Anda di halaman 1dari 23

Tingkat Pengetahuan Pasien Terhadap Penggunaan Obat Pereda

Nyeri Haid Sebagai Upaya Swamedikasi Di Klinik Desa Putra,


Jagakarsa-Jakarta Selatan
Tahun 2018

Kelompok 3 Swamedikasi
Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta

Abstrak - Swamedikasi atau yang disebut juga pengobatan sendiri merupakan


bagian dari upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam menjaga kesehatannya
sendiri. Pengobatan sendiri diartikan dengan memilih dan menggunakan obat –
obat tertentu oleh seorang individu untuk mengobati penyakit yang diderita atau
mengurangi gejala tanpa pengawasan tenaga medis. Meskipun beberapa obat
dianggap memiliki risiko yang kecil dan berguna untuk mengobati masalah
kesehatan yang umum, penggunaan yang berlebihan atau kesalahan dalam
menggunakannya juga dapat menyebabkan efek samping yang serius dan reaksi
yang tidak diinginkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat
pengetahuan pasien terhadap penggunaan obat pereda nyeri haid sebagai upaya
swamedikasi. Penelitian ini menggunakan metode yang bersifat deskriptif dan
dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2018. Sebanyak 11 responden dari klinik
Desa Putra (Jagakarsa-Jakarta Selatan) terlibat dalam penelitian ini. Responden
terdiri dari wanita dengan kisaran usia 20-63 tahun dan dipilih dengan metode
random sampling. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuisioner. Dari
hasil yang didapat hanya 1 orang saja yang mengetahui tentang efek samping dari
obat tersebut. Tingkat pengetahuan tentang informasi efek samping dari obat,
pasien masih kurang mengetahui mengenai informasi kandungan, penggunaan
hingga efek samping yang mungkin dapat ditimbulkan oleh obat itu. Sehingga
dapat disimpulkan kesadaran masyarakat akan pentingnya swamedikasi masih
minim serta pelayanan swamedikasi yang dilakukan oleh petugas apotek di klinik
Desa Putra masih kurang.
Pendahuluan
Sakit merupakan salah satu keluhan yang bersifat subjektif yang dirasakan
oleh seseorang, sehingga berbeda dengan penyakit (disease) yang terjadi pada
tubuh (bersifat objektif) (supradi dkk, 1997). Berdasarkan hasil survey Badan
Pusat Statistik Indonesia februari tahun 2017, persentase penduduk yang
mengobati sendiri (swamedikasi) selama sebulan terakhir sebesar 69.43 %. Hal ini
menunjukkan bahwa perilaku swamedikasi di Indonesia masih cukup besar.
Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan bagian dari upaya masyarakat
menjaga kesehatannya sendiri. Pada pelaksanaanya, swamedikasi/pengobatan
sendiri dapat menjadi masalah terkait obat (Drug Related Problem) akibat
terbatasnya pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya (Nur Aini, 2017).
Dasar hukum swamedikasi adalah peraturan Menteri Kesehatan No. 919
Menkes/Per/X/1993. Menurut Pratiwi, et al (2014) swamedikasi merupakan salah
satu upaya yang sering dilakukan oleh seseorang dalam mengobati gejala sakit
atau penyakit yang sedang dideritanya tanpa terlebih dahulu melakukan konsultasi
kepada dokter. Swamedikasi yang tepat, aman,dan rasional terlebih dahulu
mencari informasi umum dengan melakukan konsultasi kepada tenaga kesehatan
seperti dokter atau petugas apoteker. Adapun informasi umum dalam hal ini bisa
berupa etiket atau brosur. Selain itu, informasi tentang obat bisa juga diperoleh
dari apoteker pengelola apotek, utamanya dalam swamedikasi obat keras yang
termasuk dalam daftar obat wajib apotek (Depkes RI., 2006; Zeenot, 2013).
Alasan masyarakat Indonesia melakukan swamedikasi atau peresepan sendiri
karena penyakit dianggap ringan (46%), harga obat yang lebih murah (16%) dan
obat mudah diperoleh (9%) (Kartajaya et al., 2011).Swamedikasi biasanya
dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak
dialami masyarakat seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag,
cacingan, diare, penyakit kulit dan lain lain (Depkes RI, 2010). Kriteria yang
dipakai untuk memilih sumber pengobatan adalah pengetahuan tentang sakit dan
pengobatannya, keyakinan terhadap obat/ pengobatan, keparahan sakit, dan
keterjangkauan biaya, dan jarak ke sumber pengobatan. Keparahan sakit
merupakan faktor yang dominan diantara keempat faktor diatas (Supardi, 2005).
Perilaku swamedikasi dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dari
interaksi manusia dengan lingkungannya. Swamedikasi menjadi tidak tepat
apabila terjadi kesalahan mengenali gejala yang muncul, memilih obat, dosis dan
keterlambatan dalam mencari nasihat / saran tenaga kesehatan jika keluhan
berlanjut. Selain itu, resiko potensial yang dapat muncul dari swamedikasi antara
lain adalah efek samping yang jarang muncul namun parah, interaksi obat yang
berbahaya, dosis tidak tepat, dan pilihan terapi yang salah (BPOM, 2014).
Menurut Pratiwi, et al (2014) alasan swamedikasi atau pengobatan sendiri yang
dilakukan didasarkan pada hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kepraktisan
dalam pengobatan serta anggapan bahwa penyakit yang diderita masih tergolong
ringan dan mudah diobati. Selain faktor kepraktisan terdapat faktor yang
mempengaruhi mahasiswa dalam melakukan swamedikasi seperti jauhnya dengan
orang tua bagi mahasiswa pendatang dan lingkungan yang membentuk seorang
mahasiswa dalam menentukan tingkat kesehatan untuk dirinya sendiri. Hasil
penelitian di atas menunjukkan bahwa seseorang yang melakukan swamedikasi
karena2 menganggap penyakit yang diderita ringan. Swamedikasi juga dilakukan
karena faktor jauhnya dengan keluarga, atau kebiasaan yang sudah turun temurun
dari keluarga dan bahkan kepraktisan. Swamedikasi juga dipengaruhi oleh biaya
yang ringan karena hanya terbebani pembelian obat tanpa harus mengeluarkan
biaya tambahan lain. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, secara garis
besar dapat disimpulkan wanita yang mengalami dismenorea 61,7% melakukan
pengobatan sendiri. Obat yang paling umum digunakan adalah over-the-counter
(OTC). NSAID adalah jenis obat yang umum digunakan untuk pengobatan sendiri
nyeri haid. Wanita yang menggunakan NSAID, 18,4% melaporkan sembuh total,
sementara 78,1% sedikit mengurangi keluhan dismenorea, dan 3,6% melaporkan
tidak ada efek pada nyeri haid mereka (Ortiz, 2009).

Perumusan Masalah
Masyarakat pada umumnya masih belum mengetahui swamedikasi yang
benar dan tepat. Tingkat kesadaran masyarakat yang kurang akan hal tersebut,
dikhawatirkan memicu timbulnya penyalahgunaan obat bebas yang dapat dibeli
dengan mudah oleh masyarakat itu sendiri, selain itu jika mayoritas dari
masyarakat masih belum mengetahui informasi mengenai obat tersebut terkait
dengan cara penggunaan serta efek samping yang dapat ditimbulkan. Disinilah,
peran tenaga kesehatan seperti Apoteker sanagatlah penting untuk mengedukasi
masyarakat mengenai swamedikasi sendiri serta untuk mendorong masyarakat
agar lebih bijak dalam penggunaan obat dalam hal swamedikasi. Nyeri haid
merupakan sakit yang umum terjadi pada wanita ketika mesntruasi datang, akan
tetapi sering kali ditemukan peristiwa dimana wanita tersebut masih belum tahu
pasti tindakan yang tepat dalam mengatasi nyeri haid tersebut. Mereka hanya
mengetahui cara mengatasinya berdasarkan informasi dari mulut ke mulut yang
kredibilitasnya masih diragukan. Berdasarakan hal-hal tersebut maka perumusan
masalah yang ingin kami kaji untuk penelitian ini yaitu
1. Seberapa besarkah tingkat pengetahuan pasien terhadap penggunaan obat
pereda nyeri haid sebagai upaya swamedikasi di Klinik Desa Putra,
Jagakarsa-Jakarta Selatan Tahun 2018 ?.
2. Bagaimana masyarakat itu sendiri dalam melakukan swamedikasinya
terhadap nyeri haid yang dirasakan, apakah sudah tepat atau belum?
3. Bagaimana peran Tenaga kesehatan (Apoteker/Dokter) di klinik tersebut
dalam hal mengedukasi swamedikasi kepada pasien?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini yaitu
1. untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien terhadap penggunaan obat
pereda nyeri haid sebagai upaya swamedikasi
2. Untuk mengetahui tindakan yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri
dalam melakukan swamedikasinya terhadap nyeri haid yang dirasakan,
(sudah tepat atau belum)
3. Untuk mengetahui peran Tenaga kesehatan (Apoteker/Dokter) di klinik
tersebut dalam hal mengedukasi swamedikasi kepada pasien
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan teknik
pengambilan datanya dilaksanakan secara cross sectional design (potong lintang),
yaitu dengan satu kali pengambilan data dengan menggunakan kuisioner atau
angket yang diberikan langsung kepada pasien.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik random
sampling. Dengan populasi yang dituju yaitu pasien yang mengunjungi Klinik
Desa Putra, Jagakarsa-Jakarta Selatan, yang terdiri dari wanita dengan kisaran
usia 20-63 tahun.

Hasil dan Pembahasan

“Pengetahuan Responden terhadap Dismenorea”

Berdasarkan hasil penelitian tingkat pengetahuan responden terhadap


dismenorea yaitu dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden sebanyak 7 dari
11 orang (63,63%) tidak mengetahui pasti apa itu mengenai dismenorea (nyeri
haid) dan penanganan yang tepat untuk mengatasi nyeri haid tersebut. Responden
pada umumnya hanya mengetahui dari mulut ke mulut atau kerabat terdekat yang
kredibilitas informasinya kurang dapaat dipercaya. Hal ini dikarenakan kurangnya
kesadaran responden akan keingintahuan mereka terhadap swamedikasi pada
nyeri haid yang mereka rasakan dan sebagian dari mereka berpendapat bahwa
kurangnya edukasi dari pelayanan kesehatan mengenai dismenorea sehingga
mereka masih merasa awam terhadap istilah dan penanganan yang tepat untuk
penyakit tersebut.

“Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Swamedikasi Nyeri Haid”

Berdasarkan hasil penelitian tingkat pengetahuan pasien terhadap


penggunaan obat nyeri haid dalam langkah swamedikasi diperoleh dengaan cara
pengambilan data pasien yang berkunjung ke apotek Pratama Desa Putera dalam
bentuk kuesioner. Sebanyak 11 responden yang terlibat dalam penelitian ini, 6
diantaranya atau 54,54% dengan golongan umur antara 20-47 tahun ketika
mengalami nyeri haid tidak langsung melakukan swamedikasi, sedangkan 5
diantaranya atau 45,45% dengan golongan umur antara 30-63 tahun ketika
mengalami nyeri haid langsung melakukan swamedikasi. Kelompok responden
pertama yang tidak melakukan swamedikasi beranggapan bahwa nyeri haid yang
mereka alami merupakan hal yang wajar dan cukup dengan beristirahat (Tidak
memerlukan obat berlebih) mereka akan sembuh, sedangkan kelompok responden
kedua dengan 2 diantaranya memilih mengonsumsi obat tradisional karena
mereka beranggapan bahwa obat tradisional/jamu-jamuan lebih aman
dibandingkan dengan obat sintetik dan 3 diantaranya memilih mengonsumsi obat
sintetik (Asam mefenamat atau paracetamol) sebagai pereda nyeri haid yang
mereka rasakan, karena mereka beranggapan bahwa obat sintetik memiliki efek
yang lebih cepat untuk meredakan atau menghilangkan nyeri yang mereka
rasakan.

Tabel 1.1 Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Swamedikasi Nyeri


Haid

Kriteria N %
Kelompok responden yang 6 54,54%
tidak melakukan
swamedikasi
Kelompok responden yang 3 27,27%
melakukan swamedikasi
(obat sintetik)
Kelompok responden yang 2 18,18%
melakukan swamedikasi
(obat tradisional)

“Pengetahuan responden terhadap kandungan, penggunaan serta efek


samping obat”

Berdasarkan hasil penelitian tingkat pengetahuan responden terhadap


kandungan, penggunaan serta efek samping obat nyeri haid dalam langkah
swamedikasi yaitu dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden yang
menggunakan obat dari 5 responden sebanyak 4 orang tidak mengetahui efek
samping mengenai obat yang mereka konsumsi. Hal ini dikarenakan mereka
kurangnya mendapat edukasi dari tenaga kesehatan dan beberapa diantara mereka
mengetahui informasi tersebut hanya dari iklan saja.

Tabel 1.2 Pengetahuan responden terhadap kandungan, penggunaan serta efek


samping obat

Kriteria N %
Responden yang 1 20%
mengetahui kandungan,
efek samping dan cara
penggunaan obat
Responden yang tidak 4 80%
mengetahui kandungan,
efek samping dan cara
penggunaan obat

Dari hasil data yang diperoleh kami menyimpulkan bahwa masih banyak
pasien yang tahu tentang nyeri haid namun untuk mengatasi nyeri haid tersebut
masih banyak yang belum paham dengan baik dan benar. Walaupun ada sebagian
dari mereka yang sudah mengonsumsi obat tetapi tidak bertanya terhadap ahlinya
seperti Dokter atau Apoteker mengenai ketepatan penggunaan obat tersebut,
menurut kami hal ini sangat disayangkan dan dikhawatirkan karena terkait
dengan efek samping obat yang bisa ditimbulkan dari obat tersebut. Oleh karena
itu, untuk mengatasi atau mengurangi penyalahgunaan obat nyeri haid sebaiknya
pasien berkonsultasi kepada ahlinya agar diberikan arahan yang lebih tepat untuk
mengatasinya. Selain itu nyeri haid ini bila masih dalam skala nyeri ringan,
sebaiknya pasien mengatasinya dengan cukup beristirahat, meminum air putih
yang hangat atau pula mengkompres dengan air hangat dibagian yang nyeri, dan
juga mensuggest pikiran bahwa nyeri haid yang dirasakan akan segera hilang
sesaat setelah beristirahat. Jika skala nyerinya sedang-berat atau yang harus
diobati dengan obat (farmakologi) maka disarankan agar pasien
mengkonsultasikan lebih lanjut kepada ahlinya agar memperoleh edukasi
mengenai kandungan, tata cara penggunaan serta efek samping yang mungkin
bisa ditimbulkan.

Selain itu peran tenaga kesehatan disini sangatlah penting untuk


mengedukasi pasien agar lebih mengetahui dan tepat mengenai penggunaan obat
tersebut dalam hal upaya swamedikasi. Dari data yang diperoleh pada responden
di Apotek Pratama Desa Putera, mayoritas reponden masih belum mengetahui
cara swamedikasi yang benar dan tepat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
kurangnya peranan tenaga kesehatan seperti Apoteker di Apotek tersebut dalam
hal mengedukasi pasien yang berkunjung kesana.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai tentang tingkat pengetahuan masyarakat


mengenai swamedikasi dalam mengatasi nyeri haid dapat disimpulkan bahwa
masyarakat atau pasien diharapakan sebelum melakukan swamedikasi terhadap
nyeri haid tersebut, pasien disarankan untuk berkonsultasi terlebih dahulu kepada
ahlinya mengenai tata cara penggunaan obat tersebut.

Dan jika nyeri haid tersebut masih dalam skala ringan atau diambang
normal, pasien disaranakan untuk mengatasi nyeri haid tersebut dengan cara terapi
non farmakologi terlebih dahulu berupa istirahat yang cukup, meminum air putih
yang hangat atau pula mengkompres dengan air hangat dibagian yang nyeri, dan
juga mensuggest pikiran bahwa nyeri haid yang dirasakan akan segera hilang
sesaat setelah beristirahat

Serta diharapakan untuk generasi apoteker selanjutnya agar lebih turut


ambil andil untuk lebih mendorong masyarakat/pasien dalam melakukan
swamedikasi yang benar dan tepat dengan cara mengedukasi mereka dengan cara
yang benar, tepat dan mudah dipahami. Sehingga dapat mengurangi
kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi dalam hal kesalahan
swamedikasi pada masyarakat umum/pasien itu sendiri.
Daftar Pustaka

Depkes RI., 2006; Zeenot, 2013. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Terbatas

Ritonga, Rahman. 1997. Statistika Untuk Penelitian Psikologi dan Penelitian.


Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI

Sugiyono, 2003. Metode Penelitian, Bandung. Pusat Bahasa Depdiknas.

Osmene K P., Lamikanra, A 92012). A study of the prevalence of self-medication


practice among university students in Southwestern Nigeria Tropical Journal of
Pharmaceutical Research

Holt, G A & Hall, E L.,. Self medication journal of Pharmacy Technology


Lampiran

1. Surat Pengantar
2. Kuesioner yang diisi responden

Anda mungkin juga menyukai