Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Menurut UU no.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut usia, penduduk
lanjut usia adalah penduduk berumur 60 tahun keatas.1 Maryam (2008)
mengklasifikasikan lansia menjadi 4 kelompok yaitu pra Lansia (45-59 tahun), lansia,
lansia resiko tinggi dengan masalah kesehatan (> 70 tahun), lanjut usia potensial dan
lanjut usia tidak potensial. Lansia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu
melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa.
Sedangkan lansia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Sementara menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), batasan usia lanjut dibagi empat kelompok meliputi usia
pertengahan (Middle Age) yaitu kelompok usia dari 45-59 tahun); lansia (Elderly) yaitu
kelompok usia dari 60-70 tahun; lansia tua (Old) yaitu kelompok usia dari 75-90 tahun;
dan usia sangat tua (Very Old) yaitu usia diatas 90 tahun.2,3
Jumlah populasi lansia telah meningkat di dunia dan di negara-negara
berkembang. Jumlah populasi lansia Indonesia menduduki peringkat ke lima setelah
China, India, Amerika dan Meksiko menurut WHO (2012). Presentasi lansia di
Indonesia tahun 2010 sebesar 7,4% dari total populasi penduduk Indonesia dan
diproyeksikan meningkat menjadi 10% pada tahun 2020 yaitu sebanyak 28,8 juta jiwa
(Sumber BPS).4
Kondisi tidak bergigi banyak dijumpai pada populasi pra lansia dan lansia.
Edentulisme merupakan kondisi hilangnya satu atau seluruh gigi.5 Edentulisme dapat
disebabkan oleh karies gigi, penyakit periodontal ataupun trauma.6 Prevalensi
edentulisme di Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar 2007 sebesar 3,2 % sementara
prevalensi pengguna gigi tiruan sebesar 4,7%.7 Kebutuhan penggunaan gigi tiruan
meningkat pada kelompok lansia karena adanya perubahan-perubahan fisiologis dalam
rongga mulut. Banyaknya jumlah pasien lansia yang tidak mempunyai gigi
menyebabkan perawatan gigi diutamakan pada perawatan prostodontik.8 Dalam
beberapa dekade, perawatan prostodontik melalui pembuatan gigi tiruan lengkap

1
konvensional merupakan salah satu cara mendapatkan rehabilitasi fungsi mastikasi,
bicara dan estetik.9
Gigi Tiruan Lengkap merupakan prothesa yang menggantikan seluruh gigi
beserta struktur lain yang berhubungan pada maksila dan mandibula (Glossary of
Prosthodontic Term).10 Gigi tiruan lengkap berfungsi mengembalikan fungsi mastikasi,
memperbaiki estetik dan fonetik serta meningkatkan kepercayaan diri. 11,12 Gigi tiruan
lengkap dapat dibuat pada kedua rahang ataupun hanya pada salah satu rahang (single
complete denture). 13
Selain edentulisme, pertambahan usia juga menyebabkan terjadinya penurunan
densitas tulang rahang dan resorpsi tulang. Resorpsi tulang alveolar merupakan
masalah yang sering terjadi pada perawatan gigi tiruan lengkap, baik pada rahang
bawah maupun rahang atas.14 Resorpsi tulang ditandai dengan perubahan tulang
alveolar setelah pencabutan gigi yang berlanjut dari adanya proses penyembuhan soket.
Resorpsi paling cepat terjadi pada 6-12 bulan pertama setelah pencabutan. Besarnya
resorbsi tulang alveolar berhubungan dengan lamanya seseorang tidak bergigi.8 Karena
itu setelah kehilangan gigi asli akan terjadi resorbsi pada tulang alveolar. Rata-rata
kehilangan tulang rahang anterior tidak bergigi adalah 9-10 mm pada mandibula dan
2,5-3 mm pada maksila. Hukum Wolfel menyatakan bahwa tulang yang sering
mendapatkan beban densitasnya akan bertambah.15 Kondisi tidak bergigi menyebabkan
hilangnya rangsangan tekanan kunyah pada tulang alveolar yang menyebabkan
terjadinya resorbsi sehingga terjadi perubahan ketinggian tulang alveolar.8 Tetapi
kenyataanya, pemakaian gigi tiruan justru memberikan beban tambahan pada tulang
rahang sehingga memperberat resorbsi tulang alveolar. Ellswoth Kelly (1972)
menemukan pola resorbsi yang khas pada pengguna gigi tiruan lengkap tunggal (single
complete denture) rahang atas yang dikenal dengan sindroma Kelly. Penelitian oleh
Atwood & Tallgren menunjukkan resorbsi pada regio anterior mandibula empat kali
lebih cepat daripada anterior maksila pada pengguna gigi tiruan lengkap.16
Faktor lain yang mempengaruhi resorbsi tulang adalah densitas tulang.
Kusdany L (2012) menyatakan penurunan densitas tulang pada penderita osteoporosis
berpengaruh terhadap terjadinya resorpsi tulang alveolar ridge.14 Pengukuran densitas
tulang dan resorbsi tulang rahang salah satunya dapat dilihat melalui roentgen
panoramik.9
Resorbsi tulang alveolar mempengaruhi retensi dan stabilitas gigi tiruan
sehingga menyulitkan pembuatan gigi tiruan lengkap.9 Menentukan densitas tulang

2
mandibula sangat penting untuk diagnosis, menentukan rencana perawatan dan
memperkirakan tingkat keberhasilan perawatan suatu gigi tiruan.
Keberhasilan perawatan gigi tiruan lengkap dapat dilihat secara subyektif
melalui tingkat kepuasan pasien dan secara klinis melalui kualitas gigi tiruan yang
dihasilkan.17 Penilaian kepuasan pasien dan kualitas gigi tiruan harus memiliki metode
penilaian yang terstandar.18 Keberhasilan perawatan suatu gigi tiruan yang
berhubungan dengan kepuasan pasien dapat dievaluasi dengan menggunakan metode
self-assessment yang merupakan evaluasi subyektif untuk pengguna gigi tiruan.
Komagamine et al (2010) telah menemukan alat ukur self-assessment yang valid dan
reliable serta spesifik untuk menilai kondisi gigi tiruan lengkap yang dapat melihat sisi
positif serta negatif dari faktor-faktor yang mempengaruhi gigi tiruan. Kuesioner yang
digunakan untuk self-assessment pasien pengguna gigi tiruan lengkap disebut Patient
Denture Assesment (PDA).19 PDA di Indonesia sedang dalam proses validasi ke dalam
versi bahasa Indonesia oleh peneliti dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia.
Sementara itu, keberhasilan perawatan gigi tiruan lengkap dari aspek klinis
dapat diukur melalui kualitas gigi tiruan yang dihasilkan. Sato et al (1998) dari
Universitas Hiroshima di Jepang telah mengembangkan metode penilaian kualitas gigi
tiruan lengkap yang meliputi tujuh aspek penilaian yaitu susunan gigi anterior,
interoclusal distance, stabilitas gigi tiruan lengkap rahang bawah, oklusi, artikulasi,
retensi gigi tiruan rahang bawah, serta perluasan basis gigi tiruan lengkap rahang
bawah.18 Kesesuaian antara hasil pemeriksaan klinis dan penilaian subyektif pasien
diharapkan tercapai karena tingkat keberhasilan suatu gigi tiruan diperoleh dari hasil
pemeriksaan klinis dan persepsi pasien terhadap gigi tiruannya.
Alfadda (2013) menemukan faktor stabilitas gigi tiruan lengkap rahang bawah
merupakan faktor yang paling menentukan kepuasan pasien pemakai gigi tiruan
lengkap, sejalan dengan Anastassiadou (2006) menemukan bahwa kualitas gigi tiruan
menentukan tingkat kepuasan penggunanya.20 Penelitian oleh Asja (2009)
menunjukkan adanya hubungan signifikan antara faktor sosio-demografis seperti usia
dan tingkat pendidikan dengan tingkat kepuasan secara umum, serta faktor fungsi
estetik, bicara serta kenyamanan penggunaan gigi tiruan lengkap.21
Di Indonesia belum ada metode penilaian kualitas gigi tiruan yang terstandart.
Oleh karena itu diharapkan dengan penulisan ini yaitu peran densitas dan resorbsi
tulang alveolar terhadap keberhasilan perawatan gigi tiruan lengkap pada pra lansia dan

3
lansia dapat menjadi masukan untuk menentukan diagnosis, rencana perawatan serta
mendapatkan penilaian keberhasilan gigi tiruan lengkap. Selain itu penulisan ini juga
dapat dijadikan referensi untuk mendapatkan format kualitas gigi tiruan lengkap secara
klinis yang reliabel dan teruji validitasnya dalam versi bahasa Indonesia.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demografi Populasi Lanjut Usia di Indonesia

Pengertian Lanjut Usia (lansia) menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia
60 (enam puluh) tahun keatas.1 Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, batasan lansia dibagi 4
meliputi Usia Pertengahan yaitu kelompok usia dari 45-59 tahun; Lansia yaitu kelompok usia
dari 60-70 tahun; Lansia tua yaitu kelompok usia dari 75-90 tahun; dan Usia sangat Tua yaitu
usia diatas 90 tahun.

Jumlah populasi lansia telah meningkat di dunia dan saat ini meningkat dengan tajam
di negara-negara berkembang. Berdasarkan data WHO (2012) diperkirakan terdapat 600 juta
jiwa lansia akan bertempat tinggal di negara-negara berkembang. Jumlah populasi lansia
Indonesia menduduki peringkat ke lima setelah China, India, Amerika dan Meksiko.

Peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia telah meningkatkan usia harapan


hidup (UHH) sehingga jumlah penduduk lansia akan terus bertambah. Menurut data
Kementrian Kesehatan RI (2016), usia harapan hidup di Indonesia mengalami peningkatan dari
68,6 tahun pada 2004 menjadi 72 tahun pada 2015. Usia harapan hidup ini diproyeksikan akan
terus meningkat sehingga berdampak pada lonjakan jumlah penduduk lansia.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 2015 menunjukkan bahwa
Indonesia memiliki jumlah lansia sebanyak 21,5 juta jiwa atau sekitar 8,43% dari seluruh
penduduk Indonesia. Data tersebut menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan hasil
Sensus Penduduk tahun 2010 dimana presentasi lansia di Indonesia tahun 2010 sebesar 7,4%
dari total populasi penduduk Indonesia dan diproyeksikan meningkat menjadi 10% pada tahun
2020 yaitu sebanyak 28,6 juta jiwa (Sumber BPS).2,4

5
2.2 Kondisi Tidak Bergigi pada lansia

Edentulism merupakan suatu keadaan dimana individu kehilangan gigi-geliginya.


Hal tersebut tentunya mempengaruhi kualitas hidup pasien. Edentulisme dapat berdampak
pada keterbatasan fungsi, fisik, psikologis dan disabilitas sosial.8 Dengan kehilangan gigi akan
menyebabkan menurunnya fungsi bicara dan kemampuan mastikasi.

Kehilangan seluruh gigi antara lain dapat disebabkan oleh karies, atau kegoyangan
karena penyakit periodontal sehingga dilakukan tindakan ekstraksi. Penyebab lain adalah
kelainan congenital yaitu tidak adanya benih gigi sejak lahir. Pasien ini kemudian akan mencari
perawatan untuk mengatasi kondisinya dengan pembuatan gigi tiruan lengkap (GTL).

Hukum Wollf menyatakan bahwa tulang yang sering mendapatkan beban densitasnya
akan bertambah. Karena itu setelah kehilangan gigi asli maka akan terjadi resorbsi pada tulang
alveolar. Rata-rata kehilangan tulang rahang anterior tidak bergigi adalah 9-10 mm pada
mandibula dan 2,5-3 mm pada maksila.15 Kondisi tidak bergigi menyebabkan hilangnya
rangsangan tekanan kunyah pada tulang alveolar yang menyebabkan terjadinya resorbsi
sehingga terjadi perubahan ketinggian tulang alveolar.8

2.3 Tulang
2.3.1 Morfologi dan Komposisi Tulang
Tulang merupakan jaringan ikat khusus yang kompleks dimana matriks ekstraseluler
mengalami mineralisasi sehingga menyebabkan tulang menjadi kaku namun tetap elastis.
Tulang berfungsi untuk bergerak, memberikan dukungan dan homeostasis mineral dalam
mempertahankan kalsium tubuh. Komposisi utama tulang terdiri dari matriks ekstra seluler dan
sisanya sebanyak sepuluh persen adalah sel tulang dan pembuluh darah. Sel tulang tersusun
atas osteoblas, osteoklas, dan bone lining cell sedangkan 90% matriks ekstra seluler terdiri atas
komponen organik (35%) dan komponen anorganik (65%). Sembilan puluh lima persen
matriks organik adalah kolagen tipe-1 sedangkan sisanya adalah kolagen tipe IV, VI, VIII dan
IX. Sembilan puluh sembilan persen matriks non organik adalah mineral yaitu kalsium, fosfat,
sodium dan magnesium, lemak, protein non kolagen seperti proteoglikan, glikosilat dan gamma
karboksilat. Mineral utama tulang adalah kristal hidroksi apatit.22
Secara morfologi tulang terbentuk atas tulang kortikal (kompak) dan trabekula
(spongiosa). Tulang kortikal dan tulang trabekula mempunyai struktur dan komposisi yang
sama, perbedaanya terletak pada massa tulang. Baik tulang kortikal maupun tulang trabekular

6
tersusun atas tulang woven dan tulang lamellar. Tulang woven merupakan bentuk tulang yang
terbentuk pada awal pembentukkan embrio dan selama pertumbuhannya. Tulang woven terdiri
atas jaringan kolagen dengan bentuk tidak beraturan. Selanjutnya setelah dewasa, tulang woven
akan digantikan oleh tulang lamellar atau tulang berlapis yang terdiri atas tulang kortikal dan
trabekula.
Tulang kortikal jaringannya tersusun seperti osteon. Osteon merupakan suatu lapisan
konsentris tulang yang dikelilingi oleh kanal yang didalamnya terdapat osteosit dan pembuluh
darah. Pembuluh darah tersebut saling beranastomosis dengan pembuluh darah dari osteon
yang lain membentuk suatu sistem haversian.

Gambar 2.1 Struktur mikroskopik tulang kortikal


(Musculo-skeletal Support : A microscopic View of Bone Tissue. The future of Humans].
Available from :
http://tle.westone.wa.gov.au/content/file/969144ed-0d3b-fa04-2e88-
8b23de2a630c/1/human_bio_science_3b.zip/content/003_musculo_skeletal_support/p
age_05.htm.)

2.3.2 Modelling dan remodelling tulang


Tulang mengalami proses modelling dan remodelling secara berkesinambungan. Pada
proses modelling terjadi perubahan bentuk tulang karena adanya proses pembentukkan tulang
pada daerah yang berbeda dengan daerah penghancuran tulang, sementara pada proses
remodelling tidak terjadi perubahan bentuk tulang.
Pembentukkan tulang diinisiasi oleh sel osteogenik yang mengalami mineralisasi dan
kemudian membentuk osteoid lalu menjadi osteosit. Dalam siklus pembentukkan tulang

7
terdapat proses bone formation dan bone resorbtion. Sel osteoblas berperan pada pembentukan
sel-sel tulang selama proses bone formation sedangkan osteoklas berperan terhadap
penghancuran tulang pada proses bone resorbtion.
Remodelling tulang bertujuan untuk menjamin integritas mekanik kerangka,
mempertahankan kekuatan tulang dan homeostasis mineral. Proses remodelling tulang terbagi
atas lima fase yaitu fase quiescent, fase aktivasi, fase resorbsi, fase pembentukan (formation),
dan fase mineralisasi.23

Gambar 2.2. Fase Remodelling tulang23

Fase istirahat (quiescent) merupakan tahap awal dimana faktor yang menginisiasi
remodelling masih belum diketahui. Fase aktivasi merupakan fase dimana terjadi penarikan
bone lining cell (osteoblas yang telah matang dan memanjang) pada permukaan endosteal dan
terjadi pengolahan endosteal membran akibataktivasi kolagen. Saat terpapar, permukaan yg
mengalami mineralisasi akan menarik osteoklas dari pembuluh darah terdekat. Fase resorpsi
ditandai dengan adanya osteoklas yang melarutkan matriks mineral dan membentuk matriks
osteoid. Lalu diakhiri dengan makrofag yang melepaskan growth factor kedalam matriks
sehingga terjadi perubahan growth factor beta (TGF-β), platelet derived growth factor
(PDGF), insulin-like growth factor I dan II (IGF-1 dan IGF-II). Fase pembentukan (formation),
terjadi pada area yang mengalami resorbsi dimana terjadi fenomena pre osteoblas, ditarik oleh
growth factor didalam matriks yang bersifat kemotaksis serta merangsang proliferasi. Pre

8
osteoblas membentuk BMP (Bone morphogenic protein) yang mengatur proses diferensiasi
osteoblas menjadi osteoid. Fase mineralisasi terjadi 30 hari setelah osteoid dibentuk dan
berlangsung selama 90 hari pada tulang trabekular sementara 130 hari pada tulang kortikal.
Setelah itu masuk kembali ke fase istirahat.23

2.3.3 Gambaran radiografis tulang rahang normal


Tulang kanselous disebut juga tulang trabekula atau spongios berada diantara lempeng
kortikal pada kedua rahang. Terdiri atas lempeng radiopak tipis dan serat (trabekula)
mengelilingi banyak daerah rongga radiolusen dari marrow. Pola radiograf trabekula berasal
dari 2 struktur anatomis yaitu kanselous dan permukaan luar endosteal tulang kortikal dimana
tulang kanselous menyatu dengan tulang kortikal. Pada permukaan ini, lempeng trabekula
relatif tebal dan membuat gambaran radioograf yang signifikan. Pola trabekula antar individu
bervariasi. Pola trabekula pada regio anterior maksila lebih tipis dan banyak jumlahnya ,
membentuk pola yang lebih halus, granular dan lebih padat. Sementara marrow space lebih
kecil dan banyak. Pada regio posterior maksila, pola trabekula hampir serupa dengan regio
anterior maksila walaupun marrow space relatif lebih besar. Pada anterior mandibula,
trabekula lebih tebal daripada maksila sehingga membentuk pola kasar dan lebih besar dimana
lempeng trabekula berjalan dalam arah horisontal. Lempeng trabekula lebih sedikit dan
marrow space lebih besar daripada maksila. Pada posterior mandibula tidak jauh berbeda
dengan pola trabekula di anterior mandibula namun ukurannya lebih besar.
Tulang kortikal merupakan tulang yang kompak sehingga memberikan gambaran
radiografik yang lebih radioopak jika dibandingkan dengan tulang trabekula. Contoh tulang
kortikal yaitu puncak prosesus alveolaris, lamina dura dan korteks tepi bawah mandibula.
Tulang kortikal normal secara radiografis terlihat padat, putih, berkesinambungan dan
memiliki ketebalan merata dengan tepi yang halus. Tulang rahang terdiri dari tulang kortikal
dan tulang trabekula. Gambaran radiografik tulang trabekula tampak berupa garis-garis tidak
teratur dalam pola acak. Tulang trabekula yang terletak di antara lempeng tulang kortikal
rahang.24

9
Gambar 3. Gambaran radiograf pola trabekula pada anterior maksila, anterior mandibula dan
posterior mandibula24

2.3.4 Resorpsi Tulang Alveolar


Resorbsi tulang alveolar bersifat kronis dan irreversible. Derajat resorpsi tulang
alveolar bervariasi pada setiap individu. Faktor-faktor yang mempengaruhi resorpsi tulang
yaitu faktor anatomis, biologis serta faktor mekanis. Faktor anatomis adalah kuantitas, kualitas,
bentuk dan ukuran residual ridge, jenis tulang serta kondisi periosteum. Faktor biologis adalah
usia, jenis kelamin, keseimbangan hormon, penyakit sistemik, keadaan patologik sedangkan
faktor mekanis disebabkan oleh kondisi gigi tiruan. Komponen dalam penggunaan gigi tiruan
yang berkaitan dengan faktor mekanis adalah basis gigi tiruan, bentuk, jenis dan jumlah gigi
yang digantikan, serta jarak interoklusal.9
Bentuk dan ukuran ramus asenden mandibula relatif tidak berubah selama hidup
manusia, yang mengalami perubahan bentuk dan ukuran adalah korpus mandibula yang
terletak diatas kanalis mandibula akibat resorpsi tulang alveolar karena kehilangan gigi. Tulang
membutuhkan rangsangan untuk proses remodeling, selanjutnya rangsangan akan diterima gigi
dan diteruskan melalui jaringan periodontal ke tulang alveolar sehingga apabila kehilangan
banyak gigi pada lansia maka rangsangan ke tulang alveolar berukurang sehingga proses
remodeling menurun yang mengakibatkan tulang mandibula kehilangan lebar dan tinggi.
Resorpsi residual ridge merupakan penyebab utama hilangnya retensi dan stabilisasi
gigi tiruan lengkap rahang bawah. Pada sebuah penelitian menunjukkan adanya perbedaan
resorpsi tulang pada wanita lebih banyak setiap tahunnya daripada pria.16 Resorpsi anterior
mandibula berjalan empat kali lebih cepat daripada resorbsi anterior maksila.25

10
2.3.5 Metode pengukuran resorbsi tulang alveolar dengan roentgen panoramik
Pengukuran ketinggian tulang mandibula yang mengalami resorbsi dapat dilakukan
beberapa cara, salah satu diantaranya menggunakan metode Xie(1997). Xie memaparkan
terdapat 6 garis yang digunakan untuk pengukuran. RL 1 untuk garis panduan di regio mid line,
RL 2 untuk garis panduan pada panjang mandibula, L1 untuk ketinggian tulang alveolar di
regio midline anterior, L2 untuk panjang corpus mandibula, L3 untuk ketinggian alveolar ridge
di regio premolar, L4 untuk ketinggian di regio molar, L5 untuk ketinggian batas bawah dari
foramen mentale, L6 untuk ketinggian batas atas foramen mentale.26 Klasifikasi rahang
berdasarkan Cawood dan Howell dikategorikan mengalami atrophy bila ketinggian ridge
dianterior lebih rendah dari 25 mm sedangkan ketinggian ridge di posterior lebih rendah dari
16 mm.

Gambar 3. Metode pengukuran ketinggian tulang mandibula oleh Xie et al9

2.3.6 Densitas tulang mandibula


Densitas tulang adalah massa tulang per satuan volume yang dihitung tiap satuan luas
(cm persegi). Semakin tinggi densitas tulang maka semakin besar massa setiap volumenya.
Densitas tulag dapat diukur dengan densitometri atau pemeriksaan radiologi. Sebagian besar
massa tulang mandibula terdiri dari tulang kortikal pada area tulang basal mandibula. Tulang
trabekular memberikan adanya variasi pada massa tulang. Ketebalan tulang kortikal mandibula
dan densitasnya dipengaruhi oleh tekanan otot-otot mastikasi yang melekat pada area basal
tulang mandibula. Volume tulang dan densitas tulang menurun seiring dengan menurunnya
fungsi otot mastikasi.27 Melalui beberapa penelitian diketahui bahwa hilangnya kandungan
mineral tulang skeleton berpengaruh pada penurunan densitas tulang mandibula, menurunnya
ketebalan korteks mandibula dan tanggalnya gigi.14

11
2.3.6.1 Metode Pengukuran Densitas tulang alveolar melalui roentgen Periapikal
Proyeksi periapikal merupakan tekhnik pencitraan radiograf dimana film berada
didalam mulut pasien lalu diekspose oleh pajanan sinar X. Terdapat 2 tekhnik proyeksi
periapikal yaitu tekhnik paralel dan tekhnik biseksi. Tekhnik tersebut dapat dipakai
menyesuaikan dengan kondisi anatomis rongga mulut pasien.
Pada tekhnik paralel, film diletakkan sejajar terhadap sumbu panjang gigi yang akan
difoto di dalam mulut dengan menggunakan pemegang film.28 Kepala tabung sinar X diarahkan
tegak lurus pada gigi dan film. Pada beberapa kondisi dimana bentuk palatum dan lengkung
rahang yang tidak memungkinkan untuk meletakkan film dalam posisi sejajar terhadap sumbu
panjang gigi maka film diletakkan berjarak dari gigi yaitu mendekati garis tengah rongga mulut
dan pasien menggigit bagian depan dari lempeng gigi.24

Gambar 4. Proyeksi radiograf periapikal tekhnik paralel

Pada tekhnik paralel menghasilkan gambaran yang akurat dengan perubahan ukuran
minimal (ukuran gambaran radiografik mendekati sebenarnya). Dibandingkan dengan tekhnik
biseksi, pada tekhnik paralel ketinggian tulang alveolar dan keadan jaringan periapikal terlihat
jelas dan akurat dengan distorsi minimal serta memungkinkan deteksi pada karies proksimal.
Sehingga tekhnik tersebut dapat digunakan untuk melihat berkurangnya tulang alveolar, lesi
karies, serta analisis perubahan tulang trabekula yang berhubungan dengan lesi periapikal.
Pada tekhnik biseksi, bila sudut vertikal kurang tepat maka dapat menghasilkan
pemendekkan atau pemanjangan gambaran radiografik. Ketinggian tulang alveolar sering tidak

12
terlihat jelas dan gambaran tulang zigomatik sering tumpang tindih dengan akar gigi molar
atas.24,29

Gambar 5. Proyeksi radiograf periapikal tekhnik biseksi

2.3.6.2 Metode Pengukuran Densitas tulang alveolar melalui roentgen periapikal

Tekhnik parallel foto periapikal secara konvensional dan digital dapat membantu untuk
menentukan densitas tulang alveolar. Secara konvensional menggunakan PCID (Paralleling
Cone Indicator Device) pada area dentulous antara premolar pertama dan premolar kedua.
Evaluasi kualitas tulang alveolar telah dilakukan oleh sejumlah peneliti pada region of interest
(ROI) yang terletak diantara premolar pertama dan premolar kedua. Dapat juga menggunakan
DDIR (Direct Digital Intraoral Radiography) dengan digital image receptor (PSP). Kriteria
densitas dan pola trabekulasi regio posterior dibuat dalam lima skor yaitu:28
Skor 1  tidak terlihat gambaran tulang trabekulasi
Skor 2  terdapat sejumlah tulang trabekula tipis dan tulang kortikal irregular
(trabekula porus) pada puncak tulang alveolar terlihat sangat tipis atau bahkan tidak terlihat.
Skor 3  tulang trabekula tampak sebagai tulang normal (trabekula solid) pada puncak
tulang kortikal terlihat tulang alveolar sangat tipis atau bahkan terputus.
Skor 4  tulang trabekula tebal terlihat menempati hampir seluruh kavitas sum-sum
tulang (bone dense cavity). Tulang kortikal pada puncak tulang alveolar sangat tipis
Skor 5  tulang padat tanpa gambaran trabekula (bone trabeculae dense). Tulang pada
puncak tulang alveolar terlihat tebal.

13
2.3.6.3 Metode Pengukuran Densitas tulang alveolar melalui roentgen Panoramik

Proyeksi panoramik atau pantomography adalah tekhnik radiografik untuk


menghasilkan suatu gambaran tunggal dari struktur wajah yang meliputi lengkung rahang atas
dan rahang bawah disertai struktur pendukungnya. Radiografik panoramik digunakan secara
luas dalam kedokteran gigi untuk keperluan diagnosis secara umum sebelum tindakan rencana
perawatan. Panoramik juga dapat digunakan untuk mengukur ketebalan korteks. Ketebalan
korteks dapat diukur dengan berbagai macam tekhnik diantaranya Mental Index (MI),
Panoramic mandibula index (PMI), Mandibula Cortical Index (MCI), Alveolar bone loss
(ABL) dan mandibula angulus (MA).
 Mental Index (MI) : untuk mengetahui penipisan tulang kortikal mandibula pada
radiograf panoramik adalah dengan mengukur tulang kortikal mandibula dibawah
foramen mentale menggunakan mental indeks. Tebal kortikal mandibula diukur secara
bilateral pada sisi foramen mentale. Buat garis sejajar sumbu mandibula melewati
foramen mentale, buat garis lain berpotongan melalui tepi inferior mandibula,
kemudian ukur ketebalan korteks mandibula menggunakan kaliper. Batas skor MI
adalah 3 mm. Kurang dari 3mm diperkirakan memiliki resiko osteoporosis.30

Gambar 6. Pengukuran ketebalan tulang kortikal dibawah foramen mentale


menggunakan mental index (MI) pada salah satu sampel

 Panoramik Mandibula Index (PMI)


PMI merupakan cara lain untuk menentukan kualitas tulang secara dini dengan
menggunakan roentgen panoramik. Didapatkan dengan cara membandingkan tebal

14
korteks mandibula (MI) dengan jarak tepi inferior korteks mandibula ke tepi inferior
foramen mental. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Benson dkk. Nilai cut off
untuk osteoporosis < 0,25mm, bila nilai dibawah 0,25mm memiliki resiko
osteoporosis.31

Gambar 7. Pengukuran dengan metode PMI (c/b) dan Antegonial Idex (AI) melalui
garis a

 Mandibula Angulus (MA)


Penurunan densitas mandibula dapat mengurangi ukuran sudut mandibula. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Cakur dkk didapatkan bahwa ukuran sudut mandibula
menurun apabila terjadi peningkatan osteoporosis. Sudut mandibula dipakai sebagai
salah satu acuan dalam kedokteran gigi untuk mengidentifikasi penurunan densitas
tulang mandibula. Pada radiograf panoramik pengukuran dilakukan terpisah pada
kedua sisi sudut mandibula kanan dan kiri. Sudut mandibula diukur dengan membuat
garis berpotongan yang melewati titik paling inferior dari sudut gonial dan tepi bawah
korpus mandibula dengan garis yang melewati tepi posterior ramus dan kondilus. Lalu
dicatat nilai rata-ratanya.32

15
Gambar 8. Panoramik dengan garis referensi untuk mengukur mandibula angulus
(MA)32

 Alveolar Bone Loss (ABL)


Cara lain yang dapat dipakai untuk menentukan osteoporosis adalah dengan
menggunakan nilai alveolar bone loss (ABL) dari roentgen Panoramik. Nilai ABL
didapatkan dengan membandingkan tinggi total tulang mandibula (TBH) dengan tinggi
dari pusat foramen mentale ke tepi inferior mandibula (BBH) pada sisi kiri dan kanan
kemudian dihitung rata-ratanya. Apabila didapatkan perbandingan antara TBH/BBH
rendah maka nilai derajat ABL tinggi.33

Gambar 9. Metode pengukuran Alveolar bone loss (ABL) melalui perbandingan nilai
TBH/BBH33

 Mandibular Cortical Index (MCI)


Mandibular Cortical Index yang dibuat menurut klasifikasi Klementi adalah gambaran
ketebalan tulang kortikal inferior mandibula. MCI diklasifikasikan menjadi tiga

16
kategori yaitu C1 adalah tepi tulang endosteal kortikal normal pada kedua sisi, C2 tepi
endosteal tulang kortikal memperlihatkan defek semilunaris (lakuna resorpsi) dan atau
terlihat adanya residu kortikal endosteal pada satu atau kedua sisi, C3 lapisan kortikal
membentuk residu kortikal endosteal yang berat dan tampak porus. Kategori C3
menunjukkan densitas tulang yang rendah.34,35

Gambar 5. Kondisi korteks mandibula yang mengalami erosi dalam 3 kategori : C1, C2, C334,35

2.4 Gigi Tiruan Lengkap

Kebutuhan penggunaan gigi tiruan meningkat pada kelompok lansia karena adanya
perubahan-perubahan fisiologis dalam rongga mulut. Banyaknya jumlah pasien lansia yang
tidak mempunyai gigi menyebabkan perawatan gigi diutamakan pada perawatan prostodontik.8
Dalam beberapa dekade, perawatan prostodontik melalui pembuatan gigi tiruan lengkap
konvensional merupakan salah satu cara mendapatkan rehabilitasi fungsi mastikasi, bicara dan
estetik.9

Gigi Tiruan Lengkap (GTL) adalah sebuah protesa yang menggantikan seluruh gigi
geligi asli pada rahang atas dan rahang bawah (Glossary of Prosthodontic Term).10 Gigi tiruan
di gunakan untuk menggantikan sebagian atau seluruh gigi asli yang sudah hilang serta
mengembalikan perubahan-perubahan struktur jaringan yang terjadi akibat hilangnya gigi asli.
Suatu gigi tiruan lengkap berfungsi menggantikan dukungan pada bibir dan pipi yang hilang,
tetapi pada kenyataannya banyak kegagalan yang di jumpai baik sebagai akibat dari gigi tiruan
yang tidak sesuai dengan kondisi anatomis rongga mulut pasien maupun karena kesalahan

17
teknis operator, sehingga gigi tiruan tidak dapat mengembalikan fungsi yang sangat di
harapkan oleh pemakai gigi tiruan.12

Komponen-komponen pada GTL harus dibuat dan disusun dengan memperhatikan


kondisi anatomi dan fisiologis dari rongga mulut pasien. GTL bertujuan untuk mengembalikan
estetik, fungsi pengunyahan, dan fungsi bicara. Agar GTL dapat berfungsi dengan baik, maka
GTL harus berada pada dudukan tepat di mukosa tak bergigi pada saat berfungsi dan menerima
gaya-gaya yang bisa menyebabkan terlepasnya GTL. Dalam hal ini, retensi dan stabilisasi
memegang peranan dalam menjaga posisi GTL agar tidak terlepas dari mukosa. Selain retensi
dan stabilisasi, beberapa faktor lain yang berperan dalam keberhasilan perawatan GTL antara
lain fungsi bicara, estetis, ekspektasi pasien terhadap hasil perawatan GTL serta kondisi
psikologis pasien dalam menerima GTL tersebut.

Retensi adalah daya tahan gigi tiruan terhadap gaya yang berlawanan dengan arah
pemasangan. Retensi dipengaruhi oleh (1) faktor anatomis yaitu ukuran dan kualitas jaringan
penyangga9 (2) faktor fisiologis yaitu konsistensi saliva dimana saliva yang cair lebih
menguntungkan untuk retensi gigi tiruan (3) faktor fisik seperti adhesi, kohesi, kapilaritas,
tegangan antar permukaan, tekanan atmosfer dan periferal seal (4) faktor mekanis seperti
undercut, cengkeram retentif, magnet, denture adhesive (5) faktor muskular yaitu gaya-gaya
otot sekitar saat berfungsi.27 Stabilisasi adalah kemampuan gigi tiruan untuk bertahan dari
gaya-gaya horizontal dan rotasi. Dukungan atau support adalah ketahanan terhadap pergerakan
vertikal dari basis gigi tiruan terhadap residual ridge.10

2.5 Keberhasilan Gigi Tiruan Lengkap

Kepuasan pasien merupakan tujuan yang ingin dicapai dari perawatan dengan gigi
tiruan lengkap pada kondisi tidak bergigi sehingga dapat digunakan untuk mengevaluasi
keberhasilan perawatan gigi tiruan lengkap. Keberhasilan itu sendiri dapat dilihat dari penilaian
subyektif pasien dan kondisi dari gigi tiruan yang dinilai secara klinis. Kepuasan pasien
terhadap gigi tiruan lengkapnya tidak dapat dievaluasi hanya dari satu faktor, namun dari
beberapa faktor antara lain : kemampuan mengunyah, nyaman dipakai, tidak mudah lepas,
tidak sakit dan faktor estetik.19 Kualitas gigi tiruan bergantung pada beberapa faktor seperti
retensi, stabilisasi, fitness, dimensi vertikal, oklusi, estetik, akumulasi makanan dibawah gigi
tiruan, bicara dan kemampuan mengunyah.36

18
2.5.1 Penilaian Kualitas Gigi Tiruan Lengkap Secara Objektif atau Klinis menurut
SATO

Evaluasi gigi tiruan lengkap secara klinis penting untuk menegakkan rencana
perawatan dan mengetahui kualitas perawatan gigi tiruan lengkap. Evaluasi tersebut biasanya
bersifat subyektif, sehingga diperlukan suatu metode evaluasi yang reprodusibel, bersifat
kuantitatif dan memiliki dasar evidance-based karena adanya faktor penting dalam gigi tiruan
lengkap. Sato (1998) mengemukakan metode pemeriksaan klinis dari tujuh faktor utama yang
berpengaruh pada kualitas dari suatu gigi tiruan lengkap. Metode ini dapat direproduksi untuk
penilaian klinis kuantitatif gigi tiruan lengkap, yaitu18:

1. Penyusunan gigi anterior.

Verifikasi tinggi dan inklinasi gigi anterior harus harmoni dengan wajah pasien.
Tinggi dari elemen gigi tiruan dianalisa berdasarkan garis senyum untuk memastikan
bahwa regio servikal dari insisif sentral maksila berada pada dalam satu garis dengan
garis senyum. Untuk kurva senyum dapat dievaluasi saat pengucapan /F/ dan /V/
dimana tepi insisal dari gigi insisif sentral maksila menyentuh garis bibir bawah.

2. Jarak Interoklusal.

Pasien duduk pada posisi relaks, diintruksikan untuk mengatupkan kedua bibir
secara perlahan. Jarak saat insisif mandibula bergerak dari saat relaks ke posisi
maksimal interkuspasi adalah jarak interoklusal. Jarak interoklusal normal adalah 2
– 4 mm.

3. Stabilisasi dari gigi tiruan rahang bawah.

Evaluasi dilakukan dengan cara aplikasi tekanan secara manual pada regio
premolar kanan dan kiri secara bersamaan. Lalu dilakukan tekanan secara bergantian
pada sisi kanan selanjutnya sisi kiri. Apabila pergerakan gigi tiruan mengikuti
pergerakan jaringan maka dianggap normal, apabila gigi tiruan bergerak ke arah
berbeda dari tekanan (shifted) mengindikasikan gigi tiruan rahang bawah kurang
stabil.

4. Oklusi

19
Dilihat apakah terdapat kontak intercuspasi yang baik tanpa disertai prematur
kontak pada regio lateral dan regio anterior. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan articulating paper. Pemeriksaan dilakukan minimal 3 kali untuk
memastikan posisi yang benar dan meningkatkan akurasi hasil pemeriksaan

5. Artikulasi

Dilihat pada posisi gerak ke lateral pada regio manakah yang terdapat kontak
seimbang bilateral. Pasien diminta untuk menggerakkan rahang kekiri dan ke kanan
sambil tetap beroklusi. Pemeriksaan menggunakan articulating paper.

6. Retensi pada gigi tiruan rahang bawah.

Pasien membuka mulut ringan, dengan melakukan gerakan tarikan dengan jari pada
regio insisif rahang bawah atau rahang atas dilihat apakah gigi tiruan terlepas atau tidak

7. Batas tepi perluasan basis pada gigi tiruan mandibula.

Beberapa karakteristik yang dievaluasi antara lain, (1) Setengah Retromolar Pad
kanan dan kiri tertutup oleh basis gigi tiruan, (2) Garis Mylohyoid pada sisi kanan dan kiri
sesuai dengan kontur anatomis, (3) Tinggi dan bentuk dari sayap lingual di regio anterior sesuai
dengan kontur anatomis, (4) Seluruh sayap-sayap dari basis gigi tiruan sesuai dengan kontur
anatomis.

2.5.2 Penilaian Kualitas Gigi Tiruan Lengkap Secara Objektif atau Klinis menurut FAD
Criteria

Format penilaian lain dari kualitas gigi tiruan dengan menggunakan FAD Criteria
(functional assessment denture) dilakukan oleh tim peneliti dari Taiwam (2012). FAD terdiri
dari 10 komponen yaitu free way space, artikulasi, oklusi, retensi gigi tiruan rahang atas
(vertical pull), retensi gigi tiruan rahang atas (tounge control), stabilitas gigi tiruan rahang atas
(pronounced rocking), stabilitas gigi tiruan rahang atas (lateral displacement), stabilitas gigi
tiruan rahang bawah (pronounced movement), stabilitas gigi tiruan rahang bawah
(anteroposterior movement), stabilitas gigi tiruan rahang bawah (displacement).37

Penilaian FAD lebih dititikberatkan pada kualitas fungsi gigi tiruan lengkap dengan
pemeriksaan ke 10 faktor sebagai berikut :

20
1. Free way space : dimensi istirahat fisiologis dikurangi dengan 2-4 mm.

2. Oklusi : diperiksa dengan cara pasien diminta bersandar rileks kemudian dilakukan
gerakan membuka mulut ringan (20mm) kemudian menggigit dibagian gigi posterior.

3. Artikulasi : pasien diminta menggerakkan rahang bawah dari satu sisi ke sisi lainnya
lalu dilihat gerakan gigi tiruan terhadap jaringan pendukung dibawahnya.

4. Retensi gigi tiruan rahang atas (vertical pull) : pasien diminta membuka mulut (20mm)
dilihat apakah gigi tiruan rahang atas terlepas.

5. Retensi gigi tiruan rahang atas ( tounge control) : pasien diminta menggigit cotton roll
di area gigi anterior kemudian dilihat posisi dari lidah.

6. Stabilitas gigi tiruan rahang atas (lateral displacement) : jari telunjuk dan ibu jari
operator diposisikan pada gigi premolar rahang atas lalu digerakkan secara rotasi

7. Stabilitas gigi tiruan rahang atas ( pronounced rocking) : tekanan ringan diaplikasikan
disisi kiri dan kanan regio molar menggunakan jari telunjuk dan ibu jari operator lalu
digerakkan dalam arah anteroposterior.

8. Stabilitas gigi tiruan rahang bawah (displacement) : pasien diminta membuka mulut
sekitar 20 mm, lidah dalam posisi relaks dan dilihat kedudukan gigi tiruan rahang
bawah dengan jari.

9. Stabilitas gigi tiruan rahang bawah (pronounced movement) : pasien diminta


menggerakkan lidah sehingga ujung lidah dalam posisi istirahat berada pada sudut
mulut dimana mulut pasien dalam keadaan terbuka (20mm) lalu dilihat kedudukan gigi
tiruan rahang bawah dengan jari.

10. Stabilitas gigi tiruan rahang bawah (anteroposterior movement) : gigi tiruan rahang atas
dilepaskan, lalu gigi tiruan rahang bawah diposisikan diatas ridge dengan jari telunjuk
dan ibu jari operator pada regio gigi insisif berusaha menggerakkan sementara lidah
pada posisi istirahat.

21
2.5.3. Penilaian Kualitas Gigi Tiruan Lengkap Secara Objektif atau Klinis menurut
Alfadda

Pada tahun 2013, tim peneliti dari Saudi Arabia (Alfadda) melakukan penelitian
hubungan berbagai parameter kualitas gigi tiruan lengkap dan kepuasan pasien. Dengan subyek
pengguna gigi tiruan lengkap konvensional diteliti menggunakan form examination yang telah
divalidasi sebelumnya untuk kualitas gigi tiruan dan skala kepuasan pasien. Pada penelitian
tersebut juga dianalisa apakah terdapat hubungan antara kualitas gigi tiruan lengkap dengan
skala kepuasan pasien. Penilaian kualitas gigi tiruan secara klinis meliputi 7 parameter
diantaranya : dukungan estetik bibir, garis bibir bawah estetik, stabilitas gigi tiruan rahang atas,
stabilitas gigi tiruan rahang bawah, retensi gigi tiruan rahang atas, retensi gigi tiruan rahang
bawah dan oklusi.

Denture Quality Parameter Unacceptable Acceptable

Esthetic Lip Support

Esthetic Lower Lip Line

Stability of Maxillary Denture

Stability of Mandibular Denture

Retention of Maxillary Denture

Retention of Mandibular Denture

Occlusion

2.5.2 Penilaian Keberhasilan Gigi Tiruan Lengkap Secara Subjektif Menggunakan


Kuesioner (PDA)

Patien Denture Assessment (PDA) merupakan kuisioner multidimensi untuk


mengevaluasi kepuasan pasien terhadap gigi tiruannya. PDA ditemukan tim peneliti di Jepang
oleh Komagamime et al (2010) yang sudah diuji validitas dan reliabilitasnya. PDA dapat
menggambarkan efek positif dan negatif gigi tiruan terhadap pasien. Kuesioner PDA terbagi

22
atas enam aspek yaitu fungsi, estetik dan bicara, gigi tiruan lengkap rahang bawah, expectation,
gigi tiruan lengkap rahang atas dan importance. Masing-masing aspek terdiri dari beberapa
unsur pertanyaan yang lebih detail. Kepuasan pasien dinilai menggunakan Likert Scale atau
Visual Analog Scale (VAS)38 PDA versi bahasa indonesia telah divalidasi dan diuji
reliabilitasnya oleh tim peneliti dari FKG Universitas Indonesia tahun 2017. Komponen
pertanyaan PDA dapat dilihat pada tabel dibawah.39

Aspek No. PDA-ID (versi bahasa Indonesia)

Fungsi 1 Apakah ada rasa sakit?

2 Apakah mudah menelan makanan & minuman?

3 Apakah dapat merasakan lezatnya makanan?

4 Apakah rahangnya lelah?

Estetik & Bicara 5 Apakah partikel makanan masuk ke gigi tiruan bawah?

6 Apakah gigi tiruan bawah terpasang dengan tepat?

7 Apakah gigi tiruan bawah cocok dengan gusi?

8 Apakah anda merasa tidak nyaman di gigi tiruan bawah?

Gigi Tiruan Rahang 9 Apakah partikel makanan masuk ke gigi tiruan atas?
Bawah
10 Apakah gigi tiruan atas terpasang dengan tepat?

11 Apakah gigi tiruan atas sering terlepas?

12 Apakah menurut anda gigi tiruan yang dipakai sesuai harapan?

Ekspektasi 13 Apakah anda merasa ada masalah dengan gigi tiruan yang baru?

14 Apakah anda berpikir dibuatkan gigi tiruan yang sesuai?

15 Apakah orang lain menyadari anda memakai gigi tiruan?

Gigi Tiruan Rahang Atas 16 Apakah anda kesulitan saat berbicara dengan orang lain?

17 Apakah anda khawatir dengan mulut anda?

18 Apakah mengeluarkan bunyi ketika mengunyah?

Importance 19 Apakah menurut anda gigi tiruan adalah bagian dari tubuh anda?

23
20 Apakah menurut anda gigi tiruan adalah sesuatu yang penting?

21 Apakah menurut anda gigi tiruan anda mudah digunakan?

22 Apakah anda nyaman memakai gigi tiruan anda?

Gambar 5. Sumber: Hubungan antara kemampuan mastikasi dan kepuasan pasien


terhadap perawatan gigi tiruan lengkap. Tesis 2017. FKG UI

2.5.3. Penilaian Keberhasilan Gigi Tiruan Lengkap Subjektif Menggunakan Kuesioner


Denture Satisfaction Scale Scores

Pada tahun 2013, Alfadda selain melakukan penilaian klinis gigi tiruan juga melakukan
penilaian subyektif melalui format kuesioner. Skala kepuasan pasien berdasarkan 12
pertanyaan kuesioner sebagai berikut20 :

How satisfied are you Not at all Not very Reasonably Very Totally
with ... satisfied satisfied satisfied satisfied satisfied
Q1. Your upper denture
overall ?
Q2. Your lower denture
overall?
Q3. Retention of your upper
denture?
Q4. Retention of your lower
denture?
Q5. Stability of your upper
denture
Q6. Stability of your lower
denture?
Q7. Comfort of your upper
denture?
Q8. Comfort of your lower
denture?
Q9. Chewing efficiency of
your denture?

24
Q10.Appearance/ esthetic of
your upper denture?
Q11. Appearance/ esthetic of
your lower denture?
Q12. Ability to speak with
your denture?

25
BAB III
KESIMPULAN

 Resorpsi residual ridge merupakan penyebab utama hilangnya retensi dan stabilisasi
gigi tiruan lengkap rahang bawah. Resorpsi tulang pada wanita lebih banyak setiap
tahunnya daripada pria. Resorpsi anterior mandibula berjalan empat kali lebih cepat
daripada resorbsi anterior maksila.
 Penilaian kualitas tulang yang meliputi aspek densitas dan resorbsi tulang dapat
dilakukan dengan menggunakan roentgen panoramik ataupun periapikal, dimana
tekhnik interpretasi roentgen yang digunakan bervariasi sehingga harus
mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan setiap tekhnik interpretasi.
 Derajat keparahan resorpsi tulang alveolar mempengaruhi retensi & stabilisasi gigi
tiruan lengkap sehingga diperkirakan dapat mempengaruhi keberhasilan perawatan gigi
tiruan lengkap
 Penilaian keberhasilan perawatan gigi tiruan lengkap tidak berasal dari satu faktor saja
melainkan banyak faktor yang berpengaruh didalamnya meliputi aspek subyektif
(penilaian pasien terhadap gigi tiruannya) dan aspek klinis (kondisi gigi tiruan yang
dihasilkan)
 Penilaian secara terhadap kualitas gigi tiruan lengkap masih memerlukan format yang
terstandart yang membutuhkan validasi serta uji reliabilitas sementara penilaian
subyektif terhadap gigi tiruan lengkap di Indonesia dapat menggunakan PDA-ID yang
telah diuji validitas & reliabilitasnya.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Surya A, Rachmawati Y. Statistik Penduduk Lanjut Usia. 12th ed. (Susilo D, Chamami
A, eds.). Jakarta-Indonesia: Badan Pusat Statistik (Ind)
2. Ratnawati E. Asuhan Keperawatan Gerontik. In: Pertama. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press; 2015:7-19 (Ind).
3. Lucas A. Ilmu Kesehatan Masyarakat. In: pertama. Yogyakarta: CV Andi Offset; 2016.
4. Trisnaningsih. Demografi. In: Demografi. Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2015:51-
54 (Ind).
5. Cano-gutiérrez C, Borda MG, Arciniegas AJ, Borda CX. EDENTULISM AND
DENTAL PROSTHESES IN THE ELDERLY : IMPACT ON QUALITY OF LIFE
MEASURED WITH EUROQOL – VISUAL ANALOG SCALE ( EQ-VAS ).
2015:149-155.
6. Kaira LS. Prevalence of complete edentulism among Udaipur population of India. Saudi
J Dent Res. 2014;5(2):139-145.
7. Penelitian B, Pengembangan, RI DK. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan
Departemen Kesehatan RI tahun 2009.
8. Emami E, Souza RF De, Kabawat M, Feine JS. The Impact of Edentulism on Oral and
General Health. 2013;2013.
9. Marcello-machado RM, Machado A, Giacomelli G, et al. Original article Masticatory
function parameters in patients with varying degree of mandibular bone resorption. J
Prosthodont Res. 2016:2-10.
10. Driscoll CF, Freilich MA, Guckes AD, et al. Ninth Edition. 1923:1-105.
11. Zarb. Prosthodontic Treatment for Edentulous Patients 13rd Ed - Zarb.pdf. 2013.
12. Veeraiyan D, Bhat V. Textbook of Prosthodontics. In: Text Book of Prosthodontics. 2nd
ed. New Delhi, India: Jaypee Brothers; 2017.
13. Rodrigues AHC, Steven M. An expedited technique for remaking a single complete
denture for an edentulous patient. 2007.
14. Indrasari M, Kusdhany LS, Koesmaningati H. Resorption Level of Edentulous Alveolar
Bone in Normal , Osteopenia and Osteoporosis Postmenopausal Women.
2012;8(3):141-146.
15. Hren, N Ihan B. Osteoporosis and mandibles. 2006;(2005):178-184.
16. López-roldán A, Abad DS, Bertomeu IG, Gómez E, Otaolaurruchi ES. Bone resorption
processes in patients wearing overdentures . A 6-years retrospective study. 2009;1(1).
17. Ferreira B, Santos O, Bertolini M, Francisco J, Santos F, Marchini L. Patients ’

27
Evaluations of Complete Denture Therapy and Their Association with Related
Variables : A Pilot Study. 2015;24:351-357.
18. Sato Y, Tsuga K, Akagawa Y, Tenma H. A method for quantifying complete denture
quality. J Prosthet Dent. 1998;80(1).
19. Komagamine Y, Kanazawa M, Kaiba Y, Sato Y, Minakuchi S. Reliability and validity
of a questionnaire for self-assessment of complete dentures. 2014;14(1):1-7.
20. Prosthodontics SAA, Canada F. The relationship between various parameters of
complete denture quality and patientsâ€TM satisfaction. J Am Dent Assoc.
2017;145(9):941-948. doi:10.14219/jada.2013.48.
21. Papi M. Factors Related to Patient Satisfaction With Complete Denture Therapy.
2003;58(10):948-953.
22. Florencio-silva R, Rodrigues G, Sasso-cerri E, Simões MJ, Cerri PS, Cells B. Biology
of Bone Tissue : Structure , Function , and Factors That Influence Bone Cells.
2015;2015.
23. Hernández-gil IF, Angel M, Gracia A, et al. Physiological bases of bone regeneration II
. The remodeling process. 2005:151-157.
24. Pharoah & White. Oral Radiology Principles and Interpretation. In: 7th ed. Missouri:
Elseiver Mosby; 2014:93-135.
25. Samyukta. Residual Ridge Resorption in Complete Denture Wearers. J Pharm Sci Res.
2016;8(6):565-569.
26. Xie Q, Wolf J, Tilvis R. Resorption of mandibular canal wall in the edentulous aged
population. 1997;77(6).
27. Klemetti E. and bone density. J Prosthet Dent. 1996;75:512-514.
28. Priminiarti M, Kiswanjaya B, Iskandar HB. RADIOGRAPHIC EVALUATION OF
OSTEOPOROSIS THROUGH DETECTION OF JAW BONE CHANGES : A
SIMPLIFIED EARLY OSTEOPOROSIS DETECTION EFFORT. 2010;14(2):51-56.
29. Pillai GK. Oral and Maxillofacial Radiology. In: 1st ed. New Delhi, India: Jaypee
Brothers; 2015.
30. Hardanti S, Oscandar F. Description of mandibular bone quality based on measurements
of cortical thickness using Mental Index of male and female patients between 40-60
years old. 2011:151-153.
31. Devi BKY, Rakesh N, Ravleen N. Diagnostic efficacy of panoramic mandibular index
to identify postmenopausal women with low bone mineral densities . 2011;3(5):456-
461.
32. Çakur B, Dağistan S, Harorli A, Ezmeci E. The mandibular angle in osteoporotic men.
2011;16(2):4-7.
33. A T. Diagnosis efficacy of alveolar bone loss of the mandible for identifying
postmenopausal woman with femoral osteoporosis. J Dentomaxillofacial Radiol.

28
2007;36:28-33.
34. Genc Y. Assessment of panoramic radiomorphometric indices in Turkish patients of
different age groups , gender and dental status. 2008:288-292.
35. Kiswanjaya B, Yoshihara A, Deguchi T. Relationship between the mandibular inferior
cortex and bone stiffness in elderly Japanese people. 2010:433-438.
36. Gosavi SS, Ghanchi M, Malik SA, Sanyal P. ORIGINAL RESEARCH A Survey of
Complete Denture Patients Experiencing Difficulties with their Prostheses. :524-527.
37. Chen Y, Yang Y, Chen J, et al. The impact of complete dentures on the oral health-
related quality of life among the elderly. J Dent Sci. 2012;7(3):289-295.
doi:10.1016/j.jds.2012.06.004.
38. Komagamine Y, Kanazawa M, Kaiba Y, et al. Reliability and validity of a questionnaire
for self- assessment of complete dentures. BMC Oral Health. 2014;14;45.
39. Rezeki A. Hubungan Antara Kemampuan Mastikasi dan Kepuasan Pasien terhadap
Perawatan Gigi Tiruan Lengkap (Pengukuran Menggunakan Colour Changeable
Chewing Gum dan Questionnare Patient’s Denture Assessment versi Bahasa Indonesia).
2017.

29

Anda mungkin juga menyukai