Sintia 7a
Sintia 7a
Cerpen Air Mata Anakku mengangkat kehidupan sehari-hari yang sudah akrab
dengan lingkungan sekitar kita, dalam cerpen ini kita dapat melihat akibat dari cara
didikan yang salah dalam lingkungan sekolah. Terlihat dari kutipan berikut:
“Dengan diam-diam kami diberi jalan pintas.”
Jalan pintas yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah jalan pintas untuk lulus
ketika menghadapi ujian nasional saat SMA, niat para guru adalah membantu anak
didiknya agar semua lulus dan tentu saja agar nama sekolah tidak tercemar dengan
adanya siswa yang tidak lulus. Namun terlihat sekali bahwa niat untuk membantu
pelaksanaannya menghalalkan segala cara. Tanpa sadar guru menjadi pelopor
kecurangan.
Kekurangan dalam cerpen ini adalah cara penyampaian yang kurang begitu
langsung dapat dipahami oleh pembaca, dengan sudut pandang orang pertama yang
menceritakan dalam keadaan gangguan kejiwaan. Sebagian pembaca ada juga yang
binggung dengan judul karena hanya sedikit disinggung di akhir cerita sebagai
berikut.
“Tangis anakku tambah mengeras. Air matanya mengenai safariku. Santi, anak
perempuan terakhirku, seakan tak rela melepas kepergianku ke kantor. Dia
sesenggukan di dadaku. Baju safariku terasa makin basah oleh air matanya.”
Cerita yang diutarakan lebih dominan pada kehidupan sang tokoh yakni orang tua
dari pada sang anak yang dimaksud dalam judul.
Dalam kisah ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa niat yang baik harus
dilaksanakan dengan jalan yang baik pula, apabila dalam suatu lembaga pendidikan
diajarkan pola yang seperti dalam cerita tersebut maka ketika siswa-siswi terjun
dalam kehidupan masyarakat maka yang terjadi akan menghalalkan segala cara
pula untuk kenikmatan dirinya sendiri. Seharusnya guru sebagai seorang pendidik
memberikan contoh yang baik kepada para siswanya. Jika guru mengajarkan hal-
hal yang baik dan tidak berbau kepalsuan atau kebohongan siswa pasti akan lebih
disiplin dalam pendidikan dan tidak melakukan kebohongan atau kepalsuan.