Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PERBEDAAN LAJU KECEPATAN TERJADINYA HIPERTENSI MENURUT


KONSUMSI NATRIUM (STUDI KOHORT PROSPEKTIF DI KOTA BOGOR, JAWA
BARAT, INDONESIA)

Disusun Oleh :

Steven martin haditio 173308010003


Shavilla lukita 173308010032
Elisanta Desriana 173308010006
Winda Khosasi 173308010018
Silvia Giovani 173308010026
Fredy Zuardi 173308010029
Tessya Nitulo Permatasari 173308010038
Rouli Natasia M 173308010039
Tommy Syahputra Pardede 173308010041
Windy Fanika Putri 173308010044

UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
2020
MEDAN
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
anugerahnya yang diberikan kepada kami hingga hari ini, sehingga kami bisa menyusun makalah
ini,walaupun masih sangat jauh dari kekurangan dan kami sangat menyadari akan hal itu.
Makalah ini berjudul Perbedaan Laju Kecepatan Terjadinya Hipertensi Menurut Konsumsi
Natrium (Studi Kohort Prospektif di Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia)
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita dalam memahami pulpitis reversibel. Harapan kami semoga makalah ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Semoga makalah ini
dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah
ini di waktu yang akan datang.

Medan, 13 Januari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB 1 ............................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 3
BAB 2 ............................................................................................................................. 4
2.1. Tekanan Darah ............................................................................................. 4
2.2. Hipertensi ..................................................................................................... 6
2.3. Hubungan antara Asupan Natrium dengan Tekanan Darah ......................... 13

BAB 3 ............................................................................................................................. 16
3.1. Objek dan Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 16
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................... 16
3.3. Metode Penelitian ........................................................................................ 16
3.4. Variabel Penelitian dan Pengukurannya ...................................................... 18
3.5. Populasi dan Sampel .................................................................................... 18
3.6. Prosedur Pengumpulan Data ........................................................................ 19
3.7. Metode Analisis ........................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 20

ii
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi adalah salah satu faktor risiko Penyakit Tidak Menular (PTM)
yang telah mengakibatkan tingginya angka kematian di dunia, yaitu sekitar 8 juta
orang per tahun. Sekitar 1,5 juta kematian tersebut terjadi di Asia Tenggara. Menurut
prediksi Badan Kesehatan Dunia, pada tahun 2025 sekitar 29 persen orang dewasa di
seluruh dunia akan menderita hipertensi. Penyandang hipertensi umumnya tidak
merasakan gejala dan tidak mempunyai keluhan atas penyakit yang dialaminya.
Kemudian penyakit terus berkembang dan yang bersangkutan mendapatkan dirinya
sudah mempunyai komplikasi bahkan kematian. Karena itu hipertensi bisa disebut
sebagai the silent killer. Memperhatikan besarnya pengaruh hipertensi terhadap
masalah kesehatan masyarakat, World Health Organization (WHO) telah menetapkan
pentingnya penurunan prevalensi hipertensi sebesar 25 persen relatif, sebagai salah
satu target global pengendalian PTM pada tahun 2025.
Di Indonesia prevalensi hipertensi pada tahun 2013 cukup tinggi yaitu 25,8
persen, dan tidak ada perbedaan prevalensi yang bermakna antara perdesaan (25,5%)
dan perkotaan (26,1%). Tingginya prevalensi hipertensi merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang dapat meningkatkan beban biaya kesehatan di Indonesia.
Komplikasi hipertensi seperti penyakit ginjal kronik, penyakit jantung koroner dan
stroke merupakan penyakit yang menyerap biaya kesehatan tinggi. Hemodialisa yang
merupakan tindakan pengobatan penyakit ginjal kronik, adalah penyerap biaya
kesehatan tertinggi di Indonesia. Oleh karena itu kejadian hipertensi di Indonesia
perlu dicegah dan dikendalikan. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019, Indonesia telah mempunyai target penurunan
prevalensi hipertensi dari 25,8 persen menjadi 23,4 persen pada tahun 2019. Dalam
mencapai target tersebut, diperlukan upaya tepat berdasarkan bukti kuat, yang
didukung kebijakan dan strategi efektif4-5.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kejadian hipertensi
adalah konsumsi garam atau natrium yang tinggi. Beberapa studi, baik berupa studi
epidemiologi maupun studi klinik di negara lain telah membuktikan bahwa tingginya
konsumsi natrium seseorang merupakan faktor risiko utama meningkatnya tekanan
darah. WHO telah melakukan identifikasi bahwa pengurangan asupan garam pada
pola makan, secara signifikan telah memperlambat kenaikan tekanan darah yang
biasanya meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Efek pengurangan konsumsi
natrium atau garam, juga akan menambah daya kerja terapi farmakologi terhadap
hipertensi. Modeling dampak pengurangan asupan garam dari 9-12 g per hari sampai
5 g per hari atau natrium kurang dari 2000 mg per hari telah menunjukkan potensi
pengurangan 23 persen kejadian stroke, dan 17 persen penyakit kardiovaskular,
termasuk hipertensi. Hal ini setara dengan mencegah sekitar 2,5 juta kematian setiap
tahun. Karena itu WHO merekomendasikan perlunya program intervensi
pengurangan konsumsi garam dan natrium untuk mengurangi beban PTM, termasuk
masalah hipertensi. Beberapa negara sudah mulai menerapkan, sementara di
Indonesia belum menjadi prioritas6,7.

Di Indonesia, proporsi penduduk yang biasa mengonsumsi makanan asin ≥


satu kali sehari pada tahun 2013 adalah 26,2 persen dan angka ini lebih tinggi dari
tahun 2007 yaitu 24,5 persen. Sementara hasil Survei Konsumsi Makanan Individu di
Indonesia pada tahun 2014 menunjukkan, rerata konsumsi garam adalah 3,5 g per
hari, namun penduduk yang mengonsumsi natrium tinggi (≥ 2000 mg per hari)
ditemukan cukup tinggi yaitu 52,7 persen. Terdapat indikasi hubungan antara
tingginya proporsi konsumsi natrium tinggi dengan tingginya prevalensi hipertensi di
Indonesia. Provinsi dengan prevalensi hipertensi tertinggi yaitu Bangka Belitung,
merupakan provinsi dengan proporsi konsumsi natrium ≥ 2000 mg per hari yang
tinggi, dengan urutan ketiga tertinggi5,8. Namun hubungan tersebut masih menjadi
kontrovesial di Indonesia, karena masih terbatasnya bukti yang akurat. Studi ini akan
mengidentifikasi perbedaan laju kecepatan terjadinya hipertensi pada orang dewasa
yang mengonsumsi natrium tinggi dibandingankan konsumsi natrium rendah.
Informasi yang diperoleh diharapkan dapat menambah bukti untuk mendukung
pentingnya pengurangan konsumsi garam atau natrium di Indonesia, dalam
mengendalikan prevalensi hipertensi.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana perbedaan laju kecepatan terjadinya hipertensi pada orang dewasa,
menurut jumlah natrium yang dikonsumsi?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui bagaimana perbedaan laju kecepatan terjadinya hipertensi
pada orang dewasa, menurut jumlah natrium yang dikonsumsi di Kecamatan
Bogor Tengah, Kota Bogor Provinsi Jawa Barat, Indonesia

2
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian diharapakan dapat menjadi bahan pertimbangan oleh
petugas Kesehatan di Puskemas di Kecamatan Bogor dan Dinas Kesehatan
Kota Bogor dalam menangani dan mencegah kejadian hipertensi.

2. Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat referensi ilmiah bagi penelitian
selanjutnya dan menambah wawasan serta memperkaya khasanah keilmuan
bagi siapapun yang membacanya terutama tentang hipertensi.

3. Manfaat bagi Peneliti


Manfaat bagi peneliti sendiri merupakan pengalaman berharga dalam
melaksanakan penelitiandan mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang
diperoleh selama di bangku kuliah.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tekanan Darah


Tekanan darah didefinisikan sebagai tekanan yang dihasilkan oleh darah di
pembuluh darah (Ronny dkk, 2009). Menurut Corwin (2009) tekanan darah
bergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup, dan Total Resistance
Peripheral (TPR).
Darah dipompa oleh jantung. Darah yang dipompa oleh jantung akan mengalir
ke dalam pembuluh darah arteri. Pada saat darah mengalir ke dalam arteri, arteri
meregang namun karena sifatnya yang elastis arteri akan kembali ukuran semula dan
dengan demikian darah akan mengalir ke daerah yang lebih distal (Ronny dkk, 2009).
Perhitungan tekanan darah ditentukan oleh curah jantung atau cardiac output (CO)
dikali TPR. Tekanan darah di tubuh dibedakan menjadi 2 yaitu tekanan darah sistole
dan tekanan darah diastole.
Menurut Ronny dkk (2009) tekanan darah sistole merupakan tekanan darah
yang terukur pada saat ventrikel kiri jantung berkontraksi (sistole). Darah mengalir
dari jantung ke pembuluh darah sehingga pembuluh dasar sehingga pembuluh darah
teregang maksimal. Pada pemeriksaan fisik, bunyi “lup” pertama yang terdengar
adalah tekanan darah sistolik. Tekanan darah sistolik pada orang normal rata-rata 120
mmHg.
Menurut Ronny dkk (2009) tekanan diastole merupakan tekanan darah yang
terukur yang terjadi pada saat jantung berelaksasi (diastole). Pada saat diastole, tidak
ada darah mengalir dari jantung ke pembuluh sehingga pembuluh darah dapat
kembali ke ukuran normalnya sementara darah didorong ke bagian arteri yang lebih
distal. Pada pemeriksaan fisik, tekanan darah diastole dapat ditentukan melalui bunyi
“dup” terakhir yang terdengar. Pada orang normal, rata-rata diastole adalah 80
mmHg.
Mekanisme pengaturan tekanan darah normal berdasarkan lamanya
diklasifikasikan menjadi 2 yaitu pengaturan tekanan darah jangka pendek dan

4
pengaturan tekanan darah jangka panjang (Corwin, 2009). Pengaturan tekanan darah
jangka pendek melibatkan refleks neuronal susunan saraf pusat dan regulasi curah
jantung. Pengaturan tekanan darah jangka panjang mengatur homeostatis sirkulasi
melalui sistem hormonal endokrin sebagai organ pengatur utama distribusi cairan
ekstraseluler. Mekanisme pengaturan tekanan darah jangka panjang melibatkan
sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Pengendalian tekanan darah bergantung pada sensor yang secara terus-
menerus mengukur tekanan darah dan mengirim informasinya ke otak (Corwin,
2009). Tekanan darah secara terusmenerus dipantau oleh sensor yang disebut
baroreseptor (reseptor tekanan). Terdapat baroreseptor di lengkung arteri karotis (di
leher) dan di lengkung aorta tempat aorta keluar dari jantung; sensor-sensor ini
disebut baroreseptor karotis dan aorta, secara berurutan. Baroreseptor juga dijumpai
di arteriol yang memperdarahi nefron di ginjal. Semua baroreseptor bekerja sebagai
reseptor regang yang berespons terhadap perubahan tekanan darah.
Baroreseptor bekerja untuk selalu memantau tekanan darah agar selalu
normal. Secara normal apabila tekanan darah turun, maka baroreseptor dalam tubuh
akan mengirim informasi ke pusat kardiovaskular di otak. Hal ini menyebabkan
perangsangan simpatis ke jantung dan Total Peripheral Resistance (TPR). Stimulasi
parasimpatis berkurang demikian juga kecepaan denyut jantung. Pelepasan renin
meningkat, menyebabkan peningkatan pengeluaran angiotensin II yang pada
gilirannya secara langsung meningkatkan TPR dan sistesis aldosteron. Peningkatan
aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium dan dengan adanya Anti Diuretic
Hormon (ADH), reabsorpsi air juga meningkat. Terjadi peningkatan volume darah,
volume sekuncup, dan curah jantung. Sebaliknya, apabila tekanan darah meningkat,
baroreseptor berespons dengan menyebabkan penurunan rangsangan simpatis ke
jantung dan otot polos vaskular sehingga kecepatan denyut jantung dan TPR
menurun. Peningkatan rangsangan parasimpatis ke jantung ikut berperan menurunkan
kecepatan denyut jantung. Terjadi penurunan pelepasan renin dan ADH sehingga
TPR dan volume plasma menurun. Pelepasan Hormon Trial Natriuretic Peptide
(hormon yang berfungsi untuk mengurangi volume darah dan tekanan darah)

5
meningkat. Semua respons tersebut berfungsi untuk menurunkan tekanan darah ke
normal.
2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi Hipertensi dan Klasifikasi Hipertensi
Menurut Corwin (2009) hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang
abnormal dan diukur paling tidak pada 3 kesempatan yang berbeda.
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang melebihi 140
mmHg untuk tekanan sistolik atau 90 mmHg untuk tekanan diastolik
(Hartono, 2006). Tekanan darah normal bervariasi sesuai usia, sehingga
setiap diagnosis hipertensi harus bersifat spesifik usia (Corwin, 2009).
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik sebesar ≥ 140 mmHg atau
tekanan darah diastolik sebesar ≥ 90 mmHg, atau keduanya (Krummel,
2004). Hipertensi dengan peningkatan tekanan sistole tanpa disertai
peningkatan diastole lebih sering pada pada lansia, sedangkan hipertensi
peningkatan tekanan diastole tanpa disertai peningkatan sistole lebih sering
terdapat pada dewasa muda (Tambayong, 2000). Adapun klasifikasi
hipertensi berdasarkan tekanan sistolik dan tekanan diastolik menurut JNC
VII tahun 2004 dapat dilihat pada tabel 2.1.
TABEL 2. 1 KLASIFIKASI HIPERTENSI
Kategori Tekanan Darah (mmHg)

Sistolik Diastolik

Normal <120 Dan < 80

Pre Hipertensi 120 – 139 Atau 80 -89

Hipertensi stage 1 ≥140 -159 Atau 90 -99

Hipertensi stage 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

Sumber: Joint National Commitee on Prevention, Detection, and Evaluation, and


Treatment of
High Blood Pressure: Seventh Report (JNC VII)

6
2.2.2 Patofisiologi Hipertensi

Patofisiologi hipertensi dapat disebabkan karena masalah dalam regulasi


tekanan darah. Regulasi tekanan darah dalam tubuh bergantung pada kecepatan
denyut jantung, volume sekuncup, dan TPR. Peningkatan salah satu dari ketiga
variabel yang tidak dikompensasi tersebut dapat menyebabkan hipertensi
(Corwin, 2009).
Peningkatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan saraf
simpatis atau hormonal yang abnormal. Peningkatan denyut jantung yang
kronis seringkali menyertai kondisi hipertiroidisme (Corwin, 2009). Kondisi ini
menyebabkan tubuh menahan kelebihan sodium dan kehilangan potasium yang
memicu hipertensi, penambahan berat badan, lemah otot, dan retensi cairan.
Peningkatan sekresi aldosteron dapat terjadi akibat tumor adrenal (Tambayong,
2000).
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi
akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam
berlebihan (Corwin, 2009). Ginjal mengatur tekanan darah dengan mengontrol
volume cairan ekstraseluler dan mensekresikan renin, yang mana selanjutnya
akan mengaktifkan sistem renin-angiotensin. Saat mekanisme regulator tersebut
terganggu, terjadilah hipertensi (Krummel, 2004). Hal ini disebabkan hipertensi
distimulasi oleh sistem renin-angiotensin, rendahnya diet kalium, dan
penggunaan obat cyclosporine. Semua ini menyebabkan vasokonstriksi, yang
mana dapat mengakibatkan iskemia atau perubahan arterial (Krummel, 2004).
Selain peningkatan asupan diet garam, peningkatan abnormal kadar renin dan
aldosteron atau penurunan aliran darah ke ginjal juga dapat mengganggu
pengendalian garam dan air (Corwin, 2009).
Peningkatan TPR yang kronis dapat terjadi pada peningkatan
rangsangan saraf simpatis atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang
berlebihan dari arteriol terhadap rangsangan normal. Pada peningkatan TPR,
jantung harus memompa lebih kuat, dan dengan demikian menghasilkan

7
tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintasi pembuluh darah,
sehingga menyebabkan tekanan darah tinggi (Corwin, 2009).
Diameter pembuluh darah juga sangat mempengaruhi aliran darah
(Krummel, 2004). Saat diameter pembuluh darah mengecil (pada
atherosclerosis), tahanan dan tekanan darah meningkat. Sebaliknya, saat
diameter membesar (pada obat terapi vasodilator), tahanan menurun dan
tekanan darah pun menurun.
Hipertensi pada individual mungkin juga memiliki variasi dalam gen
yang memproduksi angiotensin I (Nelms et al, 2007). Peningkatan angiotensin I
dapat menyebabkan peningkatan produksi angiotensin II yang berlanjut akan
terjadinya penurunan ekskresi natrium dan air sehingga meningkatkan tekanan
darah.
2.2.3 Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Etiologi

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu sebagai


berikut.
a. Hipertensi primer / hipertensi esensial
Pada sekitar 90% kasus hipertensi, tidak diketahui penyeybabnya (Hipertensi
primer atau esensial) (Mitchell dkk, 2008). Ada banyak faktor yang
mempengaruhi hipertensi primer salah satunya adalah faktor genetik atau
keturunan. Hipertensi esensial melibatkan interaksi yang sangat rumit antara
faktor genetik dan lingkungan yang dihubungkan oleh pejamu mediator
neuro-hormonal. Gen yang berpengaruh pada hipertensi primer (faktor
herediter diperkirakan meliputi 30% sampai 40% hipertensi primer) meliputi
reseptor angiotensin II, gen angiotensin dan renin, gen kalsium transpor dan
natrium hidrogen antiporter (memengaruhi sensitivitas garam); dan gen yang
berhubungan dengan hipertensi sebagai kelompok bawaan (Brashers, 2008).
b. Hipertensi sekunder
Sekitar 10% dari kasus hipertensi adalah hipertensi sekunder karena penyakit
renal atau (yang lebih jarang) karena stenosis arteri renalis (hipertensi

8
renovaskuler), kelainan endokrin, malformasi vaskuler, hipertensi karena
kehamilan, atau karena kelainan neurogenik (Mitchell dkk, 2008).
1) Renal artery stenosis yaitu penyempitan arteri yang menyuplai darah ke
ginjal (Casey dan Benson, 2012). Kondisi ini terjadi karena adanya plak
pada dinding arteri. Kasus ini juga dapat terjadi pada wanita muda,
umumnya karena pertumbuhan berlebihan dari jaringan otot di dinding
arteri (fibromuscular dysplasia).
2) Hyperaldosteronism adalah produksi berlebihan dari aldosteron
(Tambayong, 2000). Kondisi ini disebut hyperaldosteronism yang
menyebabkan tubuh menahan kelebihan sodium dan kehilangan potasium
yang memicu hipertensi, penambahan berat badan, lemah otot, dan retensi
cairan. Peningkatan sekresi aldosteron dapat terjadi akibat tumor adrenal.
3) Hyperthyroidism adalah kondisi di mana kelenjar tiroid hiperaktif yakni
memproduksi hormon berlebih yang memicu perubahan denyut jantung
dan tekanan darah, serta perubahan berat badan, pencernaan, dan fungsi
otot (Casey dan Benson, 2012).
4) Pheochromocytoma yaitu tumor medula adrenal yang berakibat
peningkatan sekresi katekolamin adrenal (Tambayong, 2000).
5) Hipertensi gestasional yaitu hipertensi yang terjadi setelah usia
kehamilan 20 minggu pada wanita nonhipertensi sebelumnya, dan
membaik dalam 12 minggu pascapartum. Hipertensi gestasional
tampaknya terjadi akibat kombinasi dari peningkatan curah jantung dan
peningkatan TPR (Corwin, 2009).
6) Kelainan neurogenik meliputi psikogenik, peningkatan tekanan
intrakranial, sleep apnea, dan stres akut termasuk pembedahan (Mitchell
dkk, 2008).

2.2.4 Manifestasi Klinis Hipertensi

9
Menurut Corwin (2009), hipertensi menimbulkan gejala apabila
penyakit ini sudah tahap lanjut. Manifestasi klinis hipertensi adalah sebagai
berikut.
a. Sakit kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intrakranium.
b. Penglihatan kabur akibat kerusakan hipertensif pada retina.
c. Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.
d. Nokturia (buang air kecil yang luar biasa sering di malam hari) yang
disebabkan peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
e. Edema (pembengkakan) dependen n akibat peningkatan tekanan kapiler.

2.2.5 Faktor Risiko Hipertensi

Faktor risiko hipertensi dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu
faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah.
a. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah
1) Umur
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat secara bertahap sesuai usia
hingga dewasa. Pada lansia, arterinya lebih keras dan kurang fleksibel
terhadap tekanan darah. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan
sistolik. Tekanan diastolik juga meningkat karena dinding pembuluh darah
tidak lagi retraksi secara fleksibel (Berman dkk, 2009).
Tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Kelompok usia 25-34 tahun memiliki risiko hipertensi 1,56 kali lebih besar
dibandingkan usia 18-24 tahun (Depkes, 2009). Tekanan darah meningkat
sesuai umur, dimulai dari sejak umur 40 tahun (Bustan, 2007). Seiring
bertambahnya usia pembuluh darah akan lebih kaku sehingga kehilangan
kelenturannya (Tamher dan Noorkasiani, 2009).
2) Genetis
Beberapa faktor risiko hipertensi di antaranya adalah genetik (Nadar
dan Lip, 2009). Studi epidemiologi menyebutkan 20-60% hipertensi

10
esensial adalah diturunkan. Hal ini berkaitan dengan kelainan gen produksi
angiotensinogen.
Kemungkinan yang jauh lebih besar adalah bahwa hipertensi esensial
merupakan kelainan yang bersifat heterogen dan multifaktor (Corwin,
2009). Hal ini dapat terjadi dikarenakan kombinasi efek mutasi atau
polimorfisme pada beberapa lokus gen.
3) Jenis Kelamin
Pada umumnya insidens pada pria lebih tinggi daripada wanita,
namun pada pertengahan dan lebih tua, insidens pada wanita mulai
meningkat, sehingga pada usia di 65 tahun, insidens pada wanita lebih
tinggi (Tambayong, 2000). Wanita umumnya memiliki tekanan darah lebih
rendah daripada pria yang berusia sama, hal ini lebih cenderung akibat
variasi hormon. Setelah menopouse, wanita umumnya memiliki tekanan
darah yang lebih tinggi (Berman dkk, 2009).
4) Ras
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada
yang berkulit putih (Corwin, 2009). Akibat penyakit ini umumnya lebih
berat pada ras kulit hitam. Misalnya mortalitas pasien pria hitam dengan
diastole 115 atau lebih 3,3 kali lebih tinggi daripada pria berkulit putih, dan
5,6 kali wanita putih.
b. Faktor Risiko yang Dapat Diubah
1) Merokok
Rokok akan menyebabkan penurunan kadar oksigen ke jantung,
peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, peningkatan penggumpalan
darah, dan kerusakan endotel pembuluh darah (KEPMENKES, 2009).
Asap rokok menginduksi kekakuan arterial, dan memiliki kemungkinan
besar untuk memicu hipertensi. Efek merugikan dari merokok disebabkan
karena kehadiran beberapa senyawa dalam tembakau termasuk nikotin.
Tekanan sistolik meningkat pada orang-orang yang merokok setelah

11
merokok 1 batang, yang rata-rata peningkatan tekanan sistoliknya hingga
mencapai 6 mmHg (Lerma dan Rosner, 2012).

2) Obesitas
Obesitas adalah faktor risiko untuk peningkatan tekanan darah dan
profil lipid yang tidak menguntungkan (penurunan kadar HDL-kolesterol
dan peningkatan kadar LDL-kolesterol serta trigliserida) yang selanjutnya
merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular (Gibney dkk,
2008).
3) Alkohol
Dasar mekanisme patofisiolgi hubungan antara konsumsi alkohol
dengan hipertensi adalah alkohol mampu menstimulasi sistem saraf
simpatetik dan sistem renin-angiotensin-aldosteron (Lerma dan Rosner,
2012).
4) Asupan natrium
Asupan natrium yang meningkat menyebabkan tubuh meretensi
cairan, yang mengakibatkan peningkatan volume darah (Muliyati dkk,
2011). Hal ini disebabkan peningkatan asupan natrium mempengaruhi
keaktifan mekanisme hormon renin-angiotensin sehingga produksinya
menjadi berlebih yang selanjutnya menaikkan volume darah (Krummel,
2004). Peningkatan volume darah akan menyebabkan tekanan darah naik.
Menurut WHO (2013) anjuran asupan natrium dalam makanan sehari-hari
adalah ≤ 2000 mg.
5) Asupan kalium
Kalium menjaga keseimbangan antara konsentrasi cairan intraseluler
dengan ekstraseluler. Asupan tinggi kalium membantu untuk menjaga
keseimbangan cairan dan menurunkan tekanan darah (Escott-Stump, 2008).
Efek asupan kalium pada tekanan darah termasuk menurunkan tahanan
periferal, peningkatan ekskresi air dan natrium dari tubuh, serta menekan
sekresi renin dan angiotensin (Krummel, 2004).

12
Menurut WHO (2013) anjuran asupan kalium dalam makanan sehari-hari
adalah ≥ 3510 mg.

6) Latihan Fisik
Latihan fisik menguntungkan untuk regulasi tekanan darah. Latihan
fisik akan memperbaiki sistem kerja jantung, mengurangi keluhan nyeri
dada/angina pektoris, melebarkan pembuluh darah, dan mencegah
timbulnya penggumpalan darah (KEPMENKES, 2009). Latihan fisik,
terutama bila disertai penurunan berat badan, menurunkan tekanan darah
dengan menurunkan kecepatan denyut jantung istirahat dan mungkin Total
Perpheral Resistance/TPR (Corwin, 2009). Latihan fisik yang dianjurkan
adalah 30 menit selama 3-4 hari dalam seminggu (KEPMENKES, 2009).
7) Stress
Stimulasi sistem saraf simpatis meningkatkan curah jantung dan
vasokonstriksi arteriol, sehingga meningkatkan tekanan darah (Berman
dkk, 2009).
2.3 Hubungan antara Asupan Natrium dengan Tekanan Darah

Persen asupan natrium diperoleh dari perbandingan asupan natrium responden


dibandingkan dengan perhitungan kebutuhan AKG (2013). Hasil analisis
hubungan asupan natrium dengan tekanan darah sistolik dan diastolik lansia pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.
Distribusi Hubungan Asupan Natrium dengan Tekanan Darah Sistolik
Variabel Mean Median Minimal Maksimal p*

Asupan Natrium 1955.40 1922.60 1059.60 2735.80


Tekanan Sistol 0.040
136.98 140.00 110.00 170.00

*Uji Rank Spearman

13
Tabel 2.
Distribusi Hubungan Asupan Natrium dengan Tekanan Darah
Diastolik
Variabel Mean Median Minimal Maksimal p*

Asupan Natrium 1955.40 1922.60 1059.60 2735.80


Tekanan Diastol 0.041
86.22 90.00 60.00 100.00

*Uji Rank Spearman

Pada tabel 1 menunjukkan bahwa hasil uji statistik asupan natrium dengan
tekanan darah sistolik menggunakan uji Rank Spearman diperoleh nilai p=0,040
menunjukkan hasil bahwa p<0,05 yang berarti H0 ditolak dengan demikian
terdapat hubungan antara asupan natrium dengan tekanan darah sistolik pada
lansia.
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa hasil uji statistik asupan natrium dengan
tekanan darah diastolik menggunakan uji Rank Spearman diperoleh nilai p=0,041
menunjukkan hasil bahwa p<0,05 yang berarti H0 ditolak dengan demikian
terdapat hubungan antara asupan natrium dengan tekanan darah diastolik pada
lansia.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Abdurrachim, Hariyawati dan Suryani (2016) yang menyatakan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara asupan natrium terhadap tekanan darah lansia.
Penelitian tersebut menunjukkan adanya korelasi positif yang bermakna antara
asupan natrium terhadap tekanan darah sistol dan diastol.
Korelasi positif dapat diartikan bahwa makin tinggi asupan natrium, maka
tekanan darah sistol dan diastol akan semakin meningkat. Hasil penelitian ini
juga sejalan dengan penelitian Arlita (2014) menunjukkan bahwa adanya
hubungan antara asupan natrium dengan tekanan darah.
Natrium berhubungan dengan kejadian tekanan darah tinggi karena konsumsi
natrium dalam jumlah yang tinggi dapat mengecilkan diameter dari arteri,
sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong volume darah

14
yang meningkat melalui ruang yang semakin sempit dan akan menyebabkan
tekanan darah meningkat (Brunner dan Suddarth, 2001).
Pengaruh asupan natrium terhadap tekanan darah tinggi terjadi melalui
peningkatan volume plasma dan tekanan darah. Natrium merupakan kation
utama dalam cairan ekstraseluler yang berperan penting dalam mempertahankan
volume plasma dan ekstraseluler, keseimbangan asam basa dan juga
neuromuskular. Asupan tinggi natrium dapat menyebabkan konsentrasi natrium
di dalam cairan ekstraseluler meningkat sehingga untuk menormalkannya cairan
intraseluler ditarik keluar dan mengakibatkan meningkatnya volume darah dan
berdampak pada peningkatan tekanan darah (Astawan, 2007).

15
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Objek dan Ruang Lingkup Penelitian


Objek penelitian meliputi 2561 responden yang tidak mengalami hipertensi,
terdiri dari 94 orang mengonsumsi natrium tinggi dan 2467 orang mengonsumsi
natrium rendah.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Studi ini merupakan dinamik kohort yang dilaksanakan sejak tahun 2011 dan
merupakan bagian dari Studi Kohort Penyakit Tidak Menular yang dilakukan di
Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Provinsi Jawa Barat, Indonesia.

3.3 Metode Penelitian


Jumlah populasi studi 5890 orang dewasa berusia 25 tahun ke atas. Analisis
difokuskan pada faktor perilaku yang dapat dimodifikasi (konsumsi lemak tinggi,
konsumsi gula tinggi, kurang konsumsi sayurbuah, merokok, kurang aktivitas fisik,
dan stres) dan faktor sosio-demografi (umur, jenis kelamin, ekonomi, status
perkawinan, pendidikan, dan pekerjaan).
Kejadian hipertensi adalah kondisi tekanan darah yang tinggi yaitu dengan
tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg, baik
yang bersangkutan sedang minum obat antihipertensi ataupun tidak. Pengukuran
tekanan darah dilakukan dengan menggunakan tensimeter digital. Pada saat
pengukuran tekanan darah, setiap responden minimal diukur dua kali. Jika hasil
pengukuran kesatu dan kedua berbeda ≥10 mmHg, maka akan dilakukan pengukuran
ketiga. Rerata tekanan darah dari hasil pengukuran sebelumnya dengan selisih
terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung sebagai tekanan darah responden.
Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan interval waktu pengukuran 24 bulan
sekali, maka dalam satu tahun pengamatan dilakukan tiga kali pengukuran tekanan
darah. Kejadian Hipertensi ditetapkan setiap tahun, dalam empat tahun pengamatan.

16
Status kejadian hipertensi (event) ditetapkan apabila dalam satu tahun pengamatan
responden memiliki kondisi tekanan darah yang tinggi minimal dua kali.
Faktor risiko utama studi ini adalah konsumsi natrium tinggi. Batasan konsumsi
natrium tinggi adalah ≥2000 mg per hari. Seseorang ditetapkan telah mengonsumsi
natrium tinggi, apabila orang tersebut sejak awal pengamatan dan minimal tiga kali
pengukuran berikutnya dalam empat tahun pengamatan, biasa mengkonsumsi natrium
tinggi10. Konsumsi natrium, konsumsi gula dan lemak dikumpulkan melalui recall
diet satu kali 24 jam. Faktor risiko tersebut juga dipantau setiap tahun (4 kali
pengukuran dalam 4-tahun pengamatan). Jumlah natrium, gula dan lemak ditetapkan
dengan merujuk pada Tabel Komposisi Pangan Indonesia tahun 2009, dan Daftar
Komposisi Bahan Makanan tahun 2015.
Faktor sosio demografi, konsumsi sayur dan buah, merokok, dan aktivitas fisik
dikumpulkan melalui wawancara dengan kuesioner yang mengadopsi The WHO
STEPS Instrument for Non Communicable Diseases Surveillance. Ada tidaknya stres
diukur dengan SRQ (Self Reporting Questionnaire). Faktor risiko perilaku ini juga
dipantau setiap tahun. Seseorang ditetapkan mempunyai faktor risiko tersebut apabila
dalam 4 kali pengukuran selama 4-tahun pengamatan, mempunyai perilaku yang
berisiko minimal 3 kali. Sementara kualitas perokok ditetapkan berdasarkan hasil
wawancara terakhir dan dihitung dengan Indeks Binkman.
Analisis dilakukan terhadap 2561 responden yang berdasarkan hasil survei data
dasar tidak mengalami hipertensi, dan tidak pernah didiagnosis hipertensi, terdiri dari
94 orang mengonsumsi natrium tinggi dan 2467 orang mengonsumsi natrium rendah.
Responden juga tidak mengalami diabetes, penyakit jantung koroner (PJK), dan
stroke, serta mempunyai kelengkapan data faktor risiko yang akan dianalisis. PJK
ditetapkan berdasarkan adanya gejala klinis serangan jantung dan/atau hasil
pemeriksaan EKG tidak menunjukkan kelainan jantung iskemik/infark. Stroke
ditetapkan bersadarkan adanya gangguan neurologis yang dikonfirmasi dengan
pemeriksaan klinis oleh dokter spesialis saraf. Diabetes melitus ditetapkan
berdasarkan adanya gejala klinis diabetes, pernah didiagnosis diabetes oleh dokter,
menggunakan obat antidiabetes, dan/atau hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

17
puasa adalah ≥126 mg/dL atau hasil pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam sesudah
pembebanan 75 g glukosa adalah ≥200mg/dL.
Data yang dianalisis adalah kondisi faktor risiko selama 4-tahun pengamatan
(tahun 2011 hingga tahun 2015), dan kejadian hipertensi (event) yang muncul. Sensor
adalah kondisi responden yang tidak atau belum mengalami hipertensi pada waktu
kejadian hipertensi ditetapkan. Laju kecepatan terjadinya hipertensi (insidens
rate/hazard rate) dihitung dengan Life Table Survival analysis. Uji statistik Wilcoxon
(Gehan) dilakukan untuk mengetahui perbedaan laju kecepatan terjadinya hipertensi
menurut faktor risiko yang diteliti. Cox Proportional Hazards Regression Multivariate
Analysis dilakukan untuk mengetahui pengaruh murni konsumsi natrium tinggi
(Adjusted Hazard Ratio) dari faktor lain yang turut berkontribusi terhadap kejadian
hipertensi. Pelaksanaan penelitian ini setiap tahunnya telah mendapat persetujuan etik
dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbang Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI.

3.4 Variabel Penelitian dan Pengukurannya


Variabel independen : Konsumsi natrium
Variabel dependen : Tekanan darah sistolik dan diastolik
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tekanan darah sistolik dan diastolik
adalah dengan menggunakan alat tensimeter. Dimana jika tekanan darah sistolik
mencapai ≥140 dan tekanan darah diastolik > 80 dinyatakan hipertensi.

3.5 Populasi dan Sampel


Populasi penelitian pada kota bogor sebanyak 5890 orang dewasa berusia 25
tahun ke atas. Analisis dilakukan kepada 2561 orang di kota bogor yang terdiri dari
94 orang yang mengkonsumsi natrium tinggi dan 2467 orang yang mengkonsumsi
natrium rendah, dimana sampel tidak mengalami diabetes, penyakit jantung koroner
dan stroke.

18
3.6 Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan kuesioner untuk
mengetahui faktor sosio demografi, konsumsi sayur dan buah, merokok, dan aktivitas
fisik.

3.7 Metode Analisis


Analisis difokuskan kepada faktor prilaku yang dapat dimodifikasi (konsumsi
lemak dan gula yang tinggi, kurangnya mengkonsumsi sayur dan buah, merokok,
kurang aktivitas fisik dan stres)
Hipertensi adalah kondisi tekanan darah yang tinggi dengan tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≤ 90 mmHg. Pengukuran tekanan
darah dilakukan dengan interval waktu pengukuran 2 – 4 bulan sekali.
Faktor resiko mengkonsumsi natrium tinggi dipantau setiap tahun (4 kali
pengamatan dalam 4 tahun)
Faktor resiko prilaku dipantau setiap tahun. Seseorang dikatakan memiliki faktor
resiko tersebut apabila dalam 4 kali pengukuran dalam 4 tahun pengamatan, memiliki
prilaku beresiko minimal 3 kali. Sementara kualitas perokok ditetapkan berdasarkan
hasil wawancara terakhir dan dihitung berdasarkan index binkman.
Diabetes mellitus ditetapkan berdasarkan adanya gejala klinis diabetes, pernah di
diagnosis diabetes oleh dokter, menggunakan obat anti-diabetes, dan/atau hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa adalah ≥ 126 mg/dL atau pemeriksaan kadar
glukosa darah 2 jam setelah pembebanan 75 g glukosa adalah ≥ 200 mg/dL.
Data yang dianalisis adalah kondisi faktor resiko selama 4 tahun pengamatan dari
tahun 2011 hingga 2015 dan kejadian hipertensi yang muncul.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdurrachim, R., Hariyawati, I., dan Suryani, N. 2016. Hubungan Asupan


Natrium, Frekuensi Dan Durasi Aktivitas Fisik Terhadap Tekanan Darah
Lansia Di Panti Sosial Tresna Wardha Budi Sejahtera dan Bina Laras budi
luhur Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Journal of the Indonesian
Nutrition Association
2. Arlita. 2014. Hubungan Asupan Natrium, Kalium, magnesium dan Status Gizi
dengan tekanan darah Pada Lansia Di Kelurahan Makamhaji Kecamatan
Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
3. Astawan, M. 2007. Cegah Hipertensi dengan Pola Makan, [serial Online].
Diakses : 29 Januari 2017. http://www.depkes.go.id
4. Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
5. Casey, Aggie dan Benson, Hebert. 2012. Panduan Harvard Medical School:
Menurunkan Tekanan Darah (diterjemahkan oleh: Nirmala Devi). Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer.
6. Corwin, Elizabeth J.. 2009. Buku Saku Patofisiologi (diterjemahkan oleh
Nikhe Budhi Subekti). Jakarta: EGC.
7. Muliyati, Hepti dkk. 2011. Hubungan Pola Konsumsi Natrium dan Kalium
serta Aktifitas Fisik dengan Kejadian Hipertensi pada Pasien Rawat Jalan di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Dalam Media Gizi Masyarakat
Indonesia. Vol.1 No. 1 : 46-51.
8. Mustamin. 2010. Asupan Natrium, Status Gizi, dan Tekanan Darah
Usia Lanjut di Puskesmas Bojo Baru Kabupaten Barru. Dalam
Media Pangan Gizi Pangan. Vol IX Ed 1.
9. Nadar, Sunil and Gregory Lip. 2009. Hypertension. Oxford:
Oxford Uviversity Press.
10. Ronny, dkk. 2009. Fisiologi Kardiovaskular Berbasis Masalah
Keperawatan. Jakarta: EGC.

20
11. Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
12. World Health Organization. Global status report on noncommunicable
diseases. Geneva: WHO, 2014.
13. World Health Organization. Action plan for the prevention and control of
noncommunicable diseases in South-East Asia, 2013-2020. New Delhi:
Regional Office for South-East Asia, 2013.
14. Centers for Disease Control and Prevention. CDC grand rounds: dietary
sodium reduction. Morbidity and Mortality Weekly Report. 2012.
15. Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2007: laporan nasional.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI, 2007.
16. Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2013: laporan nasional.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI, 2013.
17. Whelton PK, Appel LJ, Sacco RL, Anderson CAM, Antman EM, Cambell N,
etal. Sodium, blood pressure, and cardiovascular diseases. Further evidence
supporting the American Heart Association sodium recuction recomendation.
Circulation. 2012;126:2880-2889.
18. World Health Organization. Guideline: sodium intake for adults and children.
Geneva: World Health Organization, 2012.
19. Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI. Survei konsumsi makanan individu 2014: laporan nasional.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI, 2015.
20. Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI. Laporan Studi Kohort Penyakit Tidak Menular 2015. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI,
2015.

21
21. Cobb LK, Anderson CAM, Elliott P, Hu FB, Liu K, Neaton JD, et al.
Methodoligical isues in cohort studies that relate sodium intake and
cardiovascular disease outcome. Circulation. 2014; 129:1173-1186.
22. Whelton PK, and He J. The health effects of sodium and potassium in
humans. Curr Opin Lipidol 2014; 25:75-79.
23. Kotchen TA, Cowley Jr AW, and Frohlich ED. Salt in health and disease- a
delicate balance. N Engl J Med. 2013;368:1229–37.
24. Sakata K, Hozawa A, Nakamura Y, Nishi N, Kasagi F, Murakami Y, et al.
Dietary sodium-to-potassium ratio as a risk factor for stroke, cardiovascular
disease and all cause mortality in Japan: the NIPPON DATA80 cohort study.
doi:10.1136/bmjopen-2016-011632.
25. Alfiana N, Bintanah S, dan Kusuma HS. Hubungan asupan kalsium dan
natrium terhadap tekanan darah sistolik pada penderita hipertensi rawat inap
Di RS Tugurejo Semarang. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah
Semarang. 2014;3(1) [sitasi 29 Mei 2016]. Dalam:
http://www.jurnal.unimus.ac.id/index.php/jgizi/article/download/1322/1377.
26. Muliyati H, Syam A, dan Sirajuddin S. Hubungan pola konsumsi natrium dan
kalium serta aktifitas fisik dengan kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan
di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Media Gizi Masyarakat
Indonesia. 2011;1:46-51 [sitasi 18 Mei 2016]. Dalam:
http://www.jurnal.portalgaruda.org/article.php?article=29783&val=2168.
27. Jannah M, Sulastri D, dan Lestari Y. Perbedaan asupan natrium dan kalium
pada penderita hipertensi dan normotensi masyarakat etnik Minangkabau di
Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.2013;2(3) [sitasi 29 Mei 2016].
Dalam: http://www.jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka /article/view/.
28. Anggara FHD, dan Prayitno N. Faktorfaktor yang berhubungan dengan
tekanan darah di Puskesmas Telaga Murni, Cikarang Barat tahun 2012. Jurnal
Ilmiah Kesehatan. 2013;5(1).[sitasi 29 Mei 2016]. Dalam:
http://www.lp3m.thamrin.ac.id/upload/artikel.

22
29. Li N, Yan LL, Niu W, Labarthe D, Feng X, Shi J, et al. A large-scale cluster
randomized trial to determine the effects of community-based dietary sodium
reduction-the China Rural Health Initiative Sodium Reduction Study. Am
Heart J. 2013;166:815-822.
30. Aburto NJ, Ziolkovska A, Hooper L, Elliott P, Cappuccio FP, and Meerpohl
JJ. Effect of lower sodium intake on health: systematic review and meta-
analyses. BMJ. 2013;346:f1326.
31. Graudal NA, Hubeck-Graudal T, and Jurgens G. Effects of low sodium diet
versus high sodium diet on blood pressure, renin, aldosterone, catecholamines,
cholesterol, and triglyceride. Cochrane Database Syst Rev. 2011;11:
CD004022.
32. Stolarz-Skrzypek K, Kuznetsova T, Thijs L, Tikhonoff V, Seidlerova J,
Richart T, etal. Fatal and nonfatal outcomes, incidence of hypertension, and
blood pressure changes in relation to urinary sodium excretion. JAMA.
2011;305:1777-85.
33. Campbell N, Correa-Rotter R, Neal B, and Cappuccio FP. New evidence
relating to the health impact of reducing salt intake. Nutr Metab Cardiovasc
Dis. 2011;21:617- 619.

23

Anda mungkin juga menyukai