Anda di halaman 1dari 12

Sengketa dengan Telkom AriaWest Pertimbangkan Arbitrase Internasional

A. Kronologi Kasus PT. Telkom dan PT. AriaWest Indonesia

Telkom cidera janji

Pernyataan pihak AWI ini agaknya ingin menegaskan kembali posisi PT Telkom yang

dianggap telah cidera janji dalam kontrak KSO (kerjasama operasi). Sebelumnya, pada 1

April 2001 AWI mengeluarkan rilis yang menyatakan pihaknya akan menyetop pembayaran

pendapatan ke Telkom. Ini terkait dengan tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban

Telkom dalam kontrak KSO. Sebagai mitra KSO Telkom dalam pembangunan tambahan

SST (satuan sambungan telepon) di Divisi Regional (Divre) III Jawa Barat, AWI diwajibkan

mengeluarkan MTR (Minimum Telkom Revenue) untuk setiap SST yang telah terpasang. Di

pihak lain, Telkom wajib membangun sejumlah 474.000 SST sebagai lawan prestasinya.

Dalam perjanjian itu, Telkom juga menyanggupi menyelesaikan 107.536 SST

tambahan di Divre III pada akhir 1997. Atas dasar itulah kemudian AWI menyanggupi dan

mulai membayar MTR pada Februari 1996. Akan tetapi, sampai dengan 30 Maret 2001,

meminjam istilah AWI, Telkom gagal memenuhi kewajibannya. Denni menjelaskan bahwa

bagaimanapun juga, jumlah MTR adalah fixed karena acuannya adalah jumlah SST yang

dianggap telah ada. "Sekarang yang terjadi kami telah membayar MTR tersebut mulai 1996,

tetapi SST tambahan yang diperjanjikan ternyata belum terpasang," kata Denni. Itu

merupakan konsekuensi logis karena 107.536 SST yang dijadikan asumsi awal tidak

terpenuhi sebagaimana mestinya.

Sedangkan menurut Telkom, mereka telah memenuhi target 107.536 SST dan bahkan

realisasinya telah melebihi target. Seperti diberitakan Kompas, Presiden Komunikasi Telkom,

D. Amarudien, sejak November 1995 telah terbangun sebanyak 152.940 SST atau ALU
(access line unit). Ditambah lagi, semua bukti-buktinya telah diserahterimakan kepada

Direksi AWI pada 16 Juli 1997. Ketika hal ini dikonfirmasikan ke AWI, mereka menyatakan

berkas-berkas yang diserahkan Telkom pada 1997 itu hanyalah merupakan klaim, bukan

bukti realisasi proyek. Terlebih lagi, AWI menganggap berkas-berkas tersebut tidak disertai

dengan data pendukung yang cukup.

Dan tidak seperti yang diberitakan di beberapa media, Denni mengungkapkan bahwa

pembayaran MTR yang dihentikan hanya sebesar 25% dari jumlah yang seharusnya. Sejak

1996 AWI membayar MTR kepada Telkom sebesar Rp340 miliar. AWI menghentikan

pembayaran pendapatan atas saham tambahan kepada Telkom itu sebagai upaya untuk

mengembalikan kelebihan pembayaran. Sebagai pilihan lain untuk menyelesaikan sengketa

dengan Telkom, AWI saat ini tengah serius menjajaki opsi buy out. Akan tetapi, lagi-lagi

negosiasi buy out pun berjalan tersendat. Pasalnya, harga yang diajukan Telkom sangat jauh

terpaut dengan yang diinginkan AWI.

Untuk transaksi buy out ini, AWI mengajukan nilai AS$ 1,3 miliar, sedangkan

Telkom di lain pihak merasa cukup dengan angka AS$ 260 juta. Nilai transaksi kedua mitra

bisnis ini memang terpaut sangat jauh. Argumen Telkom yang menyertai angka AS$ 260 juta

mengacu pada penilaian kinerja AWI. Di sisi lain, AWI menyatakan jumlah itu masih jauh

dari hasil proyeksi ABN Amro atas transaksi itu, yaitu sebesar AS$ 675 juta. ABN Amro

dalam hal ini, menurut AWI, merupakan konsultan independen yang tidak ada hubungan

bisnis dengan AWI dan juga Telkom. "Jadi penilaiannya pasti objektif," tegas Denni .

Sebenarnya, saat kontrak KSO ditandatangani pada 1995, AWI dan Telkom sepakat untuk

melakukan kerjasama sampai dengan 2010. Kemudian di tengah jalan, lahirlah UU No.36

tahun 1999 tentang Telekomunikasi, sehingga pemerintah menawarkan mitra KSO Telkom
lima opsi, yaitu modifikasi perjanjian, joint venture dengan Telkom atau Indosat, lisensi, dan

yang terakhir buy out.

Tidak diperlukan analisa khusus untuk mengatakan bahwa negosiasi ini akan berjalan

lebih alot ketimbang negosiasi pembelian silang saham Telkom dengan Indosat beberapa

waktu lalu. Ketika ditanya apakah AWI masih akan mencari alternatif lain untuk

menyelesaikan sengketa dengan Telkom, Denni menyatakan pihaknya telah memulai babak

berikutnya dari proses tersebut, yaitu menyiapkan bahan-bahan hukum untuk di Geneva,

Swiss nanti.

Inisiatif arbitrase internasional telah mendapat persetujuan dari semua pemegang

saham AWI. Denni mengatakan, keputusan Presdir AWI John Vondras telah dikonsultasikan

dengan para pemegang saham yang di antaranya adalah perusahaan-perusahaan asing. "Jadi,

dalam hal ini direksi AWI tidak berjalan sendiri," kata Denni. Walaupun saham AWI

mayoritas dipegang oleh badan hukum lokal PT Artimas Kencana Murni (52,5%), sisanya

hingga kini masih dimiliki AT&T (35%), dan Asian Infrastructure Fund (12,5%) yang

notabene perusahaan multinasional. Oleh karena itu, dapat dimaklumi jika AWI lebih

memilih arbitrase internasional ketimbang arbitrase lokal dalam klausul penyelesaian

sengketa dengan Telkom.

Kuatnya pengaruh investor asing dalam tubuh AWI juga tercermin dari ancaman

Vondras. AWI akan keluar dari Indonesia jika kemelutnya dengan Telkom bertambah parah.

Pihak AWI agaknya tahu benar bagaimana mengancam pemerintah Indonesia. Buktinya,

pemerintah langsung menawarkan untuk ikut menengahi perselisihan tersebut. Menteri

Perhubungan Agum Gumelar Sabtu setelah bertemu dengan Presiden Abdurrahman Wahid di

Istana Merdeka pada 7 April 2001 berjanji akan memfasilitasi kedua kubu agar "perceraian"

antara AWI dengan Telkom dapat berjalan mulus. Agum belum menentukan seperti apa
bentuk fasilitasinya, tapi itu telah menunjukan kepedulian pemerintah atas persoalan ini.

Agaknya sulit meyakinkan AWI untuk tidak melanjutkan sengketa ini ke arbitrase

internasional, dan sebaliknya menunggu jalur yang akan dirancang pemerintah. Pasalnya,

pemerintah dan Telkom selama ini seia sekata. Jadi, mungkin pihak AWI menilai tawaran itu

adalah lelucon belaka.

Memang, tidak mudah bagi pemerintah untuk bersikap obyektif dalam menangani

masalah ini. Jika kisruh Telkom dan AWI jadi dibawa ke arbitrase internasional, pertarungan

antar-pengacara dua kubu dapat diramalkan akan berlangsung seru. Dalam hukum perdata

internasional, pilihan forum (choice of forum) merupakan dasar hukum utama untuk

menentukan di mana akan diselesaikannya suatu sengketa. Apabila pokok persengketaan

merupakan akibat dari pelaksanaan suatu kontrak internasional, maka biasanya pilihan forum

dapat ditemukan dalam klausul penyelesaian sengketa (settlement of disputes clause) yang

termuat dalam kontrak internasional dimaksud. Khususnya untuk pilihan menggunakan

arbitrase, istilah yang dipergunakan adalah klausul arbitrase (arbitration clause).

Ancaman dari AWI untuk menghentikan operasinya di Indonesia dan mengadukan

gugatan ke Mahkamah Arbitrase di Swiss tentunya didasarkan pada suatu klausul arbitrase

(arbitration clause) dalam Perjanjian KSO (KSO Agreement) yang ditandatangani antara

Telkom dan AWI pada 20 Oktober 1995. Pasal 18.3 tentang Arbitrase dari Perjanjian KSO

mengatur sebagai berikut:

"Kedua belah pihak sepakat dan setuju bahwa setiap perselisihan yang tidak dapat

diselesaikan berdasarkan Pasal 18.1, akan diajukan ke arbitrase berdasarkan ketentuan Badan

Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), berdasarkan kesepakatan para pihak, atau bila tidak

ada kesepakatan bersama secara tertulis, akan diselesaikan berdasarkan ketentuan arbitrase

dari International Chamber of Commerce di Jenewa oleh salah satu atau beberapa arbiter
yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan badan tersebut di atas". Mendasarkan ketentuan di

atas, baik AWI dan Telkom saat menandatangani Perjanjian KSO pada 20 Oktober 1995 telah

sepakat bahwa apabila muncul persengketaan atau perselisihan dalam pelaksanaan KSO

maka akan diselesaikan dengan mengutamakan musyawarah/cooperative negotiation (Pasal

18.1 Perjanjian KSO). Namun apabila tidak tercapai penyelesaian, akan dipilih forum

arbitrase.

Hal yang unik dan kontradiktif nampak dari Klausul Arbitrase Perjanjian KSO.

Diberikannya 2 (dua) pilihan badan arbitrase yaitu BANI atau International Chamber of

Commerce (ICC) merupakan hal yang tidak umum dilakukan dalam penyusunan suatu

kontrak internasional. Apakah pada saat ditandatanganinya Perjanjian KSO, telah muncul

keraguan di benak AWI terhadap kapabilitas dan komitmen forum arbitrase nasional (dalam

hal ini BANI) untuk menyelesaikan sengketanya ataukah AWI merasa lebih "secure" dengan

arbitrase internasional?

Terlepas dari apapun, alasan adanya 2 (dua) pilihan BANI atau ICC, hal yang perlu

dicermati adalah sepanjang para pihak sepakat, maka pilihan forum arbitrase ke ICC perlu

dihormati oleh semua pihak, termasuk pula Pemerintah RI dan para pemegang saham

(shareholders) Telkom.

1. Untung rugi arbitrase internasional

Keuntungan utama pemilihan arbitrase (komersial) internasional adalah dijaminnya

pelaksanaan proses yang "fair and confidence" secara hukum, tetapi tetap memperhatikan

kepentingan-kepentingan bisnis dari para pihak. Secara umum, seringkali arbitrase dipilih

didasarkan tiga hal.


Pertama, kompetensi dari para arbiter yang akan selalu disesuaikan dengan jenis

persengketaannya sehingga dapat diyakini akan memberikan putusan yang

layak. Kedua, fleksibilitas dalam proses beracaranya di mana tidak adanya keharusan

berperkara di tempat tertentu dan sekaligus hukum yang akan dipakai atau bahasa yang akan

dipergunakan. Ketiga, sifat dari putusan arbitrase yang "final and binding", sehingga putusan

tersebut dapat langsung dilaksanakan oleh para pihak agar terhindar dari bentuk upaya hukum

(seperti banding atau kasasi dalam pengadilan nasional) yang cenderung dipergunakan untuk

menunda-nunda pelaksanaan putusan.

Kelemahan atau kerugian mempergunakan arbitrase internasional lebih didasarkan

kepada permasalahan pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase internasional

(recognition and enforcement of foreign arbitral awards). Sering kali pihak yang kalah dalam

suatu sengketa melalui arbitrase (komersial) internasional merasa keberatan melaksanakan

keputusan dan pengadilan nasional yang diharapkan dapat membantu proses pelaksanaan

keputusan arbitrase internasional ternyata kurang memberikan respons yang konstruktif.

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa pada 12 Agustus 1999 tentunya diharapkan dapat

membentuk paradigma dan harapan baru dalam permasalahan pengakuan dan pelaksanaan

keputusan arbitrase internasional di Indonesia. Tentu hal ini akan berimplikasi pula bagi para

investor asing di mana mereka memiliki kepastian hukum apabila akan memilih arbitrase

internasional dalam melaksanakan bisnisnya di Indonesia.

2. Ronde pertama: Telkom

Keputusan Telkom menerima "gugatan" AWI di arbitrase internasional dan tidak

bersikukuh untuk memilih BANI merupakan modal awal bagi Telkom dalam menyelesaikan
perseteruan yang terjadi. Hal ini menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Telkom

bersikap ksatria dan profesional. Tanpa mengurangi eksistensi dan komitmen BANI dalam

penegakan hukum di Indonesia, pilihan Telkom untuk berhadapan dengan AWI di arbitrase

internasional, tentu hanyalah semata-mata menghormati kesepakatan sebagaimana termuat

dalam Perjanjian KSO itu sendiri. Ditunjuknya kantor hukum dari Amerika Serikat, yaitu

Skadden, Arps, Slate, Meagher & Flom LLP (SASMF) untuk mewakili kepentingan Telkom

di arbitrase internasional dapatlah dipahami. Tentu Telkom tidak mau bernasib sama dengan

"saudara tuanya" PLN yang mengalami kekalahan telak dari Himpurna California Energy

Ltd. dan Patuha Power Ltd. di arbitrase internasional dengan menggunakan Rules of United

Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) pada Mei 1999.

Reputasi SASMF sebagai salah satu "top law firm" tidak hanya di Amerika Serikat,

tapi juga di dunia internasional, dapatlah kiranya memberikan harapan kemenangan bagi

Telkom. Dalam penyelesaian sengketa di arbitrase internasional dengan

mempergunakan Rules of ICC, SASMF antara lain telah berpengalaman mewakili perusahaan

manufaktur ban dari Hungaria berkaitan sengketa kontrak transfer teknologi dengan

perusahaan manufaktur ban dari Amerika Serikat; perusahaan telekomunikasi Polandia

berkaitan sengketa jual beli saham; dan perusahaan Indonesia berkaitan dengan perjanjian

pengadaan bahan bakar. Perlu diingat, untuk law firm sekaliber SASMF, mereka tidak akan

menerima kasus dan bersedia mewakili klien begitu saja apabila mereka tidak yakin untuk

menang. Pemilihan kuasa hukum yang tepat di depan arbitrase internasional, menjadi sangat

signifikan untuk memenangkan persengketaan. Pemahaman yang menyeluruh terhadap

pokok materi sengketa dan "kelihaian" mengatasi liku-liku proses beracara (procedural

process) di arbitrase, terlebih arbitrase internasional, merupakan prasyarat utama bagi kuasa

hukum yang akan ditunjuk.


3. Telkom vs. AWI murni sengketa hukum bisnis?

Rencana AWI untuk menuntut Telkom ke arbitrase internasional dapat ditafsirkan

secara sederhana bahwa telah terjadi persengketaan hukum bisnis yang muncul akibat dari

pelaksanaan Perjanjian KSO 1995. Namun apabila melihat beberapa bulan ke belakang,

nampaknya situasi yang terjadi tidaklah semata-mata murni sengketa hukum bisnis. Kasus ini

berawal dari ketidakharmonisan hubungan kerja antara karyawan KSO Divre III Jabar

dengan General Manager (GM) KSO yang hampir saja berbuntut pemogokan masal. Bahkan,

Serikat Karyawan Telkom Divre III Jabar dan Serikat Karyawan (Sekar) Telkom menemukan

indikasi dugaan praktek manipulasi dana sejumlah Rp74 miliar yang dilakukan oleh AWI

melalui GM Unit KSO Divre III Michael Lee Towne. Puncaknya pada awal April 2001,

pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandung telah pula memanggil sejumlah pejabat KSO Divre

III untuk dimintai keterangan sehubungan dugaan manipulasi dana tersebut (Pikiran Rakyat,

5/4). Apakah tindakan oleh Kejari Bandung dengan memanggil sejumlah pejabat KSO Divre

III membuat gerah AWI, sehingga merasa terpojokkan. Dan karenanya, AWI merasa perlu

untuk menghentikan operasinya di Indonesia serta memintakan ganti rugi kepada Telkom

sebesar AS$1,3 miliar melalui arbitrase internasional.

B. Penyelesaian Perselisihan Antara Telkom dengan PT. Aria West

1) Tujuan MoU

a. Agar pembangunan jaringan baru yang merupakan kewajiban mitra usaha dapat

berlanjut.

b. Agar kepercayaan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia dapat

dipertahankan.

c. Agar Telkom dapat terhindar dari kerugian yang lebih besar bila perjanjian KSO

diterminate.
d. Jangka waktu MoU singkat, yaitu 2 tahun

e. Dalam rangka mengembangkan suatu kerangka kerja yang menjamin kelayakan

ekonomis jangka panjang proyek KSO

2) Akibat Hukum Mou

 Pengurangan kewajiban Mitra Usaha terhadap hak Telkom, yaitu:

a. Pengurangan biaya minimum diklat dari 1,5% è 0,75%

b. Pengurangan biaya litbang dari 1,5% è 0,75%

c. Pengurangan 50% kewajiban minimal membangun jumlah sst

d. Pengurangan DTR dari 90% è 70%

e. Pengurangan 50% dari kewajiban membangun jaringan sst

 Kewajiban Mitra Usaha yang dihilangkan, yaitu:

a. Jaminan pelaksanaan sebesar 5% dari jumlah nilai usulan investasi sarana

jaringan baru dihilangkan.

b. Penyediaan bank garansi dihilangkan

c. Event of Default dihilangkan

d. Debt to equity ratio dihilangkan

e. Hak opsi akan dihilangkan

 Perubahan kewajiban Mitra Usaha, yaitu:

a. Perubahan konsep operating capital expenditure.

b. Perubahan arus kas jangka pendek.

c. Perubahan MTR yang seharusnya disesuaikan dari waktu ke waktu,

sehingga tidak ditentukan besarnya menjadi ditentukan besarannya 1% untuk

tahun 1998 dan 1,5% untuk tahun 1999.


d. Investor bebas biaya sewa property, biaya penyediaan suku cadang dan Telkom

akan menyediakan kapasitas lebihnya yang diperlukan investor secara cuma –

cuma.

 Ketetapan baru yang disepakati bersama, yaitu:

a. Hak eksklusif Mitra Usaha ditetapkan selama Pelita VII

b. Penetapan pencapaian Universal Service Obligation oleh mitra dianggap telah

mencapai 5% dari total investasi dan Telkom menganggap bahwa 50% dari desa

terjangkau fasilitas telekomunikasi.

c. Biaya negosiasi ditanggung KSO

d. Penetapan MOU menjadi amandemen KSO

e. Penetapan mulai berlaku setelah ada pernyataan persetujuan

f. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia

 Potensi Kerugian Telkom Akibat MOU

a. Adanya revisi jumlah sst dari 2 juta menjadi 1,2 juta

b. Telkom berpotensi rugi sekitar Rp. 875,623 milyar akibat adanya revisi jumlah

sst

c. Potensi rugi DTR sebesar Rp. 746,162 milyar dan MTR sebesar Rp. 72,453

milyar

d. AAJ menemukan rugi efisiensi di Telkom pada tahun 1998-1999 sebesar Rp.

3,72 trilyun

e. Kerugian Telkom dari potensi sebesar Rp. 1,83 trilyun

f. Kerugian Telkom dari peluang penghematan atau keuntungan sebesar Rp.

740,89 milyar

3) Perjanjian Kso Dapat Diakhiri Oleh Telkom Apabila:

a. Mitra Usaha memberikan pernyataan palsu atau melakukan perbuatan tidak sah.
b. Mitra Usaha tidak melanjutkan bisnisnya dalam kegiatan yang wajar atau

menjadi insolvensi, pailit atau kewajiban-kewajibannya sudah jatuh tempo.

c. Mitra Usaha gagal dalam melakukan pembangunan fisik, menghentikan

pembangunan jaringan baru selama 20 hari atau lebih.

d. Mitra Usaha gagal memenuhi jadwal pem-bangunan, gagal menyelesaikan uji

laik operasi dan melanggar perjanjian.

4) Force Majeur adalah suatu keadaan yang tiba-tiba atau suatu keadaan yang tidak bisa

diprediksi

a. Sesuai Pasal 1244 jo Pasal 1245 KUHPerdata, keadaan darurat baru ada kalau

dua syarat terpenuhi yaitu pelaksanaan tidak mungkin karena ada halangan

dan/atau halangan tersebut bukan salah debitur.

b. Krisis moneter bukan merupakan force majeur karena seharusnya Aria West

bisa meng-hedge hutangnya dari investor atau menutup risiko kerugian dengan

asuransi.

5) Pembentukan Tim Mediasi

a. Mengaudit Aria West oleh BPKP dan tim independen

b. Melakukan negosiasi agar kasus tidak dibawa ke Arbitrase Internasional

c. Terjadi kesepakatan antara Telkom dengan Aria West tentang buy out Aria

West

d. Aset Aria West akan dinilai

6) Valuasi Aset Aria West

a. Penilaian Aset Aria West

Telkom menilai aset Aria West maksimal valuasi US$ 300 juta. Aria West memiliki

hutang sebesar US$ 282 juta, artinya nilau ekuitasnya maksimum hanya US$ 18 juta. Bila

menggunakan harga pasar obligasi yaitu US$ 75 sen per US$ 1 (diskon 25%), nilai ekuitas
menjadi US$ 88,5 juta. Menurut Aria West, investasinya di Jawa Barat sebesar US$ 460 juta

(US$ 280 juta berasal dari pinjaman) ditambah dengan potensi pendapatan yang hilang akibat

putusnya KSO è total senilai US$ 1300 juta

b. Buy Out Aria West

Pada tanggal 1 Agustus 2003 è Telkom selesaikan pembelian Aria West senilai US$

167,77 juta setelah Aria West mencabut gugatannya di ICC dengan ketentuan sebagai

berikut:

1) US$ 58,67 juta dibayar secara tunai (US$ 20 juta telah dibayarkan pada saat

penandatanganan perjanjian jual beli bersyarat pada bulan Mei 2002.

2) US$ 109,1 juta akan dibayar dengan promes (tanpa bunga) dalam 10 kali angsuran

untuk tiap semester.

3) Telkom menilai aset Aria West sebesar US$ 160 juta – 180 juta

4) Aria West yang merupakan perusahaan gabungan Artimas Kencana Murni (52,5%),

AT&T (35%) dan Asia Infrastructure Fund (12,5%) telah membangun 290 sst.

Anda mungkin juga menyukai