Anda di halaman 1dari 3

Nama : Arselina

Kelas : Penulisan Ilmiah


Tugas : Esai Argumentatif

Cerita Sebelum Tidur Harus Menjadi Prioritas Orang Tua di Indonesia,


Bukan Menonton Televisi
Di Indonesia, kebanyakan orang tua membiarkan anak menonton televisi untuk mengisi waktu,
termasuk waktu sebelum tidur. Bahkan, berdasarkan studi di Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta oleh
Astiti, Hadi, dan Julia (2013), malam hari hingga tidur merupakan waktu puncak anak untuk menonton
televisi. Namun, ada sebagian kecil orang tua di Indonesia yang memilih untuk membiasakan rutinitas
bercerita sebelum tidur. Menurut survei yang diadakan di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, 30%
dari orang tua anak prasekolah menerapkan kebiasaan cerita sebelum tidur (Inten, 2017). Kegiatan
menonton televisi dan bercerita sebelum tidur sering dilihat sebagai hiburan semata. Namun, pada
kenyataannya kedua kegiatan tersebut dapat memainkan peran penting dalam perkembangan anak. Menurut
saya, dari kedua kegiatan tersebut, aktivitas bercerita sebelum tidur lah yang berperan lebih positif dalam
perkembangan anak. Maka dari itu, menurut saya, orang tua di Indonesia seharusnya memprioritaskan
aktivitas bercerita sebelum tidur di atas aktivitas menonton televisi.

Rahim dan Rahiem (2012) mengatakan bahwa cerita memiliki potensi fungsi sebagai alat
pembelajaran dalam edukasi moral untuk anak. Dalam edukasi moral, anak kecil perlu lebih dari sekadar
mengetahui tindakan baik dan buruk. Mereka perlu memahami alasan mengapa suatu tindakan dinilai baik
atau buruk dan alasan mengapa mereka harus melakukan tindakan yang dinilai baik. Cerita dapat
menyediakan panutan dan kesempatan untuk mendiskusikan dilema moral. Melalui cerita, anak mampu
mengenali alasan suatu tindakan, pemecahan masalah, serta menimbang konsekuensi tindakan. Dengan
begitu, anak belajar menjadi orang dengan tanggung jawab moral dan mengetahui alasan dan bagaimana
cara melakukan tindakan yang baik. Maka dari itu, Rahim dan Rahiem (2012) menyimpulkan bahwa cerita
merupakan cara efektif untuk mengenalkan nilai moral dan melatih kemampuan bernalar pada anak.

Saracho dan Spodek (2010) menyatakan bahwa kegiatan bercerita pada anak juga meningkatkan
perkembangan bahasa dan literasi anak. Hal ini ditandai dengan penambahan kosa kata pada anak,
peningkatan capaian anak dalam membaca, dan kemampuan pemahaman anak. Sénéchal dan LeFevre
(2002) mendukung pernyataan tersebut dengan membuktikan bahwa paparan buku cerita pada anak kelas
satu mempengaruhi capaian membaca anak pada tahun ketiga. Weller (2016) juga menyatakan bahwa
mendengarkan orang tua bercerita dapat menstimulasi kemampuan lingustik anak, memandu anak dalam
memperlajari pola bahasa dan memanipulasi bahasa. Namun, Puglisi, Hulme, Hamilton, dan Snowling
(2017) menemukan bahwa meskipun paparan cerita mempengaruhi keterampilan bahasa dan kemampuan
mengeja-membaca pada anak, pengaruh tersebut hanya hadir dikarenakan kemampuan fonologis dan
bahasa yang dimiliki orang tua. Dengan kata lain, menurut Puglisi dkk (2017), faktor biologis lah yang
merupakan penentu kemampuan berbahasa anak. Meskipun begitu, dalam penelitian yang sama, Puglisi
dkk (2017) juga mendapatkan hasil bahwa kemampuan bahasa dan pendidikan orang tua berkorelasi tinggi
dengan paparan buku cerita pada anak. Hal ini mengindikasikan bahwa biologis ataupun tidak,
perkembangan bahasa pada anak juga memiliki buku cerita sebagai komponen pentingnya.
Kohm, Holmes, Romeo, dan Koolodge (2016) juga menemukan bahwa dengan membaca buku
cerita, anak dapat meningkatkan kemampuan kognitif (creative thinking, problem solving, dan decicion
making), kemampuan sosial, serta kemampuan imajinatif. Selain itu, Mindell dan Williamson (2019) juga
mengatakan bahwa membaca cerita bersama sebelum tidur dapat meningkatkan ikatan antara orang tua dan
anak. Hal ini dikarenakan kegiatan cerita sebelum tidur mampu memfasilitasi komunikasi antara orang tua
dan anak serta meningkatkan sensitivitas orang tua terhadap perkembangan anak. Interaksi dalam kegiatan
ini dapat menjadi media untuk meningkatkan kepercayaan diri anak serta menstimulasi anak untuk lebih
terbuka dalam mengomunikasikan pikirannya pada orang tua (Duursma, Augustyn, & Zuckerman, 2008).

Kegiatan menonton televisi juga memiliki manfaatnya. Acara televisi seperti Surat Sahabat dapat
memperluas pemahaman anak mengenai anak lain di luar daerah mereka (Suratnoaji, 2012), tontonan yang
menyajikan gerak dan lagu dapat mendorong anak untuk aktif secara motorik, dan tayangan yang
menyajikan interaksi dapat memudahkan anak untuk menjalin interaksi dalam kehidupannya (Rohani,
2015). Rohani (2015) juga membuktikan bahwa tontonan yang dipilih dengan baik dan bersifat edukatif
dapat meningkatkan daya imajinatif, bernalar, dan berbahasa pada anak. Namun hal tersebut dapat dicapai
apabila kegiatan menonton televisi benar-benar didampingi oleh orang dewasa. Studi lain mengatakan
tontonan yang mengedukasi, seperti Winnie The Pooh, Barney, dan Blue’s Clues, dapat meningkatkan
kemampuan sosial dan kognitif pada anak. Namun, paparan televisi pada anak berusia 0-2 tahun dapat
mengakibatkan keterlambatan perkembangan kognitif, bahasa, dan motorik, serta dapat menimbulkan
masalah atensi (Gliebe, 2018). Paparan televisi sebelum tidur juga dapat memperburuk kualitas tidur anak
(Brockman dkk, 2016). Hal ini dapat menimbulkan gangguan belajar seperti kesulitan berkonsentrasi di
sekolah (Tarigan, Ervani, & Lubis, 2007). Pradekso (2015) juga menyatakan bahwa anak memiliki tendensi
konsumsi media televisi yang eksesif. Artinya, kegiatan televisi dapat menjadi candu dan mengurangi
produktivitas anak. Jika anak sudah menonton televisi lebih dari dua jam sehari, maka anak tiga kali lebih
berisiko untuk memiliki masalah obesitas (Astiti, Hadi, & Julia, 2013).

Kegiatan menonton TV memang dapat menghibur dan bermanfaat bagi anak, tetapi hal ini hanya
dapat terjadi apabila didampingi dan diiringi oleh komunikasi dari orang tua. Namun, rata-rata anak di
Indonesia menonton TV lebih dari tiga jam dalam sehari (Pradekso, 2015), waktu yang terlampau banyak
untuk orang tua gunakan untuk menonton TV bersama anak. Delapan puluh dua persen orang tua yang
mendampingi anak menonton tv pun tidak mengadakan komunikasi dengan anak terkait tontonan mereka
(Sumartono, 2017). Berbeda dengan kegiatan bercerita sebelum tidur yang hanya memakan waktu kurang
dari satu jam tetapi memiliki jauh lebih banyak manfaat tanpa menimbulkan dampak negatif. Hal ini
menunjukkan keunggulan aktivitas cerita sebelum tidur dan menyediakan alasan mengapa orang tua di
Indonesia harus memprioritaskan kegiatan ini di atas kegiatan menonton televisi.
Daftar Pustaka
Astiti, D., Hadi, H., & Julia, M. (2013). Pola menonton televisi sebagai faktor risiko obesitas pada
anak di sekolah dasar Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia
(Indonesian Journal of Nutrition and Dietetics), 1(2), 110-119.
Brockmann, P. E., Diaz, B., Damiani, F., Villarroel, L., Núñez, F., & Bruni, O. (2016). Impact of
television on the quality of sleep in preschool children. Sleep Medicine, 20, 140-144.
Duursma, E., Augustyn, M., & Zuckerman, B. (2008). Reading aloud to children: the evidence.
Archives of Disease in Childhood, 93(7), 554-557.
Gliebe, S. K. (2018). The effects of video and television on young children: Research and
reflection for Christian educators. Lutheran Education, 135(1), 1-10.
Inten, D. N. (2017). Peran keluarga dalam menanamkan literasi dini pada anak. Golden Age:
Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(1), 23-32.
Kohm, K. E., Holmes, R. M., Romeo, L., & Koolidge, L. (2016). The connection between shared
storybook readings, children’s imagination, social interactions, affect, prosocial behavior, and social
play. International Journal of Play, 5(2), 128-140.
Mindell, J. A., & Williamson, A. A. (2018). Benefits of a bedtime routine in young children:
Sleep, development, and beyond. Sleep medicine reviews, 40, 93-108.
Pradekso, T. (2015). Persepsi anak pada acara televisi. Jurnal Ilmu Sosial, 14(2), 11-23.
Puglisi, M. L., Hulme, C., Hamilton, L. G., & Snowling, M. J. (2017). The home literacy
environment is a correlate, but perhaps not a cause, of variations in children’s language and literacy
development. Scientific Studies of Reading, 21(6), 498-514.
Rahim, H., & Rahiem, M. D. H. (2012). The use of stories as moral education for young
children. International Journal of Social Science and Humanity, 2(6), 454-458.
Rohani, G. A. (2015). Pengaruh televisi (tv) terhadap aspek-aspek perkembangan anak usia 3-4
tahun. Jurnal Pendidikan Anak, 4(2), 631-639.
Saracho, O. N., & Spodek, B. (2010). Parents and children engaging in storybook reading. Early
child development and care, 180(10), 1379-1389.
Sénéchal, M., & LeFevre, J. A. (2002). Parental involvement in the development of children’s
reading skill: A five‐year longitudinal study. Child development, 73(2), 445-460.
Sumartono, S. (2017). Tingkat literasi media televisi pada ibu-ibu rumah tangga di Kelurahan
Meruyung, Depok. Komunikologi: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, 14(1), 44-51.
Suratnoaji, C. (2012). Model pengembangan “diet media tv” sebagai penangkal kecanduan anak
terhadap media tv dan dampak negatifnya. Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(2), 1-12.
Tarigan, T., Ervani, N., & Lubis, S. (2016). Pola menonton televisi dan pengaruhnya terhadap
anak. Sari Pediatri, 9(1), 44-7.
Weller, D. (2016). Storytelling, The Cornerstone of Literacy. Diakses 25 November 2019 dari
http://www.californiakindergartenassociation.org/wp-content/uploads/2009/01/Weller-Article1.pdf

Anda mungkin juga menyukai