Anda di halaman 1dari 15

DEFINISI

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu yang
berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis
kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut
dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan
gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul
secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang
ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.
PATOGENESIS
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama
kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang
menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus kolesititis (10%)
timbul tanpa adanya batu empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi
duktus sistikus oleh batu empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu.
Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa
dan nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.1,2

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan empedu,


stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin
merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh
dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu
dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan
supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut.
Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat
menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada kehamilan dapat dikaitkan dengan
pengosongan kandung empedu yang lebih lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu
dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel
dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat
adanya batu empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.4
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa teori
telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini. Penyebab utama
penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan litogenisitas empedu.
Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena kolesistitis karena
meningkatnya viskositas empedu akibat demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya
pemberian makan per oral dalam jangka waktu lama sehingga menghasilkan penurunan
atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu,
kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari tertahannya empedu
pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa yang
berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari kolesistokinin
yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu, sehingga empedu pekat
tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat
lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam
patogenesis kolesistitis akalkulus.
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan endotoksin
dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang luas, dan hilangnya
mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga

menghilangkan respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga


menyebabkan stasis kandung empedu.
GEJALA
Tanda awal dari peradangan kandung empedu biasanya berupa nyeri di perut kanan
bagian atas.
Nyeri bertambah hebat bila penderita menarik nafas dalam dan sering menjalar ke
bahu kanan.
Biasanya terdapat mual dan muntah.
Nyeri tekan perut
Dalam beberapa jam, otot-otot perut sebelah kanan menjadi kaku.
Pada mulanya, timbul demam ringan, yang semakin lama cenderung meninggi.
Serangan nyeri berkurang dalam 2-3 hari dan kemudian menghilang dalam 1 minggu.

Gangguan pencernaan menahun

Nyeri perut yang tidak jelas (samar-samar)

Sendawa

DIAGNOSIS
Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian atas yang
bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari pertolongan ke unit gawat
darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah
serta pasien melaporkan adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul,
dan pada beberapa pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang
nyeri bermula dari regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas
(RUQ). Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan
menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang
didapatkan sangat terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan
akibat ventilasi mekanik) dan tidak bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul.
6,7

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas
abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas saat
inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat yang menyebabkan
pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda Murphy positif. Terdapat
tanda-tanda peritonitis lokal dan demam. 6,7
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan
leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien,
ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine
aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di
duktus biliaris.2,6,7
Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi (USG),
computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu. Pada USG,
dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, adanya cairan di
perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak antara probe USG dengan abdomen
kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.1,7

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu memperlihatkan
adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat dengan
pemeriksaan USG. Skintigrafi saluran empedu

8
mempergunakan
zat radioaktif
HIDA atau 99m
Tc6 Iminodiacetic
acid mempunyai
kepekaan dan
ketepatan yang
lebih rendah
daripada USG
dan juga lebih
rumit untuk
dikerjakan.
Terlihatnya
gambaran duktus
koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral
atau skintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.
erdasarkan
Tokyo Guidelines
(2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis adalah:
10

Gejala dan tanda lokal


o

Tanda Murphy
o

Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen


o

Massa di kuadran kanan atas abdomen

Gejala dan tanda sistemik


o

Demam
o

Leukositosis
o

Peningkatan kadar CRP

Pemeriksaan pencitraan
o

Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

10 Diagnosis
kolesistitis jika 1
tanda lokal, disertai
1 tanda sistemik
dan hasil USG atau
skintigrafi yang
mendukung.
10
Komplikasi

Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:

Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang tersumbat. Pasien
dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan ditandai dengan lebih
tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema kadang harus mengubah metode
pembedahan dari secara laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.

Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu berukuran
besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum terminal atau di
duodenum dan atau di pilorus.

Kolesistitis emfisematous, terjadi pada 1% kasus dan ditandai dengan adanya udara di
dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil gas seperti
Escherichia coli, Clostridia perfringens,
dan

11
Klebsiella

sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes, lebih sering pada
laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%). Karena tingginya insidensi terbentuknya
gangren dan perforasi, diperlukan kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih
dari 15% pasien.

Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.


3

2.6

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan ada tidaknya
komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi rawat jalan, sedangkan
pada pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana pembedahan. Antibiotik dapat
diberikan untuk mengendalikan infeksi. Untuk kolesistitis akut, terapi awal yang
diberikan meliputi mengistirahatkan usus, diet rendah lemak, pemberian hidrasi secara
intravena, koreksi abnormalitas elektrolit, pemberian analgesik, dan antibiotik intravena.
Untuk kolesistitis akut yang ringan, cukup diberikan terapi antibiotik tunggal spektrum
luas. Pilihan terapi yang dapat diberikan:
3

Rekomendasi dari
Sanford guide
: piperasilin, ampisilin, meropenem. Pada kasus berat yang mengancam nyawa
direkomendasikan imipenem/cilastatin.

Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah dengan metronidazol.

Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan


nasogastric suction
.

Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin intravena.


3
Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat jalan dengan
syarat: 1.

Tidak demam dan tanda vital stabil 2.

Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium. 3.

Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.

12 4.

Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi imunokompromis. 5.

Analgesik yang diberikan harus adekuat. 6.

Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik. 7.

Pasien harus kembali lagi untuk


follow up
.
3
Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:

Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.

Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk mengkontrol mual dan


mencegah gangguan cairan dan elektrolit.

Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.


3
Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi.
Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis.
Penelitian menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik, waktu
perawatan di rumah sakit semakin berkurang.

13 Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:

Resiko tinggi untuk anestesi umum

Obesitas

Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses, peritonitis, atau fistula

Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.

Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati yang berat.
3
Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase perkutaneus
dengan menempatkan selang (
tube
) drainase kolesistostomi transhepatik dengan bantuan ultrasonografi dan memasukkan
antibiotik ke kandung empedu melalui selang tersebut dapat menjadi suatu terapi yang
definitif. Hasil penelitian menunjukkan pasien kolesistitis akalkulus cukup diterapi
dengan drainase perkutaneus ini.
3
Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode endoskopi
dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan
endoscopic retrograde cholangiopancreatography
dapat memperlihatkan anatomi kandung empedu secara jelas dan sekaligus terapi dengan
mengeluarkan batu dari duktus biliaris.

Endoscopic ultrasound-guided transmural cholecystostomy


adalah metode yang aman dan cukup baik dalam terapi pasien kolesistitis akut yang
memiliki resiko tinggi pembedahan. Pada penelitian tentang
endoscopic gallbladder drainage
yang dilakukan oleh Mutignani et al, pada 35 pasien kolesistitis akut, menunjukkan
keberhasilan terapi ini secara teknis pada 29 pasien dan secara klinis setelah 3 hari pada
24 pasien.
3
2.7

Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu menjadi
tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang

14 menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang
adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun)
mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi
pasca bedah.
1

Anda mungkin juga menyukai