Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas keberkahan
Nyalah akhirnya kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan.
Kami sepenuhnya menyadari, karena aapa yang kami sajikan pada makalah ini,
keberadaannya masih sederhanadan jauh dari kesempurnaan karena sumber bacaan,
pengetahuan yang kami miliki sangatlah terbatas. Disamping itu juga, kami sangat berharap
agar ibu selaku dosen mata kuliah pendiddikan agama kristen kiranya memberikan kritik,
serta saran yang membangun demi perbaikan moto dan bobot karya tulis ini yang lebih baik.
Demikian sepatah kata pengatar yang bisa kami sampaikan dan bila ada hal-hal yang
kurang berkenan, kami minta maaf yang sebesar-besarnya, atas perhatian ibu kami ucapkan
banyak terimakasih.

Palangka Raya, 27 Mei 2019

Penulis
Daftar Isi
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..................................................................................2
D. Manfaat Penulisan................................................................................2

BAB II MANUSIA SEBAGAI CIPTAAN ALLAH.............................................3


A. Hubungan Ekonomi Dengan Ekologi..................................................3
B. Manusia Dalam Alam..........................................................................7
C. Pandangan Alkitab Mengenai Keutuhan Ciptaan................................11
D. Sikap Manusia Terhadap Alam Berdasarkan Pandangan Alkitab.......17

BAB III PENUTUP................................................................................................27


A. Kesimpulan...........................................................................................27
B. Saran.....................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkembangan peradaban dan banyaknya kejadian besar yang terjadi pada
bangsa ini, maka semakin banyak pula tantangan yang muncul seiring dengan
perkembangan zaman dan kemunculan kejadian besar tersebut.
Sejak tahun 1960-an, kita sudah sangat sering mendengar teriakan tentang menipisnya
sumber alam, pengotoran udara, air dan tanah, pemanasan bumi, musim yang berubah
tanpa aturan lagi, hutan- hutan menjadi gundul, efek rumah kaca dan lain-lain.
Semuanya itu membuat kita berpikir untuk menemukan suatu relasi yang benar dalam
perspektif hubungan yang tidak saling mematikan antara dunia bisnis, manusia dan
alam lingkungan. Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (WCC), yang pada bulan Februari
1992 menyelenggarakan Sidang Raya yang ke-8 di Canberra-Australia, menyerukan
agar upaya kita tidak berorientasi lagi kepada manusia (man oriented) tetapi kepada
kehidupan (life oriented). Manusia diserukan supaya sadar bahwa dia bukanlah
tujuan penciptaan. Upaya-upaya untuk mengeksploitasi bumi bagi kepentingannya
sendiri harus diganti oleh sikap dasar bahwa manusia pada hakikatnya tidak
mempunyai arti apa-apa bila dilepaskan dari makhluk-makhluk lainnya dalam suatu
lingkaran ekologis yang tidak putus-putusnya.
Melalui bab ini, Kami diharapkan mencapai beberapa tujuan pembelajaran. Adapun
tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah: (i) bersyukur kepada Tuhan yang
telah mencipta, menyelamatkan, memelihara dan membarui ciptaan- Nya; (ii)
mengembangkan sikap kasih kepada Tuhan sebagai Pencipta, Penyelamat, Pemelihara
dan Pembaru ciptaan-Nya; (iii) berpengharapan akan masa depan yang lebih
baik; (iv) peduli dan bertanggung jawab memelihara ciptaan Tuhan; (v)
menganalis karya Tuhan berdasarkan kesaksian Alkitab; (vi) menganalisis ajaran
tentang karya Tuhan berdasarkan kesaksian Alkitab; (vii) menerapkan tanggung
jawab etis Kristen dalam pemeliharaan lingkungan hidup; (viii) merumuskan hasil
penelaahan dasardasar Alkitab yang menunjukkan Tuhan sebagai Pencipta; (ix)
menyajikan hasil penelaahan dasar-dasar Alkitab yang memperlihatkan Tuhan
sebagai pemelihara dan pembaharu ciptaan-Nya; serta (x) melakukan tindakan
pemeliharaan terhadap ciptaan Tuhan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hubungan antara Ekonomi dan Ekologi?
2. Bagaimana Peranan Manusia dengan Alam?
3. Apa Pandangan Alkitab Mengenai Keutuhan Ciptaan?
4. Bagaimana Sikap Manusia Terhadap Alam Berdasarkan Pandangan Alkitab?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah ?
1.untuk mengetahui dan memahami hubungan antara ekonomi dan ekologi
2. untuk mengetahui dana memahami peran manusia dan alam
3. untuk mengetahui dan memahami pandangan alkitab
4.untuk mengetahui dan memahami sikap manusia terhadap alam berdasarkan
pandangan alkitab.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini yaitu:
1. Sebagai bahan bacaan
2. Agar pembaca dapat memahami bagaimana menjaga ciptaan Allah

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Ekonomi dengan Ekologi


Hubungan antara ekonomi dan ekologi menjadi pusat perhatian, sebab pada dasarnya
masalah ekologi timbul sebagai akibat serta menjadi korban dari kegiatan ekonomi
(Sumartana 1994, 110). Kegiatan ekonomi yang menjadi tulang punggung
pembangunan sering dianakemaskan sebegitu rupa sehingga ia menjadi terlalu manja
dan kurang diawasi, kenakalan mereka dibiarkan. Hubungan antara ekonomi dan
ekologi kemudian menampakkan

wajah yang buruk. Dalam tayangan televisi dapat disaksikan rusaknya lingkungan
laut yang menyebabkan matinya ikan, kerang dan kepiting, serta merugikan para
nelayan dan petani kerang. Mereka sangat dirugikan oleh pembuangan limbah pabrik
yang seenaknya sehingga mematikan dan merusak lingkungan. Tingkah para pencari
untung tersebut mencerminkan sikap etik tertentu yang perlu dipertimbangkan secara
kritis. Mereka menganggap seolah-olah mereka hidup tanpa tetangga, tanpa orang
lain, tidak mau tahu bahwa perilaku mereka telah amat merugikan orang lain,
merusak lingkungan hidup. Para pemilik pabrik yang tidak bertanggung jawab dan
pencari untung tersebut telah berbuat seolah-olah mengejar keuntungan diri sendiri
layak membuat rugi orang lain. Hubungan antara ekonomi dan ekologi dalam
praktik dipertentangkan satu terhadap yang lain. Inilah awal dari malapetaka
itu.
Sebenarnya hubungan antara ekonomi dan ekologi bisa dijabarkan dari pengertian
etimologis yang justru bisa saling membantu dan membina. Ekonomi berasal dari
kata oikos dan nomos. Oikos berarti ’rumah tangga‘ dan nomos berarti ’aturan,
hukum.’ Ekonomi bisa diartikan sebagai upaya untuk mengatur atau penatalayanan
rumah tangga (housekeeping). Sedang ekologi gabungan dari kata oikos dan logos.
Oikos berarti ’rumah tangga‘, logos berarti ‘perkataan, pemahaman dan pengertian.’
Hubungan antara ekonomi dan ekologi tergabung dalam pemahaman bahwa kita
tidak bisa menata masyarakat dan alam ini tanpa mengerti dan memeliharanya.
Dengan kata lain, maka usaha untuk melakukan housekeeping harus dibarengi
naturekeeping.
Berbicara tentang ekonomi dan ekologi, khususnya dari perspektif Indonesia, harus
dimulai dengan mengatakan bahwa ia tidak merupakan masalah pilihan “ini atau itu,”
seolah-olah dengan bebasnya dapat dipilih antara ekonomi atau ekologi. Atau andai
dipaksa untuk memilih, yang harus kita katakan adalah bahwa ini bukanlah pilihan
yang mudah atau sederhana. Akar masalahnya memiliki sejarah yang cukup panjang.
Selama lebih dari 200 tahun, pertumbuhan industri yang menjadi sakaguru
pertumbuhan ekonomi Barat, telah didukung oleh tersedianya bahan bakar yang
murah, sumber alam yang melimpah ruah serta lingkungan yang seakan-akan tanpa
batas mampu menyerap semua limbah (Daraputera 1996, 120). Keadaan
seperti ini

tidak hanya terjadi di Barat. Selama dasawarsa pertama pembangunan di Indonesia,


kita juga dibuai oleh asumsi yang sama: persediaan minyak dan gas bumi yang
melimpah, simpanan sumber alam yang kaya raya, dan tidak sedikit pun terpikirkan
bahwa limbah industri akan menjadi masalah.
Kesadaran bahwa industrialisasi juga menciptakan masalah datangnya amat lambat.
Pengalaman Amerika Serikat memberikan ilustrasi yang menarik. Pada tahun 1960-
an, mereka telah mulai menyadari terjadinya degradasi lingkungan yang disebabkan
oleh industrialisasi. Namun demikian, pada waktu itu, mereka masih yakin bahwa
teknologi pada akhirnya pasti akan mampu memecahkan masalah tersebut. Baru
kemudian, sebelum dasawarsa itu berakhir, mereka menyadari bahwa walaupun
teknologi mampu membantu dalam menemukan sumber daya alternatif, teknologi
menciptakan masalah lingkungan yang amat serius. Oleh karena itu, pada awal tahun
1970-an, disahkanlah beberapa perangkat peraturan untuk mengendalikan polusi
serta melindungi kelestarian alam. Pada pertengahan tahun 1970-an, kembali terjadi
titik balik. Pada waktu itu, Amerika Serikat menderita akibat embargo minyak dan
resesi ekonomi. Menghadapi keadaan seperti itu, banyak orang beranggapan bahwa
masalah energi serta pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting ketimbang masalah
lingkungan. Pada akhir tahun 1970-an, peraturan mengenai lingkungan mulai
dikendorkan demi pertumbuhan ekonomi.
Indonesia juga mempunyai cerita yang hampir sama. Selama Pelita I-III, fokus
pembangunan Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi. Baru kemudian kita terkejut
menyadari betapa tingginya harga yang harus dibayar untuk itu: kelestarian ekologi
yang telah kita kurbankan demi pertumbuhan ekonomi. Didorong oleh kesadaran
ini lahirlah konsep “Pembangunan Berwawasan Lingkungan,” “Amdal” (Analisis
dampak atas lingkungan), dan sebagainya. Belakangan ini, untuk lebih menarik para
investor asing ke Indonesia, ada kecenderungan untuk mengendurkan masalah
ekologi lagi.
Alasan yang paling banyak dikemukakan untuk mengendurkan aturan- aturan
mengenai lingkungan hidup adalah ekonomi: demi pertumbuhan ekonomi,
penanaman modal asing, industrialisasi, menciptakan lapangan kerja, persaingan
global dan sebagainya. Alasan-alasan itu ada benarnya. Namun demikian, harus
dipertanyakan alasannya yang paling dasar: apakah memang dapat dibenarkan bila
kita mengurbankan ekologi demi ekonomi?
Mengurbankan sesuatu hanya sah apabila: kita harus melakukannya demi tujuan yang
lebih luhur dan kita yakin bahwa manfaatnya lebih besar daripada yang kita
kurbankan.
Tampak jelas bahwa di balik isu ekonomi dan ekologi, sesungguhnya ada konflik-
konflik kepentingan, konflik-konflik kekuasaan, dan konflik-konflik nilai- nilai yang
pelik. Betapa sulitnya menentukan kebijakan yang secara seimbang sekaligus
menjamin baik lingkungan hidup, pertumbuhan ekonomi, tersedianya lapangan kerja,
maupun kesehatan manusia.
Di satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia membutuhkan pertumbuhan
ekonomi dan industri untuk menciptakan lapangan kerja. Indonesia juga
membutuhkan teknologi pertanian yang baru untuk memproduksi bahan pangan yang
lebih banyak, bahkan teknologi tinggi untuk mampu bertahan dalam persaingan
global. Pada sisi lain, kita mengetahui bahwa semua itu juga akan menguras habis
sumber daya alam kita, menciptakan polusi terhadap lingkungan hidup kita, serta
membahayakan kesehatan manusia, dan sebagainya.
Kompleksitas masalah ini penting kita sadari terus-menerus, agar kita tidak
terjerembab pada penyederhanaan masalah yang berlebihan. Namun demikian, kita
juga tidak boleh hanya berhenti dalam frustasi lalu tidak mampu bertindak apa-apa,
sementara tindakan begitu dibutuhkan. Untuk mampu bertindak secara benar dan
tepat, kita perlu melakukan analisis biaya dan manfaat. Analisis ini akan membantu
Anda untuk mengetahui kerumitan permasalahannya.
Namun demikian, analisis ini hanyalah awal saja, yang segera harus diikuti dengan
analisis etis. Analisis etis akan membantu menentukan tindakan yang benar, baik dan
tepat.
Analisis biaya dan manfaat mengasumsikan bahwa semuanya dapat dihitung dengan
pasti. Di dalam beberapa kasus, kalkulasi seperti itu memang mungkin. Misalnya,
kita dapat menghitung dengan hampir pasti berapa biaya yang harus dikeluarkan
untuk membersihkan air laut dari tumpahan minyak mentah dari sebuah kapal tanker
yang tenggelam. Dalam banyak kasus yang lain, terutama apabila polusi itu
melibatkan kerugian bagi kesehatan manusia atau kematian, kerugian itu tidak pernah
dapat diukur dengan angka. Berapakah harga sebuah kehidupan?
Masalah pokoknya adalah bagaimana memperkirakan dan menghitung risiko.
Penghitungan risiko merupakan masalah karena ada begitu banyak teknologi
mutakhir yang tidak pernah dapat kita perkirakan risikonya dengan tepat, baik bagi
generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Contohnya penggunaan
teknologi nuklir. Persoalan etis mendasar yang harus kita kemukakan sehubungan
dengan analisis biaya dan manfaat adalah sebagai berikut. Misalnya diasumsikan
bahwa kita dapat membuktikan manfaat dari teknologi tertentu memang jauh lebih
besar dari kerugiannya. Apakah ini dengan sendirinya memperbolehkan kita
memaksakannya kepada semua orang, termasuk kepada mereka yang berkeberatan?
Bagaimana dengan hak-hak moral mereka yang paling dasar? Bukankah setiap orang
mempunyai hak untuk diperlakukan atas sesuatu oleh orang lain, hanya setelah ia
menyatakan persetujuannya? Bila orang dengan jelas telah menyatakan
ketidaksetujuannya, bukankah hak moral dasar mereka itu dilanggar bila dipaksakan
juga?
Ketika analisis biaya dan manfaat tidak mampu memberikan petunjuk yang pasti
mengenai bagaimana harus bertindak, keputusan mengenai hal itu haruslah
diserahkan kepada masyarakat yang bersangkutan. Ini tentu saja benar!
Namun demikian, di dalam kenyataan, prinsip ini amat sulit diterapkan. Orang akan
dapat memberikan persetujuannya hanya apabila ia sebelumnya mengetahui benar
apa yang harus disetujuinya dan apa saja risiko dari persetujuannya itu. Harus diingat
bahwa teknologi mutakhir itu sering begitu kompleksnya sehingga masyarakat awam
tidak mungkin menguasai seluk-beluk persoalannya, apalagi risiko-risiko yang
mungkin dapat ditimbulkannya. Bahkan di kalangan para ahli pun, ketidaksepakatan
mengenai ini adalah sesuatu yang lazim. Bila kita tidak mampu mengetahui,
bagaimana kita harus mengambil keputusan?
Kita memerlukan pendekatan yang lain, yakni pendekatan yang tidak sepenuhnya
cuma bergantung pada analisis biaya dan manfaat. Kehidupan, pada akhirnya, selalu
melampaui kalkulasi angka-angka. Dalam hal ini, yang kita butuhkan adalah sebuah
komitmen moral. Sebaliknya, ekonomi adalah bagian kehidupan yang amat penting.
Ekonomi mempunyai fungsi yang amat vital bagi kehidupan, dan oleh karena itu
jangan kita meremehkannya. Yang hendak dikatakan adalah ekonomi itu penting
sepanjang menopang kehidupan. Oleh sebab itu, persoalan kita bukanlah ekonomi
atau kehidupan, melainkan ekonomi untuk kehidupan
Walaupun bermanfaat, suatu tindakan tidak dapat digantungkan sepenuhnya pada
kalkulasi untung rugi. Ketika biaya atau risiko tidak dapat dipastikan sebelumnya,
kehidupan harus ditempatkan di depan, menjadi pertimbangan kita satu-satunya.
Bagaimana menerjemahkan prinsip ini ke dalam tindakan? Ada beberapa
kemungkinan. Beberapa ahli mengusulkan bahwa ketika risiko tidak mungkin
diperkirakan dengan pasti, jalan terbaik adalah memilih proyek-proyek yang tidak
mengandung risiko kerusakan yang tidak mungkin diperbaiki. Sekalipun sebuah
teknologi baru dapat diharapkan memberikan manfaat yang maksimum, tetapi bila ia
juga mengandung risiko penghancuran yang fatal, proyek ini harus mutlak kita tolak.
Beberapa ahli lain mengusulkan cara lain, demi keadilan diidentifikasikan siapa-siapa
yang akan paling dibahayakan atau menanggung risiko yang terbesar sekiranya
kemungkinan yang paling buruk terjadi, dan kemudian direncanakan langkah-
langkah untuk memastikan bahwa mereka terlindungi. Generasi mendatang dan anak-
anak, misalnya, termasuk dalam kategori yang mesti dijamin perlindungannya.
Pendekatan lain lagi adalah sebagai berikut. Ketika risiko tidak mungkin
diperhitungkan dengan pasti sebelumnya, harus diasumsikan kemungkinan yang
paling buruk, dan kemudian mempertanyakan apakah dalam situasi yang seperti itu,
kehidupan terlindungi. Tentu saja risiko adalah bagian yang tidak terelakkan dari
kehidupan. Namun demikian, hidup ini bukan permainan untung-untungan. Ketika
yang dipertaruhkan adalah kehidupan itu sendiri, kita tidak punya pilihan lain. Ketika
hidup itu sendirilah yang menghadapi risiko kehancuran, manfaat apa lagi yang
masih mungkin kita harapkan?
Bisnis memang bertujuan untuk mencari untung. Dan harus diakui bahwa mencari
untung tidak haram. Seorang pengusaha bekerja untuk mencari untung. Tujuan hidup
(termasuk pengusaha) adalah mencari untung serupa dengan analogi bahwa tujuan
hidup adalah bernafas. Kita tidak bisa hidup tanpa bernafas, tetapi agaknya sulit
diterima kalau dikatakan bahwa tujuan hidup “hanya” untuk bernafas. Di samping
itu, ada batasan moral mengenai keuntungan, sebab jual beli manusia, jual beli obat
terlarang, jual beli minuman keras, jual beli pornografi, sekalipun mungkin amat
menguntungkan; jelasjelas bertentangan dengan moral masyarakat. Termasuk di
dalamnya menipu pajak, memperkerjakan anak-anak, menindas buruh, memanipulasi
peraturan; semuanya bisa menguntungkan, akan tetapi bukan itu bisnis yang bercorak
etis.
Dalam kaitan dengan ekologi, ekonomi sering berjalan sendiri. Ekonomi sering
dikelola dengan naluri atau dorongan ketamakan, ketidaksabaran, kerakusan,
kebodohan dan kecerobohan. Kalangan bisnis sering menganggap bahwa alam ini
adalah suatu aset modal yang didapat dengan gratis. Di pihak lain, tenaga manusia
yang melimpah menyebabkan sumber daya manusia itu dihargai seminimal mungkin,
ditekan serendah mungkin sebagai “faktor produksi.” Bisnis dijalankan seolah-olah
“tidak ada hari esok,” mengeruk dan mengeruk keuntungan, seolah-olah
manusia tidak mempunyai anakanak yang harus tetap hidup. Bisnis dilakukan seolah-
olah perusahaan sedang mengalami likuidasi. Cara kita mengeksploitasi alam dan
sesama manusia, bagaikan menjelang mengalami proses kebangkrutan, sehingga
dilakukan pengurasan habis-habisan terhadap sumber daya alam dan sumber daya
manusia.

Melaksanakan kewajiban perpajakan merupakan salah satu bentuk tanggung jawab


warga negara untuk turut serta dalam membangun bangsa dan negara Sumber:
bisnis.liputan6.com
Kebebasan dalam berbisnis, ternyata ada batas-batasnya. Kebebasan itu berakhir
ketika ia mengancam kehidupan orang lain, dan sekarang ini dengan amat nyata
ditambahkan aspek baru yang sangat menonjol yaitu kelestarian lingkungan.
Hubungan antara ekonomi dan ekologi berkenaan dengan batas-batas ini. Kebebasan
kita berakhir ketika kebebasan itu sudah mulai mengancam hak hidup orang lain.
Menyangkut soal lingkungan, lebih fundamental lagi, karena yang dipertaruhkan
bukan hanya kehidupan orang lain belaka, akan tetapi seluruh umat manusia dalam
seluruh sejarahnya.
Untuk menghadapi destruksi alam dan kemanusiaan di masyarakat, pendekatan etika
ekologis dimulai dari asumsi mengenai keterikatan yang menyatu antara semua unsur
kehidupan di muka bumi. Kehidupan ini bukan hanya kehidupan untuk manusia
(lebih-lebih bukan untuk segelintir orang), akan tetapi semuanya merupakan sebuah
komunitas, yaitu “komunitas biotik.” Kita perlu mencari keseimbangan antara
kebebasan individu yang merupakan asumsi dari dunia bisnis, dengan seluruh
lingkungan biotik, baik dalam bentuk alam lingkungan dan masyarakat. Dilihat dari
perspektif ekologis, setiap individu berada dalam suatu jaringan kehidupan yang
saling bergantung satu dengan yang lain. Keseluruhan kehidupan itu merupakan satu
kesatuan organis yang memberikan kepada setiap “warganya” hak yang sama untuk
hidup. Ada “kodeterminasi” yang dinamis antara individu dan masyarakat, ada saling
ketergantungan antara ekonomi dan ekologi, antara manusia dan alam, antara buruh
dan majikan.
Pada akhirnya, segala persoalan yang kita hadapi berkaitan dengan kerusakan
lingkungan, adalah bertemu dengan musuh terbesar kita, yaitu diri kita sendiri.
Manusia yang batil, serakah dan yang tidak mempedulikan alam serta sesama.
Manusia berada di dalam sistem, struktur serta institusi yang ia ciptakan sendiri, yang
menguras sesamanya dan alam sekitarnya. Dalam segala upaya kita untuk
memperbaiki kualitas lingkungan, kita juga bertemu dengan partner yang terbaik dan
terpercaya, yaitu diri kita sendiri. Manusia merindukan perbaikan dirinya dan
percaya pada kebaikan, baik sebagai lawan maupun sebagai kawan. Kita disadarkan
bahwa alam lingkungan sekitar kita dan mereka yang menjadi korban dari
penganiayaan adalah tanggung jawab seluruh warga masyarakat bersama. Etika
haruslah kritis terhadap segala keputusan yang kena-mengena dengan manusia dan
menyangkut integritas alam. Kelemahan-kelemahan manusiawi dalam dirinya
maupun institusinya haruslah tetap ditempatkan di bawah kritik etika terus-menerus.
Etika lingkungan menuntut agar kita belajar untuk menghormati alam. Kita juga
harus membatinkan suatu perasaan tanggung jawab khusus terhadap lingkungan lokal
kita sendiri. Kita harus merasa bertanggung jawab terhadap kelestarian biosfer. Etika
lingkungan memuat larangan keras untuk merusak, mengotori dan meracuni. Selain
itu, sikap solidaritas dengan generasigenerasi yang akan datang juga dituntut oleh
etika lingkungan.
Kita harus menolak pandangan bahwa bila diperlukan kita harus mengurbankan
ekologi demi ekonomi, seolah-olah ekonomi itu lebih luhur daripada ekologi.
Sebaliknyalah, dalam mempertimbangkan situasi ekologis secara global sekarang ini,
kita harus mengatakan ekonomilah yang harus melestarikan ekologi! Apabila kita
mesti mengurbankan ekologi, pengurbanan ini hanya dapat dibenarkan apabila itu
benar-benar diperlukan demi kehidupan itu sendiri. Kehidupan adalah sesuatu yang
lebih luhur ketimbang ekonomi ataupun ekologi. Kehidupan itu lebih dari sekadar
“ada” secara fisik. Yang kita maksudkan dengan “kehidupan” adalah apa yang
dijanjikan oleh Yesus “hidup dalam segala kepenuhannya.” Dengan demikian,
jelaslah bahwa baik ekonomi maupun ekologi adalah bagian-bagian yang penting
dari kehidupan. Pentingnya masing-masing ditentukan oleh sumbangan masing-
masing, baik kuantitatif maupun kualitatif bagi hidup dalam segala kepenuhannya itu.

B. Manusia Dalam Alam


Skala pencemaran lingkungan pada abad ke-21 ini menjadi semakin besar. Pada masa
lampau masalah lingkungan itu nyata di kota-kota besar saja, misalnya dalam hal
pencemaran udara dan air. Jumlah perusahaan dan industri memang masih sangat
terbatas. Sementara dalam abad ke-21 ini pengaruh pencemaran lingkungan memang
meningkat dengan sangat pesat dan bukan hanya terjadi di kota-kota besar saja.
Di samping itu, laju perkembangan produksi sintetis-organis dari bahan- bahan kimia
tidak dapat dibendung, dan merupakan suatu hal yang baru. Semakin meningkatnya
jumlah kebutuhan produksi kimia ikut mendorong agar penanganan atas masalah
lingkungan dilakukan pada tingkat internasional. Masalah lingkungan juga
semakin rumit: bukankah rumah kaca untuk pembibitan tanaman juga mengandung
berbagai macam bahan kimia yang dapat merusak kesehatan, belum lagi robeknya
lapisan ozon, hujan asam, peracunan udara, air dan dasar bumi dan sebagainya. Penyebab
utama krisis ekologi adalah keserakahan manusia yang pernah diungkapan sebagai
mendapat laba ekonomis melalui rugi ekologis. Mahatma Gandhi menyatakan, “Bumi ini
mempunyai cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, namun tidak cukup untuk
memenuhi keserakahan semua orang.” Sumber-sumber alam secara global cukup untuk
memenuhi kebutuhan dasar semua orang, apabila dimanfaatkan secara bijak dan
didistribusikan secara adil. Kecukupan bagi semua orang harus didahulukan ketimbang
kelimpahan bagi segelintir orang (Darmaputera 1996, 128).
Perusakan lingkungan hidup mempunyai banyak sebab. Polusi dari industri dan
kendaraaan bermotor merupakan salah satu sebab yang ditemukan di mana-mana. Ada
juga sebab yang berlaku khusus untuk suatu wilayah tertentu. Sampai sekarang kita
mendapat kesan bahwa persoalan spesifik bagi Indonesia di bidang lingkungan hidup
adalah penebangan hutan tropis (dengan izin maupun liar) dan kebakaran hutan yang
hampir setiap musim kemarau terjadi di beberapa tempat.
Tanah air kita sebagai negara kepulauan dulu dianggap diganggu oleh penebangan hutan
bakau yang secara alamiah melindungi keutuhan pantai di belakangnya. Kini kita
menyadari bahwa ada sebab lebih dahsyat lagi, yaitu pengerukan pasir laut yang
menghilangkan ratusan hektar tanah dari tujuh pulau kecil di Kalimantan Timur dan
merusak seluruh ekosistem di sekitarnya sehingga para nelayan pun banyak dirugikan,
karena menangkap ikan menjadi semakin sulit (Bertens 2004, 213-214). Sekaligus kita
dengar bahwa cara merusak ini sudah berlangsung lama dan tidak sebatas Kalimantan
Timur saja. Di Kepulauan Riau rupanya sebelumnya sudah terjadi hal yang sejenis.
Tenggelamnya Pulau Nipah disebut sebagai contohnya. Di daerah perbatasan ini akibat
perusakan jelas lebih parah lagi sebab selain pengaruh destruktif atas lingkungan hidup,
hilangnya pulau, timbulnya persoalan territorial. Sebuah pulau berperanan pula sebagai
titik pangkal penentuan batas RI dengan negara-negara tetangga.
Pada bulan Juni 1992, di Rio de Janairo, Brazilia, diselenggarakan KTT Bumi yang
dihadiri oleh hampir seluruh Kepala Negara di dunia. KTT tersebut mencetuskan tekad
untuk menyelamatkan bumi dari malapetaka yang bakal datang oleh ulah manusia.
Bersamaan dengan KTT tersebut, diselenggarakan pula pertemuan tokoh-tokoh agama
yang terkenal di dunia: Katolik, Protestan, Islam, Buddha dan Yahudi. Tokoh agama
tersebut secara bersama-sama mengaku dosa mereka atas kealpaan mereka selama ini.
Mereka mengaku bahwa selama ini mereka sibuk dengan pertentangan dan pertengkaran
di antara mereka untuk memperebutkan anggota-anggota, sedangkan masalah bumi yang
tercemar sangat diabaikan. Mereka bertekad untuk memperbarui komitmen. Mereka
sepakat untuk bekerja sama seerat-eratnya untuk mencari jalan bagaimana caranya
menyelamatkan “Ibu Bumi” yang setia mengayomi dan merangkul anak-anaknya,
kendati anak-anaknya telah memperkosanya selama bertahun-tahun.
Sesuatu yang dipercayakan kepada kita tentu kita jaga baik-baik. Merawat kehidupan
tidak cukup hanya dengan pengendalian polusi. Kita juga harus berbicara mengenai
konservasi. Memelihara kelestarian sesuatu itulah yang disebut konservasi. Ancaman
terbesar terhadap umat manusia bisa saja pada akhirnya bukan perang nuklir, melainkan
risiko yang datangnya dari suatu masa damai, yakni perusakan sumber daya alami bumi
oleh kebodohan, kerancuan berpikir dan keserakahan manusia. Konservasi merupakan
tindakan penyelamatan atau penjatahan sumber-sumber alam untuk penggunaan yang
kemudian. Oleh karenanya, konservasi melihat ke depan: kebutuhan untuk membatasi
konsumsi sekarang agar kita mempunyai persediaan bagi hari esok, bagi generasi-
generasi yang akan datang. Dua pertanyaan dapat dikemukakan sehubungan dengan
konservasi. Pertama, mengapa kita mesti melakukan konservasi bagi generasi-generasi
mendatang? Kedua, berapa banyak yang harus kita konservasikan?
Pertanyaan ini kedengarannya aneh. Namun demikian, pertanyaan ini harus kita
sampaikan sebab ada beberapa ahli yang mengemukakan bahwa kita tidak mempunyai
dasar rasional untuk menyesuaikan tindakan kita sekarang demi kepentingan generasi
yang akan datang. Kita tidak dapat dengan pasti mengetahui, begitu kata mereka, apakah
generasi yang akan datang itu akan betul-betul ada, kita juga tidak dapat mengetahui
secuil pun bagaimana mereka itu nanti. Apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka
inginkan, bisa saja amat berbeda dari kita. Siapa tahu mereka sudah dapat
memperkembangkan sumber-sumber daya pengganti yang murah dan cukup banyak
guna menggantikan sumber-sumber yang langka yang kita miliki sekarang. Karena kita
tidak mengetahui dengan pasti mengenai hal-hal ini, begitu kata mereka selanjutnya,
salahlah kita bila kita mesti mengurbankan kebutuhan-kebutuhan kita sekarang dengan
risiko menghancurkan seluruh peradaban hanya demi kepentingan masa depan yang
sama sekali di luar pengetahuan kita.
Tentu saja benar untuk mengatakan bahwa kita tidak memiliki kepastian apaapa
mengenai generasi-generasi yang akan datang. Namun demikian, tidak berarti kita lalu
tidak mempunyai kewajiban moral untuk bersikap adil terhadap mereka. Tentu saja tidak
adil bila kita secara berlebihan mengurbankan generasi sekarang demi kepentingan
generasi-generasi yang akan datang. Sama tidak adilnya apabila generasi sekarang tidak
meninggalkan apa pun bagi generasi- generasi mendatang. Kita mempunyai kewajiban
moral untuk mewariskan kepada generasi yang akan datang suatu kondisi kehidupan
yang lebih baik daripada kondisi sewaktu kita menerimanya dahulu dari generasi yang
sebelum kita. Sudah waktunya kita menyadari tanggung jawab kita terhadap generasi-
generasi yang akan datang. Setiap orang tua yang baik berusaha untuk menjaga rumah,
perabot, dan tanah yang dimiliki sebagai warisan bagi anak cucu mereka. Sikap ini harus
menjadi sikap umum manusia terhadap generasi-generasi yang akan datang. Kita
dibebani kewajiban berat untuk mewariskan ekosistem bumi ini dalam keadaan baik dan
utuh kepada anak, cucu, dan cicit kita.
Kalau begitu, berapa banyak yang mesti kita konservasikan agar kebutuhankebutuhan
kita sekarang terpenuhi dan sekaligus hak-hak generasi mendatang terlindungi? Apakah
Anda dapat mengusulkan angka-angka? Sebenarnya yang dibutuhkan bukanlah angka-
angka, tetapi sebuah pergeseran paradigma. Perubahan seluruh cara berpikir kita. Kita
mesti bergeser dari paradigma lama ke paradigma baru. Paradigma lama adalah
paradigma era industri yang memiliki komponen-komponen sebagai berikut: harapan
akan kemajuan material yang tidak terbatas serta konsumsi yang terus bertumbuh,
keyakinan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi akan mampu memecahkan semua
persoalan, mencapai sasaran efisiensi, pertumbuhan dan produktivitas dalam segala hal,
penguasaan atas alam, serta hidup yang diwarnai oleh persaingan dan individualisme.
Paradigma inilah yang telah menyeret dunia kepada degradasi lingkungan, pengurasan
sumber-sumber alam, hilangnya makna hidup, distribusi yang tidak merata serta tidak
terkendalinya teknologi dengan efektif. Paradigma baru adalah paradigma era
pascaindustri yang memiliki komponen-komponen sebagai berikut: kecukupan material
yang didasarkan pada terpenuhinya kebutuhankebutuhan dasar, hemat dalam
pemanfaatan sumber- sumber alam, sedikit demi sedikit beralih kepada sumber-
sumber yang dapat didaur ulang, pergeseran dari hak milik pribadi kepada pemerataan
melalui pembayaran pajak, dari orientasi jangka pendek ke jangka panjang, dari isu-isu
nasional ke isu-isu global, tekanan kepada etika lingkungan dan penatalayanan
terhadap alam, tujuan diarahkan kepada perkembangan dan realisasi diri manusia, serta
pertumbuhan kesadaran dan kreativitas dan kerja sama serta solidaritas sebagai pengganti
persaingan dan individualisme. Paradigma era pascaindustri sebagai dasar bagi
terbentuknya sebuah masyarakat yang lestari.
Kita harus berusaha berpikir dan bertindak ekologis. Kita bertobat dari segala tindakan
yang bersifat menghambur-hamburkan sumber daya alam, mencemarkan dan merusak
tanpa alasan. Kita sadar bahwa bagi manusia lebih mudah menaklukkan bumi daripada
menaklukkan dirinya sendiri.
Allah memberi alam kepada manusia dan memberi manusia kepada alam. Dari satu segi,
hasil bumi diberikan kepada manusia sebagai makanan dan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan yang lain (Kej. 1:29). Dari segi yang lain, manusia diberi tugas untuk
berkuasa di bumi dan memelihara bumi (Kej. 2:15) sesuai dengan kehendak Tuhan.
Hubungan ini berfaedah bagi manusia dan juga bagi alam.
Tugas pertama adalah manusia diberi tugas untuk menggunakan alam dan berkuasa atas
alam. Waktu Allah menciptakan manusia, Ia berkata kepada mereka, “Penuhilah bumi
dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan
atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej.1:28). Manusia diberi tugas untuk
membimbing dan menjinakkan alam.
Pandangan Alkitab ini sering dikritik oleh orang-orang yang merasa bahwa pandangan
ini menyebabkan manusia merusak dan kurang menghargai alam. Perlu diingat bahwa
perintah untuk menaklukkan dunia diberikan kepada manusia sebagai wakil Allah.
Manusia diletakkan dalam dunia sebagai sarana pemerintahan Allah. Manusia
dimaksudkan untuk berkuasa sesuai dengan kehendak Allah, bukan dengan
sewenang-wenang. Dia bertanggung jawab untuk menggunakan alam bukan dengan
mengutamakan dirinya sendiri tetapi dalam pelayanan kepada sesamanya dan
penghargaan kepada alam.
Tugas kedua ialah memelihara alam. Manusia harus menjaga alam sehingga tidak rusak.
Menurut Alkitab alam tanpa pemeliharaan manusia tidak lengkap. Manusia dibutuhkan
untuk mengatur alam bukan demi keuntungan manusia saja tetapi juga demi kebaikan
alam. Manusia bertanggung jawab untuk memelihara alam sebagai karunia dari Allah,
yang juga mencintai alam itu.

Anda mungkin juga menyukai