Anda di halaman 1dari 38

TUGAS MANAJEMEN RESOLUSI KONFLIK

“ Emosi dan Konflik: Mengapa Penting Memahami Cara Emosi


Mempengaruhi Konflik dan Cara Konflik Mempengaruhi Emosi“

Disusun oleh:

Kelompok 3:

Primanesti Unique K. 1764190195

Nita Findiyan D. 1764190189

Delvina Zahra Guswanda. 1764190205

Mohamad Luthfi Putra A. 1764190025

Naufal Dwi R. 1764190166

Jam kuliah : Rabu 12.50 – 15.20 R504


Dosen : Anika Gunasih , S.Ikom, MM

Fakultas Ilmu Komunikasi


Universitas Persada Indonesia Y.A.I 2019

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 3


BAB I ............................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4
A. Latar Belakang ................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 6
C. Tujuan ................................................................................................................ 6
BAB II ........................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 7
EMOSI....................................................................................................................... 7
INTERAKSI ANTARA EMOSI DAN KONFLIK .............................................. 122
1.Ketakutan dan Bagaimana Ia Mempengaruhi Konflik dan Dipengaruhi oleh
Konflik..................................................................................................................... 12
2.Kemarahan dan Kebencian, dan Bagaimana Keduanya Mempengaruhi
Konflik dan Dipengaruhi oleh Konflik.................................................................... 14
3. Penghinaan dan Bagaimana Ia Mempengaruhi Konflik dan Terpengaruh oleh
Konflik..................................................................................................................... 16
4. Rasa Bersalah dan Bagaimana Ia Mempengaruhi Konflik dan Dipengaruhi
Oleh Konflik ............................................................................................................ 23
5. Harapan Dan Bagaimana Ia Mempengaruhi Konflik Dan Dipengaruhi Oleh
Konflik ..................................................................................................................... 26
6. Keyakinan dan Kehangatan, dan Bagaimana Keduanya Mempengaruhi
Konflik dan Dipengaruhi oleh Konflik .................................................................... 28
CARA BERINTERAKSI DALAM KONFLIK, MENGENDALIKAN EMOSI
NEGATIF, DAN MEMUPUK EMOSI POSTIF .................................................... 30
BAB III ....................................................................................................................... 37
PENUTUP ................................................................................................................... 37
Kesimpulan .............................................................................................................. 37
Daftar Pustaka ............................................................................................................ 38

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala

rahmat nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa

kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari berbagai

sumber buku maupun sumber internet, juga kepada ibu Anika Gunasih sebagai

dosen pembimbing, mata kuliah manajemen resolusi konflik dan memberikan

kesempatan menyusun makalah “ emosi dan konflik “ ini kepada kami.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan

membantu pembaca untuk memperluas wawasan. Terlepas dari semua itu,

kami menyadari bahwa makalah ini masih dapat ditemukan banyak kekurangan

baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu dimohon

pengertian juga maaf dari pembaca atas kekurangan makalah ini.

Akhir kata kami mengucapkan banyak terimakasih kepada pembaca dan

semua pihak yang terlibat dalam pembuatan juga penyempurnaan makalah ini.

Jakarta, 11 Oktober 2019

Tim penyusun.

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengertian konflik menurut :

Soerjono Soekanto

Menurut Soerjono Soekanto, pengertian konflik adalah suatu keadaan

pertentangan antara dua pihak untuk berusaha memenuhi tujuan dengan cara

menentang pihak lawan.

Robbins

Menurut Robbins, arti konflik adalah proses sosial dalam masyarakat yang terjadi

antara pihak berbeda kepentingan untuk saling memberikan dampak negatif,

artinya pihak-pihak yang berbeda tersebut senantiasa memberikan perlawananan.

Pada intinya, konflik adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih

menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan

tindakan salah satu pihak menghalangi, atau mencampuri atau dalam beberapa hal

membuat tujuan pihak lain kurang berhasil.

4
Daniel Goleman

Menurut Daniel Goleman, pengertian emosi adalah setiap kegiatan atau

pergolakan perasaan, pikiran, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat dan

meluap-luap. Menurutnya, emosi merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-

pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dari serangkaian

kecenderungan untuk bertindak.

George Miller

Menurut George Miller, pengertian emosi adalah pengalaman seseorang tentang

perasaan yang kuat, dan biasanya diiringi dengan perubahan-perubahan fisik

dalam peredaran darah dan pernapasan, biasanya juga dibarengi dengan tindakan-

tindakan pemaksaan. Pengertian Emosi adalah suatu perasaan atau gejolak jiwa yang

muncul di dalam diri seseorang sebagai akibat dari adanya rangsangan, baik dari dalam

diri sendiri maupun dari luar.

Emosi sangat berhubungan dengan kondisi psikologis dan suasana hati seseorang

yang dinyatakan dalam bentuk perilaku tertentu. Perasaan emosi bisa berupa

emosi positif (emosi yang baik), dan bisa berupa emosi negatif (emosi yang

buruk).

Banyak yang mengartikan kata “Emosi” sebagai bentuk amarah, namun

sebenarnya kata emosi mewakili berbagai bentuk perasaan manusia.

5
B. Rumusan masalah

1. Apa definisi emosi?

2. Apa saja penyebab timbulnya emosi?

3. Teori dan pendekatan apa saja yang berhubungan dengan konflik?

4. Apa saja jenis-jenis emosi?

5. Bagaimana pengaruh yang timbul dari emosi dan konflik dan bagaimana

bisa saling mempengaruhi?

C. Tujuan

Untuk mengetahui konsep dasar dan fenomena emosi serta menambah wawasan

dan pengetahuan.

6
BAB II

PEMBAHASAN

EMOSI

Kita semua mengalami emosi yang kuat terkait konflik . Emosi kita

mempengaruhi konflik dalam hidup kita dan konflik pada gilirannya ,

mempengaruhi emosi kita. Dimulai dengan dua contoh singkat , satu internasional

dan satu personal , untuk menunjukkan interaksi antara emosi dan konflik, untuk

contoh internasional , kita lihat perang dunia II .

Hitler yang menawarkan sebuah narasi besar penghinaan nasional dan

mengundang “orang-orang kecil” dengan keluhan pribadi yang mereka tanggung

untuk bersatu karena penderitaan politik dan ekonomi secara umum. “Orang-

orang kecil” jelas menduduki posisi yang jelas rendah dalam hierarki sosial

Jerman sebelum naiknya Hitler Mereka mendukung Hitler karena ia memberi

mereka rasa penting. Hanya setelah Perang Dunia II mereka secara menyakitkan

baru menyadari betapa ia telah menyalahgunakan loyalitas mereka. Banyak orang

Jerman mrnaruh kepercayaan pada Hitler sehingga mereka mengikutinya sampai

1945 . Loyalitas yang intens dan partisipatif yang penuh emosi dalam obsesi

kolektif melemahkan bahkan pertimbangan rasional dan etis yang paling

mendasar.

7
Sekarang untuk contoh pribadi, Bayangkan diri anda sebagai terapis

dengan klien bernama Hawa yang datang yang datang kepada anda karena ia

tertekan. Ia dengan kejam dan terus –menerus dipukuli suaminya, Adam. Anda

takut Hawa tidak dapat bertahan hidup dan Anda mengunjunginya sesering

mungkin.Anda mendefinisikan dirinya sebagai korban dan suaminya sebagai

pelaku karena hukuman fisik telah lama dilarang. Situasi ini jelas konflik

sestruktif yang sarat akan emosi yang panas dan Anda ingin memberi pemecahan

yang konstruktif.

Dari perspektif Adam, sang suami tidak ada konflik destruktif , tidak ada

korban yang menderita, dan tidak ada pelaku kekerasan . Anda sebagai seorang

terapis, pembela HAM , pihak ketiga yang tak diundang yang memperkenalkan

konflik. Anda memperkenalkan konflik dengan mengunggah perhatian Hawa pada

definisi baru cinta , definisi yang bertentangan dengan mereka.

Dalam teka-teki ini, di mana emosi dan konflik terjalin dengan cara yang

menyakitkan , muncul berbagai pertanyaan seperti kapan dan dengan cara apa

emosi ( penderitaan, sakit, kemarahan , atau cinta, juga kepedulian ) adalah bagian

dari konflik yang memvutuhkan perhatian kita. Apa yang dapat kita yakini adalah

bahwa emosi dan konflik tidak statis. Mereka tertanam dalam lingkungan budaya

dan sejarah yang luas.

William James (1842-1910) , salah satu bapak psikologi tertarik dalam

penelitian tentang emosi; namun, penerus langsungnya kurang begitu tertarik.

Hanya beberapa sarjana visioner, seperti salah satunya Silvan.S Tomkins, Magda

8
B. Arnold , Paul Ekman, dll yang menginvestasikan energi mereka dalam upaya

untuk memahami emosi manusia. Masalahnya adalah, dalam beberapa tahun,

behaviorisme dan kognitivisme “ lebih seksi” daripada topik emosi. Namun,

behaviorisme ternyata terlalu sempit, demikian juga kognitivisme.

Sekarang kita tahu bahwa pikiran, perilaku, dan perasaan berhubungan

erat. Oleh karena itu, minat belajar tentang emosi, meskipun dihidupkan kembali

baru belakangan ini,sekarang meledak dan sudah berubah dengan cepat.

Saat ini, kelompok baru peneliti tidak lagi mendukung perspektif tunggal

pada emosi, lebih memilih pendekatan multi-lapis yang mengkonsepsikan emosi

yang kompleks ( elaborate emotions ) sebagai paket gabungan dari makna,

perilaku , praktek sosial , dan norma-norma yang mengkristal di sekitar emosi

primordial. Tinjauan yang kaya dari pendekatan baru pada penelitian emosi dapat

ditemukan.

Kita belajar bahwa emosi adalah tertanam dan lunak , dan adaptif

terhadap pengaruh dan adaptif terhadap pengaruh sosial dan budaya. Emosi

primordial adalah universal , system respon biologis manusia yang

memungkinkan manusia untuk memenuhi masalah kelangsungan hidup fisik

,reproduksi dan pengaturan kelompok.

Evolusi historis otak dan emosi tercermin dalam perkembangan individu

setiap manusia. Ontogeni ( perkembangan organisme individu ) sering merngkum

filogeni ( evolusi spesies tertentu ) Bayi yang baru lahir memproses afeksi dasar

dalam struktur otak bagian bawah . Emosi, yang lebih belakangan dalam evolusi

9
manusia, menjadi mungkin hanya ketika dasar kognitif tertentu telah dicapai

dalam kehidupan seorang anak.

Emosi evaluatif sadar diri seperti kebanggaan, rasa malu, atau rasa

bersalah sekarang mungkin . skema emosi berkembang untuk mengatur apa yang

kita yakini dan cara kita bereaksi terhadap emosi. Terakhir, kognisi dan afeksi

secara kuat terjalin dalam system symbol budaya dan pengetahuan seperti agama .

Fungsi paling langsung yang disediakan untuk kita oleh perangkat emosi

kita adalah memperingatkan kita. Takut mengingatkan kita akan kemungkinan

bahaya atau kemungkinan manfaat . Struktur otak pertama yang bereaksi adalah

amigdala, neurostruktur berbentuk kacang almond di otak kortikal bagian bawah.

Struktur ini mengidentifikasi bentuk, suara, dan karakteristik persepsi lain,

memilah- milah ancaman dan dengan sangat cepat dan otomatis , menanggapi

dengan menghindari bila perlu.

Otak kita “ bangun “ pada pengolahan emosi yang dikendalikan ketika

strutur otak lain, bagian atas ( anterior cingulate, ACC ) memberi isyarat

perbedaan, ketidakpastian, kesalahan, konflik, rasa sakit, atau pelanggaran

harapan. ACC memberitahu kita ketika ada sesuatu yang salah , ketika respon

otomatis kita tidak bekerja dan kita perlu melakukan sesuatu yang berbeda. Saat

itu dua struktur kortikal atas, ( ventromedial frontal cortex ( VMFC ) dan orbital

frontal cortex ( OFC )) meninjau tujuan kita saat ini dan nilai afektif situasi yang

kita hadapi. Kita memerlukannya dalam situai konflik , karenaia memberdayakan

kita untuk mengatur dan mengontrol respon emosi kita.

10
Selain itu, ada dualitas pelaku-pengamat. Dualitas perhatian dan

pengolahan didasarkan pada kenyataan bahwa kita dapat melakukan tugas dan

pada saat yang sama menonton diri sendiri melakukan tugas ini . Emosi dapat ikut

campur dalam dualitas ini dan mengganggu fokus dan kinerja pekerjaan.

Apa yang kita bahas sejauh ini menunjukan bahwa emosi setidaknya

menyediakan tiga fungsi. Pertama, emosi memantau dunia batin kita; kedua, ia

memantau hubungan kita dengan dunia luar; ketiga ia membantu kita bertindak .

Penelitian menunjukkan bahwa perilaku kita diatur oleh proses umpan balik yang

tersusun secara hierarkis.

Kita menciptakan atau mempertahankan konflikyang destruktif ketika kita

membiarkan mekanisme tingkat bawah menggantiakn mekanisme tingkat atas.

Kita mengundang kegagalan ketika kita membiarkan proses emosi yang lebih

langsung dan otomatis menggantikan proses teratur yang lebih abstrak . Tujuan

jangka panjang menuntut bahwa kita menahan diri dari melompat padanya dengan

alat mental jangka pendek.

Ketika “saya” memperoleh identitas sosial, tanggapan dasar ini

membentuk inti bagi emosi kita yang kompleks terhadap orang, kelompok,

gagasan, atau ideology lain .Penolakan, permusuhan, serta kasih sayang, ikatan, ,

loyalitas, kerjasama dan emosi positif lainnya tidak lagi otomatis.

Adalah mudah membanjiri pembaca dengan konsep dan istilah yang

melimpah. Tujuan, sikap , afeksi, perasaan, emosi, kondisi emosi suasana

hati,kesadaran diri, jiwa . Selanjutnya penting diketahui bahwa ada ketegangan

11
yang berlangsung antara respon emosi yang lebih primitive dan kemampuan kita

yang baru dicapai , kita berhasil mengatasi ketegangan ini melalui serangkaian

umpan balik yang tersusun secara hierarkis. Jika kita berhasil, emosi dapat

membantu dan membimbing kita dengan baik. Belajar untuk mengenali dan

meredakan ketegangan ini mungkin adalah salah satu keterampilan paling penting

yang dapat dicapai seorang yang berkomitmen pada resolusi konflik yang sehat.

INTERAKSI ANTARA EMOSI DAN KONFLIK

Berfokus pada emosi kunci (negatif dan positif) seperti

takut,marah,malu,rasa bersalah,harapan,keyakinan,dan kehangatan,menyoroti

bagaimana mereka mempengaruhi konflik dan dipengaruhi oleh konflik. Dimulai

dengan masalah ketakutan,sebagai emosi dasar yang diolah dalam otak “lama”

kita. Dari sana,akan dilanjutkan ke emosi yang lebih kompleks.

1. Ketakutan dan Bagaimana Ia Mempengaruhi Konflik dan Dipengaruhi

oleh Konflik

Ketakutan dapat menyebabkan penghindaran konfik (“lari”) atau respon

agresif kontra-fobia (“melawan”) atau keinginan untuk menghindari bencana

dengan mencapai kesepakatan. Ini dapat menghambat resolusi konflik yang

konstruktif atau meningkatkannya ketika ia menajamkan indera kita dan membuat

pikiran kita waspada.

12
Ketakutan adalah dasar,tempatnya di otak adalah amigdala. Ketakutan

memperingatkan kita,membangunkan kita pada kewaspadaan dalam hitungan

detik,mengirimkan hormon tekanan yang meningkat,membuat visin kita lebih

sempit dan lebih fokus. Otak lama kita mengambil alih untuk menyelamatkan kita

dari bahaya dan kita dapat memperoleh keamanan jangka pendek.

Perasaan dapat menjadi panas atau dingin dan otomatis atau terkendali.

Kita mempunyai sistem “maju” yang panas dan sistem “tahu” yang dingin. Sistem

“tahu” yang dingin adalah kognitif, kompleks, kontemplatif, lambat, strategis,

terpadu, koheren, dan lebih nertal emosi. Ia adalah dasar dari pengeturan diri dan

pengendalian diri. Takut, stres yang akut dan kronis,menonjolkan sistem “maju”

yang panas. Sistem panas adalah implusif dan reaktif dengan terburu-buru dan

melemahkan upaya rasional pada pengendalian diri. Ketakutan yang intens

menyebabkan “visi terowongan” (tunnel vision), mengurangi persepsi, pikiran,

dan pilihan seseorang, mempunyai resiko bahwa kita membuat keputusan yang

tidak optimal.

Dengan kata lain, sistem “maju” yang panas adalah pedang bermata-dua

yang mungkin menyelamatkan kita dari bahaya. Namun, dalam khasus konflik

yang kompleks, ketakutan mudah berjalan dengan merugikan. Ketakutan dan

penghinaan dapat bergabung dengan cara yang sangat merusak.

Kesimpulannya, kita sangat disarankan untuk mendinginkan diri ketika

mengalami ketakutan selama konflik, untuk menghindari visi terowongan yang

bahaya dan mengambil keuntungan potensial dari ketakutan, meningkankan

13
kewaspadaan. Demikian juga, kita harus membantu lawan kita dalam konflik dan

negosiasi untuk menenangkan ketakutan mereka. Dalam negosiasi, bekerja

dengan ancaman - membuat orang lain takut – dapat merusak solusi yang

konstruktif dari pada menyediakan keuntungan.

Contoh Adam dan Hawa, dalam titik tertentu, mereka mencari nasehat.

Konselor mulai dengan mengurangi tingkat ancaman dan ketakutan di antara

mereka. Terapis bekerja untuk mengubah ketakutan mereka menjadi kewaspadaan

dan motivasi untuk berubah. Adam takut kehilangan kekuasaan dan Hawa takut

untuk diberdayakan. Ditangani dengan cara yang tenang, ketakutan ini dapat

diubah menjadi pendewasaan diri yang mendalam bagi keduanya. Namun, ini

hanya mungkin dalam suasana keakraban yang hangat yang menyediakan

keamanan, sikap menghormati, cinta, pemahaman, empati, dan kesababaran, yang

semuanya perlu disediakan terapis, dibantu oleh jaringan dukungan sosial yang

lebih luas.

2. Kemarahan dan Kebencian, dan Bagaimana Keduanya Mempengaruhi

Konflik dan Dipengaruhi oleh Konflik

Kemarahan adalah kumpulan proses mental yang lebih tercampur daripada

rasa takut. Ia terungkap dalam bentuk yang rumit dalam bentuk yang rumit dalam

kejadian dan mencakup unsur kognitif dan emosi. Otak kita melakukan 3 hal.

Pertama, ia memetakan gambaran terpadu benda, binatang, atau orang yang telah

menyakiti kita. Kedua, ia memetakan keadaan tubuh kita, misalnya kesiapan kita

14
untuk melawan dan yang ketiga, ia memetakan jenis hubungan yang kita miliki

dengan pelaku dan bagaimana kita mungkin meresponnya. Contohnya, kita

biasanya menahan diri dari memukul dosen kita atau pegulat sumo. Kita marah

ketika kita menganggap orang yang menyakiti kita mempunyai kontrol yang

cukup pada situasi untuk tidak merugikan kita (yang disebut dimensi

pengendalian). Kita menjadi lebih marah ketika kita menyimpulkan bahwa orang

lain sengaja menyakiti kita. Memang, penelitian menunjukkan bahwa kita ingin

merugikan orang lain, dengan terang-terangan atau diam-diam, ketika kita percaya

bahwa mereka sebenarnya dapat menghindari menyakiti kita.

Contohnya, Adam dan Hawa, kemarahan dapat menyebabkan kehancuran

atau membuka jalan pada pendewassan diri. Adam marah karena Hawa tidak

cukup tunduk, sementara Hawa tidak berani marah dengan kemarahannya – takut

kepadanya, dan kemungkinan atau kekuatan kemarahannya sendiri, ia mencari

pelepasan dalam ketundukan. Terapis mencoba untuk mengubah ledakan

kemarahan yang Adam proyeksikan pada Hawa menjadi renungan yang lebih

dalam tentang pendewasaan dirinya. Terapis akhirnya mengajak Adam tidak lagi

menggunakan kemarahan sebagai saluran pelarian yang mudah digunakan dan

sebaliknya menghadapi perasaan yang lebih dalam akan rasa sakit dan nyeri yang

terpendam. Ia menjelaskan kepada Adam dan Hawa bahwa semesta normatif baru

tentang saling menghormati kesetaraan martabat mendefinisikan konsep-konsep

seperti cinta, kesetiaan, kerjasama, ikatan, interaksi, dan hubungan dengan cara

yang sepenuhnya baru. Ia mendorong Hawa menganut cara-cara baru ini dan tidak

lagi menghinakan dirinya sendiri di depan Adam, karena penting bagi Hawa untuk

15
berani merasa marah, setidaknya kadang-kadang bukan kemarahan membabi buta

dan kebencian tetapi keteguhan yang dapat ia gunakan untuk membangun

repertoar yang kaya dan komprehensif menjadi pribadi dari pada sekedar

tenggelam ke dalam penghambatan yang menghinakan diri.

3. Penghinaan dan Bagaimana Ia Mempengaruhi Konflik dan Terpengaruh

oleh Konflik

Ketakutan adalah dasar, kemarahan lebih kompleks, dan penghinaan lebih

rumit lagi. Tindakan penghinaan mencakup menindas, menekan, dan menganggap

orang lain tidak berdaya untuk melawan kehinaan ini. Perasaan terhina muncul

ketika orang tidak dapat melawan penghinaan dan orang menganggapnya sebagai

tidak sah dan tidak diinginkan. Apa yang dianggap sebagai penghinaan dan

konsekuensi dari penghinaan ditentukan oleh naskah emosi (emotional scripts)

yang berbeda dari 1 periode sejarah ke periode sejarah lain, dari satu wilayah

budaya ke wilayah budaya yang lain, dari satu orang ke orang lain, dan dalam satu

orang ketika ia bereaksi pada waktu yang berbeda atas penghinaan yang sama.

Deutsch Morton (2006) menjelaskan bagimana Nelson Mandela “menjaga

dirinya untuk tetap teguh dengan mempertahankan martabatnya dan menolak

untuk menyerah, secara psikologis, pada definisi diri yang dicoba untuk

dipaksakan penindas kepadanya”. Nelson Mandela menggambarkan insiden

berikut setelah mendarat di Pulau Robben:

16
Kami ditemui oleh sekelompok sipir putih gemuk yang berteriak “ini

adalah pulau! Disini kalian akan mati”…Ketika kami berjalan menuju penjara,

para penjaga berteriak “dua-dua-dua-dua” – yang berarti kami harus berjalan

berpasangan… Saya berdampingan dengan Tefu. Para penjaga mulai berteriak,

“haas! Haas!” kata haas berarti jalan dalam bahasa Afrika, tetapi biasanya

diperuntukkan untuk binatang ternak.

Para sipir menyuruh kami berlari kecil, dan saya menoleh kepada Tefu dan

dengan menarik nafas saya dan berkata bahwa kita harus memberi contoh: jika

kita menyerah sekarang, kita akan tergantung pada belas kasihan mereka, saya

mengatakan kepada Tefu bahwa kita harus berjalan di depan, dan kita akan

memimpin. Setelah di depan, kami benar-benar mengurangi kecepatan, berjalan

perlahan dengan sengaja. Para penjaga tidak percaya dan berkata: “kami tidak

akan mentolerir pembangkangan disini. Haas! Haas!” tetapi kami terus pada

kecepatan kami. Kepala penjanga memerintahkan kami untuk berhenti dan

mereka berdiri didepan kami: “dengar, kami akan membunuh kalian, kami tidak

main-main. Ini peringatan terakhir. Haas! Haas!”

Menanggapi ucapan ini saya berkata: “kalian punya tugas sendiri dan kami

juga” saya bertekad bahwa kami tidak akan menyerah, dan kami tidak, karena

kami sudah berada di penjara.

Deutsch menyimpulkan: “dengan penolakan publiknya yang terus-

menerus dihina atau rasa dipermalukan, Mandela menolak hubungan yang

menyimpang, melemahkan-diri, yang berusaha dipaksakan kepadanya oleh

17
penindas. Melakukan hal ini meningkatkan kepemimpinannya di antara sesama

tahanan politik dan sikap menghormati yang ia terima oleh para penjaga dan sipir

penjara yang tidak begitu sadis”

Perasaan dihina dapat menjadi “bom nuklir emosi”, istilah yang dibuat

oleh Hawalin G. Linder. Penelitian Linder menunjukkan bahwa perasaan dihina

dapat mencapai kualitas dan kekuatan obsesi dan kecanduan. Ia dapat

mendominasi kehidupan orang-orang dalam arti, tindakan mereka menjadi

merusak bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Jika dihasut oleh para

pengusaha-penghinaan, seperti di Rwanda pada tahun 1994, perasaan dihina dapat

memicu penganiayaan dengan cara yang bahkan membuat pembelian persenjataan

mahal tidak berguna. Di Rwanda, semua orang mempunyai golok dirumah untuk

pertanian. Ketika orang-orang berniat untuk melakukan kekejaman – dan perasaan

dihina mungkin paling berperan – senjata militer paling mahal mungkin tidak

diperlukan bagi orang-orang untuk terus melakukan penganiayaan.

Vamik D. Volkan (2004) dalam teori kekerasan kolektif yang terdapat

dalam buku terbarunya Blind Trust, mengatakan bahwa ketika trauma yang dipilih

dialami sebagai terhina dan bukan kesedihan, ini dapat mendorong pada perasaan

hak untuk balas dendam dan, dibawah tekanan ketakutan/kecemasan, pada regresi

kolektif.

Pandangan bahwa penghinaan mungkin lebih dari sekadar emosi negatif,

tetapi memang mungkin merupakan fenomena yang sangat kuat, didukung oleh

penelitian sejumlah penulis, seperti James Gilligan, Linda M. Hartling dll.

18
Sampai belakangan ini, bagaimanapun, sedikit peneliti yang telah

mempelajari penghinaan secara eksplisit – fenomena penghinaan biasanya muncul

hanya secara implisit dalam literatur tentang kekerasan dan perang. Ketika

penghinaan diperlakukan secara eksplisit, sering digunakan bergantian dengan

rasa malu atau dikonsepsikan sebagai varian emosi tersebut. Penghinaan hanya

baru-baru ini dipelajari sebagai varian emosi tersebut. Penghinaan hanya baru-

baru ini dipelajari sebagai kajian tersendiri, antara lain sejak tahun 1996, oleh

Hawalin G. Linder, dan Jeniffer S Goldman dan Peter T. Coleman. Penghinaan

adalah fenomena yang kompleks dari tindakan dan perasaan yang dapat terjadi

tanpa melibatkan rasa malu. Seperti dalam kasus Nelson Mandela, orang-orang

yang menghadapi perlakuan yang menghina mungkin dengan tegas menolak

merasa terhina atau malu. Dan bahkan ketika mereka merasa terhina, korban

penyiksaan dan penganiayaan menjelaskan sebagian dari keberhasilan mereka

untuk menjadi tangguh adalah tidak merasa malu meskipun memang merasa

terhina.

Mempertimbangkan perasaan terhinda dapat menjelaskan lebih lanjut

tentang kekerasan dan terorisme dibanding penjelasan lain. kita tidak menganggap

kondisi seperti ketimpangan, atau konflik kepentingan atau kemiskinan sebagai

otomatis negatif. Selama semua pemain menerima pembenaran (kemiskinan

sebagai takdir tuhan misalnya), mungkin ada rasa sakit, tetapi tidak ada kesadaran

bersama tentang masalah yang harus diperbaiki, tidak ada konflik, dan tidak ada

reaksi kekerasan. Dan konflik, bahkan jia ia terjadi, tidak secara otomatis merusak

– ia dapat diatasi bersama secara kreatif. Hanya ketika perasaan terhina tidak

19
diatasi secara konstruktif, kerjasama gagal. Dalam skenario terburuk, terjadi

kekerasan terus-menerus.

Sebagaimana dijelaskan Linder, pada titik sejarah saat ini, dua kekuatan

baru membawa penghinaan muncul ke permukaan dengan intensitas yang belum

pernah terjadi sebelumnya. Globalisasi (atau menyatunya umat manusia),

dibarengi dengan revolusi HAM, meningkatkan arti penting perasaan terhina.

Selama orang tinggal jauh satu sama lain, dalam keterasingan, penderitaan relatif

tidak terdeteksi. Tetapi sekarang, opera sabun barat dan turis-turis barat yang

berwisata mengajarkan orang-orang yang kurang beruntung untuk mengenali

penderitaan mereka sendiri. Pada saat yang sama, seruan hak asasi manusia akan

persamaan derajat mengajarkan di seluruh dunia bahwa kemiskinan mereka,

penderitaan relatif mereka, tidak lagi diterima sebagai takdir, tetapi merupakan

pelanggaran kemanusiaan yang sangat mendasar, ketika seseorang yang menderita

mengidentifikasi orang-orang kaya dunia sebagai pelaku pelanggaran, ketika ia

mencurigai bahwa orang-orang kaya menjajakan retorika kosong hak asasi

manusia untuk mempertahankan posisi kuat mereka, kemiskinan berubah menjadi

penghinaan. Saat ini, kesenjangan antara kaya dan miskin , lokal dan global,

berkembang lebih luas. Underdog di dunia, dan orang-orang yang menyamakan

diri dengan mereka, mendengarkan retorika kosong HAM dari elit dan merasa

terhina oleh khotbah kosong: “mengakui kemanusiaan secara munafik dan

mengkhianati janji berarti menghina secara terang-terangan dengan menyangkal

kemanusiaan yang diakui”

20
Thomas Friedman (2003), kolumnis New York Times, berkata: “jika saya

lebih belajar satu hal, yang meliputi masalah dunia, ia adalah: satu kekuatan yang

paling diabaikan dalam hubungan internasional adalah penghinaan”

Aaron Lazare (2004) menulis: “saya percaya perasaan terhina merupakan

salah satu emosi paling penting yang harus kita pahami dan kelola, baik dalam diri

kita sendiri maupun orang lain, dan pada tingkat individu maupun nasional”

Apa yang terjadi ketika perasaan terhina muncul? Blema S. Steinberg

berpendapat bahwa perasaan terhina dapat memicu kemarahan narsis dan tindakan

agresi yang dimaksudkan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan harga

diri. Steinberg menganalisis krisis politik dan memperingatkan bahwa pemimpin

internasional, ketika dihina didepan publik, mungkin memicu kehancuran massal

dan perang. Roy F Baumeister (1996) menunjukkan bahwa pelaku kejahatan

kekerasan menggabungkan penghargaan-diri yang tinggi, meskipun rapuh, dengan

pengaturan diri yang buruk terutama ditentang. Walter Mischel, Aaron L. DeSmet

dan Ethan Kross menjelaskan bahwa orang-orang peka penolakan bahkan dapat

“ketagihan” pada situasi kehinaan dimana mereka dapat merasakan penghinaan.

Siklus penghinaan terjadi ketika perasaan terhina diterjemahkan ke dalam

tindakan penghinaan yang direspon dalam bentuk sejenis. Dalam kasus

penganiayaanyang dilakukan kolektif, para pengusaha-penghinaan seperti Hitler

mengundang para pengikut untuk menumpahkan rasa frustasi mereka menjadi

narasi besar penghinaan yang menggunakan tindakan pembalasan penghinaan

sebagai obat. Hanya para “pengikut Mandelas” orang-orang yang tahu bagaimana

21
membangun hubungan yang bermartabat, dapat menghindari hal ini. Pembantaian

biasanya tidak sekedar pembunuhan yang efisien, tetapi umumnya lebih kejam.

Pemerkosaan, penyiksaan, dan mutilasi sering mendahului pembunuhan. Banyak

tentara terlibat dalam tindakan ini. Meskipun tidak ada yang menunjukkan bahwa

mereka adalah pemerkosa dalam kehidupan sipil atau tertarik pada sadisme

seksual atau kekerasan sadis, kekejaman yang ekstrim, karena itu, sulit untuk

dijelaskan dengan teori-teori forensik umum. Dalam genosida Rwanda, misalnya,

pembunuhan tidak cukup. Para korban dihina sebelum dibunuh. Mengapa seorang

wanita tua diarak telanjang sepanjang jalan sebelum dikurung dengan anjing lapar

untuk dimakan hidup-hidup?

Sebagai kesimpulan, perasaan terhina mempengaruhi konflik dengan cara-

cara yang ganas ketika diterjemahkan ke dalam kekerasan ala Hitler, atau

terorisme modern, dan menghasilkan siklus penghinaan. Namun, perasaan terhina

tidak otomatis memicu kekerasan. Tidak ada hubungan yang kaku. Perasaan

terhina juga dapat dijadikan modal bagi perubahan sosial yang konstruktif. Nelson

Mandela menunjukkan bahwa ada skrip konstruktif yang berjalan dari dihina dan

perasaan terhina menuju keterlibatan yang bermanfaat dalam perubahan, lawan

dari pembalasan dengan penghinaan brutal-atas-penghinaan. Mandela tentu

mengalami perlakuan yang menghina selama 27 tahun dipenjara, tetapi ia tidak

memproklamirkan genosida pada elit kulit putih di Afrika Selatan. Nelson

Mandela tidak membiarkan dirinya untuk merasa terhina atas upaya-upaya

penghinaan kepadanya, atau, jika ia memang merasa terhina, ia tidak membiarkan

22
dirinya menerjemahkan perasaan ini menjadi pembalasan kekerasan. Sebaliknya,

di Rwanda, orang-orang yang terhina membunuh elit mereka dalam genosida.

Konflik, pada gilirannya, mempengaruhi perasaan terhina melalui cara

konflik dikelola. Jika dikelola dengan cara yang menghormati, kemungkinan

untuk menemukan solusi yang konstruktif adalah tinggi. Jika dikelola dengan cara

yang menghina, merendahkan, dan arogan, bahkan jika hal ini dilakukan tanpa

sadar, perasaan terhina akan merusak kerjasama yang konstruktif. Pandangan ini

dapat dikembangkan. Pada tingkat masyarakat, untuk menjamin perdamaian,

dalam bukunya The Decent Society, Avishai Margalit (1996) menyerukan

lembaga-lembaga untuk menghina.

4. Rasa Bersalah dan Bagaimana Ia Mempengaruhi Konflik dan

Dipengaruhi Oleh Konflik

Rasa bersalah adalah emosi yang kompleks dan topik untuk psikologim

psikiatri, etika, hukum pidana, dan bidang terkait lainnya. Untuk merasakan

perasaan bersalah, kita perlu kesadaran-diri dan kemampuan untuk mengukur

perilaku kita dalam hubungannya dengan standar. Emosi evaluatif sadar-diri

seperti kebanggaan, rasa malu, atau rasa bersalah baru muncul ketika umur dua

atau tiga tahun. Rasa bersalah dapat dipahami sebagai keadaan afektif penyesalan

karena telah melakukan sesuatu yang orang percaya seharusnya tidak dilakukan.

Kehinaan, kerendahan hati, malu, dan rasa bersalah adalah konsep-konsep yang

terkait. Ketika saya merasa malu, saya menerima bahwa saya merasa hina. Saya

23
malu ketika saya buang angin secara tidak sengaja, saya dapat malu walaupun

tidak ada orang lain yang melihatnya. Norbert Elias (1897-1990) menempatkan

munculnya “keterampilan” rasa malu pada pelanggaran seperti ini dijantung teori

peradabannya. Mampu merasa malu adalah prososial, seperti kemampuan untuk

merasa bersalah. Ketika saya merasa bersalah, saya menerima bahwa saya telah

melakukan pelanggaran moral. Orang-orang yang tidak mampu merasa malu atau

merasa bersalah dianggap sebagai monster “tak tahu malu”. Kita semua berharap

bahwa keinginan untuk menghindari malu dan bersalah akan menjaga kohesi

sosial dan memelihara kerendahan hati di hadapan aturan sosial dan hukum dan

kebutuhan untuk bekerjasama untuk membangun dunia yang berkelanjutan. Kita

menganggap kerendahan hati sebagai kebijakan, dan rasa malu dan rasa bersalah

sebagai sangat penting dimana rasa bersalah, menurut sebagian sarjana,

menggantikan rasa malu karna potensinya yang lebih besar untuk menimbulkan

empati dan kepekaan terhadap orang lain. Rasa bersalah dapat memberikan

penyembuhan bagi pelaku, korban, dan masyarakat umum, melalui penyesalan,

meminta maaf, pengampunan dan keadilan restoratif.

Masyarakat malu dan bersalah telah dibedakan (Ruth Benedict, 1887-

1948). Dalam masyarakat malu (shame society), dikatakan, saya berusaha untuk

mempertahankan nama baik saya di mata orang lain. Sementara dalam masyarakat

bersalah (guilt society) saya menginternalisasi norma-norma moral kedalam

superego saya dan merasa bersalah ketika tidak mematuhinya, “muka” dan

“menyelamatkan muka” biasanya berhubungan dengan budaya Asia, Sarjana

Cina, bagaimanapun, menjelaskan bahwa rasa malu dan rasa bersalah saling

24
menguatkan, keduanya mengarahkan orang-orang pada pemeriksaan diri dari

dalam situasi sosial dan memotivasi orang-orang untuk mengevaluasi perilaku

mereka dan menyesuaikannya.

Namun, rasa bersalah dapat disalahgunakan sebagai alat kontrol sosial,

karena orang yang bersalah merasa kurang layak dan cenderung tidak menuntut

hak dan prerogatif mereka. Beberapa anak, serta beberapa kelompok, diajarkan

untuk merasa bersalah karena keberadaan mereka atau karena sifat tertentu

penampilan mereka. Kasus-kasus seperti ini mewakili kejadian patologis dan

penerapan rasa bersalah yang merusak.

Perasaan bersalah dapat mencegah orang berbuat jahat. Perasaan bersalah

atas kelalaian dan pelanggaran masa lalu, jika diakui, diperbaiki dengan

permintaan maaf dan memaafkan, dapat menjadi kekuatan penyembuh yang kuat

dalam konflik. Apa yang dibutuhkan bagi malu dan rasa bersalah untuk menjadi

kekuatan penyembuh adalah keberanian untuk menghadapinya dan mengukurnya

dengan kejujuran, kerendahan hati, dan kehangatan. Jika tidak disadari dan diatasi

secara konstruktif, jika dibiarkan, malu dan rasa bersalah dapat membantu

melestarikan konflik yang destruktif. Pada gilirannya, konflik dapat menimpa

pada perasaan bersalah. Perasaan bersalah dapat didorong kearah kekerasan jika

kondisi menghalangi pengakuan dan penyembuhannya. Selain itu, sengaja

menciptakan “rasa bersalah patologis” dengan membuat lawan dalam konflik atau

negosiasi merasa bersalah untuk melemahkan mereka mungkin akan melemahkan

solusi konstruktif jangka panjang. Keberhasilan negosiasi atau solusi konflik

tergantung pada komitmen tegas dari para pemain yang kuat. Rasa bersalah paling

25
baik dapat diubah menjadi penyembuhan, jika tertanam dalam keadilan restoratif

yang menghormati.

Contoh kasus rasa bersalah:. Seorang teknisi pesawat asal Inggris bernama

Gavin Price Jones, bunuh diri di rumahnya. Jones diduga menghabisi nyawanya

sendiri karena dikejar-kejar perasaan bersalah telah menyebabkan kecelakaan

AirAsia QZ 8501. Pria berusia 37 tahun itu berpikir dia harus bertanggung jawab

atas kecelakaan pesawat yang menewaskan 162 orang itu. Rasa Bersalah

Membuat Jones Lakukan Tindakan Nekat Istri Jones, Louise menuturkan

bahwa, kendati keluarga dan teman temannya sudah menyakinkan, bahwa

kecelakaan QZ 8501 sama sekali bukan karena kesalahannya, namun pria ini tetap

yakin ia yang bersalah dan merasa bertanggung jawab. Pikiran-pikiran salah itu

melemahkan semangat hidup Jones dan menimbulkan kegelisahan Sehingga

melakukan tindakan nekat dengan jalan menggantung diri.

5. Harapan Dan Bagaimana Ia Mempengaruhi Konflik Dan Dipengaruhi

Oleh Konflik

C. Richard Snyder (2002) mengembangkan teori harapan, terkait dan

tumpeng tindih dengan teori optimismeyang dipelajari, optimism, efektivitas-diri,

harga-diri, dan mengatasi masalah. Harapan yang tinggi senantiasa terkait dengan

hasil yang lebih baik di bidang akademik, atletik, kesehatan fisik, adaptasi

psikologis, dan psikoterapi.

26
Kebanyakan orang kurang mempunyai harapan, kata Snyder, karena ia

tidak diajarkan secara tepat selama msa kanak-kanak, harapan yang tinggi akan

membawa pada penyesuaian sosial yang lebih baik dengan keluarga besar

seorang, teman-teman seorang, dan jaringan sosial yang lebih luas, dan kesehatan

masyarakat dan kesejahteraan umum cenderung meningkat.

Harapan tidak boleh diracunkan dengan impian naif dan tidak realistis,

strategi harapan menuntut perlunya terus menimbang kesempatan, dan kekuatan,

dan dan menemukan solusi yang optimal.

Kita perlu belajar harapan dan mengembangkan budaya harapan dan

lembaga harapan untuk mendukung kita ketika kita mengupayakan resolusi

konflik yang konstruktif. Menciptakan lebih banyak tujuan alternatif, solusi

alternatif, dan keteguhan di dalam diri kita, bagi kita, dan dalam masyarakat kita.

Jika kita berhasil kita kan mempunyai orang-orang yang terjun kedalam jaringan

sosial yang lebih luas yang menguntungkan semua orang.

Seorang pasien kanker, jika di beritahu bahwa ia dalam kondisi kritis,

dapat bertahan jika mengerahkan hatapan yang maksimal. Ia mungkin mati jika

dikelilingi oleh para pesimis. Untuk dunia, kita membutuhkan harapan konstruktif

yang membingkai darurat dan krisis sebagai tantangan.

27
6. Keyakinan dan Kehangatan, dan Bagaimana Keduanya Mempengaruhi

Konflik dan Dipengaruhi oleh Konflik

Apa yang kita harus belajar adalah keyakinan mengambang dalam

ketidakpastian yang kaku. Kita harus menjadi pelayar yang yakin dan bukan

pembela yang kaku, menurut David Ricky Matsumoto, Seung Hee Yoo, dan

jefery A. Leroux (2005)

Orang-orang yang tidak dapat mengendalikan emosi mereka memperkuat

dan mengabadikan cara-cara etnosentris dan stereotip mereka sebelumnya dalam

menangani dunia yang terbatas. Ini adalah model stagnasi, tanpa potensi

pertumbuhan yang melekat dalam pertumbuhan tersebut, disebut “pembela”

karena pandangan dunia mereka dibentuk semata-mata untuk membela

etnosentrisme. Sebagai contoh kasus, Kedua pihak yang terlibat konflik harus

menghindari bergerak terlalu jauh , berjalan di atas yang lain atau membiarkan

pihak lain berjalan di atas mereka. Adam berjalan diatas Hawa dan Hawa

membirkan Adam melakukannya . Dalam terapi, kedua pihak memahami bahwa

ketika semua pemain dalam konflik belajar menanamkan sikap saling

hormat,kehangatan, dan dengan tenang.

28
Pada awalnya Adam dan Hawa memahami satu sama lain dari sudut

pandang masing-masing dan mencoba membuktikan pada terapis bahwa selain

yang demikian adalah jahat. Kemudian, perlahan-lahan , mereka mulai

mendengarkan , mereka mencoba memahami perasaan satu sama lain juga pikiran

masing-masing. Untuk mengelola konflik dengan baik, kita harus merancang

upaya kita dengan cara yang menjaga ayunan-ganda terhubung. mengambangkan

keyakinan dan bukanya merasa benar dan panik, konflik dapat dibingkai dengan

ramah.

Kita harus belajar untuk mentolelir ketidakpastian dan ambiguitas dengan

yakin, ketika kitta tidak memahami mitra kita, melompat ke kesimpulan karena

kebutuhan untuk “pasti” akan menghasilkan kegagalan.

29
CARA BERINTERVENSI DALAM KONFLIK, MENGENDALIKAN

EMOSI NEGATIF, DAN MEMUPUK EMOSI POSITIF

Bagaimana kita mengendalikan atau memperlambat dan mendinginkan ?

kita asumsikan bahwa kita baru saja bertengkar dan kehilangan control (otak lama

telah mengambil alih). Gambaran otak modern menghasilkan bukti efektivitas

Teknik meditasi. Para budhhis mengatakan bahwa emosi yang destruktif dapat

banyak dikurangi, berbeda dengan asumsi umum barat bahwa program biologis

kita dalam emosi adalah tetap.

Cara berintervensi dalam konflik mengendalikan emosi negative dan

memupuk emosi positif, lebih dari mengakhiri perang kita ingin mengakhiri awal

semua perang ya,mengakhiri metode brutal,tidak manusiawi dan sangat tidak

praktis untuk menyelesaikan perbedaan antar bangsa.(Winston Churchill)

Kapan hati Nurani kita akan tumbuh dengan lembut sehingga kita akan

bertindak untuk menncegah penderitaan manusia dan bukan

membalasnya.(Eleanor Roosevelt)

Kita mendiskusikan bahwa system “gerak” mental jangka Pendek kita

mungkin kontraproduktif ketika kita mencoba untuk mencapai tujuan jangka

Panjang yang luas. Untuk masalah jangka Panjang yang kompleks kita perlu

memanfaatkan proses teratur superordinate dalam struktur otak bagian atas kita.

Kita perlu berhubungan dengan perasaan yang lebih dalam,pikiran, dan faktor-

faktor diluar model mental dan sensorik kita yang dominan. Kita harus memasuki

30
proses yang sebagian besar tidak sadar otomatis berjalan secara beriringan yang

memasok kita dengan kreativitas. “Tombol Panas” dimana setiap orang

mempunyainya yang jika dipicu akan membangkitkan emosi yang kuat seperti

kecemasan,kemarahan, kegusaran,ketakutan,deperesi atau penarikan diri.

Anda baru saja bertengkar dan “kehilangan Kontrol” (otak lama telah

mengambil alih). Para buddhis mengatakan bahwa emosi yang destruktif dapat

banyak dikurangi, berbeda dengan asumsi umum barat bahwa program biologis

kita untuk emosi adalah tetap.

Kita menemukan pendekatan serupa dalam banyak disiplin. Konsep

pengamatan diri (self observation), dengan cara yang lebih umum, Erfing

Goffman, “Etnografer Diri”.menggambarkan bagaimana orang-orang bernegoisasi

dan mengesahkan identitas dalam pertemuan tatap muka dan membangun

kerangka dimana merke mengevaluasi makna pertemuan mereka.

Anda harus secara konstruktif menyalurkan dan mengelola emosi negatif

anda berupa marah ketakutan dan tertekan karena mereka adalah “penjaga

gerbang” efektivitas komunikasi. Bahan utama dalam pertumbuhan pribadi adalah

kunci bagi keberhasilan penanganan konflik, yaitu pengauran emosi,pemikiran

kritis,keterbukaan dan fleksibilitas.proses-proses psikologis ini adalah mesin

psikologis adaptasi dan penyesuaian.

Mempertahankan harapan tinggi berarti terlibat dalam strategi yang sangat

spesifik mendekati dunia. Salah satu strategi tersebut, misalnya adalah pendekatan

31
“gelas setengah penuh” meratapi apapun yang hilang atau apapun yang belum

tercapai hanya menguras energi.

Namun kita tidak boleh menyimpulkan bahwa emosi negatif sama sekali

tidak layak dan harus dihindari.ini tidak terkait dengan premis “Tetap

Tersenyum”. Emosi negatif dapat menjadi fungsional, tidak hanya dalam situasi

darurat tetapi juga untuk pembelajaran yang efektif.

Resolusi konflik yang sukses sering membutuhkan sejumlah perubahan

konseptual dimana emosi negatif dapat berperan. Terlalu banyak emosi positif

dapat menghambat pembelajaran yang efektif. Studi tidak menemukan hubungan

yang jelas antara afeksi positif dan perubahan konseptual. Menghindari konflil

“ketidaktahuan yang menyenangkan” bahkan mungkin menciptakan konflik.

Barbara L fredickson dan Robbert W. Levenson mempelajari emosi positif

(1998). Mereka menawarkan perspektif teoritis baru yang menarik, yang mereka

namakan model memperluas dan membangun. Bukannya tindakan, Emosi positif

tampaknya memfasilitasi perubahan aktivitas kognitif. Apa yang menjadi

ancaman bagi emosi negatif, bagi emosi positif adalah kesempatan. Sebagaimana

telah kita lihat model tradisional beorientasi tindakan untuk emosi negatif

menunjukan bahwa emosi negative mempersempit repertoar tindakan pikiran

sesaat seseorang. Emosi positif memperluas repertoar tindakan pikiran sesaat

seseorang. Afeksi dan emosi positif mempromosikan strategi mental intuitif

holistic (Belahan Kanan, RH). Semantara afeksi dan emosi negatif mendorong

strategi mental analitis serial (Belahan kiri LH). Telah ditunjukan bahwa copping

32
(Mengatasi) dan Ketahanan berhubungan dengan kehilangan. Tindakan

panik,didorong oleh rasa sakit harus memberi jalan untuk refleksi yang tenang dan

keteguhan yang kuat dalam suasana harapan dan keberanian.

Dalam “Hukum Kasar” hubungan sosial .” Morton Deutsch (1999)

mengatakan bahwa “kerjasama mendorong dan didorong oleh kesamaan presepsi

dalam keyakinan dan sikap, kesiapan untuk membantu keterbukaan dalam

komunikasi sikap mempercayai dan ramah kepekaan terhadap kepentingan umum

dan mengurangi kepentingan yang ditentang, orientasi kea rah meningkatkan

kekuatan Bersama daripada perbedaan,kekuatan dan sebagainya.

Penjelajah matsumoto membutuhkan apa yang disebut W. Barnett pearce

keahlian komunikatif kasmopolitan. Bagi komunikator kasmopolitan

ketidaksepakatan adalah kesempatan untuk belajar dan membangun realitas baru.

Ketidak sepakatan alih-alih bencana adalah dilemma yang membutuhkan

eksplorasi lebih lanjut untuk menemukan solusi yang kreatif bukannya becana.

Keahlian berarti (a) “semangat besar” pada apa yang kita lakukan, (B)

kemampuan untuk membuat perbedaan yang akurat dan mendalam dan (C)

kemampuan untuk terlibat dalam pelaksanaan yang terampil jadi apa yang kita

butuhkan untuk dunia yang terlibat dalam konflik secara konstruktif adalah

“semangat besar.” Semangat untuk mengembangkan bentuk-bentuk baru

komunikasi yang memerlukan keseimbangan yang cermat dan terampil antara apa

yang kita bahas disebelumnya yaitu kapasitas memperluas dan membangun emosi

positif dan kapasitas perubahan konseptual emosi negative.

33
Untuk mencapai keahlian komunikatif adalah perlu meninggalkan

beberapa keyakinan yang tidak membantu tentang kecerdasan dan pembelajaran.

Kecerdasan tidaklah tetap ia adalah lunak (Teori kecerdasan bertahap). Orang

yang percaya kecerdasan adalah tetap mengembangkan orientasi pencapaian

egosentris. Mereka ingin memenuhi harapan orang lain menghindari kesalahan

dan telihat pintar. Mereka adalah “pengecat dinding luar.” Yang membahayakan

orang lain, misalnya ketika mereka menutupi kesalahan yang berbahaya.

Disamping itu konflik mendapat manfaat dengan didekati oleh orientasi

penguasaan berorientasi tugas kita : belajar Bersama-sama dari kesalahan kita.

Kaethe Weingarten (2003). Merekomendasikan kesaksian penuh kasih

membantu kita mengakui dan menyatakan kembali rasa kemanusiaan bersama kita

dan berhenti tidak memanusiakan orang lain.

Aaron Lazare (2004) mengaskan : “salah satu interaksi manusia yang

paling mendalam adalah menawarkan dan menerima permintaan maaf.

Permintaan maaf mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan penghinaan dan

dendam: mengahapus keinginan untuk membalas dendam dan menghasilkan

pemberian maaf pada pihak yang tersinggung. Untuk pelaku mereka dapat

mengurangi rasa takut akan pembalasan dan meringanka rasa bersalah dan malu

yang dapat mencengkeram pikiran secara kuat dan abadi sulit untuk di abaikan.

Menyimpulkan bagian ini. Adalah penting bahwa kita tahu apa “Tombol

panas” kita dan jika ditekan menemukan cara untuk “memperlambat dan

mendinginkan” sehingga kita dapat berpikir dan bertindak dengan cara yang akan

34
menumbuhkan iklim emosi positif bukannya iklim emosi negatif untuk

menyelesaikan konflik. Emosi negatif harus dikelola dengan hati-hati terutama

karena kemampuan untuk menyalurkan dan mengelola emosi negatif secara

konstruktif adalah “penjaga gerbang” bagi efektivitas komunikasi. Meditasi

hanyalah salah satu dari sekian cara untuk “memperlambat dan mendinginkan.”

Sehubungan disarankan agartidak menekan “Tombol Panas” mereka tapi mencoba

mengembangkan saling menghormati,peduli dan hubungan kerjasama yang

ditandai oleh “keahlian komunikasi komopolitan.”

Mari kita kembali kekasus adam dan hawa untuk menutup kasus mereka.

Adam dan hawa secara bertahap belaja bahwa ada definisi lain tentang cinta dan

kebahagian bukan hanya cinta yang didefinisikan sebagai saling tergantung dalam

ketundukan / dominasi. Adam awalnya percaya bahwa hanya pasangan yang

lemah yang akan membutuhkan dia sehingga ia terus membuat hawa lemah dan

hawa mencoba yang terbaik untuk menyesuaikan diri. Sekarang keduanya belajar

bahwa cinta dapat berkembang antara dua insan yang percaya diri dan kuat yang

saling memperkaya satu sama lain. Semua hipotesis mereka tentang “ apa yang

bekerja” dan “apa yang tidak bekerja “ harus didefinisikan ulang. Kadang-kadang

mereka “jatuh kembali” Namun mereka tidak menyerah.

Contoh berintervensi dalam konflik. Intervensi adalah tindakan campur tangan

untuk memengaruhi. Kesempatan intervensi adalah peluang untuk melakukan

intervensi.

Contohnya : ruang A dan C bersih dan rapi, ruang B kotor dan berantakan.

semua yang ada di ruang C tidak peduli dengan ruang B, berarti ruang A memiliki

35
kesempatan kesempatan mengintervensi ruang B secara verbal secara terus-

menerus untuk membersihkan dan merapikan ruangannya.

Contohnya : Negara Indonesia dan Malaysia terlibat konflik negara yang

ada di asia tenggara tidak peduli dengan konflik Indonesia dan Malaysia. Tapi

singapura melakukan intervensi kepada negara Indonesia dan Malaysia dengan

mempertemukan dua presiden Indonesia dan Malaysia melakukan pendekatan

secara individu mencari solusi dan membuahkan hasil yang baik dimana

Indonesia kembali bersahabat dengan Malaysia

36
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Emosi diartikan sebagai impuls yang muncul akibat dari suatu rangsangan dari

dalam maupun dari luar. Emosi bermacam macam, seperti emosi sedih, emosi

marah, emosi bahagia, dan bentuk emosi lainnya. Emosi dalam bahasa awamnya

seringkali dipakai untuk mendeskripsikan kemarahan saja, namun sebenarnya

emosi memiliki arti yang lebih luar dan mewakili banyak macam perasaan.

Emosi berkaitan dengan psikologi seseorang dan suasana hati yang sedang

berlangsung. Emosi dapat dikeluarkan berupa perilaku tertentu. Perasaan dan

perilaku saling terhubung dengan emosi. emosi berarti isi hati yang dituangkan

dalam ekspresi fisik.

Emosi berasal dari kata emotion dalam bahasa Prancis atau dalam bahasa Latin

emovere yang artinya keluar. Secara etimologisnya emosi diartikan “bergerak

keluar”. Emosi merupakan suatu konsep yang luas dan tidak dapat dispesifikkan.

Emosi merupakan suatu reaksi bisa positif maupun negatif sebagai dampak dari

rangsangan dari dalam diri sendiri maupun dari luar.

37
Daftar Pustaka

Handbook Resolusi Konflik. Karya Morton, Deustch, Peter T Coleman.

Nusa media

38

Anda mungkin juga menyukai