Di antara pesan yang terpenting dalam Ilmu Tasawuf adalah
penyadaran diri manusia akan sifat kefanaan dari kehidupan dunia ini. Sebab yang kekal hanya Allah. Karena itu hidup ini benar-benar akan bermakna jika selalu diorientasikan kepada Yang Maha Kekal, Allah Swt. Sebaliknya, apabila kesadaran ini tiada, berarti ia terperangkap serba kefanaan. Ia pun lupa bahwa manusia disebut manusia tidak lain karena ruh atau sukma yang ditiupkan Tuhan masih melekat pada raganya. Begitu sukma meninggalkan raga dan kembali kepadaNya, maka ia dianggap sudah tiada. Ironinya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada Tuhan, detik demi detik kehidupannya justru lebih banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi atau jasmaniyah belaka? Al Ghazali menjawab masalah ini dengan “Teori Cermin” (al Mir'ah) yang tertulis dalam karya spektakuler, Ihyâ' ‘Ulûmuddîn. Menurut al Ghazali, hati manusia itu ibarat cermin, sedang petunjuk atau hidayah Allah bagaikan nûr atau cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih niscaya ia akan bisa menangkap cahaya Illahi dan memantulkan cahaya itu ke sekitarnya. Sebaliknya, jika manusia tidak mampu menangkap ‘sinyal-sinyal’ Illahi, menurut al Ghazali, disebabkan tiga kemungkinan, yaitu: Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya Illahi seterang apapun tidak dapat ditangkap. Mereka adalah orang-orang yang berhati kotor, dan dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor, keji dan aniaya (dzalim). Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang (hijab) yang tidak memungkinkan cahaya Illahi menerpa cermin itu. Mereka adalah orang- orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahiriah sebagai orientasi hidupnya. Ketiga, cermin membelakangi sumber cahaya sehingga tidak mungkin dapat tersentuh oleh cahaya petunjuk Illahi. Mereka adalah orang-orang yang sengaja mengingkari keberadaan Allah. Setiap manusia, sejak ditiupkanNya ruh Illahi, telah dianugerahi ”cermin” tersebut, yaitu suatu perangkat semacam tower antene atau parabola yang berfungsi sebagai penangkap sinyal-sinyal Illahi. Tetapi kenyataannya tidak semua orang mau merawatnya, bahkan cenderung menyia-nyiakannya. Karena itulah al Ghazali mengajarkan suatu cara agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening. Yaitu dengan selalu berusaha memurnikan diri dengan cara menguasai dan mengendalikan nafsu-nafsu rendah (emosional), serta mengikuti perjalanan hidup para nabi melalui berbagai latihan kerohanian dengan cara melakukan amalan ibadah sunnah secara intensif, seperti shalat dan puasa sunnah, dan selalu mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikir bis sirri (dalam hati) yang terus menerus dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Qudsi: ”Ibadat yang paling mendekatkan HambaKu sehingga Aku sayang kepadanya adalah menunaikan semua perintahKu. HambaKu adalah mereka yang mendekatkan diri kepadaKu dan melakukan hal-hal sunnah yang Aku cintai”. (HR. Bukhari dari Abi Hurairah). Meskipun demikian, menurut pandangan kesufian (tasawuf), bukan berarti bahwa melaksanakan berbagai ibadah secara intensif itu kemudian secara otomatis menjadi jaminan akan sampai pada tujuan hakiki ibadah, yakni terjalin hubungan konstan dengan Allah. Bahkan bisa jatuh nilainya menjadi seremonial tanpa isi, jika ibadahnya itu dilaksanakan tanpa sikap batin yang dipimpin semata-mata oleh harapan memperoleh ridha Allah. Demikian juga sebaliknya, sikap batin yang tidak diaktualisasikan dalam bentuk ibadah sebagaimana tuntunan syari’at Islam dinyatakan sebagai bentuk kesombongan spiritual yang mengarah pada zindiq (penyelewengan). Karena itulah Imam Malik (pendiri madzhab Maliki) berfatwa: ”Barangsiapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan syari’at berarti ia adalah zindiq (penyelewengan), dan barangsiapa yang mengamalkan syari’at tanpa bertasawuf berarti ia adalah fasiq (tak bermoral”. Fatwa ini menunjukkan bahwa syari’at dan haqiqat atau fiqh dan tasawuf merupakan pasangan sejoli dalam upaya memurnikan diri agar hati kita menjadi cermin yang bening. Hal ini sekaligus menjadi penjelasan, bahwa antara Syari’at, Haqiqat, dan Ma’rifat bukanlah sebuah tingkatan dengan menisbikan tingkat di bawahnya, ibarat naik kelas dua berarti harus meninggalkan kelas satu, dan seterusnya. Tetapi justru ketiganya merupakan kesatuan yang saling terkait satu sama lain. Kalau tidak demikian itu, maka ia cenderung zindiq, menyeleweng dari tatanan syari’at, misalnya karena merasa dirinya sudah bisa akses (bertaut) dengan Tuhan melalui dzikir, maka merasa tak perlu lagi shalat, sebab shalat pun juga dzikir. Sebaliknya, bagi orang yang merasa masih berada pada maqam syari’at justru takut ngaji ilmu haqiqat (tasawuf), dan ia sudah puas dengan ilmu fiqh (syari’at)-nya, sehingga segala bentuk amalan ibadahnya selalu dipimpin oleh harapan memperoleh pahala seperti yang dijanjikan dalam fiqh. Kalau demikian berarti bahwa ibadahnya itu dilaksanakan tanpa sikap batin yang dipimpin oleh harapan memperoleh ridha Allah. Inilah bentuk fasiq, sikap tak bermoral terhadap Tuhannya. Oleh sebab itulah agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna, maka di kalangan para pengamal tasawuf, setiap ibadah ritual selalu dibarengi atau didahului dengan penggeledahan dan interogasi diri, apakah ibadah yang akan dilakukan itu sudah benar-benar karena Allah semata dan bukan karena yang lain? Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kemurnian hati agar selalu bersih sehingga dengan mudah menangkap cahaya Illahi. Wallahu a’lam bish-shawab.