Anda di halaman 1dari 81

JANGAN LUPA BERDO’A, BIAR ILMUNYA BERKAH

RESUME PBL KLINIS


BLOK HOSPITAL
SELAMAT BELAJAR

KASUS 1
Ca-Mammae

AP
Pasien PR (45 th), mengunjungi unit operasi dengan nyeri moderat dan memiliki
pembengkakan di payudara kanan. Uji lab. 3 bulan lalu menunjukkan bahwa pasien
mengalami Ca mammae dextra stadium II. Neneknya meninggal karena Ca mammae.
Rencana terapi:
4 siklus AC (Doxorubicin dan Cyclofosfamide)
4 siklus TH ( Trastuzumab dan Docletaxel)
Setelah kemoterapi pertama, pasien mengalami kelelahan, mual dan konstipasi sejak
hari pertama. Pengobatan: dexamethason 20 mg, Tropisetron 5 mg dan Tramadol 100
mg.

Patofisiologi

Zat karsinogen (radiasi, zat kimia, virus)

Sel normal (kelenjar mammae)


MCF-7
DNA repair

NF-KB

Sel tumor HER2 >>>


EGFR >>>

Proliferasi

Metastasis
Etiologi
1. Oncogen
2. Estrogen meningkat
3. Mutasi gen

Faktor Risiko
•Kurang aktivitas fisik
•Diet kurang sehat Genetik
•Obesitas
•Konsumsi alkohol
•Radiasi
•Kombinasi HRT

Lingkungan
dan life-style
Standar Terapi
Menurut Normal Comprehensive Cancer Network (NCCN) Tahun 2016:
1. Operasi
Tujuan :
- Mengurangi nyeri dan gejala
- Mengurangi ukuran tumor
- Mengangkat tumor

2. Kemoterapi
Diberikan sebelum operasi atau setelah operasi

3. Radiasi
- Merusak sel kanker dengan radiasi
- Target perusakan : sel DNA
- Membunuh sel kanker & menghentikan sel kanker baru
- Biasanya diberikan setelah kemoterapi selesai

4. Terapi endokrin
- Menghentikan pertumbuhan sel kanker yang disebabkan oleh pengaruh
hormon (estrogen dan progesteron).
- Mencegah kembalinya kanker setelah operasi.
- Hanya untuk kanker dg hormon-reseptor positif.
- Dimulai setelah kemoterapi selesai.
- Bisa dimulai selama atau setelah radioterapi
- Diberikan setelah operasi.

Macam – macam obat:


a. Antiestrogen
Mx: menghentikan efek estrogen pada pertumbuhan sel kanker. Dapat digunakan
antara pre-menopause & post-menopause.
Ex: tamoxifen
b. Aromatase inhibitor
Mx: menurunkan kadar estrogen dalam tubuh dg cara memblok protein yang
membuat estrogen pada wanita post-menopouse.
Ex: anaztrozole, letrozole, exemestane.
c. Ovarian suppression (agonist LHRH)
Mx: menurunkan kadar estrogen dalam tubuh pada wanita post-menopouse dg cara
menghentikan ovarium membentuk estrogen berlebih.
Ex: Gosereline, leuprolide.
d. Ovarian ablatation
Mx: menghentikan ovarium dalam membuat estrogen pd wanita pre-menopause.
Tambahan Antiemesis
Terapi Non Farmakologi
1. Healthy lifestyle
- Aktivitas fisik rutin
- Menjaga BB ideal
- Makan makanan sehat
- Menghindari konsumsi alkohol
PC
Seorang pasien wanita 45 th datang ke bagian operasi dengan mengalami nyeri
moderate dan terdapat benjolan pada payudara sebelah kanan. Uji lab 3 bulan lalu
menunjukkan bahwa pasien mengalami Ca mamae dextra stadium II. Ibunya
meninggal juga disebabkan karena Ca mamae.
Rencana terapi :
4 siklus AC (Doxorubicin dan Cyclofosfamid)
4 siklus TH (Trastuzumab dan Docetaxel)
Setelah kemoterapi pertama, pasien mengalami lelah, mual dan konstipasi sejak hari
pertama. obatnya adalah dexamethason 20 mg, Tropisetron 5 mg, Tramadol 100 mg.
Data lab Sekarang Normal
Hb 12,6 g/dL 12-14 g/dl
Erytrocyte 4,49 juta 4,0-5,0 juta
Hematocrit 39,6 SI (%) 36-47%
3
Leukocyte 5510 mm 5000-10000 mm3
Trombosit 257000 150000-400000
Scr 0,7 mg/dl 0,6-1,3 mg/dl
BUN 11 mg/dl 8-20 mg/dl
asam urat 5,1 mg/dl 3,4-7,0 mg/dl
AST /SGOT 34 u/L <45 u/L
ALT /SGPT 67 u/L <35 u/L

Tindakan : Rencana kemoterapi


 4 siklus AC (Doxorubicin dan Cyclofosfamid)
 4 siklus TH (Trastuzumab dan Docetaxel)
Rencana premedikasi :
- Dexamethason 4 ampul
- Tropisetron 1 mg
- NaCl infus

RENCANA PC
Problem Klinis Indikasi Obat Pengobatan, dosis, rute, frekuensi,
jadwal

4 siklus AC
Doxorubicin 60 mg/m2  97.98 mg iv
Cyclofosfamid 600 mg/m2  979,8
mg diberikan i.v
Pasien Ca mamae Hari pertama setiap 3 minggu.
stadium II 4 siklus T, kemudian H
Membunuh dan
BB : 60 Kg. Docetaxel 100 mg/m2  163,3 mg
menghentikan
TB: 160 cm diberikan i.v setiap 3 minggu.
pertumbuhan sel kanker
LP = √(𝑻𝑩 × 𝑩𝑩)/3600 Trastuzumab 4 mg/kg (240 mg) iv
2 selama 90 menit pada mgu pertama,
LP : 1,63 m
kemudian 2 mg/kg (120 mg) selama 30
menit i.v slm 11 mgu, selanjutnya 6
mg/kg (360 mg) setiap 3 mgu hingga
tercapai 1 thn terapi dgn trastuzumab.
Tramadol 1 x sehari 100 mg
Nyeri kanker Mengatasi nyeri

Dexamethason inj i.v 12 mg 1x1


Mual muntah setelah Tropisetron inj i.v 5 mg 1x1
Mengatasi mual muntah
kemo pertama (akut)

Banyak konsumsi serat Banyak konsumsi serat dan air putih


dan air putih. Jika belum
Sembelit
membaik, disarankan
konsumsi microlax
Filgastrim 5 mcg/kg/hari (300
Leukopenia/neutropeni Mengatasi myelosuppresi
mcg/hari)
a krn kemo (leukopeni/neutropeni)
iv/sc

MONITORING EFEK TERAPI


Parameter Normal Frekuensi
Nama obat Monitoring Monitoring Rekomendasi

Nyeri, ukuran Kanker


Doxorubicin kanker berkurang hilang
/ Tidak ada sel Setelah
kanker yang selesai 4
Cyclofosfamid terdeteksi siklus Cek
perkembangan
sel kanker
Trastuzumab
Setelah
selesai 4
Docetaxel siklus
Frekuensi mual Tidak
Dexamethason muntah terjadi Setelah Cek frekuensi
mual kemoterapi mual muntah
Tropisetron muntah

Ukur skala
Tramadol Skala nyeri VAS 1 Setiap hari
nyeri
AL dan ANC ANC: Hindari
1500- pencetus
ketika akan
Filgastrim 8000/mm3 infeksi
kemo
AL >
5000 mm3

MONITORING EFEK SAMPING


Obat Parameter Nilai Frekuensi Rekomendasi
Monitoring Normal Monitorin
g

Doxorubicin Cardiomyopaty ANC: Setelah - Cek fungsi


Neutropenia, 1500- kemoterapi jantung
anemia, mual, 8000/mm - Menjaga
3
lelah kebersihan,
AL = hindari
5000- kontak
1000 mm3 dengan
Hb = 12- orang
Cyclofosfamid Myelosupressio 15 g/dl mengalami
n Trombosi penyakit
t 150rb- infeksi
400rb - Hindari
Trastuzumab Cardiomyopaty, VAS pemicu luka
Nyeri, demam, berkurang - Menjaga
muntah T = 370C aktrivitas
yang tdk
terlalu berat
Docetaxel Alopecia, sda
- Gunakan
anemia,
baby
leukopenia,
shampo dan
neutropenia,
sisir jarang
(alopecia)
Dexamethaso Gangguan - Setelah Perbanyak konsumsi
n gastrointestinal, kemoterapi serat dan air putih,
moon face Hindari makanan
asam, pedas,
Tropisetron Konstipasi, BAB berlemak
nyeri abdomen, normal
nyeri kepala

Tramadol Konstipasi, Setiap hari Tidak dianjurkan


mual, pusing, konsumsi jangka
mengantuk panjang, karena
menyebabkan
withdrawl syndrome
Perbanyak konsumsi
serat dan air putih.

Filgastrim Mual, muntah Tidak Ketika akan


terjadi kemo
mual
muntah

EDUKASI
- Latihan fisik ringan, yoga
- Hindari pemicu infeksi/luka
- Perbanyak konsumsi makanan berserat dan air putih
KASUS 2
Pasien berusia 60 tahun (BB 70kg) mengunjungi dokter penyakit dalam karena sulit
berjalan dan sakit saat berjalan. Ada luka di kaki kanannya yang semakin lebar, sejak
1 bulan yang lalu. Ia mendapat pengobatan DM yaitu metformin dan glibenklamid
sejak 6 tahun yang lalu. Pada 6 bulan terakhir, pasien tidak patuh dengan obatnya
karena sering lupa. Dokter menyarankannya untuk dirawat di rumah sakit. Obat-
obatannya adalah injeksi novomix, CD herbal, valsartan 160mg, ciprofloxacin
500mg, klindamisin 300mg, dan tramadol 100mg.
Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg atau
bila pasien menggunakan obat hipertensi.
(Priyanto, 2009 : 183)
Diabetes mellitus adalah sekumpulan dari gangguan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemi dan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Priyanto,
2009:157).

Etiologi Hipertensi
- Hipertensi primer : > 90 pasien hipertensi esensial disebabkan oleh faktor
genetik (keturunan)
- Hipertensi sekunder :
• Hipertensi sekunder dari penyakit komorbid/obat-obatan
• Penyakit ginjal kronis, hiperaldosteron primer, penyakit renovaskuler,
tiroid/paratiroid
• Kortikosteroid, ACTH, Estrogen, NSAID, PPA, Antidepresan(terutama
Vabroxyn).

Diabetes Mellitus
1. DM tipe 1 (Insulin dependent/DM tergantung insulin)
 Faktor imunologi
Terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau langerhans yang disebabkan oleh
reaksi otoimun.
 Disebab kan oleh virus diantaranya virus Cocksakie, rubella, Cmvirus,
herpes dll
2. DM tipe 2 (Non-insulin dependent/tidak tergantung insulin)
 Faktor genetik
 Pengaruh lingkungan seperti obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat
serta kurang gerak badan (aktivitas).
(Binfar, 2005)
Faktor Resiko Hipertensi
Dapat dimodifikasi :
 Kebiasaan merokok
 Konsumsi garam
 Konsumsi lemak jenuh
 Konsumsi minuman beralkohol
 Obesitas
 Kurang aktivitas
 Stress
 Penggunaan estrogen
Tidak dapat dimodifikasi
 Umur
 Jeniskelamin
 Riwayatkeluarga
 Genetik
Ulkus diabetes adalah suatu luka terbuka pada lapisan kulit sampai ke dalam dermis,
yang biasanya terjadi di telapak kaki. Separo lebih amputasi non trauma merupakan
akibat dari komplikasi ulkus diabetes. Luka kaki diabetes disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu neuropati, trauma, deformitas kaki, tekanan tinggi pada telapak kaki dan
penyakit vaskuler perifer. Pemeriksaan dan klasifikasi ulkus diabetes yang
menyeluruh dan sistematik dapat membantu memberikan dan arahan perawatan yang
adekuat.
Dasar dari perawatan ulkus diabetes meliputi 3 hal yaitu debridement,offloading, dan
kontrol infeksi. Ulkus kaki pada pasien diabetes harus mendapatkan perawatan
karena ada beberapa alasan, misalnya unfuk mengurangi resiko infeksi dan amputasi,
memperbaiki fungsi dan kualitas hidup, dan mengurangi biaya pemeliharaan
kesehatan. Tujuan utama perawatan ulkus diabetes sesegera mungkin didapatkan
kesembuhan dan pencegahan kekambuhan setelah proses penyembuhan.
Teori yang mendasari perawatan luka dengan suasana lembap antara lain : a.
Mempercepat fibrinolisis. Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dihilangkan
lebih cepat oleh neutrofil dan sel endotel dalam suasana lembab. b. Mempercepat
angiogenesis. Keadaan hipoksia pada perawatan luka tertutup akan merangsang
pembentukan pembuluh darah lebih cepat. c. Menurunkan risiko infeksi; kejadian
infeksi ternyata relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan perawatan kering. d.
Mempercepat pembentukan growth factor. Growth factor berperan pada proses
penyembuhan luka untuk membentuk stratum korneum dan angiogenesis. e.
Mempercepat pembentukan sel aktif. Pada keadaan lembap, invasi neutrofil yang
diikuti oleh makrofag, monosit, dan limfosit ke daerah luka berlangsung lebih dini.
PATOFISIOLOGI
Neuropati Perifer Neuropati perifer pada diabetes adalah multifaktorial dan
diperkirakan merupakan akibat penyakit vaskuler yang menutupi vasa nervorum,
disfungsi endotel, defisiensi mioinositol-perubahan sintesis mielin dan menurunnya
aktivitas Na-K ATPase, hiperosmolaritas kronis, menyebabkan edema pada saraf
tubuh serta pengaruh peningkatan sorbitol dan fruktose. 2 Neuropati disebabkan
karena peningkatan gula darah yang lama sehingga menyebabkan kelainan vaskuler
dan metabolik. Peningkatan kadar sorbitol intraseluler, menyebabkan saraf
membengkak dan terganggu fungsinya. Penurunan kadar insulin sejalan dengan
perubahan kadar peptida neurotropik, perubahan metabolisme lemak, stres oksidatif,
perubahan kadar bahan vasoaktif seperti nitrit oxide mempengaruhi fungsi dan
perbaikan saraf. Kadar glukosa yang tidak teregulasi meningkatkan kadar advanced
glycosylated end product (AGE) yang terlihat pada molekul kolagen yang
mengeraskan ruangan-ruangan yang sempit pada ekstremitas superior dan inferior
(carpal, cubital, dan tarsal tunnel). Kombinasi antara pembengkakan saraf yang
disebabkan berbagai mekanisme dan penyempitan kompartemen karena glikosilasi
kolagen menyebabkan double crush syndrome dimana dapat menimbulkan kelainan
fungsi saraf motorik, sensorik dan autonomik. 8 Perubahan neuropati yang telah
diamati pada kaki diabetik merupakan akibat langsung dari kelainan pada sistem
persarafan motorik, sensorik dan autonomik. Hilangnya fungsi sudomotor pada
neuropati otonomik menyebabkan anhidrosis dan hiperkeratosis. Kulit yang terbuka
akan mengakibatkan masuknya bakteri dan menimbulkan infeksi. Berkurangnya
sensibilitas kulit pada penonjolan tulang dan sela-sela jari sering menghambat deteksi
dari luka-luka kecil pada kaki. 5 Neuropati autonomik mengakibatkan 2 hal yaitu
anhidrosis dan pembukaan arteriovenous (AV) shunt. Neuropati motorik paling
sering mempengaruhi otot intrinsik kaki sebagai akibat dari tekanan saraf plantaris
medialis dan lateralis pada masing-masing lubangnya (tunnel)
KASUS 3
A 58 yo male patient in the emergency room of a hospital has hematemesis,
bloody stool and loss of appetite. Patient had a story of hepatitis B due to the
drug abused and used antiviral for that. Current diagnosis is cirrhosis.
Medication were Nexium, Vitamin K, Inpepsa, Kalnex, Metoclopramid,
Spironolacton, Propanolol, Ceftriaxon inj. and Lactulosa
Sirosis adalah hasil akhir dari rusaknya hepatosit yang ditandai dengan rusaknya
struktur normal hati akibat terbentuknya jaringan ikat dan nodul
Patofisiologi sirosis

Gejala Klinik dan Data Laboratorium

Etiologi Sirosis (Menurut: Sease et al, 2008) :


Konsumsi alkohol jangka panjang
Penyakit liver metabolik (hemokromatosis, wilson disease, nonalcoholic
steatohepatitis atau “fatty liver”)
Penyakit liver kolestasis
Hepatitis kronis yang disebabkan oleh virus (tipe B, C, dan D)
Obat-obatan dan bahan alam (Isoniazid, metildopa, methotrexate, estrogen,
anabolik steroid, Jamaican bush tea)
Penyebabnya beraneka ragam namun mayoritas merupakan penderita penyakit hati
kronis yang disebabkan oleh virus (hepatitis), perlemakan hati (steatohepatitis) yang
berkaitan dengan kebiasaan minum alkohol maupun obesitas.
Sirosis hepatis seringkali muncul tanpa gejala dan ditemukan saat pemeriksaan rutin.
Tujuan terapi
Sirosis tidak dapat disembuhkan.
Terapi pada penderita sirosis hepatis bertujuan untuk mengurangi progresifitas
penyakit berupa menghindarkan kerusakan hati lebih lanjut, pencegahan, dan
penanganan komplikasi.
Terapi Non-Farmakologi
1. Diet yang seimbang, jumlah kalori yang dibutuhkan sesuai dengan tinggi badan,
berat badan, dan aktivitas
2. Menghindari minuman beralkohol
3. Perbaikan lifestyle (olahraga teratur),
4. Istirahat yang cukup
5. Menjalankan pola hidup yang teratur dan
6. Berkonsultasi dengan petugas kesehatan.
Tujuan terapi diet pada pasien penderita penyakit hati adalah:
1. Menghindari kerusakan hati yang permanen;
2. Meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan hati dengan keluarnya protein yang
memadai;
3. Memperhatikan simpanan nutrisi dalam tubuh;
4. Mengurangi gejala ketidaknyamanan yang diakibatkan penyakit ini; dan pada
penderita sirosis hati: Mencegah komplikasi asites, varises esofagus dan
ensefalopati hepatik yang berlanjut ke komplikasi hepatik hebat
Komplikasi sirosis hati :
1. Hipertensi Portal
Patofisiologi (Sumber : AASLD Practice Guidelines)
Terapi

dosis propanolol pada 29-160 mg 2x sehari.


Sumber : pubmedpatients with acute
2. ASCITES
Patofisiologi

Etiologi
Penyabab yang paling umum dari ascites adalah penyakit hati yang telah lanjut atau
cirrhosis. Kira-kira 80% dari kasus-kasus ascites diperkirakan disebabkan oleh
cirrhosis.
Adanya penahanan garam dan air.
Beberapa penyebab-penyebab lain dari ascites berhubungan dengan gradien tekanan
yang meningkat adalah gagal jantung kongestif dan gagal ginjal kronik yang
disebabkan oleh penahanan cairan keseluruhan dalam tubuh.
Beberapa juga disebabkan karena kanker, yang disebut malignant ascites.
Tanda dan Gejala
1. Meningkatnya ukuran perut (ascites).
2. Napas pendek-pendek atau sulit bernapas (pulmonary edema).
3. Volume air kencing yang dikeluarkan sangat sedikit meskipun minum air dalam
takaran normal harian.
4. Pada tahapan yang parah, tanda-tanda edema itu dapat berupa kesulitan
bernapas, napas pendek-pendek ketika berbaring, batuk, dan tangan serta kaki
jika disentuh atau dipegang terasa dingin.
GRADE ASCITES

Sumber : Journal of Hepatology, 2010.


Terapi
Diet : Mengelola ascites pada pasien sirosis biasanya membatasi natrium asupan
makanan. Membatasi asupan natrium (garam) menjadi kurang dari 2 gram per hari.
Terapi Parasintesis : Untuk pasien yang tidak merespon dengan baik atau tidak
dapat mentolerir regimen pengobatan, terapi paracentesis (jarum ditempatkan ke
daerah perut, di bawah kondisi steril, untuk menyedot cairan di cavum peritoneal)
dapat dilakukan untuk menghilangkan sejumlah besar cairan.
Transplantasi Hati : Transplantasi hati untuk sirosis lanjut dapat dianggap sebagai
pengobatan untuk ascites akibat gagal hati.
Operasi : Transjugular intrahepatik portosystemic shunt (TIPS) adalah prosedur yang
dilakukan melalui vena jugularis interna (vena utama pada leher) dibawah pembiusan
lokal. Terkait dengan komplikasi yang signifikan seperti ensefalopati hepatik dan
bahkan kematian.
Obat

3. ensefalopati Hepatik
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada
penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan
hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan
kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya.
Derajat Ensefalopati Hepatik
Tabel Stadium Ensefalopati Hepatikum sesuai kriteria West Haven18
Patofisiologi

Standart Terapi Ensefalopati Hepatik


Tata Lakasana famakologis :
1. Firt line : Non absorbable disaccharides (lactulosa)
2. Antibiotik (neomycin, metronidazole, paromomycin dan vancomycin, tetapi
rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan antibiotik
lain)
3. L-Ornithine L-Aspartae (LOLA)
4. Probiotik
Mekanisme Kerja Obat
1. LACTULOSA
*Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan
menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin.
*Laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai
sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain
yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga
memberikan ion hidrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari
amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+).Adanya ionisasi ini menarik amonia
dari darah menuju lumen.
Dosis Lactulosa: 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3-6 bulan.
Efek samping: menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa
secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor
presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia
2. ANTIBIOTIK
Menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang
bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH,
memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase.
Antibiotik pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara
minimal. Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6
bulan. Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada
pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan
vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan antibiotik lainnya.
3. LOLA (L-Ornithine L-Aspartae)
Bekerja sebagai substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan
glutamine. LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, LOLA
meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot, sehingga menurunkan amonia di
dalam darah.7 Selain itu, LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan
EH
4. PROBIOTIK
Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH: menekan substansi untuk bakteri
patogenik usus dan meningkatkan produk akhir fermentasi yang berguna untuk
bakteri baik. Amonia juga dihasilkan oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora
usus menjadi salah satu strategi terapi EH.
4. SPONTANEOUS BACTERIAL PERITONITIS (SBP)
 Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) merupakan infeksi bakteri akut
dalam cairan peritoneal.
 Patogenesis yang tepat dari SBP tidak diketahui. Peritonitis dapat terjadi
karena pertumbuhan bakteri dari cairan asites melalui darah, getah bening
atau dinding usus.
 Pasien dengan volume ascites yang besar atau rendahnya kadar protein dapat
menjadi peningkatan risiko adanya komplikasi SBP karena rendahnya tingkat
aktivitas opsonic dalam cairan.
Cairan asites adalah media yang sangat baik untuk berbagai patogen, termasuk
Enterobacteriaceae (terutama E. coli), kelompok streptococci (enterococci),
Streptococcus pneumoniae, dan Viridans streptococci.
 Umumnya SBP disebabkan oleh bakteri gram negatif seperti: Escherichia
coli dan Klebsiella pneumoniae, sedangkan Bakteri gram positif yang
dihubung dengan SBP adalah Streptococcus pneumoniae.
Gejala dan tanda SBP antara lain : demam, hypotensi, nyeri abdomen atau
tenderness, penurunan atau tidak adanya suara peristaltik usus
Standart Terapi SBP

SEFALOSFORIN
• Sefotaksim, sefalosporin generasi ketiga, telah terbukti lebih unggul
dibanding ampisilin dan tobramycin dalam uji coba terkontrol. Sefotaksim
atau sefalosporin generasi ketiga yang lain tampaknya menjadi terapi pilihan
untuk terapi SBP.
Mekanisme dari antibiotik golongan cephalosporin sama dengan antibiotik golongan
penisilin, yaitu mengganggu sintesis dinding sel bakteri.
Dosis sefotaksim 2 g iv tiap 8 jam selama 5 hari telah terbukti menghasilkan tingkat
cairan asites yang lebih baik.
Mekanisme Kerja Obat

KUINOLON
Ofloksasin merupakan antibiotik golongan kuinolon dengan mekanisme
menghambat DNA gyrase sehingga dapat menghambat proses sintesis DNA bakteri.
Ofloksasin oral (bid mg 400 selama 8 hari) telah dilaporkan sama ekfetifnya dengan
sefotaksim dalam pengobatan SBP pada pasien tanpa muntah, shock, ensefalopati hati
kelas II (atau lebih tinggi), atau kreatinin serum lebih dari 3 mg/dL.
KUINOLON
DATA OBJECTIVE

Clinical manifestation and clinical problem


 Subjective: pasien laki-laki, 58 tahun, mengalami muntah darah, keluar darah
pada feses, dan kehilangan nafsu makan
Riwayat Pasien
 Riwayat penyakit : Hepatitis B sejak 6 bulan yang lalu, magh
 Riwayat pengobatan : 3TC ( Lamivudine)
 Kebiasaan : dulu pernah menggunakan narkoba
Patient Assesment Hospitalized

DRP
Rekomendasi Terapi

Plan Assesment

2. Spontaneous Bacterial Peritonial (SBP) : cefotaxim 2 g iv tiap 8 jam


3. Hepatic ensephalopathy : laktulose 30-45 ml sirup 3-4x sehari
4. Portal hypertension : Propanolol 40 mg p.o 2x/hari
5. Hepatitis B : Lamivudin 100 mg/hari
6. Nutrisi Parenteral : Aminoleban (Asama Amino Rantai Cabang)

Hepatitis B
KASUS 4
DIARE + ARF (ACUTE RENAL FUNCTION)
AP
Seorang anak laki2 A berumur 10 tahun masuk UGD di RS mengeluh kelelahan,
demam, mual, mata cekung. Pasien mengalami diare sejak seminggu yang lalu dan
frekuensinya 7x per hari, tidak berdarah dan tidak berlendir pada feses dan juga
mengalami penurunan BB sebesar 3 kg. Diare dikarenakan makanan yang tidak sehat.
Kakinya sekarang bengkak. Hasil diagnosis menyatakan diare disertai ARF. Pasien
hanya tinggal dengan kakek yang sebagai petani. Obat yang diresepkan adalah
furosemide, PCT, cefotaxim, metoclopramid, dan kaolin pektin.

DIARE
Definisi : Suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek
atau cair,bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya 3x /
lebih) dalam 1hari. Diare terbagi menjadi dua macam yaitu diare spesifik dan diare
non spesifik.

Etiologi Diare
E. Coli, Salmonella sp, Vibrio
Bakteri cholerae

Enteral Virus Rotavirus, Coronavirus, Calcivirus

1. Infeksi Parasit Cacing, Protozoa, Jamur

parenteral Ensefalitis, OMA-pelipeptida vasoaktiv

2. Malabsorpsi Karbohidrat, Lemak, Protein

3. Makanan Makanan basi/beracun, alergi

4. Psikologis Takut dan cemas

5. Obat Obat yg mengandung Antasida

Faktor Resiko
 Kurangnya higienitas
 Gizi kurang
 Menurunnya daya tahan tubuh
 Berkurangnya keasamaan lambung
 Menurunnya motilitas usus
Derajat Dehidrasi

No. Gejala/Derajat Diare tanpa Diare Dehidrasi Diare


Dehidrasi Dehidrasi Ringan/Sedang Dehidrasi
Berat

1. Bila terdapat Bila terdapat dua Bila terdapat


dua tanda atau tanda atau lebih dua tanda atau
lebih lebih

2. Keadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu,


lunglai/tidak
sadar

3. Mata Tidak cekung Cekung Cekung

4. Keinginan untuk Normal, tidak Ingin minum terus, Malas minum


minum ada rasa haus ada rasa haus

5. Turgor Kembali Kembali lambat Kembali sangat


segera lambat

6. %kehilangan BB 4-5% 6-9% 10% atau lebih

Rencana Terapi Rencana Rencana Terapi B Rencana Terapi


Terapi A C

Patofisiologi Dehidrasi

Tubuh NORMAL Air dan garam Urin, tinja dan


makan dan minum keringat
output

Di usus besar , diserap


masuk darah

Air dan garam <<< Air & garam (dalam darah)


Tubuh ketika DIARE masuk ke darah masuk ke usus besar >>>

output

Usus besar tidak


>>> dalam tinja
normal

Patofisiologi Diare + ARF


Penurunan
Perfusi jar. Menghambat
Diare volume
berkurang Fungsi ginjal
ekstraselular

ARF

Goal Therapy
Diare (WHO, 2009)
1. Mengobati dehidrasi
2. Mencegah perburukan status nutrisi
3. Mengurangi durasi dan keparahan diare dan kejadian diare berulang

1. Standar Terapi
Terapi A

Terapi B
Terapi C
Oralit

NaCl 2.6 g
NaCO3 2.9 g
Komposisi :
KCl 3.5 g
Glukosa 13.5 g

Indikasi :  Mengganti cairan tubuh yang hilang ketika diare

 5 ml/kg/jam
Dosis
Diberikan 1-2 jam (anak)
Diberikan 3-4 jam (bayi)
Zink

Calcium Chloride 2H2O 0.2 grams


Potassium Chloride 0.3 grams
Komposisi : Sodium Chloride 6.0 grams
Sodium Lactate 3.1 grams
Water for Injections q.s.

 Meningkatkan sistem kekebalan tubuh


Indikasi :
Memperkecil risiko u/ terkena infeksi

 Diberikan selama 10 hari berturut-turut


Dosis  Balita umur < 6th : ½ tab (10mg) / hari
Balita umur > 6th : 1 tab (20mg) / hari

ARF (ACUTE RENAL FAILURE)


Definisi : Penurunan cepat laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung
reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen,
dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Klasifikasi

PRERENAL RENAL POSTRENAL

1. Hipovolemia 1. Obstruksi renovaskular 1. Obstruksi ureter


2. Penurunan curah 2. Penyakit glomerulus 2. Obstruksi leher
3. Perubahan rasio atau mikrovaskular ginjal kandung kemih
resistensi vaskular ginjal 3. Nekrosis tubular akut 3. Obstruksi uretra
sistemik (Acute Tubular Necrosis,
4. Hipoperfusi ginjal ATN)
dengan gangguan 4. Nefritis interstitial
autoregulasi ginjal 5. Obstruksi dan deposisi
5. Sindrom hiperviskositas intratubular
6. Rejeksi alograf ginjal
Etiologi

Standar Terapi
1. Terapi nutrisi

2. Farmakologi
3. Rehidrasi Normal Saline
4. Furosemid, dosis awal i.v. bolus 40 mg.
note :
Jika pasien mengalami overload cairan, harus diperhatikan mortalitas,
morbiditas dan renal outcome.
Mekanisme Kerja

PC
A 10 year old boy in emergency room of a hostpital due to fatigue, fever,
nausea, and sunken eyes. Patient experienced diarrhea since oneweek ago 7
time/day, unbloody and mucus stool,also experienced weight loos about 3kg.
Diarrhea was cause by unhealth food. His legs are swollen now. The
grandfather as a farmer.

Patient Data General


Nama pasien : Doni kusuma
Umur : 11tahun
Golongan darah :O
BB sebelum diare : 21 kg
BB setelah diare : 18 kg
Tekanan darah : 110/70mmHg
Nadi : 90x/menit
Suhu : 38,9oC
Nafas : 22x/menit

Subjektif

Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4


28/8/2015 29/8/2015 30/8/2015 31/8/2015

- Diare cair, Lemas, Lemas ↓, Lemas ↓,


tidak berlendir, mual, mual ↓, mual ↓,
tidak diare diare 3x diare
berdarah,mual , berkurang /hari 3x/hari
mata cekung, masih masih masih
kaki bengkak cair, udem cair, udem cair, udem
kaki ++, kaki ++ kaki +.
Objektif

Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4


28/8/2 29/8/2 30/8/2 31/8/2
015 015 015 015

Tanda TD : TD : TD : TD :
vital 110/70 120/80 120/80 120/80
mmHg mmHg mmHg mmHg
HR: HR: HR: HR:
90x/ 80x/ 80x/ 80x/
mnit mnit mnit mnit
RR: RR: RR: RR:
22x/m 22x/m 20x/m 20x/m
enit enit enit enit
Suhu : Suhu Suhu : Suhu :
39 : 37,6 37 36,7
Data leukosit: 9000 µL Albumin: 3,3g/L
lab Scr : 1,1 NA: 110mmol/L
28/8/2 Hb: 13gram/dl Kalium: 3mg/L
015 Hmt:37% Cl: 95mmol/L
Trombosit: 170.000 pH urin:5
SGOT: 37 Bj urin: 1,005
SGPT: 36

Diagnosa: Acute Renal Failure, disebabkan oleh dehidrasi karena diare.


Data Objektif
Parameter Kadar Normal Kadar Pasien
Darah lengkap
Hb 11-18g/dL 13
Hmt 35-45% 37%
Trombosit 150-450ribu 170
MCV 86-98mm3 -
MCHC 3-36g/dL -
3
Leukosit 45-10,5 x 10 /µL 9.103
SGOT 10-35 u/L 37 u/L
SGPT 10-36u/L 36
Albumin 3,4 – 4,8 g/dL 3,3 g/dL
Serum elektrolit
Natrium 133 – 145 mmol/L 110 mmol/L
Kalium 3,5 -5 mg/dL 3 mg/dL
CL 97-103 mmol/L
Cl 95 mmol/L 97 – 137 mmol/L
Renal fungtion
Serum kreatinin 0.5-1.5mg/dL 1.1
BUN 10-20mg/dL -
urinalis
warna Kehitaman seperti teh
pH 7,4 5
BJ 1.005
Patient History
• Riwayat penyakit terdahulu
– ISPA
• Riwayat penggunaan obat terdahulu
– Paracetamol
– Amoksisilin
– triaminic
Standar terapi

Assessment (DRP)
TANGGAL DRP KETERANGAN
Ada obat tanpa Cefotaxim tidak digunakan
indikasi karena tidak ada tanda infeksi
28-29 Agustus
2015 Pemilihan obat PCT tidak boleh digunakan
tidak tepat karena SGOT pasien cukup
tinggi.
Under dose Furosemid dosis 20 mg 1 kali
sehari
30/8/2015
Ada obat tanpa Pct masih digunakan padahal
indikasi suhu tubuh sudah normal

Parameter Kadar Pasien Kadar Normal


SGOT 37 u/L 10-35 u/L
Albumin 3,3 g/dL 3,4 – 4,8 g/dL
Kalium 3 mg/dL 3,5 -5 mg/dL
Natrium 110 mmol/L 133 – 145 mmol/L
Cl 95 mmol/L 97 – 137 mmol/L
pH 5 7,4

ACTUAL PROBLEM POTENSIAL PROBLEM


DEHIDRASI KERUSAKAN HEPAR AKIBAT
DIARE PENGGUNAAN PARASETAMOL
GAGAL GINJAL
AKUT
MUAL KARENA MUNTAH
ASIDOSIS

ASSESSMENT
Diare non  dehidrasi  arf
Plan

Problem Tujuan Rekomendasi Treatment


pengobatan

Asidosis Meningkatkan pH Terapi alkalin Umumnya terapi menggunakan


tubuh NaHCO3
Monitoring

Obat Efek Terapi Efek samping


NaCl 0,9% Dehidrasi berkurang dilihat dari tanda fisik. Hipercairan
Zink Frekuensi diare berkurang, Konstipasi
Furosemid Retensi cairan, udem berkurang Hiperkalemia, gynecomastia

Terapi Nonfarmakologi
1. Menghindari makanan berpurin tinggi
2. Konsumsi banyak mineral
3. Rutin olahraga
KASUS 5
Seorang pasien (47 thn) wanita datang ke RS dengan batuk berdarah dan
berlendir sejak 2 minggu yang lalu. lendir berwarna hijau-kuning. pasien
sudah mendapat terapi OAT selama 2 bulan dan mendapat tambahan 1 bulan
karena BTA positif. setelah 3 bulan terapi, BTA masih positif, kemudian
dokter mendiagnosis TB MDR. Pasien tidak patuh karena kelupaan. terapi
yang diberikan yaitu, FDC tablet, oksigen, dan ambroxol tab.

Data lab

Hb 11,5g/dL
Leukosit 14,5 mm3
Trombosit 256
Limposit 1,8
Granulosit 11,7
RBC 3,5
MCH 32,9
MCV 93,9
MCHC 35
Cr 0,76 mg/dL
BUN 15 mg/Dl
AST 90 u/L
ALT 100 u/L
Albumin 3,95 g/Dl
PCO2 35 mEq/L
PO2 80 mEq/L

FAKTOR KLINIS YANG MENYEBABKAN RESISTENSI OBAT TB

1. Terlambatnya diagnosis dan isolasi


2. Penggunaan paduan obat yang tidak tepat.
– pengobatan awal yang tidak adekwat
– pengobatan yang tidak lengkap
– modifikasi obat yang tidak tepat.
– penambahan satu obat pada kegagalan pengobatan
– penggunaan kemoprofilaksis yang tidak tepat
3. Kurang patuh dan pengobatan tidak lengkap
4. Gagal mengisolasi penderita MDR TB
5. Pelaksanaan DOTS yang kurang baik
6. Kurangnya pengetahuan tentang TB
7. Obat kurang berkualitas
DEFINISI TB-MDR

Resistensi ganda adalah M. tuberculosis yang resisten minimal terhadap


rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH
merupakan 2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan
pada strategi DOTS.

Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :


 Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak
pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT
kurang dari 1 bulan.
 Resistensi initial ialah apabila tidak diketahui pasti apakah
pasien be-lum atau sudah pernah menjalani pengobatan OAT sebelumnya.
 Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai
riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan

Faktor Resiko :Lingkungan, Ras, Usia, Gender, Pasien HIV, Kontak dengan
penderita TB

Patofisiologi
MENYUSUN PADUAN PENGOBATAN

Prinsip dasar yang diperlukan untuk menyusun paduan pengobatan TB-MDR


adalah :

 Pemilihan regimen berdasarkan riwayat pemakaian obat oleh pa-


sien sebelumnya.
 Menggunakan obat-obatan yang biasa digunakan di negara tersebut;
sebaiknya diketahui prevalensi resistensi OAT lini pertama dan kedua
sebelum menyusun regimen pengobatan.
 Regimen sebaiknya terdiri dari sedikitnya empat obat yang
masih atau hampir efektif. Apabila harus memakai obat yang belum
diketahui efektivitasnya maka obat tersebut dapat digunakan tetapi jangan
dipakai sebagai obat utama.
 Jika mungkin, pirazinamid, etambutol dan fluorokuinolon
diberikan satu kali sehari karena lebih efektif. Pemberian dosis OAT lini
kedua lainnya satu kali perhari tergantung toleransi pasien.
Etionamid/protionamid, sikloserin dan PAS diberikan dalam dosis terbagi
untuk menghindari efek samping.
 Dosis obat sebaiknya berdasarkan berat badan.
 Efek samping harus dikenali dan ditatalaksana dengan
segera un-tuk mencegah putusnya obat dan mencegah morbiditas dan
mortalitas akibat efek samping.
 Obat suntik (aminoglikosida atau kapreomisin) digunakan
minimal selama enam bulan dan sekurang-kurangnya empat bulan setelah
konversi kultur.
 Minimum lama pengobatan adalah 18 bulan setelah konversi kultur.
 Pengobatan yang diberikan adalah pengawasan menelan obat
langsung (DOT).
 Hasil uji sensitivitas obat harus da-pat dipercaya (dari
laboratorium yang terpercaya) dan digunakan sebagai paduan pengobatan.
 Pirazinamid dapat digunakan selama pengobatan apabila dinilai
efektif; seperti pada pasien TB-MDR dengan inflamasi paru kronik yang
secara teori memiliki suasana lingkungan asam dimana pirazinamid dapat
bekerja aktif. Sebagai alternatif, pemberian pirazina-mid dapat dihentikan
bersamaan dengan fase injeksi jika pasien dapat melanjutkan fase
berikutnya dengan sedikitnya tiga OAT yang dinilai efektif.
 Deteksi dini TB-DR dan memulai pengobatan segera
adalah salah satu kunci keberhasilan pengobatan.
 Jangan mengunakan siprofloksasin sebagai OAT

LAMA FASE INTENSIF


Pemberian obat suntik atau fase in-tensif yang direkomendasikan ada-lah
berdasarkan konversi kultur. Obat suntik diteruskan sekurang-kurangnya 6
bulan dan minimal 4 bulan setelah hasil sputum atau kultur pertama yang
menjadi negatif. Pendekatan individu-al termasuk hasil kultur, sputum, foto
toraks dan keadaan klinis pasien juga dapat membantu memutuskan peng-
hentian pemakaian obat suntik.

LAMA PENGOBATAN
Lamanya pengobatan berdasarkan konversi kultur. Panduan yang direko-
mendasikan adalah meneruskan peng-obatan minimal 18 bulan setelah kon-
versi kultur. Sampai saat ini belum ada data yang mendukung pengurangan
lama pengobatan. Pengobatan lebih dari 24 bulan dapat dilakukan pada ka-sus
kronik dengan kerusakan paru luas.

PENGOBATAN TAMBAHAN

Pendukung nutrisi. Pasien TB-DR sering mengalami malnutrisi, selain itu


OAT lini kedua dapat menyebabkan penurunan nafsu makan. Vitamin B6,
vitamin A dan mineral sebaiknya ditambahkan dalam diet sehari-hari.

DRP

Penggunaan obat yang kurang tepat yaitu ambroxol. Sebaiknya menggunakan


OAT untuk mengnyembuhkan batuk tidak perlu obat batuk berdahak.
KASUS 6
KERACUNAN

AP
Pasien laki-laki (57 th, BB 75 kg) datang ke IGD dengan keluhan susah
bernafas, mual, muntah, penglihatan kabur, sakit kepala dan lemas. Dia adalah
seorang petani dan dia merasakan keluhan itu 5 jam setelah menyemprotkan
pestisida di sawah padinya, dan dia lupa menggunakan masker. Dokter
mendiagnosa keracunan organofosfat. Ventilator digunakan utuk membantu
bernafas. Setelah 3 hari menggunakan ventilator, pasien mengalami demam,
susah bernafas, batuk berdahak dan leukositosis. Diagnosa terbaru adalah
keracunan organofosfat dan ventilator pneumonia.
Obat : oksigen, atropin sulfat 1 mg i.v, parasetamol dan amoksisilin

Definisi
Keracunan
Suatu kejadian apabila substansi yang berasal dari alam ataupun buatan yang
dosis tertentu dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan hidup yang bisa
menyebabkan cedera atau kematian.
Ventilator pneumonia
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia dapat disebabkan
oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan
protozoa (Himpunan dokter paru Indonesia, 2003)

Etiologi

ORGANOFOSFAT

Gejala
Gejala Awal
 Mual
 Muntah
 Lemas
 Sakit kepala
 Gangguan penglihatan
Gejala Lanjutan
 Hipersaliva
 Sulit nafas

Faktor Risiko
Internal
 Usia
 Jenis kelamin
Eksternal
 Dosis
 Lama kerja sebagai petani
 Tindakan penyemprotan
 Penggunaan APD

Patofisiologi

Masuk ke tubuh menghambat


melalui kulit atau pseudocholinester
organofosfat
saluran ase dan
pernafasan asetilkolinesterase

terjadi rangsangan
terus-menerus pada menumpuknya
Gejala keracunan reseptor asetilkolin neurotransmitor
pada sistem saraf asetilkolin
sentral maupun perifer
Tujuan Terapi
• Mengurangi keluhan akibat keracunan
• Menyembuhkan infeksi pneumonia akibat penggunaan ventilator
• Meningkatkan kualitas hidup pasien

Standar Terapi
Terapi Farmakologi :
ANTIDOTUM
• golongan oksim (prolidoksim, oksidoksime, HI-6 dan HLo7)  2 g i.v
• Atropin (pengendalian efek biokimia asetilkolin)  1-3 mg i.v
(Parmod K., Sinha, Ashok Sharma, 2003)
Mekanisme Kerja Obat
Obat Mekanisme kerja

Atropin sulfat Menghambat aksi kolinomimetik pada reseptor


muskarinik secara reversibel

Parasetamol Menghambat sintesis prostaglandin di SSP

Amoksisilin Menghambat dinding sel bakteri

oksigen Memenuhi kebutuhan oksigen dalam paru-paru melalui


pembuluh darah
PC

Data Lab
HR : 90
RR : 23
Suhu : 39C
TD : 150/90 mmHg
Leukosit : 15000mm
Hb : 11 g/dl
TK : 200mg/dl
HDL : 40 mg/dl
LDL : 130mg/dl
TG : 150 mg/dl
Blood gas : PH 7,6. pCo2 32 mmHg, pO2 75 mmHg
KASUS 7
Case 7

A 31 yo female patient was hospitalized due to blurred vision, headache on the


frontal side, nausea and epigastric pain. Patient is in the 37 week pregnancy
(G3P1A2). Her BP is 170/100 mmHg and she has swollen leg. Physician’s
diagnosis is severe pre eclampsia. Patient history hypertension stage 1, since
1 year ago. On the second day during hospitalized the baby is spontaneously
birth.

Medication were injection of Magnesium Sulfat 40%, Nifedipin 10 mg,


Misoprostol 50 mcg, oxytocin, mefenamic acid and ferro sulfat

Preeklampsia Berat

Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu


kehamilan disertai dengan proteinuria. Menurut Cunningham (2005) kriteria
minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah adanya hipertensi disertai
proteinuria minimal. Hipertensi terjadi ketika tekanan darah sistolik dan
diastolik ≥ 140/90 mmHg dengan pengukuran tekanan darah sekurang-
kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Kemudian, dinyatakan terjadi
proteinuria apabila terdapat 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau
sama dengan ≥ 1+ dipstick.

Preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan


darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam disebut
sebagai preeklampsia berat. Beberapa tanda dan gejala dari preeklampsia berat
antara lain nyeri epigastrium, sakit kepala dan gangguan penglihatan akibat
edema serebral.

Faktor Risiko Preeklampsia

Beberapa faktor risiko untuk terjadinya preeklampsia antara lain :

1. Primigravida
Primigravida diartikan sebagai wanita yang hamil untuk pertama
kalinya. Preeklampsia tidak jarang dikatakan sebagai penyakit primagravida
karena memang lebih banyak terjadi pada primigravida daripada multigravida
(Wiknjosastro,2002).

2. Primipaternitas
Primipaternitas adalah kehamilan anak pertama dengan suami yang kedua.
Berdasarkan teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin dinyatakan
bahwa ibu multipara yang menikah lagi mempunyai risiko lebih besar untuk
terjadinya preeklampsia jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.

3. Umur yang ekstrim


Kejadian preeklampsia berdasarkan usia banyak ditemukan pada kelompok
usia ibu yang ekstrim yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
(Bobak, 2004). Menurut Potter (2005), tekanan darah meningkat seiring
dengan pertambahan usia sehingga pada usia 35 tahun atau lebih terjadi
peningkatkan risiko preeklamsia.

4. Hiperplasentosis
Hiperplasentosis ini misalnya terjadi pada mola hidatidosa, kehamilan
multipel, diabetes mellitus, hidrops fetalis, dan bayi besar.

5. Riwayat pernah mengalami preeklampsia


Wanita dengan riwayat preeklampsia pada kehamilan pertamanya
memiliki risiko 5 sampai 8 kali untuk mengalami preeklampsia lagi pada
kehamilan keduanya. Sebaliknya, wanita dengan preeklampsia pada
kehamilan keduanya, maka bila ditelusuri ke belakang ia memiliki 7 kali
risiko lebih besar untuk memiliki riwayat preeklampsia pada kehamilan
pertamanya bila dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami
preeklampsia di kehamilannya yang kedua.

6. Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia


Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia akan
meningkatkan risiko sebesar 3 kali lipat bagi ibu hamil. Wanita dengan
preeklampsia berat cenderung memiliki ibu dengan riwayat preeklampsia pada
kehamilannya terdahulu.

7. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil


Pada penelitian yang dilakukan oleh Davies dkk dengan menggunakan
desain penelitian case control study dikemukakan bahwa pada populasi yang
diselidikinya wanita dengan hipertensi kronik memiliki jumlah yang lebih
banyak untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan yang tidak
memiliki riwayat penyakit ini.

8. Obesitas
Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial yang terjadi akibat
akumulasi jaringan lemak berlebihan sehingga dapat menganggu kesehatan.
Indikator yang paling sering digunakan untuk menentukan berat badan lebih
dan obesitas pada orang dewasa adalah indeks massa tubuh (IMT). Seseorang
dikatakan obesitas bila memiliki IMT ≥ 25 kg/m2.

Sebuah penelitian di Kanada menyatakan risiko terjadinya preeklampsia


meningkat dua kali setiap peningkatan indeks massa tubuh ibu 5-7 kg/m2,
terkait dengan obesitas dalam kehamilan, dengan mengeksklusikan sampel ibu
dengan hipertensi kronis, diabetes mellitus, dan kehamilan multipel.
Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr Kariadi didapatkan ibu
hamil dengan obesitas memiliki risiko 3,9 kali lebih besar untuk menderita
preeklampsia.
Patofisiologi Preeklampsia

Teori kelainan vaskularisasi plasenta menjelaskan bahwa pada


preeklampsia tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri
spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi
tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif
mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis
sehingga aliran darah utero plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan
iskemia plasenta.

Plasenta yang mengalami iskemia akibat tidak terjadinya invasi


trofoblas secara benar akan menghasilkan radikal bebas. Salah satu radikal
bebas penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil.
Radikal hidroksil akan mengubah asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida
lemak. Kemudian, peroksida lemak akan merusak membran sel endotel
pembuluh darah . Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel.
Keadaan ini disebut sebagai disfungsi endotel.

Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan


disfungsi sel endotel, maka akan terjadi gangguan metabolisme prostaglandin
karena salah satu fungsi sel endotel adalah memproduksi prostaglandin.
Dalam kondisi ini terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGE2) yang
merupakan suatu vasodilator kuat. Kemudian, terjadi agregasi sel-sel
trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit
memproduksi tromboksan yang merupakan suatu vasokonstriktor kuat.
Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor (endotelin) dan penurunan
kadar NO (vasodilatator), serta peningkatan faktor koagulasi juga terjadi.

Antikonvulsan

Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi


Dosis awal MgSO4 4 g IV sebagai larutan 40% selama 5 menit

Dosis pemeliharaan Diikuti dengan MgSO4 (40%) 5 g IM dengan 1 ml


Lignokain

Sebelum pemberian MgSO4 (dalam semprit yang sama)

ulangan, lakukan pemeriksaan: Pasien akan merasa agak panas pada saat pemberian

kejang pada preeklampsia dan eklampsia. Alternatif lain adalah Diazepam,


dengan risiko terjadinya depresi neonatal.
MgSO4

Cara pemberian MgSO4 IV/Drip Frekuensi pernafasan minimal 16 kali/menit

ialah: Refleks patella (+)

Hentikan pemberian MgSO4, Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir


jika:

Siapkan antidotum Frekuensi pernafasan < 16 kali/menit

Setelah pemberian dosis awal, diberikan 12 gram dalam


500 ml

RL dengan tetesan 15/menit (2 gram/jam)

Refleks patella (-), bradipnea (<16 kali/menit)

Urin < 30 ml/jam pada hari ke 2

Jika terjadi henti nafas:

Bantu pernafasan dengan ventilator

Berikan Kalsium glukonas 2 g (20 ml dalam larutan


10%) IV

perlahan-lahan sampai pernafasan mulai lagi

Antihipertensi

Antihipertensi dapat diberikan kepada ibu hamil yang mengalami


preeklampsia. Pemberian antihipertensi pada kasus preeklampsia ringan
bermanfaat mencegah perkembangannya menjadi preeklampsia berat.
Penanganan kasus sejak awal akan dapat mengurangi frekuensi terjadinya
krisis hipertensi dan juga komplikasi pada neonatus. Hipertensi akut berat
yang berhubungan dengan komplikasi organ vital seperti infark miokard,
stroke, dan gangguan ginjal akut menyebabkan antihipertensi perlu diberikan
dalam mencegah kelainan serebrovaskular demi keselamatan ibu.

Penanganan hipertensi harus terus dilakukan hingga bayi dapat hidup di


luar kandungan. Di negara berkembang preeklampsia merupakan penyebab
penting kelahiran bayi prematur. Bayi sengaja dilahirkan lebih awal demi
kesehatan ibu. Hal ini menyebabkan angka morbiditas bayi meningkat. Oleh
karena itu, bila pengelolaan hipertensi dilakukan dengan baik maka kelahiran
bayi prematur dapat dihindari.

Penggunaan antihipertensi pada preeklampsia dimaksudkan untuk


menurunkan tekanan darah dengan segera demi memastikan keselamatan ibu
tanpa mengesampingkan perfusi plasenta untuk fetus. Terdapat banyak
pendapat tentang penentuan batas tekanan darah (cut off) untuk pemberian
antihipertensi. Belfort mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110
mmHg dan MAP (mean arterial pressure) ≥ 126 mmHg.

Jenis antihipertensi yang diberikan kepada pasien dapat sangat


bervariasi. Di RSUP Dr. Kariadi digunakan kombinasi nifedipin dan
metildopa dalam pengelolaan preeklampsia berat. Bagaimanapun
antihipertensi yang ideal adalah yang dapat bekerja dengan cepat, bersifat
poten, dan aman bagi ibu maupun janin. Beberapa antihipertensi yang dapat
diberikan pada kasus preeklampsia secara oral sebagai berikut.

 Obat pilihan adalah Nifedipin, yang diberikan 5-10 mg oral yang dapat
diulang sampai 8 kali/24 jam
 Jika respons tidak membaik setelah 10 menit, berikan tambahan 5 mg
sublingual Nifedipin 10 mg sublingual.
 Labetolol 10 mg oral. Jika respons tidak membaik setelah 10 menit,
berikan lagi Labetolol 20 mg oral.

Tabel 3. Antihipertensi Pada Preeklampsia

Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam pemberian antihipertensi.


Obat yang terbukti memberikan efek samping bagi fetus tidak boleh
digunakan karena semua antihipertensi diketahui mampu menembus plasenta
hingga masuk ke sistem kardiovaskular fetus. Wanita dengan riwayat
hipertensi, ketika ia hamil maka ia harus mengubah jenis antihipertensi yang
dikonsumsinya menjadi antihipertensi yang juga aman bagi janinnya.
Pengalaman dokter juga menjadi pertimbangan dalam pemberian
antihipertensi selain usia kehamilan yang perlu dipertimbangkan. Berikut
antihipertensi disesuaikan dengan usia kehamilan.

Tabel 4. Antihipertensi Berdasarkan Pertimbangan Usia Kehamilan

AT. Rec. blockers

ACE-I

Diuretics

Beta blockers

Ca channel blockers

Labetolol

Hidralazine

Metildopa

Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Persalinan

Keterangan :

Relatively contraindicated, increased risk

Recommended with some exceptions

Recommended

Definitely contraindicated

Nifedipin

Nifedipin tergolong ke dalam antagonis kalsium (calcium channel


blocker). Obat ini bekerja dengan menghambat influks kalsium pada sel otot
polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium
terutama menimbulkan relakasasi arteriol, sedangkan vena kurang
dipengaruhi. Nifedipin bersifat vaskuloselektif sehingga efek langsung pada
nodus SA dan AV minimal, menurunkan resistensi perifer tanpa penurunan
fungsi jantung yang berarti, dan relatif aman dalam kombinasi bersama β-
blocker.

Bioavailabilitas oral rata-rata 40-60% (bioavailabilitas oral baik).


Penggunaan nifedipin secara sublingual sebaiknya dihindari untuk
meminimalkan terjadinya hipotensi maternal dan fetal distress akibat
hipoperfusi plasenta. Kadar puncak tercapai dalam waktu 30 menit hingga 1
jam dan memiliki waktu paruh 2-3 jam. Nifedipin bekerja secara cepat dalam
waktu 10-20 menit setelah pemberian oral dengan efek samping yang
minimal. Antagonis kalsium hanya sedikit sekali yang diekskresi dalam
bentuk utuh lewat ginjal sehingga tidak perlu penyesuaian dosis pada
gangguan fungsi ginjal.

Efek samping utama nifedipin terjadi akibat vasodilatasi yang


berlebihan. Gejala yang tampak berupa pusing atau sakit kepala akibat dilatasi
arteri meningeal, hipotensi, refleks takikardia, muka merah, mual, muntah,
edema perifer, batuk, dan edema paru.

Persalinan

 Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam,


sedangkan pada eklampsia dalam 6 jam sejak gejala eklampsia timbul
 Jika terjadi gawat janin atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12
jam (pada eklampsia), lakukan bedah Caesar
 Jika bedah Caesar akan dilakukan, perhatikan bahwa:
- Tidak terdapat koagulopati. Koagulopati kontra indikasi anestesi
spinal.
- Anestesia yang aman/terpilih adalah anestesia umum untuk
eklampsia dan spinal untuk PEB. Dilakukan anestesia lokal, bila
risiko anestesi terlalu tinggi.
 Jika serviks telah mengalami pematangan, lakukan induksi dengan
Oksitosin 2-5 IU dalam 500 ml Dekstrose 10 tetes/menit atau dengan
cara pemberian prostaglandin/misoprostol
Perawatan post partum

 Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau kejang yang


terakhir
 Teruskan terapi hipertensi jika tekanan diastolik masih > 90 mmHg
 Lakukan pemantauan jumlah urin
KASUS 8
Cardiovasculer (Stroke Iskemik Emboli)

AP

Kasus :
Tn. A (50 th) datang ke IGD mengalami kekakuan bagian kanan tubuh saat bangun tidur.
Anaknya mengatakan bahwa pasien mengalami ketidak jelasan berbicara dan sulit
mengucapkan. Hasil GCS adalah E4M5V4 dan CT Scan menunjukkan stroke infark
disebabkan emboli.
 Riwayat penyakit Px: Hiperlipidemia, Hipertensi yang tidak terkontrol.
 Kebiasaan Px: Suka makanan bersantan dan gorengan
 Riwayat pengunaan obat di RS : infus RL, Inj Citicolin, Inj Piracetam, CPG 75 mg,
Aspilet 80 mg, dan Simvastatin 20 mg.
 Data Lab : HB 14,2 g/dL; Leokosit 11900 mm3 ; Trombosit 283000; BG 111 mg/dL;
BUN 12,1 mg/dL; SrCr 1,08 mg/dL; LDL 200 mg/dL; HDL 40 mg/dL; Kolesterol 305
mg/dL; dan Trigliserida 201 mg/dL

Definisi Stroke : Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke otak terputus
akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah, sehingga terjadi kematian sel-sel pada
sebagian area di otak

Gangguan neurologis akut  berkurangnya aliran darah ke otak  perdarahan,


penyumbatan karena emboli/thrombosis

(Dipiro, 2008)
Menurut Penyebab Stroke dibagi :
1. Stroke Hemoragik
Penyakit stroke disebabkan karena pembuluh darah di otak pecah baik karena faktor
penuaan sehingga rapuh ataupun hipertensi sehingga saraf menjadi rusak.
Stroke jenis ini dibagi menjadi 2 macam, antara lain :
a. Intra Cerebral Hemoragik (ICH)
Pendarahan ini terjadi di intracerebral atau didalam otak. Pendarahan disebabkan
karena terjadi hipertendi maligna, tumor otak yang sudah berdarah, malformasi
atau kelainan pembuluh darah yang telah pecah.
b. Sub Arachnoid Hemoragik (SAH)
Pendarahan ini ialah masuknya darah yang berada di ruang subarachnoid dari
tempat lain atau di tempat rongga itu sendiri
2. Stroke Non Hemoragik (Iskemik)
Penyakit stroke yang disebabkan oleh pembuluh darah di otak mengalami penyumbatan.
Hal ini disebabkan oleh karena Arteriosklerosis, DM, Hypercolesterolemia, Asam urat,
hyperagregasi trombosit.
Stroke iskemik dibedakan berdasarkan penyebab sumbatan arteri
a. Stroke trombotik: Sumbatan disebabkan trombus,gelembung di dalam arteri otak
yang sudah sangat sempit.
b. Stroke embolik: Sumbatan disebabkan trombus,gelembung udara atau pecahan
lemak (emboli) yang terbentuk di bagian tubuh lain seperti jantung dan pembuluh
aorta di dada dan leher, yang terbawa aliran darah ke otak.
TANDA DAN GEJALA

 MAYOR  MINOR
- Gangguan motorik = mati rasa, sulit - Pusing dan vertigo
bergerak
- Sakit kepala yang terlokalisir
- Gangguan sensorik
- Penglihatan yang kabur dikedua mata
- Gangguan berbicara
- Diplopia
- Hemianopia (gangguan pada separu
- Cadel
sisi lapang pandang)
- Gangguan fungsi kognitif
- Apraxia dengan kondisi akut
- Gangguan kesadaran
- Kejang
- Sakit menelan

(WHO, 2006)

PATOFISIOLOGI
FAKTOR RESIKO

Dapat dimodifikasi Tidak dapat dimodifikasi


• Hipertensi • Usia
• Merokok • Jenis kelamin
• DM • RAS
• Jantung Koroner
• Dislipidemia
• Alkoholism

(Risk Factors for Stroke (American Stroke Association)

ETIOLOGI

Penyebab-penyebabnya antara lain:

 1. Trombosis ( bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak )


 2. Embolisme cerebral ( bekuan darah atau material lain )
 3. Iskemia ( Penurunan aliran darah ke area otak)
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

DIAGNOSA

• CT (computed tomography) scan


• MRI (magnetic resonance imaging)
GCS (GLASGOW COMA SCALE)

• Skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien, apakah pasien itu
dalam keadaan coma atau tidak, dengan menilai respon pasien terhadap rangsang yg
diberikan.
• GSC dapat digunakan untuk pasien yang mengalami cedera traumatik otak, stroke,
serangan jantung, keracunan.
• Penilaian terhadap respon: buka mata, motorik, verbal
• Jumlah poin = 15
≥ 13 : cedera ringan
9-12 : cedera sedang
≤8 : cedera berat
TERAPI

Dipiro, edisi ke 9.
MEKANISME KERJA OBAT

 ASPIRIN
Sebagai antiplatelet dengan menghambat secara irreversible enzim siklooksigenase, sehingga
mencegah konversi asam arakidonat menjadi tromboksan A2 yang merupakan vasokontriktor
kuat dan stimulator agresi platelet.

 CLOPIDOGREL
Mencegah adenosin difosfat yang merupakan media pengaktifasi platelet secara selektif dan
irreversible menghambat ikata adenosin difosfat dengan reseptor platelet (gibbons et al.,
2002)

 SIMVASTATIN
Menghambat HMG-CoA reduktase
PC

Pasien laki-laki (50 tahun) masuk ke IGD dengan keluhan mati rasa bagian kanan setelah
bangun tidur. Putrinya berkata pasien tidak jelas berkata dan sulit untuk berbicara. Hasil GCS
menujukkan E4M5V4 dan CT Scan menunjukkan stroke infrak karena emboli.
Riwayat penyakit: hiperlipidemia, hipertensi tidak terkontrol
Kebiasaan hidup : suka makanan bersantan dan gorengan.
Terapi obat di RS : Infus RL, Citicolin inj, Piracetam inj, CPG 75 mg, Aspilet 80 mg, dan
Simvastatin 20 mg.
Lab : Hb 14,2 g/dl, Leukosit 11900 mm3, Trombosit 283000, BG 111 mg/dl, BUN 12,1
mg/dl, SrCr 1,08 mg/dl, LDL 200 mg/dl, HDL 40 mg/dl, Kolesterol 305 mg/dl, Tg 201 mg/dl

ASSESSMENT

 Problem
Objective :

 Hasil GCS menujukkan E4M5V4 dan CT Scan menunjukkan stroke infrak


karena emboli.
 Hb 14,2 g/dl, Leukosit 11900 mm3, Trombosit 283000, BG 111 mg/dl, BUN
12,1 mg/dl, SrCr 1,08 mg/dl, LDL 200 mg/dl, HDL 40 mg/dl, Kolesterol 305
mg/dl, Tg 201 mg/dl
Subjective :

Mati rasa bagian kanan setelah bangun tidur, tidak jelas berkata dan sulit untuk
berbicara.

Actual problem

 Stroke iskemik
 Hiperlipidemia
Potential problem : Infeksi

Hasil Lab
2. ASSESSMENT

- Clinical Problem

• Stroke Iskemik
• Hiperlipidemia

DRP assessment (DTAW/DTPL)


Pharmaceutical Care Plan

Final Diagnosis of Pharmaceutical Care

╚> Stroke Iskemik

Priority Rank

1. STROKE ISKEMIK Pendekatan terapi pada fase akut stroke iskemik:


restorasi aliran darah otak dengan menghilangkan
sumbatan/clots, dan
menghentikan kerusakan seluler yang berkaitan
dengan iskemik/hipoksia
2. HIPERLIPIDEMIA

Recommendation and Plan of Drug Treatment

Terapi Rawat Inap


Recommendation and Plan of Drug Treatment

Terapi Rawat Jalan


Plan of Pharmaceutical Care

Monitoring

Anda mungkin juga menyukai