Disusun Oleh :
NAMA : HUSNUL MAHMUDAH
NIM : 2015430055
i
LEMBAR PENGESAHAN PENELITIAN
NIM : 2015430055
Nurul H. Fithriyah, ST, M.Sc, PhD Ummul Habibah Hasyim, ST, M.Eng.
NIDN: 0320107508 NIDN: 0327098406
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI
NIM : 2015430055
iii
ABSTRAK
Minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil, CPO) merupakan bahan
baku utama untuk pembuatan minyak goreng dengan melibatkan adsorben dalam
pengolahannya untuk mengikat pengotor, memucatkan warna dan menurunkan
kadar Free Fatty Acid (FFA). Free fatty acid adalah asam lemak bebas yang
terbentuk karena adanya proses oksidasi, dan hidrolisa enzim selama proses
pengolahan dan penyimpanan CPO. Kadar free fatty acid yang tinggi dapat
menurunkan kualitas CPO, membuatnya menjadi tengik dan berbahaya bagi
kesehatan. Selulosa merupakan komponen tumbuhan yang banyak mengandung
gugus aktif yang berperan penting dalam pembuatan bioadsorben. Selulosa yang
dimanfaatkan sebagai bioadsorben merupakan selulosa yang diaktivasi dari
limbah pelepah pisang. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kondisi
terbaik biosorpsi FFA pada CPO oleh bioadsorben pelepah pisang dan
menentukan pola isotermal adsorpsi. Penelitian terdiri dari beberapa tahapan
yaitu, aktivasi selulosa pada pelepah pisang dengan H2SO4 0,4 N selama 24 jam,
pencucian hingga pH mendekati netral, pengeringan dalam suhu 1000C dan
pengayakan 250µm, dilanjutkan dengan analisa kualitatif bioadsorben, proses
biosorpsi FFA pada CPO dengan variasi waktu kontak 30, 60, 90, 120, dan 150
menit, perhitungan kadar FFA yang diperoleh sebelum dan setelah proses
biosorpsi, dan penentuan pola adsorpsi isothermal dengan persamaan Langmuir
dan Freunlich. Dari penelitian ini didapatkan bahwa efektifitas penyerapan FFA
meningkat hingga menit ke 90. Setelah menit ke 90 presentase penyerapan
menurun hingga menit ke 150. Waktu kontak terbaik adalah 90 menit dengan
persentase kadar FFA yang terserap sebesar 38,08% dengan persamaan
polynomial orde 3 y = 2E-07x3 - 0,0001x2 + 0,0141x - 0,21, R² = 0,9869. Proses
penyerapan Kadar FFA dapat mengikuti persamaan Langmuir maupun
Freundlich dengan R2 ± 0.9. Persamaan Freundlich lebih sesuai sebagai pola
isotermal adsorpsi dengan R2 = 0.9646
Kata Kunci : adsorbsi, bioadsorben, cpo, free fatty acid, pelepah pisang, pola
isotermal
iv
KATA PENGANTAR
Penulis
v
DAFTAR ISI
vi
2.10 Hipotesa ............................................................................................... 20
BAB III ...................................................................................................................... 20
METODELOGI PENELITIAN ................................................................................. 20
3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ............................................................... 20
3.1.1 Tempat Pelaksanaan Penelitian dan Analisa ............................. 20
3.1.2 Waktu Pelaksanaan .................................................................... 20
3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................... 21
3.2.1 Alat............................................................................................. 21
3.2.2 Bahan ......................................................................................... 21
3.3 Metode Penelitian .................................................................................. 22
3.3.1 Pembuatan Bioadsorben dari Pelepah Pisang ............................ 22
3.3.2 Tahap Adsorpsi .......................................................................... 22
3.3.3 Tahap Analisa Asam Lemak Bebas ........................................... 23
3.4 Diagram Alir .......................................................................................... 24
3.4.1 Pembuatan Bioadsorben ............................................................ 24
3.4.2 Aplikasi Bioadsorben pada CPO ............................................... 25
BAB IV ...................................................................................................................... 26
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 26
4.1 Hasil Pengamatan ................................................................................. 26
4.1.1 Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Penyerapan FFA ............... 26
4.1.2 Penentuan Pola Isothermal Adsorpsi FFA ................................. 26
4.2 Pembahasan............................................................................................ 27
4.2.1 Pengaruh Waktu Kontak Teradap Penyerapan FFA .................. 27
4.2.2 Karakterisasi Bioadsorben Pelepah Pisang dengan Uji Kualitatif
menggunakan Spektrofotometer IR........................................... 29
4.2.3 Penentuan Pola Adsorpsi Isothermal ......................................... 31
BAB V........................................................................................................................ 35
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 35
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 35
5.2 Saran ...................................................................................................... 35
LAMPIRAN ............................................................................................................... 39
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR TABEL
ix
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
merupakan sumber karbon yang sering diabaikan keberadaannya. Menurut Muna
(2012), pelepah pisang memiliki komposisi selulosa yang cukup tinggi dan
berpotensi besar untuk dijadikan sebagai adsorben. Salah satu cara menjadikan
pelepah pisang sebagai adsorben adalah dengan aktivasi selulosa pada pelepah
pisang. Bioadsorben dari pelepah pisang ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk
memenuhi kebutuhan adsorben dalam dunia industri sekaligus untuk menambah
nilai guna dari pelepah pisang.
Terdapat dua variabel yang dapat mempengaruhi efektivitas biosorpsi free
fatty acid pada biosorben pelepah pisang yakni, waktu kontak biosorben serta
konsentrasi biosorben. Pada penelitian ini, waktu kontak sebagai variable bebas
akan dicari untuk mencapai kondisi terbaik biosorpsi free fatty acid oleh biosorben.
Sedangkan variable tetapnya adalah massa bioadsorben. Selanjutnya dilakukan
kajian terhadap pola adsorpsi isotermal Langmuir dan Freundlich
1.4 Tujuan
a. Mencari hubungan waktu kontak bioadsorben pelepah pisang terhadap
efektifitas penyerapan kadar FFA dalam CPO.
2
b. Mengkaji pola adsorpsi isotermal pada biosorpsi FFA dalam CPO oleh
bioadsorben pelepah pisang.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
kimia serat pisang ditunjukkan pada tabel 2.2 di bawah ini.
5
Gambar 2.1 Buah Sawit
Minyak kelapa sawit juga memiliki sifat fisika dan kimia yang meliputi
warna, bau, flavor, kelarutan, titik cair dan polymorphism, titik didih (boiling point),
titik nyala, titik api, bilangan iod, dan bilangan penyabunan. Sifat ini dapat berubah
tergantung dari kemurnian dan mutu minyak kelapa sawit. Beberapa sifat fisika dan
kimia minyak kelapa sawit dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini :
6
kandungan minornya yaitu tokoferol, sterol, pospatida, serta karotenoid yang
merupakan salah satu kandungan penting dalam CPO (Elmariza, 2015). CPO uga
memiliki sifat fisika dan kimia yang ditampilkan pada tabel 2.5 di bawah ini:
Trigliserida merupakan ester dari gliserol dengan tiga molekul asam lemak,
sedangkan senyawa non trigliserida yang ada pada minyak sawit adalah
monogliserida, digliserida, fosfatida, karbohidrat, protein, bahan berlendir atau
getah (gum) serta zat warna alami. Adanya senyawa tersebut berpengaruh terhadap
kualitas minyak sawit, misalnya perubahan bau, warna yang ditunjukkan dalam
bentuk kadar kotoran, kadar air, bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan
penyabunan, zat warna dan sebagainya. Kualitas minyak kelapa sawit bisa
ditingkatkan dengan menghilangkan pengotor-pengotor yang ada dan beberapa
senyawa yang mempengaruhi kualitas minyak kelapa sawit. Salah satu parameter
yang digunakan sebagai standar kualitas minyak kelapa sawit adalah kandungan
asam lemak bebas. (Astuti,2006)
Asam lemak bebas (Free Fatty Acid) adalah asam lemak yang berada
sebagai asam bebas yang tidak terikat sebagai trigliserida. Asam lemak bebas
dihasilkan dari hidrolisis dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral.
Asam lemak bebas terbentuk karena adanya proses oksidasi, dan hidrolisa enzim
selama proses pengolahan dan penyimpanan CPO. Asam lemak bebas yang tinggi
sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena dapat memicu penyakit kolesterol.
Selain itu angka asam lemak bebas yang tinggi dalam minyak dapat menjadi
indikator bahwa minyak tersebut buruk kualitasnya.
7
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan Asam Lemak Bebas relatif tinggi
dalam minyak sawit :
a. Pemanenan buah sawit yang tidak tepat waktu
b. Keterlambatan dalam pengumpulan dan pengangkutan buah
c. Penumpukan buah sawit yang terlalu lama
d. Proses hidrolisa selama di pabrik
8
C6H12O6N 6C + 6H2O
9
Selulosa merupakan salah satu polimer yang melimpah di alam. Produksi
selulosa sekitar 100 milyar ton setiap tahun. Selulosa merupakan senyawa organik
dengan rumus (C6H10O5)n, sebuah polisakarida yang terdiri dari rantai linier dari
beberapa ratus hingga lebih dari sepuluh ribu ikatan β(1→4) unit D-glukosa
(Nishiyama et al. 2009). Selulosa merupakan komponen struktural utama
dinding sel dari tanaman hijau. Sekitar 33% dari semua materi tanaman adalah
selulosa (isi selulosa dari kapas adalah 90% dan dari kayu adalah 40-50%).
Selulosa tidak dapat dicerna oleh manusia, hanya dapat dicerna oleh hewan yang
memiliki enzim selulase. Beberapa molekul selulosa akan membentuk mikrofibril
dengan diameter 2-20 nm dan panjang 100-40000 nm yang sebagian berupa
daerah teratur (kristalin) dan diselingi daerah amorf yang kurang teratur. Beberapa
mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya menjadi serat selulosa. Selulosa
memiliki kekuatan tarik yang tinggi dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut.
Hal ini berkaitan dengan struktur serat dan kuatnya ikatan hidrogen.
Sifat- sifat selulosa terdiri dari sifat fisika dan sifat kimia. Selulosa dengan
rantai panjang mempunyai sifat fisik yang lebih kuat, lebih tahan kama terhadap
degradasi yang disebabkan oleh pengaruh panas, bahan kimia maupun pengaruh
biologis. Sifat fisika dari selulosa yang penting adalah panjang, lebar dan tebal
molekulnya. Sifat fisika lain dari selulosa adalah :
a. Dapat terdegradasi oleh hidrolisa, oksidasi, fotokimia maupun secara mekanis
sehingga berat molekulnya menurun
b. Tidak larut dalam air maupun pelarut organic, tetapi sebagian larut dalam
larutan alkali
c. Dalam keadaan kering, selulosa bersifat higroskopis (mudah menyerap dan
10
melepaskan uap air), keras dn rapuh. Bila selulosa cukup banyak mengandung
air maka akan bersifat lunak. Jadi fungsi air disini adalah sebagai pelunak.
d. Selulosa dalam Kristal mempunyai kekuatan lebih baik jika dibandingkan
dengan bentuk amorfnya. (Daulay, 2009)
Selulosa dalam pelepah pisang dapat diaktivasi untuk meningkatkan daya
sorpsi (daya serap). Aktivasi dilakukan untuk menghilangkan zat-zat pengotor serta
memisahkan lignin dari selulosa.
Adsorben merupakan zat padat yang dapat menyerap komponen tertentu dari
suatu fase fluida. Kebanyakan adsorben adalah bahan – bahan yang sangat berpori
dan adsorbsi berlangsung terutama pada dinding – dinding pori atau pada letak –
letak tertentu didalam partikel itu. Oleh karena pori – pori biasanya sangat kecil
maka luas permukaan dalam menjadi beberapa orde besaran lebih besar daripada
permukaan luar dan bisa mencapai 2000 m/g. Pemisahan terjadi karena adanya
perbedaan bobot molekul atau karena adanya perbedaan polaritas yang
menyebabkan sebagian molekul melekat pada permukaan tersebut lebih erat
daripada molekul lainnya (Saragih, 2008).
Adsorben yang digunakan secara komersial dikelompokkan menjadi dua
yaitu kelompok polar dan non polar
a. Adsorben polar disebut juga hydrophilic, jenis yang termasuk dalam kelompok
ini adalah silica gel, alumina aktif, dan zeolit
b. Adsorben non polar disebut juga hydrophobic, jenis yang termasuk dalam
kelompok ini adalah polimer adsorben dan karbon aktif
Menurut IUPAC (Internationl Union of Pure and Applied Chemical) ada
beberapa klasifikasi pori yaitu :
a. Mikropori : diameter < 2 nm
b. Mesopori : diameter 2 – 50 nm
c. Makropori : diameter > 50 nm.
Karakterisasi adsorbent dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa
dan sifat-sifat fisik maupun kimia dalam suatu adsorbent. Karakterisasi adsorbent
dapat dilakukan dengan spektroskopi infra merah atau Fourier Transfrom Infrared
Spectroscopy (FTIR) yang bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi senyawa yang
terkandung dalam adsorbent.
11
Menurut (Rio, 2011) Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)
adalah suatu metode yang mengamati dan menganalisa komposisi kimia dari
senyawa-senyawa organik, polimer, coating atau pelapisan dengan radiasi
elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang 0,75 – 1.000 µm atau
bilangan gelombang 13.000 – 10 cm-1. Teknik spektroskopi infra merah berguna
untuk mengetahui gugus fungsional suatu senyawa juga untuk mengindentifikasi
senyawa, menentukan struktur molekul, mengetahui kemurnin, dan mempelajari
reaksi yang sedang berjalan.
Untuk memaksimalkan hasil penjerapan adsorbent terhadap adsorbat maka
ada beberapa syarat suatu material dikatakan sebagai adsorbent yang baik adalah :
a. Memiliki daya melarutkan yang besar
b. Selektif
c. Memiliki tekanan uap yang rendah
d. Sedapat mungkin tidak korosif
e. Mempunyai viskositas yang relative rendah
f. Stabil secara termis
g. Harga terjangkau
2.6 Aktivasi
Aktivasi adalah perlakuan terhadap suatu komponen yang bertujuan untuk
memperbesar pori dengan cara memecahkan rantai ikatan hidrokarbon atau
mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga komponen tersebut mengalami
perubahan baik secara fisika maupun kmia, yaitu permukaannya bertambah besar
dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi. Aktivasi dibagi menjadi dua, yaitu aktivasi
fisika dan kimia.
a. Aktivasi fisika merupakan aktivasi dilakukan dengan bantuan panas, uap, dan
gas CO2.
b. Aktivasi kimia merupakan aktivasi dengan penambahan bahan kimia yang
dinamakan aktivator.
Aktivasi kimia memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan aktivasi
fisika seperti suhu aktivasi yang digunakan jauh lebih rendah dan pori pori yang
terbentuk lebih banyak sehingga luas permukaannya lebih besar.Aktivator yang
12
sering digunakan adalah hidroksida logam alkali, klorida, sulfat, fosfat dari logam
tanah, ZnCl2, dan asam asam organik seperti H2SO4 dan H3PO4. (Yunita, 2009).
2.7 Adsorbsi
Akumulasi partikel pada permukaan zat padat disebut adsorpsi atau
penjerapan. Zat yang mengadsorpsi disebut adsorben dan material yang dijerap
disebut adsorbat atau substrat (Efeendi, dkk.2014). Proses adsorpsi terdiri atas dua
jenis, yaitu adsorpsi kimia (kemisorpsi) dan fisika (fisisorpsi). Pada adsorpsi kimia,
suatu molekul menempel ke permukaan melalui pembentukan ikatan kimia.
Sementara itu dalam adsorpsi fisika, adsorbat menempel pada permukaan melalui
interaksi antarmolekul yang lemah (ikatan van der waals). Molekul terikat sangat
lemah dan energi yang dilepaskan pada adsorpsi fisika relatif rendah (< 20 kJ/mol).
Adsorpsi fisik umumnya terjadi pada temperatur rendah dan dengan
bertambahnya temperatur jumlah adsorpsi berkurang dengan mencolok (Castellan,
1983). Pada proses adsorpsi secara kimia, adsorpsi memerlukan energi aktivasi dan
nilai kalor adsorpsi besar mencapai 100 kJ/mol, ini dibutuhkan agar terjadi interaksi
ikatan-ikatan kimia. molekul-molekul yang teradsorpsi pada permukaan bereaksi
secara kimia, sehingga terjadi pemutusan atau pembentukan ikatan. Teradsorpsinya
molekul pada antar muka, menyebabkan pengurangan tegangan permukaan dan
adsorpsi akan berlangsung terus sampai energi bebas permukaan mencapai keadaan
minimum (Adamson, 1990).
Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi kemampuan atau efektifitas
proses adsorpsi, yaitu :
a. Konsentrasi Adsorbat
Semakin besar knsentrasi adsorbat pada larutan maka akan semakin banyak
13
jumlah substansi yang terkumpul pada permukaan. Hal ini sesuai dengan
persamaan Freundlich
Xm / m = k.C1/n
dimana:
Xm = berat zat yang diadsorbsi
m = berat adsorben (zeolit)
C = konsentrasi zat
b. Temperature Adsorpsi
Temperature dimana proses adsorpsi terjadi akan mempengaruhi kecepatan dan
jumlah adsorpsi yang terjadi. Kecepatan adsorpsi meningkat dengan
meningkatnya temperature dan menurun dengan menurunnya temperature.
Seperti pada persamaan kesetimbangan adsorpsi berikut :
∆𝐻
𝐾 = 𝐾0 exp (− )
𝑅𝑇
Dimana :
K : Konstanta Kesetimbangan adsorpsi
K0 : Faktor frekuensi natural
R : Konstanta kecepatan gas (cal/mol 0K)
∆H : Panas adsorpsi (kcal/mol K)
T : Suhu Operasi (K)
c. Waktu kontak
Pada proses adsorpsi dibutuhkan waktu kontak untuk mencapai
kesetimbangan. Sathasivam dan Haris (2010) menuliskan bahwa biosorpsi dapat
dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap yang secara kuantitatif
dominan dan biasanya terjadi diawal proses biosorpsi. Pada tahap ini laju proses
biosorpsi cepat karena ketersediaan situs aktif adsorben yang masih banyak.
Menurut Sathasivam dan Haris (2010), ini biasanya terjadi pada 15 menit
14
pertama proses biosorpsi. Tahap kedua adalah tahap yang lebih lambat dan
secara kuantitatif tidak signifikan. Apabila kontak diteruskan, maka peningkatan
persentase adsorpsi akan menurun karena keterbatasan area adsorben. Bahkan
setelah waktu tertentu yang disebut sebagai kondisi kesetimbangan, maka
peningkatan jumlah adsorbat yang teradsorp menjadi tidak signifikan lagi
(Singanan, 2011).
Hubungan antara waktu kontak dan kapasitas adsorpsi dinyatakan dalam
persamaan kinetika adsorpsi, yaitu Persamaan pseudo second order dalam
bentuk liniernya dapat dituliskan :
𝑡 1 1
.𝑞 = 2 + 𝑞 𝑡 ...........................................(1)
𝑡 𝐾2 𝑞 2
2
15
1. Gas yang teradsorpsi berkelakuan ideal dalam fasa uap.
2. Gas yang teradsorpsi dibatasi sampai lapisan monolayer.
3. Permukaan adsorbat homogen, artinya afinitas setiap kedudukan ikatan untuk
molekul gas sama.
4. Tidak ada antaraksi lateral antar molekul adsorbat.
5. Molekul gas yang teradsorpsi terlokalisasi, artinya mereka tidak bergerak
pada permukaan.
16
Xm / m = k.C1/n
dimana:
Xm = berat zat yang diadsorbsi
n = berat adsorben (zeolit)
D = konsentrasi zat
17
dengan variasi waktu adsorbsi 30, 60, 90, 120, 150, 180 dengan dipanaskan
pada suhu 70oC dengan kecepatan pengadukan 1000rpm.”
5. Irdhawati dkk, 2016 dengan penelitiannya yang berjudul “Daya Serap Kulit
Kacang Tanah teraktivasi asam basa dalam menyerap ion fosfat secara batch”
Jurusan Kimia Fakultas FMIPA Universitas Budayana Bali.
6. Sathasivam dan Haris (2010) menuliskan bahwa biosorpsi dapat dibagi
dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap yang secara kuantitatif
dominan dan biasanya terjadi diawal proses biosorpsi. Pada tahap ini laju
proses biosorpsi cepat karena ketersediaan situs aktif adsorben yang masih
banyak. Menurut Sathasivam dan Haris (2010), ini biasanya terjadi pada 15
menit pertama proses biosorpsi. Tahap kedua adalah tahap yang lebih lambat
dan secara kuantitatif tidak signifikan. Apabila kontak diteruskan, maka
peningkatan persentase adsorpsi akan menurun karena keterbatasan area
adsorben. Bahkan setelah waktu tertentu yang disebut sebagai kondisi
kesetimbangan, maka peningkatan jumlah adsorbat yang teradsorp menjadi
tidak signifikan lagi (Singanan, 2011)
18
semakin mendekati 1.
Penaksiran fungsi regresi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara parametrik
dan nonparametrik. Pada regresi parametrik digunakan bentuk fungsi parametrik
tertentu sebagai m(x). Contoh bentuk model regresi parametrik dengan satu variabel
prediktor :
a. Model regresi linier sederhana :
Y = β0 + β1X + ε
Model dengan satu variabel prediktor yang hubungannya dengan variabel respon Y
digambarkan oleh sebuah garis lurus.
b. Model regresi polynomial ordo 2 (model kuadratik) :
Y = β0 + β1X + β2X2 + ε
Kurva regresi digambarkan oleh kurva lengkung kuadratik
19
2.10 Hipotesa
Dari uraian diatas dan penelitian terdahulu tentang pengaruh waktu kontak
bioadsorben terhadap efektifitas adsorpsi maka dapat diduga efektifitas biosorpsi
akan naik drastis pada menit-menit awal adsorpsi hingga terjadi kesetimbangan
kemudian setelah itu terjadi penurunan presentasi adsorpsi.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
20
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
3.2.1.1 Alat Proses Penelitian
a. Ayakan 180 µmesh
b. Blender
c. Beaker Glass
d. ph Meter
e. Oven
f. Kain Saring
g. Gelas Ukur 100ml
h. Botol BOD 1000 ml
i. Labu Leher 3
j. Pompa Vacum
k. Stirrer Buchi
l. Neraca Analitik
m. Heating Mantle
n. Statif
o. Kertas Saring
p. Klem
q. Corong
3.2.1.2 Alat Analisa
a. Neraca Analitik
b. Erlenmeyer
c. Pipet
d. Bulb
3.2.2 Bahan
3.2.2.1 Bahan Proses Penelitian
a. Asam Sulfat (H2SO4) 0.4 N
b. Pelepah Pisang
c. CPO (Crude Palm Oil)
d. Phosporic Acid
e. Aquades
21
f. Silika Vaccum
3.2.2.2 Bahan Analisa
a. Iso Prophyl Alcohol
b. Indikator PP
c. NaOH 0.1 N
22
c. Suhu heating mantle diatur sampai 70°C, setelah suhu tercapai ditambahkan
Asam fosfat sebanyak 0,05 ml
d. Ditunggu selama 10 menit, lalu dimasukkan adsorben pelepah pisang dengan
massa 1.5% dari berat CPO
e. Suhu heating mantle diatur sampai 100°C, kemudian dipasang pompa
vaccum Buchi dengan tekanan 50mbar.
f. Setelah suhu tercapai, dilakukan proses adsorpsi dengan variasi waktu 30, 60,
90, 120 dan 150 menit
g. CPO yang sudah diadsorpsi didinginkan dengan bantuan gayung yang berisi
air sampai suhu 85°C
h. CPO disaring dengan bantuan pompa vaccum dan kertas saring Whatman no.
41
23
3.4 Diagram Alir
Diaplikasikan untuk
penyerapan FFA pada CPO dan
dilakukan pengkajian pola
isothermal adsorpsi
24
Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Bioadsorben Pelepah Pisang
CPO 165 gr
Analisa Kadar
FFA pada CPO
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1 Hasil uji adsorpsi oleh bioadsorben pelepah pisang pada suhu 70 0C,
dengan sampel CPO 165 gr dan bobot adsorben 1.5 %w/v, kadar FFA awal 5.20
%, dengan variable waktu kontak
Tabel 4.2 Perhitungan harga xm/m, Ce/(xm/m), log (xm/m) dan log Ce
Waktu Ce log
C0(%) Ce (%) Xm m xm/m log ce
(menit) /(xm/m) xm/m
30 5,200 4,520 0,68 2,475 0,275 16,451 -0,561 0,655
60 5,200 3,640 1,56 2,475 0,630 5,775 -0,200 0,561
90 5,200 3,220 1,98 2,475 0,800 4,025 -0,097 0,508
120 5,200 3,620 1,58 2,475 0,638 5,671 -0,195 0,559
150 5,200 4,210 0,99 2,475 0,400 10,525 -0,398 0,624
26
Keterangan :
Xm = C0 – Ce
4.2 Pembahasan
Gambar 4.1 Grafik pengaruh waktu kontak adsorbsi terhadap penurunan Kadar
Free Fatty Acid
35.00%
30.00%
25.00%
20.00%
15.00% y = 2E-07x3 - 0.0001x2 + 0.0141x - 0.21
10.00% R² = 0.9869
5.00%
0.00%
0 20 40 60 80 100 120 140 160
Waktu Kontak (menit)
y Poly. (y)
27
Gambar 4.2 Grafik hubungan Pengaruh Waktu Kontak dengan Efektifitas
Penyerapan FFA
Dari grafik yang terlihat pada gambar 4.1 didapatkan korelasi yang
menyatakan hubungan antara waktu (menit) pada sumbu x dengan kadar Free Fatty
Acid pada sumbu y, mengikuti persamaan polynomial orde 3, y = 1E-06x3 - 6E-06x2
- 0,029x + 5,2433 dengan R² = 0,9765. Hal ini berarti sebanyak 97,65% keragaman
hasil penurunan kadar FFA dipengaruhi oleh waktu kontak dengan penduga
persamaan regresi kubik.
Sementara itu berdasarkan grafik yang terlihat pada gambar 4.2 didapatkan
korelasi yang menyatakan hubungan antara waktu kontak adsorpsi pada sumbu x
dengan efektivitas penyerapan FFA pada sumbu y, mengikuti persamaan berikut y =
2E-07x3 - 0,0001x2 + 0,0141x - 0,21 dengan R² = 0,9869. Sebanyak 98,69 %
keragaman hasil penyerapan kadar FFA juga dipengaruhi oleh waktu kontak dengan
penduga persamaan regresi kubik.
Metode regresi non-linier kubik dengan grafik polinomial orde tiga lebih
mewakili untuk mengolah data pada penelitian ini dikarenakan perubahan pada Y
diikuti dengan perubahan yang tidak tetap pada X dalam wilayah yang ditentukan
sehingga didapatkan nilai regresi yang lebih besar dibandingkan dengan
menggunakan metode regresi linier.
Dari grafik 4.1dan 4.2 dapat dilihat penurunan dan penyerapan FFA yang
signifikan. Penurunan yang paling baik terjadi pada menit ke 90 dimana didapatkan
kadar FFA sebesar 3.22 %. Pada menit ini pula didapatkan presentase terbesar
penyerapan FFA oleh bioadsorben pelepah pisang yaitu sebesar 38,08 %. Menit ini
di anggap sebagai waktu optimum adsorpsi karena pada menit selanjutnya yaitu pada
menit ke 120, kadar FFA yang didapat lebih besar daripada sebelumnya yaitu, 3,62
% serta presentase penyerapan yang lebih kecil.
Seperti yang telah dituliskan oleh Sathasivam dan Haris (2010), yakni tahap
pertama merupakan tahap yang secara kuantitatif dominan dan terjadi pada awal
proses biosorbsi. Pada tahap pertama laju biosorpsi cepat dikarenakan masih
banyaknya ketersediaan gugus aktif pada biosorben. Pada penelitian ini tahap
pertama terjadi hingga menit ke-90 hal ini dapat dilihat pada kenaikan konsentrasi
FFA yang terserap. Selanjutnya terjadi tahapan kedua , dimana pada tahapan ini
28
adsorpsi berjalan lebih lambat dan apabila tidak signifikan secara kuantitatif apabila
adsorpsi dilanjutkan maka akan terjadi penurunan presentasi adsorpsi dikarenakan
keterbatasan area adsorben. Setelah waktu tertentu yang disebut sebagai kondisi
kesetimbangan peningkatan jumlah adsorbat yang teradsorp menjadi tidak signifikan
lagi. tahap kedua pada penelitian ini terjadi setelah menit ke-90 dimana konsentrasi
logam tembaga yang terserap mengalami penurunan hingga menit ke-150.
Dengan hasil regresi yang cukup tinggi, bioadsorben pelepah pisang
menggunakan activator Asam Sulfat 0.4 N efektif untuk menurunkan kadar FFA
pada CPO sehingga sesuai dengan standar SNI dimana FFA tidak lebih dari 5%.
90
85
2918.666 123.413
1425.204 93.698
1369.131 47.909
1247.747 60.601
80
1625.068 388.590
895.715 28.796
3334.508 347.595
1155.045 96.220
75
1315.479 158.065
778.383 57.819
%Transmittance
70
1100.626 60.681
65
660.384 42.741
60
55
1029.498 1374.905
50
45
40
35
3800 3600 3400 3200 3000 2800 2600 2400 2200 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600
Wavenumber
29
100
adsorben batang pisang_2_2018-07-18t16-01-53(1)
95
1731.669 65.967
90
2904.878 18.341
2916.857 22.541
1431.505 12.804
1369.304 30.124
1252.026 12.218
3387.612 30.610
85
895.756 18.656
1314.491 104.660
1155.355 64.457
%Transmittance
778.509 20.135
700.335 17.886
80
1100.449 42.237
659.702 32.777
75
70
1032.520 1025.074
65
60
3800 3600 3400 3200 3000 2800 2600 2400 2200 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600
Wavenumber
Gambar 4.4 Hasil Pengujian FTIR Adsorben Pelepah Pisang Setelah Diaktivasi
Data yang tersaji pada Gambar 4.1 dan 4.2 dapat dikorelasikan dengan Tabel
Spektrum Infra Merah (tabel ada di lampiran) sehingga dapat diketahui gugus fungsi
yang terdapat pada adsorben sebelum dan sesudah aktivasi seperti yang ditampilkan
pada Tabel 4.1.
Tabel 4.3 Pembacaan hasil Uji Kualitatif Pelepah Pisang sebelum dan
sesudah diaktivasi
30
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa serapan spektra pelepah pisang sebelum
diaktivasi pada daerah 3334.508 cm-1 mengandung gugus fungsi regangan O-H. Jika
dibandingkan dengan serapan spektra setelah diaktivasi pada daerah 3387.612 cm-1
mengindikasikan adanya serapan O-H pada regangan intensitas puncak serapan yang
lebih kuat dan lebar. Hal ini mendukung pernyataan sebelumnya bahwa aktivasi
selulosa pada pelepah pisang menggunakan asam sulfat mampu membuat senyawa
O-H mengalami pergeseran atom H dan O karena afinitas Asam Sulfat yang tinggi.
Regangan yang lebih kuat menandakan terbentuknya pori yang lebih lebar pada
adsorben (Muna SM, 2011)
Selain itu pada tabel sebelum pelepah pisang diaktivasi, pada serapan
1369.131 dan 1315.479 terdapat gugus sulfon, juga pada serapan 1247.747 dan
1155.045 terdapat gugus sulfat. Jika mengacu pada tabel 2.2 tentang komposisi
senyawa pelepah pisang, seharusnya tidak ditemukan gugus sulfur didalamnya.
Gugus sulfur yang terdapat pada pelepah pisang sebelum diaktivasi mungkin
dikarenakan adanya pengotor saat preparasi pembuatan bioadsorben atau saat
preparasi sampel.
31
Log (x/m) = log k + 1/n log Ce.............................................................. (4.2)
dimana:
Ce = konsentrasi FFA dalam larutan setelah diadsorpsi
x/m = massa FFA yang diserap per gram bentonit
b = parameter afinitas atau konstanta Langmuir
a dan k = kapasitas / daya adsorpsi maksimum (mg/gram)
10
ce/(x/m)
5 Linear (ce/(x/m))
0
0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000
Ce
32
Kurva log (x/m) versus log Ce
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8
-0.1
-0.2
log (x/m)
-0.5
-0.6
log Ce
Gambar 4.6 Kurva persamaan adsorpsi isotermal Freundlich dari log (x/m) versus
log Ce
Dari gambar 4.5 dan 4.6 dapat dilihat bahwa pengujian persamaan Freundlich
maupun Langmuir memiliki linierisasi yang baik dan memiliki harga koefisien
determinasi R2 ≥ 0,9 dan menandakan bahwa adsorpsi FFA oleh bioadsorben pelepah
pisang memenuhi persamaan adsorpsi Langmuir dengan R2=0,9254 dan persamaan
Freundlich dengan R2= 0.9646. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan Langmuir
dan Freundlich dapat diterapkan pada proses adsorpsi FFA dengan bioadsorben
pelepah pisang. Dari grafik didapatkan persamaan Freundlich log (x/m) = -3,1438
log Ce + 1,5376 dan persamaan Langmuir Ce/(x/m) = 9,4194 Ce – 27,7.
Persamaan garis yang diperoleh pada Gambar 4.5 dan 4.6 lalu diintepretasikan
pada masing-masing persamaan, sehingga diperoleh koefisien parameter isotermal
seperti yang tersaji dalam Tabel 4.6
Tabel 4.6 Nilai konstanta adsorpsi
No Parameter isothermal isotermal Langmuir isotermal freundlich
1 0.1062 -
2 0,3399 -
3 N - 0,3181
4 K - 34,483
5 R2 0,9254 0,9646
33
Nilai K pada isotermal Freundlich merupakan daya adsorpsi FFA pada CPO
yaitu sebesar 34,483 mg/g, dan nilai n sebesar 0,3181 yang merupakan konstanta
Freundlich (Siti Sulastri dkk., 2014). Menurut Rasmiah (2013), nilai n menunjukkan
karakteristik adsorpsi. Kesesuaian sangat baik apabila nilainya 2-10, cukup apabila
nilainya 1-2 dan buruk apabila nilainya <1 (Rasmiah, 2013). Nilai n pada penelitian
ini adalah 0,3181 nilai ini kurang dari 1 dan mengindikasikan bahwa proses
adsorpsinya sulit.
Harga koefisien korelasi (R2) grafik persamaan freundlich lebih besar dari nilai
R2 dari grafik persamaan Langmuir yaitu sebesar 0,9646, sehingga dapat
diasumsikan pola isotermal yang lebih sesuai pada adsorpsi logam tembaga oleh
biosorben pektin adalah pola isotermal freundlich (multilayer). Nilai R2 pada
persamaan freundlich sebesar 0.9646 memiliki arti kesesuaian yang mendekati
sempurna yakni seluruh variasi dalam variabel tergantung (variabel Y) dapat
diterangkan dengan model regresi. Pola isotermal freundlich mengasumsikan bahwa
permukaan adsorben bersifat heterogen dimana setiap gugus aktif pada permukaan
adsorben memiliki kemampuan mengadsorpsi yang berbeda-beda. Kapasitas adsorpsi
freundlich mewakili semua gugus atau situs yang memungkinkan untuk menyerap
FFA. Berdasarkan perbandingan dari kedua tipe isotermal adsorpsi tersebut, adsorpsi
tipe Freundlich mempunyai regresi yang mendekati 1 dibandingkan dengan isotermal
Langmuir, oleh karena itu tipe Freundlich lebih baik digunakan untuk mencirikan
mekanisme adsorpsi FFA pada CPO dengan bioadsorben pelepah pisang.
34
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
5.2 Saran
Untuk lebih memaksimalkan proses penyerapan FFA pada CPO sebaiknya :
35
DAFTAR PUSTAKA
Adamson, A.W.1990. Physical Chemistry of Surface 5thed, John Willey & Sons,
New York.
Aprilia. 2009. Preparasi produk nata de pina dan aplikasi pengikatannya
terhadap logam kobalt(II). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Asrijal St, dkk 2014. Variasi Konsentrasi Aktivator Asam Sulfat (H2SO4) pada
Karbon Aktif Ampas Tebu Terhadap Kapasitas Adsorpsi Logam Timbal.
Makasar : UIN Alaudin Makasar.
Astuti Widi, dkk. 2006. Penurunan Kadar Asam Lemak Bebas pada CPO
menggunakan zeolit Alam. Lampung: UPT Balai Pengolahan Mineral
lampung – LIPI.
Ayu Chandraningsih. 2010. Penurunan Kadar FFA, Bilangan Peroksida, dan Warna
pada Crude Palm Oil (CPO) Menggunakan Bioadsorben Kulit Kacang
dengan Variasi Waktu Adsorben. Universitas Muhammadiyah: Jakarta
Badan Standarisasi Nasional.1998. SNI 01-0016-1998. Crude Palm Oil. Jakarta
Daulay, L. R. 2009. Adhesi Penguat Serbuk Pulp Tandan Kosong Sawit
Tersesterifikasi Dengan Matriks Komposit Polietilena: Disertasi. Medan :
Universitas Sumatera Utara.
Efeendi, dkk. 2014. Batang Pisang (Musa Paradisiac sp) sebagai Adsorben Minyak
Jelantah Upaya Mengurangi Kadar Free Fatty Acid (FFA) dan Bilangan
Peroksida dalam Minyak Jelantah. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Elmariza Juli, dkk. 2015. Optimasi Ukuran Partikel Massa dan Waktu Kotak Karbon
Aktif Berdasarkan Efektivitas Adsorbsi β Caroten pada CPO. Pontianak:
Universitas Tanjungpura.Pontianak.
Gunstone, F. D., J. L. Harwood and F.B. Padley.1994. The Lipid
Handbook.Chapman and Hall.London
Harjono.S., 1992, Spektroskopi Inframerah Edisi Pertama, Yogyakarta : liberty
Husni H., dan Cut Meurah R. 2004. Preparation and Characterization of Acivated
Carbon from Banana Stem by Using Nitrogen Gas.Jurnal Reserch Teknik
Kimia. Banda Aceh : Universitas Syah Kuala.
36
Irdhawati, dkk.2016.Daya Serap Kulit Kacang Tanah Teraktivasi Asam Basa Dalam
Menyerap Ion Fosfat Secara Batch dengan Metode Bath.Universitas
Udayana: Bali.
Ketaren dalam Widi Astuti (2006). Pengantar Teknologi Minyak Dan Lemak
Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Krischenbauer. 1960. Fat and Oil. An Outline of Their Chemistry and Technology
(New York).Reinhold Publishing Co : New York.
Muna SM. 2011. Kinetika Adsorpsi karbon aktif dari batang pisang sebagai
adsorben untuk penyerapan ion logam Cr(VI) pada air limbah industri.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Nishiyama et al. 2009. Crystal structure and hydrogen-bonding sistem in cellulose
iβ from synchrotron x-ray and neutron fiber diffraction. J. Am. Chem. Soc.
Putri Adelina. 2009. Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Rajungan pada Proses
Adsorpsi Logam Nikel dari Larutan NiSO4.Depok : Universitas Indonesia.
Rasmiah Almufarij.2013.Removal of crystal violet dye from aqueous solutions onto
date palm leaf without the sharo spines.Adsorption and Kinetic
Studies.Journal of American Science
Rio, B.F. 2011. Sintesis Nanopartikel Silika dari Pasir Pantai Purus Padang
Sumatera Barat Dengan Metode Kopresipitasi, Jurnal Fisika Unand. Padang :
Universitas Andalas.
Saragih, S. A. 2008. Pembuatan dan Karakterisasi Karbon Aktif dari Batubara Riau
Sebagai Adsorben. Jakarta : Universitas Indonesia.
Sathasivam, K, Haris, M, R, H, M, 2010 Adsorption cinetic and capacity of fatty
acid-modified banana trunk fibers for oil in water, air, & oil pollution, Int
J.Environ, Pollut:213-413
Sulastri Siti.2012.Pemanfaatan Limbah Kulit Pisang Raja (Musa textillia) sebagai
bahan pengganti tepung (Powder Subtitution).SMA Negeri 1
Winangun.Kebumen.
Suprapti L, 2005. Teknologi Pengolahan Pangan Tepung Tapioka dan
Pemanfaatannya. PT Gramedia Pustaka.Jakarta
Skoog, A. D., F. J. Holler, and T. A. Nieman. 1998. Principles of Instrumental
Analysis 5th ed., Harcourt Brace Collage Publishers : Philadelphia.
37
Suyanti dan Supriyadi. 2008. Pisang: Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar.
Penebar Swadaya. Jakarta.
38
LAMPIRAN
39