Anda di halaman 1dari 18

SMF & Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak

TUTORIAL
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

CHOLESTASIS

Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Gita Permatasari NIM. 1810029027

Pembimbing:
dr. Dhini Karunia Benih Asmara, Sp.A

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

TUTORIAL

CHOLESTASIS

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak

Oleh:
Gita Permatasari NIM. 1810029027

Pembimbing:

dr. Dhini Karunia Benih Asmara, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas kasih dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
Cholestasis. Penyusunan tugas ini merupakan salah satu tugas yang penulis laksanakan
selama mengikuti kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di RSUD AWS Samarinda.
Penulis mengucapkan terima kepada dr. Dhini Karunia Benih Asmara, Sp.A.,
selaku dokter pembimbing dalam penyelesaian tugas tutorial klinik ini, terima kasih
atas bimbingan dan waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat pada
pembaca. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang
dapat membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Samarinda, 31 Januari 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


. Salah satu fungsi utama dari hati adalah memproduksi dan mensekresi
empedu. Kolestasis terjadi bila terjadi hambatan aliran empedu dan bahan-bahan
yang harus diekskresi hati. Tiga penyebab utama kolestasis adalah sindroma
hepatitis neonatal, obstruksi mekanik dan sindroma paucity saluran empedu
intrahepatal (Robert, 2002). Diagnosis dini kolestasis sangat penting karena
terapi dan prognosa dari masing-masing penyebab sangat berbeda (Kader, 2004).
Pada atresia bilier, bila pembedahan dilakukan pada usia lebih dari 8 minggu
mempunyai prognosa buruk (Karpen, 2004). Salah satu tujuan diagnostik yang
paling penting pada kasus kolestasis adalah menetapkan apakah gangguan aliran
empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Robert, 2002).
Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25000 kelahiran hidup. Insiden
hepatitis neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000,
defisiensi α-1 antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan
anak laki-laki adalah 2:1, sedang pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik
(Karpen, 2004)
Berbagai keadaan diantaranya infeksi, kelainan genetik, metabolik,
endokrin atau imunologi dapat menyebabkan kolestasis. Biasanya dalam klinik,
sukar untuk membedakan bermacam-macam etiologi kolestasis pada bayi atau
sindrom hepatitis neonatal. Untuk infeksi di Asia tampaknya CMV dan infeksi
traktus urinarius merupakan penyebab yang paling sering (Robert, 2002; Karpen,
2004).

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mendalami secara teori mengenai
cholestasis pada anak.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Definisi
Kolestasis adalah sindrom klinik yang timbul akibat hambatan sekresi dan/atau
aliran empedu yang terjadi di dalam hati. Pada bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan
pertama kehidupan dan disebut pula sebagai sindrom hepatitis neonatal. Keadaan ini
mengakibatkan akumulasi, retensi, serta regurgitasi bahan-bahan yang merupakan
komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma dan
selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di
dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati. Kolestasis dibedakan menjadi kolestasis
intrahepatik dan ekstrahepatik. Kolestasis intrahepatik terjadi akibat defek fungsional
hepatoselular atau lesi obstruktif traktus bilier intrahepatik (Ndraha,2013).

3.2 Etiologi
Berbagai keadaan diantaranya infeksi, kelainan genetik, metabolik, endokrin
atau imunologi dapat menyebabkan kolestasis. Biasanya dalam klinik, sukar untuk
membedakan bermacam-macam etiologi kolestasis pada bayi atau sindrom hepatitis
neonatal. Untuk infeksi di Asia tampaknya CMV dan infeksi traktus urinarius
merupakan penyebab yang paling sering (Ndraha,2013).
Penyakit

1. Infeksi
*Infeksi congenital
- Toksoplasma
- Rubella
- Cytomegalovirus
- Herpes simpleks
- Sifilis
- Human herpesvirus-6, herpes zoster
- Hepatits B
- Hepatitis C
- Human immunodeficiency virus
- Parvovirus B19
- Syncytial giant cell hepatitis
* Infeksi lain
- Tuberkulosis
- Sepsis
- Sepsis virus enterik (echoviruses, Coxsackie A dan B, adenovirus)

2. Kelainan genetik
- Trisomi 18 (21), cat eye syndrome
- Penyakit Byler

3. Kelainan endokrin
- Hipopituitarism (displasia septo-optik)
- Hipotiroidism

4. Paucity duktus biliaris


- Sindrom Alagille
- Paucity duktus non sindromik

5. Kelainan struktur
- Carolli disease

6. Kelainan metabolik
- Def. alfa 1 antitripsin
- Fibrosis kistik
- Galaktosemia
- Tirosinemia

7. Imunologik
- L.E. neonatal
- Hepatitis neonatal dengan AHA

8. Toksik
- TPN
- Obat

3.3 Klasifikasi
Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu ekstrahepatik
Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat.
Merupakan kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan
akhirnya pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan
saluran empedu intrahepatik (Robert, 2002).
Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis, 9
infeksi virus terutama CMV10 dan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik,
iskemia dan kelainan genetik11. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir
dengan berat badan lahir, aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah
berumur lebih dari 1 minggu. 10-20% penderita disertai kelainan kongenital yang
lain seperti asplenia, malrotasi dan gangguan kardiovaskuler. Deteksi dini dari
kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan
hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2
bulan (Robert, 2002).
Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik
disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu
intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal
mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga
tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresi bilier (Karpen, 2004).
Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus
dengan proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus
empedu didalam duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan
dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum
dilakukan operasi Kasai (Karpen, 2004).
2. Kolestasis intrahepatik
a. Saluran Empedu
Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan
(b) Disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara embriologis saluran empedu
intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran empedu ekstrahepatik
(foregut) maka kelainan saluran empedu dapat mengenai hanya saluran
intrahepatik atau hanya saluran ekstrahepatik saja (Karpen, 2004).
Beberapa kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan hepatik
fibrosis kongenital, tidak mengenai saluran ekstrahepatik. Kelainan yang
disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, Caroli’s disease
mengenai kedua bagian saluran intra dan ekstra-hepatik. Karena primer tidak
menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi
hepatoseluler. Serum transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas
normal. Serum alkali fosfatase dan GGT akan meningkat. Apabila proses
berlanjut terus dan mengenai saluran empedu yang besar dapat timbul ikterus,
hepatomegali, hepatosplenomegali, dan tanda-tanda hipertensi portal (Karpen,
2004).
Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat
neonatal dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik.
Dinamakan paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract.
Contoh dari sindromik adalah sindrom Alagille, suatu kelainan autosomal
dominan disebabkan haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1. Sindroma ini
ditemukan pada tahun 1975 merupakan penyakit multi organ pada mata
(posterior embryotoxin), tulang belakang (butterfly vertebrae), kardiovaskuler
(stenosis katup pulmonal), dan muka yang spesifik (triangular facial yaitu
frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu yang sempit) (Karpen, 2004).
Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai gejala
organ lain. Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing
kolangitis neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang
menyebabkan kerusakan pada saluran empedu (Karpen, 2004).
b. Kelainan hepatosit
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan
pembentukan dan aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan
asam empedu yang sedikit, fungsi transport masih prematur, dan kemampuan
sintesa asam empedu yang rendah sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi
merupakan penyebab utama yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada sepsis
misalnya kolestasis merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap sitokin
yang dihasilkan pada sepsis (Robert, 2002).
Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari
neonatal hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh kelainan
genetik, endokrin, metabolik, dan infeksi intra-uterin. Mempunyai gambaran
histologis yang serupa yaitu adanya pembentukan multinucleated giant cell
dengan gangguan lobuler dan serbukan sel radang, disertai timbunan trombus
empedu pada hepatosit dan kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya
tidak dipakai sebagai diagnosa akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus,
bakteri, parasit, gangguan metabolik tidak dapat ditemukan (Robert,
2002;Karpen, 2005)

3.4 Manifestasi Klinis


Tanpa memandang etiologinya yang sangat beragam, sindrom klinik
yang timbul akibat kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis
neonatal, maupun kolestasis intrahepatik pada anak berawal dari gejala ikterus,
urin berwarna lebih gelap, dan tinja mungkin berwarna lebih pucat atau
fluktuatif sampai dempul (akholik) tergantung pola minum/makan, lamanya
kolestasis berlangsung, serta luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi.
Urin yang lebih gelap ini pada bayi mungkin tidak terlampau nyata
karena volume urine yang relatif banyak. Ikterus pada bayi biasanya merupakan
ikterus fisiologis yang melanjut, dan pada sebagian kecil timbul pada umur 5-8
minggu, bahkan pada beberapa kasus timbul pada umur bayi yang lebih lanjut.
Pada sindrom hepatitis neonatal, penderita mungkin kecil untuk masa kehamilan
terutama pada sindrom Alagille, kelainan metabolik serta infeksi intrauterin,
mungkin mengalami gagal tumbuh dan kesukaran minum. Mungkin pula terlihat
rupa dismorfik pada trisomi 18, 21, sindrom Alagille, sindrom Zellweger
(sindrom serebrohepatorenal) atau infeksi kongenital.
Hipoglikemia dapat ditemukan pada penyakit metabolik,
hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat. Ascites jarang ditemukan kecuali
pada penyakit metabolik. Bising jantung dan kelainan neurologis dihubungkan
dengan sindrom kongenital yang spesifik. Perdarahan mungkin ditemukan
akibat defisiensi vitamin K atau trombositopenia. Gejala klinik serta manifestasi
laboratoris lainnya adalah gejala klinik serta kelainan laboratoris penyakit yang
menjadi penyebab kolestasis tersebut serta tergantung pula pada lamanya
kolestasis berlangsung, dan juga luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Pada
pemeriksaan fisik biasanya ditemukan hepatomegali dan pada 40%-60% kasus
juga ditemukan splenomegaly (Bisanto dkk, 2004; IDAI,2009).

3.5 Diagnosis
Diagnosis kolestasis dibuat berdasarkan:
1. Gejala klinik
Dari anamnesis mungkin terdapat riwayat kolestasis pada saudara
kandung, bila penyebabnya kelainan genetik atau metabolik. Demikian pula
mengenai riwayat morbiditas selama kehamilan (infeksi TORCH, hepatitis B
serta infeksi lainnya) dan riwayat kelahiran (adanya infeksi intrapartum, berat
lahir), morbiditas perinatal, riwayat pemberian nutrisi parenteral, tranfusi serta
penggunaan obat hepatotoksik yang mungkin ada bila keadaan tersebut
merupakan penyebab kolestasis pada bayi tersebut. Gejala muntah dan riwayat
hipoglikemia, mungkin ada bila penyebabnya sepsis, galaktosemia, intoleransi
fruktosa atau tirosinemia. Keadaan umum penderita kolestasis pada bayi
biasanya tampak sakit berat terutama akibat infeksi kongenital dan mungkin
disertai dengan kelainan non hepatik lain seperti katarak, kalsifikasi intrakranial,
wajah dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal lainnya (Ndraha,2013;
Whitington,2003).

2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus
- Kadar bilirubin direk darah meningkat >1,5 mg/dl tanpa peningkatan
kadar bilirubin indirek atau peningkatan >15% bilirubin total. Dalam urin
ditemukan bilirubin.
- Aminotransferase serum seringkali meningkat 2-4 x nilai normal; bila
lebih tinggi memberi petunjuk adanya proses infeksi. ALT dan AST merupakan
tes yang paling sering dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan
hepatoseluler karena tes ini spesifik untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatosit,
akan tetapi tidak spesifik.
- Dibandingkan dengan ALT, AST lebih spesifik untuk mendeteksi
adanya penyakit hati karena kadar di jaringan lain relatif lebih rendah
dibandingkan kadar di hati.
- Fosfatase alkali mungkin normal atau agak meningkat. Bila kadarnya
lebih tinggi, lebih mengarah pada atresia biliaris atau ricketsia. Peningkatan
abnormal enzim ini tidak dapat membedakan kolestasis ekstrahepatik dengan
intrahepatik.
- Gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) mungkin meningkat. GGT
merupakan enzim yang dapat ditemukan pada epitel duktuli biliaris dan
hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada pankreas, lien, otak, mammae
dan intestinum dengan kadar tertinggi pada tubulus renal. Karena enzim ini
dapat ditemukan pada banyak jaringan, peningkatannya tidak spesifik
mengindikasikan adanya penyakit hati. Bila fosfatase alkali tinggi dan GGT
rendah (<100 U/l), mungkin suatu kolestasis familial progresif Byler atau
gangguan sintesis garam empedu.
- Albumin biasanya masih normal pada awal perjalanan penyakit, tetapi
akan menjadi rendah bila kelainan hati sudah berlanjut atau pada penyakit
prenatal yang berat. Albumin merupakan protein utama serum yang hanya
disintesis di reticulum endoplasma hepatosit dengan half life dalam serum
sekitar 20 hari. Fungsi utamanya adalah untuk mempertahankan tekanan koloid
osmotic intravascular dan sebagai pembawa (carrier) berbagai komponen dalam
serum, termasuk bilirubin, ion-ion inorganic (contohnya kalsium), serta obat-
obatan. Penurunan kadar albumin serum dapat disebabkan karena penurunan
produksi akibat penyakit parenkim hati. Kadar albumin serum sering digunakan
sebagai indicator utama kapasitas sintesis yang masih tersisa pada penyakit hati.
Karena albumin memiliki half life yang panjang, kadar albumin serum yang
rendah sering digunakan sebagai indikator adanya penyakit hati kronis.
- Masa protrombin biasanya normal tetapi mungkin memanjang yang
dapat dikoreksi dengan vitamin K parenteral, kecuali bila telah terjadi gagal hati.
- Kolesterol biasanya masih dalam batas normal pada 4 bulan pertama.
Hati merupakan tempat sintesis dan metabolism utama lipid dan lipoprotein
sehingga apabila terdapat gangguan pada hati akan terjadi abnormalitas kadar
lipid dan lipoprotein serum serta munculnya lipoprotein yang normalnya tidak
ada pada individu sehat (contohnya Lipoprotein X).
- Bila ditemukan hipoglikemia harus dicurigai adanya kelainan
metabolik, endokrin atau kelainan hati lanjut.
- Dengan pemeriksaan khusus yaitu spektrometri terhadap urin penderita,
dapat dideteksi kelainan metabolisme asam empedu seperti defisiensi 3- -
hidroksisteroid dehidrogenase/ isomerase yang bermanifestasi sebagai penyakit
hati yang berat.
- Pemeriksaan khusus serologis untuk mendeteksi infeksi toksoplasma,
rubella, cytomegalovirus dan herpes (TORCH), hepatitis B (pemeriksaan pada
bayi dan ibu), kultur darah dan urin, serta kadar -1-antitripsin dan fenotipenya
sebaiknya dikerjakan.
- Untuk pemeriksaan khusus lainnya seperti hormon tiroid, asam amino
dalam serum dan urin, zat reduktor di urin, galaktose-1 fosfat uridil transferase,
uji klorida keringat dan pemeriksaan kromosom dilakukan atas indikasi, yaitu
bila ada gejala klinik lainnya yang mendukung ke arah penyakit-penyakit
tersebut.
- Kelainan oftalmologis yang berupa korioretinitis mungkin ditemukan
pada infeksi cytomegalovirus, toksoplasmosis dan rubella, embriotokson
posterior pada sindrom Alagille, dan katarak pada galaktosemia atau cherryed
spot pada lipid storage disease IDAI,2009; Vennigala, 2005).

Pencitraan
- Ultrasonografi: dilakukan setelah penderita dipuasakan minimal 4 jam
dan diulang kembali setelah bayi minum (sebaiknya dikerjakan pada semua
penderita kolestasis, karena tekniknya sederhana, relatif tidak mahal, noninvasif,
serta tanpa sedasi). Pada kolestasis intrahepatik, kandung empedu terlihat waktu
puasa dan mengecil pada ulangan pemeriksaan sesudah bayi minum. Akurasi
diagnostik pemeriksaan ultrasonografi ini untuk kasus kolestasis hanya 80%.
USG dapat menunjukkan ukuran dan keadaan hati dan kandung empedu,
mendeteksi adanya obstruksi pada system bilier oleh batu maupun endapan,
ascites, dan menentukan adanya dilatasi obstruktif atau kistik pada system bilier.
Pada saat puasa, kandung empedu bayi normal pada umumnya akan terisi cairan
empedu sehingga akan dengan mudah dilihat dengan USG. Setelah diberi
minum, kandung empedu akan berkontraksi sehingga ukuran kandung empedu
akan mengecil. Pada atresia biliaris, saat puasa kandung empedu dapat tidak
terlihat. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya gangguan patensi duktus
hepatikus dan duktus hepatis komunis sehingga terjadi gangguan aliran empedu
dari hati ke saluran empedu ekstrahepatik. Pada keadaan ini, USG setelah
minum tidak diperlukan lagi (Suchy,2001; IDAI,2009).
- Skintigrafi pada kolestasis intrahepatik (hepatoselular) menunjukkan
ambilan kontras oleh hati yang terlambat tetapi ada ekskresi ke dalam usus. Dua
hal yang harus dicatat pada pemeriksaan skintigrafi adalah realibilitas yang
berkurang bila kadar bilirubin direk sangat tinggi (>20 mg/dl) dan false positive
dan negatifnya sebesar 10%. Karena pemeriksaan ini memakan waktu yang
banyak, maka tidak banyak para ahli yang menggunakannya pada evaluasi
diagnostik kolestasis (IDAI,2009).

Biopsi hati
Biopsi hati dianggap sebagai cara yang paling dapat dipercaya untuk
membuat diagnosis bayi dengan kolestasis. Akurasi diagnosis mencapai 95%-
96,8% bila dibaca oleh ahli patologi yang berpengalaman (Arce,2000). Pada
hasil biopsi yang representatif, paling sedikit harus dapat diperlihatkan 5 portal
tracts. Gambaran histopatologis hepatitis neonatal adalah perubahan arsitektur
lobulus yang mencolok, nekrosis hepatoselular fokal, pembentukan pseudoroset,
ada giant cells dengan balloning pada sitoplasma. Disamping itu, pada
kolestasis intrahepatik ini, lebih banyak terlihat fokus hematopoesis
ekstramoduler, deposit hemosiderin pada sel hati dan sel Kupffer, inflamasi
intralobular dan hiperplasia sel Kupffer. Selanjutnya ahli patologi dapat pula
menentukan apakah ada penyakit Wilson, glycogen storage disease, neonatal
iron storage diseases, fibrosis hati kongenital maupun defisiensi -1-
antitripsin.12 Adakalanya diperlukan biopsi ulang untuk mendapatkan informasi
mengenai dinamika penyakitnya yang dapat menolong memastikan diagnosis
(Whitington,2003).
3.7 Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana kolestasis intrahepatik adalah (IDAI,2009; Ndraha,2003):
1. Memperbaiki aliran empedu dengan cara:
a. Mengobati etiologi kolestasis dengan medikamentosa pada kolestasis
hepatoselular yang dapat diobati.
b. Menstimulasi aliran empedu dengan :
- Fenobarbital: bermanfaat sebagai antipruritus dan dapat mengurangi
kuning. Mekanisme kerjanya yaitu meningkatkan aliran empedu dengan cara
menginduksi enzim UDP-glukuronil transferase, sitokrom P-450 dan
Na+K+ATP-ase. Tetapi pada bayi jarang dipakai karena efek sedasinya dan
mengganggu metabolisme beberapa obat diantaranya vitamin D, sehingga dapat
mengeksaserbasi ricketsia.
Dosis: 3-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis.
- Asam ursodeoksikolat: asam empedu tersier yang mempunyai sifat
lebih hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu
primer serta sekunder sehingga merupakan competitive binding terhadap asam
empedu toksik. Selain itu asam ursodeoksikolat ini merupakan suplemen
empedu untuk absorpsi lemak. Khasiat lainnya adalah sebagai hepatoprotektor
karena antara lain dapat menstabilkan dan melindungi membran sel hati serta
sebagai bile flow inducer karena meningkatkan regulasi sintesis dan aktivitas
transporter pada membran sel hati.
Dosis: 10-20 mg/kgBB/hari. Efek samping : diare, hepatotoksik.
- Kolestiramin dapat menyerap asam empedu yang toksik sehingga juga
akan menghilangkan gatal. Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen
usus sehingga dapat menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta
meningkatkan ekskresinya. Selain itu, kolestiramin dapat menurunkan umpan
balik negative ke hati, memacu konversi kolesterol menjadi bile acids like cholic
acid yang berperan sebagai koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan pada
manajemen jangka panjang kolestasis intrahepatal dan hiperkolesterolemia.
Dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari. Efek samping: konstipasi, steatorrhea, asidosis
metabolik hiperkloremik.
- Rifampisin: dapat meningkatkan aktivitas mikrosom serta
menghambat ambilan asam empedu oleh sel hati dan mengubah
metabolismenya, sehingga dapat menghilangkan gatal pada 50% kasus. Efek
sampingnya adalah trombositopenia dan hepatotoksisitas yang terjadi pada 5%-
10% kasus.
Dosis: 5 -10 mg/kgBB/hari.
2. Nutrisi
Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari
kolestasis (terjadi pada lebih dari 60% pasien). Steatorrhea sering terjadi pada
bayi dengan kolestasis. Penurunan ekskresi asam empedu menyebabkan
gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai
panjang. Maka pada bayi dengan kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi
dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan. Karena itu untuk menjaga
tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi digunakan
formula spesial dengan jumlah kalori 120%-150% dari kebutuhan normal serta
vitamin, mineral dan trace element:
a. Formula MCT (medium chain triglyceride) karena relatif lebih larut dalam air
sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk absorpsi dan menghindarkan
makanan yang banyak mengandung cuprum (tembaga).
b. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 125% kebutuhan bayi normal
sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein :2-3 gr/kgBB/ hari.
c. Vitamin yang larut dalam lemak:
- A : 5000-25000 U/hari
- D3 : Calcitriol: 0,05 –0,2 ug/kgBB/hari
- E : 25-50 IU/kgBB/hari
- K : Kl 2,5-5 mg/2-7x/minggu
d. Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.
3. Terapi komplikasi yang sudah terjadi misalnya
hiperlipidema/xantelasma dengan kolestipol dan pada gagal hati serta pruritus
yang tidak teratasi adalah transplantasi hati.
4. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama untuk
penderita dengan kelainan hati yang progresif yang memerlukan transplantasi
hati.
3.7 Prognosis
Tergantung penyakit dasar, prognosis umumnya baik yaitu 60% sembuh
pada kasus sindrom hepatitis neonatal yang sporadik, sementara pada kasus
yang bersifat familial, prognosisnya buruk (60% meninggal). Prognosis hepatitis
neonatal idiopatik biasanya baik dengan mortalitas sebesar 13%-25%. Prediktor
untuk prognosis yang buruk adalah: kuning hebat yang berlangsung lebih dari 6
bulan, tinja dempul, riwayat penyakit dalam keluarga, hepatomegali persisten
dan terdapatnya inflamasi hebat pada hasil biopsi hati (IDAI,2009).
BAB 3
KESIMPULAN

Kolestasis adalah sindrom klinik yang timbul akibat hambatan sekresi dan/atau
aliran empedu yang terjadi di dalam hati. Keadaan ini mengakibatkan akumulasi,
retensi, serta regurgitasi bahan-bahan yang merupakan komponen empedu seperti
bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma dan selanjutnya pada
pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di dalam sel hati dan
sistem biliaris di dalam hati.
Kolestasis dibedakan menjadi kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik.
Kolestasis intrahepatik terjadi akibat defek fungsional hepatoselular atau lesi obstruktif
traktus bilier intrahepatik.
Sindrom klinik yang timbul akibat kolestasis intrahepatik pada bayi atau
sindrom hepatitis neonatal, maupun kolestasis intrahepatik pada anak berawal dari
gejala ikterus, urin berwarna lebih gelap, dan tinja mungkin berwarna lebih pucat atau
fluktuatif sampai dempul (akholik) tergantung pola minum/makan, lamanya kolestasis
berlangsung, serta luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi.
Prognosisnya tergantung penyakit dasar, prognosis umumnya baik yaitu 60%
sembuh pada kasus sindrom hepatitis neonatal yang sporadik, sementara pada kasus
yang bersifat familial, prognosisnya buruk (60% meninggal).
DAFTAR PUSTAKA

Soedarto. (2010). Cytomeglovirus, Virologi Klinik. Jakarta: Sagung Seto.


Tortora GJ, Funke BR, Case CL. (2010). Cytomegalovirus Infections, In: Berriman L,
editor. Microbiology An Introduction,10 th ed. San Fransisco: Pearson
Education Inc.
IDAI. (2009).Buku Ajar Gastroenterologi-hepatologi.
Pratama, BJ. (2018). Infeksi Cytomegalovirus Kongenital. Jurnal Kesehatan Melayu
Kim CS. (2010). Congenital and perinatal cytomegalovirus infection. Korean Journal
Pediatric
Sari WP, Hapsari, Hadi P, Farida H. (2014). Hubungan abnormalitas hasil CT-scan
dengan developmental delayed pada pasien suspek infeksi Cytomegalovirus
kongenital. Medika Media Muka.
Akhter K, Wilss TS. Cytomegalovirus. Available from :
emedicine.medscape.com/article/215702
Bisanto J, Jong DM, Oswari H, Purnamawati SP. (2004). Gambaran kolestasis pada
bayi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Abstrak PIT IKA II,
IDAI, Batam
Venigalla S, Gourley GR. (2005 ). Neonatal Cholestasis. J Ar Neonat For.
Whitington P, Emerick KM. Cholestasis. eMed J, April 11,2003. Diunduh dari
http://www. emedicine.com/ped/topic 383.htm
Suchy FJ .( 2001). Approach to the infant with cholestasis. Dalam: Suchy FJ,Sokol RJ,
Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia:
Lippincott Williams Wilkins.
Roberts EA. The jaundiced baby. In: Deirdre A Kelly. Disease of the liver and biliary
system 2nd Ed. Blackwell Publishing 2004, 35-73.
A-Kader HH, Balisteri WF. Neonatal cholestasis. In: Behrman, Kliegman, Jenson.
Nelson Textbook of Pediatrics 17th Ed. Saunders, 2004;1314-19.
Karpen SJ. Update on the etiologies and management of neonatal cholestasis. Clin
Perinatol. 2004;29:159-80.

Anda mungkin juga menyukai