Anda di halaman 1dari 2

Teori Cermin Imam al Ghazali

Oleh: H. Asmuni Syukir

Di antara pesan yang terpenting dalam Ilmu Tasawuf adalah


penyadaran diri manusia akan sifat kefanaan dari kehidupan dunia ini. Sebab
yang kekal hanya Allah. Karena itu hidup ini benar-benar akan bermakna jika
selalu diorientasikan kepada Yang Maha Kekal, Allah Swt. Sebaliknya, apabila
kesadaran ini tiada, berarti ia terperangkap serba kefanaan. Ia pun lupa
bahwa manusia disebut manusia tidak lain karena ruh atau sukma yang
ditiupkan Tuhan masih melekat pada raganya. Begitu sukma meninggalkan
raga dan kembali kepadaNya, maka ia dianggap sudah tiada.
Ironinya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada Tuhan,
detik demi detik kehidupannya justru lebih banyak tersita untuk hal-hal yang
bersifat jasadi atau jasmaniyah belaka? Al Ghazali menjawab masalah ini
dengan “Teori Cermin” (al Mir'ah) yang tertulis dalam karya spektakuler, Ihyâ'
‘Ulûmuddîn.
Menurut al Ghazali, hati manusia itu ibarat cermin, sedang petunjuk
atau hidayah Allah bagaikan nûr atau cahaya. Dengan demikian jika hati
manusia benar-benar bersih niscaya ia akan bisa menangkap cahaya Illahi
dan memantulkan cahaya itu ke sekitarnya. Sebaliknya, jika manusia tidak
mampu menangkap ‘sinyal-sinyal’ Illahi, menurut al Ghazali, disebabkan tiga
kemungkinan, yaitu:
Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya Illahi seterang apapun
tidak dapat ditangkap. Mereka adalah orang-orang yang berhati kotor, dan
dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor, keji dan aniaya (dzalim).
Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang (hijab) yang
tidak memungkinkan cahaya Illahi menerpa cermin itu. Mereka adalah orang-
orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahiriah sebagai
orientasi hidupnya.
Ketiga, cermin membelakangi sumber cahaya sehingga tidak mungkin dapat
tersentuh oleh cahaya petunjuk Illahi. Mereka adalah orang-orang yang
sengaja mengingkari keberadaan Allah.
Setiap manusia, sejak ditiupkanNya ruh Illahi, telah dianugerahi
”cermin” tersebut, yaitu suatu perangkat semacam tower antene atau
parabola yang berfungsi sebagai penangkap sinyal-sinyal Illahi. Tetapi
kenyataannya tidak semua orang mau merawatnya, bahkan cenderung
menyia-nyiakannya. Karena itulah al Ghazali mengajarkan suatu cara agar
hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening. Yaitu dengan selalu
berusaha memurnikan diri dengan cara menguasai dan mengendalikan
nafsu-nafsu rendah (emosional), serta mengikuti perjalanan hidup para nabi
melalui berbagai latihan kerohanian dengan cara melakukan amalan ibadah
sunnah secara intensif, seperti shalat dan puasa sunnah, dan selalu
mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikir bis sirri (dalam hati) yang
terus menerus dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana dinyatakan dalam
hadits Qudsi: ”Ibadat yang paling mendekatkan HambaKu sehingga Aku
sayang kepadanya adalah menunaikan semua perintahKu. HambaKu adalah
mereka yang mendekatkan diri kepadaKu dan melakukan hal-hal sunnah yang
Aku cintai”. (HR. Bukhari dari Abi Hurairah).
Meskipun demikian, menurut pandangan kesufian (tasawuf), bukan
berarti bahwa melaksanakan berbagai ibadah secara intensif itu kemudian
secara otomatis menjadi jaminan akan sampai pada tujuan hakiki ibadah,
yakni terjalin hubungan konstan dengan Allah. Bahkan bisa jatuh nilainya
menjadi seremonial tanpa isi, jika ibadahnya itu dilaksanakan tanpa sikap
batin yang dipimpin semata-mata oleh harapan memperoleh ridha Allah.
Demikian juga sebaliknya, sikap batin yang tidak diaktualisasikan
dalam bentuk ibadah sebagaimana tuntunan syari’at Islam dinyatakan
sebagai bentuk kesombongan spiritual yang mengarah pada zindiq
(penyelewengan). Karena itulah Imam Malik (pendiri madzhab Maliki)
berfatwa: ”Barangsiapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan syari’at berarti
ia adalah zindiq (penyelewengan), dan barangsiapa yang mengamalkan
syari’at tanpa bertasawuf berarti ia adalah fasiq (tak bermoral”.
Fatwa ini menunjukkan bahwa syari’at dan haqiqat atau fiqh dan
tasawuf merupakan pasangan sejoli dalam upaya memurnikan diri agar hati
kita menjadi cermin yang bening. Hal ini sekaligus menjadi penjelasan, bahwa
antara Syari’at, Haqiqat, dan Ma’rifat bukanlah sebuah tingkatan dengan
menisbikan tingkat di bawahnya, ibarat naik kelas dua berarti harus
meninggalkan kelas satu, dan seterusnya. Tetapi justru ketiganya merupakan
kesatuan yang saling terkait satu sama lain. Kalau tidak demikian itu, maka
ia cenderung zindiq, menyeleweng dari tatanan syari’at, misalnya karena
merasa dirinya sudah bisa akses (bertaut) dengan Tuhan melalui dzikir, maka
merasa tak perlu lagi shalat, sebab shalat pun juga dzikir.
Sebaliknya, bagi orang yang merasa masih berada pada maqam syari’at
justru takut ngaji ilmu haqiqat (tasawuf), dan ia sudah puas dengan ilmu fiqh
(syari’at)-nya, sehingga segala bentuk amalan ibadahnya selalu dipimpin oleh
harapan memperoleh pahala seperti yang dijanjikan dalam fiqh. Kalau
demikian berarti bahwa ibadahnya itu dilaksanakan tanpa sikap batin yang
dipimpin oleh harapan memperoleh ridha Allah. Inilah bentuk fasiq, sikap tak
bermoral terhadap Tuhannya.
Oleh sebab itulah agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna, maka
di kalangan para pengamal tasawuf, setiap ibadah ritual selalu dibarengi atau
didahului dengan penggeledahan dan interogasi diri, apakah ibadah yang
akan dilakukan itu sudah benar-benar karena Allah semata dan bukan
karena yang lain? Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kemurnian
hati agar selalu bersih sehingga dengan mudah menangkap cahaya Illahi.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Anda mungkin juga menyukai