Anda di halaman 1dari 27

BAB I

TINJAUAN TEORI

1.1 Definisi
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi dengan riwayat gawat janin
sebelum lahir, dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan
dan teratur pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan
gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang
mempengarui kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan
(Wiknjosastro, 2009).
Asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi dimana bayi tidak
dapat bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan
tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea, sampai
asidosis. Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami
gawat janin akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini
mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi
selama atau sesudah persalinan. Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi
yang tidak dapat bernafas, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin
meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih
lanjut (Manuaba, 2010).
Asfiksia neonatorum merupakan kegawatdaruratan bayi baru lahir
berupa depresi pernafasan yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai
komplikasi. Disamping itu, asfiksia neonatorum atau asfiksia perinatal
merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting. Asfiksia
paling sering terjadi pada periode segera setelah lahir dan menimbulkan
sebuah kebutuhan resusitasi dan intervensi segera untuk meminimalkan
mortalitas dan morbiditas (Maryunani,2009)
Kata Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO 2 dan
asidosis. Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan
keruskan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi
organ vital lainnya (Perkumpulan Perinatologi Indonesia)

1
Asfiksia adalah kegagalan untuk memulai dan melanjutkan pernafasan
secara spontan dan teratur pada saat bayi baru lahir atau beberapa saat
sesudah lahir. (sukarni,2014)
Asfiksia Neonatorum adalah kegagalan bernafas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir (Maryunani,dkk.2013)
Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang tidak
segera bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan
(Purnamaningrum,2010)

1.2 Etiologi
Proses pengembangan paru-paru pada anak baru lahir terjadi pada
menit-menit pertama kelahiran, yang kemudian disusul dengan pernapasan
teratur. Proses ini bisa terganggu apabila terdapat gangguan pertukaran gas
atau pengangkutan oksigen dari ibu ke anak, sehingga menyebabkan
asfiksia neonatus. Gangguan tersebut dapat timbul pada masa kehamilan,
persalinan, atau segera setelah anak dilahirkan.
Menurut Purmaningrum (2010), asfiksia dapat dibagi menjadi tiga tipe
kejadian yaitu selama dalam kandungan, pada saat persalinan dan setelah
persalinan. Kejadian asfiksia selama dalam kandungan disebabkan oleh
hypoxic-ischemia seperti insufiensi uteroplasenta, abrupsio plasenta,
prolapses tali pusat, ibu yang menderita hipotensi. Asfiksia yang bisa terjadi
pada persalinan merupakan akibat dari trauma persalinan seperti
sephalopelvic disproportion, distosia bahu, letak sungsang, spinal cord
transaction, hypoxic-ischemia seperti tekanan pada tali pusat, titanic
contraction, dan abrupsio plasenta.
Hampir sebagian besar asfiksia pada bayi baru lahir merupakan
kelanjutan asfiksia janin. Itulah sebabnya, sangat penting melakukan deteksi
dan penilaian terhadap janin selama masa kehamilan, serta persalinan yang
memegang peranan sangat penting bagi keselamatan anak. Harus diingat
bahwa gangguan yang muncul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir
selalu disertai anoksia/hipoksia janin yang berahiran dengan asfikia
neonatus. Jika ini yang terjadi, maka anak harus mendapatkan perawatan
yang intensif, adekuat, dan maksimal saat dilahirkan (Maryunani, 2009)
Secara umum, ada beberapa penyebab kegagalan pernapasan pada
bayi Asfiksia . Diantaranya adalah sebagai berikut :

2
1. Faktor Ibu
a) Hipoksia ibu
Apabila seorang ibu hamil mengalami hipoksia, maka janin yang
dikandungnya juga menderita hipoksia dengan segala akibatnya.
Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian
obat analgetik atau anastesi dalam.
b) Gangguan aliran darah uterus
Gangguan aliran darah uterus dapat mengurangi aliran darah pada
uterus, sehingga menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke
plasenta dan janin. Hal ini sering dijumpai pada gangguan
kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus
akibat penyakit atau obat, hipotensi mendadak pada ibu karena
pendarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi, dan lain sebagainya.
Primitua, diabetes mellitus, anemia, iso imunisasi golongan darah,
riwayat lahir mati, ketuban pecah dini, infeksi, renjatan penyakit
jantung.
c) Umur
Umur kehamilan ibu merupakan factor yang berhubungan dengan
kejadian asfiksia neonatorum. Dari segi kesehatan ibu yang
berumur <20 tahun rahim dan panggul belum berkembang dengan
baik, begitu sebaliknya ibu yang berumur >35 tahun kesehatan dan
keadaan rahim tidak sebaik seperti saat ibu berumur 20-35 tahun.
Umur ibu <20 tahun dan >35 tahun merupakan umur yang tidak
reproduktif atau umur tersebut dalam resiko tinggi kehamilan.
Umur pada waktu hamil sangat berpengaruh pada kesiapan ibu
untuk menerima tanggung jawab sebagai seorang ibu sehingga
kualitas sumber daya manusia semakin meningkat dan kesiapan
untuk menyehatkan generasi penerus dapat terjamin. Kehamilan
diusia muda atau remaja dibawah usia 20 tahun akan
mengakibatkan rasa takut terhadap kehamilan dan persalinan, hal
ini disebabkan pada usia ini ibu belum siap untuk mempunyai anak
dan alat-alat reproduksi ibu belum siap untuk hamil. Begitu juga
kehamilan diusia tua yaitu diatas 35 tahun akan menimbulkan

3
kecemasan terhadap kehamilan dan persalinan serta alat-alat
reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil.
d). Anemia
e). Toxemia gravidarum
f). Grande Multi para
g). Penyakit kardiorespiratorik
2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi luas dan kondisi
plasenta. Asfiksia janin bisa terjadi jika terdapat gangguan mendadak
pada plasenta, seperti solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain
sebagainya.

3. Faktor Fetus
Gangguan aliran darah dalam pembuluh darah umbilicus juga
disebabkan oleh kompresi umbilicus, sehingga menghambat pertukaran
gas antara ibu dan janin. Gangguan ini dapat ditemukan pada keadaan
tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat anatar janin dan jalan lahir,
dan lain sebagainya.
4. Faktor Neonatus
Merupakan keadaan bayi yang dapat mengakibatkan terjadi asfiksia
pada bayi baru lahir walaupun kadang-kadang tanpa didahului adanya
gawat janin, antara lain :
a. Bayi premature (kurang 37 minggu kehamilan), kondisi organ
pernafasannya belum sempurna sehingga resiko terjadi asfiksia
b. Persalinan sulit (sungsang, kembar, distosia bahu, VE, forcep).
Pada persalinan sungsang letak bokong berada di bawah sehingga
resiko mekonium yang keluar dari dubur bayi dapat menyebabkan
asfiksia. Pada persalinan distosia bahu bayi mengalami macet bahu
sehingga resiko kekurangan oksigen yang mengakibatkan asfiksia.
Sedangkan pada persalinan dengan VE maupun forcep dapat
mengakibatkan asfiksia karena adanya tekanan yang diakibatkan
dari alat yang digunakan untuk VE dan forcep.
c. Kelainan congenital yang memberi dampak pada pernapasan bayi
d. Air ketuban bercampur mekonium terutama dengan sisa ketuban
yang keruh dapat menyebabkan asfiksia karena air ketuban dapat
tertelan dan masuk ke rongga pernafasan bayi
Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena :

4
a. Pemakaian obat anesthesia/ analgetika yang berlebihan pada ibu
secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan
janin.
b. Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan
intracranial. Kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia
diafrakmatika atresia/stenosis saluran pernafasan,hypoplasia paru
dan lain-lain
5. Faktor Persalinan
Partus lama dan partus karena tindakan dapat berpengaruh terhadap
gangguan paru-paru karena bayi berada lebih lama di jalan lahir
sehingga menyebabkan tekanan pada rongga pernafasan yang beresiko
terjadinya asfiksia (Proverawati,2010)
Selain itu proses persalinan dan melahirkan Menurut Oxorn (2010)
seperti anoksia akibat kontraksi uterus yang terlampau kuat dan
berlangsung terlampau lama, narcosis akibat pemberian analgesic dan
anesthesia yang berlebihan, hipotensi maternal akibat anesthesia spinal,
obstruksi saluran napas akibat aspirasi darah, lendir dan debris
vaginal,kelahiran yang sukar ( dengan atau tanpa forceps) sehingga
menyebabkan perdarahan cerebral atau kerusakan pada system saraf
pusat.

1.3 Patofisiologi
Pernapasan spontan bayi baru lahir bergantung pada kondisi janin
pada masa kehamilan dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu
menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementra pada bayi (asfiksia
transient), prosesini dianggap sangat perlu untuk merangsang kemoresepor
pusat pernapasan agar terjadi “primary gasping” yang kemudian akan
berlanjut dengan pernapasan.
Bila terdapat gangguan pertukaran gas/ pengangkutan oksigen selma
kehamilan dan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini
akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan tidak teratasi akan menyebabkan
kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/ tidak
tergantung kepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai
dengan suatu periode apnu (primary apnea) disertai dengan penurunan

5
frekuensi jantung, selanjutnya bayi akan memperliahatkan usaha bernapas
(gasping) yang kemudian diikuti oleh pernapasan teratur. Pada penderita
asfiksia berat usaha bernapas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada
dalam periode apnu kedua(secondary apnea). Pada tingkat ini ditemukan
bradikardi dan penurunan tekanan darah.
Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula G3
metabolisme dan pemeriksaan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi.
Pada tingkat pertama dan pertukaran gas mungkin hanya menimbulakan
asidosis respiratorik, bila G3 berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi
metabolisme anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga
glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang asam organik
terjadi akibat metabolisme ini akan menyebabkan tumbuhnya asidosis
metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler
yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya hilangnya sumber
glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung. Terdinya
asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk
otot jantung sehingga menimbulkan kelamahan jantung dan pengisian udara
alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tingginya resistensinya
pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru ke sistem tubuh lain
akan mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler yang
terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak
yang terjadi menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi
selanjutnya.
(Marmi, 2012)
1.4 Klasifikasi
Secara umum, asfiksia neonatorum dibagi menjadi 3 bagian,
sebagaimana berikut:
1. Vigorus Baby (skor APGAR 7-10)
Dalam kondisi semacam itu, dianggap sehat, sehingga tidak
memerlukan perilaku khusus.
2. Asfiksia sedang (skor APGAR 4-6)

6
Dalam keadaan ini, skor APGAR 4-6 pada pemeriksaan fisik dan
akan terlihat frekuensi jantung >100kali/menit, tonus otot kurang baik,
sianosis, dan reflex iritabilitas tidak ada
3. Asfiksia Berat (Skor APGAR 0-3)
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan frekuensi jantung kurang dari
100kali/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang pucat, serta
reflek iritabilitas tidak ada.
Dalam kondisi yang lebih berat, terjadi asfiksia berat dengan henti
jantung. Adapun yang dimaksudkan dengan henti jantung adalah:
a. Bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum
lahir lengkap
b. Bunyi jantung bayi menghilang postpartum
(Fida & Maya,2012)

Klasifikasi asfiksia neonatorum menurut ringan beratnya, yaitu


bebang bayi atau asfiksia neonatorum dibagi dalam dua tingkat, sebagai
berikut:

a. Asfiksia Livida (Bebang Biru)


Dengan gejala warna kulit kebiru-biruan, tonus otot cukup tegang
dan denyut jantung cukup kuat,lebih dari 100x/menit.
b. Asfiksia Palida (Bebang Putih)
Dengan gejala warna kulit putih, tonus otot lemas, dan denyut
jantung kurang dari 100x/menit.
Namun saat ini, derajat ringan beratnya bebang bayi (asfiksia
neonatorum) lebih tepat dinilai dengan cara penilaian menurut APGAR.
Setelah dilahirkan satu menit diperiksa keadaan denyut jantung,
pernafasan, tonus otot, reaksi pengisapan dan warna kulit dinilai
menurut APGAR.
(Maryunani,2009)

Tabel penilaian Skor APGAR


Nilai
Tanda
0 1 2
A : Appearance Biru/pucat Tubuh kemerahan, Tubuh, ekstremitas
(color) Warna kulit ekstremitas biru kemerahan

7
P : Pulse (heart rate) Tidak ada <100x/menit >100x/menit
Denyut nadi
G : Grimance (reflek) Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
A : Activity (tonus Lumpuh Fleksi lemah Aktif
otot)
R : Respiration Tidak ada Lemah, merintih Tangisan kuat
(usaha nafas)
Penilaian :
7-10 : normal (vigorous baby)
4-6 : asfiksia sedang
0-3 : asfiksia berat
Tabel 1.4.1 APGAR score (Ghai, 2010)

Berat ringannya suatu kegawatan pernafasan dapat dinilai


menggunakan Skor Down, seperti yang tertera pada tabel berikut ini.
Nilai
Tanda
0 1 2
Kecepatan nafas <60x/menit 60-80x/menit >80x/menit
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada Tidak tampak sianosis Sianosis (+) dengan
dengan O2 O2
Udara masuk (+) Udara masuk Tidak ada udara
berkurang masuk
Megap-megap Tidak Terdengar melalui Terdengar tanpa
megap- stetoskop menggunakan
megap peralatan
Penilaian :
Skor <4 : Gngguan pernafasan ringan
Skor 4-5 : Gangguan pernafasan sedang
Skor ≥6 : Gangguan pernafan berat (diperlukan analisis gas darah)
Tabel 1.4.2 DOWN score (Ghai, 2010)

1.5 Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari
anoksia/hipoksia janin. Diagnosis anoksia/hipoksia janin dapat dibuat dalam

8
persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang
perlu mendapat perhatian yaitu:
a. Denyut jantung janin: frekuensi normal ialah antara 120 dan 160
denyutan semenit. Apabila frekuensi denyutan turun sampai dibawah
100/menit diluar his dan lebih-lebih jika tidak teratur,hal itu merupakan
tanda bahaya.
b. Mekonium dalam air ketuban : adanya meconium pada presentasi kepala
mungkun menunjukkan gangguan oksigennasi dan gawat janin, karena
terjadi rangsangan nervus X,sehingga peristaltic usus meningkat dan
sfingter ani terbuka. Adanya meconium dalam air ketuban pada presentasi
kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu
dapat dilakukan dengan mudah.
c. Pemeriksaan PH darah janin.
(Yeyen.2012)
Untuk dapat menegakkan diagnosis, dapat dilakukan dengan berbagai
cara dan pemeriksaan, berikut ini:
1. Anamnesis: anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap
terjadinya asfiksia neonatorum serta mengkaji :
d. Adanya riwayat usia kehamilan kurang bulan.
e. Adanya riwayat air ketuban bercampur meconium.
f. Adanya riwayat lahir tidak bernafas atau menangis.
g. Adanya riwayat gangguan atau kesulitan waktu lahir (lilitan tali
pusat, sungsang, ekstraksi vakum, ekstraksi forcep dan lain-lain)
2. Pemeriksaan fisik: memperhatikan sama ada kelihatan terdapat tanda-
tanda berikut atau tidak, antara lain:
a. Bayi tidak bernafas atau menangis
b. Denyut jantung kurang dari 100x/menit
c. Tonus otot menurun
d. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa
mekonium pada tubuh bayi
e. BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
3. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium: hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil
asidosis pada darah tali pusat jika:
a. PaO2 < 50 MM H2O
b. PaCO2 > 55 mmH2
c. Ph < 7,30
1.6 Masalah

9
Menurut Laporan dari organisasi kesehatan dunia (WHO) bahwa setiap
tahunnya, kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi lahir mengalami
asfiksia, hampir 1 juta bayi ini kemudian meninggal. Di Indonesia, dari
seluruh kematian bayi, sebanyak 57% meninggal pada masa BBL (usia
dibawah 1 bulan). Setiap 6 menit terdapat satu BBL yang meninggal.
(JNPK-KR 2008 hal.143). Pada tahun 2011, jumlah angka kematian bayi
baru lahir (neonatal) di negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 31 per
1000 kelahiran hidup. Angka itu 5,2 kali lebih tinggi dibandingkan
malaysia. Juga, 1,2 kali lebih tinggi dibangdingkan Filipina dan 2,4 kali
lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand. Karena itu masalah ini
harus menjadi perhatian serius.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007,
mengestimasikan AKB di Indonesia dalam periode 5 tahun terakhir, yaitu
tahun 2003-2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Banyak faktor yang
mempengaruhi angka kematian tersebut, yaitu salah satunya asfiksia sebesar
37% yang merupakan penyebab kedua kematian bayi baru lahir
(Depkes.RI, 2008). Sementara target Millenium Development Goals
(MDGs) tahun 2015 adalah 32 / 1. 000 KH.
1.7 Penatalaksanaan
Pada bayi dengan asfiksia penatalaksanaan khusus yang dilakukan
adalah melalui tindakan resusitasi segera setelah lahir. Resusitasi dilakukan
sesuai dengan tahapan resusitasi dan sangat tergantung pada derajat asfiksia
(ringan, sedang, berat keadaan tidak bernapas disertai jantung tidak
berdenyut, serta ada tidaknya aspirasi mekonium (Marmi, 2012).
Resusitasi adalah urutan urutan langkah cepat untuk dilakukan bila
penapasan atau sirkulasi bayi terganggu. Tujuan resusitasi adalah untuk
mengoptimalkan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi secepat mungkin.
Langkah awal dari semua asuhan adalah memastikan bahwa segala
peralatan yang diperlukan dalam keadaan siap pakai.
Alat-alat yang dibutuhkan yaitu:
1. Kain yang bersih, kering, hangat, dan dapat menyerap cairan. kain
yang dibutuhkan minimal tiga lembar, yang digunakan untuk
mengeringkan dan menyelimuti bayi, serta untuk ganjal bahu bayi.

10
2. Kotak alat resusitasi yang berisi alat penghisap lendir DeLee atau
bola karet dan alat ventilasi dalam keadaan steril, sarung tangan
dan jam atau pencatat waktu
3. Alat pelindung diri
Menurut Maryunani (2009) penatalaksanaan terhadap asfiksia
neonatorum berupa :
1. Tindakan Umum
- Bersihkan jalan nafas: kepala bayi diletakkan lebih rendah agar lendir
mudah mengalir, bila perlu digunakan laringoskop untuk membantu
penghisapan lendir dari saluran pernafasan yang lebih dalam.
- Rangsang reflek pernafasan : dilakukan setelah 20 detik bayi tidak
memperlihatkan bernafas dengan cara memukul kedua telapak kaki
menekan tanda Achilles.
- Mempertahankan suhu tubuh.
2. Tindakan Khusus
- Asfiksia Berat:
Berikan O2 dengan tekanan positif dan intermitten melalui pipa
endotrakeal dapat dilakukan dengan tiupan udara yang telah diperkaya
dengan O2. Tekanan O2 yang diberikan tidak 30 cm H-20. Bila pernafasan
spontan tidak timbul, lakukan message jantung dengan ibu jari yang
menekan pertengahan sternum 80-100 kali per menit.
- Asfiksia sedang/ringan
Pasang relkiek pernafasan ( hisap lendir,rangsang nyeri) selama 30-60
drtik. Bila gagal, lakukan pernafasan kodok (frog breathing) 1-2 menit
yaitu : kepala bayi ekstensi maksimal beri Oz 1-2 liter permenit melalui
kateter dalam hidung, buka tutup mulut dan hidung serta gerakkan dagu
keatas kebawah secara teratur 20 kali permenit.
- Penghisap cairan lambung untuk mencegah regurgitasi.

Penatalaksanaan bayi baru lahir dengan asfiksia dapat dibedakan


menjadi dua, yaitu penatalaksanaan mandiri dan kolaborasi.

1. Penatalaksanaan Mandiri
Menurut Kosim (2012) penatalaksanaan mandiri yang dilakukan
bidan untuk menentukan tindakan resusitasi yaitu dengan melakukan
penilaian bayi segera setelah lahir. Dalam penilaian awal bayi baru
lahir perlu menjawab pertanyaan diantaranya:
a. Apakah bayi lahir cukup bulan?
b. Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium

11
c. Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis?
d. Apakah tonus otot baik?
Apabila semua jawaban "ya", berarti bayi dalam keadaan baik
dan tidak memerlukan tindakan resusitasi. Apabila terdapat satu atau
lebih jawaban "tidak" bayi memerlukan tindakan resusitasi segera,
dimulai dengan langkah awal resusitasi.
Langkah-langkah resusitasi adalah sebagai berikut
a. Tahap I Langkah Resusitasi (HAIKAP)
Langkah awal resusitasi dilakukan secara cepat dan
diselesaikan dalam waktu 30 detik yaitu:
(1) Hangatkan bayi
Letakkan bayi diatas perut ibu, selimuti bayi dengan kain
atau handuk, dada dan perut tetap terbuka, potong tali pusat.
Kemudian pindahkan bayi di atas tempat resusitasi yang datar
di bawah pemancar panas (lampu 60 watt dengan jarak 60 cm
dan bayi tetap diselimuti dengan kain hangat. Tempat ini harus
sudah dihangatkan sebelumnya
(2) Atur posisi bayi
Bersihkan jalan napas dengan menggunakan kassa steril,
kemudian baringkan bayi telentang dan posisikan kepala bayi
dekat penolong dengan posisi kepala sedikit ekstensi
menggunakan pengganjal bahu (kain)

Gambar 1 : posisi bayi

(3) Isap lendir bayi

12
Gambar 2: isap lendir bayi
Menggunakan pengisap lendir DeLee dengan cara
mengisap lendir mulai dari mulut, kemudian hidung; mengisap
saat alat pengisap ditarik keluar: jangan melakukan pengisapan
terlalu dalam (tidak lebih dari 5 cm ke dalam mulut atau lebih
dari 3 cm ke dalam hidung karena dapat menyebabkan denyut
jantung bayi menjadi lambat atau bayi tiba-tiba berhenti
bernapas.
Apabila penghisapan menggunakan balon karet dilakukan
dengan menekan bola dari luar m kemudian masukkan ujung
penghisap di rongga mulut dan lepaskan (lendir akan terhisap,
untuk hidung masukkan pada lubang hidung

(4) Keringkan bayi dan melakukan rangsang taktil

Gambar 3: keringkan bayi dan lakukan rangsang taktil

Mengeringkan bayi dengan kain bersih dan kering dari


muka, kepala, dan bagian tubuh lainnya dengan sedikit
tekanan, hal ini dapat merangsang bayi baru lahir mulai
bernapas. Melakukan rangsangan taktil dengan menepuk atau

13
menyentil telapak kaki dengan hati-hati dan menggosok
punggung, perut, dada. atau tungkai bayi dengan telapak
tangan. Tindakan ini merangsang sebagian besar bayi baru
lahir untuk bernapas dan hanya boleh dilakukan pada bayi
yang telah berusaha bemapas.
(5) Atur posisi bayi kembali
Mengganti kain yang basah dengan kain kering, selimuti
seluruh tubuh bayi dengan kain tersebut (kecuali muka dan
dada) agar bisa memantau pernafasan bayi dan atur kembali
posisi bayi dengan sedikit ekstensi
(6) Lakukan evaluasi
Setelah resusitasi selesai dan bayi telah diposisikan
kembali, dilakukan penilaian pernapasan, frekuensi jantung
dan wama kulit. Apabila bayi bemapas dan denyut jantung
lebih dari 100 kali per menit, kulit berwarna merah muda,
selanjutnya bayi perlu perawatan observasi
Apabila bayi masih tidak bernapas (apnea) atu megap-
megap atau frekuensi jantung kurang dari 100 kali per menit,
maka bayi memerlukan tindakan ventilasi tekanan positif
(Kosim, 2012).

b. Tahap II: Ventilasi Tekanan Positif (VTP)


Ventilasi Tekanan Positif (VTP) adalah tahapan resusitasi
untuk memasukkan sejumlah volume udara ke dalam paru dengan
tekanan positif untuk membuka alveoli paru agar dapat bernapas
spontan dan teratur
Langkah-langkah VTP diantaranya adalah:
(1) Memasang sungkup dan memperhatikan perlekatan pada
sungkup agar menutupi mulut, dagu, dan hidung bayi sehingga
tidak ada udara bocor.

14
Gambar 4: pemasangan sungkup
(2) Melakukan ventilasi dengan tekanan 30 cm H2O air sebanyak 2
kali untuk membuka alveoli paru agar bayi dapat mulai
bernapas, dan menguji jalan napas bayi pastikan posisi sudah
ekstensi, kemudian periksa posisi sungkup pastikan bahwa
tidak ada udara yang bocor, periksa adanya lendir atau cairan
di mulut, jika ada bersihkan. Kemudian lakukan tiupan ulang 2
kali dengan tekanan 30 cm air. Apabila dada mengembang
lakukan tahap berikutnya
(3) Melakukan ventilasi 20 kali dalam 30 detik dengan tekanan 20
cm air sampai bayi bernapas spontan dan mulai menangis.
Pastikan dada mengembang, setelah 30 detik lakukan
penilaian. Jika bayi sudah mulai bernafas spontan atau tidak
megap-megap dan atau menangis hentikan ventilasi secara
bertahap. Tetapi apabila bayi masih megap-megap, lanjutkan
ventilasi.
(4) Melanjutkan ventilasi 20 kali dalam 30 detik dengan tekanan
20 cm air. Lakukan penilaian bayi setiap 30 detik. Jika bayi
mulai bernapas normal dan atau menangis, hentikan ventilasi

15
bertahap, kemudian lakukan asuhan pasca resusitasi. Jika bayi
megap-megap atau tidak bernapas, teruskan ventilasi 20 kali
dalam 30 detik, kemudian lakukan penilaian ulang setiap 30
detik.
(5) Siapkan rujukan atau lakukan kolaborasi dengan dokter
Spesialis Anak jika bayi belum bernapas spontan sesudah 2
menit dilakukan resusitasi.
c. Asuhan pasca Resusitasi
Resusitasi berhasil bila pernapasan bayi teratur, warna kulit
kembali normal yang kemudian diikuti dengan perbaikan tonus otot
(bergerak aktif), bayi menangis dan bernafas normal sesudah
resusitasi langkah awal atau sesudah ventilasi.
Asuhan pasca resusitasi antara lain
(1) Memberikan vitamin K, pemeriksaan fisik, pemberian
antibiotik jika perlu.
(2) Melakukan pemantauan seksama terhadap bayi resusitasi
dengan cara:
a) Memperhatikan tanda- tanda kesulitan bernapas pada bayi
yaitu napas megap-megap, frekuensi napas kurang lebih
60x/menit, bayi kebiruan atau pucat, bayi tanpak lemas
b) Menjaga bayi tetap hangat dengan cara menunda
memandikan bayi hingga 6- 24 jam setelah bayi lahir.
c) Memenuhi nutrisi bayi
(Kosim, 2012)
2. Penatalaksanaan Kolaborasi
Dalam melakukan resusitasi, bidan memiliki kewenangan hanya
sampai pada Langkah Awal (HAIKAL dan Ventilasi Tekanan Positif
(VTP). Jika telah dilakukan VTP 20 kali dengan tekanan 20 cm air
selama 30 detik dan bayi belum bernapas spontan atau Frekuensi
Jantung kurang dari 60 kali per menit, maka dilakukan kolaborasi
dengan dokter spesialis anak
Penatalaksanaan resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
secara kolaborasi dapat dilakukan menurut bagan berikut:

16
Gambar 5: bagan resusitasi secara kolaborasi

Penanganan kolaborasi yang dilakukan pada pertolongan di


rumah sakit, yaitu:
a. Melanjutkan VTP dan Melakukan Kompresi dada
Kompresi dada adalah tindakan penekanan teratur pada tulang
dada ke arah tulang belakang sehingga meningkatkan tekanan
intratoraks dan memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ vital
tubuh. Indikasi kompresi dada yaitu apabila kondisi bayi tetap
buruk atau gagal membaik dengan frekuansi jantung kurang dari 60
kali per menit setelah dilakukan VTP selama 30 detik.

17
Teknik kompresi dada ada dua yaitu:
(1) Teknik ibu jari Kedua ibu jari untuk menekan tulang dada,
sementara kedua tangan melingkari dada dan jari-jari tangan
menopang bagian belakang bayi.
(2) Teknik dua jari Ujung jari tengah dan jari telunjuk menekan
tulang belakang bayi

Dalam melakukan kompresi dada diperlukan 2 orang, satu


orang melakukan kompresi dada dan satu orang melanjutkan VTP.
Kompresi dilakukan pada I/3 distal sternum dengan kedalaman 1
diameter antero posterior Ventilasi dan kompresi harus dilakukan
secara bergantian yaitu 90 kompresi dan 30 ventilasi dalam 1 menit
(rasio 3:1). Dengan l ½ detik 3 kompresi dada, ½ detik 1 ventilasi
yaitu 2 detik dalam l siklus (Jems, 2012).
b. Melakukan Intubasi Endotrakeal
Menurut Jems (2012), intubasi Endotrakeal dapat dilakukan
dengan indikasi
(1) Jika terdapat mekonium dan bayi mengalami depresi
pernapasan maka intubasi dilakukan sebelum tindakan
resusitasi yang lain, untuk membersihkan mekonium dari jalan
napas.
(2) Jika VTP dengan balon dan sungkup tidak efektif
(3) Jika diperlukan kompresi dada, intubasi dapat membantu
koordinasi antara kompresi dada dan ventilasi serta
memaksimalkan efisiensi pada setiap VTP
(4) Jika epineprin diperlukan untuk menstimulasi frekuensi
jantung, maka dapat dilakukan pemberian secara langsung ke
trakeal melalui pipa endotrakeal.
(5) Jika bayi sangat kurang bulan
(6) Jika dicurigai ada hernia diafragmatika

c. Pemberian obat-obatan

18
Apabila Frekuensi jantung bayi tetap kurang dari 60 kali per
menit atau nol walaupun telah dilakuakan VTP dan kompresi dada,
maka pemberian obat-obatan diperlukan untuk meningkatkan curah
jantung dan memperbaiki perfusi jantung dan serebral. Obat dapat
diberikan melalui vena umbilikalis, vena perifer dan pipa
endotrakeal.
Obat-obatan yang dianjurkan untuk digunakan dalam resusitasi
bayi baru lahir meliputi
(1) Epineprin
Epineprin merupakan obat pertama yang diberikan
Epineprin merupakan stimulan jantung. (meningkatkan
kekuatan dan kecepatan kontraksi jantung) yang berperan
penting dalam peningkatkan aliran darah melalui arteri-arteri
koroner dan aliran darah ke jaringan otak. Epineprin diberikan
bila frekuensi jantung dibawah 80 kali per menit, apabila detak
jantung tidak terdeteksi maka harus segera diberikan pada saat
yang sama (VTP dan kompresi dada dimulai)
(Saifuddun,2009).
(2) Volume Expanders
Volume expanders digunakan dalam resusitasi apabila
terdapat kejadian atau diduga adanya kehilangan darah akut
dengan tanda-tanda hipovolemia.
(3) (Natrium bikarbonat)
Penggunaan natrium bikarbonat tidak menguntungkan
dalam resusitasi jantung paru yang cepat, tetapi mungkin
menguntungkan dalam apnea lama yang tidak memberikan
respon terhadap terapi lain. Obat ini hanya diberikan saat VTP
sudah dilakukan

(4) Nalokson Hidroklorid

19
Digunakan pada bayi baru lahir dengan depresi pusat
pernapasan memanjang akibat pemberian anestesi narkotik
pada ibu, 4 jam sebelum pesalinan (Saifuddin, 2009)

d. Pemberian Oksigen
Tambahan oksigen diberikan apabila bayi masih terlihat
sianosis. Pemberian oksigen pada resusitasi dapat dilakukan
melalui pipa atau kateter nasal, sungkup oksigen, balon dan
sungkup, head box dan ventilator mekanik (Jems, 2012).
Dosis pemberian oksigen dengan kateter nasal yaitu kecepatan
aliran 0,5-2 liter per menit, pemberian oksigen dengan sungkup
(masker wajah) 4 liter/menit, sedangkan pemberian O 2 headbox
dengan aliran 5-7 liter per menit untuk mencapai konsentrasi O2
yang adekuat dan mencegah penumpukan CO2. Untuk mencegah
rebreathing CO2 diperlukan aliran 2-4 liter per menit. (Rahardjo,
2012)
e. Penghentian resusitasi
Resusitasi harus dihentikan apabila resusitasi bayi tidak
berhasil, tidak ada upaya bernapas spontan dan denyut jantung
setelah 10 menit, karena sangat tipis kemungkinan bayi bertahan
hidup, dan apabila dapat bertahan hidup jarang tanpa cacat berat
(Jems, 2012)
3. Penatalaksanaan Rujukan
Setelah dilakukan VTP selama 2 menit dan RJP selama 1 menit
namun bayi tetap megap-megap atau tidak bernafas maka lakukan
rujukan, selama melakukan rujukan cek DJA apabila DJA <
100x/menit maka lanjutkan VTP namun bila DJA >60x/menit
maka lakukan RJP. Bila dilakukan RJP ulang masih kurang dari
60x/menit beri suntikan epinefrin dengan dosis 0,1-0,3 mg/kgBB
secara IV. Yang perlu diperhatikan selama merujuk yaitu lakukan
konseling untuk merujuk bayi beserta ibu dan keluarga, lanjutkan
resusitasi, pemantauan tanda bahaya, perawatan tali pusat,
pencegahan hipotermi, pembuatan surat rujukan, serta pencatatan
dan pelaporan.
1.8 Komplikasi

20
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus menurut Kosim
(2010) adalah:
1. Otak : Ensepalo hipoksis iskemik, edema serebri,kecacatan
cerebal palsy (CP)
2. Ginjal : Gagal ginjal akut.
3. Jantung & paru : Gagal jantung, hipertensi pulmonal persisten pada
neonates, perdarahan paru, edema paru.
4. Saluran cerna : EKN = Entero Colitis Nekrotikans atau NEC=
Nekrotizingentero
5. Hematologi : DIC
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus menurut
Wiknjosastro (2009) adalah:
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan
asidosis. Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan
kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi
organ vital lainnya.
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus menurut Rahman
(2010):
Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir tidak dapat bernafas secara
spontan dan teratur. Asfiksia atau gagal nafas dapat menyebabkan suplai
oksigen ke tubuh menjadi terhambat, jika terlalu lama membuat bayi
menjadi koma, walaupun sadar dari koma bayi akan mengalami cacat otak.
Kejadian asfiksia jika berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan
perdarahan otak, kerusakan otak dan kemudian keterlambatan tumbuh
kembang. Asfiksia juga dapat menimbulkan cacat seumur hidup seperti
buta, tuli, cacat otak dan kematian.
Selain itu, asfiksia neonatal juga dapat menyebabkan komplikasi
sebagai berikut.
1. Edema otak dan perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah
berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke
otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan
iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat
menimbulkan perdarahan otak
2. Anuria atau Oliguria

21
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita
asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat
terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini
curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium
dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada
pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran
urine sedikit
3. Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan
pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan
persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat
menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak
efektif
4. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan
menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan
perdarahan pada otak.
1.9 Prognosis
1. Asfiksia ringan / normal : baik
2. Asfiksia sedang tergantung kecepatan penatalaksanaan bila cepat,
prognosa baik
3. Asfiksia berat dapat menimbulkan kematian pada hari-hari pertama,
atau kelainan saraf permanent. Asfiksia dengan Ph 6,9 dapat
menyebabkan kejang sampai koma, dan kelainan neurologist yang
permanent misalnya cerebal palsy, mental retar dation
(Maryunani, 2009)

22
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Masalah
Harapan pembangunan Nasional Indonesia mencakup semua komponen
pembangunan yang tujuan akhirnya ialah kesejahteraan masyarakat. Hal ini
merupakan tujuan pembangunan Millennium atau lebih dikenal dengan istilah
Millenium Development Goals (MDGs) yang dicetuskan WHO pada tahun
2000. Dengan adanya hal tersebut maka Departemen Kesehatan membuat
target penurunan AKB di Indonesia dari kurang lebih 36 meninggal per 1000
kelahiran hidup menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015.
Menurut World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa Asfiksia
Neonatus merupakan urutan pertama penyebab kematian neonatus, setiap
tahunnya kurang lebih 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir mengalami
asfiksia,dan hampir 1 juta bayi meninggal. Data Association Of Southeast
Asian Nation (ASEAN) menyebutkan bahwa sekitar 23% seluruh kematian
neonatus disebabkan oleh Asfiksia Neonatorum dengan proporsi lahir mati
yang lebih besar sehingga asfiksia neonatorum merupakan salah satu
penyebab kematian pada bayi (Depkes,2007). Di Indonesia, dari seluruh
kematian balita sebanyak 38% meninggal pada masa BBL (IACMEG, 2005).
Kematian BBL di Indonesia terutama disebabkan oleh prematur
(32%),asfiksia (30%),infeksi(22%),kelainan kongenital (7%),lain-lain (9%)
(JNPK-NR,2008). Menurut Data Survey Demografi dan Kesehatan
Indonesia(SDKI) tahun 2007 angka kematian bayi sebesar 34 kematian / 1000
kelahiran hidup. Angka kematian bayi ini sebanyak 47% meninggal pada masa
neonatal, setiap lima menit terdapat satu neonatus yang meninggal. Hal ini
masih sangat jauh dengan angka dari pemerintah yang menargetkan penurunan
AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 20 per 1000
kelahiran hidup pada tahun 2015 seperti tercantum,dan ditargetkan pada
Millenium Development Goals (MDGs) (PONEK JPNK-KR,2008). Data yang
diperoleh tahun 2013 diketahui jumlah bayi dengan BBLR di Jawa Timur
mencapai 16.565 bayi dari 591.746 bayi lahir hidup (2,79%) (Dinkes Jatim,
2013). Berdasarkan data Kementrian Kesehatan RI tahun 2013 penyebab
kematian bayi di Jawa Timur 26,75%/1000 kelahiran hidup disebabkan oleh

23
asfiksia. Angka kejadian asfiksia meningkat jika dibandingkan pada tahun
2011 yang hanya 19%/1000 kelahiran hidup.
3.2 Solusi Pemecahan Masalah
Solusi secara teori dalam menanggulangi asfiksia itu sendiri meliputi cara
pencegahan saat ANC rutin dengan menilai status keadaan bayi,mendeteksi
sejak dini keabnormalan janin,melalui kegiatan penyuluhan yang diberikan
yang diberikan Bidan atau Petugas Medis lainnya dan melakukan HAIKAP
dan resusitasi.Sedangkan solusi secara praktik yaitu meliputi diagnosa dengan
benar,mempersiapkan alat resusitasi sesuai dengan standar dan melakukan
resusitasi sesuai prosedur dengan petugas kesehatan yang kompeten dalam
memberikan asuhan bayi baru lahir. Berdasarkan fenomena dari kejadian
asfiksia bayi baru lahir dapat menimbulkan dampak koma,cacat,buta dan tuli
serta keterlambatan pertumbuhan bayi dan dampak pula pada kematian.
Berdasarkan pertimbangan itu termasuk masalah urgent (kegawatan).

24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi dengan riwayat gawat janin
sebelum lahir, dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan
teratur pada saat dilahirkan.
Kematian BBL di Indonesia terutama disebabkan oleh prematur
(32%),asfiksia (30%), infeksi(22%), kelainan kongenital (7%), lain-lain (9%)
(JNPK-NR,2008). Menurut Data Survey Demografi dan Kesehatan
Indonesia(SDKI) tahun 2007 angka kematian bayi sebesar 34 kematian / 1000
kelahiran hidup. Angka kematian bayi ini sebanyak 47% meninggal pada
masa neonatal, setiap lima menit terdapat satu neonatus yang meninggal.
Solusi secara teori menanggulangi asfiksia meliputi cara pencegahan saat
ANC rutin dengan menilai status keadaan bayi, mendeteksi sejak dini
keabnormalan janin, melalui kegiatan penyuluhan yang diberikan yang
diberikan Bidan atau Petugas Medis lainnya dan melakukan HAIKAP dan
resusitasi. Sedangkan solusi secara praktik yaitu meliputi diagnosa dengan
benar, mempersiapkan alat resusitasi sesuai dengan standar dan melakukan
resusitasi sesuai prosedur dengan petugas kesehatan yang kompeten dalam
memberikan asuhan bayi baru lahir.
4.2 Saran
Dari hasil kesimpulan yang telah dikemukakan maka dapat diberikan saran-
saran sebagai bahan masukan bagi pihak yang bersangkutan dalam rangka
meningkatkan kualitas dalam pemberian pelayanan guna mencegah,
menanggulangi maupun menunjang peningkatan kualitas kesehatan Bayi
Baru Lahir sehingga dapat menjadi literatur guna mendukung peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan khususnya kesehatan ibu dan bayi.

25
DAFTAR PUSTAKA

Arief ZR, dkk. 2009. Neonatus dan Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta :
Nuha Medika

Dewi, Vivian Nanny Lia. 2011. Asuhan Kehamilan untuk Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika

Fida, Maya. 2012. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jogjakarta:D-Medika

Ghai, dkk. 2010. Pencegahan Dan Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum. Health


Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

Hidayat,A.Aziz Alimul.2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan


Kebidanan. Jakarta:Salemba Medika

Indrayani dan Moudy. 2013. Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta:
Trans Info Media

Kosim, MS. 2008. Buku Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk
Dokter, Bidan dan Perawat di Rumahsakit. Jakarta: IDAI

Manuaba, I. 2010. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga


berencana untuk pendidikan bidan. Jakarta: EGC.

Marmi, Rahardjo. 2012. Asuhan Neonatus Bayi Balita dan Anak Prasekolah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Maryunani anik,dkk. 2009. Asuhan Kegawatan Dan Penyulit Pada Neonatus.


Jakarta: Trans Info Medika.

Muslihatun, 2009. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Fitramaya. Yogyakarta

Proverawati, 2010. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Yogyakarta: Nuha Medika

26
Rahman, et al. 2010. Asfiksia Neonatorum. journal of health population and
nutrition Vol. 10. No.5. pp: 97-110

Tabasum, farhana. et all.2014. Risk Factors Associated with Birth Asphyxia in


Rural District Matiari, Pakistan: A Case Control Study. International Journal of
Clinical Medicine

Wiknjosastro, Hanifa. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo

Yeyen, Ai dan Lia Yulianti. 2012. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita.Jakarta:
Cv Trans Info Media

27

Anda mungkin juga menyukai