1. PENGERTIAN KONSERVASI
Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris yaitu Conservation yang terdiri atas kata
con dan servare yang memiliki pengertian upaya memelihara apa yang kita punya namun secara
bijaksana.
a. Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang
dikandungnya terpelihara dengan baik (Piagam Burra, 1981).
b. Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan terhadap sesuatu yang dilakukan secara
teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan cara pengawetan (Peter Salim dan
Yenny Salim, 1991).
c. Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con
(together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa
yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini
dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang
mengemukakan tentang konsep konservasi.
d. Sedangkan menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural
dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang.
Dalam konteks luas Konservasi merupakan proses pengelolaan suatu tempat agar makna
kultural yang terkandung dapat terjaga dengan baik meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan
sesuai kondisi lokal.
Konservasi Arsitektur adalah Upaya pelestarian / pemeliharaan hal yang bersangkutan dengan
dunia arsitektur. baik itu merupakan sebuah kawasan ,maupun didalam sebuah gedung , dengan
tujuan agar dapat melestarikan / memelihara bangunan yang utuh dapat dipertahankan.
2. SASARAN KONSERVASI
3. Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu,
tercermin dalam obyek pelestarian
4. Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota, dalam wujud fisik tiga dimensi.
3. RUANG LINGKUP KONSERVASI :
Kategori obyek konservasi :
1. Lingkungan Alami (Natural Area)
4. Kawasan (Districts)
6. Bangunan (Buildings)
4. MANFAAT KONSERVASI :
4. Mewariskan arsitektur
5. ASPEK KONSERVASI
1. Kriteria arsitektural
2. Kriteria Historis
3. Kriteria simbolis
6. KRITERIA KONSERVASI
1. ESTETIKA
Bangunan-bangunan atau dari bagian kota yang dilestarikan karena mewakili prestasi
khusus dalam suatu gaya sejarah tertentu.Tolak ukur estetika ini dikaitkan dengan nilai
estetis dari arsitektonis: bentuk, tata ruang dan ornamennya.
2. KEJAMAKAN
Bangunan-bangunan atau bagian dari kota yang dilestarikan karena mewakili satu kelas
atau jenis khusus bangunan yang cukup berperan. Penekanan pada karya arsitektur yang
mewakili ragam atau jenis yang spesifik.
3. KELANGKAAN
Bangunan yang hanya satu dari jenisnya, atau merupakan contoh terakhir yang masih
ada. Karya langka atau satu-satunya di dunia atau tidak dimiliki oleh daerah lain.
4. KEISTIMEWAAN
Bangunan-bangunan ruang yang dilindungi karena memiliki keistimewaan, misalnya
yang tertinggi, tertua, terbesar pertama dan sebagainya
5. PERANAN SEJARAH
Bangunan-bangunan dari lingkungan perkotaan yang merupakan lokasi-lokasi bagi
peristiwa-peristiwa bersejarah yang penting untuk dilestarikan sebagai ikatan simbolis
antara peristiwa terdahulu dan sekarang.
6. MEMPERKUAT KAWASAN
Bangunan-bangunan dan di bagian kota yang karena investasi di dalamnya, akan
mempengaruhi kawsan-kawasan di dekatnya, atau kehadiratnya bermakna untuk
meningkatkan kualitas dan citra lingkungan sekitarnya.
Internal :
Eksternal :
1. Memberi masukan kepada Pemda mengenai kawasan-kawasan atau bangunan yang perlu
dilestarikan dari segi arsitektur.
2. Membantu Pemda dalam menyusun Rencana Tata Ruang untuk keperluan pengembangan
kawasan yang dilindungi (Urban Design Guidelines)
3. Membantu Pemda dalam menentukan fungsi atau penggunaan baru bangunan-bangunan
bersejarah atau bernilai arsitektural tinggi yang fungsinya sudah tidak sesuai lagi
(misalnya bekas pabrik atau gudang) serta mengusulkan bentuk konservasi
arsitekturalnya.
4. Memberikan contoh-contoh keberhasilan proyek pemugaran yang dapat menumbuhkan
keyakinan pengembang bahwa dengan mempertahankan identitas kawasan/bangunan
bersejarah, pengembangan akan lebih memberikan daya tarik yang pada gilirannya akan
lebih mendatangkan keuntungan finansial.
1. Restorasi (dalam konteks yang lebih luas) ialah kegiatan mengembalikan bentukan fisik suatu
tempat kepada kondisi sebelumnya dengan menghilangkan tambahan-tambahan atau merakit
kembali komponens eksisting tnap menggunakan material baru.
2. Restorasi (dalam konteks terbatas) iala kegiatan pemugaran untuk mengembalikan bangunan
dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data pendukung
tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis
bangunan terpenuhi. (Ref.UNESCO.PP. 36/2005).
3. Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu temapt
dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan.
4. Preservasi (dalam konteks yang terbatas) ialah bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang
intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya
agar keandalan kelaikan fungsinya terjaga baik (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
5. Konservasi ( dalam konteks yang luas) ialah semua proses pengelolaan suatu tempat hingga
terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena kondisinya)
termasuk tindakan preservasi, restorasi, rekonstruksi, konsoilidasi serta revitalisasi. Biasanya
kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut.
6. Konservasi (dalam konteks terbatas) dari bangunan dan lingkungan ialah upaya perbaikan
dalam rangka pemugaran yang menitikberatkan pada pembersihan dan pengawasan bahan yang
digunakan sebagai kontsruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref.
UNESCO.PP. 36/2005).
7. Rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki sekaurat
mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana lainnya, rusak
akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karenasalah satu sebab yang darurat, dengan
menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan baru
dan menjadikan bangunan tersebut laik fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. (Ref.
UNESCO.PP. 36/2005).
9. Revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah yang
optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar
budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya
aset-aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas.
10. Pemugaran adalah kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan gedung dan
lingkungan cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan struktur
yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, histories dan teknis. (Ref. PP.36/2005).
Kegiatan pemulihan arsietktur bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang disamping
perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya secara fungsional yang memenuhi
persyaratan keandalan bangunan.
Pekojan yang lahir hampir bersamaan dengan lahirnya Kota Jakarta. Kawasan Pekojan
pada era Kolonial Belanda lebih dikenal sebagai kampung Arab. Sebelum ditetapkan sebagai
kampung Arab pada abad ke-18 oleh Pemerintah Hindia Belanda, Pekojan merupakan tempat
tinggal warga Koja (Muslim India). Mayoritas penduduk yang berdagang dan bermukim di
kawasan ini adalah orang India, sehingga dinamakan Pekojan yang berarti tempat tinggal orang
Koja.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993 tentang
Penetapan Bangunan-bangunan Bersejarah di DKI Jakarta sebagai Benda Cagar Budaya
menyebutkan bahwa di Kawasan Pekojan terdapat 16 buah bangunan yang dilindungi, berupa
masjid dan rumah tinggal berlanggam Cina yang dibangun pada abad ke-17 hingga ke-19.
Gejala penurunan kualitas dapat dengan mudah diamati pada fisik kawasan kota
bersejarah/tua, karena sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat kegiatan perekonomian dan
sosial budaya), kawasan kota tua tersebut umumnya berada dalam tekanan pembangunan
(Serageldin, 2000). Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik yang ada di
perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non hijau telah
mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Menurunnya kualitas dan kuantitas
ruang terbuka hijau menimbulkan dampak antara lain sering terjadinya banjir, tingginya polusi
udara, meningkatnya kriminalitas, menurunnya produktivitas masyarakat (Konsep Ruang
Terbuka Hijau Perkotaan, 2008).
Kawasan Pekojan kini termasuk ke dalam kawasan yang mengalami gejala penurunan
kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan di Kawasan Pekojan terlihat dari
menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau dan penurunan tingkat aksesibilitas.
Berdasarkan pengamatan awal, penurunan kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau di Kawasan
Pekojan terlihat dari luasan ruang terbuka hijau yang berkurang dari 10% (3,8 km2) pada tahun
1960-an hingga kurang dari 1% (0,3 km2) pada tahun 2008. Sebagian besar ruang terbuka hijau
yang ada dikonversi menjadi jalan raya, dan permukiman baru.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dibutuhkan suatu kajian mengenai faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan bangunan di Kawasan Pekojan
Jakarta. Penelitian berjudul ”Pelestarian Lingkungan dan Bangunan Kuno di Kawasan Pekojan
Jakarta” akan mencakup aspek historis kawasan, karakteristik lingkungan, karakteristik
bangunan kuno, pengukuran kualitas lingkungan dan bangunan kuno, faktor-faktor penyebab
penurunan kualitas lingkungan dan bangunan kuno, serta arahan pelestarian dalam melindungi
dan mempertahankan lingkungan dan bangunan kuno di Kawasan Pekojan.
Gambar 1. Bangunan kuno yang mengalami degradasi
Karakter dan Kualitas Lingkungan dan Bangunan Kuno di Kawasan Pekojan Sejarah Kawasan
Pekojan
Pekojan merupakan salah satu kampung tua di Kota Jakarta. Kampung Pekojan terletak
di sebelah barat Pusat Kota Batavia (Kawasan Kota kini), berdampingan dengan lahan pertanian
(Gambar 2.).
Gambar 2. Lokasi Kampung Pekojan pada peta Batavia tahun 1740
Kata Pekojan berasal dari kata “Koja” yang mengaju pada nama sebuah tempat di India.
Penduduk Koja di India pada umumnya adalah orang yang senang berdagang sekaligus
menyiarkan agama Islam ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Batavia. Para pedagang dari
Koja yang merantau ke Batavia bermukim di kawasan ini. Kawasan ini kemudian dinamakan
Pekojan, yang berarti tempat tinggal orang-orang Koja. Selain, para pendatang dari India,
Pekojan juga dihuni oleh pendatang dari Yaman Selatan. Para pendatang yang berasal dari
Hadramaut (Yaman Selatan), oleh Pemerintah Hindia Belanda diwajibkan lebih dulu tinggal di
Kawasan Pekojan. Setelah menetap beberapa lama di Pekojan, barulah para pendatang kemudian
menyebar ke berbagai daerah di Batavia.
Pada abad ke-18, Kawasan Pekojan didominasi oleh warga keturunan Arab dan India.
Tetapi kemudian, selama masa migrasi orang-orang dari Hadramaut, populasi Mulim Arab di
Pekojan meningkat. Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18 kemudian menetapkan
Kawasan Pekojan sebagai Kampung Arab.
Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, warga Muslim Arab tidak hanya diwajibkan
untuk tinggal di Pekojan, tetapi mereka juga harus memiliki passport (surat ijin) untuk
meninggalkan kawasan ini, yang dinamakan sistem wijken-en passen stelsen. Selain itu, para
pria diwajibkan memakai pakaian yang menjadi identitas kaum Muslim Arab, seperti penutup
kepala pada kaum laki-laki
Karakter bangunan kuno
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993 menetapkan
bahwa di Kawasan Pekojan terdapat 16 buah bangunan cagar budaya yang dilindungi, terdiri dari
4 buah masjid kuno dan 12 buah rumah berlanggam Cina. Bangunan cagar budaya berupa masjid
kuno, yaitu Masjid Annawier, Langgar Tinggi, Masjid Jami Al Anshor, dan Masjid Kampung
Baru. Sedangkan 12 buah bangunan cagar budaya berupa rumah tinggal, yaitu terletak di Jl
Pekojan Raya No, 38, 45, 46, 47, 54, 55, 60, 61, 71, 86, dan 87. Masing-masing dari bangunan
cagar budaya memiliki nilai historis tersendiri dan menggambarkan wujud Kawasan Pekojan
pada masa lampau.
Status kepemilikan bangunan kuno di Kawasan Pekojan dibagi menjadi 4, yaitu hak
milik, hak guna bangunan, milik pemerintah, dan wakaf. Sebanyak 57 bangunan (82%)
merupakan hak milik, 6 bangunan (9%) merupakan hak guna bangunan, 6 bangunan mrupakan
wakaf (9%), dan 1 bangunan (1%) milik pemerintah (Gambar 4.).
Gambar 4. Status kepemilikan bangunan kuno
Pada saat itu bangunan ini bernama SOCITEIT CONCORDIA dipergunakan sebagai
tempat rekreasi oleh sekelompok masyarakat Belanda yang berdomisili di kota Bandung dan
sekitarnya. Mereka adalah para pegawai perkebunan, perwira, pembesar, pengusaha, dan
kalangan lain yang cukup kaya. Pada hari libur, terutama malam hari, gedung ini dipenuhi oleh
mereka untuk menonton pertunjukan kesenian, makan malam. Pada masa pendudukan Jepang
gedung ini dinamakan Dai Toa Kaman dengan fungsinya sebagai pusat kebudayaan. Pada masa
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945 gedung ini
digunakan sebagai markas pemuda Indonesia guna menghadapi tentara Jepang yang pada waktu
itu enggan menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia. Setelah pemerintahan Indonesia mulai
terbentuk (1946 – 1950) yang ditandai oleh adanya pemerintahan Haminte Bandung, Negara
Pasundan, dan Recomba Jawa Barat, Gedung Concordia dipergunakan lagi sebagai gedung
pertemuan umum. disini biasa diselenggarakan pertunjukan kesenian, pesta, restoran, dan
pertemuan umum lainnya.
Setelah terbentuk Konstituante Republik Indonesia sebagai hasil pemilihan umum tahun
1955, Gedung Merdeka dijadikan sebagai Gedung Konstituante. Karena Konstituante dipandang
gagal dalam melaksanakan tugas utamanya, yaitu menetapkan dasar negara dan undang-undang
dasar negara, maka Konstituante itu dibubarkan oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Selanjutnya, Gedung Merdeka dijadikan tempat kegiatan Badan Perancang Nasional dan
kemudian menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terbentuk
tahun 1960. Meskipun fungsi Gedung Merdeka berubah-ubah dari waktu ke waktu sejalan
dengan perubahan yang dialami dalam perjuangan mempertahankan, menata, dan mengisi
kemerdekaan Republik Indonesia , nama Gedung Merdeka tetap terpancang pada bagian muka
gedung tersebut.
Pada tahun 1965 di Gedung Merdeka dilangsungkan Konferensi Islam Asia Afrika. Pada
tahun 1971 kegiatan MPRS di Gedung Merdeka seluruhnya dialihkan ke Jakarta . Setelah
meletus pemberontakan G30S/ PKI, Gedung Merdeka dikuasai oleh instansi militer dan sebagian
dari gedung tersebut dijadikan sebagai tempat tahanan politik G30S/ PKI. Pada bulan Juli 1966,
pemeliharaan Gedung Merdeka diserahkan oleh pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah
Tingkat I Propinsi Jawa Barat, yang selanjutnya oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa
Barat diserahkan lagi pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya
Bandung. Tiga tahun kemudian, tanggal 6 Juli 1968, pimpinan MPRS di Jakarta mengubah surat
keputusan mengenai Gedung Merdeka (bekas Gedung MPRS) dengan ketentuan bahwa yang
diserahkan adalah bangunan induknya, sedangkan bangunan-bangunan lainnya yang terletak di
bagian belakang Gedung Merdeka masih tetap menjadi tanggung jawab MPRS.
Pada Maret 1980 Gedung ini kembali dipercayakan menjadi tempat peringatan
Konferensi Asia Afrika yang ke-25 dan pada Puncak peringatannya diresmikan Museum
Konferensi Asia Afrika oleh Soeharto Presiden Republik Indonesia – 2.
Bangunan ini dirancang oleh Van Gallen Last dan C.P. Wolff Schoemaker. Keduanya
adalah Guru Besar pada Technische Hogeschool (Sekolah Teknik Tinggi), yaitu ITB sekarang,
dua arsitektur Belanda yang terkenal pada masa itu, Gedung ini kental sekali dengan nuansa art
deco dan gedung megah ini terlihat dari lantainya yang terbuat dari marmer buatan Italia yang
mengkilap, ruangan-ruangan tempat minum-minum dan bersantai terbuat dari kayu cikenhout,
sedangkan untuk penerangannya dipakai lampu-lampu bias kristal yang tergantung gemerlapan.
Gedung ini menempati areal seluas 7.500 m2.
PAMERAN TETAP
Museum Konperensi Asia Afrika memiliki ruang pameran tetap yang memamerkan sejumlah
koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan foto-foto dokumenter peristiwa Pertemuan Tugu,
Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor, dan Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Selain itu
dipamerkan juga foto-foto mengenai :
TAHAP PEMUGARAN
Museum KAA diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 24 April 1980, sebagai puncak
peringatan 25 tahun KAA. Saat ini Museum KAA berada di bawah Kementerian Luar Negeri,
menjadi UPT dari Direktorat Diplomasi Publik. Museum KAA menempati Gedung Merdeka,
yang hingga saat ini menjadi milik DPR/MPR, dan berada di bawah pengawasan Sekretariat
Negara. Pengelolaan gedung tersebut di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Museum KAA memamerkan sejumlah koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan foto-
foto dokumenter peristiwa pertemuan Tugu, Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor, dan
Konferensi Asia Afrika tahun 1955.
Hotel Indonesia yang dibangun pada tahun 1960-an dan diresmikan pada tanggal 5
Agustus 1962, pada tahun 1990-an hampir memudar dan kehilangan keanggunannya karena
kelalaian untuk tetap mempertahankannya. Struktur maupun konstruksi bangunan masih kuat,
tetapi karena diakui sebagai landmark kota Jakarta dan merupakan obsesi untuk kewibawaan
bangsa oleh Presiden Soekarno, Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia, serta
ditetapkannya sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka
dicari upaya untuk melestarikan dan mengkonservasi gedung tersebut, yaitu bekerja sama dengan
grup pengelola hotel dari Jerman yang bernama Kempinski.
Kebijakan untuk mengkonservasi Hotel Indonesia tidak dengan menghancurkan seluruh
bangunan lama dan diganti dengan bangunan baru, tetapi dengan konsep revitalisasi atau upaya
untuk mendaur ulang dengan tujuan menghidupkan kembali vitalitas yang telah ada tetapi telah
memudar. Dalam hal ini yang direvitalisasi adalah bentuk dan facade-nya karena inilah yang
menjadi penanda utama Hotel Indonesia, sehingga tetap seperti Hotel Indonesia yang
diresmikan tahun 1962. Namun, jumlah serta bentuk ruang-ruang di dalam dan interiornya
dirancang kembali sesuai dengan kebutuhan saat ini.
Teknik pelaksanaan revitalisasi bangunan ini dengan metode diberi penyangga agar tetap
berdiri tegak dan dapat dikerjakan dengan mudah dan leluasa Atap gedung tetap sama tidak ada
yang diubah maupun diganti, hanya diperbaiki Di antara lengkungan-lengkungan atap terdapat
menara berbentuk kotak untuk memasang identitas nama gedung, sebelum dipugar bernama
Hotel Indonesia saja, tetapi setelah dipugar menjadi Hotel Indonesia Kempinski, menyesuaikan
dengan kondisi hotel saat ini yang dikelolaoleh Kempinski. Dinding dan kolom bagian atas
depan masih tetap sama, ditutup seluruhnya dengan kaca yang tidak menerus.
Di lantai bagian bawah, dinding kaca lebar berseling dengan pintu. Secara keseluruhan
tampilan façade bangunan dilihat dari unsur-unsur bangunannya, yaitu pintu, jendela, lubang
ventilasi, serta cantilever sepanjang dinding bangunan yang berfungsi sebagai teritisan
penghalang sinar matahari dan air hujan, masih tetap seperti sebelum dipugar. Hotel Indonesia
sudah selesai dipugar. Hotel ini dahulu dikelola oleh PT. Hotel Indonesia, yang pada tahun 2001
bergabung dengan PT. Natour yang mengelola hotel-hotel milik pemerintah, dan berubah nama
menjadi PT. Hotel Indonesia Natour. Namun, sejarah telah berubah, Hotel Indonesia saat ini
dikelola oleh grup hotel dari Jerman, Kempinski, dan namanya disesuaikan, menjadi Hotel
Indonesia-Kempinski. Setelah mengalami renovasi selama 5 tahun, tanggal 20 Mei 2009 Hotel
Indonesia-Kempinski dibuka kembali oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono. Pada awal dibukanya kembali terjadi demonstrasi massa karena Hotel Indonesia
yang menjadi landmark kota Jakarta dikelola oleh grup hotel asing dan
namanya disesuaikan dengan pengelolanya.
Gambar 1. Hotel Indonesia saat renovasi 2007 Gambar 2. Hotel Indonesia 2008
Gambar 3. Nama hotel sebelum renovasi Gambar 4. Nama hotel setelah renovasi
Gambar gedung pancasila sebelum di konservasi Gambar Gedung Pancasila pada tahun 2000