Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Mahasiswa merupakan seorang remaja yang sedang mengalami
masa perubahan dari anak – anak menuju dewasa. Pada masa ini bentuk
fisik individu akan mengalami perubahan karena adanya perubahan
hormon. Pada tahap perkembangannya, remaja mulai memiliki kesadaran
untuk membentuk identitas dirinya dan ketertarikan terhadap lawan jenis.
Hal ini yang mendasari remaja cenderung lebih banyak memperhatikan
penampilan fisik untuk mencapai bentuk tubuh mereka sesuai dengan citra
tubuh “body image” yang diinginkan.(Indrati dan Apriliana 2018)
Menurut Davison & McCabe dalam (Berman, Shirlee Snyder.
2016) Citra tubuh adalah integrasi persepsi, pikiran dan perasaan individu
tentang bentuk, ukuran, berat tubuh dan fungsi tubuh serta bagian-
bagiannya yang digambarkan dalam penampilan fisik. Citra tubuh yang
sehat ditandai dengan adanya gambaran mental dan sikap yang akurat
tentang tubuh. Apabila ada seseorang yang memiliki pemikiran tubuh
yang positif, maka otomatis ia akan merasa puas dengan kondisi tubuh
yang dimiliki dan menerima kondisi tubuhnya dengan apa adanya. Namun
jika seseorang memiliki pemikiran tubuh yang negatif, maka ia akan
selalu membandingkan tubuhnya dengan tubuh ideal milik orang lain yang
diinginkan dan selalu merasa tidak puas dengan kondisi tubuhnya
Munculnya perasaan kurang nyaman dan asing terhadap kondisi
tubuh, menyebabkan remaja berusaha lebih keras untuk memperbaiki
penampilan agar mendapatkan tampilan fisik yang ideal dan sesuai dengan
apa yang diharapkannya. Obsesi yang dialami oleh remaja terhadap
penampilan fisik merupakan salah satu kriteria bahwa individu tersebut
mengalami kecenderungan body dysmorphic disorder (Nourmalita, 2016).
Body dysmorphic disorder adalah ketidakpuasan penampilan,
kehilangan kepercayaan diri terhadap penampilan fisik atau suatu kondisi
dimana individu menganggap bentuk tubuh sebagai suatu keadaan cacat.
Mereka menghabiskan waktu yang berlebihan (rata-rata 3-8 jam sehari)
memikirkan area tubuh yang mereka anggap tidak menarik, atau tidak
normal dan melakukan perawatan secara berlebihan untuk menutupi yang
dianggap dengan kecacatan (Katharine A.Philips. 2017)
Hasil penelitian yang dilakukan di India pada sebagian remaja
menunjukkan adanya 12,5% remaja laki-laki dan 40,8% remaja perempuan
mengalami body image yang negatif. Dua penelitihan yang dilakukan
sydney mengatakan 31% dari 188 orang dengan body dysmorphic disorder
telah menghabiskan waktunya dengan mengurung diri dirumah. 27% dari
200 penderita body dysmorphic disorder benar –benar tinggal dirumah
selama 1 minggu. Body dysmorphic disorder dikaitkan dengan tingkat
rawat inap psikiatri yang tinggi diantaranya (48%) pada orang dewasa dan
(44%) pada remaja. (Katharine A.Philips. 2017)
Pada bulan Mei hingga Juni 2018 ZAP Clinic bersama MarkPlus
melakukan sebuah survey kecantikan yang diikuti 17.889 responden
wanita di seluruh Indonesia dengan rentang usia 18 hingga 65 tahun. Pada
survey ini terdapat hasil bahwa wanita dapat mengeluarkan uang hingga 1
juta rupiah perbulan hanya untuk membeli produk kecantikan dan dapat
mengeluarkan uang hingga 3 juta rupiah perbulan untuk melakukan
perawatan kecantikan seperti facial dan laser karena menganggap ada hal
yang memang harus mereka rawat atau bahkan diperbaiki dalam dirinya
(Putri,2018).
Menurut penelitian yang berjudul tentang hubungan antara Self-
Esteem dengan kecenderungan Body dysmorphic disorder pada remaja
putri yang di lakukan Rahmania P.N dan Ika Yuniar C. dari Fakultas
Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, dari 100 remaja putri yang
dijadikan subyek penelitian, sebanyak 82 % subyek tidak puas terhadap
penampilannya dan memiliki kecenderungan Body dysmorphic disorder.
(Mahdiyyah.2019)
Kemudian, penelitian yang dilakukan di suatu SMA yang ada di
Surabaya pada 100 remaja putri menunjukkan bahwa 83% mengalami
ketidakpuasan terhadap penampilannya. Hasil penelitian lain menunjukkan
bahwa remaja perempuan sering memberikan penilaian negatif dan tidak
puas terhadap tubuhnya sendiri, oleh karena itu remaja perempuan
cenderung memiliki body image yang lebih negatif dibandingkan dengan
remaja laki-laki. Ketidakpuasan yang terjadi inilah pada akhirnya
membuat para remaja menganggap penampilannya sebagai sesuatu yang
menakutkan, tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan akhirnya
menjadi tidak percaya diri. (Wati dan Sumarmi. Amerta Nutr 2017)
Hasil penelitihan yang berjudul hubungan antara kecenderungan
body dysmorphic disorder dengan perilaku diet pada remaja putri yang
berusia 17 tahun- 20 tahun yang berada di kabupaten Sidoarjo
menunjukkan bahwa subjek yang diteliti baik dari skala kecenderungan
body dysmorphic disorder ataupun skala perilaku diet berjumlah 30 orang.
Untuk kecedenrungan body dysmorphic disorder nilai rata-rata (mean)
adalah73.06 nilai standar deviasinya 4.60834, nilai terendahnya 66 Dan
nilai tertinggi adalah 81.(Mahdiyyah.2019)
Pasien body dysmorphic disorder memiliki kecenderungan
menjadi pasien rumah sakit jiwa (48%), pengangguran (31%), hingga
kasus bunuh diri (22-24%). Pasien body dysmorphic disorder menemukan
situasi sosial yang sulit karena kecenderungan mereka yang takut bahwa
orang lain akan menyadari kecacatan yang dimilik pasien. Mereka sulit
menjalin hubungan dengan teman sebaya, keluarga, pasangan. Sekitar 30%
dari pasien body dysmorphic disorder telah melakukan isolasi sosial
selama minimal satu minggu karena obsesi mereka (Nurlita&Lisiswati.
2016)
Perilaku yang memiliki kecenderungan body dysmorphic
disorder adalah obsesi pada penampilan fisik yang selalu dipikirkan,
individu meyakini bahwa memiliki kecacatan atau rasa kurang puas
terhadap penampilan yang membuat seseorang merasa jelek dan tidak
menarik, menghindari situasi sosial, tidak puas melakukan perawatan
kecantikan yang dilakukan terus menerus, menggunakan riasan atau
pakaian berlebih, untuk menutupi kekurangannya.
Menurut Ula (2016) pola pikir positif perlu dimiliki dalam
keseharian. Pemikiran positif akan membantu dalam mengatasi segala
masalah yang dihadapi, terutama dalam menghadapi masalah citra tubuh.
Dengan menanamkan berpikir positif pada remaja tidak hanya memikirkan
kekurangan pada fisiknya tetapi juga akan menunjukkan kelebihan-
kelebihan yang dimilikinya. Selain berpikir positif, perawatan untuk
gangguan dysmorphic tubuh adalah terapi CBT cognitive-behavioral
teraphy. Cbt adalah salah satu bentuk terapi komunikasi sehingga dapat
dikatakan bahwa CBT merupakan bentuk terapi yang menggunakan
pendekatan, penyesuian masalah dengan mempelajari cara pengontrolan
pikiran melalui perubahan persepsi terhadap orang dan situasi tertentu.
(Heri setiawan. 2016).
Dengan adanya peran perawat sebagai edukasi dimana dilakukan
terapi CBT (cognitive-behavioral teraphy) diharapkan pasien memiliki
motivasi untuk sembuh dari gangguan tersebut serta menanamkan pola
berpikir positif agar dapat terhindar dari gangguan dismorfik tubuh (BDD).
Terapi CBT akan berkesinambungan dengan terapi farmakologis yang
diberikan. Tujuan dari farmakoterapi pada pasien dengan gangguan
dismorfik tubuh (BDD) adalah untuk mengurangi gejala dan morbiditas
dan mencegah komplikasi

B. Batasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti ini hanya
membatasi pada hubungan citra tubuh dengan body dysmorphic disorder
pada mahasiswa universitas nahdlatul ulama surabaya
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas rumusan masalah penelitian ini
adalah “Adakah hubungan citra tubuh dengan body dysmorphic disorder
pada mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya”
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan gangguan citra tubuh dengan body dysmorphic
disorder pada mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisa Citra Tubuh dengan Body Dysmorphic Disorder
pada Mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
b. Menganalisa Body Dysmorphic Disorder pada Mahasiswa di
Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
c. Menganalisa Hubungan Citra Tubuh dengan Body Dysmorphic
Disorder pada Mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama
Surabaya
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dapat digunakan sebagai tambahan ilmu keperawatan khususnya ilmu
keperawatan jiwa tentang Hubungan Citra Tubuh dengan Body
Dysmorphic Disorder pada Mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama
Surabaya. Selain itu, dapat juga dijadikan sumber informasi untuk
melakukan penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber
informasi bagi penelitian selanjutnya tentang bagaimana Hubungan
Citra Tubuh dengan Body Dysmorphic Disorder pada Mahasiswa di
Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya dan dapat mempraktekkan
serta mengaplikasikan hasil dari penelitian ini.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
A. Citra tubuh
1. Definisi Citra Tubuh
Citra tubuh adalah integrasi persepsi, pikiran dan perasaan individu
tentang bentuk tubuh, ukuran, berat tubuh, dan fungsi tubuh serta bagian-
bagiannya yang digambarkan dalam bentuk penampilan fisik (Audrey
Berman, Shirlee Snyder. 2016). Citra tubuh juga diartikan sebagai
kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap
tubuhnya termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang
ukuran, fungsi, penampilan dan potensi tubuh. (Mad Zaini. 2019)
Citra tubuh dapat ditafsirkan sebagai sikap diri seseorang yang
multidimensional terhadap tubuh terutama penampilan (Cash & Pruzinsky,
1990). Dengan demikian, citra tubuh mengacu pada bagaimana orang
berpikir, merasa dan berperilaku berkaitan dengan penampilan fisiknya
sendiri. Evaluasi citra tubuh mengacu pada kepuasan dan ketidakpuasan
dengan atribut fisik seseorang serta pengalaman evaluatif dan keyakinan
tentang penampilan seseorang. Evaluasi ini berasal sebagian dari
perbedaan yang dirasakan sendiri dan internalisasi fisik yang ideal (Cash
& Szymanski : 1995) dalam (Nur hasmalawati.2019)
Citra tubuh atau biasa disebut dengan body image merupakan
keyakinan atau persepsi individu yang dengan sadar mengenai bentuk
tubuhnya. (Bimantara, et al. 2019)
Citra diri adalah sikap seorang terhadap tubuhnya secara sadar dan
tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran,
bentuk, fungsi penampilan, dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang
secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap
individu (Stuart and Sundeen. 1995) dalam (Muhit. 2015)
2. Kategori Citra Tubuh
Citra tubuh dikategorikan menjadi dua yaitu citra tubuh positif dan
citra tubuh negatif.
Citra tubuh positif adalah pandangan positif seseorang terhadap
tubuhnya dan menerima bentuk tubuh yang dimiliki. Citra tubuh
negatif adalah pandangan negatif seseorang terhadap bentuk tubuh dan
tidak puas dengan bentuk tubuh yang dimiliki. Dampak dari
pandangan negatif terhadap bentuk tubuh diri sendiri berkaitan dengan
kesehatan mental, emosional, dan perilaku, seperti gangguan pola
makan dengan diet yang tidak sehat dan porsi berlebih, depresi, dan
tidak percaya diri. Pada umumnya remaja putri beranggapan bahwa
bentuk tubuh yang ideal adalah tubuh yang langsing dan tinggi.
(Willianto, D. A. 2017) dalam (Bimantara, et al. 2019)
Citra tubuh positif Remaja yang memiliki citra tubuh positif
akan cenderung merasa puas terhadap kondisi tubuhnya, memiliki
harga diri yang tinggi, penerimaan jati diri yang tinggi, rasa percaya
diri akan kepedulian terhadap kondisi badan dan kesehatannya sendiri,
serta adanya kepercayaan diri ketika menjalani hubungan dengan
orang lain. Citra tubuh negatif Remaja yang memiliki citra tubuh yang
negatif akan merasa dirinya sangat jauh dari harapan atau gambaran
idealnya. Remaja yang merasa dirinya sangat jauh dari harapan atau
gambaran idealnya akan berdampak terhadap kurangnya kemampuan
dalam menyesuaikan diri dengan orang lain di lingkungannya.
(Tamannaeifar dan Mansourinik. 2012 dalam Tsamarah dan Adi.
2015)
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala gangguan psikososial ditunjukan dalam bentuk
respon individual. Respon klien dengan gangguan citra tubuh dapat
berupa aspek kognitif, afektif, perilaku dan sosial.
1. Respon kognitif
a. Mengungkapkan perasaan yang mencerminkan perubahan
pandangan tentang tubuh individu (misalnya: penampilan,
struktur dan fungsi)
b. Mengungkapkan persepsi yang mencerminkan perubahan
pandangan tentang tubuh individu dalam penampilan.
c. Depersonalisasi kehilangan melalui kata ganti yang netral.
d. Mengungkapkan penekanan pada kekuatan yang tersisa dan
pencapaian yang ditinggikan
e. Mengungkapkan segala hal yang berfokus pada penampilan di
masa lalu
f. Mengungkapkan segala hal yang berfokus pada fungsi di masa
lalu
g. Mengungkapkan adanya perubahan gaya hidup
h. Mengungkapkan merasa tidak puas dengan hasil operasi
i. Mengatakan merasa asing terhadap bagian tubuh.
2. Respon afektif
a. Perasaan negatif tentang tubuhnya (misalnya perasaan
ketidakberdayaan, keputusan, tidak mampu dan lemah)
b. Katakutan terhadapreaki orang lain
c. Khawatir adanya penolakan dari orang lain
3. Respon Fisiologis
a. Perubahan aktual pada fungsi
b. Perubahan aktual pada struktur
c. Perubahan dala kemampuan untuk memperkirakan hubungan
d. Spesial tubuh terhadap lingkungan
e. Perluasan batasan tubuh untuk menggabugkan objek
lingkungan
f. Kehilangan bagian tubuh
4. Respon perilaku
a. Perilaku mengenali tubuh individu
b. Perilaku menghindari tubuh individu
c. Perilaku memantau tubuh individu
d. Seara sengaja/tidak menyembunyikan bagian tubuh
e. Trauma terhadap bagian tubuh yang tidak berfungsi
f. Tingkah laku merusak diri (misalnya: mutilasi, usaha bunuh
diri, makan berlehbihan atau kurang nafsu makan)
g. Gelisah
5. Respon sosial
a. Perubahan keterlibatan sosial
b. Kursng terlibat dalam aktivitas sosial
c. Pembahasan komunikasi verbal banyak diam
d. Menarik diri dari hubungan sosial
4. Faktor Pemicu Masalah Citra Tubuh
Banyak pemicu dalam masalah citra tubuh yaitu kesulitan jangka
panjang yang dapat menguras seseorang secara emosional dan
psikologis seiring waktu. Pemicu yang paling umum untuk masalah
citra tubuh adalah: diejek atau digertak karena berbeda, misalnya
tinggi badan anda, gemuk atau kaki anda kurus, menyadari perubahan
dalam penampilan munculnya jerawat, kondisi kulit yang iritasi atau
terdapat luka karena kecelakaaan dan meninggkalkan bekas luka
merupakan salah satu faktor terjadinya gangguan pada citra tubuh.
5. Faktor Predisposisi Gangguan Citra Tubuh
Predisposisi dibagi menjadi tiga aspek, yaitu biologis,
psikologis dan sosial. Predisposisi biologis yaitu adanya riwayat
anggota keluarga menderita penyakit genetik (cacat tubuh).
Penyalahgunaan obat atau zat terlarang. Gejala dapat disebabkan
karena pengaruh fisiologis langsung atau zat (yaitu, obat yang
disalahgunakan, mediasi, pajanan toksin. Gangguan tersebut dapat
terjadi salama intoksikasi atau putus zat dan dapat meliputi ansietas
yang menonjol, serangan panik, fobia maupun obsesi dan kompulsif.
Riwayat menderita penyakit fisik (penyakit kronis, defek konginetal
dan kehamilan), Penanganan medik jangka panjang ( kemoterapi dan
radiasi), Maturasi normal: pertumbuhan dan perkembangan masa bayi,
anak dan remaja, Perubahan fisiologis pada kehamilan dan penuaan,
adanya riwayat prosedur pembedahan: prosedur bedah plastik, wajah,
bibir, perbaikan jaringan parut, prosedur pembedahan transeksual,
aborsi, adanya perubahan penampilan akibat penyakit kronis,
kehilangan bagian tubuh, kehilangan fungsi tubuh, dan trauma berat
(Sharf. 2012)
Predisposisi psikologis yaitu adanya pembatasan kontak sosial
akibat perbedaan budaya maupun akibat proses pengobatan yang lama
(di ICU, NGT atau ETT, trakeostomi), Ada pengalaman terlibat dalam
masalah hukum atau pelanggaran norma, Mengalami konflik yang
tidak disadari mengenai tujuan pentingnya hidup yang berlangsung
lama, Mengalami konflik yang tidak disadari mengenai nilai yang
esensial/penting, Motivasi: kurangnya penghargaan dari orang lain,
self control rendah, ketidakmampuan melakukan kontrol diri ketika
mengalami kegagalan maupun keberhasilan (terlalu sedih atau terllu
senang yang berlebihan), Kerpibadian: menghindar, tergantung dan
tertutup/menutup diri dan mudah cemas atau riwayat kesulitan
mengambil keputusan, tidak mampu berkonsentrasi.
Predisposisi sosial budaya yaitu Usia : Pda usia tersebut
individu tidak dapat mencapai tugas perkembangan yang seharusnya
sehingga mudah mengalami kecemasan. Teori yang diungkapkan oleh
Erikson (1963) mengemukakan jika tugas perkembangan sebelumnya
tidak terpenuhi dapat menjadi predisposisi terhadap gangguan ansietas.
Sebagai respon terhadap stres, tampak perilaku yang berhubungan
dengan tahap perkembangan sebelumnya karena individu mengalami
regresi atau tetap berada pada tahap perkembangan sebelumnya.
Gender/jenis kelamin: pelaksanaan peran individu sesuai dengan jenis
kelamin yang tidak optimal akan mempermudah munculnya
kecemasan, kurangnya pendapatan/penghasilan yang dapat
mengancam pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari, mengalami
perubahan status atau prestise, pengalaman berpisah dari orang
terdekat misalnya karena perceraian, kematian, tekanan budaya,
perpindahan dan perpisahan sementara atau permanen, perubahan
status sosial dan ekonmi akibat pension, tinggal di lingkungan yang
terdpat bahaya keamanan maupun polutan lingkungan. Kondisi pasien
yang tidak mempunyai pekerjaan, pengangguran ada pekerjaan baru
maupun promosi. Peran sosial: kurang mampu menjalankan perannya
untuk berpartisipasi lingkungan tempat tinggal dan kesulitan membina
hubungan interpersonal dengan orang lain: Agama dan keyakinan:
kurang menjalankan kegiatan keagamaan sesuai dengan agama dan
kepercayaan atau ada nilai budaya dan norma yang mengharuskan
melakukan pembatasan kontak sosial dengan orang lain (misalnya laki-
laki dengan perempuan). (Mad Zaini. 2019)
6. Faktor Presipitasi Gangguan Citra Tubuh
Faktor presipitasi diartikan sebagai faktor pencetus terjadinya
masalah psikososial. Beberapa teori menyebutkan bahwa faktor ini
berkaitan erat dengan kondisi yang menjadi stresor dan terjadi dalam
kurun waktu enam bulan. Stresor yang muncul dapat dinilai
berdasarkan asal stresor (nature), jumlah dan waktu terjadinya stresor
(timing). Asal stresor dibedakan menjadi biologis, psikologis dan
sosial budaya. Stresor biologis terjadinya gangguan citra tubuh adalah
adanya kehilangan bagian dan fungsi tubuh, adanya penyakit akut yang
mempengaruhi fungsi tubuh, adanya efek samping pengobatan
kemoterapi dan radiasi, status gizi misalnya obesitas atau terlalu kurus,
perubahan hormonal reproduksi (pubertas, dan menopause) (Kumar et
al. 2013)
Stresor psikologis antara lain kemampuan komunikasi verbal
terganggu akibat adanya gangguan sensori penglihatan dan
pendengaran serta kerusakan area motorik bicara (gagap,pelo dan
bisu), adanya ganguan gambaran diri akibat terapi penyakit : misalnya
pemasangan infus, NGT, Trakeosthomi, infus, gangguan konsep diri
karena menderita sakit, misalnya cedera, pembedahan, adanya persepsi
yang tidak realistis terhadap penampilan akibat psikosis, anoreksia
nervosa dan bulimia, adanya gambaran diri yang negatif akibat
perubahan bentuk, fstruktur, fungsidan penampilan tubuhnya,
kepribadian: mudah cemas dan intorvet atau menutup diri, Moral: tidak
menerima reward dari masyarakat, penilaian diri yang rendah (self
defrifation) dan takut tentang definisi diri sendiri, mengalami
penganiayaan seksual atau pemerkosaan dalam enam bulan terkhir,
Motivasi: kurangnya dukungan sosial orang sekitar dan tidak pernah
mendapat penghargaan dari luar, Self control : klien kurang dapat
mengendalikan dorongan yang kurang positif, adanya pembatasan
kontak sosial dengan keluarga & teman akibat perbedaan budaya,
lokasi tempat tinggal yang terisolasi, proses pengobatan yang
menyebabkan gangguan bicara.
Stresor sosial budaya pada klien gangguan citra tubuh adalah
adanya krisis maturasi atau individu tidak mampu mencapai tugas
perkembangan yang seharusnya, pembatasan yang dilakukan oleh
rumah sakit akibat hospitalisasi, gender: jenis kelamin perempuan
lebih beresiko mengalami gangguan citra tubuh dibandingkan laki-laki,
pendapatan rendah atau kurang dari UMR, pekerjaan: tidak tetap,
status sosial: aktif dalam kegiatan sosial di masyarakat (pengurus),
latarbelakang budaya: nilai budaya keyakinan yang kuta, misalnya
seorang laki-laki harus menjadi tulang punggung keluarga atau
pelindung keluarga, keikutsertaan partai politik dan organisasi : belum
pernah mengalami kehilangan, penolakan hubungan interpersonal,
berpisah dengan orang yang dicintai, tidak ada masalah dengan
pelaksana hubungan intim dan tiba-tiba mengalami pengalaman sosial
yang kurang baik akibat penyakitnya/perubahan fisiknya, peran
sosialnya lagi akibat perubahan fisik yang sebelumnya dapat
dilakukan.
Timing adalah waktu munculnya stresor. Kondisi stres dapat terjadi
dalam waktu yang berdekatan, stres dapat berlangsung lama atau stres
dapat berlangsung secara berulang-ulang, Number adalah jumlah
stresor yang terjadi. Sumber stres dapat lebih dari satu dan terjadi
selama usia perkembangan dan pertumbuhan dan biasanya stresor
dinilai sebagai masalah yang sangat berat.
B. Body Dysmorphic Disorder
1. Definisi Body Dysmorphic Disorder
Gangguan obsesif kompulsif, pasien dengan gangguan ini kadang
kala memiliki perilaku yang buruk. Pasien memiliki gejala kecemasan atau
perhatian berlebih mengenai sesuatu tentang bentuk tubuh maupun
penampilannya dan terkadang berperilaku diluar batas wajar yang terkait
pada batas tubuh. Misalnya, penampilan, bau badan, bau mulut dll.
(D.Surya Y.& Ratri I. 2018)
Body Dysmorphic Disorder merupakan suatu kondisi ketika
seseorang terus-menerus memikirkan kekurangan fisik minor dan
kekurangan imajiner dalam dirinya, menutupi kekurangan imajiner dalam
dirinya, menutupi kekurangan fisiknya dengan berhias diri dalam waktu
yang lama karena berharap dapat tampil sempurn. Ia memiliki anggapan
bahwa penampilan yang sempurna merupakan standar untuk diterima oleh
orang lain. Hal ini menyebabkan kecemasan yang berlebih pada dirinya. Ia
merasa cemas apabila orang lain memerhatikan fisiknya yang dianggap
merupakan kekurangan dalam tubuhnya. (Mahmud. 2018)
Body Dysmorphic Disorder adalah gangguan parah dan umum
yang terdiri dari kesusahan atau gangguan keasyikan dengan tidk ada atau
sedikit cacat pada penampilan fisik seseorng. Orang dengan BDD biasanya
menggambar kan diri mereka tampak jelek, tidak menarik, cacat, atau
abnormal, sedangkan pada kenyataannya mereka terlihat normal atau
bahkan sangat menarik. Kelainan kulit yang dirasakan (mis. Jaringan
parut, jerawat), rambut (mis. Rambut botak atau rontok) dan hidung (mis.
Hidung yang sangat besar dan cacat). (Katharine A.Philips. 2017)
Body Dysmorphic Disorder adalah kondisi kronis dan seringkali
parah. tingkat keparahan BDD terletak di sepanjang spektrum, mulai dari
gejala yang ringan hingga mengancam jiwa. seringkali sulit untuk
mendiagnosis dan dapat tidak dikenali selama bertahun-tahun. Penderita
BDD sering enggan mengungkapkan kekhawatiran mereka kepada orang
lain karena banyak yang malu dengan penampilan mereka atau fokus
berlebihan terhadap penampilan. (Neelam A. Vashi. 2015)
2. Etiologi
Sebagian besar belum diketahui penyebabnya, tetapi penelitian
menunjukkan bahwa itu adalah multifaktorial, termasuk faktor biologis,
psikologis dan sosiokultural. Faktor-faktor risiko yang disebutkan
termasuk faktor genetik, temperamen, kesulitan masa kecil seperti
menggertak atau mendapat gangguan dari teman sebaya.(Veale,
2004;Veale et al., 1996b dalam Sabina bohede.2017)
Penyebab biologis BDD ada beberapa kondisi medis yang mungkin
memperburuk BDD. Beberapa teori didasarkan pada penjelasan biologis
misalnya, kerusakan bahan kimia otak atau penyakit pada bagian otak
yang menyebabkan BDD, namun faktor biologis saja tidak sepenuhnya
menjelaskan gejala BDD, adanya faktor psikologis juga terlibat dalam
terjadinya BDD. (Katharine A.Philips. 2017)
3. Gejala
a. Secara berkala mengamati bentuk penampilan lebih dari satu jam per
hari/ menghindari sesuatu yang dapat memperlihatkan penampilan.
b. Mengukur atau menyentuh kekurangan yang dirasakannya secara
berulang-ulang.
c. Meminta pendapat yang dapat memperkuat penampilannya.
d. Menyamarkan kekurangan fisik yang dirasakannya.
e. Menghindari situasi dan hubungan sosial.
f. Berpikir untuk melakukan operasi plastik.
g. Selalu tidak puas dengan hasil perawatan
h. Mengubah-ubah gaya dan model rambut untuk menutupi kekurangan
yang dirasakannya.
i. Mengubah warna kulit yang diharapkan memberi kepuasan pada
penampilan.
j. Olahraga dan diet secara berlebihan(Katharine A.Philips. 2017)
Gejala BDD ini erat kaitannya dengan body image seseorang. Hal
ini dijelaskan dalam penelitian lain yang diketahui hasilnya
menunjukkan adanya pengaruh langsung dan signifikan antara citra
tubuh dengan BDD. Dimanaseseorang terutama wanita akan
melakukan berbagai cara untuk mendapatkan penampilan atau tubuh
yang ideal sehingga terlihat lebih menarik, seperti menggunakan
pakaian yang menutupi kekurangan tubuh ataupun melakukan
treatment tubuh dan wajah, akan tetapi semua halitu masih belum
memberikan kepuasan pada penampilan mereka. Obsesi seseorang
untuk mendapatkan bentuk tubuh dan tampilan fisik yang ideal dapat
dijadikan salah satu indikasi bahwa remaja tersebut memiliki
karakteristik dari gejala BDD (Nourmalita, 2016).
4. Faktor – faktor terkait dengan fungsi psikososial Body Dysmorphic
Disorder
Faktor terkait penyakit yaitu salah satu gangguan komorbiditas
yang paling umum pada klien BDD adalah Gangguan depresi mayor
gangguan ini ditandai oleh pemikiran berulang karena ketidakmampuan
individu mencapai tingkat perfeksionisme yang tinggi, Gangguan
kecemasan sosial atau fobia sosial ditandai oleh kekhawatiran berlebihan
pada bagian tubuh `dan penilaian negatif orang lain, Resiko bunuh diri,
Gangguan pola makan yang berhubungan dengan ketidakpuasan terhadap
citra tubuh dan berhubunngan dengan berat badan, isolasi diri penderita
BDD cenderung berdiam diri dirumah karena ketidak percayaan diri pada
bentuk tubuhnya. (Katharine A.Philips. 2017)
Phillips (2009) menyebutkan faktor – faktor lain yang mampu
mempengaruhi body dysmorphic disorder yaitu faktor genetik yang terdiri
dari gen, pengaruh evolusi, perhatian selekif & terlalu fokus pada setiap
detail kecil, faktor berikutnya merupakan faktor psikologis yang terdiri
dari pengalaman hidup, harga diri, ejekan mengenai keadaan fisiknya,
pernah mendapatkan penganiayaan pada masa kecilnya, perfeksionis,
memiliki fokus pada estetika, terdapat peristiwa pemicu dan faktor sosial
budaya. Phillips (2004) mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi body dysmorphic disorder adalah cara pandang seseorang
mengenai dirinya serta penerimaan dirinya. (Katharine A.Philips. 2017)
Salah satu faktor yang mengakibatkan munculnya ketidakpuasan
pada tubuh sehingga mengarah pada kecenderungan Body Dysmorphic
Disorder (BDD) adalah citra tubuh (Phillips, 2009). Menurut Honigman
dan Castle (dalam Rini, 2004) citra tubuh merupakan penilaian individu
terhadap tubuhnya, selain penilaian terhadap tubuhnya juga berkaitan
dengan pemikiran individu tentang bagaimana penilaian dari orang lain
terhadap bentuk tubuhnya. (Anak agung dan Nimade.2019)
Citra tubuh memang merupakan faktor dari timbulnya gejala Body
Dysmorphic Disorder (BDD) (Phillips dalam Cash, 2012). Beberapa
penelitian telah meneliti citra tubuh pada Body Dysmorphic Disorder
(BDD). Sebuah studi yang membandingkan orang-orang dengan BDD
dengan norma yang diterbitkan dalam Kuesioner Body-Self Relations
Multidimensional menemukan bahwa individu yang memiliki Body
Dysmorphic Disorder (BDD) secara signifikan kurang puas dengan
penampilan dan individu dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD)
secara signifikan lebih banyak diinvestasikan dalam penampilan
dibandingkan dengan norma individu itu sendiri (Phillips dalam Cash,
2012) dalam (Anak agung dan Nimade.2019)
5. Pengobatan (Treatmen)
Perawatan untuk gangguan dysmorphic tubuh adalah terapi
perilaku kognitif (CBT) cognitive-behavioral teraphy. Cbt adalah salah
satu bentuk terapi komunikasi sehingga dapat dikatakan bahwa CBT
merupakan bentuk terapi yang menggunakan pendekatan, penyesuian
masalah dengan mempelajari cara pengontrolan pikiran melalui perubahan
persepsi terhadap orang dan situasi tertentu. (Heri setiawan. 2016)
Sehingga pasien memiliki motivasi untuk sembuh dari gangguan
tersebut. Saat ini, CBT adalah satu-satunya pengobatan psikososial dengan
dukungan empiris awal. Ditemukan beberapa pasien menolak CBT atau
menghentikan terapi secara prematur.Oleh karena itu, pengobatan
alternatif diperlukan. Psikoterapi interpersonal dapat menawarkan
alternatif yang menjanjikan. Individu dengan BDD sering memiliki
riwayat pelecehan emosional, konflik antarpribadi lama, dan mungkin
menderita dari kecemasan sosial dan masalah intrapersonal.Psikoterapi
interpersonal memungkinkan pasien untuk mengembangkan strategi yang
lebih efektif untuk mengurangi tekanan interpersonal, rendahnya
kepercayaan diri, dan perasaan depresi, yang dihipotesiskan untuk menjaga
kekhawatiran citra tubuh. Terapi CBT akan berkesinambungan dengan
terapi farmakologis yang diberikan. Tujuan dari farmakoterapi pada pasien
dengan gangguan dismorfik tubuh (BDD) adalah untuk mengurangi gejala
dan morbiditas dan mencegah komplikasi. Inhibitor reuptake serotonin
(SSRI) berguna dalam pengobatan kondisi ini. Untuk sebagian besar,
kelas-kelas lain dari obat, termasuk antidepresan trisiklik(TCA). (Dessy
Nurlita,Rika Lisiswanti. 2016)
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konsep Penelitian


Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini. hubungan citra tubuh dengan
body dysmorphic disorder
Faktor yang mempengaruhi Faktor yang mempengaruhi
Citra tubuh : Body Dysmorphic Disorder:
A. Faktor Presipitasi 1. Depresi mayor
1. Biologis 2. Gangguan kecemasan
2. Psikologis 3. Resiko Bunuh diri
3. Sosial Budaya 4. Gangguan pola
B. Faktor Predisposisi makan Hubungan Citra tubuh
1. Biologis 5. Harga diri rendah dengan Body
2. Psikologis 6. Citra tubuh Dysmorphic Disorder
3. Sosial Budaya Pada Mahasiswa
Universitas Nahdlatul
Ulama Surabaya

Sumber :
(Notoatmojo.2008)
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
= Mempengaruhi

Gambar 3.1 Kerangka Hubungan Citra Tubuh dengan Body Dysmorphic


Disorder pada Mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama
Surabaya
BAB 4
METODE PENELITIAN
A. Bangun Penelitian
Dalam Penelitian ini desain penelitian yang digunakan yaitu analitik cross
sectional yaitu penelitian yang bertujuan untuk menguji hipotesis
mengenai hubungan antar variabel, sedangkan pendekatan yang digunakan
yaitu dengan tehnik cross sectional yaitu peneliti melakukan observasi
atau waktu pengukuran data variabel independen dan variabel dependen
hanya satu kali dan pada saat dalam periode yang sama.
B. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini yaitu Mahasiswa di Universitas Nahdlatul
Ulama Surabaya pada semester 1 angkatan 2019 sebesar 118 orang
C. Sampel, Besar Sampel, dan Cara Pengambilan Sampel
1. Sampel
Dalam penelitian ini sebagian sampel mahasiswa semester 1 angkatan
2019 yang terdiri 3 kelas masing-masing kelas terdiri dari: Kelas A.
39orang ,Kelas B. 39orang ,Kelas C. 40orang total sampel 118 orang
2. Besar Sampel
Adapun besar sampel yaitu penelitian ini berdasarkan rumus sebagai
berikut : Ni = jumlah keseluruhan unit
ni = Jumlah sampel unit
Wi=Ni/N = Strata penimbang
f = ni/Ni = fraksi sampel dalam strata
f = nilai fraksi 95% atau sig. = 0,05.
jawab : 39/118 x 95 = 31,3 dibulatkan menjadi 31 responden
39/118 x 95 = 31,3 dibulatkan menjadi 31 responden
40/118 x 95 = 32 responden
Total : 31+ 31+ 32 = 94 responden
3. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam dapat mewakili populasi. Penelitian ini
menggunakan probability sampling dan tehnik yang digunakan yaitu Simple
random sampling yaitu cara pengambilan sampel dari anggota populasi
dengan menggunakan acak tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam
anggota populasi tersebut. Hal ini dilakukan apabila anggota populasi
dianggap homogen (sejenis). Cara pengambilan sampel melalui beberapa
cara yaitu undian, kalkulator, table angka acak, computer.
D. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitihan dilaksanakan di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya dengan
alasan:
a. Peneliti sudah mengenal lokasi penelitian, sehingga dapat mempermudah
dalam pengumpulan data.
b. Lokasi dapat dijangkau dengan mudah oleh peneliti
2. Waktu penelitian
Waktu penelitihan dilaksanakan pada bulan november 2019
A. Kerangka Oprasional Penelitian

Populasi
Populasi dalam penelitihan ini Mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama
Surabaya

Sampling
Probability dan tehnik Stratified random sampling
Probability dan tehnik Simple random sampling
Sampel
Sampel penelitian ini sebagian sampel Mahasiswa Universitas Nahdlatul
Ulama Surabaya

Pengumpulan Data
Diperoleh melalui pemberian kuesioner

Pengolahan Data
Editing, Coding, Tabulating

Analisa Data
Kuantitatif

Penyampaian Hasil Penelitian


Presentasi

Simpulan dan Saran

Gambar 4.1 Kerangka yakni Hubungan Citra Tubuh dengan Body


Dysmorphic Disorder
B. Variabel Penelitian dan Variabel Operasional
1. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yakni Hubungan Citra Tubuh
dengan Body Dysmorphic Disorder
2. Definisi Operasional
Definisi Operasional variabel Hubungan Citra Tubuh dengan Body
Dysmorphic Disorder
Variabel Definisi Operasional Kategori dan Kriteria Skala Pengukuran
Citra tubuh Citra tubuh merupakan A. Citra Tubuh Positif Nominal
Skor 4-5
keyakinan atau persepsi
B. Citra Tubuh Negatif
individu yang dengan Skor 1-3
sadar mengenai bentuk
tubuhnya.
Citra tubuh positif
adalah pandangan
positif seseorang
terhadap tubuhnya dan
menerima bentuk tubuh
yang dimiliki. Citra
tubuh negatif adalah
pandangan negatif
seseorang terhadap
bentuk tubuh dan tidak
puas dengan bentuk
tubuh yang dimiliki.
Kuisioner citra tubuh
pada Mahasiswa :
Body Gangguan obsesif
dysmorphic kompulsif, pasien
disorder dengan gangguan ini
kadang kala memiliki
perilaku yang buruk.
Pasien memiliki gejala
kecemasan atau
perhatian berlebih
mengenai sesuatu
tentang bentuk tubuh
maupun penampilannya
Kuisioner Body
Dysmorphic Disorder :

C. Instrument Penelitian dan Cara Pengumpulan Data


1. Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: kuesioner yang
berisi tentang hubungan citra tubuh dengan body dysmorphic disorder
pada mahasiswa di universitas nahdlatul ulama surabaya Skala pengukuran
yang digunakan adalah skala pengukuran nominal.
2. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitiaan ini dilakukan setelah peneliti
mendapat surat pengantar dari kampus UNUSA untuk diberikan ke
Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam pengolahan
data di bagi menjadi 5 tahap yaitu:
a. Editing atau memeriksa
Memeriksa kembali apakah isi kuesioner sudah cukup baik sebagai
upaya menjaga kualitas data agar dapat di proses lebih lanjut.
Pemeriksaan isi kuesioner meliputi:
1) Kelengkapan jawaban, apakah pertanyaan sudah ada jawabannya
meskipun jawabannya hanya berupa tidak tahu atau tidak mau
menjawab.

2) Keterbatasan tulisan, tulisan yang tidak terbaca akan mempersulit


pengolahan data.
3) Relevansi jawaban, bila ada jawaban yang kurang atau tidak relevan
maka editor harus menolaknya.
b. Scoring
Menentukan skor/nilai untuk item pertanyaan dan menentukan nilai
terendah dan tertinggi.
1) Kuesioner dengan penilaian:
a. Citra tubuh Positif
b. Citra Tubuh Negatif
c. Coding
Mengklasifikasi jawaban dari para responden kedalam kategori.
Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberi tanda atau kode
berbentuk angka pada masing-masing jawaban.
1) Kuesioner dengan penilaian :
a. Citra Tubuh Positif
b. Citra Tubuh Negatif
d. Processing
Setelah untuk semua isian kuesioner terisi penuh dan benar, juga sudah
melewati pengkodingan, maka langkah selanjutnya adalah memproses
data agar dapat dianalisis. Pemprosesan data dilakukan dengan cara
meng-entry data dari kuesioner ke paket program komputer. Paket
program komputer yang digunakan untuk entry data adalah program
SPSS for windows
e. Cleaning
Cleaning (pembersihan data) meripakan kegiatan pengecekan kembali
data yang sudah di entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan
tersebut dimungkinkan terjadi pada saat kita meng entry data ke
komputer.
f. Tabulasi
Tabulasi adalah proses pengelompokan data kesuatu tabel tertentu
menurut sifat yang dimiliki. Data hasil dari pengumpulan kuesioner di
coding. Kemudian dimasukkan ke dalam tabel. Setelah terbentuk tabel,
selanjutnya tabel tersebbut dianalisis dan dinyatakan dalam bentu
tulisan.
2. Analisis data
Setelah data diolah langkah selanjutnya data dianalisis, analisis yang
digunakan yaitu uji Rank Spearman dengan menggunakan program
SPSS versi 12,0 for windows dengan tingkat signifikan α = 0,05

D. Etika Penelitian
Penelitian ini mengajukan izin kepada Ketua RT Perumahan Sumput Asri
Driyorejo untuk mendapatkan persetujuan. Melakukan pendekatan pada
responden untuk mendapatkan persetujuan dari responden, lalu kuesioner
diberikan kepada responden dengan menekankan pada masalah etik
meliputi:
1. Informed concent (lembar persetujuan peneliti)
Lembar persetujuan penelitian diberikan pada responden. Tujuannya
adalah agar subyek mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta
dampak selama pengumpulan data. Apabila subyek bersedia maka
harus menandatangai lembar persetujuan, dan bila subyek menolak
maka peneliti tidak akan memaksa dan mengormati haknya.
2. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas subyek penelitian, peneliti tidak
mencantumkan nama subyek pada lembar observasi, tetapi hanya
nomer responden, inisial dan tanda tangan responden.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informsi dijamin oleh peneliti, dan tidak akan
disebarluaskan dikalangan umum, hanya kelompok data yang
diperlukan saja yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai