Anda di halaman 1dari 4

1.

Analisa Kasus

Belajar Keragaman di Dusun Turgo


Oleh: Agnes Rita Sulistyawaty

Suhu udara kamis (28/7) malam itu berkisar 21 C. Kondisi ini membuat sekitar
40 peserta Interfaith Youth Camp harus menahan dingin saat meditasi di alam terbuka.
Udara sejuk di Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, saat
itu dirasakan oleh seluruh peserta lintas agama yang berusia antara 18-24 tahun. Mulai
Rabu sampai Minggu pekan lalu-dalam rangkaian peringatan sewindu Forum
Persaudaraan Umat Beriman (FPUB)-para peserta yang berbeda agama itu beraktifitas
bersama di lereng selatan Gunung Merapi tersebut.
Pendeta Bambang Subagyo yang memimpin Meditasi itu mengatakan, kegiatan
meditasi bukanlah pemaksaan. Setiap peserta dibebaskan untuk meditasi dan berdoa
sesuai dengan cara masing-masing.
“Tiap agama punya kebiasaan untuk meditasi. Hanya, cara masing-masing
agama bermeditasi itu berbeda. Tiap peserta dengan cara bermeditasi menurut agama
atau aliran kepercayaan mereka itulah yang kami lakukan di sini,” ujar Bambang
menjelaskan.
Meditasi merupakan salah satu kegiatan untuk mendekatkan anak-anak muda
pada keragaman cara berdoa dari masing-masing agama. Tidak hanya lewat meditasi
saja anak-anak muda itu dikenalkan pada pluralisme kehidupan sesungguhnya.
Persentuhan dengan teman atau warga Dusun Turgo yang beragama lain merupakan
pengalaman langsung tentang pluralisme.
Hanya tiga jam pertama setelah sampai di Dusun Turgo, para peserta merasa
canggung karena belum saling mengenal. Namun, menit berikutnya mereka sudah
saling melemparkan lelucon, masuk dalam kelompok-kelompok kegiatan, dan menjalani
kegiatan bersama tanpa harus tersekat akibat perbedaan agama.
“Awalnya saya enggan ikut kegiatan seperti ini karena melihat acaranya yang
berat. Tapi, ketika diberi tahu teman bahwa peserta kegiatan berasal dari lintas agama,
saya justru tertarik ikut,”tutur Deta Agus Sri Wahyu (22).
Mengenal teman dari lintas agama, menurut Deta adalah hal yang
menyenangkan karena ia bisa bertukar pikiran tentang agama lain. Di hari pertama
berkemah, Deta yang beragama Kristen Protestan itu bercakap-cakap dengan seorang
Kawan Muslim tentang kitab suci masing-masing.
“Dia sampai meminjam kitab suci saya untuk mengetahui apa isinya. Sampai
sekarang (hari Sabtu-Red) kitab suci saya belum dikembalikan,” ujarnya. Deta sendiri
sudah cukup akrab dengan Alquran karena keluarga ayahnya adalah keluarga Muslim.

Kebersamaan
Anggapan-anggapan tentang keburukan orang-orang beragama lain yang
selama ini ”dicekokan” ke dalam pikiran tidak terbukti setelah Deta bergaul dan
berkomunikasi dengan teman yang berbeda agama. Justru Kebersamaan terbangun
ketika Deta dan para peserta lain bekerja sama dengan warga membersihkan masjid,
gereja, atau Sekolah dasar yang ada di kampung itu.
Perbedaan agama tidak menjadikan batasan ketika harus masuk ke rumah
ibadat agama lain dan membersihkan fisik rumah ibadat Itu. Gotong-royong ini
merupakan milik masyarakat di Dusun Turgo. Kepala Dusun Turgo Suwaji
mengisahkan, ketika masjid di Dusun itu rusak akibat letusan Gunung Merapi pada
1994, seluruh warga Dusun tersebut segera turun tangan membantu renovasi masjid.
“Bantuan untuk masjid yang rusak itu tidak hanya datang dari kelompok Muslim,
tetapi juga dari para suster maupun aktivis agama lain, sedangkan seluruh warga
menyumbangkan tenaga mereka untuk pemulihan masjid itu,” ujar Suwaji
menceritakan.
Kerja sama tanpa memandang agama jugalah yang membuat warga Dusun
Turgo bisa menyelesaikan pembangunan pipa air yang juga rusak karena letusan
Gunung Merapi tahun 1994 itu.
Sampai saat ini, Bapak-bapak di Dusun Turgo yang beragama Islam, Kristen
Protestan, Katolik, maupun agama lain tetap bergotong-royong memecahkan batu alam
untuk dijadikan jalan kampung setiap hari Rabu. Sementara kaum ibu biasanya
membersihkan jalan kampung setiap hari Sabtu sore.
Selain pembangunan fisik desa, kenduri di sana juga dilakukan bersama-sama
oleh warga Dusun Turgo. “Kalau ada warga yang hendak menikah atau khitanan, kami
mengadakan kenduri atau doa bersama dalam adat Jawa,” kata Suwaji.

Belajar Keragaman
Masyarakat Dusun Turgo yang sebagian besar adalah petani merupakan salah
satu contoh masyarakat desa yang menerapkan pluralitas dalam kehidupan keseharian
mereka. Pluralitas di Dusun Turgo, menurut Sekretaris Jenderal FPUB Timotius
Apriyanto, sudah terbangun secara alamiah sejak lama.
Di dusun dengan 225 keluarga dan terletak sekitar 8 kilometer dari Gunung
Merapi itu, para peserta yang tinggal di 10 rumah warga belajar tentang kehidupan
masyarakat, termasuk keragaman agama.
“Anak-anak muda saat ini sering kali takut bergaul dengan teman berbeda
agama karena banyak sekali doktrinasi tentang pluralisme yang sempit. Di Dusun Turgo
ini mereka mendapatkan pengalaman baru tentang pluralisme,” kata Kiai haji Abdul
Muhaimin, ketua FPUB.
Acara perkemahan ini bukan sekadar menambah, wacana tentang pluralisme,
tetapi yang lebih penting adalah pengalaman langsung tentang kehidupan plural yang
nyata dalam masyarakat.
Pengalaman ini dipandang oleh Muahimin-dari Pondok Pesantren Nurul Ummah,
Kotagede, Yogyakarta-sebagian sesuatu yang penting ditengah munculnya gerakan
fundamentalisme agama pada institusi pendidikan di Yogyakarta. Fundamentalisme
agama itu membuat wawasan anak muda tentang pluralisme agama menjadi sempit
dan akhirnya mengisolasi anak muda dari pergaulan dengan orang lain.
Pengalaman tentang kehidupan antar agama itu menjadi sesuatu yang baru bagi
peserta Interfaith Youth Camp ini. “Kami belajar dari masyarakat Turgo untuk hidup
bersama tanpa ada sekat apa pun, termasuk sekat agama. Di sini kami belajar dari
dusun yang masih memberikan ucapan selamat kepada warga yang merayakan hari
raya keagamaan tertentu,” ucap Ariya Wijaya dari Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma
(KMHD) UGM yang juga menjadi Ketua Panitia Interfaith Youth Camp.
Ahsan dari Divisi Jaringan Kodama (sebuah kelompok Santri di Krapyak yang
mempunyai kegiatan pemberdayaan masyarakat) melihat kehidupan bersama
masyarakat di Dusun Turgo sebagai sesuatu kearifan lokal.
“Selama ini, masyarakat desa seolah-olah tidak punya kearifan lokal sehingga
segalanya harus diatur orang-orang kota. Padahal, saya justru belajar dari masyarakat
desa tentang kehidupan bersama antara warga yang berbeda agama,” ujar Ahsan.
Dari kehidupan masyarakat desa inilah Ahsan melihat pengaturan kehidupan
sehari-hari antar ummat beragama adalah sesuatu yang berlebihan. Mungkinkah kita
harus belajar dari masyarakat desa untuk memandang keragaman sebagai sesuatu
yang indah?
Sumber: http:/www.ppi-india.org dan http://groups,yahoo.com/group/ppiindia

1. Unsur apakah yang menciptakan keragaman dimasyarakat Desa Turgo?


2. Mengapa masyarakat Turgo mampu menciptakan kehidupan yang harmoni
meski memiliki keragaman?
3. Menurut Anda, sifat-sifat apa yang perlu dihindari agar harmoni dalam
keragaman masyarakat Turgo tetap terjaga?
4. Mungkinkah masyarakat Turgo suatu saat nanti terjadi disharmoni, bahkan
disintegrasi? Faktor-faktor apa yang dapat memicu hal Tersebut?
5. Agama merupakan tali pengikat sosial masyarakat, tetapi agama dapat pula
menjadi pemicu konflik di masyarakat. Apa sikap Anda terhadap pernyataan ini?

2. Analisa Konsep

Untuk meminimalkan potensi konflik yang ada dalam masyarakat majemuk perlu
dihindari sifat-sifat, seperti prasangka, stereotip, etnosentrisme, rasisme, diskriminasi,
dan scape goating. Di samping itu, perlu ditumbuh kembangkan sifat-sifat antara lain:

a. Nasionalis,
b. Pluralis,
c. Humanis,
d. Demokratis, dan
e. Inklusif

Anda mungkin juga menyukai