Anda di halaman 1dari 9

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA

A. Pendahuluan
Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of
reality ). Kelainanseperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan
pada perasaan,pikiran, kemauan, motorik, dst. sedemikian berat sehingga perilaku
penderitatidak sesuai lagi dengan kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak
dapatdimengerti oleh orang normal, sehingga orang awam menyebut penderitasebagai orang
gila. (Maramis, 2005)
Efek samping obat anti-psikosis sangat penting kita ketahui, mengingat pengguanaan
oabat ini kemungkinan diberikan dalam jangka panjang. efek samping dapat berupa :
 Sedasi dan Inhibisi Psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun)
 Gangguan Otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik :mulut kering,
kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intreokuler yang
tinggi, gangguan irama jantung)
 Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson : tremor,
bradikinesia, rigiditas)
 Gangguan Endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia) metabolik (jaundice), hematologik
(agranulositosis), biasanya pada pemakaian panjang
 Syndrome neuroleptik maligna

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik (Sholevar, 2002). Karekteristik dari
SNM adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas
dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal
(Khan, 2011).
Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan antipsikotik,
khususnya neuroleptik. Di Cina pada suatu RCT didapatkan insidensi SNM mencapai 0,12 %
pada pasien dengan terapi neuroleptik. Suatu penelitian retrospektif di India menunjukkan
insidensi 0,14% (Sholevar, 2002). Sedangkan di Amerika SNM dilaporkan terdapat pada
0,2% - 1,9% pasien (Khaldarov, 2000). Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin)
lebih sering menyebabkan SNM, semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat
menyebabkan sindrom ini. Obat-obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine),
promethazine (Phenergan), clozapine (Clozaril), and risperidone (Risperdal). Selain itu obat-
obat non neuroleptik yang dapat memblok dopamin dapat menyebabkan SNM juga, obat-obat
tersebut adalah metoclopramide (Reglan), amoxapine (Ascendin), and lithium (Benzer,
2005).
Deteksi awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada SNM penting karena
komplikasi dari keadaan ini adalah kematian (Benzer, 2005). Kematian yang disebabkan oleh
SNM mencapai 21% (Khaldarov, 2000).

B. Definisi
DSM IV mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan
temperatur dan gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia,
perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan darah
meningkat atau tidak stabil, peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan
dengan pengunaan pengobatan neuroleptik (Kaplan dan Sadock, 2005).
Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya
dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia, gangguan afek
mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah laku karena dimensia,
nausea, disfungsi usus dan penyakit Parkinson (Hal dan Chopman, 2006).
Sindrom ini mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem syaraf
otonom adalah sistem syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak
dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung, tekanan darah, pencernaan,
berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh (Bottoni, 2001).

C. Etiologi
1. Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk neuroleptik potensi
rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM sering pada pasien
dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine (Sholevar, 2002).
2. Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptic potensi tinggi),
antipsikosik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan antipsikotik injeksi
long acting (Sholevar, 2002).
3. Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptic yang tidak
konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama lithium, dan juga
terapi kejang listrik (Sholevar, 2002).

D. Faktor Resiko
1. Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap SNM adalah
kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan malnutrisi (Sholevar,
2002).
2. Faktor genetik. Terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa SNM dapat
terjadi pada kembar identik (Sholevar, 2002).
3. Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren. Resiko
rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode SNM dan
penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik dalam 2 minggu
episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu, persentasenya hanya
30% (Sholevar, 2002).
4. Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium,
riwayat ECT, penggunaan neuroleptik tidak teratur (Sholevar, 2002).
5. Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di
naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi (Sholevar, 2002).

E. Patofisiologi
Sesuai dengan istilahnya, SNM berkaitan dengan pemberian pengobatan
neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi terdapat hipotesis yang
menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin yang menyebabkan SNM.
Pengurangan aktivitas dopamin di area otak (hipothamalmus, sistem nigrostartial, traktus
kortikolimbik) dapat menerangkan terjadinya gejala klinis SNM (Khaldarov, 2000).
Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan set point sehingga terjadi demam dan juga dapat menyebabkan ketidak
stabilan otonom (Sholevar, 2002). Di sistem nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas, di
sistem traktus kortiko limbik dapat menyebabkan perubahan kesadaran (Khaldarov,
2000). Perubahan status mental disebabkan karena blokade reseptor dopamin di sistem
nigrostartial dan mesokortikal (Bottoni, 2002).
F. Gambaran Klinis
Sindrom neuroleptik maligna merupakan reaksi idiosinkratik yang tidak
tergantung pada kadar awali obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi pada dosis
tunggal neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal atipikal), biasanya
berkembang dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan dengan
neuroleptik. SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah pemberian obat
neuroleptik atau perubahan dosis (biasanya karena peningkatan) (Hal dan Chopman,
2006). Sindroma neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas dari
ringan sampai dengan berat (Bottoni, 2002).
Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi
dan tekanan darah meningkat atau labil. Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas,
disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik
berlebihan dapat mencerminkan agitasi psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme,
inkotinensia dan delirium mencerminkan terjadinya perubahan tingkat kesadaran
(Sholevar, 2002).

G. Pemeriksaan Laboratorium
Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan
nekrosis. Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan:
1. Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2.000-15.000 U/L.
Pengingkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk SNM (Khaldarov,
2000).
2. Peningkatan Aminotransferases (aspartate aminotransferase / AST, alanine
aminotransferase / ALT, and lactate dehydrogenase / LDH) (Sholevar, 2002).
3. Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 – 30.000 x 103/ mm3),
trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat meningkat. Konsentrasi
serum besi dapat menurun (Sholevar, 2002).

H. Diagnosis
Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu
kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan rigiditas
otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan otonom,
perubahan sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria (Nicholson dan Chiu,
2004).
Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis banding
pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis SNM
ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan, dan
demam harus disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan status
mental dan ketidak stabilan otonom (Nicholson dan Chiu, 2004).
Kriteria diagnosis menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders)
Memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2

Kriteria A
1. Rigiditas otot
2. Demam

Kriteria B
1. Diaphoresis
2. Disfagia
3. Tremor
4. Inkontinensia
5. Perubahan kesadaran
6. Mutisme
7. Takikardi
8. Tekanan darah meningkat atau labil
9. Leukositosis
10. Hasil laboratorium menunjukkan cedera otot

Kriteria C
Tidak ada penyebab lain (Misal: encephalitis virus)

Kriteria D
Tidak ada gangguan mental

Diagnosis banding dari SNM sangat luas. Hal terpenting sumber infeksi dari
demam harus di singkirkan. Pungsi lumbal harus dipertimbangkan untuk membedakan
SNM dengan encephalitis virus atau encephalomyelitis post infeksi10. SNM harus
dibedakan dari sindrom yang disebabkan oleh pengobatan lain seperti sindrom serotonin
dan hipertermi maligna (Nicholson dan Chiu, 2004).

I. Diagnosis Banding
1. Heat stroke
Pada heat stroke kulit menjadi kering dan lembek akibat hipertermi dan hipotensi.
2. Letal kataton
Letal kataton terjadi pada orang skizoprenia atau episode manik. Neuroleptik dapat
memperbaiki atau memperburuk gejalanya. Membedakan SNM dan letal kataton
sulit, meskipun riwayat pasien menyatakan episode kataton pada saat pasien tidak
meminum neuroleptik. Letal kataton cenderung eksitasi dan agitasi pada prodormal
sedangkan SNM dimulai dengan rigiditas.
3. Sindrom serotonin
Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan menggali
riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan tidak adanya
rigiditas berat (Sholevar, 2002).

J. Penatalaksanaan
1. Terapi suportif
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik
dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda dalam 1-2
minggu. SNM yang dipercepat dengan depot injeksi anti psikotik long action dapat
bertahan selama sebulan (Sholevar, 2002).
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan
memelihara fungsi organ yaitu (Sholevar, 2002):
 Manajemen jalan nafas : intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.
 Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan, hemodinamik.
 Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.
 Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak, analisis cairan
serebrospinal, kultur urin dan darah (Bottoni, 2002).
2. Terapi farmakologik
Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti
bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati SNM
berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene dipakai untuk mengurangi
rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas. Beberapa ahli melaporkan bahwa
agonis dopamin, clantralene maupun kombinasi keduanya dapat mengurangi
mortalitas atau memperpendek durasi sakit. Peneliti lain melaporkan tidak ada
manfaat dan setelah diamati ternyata meningkatkan komplikasi dan pemanjangan
gejala karena pemakaian obat-obat tersebut (Khaldarov, 2000).
Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa
kasus. Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam penanganan
SNM dengan mengurangi durasi menjadi 2 – 3 hari (Khaldarov, 2000).

K. Komplikasi
Komplikasi dari sindroma neuroleptik maligna banyak. Komplikasi yang paling
umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menuerus dan
akhirnya terjadi kerusakan otot (Bottoni, 2002).
Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia aspirasi, emboli pulmo, edema
pulmo, sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated intravascular coagulation, seizure,
infark myocardial (Botoni, 2002).
Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik yang
tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik karena
menderita gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps tinggi jika anti
pskotik di hentikan (Sholevar, 2002).

L. Prognosis
1. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis berat otot
yang menjadi rhabdomyuolisis.
2. Pasien dengan riwayat SNM dapat terjadi rekurensi. Resiko terjadi rekurensi
berhubungan dengan jeda waktu antara SNM dan dimulainya kembali pengobatan
antipsikotik (Sholevar, 2002).
M. Pencegahan
Pencegahan merupakan bagian penting dalam memanage kondisi heterogen ini.
Dosis terendah neuroleptik dianjukan, dengan memonitor onset efek samping ekstra
piramida Deteksi awal dan memberikan terapi untuk mengeliminasi efek samping ekstra
piramidal, terutama rigiditas otot dapat mencegah perkembangan lebih lanjut SNM dan
komplikasinya (Kaplan dan Sadock, 2005).
DAFTAR PUSTAKA

Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome, http://www.emedicine.com

Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review, http:://www.turner-

white.com

Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the Elderly:

Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and Treatment, Clinical

geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine.

Kaplan H, Sadock B. 2005. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry.

Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Pp: 532-67.

Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant Syndrome,

Hospital Physician.

Khan, N.A., 2011, Atypical neuroleptic malignant syndrome: reversible encephalopathy.

http://www.docstoc.com/docs/79675578/Programme-P2T-10. (19 desember 2011)

Maramis, W.F. (2008), Ilmu Kedokteran Jiwa . Surabaya : Airlangga University. Page 180

Maslim, R., 2001, Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik . Jakarta: Penerbit

buku kedokteran EGC. Pp:5-9

Nicholson, D., Chiu., W., 2004, Neuroleptic malignant syndromem, Geriatrics August

2004 Volume 59, Number 8

Sholevar, DP., 2002, Neuroleptic Malignanat Syndrome, http://www.emedicine.com

Anda mungkin juga menyukai