Anda di halaman 1dari 5

ANALISA KASUS

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
Menjelang Ajal & Paliatif

Disusun Oleh :
KELOMPOK 1

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
KAMPUS II STIKKU RS CIREMAI
2018-2019
KASUS

Ny. T usia 42 tahun terdiagnosis menderita kanker payudara sejak 7 tahun yang lalu dan
sudah dilakukan mastektomi. Ny T mengeluh nyeri pada area operasi dan diseluruh tubuhnya
terutama bila udara dingin nyerinya terasa semakin hebat. Bagi Ny. T nyeri yang
dirasakannya sangat mengganggu sehingga aktivitas Ny. T saat ini hanya terbatas di tempat
tidur saja. Ny. T merasa sangat stres dengan kondisinya sekarang dan mengatakan dirinya
sudah begitu lelah dan tidak ingin hidup lagi. Ny T meminta kepada perawat untuk dilakukan
tindakan suntik mati saja.
ANALISA KASUS

Isu etik dalam praktik keperawatan yang terdapat dalam kasus diatas adalah
Euthanasia. Euthanasia diartikan sebagai mengakhiri hidup manusia secara tanpa sakit
dengan tujuan menghentikan penderitaan fisik yang berat dan sebagai cara menangani
korban-korban yang mengalami sakit yang tidak mungkin disembuhkan lagi. Euthanasia telah
menjadi topik kontroversial, yang telah menimbulkan banyak perdebatan tentang apakah
harus disahkan atau tidak.
Dari sudut pandang etika, tidak pernah dibenarkan mengorbankan manusia karena
suatu tujuan, apalagi melalui euthanasia yang dapat disamakan dengan pembunuhan. Dalam
pandangan agama islam, kehidupan dan kematian hanyalah Allah SWT yang menetukan.
Penderitaan yang dialami manusia apapun bentuknya, tidak dibenarkan seorang pun
merenggut kehidupan orang yang menderita tersebut khususnya melalui praktek euthanasia.

Berdasarkan hukum di Indonesia, praktik euthanasia dianggap sebagai perbutan yang


melawan hukum dan kerap ditafsirkan dan bertentangan dengan KUHP. Indonesia tidak
mengakui hak untuk mati sebagai salah satu hak insani manusia. Indonesia hanya mengakui
hak untuk hidup. Secara khusus kasus euthanasia tidak dijelaskan dalam KUHP, namun
tindakan euthanasia adalah perbuatan yang dilarang dilakukan oleh siapapun termasuk oleh
para dokter atau tenaga medis karena termasuk dalam kategori pembunuhan yang mendapat
hukuman pidana. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa euthanasia tidak dapat diterima
secara moral, agama, medis, dan hukum yang berlaku di Indonesia.

Masalah dari dilemanya euthanasia adalah adanya pro dan kontra atas tindakan yang
dokter lakukan terhadap pasien, jika dokter mematikan alat bantu pernafasan pasien, itu
berarti mereka melakukan tindakan euthanasia yang akan menjerat mereka dalam pasal 338,
340, dan 359 KUHP.

Pasal 338 “ Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena
pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun”.

Pasal 340 “ Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan yang direncanakan, dengan
hukuman mati atau penjara selama-lamanya 20 taun”.

Pasal 359 “ Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum
penjara selam-lamanya 5 tahun atau kurungan selama-lamanya 1 tahun”.
Namun ada peraturan menteri kesehatan (PERMENKES) bab 3 pasal 14 ayat 1,
mengenai penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup, yang bunyi pasalnya: “ Pada
pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat yang dideritanya
(terminal state) dan tindakan dokter tidak sia-sia (futile) dapat dilakukan penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup”.

Indonesia melalui pasal-pasal tersebut jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan
bantuan oranglain sekalipun itu keinginannya sendiri. Dalam aspek hukum, perawat atau
tenaga mendis lainnya selalu berada pada pihak dipersalahkan dalam tindakan euthanasia
tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit
yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.

Perawat memiliki prinsip etik yang digunakan sebagai landasan memberikan


pelayanan kesehatan kepada masyarakat sehingga baik pemberi dan penerima pelayanan
dilindungi dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam kasus di atas prinsip etik
yang dapat diterapkan oleh seorang perawat yang pertama berbuat baik (Beneficience),
prinsip ini memuat perawat untuk melakukan hal yang baik sesuai dengan ilmu dan kiat
keperawatan dalam melakukan pelayanan keperawatan. Prinsip ini diterapkan dengan
memberikan semangat kepada pasien dan semangat kepada pasien dan mengatakan bahwa
masih banyak yang mencintai dirinya.

Prinsip etik yang kedua yaitu tidak merugikan (non-maleficience), prinsip ini berarti
seorang perawat dalam melakukan pelayanannya sesuai dengan ilmu dan kiat keperawatan
dengan tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien. Pada kasus di atas
ketika seorang pasien mengungkapkan kenginannya untuk mengakhiri hidupnya dengan cara
suntik mati, perawat tidak boleh melakukannya karena itu melanggar prinsip etik dan hak
hidup dari pasien itu sendiri.

Prinsip etik yang ketiga yaitu akuntabilitas (accountability), adalah standar yang pasti
bahwa tindakan seorang yang professional dapat dinilai dalam berbagai kondisi tanpa
terkecuali. Penerapan prinsip ini pada kasus di atas yaitu perawat bertanggungjawab atas
kondisi psikologi klien. Perawat harus bisa memberikan perasaan nyaman pada pasiennya
sehingga pasien merasa tidak putus asa akan sakitnya.

Sebagai seorang perawat harus bisa memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada
setiap kondisi pasien. Asuhan keperawatan yang tepat dapat membantu pasien mencapai
tingkat kesembuhan yang optimal. Jika keadaan yang dihadapi pasien kasus di atas maka
setidaknya asuhan keperawatan yang tepat yaitu keperawatan paliatif akan membantunya
meningkatkan kualitas hidup pasien.

Anda mungkin juga menyukai