“KOMPENSASI”
Tugas makalah ini di ajukan untuk memenuhi
Tugas individu Mata kuliah Evaluasi dan kompensasi
Dosen Pengampu : Ade Fauji. SE.,MM
Disusun Oleh :
Arif Ramadan 11160934
Kelas : 7H.MSDM
PEMBAHASAN
Penilaian prestasi kerja merupakan sebuah proses formal untuk melakukan peninjauan ulang dan
evaluasi prestasi kerja seseorang secara periodic. Dapat diartikan juga penilaian prestasi adalah
suatu analisa yang adil dan jujur tentang nlai karyawan bagi organisasi.
Proses adalah suatu cara yang sistematis atau langkah-langkah yang diikuti dalam menghasilkan
sesuatu. Dalam sebuah penilaian prestasi kerja terdiri dari kegiatan-kegiatan yaitu identifikasi,
observasi, pengukuran, dan pengembangan hasil kerja karyawan dalam sebuah organisasi. Bukan
saja kuantitas kerja tetapi juga watak, kelakuan dan kualifikasi-kualifikasi pribadi daari
karyawan. Penilaian prestasi berupaya mengevaluasi prstasi (karyawan/pekerja) untuk berbagai
keperluan.
Tahap identifikasi merupakan tahap awal dari proses yang terdiri atas penentuan unsur-unsur
yang akan diamati. Kegiatan ini dimulai dengan melakukan analisis pekerjaan agar dapat
mengenali unsur-unsur yang akan dinilai dan dapat mengembangkan skala penilaian.
Selanjutnya dilanjutkan dengan observasi. Dengan dilakukan observasi berarti ada pengamatan
secara seksama dan periodic. Semua unsur yang dinilai harus diamati secara seksama agar dapat
dibuat penilaian yang wajar dan tepat. Denagn kata lain, observasi yang jarang dilakukan dan
observasi yang tidak berkaitan dengan prestasi kerja dapat menghasilkan hasil penilaian sesaat
dan tidak akurat.
Dalam pengukuran, para penilai akan memberikan penilaian terhadap tingkat prestasi karyawan
yang didasarkan pada hasil pengamatannya pada tahap observasi. Selanjutnya, proses penilaian
prestasi belum berakhir pada saat nilai dapat ditetapkan, melainkan masih perlu dilanjutkan
dengan melakukan pengembangan apabila ternyata ada perbedaan antara apa yang diharapkan
oleh pimpinan dengan hsil kerja karyawan. Suatu ancaman yang obyektif, sistematis dan
menyeluruh kepada penilaian prestasi dapat menjadi suatu alat yang berguna bagi perusahaan.
Bukan saja menjadi suatu alat untuk memberikan bimbingan kepada manajemen dalam
menseleksi karyawan untuk kenaikan pagkat atau gaji tetapi juga dipakai suatu alat pelatihan dan
bimbingan guna membantu para karyawan pada segala jenjang dari organissi untuk
meningkatkan prestasinya, dan untuk perencanaan karyawan jangka panjang. Melalui penilaian
prestasi, manajemen dapat memperlihatkan kepada karyawan bagaimana pekerjaannya
menempatkan diri dalam tujuan-tujuan perusahaan sebagai suatu keseluruhan. Jika teori ini
benar, berfikir melalui pekerjaan yaitu dapat membantu dalam pengembangan diri sendiri atau
meningkatkan produktivitas karyawan.
Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan, manajer dan departemen personalia
dapat membetulkan kegiatan-kegiatan mereka.
2. Penyesuaian-Penyesuaian Kompensasi
Evaluasi prestasi kerja membantu para pengambil keputusan dalammenentukan kenaikan upah,
pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya.
3.Keputusan-Keputusan Penempatan
Promosi, transfer dan demosi biasanya didasarkan pada prestasi kerja masa lalu atau
antisipasinya. Promosi sering merupakan bentuk penghargaan terhadap prestasi kerja masa lalu.
Prestasi kerja yang jelek mungkin menunjukkan kebutuhan latihan. Demikian juga, prestasi yang
baik mungkin mencerminkan potensi yang harus di kembangkan.
Umpan balik prestasi kerja mengarahkan keputusan-keputusan karier, yaitu tentang jalur karier
tertentu yang harus diteliti
6. Penyimpangan-Penyimpangan Proses Staffing
Prestasi kerja yang baik atau jelek mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing
departemen personalia
7. Ketidak-akuratan Informasional
Prestasi kerja yang jelek mungkin menunjukkan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisis
jabatan, rencana-rencana sumber daya manusia, atau komponen-komponen lain sistem informasi
manajemen personalia. Akibatnya keputusan-keputusan yang diambil menjadi tidak tepat.
Prestasi kerja yang jelek mungkin merupakan suatu tanda kesalahan dalam desain pekerjaan.
Penilaian prestasi membantu diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.
Penilaian prestasi kerja secara akurat akan menjamin keputusan-keputusan penempatan internal
diambil tanpa diskriminasi.
Kadang-kadang prestasi kerja dipengaruhi oleh faktor di luar lingkungan kerja seperti keluarga,
kesehatan, kondisi finansial atau masalah-masalah pribadi lainnya. Dengan penilaian prestasi,
departemen personalia mungkin dapat menawarkan bantuan.(T. Hani Handoko,1987:135-136)
Dalam menilai kinerja seorang karyawan, hendaknya berorientasi pada objektivitas jika tidak
maka hasil dari penilaian bias saja menimbulkan masalah dalam perusahaan. Untuk
mengatasinya maka dibutuhkan metode yang efektif dan efisien. Berikut ini adalah metode
penilaian yang dikemukakan Rivai (2006:309):
Melalui metode ini manajer menilai dengan mengunakan data masa lalu untuk menentukan
seberapa besar produktifitas seorang karyawan. Teknik-teknik penilaian ini terdiri dari :
a. Rating scale (skala penilaian).
Tenik ini adalah teknik yang paling sederhana dan mudah dimana atasan langsung memberikan
penilaian kepada karyawan dengan menggunakan skala yang biasanya berupa angka atau huruf.
b. Checklist.
Metode ini dilakukan oleh atasan langsung, yang bertujuan untuk mengurangi beban penilai
karena tinggal memilih kalimat pernyataan yang menggambarkan karakteristik dan prestasi kerja
karyawan. Pembobotan dilakukan pada item agar hasil penilaian dapat dikuantifikasikan.
Merupakan metode penilaian yang mendasarkan pada catatan-catatan penilai mengenai perilaku
karyawan yang sangat baik atau sangat buruk sekalipun dalam kaitannya dengan pelaksanaan
kerjanya.
Metode ini dilakukan dengan cara turun langsung ke lapangan untuk mengevaluasi kinerja
karyawan secara langsung.
Pada metode ini karyawan akan diberikan pertanyaan tertulis untuk mengukur seberapa
kemampuan dan pengetahuannya..
Terdiri dari tiga metode. Pertama, metode ranking, yaitu penilaian dilakukan dengan
membandingkan karyawan yang satu dengan karyawan yang lainnya untuk menentukan siapa
yang paling baik kinerjanya. Kedua, Grading atau forced distribution. Pada metode ini, penilaian
dilakukan dengan memisahkan karyawan ke dalam klasifikasi yang berbeda, dimana setiap
klasifikasinya memiliki proporsi tertentu. Ketiga, Point allocation method, dimana penilai
diberikan sejumlah nilai total untuk dialokasikan diantara para karyawan dalam kelompok.
a. Penilaian diri.
Teknik evaluasi ini berguna untuk melanjutkan pengembangan diri. Apabila karyawan menilai
dirinya sendiri, perilaku defensif cenderung tidak terjadi, sehingga upaya perbaikan diri juga
cenderung dilaksanakan.
b. Penilaian psikologis.
Dalam metode ini biasanya perusahaan bekerja sama dengan psikolog. Pendekatan emosional
biasanya paling banyak digunakan.
Metode ini dilakukan jika perusahaan memiliki tim penilai khusus untuk mengidentifikasi
kemampuan manajemen di masa depan. Penilaian ini bisa meliputi wawancara mendalam, tes-tes
psikologi, diskusi kelompok simulasi, dan sebagainya untuk mengevaluasi potensi karyawan
diwaktu yang akan datang.
Bahwa setiap karyawan dan penyelia secara bersama-sama menetapkan tujuan-tujuan atau
sasaran-sasaran pelaksanaan kerja diwaktu yang akan datang. Kemudian dengan menggunakan
sasaran tersebut, penilaian prestasi kerja dilakukan secara bersama pula. Menurut Rivai (2006),
manajemen berdasarkan Management By Objective (MBO) adalah suatu bentuk penilaian
dimana karyawan dan penyelia bersama-sama menetapkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran
pelaksanaan kerja diwaktu yang akan datang. Metode ini lebih mengacu pada pendekatan hasil.
Menurut Rivai (2009) ada 3 (tiga) pendekatan yang paling sering dipakai dalam penilaian
prestasi kerja,antara lain :
Sistem ini terdiri dari dua bagian, yaitu suatu daftar karakteristik, bidang, ataupun perilaku yang
akan dinilai dan sebuah skala ataupun cara lain untuk menunjukkan tingkat kinerja dari tiap
halnya. Perusahaan yang menggunakan sistem ini bertujuan untuk menciptakan keseragaman dan
konsistensi dalam proses penilaian prestasi kerja. Kelemahan sistem ini adalah karena sangat
mudahnya untuk dilakukan, para manajerpun jadi mudah lupa mengapa mereka melakukannya
dan sistem inipun disingkirkannya.
Sistem peringkat memperbandingkan karyawan yang satu dengan yang lainnya. Hal ini
dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, misalnya: total pendapatan
ataupun kemampuan manajemen. Sistem ini hampir selalu tidak tepat untuk digunakan, karena
sistem ini mempunyai efek samping yang lebih besar daripada keuntungannya. Sistem ini
memaksa karyawan untuk bersaing satu sama lain dalam pengertian yang sebenarnya. Pada
kejadian yang positif, para karyawan akan menunjukkan kinerja yang lebih baik dan
menghasilkan lebih banyak prestasi untuk bisa mendapatkan peringkat yang lebih tinggi.
Sedangkan pada kejadian yang negatif, para karyawan akan berusaha untuk membuat rekan
sekerja (pesaing)-nya menghasilkan kinerja yang lebih buruk dan mencapai prestasi yang lebih
sedikit dibandingkan dirinya.
Berbeda dengan kedua sistem diatas, penilaian prestasi berdasarkan tujuan mengukur kinerja
seseorang berdasarkan standar ataupun target yang dirundingkan secara perorangan. Sasaran dan
standar tersebut ditetapkan secara perorangan agar memiliki fleksibilitas yang mencerminkan
tingkat perkembangan serta kemampuan setiap karyawan.
Usaha yang dapat dilakukan pada permulaan pelaksanaan penilaian prestasi adalah sebagai
berikut :
1. Mulailah dari tingkatan yang paling atas. Maksudnya penggunaan penilaian prestasi harus
dimulai dari pimpinan yang paling tinggi, kemudian secara bertahap turun ke karyawan yang
tingkatannya lebih rendah, sampai akhirnya ke tenaga pelaksana, sehingga tidak ada kesan
bahwa atasan selalu dinomor satukan sehingga tidak perlu dinilai.
2. Untuk melihat apakah system penilaian yang disusun itu efektif dan untuk menghindari
pemborosan waktu dan tenaga, perlu dilaksanakan penilaian di bagian tertentu lebih dulu sebagai
pilot project. Apabila ternyata ada kekurangan, maka dapat diperbaiki terlebih dahulu untuk
kemudian dilanjutkan ke bagian-bagian lainnya.
3. Dalam melakukan penilaian prestasi kerja sebaiknya jangan tergesa-gesa, karena tidak
semua karyawan/individu mudah begitu saja menerima perubahan-perubahan khususnya
perubahan sikap. Dalam hal ini sebaiknya dilakukan persiapan-persiapan dan pemberitahuan
terlebih dahulu (sosialisasi), kemudian berikan kesempatan untuk didiskusikan dengan masing-
masing kepala bagian dan yang terakhir diusahakan agar tidak berkesan “memaksakan”
penggunaan system penilaian prestasi tersebut kepada karyawan.
Dalam melakukan penilaian yang baik, diperlukan keseimbangan keduanya yaitu keseimbangan
antara apa yang telah dicapai dengan bagaimana cara mencapai hasil tersebut, standard yang
ditetapkan harus disesuaikan dengan memberikan pengarahan tentang bagaimana caranya agar
standard/hasil yang ditetapkan dapat dicapai.
1. Melaksanakan pengukuran dan membuat standard baku satuan hasil kerja dengan
melaksanakan workload analysis, yang akan digunakan sebagai pedoman dalam membandingkan
antara standard hasil dengan hasil yang dicapai oleh karyawan.
2. Menetapkan dan menyepakati waktu penilaian dan frekuensi penilaian (misalkan; waktu
penilaian 6 bulan dan dilakukan dalam 3 kali penilaian).
3. Diantara atasan dan bawahan menetapkan dan menyepakati aktivitas yang akan
dilaksanakan dengan mengisi dan menandatangani form management performance sesuai dengan
job title yang dipangku oleh karyawan tersebut dan selaras dengan target organisasi.
4. Atasan memonitor prestasi yang dicapai oleh bawahannya dengan menggunakan laporan
kerja harian, dan diketahui oleh karyawan.
5. Meresumekan hasil akhir pada waktu tertentu (mis; 6bulan) atas prestasi yang dicapai oleh
karyawan tersebut.
7. Memberikan kompensasi bagi yang berprestasi dan memberikan konseling bagi yang tidak
berprestasi.
2.2 KONSEP DASAR KOMPENSASI
Kompensasi merupakan balas jasa yang diberikan oleh organisasi / perusahaan kepada
karyawan, yang dapat bersifat finansial maupun non finansial, pada periode yang tetap. Sistem
kompensasi yang baik akan mampu memberikan kepuasan bagi karyawan dan memungkinkan
perusahaan memperoleh, mempekerjakan, dan mempertahankan karyawan. Bagi organisasi /
perusahaan, kompensasi memiliki arti penting karena kompensasi mencerminkan upaya
organisasi dalam mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan karyawannya. Pengalaman
menunjukkan bahwa kompensasi yang tidak memadai dapat menurunkan prestasi kerja, motivasi
kerja, dan kepuasan kerja karyawan, bahkan dapat menyebabkan karyawan yang potensial keluar
dari perusahaan.
Dari pengertian diatas terlihat bahwa kompensasi merupakan alat pengikat perusahaan
terhadap karyawannya, faktor penarik bagi calon karyawan dan faktor pendorong seseorang
menjadi karyawan. Dengan demikian kompensasi mempunyai fungsi yang cukup penting di
dalam memperlancar jalannya roda organisasi/ perusahaan. Menurut Martoyo (1994), fungsi
kompensasi adalah :
Kompensasi yang tinggi pada seorang karyawan mempunyai implikasi bahwa organisasi
memperoleh keuntungan dan manfaat maksimal dari karyawan yang bersangkutan karena
besarnya kompensasi sangat ditentukan oleh tinggi/rendahnya produktivitas kerja karyawan yang
bersangkutan. Semakin banyak pegawai yang diberi kompensasi yang tinggi berarti semakin
banyak karyawannya yang berprestasi tinggi. Banyaknya karyawan yang berprestasi tinggi akan
mengurangi pengeluaran biaya untuk kerja-kerja yang tidak perlu (yang diakibatkan oleh kurang
efisien dan efektifitasnya kerja). Dengan demikian pemberian kompensasi dapat menjadikan
penggunaan SDM secara lebih efisien dan lebih efektif.
Salah satu cara organisasi untuk memperoleh karyawan yang memenuhi persyaratan
(qualified) dapat dilakukan dengan pemberian sistem kompensasi. Sistem kompensasi yang baik
merupakan faktor penarik masuknya karyawan qualified. Sebaliknya, sistem kompensasi yang
buruk dapat mengakibatkan keluarnya karyawan yang qualified dari suatu organisasi.
Sebagai contoh, eksodus secara besar-besaran karyawan dari perusahaan A ke perusahaan
B merupakan indikasi lebih baiknya sistem kompensasi yang ada pada perusahaan B daripada
perusahaan A.
Menjamin keadilan
Pemberian kompensasi yang baik juga bertujuan untuk menjamin keadilan. Dalam arti,
perusahaan memberikan imbalan yang sepadan untuk hasil karya atau prestasi kerja yang
diberikan pada organisasi.
Mengendalikan biaya-biaya
Dalam jangka pendek, pemberian kompensasi pada karyawan yang berprestasi akan
memperbesar biaya. Namun secara jangka panjang, kerja karyawan yang lebih efektif dan efisien
akibat pemberian kompensasi yang baik dapat mengendalikan biaya-biaya yang tidak perlu.
Organisasi sering kali mengeluarkan biaya-biaya yang tidak perlu akibat rendahnya produktifitas
atau kurang efekif dan efisiennya kerja karyawan. Seringkali biaya yang tidak perlu ini besarnya
melebihi biaya tetap. Pemberian komensasi yang baik diharapkan dapat mendorong karyawan
untuk lebih produktif dan lebih efisien serta efektif dalam bekerja sehingga organisasi dapat
memperkecil atau mengendalikan biaya-biaya yang harus dikeluarkan dan memperbesar
pemasukannya.
Selain lima tujuan di atas, kompensasi juga bertujuan untuk memenuhi peraturan-
peraturan legal seperti Upah Minimum Rata-rata (UMR), Ketentuan Lembur, Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Jamsostek), Asuransi Tenaga Kerja (Astek) dan fasilitas lainnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Martoyo (1994) berpendapat bahwa tujuan kompensasi
adalah :
Pemenuhan kebutuhan ekonomi karyawan atau sebagai jaminan economic security bagi
karyawan.
Penilaian harga suatu jenis pekerjaan merupakan tindakan pertama yang dilakukan dalam
menentukan besarnya kompensasi yang akan diberikan kepada karyawan. Penilaain harga
pekerja dapat dilakukan dengan dua cara, sebagai berikut :
Berdasarkan analisis jabatan akan didapat informasi yang berkaitan dengan : 1) Jenis
keahlian yang dibutuhkan, 2) Tingkat kompeksitas pekerjaan, 3) Resiko pekerjaan, dan 4)
Perilaku/kepribadian yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Dari informasi tersebut kemudian
ditentukan harga pekerjaan.
Harga pekerjaan pada beberapa organisasi dapat dijadikan sebagai patokan dalam
menetukan harga pekerjaan sekaligus sebagai ukuran kelayakan kompensasi. Jika harga
pekerjaan yang diberikan lebih rendah dari organisasi lain, maka kecil kemungkinan organisasi
tersebut mampu menarik atau mempertahankan karyawan yang qualified. Sebaliknya bila harga
pekerjaan terebut lebih tinggi dari organisasi lainnya, maka organisasi tersebut akan lebih mudah
menarik dan mempertahankan karyawan yang qualified.
2) Sistem kompensasi
Beberapa sistem kompensasi yang biasa digunakan adalah sistem prestasi, sistem
kontrak/borongan.
Sistem Prestasi
Upah menurut prestasi kerja sering juga disebut dengan upah sistem hasil. Pengupahan
dengan cara ini mengaitkan secara langsung antara besarnya upah dengan prestasi kerja
yang ditujukan oleh karyawan yang bersangkutan. Sedikit banyaknya upah tersebut
tergantung pada sedikit banyaknya hasil yang dicapai karyawan dalam waktu tertentu. Cara ini
dapat diterapkan bila hasil kerja dapat diukur secara kuantitatif. Cara ini dapat mendorong
karyawan yang kurang produktif menjadi lebih produktif. Cara ini akan sangat menguntungkan
bagi karyawan yang dapat bekerja cepat dan berkemampaun tinggi. Contoh kompensasi sistem
hasil : per potong, per meter, per kilo, per liter dan sebagainya.
b) Sistem Waktu
Besarnya kompensasi dihitung berdasarkan standar waktu seperti Jam, Hari, Minggu,
Bulan. Besarnya Upah ditentukan oleh lamanya karyawan melaksanakan atau menyelesaikan
suatu pekerjaan. Umumnya cara ini digunakan bila ada kesulitan dalam menerapkan cara
pengupahan berdasarkan prestasi.
Contoh faktor intern organisasi yang mempengaruhi besarnya kompensasi adalah dana
organsasi, dan serikat pekerja.
Dana Organisasi
Serikat pekerja
Para pekerja yang tergabung dalam seikat pekerja juga dapat mempengaruhi pelaksanaan
atau penetapan kompensasi dalam suatu perusahaan. Serikat pekerja dapat menjadi simbol
kekuatan pekerja di dalam menuntut perbaikan nasib. Keberadaan serikat pekerja perlu
mendapatkan perhatian atau perlu diperhitungkan oleh pihak manajemen.
Produktifitas kerja
Posisi dan jabatan berbeda berimplikasi pada perbedaan besarnya kompensasi. Posisi dan
jabatan seseorang dalam organisasi menunjukkan keberadaan dan tanggung jawabnya dalam
hierarki organisasi. Semakin tinggi posisi dan jabatan seseorang dalam organisasi, semakin besar
tanggung jawabnya, maka semakin tinggi pula kompensasi yang diterimanya. Hal tersebut
berlaku sebaliknya.
Selain posisi dan jabatan, pendidikan dan pengalaman kerja juga merupakan faktor yang
mempengaruhi besarnya kompensasi. Pegawai yang lebih berpengalaman dan berpndidikan lebih
tinggi akan mendapat kompensasi yang lebih besar dari pegawai yang kurang pengalaman dan
atau lebih rendah tingkat pendidikannya. Pertimbangan faktor ini merupakan
wujud penghargaan organisasi pada keprofesionalan seseorang. Pertimbangan ini juga dapat
memacu karyawan untuk meningkatkan pengetahuannya.
Besarnya kompensasi pegawai yang bekerja di lapangan berbeda dengan pekerjaan yang bekerja
dalam ruangan, demikian juga kompensasi untuk pekerjaan klerikal akan berbeda dengan
pekerjaan adminsitratif. Begitu pula halnya dengan pekerjaan manajemen berbeda dengan
pekerjaan teknis. Pemberian kompensasi yang berbeda ini selain karena pertimbangan
profesioalisme pegawai juga kerena besarnya resiko dan tanggung jawab yang dipikul oleh
pegawai yang bersangkutan. Sebagai contoh, dikebanyakan organisasi/perusahaan pegawai
yang bertugas di lapangan biasanya mendaptkan kompenasai antara 2 – 3 kali lipat dari
pekerjaan di dalam ruangan/kantor. Besarnya kompensasi sejalan dengan besarnya resiko dan
tanggung jawab yang dipikulnya.
C. Faktor Ekstern
Contoh faktor ekstern pegawai dan organisasi yang mempengaruhi besarnya kompensasi
adalah sebagai berikut :
Mengacu pada hukum ekonomi pasar bebas,kondisi dimana penawaran supply) tenaga
kerja ebih dari permintaan (demand) akan menyebabkan rendahnya kompensasi yang diberikan.
Sebaiknya bila kondisi pasar kerja menunjukkan besarnya jumlah permintaan tenaga kerja
sementara penawaran hanya sedikit, maka kompensasi yang diberikan akan besar. Besarnya nilai
kompensasi yang ditawarkan suatu organisasi merupakan daya tarik calon pegawai untuk
memasuki organisasi tersebut. Namun dalam keadaan dimana jumlah tenaga kerja lebih besar
dari lapangan kerja yang tersedia, besarnya kompensasi sedikit banyak menjadi terabaikan.
kompensasi terutama upah/gaji harus disesuaikan dengan besarnya biaya hidup (cost of
living). Yang dimaksud biaya hidup disini adalah biaya hidup minimal. Paling tidak kompensasi
yang diberikan harus sama dengan atau di atas biaya hidup minimal. Jika kompensasi yang
diberikan lebih rendah dari biaya hidup minimal, maka yang terjadi adalah proses pemiskinan
bangsa.
c. Kebijaksanaan Pemerintah
d. Kondisi Perekonomian
Nasional Kompensasi yang diterim oleh pegawai di negara-negara maju jauh lebih besar
dari yang diterima negara-negara berkembang dan atau negara miskin. Besarnya rata-rata
kompensasi yang diberikan oleh organsasi-organisasi dalam suatu negara mencerminkan kondisi
perekonomian negara tersebut dan penghargaan negara terhadap sumber daya manusianya.
2.2.6 Keadilan dan kelayakan dalam pemberian Kompensasi
Selain hal-hal diatas, dalam pemberian kompensasi perlu dipertimbangkan unsur keadilan
dan kelayakan.
a) Keadilan
Dalam pemberian kompensasi apakah itu berupa upah, gaji, bonus atau bentuk-bentuk
lainnya, penting sekali diperhatikan masalah keadilan terebut. Keadilan bukan berarti sama rasa
sama rata tanpa pandang bulu, tetapi harus terkait adanya hubungan antara pengorbanan (input)
dengan output.
Output ini ditunjukkan dari upah yang diterima para karyawan yang
bersangkutan, dimana didalamnya tercantum rasa keadilan yang sangat diperhatikan oleh setiap
karyawan penerima kompensasi tersebut. Bila tuntutan keadilan seperti seperti ini telah terpenuhi
ini berarti perusahaan telah memiliki Internal consistency dalam sistem kompensasinya.
b) Kelayakan
Apabila upaya di dalam perusahaan yang bersangkutan lebih rendah dari perusahaan-
perusahaan lain, maka hal ini dapat mengakibatkan kesulitan bagi perusahaan untuk memperoleh
tenaga kerja. Oleh karena itu untuk memenuhi kedua konsistensi tersebut (internal dan eksternal)
perlu digunakan suatu evaluasi pekerjaan.
2.3 LANGKAH-LANGKAH MERUMUSKAN KEBIJAKAN DAN MEMBUAT SISTEM
KOMPENSASI
2.3.1 Langkah-Langkah
Arti penting gaji sebagaimana disebutkan diatas menghendaki penentuannya harus dilakukan
dengan baik agar fungsional sebagai alat untuk memotivasi karyawan dalam meningkatkan
produktivitasnya. Salah satu aspek yang sangat penting dalam hali ini adalah jumlah gaji yang
diterima pegawai harus memiliki intrnal equity dan external equity. Internal equity adalah jumlah
yang diperoleh dipersepsi sesuai dengan input yang diberikan dibandingan dengan pekerjaan
yang sama dalam perusahaan. External equity adalah jumlah yang diterima dipersepsi sesuai
dengan jumlah yang diterima dibandingkan dengan yang diterima dalam pekerjaann yang sejenis
di luar organisasi. Oleh karena itu, untuk mengusahakan adanya equity, organisasi dalam
penentuannya dapat melakukan dengan langkah-langkah berikut:
Analisis Jabatan/Tugas
Analisis jabatan sebagaimana telah dijelaskan merupakan kegiatan untuk mencari informasi
tentang tugas-tugas yang dilakukan, dan persyaratan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas
tersebut supaya berhasil untuk mengembangkan uraian tugas, spesifikasi tugas, dan standar
untuk kerja. Kegiatan ini perlu dilakukan sebagai landasan untuk mengevaluasi jabatan.
Evaluasi Jabatan/Tugas
Evaluasi jabatan adalah proses sistematis untuk menentukan nilai relatif dari suatu pekerjaan
dibandingkan dengan pekerjaan lain. Proses ini adalah untuk mengusahakan tercapainya internal
equity dalam pekerjaan sebagaimana unsur yang sangat penting dalam penentuan tingkat gaji.
Penilaian pekerjaan secara umum dilakukan dengan mempertimbangkan isi pekerjaan atau
faktor-faktor seperti tanggung jawab, keterampilan atau kemampuan, tingkat usaha yang
dilakukan dalam pekerjaan, dan lingkungan kerja. Penilaian umumnya dilakukan oleh ahli atau
panitia yang sengaja dibentuk oleh organisasi untuk melakukan evaluasi. Anggota panitia
tersebut hendaknya orang-orang yang akrab dengan jabatan yang dibicarakan, di mana masing-
masing mungkin memiliki prespektif yang berbeda tentang sifat pekerjaan dan sebaiknya juga
mengikutsertakan karyawan.
Dalam melakukan penilaian pekerjaan, ditemukan beberapa metode yang dilakukan dalam
praktek, yaitu:
Metode pemeringkatan adalah menilai tingkat kepentingan secara umum dari suatu pekerjaan
dibandingkan dengan yang lain atau mengurutkan pekerjaan menurut tingkat kepentingannya
dengan cara mempelajari informasi analisis jabatan, yaitu job description, job specification,
dan job performance standard, kemudian secara subyektif pekerjaan mana yang lebih penting
diurutkan dibandingkan dengan yang lain, contohnya dalam sebuah bengkel adalah pekerjaan
kepala bengkel, sekretaris, supervisor, masinis, dan keamanan. Kepala bengkel ditentukan
sebagai yang terepenting, yang kedua adalah supervisor, ketiga masinis, keempat sekertaris, dan
kelima keamanan. Kemudian bobot tingkat kepentinganya ditentukan, misalnya pekerjaan kepala
bengkel tiga kali lebih penting dibandingkan dengan sekretaris dan seterusnya.
Mendapatkan informasi jabatan, yaitu melakukan analisa jabatan untuk mengetahui uraian
jabatan, spesifikasi jabatan, dan standar untuk kerja. Kalau ketiga hal tersebut sudah ada dan
masih sesuai dengan kenyataan, tentu saja tidak perlu melakukan analisis jabatan.
Menentukan jabatan-jabatan tertentu yang akan dinilai. Tidak perlu semua jabatan yang ada
mungkin jumlahnya banyak, tetapi hanya jabatan-jabatan tertentu yang terhadapnya nanti
jabatan-jabatan yang lain dilakukan perbandingan.
Menentukan faktor-faktor yang dikompensasi. Ini adalah isi dari pekerjaan seperti tingkat usaha,
tanggung jawab, dan lingkungan kerja, kemudian dievaluasi secara umum dan secara
subyektif.Memeringkatkan jabatan satu dan yang lain, yaitu mengurutkan pekerjaan dari yang
terpentinghingga yang kurang penting, dan menetukan tingkat gajinya. Contohnya seperti yang
ditunjukan dalam Tabel 1.
Metode pengelompokan adalah menerapkan suatu pekerjaan dalam kategori tertentu atau
klasifikasi atau kelompok. Kelompok-kelompok itu disebut kelas jika berisi jabatan yang sama,
dan disebut tingkatan jika berisi pekerjaan yang berbeda tetapi mempunyai kesulitan yang sama.
Mengembangkan kelas dengan membuat uraian tingkatan berdasarkan faktor-faktor yang dapat
dikompensasi, misalnya kompleksitas dan kesulitan pekerjaan, pengawasan yang dilakukan dan
pengawasan yang diterima, hubungan dengan orang lain, pengalaman yang dibutuhkan,
pendidikan yang dituntut, latihan, pengalaman, inisiatif, kreativitas, dan tanggung jawab.
Mengelompokan jabatan-jabatan yang ada sesuai dengan klasifikasi atau tingkatan yang sudah
ditentukan.
Metode ini dilakukan dengan cara menentukan poin atau angka untuk faktor-faktor yang dapat
dikompensasi, berbeda dengan perbandingan faktor-faktor yang langsung menentukan tarif gaji
untuk setiap faktor. Perbedaan lain, setiap faktor yang dapat dikompensasi dipecah dalam bentuk
subfaktor yang lebih rinci, misalnnya tanggung jawab dibagi dengan tanggung jawab terhadap
orang, peralatan dan bahan, perbaikan, keamanan, dan kendaraan. Skill dirinci dengan
pengalaman dan pendidikan. Tingkat usaha dirinci dengan usaha mental dan usaha fisik.
Lingkungan dirinci dengan lingkungan yang tidak menyenangkan dan lingkungan yang
berbahaya.
Survei gaji merupakan kegiatan untuk mengetahui tingkat gaji yang berlaku secara umum dalam
perusahaan-perusahaan yang mempunyai jabatan yang sejenis. Ini dilakukan untuk
mengusahakan keadilan eksternal sebagai salah satu faktor penting dalam perencanaan dan
penentuan gaji.
Setelah evaluasi jabatan dilakukan, untuk menciptakan keadilan internal yang menghasilkan
rangking jabatan, dan melakukan survei tentang gaji yang berlaku dipasar tenaga kerja,
selanjutnya adalah penentuan gaji. Misalnya untuk menggunakan metode poin, faktor-faktor
pekerjaan telah ditentukan poinnya dan jabatan-jabatan kunci telah diketahui harga pasarnya
berdasarkan survei yang dilakukan. Selanjutnya, berdasarkan poin yang telah ditentukan, dengan
cara mempelajari informasi analisis jabatan (job description, job specification, dan job
performance standard), setiap pekerjaanditentukan poinya.
Dalam suatu perusahaan besar dengan jumlah jabatan yang sangat banyak yang mungkin ratusan
atau ribuan, berdasarkan penjelasan diatas akan dapat ditentukan poinya masing-masing dan juga
tingkat gajinya. Secara teoritis perbedaanya akan sangat bervariasibesarnya, mungkin ada banyak
yang hanya mempunyai perbedaan sedikit. Secara praktis daftar gaji menjadi sangat rumit dan
sukar dikelola. Untuk itu perusahaan-perusahaan melakukan pengelompokan, misalnya jabatan
yang memiliki jumlah poin antara 101 s/d 200, 201 s/d 300, 301 s/d 400, dan seterusnya
dikelompokan dengan upah yang sama. Sehingga dalam organisasi ditemukan beberapa
kelompok gaji, misalnya yang memiliki poin antara 101 s/d 200 dibayar sejumlah Rp.300.000,-
atau kisaran atara Rp.300.000,- s/d Rp.400.000,- dengan memasukan unsur lain dalam
penggajian seperti prestasi kerja berdasarkan penilaian diatas.
Meskipun sudah dilakukan evaluasi jabatan dengan sangat hati-hati, yang mennghasilkan
rangking atau klasifikasi jabatan, dan dapat ditentukan gaji yang layak sesuai dengan kelasnya,
sering kali hal itu tidak dapat dilakukan sebab diluar hal tersebut (internal equity dan external
equity) masih ada sejumlah faktor atau kekuatan yang mempengaruhi tingkat gaji yang sering
diluar kemampuan perusahaan untuk mengendalikannya. Faktor-faktor ini sekaligus menjadi
tantangan dalam perencanaan dan penentuan gaji. Adapun faktor-faktor itu adalah:
Tingkat upah dan gaji bisa sangat tergantung pada ketersediaan (supply) tenaga kerja di pasar
tenaga kerjadan permintaan tenaga kerja. Untuk tenaga-tenaga kerja yang langka, tingkat upah
dan gajinya dapat jauh melebihi tingkat gaji bila dilihat dari kacamata evaluasi jabatan.
Serikat Buruh
Serikat buruh bisa menjadi kekuatan yang sangat besar dalam suatu perusahaan, yang dapat
memakasa perusahaan untuk memberikan upah atau gaji yang lebih besar bila dibandingkan
dengan hasil evaluasi jabatan.
Pemerintah
Pemerintah sebagai mana kita ketahui merupakan lembaga yang berkepentingan dengan
kesejahteraan pekerja sebagai warga negara, dan juga terhadap kelangsungan hidup perusahaan.
Pemerintah mempunyai kekuasaan yang besar dalam mengatur perusahaan-perusahaan.
Pemerintah dapat menentukan tarif upah minimum, jam kerja standar, dan tunjangan yang tidak
boleh tidak harus dipatuhi oleh pengusaha, dimana bisa terjadi upah minimum para pekerja
melebihi yang telah ditentukan oleh evaluasi jabatan.
Kebijakan penggajian yang dipakai perusahaan, seperti mengusahakan gaji diatas harga pasar
dalam upaya menghadapi persaingan, bisa mrenaikan gaji diatas rata-rata harga pasar. Kebijakan
untuk selalu memperhatikan tuntutan serikat buruh untuk mencegah terjadinya kerusuhan yang
kadang-kadang menimbulkan biaya yang sangat besar.
Faktor Internasional
Ketika perusahaan berkembang di segala penjuru dunia, tantangan yang muncul dalam
penggajian adalah penyesuaian dengan situasi dinegara yang bersangkutan. Sehingga dapat
terjadi jabatan yang sama dinegara yang berbeda akan terdapat perbedaan tingkat gaji, atau untuk
merangsang seseorang agar bersedia ditempatkan disuatu negara yang mungkin tidak diminati
memerlukan penyesuaian.
Ada kalanya satu pekerjaan yang berbeda tetapi memiliki poin yang sama atau derajat yang sama
mempunyai tingkat gaji yang berbeda. Misalnya, nilai poin untuk pekerjaan juru rawat yang
biasanya didominasi wanita dan ahli listrik yang biasanya didominasi laki-laki tingkat gajinya
berbeda dimana ahli listrik mendapatkan gaji yang lebih besar. Di lain pihak, dalam satu
pekerjaan misalnya ahli mesin yang didomisani laki-laki dan hanya ada sedikit wanita, kaum pria
digaji lebih besar dan hal ini sebenarnya melanggar persamaan hak.
Tenaga kerja merupakan salah satu komponen biaya yang sangat berpengaruh terhadap harga
pokok barang. Tingginya harga pokok dapat menurunkan penjualan dan keuntungan perusahaan.
Tidak mampunya perusahaan dalam mencapai tinngkat keuntungan tertentu akan mengakibatkan
kemampuan perusahaan membayar pegawai dan menarik investor menurun. Untuk mengatasi
tantangan ini biasanya perusahaan mencoba mendesain kembali pekerjaan, mengotomatisasi
pekerjaan, dan menciptakan sistem penggajian bertingkat (two–tiered wage). Sistem penggajian
bertingkat menciptakan dua struktur gaji. Satu untuk pegawai lama dan satu untuk pegawai baru.
Pegawai mendapatkan gaji permulaan dengan jumlah tertentu kemudian dapat meningkat ke
jumlah yang lebih tinggi. Sistem ini mengakibatkan pegawai yang baru direkrut akan
mendapatkan gaji yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lama, meskipun sesungguhnya
pekerjaan mereka sebanding bila dilihat dari faktor-faktor yang dikompensasi. Cara ini memang
dapat menurunkan biaya, tetapi pada akhir-akhir ini para pegawai melalui serikat pekerja telah
mempertanyakan tentang ketidakadilan sistem ini. Kemudian pendekataan lain dilakukan dengan
sistem bonus. Gaji yang diterima relatif tetap, kemudian diberikan bonus kepada pegawai bila
perusahaan mendapatkan keuntungan , dan bila perusahaan dalam situasi sulit tidak perlu
mengeluarkan biaya yang besar untuk pegawai.
2.4 SURVEY BENCHMARKING KOMPENSASI
Proses benchmarking memiliki beberapa metode. Salah satu metode yang paling terkenal dan
banyak diadopsi oleh organisasi adalah metode 12, yang diperkenalkan oleh Robert Camp, dalam
bukunya The search for industry best practices that lead to superior performance. Productivity
Press .1989.Langkah metode 12 terlalu luas untuk dijabarkan. Agar mudah, metode 12 tersebut
bias diringkas menjadi 6 bagian utama yakni :
Identifikasi problem apa yang hendak dijadikan subyek. Bisa berupa proses, fungsi, output dsb.
Identifikasi industri yang menjadi pemimpin/leader di bidang usaha serupa. Anda bisa melihat
didalam asosiasi industri, survey, customer, majalah finansial yang mana industri yang menjadi
top leader di bidang sejenis.
Lakukan survey pada industri untuk pengukuran dan praktek yang dilakukan.Anda bisa
menggunakan survey kuantitatif atau kualitatif untuk mendapatkan data dan informasi yang
relevan sesuai problem yang diidentifikasi di langkah awal.
Kunjungi ’best practice’ perusahaan untuk mengidentifikasi area kunci praktek usaha. Beberapa
perusahaan biasanya rela bertukar informasi dalam suatu konsorsium dan membagi hasilnya
didalam konsorsium tersebut.
Implementasikan praktek bisnis yang baru dan sudah diperbaiki prosesnya. Setelah
mendapatkan best practice perusahaan, dan mendapatkan metode/teknik cara pengelolaannya,
lakukan proyek peningkatan kinerja dan laksanakan program aksi untuk implementasinya.
Secara umum manfaat yang diperoleh dari benchmarking dapat dikelompokkan menjadi (Ross,
1994 pp.239-240) :
Perubahan Budaya, Memungkinkan perusahaan untuk menetapkan target kinerja baru yang
realisitis berperan menyakinkan setiap orang dalam organisasi dan kredibilitas target.
Perbaikan Kinerja Membantu perusahan mengetahui adanya gap-gap tertentu dalam kinerja dan
untuk memilih proses yang akan diperbaiki.
Peningkatan kemampuan sumber daya manusia memberikan dasar bagi pelatihan Karyawan
menyadari adanya gap antara yang mereka kerjakan dengan apa yang dikerjakan karyawan lain
diperusahaan lain. Keterlibatan karyawan dalam memecahkan permasalahan sehingga karyawan
mengalami peningkatan kemampuan dan keterampilan
Untuk dapat melakukan benchmarking yang berhasil, manajemen hendaknya memahami terlebih
dahulu proses-proses yang dimiliki. Beberapa hal yang penting diperhatikan adalah:
manajemen melakukan pemetaan proses untuk mendefinisikan proses yang ada, termasuk top-
down flowcharts, wall maps, product process maps atau value-added flow analysis,
mengidentifikasi harapan pelanggan terhadap proses yang dimiliki dengan cara mereviu
pengukuran kinerja proses yang ada dibandingkan dengan harapan pelanggan,
menggunakan teknik analisis tertentu untuk memahami sebab-sebab inefisiensi dalam proses
(beberapa teknik seperti cause-effect diagram, Pareto diagram, dan control charts,
mengidentifikasi target benchmark berbasis analisis kinerja pesaing, dan harapan pelanggan.
Istilah benchmarking selanjutnya dapat didefinisikan dengan berbagai pengertian, seperti halnya:
Ensiklopedi Wikipedia mendefinisikannya dengan “the process of comparing the cost, cycle
time, productivity, or quality of a specific process or method to another that is widely considered
to be an industry standard or best practice” (http://en.wikipedia.org/wiki/Benchmarking).
David Kearns (CEO dari Xerox) menyatakan bahwa benchmarking adalah suatu proses
pengukuran terus-menerus atas produk, jasa dan tata cara kita terhadap pesaing kita yang terkuat
atau badan usaha lain yang dikenal sebagai yang terbaik.
Goetsch dan Davis mendefinisikannya sebagai proses pembanding dan pengukuran operasi atau
proses internal organisasi terhadap mereka yang terbaik dalam kelasnya, baik dari dalam maupun
dari luar industri (Tjiptono & Diana, 2003: 232-233; Yamit, 2002: 134).
Berbagai pengertian diatas jika dicermati memiliki banyak persamaan, yakni bahwa tujuan utama
patok duga adalah untuk menemukan kunci atau rahasia sukses dan kemudian mengadaptasi dan
memperbaikinya agar dapat diterapkan pada perusahan yang melaksanakan patok duga tersebut.
Benchmarking merupakan proses belajar yang berlangsung secara sistematis, terus menerus, dan
terbuka. Berbeda dengan penjiplakan (copywriting) yang dilakukan secara diam-diam, kegiatan
patokduga merupakan tindakan legal dan tidak melanggar hukum. Dalam dunia bisnis modern
meniru dianggap sah asal tidak dilakukan secara langsung dan mentah-mentah. Benchmarking
memang dapat diartikan sebagai meniru dari paling hebat untuk membuatnya sebagai referensi
(Yamit, 2002: 134). Kegiatan ini dilandasi oleh kerjasama antar dua buah institusi (perusahaan)
untuk saling menukar informasi dan pengalaman yang sama-sama dibutuhkan.
Dari berbagai definisi diatas menurut Tjiptono (2003: 234) juga dapat ditarik beberapa
kesimpulan, yaitu :
Benchmarking merupakan kiat untuk mengetahui tentang bagaimana dan mengapa suatu
perusahaan yang memimpin dalam suatu industri dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara
lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya.
Fokus dari kegiatan benchmarking diarahkan pada praktik terbaik dari perusahan lainnya. Ruang
lingkupnya makin diperluas yakni dari produk dan jasa menjalar kearah proses, fungsi, kinerja
organisasi, logistik, pemasaran, dan lain-lain.
Praktik banchmarking berlangsung secara sistematis dan terpadu dengan praktik manajemen
lainnya, misalnya TQM, corporate reengineering, analisis pesaing, dll.
Kegiatan patok duga perlu keterlibatan dari semua pihak yang berkepentingan, pemilihan yang
tepat tentang apa yang akan di- benchmarking-kan, pemahaman dari organisasi itu sendiri,
pemilihan mitra yang cocok dan kemampuan untuk melaksanakan apa yang ditemukan dalam
praktik bisnis. Dalam melakukan patok duga, terdapat empat cara yang biasa digunakan, yakni:
Riset in-house. Cara ini dilaksanakan dengan melakukan penilaian terhadapat informasi
perusahan sendiri maupun informasi yang ada di publik. Perusahaan hanya mencari informasi
mengenai hasil kinerja perusahaan lain baik fungsi maupun prosesnya.
Riset pihak ketiga. Cara yang ditempuh adalah dengan membiayai kegiatan patok duga yang
akan dilakukan perusahaan surveyor. Biasaya pihak ketiga ini melakukan patok duga untuk
informasi yang sulit di dapat dari pesaing bisnis.
Selain itu dapat pula diselenggarakan forum diskusi panel untuk memeperoleh masukan yang
luas dan banyak misalnya tentang keinginan pelanggan.
Pertukaran langsung. Pertukaran ini dilakukan untuk mengawali kunjungan langsung, dan hal
tersebut dilaksanakan melalui kuesioner, survey melalui telepon, dan lainnya.
Kunjungan langsung. Cara keempat berupa kunjungan ke lokasi mitra patok duga. Cara yang
dianggap paling efektif ini, dilakukan dengan wawancara dan tukar informasi (Tjiptono & Diana,
2003: 234).
Benchmarking merupakan proses belajar yang berlangsung secara sistematis, terus menerus, dan
terbuka. Berbeda dengan penjiplakan (copywriting) yang dilakukan secara diam-diam, kegiatan
patokduga merupakan tindakan legal dan tidak melanggar hukum. Dalam dunia bisnis modern
meniru dianggap sah asal tidak dilakukan secara langsung dan mentah-mentah. Benchmarking
memang dapat diartikan sebagai meniru dari paling hebat untuk membuatnya sebagai referensi
(Yamit, 2002: 134). Kegiatan ini dilandasi oleh kerjasama antar dua buah institusi (perusahaan)
untuk saling menukar informasi dan pengalaman yang sama-sama dibutuhkan Praktek
benchmarking merupakan pekerjaan berat yang menuntut kesiapan “fisik” dan “mental”
pelakunya. Secara “fisik” , karena dibutuhkan kesiapan sumber daya manusia dan teknologi yang
matang untuk melakukan benchmarking secara akurat. Sedangkan secara “mental” adalah bahwa
pihak manajemen perusahaan harus bersiap diri bila setelah dibandingkan dengan pesaing,
ternyata mereka menemukan kesenjangan yang cukup tinggi. Pada titik ini sangat terbuka
kemungkinan terjadinya merjer atau akusisi, sehingga memberikan dampak yang positif dan
saling menguntungkan.
Ki Hadjar Dewantara beberapa puluh tahun lalu, diinisiasi telah mengemukakan konsep
benchmarking dalam bentuk “sederhana”. Konsep yang diajukan dengan bahasa Jawa itu, adalah
3N, yaitu:
Niru ‘mencontoh/memanfaatkan
Ungkapan tersebut menegaskan bahwa benchmarking tidak hanya sekadar memindahkan sistem
dari satu institusi ke institusi lain, tetapi diperlukan upaya kreatif dan inovatif sesuai dengan
kondisi, budaya, dan kemampuan. Sementara itu, institusi yang dijadikan acuan pembanding
akan terdorong untuk melakukan perbaikan, pengelolaan dan meningkatkan standar mutu Dalam
rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan, suatu institusi perlu menetapkan standar baru
yang lebih tinggi. Untuk itu, perlu dilakukan benchmarking sebagai inspirasi atau cita-cita. Ada
dua jenis benchmarking, yaitu benchmarking internal dan benchmarking eksternal.
Benchmarking internal upaya pembandingan standar antar bagian/jurusan/fakultas/atau unit
institusi. Benchmarking eksternal adalah upaya pembandingan standar internal institusi terhadap
standar eksternal institusi lain. Selain itu, diperlukan masukan dari hasil monitoring, evaluasi
diri, temuan audit mutu akademik internal, permintaan tindakan koreksi (PTK), dan program
peningkatan mutu sebagai cermin kemampuan diri. Monitoring dilaksanakan untuk mengamati
pelaksanaan standar. Hasil monitoring menginformasikan tentang pelaksanaan standar, yang
mencakup waktu, substansi, dan tahap pelaksanaannya. Monitoring bermanfaat untuk
meluruskan sesegera mungkin bila terjadi ketidakpatuhan pelaksanaan terhadap rencana atau
standar serta mengingatkan bila ada kelalaian.
Evaluasi diri adalah usaha untuk mengetahui kondisi nyata dari sebuah proses. Evaluasi diri
harus memuat informasi yang sahih (valid) dan terpercaya (reliability). Di atas dua prinsip di
atas, terdapat nilai-nilai yang melandasi pelaksanaan evaluasi, yakni objektivitas (objectivity)
dan kejujuran (honesty). Dengan evaluasi diri akan diketahui kondisi objektif sebuah institusi
(perusahan/PT) dan sekaligus dapat ditentukan pengembangan serta peningkatannya pada masa
berikutnya. Selain benchmarking dan masukan internal, diperlukan juga masukan dari
stakeholders agar ada relevansi produk dengan stakeholders. Dorongan untuk melakukan
benchmarking banyak ditentukan oleh faktor kepuasan stakeholders. Kepuasan stakeholders
adalah tingkat perasaan seseorang/pengguna setelah membandingkan kinerja atau hasil yang
dirasakan dibandingkan dengan harapannya. Semakin banyaknya perguruan tinggi misalnya,
membuat stakeholders mengetahui dan meminta standar mutu dan pelayanan yang lebih baik.
Kepuasan pelanggan pun semakin lama semakin meningkat. Kegiatan benchmarking pun juga
harus dilaksanakan secara berkelanjutan sehingga akan tercapai continuous quality improvement
(CQI).
Reverse Engineering Dalam tahap ini dilakukan perbandingan karakteristik produk, fungsi
produk dan kinerja terhadap produk sejenis dari pesaing. Tahap ini tidak melibatkan proses patok
duga untuk bisnis, dan cenderung berorientasi teknis, dengan pendekatan rekayasa produk
termasuk membedah karateristik produk
Process BenchmarkingKonsep ini tidak hanya membatasi lingkupnya pada proses bisnis pesaing,
tetapi memiliki cakupan yang lebih luas dengan anggapan dasar bahwa beberapa proses bisnis
perusahaan terkemuka yang sukses memiliki kemiripan dengan perusahaan yang akan
melakukan benchmarking.
Strategic Benchmarking Merupakan suatu proses yang sistematis untuk mengevaluasi alternatif,
implementasi strategi bisnis dan memperbaiki kinerja dengan memahami dan mengadaptasi
strategi yang telah berhasil dilakukan oleh mitra eksternal yang telah berpartisipasi dalam aliansi
bisnis. Dalam konsep ini dibahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan arah strategis jangka
panjang.
Global Benchmarking Generasi ini mencakup semua generasi yang sebelumnya dengan
tambahan bahwa cakupan geografisnya sudah mengglobal dengan membandingkan terhadap
mitra global maupun pesaing global. Pengklasifikasian menjadi lima generasi tersebut menurut
Tjiptono (2003: 237) tidak berarti bahwa generasi-generasi terdahulu sudah tidak berlaku lagi.
Pada praktiknya, kelima konsep tersebut masih berlaku hingga saat ini.
Benchmarking Internal Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan operasi suatu bagian
dengan bagian internal lainnya dalam suatu organisasi, seperti kinerja setiap departemen, divisi,
dan cabang.
Benchmarking Generik Patok duga generik merupakan perbandingan pada proses bisnis
fundamental yang cenderung sama di setiap industri atau perusahaan, seperti penerimaan
pesanan, dan pengembangan strategi. Dalam hal-hal tersebut dapat diadakan patok duga
meskipun perusahaan itu berada di bidang industry yang berbeda.
Keempat jenis patok duga tersebut tidak meniadakan jenis khusus lain, seperti patok duga
strategik, patok duga operasional, dan patok duga global.
Proses benchmarking di dalam bisnis harus didasarkan pada konsep 5W2H yang dikembangkan
oleh Alan Robinson. Konsep ini ditujukan untuk menjawab 7 pertanyaa. Lima pertanyaan ini
diawali dengan huruf w, yaitu who, what, when, where dan why) dan sisa kedua pertanyaan
diawali dengan huruf h, yaitu how dan how much. Konsep 5W2H merupakan langkah awal yang
baik karena memfokuskan para partisipan dalam proses benchmarking agar menjadi “mur dan
baut” atau pengintegrasi utama dalam pelaksanaannya. Jika perusahaan inisiator mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada pada 5W2H tersebut pada akhir proses
benchmarking, maka informasi akan membantu perusahaan, misalnya, memperbaiki dan
meningkatkan pelayanannya terhadap kepuasaan konsumen. Dr. Armand V. Feigenbaum dalam
Harington dan Harington (1995) memfokuskan perhatian pada 10 benchmarks yang langsung
merupakan upaya perbaikan (improvement effort).
10 benchmarks untuk keberhasilan kualitas (quality success), adalah :
Kualitas diimplementasikan dengan suatu sistem total yang dikaitkan dengan pelanggan
(custumers) dan pemasok (suppliers).
Filosofi manajemen perbaikan total (total improvement management) melalui upaya perbaikan
10 benchmarks yang diajukan oleh Dr. Armand Feigenbaum yang merupakan Bapak
Pengendalian Kualitas Terpadu (father of total quality control), didukung oleh Dr. Joseph M.
Juran, pakar kualitas yang lain, percaya bahwa suatu usaha perbaikan dikendalikan melalui many
small, step by step improvements, di mana masing-masing memberikan penghematan kepada
perusahaan.
Dr. Joseph M. Juran menggunakan analisis pareto untuk mendefinisikan beberapa masalah kritis
dan menugaskan tim kerja untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam perusahaan.
Juran mengemukakan apa yang disebut sebagai the spiral of progress in quality, apa yang
dikemukakan Joseph M. Juran adalah serupa dengan yang dikemukakan oleh Dr. Edward
Deming yang terkenal dengan Roda Deming (Demings Wheel)
2.4.8 Benchmarking Sebagai Instrumen PerbaikanIdentifikasi proses dan pemanufakturan serta
operasi lainnya di dalam perusahaan yang membutuhkan perbaikan Mencari perusahaan lain
yang sukses dalam melakukan aktivitas dan proses operasinya
Empat cara yang digunakan dalam melakukan benchmarking, adalah :
Riset in-house Melakukan penilaian terhadap informasi dalam perusahaan sendiri maupun
informasi yang ada di public.
Riset Pihak Ketiga Membiayai kegiatan benchmarking yang akan dilakukan oleh perusahaan
surveyor.
Pertukaran Langsung Pertukaran informasi secara langsung dapat dilakukan melalui kuesioner,
survei melalui telepon, dll
Kunjungan Langsung Melakukan kunjungan ke lokasi mitra benchmarking (cara ini dianggap
yang paling efektif )
Pengumpulan informasi;
Analisis; dan
Implementasi
Kemudian oleh Goetsch dan Davis (1994, pp.416-423) diperinci menjadi 14 langkah, yaitu :
Komiten manajemen
Pengumpulan data
Perencanaan tindakan untuk mengurangi kesejangan yang ada atau bahkan mengunggulinya
Implementasi perubahan
Pemantauan
Semua orang yang berhubugan dengan suatu proses harus memiliki pemahaman yang sama
terhadap proses yang bersangkutan.
Dokumentasi sebelum adanya perubahan berguna dalam pengukuran peningkatan kinerja setelah
dilaksanakannya benchmarking.
Mitra benchmarking belum tentu akrab dengan proses yang dimiliki suatu organisasi.
Benchmarking membutuhkan tujuan yang lebih spesifik dan berorientasi pada bagaimana
(proses), bukan pada apa (hasil)
Komposisi Tim Yang Kurang Tepat Perlu pelibatan terhadap orang-orang yang berhubungan dan
menjalankan proses organisasi sehari-hari dalam pelaksanaan benchmarking
Bersedia Menerima “OK-in-Class” Seringkali organisasi bersedia memilih mitra yang bukan
terbaik dalam kelasnya. Hal ini dikarenakan : Yang terbaik di kelasnya. tidak berminat untuk
berpartisipasi, Riset mengidentifikasi mitra yang keliru, Perusahaan benchmarking malas
berusaha dan hanya memilih mitra yang lokasinya dekat.
Penekanan Yang Tidak Tepat Tim terlalu memaksakan aspek pengumpulan dan jumlah data.
Padahal aspek yang paling penting adalah poses itu sendiri.
Dukungan Manajemen Puncak Yang Terbatas . Dukungan total dari manajemen puncak
dibutuhkan untuk memulai benchmarking, membantu tahap persiapan dan menjamin tercapainya
manfaat yang dijanjikan
2.4.10 Jenis-jenis Metode Benchmark
Metode peningkatan kinerja yang dilakukan melalui Benchmark pada umumnya meliputi
pengukuran dan perbandingan kinerja terhadap :
Dalam praktek pengukurannya, ada 3 jenis benchmarking yang dikenal selama ini, yaitu:
Internal : yaitu pengukuran dan perbandingan kinerja antar proses atau produk dalam organisasi
itu sendiri.
Competitive : yaitu pengukuran dan perbandingan kinerja yang berfokus pada produk dan proses
yang setara dengan competitor.
Functional : yaitu pengukuran dan perbandingan kinerja yang berfokus pada fungsi generik,
seperti pemrosesan order nasabah
Berhubung proses identifikasi dan transfer praktek bisnis cenderung memakan waktu (time
consuming) ,maka kendala yang terutama dalam melakukan benchmarking adalah kurangnya
motivasi untuk mengadopsi praktek bisnis, kurangnya informasi yang memadai mengenai cara
adaptasi dan penggunaannya secara efektif dan kurangnya kapasitas (sumberdaya ataupun
keterampilan) dalam penyerapan praktek bisnis Kebanyakan orang mempunyai kecenderungan
untuk belajar, membagi pengalaman, dan bertindak lebih baik. Kecenderungan ini dihalangi oleh
sebab-sebab administratif, struktural, budaya yang berpengaruh negatif pada keseluruhan
organisasi, antara lain:
Struktur organisasi silo, di mana masing-masing unit fokus pada tujuan sendiri, sehingga
kepentingan bersama lebih dipandang dari sudut pandang masing-masing unit.
Budaya menghargai keahlian dan penciptaan pengetahuan lebih dominan disbanding budaya
membagi keahlian.
Sistem yang tidak memungkinkan atau menghargai upaya untuk melakukan knowledge
sharing atau keterampilan
Kurangnya kepercayaan
Kurangnya sarana baik waktu, tempat pertemuan, kesempatan untuk menampung ide-ide yang
menunjang produktivitas
Kepercayaan bahwa pengetahuan tetap dimiliki oleh unit yang di-benchmark, atau sindrom
“bukan hasil karya unit kami”
Secara umum tahap-tahap pelaksanaan dalam benchmarking dapat disampaikan sebagai berikut :
Inisiasi–meliputi semua hal yang membawa kepada keputusan mengenai perlunya untuk
mentransfer praktek, seperti penemuan, ataupun proses kerja yang efektif dalam sebuah
organisasi.
Implementasi–aliran sumber daya antara penerima dan unit sumber, hubungan social terjalin, dan
upaya-upaya untuk melakukan transfer sudah lebih dapat diterima oleh pelaku benchmark
a. Kompensasi Finansial
Kompensasi finansial terdiri dari kompensasi tidak langsung dan kompensasi langsung.
Kompensasi langsung terdiri dari pembayaran karyawan dalam bentuk upah, gaji, bonus atau
komisi. Kompensasi tidak langsung atau benefit, terdiri dari semua pembayaran yang tidak
tercakup dalam kompensasi finansial langsung yang meliputi hiburan, berbagai macam asuransi
jasa sepertiperawatan anak atau kepedulian keagamaan dan sebagainya.
Kompensasi non finansial yaitu penghargaan non finansial seperti pujian, menghargai diri sendiri
dan pengakuan yang dapat mempengaruhi motivasi kerja karyawan, produktivitas dan kepuasan.
c. Kompensasi Langsung
Kompensasi langsung merupakan penghargaan yang diterima karyawan dalam bentuk uang.
Kompensasi langsung dapat berupa upah, gaji dan insentif.. Dessler (2009) menjelaskan bahwa
“Kompensasi langsung adalah pembayaran langsung dalam bentuk upah, gaji, insentif, komisi
dan bonus”. Sedangkan menurut Wibowo (2011) “Kompensasi langsung adalah kompensasi
manajemen seperti upah dan gaji atau pay for performance, seperti insentif dan gain sharing”.
Menurut Nawawi (2011) “Kompensasi langsung adalah penghargaan berupa gaji atau upah, yang
dibayar berdasarkan tenggang waktu yang tetap”. Kompensasi langsung terdiri dari gaji/upah dan
insentif.
Kompensasi tidak langsung meliputi semua imbalan finansial yang tidak tercakup dalam
kompensasi langsung. Kompensasi tidak langsung menurut Nawawi (2011) adalah “Program
penghargaan kepada karyawan sebagai bagian keuntungan perusahaan”. Sedangkan menurut
Notoadmodjo (2009), kompensasi tidak langsung adalah pemberian kompensasi yang tidak
dikaitkan langsung dengan prestasi kerja karyawan. Kompensasi tidak langsung ini disebut juga
kompensasi pelengkap karena berfungsi melengkapi kompensasi yang diterima karyawan
melalui upah atau gaji. Jadi kompensasi tidak langsung merupakan balas jasa yang diberikan
dalam bentuk penghargaan karyawan yang tidak dikaitkan dengan prestasi kerja sebagai bagian
dari keuntungan perusahaan yang sesuai dengan kemampuan perusahaan.
b) Mempertahankan karyawan yang baik. Jika program kompensai dirasakan adil secara
internal dan kompetitif secara eksternal, maka karyawan yang baik (yang ingin dipertahankan
oleh perusahaan) akan merasa puas. Sebaliknya, apabila kompensai dirasakan tidak adil
maka akan menimbulkan rasa kecewa, sehingga karyawan yang baik akan meninggalkan
perusahaan. Oleh karena itu agar dapat mempertahankan karyawan yang baik, maka program
kompensasi dibuatsedemikian rupa, sehingga karyawan yang potensial akan merasa dihargai dan
bersediauntuk tetap bertahan di perusahaan.
c) Meraih keunggulan kompetitif. Adanya program kompensasi yang baik akan memudahkan
perusahaan untuk mengetahui apakah besarnya kompensasi masih merupakan biaya yang
signifikan untuk menjalankan bisnis dan meraih keunggulan kompetitif. Apabila sudah tidak
signifikan lagi, maka perusahaan mungkin akan beralih dengan menggunakan sistem komputer
dan mengurangi jumlah tenaga kerjanya atau berpindah ke daerah yang tenaga kerjanya lebih
murah.
e) Melakukan pembayaran sesuai aturan hukum.Dalam hal ini kompensasi yang diberikan
kepada karyawan disesuaikan dengan aturanhukum yang berlaku. Contoh, sesuai peraturan
pemerintah patokan minimal pemberian upah yang berlaku saat ini adalah sebesar UMR (upah
minimum regional), makaperusahaan harus memberikan kompensasi kepada karyawannya
minimum sebesar UMR tersebut.
Tujuan dari pemberian kompensasi tersebut saling terkait, artinya apabila pemberiankompensasi
tersebut mampu mengundang orang-orang yang potensial untuk bergabung dengan perusahaan
dan membuat karyawan yang baik untuk tetap bertahan di perusahaan,serta mampu memotivasi
karyawan untuk meningkatkan kinerjanya, berarti produktivitas juga akan meningkat dan
perusahaan dapat menghasilkan produk dengan harga yang kompetitif, sehingga perusahaan
lebih dimungkinkan untuk dapat mencapai sasaran strategisnya yaitu mempertahankan
kelangsungan hidup dan mengembangkan usaha.
Apabila perhitungan kompensasi didasarkan pada jabatan atau keterampilan yang relevan dengan
jabatan, maka perusahaan juga akan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menarik,
memotivasi dan mempertahankan karyawan yang berpotensi dan mempunyai kinerja tinggi. Di
satu pihak kebutuhan perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan
mengembangkan usahanya akan tercapai, di pihak lain karyawan juga dapat menikmati hasil
berupa kompensasi yang diberikan oleh perusahaan dengan rasa puas. Dengan demikian
kompensasi dapat dipandang sebagai alat untuk mengelola sumber daya manusia secara efektif
sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan kebutuhankaryawan itu sendiri.
Dasar perhitungan kompensasi dipakai untuk mendapatkan sistem pembayaran kompensasi yang
adil, dan menjadikan perusahaan menarik, mampu bertahan hidup dan mampu memotivasi
karyawannya serta dapat melakukan penghematan biaya. Menurut Gomez-Mejia, et al. (1995),
dasar perhitungan kompensasi dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu:
Pendekatan pekerjaan atau jabatan mengasumsikan bahwa pekerjaan dapat dilakukan oleh orang
yang dibayar untuk jabatan tertentu, sedangkan pendekatan keterampilan mengasumsikan bahwa
karyawan tidak dibayar karena jabatan yang disandangnya, tetapi lebih pada kemampuannya
untuk menyelesaikan tugas.
Ada tiga komponen kunci untuk mengembangkan rencana kompensasi berdasarkan jabatan.
Metode evaluasi jabatan memusatkan diri pada jabatan sebagai unit kepentingan.Beberapa
metode mengevaluasi jabatan secara keseluruhan, sedangkan beberapa lainnyamenggunakan
faktor-faktor yang dapat dikompensasi. Metode evaluasi jabatan yang sudah sangat populer
dipakai untuk mengevaluasi posisi eksekutif, manajer dan professional maupun posisi teknik,
administrasi dan manufaktur adalah metode Hay Guide Chart-Profile. Secara operasional,
sistem ini mengandalkan tiga faktor utama yang bisa dikompensasi, yaitu pemecahan masalah
(problem solving), kecakapan ( know how) dan pertanggungjawaban (accountability). Menurut
metode ini, faktor-faktor yang penting mempunyai nilai tinggi, sedangkan faktor-faktor yang
kurang penting mempunyai nilai yang lebih rendah. Evaluasi jabatan ini hanya untuk internal
perusahaan bukan untuk menghitung tingkat upah di pasar atau perusahaan lain. Selain itu
evaluasi jabatan ini hanya fokus pada nilai tugas masing-masing jabatan, bukan pada orang yang
melaksanakannya (Schuler dan Jackson, 1999; Gomez-Mejia et al., 1995).
Untuk mencapai keadilan eksternal, perusahaan harus melakukan survei pasar. Dalam hal ini
perusahaan dapat menjalankan sendiri survei tersebut atau membeli dari konsultan. Dari hasil
survei ini, perusahaan dapat membuat kebijakan pembayaran kompensasi, apakah akan
membayar lebih tinggi, lebih rendah atau mengikuti pasar. Dasar pemikiran untuk membayar
lebih tinggi adalah memaksimalkan kemampuan perusahaan untuk menarik dan
mempertahankan karyawan yang berkualitas dan untuk meminimalkan ketidakpuasan karyawan
terhadap kompensasi. Kebijakan untuk membayar lebih rendah dari pasar akan mengakibatkan
perusahaan terhalang dalam menarik karyawan-karyawan yang potensial, sedangkan kebijakan
yang lazim dijalankan oleh perusahaan adalah mengimbangi persaingan. Meskipun kebijakan ini
tidak memberikan keunggulan kompetitif, namun tidak menyebabkan perusahaan menjadi rugi.
Berbicara mengenai jabatan, menurut pendapat penulis masih banyak perusahaan yang
menempatkan karyawan pada jabatan yang tidak semestinya, artinya jabatan yang diduduki tidak
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki karyawan yang bersangkutan. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar perusahaan di sini masih merupakan perusahaan keluarga, sehingga
karyawan yang menduduki jabatan tertentu dalam suatu perusahaan adalah orang-orang yang
mempunyai hubungan kekeluargaan dengan pemilik perusahaan. Menurut pemilik perusahaan
mereka adalah orang yang dapat dipercaya, tanpa memperhatikan apakah yang bersangkutan
tepat untuk menduduki jabatan tersebut dan mampu menjalankan tugas dan kewajibannya
dengan baik.
Hal ini seringkali mengakibatkan karyawan yang berpotensi berada di bawah pimpinan orang-
orang yang tidak mempunyai kemampuan yang memadai. Kondisi ini juga mengakibatkan
pemberian kompensasi dirasakan oleh karyawan lain tidak adil. Mereka yang masih ada
hubungan keluarga dengan pemilik perusahaan akan mendapatkan kompensasi yang lebih besar
dibandingkan dengan karyawan lain yang mempunyai kemampuan lebih baik namun tidak
mempunyai hubungan kekeluargaandengan pemilik perusahaan. Jadi dalam hal ini pengaruh
pemilik perusahaan sangat besar sekali. Kondisi ini merupakan penghambat, sebab karyawan
tidak termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya, bahkan mereka akan cenderung menjauhi
perusahaan yang demikian, apabila ada peluang untuk pindah ke perusahaan lain.
2.6 UNDANG – UNDANG DAN PERATURAN KOMPENSASI
Pengupahan telah diatur pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(“UU Ketenagakerjaan”). Menurut Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Maka dari itu, pemerintah meminta perusahaan memberikan kompensasi dalam bentuk-bentuk
sebagai berikut:
a. upah minimum;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
Selanjutnya, masih pada pasal 88 yaitu ayat (4) pemerintah menetapkan upah minimum
berdasarkan kebutuhan hidup layak, produktivitas, serta pertumbuhan ekonomi. Pemerintah pun
melarang pembayaran upah yang lebih rendah dari upah minimum sebagaimana diatur pada
Pasal 90. Jika pengusaha memiliki keberatan dalam membayar upah minimum, ia harus
melakukan penangguhan, sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor: KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan
Upah Minimum.
Pengaturan pengupahan juga tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, meskipun sudah mencapai kesepakatan
antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh. Kesepakatan yang dibuat
bisa dibatalkan demi hukum, dan pengusaha harus memberikan upah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam menyusun struktur dan skala upah, pengusaha perlu mempertimbangkan golongan,
jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja. Selain itu, harus diadakan penyesuaian
secara berkala berdasarkan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.49/MEN/2004 tentang
Ketentuan Struktur dan Skala Upah dapat digunakan sebagai pedoman.
Ketika pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan, maka upah tidak perlu dibayar. Namun, upah
tetap harus dibayarkan jika:
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga
tidak dapat melakukan pekerjaan;
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, diatur untuk
melaksanakan pembayaran upah sebagaimana disebutkan di atas.
Jika komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok
minimal sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kompensasi merupakan balas jasa yang diberikan oleh organisasi / perusahaan kepada
karyawan, yang dapat bersifat finansial maupun non finansial, pada periode yang tetap. Sistem
kompensasi yang baik akan mampu memberikan kepuasan bagi karyawan dan memungkinkan
perusahaan memperoleh, mempekerjakan, dan mempertahankan karyawan. Bagi organisasi /
perusahaan, kompensasi memiliki arti penting karena kompensasi mencerminkan upaya organisasi
dalam mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan karyawannya. Pengalaman
menunjukkan bahwa kompensasi yang tidak memadai dapat menurunkan prestasi kerja, motivasi
kerja, dan kepuasan kerja karyawan, bahkan dapat menyebabkan karyawan yang potensial keluar
dari perusahaan.
Kompensasi yang tinggi pada seorang karyawan mempunyai implikasi bahwa organisasi
memperoleh keuntungan dan manfaat maksimal dari karyawan yang bersangkutan karena
besarnya kompensasi sangat ditentukan oleh tinggi/rendahnya produktivitas kerja karyawan yang
bersangkutan. Semakin banyak pegawai yang diberi kompensasi yang tinggi berarti semakin
banyak karyawannya yang berprestasi tinggi. Banyaknya karyawan yang berprestasi tinggi akan
mengurangi pengeluaran bi aya untuk kerja-kerja yang tidak perlu (yang diakibatkan oleh kurang
efisien dan efektifitasnya kerja). Dengan demikian pemberian kompensasi dapat menjadikan
penggunaan SDM secara lebih efisien dan lebih efektif.
3.2 SARAN
Penulis merasa masih banyak kekurangan dan merasa jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu
setelah makalah ini dibaca diharapkan memberikan saran dan kritikan yang membangun.
DAFTAR PUSAKA
Hanggraeni, Dewi. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Hasibuan, Malayu S. P. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Rachmawati, Ike Kusdyah. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Rivai, Veithzal Rivai dan Ella Jauvani Sagala. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan.
Sunyoto, Danang. 2015. Manajemen dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: CAPS.