Anda di halaman 1dari 4

Nama : I Komang Marjaya Adi Surya

NIM : 1915051088
Rombel :5

Kearifan lokal kampung Sawah


Pada video tersebut dapat kita lihat bahwa implementasi dari ajaran falsafat Tri
Hita Karana begitu terasa. Sebelumnya, Tri Hita Karana merupakan pengertian tiga
penyebab kebahagiaan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara tiga hal
yaitu, Parhyangan yang artinya hubungan Manusia dengan Tuhan, Palemahan yang
artinya Manusia dengan alam lingkungan, dan yang ketiga adalah Pawongan yang
artinya hubungan Manusia dengan sesama.
Parhyangan merupakan hubungan Manusia dengan Tuhan, yang menegaskan
bahwa kita harus selalu sujud bakti kepada Tuhan, Sang Pencipta Alam Semesta
beserta isinya. Menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan tentu kita pun harus selalu
berada didalam jalan-Nya,menjauhi larangan-Nya dan selalu rajin sembahyang dengan
tujuan mengucap syukur atas segala berkah maupun kesulitan yang sedang kita hadapi
agar diberikan petunjuk dan Tuhan menjadikan kita pribadi yang semakin baik
kedepannya. Pada video kearifan lokal kampung sawah tersebut hubungan manusia
dengan Tuhan sangat harmonis dan tidak membeda-bedakan kepercayaan, dimana
dicontohkan dengan adanya orang Kristen yang pergi ke Masjid, atau orang Muslim
yang pergi ke Gereja.
Pawongan merupakan hubungan manusia dengan sesamanya. Dalam artian bisa
dikatakan pawongan mempunyai makna kita harus bisa menjaga keharmonisan
hubungan dengan keluarga, teman dan masyarakat. Pada video tersebut hubungan
manusia dengan sesama dapat dilihat bahwa begitu harmonis dimana toleransi yang
ada sangatlah tinggi walaupun di kampung tersebut memiliki banyak
kepercayaan/keyakinan tapi orang orang yang ada di kampung itu bisa memiliki
toleransi yang tinggi antar sesama.
Kearifan Lokal Megibung di Karangasem

Megibung merupakan tradisi atau kearifan lokal ciri khas warga Karangasem, daerah
yang terletak di ujung timur Pulau Dewata Bali, Indonesia. Kata megibung berasal dari
kata dasar gibung dan mendapat imbuhan me. Gibung artinya kegiatan yang dilakukan
banyak orang secara bersama-sama berkumpul saling berbagi antara satu orang dengan
yang lainnya. Megibung adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang
untuk duduk makan bersama dan saling berdiskusi dan berbagi pendapat.

Tradisi megibung diperkenalkan oleh Raja Karangasem yaitu I Gusti Agung


Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi. Tradisi ini
dibawa oleh I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem saat menang perang dalam
menaklukan kerajaan-kerajaan di Sasak, Lombok. Dahulu, saat prajurit sedang makan,
Sang raja membuat aturan makan bersama dalam posisi melingkar yang dinamakan
megibung. Bahkan, Sang Raja ikut makan bersama dengan para prajuritnya.

Tata cara megibung yaitu warga menyiapkan makanan di atas nampan yang
sudah dialasi daun pisang terkadang dengan nampan saja sudah cukup. Disinilah timbul
istilah gibungan dan karangan, gibungan merupakan nasi putih yang diletakkan di
wadah tersebut, sedangkan karangan atau juga disebut selaan merupakan lauk dan
sayurnya. Kemudian dibentuklah sela atau kelompok berisi 5-8 orang atau
menyesuaikan, duduk bersila membenuk lingkaran posisinya sesuai arah jarum jam.
Kembali ada istilah yaitu pepara adalah orang yang bertugas menuangkan nasi dan lauk
ke dalam wadah. Lauk yang pertama dituangkan adalah sayur sedangkan daging
merupakan lauk terakhir yang dituangkan.

Ada beberapa etika yang perlu diperhatikan ketika megibung yaitu harus
mencuci tangan terlebih dahulu, saat makan tidak boleh menjatuhkan sisa maknan dari
suapan, tidak boleh mengambil makanan yang ada di sebelah kita, dan apabila ada yang
sudah kenyang tidak boleh meninggalkan tempat atau meninggalkan temannya. Air
minum disediakan dalam kendi tanah liat. Cara meminumnya diteguk dari ujung kendi
sehingga bibir tidak menyentuh kendi yang disebut nyeret. Namun sekarang lebih
praktis, air kendi diganti dengan air mineral kemasan.

Berdasarkan kearifan lokal Tri Hita Karana, Megibung dapat dijabarkan secara
Teologis (Parhyangan), Sosial (Pawongan), dan Ekologis (Palemahan) sebagai berikut:

Kearifan lokal secara Teologis (Parhyangan), saat ini kegiatan megibung kerap
kali dapat dijumpai pada saat prosesi berlangsungnya Upacara Adat dan Keagamaan di
suatu tempat di Karangasem. Seperti misalnya dalam Upacara Dewa Yadnya, Pitra
Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya. Pada kegiatan ini biasanya
yang punya acara memberikan undangan kepada kerabat serta sanak saudaranya guna
menyaksikan prosesi kegiatan upacara keagamaan tersebut. Sehingga prosesi upacara
dapat berlangsung seperti yang diharapkan. Disanalah akan timbul hubungan antara
manusia dengan tuhan.

Kearifan lokal secara Social (Pawongan), saat megibung orang-orang akan


duduk bersama sambil menikmati makanan. Kegiatan ini diisi dengan berbagi cerita
hingga tukar pikiran. Dalam sebuah acara, megibung biasa dilakukan sebelum para
tamu atau sanak saudara pulang. Mereka diajak makan sebagai tanda terima kasih dan
juga jalinan keakraban serta kekeluargaan. Disanalah akan terjalin hubungan manusia
dengan manusia untuk berinteraksi sosial.

Kearifan lokal secara Ekologis (Palemahan), setelah berselang waktu beberapa


menit kelompok yang mengikuti tradisi megibung tersebut akan sama- sama
membersihkan lingkungan, tempat acara berlangsung. Ketika tradisi megibung
dilaksanakan, alas makanan untuk megibung menggunakan alas makanan ramah
lingkungan seperti daun pisang atau hanya mengguakan nampan saja, secara tidak
langsung sudah mengurangi penggunahan alas makan seperti kertas minyak yang tidak
ramah ligkungan. Disanalah akan timbul hubungan manusia dengan alam atau
lingkungan sekitarnya.

Dengan demikian tradisi atau kearifan lokal Karangasem ini yaitu Megibung
memiliki kearifan lokal Tri Hita Karana yaitu Kearifan Lokal Teologis (Kearifan lokal
Parhyangan), Kearifan Lokal Sosial (Kearifan Lokal Pawongan), Kearifan Lokal
Ekologis (Kearifan Lokal Palemahan).

Anda mungkin juga menyukai