Six Minute Walking Test merupakan tes sederhana dan praktis yang membutuhkan
jarak 100 ft (± 30m) tanpa peralatan latihan atau pelatihan mahir bagi seorang teknisi. Test
ini pada prinsipnya mengukur jarak yang dapat ditempuh pasien dengan berjalan pada
jalur datar dan permukaan keras dalam waktu 6 menit.
A. Indikasi
Indikasi utama tes jalan 6 menit adalah untuk mengukur respon intervensi medis
penderita dengan kelainan jantung atau paru derajat ringan sampai berat. Indikasi lain
adalah untuk mengukur status fungsional penderita dan memprediksi mortalitas dan morbiditas
penyakit.
Sebelum melakukan tes ini terlebih dahulu dilakukan penilaian kondisi naracoba
melalui pengisian kuisioner Physical Activity Readinnes Questionnaire (PAR-Q) dan
AHA/ACSM Health/ Fitness Facility Preparticipation Screening Questionnaire. Kuesioner
tersebut berfungsi untuk melihat indikasi serta kontraindikasi pada naracoba. Pada naracoba 2
tidak didapatkan kondisi tertentu yang mengarah pada kontraindikasi, sehingga naracoba dapat
melakukan tes jalan 6 menit.
C. Interpretasi
Pada hasil Six Minute Walking Test didapatkan jarak tempuh 690 meter yang melebihi
jarak prediksinya sebesar 579 meter dengan presentase prediksinya sebesar 119,17 % yang
termasuk dalam kategori normal (>85%).
Belum ada kesepakatan yang menyatakan berapa nilai normal jarak tempuh Six Minute
Walking Test pada populasi sehat. Pada beberapa literatur menjelaskan median Six Minute
Walking Test adalah berkisar 580 meter pada 117 pria sehat dan 500 meter pada 173 wanita
sehat. Studi lain menyatakan rata-rata jarak tempuh adalah 630 meter pada 51 dewasa sehat.
Sesuai hasil uji yang dilakukan naracoba telah melampaui batas nilai tersebut, sehingga dapat
dikatakan kondisi naracoba adalah sehat.
Six Minute Walking Test dilakukan dalam ruang tertutup pada koridor yang panjang
dengan permukaan keras, hal ini mengartikan bahwa lintasan cukup mudah dilalui siapapun
termasuk naracoba yang dapat melakukan tes dengan baik, sehingga menunjukkan bahwa
sistem yang terlibat dalam aktivitas seperti pernafasan, kardiovaskular, sirkulasi sistemik,
sirkulasi perifer, neuromuskular, dan metabolisme otot, semuanya masih dalam keadaan bugar.
Selain itu, tes ini memberikan suatu indikasi objektif kapasitas fungsional dan toleransi latihan
karena jarak ambulasi diperlihatkan dalam hubungannya dengan maksimal gejala yang muncul
akibat konsumsi oksigen yang terbatas. Selama menjalankan tes tidak didapatkan gejala fisik
khusus seperti nyeri dada, sesak yang tidak dapat ditoleransi, kaku pada tungkai,
sempoyongan, serta pucat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak didapatkan nilai prognostik
terkait morboditas tertentu, dan menjelaskan bahwa naracoba secara fisik mampu melakukan
aktivitas sehari-hari dengan baik.
Perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah melakukan tes merupakan hal yang sangat
penting untuk menjelaskan tingkat fungsional individu terhadap latihan yang akan diberikan,
adapun perubahan yang terjadi meliputi :
Gerakan yang terjadi pada Six Minute Walking Test akan mempengaruhi
konsumsi oksigen dan produksi karbon dioksida. Kadar oksigen dalam jumlah yang
besar akan terdifusi dari alveoli ke dalam darah vena kembali ke paru-paru.
Sebaliknya, kadar karbon dioksida yang sama banyak masuk dari darah ke dalam
alveoli. Oleh itu, ventilasi akan meningkat untuk mempertahankan konsentrasi gas
alveolar yang tepat untuk memungkinkan peningkatan pertukaran oksigen dan
karbon dioksida.
D. Tahapan Lanjut
Melihat hasil tes yang dilakukan serta kondisi fisik naracoba, maka naracoba dapat
melanjutkan untuk melakukan aktivitas fisik maupun program olahraga. Merujuk dari keadaan
naracoba dengan perhitungan IMT sebesar 19,59 ( Normal), maka dianjurkan untuk menjaga
berat badan agar tetap ideal. Adapun olah raga untuk menjaga berat badan dapat dilakukan
melalui peningkatan kebugaran tubuh. Kebugaran tubuh dapat dicapai jika olahraga yang
dilakukan dapat mencapai sasaran berbagai komponen kebugaran. Misalnya, kebugaran
jantung-paru dapat dicapai dengan latihan aerobik – yaitu otot-otot besar (lengan dan tungkai)
melakukan gerakan ritmis terus menerus selama 20 – 60 menit (minimal 10 menit per sesi
latihan) dengan intensitas/beban yang memacu jantung mencapai target denyut jantung latihan
dengan frekuensi 3 – 5 kali per minggu. Kebugaran otot dapat dicapai jika latihan dilakukan
setidaknya 2 kali per minggu, dengan program latihan yang memberi pembebanan yang cukup
pada sebagian besar otot tubuh sehingga otot menjadi kuat dan mampu mempertahankan
kinerjanya untuk jangka waktu tertentu. Fleksibilitas dapat dicapai jika dilakukan latihan
peregangan sehingga dapat memelihara kemampuan gerak persendian. Contoh olahraga yang
dapat dilakukan yaitu :
a. Pilates
Pilates adalah salah satu bentuk latihan fisik yang dikembangkan dengan tujuan utama
meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan tubuh, tanpa mengembangkan ukuran otot. Sesuai
dengan bentuk dan tujuan latihan, Pilates mulanya berkembang luas di kalangan penari. Oleh
karena Pilates juga melatih kontrol gerakan dan posisi tubuh, mereka yang membutuhkan
perbaikan postur dan mempunyai keluhan otot dan persendian mendapat manfaat dari berlatih
Pilates.
b. Yoga
suatu bentuk latihan fisik lain yang juga melatih kontrol postur. Namun demikian selain
latihan postur, yoga juga melatih pernapasan dan konsentrasi. Dengan kata lain, yoga melatih
sekaligus fisik/raga dan mental/spiritual.