Penulis: Innayah Putri Editor: Dion Rahman Penata sampul: Ulayya Nasution
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan pertama kali tahun 2017 oleh PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta
717031965 ISBN: 978-602-04-5015-5
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
haldep Kata.indd 4 10/23/2017 1:14:32 PM
Prolog
haldep Kata.indd 7 10/23/2017 1:14:32 PM
DESING pesawat terdengar begitu nyaring. Langkah- langkah kaki di atas lantai bandara menggemakan keriuhan yang serupa. Seorang pemuda duduk pada salah satu kursi ru- ang tunggu penumpang. Terpekur, membagi tatap an antara tiket dan ponsel yang sudah mati dalam genggamannya. Layar gelapnya memantulkan wa- jah ragu sang pemilik. Sekali lagi, suara perempuan dari speaker menye- butkan nomor penerbangan dengan nada monoton. Memanggil para penumpang untuk segera naik ke dalam pesawat. Pemuda itu memejamkan mata, kemudian meng- hela napas sebagai upaya meyakinkan dirinya sen diri. Dia melepaskan simcard dari ponselnya, mem- belahnya menjadi dua bagian, lalu melemparnya begitu saja ke dalam tempat sampah. Dia bangkit dan menatap ke sekeliling. Ada ke sedihan yang terbit pada matanya. Dinding-dinding bandara yang kokoh di sekitarnya mungkin jadi salah satu tempat yang mendengar isak tangis per- pisahan paling banyak setelah tanah permakaman dan lantai putih rumah sakit. Hari ini, dia akan me- langkah tanpa seorang pun melepas kepergiannya. Pemuda itu tersenyum masam. Rasanya masih enggan meninggalkan tanah kelahirannya, seolah seluruh tubuhnya telah terpaku di tempat ini. Pada apa yang ingin dia tinggalkan, haruskah dia mengucapkan selamat tinggal yang akan menyisa kan rasa kehilangan? []
viii
haldep Kata.indd 8 10/23/2017 1:14:32 PM
Bagian Pertama
Isi Kata.indd 1 10/23/2017 9:00:02 AM
1 Thalia dan Dhanu
Isi Kata.indd 3 10/23/2017 9:00:03 AM
Thalia ADA aturan-aturan penting dalam hidup yang aku per caya. Salah satunya, jangan pernah memberikan ke sempatan kedua kepada seorang pengkhianat. Tapi sialnya, kadang kemauan hati kerap berlawanan dengan logika. Prinsipku baru saja dilanggar karena membalas pesan seorang mantan yang tidak sanggup aku lupakan. Namanya Radith. Terakhir kali kami berhubungan sekitar enam bulan yang lalu, saat aku menemukannya bersama gadis lain di sebuah kafe. Brengseknya, saat berhasil kupergoki, dia sama sekali tidak menunjukkan raut penyesalan. Dia berlalu, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Membuatku tersadar bahwa selama ini aku memacari seorang sosiopat. Enam bulan setelah kejadian memergoki pacar sendiri selingkuh terasa begitu lambat. Malam-malam di minggu awal sulit sekali mengenyahkan sosoknya dari mimpiku. Tapi ketika aku sudah hampir berhasil melupakan nama nya, tiba-tiba saja dia muncul di hadapanku, mengung kapkan seribu penyesalan yang bisa membuat siapa pun luluh. Setelahnya, aku merasa tidak bisa tidur semalaman sebelum bisa membalas pesannya. Pertanyaan yang se karang bergumul dalam benakku adalah ... ini aku yang bodoh atau Radith yang beruntung sih? “Tha?” “Apaan sih?!” Aku menjawab panggilan Dhanu de ngan keras, nyaris seperti bentakan. Namun sepertinya
Isi Kata.indd 4 10/23/2017 9:00:03 AM
sahabatku yang satu ini sama sekali tidak tersinggung. Dia melirik empat gelas es krim yang sudah kosong di atas meja. “Lo udah ngabisin es krim tiga gelas lho, dan sekarang udah mau jam sembilan. Kafenya mau tutup.” Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Be nar apa yang dibilang Dhanu. Hanya meja kami yang ma sih terisi pengunjung, sementara meja yang lain sudah mulai dirapikan oleh para pegawai. Aku menghela napas dan mengembuskannya keras- keras. Sesaat kemudian aku meraih tasku dari atas meja dan segera beranjak. Setelah berada di luar, alih- alih langsung ke parkiran, Dhanu malah pergi ke mini market samping kafe. Aku memilih untuk duduk di atas motor hitam besarnya dan menatap langit. Hanya beberapa bintang yang kelihatan, kemungkin an besar karena polusi udara yang kian buruk di ibu ko ta. Dari tempatku berdiri di area parkiran, aku melihat Dhanu tengah mengantre di kasir dengan kedua tangan yang terangkat, entah sedang membawa apa. Diam-diam aku merasa lega. Jika kebanyakan laki-laki yang hadir di hidupku adalah perwujudan dari sebuah kesialan, maka Dhanu bisa dibilang sebuah pengecualian—di luar ayah dan abangku tentunya. Sekalipun punya catatan hitam seba gai seorang player kelas atas, dia tidak pernah menge cewakan aku sebagai sahabatnya. Cowok itu tidak per nah protes atas sikap semena-menaku, juga selalu bisa memahamiku tanpa aku perlu banyak bicara.
Isi Kata.indd 5 10/23/2017 9:00:03 AM
Secara singkat, aku hanya bisa mendefinisikan keber adaannya sebagai perwujudan sempurna seorang saha bat. Kami bertemu untuk pertama kali di lapangan upa cara dua tahunan yang lalu. Aku dengan Dhanu. Aku ingat betapa konyolnya aku siang itu. Memakai atribut serbaaneh dari ujung kaki sampai ujung kepala hanya demi memenuhi budaya pembodohan bernama ospek. Karena terlambat, kami kena hukum bersama saat itu, dan dengan gaya sok pahlawannya, dia membelaku di depan kakak panitia OSIS. Waktu aku tanya kenapa dulu dia sampai senekat itu, dia akan menjawab dengan kerlingan mata, kemudian bibirnya yang tipis kemerahannya akan tersenyum miring. “Soalnya dulu lo cantik banget, Tha. Gue nggak bisa liatin cewek cakep diperlakukan dengan semena-mena.” Aku tidak bisa tidak memasang tampang jijik, tetapi diam-diam mengulas senyum saat mendengar jawaban nya. Begitulah takdir mengatur pertemuan demi perte muan yang mendekatkan aku dengan Dhanu. Kami tidak pernah berikrar untuk menjadi sahabat sehidup semati, karena memang seperti itu persahabatan, bukan? Tidak ada awal. Juga tidak ada akhir. “Tha!” Suara Dhanu membuyarkan lamunanku, mem buat ingatanku pada masa lalu pecah dan tercecer. Aku mengernyitkan dahi ketika sebuah plastik di letakkan Dhanu ke tanganku. “Stok, biar lo nggak bunuh diri nanti malam,” katanya seraya mengenakan helmnya.
Isi Kata.indd 6 10/23/2017 9:00:03 AM
“Ah, Dhanu … I love you to the moon!” Senyumku me ngembang ketika menemukan tiga batang cokelat dan sekotak es krim berukuran medium di dalam tas plastik di tanganku. Yah, dengan makanan-makanan manis ini, biasanya hari-hariku akan membaik. “I love you to the sun Tha!” Tangannya menepuk-nepuk jok kosong di belakang. “Sekarang buruan naik, nanti gue diomelin abang lo kalo mulangin lo kemaleman.” Aku segera naik dan sepanjang perjalanan kami mem bicarakan banyak hal. Kebodohan Dhanu di turnamen futsal terakhirnya kemarin, gebetan Dhanu yang sudah dua tahun digantung, sampai kapten futsal sekolah kami yang kerennya tiada tara. Bukan tanpa alasan kenapa si kapten futsal itu jadi topik obrolan kami. Sejak tatapanku dengan sang bin tang lapangan itu berserobok satu bulan lalu di lorong sekolah, aku sudah memutuskan aku harus mengenal dia lebih jauh. Kalau saja itu bukan Fadli, mungkin mudah saja buat aku untuk melancarkan pendekatan. Tapi ini Fadli, Edward Collins-nya SMA Persada Mandiri. Bayangkan saja, di saat sekumpulan cowok tengil ma cam Dhanu ini sibuk tebar pesona ke mana-mana, Fadli tetap betah single selama hampir tiga tahun lamanya. “Jadi bener kan, Nu, Fadli fix nggak punya pacar?” Aku mengulang kembali pertanyaanku, berusaha memasti kan medan sekali lagi. Dhanu mengangguk yakin di balik helmnya. “Yakin gue, Fadli itu cuma pintar futsal doang. Kalau soal cewek, jam terbangnya cetek banget.”
Isi Kata.indd 7 10/23/2017 9:00:03 AM
Aku bertepuk tangan, lantas berkata dengan nada memuja, “Ya iyalah, bedain dong playboy bau kambing kayak lo sama cowok berkelas macam Fadli.” Dari kaca spion aku melihat Dhanu mendengus jengah. “Gini-gini juga gue kesayangannya lo, Tha.” Aku nyengir mendengar kalimat Dhanu, dan anehnya tidak berani membantah. “Ya iya dong, lo kan sahabat tersayang gue,” kataku dengan nada manja. Selanjutnya aku meletakkan daguku di bahunya, berusaha membujuk Dhanu. “Jadi, kapan nih, Nu, mau ngasih gue id Line-nya Fadli?” []
Isi Kata.indd 8 10/23/2017 9:00:03 AM
Tentang Penulis
Innayah Putri biasa di panggil
Naya, lahir di Tangerang, 10 Mei 1997. Sejak kecil, sudah hobi membaca, mulai menulis sejak kelas 5 SD. Naya memiliki banyak cita-cita, seperti menjadi penulis buku Mega Best Seller yang novel nya diangkat jadi film, serta kerja di stasiun TV ternama. Saat ini dia sedang berusaha meraih gelar sarjana jurusan Komunikasi di Universitas Pembangunan Nasi onal “Veteran” Jakarta. Kata Tiga Hati adalah novel kedua Naya, sementara novel pertamanya “Are You? Really?” juga bisa ditemukan di toko buku terdekat. Naya bisa dihubungi di: Line: @hrh0498r Instagram: Innayahp Wattpad: InnayahPutri