Anda di halaman 1dari 2

Kisah Toleransi yang Manis dari Sebuah Dusun Kecil di Ciamis

Toleransi merupakan perilaku saling menghargai antar setiap umat beragama. Begitu juga yang dilakukan
oleh warga di Dusun Susuru, Desa Kertajaya, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis.

Warga di Kampung Susuru ini meski berbeda agama tapi tetap menjaga toleransi secara turun-temurun.
Mereka tetap hidup rukun dan damai. Jumlah warga di Kampung Susuru terdiri dari 423 kepala keluarga.

Warga antar umat beragama di Susuru selalu bergotong-royong dan bekerja sama dalam hidup bersosial.
Warga senantiasa bekerja sama dari pembangunan hingga kebersihan lingkungan.

Keragaman agama di Kampung Susuru ini terdiri dari agama Kristen Katolik, Protestan, Islam dan Sunda
Wiwitan atau Penghayat Kepercayaan.

Namun secara mayoritas, warga Susuru beragama Islam. Di kampung ini juga terdapat tempat ibadah
yang berdekatan, mulai dari masjid, gereja dan bale adat sarasehan (Sunda wiwitan).

Dusun Susuru, Ciamis. Foto: Dadang Hermansyah


Kerukunan umat beragama di Kampung Susuru sudah turun temurun, tumbuh dan tertanam dari hati
sanubari masyarakat Susuru.

"Kerukunan di sini bukan karena pembinaan, tapi turun temurun sejak dulu. Sudah tertanam dari hati
sanubari. Prinsipnya kami diciptakan dari tuhan yang sama dan akan kembali ke tuhan yang sama. Untuk
masalah ajaran keyakinan itu masing-masing," ujar Paulus Anang Suryana, Pengurus Gereja Santo Simon
belum lama ini.

Anang mengatakan, bentuk kerukunan yang terjalin di Kampung Susuru dalam berbagai aspek, terutama
dalam hal kemanusiaan. Misalnya, ketika ada warga yang meninggal namun dari beda keyakinan,
semuanya ikut mengantar dan berduka cita.

"Misalnya ada saudara kita yang muslim meninggal dunia, kita ikut bantu seperti mengantar dan menggali
kubur. Kemudian mendoakan menurut agama masing-masing. Prinsip kami tidak membeda-bedakan yang
sama tapi tidak menyatukan yang beda," jelasnya.
Umat Katolik Rukun dengan Islam
Agama Katolik masuk ke Kampung Susuru pada tahun 1965, sedangkan pembangunan gereja di tahun
1975. Awalnya sejumlah warga dari penghayat kepercayaan masuk ke Katolik lalu kemudian berkembang
di Susuru. Sehingga dalam satu keluarga ada yang penghayat kepercayaan dan juga katolik.

"Kalau berantem karena agama itu sama saja berantem dengan keluarga. Untuk anggota ada 109 orang.
Pada tahun 1982, saudara kami dari penghayat kepercayaan eksis kembali ketika ada naungan dari
pemerintah. Nah ada yang tetap, ada juga yang kembali," jelasnya.

Penganut Sunda Wiwitan Juga Hidup dengan Aman


Sementara itu, Suhia Sukmana, Ais Pangampih Bale Adat Sunda Wiwitan, menyebut kerukunan
merupakan kewajiban bagi setiap umat manusia. Supaya kehidupan damai dan tenteram.

"Sebagai manusia tentunya punya rasa dan pikiran. Ketika punya itu maka akan memiliki rasa cinta dan
damai dalam menjalani kehidupan," katanya.

Suhia menyebut, kerukunan di Kampung Susuru sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Meski memiliki
keberagaman, semua masyarakat saling menghargai satu sama lain.

Toleransi di Dusun Susuru, Ciamis. Foto: Dadang Hermansyah


"Manusia itu punya welas asih, tatakrama, budi basa dan budi daya. Kalau tidak memiliki itu artinya
sudah ingkar dari kemanusiaannya. Akur dan rukun sudah menjadi kewajiban. Kerukunan disini sudah
alamiah," ungkapnya.

Bagi Suhia, budaya Indonesia adalah budaya yang sopan santun, ramah tamah serta memiliki tatakrama.
Menurutnya, di Susuru ini tidak ada istilah mayoritas dan minoritas.

"Gotong royong, membangun rumah, tempat ibadah. Menghadiri kegiatan hari besar itu sudah biasa.
Tidak ada istilah disuruh," ucapnya.

Menurut Suhia, pada tahun 1965, banyak warga dari Sunda Wiwitan masuk ke agama Katolik dan agama
lainnya. Kemudian di tahun 1981 banyak yang kembali ke Sunda Wiwitan tapi sebagian yang bertahan.
Saat ini di Susuru yang menganut Penghayat Kepercayaan atau Sunda Wiwitan ada 25 KK.

Sementara itu, Pimpinan Pondok Pesantren Al Ikhlas Susuru Kurdi mengatakan kerukunan antar umat
beragama di Susuru terjalin sejak dulu. Namun memang di Susuru lebih banyak warga muslim.

"Kira hidup bernegara dan berbangsa. Seharusnya menjalin kerukunan antar umat beragama. Gotong
royong tetap berjalan, tetap rukun,"

Anda mungkin juga menyukai