Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HEMATEMESIS MELENA

1. DEFINISI

Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah


bisa dalam bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah
cerah) atau berubah karena enzim dan asam lambung menjadi
kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi. Melena yaitu keluarnya
tinja yang lengket dan hitam seperti aspal (ter) dengan bau khas, yang
menunjukan perdarahan saluran cerna atas serta dicernanya darah
pada usus halus (Davey, 2008)

2. ETIOLOGI

Etiologi Perdarahan Saluran Makanan Bagian Atas :


Perdarahan pada saluran cerna bagian atas dapat disebabkan
oleh berbagai macam penyakit, diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Kelainan di Esofagus
a. Pecahnya varises esofagus

1
Pada sepertiga distal esofagus terdapat anastomosis portal-
sistemik yang penting. Disini cabang-cabang esofagus dari vena
gastrica sinistra (yang bermuara ke dalam vena porta hepatis)
beranastomosis dengan cabang-cabang esofagus vena sistemik.
Jika vena portae hepatis tersumbat, misalnya pada sirosis hepatis
terjadilah hipertensi porta, yang mengakibatkan dilatasi dan
pelebaran vena (varices) di dalam anastomosis portal sistemik.
Apabila terjadi ruptur pada bagian varices vena esofagus maka
akan menyebabkan hematemesis yang mendadak dan masif,
tanpa didahului nyeri epigastrium. Darah berwarna kehitaman
dan tidak akan membeku karena sudah bercampur dengan asam
lambung. Setelah terjadi hematemesis maka akan disusul dengan
melena (Hadi, 2002)
b. Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus lebih sering menunjukkan keluhan
melena daripada hematemesis. Pasien juga mengeluh disfagia,
badan mengurus dan anemis. Hanya sesekali penderita muntah
darah tidak masif. Pada panendoskopi jelas terlihat gambaran
karsinoma yang hampir menutup esophagus dan mudah
berdarah terletak di sepertiga bawah esophagus (Richter, 1999)
c. Sindrom Mallory-Weiss
Riwayat medis ditandai oleh gejala muntah tanpa isi
(vomitus tanpa darah). Muntah hebat mengakibatkan ruptur
mukosa dan submukosa daerah kardia atau esophagus bawah
sehingga muncul perdarahan. Karena laserasi aktif disertai
ulserasi, maka timbul perdarahan. Laserasi muncul akibat terlalu
sering muntah sehingga tekanan intraabdominal naik
menyebabkan pecahnya arteri di submukosa esophagus/ kardia.
Sifat perdarahan hematemesis tidak masif, timbul setelah pasien
berulangkali muntah hebat, lalu disusul rasa nyeri di

2
epigastrium. Misalnya pada hiperemesis gravidarum (Hadi,
2002)
d. Esofagitis dan tukak esophagus
Esofagitis yang menimbulkan perdarahan lebih sering
bersifat intermiten atau kronis, biasanya ringan, sehingga lebih
sering timbul melena daripada hemetemesis. Tukak esophagus
jarang menimbulkan perdarahan jika dibandingkan dengan
tukak lambung dan duodenum (Hadi, 2002)

2. Kelainan di lambung
a. Gastritis erosiva hemoragika
Penyebab terbanyak adalah akibat obat-obatan yang
mengiritasi mukosa lambung atau obat yang merangsang
timbulnya tukak (ulcerogenic drugs). Misalnya obat-obat
golongan salisilat seperti Aspirin, Ibuprofen. Obat-obatan lain
yang juga dapat menimbulkan hematemesis yaitu : golongan
kortikosteroid, butazolidin, reserpin, spironolakton dan lain-lain.
Golongan obat-obat tersebut menimbulkan hiperasiditas.
Gastritis erosiva hemoragika merupakan urutan kedua
penyebab perdarahan saluran cerna atas. Pada endoskopi tampak
erosi di angulus, antrum yang multipel, sebagian tampak bekas
perdarahan atau masih terlihat perdarahan aktif di tempat erosi.
Di sekitar erosi umumnya hiperemis, tidak terlihat varises di
esophagus dan fundus lambung. Sifat hematemesis tidak masif
dan timbul setelah berulang kali minum obat-obatan tersebut,
disertai nyeri dan pedih di ulu hati (Hadi, 2002)
b. Tukak lambung
Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan
terutama di angulus dan prepilorus bila dibandingkan dengan
tukak duodeni. Tukak lambung akut biasanya bersifat dangkal
dan multipel yang dapat digolongkan sebagai erosi.

3
Biasanya sebelum hematemesis dan melena, pasien
mengeluh nyeri dan pedih di ulu hati selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Sesaat sebelum hematemesis rasa nyeri dan
pedih dirasakan bertambah hebat, namun setelah muntah darah
rasa nyeri dan pedih tersebut berkurang. Sifat hematemesis tidak
begitu masif, lalu disusul melena (Hadi, 2002)
c. Karsinoma lambung
Insidensinya jarang, pasien umumnya berobat dalam fase
lanjut dengan keluhan rasa pedih dan nyeri di ulu hati, rasa cepat
kenyang, badan lemah. Jarang mengalami hematemesis, tetapi
sering melena (Hadi, 2002)

3. Kelainan di duodenum
a. Tukak duodeni
Tukak duodeni yang menyebabkan perdarahan
panendoskopi terletak di bulbus. Sebagian pasien mengeluhkan
hematemesis dan melena, sedangkan sebagian kecil mengeluh
melena saja. Sebelum perdarahan, pasien mengeluh nyeri dan
pedih di perut atas agak ke kanan. Keluhan ini juga dirasakan
waktu tengah malam saat sedang tidur pulas sehingga terbangun
(Hadi, 2002)
b. Karsinoma papilla vateri
Karsinoma papilla Vateri merupakan penyebaran
karsinoma di ampula menyebabkan penyumbatan saluran
empedu dan saluran pancreas yang umumnya sudah dalam fase
lanjut. Gejala yang timbul selain kolestatik ekstrahepatal, juga
dapat menimbulkan perdarahan tersembunyi (occult bleeding),
sangat jarang timbul hematemesis. Selain itu pasien juga
mengeluh badan lemah, mual dan muntah (Hadi, 2002)

4
Etiologi Perdarahan Saluran Makanan Bagian Bawah :
1. Lesi pada anus dan rektum.
Sedikit darah yang berwrna merah cerah pada permukaan
feses disebabkan oleh hemorhoid, fisura ani atau fistula.
Perdarahan semacam ini biasanya dicetuskan oleh kotoran yang
keras sehingga defekasi dilakukan dengan mengejan. Proktitis
merupakan perdarahan rektum yang lain. Proktitis ini sering
merupakan varian kolitis ulseratif yang terbatas dan bersifat
idiopatik. Pada keadaan lain, terutama pada kaum laki-laki
homoseksual atau pada pasien yang terinfeksi HIV, proktitis dapat
disebabkan oleh sitomegalovirus (CMV) atau gonore atau
neoplasma. Trauma rektum merupakan penyebab hematokezia, dan
benda asing yang dimasukkan kedalam lekukan rektum dapat
menimbulkan perforasi disamping perdarahan rektum yang akut.
Harus ditekankan bahwa kelainan patologi anus tidak meniadakan
sumber-sumber kehilangan darah lainnya, dan kemungkinan
adanya sumber-sumber ini harus dicari dan dikesampingkan
2. Lesi pada kolon.
Baik karsinoma kolon maupun polip pada kolon dapat
menyebabkan kehilangan darah yang kronik. Angiodisplasia, yaitu
telengiektesia mukosa, yang biasanya mengenai kolon ascendens,
merupakan sumber utama perdarahan akut atau kronik pada pasien
lanjut usia. Diare berdarah yang nyata sering dijumpai dan
merupakan gejala yang tampak pada pasien kolitis ulserativa.
Gejala ini tidak begitu sering dijumpai pada kolitis granulomatosa,
tetapi darah okulta dapat ditemukan dalam tinja. Perdarahan dapat
pula menyertai diare yang disebabkan oleh infeksi Shigella,
Amoeba, Campylobacter, C.difficile, dan kadang-kadang
salmonella. Pada pasien lanjut usia, kolitis iskemik dapat
menyebabakan diare berdarah. Lesi ini dapat pula dijumpai pada

5
perempuan yang lebih muda, yang menggunakan preparat
kontrasepsi oral.
3. Divertikula.
Perdarahan pada divertikula kolon merupakan
penyebab terjadinya perdarahan gastrointestinal bawah yang masif.
Gambaran yang lazim ditemukan pada perdarahan divertikula
adalah tinja berwarna merah tua yang dikeluarkan tanpa rasa nyeri.
Divertikula Meckel, yaitu suatu anomali kongenital pada ileum
bagian dista, ditemukan pada sekitar dua persen populasi dan
merupakan penyebab perdarahan akut yang penting pada anak-anak
serta dewasa muda. Meskipun hanya sekitar 15 persen dari
divertikula ini yang mengandung mukosa lambung, namun separuh
lesi yang menyebabkan perdarahan akut berisi mukosa lambung

3. PATOFISIOLOGI
Gejala perdarahan intestinal ini menunjukkan bahwa sumber
perdarahan terletak di bagian proksimal. Warna darah yang
dimuntahkan tergantung pada konsentrasi asam hidroklorida didalam
lambung dan campurannya dengan darah. Jika vomitus terjadi segera
setelah terjadinya perdarahan, muntahan akan tampak berwarna merah
gelap, coklat, atau hitam. Bekuan darah yang mengendap pada
muntahan akan tampak seperti “ampas kopi” yang khas. Hematemesis
biasanya menunjukkan perdarahan disebelah proksimal ligamentum
Treitz, karena darah yang memasuki traktus gastrointestinal dibawah
doudenum jarang masuk kedalam lambung
Meskipun perdarahan yang cukup untuk menimbulkan
hematemesis biasanya akan mengakibatkan melena, kurang dari
separuh pasien melena menderita hematemesis. Istilah Melena
biasanya menggambarkan perdarahan dari esofagus, lambung atau
doudenum, tetapi lesi didalam jejunum, ileum dan bahkan kolon
ascendens dapat menyebabkan melena asalkan waktu perjalanan

6
melalui traktus gastrointestinal cukup panjang. Kurang lebih 60mL
darah cukup untuk menimbulkan satu kali buang air besar dengan tinja
yang berwarna hitam. Kehilangan darah akut yang lebih besar dari
jumlah ini dapat menimbulkan melena lebih dari 7 hari. Setelah warna
tinja kembali normal , hasil tes untuk adanya darah samar dapat tetap
positif selama lebih dari satu minggu. Warna melena yang hitam terjadi
akibat kontak darah dengan asam hidroklorida sehingga terbentuk
hematin. Tinja tersebut akan terbentuk seperti ter (lengket) dan
menimbulkan bau yang khas. Konsistensi seperti ini berbeda dengan
tinja yang berwarna hitam atau gelap setelah seseorang mengkonsumsi
zat besi, bismut atau licorice. Demikian pula tinja yang merah dapat
terjadi akibat mengkonsumsi bit atau setelah menyuntikan
sulfobromoftalein intravena. Perdarahan gastrointestinal, sekalipun
hanya terdeteksi dengan tes yang positif untuk darah samar,
menunjukkan darah yang potensial serius dan harus diselidiki lebih
lanjut (Sudoyo, 2006)

4. MENIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis yang muncul bisa berbeda-beda, tergantung pada :
(Ponijan, 2012)
1. Letaknya sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus
2. Kecepatan perdarahan
3. Penyakit penyebab perdarahan
4. Keadaan penderita sebelum perdarahan
Pada hemetemesis,warna darah yang dimuntahkan tergantung
dari asam hidroklorida dalam lambung dan campurannya dengan
darah. Jika vomitus terjadi segera setelah perdarahan, muntahan akan
tampak berwarna merah dan baru beberapa waktu kemudian
penampakannya menjadi merah gelap, coklat atau hitam. Bekuan darah
yang mengendap pada muntahan akan tampak seperti ampas kopi yang
khas. Hematemesis biasanya menunjukkan perdarahan di sebelah

7
proksimal ligamentum Treitz karena darah yang memasuki traktus
gastrointestinal di bawah duodenum jarang masuk ke dalam lambung
(Ponijan, 2012)
Meskipun perdarahan yang cukup untuk menimbulkan
hematemesis biasanya mengakibatkan melena, kurang dari separuh
pasien melena menderita hematemesis. Melena biasanya
menggambarkan perdarahan esophagus, lambung atau duodenum.
Namun lesi di jejunum, ileum bahkan kolon ascendens dapat
menyebabkan melena jika waktu perjalanan melalui traktus
gastrointestinal cukup panjang
Diperkirakan darah dari duodenum dan jejunum akan tertahan
di saluran cerna selama ± 6–8 jam untuk merubah warna feses menjadi
hitam. Feses tetap berwarna hitam seperti ter selama 48–72 jam setelah
perdarahan berhenti. Ini bukan berarti keluarnya feses warna hitam
tersebut menandakan perdarahan masih berlangsung. Darah sebanyak
±60 mL cukup untuk menimbulkan satu kali buang air besar dengan
tinja warna hitam. Kehilangan darah akut yang lebih besar dari jumlah
tersebut dapat menimbulkan melena lebih dari tujuh hari. Setelah
warna tinja kembali normal, hasil tes untuk adanya perdarahan
tersamar dapat tetap positif selama 7–10 hari setelah episode
perdarahan tunggal (Davey, 2006)
Warna hitam melena akibat kontak darah dengan asam HCl
sehingga terbentuk hematin. Tinja akan berbentuk seperti ter (lengket)
dan menimbulkan bau khas. Konsistensi ini berbeda dengan tinja yang
berwarna hitam/ gelap yang muncul setelah orang mengkonsumsi zat
besi, bismuth atau licorice. Perdarahan gastrointestinal sekalipun
hanya terdeteksi dengan tes occult bleeding yang positif, menunjukkan
penyakit serius yang harus segera diobservasi. (Davey, 2006)
Kehilangan darah 500 ml jarang memberikan tanda sistemik
kecuali perdarahan pada manula atau pasien anemia dengan jumlah
kehilangan darah yang sedikit sudah menimbulkan perubahan

8
hemodinamika. Perdarahan yang banyak dan cepat mengakibatkan
penurunan venous return ke jantung, penurunan curah jantung (cardiac
output) dan peningkatan tahanan perifer akibat refleks vasokonstriksi.
Hipotensi ortostatik 10 mmHg (Tilt test) menandakan perdarahan
minimal 20% dari volume total darah. Gejala yang sering menyertai :
sinkop, kepala terasa ringan, mual, perspirasi (berkeringat), dan haus.
Jika darah keluar ±40 % terjadi renjatan (syok) disertai takikardi dan
hipotensi. Gejala pucat menonjol dan kulit penderita teraba dingin
(Davey, 2006)

5. DIAGNOSIS
1. Anamnesis (Adi, 2006) :
a. Sejak kapan terjadi perdarahan, perkiraan jumlah, durasi dan
frekuensi perdarahan
b. Riwayat perdarahan sebelumnya dan riwayat perdarahan dalam
keluarga
c. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
d. Riwayat muntah berulang yang awalnya tidak berdarah (Sindrom
Mallory-Weiss)
e. Konsumsi jamu dan obat (NSAID dan antikoagulan yang
menyebabkan nyeri atau pedih di epigastrium yang berhubungan
dengan makanan)
f. Kebiasaan minum alkohol (gastritis, ulkus peptic, kadang varises)
g. Kemungkinan penyakit hati kronis, demam dengue, tifoid, gagal
ginjal kronik, diabetes mellitus, hipertensi, alergi obat
h. Riwayat tranfusi sebelumnya

2. Pemeriksaan fisik
Langkah awal adalah menentukan berat perdarahan dengan
fokus pada status hemodinamik, pemeriksaannya meliputi (Adi, 2006):
a. Tekanan darah dan nadi posisi baring
b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
c. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
d. Kelayakan napas dan tingkat kesadaran
e. Produksi urin

9
Perdarahan akut dalam jumlah besar (> 20% volume
intravaskuler) mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan
tanda :
a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg) dengan frekuensi
nadi > 100 x/menit
b. Tekanan diastole ortostatik turun >10 mmHg, sistole turun >20
mmHg.
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
d. Akral dingin
e. Kesadaran turun
f. Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)
Selain itu pada perdarahan akut jumlah besar ditemukan hal-hal
berikut (Adi, 2006):
a. Hematemesis
b. Hematokezia
c. Darah segar pada aspirasi nasogastrik, dengan lavase tidak segera
jernih
d. Hipotensi persisten
e. Tranfusi darah > 800 – 1000 ml dalam 24 jam
Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu
dilakukan evaluasi jumlah perdarahan, dengan criteria :
Perdarahan Keadaan hemodinamik
(%)
<8 Hemodinamik stabil
8 – 15 Hipotensi ortostatik
15 – 25 Renjatan (syok)
25 – 40 Renjatan + penurunan kesadaran
>40 Moribund (physiology futility)

Selanjutnya pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah :


a. Stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider naevi, ascites,
splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai)
b. Colok dubur karena warna feses memiliki nilai prognostik
c. Aspirat dari nasogastric tube (NGT) memiliki nilai prognostik
mortalitas dengan interpretasi :
1) Aspirat putih keruh : perdarahan tidak aktif
2) Aspirat merah marun : perdarahan masif (mungkin perdarahan
arteri)
d. Suhu badan dan perdarahan di tempat lain

10
e. Tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai
perdarahan saluran cerna (pigmentasi mukokutaneus pada sindrom
Peutz-Jeghers)

3. Pemeriksaan Penunjang : (PB PAPDI, 2005)


a. Tes darah : darah perifer lengkap, cross-match jika diperlukan
tranfusi
b. Hemostasis lengkap untuk menyingkirkan kelainan faktor
pembekuan primer atau sekunder : CTBT, PT/PPT, APTT
c. Elektrolit : Na, K, Cl
d. Faal hati : cholinesterase, albumin/ globulin, SGOT/SGPT
e. EKG& foto thoraks: identifikasi penyakit jantung (iskemik), paru
kronis
f. Endoskopi : gold standart untuk menegakkan diagnosis dan
sebagai pengobatan endoskopik awal. Selain itu juga memberikan
informasi prognostik dengan mengidentifikasi stigmata
perdarahan.
Klasifikasi forrest untuk ulkus :

(PGI, 2012)

6. PERBEDAAN PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN


ATAS (SCBA) DENGAN SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH
(SCBB)

Perbedaan Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB


Manifestasi klinik Hematemesis dan/atau Hematokezia

umumnya melena

11
Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih
Rasio (BUN : kreatinin) Meningkat >35 <35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal
(Adi, 2006)
7. PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana Umum
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan airway-
breathing-circulation (ABC). Terhadap pasien yang stabil setelah
pemeriksaan memadai, segera dirawat untuk terapi lanjutan atau
persiapan endoskopi.
Untuk pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti
(Isselbacher dkk, 2012) :
a. Pemasangan iv-line minimal 2 dengan jarum (kateter) besar
minimal no 18. Ini penting untuk transfuse, dianjurkan pemasangan
CVP
b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila gangguan airway-breathing perlu
ETT
c. Mencatat intake- output, harus dipasang kateter urine
d. Monitor tekanan darah, nadi, saturasi O2, keadaan lain sesuai
komorbid
e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah tindakan endoskopi

Dalam melaksanakan tindakan umum ini, pasien dapat


diberikan terapi : (Isselbacher dkk, 2012)
a. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
b. Pemberian vitamin K 3x1 amp
c. Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
d. Terapi lainnya sesuai dengan komorbid

2. Memulangkan pasien
Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 1–4
perawatan. Perdarahan ulang (komorbid) sering memperpanjang masa
perawatan. Bila tidak ada komplikasi, perdarahan telah berhenti,
hemodinamik stabil serta risiko perdarahan ulang rendah pasien dapat
dipulangkan . Pasien biasanya pulang dalam keadaan anemis, karena

12
itu selain obat pencegah perdarahan ulang perlu ditambahkan preparat
Fe (Isselbacher dkk, 2012).

B. GASTROPATI

1. DEFINISI
Gastropati merupakan kelainan pada mukosa lambung dengan
karakteristik perdarahan subepitelial dan erosi. Salah satu penyebab
dari gastropathi adalah efek dari NSAID (Non Steroidal Anti
Inflamantory Drugs) serta beberapa faktor lain seperti alkohol, stres,
ataupun faktor kimiawi. Gastropathi NSAID dapat memberikan
keluhan dan gambaran klinis yang bervariasi seperti dispepsia, ulkus,
erosi, hingga perforasi (Suyata et all, 2004)

2. FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor resiko gastrophaty NSAID meliputi : (Hirlan, 2006)
- Usia lanjut > 60 tahun
- Riwayat pernah menderita tukak
- Riwayat perdarahan saluran cerna
- Digunakan bersama-sama dengan steroid
- Dosis tinggi atau menggunakan 2 jenis NSAID
- Menderita penyakit sistemik yang berat
- Bersama-sama dengan infeksi Helicobacter pylory

3. PATOMEKANISME GASTROPHATY NSAID


Mekanisme NSAID merusak mukosa lambung melalui 2
mekanisme yaitu topikal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara
topikal terjadi karena NSAID bersifat asam dan lipofilik, sehingga
mempermudah trapping ion hydrogen masuk mukosa dan

13
menimbulkan kerusakan. Efek sistemik NSAID lebih penting yaitu
kerusakan mukosa terjadi akibat produksi prostglandin menurun secara
bermakna. Seperti diketahui prostaglandin merupakan substansi
sitoprotektif yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek
sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah mukosa,
meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkatkan
epitel defensif. Ia memperkuat sawar mukosa lambung duodenum
dengan meningkatkan kadar fosfolipid mukosa sehingga meningkatkan
hidrofobisitas permukaan mukosa dengan demikian mencegah,
mengurangi difusi balik ion hidrogen. Selain itu, prostaglandin juga
menyebabkan hiperplasia mukosa lambung duodenum terutama di
antara antrum lambung dengan memperpanjang daur hidup sel-sel
epitel yang sehat, terutama sel-sel di permukaan yang memproduksi
mukus, tanpa meningkatkan aktivitas proliferasi (Hirlan, 2006)
Elemen kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal
merupakan prostaglandin endogenous yang di sintesis di mukosa
traktus gastrointestinal bagian atas. COX (siklooksigenase) merupakan
tahap katalitikator dalam produksi prostaglandin. Sampai saat ini
dikenal ada dua bentuk COX, yakni COX-1 dan COX-2. COX-1
ditemukan terutama dalam gastrointestinal, ginjall, endotelin, otak dan
trombosit : dan berperan penting dalam pembentukan prostaglandin
dari asam arakidonat. COX-2 pula ditemukan dalam otak dan ginjal
yang juga bertanggung jawab dalam respon inflamasi. Endotel
vaskular secara terus-menerus menghasilkan vasodilator prostaglandin
E dan I yang apabila terjadi gangguan atau hambatan (COX-1) akan
timbul vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan
menyebabkan nekrosis epitel (Scheiman, 2004)
Penghambatan COX oleh NSAID ini lebih lanjut dikaitkan
dengan perubahan produksi mediator inflamasi. Sebagai konsekuensi
dari penghambatan COX-2, terjadi sintesis leukotrien yang
disempurnakan dapat terjadi oleh shunting metabolisme asam

14
arakidonat terhadap-lipoxygenase jalur 5. Leukotrien yang
memberikan kontribusi terhadap cedera mukosa lambung dengan
mendorong iskemia jaringan dan peradangan. Peningkatan ekspresi
molekul adhesi seperti molekul adhesi antar sel-1 oleh mediator pro-
inflamasi seperti tumor necrosis factor mengarah ke peningkatan
adheren dan aktivasi neutrofil-endotel. Wallace mendalilkan bahwa
pengaruh NSAID terhadap neutrofil adheren mungkin berkontribusi
terhadap patogenesis kerusakan mukosa lambung melalui dua
mekanisme utama yaitu oklusi microvessels lambung oleh
microthrombi menyebabkan aliran darah lambung berkurang dan
kerusakan sel iskemik, meningkatkan pembebasan dari radikal bebas
yang berasal dari oksigen. Oksigen radikal bebas bereaksi dengan poli
asam lemak tak jenuh dari mukosa menyebabkan peroksidasi lipid dan
kerusakan jaringan. NSAID tidak hanya merusak perut, tetapi dapat
mempengaruhi seluruh saluran pencernaan dan dapat menyebabkan
berbagai komplikasi ekstraintestinal parah seperti kerusakan ginjal
sampai gagal ginjal akut pada pasien yang memiliki faktor risiko
retensi natrium dan cairan, hipertensi arterial dan kemudian gagal
jantung (Becker et all, 2004)

4. GEJALA KLINIS
Gastropati NSAID ditandai dengan ketidakseimbangan antara
gambaran endoskopi dan keluhan klinis. Misalnya pada pasien dengan
berbagai gejala, seperti ketidaknyamanan dan nyeri epigastrium,
dispepsia, muntah tetapi memiliki lesi minimal pada endoskopi.
Sementara pasien dengan keluhan tidak ada ataupun ringan GI
memiliki lesi erosi mukosa parah dan ulcerating. Perkembangan
penyakit berbahaya tersebut dapat menyebabkan pasien dengan
komplikasi mematikan (Tarigan, 2006)
30-40 % dari pasien yang menggunakan NSAID secara jangka
panjang (>6 minggu), memiliki keluhan dispepsia yang tidak dalam

15
korelasi dengan hasil studi endoskopi. Hampir 40 % dari pasien
dengan tidak ada keluhan GI telah luka parah pada pemeriksaan
endoskopi, dan 50 % dari pasien dengan keluhan GI memiliki
integritas mukosa normal (Tarigan, 2006)
Gastropati NSAID depat diungkapkan dengan tidak hanya
dispepsia tetapi juga dengan gejala sakit, juga memiliki onset
tersembunyi dengan penyebab mematikan seperti ulcer perforasi dan
pendarahan (Tarigan, 2006).

5. DIAGNOSIS
Keadaan klinis gastropati NSAID sangat bervariasi, mulai
yang paling ringan berupa keluhan gastroinestinal discontrol. Secara
endoskopi akan dijumpai kongesti mukosa, erosi-erosi kecil kadang
disertai perdarahan kecil. Lesi yang lebih berat dapat berupa erosi dan
tukak multipel, perdarahan luas dan perforasi saluran cerna (Hirlan,
2006)
Untuk mengevaluasi gangguan mukosa dapat menggunakan
Modified Lanza Skor (MLS) kriteria, seperti berikut : (Suyata et all,
2004)
- Grade 0 : tidak ada erosi atau perdarahan
- Grade 1 : erosi dan perdarahan di satu wilayah atau jumlah lesi < 2
- Grade 2 : erosi dan perdarahan di satu daerah atau ada 3-5 lesi
- Grade 3 : erosi dan perdarahan di dua daerah atau ada 6-10 lesi
- Grade 4 : erosi dan perdarahan > 3 daerah atau lebih dalam lambung
- Grade 5 : sudah ada tukak lambung
Pemeriksaan secara histopatologi tidak khas, dapat dijumpai
regenerasi epitelial, hiperplasi foveolar, edema lamina propia dan
ekspansi serabut otot polos ke arah mukosa. Ekspansi dianggap
abnormal bila sudah mencapai kira-kira sepertiga bagian atas (Hirlan,
2006)

16
Feses dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium
adalah negatif terhadap darah samar. Pemeriksaan sekretori lambung
untuk mendiagnosis aklorhidria (tidak terdapat asam hidroklorida
dalam getah lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang
hilang dengan makanan atau antasida, dan adanya nyeri yang timbul
juga mengidentifikasi adanya ulkus (Tarigan, 2006)
Selain itu, adanya H.pylory dapat ditentukan dengan biopsy
dan histology melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes
laboratorium khusus, serta tes serologis terhadap antibody pada
antigen H.pylory (Tarigan, 2006)

6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien gastropati NSAID, terdiri dari
non-medikamentosa dan medikamentosa. Pada terapi non-
medikamentosa, yakni berupa istirahat, diet dan jika memungkinkan
penghentian penggunaan NSAID. Secara umum, pasien dapat
dianjurkan pengobatan rawat jalan, apabila tidak berhasilatau ada
komplikasi maka dianjurkan rawat inap di rumah sakit (Tarigan, 2006)
Pada pasien dengan disertai tukak, dapat diberikan diet
lambung yang bertujuan untuk memberikan makanan dan cairan
secukupnya yang tidak memberatkan lambung, mencegah dan
menetralkan asam lambung yang berlebihan serta mengusahakan
keadaan gizi sebaik mungkin. Adapun syarat diet lambung yakni :
(Shresta, 2009)
1. Mudah cerna, porsi kecil, dan sering diberikan
2. Energi dan protein cukup, sesuai dengan kemampuan pasien untuk
menerima
3. Rendah lemak, yaitu 10-15 % dari kebutuhan energi total yang
ditingkatkan secara bertahap hingga sesuai dengan kebutuhan
4. Rendah serat
5. Cairan cukup, terutama bila ada muntah

17
6. Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam, baik
secara termis, mekanis, maupun kimia
7. Laktosa rendah bila ada gejala intolerensi laktosa
8. Makan secara perlahan
9. Pada fase akut dapat diberikan makanan parenteral saja selama 24-
48 jam untuk memberikan istirahat pada lambung
Evaluasi sangat penting karena sebagian besar gastropati
NSAID ringan dapat sembuh sendiri walaupun NSAID tetap
diteruskan. Antagonis reseptor H2 (ARH2) atau PPI dapat mengatasi
rasa sakit dengan baik. Pasien yang dapat menghentikan NSAID, obat-
obat tukak seperti golongan sitoproteksi, ARH2 dan PPI dapat
diberikan dengan hasil yang baik. Sedangkan pasien yang tidak
mungkin menghentikan NSAID dengan berbagai pertimbangan
sebaiknya menggunakan PPI. Mereka yang mempunyai faktor resiko
untuk mendapat komplikasi berat, sebaiknya diberikan terapi
pencegahan menggunakan PPI atau analog prostaglandin (Hirlan,
2006)
Tiga strategi saat ini diikuti secara rutin klinis untuk mencegah
kerusakan yang disebabkan gastropati NSAID : (i) coprescription agen
gastroprotekti (ii) penggunaan inhibitor selekti COX-2 dan (iii)
pemberantasan H.pylori.
Gastroprotektif : (Scheiman, 2004)
- Misoprostol
Misoprostol adalah analog prostaglandin yang digunakan untuk
menggantikan secara lokal pembentukan prostaglandin yang
dihambat oleh NSAID. Menurut analisis-meta dilakukan oleh Koch
misoprostol mencegah kerusakan GI : ulserasi lambung ditemukan
dikurangi secara signifikan dalam kedua penggunaan NSAID,
kronis dan akut sedangkan ulserasi duodenum berkurang secara
signifikan hanya dalam pengobatan kronis. Dalam studi-co aplikasi
mukosa misoprostol 2000 mg empat kali sehari terbukti

18
mengurangi tingkat keseluruhan komplikasi NSAID sekitar 40%.
Namun penggunaan misoprostol dosis tinggi dibatasi karena efek
samping terhadap GI. Selain itu penggunaan misoprostol tidak
berhubungan dengan pengurangan gejala dispepsia.

- Sukralfat / antasida
Selain mengurangi paparan asam pada epitel yang rusak dengan
membentuk gel pelindung (sucralfate) atau dengan netralisasi asam
lambung (antasida), kedua regimen telah ditunjukkan untuk
mendorong berbagai mekanisme gastroprotektif. Sukralfat dapat
menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin. Sukralfat
masih dapat digunakan pada pencegahan tukak akibar stress,
meskipun kurang efektif. Karena diaktivasi oleh asam, maka
sukralfat digunakan pada kondisi lambung kosong. efek samping
yang paling banyak terjadi yaitu konstipasi. Antasida diberikan
untuk menetralkan asam lambung dengan mempertahankan PH
cukup tinggi sehingga pepsin tidak diaktifkan, sehingga mukosa
terlindungi dan nyeri mereda. Preparat antasida yang paling banyak
digunakan adalah campuran dari alumunium hidroksida dengan
magnesium hidroksida. Efek samping yang sering terjadi adalah
konstipasi dan diare.
- H2-reseptor antagonis
H2 reseptor antagonis merupakan standar pengobatan ulkus sampai
pengembangan PPI. Mereka adalah obat pertama yang efektif
untuk menyembuhkan esofagitis refluks serta tukak lambung.
Namun, dalam pencegahan gastropati NSAID, H2RA pada dosis
standar tidak hanya kurang efektif tetapi juga dapat meningkatkan
resiko ulkus perdarahan. Menggandakan dosis standar menurunkan
kejadian 6 bulan ulkus lambung.
- Proton-pump inhibitor

19
Supresi asam oleh PPI lebih efektif dibandingkan dengan H2RA
dan sekarang terapi standar untuk pengobatan baik tukak lambung
dan refluks gastro-esofageal (GERD).
Tindakan operasi saat ini frekuensinya menurun akibat
keberhasilan terapi medikamentosa. Indikasi operasi terbagi 3, yaitu :
- Elektip (tukak refrakter/gagal pengobatan)
- Darurat (komplikasi : perdarahan masif, perforasi, senosis polorik)
- Tukak gaster dengan sangkutan keganasan.

7. KOMPLIKASI
Pada gastropathi NSAID, dapat terjadi ulkus, yang memiliki beberapa
komplikasi yaitu : (Tjay, 2007)
1. Hemoragi gastrointestinal atas, gastritis dan hemoragi akibat ulkus
peptikum adalah dua penyebab paling umum perdarahan saluran
GI.
2. Perforasi, merupakan erosi ulkus melalui mukosa lambung yang
menembus ke dalam rongga peritoneal tanpa disertai tanda
3. Penetarasi atau obstruksi, penetrasi adalah erosi ulkus melalui
serosa lambung ke dalam struktur sekitarnya seperti pankreas,
saluran bilier atau omentum hepatik
4. Obstruksi pilorik terjadi bila area distal pada sfingter pilorik
menjadi jaringan parut dan mengeras karena spasme atau edema
atau karena jaringan parut yang terbentuk bila ulkus sembuh atau
rusak.

20
BAB III

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN

Dari anamnesis yang dilakukan pada pasien, didapatkan hasil bahwa


pasien mengeluhkan muntah darah sejak tadi malam sebanyak > 5x. Banyak
nya darah lebih dari satu gelas. Pasien juga mengeluhkan BAB kehitaman.
Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalam
bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah
karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti
butiran kopi. Melena yaitu keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti
aspal (ter).
Penyebab dari hematemesis dan melena bisa terjadi karena adanya
perdarahan saluran makanan bagian atas atau adanya perdarahan saluran
makanan bagian bawah. Banyaknya penyebab hematemesis dan melena
membuat kita harus menggali lebih dalam dengan menanyakan keluhan lain.
Pasien mengeluhkan nyeri pada seluruh perut disertai perut terasa perih dan
panas. Pasien juga mengaku mempunyai riwayat sakit maag. Pasien
diketahuai sering mengkonsumsi jamu untuk menghilangkan rasa pegal dan
mengembalikan stamina setelah bekerja, pasien juga sering membeli obat-
obatan untuk menghilangkan sakit kepala yang dibeli diwarung sekitar
rumahnya. Riwayat sakit maag, konsumsi obat-obatan dan jamu dapat
mengarah pada gastropati NSAID, ditunjang juga dari hasil endoskopi
pasien yang menunjukan adanya PanGastroDuodenitis suspek gastropathi
NSAID dengan erosi.

21
Pada perdarahan saluran cerna atas didapatkan menifestasi klinis
umumnya hematemesis dan atau melena, aspirasi nasogastrik didapat
adanya darah, rasio (BUN : kretinin) meningkat > 35, auskultasi usus adalah
hiperaktif sedangkan pada perdarahan saluran cerna bawah didapatkan
menifestasi klinis umum nya hematokezia, aspirasi nasogastrik jernih, rasio
(BUN : kreatinin < 35, auskultasi usus normal . Pada kasus ini pasien lebih
mengarah pada perdarahan saluran cerna bagian atas.
Tn. M mengaku belum pernah sakit serupa. Pasien menyangkal
memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus. Keluarga pasien tidak ada
yang mengeluh sakit serupa. Pada keluarga pasien tidak ada riwayat tekanan
darah tinggi, kencing manis, penyakit hati dan penyakit jantung.
Pemeriksaan selanjutnya untuk menegakan diagnosis adalah
dilakukan nya pemeriksaan fisik. Vital sign menunjukan hasil hipotensi,
hipotensi Tn. M bisa diakibatkan karena anemia dan dehidrasi.
Pada pemeriksaan generalis pasien didapatkan kesan umum
kesakitan. Pemeriksaan status lokalis didapatkan kelainan pada konjungtiva
anemis dan pada daerah epigastrium didapatkan hasil nyeri tekan
epigastrium.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap dan endoskopi. Pada hasil pemeriksaan laboratorium darah
didapatkan adanya penuruna hemoglobin, yakni 3,9 selain itu juga terjadi
peningkatan ureum, yakni mecapai 89 dan peningkatan creatinin sebesar
1,4. Dari hasil endoskopi didapatkan hasil PanGastro Duodenitis suspek
Gastropathi NSAID dengan erosi, ulkus luas bulbus duodeni fores III (ulkus
dengan dasar bersih)
Keadaan klinis gastropati NSAID sangat bervariasi, mulai yang
paling ringan berupa keluhan gastroinestinal discontrol. Secara endoskopi
akan dijumpai kongesti mukosa, erosi-erosi kecil kadang disertai perdarahan
kecil. Lesi yang lebih berat dapat berupa erosi dan tukak multipel,
perdarahan luas dan perforasi saluran cerna (Hirlan,2006)
Untuk mengevaluasi gangguan mukosa dapat menggunakan
Modified Lanza Skor (MLS) kriteria, seperti berikut : (Suyata et all, 2004)
- Grade 0 : tidak ada erosi atau perdarahan

22
- Grade 1 : erosi dan perdarahan di satu wilayah atau jumlah lesi < 2
- Grade 2 : erosi dan perdarahan di satu daerah atau ada 3-5 lesi
- Grade 3 : erosi dan perdarahan di dua daerah atau ada 6-10 lesi
- Grade 4 : erosi dan perdarahan > 3 daerah atau lebih dalam lambung
- Grade 5 : sudah ada tukak lambung
Setelah dilakukan berbagai pemeriksaan, selanjutnya untuk
mengetahui perkiraan resiko perdarahan dan indikasi rawat inap pada
pasien dilakukan berdasarkan skor blatchford dan skor rockall (PGI, 2012)

Tabel 3.1 Skor Blatchford

23
Tabel 3.2. Skor Rockall

Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil urea darah >


25 berarti skor 6, Hb 3,9 berarti skor 6 untuk sistol tekanan darah yaitu 80
berarti skor 3, laju nadi yaitu 68 berarti skor 0 namun pada pasien ini
memiliki riwayat dan komorbid melena sehingga pasien ini memiliki skor 1.
Secara keseluruhan pada pasien ini setelah dilakukan pengukuran dengan
skor blatchford memiliki skor yang tinggi yaitu 16 sehingga pada pasien
membutuhkan intervensi lebih lanjut dan harus dilakukan rawat inap. Untuk
skor Rockall skor didapatkan hasil pada pasien berusia 74 tahun yang berarti
skor 1, laju nadi dengan skor 0, tekanan darah dengan skor 1 dan terdapat
komorbid berupa melena yang berarti skor 2. Secara keseluruhan nilai skor
rockall pada pasien yaitu 4, berarti pasien memiliki resiko perdarahan
dengan prognosis buruk.
Penatalaksanaan pada Tn. M meliputi pengelolaan dasar seperti
perdarahan pada umumnya. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan
stabilitas hemodinamik, menghentikan perdarahan dan mencegah
perdarahan ulang. Tindakan pertama yang dilakukan adalah resusitasi, untuk
memulihkan keadaan penderita akibat kehilangan cairan atau syok.
Tindakan yang pertama kali dilakukan adalah infus cairan Nacl 30 tpm,
asering 30 tpm. Pada hasil Hb pasien pertama kali datang adalah 3,9 maka

24
pasien diberikan transfusi PRC 4 kolf/12 jam. Indikasi pemasangan DC
pada pasien karena terjadinya retensi urin.
Pemberian cefotaxim pada pasien digunakan karena indikasi infeksi
saluran gastrointestinal. Cefotaxim merupakan antibiotik golongan
sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai khasiat bhakterisidal dan
bekerja dengan menghambat sintesis mukopeptida pada dinding sel bakteri,
cefotaxim memiliki aktivitas spektrum yang lebih luas terhadap organisme
gram positif dan gram negatif.
Diberikan juga Proton Pump Inhibitor (PPI) yaitu omeprazole
dimana obat-obat golongan PPI mengurangi sekresi asam lambung dengan
jalan menghambat enzim H+, K+, Adenosine Triphosphatase (ATPase)
(enzim ini dikenal sebagai pompa proton) secara selektif dalam sel-sel
parietal. Enzim pompa proton bekerja memecah KH+ ATP yang kemudian
akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari
kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. Ikatan antara bentuk aktif
obat dengan gugus sulfhidril dari enzim ini yang menyebabkan terjadinya
penghambatan terhadap kerja enzim. Kemudian dilanjutkan dengan
terhentinya produksi asam lambung.
Sukralfat, selain mengurangi paparan asam pada epitel yang rusak
dengan membentuk gel pelindung (sucralfate) atau dengan netralisasi asam
lambung (antasida), kedua regimen telah ditunjukkan untuk mendorong
berbagai mekanisme gastroprotektif. Sukralfat dapat menghambat hidrolisis
protein mukosa oleh pepsin. Sukralfat masih dapat digunakan pada
pencegahan tukak akibar stress, meskipun kurang efektif. Karena diaktivasi
oleh asam, maka sukralfat digunakan pada kondisi lambung kosong. efek
samping yang paling banyak terjadi yaitu konstipasi.
Asam Traneksamat diberikan atas indikasi adanya perdarahan pada
gastrointestinal. Asam traneksamat adalah obat fibrinolitik yang
menghambat pemutusan benang fibrin. Asam traneksamat digunakan untuk
profilaksis dan pengobatan pendarahan yang disebabkan fibrinolysis yang
berlebihan dan angioedemahereditas.

25
Braxidin adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan faktor
emosional dan somatik pada gangguan gastrointestinal. Obat ini
mengandung kombinasi 2 obat, Clidinium dan Chlordiazepoxide. Clidinium
membantu mengurangi gejala kram perut dan usus. Chlordiazepoxide
membantu mengurangi kecemasan, bekerja pada otak dan saraf untuk
menghasilkan efek menenangkan.
Paracetamol diberikan pada pasien karena adanya demam, diazepam
diberikan pada pasien dikarenakan pasien mengeluhkan sulit tidur, codein
diberikan pada pasien dikarenakan pasien mngeluhkan batuk, dexamethason
diberikan untuk mengatasi nyeri perutnya.
Pemberian ribemapid pada pasien untuk mengatasi gastritisnya.
Ribemapid adalah sebuah asam amino turunan dari 2-(1 H)-quinolone, obat
ini bekerja dengan cara meningkatkan sistem pertahanan mukosa,
menangkal radikal bebas, dan mengaktifkan gen yang mengkode
siklooksigenase-2 sehingga mengarahkan efek sitoprotektif pada mukosa
lambung. Penelitian juga telah menunjukan bahwa ribemipide dapat
melawan efek samping NSAID pada mukosa saluran cerna.

B. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan pelaksanaan penanganan pasien


maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum penanganan dan alur
diagnosa telah sesuai dengan guideline yang ada. Pasien secara klinis
membaik merupakan salah satu tanda ketepatan diagnosis dan pengobatan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Adi, P. 2006. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas : Ilmu


Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.

Becker JC, Domschke W, Pohie T. 2004. Current approaches to prevent NSAID-


induced gastropathy- COX selectivity and beyond. Br J Clin Pharmacol.

Davey, P. 2008. Hematemesis & Melena : dalam At a Glance Medicine. Jakarta :


Erlangga.

Hadi, S. 2002. Perdarahan Saluran Makan : dalam Gastroenterologi. Bandung :


PT Alumni.

Hirlan. Gastritis. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S


(editor). 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed,4 Jilid I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih bahasa
Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC

Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI). 2012. Konsensus Nasional


Penatalaksanaan Perdarahan Saluran cerna atas non varises di Indonesia.
PGI. Jakarta.

PB PAPDI. 2005. Penyakit Dalam Indonesia : “Standar Pelayanan Medik. P.B.


PAPDI, Jakarta, Indonesia..

Ponijan, A.P. 2012 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas.

Redaksi ISO Indonesia. 2014. ISO Indonesia. Jakarta : PT. ISFI.

Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. 2012. Perdarahan Saluran Makanan : dalam
Harrison (Prinsip Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta : EGC.

Scheiman JM. 2004. Nonsteroidal antiinflamatory drug (NSAID)- induced


gastropathy. In: Kim, Karen (editor). Acute gastrointestinal bleeding:
diagnosis and treatment. New Jersey : Human Press Inc.

Sudoyo Aru W dkk. 2006. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Sudoyo Aru W. Jakarta:Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta.

27
Suyata, Bustami E, Bardiman S, Bakry F. 2004. A comparison of officacy between
rebamipid and omeprazole in the treatment of nsaid gastropathy. The
Indonesian Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive
Endoscopy Vol 5, No.3.

Tarigan P. 2006. Tukak Gaster. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata


M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed.4 Jilid I. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Tjay TH, Rahardja K. 2007. Analgetika antiradang dan obat-obat rema. In: Obat-
obat penting; khasiat, penggunaan, dan efek efek sampingnya. Jakarta: Elex
Media Kumputindo

28

Anda mungkin juga menyukai