Anda di halaman 1dari 7

Pentingnya Tazkiyatun Nufus

Dalam bahasa Arab, penyucian jiwa disebut sebagai tazkiyatun nafs, yang terdiri dari dua kata: at-
tazkiyah dan an-nafs. At-tazkiyah bermakna at-tath-hiir, yaitu penyucian atau pembersihan. Dan karena
itulah zakat, yang satu akar dengan kata at-tazkiyah disebut zakat karena ia kita tunaikan untuk
membersihkan/menyucikan harta dan jiwa kita. Adapun kata an-nafs (bentuk jamaknya: anfus dan nufus)
berarti jiwa atau nafsu. Dengan demikian tazkiyatun nafs berarti penyucian jiwa atau nafsu kita.

Namun at-tazkiyah tidak hanya memiliki makna penyucian. At-tazkiyah juga memiliki makna an-numuww,
yaitu tumbuh. Maksudnya, tazkiyatun nafs itu juga berarti menumbuhkan jiwa kita agar bisa tumbuh sehat
dengan memiliki sifat-sifat yang baik/terpuji.

Dari tinjauan bahasa diatas, bisa kita simpulkan bahwa tazkiyatun nafs itu pada dasarnya melakukan dua
hal. Pertama, menyucikan jiwa kita dari sifat-sifat (akhlaq) yang buruk/tercela (disebut pula takhalliy –
memakai kha’), seperti kufur, nifaq, riya’, hasad, ujub, sombong, pemarah, rakus, suka memperturutkan
hawa nafsu, dan sebagainya. Kedua, menghiasinya jiwa yang telah kita sucikan tersebut dengan sifat-sifat
(akhlaq) yang baik/terpuji (disebut pula tahalliy – memakai ha’), seperti ikhlas, jujur, zuhud, tawakkal, cinta
dan kasih sayang, syukur, sabar, ridha, dan sebagainya.

Mengapa tazkiyatun nafs itu penting?

Setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa tazkiyatun nafs itu penting. Alasan pertama, karena tazkiyatun
nafs merupakan salah satu diantara tugas Rasulullah saw diutus kepada umatnya. Allah SWT berfirman
dalam QS Al-Jumu’ah: 2: “Dia-lah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan
mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata.” Senada dengan itu, Allah SWT juga berfirman dalam QS Al-Baqarah: 151: “Sebagaimana
(Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu), Kami telah mengutus kepadamu rasul diantara
kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan
kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”

Dari kedua ayat diatas, kita bisa mengetahui bahwa tugas Rasulullah saw ada tiga. Pertama, tilawatul
aayaat: membacakan ayat-ayat Allah (Al-Qur’an). Kedua, tazkiyatun nafs: menyucikan jiwa.
Dan ketiga, ta’limul kitaab wal hikmah: mengajarkan kitabullah dan hikmah.

Jelaslah bahwa salah satu diantara tiga tugas Rasulullah saw adalah tazkiyatun nafs “menyucikan
jiwa”. Tazkiyatun nafs itu sendiri identik dengan penyempurnaan akhlaq, yang dalam hal ini Rasulullah saw
bersabda tentang misi beliau diutus: “Sesungguhnya aku ini diutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq
yang mulia.”

Alasan kedua pentingnya tazkiyatun nafs adalah, karena tazkiyatun nafs merupakan sebab keberuntungan
(al-falah). Dan ini ditegaskan oleh Allah SWT setelah bersumpah 11 kali secara berturut-turut, yang
tidaklah Allah bersumpah sebanyak ini secara berturut-turut kecuali hanya di satu tempat, yaitu dalam QS
Asy-Syams: 1-10:

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila
menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta
penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (potensi) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa
itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Kemudian alasan ketiga pentingnya tazkiyatun nafs adalah, karena perumpamaan tazkiyatun nafs adalah
seperti membersihkan dan mengisi gelas. Jika gelas kita kotor, meskipun diisi dengan air yang bening,
airnya akan berubah menjadi kotor. Dan meskipun diisi dengan minuman yang lezat, tidak akan ada yang
mau minum karena kotor. Tetapi jika gelasnya bersih, diisi dengan air yang bening akan tetap bening.
Bahkan bisa diisi dengan minuman apa saja yang baik-baik: teh, sirup, jus, dan sebagainya.

Demikian pula dengan jiwa kita. Jika jiwa kita bersih, siap menampung kebaikan-kebaikan. Tetapi jika jiwa
kita kotor, tidak siap menampung kebaikan-kebaikan sebagaimana gelas kotor yang tidak siap disi dengan
minuman yang baik dan lezat.

Sarana-sarana Penyucian Jiwa

Untuk melakukan tazkiyatun nafs, yang meliputi takhalliy (membersihkan jiwa kita dari akhlaq yang
tercela) dan tahalliy (menghiasi jiwa kita dengan akhlaq yang terpuji), kita memerlukan berbagai macam
cara atau sarana (wasail), yang kita sebut sebagai wasailut tazkiyah “sarana-sarana penyucian jiwa”.
Apakah sarana-sarana itu?

Sarana-sarana itu tidak lain adalah ibadah-ibadah kita: sholat, shaum, zakat dan infaq, haji, membaca Al-
Qur’an, berdzikir, dan sebagainya. Semua bentuk ibadah tersebut merupakan wasailut tazkiyah –
membersihkan jiwa dan menumbuhkan akhlaq yang terpuji.

Sebagai gambaran singkat bagaimana ibadah-ibadah kita bisa membersihkan jiwa kita, mendidik jiwa kita,
dan menumbuhkan akhlaq yang terpuji, mari kita lihat hakikat ibadah-ibadah tersebut.

Tentang sholat, Allah SWT berkata, “Dan tegakkanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari
perbuatan keji dan munkar.” (QS Al-Ankabut: 45). Ternyata, hikmah diperintahkannya sholat adalah untuk
mencegah kita dari perbuatan keji dan munkar, yang dengan kata lain berarti membangun akhlaq kita.

Tentang puasa (shaum), Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang selama berpuasa tidak mampu
menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang buruk serta keji, maka Allah sama sekali tidak butuh dia
meninggalkan makan dan minumnya.” (HR Al-Bukhari). Beginilah hakikat puasa, yang tidak lain adalah
menahan nafsu kita, dalam rangka untuk menyucikan nafsu kita dan membangun akhlaq kita.

Tentang zakat, Allah SWT berfirman, “Ambillah dari harta benda mereka bagian zakatnya untuk
membersihkan harta benda mereka dan untuk menyucikan jiwa mereka.” (QS At-Taubah: 103). Inilah
ternyata hikmah dari zakat, yaitu untuk membersihkan harta kita, membersihkan jiwa kita dari sifat kikir
dan menumbuhkan sifat dermawan.

Bahkan tentang infaq dan sedekah secara umum, Allah SWT berfirman, “Yang menafkahkan hartanya (di
jalan Allah) untuk membersihkan dirinya.” (QS Al-Lail: 18). Jelas sekali dalam ayat ini ditegaskan bahwa
hikmah berinfaq dan bersedekah adalah untuk membersihkan diri, menyucikan jiwa.

Kemudian tentang haji, Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan
itu (yakni bulan-bulan haji) akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata keji dan jorok),
berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al-Baqarah: 197).
Subhanallah, ternyata ibadah hajipun didesain untuk bisa melatih kita mengendalikan hawa nafsu kita,
dalam rangka untuk menyucikan jiwa kita dan membangun akhlaq kita.

Demikian juga dengan ibadah-ibadah yang lain, tidak lain merupakan wasailut tazkiyah, seperti membaca
Al-Qur’an, berdzikir, dan sebagainya. Semua bentuk ibadah tersebut akan membersihkan jiwa dan
menumbuhkan akhlaq yang terpuji. Sumber: www.ikadijatim.org
Pentingnya Tazkiyatun Nufus

Pembahasan tentang tazkiyatun nufus merupakan pembahasan yang penting, dimana akan ditanya oleh
Allah Ta’ālā pada hari Kiamat nanti. Dan Allah Ta’ālā hanya akan menerima manusia yang datang
kepadaNya dengan hati yang selamat.

Allah Ta’ālā berfirman,


َْ َ ََ َّ َ ُ َ ٌ َ ُ َ َ َ َ َْ َ َُُْ َ َْ ْ ُ َ
‫هللا ِبقل ٍب َس ِل ٍيم‬ ‫ ِإال َم ْن أن‬، ‫ال َوال َبنون‬ ‫ يوم ال ينفع م‬، ‫َوال تخ ِز ِ ين يوم يبعثون‬

“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan,(yaitu) pada hari (ketika) harta dan
anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS.
Asy-Syu`araa’: 87-89)

Dan Allah Ta’ālā akan bertanya kepada hati, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka. Seperti firman
Allah Ta’ālā:
‫ُ ا‬ ُ ْ َ َ َ َ َ ُ ُ َ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ َّ َّ ٌ ْ َ َ َ َْ َ ُ َْ َ َ
‫َص َوالفؤاد ك ُّل أ ْوال ِئك كان عنه َم ْسئوال‬ ‫س لك ِب ِه ِعلم ِإن السمع والب‬ ‫وال تقف ما لي‬

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan
dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Israa’: 36)

Setiap anggota badan yang disebutkan dalam ayat di atas akan ditanya pada hari Kiamat. Hatinya akan
ditanya tentang apa yang terlintas, apa yang difikirkan, dan apa yang diyakininya. Pendengaran akan
ditanya tentang segala hal yang didengarnya. Dan seterusnya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
para ahli tafsir. [1]

Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

“…Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka baik
pula seluruh tubuhnya. Dan apabila ia buru, maka buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal
daging itu adalah hati.”[2]

Abu Hurairah –radhiyallāhu ‘anhu– mengatakan,

“Hati ibarat raja, sedangkan anggota badan ibarat pasukannya. Apabila baik rajanya, maka baik pula
pasukannya, apabila buruk rajanya maka buruk pula pasukannya.”[3]

Imam Ibnul Qayyim –rahimahullāh– mengatakan,

“…Amalan hati adalah pokok sedangkan amalan badan itu adalah penyerta dan penyempurna.
Sesungguhnya niat itu laksana ruh sedangkan amalan itu laksana badan. Apabila ruh meninggalkan
badan, maka ia akan mati. Maka, mempelajari hukum-hukum hati lebih penting daripada mempelajari
hukum-hukum badan.”[4]

Imam Ibnul Qayyim –rahimahullāh– menjelaskan bahwa amalan hati lebih penting daripada amalan
badan namun hal ini tidak berarti bahwa beliau –rahimahullāh– berpendapat bahwa amalan badan tidak
temasuk bagian dari iman.
Amalan hati adalah pokoknya amal. Meskipun seseorang beramal dengan amalan yang sangat banyak
namun hatinya tidak ikhlas karena Allah Ta’ālā, maka amalannya tidak akan diterima Allah Ta’ālā.

Maka permasalahan tentang hati merupakan perkara yang penting. Tidaklah mungkin
Rasulullah Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam terus-menerus mengingatkan ummatnya tentang hati apabila hal
tersebut tidak penting. Tidaklah para Shahabat –radhiyallāhu ‘anhum– mewasiatkan agar
memperhatikan hati apabila hal ini tidak penting.

Oleh karenanya, pembahasan tentang hal ini harus terus diulang-ulang, dikaji dan disampaikan dalam
kajian-kajian dan tulisan dalam rangka saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam
kesabaran, sebab terkadang seseorang tidak mengetahui bahwa dirinya terjangkit penyakit hati. Adapun
orang-orang yang dapat mengetahui bahwa ia terjangkit penyakit hati adalah para ulama. Merekalah
tabib-tabib (dokter-dokter) hati.

Dan penyakit-penyakit hati ini menjangkiti hampir semua orang, baik itu orang awam maupun penuntut
ilmu, bahkan juga ustadz, da’i, kiyai, dan lainnya.

Mereka tidak menyadari bahwa di dalam hatinya terjangkiti penyakit hati, baik itu riya’, iri, dengki, ujub,
sombong, dan lain sebagainya.

Allah Ta’ālā menjanjikan kepada orang yang mensucikan jiwanya dengan ganjaran, pahala, dan Surga.

Allah Ta’ālā berfirman,


َ َ َْ َ ْ َ ْ
َ ‫اْل ْن َه ُار َخالد‬ َ ْ َ ُ َّ َ ْ ُ َّ َ َ َ َُ َّ ‫َو َم ْن َي ْأته ُم ْؤم انا َق ْد َعم َل‬
‫ين ِف َيها َوذ ِلك َج َز ُاء َم ْن‬ ِ ِ ‫ات فأول ِئك ل ُه ُم الد َر َجات ال ُعَل َجنات عد ٍن ت ْج ِري ِمن تح ِتها‬
ِ ‫الص ِال َح‬ ِ ِ ِِ
ّ َ
‫ت َزَك‬

“Tetapi barangsiapa datang kepada-Nya dalam keadaan beriman, dan telah mengerjakan kebajikan,
maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat yang tinggi (mulia), (yaitu) surga-surga ‘Adn, yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang-orang yang
menyucikan diri.”(QS. Ṭāhā: 75-76)

Juga firman-Nya,
ّ َ َ
ٰ ّ ‫َق ْد أ ْف َل َح َم ْن َت َز‬
ْ ‫َك َو َذ َك َر‬
‫اس َم َرِّب ِه ف َص َٰل‬

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Rabb-nya, lalu
ia shalat.” (QS. Al-A’laa: 14-15)

——————————————————————————–

[1] Tafsiir al-Qurthubi (X/169) dan Tafsiir Ibni Katsir (V/75)

[2]
Shahih: HR Bukhari (no.52) dan Muslim (no.1599) dari Shahabat an-Nu’man bin Basyir –radhiyallāhu ‘anhumā–

[3]
Atsar shahih: Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq dalam al-Mushannaf (XI/221, no. 20375) dan al-Baihaqi dalam al-Jaami’ li
Syu’abil limaan (I/257, no. 108) dengan sanad shahih. Disebutkan juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu’
Fataawaa (X/15).

[4]
Badaai’ul Fawaa-id (hlm. 511) tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun

Diketik ulang dari: “Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Tazkiyatun Nufus” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas –
hafizhahullāh–
Artikel Muslimah.or.id

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Penyucian Jiwa (1)


Abdullah Taslim, Lc., MA. 11 Juni 2009 4 Comments

Penyucian jiwa adalah masalah yang sangat penting dalam Islam, bahkan merupakan salah satu tujuan
utama diutusnya Nabi kita Muhammmad shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat kitab Manhajul Anbiya’ fii
Tazkiyatin Nufuus, hal. 21)

Allah Ta’ala menjelaskan hal ini dalam banyak ayat Al Qur-an, di antaranya firman Allah Ta’ala,
َ َ َ ُ ُ َ َ ُ ِّ َ ْ ْ َ َ ْ ُ ُ ُ ِّ َ ُ َ ْ ُ ِّ َ ُ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ ُ ْ َ ْ ُ ْ ‫َ َ َ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ُ ا‬
‫اب َوال ِحك َمة َو ُي َعل ُمك ْم َما ل ْم تكونوا ت ْعل ُمون‬ ‫كما أرسلنا ِفيكم رسوال ِمنكم يتلو عليكم آيا ِتنا ويزكيكم ويعلمكم ال ِكت‬

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul di antara kamu yang membacakan ayat -
ayat Kami kepadamu, dan menyucikan(diri)mu, dan mengajarkan kepadamu Al kitab (Al Qur-an) dan Al
Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” (Qs Al Baqarah: 151)

Juga firman-Nya,
َ ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ ُ ُ ُ ِّ َ ُ َ ْ ِّ َ ُ َ ََ ُْ َُْ ‫ا‬ َ ْ َ ْ ْ َ َ ُ ّ َّ َ ْ َ َ
‫اب َوال ِحك َمة َو ِإن كانوا ِم ْن ق ْب ُل‬ ‫يهم ويعلمهم ال ِكت‬
ِ ‫يه ْم َر ُسوال ِم ْن أنف ِس ِه ْم َيتلو عل ْي ِه ْم َآيا ِت ِه ويزك‬
ِ ‫ي ِإذ َب َعث ِف‬ ‫اَّلل عَل ال ُمؤ ِم ِن‬ ‫لقد من‬
ُ ‫لف َضالل‬ َ
‫ي‬ ‫ب‬
‫ٍ ِ ن‬ ‫م‬ ‫ِي‬

“Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur-
an) dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar -benar
dalam kesesatan yang nyata.” (Qs Ali ‘Imraan: 164)

Makna firman-Nya “menyucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak,
kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan
menuju cahaya (hidayah Allah Ta’ala). (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/267)

Pentingnya Tazkiyatun Nufus Dalam Islam

Pentingnya tazkiyatun nufus ini akan semakin jelas kalau kita memahami bahwa makna takwa yang
hakiki adalah pensucian jiwa itu sendiri (Lihat kitab Manhajul Anbiya’ fii Tazkiyatin Nufuus, hal. 19-20).
Artinya ketakwaan kepada Allah Ta’ala yang sebenarnya tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan
berusaha menyucikan dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang menghalangi seorang hamba
untuk dekat kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala menjelaskan hal ini dalam firman-Nya,


َ َ َ َّ ْ َ َ ََْ ْ َ
َ ‫اها َو َق ْد َخ‬ ْ َ َ َ ُ ُ َ َ َ ْ َ َ َ َّ َ َ َ ََْ
‫اب َم ْن د َّساها‬ ‫ورها َوتق َواها قد أفلح من زك‬ ‫س وما سواها فألهمها فج‬ ‫ونف ن‬

“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu (dengan
ketakwaan) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan).” (Qs Asy Syams:
7-10)

Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau:
َ َ َ َْ َ َّ َ َ ْ َ ِّ َ َ ْ َ َْ َّ ُ ّ
‫آت نف ِِس تق َواها َوزك َها أنت خ ْ ُي َم ْن زكاها أنت َو ِل ُّي َها َو َم ْوالها‬
ِ ‫اللهم‬
“Allahumma aati nafsii taqwaaha wa zakkihaa, anta khoiru man zakkaahaa, anta waliyyuhaa wa
mawlahaa” [Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaan, dan sucikanlah jiwaku (dengan
ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta
Melindunginya]” (HSR. Muslim dalam Shahih Muslim no. 2722)

Imam Maimun bin Mihran (seorang ulama tabi’in) berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai takwa
sehingga dia melakukan muhasabatun nafsi (introspeksi terhadap keinginan jiwa untuk mencapai
kesucian jiwa) yang lebih ketat daripada seorang pedagang yang selalu mengawasi sekutu dagangnya
(dalam masalah keuntungan dagang). Oleh karena itu, ada yang mengatakan: Jiwa manusia itu ibarat
sekutu dagang yang suka berkhianat. Kalau Anda tidak selalu mengawasinya, dia akan pergi membawa
hartamu (sebagaimana jiwa akan pergi membawa agamamu)” (Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam
kitab beliau Ighaatsatul Lahfaan, hal. 147 – Mawaaridul Amaan)

Ketika menerangkan pentingnya tazkiyatun nufus, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengatakan, “Orang-
orang yang menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allah Ta’ala, meskipun jalan dan metode yang
mereka tempuh berbeda-beda, akan tetapi mereka sepakat mengatakan bahwa nafsu (jiwa) manusia
adalah penghalang utama bagi hatinya untuk sampai kepada ridha Allah Ta’ala. Sehingga seorang hamba
tidak akan mencapai kedekatan kepada Allah Ta’ala melainkan setelah dia berusaha menentang dan
menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus)” (Kitab Ighaatsatul Lahfaan, hal. 132 –
Mawaaridul Amaan))

Manhaj Ahlul Bid’ah Dalam Penyucian Jiwa

Karena pentingnya kedudukan tazkiyatun nufus dalam agama Islam inilah, tidak heran kalau kita
mendapati orang-orang ahlul bid’ah berlomba-lomba mengatakan bahwa merekalah yang paling
perhatian terhadap masalah ini, bahkan sebagian mereka berani mengklaim bahwa hanya dengan
mengamalkan metode merekalah seorang hamba bisa mencapai kesucian jiwa yang utuh dan sempurna.

Akan tetapi, kalau kita mengamati dengan seksama metode-metode mereka, kita akan dapati bahwa
semua metode tersebut tidak bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akan tetapi sumbernya adalah
pertimbangan akal dan perasaan, atau ciptaan pimpinan-pimpinan kelompok mereka, bahkan
berdasarkan khayalan atau mimpi yang kemudian mereka namakan mukasyafah (tersingkapnya
tabir) [1]. Inilah sebab utama yang menjadikan setan mampu menyesatkan mereka sejauh-jauhnya dari
jalan yang benar, karena berpalingnya mereka dari petunjuk Allah dalam Al Qur-an dan Sunnah. Sehingga
dengan manerapkan metode-metode mereka tersebut seseorang tidak akan mencapai kesucian jiwa dan
kebersihan hati yang sebenarnya, bahkan justru hatinya akan semakin jauh dari Allah karena mereka
mengikuti jalan-jalan setan, “Barangsiapa yang berpaling dari dalil (Al Qur-an dan Sunnah) maka jalannya
akan tersesat” (Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam
kitab Miftahu Daaris Sa’aadah, 1/83)

[1] Maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan
perasaan mereka, yang sama sekali tidak berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah.

Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk tipu daya setan adalah apa yang dilontarkannya kepada
orang-orang ahli tasawuf yang bodoh, berupa asy syathahaat (ucapan-ucapan tanpa sadar/igauan) dan
penyimpangan besar, yang ditampakkannya kepada mereka sebagai bentuk mukasyafah (tersingkapnya
tabir hakikat) dari khayalan-khayalan. Maka setan pun menjerumuskan mereka dalam berbagai macam
kerusakan dan kebohongan, serta membukakan bagi mereka pintu pengakuan-pengakuan dusta yang
sangat besar. Setan membisikan kepada mereka bahwa sesungguhnya di luar ilmu (syariat yang
bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah) ada jalan lain yang jika mereka menempuhnya maka jalan itu
akan membawa mereka kepada tersingkapnya (hakikat dari segala sesuatu) secara jelas dan membuat
mereka tidak butuh lagi untuk terikat dengan (hukum dalam) Al Qur’an dan As Sunnah [?!] …maka ketika
mereka menempuh jalan yang jauh dari bimbingan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, setan pun menampakkan kepada mereka berbagai macam kesesatan sesuai dengan keadaan
mereka, dan membisikkan khayalan-khayalan ke dalam jiwa mereka, kemudian menjadikan khayalan-
khayalan tersebut seperti benar-benar nyata sebagai penyingkapan hakikat dari segala sesuatu secara
jelas…[?!]” (Kitab Ighaatsatul Lahfaan, hal. 193 – Mawaaridul Amaan)

Senada dengan ucapan di atas, Imam Ibnul Jauzi ketika menjelaskan perangkap setan dalam
menjerumuskan orang-orang tasawuf, beliau berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya awal mula talbis
(pengkaburan/perangkap) Iblis untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan adalah dengan
menghalangi (memalingkan) mereka dari ilmu agama yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah,
karena ilmu agama itu adalah cahaya yang menerangi hati, maka jika Iblis telah berhasil memadamkan
lampu-lampu cahaya mereka, dia akan mampu mengombang-ambingkan dan menyesatkan mereka
dalam kegelapan (kesesatan) sesuai dengan keinginannya.” (Kitab Talbiisu Ibliis, hal. 389)

-bersambung insya Allah-

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/661-ahlus-sunnah-wal-jamaah-dan-penyucian-jiwa-


1.html

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ى ْالقَ ْل‬
‫ب‬ َ ‫ أ َالَ َو ِه‬. ُ‫سدَ ْال َج َسدُ ُكلُّه‬
َ ‫ت َف‬
ْ َ‫سد‬ َ ‫صلَ َح ْال َج‬
َ َ‫ َو ِإذَا ف‬، ُ‫سدُ ُكلُّه‬ َ ‫ضغَةً ِإذَا‬
ْ ‫صلَ َح‬
َ ‫ت‬ َ ‫أَالَ َو ِإ َّن فِى ْال َج‬
ْ ‫س ِد ُم‬

“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad.
Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari
no. 52 dan Muslim no. 1599).

Anda mungkin juga menyukai