Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN VULNUS MORSUM DI


INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT TINGKAT III BALADHIKA
HUSADA (DKT) JEMBER

Oleh:

Ayu dwi afrilliyanti

NIM 172310101182

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2020
LEMBAR PENGESAHAN
Tugas Laporan Pendahuluan
“LAPORAN PENDAHULUAN VULNUS MORSUM”

Laporan Kasus Aplikasi Klinis Keperawatan Yang Di Susun Oleh:


Ayu Dwi Afrilliyanti
NIM 172310101182
Telah di setujui untuk di seminarkan dan di kumpulkan pada:

Hari/Tanggal : Kamis, 09 Januari 2020


Makalah ini dikerjakan dan disusun dengan pemikiran sendiri, bukan hasil jiplakan
atau reproduksi ulang dari makalah yang telah ada.

Jember, 09 Januari 2020

Penulis
Ayu Dwi Afrilliyanti
NIM 172310101182
Mengetahui

CI Ruang IGD Dosen Pembimbing

Ns. Aulia., S.Kep Ns. Baskoro Setioputro, S.Kep., M.Kep

NIP. 19830505 200812 1 004

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal dengan
judul “Konsep Dasar Penyakit Vulnus morsum”. Laporan pendahuluan ini disusun
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Pada Fakultas
Keperawatan Universitas Jember.

Dalam penyusunan laporan pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada
pihak yang telah membantu menyelesaikan tugas ini diantaranya:

1. Ns. Jon Hafan S, M.Kep., Sp.Kep.MB selaku penanggung jawab Mata Kuliah
Aplikasi Klinis Keperawatan Medikal – Bedah

2. Ns. Baskoro Setioputro, S.Kep., M.Kep selaku dosen pembimbing Mata Kuliah
Aplikasi Klinis Keperawatan Medikal – Bedah

3. Kepala Ruangan, CI, Dokter, Perawat dan Staff Instalasi Gawat Darurat Rumah
Sakit Tingkat III Baladhika Husada Jember

4. Ucapan Terimakasih penulisan kepada teman-teman yang telah mendukung.

Penulisan juga menerima kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak
khususnya bagi penulis dan pembacanya.

Jember, 07 Januari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI….....................................................................................................iii
BAB 1. KONSEP PENYAKIT …........................................................................2
1.1 Definisi …..........................................................................................................2
1.2 Anatomi dan Fisiologi …...................................................................................2
1.3 Epidimiologi …..................................................................................................6
1.4 Etiologi …..........................................................................................................6
1.5 Patofisiologi…...................................................................................................7
1.6 Manifestasi Klinis..............................................................................................8
1.7 Pemeriksaan Penunjang …................................................................................9
1.8 Penatalaksanaan Medis …...............................................................................10
BAB 2. ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN TEORI...................14
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN KASUS…..............29
3.1 Pengkajian …...................................................................................................29
3.2 Diagnosa …......................................................................................................35
3.3 Intervensi ….....................................................................................................36
3.4 Evaluasi ….......................................................................................................50
BAB 4. PATHWAYS...........................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................53

i
BAB I

1.1 Tinjauan Pustaka

1.1.1 Definisi

Vulnus atau luka adalah suatu diskontinuitas jaringan yang abnormal, baik
di dalam maupun pada permukaan tubuh. Luka dapat terjadi karena trauma yang
berasal dari luar, atau berasal dari dalam karena gesekan fregmen tulang yang
patah, rusaknya kulit dari infeksi atau tumor ganas. Luka adalah rusaknya
kesatuan atau komponen jaringan dimana secara spesifik terdapat substansi
jaringan yang rusak atu hilang.

Vulnus morsum merupakan luka mekanik yang diakibatkan oleh gigitan


hewan, umumnya akibat gigitan anjing atau ular. Derajat keparaha vulnus morsum
tergantung dari gerakan mekanik hewan pengigit semakin dalam dan kuat
cengkraman rahang hewan tersebut maka luka yang dihasilkan akan semakin
parah, bahkan dapat menyebabkan kematian.

Vulnus Morsum merupakan luka yang tercabik-cabik yang dapat berupa


memar yang di sebabka oleh gigitan binatang. Dapat ditemui pada bekas gigitan
terasa nyeri, panas, dan udem. Dapat menyebabkan shock anafilaktif dan
membawa masuk bakteri atau parasite kedalam tubuh.

1.1.2 Anatomi Fisiologi

Otot merupakan jaringan fibrosa yang menopang sendi. Jaringan otot


memiliki karakteristik yang unik mengenai kontraktilitas, ekstensibilitas, dan
iribilitas. Karena otot bersifat elastis, maka dalam bekerja otot in berpasangan
namun memiliki aksi berlawanan. Ketika suatu otot berkontraksi, maka otot
yang lain akan berelaksasi (antagonis). (Anne&Alison, 2014)
Jaringan otot terdiri dari otot polos (otot involuntir atau tidak bergaris),
otot jantung, serta otot rangka/skeletel (otot voluntir/otot lurik). Otot rangka
atau otot lurik melekat pada tulang melalui tendon dan berfungsi untuk

2
menggerakan rangka. Otot rangka memilikibanyak serat otor. Seluruh otot
rangka dibungkus oleh jaringan ikat yang disebut episium, dan didalam otot
sel dikumpulkan menjadi berkas yang terpisah disebut fesikel. Kemudian sel
dibungkus lagi oleh jaringan ikat disebut endomisium. Jaringan ikat ini
mengikat serat hingga menjadi tampak rapi dan teratur, serta bergabung
memebntuk tendon, yang menjaga agar otot berada dalam tulang. Tendong
seringkali tampak seperti tali, tetapi kadang berbentuk seperti lembaran luas
yang disebut aponeuresis. (Anne&Alison, 2014)
Tiap sel otot rangka memiliki beberapa nukleus atau inti sel (karena
ukuran sel yang besar) yang berada tepat dibawah membaran sel (sarkolema).
Sitoplasma se otot disebut sarkoplasma, berada pada filamen tipis disepanjang
otot. Filamen ini merupakan filamen kontraktil. Sel otot rangka memiliki
banyak mitokondria yang menghasilkan energi (ATP) yang penting untuk
mekanisme kontraksi otot. Terdapat dua jenis miofilamen kontraktil didalam
serat otot : miofilamen tebal dan tipis. Yang disusun dalam unit berulang
disebut sarkomer. Miofilamen ini terbuat dari protein : aktin (protein pembuat
filamen tipis) dan miosin (protein pembuat filamen tebal) (Anne&Alison,
2014)
Tiap sarkomer diikat ditiap ujungnya oleh garis padat yang disebut garis Z.
Dimana serat miosin melekat dan ditengah sarkomer terdapat filamen aktin
yang tumpang tinding dengan myosin (Anne&Alison, 2014).
Gerakan terjadi karena otot menarik tulang yang berfungsi sebagai tungkai
dan persendian bekerja sebagai engsel. Kekuatan setiap gerakan atau kontraksi
bergantung pada panjang asli dari serat otot.

3
Otot yang penting dalam tubuh menurut (Anne&Alison, 2014)
1. Otot leher dan wajah
Otot wajah terdiri atas otot oksipito-frontalis (terdiri atas otot yang
menutupi tulang oksipital, frontalis dan apneurosis (tendon gepeng yang
menutupi kubah tengkorak). Palpebra superior levator (menutupi rongga
orbita hingga ke kelopak mata) yang bergungsi mengangkat alis, okuli
orbikularis (mengelilingi mata, kelopak mata, dan rongga orbita) yang
penting dalam kontraksi mata, buksinator (otot gepeng di pipi) yang
berperan membantu melakukan gerakan mengunyah.
2. Otot bagian tubuh
Otot ini menstabilkan antara otot kerangka anggota tubuh dan kerangka
aksial digelang pektoral, serta menstabilkan dan memfasilitasi gerakan
bahu juga gerakan lengan atas. Otot batang tubuh terdiri atas otot tulang
belakang, otot dinding abdomen dan otot toraks.
3. Otot ekstremitas atas
Otot ini memungkinkan menggerakan bahu dan lengan atas.
4. Otot ekstremitas bawah
Otot ini merupakan otot terbesar tubuh , karena sebagian besar fungsinya
menopang berat tubuh. Tubuh bagian bawah dirancang untuk
menghantarkan tekanan berat badan dalam berjalan, berlari dan lainya juga
sebagai shock absorbers.

4
a. Psoas, psoas memanjang dari proses transversum 5onsilli lumbalis
melewati bagian mendatar ilium dan dibelakang 5onsilli inguinal
hingga fermur. Otot ini menyebabkan fleksi sendi pinggul
b. Iliakus, otot ini berada difossa iliaka tulang inominata. Otot ini
menyebabkan gerak fleksi sendi pinggul.
c. Kuadrisep femoris. Otot ini merupakan empat otot yang berada
didepan dan samping paha. Otot ini terdiri dari satu rektus fomaris dan
tiga vasti ( lateralis, medialis, dan lateralis). Hanya rektus feoralis yang
menyebabkan fleksi sendi pinggul, keempat otot ini bekerja sebagai
ekstensor yang sangat kuat dari sendi lutut.
d. Obturator, otot ini merupakan otot bokang dalam. Fungsi utamanya
berada diposisi lateral di sendi pinggul.
e. Gluteal, otot ini terdiri atas gluteus maksimus dan minimus yang
bersama-sama membentuk otot bokong , otot ini menyebabkan
gerakan ekstensi, abduksi dan rotasi medial sendi pinggul.
f. Sartorius, otot iini merupakan otot terpanjang ditubuh dan memanjang
dari pinggul hingga sendi lutut. Otot ini menyebabkan fleksi dan
abduksi sendi pinggul serta fleksi sendi lutut.
g. Kelompok aduktor, otot ini berada diposterior paha dan memanjang
dari tulang pubis hingga linea aspera femur. Otot ini menyebabkan
gerakan aduksi dan rotasi medial paha.
h. Hamstring, otot ini berada dibagian posterior paha. Otot ini terdiri atas
biseps femoris, semi membranosa dan otot semi tendinosa, otot ini
menyebabkan fleksi sendil lutut.
i. Gastroknemius, otot ini membentuk massa betis. Otot ini memanjang
dari kondil fermur berjalan kebelakang tibia hingga kalkaneus mealui
tendon achilles . Otot ini menyebabakan gerakan fleksi sendi lutut dan
pergerakan kaki.

5
1.1.3 Epidiomologi

Gigitan ular lebih umum terjadi di wilayah tropis dan didaerah pekerjaan
utamanya adalah petani. Diperkirakan estimasi kasus gigitan ular didunia
adalah sekitar 1.200.000-5.500.000 kasus per tahun (Kasturiratne et al. 2008).
Untuk wilayah Asia, kasus gigitan ular berkisar 12-50% dari total kasus
gigitan ular. Di asia tenggara, estimasi jumlah kasus gigitan ular sebesar
111.000-498.000 kasus per tahun. Sedangkan untuk estimasi kematian akibat
gigitan ular di Asia selatan dan tenggara sebesar 790-19.000 kematian per
tahun. ( Warrell, 2010).
Epidemiologi gigitan ular di Asia Tenggara tidak diteliti secara adekuat
dan data yang dipublikasi, kebanyakan secara ekslusif berdasarkan laporan
rumah sakit kepada Kementerian Kesehatan, seringkali kurang dapat
dipercaya dan menyebabkan kesalahan data. Masalah mendasar yang dijumpai
pada kebanyakan adalah pengobatan gigitan ular masih menganut paham
tradisional dan herbal, maka sebagian besar korban gigitan ular tidak tercatatat
pada rumah sakit (Warrell, 2010)

1.1.4 Etiologi

Vulnus Morsum masuk kedalam kategori luka terbuka (Vulnus apertum),


penyebab utama vulnus morsum adalah gigitan hewan seperti ular, anjing, kucing,
kalajengking dan lain-lain. Pada kasus ini luka gigitan disebabkan oleh ular yang
dapat disebut juga vulnus morsum serpentils. Luka gigitan hewan memiliki

6
bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang mengigit dengan
kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut. Vulnus morsum haru
ditangani dengan cepat karena gigitan hewan dapat menyebabkan sarana
penularan virus (rabies) bakteri dan parasite apabila tidak segera di tangani.

1.1.5 Patofisiologi

Komposisi bisa ular 90% adalah protein. Setiap bisa ular mengandung
lebih dari 100 protein yang berbeda: enzim (80-90% pada viperidae dan 25-
70% pada elapidae) polipeptida toksin non-enzim dan protein non-toksin
seperti nerve growth faktor. Bisa ular mengandung enzim hidrolase,
hialuronidase dan avikator maupun penghambat proses fisiologis seperti
kiniogenase. Kebanyakan venom mengandung amino acid oxidase,
phosphomono dan diesterases, 5-nuc-leosidase, phospholipase A2 nnd
peptidase (Warrell, 2010). Selain protein, ditemukan dalam bisa ular adalah
lemak polisakarida, riboflavin, histamin dan serotonin (Laraba, 2014)
1. Zinc Metalloproteinase Haemorrhagins : Memiliki efek menghancurkan
2. Enzim Prokoagulan : Bisa ular vipiridae dan beberapa elapidae dan
clubridae memiliki protease serin dan enzim prokoagulan lain yang
memiliki struktur seperti prototrombin dan faktor pembekuan lain. Enzim
ini menstimulasi pembekuan darah dengan pembentkan fibrin pada aliran
darah. Jadi secara Paradoks, proses ini berujung pada ketidakmampuan
darah berkoagulasi karena banyak fibrin yang dihasilkan langsung diurai
oleh plasmin tubuh dan kadang-kadang dlaam waktu 30 menit dari gigitan
ular, kadar faktor pembekuan sangat menurun (koagulopati konsumtif)
menyebabkan darah tidak akan membeku. selain itu, beberapa bisa ular
juga mmiliki factor anthihemostatik.
3. Phospolipase A2 (Lechitinase) : merupakan enzim yang banyak pada bisa
ular. Karena enzim ini menghancurkan mitokondria, sel darah merah,
leukosit, trombosit, akhiran serabut saraf, otot lurik, endotel vaskular dan
membran lain. Enzim ini menghasilkan aktivitas neurotoksin presinaptik,
efek sedasi seperti opiat yang akan menyebabkan pelepasan histamin dan
zat antikoagulan.

7
4. Hialuronidase : memberikan efek penyebaran bisa pada jaringan. Enzim
termasuk enzim proteolitik (metalproteinase, endopeptidase atau
hidrolase) dan sitotoksin polipeptida (kardiotoksin) yang akan
meningkatkan permebilitas vaskular yang berakibat edema, pembentukan
bula dan nekrosis tempat gigitan.

1.1.6 Manifestasi Klinik

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk kedalam tubuh dengan
berbagai cara yang menghambat respon pada sistem biologis dan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Racun
terdapat pada tumbuhan dan hewan slaah satunya adalah gigitan ular berbisa.
Sedangkan Bisa adalah suatu zat yang berfungsi melumpuhkan mangsa dan
sekaligus berperan sebagai sistem pertahanan diri (Medikanto, 2017). Ular
tidak pernah menghabiskan cadangan bisa, walaupun serangan berulang-ulang
dan ular menjadi re;atif kurang berbisa saat setelah memakan mangsa
(Warrell, 2010).
Secara umum tanda dan gejala yang terjadi dapat bersifat lokal maupun
umum :
1. Lokal : Bekas gigitan, nyeri lokal, perdarahan lokal, bengkak,
kebiruan, abses dan nekrosis.
2. Sistemik: Mual, muntah, syok, pingsan, malaise, nyeri perut,
hipotensi dan artimia jantung.

Tanda dan gejala dilihat dari derajat gigitan ular (Niasari, 2003) :

Derajat Tanda dan Gejala


1 ( Minor) Lokal : Terdapat tanda bekas gigitan/taring, tidak ada
edema, tatak nyeri, tidak ada perdarahan.
Sistemik : tidak ada tanda sistemik
2 (Moderate) Lokal : Terdapat tanda bekas gigitan/taringedema lokal
Sistemik : tidak ada tanda sistemik
3 (Severe) Lokal : terdapat tanda bekas gigitan, edema regional 92
segmen dari ekstremitas) nyeri tidak teratasi dengan

8
analgesik.
Sistemik : tidak ada tanda sistemik
4 (Major) Lokal : Terdapat tanda bekas gigitan, edema yang luas
Sistemik : mual, muntah, sakit kepala, nyeri pada perut dan
dada, syok, trombosit sistemik

1.1.7 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang sangat kecil pada diagnosis


evenomasi ular, tetapi sangat berguna dalam menentukan prognosis dan
pengambilan keputusan untuk intervensi spesifik. Pemeriksaan laboratorium
yang dapat dilakukan adalah :
1. Uji 20 menit pembekuan darah lengkap (20WBCT) : 20WBCT merupakan
pemeriksaan koagulapati sederhana untuk mendiagnosa evenomasi
viperdan menyingkirkan kemungkinan adanya gigitan elepidae.
Pemeriksaan ini memerlukan tabung gelas kering dan bersih dan belum
pernah dicuci dengan sabun detergen, kemudian beberapa mililiter darah
segar vena diambil dan diteteskan pada tabung lalu dibiarkan selama 20
menit: Jika hasilnya darah tetap cair setelah 20 menit ditabung, maka
menunjukkan adanya koagulopati dan mengkonfirmasi pasien telah digigit
oleh viper (Ahmad et al, 2008; Warrell, 2010)
2. Enzyme Linked immunosorbent essay (ELISA) : Pemeriksaan ELISA
dapat mngidentifikasi spesies ular, berdasarkan antigen venom. Namun
pemeriksaan ini mahal dan tidak selalu tersedia, maka memiliki
keterbatasan pada 9onsilliti. Saat ini ELISA digunakan terutama pada studi
epidemiologi (Ahmad et al 2008)
3. Konsentrasi Hemoglobin : Peningkatan mengindikasikan
hemokonsentrasi diakibatkan peningkatan permebialitas kapiler (seperti
pada viper russel) . sedangkan penurnan mengidikasikan kehilangan darah
yang mengakibatkan hemolisis intravaskular (Ahmad et al; wareel 2010)
4. Ambnormalitas biokimiawi : aminotransferase dan enzim otot (kreatin
kinase, aldolase) dapat meningkat bila dijumpai kerusakan otot lokal yang

9
berat, atau terutama kerusakan otot menyulur (pada gigitan ular laut,
beberapa spesies krait, elpid australia, viper russel slanka, dan india
selatan) (Warel, 2010)
5. Sistem koagulasi darah : PT dan APTT dapat memanjang pada
gigitan viper. Fibrinogen rendah dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degradation product) dapat dijumpai pada gangguan koagulasi akibat
venom (ahmad et al, 2008)
6. Urinalisasi : Warna urine (merah jambu, merah, atau coklat gelap)
harus diperhatikan dan harus diperiksa dengan dipstik untuk darah atau
hemoglobin atau mioglobin. Pemeriksaan mikroskopis dapat
mengkonfirmasi adanya eritrosit di urine (Warrel, 2010)

1.1.8 Penatalaksanaan Medis

Panduan penanganan gigitan ular oleh WHO sebagai berikut (Warrel,2010) :


1. Pertolongan pertama
Pertolongan pertama diberikan secepatnya setelah gigitan, sebelum
pasien dibawa ke rumah sakit. Ini dapat dilakukan oleh korban gigitan ular
atau 10ons bantuan dari orang lain. Adapun metode bantuan dasar
tradisional, popular yang tersedia seringkali tidak bermanfaat lagi atau
bahkan membahayakan. Metode tersebut seperti: Insisi lokal atau tusukan
pada area gigitan, usaha untuk menghisap bisa dari luka, mengikat erat
tourniquet disekitar gigitan, shock elektrik, penggunaan bahan kimiawi
atau topikal, tanaman dan es batu. Prinsip utama dari pertolongan pertama
adalah menyelamatkan hidup dan mencegah komplikasi sebelum pasien
mendapatkan layanan kesehatan, mengatur transportasi pasien ke penyedia
kesehatan serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Pertolongan
yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas, imobilisasi
bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan
kayu agar tidak terjadi kontraksi otot.

10
2. Rujuk ke rumah sakit
Korban harus secepatnya dirujuk ke rumah sakit,dengan cara yang
aman dan senyaman mungkin. Hindari Pergerakan pada daerah gigitan
dikurangi dan Kontraksi otot untuk mencegah meningkatkan penyebaran
bisa dari daerah gigitan.
3. Penilaian klinis dan resusitasi segera
Penanganan klinis dan resusitasi segera mengikuti ABCDE yaitu :
A : Airway
B : Breathing (pergerakan nafas)
C : Circulation (Pulsasi arteri)
D : Disability nervous system (kesadaran)
E : Exposure and enviromental control (perlindungan dari dingin, resiko
tenggelam )
4. Penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies
Riwayat gigitan ular, tanda lokal dan sistemik sangat penting.
Petunjuk yang menandakan pasien dengan envenomasi berat, pemeriksaan
fisik didaerah gigitan. Diagnosis terhadap spesies dapat dilakukan apabila
ular dibawa untuk diidentifikasi, misalnya ular yang sudah mati.
Sedangkan pada kondisi tanpa bukti ular, identifikasi secara tidak
langsung dari deskripsi pasien terkait dengan bentuk luka gigitan dan
sindrom klinis gejala dan tanda dapat dilakukan.
5. Pengobatan antivenom
Di Amerika hanya terdapat 3 anti bisa yang diproduksi dan telah
disetujui oleh FDA, yaitu antivenom polyvalen crotalidae, antivenom
untuk coral snake (Elapidae) dan antivenom untuk black widow spide.

11
Semua anti bisa ular adalah derivat serum binatang, yang berasa dari
serum kuda, berupa imunoglobulin yang mengikat secara langsung dan
menetralkan protein dari bisa. Produk hewan ini bila terpapar pada pasien
dalam jumlah besar dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas tipe cepat
dan tipe III. Reaksi akut berupa reaksi anafilatik dapat terjadi pada 20-
25% pasien, bahkan dapat terjadi kematian karena hipotensi dan
bronkospasme. Reaksi tipe lambat dapat terjadi pada 50-75% pasien
dengan gejala serum seickness seperti demam, ruam yang difus, urtikaria,
atralgia, hematuria dan dapat bertahan dalam beberapa hari. Reaksi yang
sering terjadi adalah urtikaria, tetapi efek sampingnya yang jarang terjadi.
Penggunaan anti bisa ular harus dilakukan di rumah sakit yang tersedia
alat-alat resusitasi. Penggunaan adrenalin, steroid dan antihistamin dapat
mengurangi reaksi yang terjadi akibat anti bisa antara 12,5-30%.
Profilaksi yang hanya menggunakan promethazine tidak dapat mencegah
reaksi yang cepat. (Hu Wai Fan, 1999)
Pemberian anti bisa ular harus secepatnya mungkin jika sudah
terindikasi. Anti bisa ular yang tersedia di indonesia adalah serum anti
bisa ular polivalen/ SABU yang efektid untuk gigitan naja sputatrix,
bungarus fasciatus, agkistrodon rhodostoma. Anti bisa ular diberikan
secara intravena,baik secara bolus lambat maupun melalui infus (Warrel,
2010) Adapun dosis anjuran SABU adalah :
1. Dosis pertama 2 val 25mlL ditambahkan kedalam larutan fisiologis
menjadi larutan 2% v/v, diberikan secara infus dengan kecepatan 40-
80 tetes/menit, diulang6 jam kemudian.
2. Apabila diperlukan 9misalnya jika gejala tidak bekurang atau
bertambah) SABU dapat terus diberikan setiap 24 jam sampai
maksimum 80-100 mL
Antivenom merupakan satu-satunya pengobatan antidotum spesifik
terhadap bisa ular. Ada dua metode pemberian antivenom yang
diromendasikan yaitu secara injeksi intravena lambat dan secara infus.
Pasien yang diberikan antivenom harus secara ketat dipantau stidaknya
selama 1 jam setelah dimulai pemberian antivenom intravena. Dosis

12
antivenom untuk dewasa dan anak-anak itu sama, karena ular
menginjeksikan bisa dengan dosis yang sama. Di Indonesia, antivenom
yang tersedia adalah serum antivenom polivalen (Calloselasma
rhodostoma, Fasciatus, N sputatrix) yang diproduksi oleh bio farma
dengan sediaan ampul 5 Ml. Dosis awal antivenom yang disarankan dapat
diberikan berdasarkan spesies ular (Werrel, 2010)
Adapun pedoman lain dari terapi pemberian antivenom dapat
mengacu pada Schwartz dan Way (Djunaedi, 2010) :
a. Derajat 0 dan I : tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi
dalam 12 jam, bila derajat meningkat maka diberikan antivenom.
b. Derajat II : 3—4 vial antivenom
c. Derajat III : 5-15 vial antivenom
d. Derajatt IV : berikan penambahan 6-8 vial antivenom

Sebagian pasien lebih dari 10% mengalami reaksi terhadap


pemberian antivenom yang timbul awal (dalam beberapa jam ) atau
terlambat (5 hari atau lebih)beberapa reaksi terhadap antivenom adalah :

1. Reaksi anafilaksis awal : muncul dalam 10-180 menit setelah


pemberian antivenom, pasien mulai gatal dan urtikaria, batuk kering,
demam, nausea, muntah, kolik abdomen, diare dan takikardi.
2. Reaksi pirogenik (endotoksin) : muncul dalam 1-2 jamsetelah pengobatan,
fejala meliputi kekakuan, demam vasodilatasi dan penurunan tekanan
darah, reaksi ini diakbitakan oleh kontaminasi pirogen selama proses
produki antivenom.
3. Reaksi terlambat (tipe serum sickness) : muncul dalam 1-12 hari setelah
pengobatan. Gejalanya meiputi demam, nausea, muntah, diare, gatal,
urtikaria, myalgia, limfadenopati,pembengkakan peniatikular, multipleks
mononeuritis, proteinuria dengan nefritis imun kompleks dan jarang,
enseklopati. Pasien dengan reaksi awal dan diobati dengan antihistamin
dan kortikosteroid lebih jarang mengalami reaksi terlambat.

13
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian

A. Identitas pasien
Identitas pasien meliputi nama, tanggal lahir atau umur, jenis kelamin,
alamat, pendidikan, pekerjaan, nomor rekam medis, tanggal masuk rumah
sakit, tanggal pengkajian, serta diagnosa medis.
B. Clinical history
1. Diagnosa Medis
Diagnosa penyakit yang dilakukan oleh tenaga medis berdasarkan
keluhan dan data dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2. Keluhan utama
Adalah keluhan paling parah pada pasien sehingga diputuskan untuk
pergi ke rumah sakit. Pasien dengan snake bite biasanya keluhan yang
paling khas adalah nyeri.
3. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan pengembangan dari keluhan
utama pasien dengan menggunakan metode PQRST.
P (paliatif / profokatif) : sesuatu yang membuat keluhan menjadi berat
atau ringan
Q (quality) : bagaimana keluhan dirasakan
R (14onsil) : tempat keluhan dirasakan
S (scale ) : seberapa besar keluhan dirasakan
T (timing) : kapan keluhan dirasakan
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit terdahulu merupakan pengkajian mengenai
penyakit yang pernah diderita klien, yang berhubungan dengan snake
bite maupun tidak.
5. Riwayat keluarga

14
Pada riwayat keluarga yang dikaji adalah riwayat dari anggota yang
memiliki penyakit sama seperti klien, penyakit menular seperti TBC,
penyakit keturunan seperti DM, Hipertensi, jantung dan asma. Jika ada
riwayat penyakit keturunan selanjutnya dibuat genogram.
C. Pola fungsional
1. Pola persepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan
bagaimana memelihara kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu
tentang status dan riwayat kesehatan, hubungannya dengan aktivitas
dan rencana yang akan datang serta usaha-usaha preventif yang
dilakukan pasien untuk menjaga kesehatannya.

2. Pola nutrisi metabolik


a. Makan
Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diet, porsi makan, riwayat
alergi terhadap suatu jenis makanan tertentu.
b. Minum
Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari.
b. Pola eliminasi
Meliputi kebiasaan BAK dan BAB, warnanya, konsistensi, frekuensi
dan bau baik sebelum masuk kerumah sakit atau masuk rumah sakit
c. Pola aktivitas
Dikaji tentang kegitan dalam pekerjaan, mobilisasi, olah raga,
kegiatan diwaktu luang dan apakah keluhan yang dirasakan klien
mengganggu aktivitas klien tersebut. Aktivitas pada pasien snake
bite biasnya terganggu karena kelemahan pada otot
d. Pola istirahat tidur
Waktu tidur, lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan dalam
tidur. Pada pasien snake bite biasanya sering terganggu pada
malam hari karena rasa nyeri pada persendian.
e. Pola kognitif – perseptual

15
Penghilatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan, Kemampuan
bahasa, Kemampuan membuat keputusan, Ingatan,
Ketidaknyamanan dan kenyamanan.
f. Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan: Body image, Identitas diri, Harga diri, Peran diri,
Ideal diri
g. Pola peran hubungan sosial
Menggambarkan: Pola hubungan keluarga dan masyarakat,
Masalah keluarga dan masyarakat, Peran tanggung jawab.
h. Pola koping toleransi stress
Menggambarkan: Penyebab stress, Kemampuan mengendalikan
stress, Pengetahuan tentang toleransi stress, Tingkat toleransi
stress, Strategi menghadapi stress.
i. Pola seksual dan reproduksi
Meliputi hubungan klien dengan keluarga (orang tua), mempunya
beberapa saudara dan termasuk anak keberapa.
j. Pola nilai dan kepercayaan
Menggambarkan: Perkembangan moral, perilaku dan keyakinan,
Realisasi dalam kesehariannya.
D. Pemeriksaan fisik dan penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian Fisik Head to toe (Inspeksi, Palpasi, Perkusi,
Auskultasi)
a. Kepala
Inspeksi: kepala tampak simetris, rambut berwarna hitam dan
beruban, persebaran rambut merata, tampak klien mangalami
alopesia pada bagian depan, tidak tampak benjolan dan jejas
pada kepala, ekspresi klien tampak tidak nyaman dengan kondisi

Palpasi: tidak teraba massa dan nyeri tekan.

b. Mata

16
Inspeksi: kedua mata simetris, mata terlihat sayu dan berwarna
merah, konjungtiva merah muda, terdapat kotoran pada sudut-
sudut mata.

c. Telinga
Inspeksi: kedua telinga simetris, tidak terlihat keluarnya
serumen pada kedua telinga, tidak terdapat jejas dan benjolan
pada kedua telinga Palpasi: tidak terdapat massa, tidak ada nyeri
tekan.
d. Hidung
Inspeksi: hidung terlihat simetris, tidak terlihat keluar lendir
pada hidung, dari kedua lubang hidung tidak tampak kotoran,
tidak tampak cuping hidung.

Palpasi: tidak ada nyeri tekan pada hidung, tidak teraba benjolan
klien

e. Mulut
Inspeksi: klien menggunakan gigi palsu, lidah tampak kotor, gigi
tampak kotor, mukosa bibir tampak kering.

f. Leher
Inspeksi: tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak tampak
jejas dan massa.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan pada leher.

g. Dada
Jantung
Inspeksi: dada terlihat simetris , tidak tampak massa, tidak
tampak ictus cordis.
Palpasi : tidak teraba massa, tidak ada hyeri tekan, teraba ictus
cordis.
Perkusi: pekak pada batas jantung.
Auskultasi: terdengar S1 dan S2 tunggal.

17
Paru
Inspeksi: dada terlihat simetris,pengembangan dada simetris .
Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada hyeri tekan, vocal fremitus
normal.
Perkusi: sonor pada lapang paru.
Auskultasi: tersengar vesikuler.

Payudara dan Ketiak


Inspeksi: tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tidak
tampak benjolan.
Palpasi: tidak ada yeri tekan, tidak teraba massa.

h. Abdomen
Inspeksi: perut tampak datar, tidak tampak jejas dan benjolan.
Askultasi: bising usus 14x/menit.
Palpasi: tidak ada hyeri tekan, tidak teraba massa, tidak teraba
hepatomegaly.
Perkusi: timpani pada batas lambung.

i. Genetalia dan Anus


Tidak terkaji.

j. Ekstremitas
Inspeksi: biasanya akan tampak kemerahan pada ekstremitas
bawah biasanya pada pergelangan kaki, bengkak.
Palpasi: penderita snake bite umumnya terdapat nyeri nyeri
tekan, akral dingin, tidak ada krepitasi pada kedua tangan,
kekuatan otot 5 pada ekstremitas yang tidak terkena snake bite.
Gerakan: Gerakan pada ekstremitas biasanya mengalami
hambatan karena kelemahan otot.

k. Kulit dan Kuku

18
Kulit Inspeksi: kulit berwarna sawo matang, terdapat persebaran
rambut-rambut pada tangan dan kaki.
Palpasi: turgor kulit bagus, elastisitas kulit menurun.

Kuku Inspeksi: kuku tampak kotor dan panjang, tidak ada


clubbing finger Palpasi: CRT < 2 detik

l. Keadaan Lokal
Klien tampak meringis kesakitan, tidak tampak tanda-tanda
infeksi pada pemasangan infus (tumor, rubor, kalor, dolor,
fungsiolaesa), Nyeri pada ekstremitas bawah biasanya pada
pergelangan kaki, bengkak.

2. Pemeriksaan Penunjang meliputi:


a. Tes laboratorium
Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang sangat kecil
pada diagnosis evenomasi ular, tetapi sangat berguna dalam
menentukan prognosis dan pengambilan keputusan untuk
intervensi spesifik .
b. Kultur
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan
c. Terapi
Dengan diberikan obat antivenom
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat
diagnose snake bite adalah pemeriksaan laboratorium meliputi :
a. Leukosit : terjadi peningkatan
b. Hemoglobin : terjadi penurunan
2.2 Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Nyeri Akut (domain 12, Kelas 1, Kode diagnosis 000132)
a. Definisi : Pengalaman sensori dan emosional tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan actual
atau potensial, atau yang digambarkan sebagai kerusakan.
b. Batasan Karakterisrik :

19
 Perubahan selera makan
 Perubahan pada parameter fisiologis
 Diaforesis
 Perilaku distraksi
 Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar
periksa nyeri untuk pasien yang tidak dapat
mengungkapkannya
 Perilaku ekspresif
 Ekspresi wajah nyeri
 Sikap tubuh melindungi
 Putus asa
 Fokus menyempit
 Sikap melindungi area nyeri
 Perilaku protektif
 Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas
 Dilatasi pupil
 Fokus pada diri sendiri
 Keluhan tentang intensitas menggunakan standar
skala nyeri
 Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan
menggunakan standar instrument nyeri
c. Faktor yang berhubungan :
 Agen cidera biologis
 Agen cidera kimiawi
2. Risiko Syok (domain 11, kelas 2, kode diagnosis 00205)
a. Definisi : Rentan mengalami ketidakcukupan aliran darah
ke jaringan tubuh, yang dapat mengakibatkan disfungsi
seluler yang mengancam jiwa yang dapat mengganggu
kesehatan.
b. Kondisi terkait :
 Hipotensi

20
 Hipovolemia
 Hipoksemia
 Hipoksia
 Infeksi
 Sepsis
 Syndrom respons inflamasi sistemik
3. Risiko Infeksi (domain 11, kelas 1, kode diagnosis 00004)
a. Definisi : Rentan mengalami invasi dan multiplikasi
organisme patogenik yang dapat mengganggu kesehatan.
b. Faktor risiko
 Gangguan peristaltis
 Gangguan integritas kulit
 Vaksinasi tidak adekuat
 Kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan
patogen
 Malnutrisi
 Obesitas
 Merokok
 Stasis cairan tubuh
c. Populasi Risiko
 Terpajan pada wabah
d. Kondisi terkait
 Perubahan Ph sekresi
 Penyakit kronis
 Penurunan kerja siliaris
 Penurunan hemoglobin
 Imunosupresi
 Prosedur infasif
 Leukopenia
 Pecah ketuban dini
 Pecah ketuban lambat

21
 Supresi respon inflamasi
2.3 Intervensi
1. Diagnosa Nyeri akut
Kriteria Hasil :
Tingkat Nyeri (2101)
1. Nyeri yang dilaporkan
2. Panjangnya episode nyeri
3. Menggosok area yang terkena dampak
4. Ekspresi nyeri wajah
Kontrol Gejala (1608)
1. Memantau munculmya gejala
2. Memantau lama bertahannya gejala
3. Memantau keparahan gejala
4. Memantau frekuensi gejala
Status kenyamanan : Fisik (2010)
1. Kesejahteraan fisik
2. Relaksasi otot
3. Posisis yang nyaman
Intervensi Keperawatan :
a. Pemberian analgesik (2210)
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri
sebelum mengobati pasien.
Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri sebelum diberi
obat.
2. Cek perntah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi
obat analgesik yang diresepkan.
Rasional : supaya tidak ada kesalahan dalam memberi obat
ke pasien.
3. Cek adanya riwayat alergi obat.
Rasional : supaya aman dalam pemberian obatnya.
4. Pilih analgesik atau kombinasi analgesik yang sesuai ketika
lebih dari satu diberikan.

22
Rasional : pemberian anlagesik dan kombinasi analgesik
yang sesuai.
5. Kolaborasikan dengan dokter apakah obat, dosis, rute
pemberian, atau perubahan interval dibutuhkan, buat
rekomendasi khusus berdasarkan prinsip analgesik.
Rasional : supaya tidak salah dalam pemberian obat.
6. Evaluasi kemampuan pasien untuk berperan serta dalam
pemilihan analgesik , rute, dosis dan keterlibatan pasien,
sesuai kebutuhan.
Rasional : untuk mengetahui keterlibatan pasien dalam
keefektifan pemberian analgesik
b. Manajemen lingkungan: Kenyamanan (6482)
1. Hindari gangguan yang tidak perlu dan berikan untuk waktu
istirahat.
Rasional :supaya istirahat pasien tidak terganggu.
2. Ciptakan lingkungan yang tenang dan mendukung.
Rasional : supaya pasien merasa tenang,
3. Sediakan lingkungan yang aman dan bersih.
Rasional : supaya pasien merasakan lingkungan yang aman
dan bersih untuk istirahat.
4. Posisikan pasien untuk memfasilitasi kenyamanan
(misalnya imobilisasi bangian tubuh yang nyeri).
Rasional : supaya posisi pasien nyaman
c. Manajemen Nyeri (1400)
1. Lakukan pengkajian nyeri kompeherensif yang meliputi
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas,
atau beratnya nyeri dan faktor pencetus.
Rasional : untuk mengetahui tambang nyeri pasien.
2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai
ketidaknyamanan terutama pada mereka yang tidak dapat
berkomunikasi seacara efektif.
Rasional : untuk mengetahui pengkjian nyeri pada pasien.

23
3. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari
ketidaknyamanan akibat prosedur.
Rasional :untuk mengetahui pengetahuan tentang nyeri.
4. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri.
Rasional : untuk mengurangi rasa nyeri.
5. Pastikan perawatan analgesik bagi pasien dilakukan dengan
pemantauan yang ketat.
Rasional :supaya terkontrol untuk mengurangi nyerinya.
2. Diagnosa Risiko syok
Kriteria Hasil :
Keparahan Syok: Hipovolemik (0419)
1. Penurunan tekanan darah sistolik
2. Penurunan tekanan darah diastolik
3. Akral dingin
4. Penurunan tingkat kesadaran
Keparahan Cedera: Fisik (1913)
1. Lecet pada kulit
2. Memar
3. Gangguan imobilitas
Kontrol Risiko (1902)
1. Mengidentifikasi faktor risiko
2. Mengenali faktor risiko indicidu
3. Memonitor faktor risiko dilingkungan
4. Menghindari paparan ancaman kesehatan
Intervensi Keperawatan
c. Identifikasi Risiko (6610)
1. Kaji ulang data yang didapatkan dari pengkajian risiko
secara rutin.
Rasional : Supaya tidak ada kesalahan dalam
melakukan pengkajian pada pasien.

24
2. Instruksikan faktor risiko dan rencana untuk
mengurangi faktor risiko.
Rasional : untuk mengurangi faktor risiko.
3. Diskusikan dan rencanakan aktivitas-aktivitas
pengurangan risiko berkolaborasi dengan individu atau
kelompok.
Rasional : supaya ada kolaborasi antara individu atau
kelompok untuk mengurangi risiko.
4. Implementasian aktivitas-aktivitas yang mengurangi
risiko
Rasional : melakukan aktivitas-aktivitas untuk
mengurangi risiko
5. Rencanakan tindak lanjut strategi dan aktivitas
penguranagn risiko jangka panjang.
Rasional : untuk mengurangi risiko jangka panjang.
d. Pencegahan Syok (4260)
1. Monitor terhadap adanya respon kompensasi awal
syok (tekanan darah, nadi), pucat atau dingin pada
kulit, kulit kemerahan takipnew ringan, mual muntah,
kelemahan.
Rasional : mengetahui status perubahan TTV
2. Instruksikan faktor risiko dan rencana untuk
mengurangi faktor risiko.
Rasional :supaya mengurangi faktor risiko
3. Catat adanya memar, petechiae, dan kondisi membran
mukosa.
Rasional : mengetahui adanya tanda-tanda memar,
peteache pada pasien
4. Anjurkan pasien dan keluarga mengenai langkah-
langakah yang harus dilakukan terhadap timbulnya
gejala syok.

25
Rasional : supaya pasien/keluarga dapat mengetahui
apa saja yang harus dilakukan untuk mengurangi
timbulnya gejala syok
e. Manajemen Hipovolemi (4180)
1. Monitor status hemodinamik seperti tanda-tanda vital
Rasional :supaya mengetahui setiap perubahan tanda-
tanad vital.
2. Monitor adanya bukti laboratorium terkait dengan
kehilangan darah (hemoglobin dll) jika tersedia.
Rasional : mengetahui adanya perubahan dari hasil
bukti laboratorium.
3. Instruksikan pada pasien untuk menghindari posisi
yang berubah cepat, khususnya dari posisi terlentang
pada posisi duduk atau berdiri.
Rasional : supaya pasien tidak mengubah posisi dengan
cepat.
4. Instruksikan pada pasien dan keluarga terkait dengan
tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengatasi
hipovolemia.
Rasional :supaya pasien/keluarga mengetahui apa saja
tindkaan untuk mengatasi hipovolemia.
3. Diagnosa Risiko infeksi
Kriteria Hasil :
a. Keparahan infeksi (0703)
1. Kemerahan
2. Malaise
3. Lethargy
b. Kontrol Risiko (1924)
1. Mengidentifikasi faktor risiko infeksi
2. Mengetahui faktor risiko individu terkait infeksi
3. Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi
4. Memonitor perubahan status kesehatan

26
c. Integritas jaringan : Kulit dan membran mukosa (1101)
1. Elastisitas
2. Integritas kulit
3. Lesi pada kulit
Intervensi Keperawatan :
a. Perlindungan Infeksi (6550)
1. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Rasional : mengetahui tanda dan gejala infeksi
2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
Rasional :mengetahui kerentanan pada infeksi.
3. Beri perawatan kulit yang tepat untuk area (yang
mengalami) edema.
Rasional : supaya tetap terjaga elastisita kulitnya.
4. Periksa kulit dan selaput lendir untuk adanya kemerahan,
kehangatan ekstrim atau drainase.
Rasional : mengetahui adanya kemerahan dan kehangatan
pada kulit yang terinfeksi.
5. Periksa setiap kondisi sayatan bedah atau luka
Rasional : untuk mengetahui setiap perubahan luka.
6. Pantau adanya perubahan tingkat energi atau malaise
Rasional : untuk mengurangi terjadinya malaise.
7. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik yang
diresepkan
Rasional : dapat mengurangi beban penyakit.
b. Perawatan Luka (3660)
1. Angkat balutan dan plester perekat
Rasional : mengurangi terjadinya infeksi pada luka.
2. Cukur rambut disekitar daerah yang terkena, sesuai
kebutuhan
Rasional : untuk mengurangi penyebaran infeksi pada luka.
3. Monitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna,
ukuran dan bau

27
Rasional : untuk mengetahui karakteristik setiap luka.
4. Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
Rasional : agar luka tetap bersih
5. Periksa luka setiap kali ganti balutan
Rasional : mengetahui perubahan luka setiap ganti balutan.
c. Pengecekan kulit (3590)
1. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan adanya
kemerahan, kehangatan ekstrim, edema dan drainase
Rasional : mengetahui setiap perubahan kondisi kulit.
2. Amati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi, tekstur, edema
dan ulserasi pada ekstremitas
Rasional : untuk mengetahui perubahan kondisi
pembengkakan luka.
3. Monitor warna dan suhu kulit
Rasional : mengetahui setiap perubahan warna dan suhu
kulit.
4. Monitor kulit dan selaput lendir terhadap area perubahan
warna, memar, dan pecah.
Rasional : mengetahui setiap perubahan warna, memar pada
kulit.
5. Monitor infeksi, teruama dari daerah edema.
Rasional : untuk mengurangi infeksi pada luka terutama
didaerah edema.

28
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN KASUS
Kasus

Seorang bapak yang bernama Tn. A berusia 47 tahun datang kerumah sakit
pada tanggal 11 september 2019, sebelumnya Tn. A pada pukul 11:00 WIB digigit
ular di pergelangan kaki kiri pada saat mencari rumput di sawah. Sebelum dibawa
kerumah sakit Tn. A mengikat pergelangan kaki kirinya dengan menggunakan
kain. Tn.A dibawa ke rumah sakit pukul 11:30 WIB dengan mengeluhkan nyeri
ditempat gigitan ular dan bengkak. Tn.A tampak lemah dan somnolen (letargi),
akral dingin. Dari hasil pemeriksaan : Tekanan darah 80/60 mmHg, nadi
50x/menit, suhu 360C, pernapasan 22x/menit dengan skala nyeri pada tempat
gigitan ular 8. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda tanda kemerahan, panas,
bengkak pada ditempat gigitan ular..

2.1 Pengkajian

2.1.1 Identitas Klien

1. Nama : Tn.A
2. Umur : 47 tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Status Perkawinan : Menikah
5. Pekerjaan : Tani
6. Penidikan : SMP
7. Agama : Islam
8. Suku : Jawa
9. Alamat : Jagapura
10. No RM : 246633
11. Tanggal pengkajian : 11 september 2019
12. Waktu pengkajian : pukul 11:45 WIB

2.1.2 Riwayat Kesehatan


a. Keluhan Utama
Nyeri ditempat gigitan ular dan bengkak
b. Riwayat penyakit sekarang

29
Tn. A mengatakan bahwa dia mengeluhkan nyeri dibagian tempat
gigitan ular, terasa panas, bengkak, tampak kebiruan dan susah untuk
berjalan.
c. Riwayat penyakit dahulu
Klien mengatakan sebelumnya tidak menderita sakit apapun .
d. Riwayat penyakit keluarga
Klien mengatakan didalam keluarganya tidak ada yang menderita
penyakit menular seperti TBC, hepatitis dll.
e. Pola Fungsi Kesehatan (Sehat dan saat sakit)
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Sehat : Nafsu makan klien baik (klien makan 3 kali sehari) tanpa
adanya rasa sakit saat menenlan dan rasa sulit menelan
Sakit : Klien nafsu makannya tidak normal (2 kali sehari dengan
porsi seperampat piring)
b. Pola aktivitas
Sehat : Klien beraktivitas seperti biasanya tanpa ada masalah, seperti
pergi ke kampus dll
Sakit : Klien kurang beraktifitas karena rasa sakit akibat kakinya
bengkak.
c. Pola istirahat dan tidur
Sehat : klien tidur 6-7 jam per hari
Sakit : Pola tidur klien tidak bertauran klien tidak bisa tidur dengan
nyenyak karena rasa sakit sering muncul (tidur 3 jam per hari)
d. Pola eliminasi
Sehat : Pola eliminasi pada klien normal
Sakit : Pola eliminasi pada klien terganggu, jarang BAB dan BAK
akibat tidak tercukupnya kebutuhan cairan dalam tubuh klien
e. Pola hubungan peran
Sehat : Klien mampu menjalin hubungan dengan orang-orang yang
di kenal atau teman dekatnya
Sakit : Klien hanya mau bercerita ke keluarganya saja.
f. Pola penanggulangan steress

30
Klien selalu bercerita kepada istrinya jika memiliki masalah
g. Pola tata nilai dan kepercayaan
Sehat : Klien taat beribadah
Sakit : Klien merasa terganggu saat beribadah karena rasa sakit dan
nyeri yang muncul
h. Pola fungsi dan seksualitas
Sehat : Klien bisa melakukan atau dapat melakukan hubungan seksul
dengan istrinya
Sakit : Klen tidak dapat melakukan hubungan seksual
f. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Tampak lemah dan letargi
b. Tanda-tanda vital
TD : 80/60 mmHg
N : 90 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,0C
c. Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala : Inspeksi Rambut tidak beruban, keadaan
rambut dan kulit kepala bersih, penyebaran
rambut merata, tidakadalesi.
Palpasi Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri
tekan.
Wajah : Inspeksi tampak lesu, pucat, simestris kiri
kanan, bentuk wajah oral, tidak tampak
reflex/gerakan abnormal, ekspresi wajah
meringis bilan yeri
Palpasi Tidak ada nyeri tekan, tidak tidak ada
oedama/massa
Mata : Inspeksi , Terdapat lingkaran hitam di sekitar
mata.

31
Palpasi tidak ada nyeri tekan pada kedua bola
mata, kedua bola mata teraba lunak
Hidung : Inspeksi simetris kiri dan kanan, tidak
Nampak adanya septum deviasi, pola nafas
Takiepneu (RR : 25 kali per menit)
Palpasi Tidak ada nyeri tekan pada hidung,
sinus maksillaris, frontalis dan etmoidalis, tidak
ada massa/benjolan
Mulut : Inspeksi gigi depan utuh dan rahang utuh,
gusi tidak terdapat peradangan, lidah tampak
berwarna putih.
Leher : Inspeksi tidak tampak pembesaran kelenjar
tyroid, kelenjar limfe, tidak ada pembesaran
vena jugularis.
Palpasi Tidak ada nyeri tekan, ttidak ada
pembesaran kelenjar tyroid dan kelenjar limfe
d. Pemeriksaan thorax
Inspeksi bentuk dada normal chest, frekuensi nafas
25x/menit.
Palpasi ekspansi dada kanan dan kiri seimbang. Getaran
vocal fremitus teraba diseluruh dada, tidak teraba adanya
massa, tidak ada nyeri tekan.
Perkusi sonor pada semua lapang paru, tidak terdengar
adannya penimbunan cairan.
Auskultasi bunyi nafas vesikuler, tidak terdengar bunyi nafas
tambahan.
e. Pemeriksaan ekstremitas
a. Ekstremitas atas
Motorik klien dapat menggerakan ekstremitas kanan dan
kiri, tonus otot kanan dan kiri baik, kekuatan otot nilai 5/5
Refleks Biceps kiri dan kanan normal, triceps kiri dan
kanan normal.

32
Sensori tidak ada nyeri tekan, sensitive terhadap
rangansan suhu/raba
b. Ekstremitas bawah
Motorik tonus otot kiri tidak normal daripada tonus
kanan, kekuatan otot nilai 2 pada dextra 5 pada sinistra.
Refleks patella kanan normal dan patella kiri tidak
normal, Achilles kanan normal dan kiri tidak normal,
babinsky kanan dan kiri normal
Sensori ada nyeri tekan dan bengkak pada pergelangan
kaki kiri.
f. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi warna kulit sama dengan daerah sekitarnya, perut
nampak datar
Auskultasi pristaltik 10 x/menit
Perkusi terdengar bunyi timpani kecuali pada daerah kuadran
kanan atas, pekak pada daerah hepar
g. Pemeriksaan integumen
Inspeksi kulit berwarna sawo matang, terdapat persebaran
rambut-rambut pada tangan dan kaki.
Palpasi turgor kulit bagus, elastisitas kulit menurun.
h. Pemeriksaan genetalia
Tidak ada benjolan di daerah kelamin
g. Pemeriksaan Dignostik
Hemoglobin : 10,4 g/dl
Eritrosit : 4,5 10 6/ul
Hematokrit : 43%
Leukosit : 13 10 3/ul
Trombosit : 258 10 3/ul

2.2 Analisa Data

No Data Etiologi Masalah

1. DS: Klien mengatakan nyeri Gigitan ular berbisa

33
ditempat gigitan ular. Nyeri akut
Toksin menyebar
P : Edema pada pergelangan
melalui darah
kaki

Q : Seperti ditusuk-tusuk Toksin menyebar ke


jaringan sekitar
R : kaki lebih tepatnya gigitan
dipergelangan kaki

S : Skala 8 Proses inflamasi

T : Saat berjalan terasa sakit


Edema pada
terus menerus
pergelangan kaki

DO:
Nyeri akut
- Klien tampak bengkak
ditempat gigitan ular
- Ekspresi nyeri skala 8

2. DS: - Gigitan ular berbisa

DO: Risiko Syok


- TD : 80/60 mmHg Perdarahan diarea
gigitan
- Nadi : 50 x/menit
- Hemoglobin : 10,4 g/dl
- Klien tmpak lemah dan hipovolemik
letargi
- Akral ekstremitas Klien tampak lemah
bawah dingin dan letargi

Resiko syok

34
3 DS : klien mengeluh nyeri Gigitan Ular
dibagian gigitan ular Risiko infeksi
dan terasa panas
Toksin menyebar
kedalam tubuh
DO : - TD : 80/60 mmHg

- Hemoglobin : 10,4 g/dl Toksin ke jaringan


- Leukosit : 13 103 /ul sekita gigitan ular
- Nyeri skala 8

Penurunan sistem
imun

Risiko infeksi

3.3 Prioritas Diagnosa keperawatan

Berdasarkan Nanda (2018-2020)

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan edema pada
pergelangan kaki, ekspresi wajah nyeri

2. Risiko syok berhubungan dengan hipovolemik

3.Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan hemoglobin

35
3.3. Intervensi

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional TTD


1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Pemberian analgesik (2210) Pemberian Analgesik AS
berhubungan keperawatan selama 1x24 1. Tentukan lokasi, (2210)
dengan agen cidera jam diharapkan : karakteristik, kualitas dan 1. Untuk mengetahui
fisik ditandai Kriteria Hasil keparahan nyeri sebelum tingkat nyeri
dengan edema pada Tingkat Nyeri (2101) mengobati pasien. sebelulum diberi
pergelangan kaki 1. Nyeri yang 2. Cek perintah pengobatan analgesik.
kiri dan ekspresi dilaporkan meliputi obat, dosis, dan 2. upaya tidak ada
wajah nyeri dipertahankan dari frekuensi obat analgesik yang keslahan dalam
skala 1 (berat) dan diresepkan. memberi obat ke
ditingkatkan ke 3. Cek adanya riwayat alergi pasien.
skala 5 (tidak ada) obat. 3. Supaya aman dalam
2. Panjangnya 4. Pilih analgesik atau pemberian obatnya.
episode nyeri kombinasi analgesik yang 4. pemberian
dipertahankan dari sesuai ketika lebih dari satu analgesik dan
skala 1 (berat) dan diberikan. kombinasi analgesik
ditingkatkan ke 5. Kolaborasikan dengan dokter yang sesuai.
skala 5 (tidak ada ) apakah obat, dosis, rute 5. Supaya tidak salah

36
3. Menggosok area pemberian, atau perubahan dalam pemberian
yang terkena interval dibutuhkan, buat obat.
dampak rekomendasi khusus 6. Untuk mengetahui
dipertahankan dari berdasarkan prinsip keterlibtaanpasien
skala 1 (berat) dan analgesik. dalam keefektifan
ditingkatkan ke 6. Evaluasi kemampuan pasien pemberian anlgesik.
skala 5 (tidak ada) untuk berperan serta dalam Manajemen Lingkungan:
4. Ekspresi nyeri pemilihan analgesik , rute, Kenyamanan (6482)
wajah dosis dan keterlibatan pasien, 1. Supaya istirahat
dipertahankan dari sesuai kebutuhan. pasien tidak
skala 1 (brat) dan Manajemen Lingkungan : terganggu.
ditingkatkan ke Kenyamanan (6482) 2. Supaya pasien
skala 5 (tidak ada ) 1. Hindari gangguan yang tidak merasa tenang.
Kontrol gejala (1608) perlu dan berikan untuk 3. Supaya
1. Memantau waktu istiahat. pasiemmerasakan
munculnya gejala 2. Ciptakan lingkunga yang lingkungan yang
dipertahankan dari tenang dan mendukung. aman dan bersih
skala 1 (berat) dan 3. Sediakan lingkungan yang untuk istirahat.
ditingkatkan ke aman dan bersih 4. memberikan posisi
skala 5 (tidak ada) 4. Posisika pasien untuk senyaman mungkin

37
2. Memantau lama memfasilitasi kenyamanan untuk pasien.
bertahannya gejala (misalnya imobilisasi bagian Manajemen Nyeri (1400)
dipertahankan dari tubuh yang nyeri) 1. Untuk mengetahui
skala 1 (berat) dan Manajemen Nyeri (1400) ambang nyeri
ditingkatkan ke 1. Lakukan pengkajian nyri pasien.
skala 5 (tidak ada) kompeherensif yang meliputi 2. Untuk mengetahui
3. Memantau loksi, karakteristik, durasi, pengkajian nyeri
keparahan frekuensi, kualitas, intensitas, pada pasien.
dipertahankan dari atau beratnya nyeri dan 3. Untuk mengetahuo
skala 1 (berat) dan faktor pencetus. pengetahuan tentang
ditingkatkan ke 2. Observasi adatanya nyeri.
skala 5 (tidak ada) pentunjuk nonverbal 4. Untuk mengurangi
4. Memantau ekspresi mengenai ketidkanyamanan rasa nyeri.
wajah terutama pada mereka yang 5. Supaya terkontol
dipertahankan dari tidak dapat berkomunikasi untuk mengurangi
skala 1 (berat) dan secara efektif. nyerinya.
ditingkatkan ke 3. Berikan onformasi mengenai
skala 5 (tidak ada) nyeri, seperti penebab nyeri,
berapa lama nyeri akan
Status Kenyamanan :
dirasakan dan antisipasi dari
Fisik (2010)

38
1. Kesejahteraan fisik ketidaknyamanan akibat
dipertahankan dari prosedur.
skala 1 (berat) dan 4. Ajarkan prinsip-prinsip
ditingkatkan ke manajemen nyeri.
skala 5 (tidak ada)

2. Risiko syok Setelah dilakukan tindakan Identifikasi Risiko (6610) Identifikasi Risiko (6610) AS
berhubungan keperawatan selama 2x24 1. Kaji ulang data yang 1. Supaya tidak ada
dengan jam diharapkan : didapatkan dari pengkajian kesalahan dalam
hipovolemik Kriteria Hasil risiko secara rutin. melakukan
Keparahan Syok : 2. Instruksikan faktor risiko dan pengkajian pada
Hipovolemik (0419) rencana untuk mengurangi pasien.
1. Penurunan tekanan faktor risiko. 2. untuk mengurangi
darah sistolik 3. Diskusikan dan rencanakan faktor risiko.
dipertahankan dari aktivitas-aktivitas pengurangan 3. supaya ada

39
skala 1 (berat) dan risiko berkolaborasi dengan kolaborasi antara
ditingkatkan ke individu atau kelompok. individu atau
skala 5 (tidaka ada) 4. Implementasian aktivitas- kelompok untuk
2. Penurunan tekanan aktivitas yang mengurangi mengurangi risiko.
darah diastolik risiko. 4. melakukan aktivitas-
dipertahankan dari 5. Rencanakan tindak lanjut aktivitas untuk
skala 1 (berat) dan strategi dan aktivitas mengurangi risiko.
ke skala 5 (tidak penguranagn risiko jangka 5. untuk mengurangi
ada) panjang. risiko jangka
3. Akral dingin Pencegahan Syok (4260) panjang.
dipertahankan dari 1. Monitor terhadap adanya Pencegahan Syok (4261)
skala 1 (berat) dan respon kompensasi awal syok 1. Mengetahui status
ke skala 5 (tidak (tekanan darah, nadi), pucat atau perubahan TTV .
ada ) dingin pada kulit, kulit 2. supaya mengurangi
4. Penurunan tingkat kemerahan takipnew ringan, faktor risiko.
kesadaran mual muntah, kelemahan. 3. Mengetahui adanya
dipertahankan dari tanda-tanda memar,
2. Instruksikan faktor risiko dan
skala 1 (berat) dan peteache pada pasien
rencana untuk mengurangi
ditingkatkan ke 4. supaya
faktor risiko.
skala 5 (tidak ada) pasien/keluarga
3. Catat adanya memar, petechiae,

40
Keparahan Cidera : dan kondisi membran mukosa. dapat mengetahui
Fisik (1913) 4. Anjurkan pasien dan keluarga apa saja yang harus
1. Lecet pada kulit mengenai langkah-langakah dilakukan untuk
ditingkatkan dari yang harus dilakukan terhadap mengurangi
skala 1 (berat) ke timbulnya gejala syok. timbulnya gejala
skala 5 (tidak ada) Manajemen Hipovolemi (4180) syok
2. Memar 1. Monitor status hemodinamik
ditingkatkan dari seperti tanda-tanda vital Manajemen Hipovolemi
skala 1 (berat) ke 2 Monitor adanya bukti (4180)
skala 5 (tidak ada) laboratorium terkait dengan 1. supaya mengetahui
3. Gangguan kehilangan darah (hemoglobin setiap perubahan tanda-
imobilitas dll) jika tersedia. tanad vital.
ditingkatkan dari 3 Instruksikan pada pasien 2. mengetahui adanya
skala 1 (berat) ke untuk menghindari posisi yang perubahan dari hasil
skala 5 (tidak ada) berubah cepat, khususnya dari bukti laboratorium.
Kontrol risiko (1902) posisi terlentang pada posisi 3. supaya pasien tidak
1. Mengidentifikasi duduk atau berdiri. mengubah posisi
faktor risiko 4 Instruksikan pada pasien dan dengan cepat.
dipertahankan dari keluarga terkait dengan 4. supaya pasien/keluarga
skala 1 (berat) ke tindakan-tindakan yang mengetahui apa saja

41
sakala 5 (tidak ada) dilakukan untuk mengatasi tindkaan untuk
2. Mengetahui faktor hipovolemia. mengatasi hipovolemia.
risiko individu
dipertahankan dari
skala 1 (berat) dan
ditingkatkan ke
skala 5 (tidak ada)
3. Memonitor faktor
risiko lingkungan
dipertahankan dari
skala 1 (berat) dan
ditingkatkan ke
skala 5 (tidak ada)
4. Menghindari
paparan ancaman
kesehatan
dipertahankan dari
skala dan
ditingkatkan ke
skala 5 (tidak ada)

42
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Keparahan infeksi (0703) Keparahan infeksi (0703) AS
berhubungan keperawatan selama 2x24 1. Monitor adanya tanda dan 1. mengetahui tanda
dengan penurunan jam diharapkan : gejala infeksi sistemik dan dan gejala infeksi.
hemoglobin Kiteria Hasil : lokal 2. mengetahui
Keparahan infeksi (0703) 2. Monitor kerentanan kerentanan pada
1. Kemerahan terhadap infeksi infeksi.
dipertahankan dari 3. Beri perawatan kulit yang 3. supaya tetap terjaga
skala 1 (berat) dan tepat untuk area (yang elastisita kulitnya.
ditingkatkan ke mengalami) edema. 4. mengetahui adanya
skala 5 (tidak ada) 4. Periksa kulit dan selaput kemerahan dan
2. Malaise lendir untuk adanya kehangatan pada
dipertahankan dari kemerahan, kehangatan kulit yang terinfeksi.
skala 1 (berat) dan ekstrim atau drainase. 5. untuk mengetahui
ditingkatkan ke 5. Periksa setiap kondisi setiap perubahan
skala 5 (tidak ada) sayatan bedah atau luka luka.
3. Lethargy 6. Pantau adanya perubahan 6. untuk mengurangi
dipertahankan dari tingkat energi atau malaise terjadinya malaise..
skala 1 (berat) dan 7. Instruksikan pasien untuk 7. dapat mengurangi
ditingkatkan ke minum antibiotik yang beban penyakit.
skala 5 (tidak ada) diresepkan Perawatan luka (3660)

43
Kontrol Risiko (1924) Perawatan luka (3660) 1. mengurangi
1. Mengidentifikasi 1. Angkat balutan dan plester terjadinya infeksi
faktor risiko infeksi perekat pada luka.
dipertahankan dari 2. Cukur rambut disekitar 2. untuk mengurangi
skala 1 (berat) dan daerah yang terkena, penyebaran infeksi
ditingkatkan ke sesuai kebutuhan pada luka.
skala 5 (tidak ada) 3. Monitor karakteristik luka, 3. untuk mengetahui
2. Mengetahui faktr termasuk drainase, warna, karakteristik setiap
risiko individu ukuran dan bau luka.
terkait infeksi 4. Berikan balutan yang 4. agar luka tetap
dipertahankan dari sesuai dengan jenis luka bersih.
skala 1 (berat) dan 5. Periksa luka setiap kali 5. mengetahui
ditingkatkan ke ganti balutan perubahan luka
skala 5 (tidak ada Pengecekan Kulit (3590) setiap ganti balutan.
3. Mengidentifikasi 1. Periksa kulit dan selaput Pengecekan kulit (3590)
tanda dan gejala lendir terkait dengan 1. mengetahui setiap
infeksi adanya kemerahan, perubahan kondisi
dipertahankan dari kehangatan ekstrim, kulit.
skala 1 (berat) dan edema dan drainase. 2. untuk mengetahui
ditingkatkan ke 2. Amati warna, kehangatan, perubahan kondisi

44
skala 5 (tidak ada). bengkak, pulsasi, tekstur, pembengkakan luka.
4. Monitor perubahan edema dan ulserasi pada 3. untuk mengetahui
status kesehatan ekstremitas. perubahan kondisi
dipertahankan dari 3. Monitor warna dan suhu pembengkakan luka.
skala 1 (berat) dan kulit. 4. mengetahui setiap
ditingkatkan ke 4. Monitor kulit dan selaput perubahan warna,
skala 5 (tidak ada) lendir terhadap area memar pada kulit.
perubahan warna, memar, 5. untuk mengurangi
Integritas Jaringan :
dan pecah. infeksi pada luka
kulitdan membran
5. Monitor infeksi, teruama terutama didaerah
mukosa (1101)
dari daerah edema. edema.
1. Elastisitas
dipertahankan dari
skala 1 (berat) dan
ditingkatkan ke
skala 5 (tidak ada)
2. Integritas kulit
dipertahankan dari
skala 1 (berat) dan
ditingkatkan ke
skala 5 (tidak ada)

45
3. Lesi dipertahankan
dari skala 1 (berat)
dan ditingkatkan ke
skala 5 (tidak ada)

3.4 Implementasi

Hari Diagnosa Implementasi Paraf


Kamis 11 Nyeri akut Tingkat Nyeri (2101) AS
september berhubungan dengan 1. Menentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri sebelum
2019 agen cidera fisik mengobati pasien.
ditandai dengan 2. Mengecek perntah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat
edema pada analgesik yang diresepkan..
pergelangan kaki kiri 3. Mengecek adanya riwayat alergi obat.
dan ekspresi wajah 4. Memilih analgesik atau kombinasi analgesik yang sesuai ketika lebih dari satu
nyeri diberikan.
5. Mengkolaborasikan dengan dokter apakah obat, dosis, rute pemberian, atau
perubahan interval dibutuhkan, buat rekomendasi khusus berdasarkan prinsip
analgesik.

46
6. Mengevaluasi kemampuan pasien untuk berperan serta dalam pemilihan
analgesik , rute, dosis dan keterlibatan pasien, sesuai kebutuhan.
Manajemen lingkungan: Kenyamanan (6482)
1. Menghindari gangguan yang tidak perlu dan berikan untuk waktu istirahat.
2. Menciptakan lingkungan yang tenang dan mendukung.
3. Menyediakan lingkungan yang aman dan bersih.
4. Memposisikan pasien untuk memfasilitasi kenyamanan (misalnya imobilisasi
bangian tubuh yang nyeri).
Manajemen Nyeri (1400)
1. Melaakukan pengkajian nyeri kompeherensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan
faktor pencetus.
2. Mengobservasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan
terutama pada mereka yang tidak dapat berkomunikasi seacara efektif.
3. Memberikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat prosedur.
4. Mengarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri.
5. Memastikan perawatan analgesik bagi pasien dilakukan dengan pemantauan
yang ketat.
.

47
Kamis 11 Risiko syok Identifikasi Risiko (6610) AS
september berhubungan dengan 1. Mengkaji ulang data yang didapatkan dari pengkajian risiko secara rutin.
2019 hipovolemik 2. Menginstruksikan faktor risiko dan rencana untuk mengurangi faktor risiko.
3. Mendiskusikan dan rencanakan aktivitas-aktivitas pengurangan risiko
berkolaborasi
4. Mengimplementasian aktivitas-aktivitas yang mengurangi risiko
5. Merencanakan tindak lanjut strategi dan aktivitas penguranagn risiko jangka
panjang.
Pencegahan Syok (4260)
1. Memonitor terhadap adanya respon kompensasi awal syok (tekanan darah,
nadi), pucat atau dingin pada kulit, kulit kemerahan takipnew ringan, mual
muntah, kelemahan.
2. Menginstruksikan faktor risiko dan rencana untuk mengurangi faktor risiko.
3. Mencatat adanya memar, petechiae, dan kondisi membran mukosa.
4. Menganjurkan pasien dan keluarga mengenai langkah-langakah yang harus
dilakukan terhadap timbulnya gejala syok.
b. Manajemen Hipovolemi (4180)
1. Memonitor status hemodinamik seperti tanda-tanda vital
2. Meonitor adanya bukti laboratorium terkait dengan kehilangan darah
(hemoglobin dll) jika tersedia.

48
3. Menginstruksikan pada pasien untuk menghindari posisi yang berubah cepat,
khususnya dari posisi terlentang pada posisi duduk atau berdiri.
4. Menginstruksikan pada pasien dan keluarga terkait dengan tindakan-tindakan
yang dilakukan untuk mengatasi hipovolemia.

Kamis 11 Resiko infeksi Perlindungan Infeksi (6550) AS


september berhubungan dengan 1. Memonitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
2019 penurunan 2. Memonitor kerentanan terhadap infeksi
hemoglobin 3. Memberi perawatan kulit yang tepat untuk area (yang mengalami) edema.
4. Memeriksa kulit dan selaput lendir untuk adanya kemerahan, kehangatan
ekstrim atau drainase.
5. Memeriksa setiap kondisi sayatan bedah atau luka
6. Memantau adanya perubahan tingkat energi atau malaise.
7. Menginstruksikan pasien untuk minum antibiotik yang diresepkan
Perawatan Luka (3660)
1. Meningkat balutan dan plester perekat
2. Mencukur rambut disekitar daerah yang terkena, sesuai kebutuhan
3. Memonitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran dan bau.

49
4. Memberikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
5. Memeriksa luka setiap kali ganti balutan
Pengecekan kulit (3590)
1. Memeriksa kulit dan selaput lendir terkait dengan adanya kemerahan,
kehangatan ekstrim, edema dan drainase
2. Mengamati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi, tekstur, edema dan ulserasi
pada ekstremitas.
3. Memonitor warna dan suhu kulit.
4. Memonitor kulit dan selaput lendir terhadap area perubahan warna, memar,
dan pecah.
5. Memonitor infeksi, teruama dari daerah edema.

3.5 Evaluasi

No. Hari/Tanggal/Jam Diagnosa Evaluasi (SOAP) Paraf


1. Kamis 11 Nyeri akut berhubungan S: Klien mengatakan bahwa nyerinya sudah mulai berkurang AS
september 2019 dengan agen cidera fisik O: Klien tampak rileks, skala nyeri turun ke skala 4
ditandai dengan edema A: Masalah teratasi sebagian

50
pada pergelangan kaki P: Lanjut intervensi 1 dan 2
kiri dan ekspresi wajah
nyeri
2. Kamis 11 Risiko syok berhubungan S: Klien mengatakan bahwa tekanan darah mulai normal AS
september 2019 dengan hipovolemik O : -Akral terasa hangat,
-Td mulai normal 120/80 mmHg
A : Masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi 2 dan 3
3. Kamis 11 maret Resiko infeksi S: Klien mengatakan nyeri dan rasa panas sudah mulai berkurang AS
2019 berhubungan dengan ditempat gigitan ular
penurunan hemoglobin O : -Td mulai normal 120/80 mmHg
- Hb dan leukosit mulai normal kembali (Hb: 14,5 g/dl dan
leukosit : 10.000 m3)

A: Masalah teratasi sebagian


P: Lanjutkan intervensi 3

51
BAB 4. PATHWAYS

Gigitan Ular

Ular Tidak Ular Berbisa


Berbisa

Elapidae Viperidae Colubridae

Bisa

Protein Enzim

Racun Ular Masuk


Kedalam Tubuh

Toksin Menyebar Melalui


Darah

Gangguan Sistem Toksin Menyebar


kardiovaskular Kesekitar gigitan

hipovolemik
Proses Inflamasi

Klien Tampak Lemah Penurunan Edema Pada Pergelangan kaki


dan Lethargi Sistem Imun

Nyeri akut
Risiko Syok Risiko Infeksi

52
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J. (2008)


Emergency treatment of a snake bite: Pearls from literature. J Emer
Trauma Shock 1(2):97-105.

Anne&Allison, 2014. Ross And Wlson Anatomy And Physiology in Health and
Illness, 12th edition. Singapore: Elsevier

BC & TLS. (2008). Materi panduan pelatihan basic cardiac & trauma life support.
Jakarta: Emergency Medical Training & Services EMS 119.

Djunaedi D. (2009) Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, penyunting Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S. Edisi ke-5. InternaPublishing: Jakarta, p. 280-
283.

Hui Wen Fan, Marcopito LF, Cardoso JLC, Franca FO, Malaque CMA, Ferrari RA,
dkk. Sequential randomised and double blind trial of promethazine
prophylaxis againts early anaphylactic reactions to antivenom for
bothrops snake bites. BMJ 1999;318:1451-3.

Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran


A, Premaratna R, et al. Estimating the global based on regional estimates
of envenoming and deaths. PloS Med. 2008; 5(11); e218: 1591-604

Laraba-Djebari, F. & Fatah, C.. 2014. Pathophysiological and Pharmacological


Effects of Snake Venom Components: Molecular Targets. J. Clin. Toxicol.
4, 190

Medikanto, Alfi Rizky, Lothar M, Sri sutarni. 2017. Viperidae Snake Bite: Kasus
Serial. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. 2(2) 361: 2460-9604

Niasari N, Latief A. Gigitan ular berbisa. Sari Pediatri. 2003; 5(3):92-8.

Sutantoyo, Felisitas Farica. Erik JG. 2016. Antikolinesterase untuk Gigitan Ular
dengan Bisa Neurotoksik. CDK 43(1) 236

Warrell DA. 2010. Guildelines for the management of snake mites. World Health
Organization Regional Office for South-East Asia:2010

53

Anda mungkin juga menyukai