian
pula error diterjemahkan sebagai kekeliruan dan ketidakberesan sesuai PSA No.
32.
Menurut standar pengauditan, faktor yang membedakan kecurangan dan
kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang berakibat terjadinya
salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang sengaja atau tidak
disengaja (Institut Akuntan Publik Indonesia, 2011). Terjadinya kecurangan yang
tidak dapat terdeteksi dalam proses pengauditan dapat memberikan efek yang
merugikan bagi proses pelaporan keuangan. Adanya kecurangan akan berakibat
serius dan membawa banyak kerugian.
Kerugian yang ditimbulkan oleh adanya kecurangan dapat berupa
kerugian finansial dan non finansial seperti permasalahan sistem keuangan dan
kebangkrutan. Perusahaan global seperti Enron, Worldcom, Tyco, dan xerox
corporation merupakan contoh dari kecurangan pelaporan keuangan yang
memiliki akibat sangat serius. Menurut hasil survei yang dilakukan Ernst &
Young (2013) dalam Winardi & Permana (2015), 30% dari responden yang
disurvei meyakini bahwa perusahaan yang ada di negara responden menyajikan
laporan keuangan tidak sebagaimana mestinya. Laporan EY tersebut juga
mengungkap bahwa di negara yang masuk sebagai kategori pasar yang
berkembang, 67% responden meyakini praktik suap dan korupsi semakin meluas.

1
2

Kecurangan pelaporan keuangan secara nyata telah menyebabkan


kerugian finansial dan non finansial. Dalam riset yang dilakukan KPMG (2012)
dalam Winardi & Permana (2015), jumlah total kerugian yang terjadi mencapai
sekitar 4,5 triliun rupiah dimana setiap organisasi rata-rata mengalami kerugian
sebesar 36 milyar rupiah. Melihat banyaknya kasus fraud yang terjadi dan
kerugiannya, maka perlu diketahui karakteristik kecurangan dan sikap yang harus
ditunjukan auditor terhadap kecurangan.
Salah satu organisasi profesi akuntansi terkemuka, American Institute
of Certified Public Accountants (AICPA) telah mengeluarkan standar baru
yakni Statement on Auditing Standard (SAS) 99 yang membahas mengenai
karakteristik kecurangan dan sikap yang harus ditunjukan auditor terhadap
kecurangan yang mungkin ataupun telah terjadi. Berkaitan dengan kecurangan
pelaporan keuangan pula, profesi akuntansi di Indonesia melalui Institut Akuntan
Publik Indonesia telah menerbitkan Standar Audit Seksi 316 (IAPI, 2011).
Salah satu pembahasan dari SA Seksi 316 adalah penilaian risiko
kecurangan. Penilaian risiko kecurangan merupakan bentuk tanggung jawab
auditor eksternal dalam rangka memperoleh keyakinan bahwa laporan keuangan
sebuah entitas telah bebas dari salah saji material yang disebabkan kecurangan
menurut SA Seksi 316 paragraf dua belas (IAPI, 2011). Penilaian ini dilakukan
auditor eksternal sejak tahap perencanaan audit hingga tahap evaluasi bukti audit.
Menurut Arens, dkk (2011), penilaian terhadap risiko kecurangan (fraud risk
assessment) merupakan suatu bentuk cara yang dilakukan oleh auditor untuk
menilai dan memperoleh bukti audit yang memadai dan nantinya digunakan
sebagai acuan untuk mengetahui bagian-bagian apa saja yang memiliki tingkat
risiko kecurangan.
Menurut Vona (2008), auditor harus berperan secara aktif untuk selalu
menggali informasi mengenai di bagian mana dari laporan keuangan ataupun
proses bisnis yang rentan terhadap kecurangan. Auditor harus secara khusus
memberikan penilaian terhadap kemungkinan salah saji akibat kecurangan.
Pertimbangan yang dilakukan meliputi salah saji yang timbul dari akibat
3

kecurangan dalam pelaporan keuangan dan salah saji yang timbul dari perlakuan
terhadap aset yang tidak semestinya (IAPI, 2011).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan fraud?
2. Apa saja tipe dan jenis fraud?
3. Apa saja unsur-unsur fraud?
4. Kondisi seperti apa yang dapat menyebabkan fraud?
5. Apa yang dimaksud fraud red flags?
6. Apa sajakah faktor penilaian risiko?
7. Bagaimana penilaian risiko yang efektif?
8. Bagaimanakah checklist skema fraud?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis tentang fraud
2. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis tentang tipe dan jenis-
jenis fraud
3. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis tentang unsur-unsur
fraud
4. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis kondisi yang dapat
menyebabkan fraud
5. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis tentang fraud red flags
6. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis tentang faktor penilaian
risiko
7. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis penilaian risiko yang
efektif
8. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis checklist skema fraud
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Fraud


Menurut Albrecht, dkk (2006:7) definisi fraud adalah “Fraud is a
generic term, and embraces all the multifarious means which human ingenuity
can devise. Which are resorted to by one individual, to get an advantage over
another false representations. No definite and invariable rule can be a laid down
as a general preposition in defining fraud, as it includes surprise trickery cunning
and unfair ways by which another is cheated. The only boundaries defining it are
those which limit human knaveri”.
Sedangkan definisi fraud menurut Federal Burean of Investigation (FBI)
yang dikutip dari Silverstone, dkk (2007:5) adalah “White-collar crimes are
caraterized by deceit, conselment, or violation of trust and are not dependent
upon the application or threat of phisical force or violence. Such acts are
comunited to individuals and organization to obtain money, property, or service;
to avoid to payment or loss of money or services; or the secure a personal or
business advantage”.
Sedangkan menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)
(2007:23) fraud merupakan “One or more intentional acts designed to
deceive other person and cause them financial loss”.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa fraud adalah
tindakan yang disengaja dengan melakukan penipuan, penggelapan, ataupun
pelanggaran kepercayaan dan bukan dengan menggunakan kekerasan fisik yang
digunakan untuk mendapatkan keuntungan finansial melalui salah saji yang
materil.
2.2 Tipe Fraud
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) (2007) seperti yang
dikutip dari SAS No. 99 menyebutkan bahwa terdapat dua tipe salah saji yang
dianggap relevan untuk tujuan audit adalah sebagai berikut.
1. Salah saji yang timbul akibat fraudulent financial reporting.
Kategori ini didefinisikan sebagai salah saji yang disengaja atau
dimasukannya suatu jumlah atau pengungkapan pada laporan keuangan
dengan tujuan untuk menipu pengguna laporan keuangan.
2. Salah saji yang timbul akibat misapproriation of assets.
4
5

Pada kategori ini termasuk pencurian atas aset entitas dimana efek dari
pencurian tersebut mempengaruhi laporan keuangan sehingga tidak sesuai
dengan kriteria yang berlaku.

Sedangkan menurut Albrecht, dkk., (2006) terdapat enam jenis fraud seperti
berikut ini.

1. Employee embezzlement merupakan fraud yang terjadi ketika karyawan


menipu pemberi kerja dengan melakukan pencurian terhadap aset
perusahaan. Fraud tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung.
2. Management fraud adalah manipulasi yang menyesatkan atas laporan
keuangan, stockholders lenders dan semua pengguna laporan keuangan
merupakan korban dari fraud jenis ini.
3. Invesment scams merupakan fraud yang terjadi ketika seseorang mengelabui
investor untuk menanamkan sejumlah uang ke dalam investasi yang
sebenarnya tidak berharga.
4. Vendor fraud dapat terjadi akibat fraud yang dilakukan oleh vendor yang
bertindak sendiri ataupun fraud yang dilakukan melalui kolusi antara
pembeli dan vendor. Vendor fraud biasanya mengakibatkan biaya
pembelian yang lebih tinggi, pengiriman ba rang yang berkualitas rendah,
maupun tidak adanya pengiriman barang meskipun pembayaran telah
dilakukan.
5. Customers fraud merupakan fraud yang terjadi ketika pelanggan tidak
membayar penuh barang yang dibeli, atau pelanggan menipu perusahaan
untuk memberikan sesuatu kepada mereka yang bukan merupakan haknya.
6. Miscellaneous fraud adalah fraud yang tidak termasuk kedalam lima
jenis fraud diatas digolongkan kedalam miscellaneous fraud.
6

2.3 Jenis-Jenis Fraud


Dari bagan Uniform Occupational Fraud Classification System (ACFE)
membagi fraud (kecurangan) dalam tiga jenis berdasarkan perbuatannya yaitu:
1. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation)
Meliputi penyalahgunaan /pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak
lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena
sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung.
2. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement)
Merupakan tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu
perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang
sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial
engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh
keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window
dressing.
3. Korupsi (Corruption)
Jenis fraud ini paling susah dideteksi karena menyangkut kerjasama dengan
pihak lain seperti suap dan korupsi, dimana hal ini merupakan jenis yang
terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya
lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga
faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak
dapat terdeteksi karena pihak yang bekerjasama menikmati keuntungan
(simbolis mutualisme). Termasuk di dalamnya adalah penyalahgunaan
wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan
(bribery), penerimaan yang tidak sah/ illegal (illegal gratuities), dan
pemerasan secara ekonomi (economic exortion).

2.4 Unsur-Unsur Fraud

Dalam suatu tindakan fraud atau kecurangan, menurut Binbangkum


(2008) dalam Nabila (2013) terdapat 7 (tujuh) unsur yang dapat diidentifikasi
seperti berikut ini.
7

1. Harus terdapat salah pernyataan (misrepresentation);


2. Dari suatu masa lampau (past) dan sekarang (present);
3. Fakta bersifat material (material fact);
4. Dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (make-knowingly
or recklessly);
5. Dengan maksud (intent) untuk menyebabkan suatu pihak beraksi;
6. Pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan
tersebut (misrepresentation);
7. Yang merugikannya (detriment).

2.5 Penyebab Terjadinya Fraud

Terdapat tiga kondisi mengapa seseorang melakukan fraud yang kemudian


disebut dengan fraud triangle, yang terdiri dari Tekanan (Pressure), Peluang
(Opportunity), dan Rasionalisasi (Rationalization).

1. Tekanan (Pressure)
Menurut Rahmanti (2013), pressure adalah dorongan orang untuk
melakukan fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya
hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain, termasuk hal keuangan dan non keuangan.
Dalam hal keuangan sebagai contoh dorongan untuk memiliki barang-barang
yang bersifat materi. Tekanan dalam hal non keuangan mendorong seseorang
melakukan kecurangan, misalnya tindakan untuk menutupi kinerja yang buruk
karena tuntutan pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang baik. Dalam SAS No.
99, terdapat empat jenis kondisi umum terjadi pada pressure yang dapat
mengakibatkan kecurangan. Kondisi tersebut adalah stabilitas keuangan, tekanan
eksternal, kebutuhan keuangan individu, dan target keuangan.

2. Peluang (Opportunity)
Nabila (2013) berpendapat bahwa opportunity adalah peluang yang
memungkinkan terjadinya fraud. Para pelaku kecurangan percaya bahwa aktivitas
8

mereka tidak akan terdeteksi. Peluang dapat terjadi karena pengendalian internal
yang lemah, pengawasan manajemen yang kurang baik atau melalui penggunaan
posisi. Kesempatan untuk melakukan fraud berdasarkan pada kedudukan pada
umumnya, manajemen suatu perusahaan memiliki potensi yang lebih besar untuk
melakukan fraud dibandingkan dengan karyawan. Tetapi patut digaris bawahi
bahwa kesempatan untuk melakukan kecurangan selalu ada pada
setiapkedudukan. Kegagalan dalam menetapkan prosedur yang memadai untuk
kondisi fraud juga mampu meningkatkan keterjaidan suatu kecurangan.
Dari ketiga elemen fraud triangle, kesempatan memiliki kontrol yang
paling atas. Oleh karena itu, dalam mendeteksk adanya aktivitas kecurangan,
maka perusahaan perlu membangun proses, posedur, dan pengendalian yang
efektif. SAS No. 99 menyebutkan bahwa peluang kecurangan laporan keuangan
dapat terjadi pada 3 kategori. Kondisi tersebut adalah kondisi industri, ketifak
efektifan pengawasan, dan struktur organisasi.

3. Rasionalisasi (Rationalization)
Salah satu elemen penting terjadinya fraud yaitu rasionalisasi, dimana
pelaku mencari pembenaran atas perbuatannya. Menurut Skousen (2009),
rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur. Sikap
atau karakter adalah apa yang menyebabkan satu atau lebih individu untuk secara
rasional melakukan fraud. Penentu utama dari kualitas laporan keuangan yaitu
integritas manajemen. Ketika integritas manajemen dipertanyakan, keandalan
laporan keuangan diragukan. Bagi mereka yang umumnya tidak jujur maka akan
lebih mudah merasionalisasi kecurangan. Bagi mereka dengan standar moral yang
lebih tinggi, mungkin tidak begitu mudah. Pelaku fraud selalu mencari
pembenaran rasional untuk membenarkan perbuatannya (Molida, 2011).

2.6 Fraud Red Flags


Red flags merupakan suatu kondisi yang janggal atau berbeda dengan
keadaan normal. Dengan kata lain, red flags adalah petunjuk atau indikator akan
adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut.
9

Menurut Hevesi & Pattinson (2001), red flags tidak mutlak menunjukkan apakah
seseorang bersalah atau tidak, tetapi red flags ini merupakan tanda-tanda
peringatan bahwa fraud mungkin terjadi. Sebagaimana dijelaskan dalam standar
auditing SA seksi 316 Pertimbangan atas kecurangan dalam audit atas laporan
keuangan, salah saji dalam pelaporan keuangan dapat timbul dari fraud, yaitu
pelaporan keuangan yang mengandung fraud dan penyalahgunaan aset.
Menurut Kenyon, dkk., (2006), secara garis besar, terdapat tiga faktor
risiko fraud yang berkaitan dengan fraud dalam pelaporan keuangan seperti
berikut ini:
1. Karakteristik manajemen yang berkaitan dengan kemampuan manajemen,
tekanan, sikap dan perilaku terhadap pengendalian internal dan proses
pelaporan keuangan.
2. Karakteristik industri yang berkaitan dengan kondisi ekonomi dan
peraturan yang berlaku.
3. Karakteristik operasional dan stabilitas keuangan yang meliputi sifat dan
kerumitan dari transaksi perusahaan serta kondisi keuangan perusahaan.
Jika dikaitkan dengan pelakunya, fraud dalam pelaporan keuangan pada
umumnya dilakukan oleh manajemen, dan kondisi yang memungkinkan
adanya fraud. Menurut Kenyon, dkk., (2006), hal-hal yang harus diwaspadai
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Manajemen enggan menyediakan data untuk auditor eksternal.
2. Sering terjadi penggantian auditor eksternal.
3. Pengendalian intern perusahaan kurang memadai.
4. Terdapat banyak transaksi pada akhir tahun.
5. Terdapat dokumen yang hilang dan tidak dapat ditemukan.
6. Sering melakukan pergantian rekening bank.
7. Utang yang diperpanjang terus menerus.
8. Tingkat perputaran karyawan tinggi.
9. Penjualan aktiva perusahaan di bawah harga pasar.
10. Adanya transaksi yang tidak masuk akal.
10

2.7 Faktor Penilaian Risiko


2.7.1 Faktor Lingkungan Perusahaan
Kecurangan karyawan, pencurian, dan penggelapan lebih banyak terjadi
pada beberapa industri dan beberapa organisasi dari pada yang lainnya. The
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) 2008 Report to the
Nation (RTTN) melaporkan sebanyak 959 kasus yang telah diselesaikan. Salah
satu statistik menunjukkan jenis industri yang paling mungkin untuk
menyewa Certified Fraud Examiner (CFE) untuk menyelidiki penipuan, dari hasil
tersebut juga dapat menunjukkan industri lebih rentan terhadap penipuan. Untuk
industri yang lebih rentan terhadap penipuan, entitas dalam industri tersebut jelas
memiliki risiko yang lebih besar dari penipuan. Dalam penilaian risiko perlu
dipertimbangkan tingkat risiko penipuan dinilai dari dalam industri entitas. hasil
RTTN pada tahun adalah sebagai berikut:
1. Layanan perbankan / keuangan (14,5% dari semua kasus yang dilaporkan)
2. Pemerintah / Administrasi publik (11,7%)
3. Kesehatan (8,4%)
4. Manufaktur (7,2%)
5. Ritel (7%)
Industri berdasarkan frekuensinya adalah sebagai berikut:
1. Telekomunikasi ($800.000 / 16 kasus)
2. Pertanian / Kehutanan / Perikanan ($450.000 / 13 kasus)
3. Manufaktur ($441.000 / 65 kasus)
4. Teknologi ($405.000 / 28 kasus)
5. Konstruksi ($330.000 / 42 kasus)
Sebuah penilaian risiko juga harus mempertimbangkan kondisi ekonomi
saat ini. Di saat yang baik, orang mencuri, di saat buruk, orang mencuri juga
masih mencuri. Sebuah survei 2008–2009 oleh ACFE meminta 507 CFEs untuk
melaporkan tingkat penipuan sejak awal krisis ekonomi. Lebih dari setengah
menunjukkan bahwa jumlah penipuan meningkat selama waktu itu. Selain itu
sebanyak 49% melaporkan peningkatan jumlah kerugian dari adanya penipuan
11

selama perioda yang sama. Teorinya sesuai dengan fraud triangle yaitu tekanan.
Orang-orang pada umumnya berada di bawah tekanan yang lebih selama adanyan
resesi ekonomi dan artinya bahwa akan terjadi peningkatan dalam penipuan.
2.7.2 Faktor Internal
Menurut Singleton & Singleton (2010), faktor internal yang meningkatkan
kemungkinan penipuan, pencurian, dan penggelapan termasuk kontrol manajemen
yang tidak memadai atau kegiatan pemantauan seperti berikut:
1. Kegagalan untuk menciptakan budaya jujur.
2. Kegagalan untuk mengartikulasikan dan mengkomunikasikan standar
minimum kinerja dan perilaku pribadi.
3. Orientasi dan pelatihan yang tidak memadai pada hukum, etika, penipuan,
dan masalah keamanan.
4. Kebijakan perusahaan yang tidak memadai sehubungan dengan sanksi
bagi hukum, etika, dan pelanggaran keamanan; terutama untuk penipuan
dan kejahatan kerah putih
5. Kegagalan untuk mengambil tindakan administratif ketika tingkat kinerja
atau perilaku pribadi turun di bawah standar yang dapat diterima, atau
melanggar prinsip dan pedoman entitas.
6. Ambiguitas dalam peran pekerjaan, tugas, tanggung jawab, dan bidang
akuntabilitas
7. Kurangnya audit tepat waktu atau berkala, pemeriksaan, dan tindak lanjut
untuk memastikan kepatuhan dengan tujuan entitas, prioritas, kebijakan,
prosedur, dan peraturan pemerintah;secara umum, kurangnya akuntabilitas
atas kunci posisi kepercayaan
2.7.3 Faktor Fraud
Penilaian risiko juga harus mempertimbangkan mengenai
skema fraud yang lebih mungkin terjadi dalam rangka untuk memandu program
antifraud. Pencegahan dan pendeteksian tentu lebih efektif jika
skema fraud dilakukan. Untuk penipuan laporan keuangan, jelas para eksekutif
dari entitas adalah yang paling mungkin menjadi pelaku dan dengan demikian
12

penilaian risiko tentu akan mencakup individu-individu tersebut. Untuk


penyalahgunaan aset, karyawan yang dipercaya, cenderung menjadi pelakunya.
Untuk korupsi, mungkin sama tetapi mencakup seseorang di luar entitas yang
bekerja sama dengan seseorang di dalam entitas.

2.8 Risk Assessment Best Practices


Jika entitas tidak melakukan penilaian risiko secara formal, maka entitas
tidak akan dapat secara efektif mempertahankan diri dari risiko-risiko tersebut,
atau mengurangi risiko-risiko untuk alasan yang jelas. Dalam rangka
mengembangkan penilaian risiko yang efektif, manajemen harus menggunakan
pendekatan formal daripada pendekatan ad hoc. Menurut Singleton & Singleton
(2010), pendekatan termasuk orang dan proses, yaitu sebagai berikut.
1. Pemimpin
Proses penilaian risiko harus mencakup orang atau kelompok yang tepat,
dan idealnya harus mencakup sebuah tim. Untuk manajemen organisasi, orang
yang tepat biasanya adalah seseorang yang memiliki independensi yang cukup,
seperti seseorang dari fungsi audit internal, jika ada, dan harus memiliki
kemampuan yang efektif untuk mendukung manajemen risiko. Memiliki
seseorang yang berpengalaman dan terbukti efektif dalam menilai resiko yang
terlibat dengan fungsi penilaian risiko merupakan hal yang wajar.
2. Tim
Tim harus dipilih dengan hati-hati. Meskipun harus mulai dengan pihak
internal yang ahli atau konsultan, namun perlu disertakan pula pihak-pihak entitas
secara menyeluruh. Penyertaan pihak-pihak entitas, harus melibatkan berbagai
tingkat entitas, terutama tingkat manajemen. Tim harus mewakili semua unit
bisnis utama (terutama akuntansi dan penjualan karena kebanyakan
kasus fraud terjadi di sana), posisi kunci, dan perspektif yang diperlukan untuk
memberikan penilaian risiko. Mendokumentasikan penilaian risiko sangat
penting, yang paling utama karena dokumentasi dapat direview ketika risiko yang
dinilai muncul lagi atau belum selesai. Dokumentasi kemudian dapat berfungsi
sebagai alat pembelajaran bagi penilaian yang lebih efektif dan tindakan
13

pencegahan di masa depan. Beberapa alat dapat digunakan untuk melakukan


penilaian risiko, salah satunya adalah checklist.

3. Frekuensi dan Keselarasan dengan Keuangan


Penilaian risiko secara formal dalam suatu entitas harus dilakukan secara
rutin, mungkin setiap 12 sampai 24 bulan sekali. Frekuensi tahunan akan
memungkinkan penilaian risiko fraud untuk menyelaraskan dengan perencanaan
keuangan jangka waktu pelaporan keuangan.

2.9 Checklist Manajemen Risiko Dan Dokumentasi


Menurut Singleton & Singleton (2010), checklist dirancang untuk
membantu akuntan dalam menilai dan mengelola risiko fraud dalam organisasi
mereka. Checklist ini dimaksudkan untuk penggunaan umum saja. Sedangkan
penggunaan checklist membantu memastikan faktor yang dianggap memadai,
menggunakan checklist tidak menjamin pencegahan penipuan atau
deteksi. Checklist juga tidak dimaksudkan sebagai pengganti audit atau prosedur
yang sama. Jika pencegahan penipuan adalah dianggap sebagai perhatian penting,
penilaian yang sistematis yang melampaui checklist harus dilakukan.

2.9.1 Checklist Skema Fraud

Pendekatan lain untuk penilaian risiko adalah dengan menggunakan


taksonomi yang sesuai skema penipuan. Misalnya, fraud tree dapat digunakan
untuk menentukan setidaknya daftar awal skema fraud. Pendekatan ini dapat
bekerja dengan baik. Menurut Singleton & Singleton (2010), kolom ini berupa
penilaian risiko termasuk diantaranya sebagai berikut.
1. Skema fraud.
2. Penilaian inherent risk pada entitas atau proses bisnis.
3. Controls assessment yang telah memitigasi risiko tersebut.
4. Risidual risk setelah adanya mitigasi dengan pengendalian internal yang
ada terkait dengan skema fraud pada entitas atau proses bisnis.
14

5. Business processes, di mana skema ini mungkin terjadi, dan jika terjadi.
6. Red flags, yang dapat digunakan untuk mendeteksi skema ini

2.10 Studi Kasus


Satyam Computer Services Ltd, merupakan sebuah
perusahaan outsourcing India ternama dengan jasa yang ditawarkan berupa
layanan teknologi informasi, desain, pengembangan data warehouse atau website
dan memberikan sistem integrasi dalam teknologi informasi disuatu perusahaan.
Satyam melayani pasar seperti manufaktur, ritel, jasa keuangan, transportasi dan
telekomunikasi.
Pada 9 November 2010, pengadilan di India mengadili pendiri perusahaan
teknologi informasi Satyam, Ramalinga Raju, yang dituduh melakukan penipuan
terbesar dalam sejarah korporasi negara itu. Modus kasus ini mirip skandal
rekayasa laporan keuangan Enron, perusahaan raksasa listrik dan gas asal Texas,
Amerika Serikat (http://bisnis.tempo.co/, diakses tanggal 11 Oktober 2015).
Kasus fraud yang terjadi pada Satyam baru terungkap saat Ramalinga Raju
meletakan jabatannya sebagai chairman sesudah membuat pengakuan bahwa:
1. Saldo bank sebesar 50,4 miliar rupees, atau setara $1,04 miliar sebenarnya
fiktif (nonexistent). Angka ini dilaporkan sebagai bagian dari saldo sebesar
53,6 miliar rupees dalam kuartal kedua yang berakhir 30 September.
2. Pendapatan untuk kuartal tersebut sebenarnya 20% lebih rendah dari 27
miliar rupees yang dilaporkan. Sedangkan operating margin hanyalah
bagian yang sangat kecil dari jumlah yang dilaporkan.
3. Raju melaporkan bahwa Satyam mempunya 53.000 karyawan operasi di
66 negara dan alas an Satyam melakukan manipulasi itu diakui karena
keinginan untuk melakukan ekspansi di sejumlah Negara dan untuk
mengelabui pihak pasar modal agar dapat persetujuan melakukan
ekspansi.
15

Berikut ini sebagian terjemahan dari isi surat pengakuan Ramalinga


Raju, chairman, Satyam Computer Services Ltd. Tanggal 7 Januari 2009.
(http://antifraudnetwork.com, diakses tanggal 11 Oktober 2015)
“Yang terhormat Anggota Dewan Pimpinan,
Dengan perasaan menyesal yang mendalam, dan dengan beban yang
teramat berat yang saya tanggung, saya menyampaikan fakta-fakta berikut
kehadapan anda:
Neraca pada tanggal 30 September 2008 menunjukkan:
1. Saldo kas dan bank (cash and bank) fiktif sebesar Rs 50,40 miliar ($1,04
miliar), dibandingkan dengan Rs 53,61 miliar yang ditunjukan dalam
pembukuan.
2. Piutang bunga (accured interest) fiktif sebesar Rs 3,76 miliar.
3. Utang yang dinyatakan kerendahan (understated liability) sebesar Rs 12,3
miliar untuk dana-dana yang saya atur.
4. Piutang yang dinyatakan terlalu tinggi (overstated debtors position)
sebesar Rs 4,90 miliar (dibandingkan dengan Rs 26,51 miliar yang
ditunjukan dalam pembukuan).
Untuk kuartal September (Q2) kami melaporkan pendapatan (revenue) sebesar
Rs 27 miliar dan margin usaha (operating margin) sebesar Rs 6,49 miliar (24%
dari pendapatan); pendapatan seharusnya (actual revenues) Rs 21,12 miliar dan
margin usaha (operating margin) seharusnya Rs 610 juta (3% dari pendapatan).
Ini mengakibatkan saldo cash & bank fiktif meningkat sebesar Rs 5,88 miliar
dalam Q2 saja.
Tanda terbesar terlihat dalam neraca yang disebabkan semata-mata oleh laba
palsu (infated profits) selama beberapa tahun terakhir. Laba palsu ini hanya
dilaporkan oleh Satyam, sedangkan anak-anak perusahaan menunjukan kinerja
sebenarnya.

Yang semula merupakan kesenjangan kecil (marginal gap) antara laba usaha
sebenarnya (actual operating profit) dan angka pembukuan, berlangsung selama
16

beberapa tahun. Sampai mencapai jumlah yang tidak terkendali lagi, ketika
perusahaan tumbuh secara signifikan (pendapatan per tahun mencapai Rs 112,76
miliar dalam kuartal September 2008, dan laba ditahan sebesar Rs 83,92 miliar).
Perbedaan antara laba sebenarnya dan laba yang ada dalam pembukuan
menjadi lebih menonjol lagi karena perusahaan harus
“menambah” resources (sumber daya) dan asset untuk mendukung tingkat usaha
yang lebih tinggi lagi dan ini tercermin dalam kenaikan biaya dan beban secara
signifinkan.
Setiap upaya menutup kesenjangan ini, selalu berujung kegagalan. Karena
para promotor memegang sejumlah saham (equity), timbul kekhawatiran bahwa
kinerja yang buruk akan berdampak dengan pengalihan saham atau kepemilikan
(takeover), yang selanjutnya akan mengungkapkan kesenjangan ini.”
Adanya manipulasi atas laporan keuangan Satyam, tidak hanya terkait
pihak chairman saja, namun hal ini juga didukung oleh internal auditor yang tidak
melakukan tugasnya. Berikut ini beberapa hal yang dilakukan internal auditor
Satyam dalam menjalankan pekerjaannya adalah sebagai berikut:
1. Auditor internal tidak melakukan pengujian, meneliti atas verifikasi setiap
transaksinya mulai terjadinya transaksi di setiap tahun hingga berakhirnya
tahun pelaporan.
2. Tidak pernah memverifikasi atau memeriksa dengan benar cash & bank
3. Sengaja mengabaikan faktur-faktur palsu yang terdapat dalam transaksi-
transaksi yang dijalankan Satyam.
4. Tidak pernah melaporankan hasil pekerjaan auditnya kepada komite audit.
5. Di dalam perencanaan auditnya lebih memprioritaskan atas dasar-dasar
permintaan
6. Sejumlah bukti-bukti temuan serius yang ditemukan oleh tim audit, secara
disengaja diabaikan oleh ketua tim audit.
PwC selaku auditor eksternal juga tidak menjalankan tugasnya dengan baik.
Berikut adalah beberapa hal yang dilakukan oleh auditor eksternal PwC yang
memeriksa Satyam adalah sebagai berikut:
17

1. Auditor eksternal tidak pernah melakukan konfirmasi kepada bank yang


terkait terhadap saldo bank yang tercantum dalam Satyam.
2. Auditor eksternal melanggar beberapa peraturan audit yaitu seperti adanya
hubungan istimewa antara PwC dengan Satyam, namun tetap saja PwC
memeriksa Satyam sebagai kliennya.
3. Tidak pernah memeriksa baik itu secara keseluruhan ataupun secara
sampel terhadap sejumlah invoice yang terdaoat di transaksi Satyam.
4. Menerima bayaran audit fee yang jauh diatas bayaran para pesaing Satyam
dalam melakukan audit.
5. Liabilitas atas pajak tidak pernah dilaporkan dalam hasil laporan auditnya.
6. Tidak pernah memeriksa atau memverifikasi atas tingkat bunga palsu.
7. Tidak pernah melakukan dengan benar proses pemeriksaan dari awal
perikatan audit hingga akhir perikatan audit.
8. Meskipu n ditemukan adanya sistem pengendalian internal di Satyam yang
lemah, namun auditor eksternal tidak pernah melakukan tindakan untuk
melaporakan temuannya itu.

2.11 Pembahasan Kasus Satyam


Kasus fraud yang terjadi pada Satyam termasuk dalam jenis fraud
Fraudulent Statement. Hal ini dapat dilihat pada adanya manipulasi laporan
keuangan yang dilakukan untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya
dengan melakukan rekayasa keuangan. Manipulasi dilakukan pada laporan posisi
keuangan (neraca) Satyam. Bentuk manipulasi yang dilakukan dengan adanya
saldo kas dan bank fiktif, peningkatann pendapatan, piutang bunga fiktif,
penurunan utang serta peningkatan piutang. Penyebab terjadinya fraud pada kasus
Satyam tidak terlepas dari fraud triangel yaitu adanya tekanan, kesempatan dan
rasionalisasi.

Pertama tekanan, pada kasus Satyam dikarenakan adanya tekanan yang


dirasakan oleh chairman, yaitu berupa keinginan untuk melakukan ekspansi usaha
18

di sejumlah negara, sehingga terjadilah manipulasi atas laporan keuangan. Kedua


adalah kesempatan, pada kasus Satyam kesempatan muncul dikarenakan
lemahnya pengendalian internal yang ada oleh auditor internal. Auditor tidak
menjalankan perannya dengan baik. Hal ini ditambah lagi dengan adanya auditor
eksternal yang juga tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Melihat lemahnya
SPI pada perusahaan, auditor seharusnya lebih memperluas cakupan auditnya,
namun dalam kasus Satyam auditor seolah membiarkan kasus fraud tersebut
terjadi. Ketiga adalah rasionalisasi, pada kasus Satyam pelaku fraud berusaha
mencari pembenaran atas tindakannya. Pelaku merasa tindakannya benar karena
menganggap auditor internal dan auditor eksternal tidak memperdulikan tindakan
pelaku dan seolah membenarkan tindakan pelaku.
Ciri-ciri terjadinya fraud dapat dilihat dari adanya red flags, diantaranya
adalah sebagai berikut.
1. Peningkatan laba yang sangat signifikan dari kuartal 1 tahun 2004
sampai dengan kuartal 2 tahun 2009.
2. Peningkatan yang signifikan pada jumlah faktur yang salah dari tahun
kuartal 1 tahun 2004 sampai dengan kuartal 2 tahun 2009.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Fraud merupakan tindakan yang disengaja dengan melakukan penipuan,


penggelapan, ataupun pelanggaran kepercayaan untuk mendapatkan keuntungan
finansial melalui salah saji yang materil. Penyebeb terjadinya fraud disebabkan
karena adanya tekanan, kesempatan dan raisonalisasi. Pada dasarnya penyebab
terjadinya fraud diakibatkan karena adanya kesempatan. Munculnya kesempatan
dikarenakan lemahnya pengendalian yang ada.

3.2 Saran
Saran bagi perusahaan dalam melakukan penilaian risiko yaitu sebagai
berikut.
1. Sebaiknya perusahaan melakukan penilaian terhadap
risiko fraud secara rutin setiap 12 sampai 24 bulan sekali.
2. Perusahaan sebaiknya membentuk tim khusus yang bertujuan
untuk melakukan penilaian terhadap risiko
3. Untuk meminimalkan terjadinya risiko fraud, sebaiknya
perusahaan meningkatkan pengendalian internalnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

AICPA. (2002). Statement on Auditing Standards (SAS) No. 99: Consideration


of Fraud in Financial Statement Audit. New York: American Institute of Certified
Public Accountant.

Albrecht, dkk. (2006). Financial Statement Fraud: Prevention and Detection.


New Jersey: Jhon Wailey & Sons Inc.

Arens, dkk. (2011). Auditing and Assurance Services: An Integrated Approach.


USA: Pearson.

Association of Certified Fraud Examiner (ACFE). (2007). Report to the


Nations on Occupational Fraud anf Abuse.

Hevesi, A & Pattison, M. (2011). Red Flags for Fraud. New York: Office of The
State Comptroller.

http://antifraudnetwork.com/2009/03/what-happened-at-satyam/,

http://bisnis.tempo.co/read/news/2010/11/03/090289056/kasus-indias-enron-
mulai-diadili,

https://www.sec.gov/litigation/complaints/2011/comp21915.pdf,

http://antifraudnetwork.com/2009/03/what-happened-at-satyam/,

20

Anda mungkin juga menyukai