SKRIPSI
Oleh :
14/364773/KH/08123
SKRIPSI
Oleh :
14/364773/KH/08123
i
ii
HALAMAN PERNYATAAN
SKRIPSI
OLEH
14/364773/KH/08123
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
dan sepengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis
atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah
Penulis
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN
nasihat, dan doa yang tiada hentinya kalian berikan kepada saya selama
ini.
Bedjo Wihardjono.
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. Tuhan Yang
Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah sehingga penulis dapat
Mada.
1. Prof. Dr. drh. Siti Isrina Oktavia Salasia selaku Dekan Fakultas Kedokteran
2. Prof. Dr. drh. Kurniasih, MV. Sc., Ph. D. selaku dosen pembimbing yang
3. Dr. drh. Agustina Dwi Wijayanti, MP. dan Dr. drh. Yuli Purwandari
4. Mama, papa, adik Aan, adik Habib, eyang kakung, eyang putri, dan keluarga
v
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN............................................................................iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .........................................................................iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................v
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................ix
INTISARI ..........................................................................................................x
ABSTRACT ......................................................................................................xi
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ........................................................................................... 2
Manfaat Penelitian.......................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................... 4
Ayam Buras ................................................................................................... 4
Jambe ............................................................................................................. 4
Binahong ........................................................................................................ 7
Ascariasis ....................................................................................................... 9
Jejunum.........................................................................................................13
Histologi Jejunum .........................................................................................13
MATERI METODE...........................................................................................15
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................15
Materi Penelitian ...........................................................................................15
Metode Penelitian..........................................................................................16
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah telur dalam tinja (EPG) sebelum (I) dan sesudah (II)
perlakuan ............................................................................................19
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
INTISARI
x
ABSTRACT
Twenty chicken within the ages range between 2-3 months which have
ascariasis divided into 4 groups. Before the treatment given, the chicken are
adapted. Then, It is counted the early EPG (Egg per gram). In this research, it is
used the powder of (A) jambe 0,005 G + Binahong 0,005 G; (B) jambe or 0,001
G; (C) jambe 0,005 G + binahong 0,0125 G; and (D) controlling (without the
medicine). For the last EPG counting, nekropsi after ten days, the calculation of
worms and the observation are aimed for the changing of jejunum histopathology.
The research result showed that the jambe powder given with the dose of
0,01 G had a big effect towards the veses egg per gram (epg) and the total worms,
while there are no real differentiation between group A, B, and C on the jejenum
histophatology changing on the chicken ascariasis
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
dipelihara petani dipedesaan sebagai penghasil telur tetas, telur konsumsi, dan
parasit. Menurut Ronohardjo dan Nari (1997), peternakan di Indonesia tidak dapat
membebaskan diri dari parasit karena kondisi lingkungan Indonesia yang memang
menguntungkan bagi parasit. Iklim tropis yang hangat dan basah memberikan
kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan telur dan ketahanan hidup larva
Salah satu penyakit yang sering menyerang ayam buras yaitu ascariasis.
Ascariasis adalah penyakit cacing yang menyerang unggas dan disebabkan oleh
Ascaridia galli. Cacing ini terdapat di usus hewan unggas. Pada ternak ayam
sering menyerang baik tipe pedaging maupun tipe petelur, sedangkan pada ayam
buras kemungkinan tertular lebih besar karena sistem pemeliharaan yang bebas
antelmintik. Obat-obatan ini harganya sangat mahal dan merupakan salah satu
1
2
Alasan penggunaan obat herbal disebabkan oleh faktor ekonomi, resistensi obat,
dan efektivitas obat. Salah satu produk herbal yang dapat digunakan sebagai
yang mengandung arekolin dan alkaloid (Tariq et al., 2009). Senyawa tersebut
berfungsi untuk membasmi cacing pita pada hewan seperti unggas, kucing, dan
Selain buah pinang, terdapat produk herbal yang dapat digunakan untuk
memiliki kandungan asam askorbat yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh
Tujuan Penelitian
binahong terhadap jumlah telur cacing per gram (epg) tinja, jumlah cacing A.
galli, dan perubahan histopatologi jejunum pada ascariasis ayam buras untuk
Manfaat Penelitian
Ayam Buras
tidak dibudidayakan dengan cara budi daya massal komersial serta tidak berasal
usul dari ras yang dihasilkan untuk kepentingan komersial. Ayam kampung tidak
memiliki istilah ayam kampung petelur atau pedaging. Hal ini disebabkan ayam
kebalikan dari istilah ayam ras, dan sebutan ini mengacu pada ayam yang
lokal unggul, maka saat ini dikenal pula beberapa ras unggul ayam kampung.
Untuk membedakan, kini dikenal istilah ayam buras (singkatan dari “ayam bukan
ras”) bagi ayam kampung yang telah diseleksi dan dipelihara dengan perbaikan
teknik budi daya (tidak sekedar diumbar dan dibiarkan mencari makan sendiri).
Peternakan ayam kampung memiliki peranan yang cukup besar dalam mendukung
4
5
(Syukur, 2009). Tanaman jambe atau pinang ini sering ditemukan di Indonesia.
Jambe adalah sebutan tanaman ini untuk daerah sunda. Sedangkan pinang adalah
bahasa melayu. Tanaman pinang dapat tumbuh di segala jenis tanah pada
ketinggian antara 0 - 1.400 meter di atas permukaan laut (dpl), tetapi ketinggian
yang cukup dan tidak terdapat genangan air, sedangkan suhu lingkungan yang
diperlukan berkisar antara 20 – 300C, dengan curah hujan antara 2.000 – 3.000
manfaat pinang atau jambe dalam pengobatan. Pinang bisa digunakan sebagai
Tanaman pinang terdiri dari akar, batang, daun, dan buah atau biji pinang (Gambar
1). Biji pinang merupakan bagian dari tanaman pinang secara empiris digunakan
sebagai obat cacing dengan cara meminum rebusan biji pinang yang telah
cacingan adalah alkaloids, bekerja di sistem syaraf pusat dan penyebab paralysis
cacing karena mampu mengurangi generasi nitrat yang dapat mengganggu dalam
6
homeostasis lokal yang sangat penting bagi perkembangan cacing (Bauri, 2015).
Menurut Wang dan Lee (1996), alkaloid yang terdapat di dalam jambe meliputi
isoguvasine.
untuk membasmi cacing pita pada hewan seperti unggas, kucing, dan anjing,
obat cacing dan penenang. Senyawa arekolina (komponen alkaloid) pada biji
pinang, ternyata memiliki kadar tertinggi dan inilah yang diduga berfungsi
obat cacing telah diuji efektifitasnya baik secara in vitro maupun in vivo pada
infeksi cacing usus, seperti: cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambak
(Trichuris trichiura), dan cacing kait (N. americanus). Hasil pengujian secara in
vitro (dalam media buatan) terhadap cacing kait anjing, menunjukkan bahwa
cacing mati semua setelah perendaman 10 jam dalam larutan pinang yang
anjing yang diinfeksi larva cacing kait. Hasil pengujian menunjukkan, meskipun
tidak seefektif mebendazol, biji pinang dapat menurunkan jumlah telur cacing
7
Hal ini membuktikan bahwa biji pinang dapat digunakan sebagai obat cacing
dalam mengusir cacing pita dan cacing gelang. Susanti (2014) menjelaskan bahwa
biji pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin yang bersifat racun bagi
beberapa jenis cacing dan menyebabkan paralisis dan tanin yang mampu
yang berasal dari dataran Tiongkok. Tanaman tersebut banyak juga ditemukan di
yang melekat di ketiak daun dengan bentuk tak beraturan dan bertekstur kasar
(Mus, 2008).
yag dapat mengobati beberapa penyakit, antara lain: saponin, steroid, flavonoid,
pada luka di uterus, antibakterial, antifungal, antiparasit, dan antiviral pada proses
untuk memproduksi kolagen yang sangat penting dalam penutupan luka dan
luka, meningkatkan resistensi terhadap infeksi. Kandungan lain dari ekstrak daun
Ascariasis
spesies Ascaridia galli (Fedynich, 2008). Menurut Soulsby (1982), cacing ini
buah bibir yaitu satu bibir dorsal dan dua bibir lateroventral, terdapat alae
(selaput tipis semacam sayap) lateral pada kedua sisi sepanjang badan dan
terdapat alae kecil dilengkapi 10 pasang papil yang pendek dan tebal mempunyai
batil hisap prekloakal dengan sisi kutikular yang tebal (Gambar 2a dan 2b).
Panjang spikulanya yaitu 1 - 2,4 mm. Cacing betina memiliki vulva yang terletak
di bagian tengah badan dengan ekor berbentuk kerucut (Gambar 2c dan 2d).
Gambar 2. Cacing Ascaridia galli: (a) Ujung anterior dengan 3 pasang bibir
(jantan); (b) ujung posterior terlihat spikula (jantan); (c) ujung
anterior menunjukkan 3 buah bibir (betina); (d) ujung posterior
menunjukkan adanya anus dan telur (betina) (Salam, 2015).
adanya cacing dewasa di usus halus ayam kemudian mengeluarkan telur cacing
berkembang menjadi stadium infektif di atas tanah. Telur infektif (telur berisi
larva-2) tertelan oleh ayam dan menetas dalam proventrikulus atau usus halus.
Beberapa larva masuk ke dalam dinding usus halus, tetapi kebanyakan tetap di
dalam lumen. Seminggu kemudian pada periode pertumbuhan, larva merayap dan
Rata – rata cacing menghabiskan waktu 18 hari dalam selaput lendir usus halus
untuk menjadi cacing muda. Larva kemudian kembali lagi ke dalam lumen usus
dan menjadi cacing dewasa (6-8 minggu). Telur cacing Ascaridia galli akan
mencapai tahap infektif dalam waktu 10 hari atau lebih. Cacing Ascaridia gallii
merupakan nematoda yang ukurannya paling besar di antara jenis cacing pada
unggas, berwarna putih, berbentuk bulat, tidak berpigmen dan dilengkapi dengan
kutikula yang halus. Cacing jantan berukuran 50-76 mm, sedang yang betina 72-
112 mm dengan diameter 0,5-1,2 mm, mempunyai 3 bibir yang besar. Telurnya
antara), penularan melalui pakan, air minum, litter, atau bahan lain yang tercemar
oleh feses yang mengandung telur infektif. Telur dikeluarkan melalui tinja dan
11
berkembang di udara terbuka dan mencapai dewasa dalam waktu 10 hari atau
bahkan lebih. Telur kemudian mengandung larva kedua (L2) yang sudah
berkembang penuh dan larva ini sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang
jelek. Telur tersebut dapat tetap hidup selama 3 bulan di dalam tempat yang
terlindung, tetapi dapat mati segera terhadap kekeringan, air panas, juga di dalam
tanah yang kedalamannya sampai 15 cm. Infeksi terjadi bila unggas menelan telur
tersebut (mengandung L2) yang bersama makanan atau minuman. Cacing tanah
dapat juga bertindak sebagai vektor mekanis dengan cara menelan telur tersebut
dan kemudian cacing tanah tersebut dimakan oleh unggas. Telur yang
unggas. Setelah menetas, larva 3 hidup bebas di dalam lumen duodenum bagian
ekdisis menjadi larva 5. Larva 5 atau disebut cacing muda tersebut memasuki
lumen duodenum pada hari ke 17, menetap sampai menjadi dewasa pada waktu
kurang lebih 28-30 hari setelah unggas menelan telur berembrio. Larva 4 dapat
menetap di dalam jaringan mukosa usus rata-rata selama 8 hari, akan tetapi dapat
menemukan telur cacing tersebut dalam pemeriksaan feses, tetapi perlu dibedakan
dengan Heterakis gallinarum karena kedua telur ini sangat mirip, hanya ukuran
yang berbeda. Diagnosis juga dapat dilakukan dengan menemukan cacing dewasa
biasanya berjalan kronis sehingga menimbulkan gejala sakit yang perlahan atau
Gejala klinis yang terjadi pada infeksi cacing A.galli tergantung pada tingkat
infeksi. Pada infeksi berat akan terjadi mencret berlendir, selaput lendir pucat,
kerugian ekonomi yang cukup besar bagi peternak. Cacing dewasa hidup di
disebabkan oleh karena cacing menghisap sari makanan dalam usus ayam yang
tampak kerusakan pada villi dan atropi. Pada permukaan mukosa usus terjadi
makanan. Pada infeksi berat terjadi enteritis dan hemoragi (Anonim, 2012 a).
Ayam yang terinfeksi secara alami oleh A. galli mengakumulasi sel-sel inflamasi
di intetinum. Peningkatan jumlah sel inflamasi sering diamati pada jaringan yang
terkena infeksi cacing. Eosinofil ditemukan di lamina propria dari lapisan pullets
13
tujuh minggu pada tiga hari setelah terinfeksi secara oral dengan 20.000 kelompok
Jejunum
pencernaan pati, glukosa, sakarida, maltosa, dan sukrosa yang dicernakan menjadi
gula-gula sederhana (Anggorodi, 1995). Usus halus terbagi menjadi tiga bagian
yaitu duodenum, jejenum, dan ileum. Duodenum memiliki lipatan mukosa yang
melingkar dan memiliki banyak vili, jejenum mirip dengan daerah duodenum.
Ukuran vili jejenum lebih langsing dan jumlahnya lebih sedikit daripada
duodenum. Usus halus relatif panjang, ini memungkinkan kontak yang lama
antara makanan dan enzim-enzim pencernaan serta hasil-hasil pencernaan dan sel-
makanan terjadi di usus halus, selaput lendir usus halus memiliki jonjot yang
lembut dan menonjol seperti jari, fungsinya sebagai penggerak aliran pakan dan
Histologi Jejunum
meluas ke dalam lumen jejunum. Inti dari plica circularis dibentuk oleh
submukosa jaringan ikat padat yang tidak teratur yang mengandung banyak arteri
dan vena. Banyak bentukan perpanjangan seperti jari disebut dengan villi,
14
menutupi plica. Antara villi terdapat ruang intervilus, dan di bagian bawah villi
adalah kelenjar usus yang terletak di lamina propria. Kelenjar usus (kriptus
lapisan kolumnar epitel dengan garis lurik dan sel goblet. Di bawah lapisan epitel
di lamina propria adalah nodul limfatik dengan pusat germinal. Tali otot-otot
polos dari mukosa muscularis meluas di lamina propria villi. Setiap villus juga
Materi Penelitian
Hewan yang digunakan adalah (20) ekor ayam buras berumur ± 2 bulan
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah gula jenuh, NaCl
serbuk binahong, dan air hangat. Sedangkan alat yang digunakan adalah
timbangan pakan, timbangan bobot badan, spuit 1 cc, spuit 10 cc, gelas, sentrifus,
mixer, magnet, tabung reaksi, object glass, double object glass, gelas beker 50 ml,
15
16
Metode
fesesnya untuk diperiksa ada atau tidaknya telur cacing dalam feses. Pemeriksaan
feses untuk menemukan telur cacing menggunakan metode sentrifus (uji apung).
Feses dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian ditambah air sebanyak ¾ tabung
reaksi, lalu sentrifus 2000 rpm selama 10 menit. Setelah 10 menit, supernatant
berbentuk cembung pada mulut tabung. Didiamkan selama 3 menit, object glass
perbesaran 400x.
ml air per 2 gram feses. Larutan dihomogenkan dengan magnet dan stirrer.,
diambil sebanyak 0,3 ml dengan menggunakan spuit selagi stirrer masih berputar,
larutan dimasukkan dalam double object glass kemudian ditambahkan gula jenuh
sebanyak 0,3 ml. Larutan feses dan gula jenuh diaduk dengan menggunakan
jarum spuit secara hati-hati hingga homogen. Tunggu selama 3 menit. Telur
diamati dan dihitung di bawah mikroskop. Setiap telur yang dihitung dikalikan 50
Buah jambe dikupas, dipisahkan antara kulit luar dan biji. Biji buah
jambe dipotong menjadi beberapa bagian. Potongan buah jambe dikeringkan pada
dikeringkan pada suhu ruang. Daun binahong yang sudah kering dimasukkan
diberikan serbuk gabungan jambe 0,005 G dan binahong 0,0125 G, dan kelompok
pengobatan sampai hari ke-7, kemudian ayam dinekropsi pada hari ke-10.
akhir untuk dibandingkan dengan EPG awal. Nekropsi dilakukan dengan cara
bertingkat (70%, 80%, 90%, absolut I, abosulut II, dan absolut III) masing-masing
penjernihan dengan menggunakan xylol I, xylol II, dan xylol III. Jaringan
xylol I, xylol II, dan xylol III masing-masing dilakukan selama 5 menit. Preparat
dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat (absolut I, absolut II, absolut III, 90%,
dalam Eosin selama 3-5 menit. Preparat dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat
(70%, 80%, 90%, absolut I, abosulut II, dan absolut III) masing-masing selama 3
menit, xylol I, xylol II, dan xylol III masing-masing 5 menit. Tahap terakhir
Hasil perhitungan telur per gram tinja menunjukkan rata-rata hasil dari
menjadi 220. Kelompok D atau kelompok kontrol mengalami kenaikan dari 240
menjadi 1.020 (Tabel 1). Hasil menunjukkan penurunan jumlah telur cacing
Ascaridia galli paling besar adalah pada kelompok B yang diobati dengan serbuk
Tabel 1. Jumlah telur dalam tinja (EPG) sebelum (I) dan sesudah (II) perlakuan.
Kelompo
A B C D
k
Nomor I II I II I II I II
1 50 400 50 0 100 550 100 150
2 50 50 750 0 50 100 150 2200
3 300 400 450 0 600 0 300 100
4 50 900 200 0 250 150 500 2100
5 50 3600 500 0 250 300 150 550
Jumlah 500 5.350 1.950 0 1.250 1.100 1.200 5.100
Rata-rata 100 1.070 390 0 250 220 240 1.020
Nematoda 21, dan Trematoda tidak ada. Kelompok B jumlah cacing Cestoda 43,
19
20
11, dan Trematoda tidak ada. Kelompok D atau kontrol jumlah cacing Cestoda 81,
Nematoda 54, dan Trematoda tidak ada (Tabel 2). Hasil tersebut menunjukkan
Tabel 2. Jumlah cacing pada jejunum setelah pemberian obat dan dinekropsi.
Kelompo
A B C D
k
Nomor C N T C N T C N T C N T
1 0 21 0 4 0 0 2 2 0 10 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0 1 0 25 35 0
3 0 0 0 13 3 2 0 8 0 10 0 0
4 1 0 0 26 0 0 3 0 0 36 6 0
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 0
Jumlah 2 21 0 43 3 2 5 11 0 81 54 0
Keterangan: C = Cestoda; N = Nematoda; T = Trematoda.
perhitungan telur cacing per gram tinja dengan jumlah cacing yang terdapat pada
jejunum saja, tetapi dapat juga dilihat dari hasil pengamatan gambaran
seperti: hiperplasi sel goblet, inflitrasi sel radang, erosi epitel, maupun terdapat
yang mengalami hiperplasi sel goblet, infiltrasi sel radang, dan erosi epitel (ayam
A1, A2, dan A4), serta potongan cacing (ayam A1). Histopatologi kelompok B
infiltasi sel radang (ayam B 2, B4, dan B5) dan tampak potongan cacing (ayam
hiperplasi sel goblet dan infiltrasi sel radang (ayam C1 dan C3), serta erosi epitel
tersebut karena tidak adanya perlakuan pengobatan terhadap cacing (Gambar 7).
A B
Gambar 5. Perubahan histopatologi jejunum ayam buras: (A) kelompok B ayam 2
terdapat potongan cacing ( ) (he, 10x); (B) kelompok B ayam 3
terdapat heterofil ( ) (Pengecatan Hematoxilin dan Eosin,
perbesaran 400x).
22
(4)
mengalami degenerasi dan nekrosis pada sel-sel epitel vili, serta kripta pada
jejunum ayam buras Hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan jaringan dalam
melewati 4 fase penyembuhan luka akibat Ascaridia galli, yaitu: (a) koagulasi dan
23
eksanguinasi dengan cara melindungi jaringan agar tetap utuh, sehingga fungsi
oleh patogen); (c) proliferasi, berlangsung beberapa hari dan mencakup proses
ascariasis ayam buras adalah dengan serbuk jambe 0,01 G, walaupun tidak terlalu
untuk membasmi cacing pada unggas. Meskipun tidak seefektif mebendazol, biji
pinang dapat menurunkan jumlah telur cacing sampai sebesar 74,3%, sedangkan
untuk ayam dalam mengusir cacing pita dan cacing gelang (Tangalin, 2011).
arekolin yang bersifat racun bagi beberapa jenis cacing dan menyebabkan
paralisis dan tanin yang mampu menghambat enzim dan merusak membran.
karena zat besi dalam darah akan diikat oleh senyawa tanin tersebut terutama jika
mengkonsumsi makanan dan cukup berbahaya pada sistem saraf. Sitompul dan
Siagian (2013) menyatakan bahwa senyawa arekolin dalam buah pinang pinang
Kesimpulan
jumlah egg per gram (epg) tinja dan jumlah cacing nematode, sedangkan
perubahan histopatologi jejunum pada ascariasis ayam buras tiddak ada beda
Saran
digunakan sebagai obat herbal untuk mengatasi ascariasis pada ayam buras
25
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. “Kajian Ayam Buras dengan Pendekatan Rantai Nilai dan Iklim
Usaha di Kabupaten Boven Digoel Provinsi Papua. International
Labour Organization- PCdP2 UNDP.” http://www.ilo.org. Diakses
pada 7 April 2017.
Ariani, S., Loho, L., dan Durry, M. F. 2013. “Khasiat Binahong (Anredera
cordifolia (TEN) steenis) terhadap Pembentukan Jaringan Granulasi
dan Reepitelisasi Penyembuhan Luka Terbuka Kulit Kelinci:” Vol 1,
No 2 2013. Manado. Hal. 913-919.
Bauri, R. K., Tingga, M. N., dan Kullu, S. S. 2015. “A riview on use of medicinal
plants to control parasites.” Indian Journal of Natural Products and
Resources. Vol 6(4), Des 2015. Hal. 268-277.
26
27
Gauly, M. C., Bauer, C. M., dan Erhardt, G. 2001. “Effect and Repeatability of
Ascaridia galli Egg Output In Cockerels Following A Single Low
Dose Infection.” Vet. Parasitol. 96 (4): 2011.Hal.301-307.
Junqueira, L. C., dan Carneiro, J. 1980. Basic Histology .New Jersey: Lange
Medical Publication. Hal. 456.
Miladiyah, I., dan Prabowo, B.R. 2012. “Ethanolic Extract of Anredera cordifolia
(Ten.) Steenis Leaves Improved Wound Healing in Guinea Pigs.”
Univ Med., 31(1) : Hal. 4-11.
Permin A., Nansen P., Bisgaard M., Frandsen., dan Pearman, M. 1998. “Studies
on Ascaridia galli in Chickens Kept at Different Stocking Rates.” J. of
Avi. Pathol.. 27: Hal. 382-389.
Ronoharjo P., dan Nari J.1997. Beberapa Masalah Penyakit Unggas di Indonesia.
Di dalam: Ilmu dan Industri Perunggasan. Seminar Pertama, 30-31
Mei 1977. Bogor. Hal. 1-15.
Sitompul, L., dan Siagian, A. 2013. “Gambaran Konsumsi Buah Pinang, Kejadian
Kecacingan, dan Status Gizi Siswa Di Sd 175750 Desa Pardamean
Nainggolan Kecamatan Pahae Jae Kabupaten Tapanuli Utara Tahun
2013.” Jurnal USU Vol. 2, No. 4 (2013). Hal. 1-8.
Susanti, A. E., dan Prabowo, A. 2014. Potensi Pinang (Areca catechu) sebagai
Antelmentik untuk Ternak. Prosiding Seminar Nasional Pertanian
Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014. Hal. 404-409.
Tariq, K.A., Chishti, M. Z., Ahmad, F., dan Shawl A. S. 2009. “Anthelmintic
Activity of Extracts of Artemisia absinthium Against Ovine
Nematodes.” Vet. Parasitol., 160:Hal. 83-88.
Urquhart, G. M., Armour, J., Duncan, J. L., Dunn, A. M., dan Jennings, F. W.
1996. Veterinary Parasitology. Second Edition. London: Blackwell
Science Ltd. Hal. 75-76.
29
Lampiran 1. Dokumentasi Mc Master telur cacing Ascaridia galli per gram tinja.
30
31