NAPZA
Dosen Pembimbing : Ibu Ayu Puspitasari, ST, M.Si
Menurut pakar kesehatan narkoba sebenarnya adalah psikotropika yang biasa dipakai untuk
membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu.
Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya
Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu
(opium) tersebut adalah orang-orang Cina.
Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan
pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Hal ini berlaku sampai
tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan
Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).
Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya digunakan
sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari sedangkan tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine)
banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor. Untuk
menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat
Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927
(State Gazette No.278 Juncto 536).
Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek
serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut.
Baru pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah
besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun
1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat
(narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda.
Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.
Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan
membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71, yaitu
sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan
terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang,
penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan
terhadap orang-orang asing.
Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang
narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian
mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut
antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping
itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan
secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.
Pada tanggal 12 Oktober 2009, disahkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Berdasarkan ketentuan Pasal 153 UU 35/2009 tersebut, dapat diketahui bahwa UU 35/2009
mengganti UU 22/1997, namun tidak mengganti sepenuhnya UU 5/1997. Hanya lampiran UU
5/1997 mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II telah dicabut, karena telah
ditetapkan sebagai Narkotika Golongan I dalam UU 35/2009. Di dalam penjelasan umum UU
5/1997 disebutkan bahwa psikotropika terbagi menjadi 4 golongan. Dengan berlakunya UU
35/2009, UU 5/1997 beserta Lampirannya masih berlaku, kecuali Lampiran mengenai jenis
Psikotropika Golongan I dan Golongan II.
Undang-undang No.22 Tahun 1997 diganti dengan dalih bahwa tindak pidana telah bersifat
transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, tekhnologi
canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah menimbulkan korban terutama
dikalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara, sehungga undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi
dan memberantas tindak pidana tersebut.
Salah satu perbedaan yang disebutkan dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika tersebut dinyatakan bahwa sabu-sabu bukan lagi disebut psikotropika. Sabu-sabu
sudah dimasukkan ke dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 sebagai Narkotika golongan I.
Selain itu, golongan I dan golongan II pada Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika semuanya sudah dimasukkan ke dalam daftar golongan I dalam Undang-undang
No. 35 Tahun 2009. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin diperketatnya hukum dalam
pengaturan sanksi terhadap bagi siapa saja yang menyalahgunakan Narkotika maupun
Psikotropika baik sanksi pidana maupun sanksi denda.
Sebagai dasar hukum dinyatakan bahwa Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
dan Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sudah tidak berlaku lagi adalah
merujuk kepada Pasal 153 dan Pasal 155 Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(selanjutnya dalam penelitian ini disebut Undang-undang Narkotika yang Baru)
Penerapan hukum melalui undang-undang yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku jelas
melangar asas legalitas dan HAM. Hal ini sejalan dengan Pasal 28 D Undang-Undang Dasar
1945 pada BAB XA tentang Hak Azasi Manusia yang berbunyi, "setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum”.
RUANG LINGKUP TOKSIKOLOGI
a. Toksikologi Lingkungan
Tujuan toksikologi lingkungan adalah mencari substansi yang aman yang berarti harus
mengetahui mekanisme bagaiman racun menyerang organisme, mencegah terjadinya efek
yang tidak di kehendaki dari racun terhadap organisme dan kualitas lingkungan. Pemahaman
toksikologi lingkungan antara lain hubungan dosis-respon, absorpsi bahan toksik, distribusi
dan penyimpanan bahan toksik, biotransformasi dan eliminasi bahan toksik, target organ
tubuh yang terkena bahan toksik, dan nilai resiko yag ditimbulkan oleh bahan toksik.
b. Toksikologi Ekonomi
Toksikologi ekonomi juga dapat diartikan suatu pembahasan toksikologi yang menjurus
pada efek-efek berbahaya dari substansi khusus yang berhubungan dengan kebutuhan
manusia seperti bahan pengawet makanan dan pestisida. Kehadiran suatu zat yang
berpotensi toksik di dalam organisme belum tentu menghasilkan keracunan selama jumlah
yang diabsorbsi berada dibawah konsentrasi yang toksik. Pada bidang ini, keracunan bisa
terjadi karena efek samping obat yang sengaja dilakukan untuk tujuan penyembuhan
penyakit atau berbagai gejala buruk yang muncul akibat adanya kandungan boraks dalam
produk mie instan sebagai bahan tambahan makanan.
c. Toksikologi Forensik/Kehakiman
Toksikologi forensik merupakan cabang toksikologi yang mengkaji aspek medis dan aspek
hukum atas pengaruh berbahaya zat kimia pada manusia. Pada bidang kajian ini, masuknya
senyawa kimia bisa terjadi karena kesengajaan untuk tujuan pembunuhan atau secara tidak
sengaja akibat kelalaian manusia. Akan tetapi, yang jelas peristiwa keracunan yang terjadi
menimbukan suatu masalah, dimana masalah tersebut harus diselesaikan secara hukum di
pengadilan. Toksikologi forensik meliputi diagnosis, terapi dan medikolegal
Secara umum tugas toksikologi forensik adalah membantu penegak hukum khususnya dalam
melakukan analisis racun baik kualitatif maupun kuantitatif dan kemudian menerjemahkan
hasil analisis ke dalam suatu laporan (surat, surat keterangan ahli atau saksi ahli), sebagai
bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Lebih jelasnya toksikologi forensik
mencangkup terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagi bukti dalam tindak kriminal,
dengan tujuan mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari zat racun dan metabolitnya
dari cairan biologis dan akhirnya menginterpretasikan temuan analisis dalam suatu
argumentasi tentang penyebab keracunan dari suatu kasus. Menurut masyarakat toksikologi
forensik amerika “Society of Forensic Toxicologists (SOFT)” bidang kerja toksikologi
forensik meliputi:
analisis dan mengevaluasi racun penyebab kematian,
analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau napas, yang dapat
mengakibatkan perubahan perilaku (menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan
bermotor di jalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan, penggunaan dooping),
analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan obat terlarang lainnya.
Tujuan lain dari analisis toksikologi forensik adalah membuat suatu rekaan rekostruksi suatu
peristiwa yang terjadi, sampai sejauh mana obat atau racun tersebut dapat mengakibatkan
perubahan prilaku (menurunnya kemampuan mengendarai, yang dapat mengakibatkan
kecelakaan yang fatal, atau tindak kekerasan dan kejahatan).
DEFINISI UU NAPZA
NAPZA merupakan akronim dari Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya yang
merupakan jenis obat-obatan yang dapat mempengaruhi gangguan kesehatan dan kejiwaan.
NAPZA secara umum merupakan zat-zat kimiawi yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh baik
secara oral (diminum, dihisap dan dihirup) maupun disuntik dapat mempengaruhi pikiran,
suasana hati, perasaan dan perilaku seseorang. Hal ini dapat menimbulkan gangguan keadaan
sosial yang ditandai dengan indikasi negatif, waktu pemakaian yang panjang dan pemakaian
yang berlebihan.
1. Menurut Undang-Undang No. 35 tahun 2009, narkotika adalah zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan
2. Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1997, psikotropika adalah zat atau obat, baik
alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas padaaktivitas
mental dan perilaku.
3. Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun
campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan
tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan
iritasi. Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat4 adiktif yang bukan termasuk ke dalam
narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang
jika disalahgunakan
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika ini membentuk sebuah badan nasional,
yaitu BNN, Badan Narkotika Nasional, sebagaimanan Undang-Undang lainnya dalam rezim saat
itu.
Narkotika golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi
mengakibatkan ketergantungan
Pasal 8
Pasal 12
Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali
dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam
produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 41
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada
lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
Narkotika golongan II, adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan
terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c UU Narkotika
Narkotika golongan III, adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan.
Pasal 37
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis,
yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 43 ayat 5
Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
Pasal 53
Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan
Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada
pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa
Narkotika untuk dirinya sendiri.
Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika
yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan
LAMPIRAN I
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : 35 Tahun 2009
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman
Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk
pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan
khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa
penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu
ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu
dicampur dengan daun atau bahan lain.
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
3. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari
semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan
kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
4. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah
secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
6. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman
termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja
termasuk damar ganja dan hasis.
7. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
9. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)- 6,
14-endoeteno-oripavina
propionanilida
endoeteno-oripavina
4- propionilpiperidina
propionanilida
(metilendioksi)fenetilamina
(metilendioksi)fenetilamina
(metilendioksi)fenetil]hidroksilamina
dihidrogen fosfat
65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika
difenilheptana
1. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-
4- propionoksipiperidina
2. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
il)etil]-4-(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-
fenilpropanamida
4. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
8. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina
9. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe
ridina
ridina
difenilheptana
propionil-1-benzimidazolinil)-piperidina
pirolidinil)butil]-morfolina
4- fenilisonipekotik
21. Dihidromorfina
28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.
nitrobenzimedazol
heksanona
6,7- benzomorfan
nitrobenzimidazol
45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
(1pirolidinil)butil] morfolina
karboksilat
59. Morfina-N-oksida
60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk
bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N- oksida
61. Morfina
difenilheptana
etil ester
piperidino)-piperdina-4-karboksilat
amida
propionoksiazasiklohepta
na
isopropil ester
pirolidinil)-
butil]-morfolina
76. Tebaina
fenil-3- sikloheksena-1-karboksilat
1. Asetildihidrokodeina
2. Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-
butanol propionat
3. Dihidrokodeina
6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina
7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina
8. Norkodeina : N-demetilkodeina
9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina
10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-
piridilpropionamida
11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-
trimetilpropil]-6,14-endo-entano-6,7,8,14-
tetrahidrooripavina
12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 5 TAHUN 1997
TANGGAL : 11 MARET 1997
DAFTAR PSIKOTROPIKA
GOLONGAN I
piran-1-ol
p-metoksi--metilfenetilamina
3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-
ol 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-
4-il dihidrogen fosfat
1-(1-
fenilsikloheksi)pirolidina
2,5-dimektosi--4-
dimetilfenetilamina
-metil-3,4-
(metilendioksi)fenetilamina
1-[1-(2-
tienil)sikloheksil]piperidin
a ()-3,4,5-trimetoksi--
metilfenetilamina
DAFTAR PSIKOTROPIKA
GOLONGAN II
1. AMFETAMINA ()--metilfenetilamina
2. DEKSAMFETAMINA ()--metilfenetilamina
3. FENETILINA 7-[2-[(-
4. FENMETRAZINA metilfenetil)amino]etil]teofilina
5. FENSIKLIDINA PCP 3-metil-2-fenilmorfolin
6. LEVAMFETAMINA Levamfetamina 1-(1-fenilsikloheksil)piperidina
7. Levometamfetamin (-)-®--metilfenetilamina
a
8. MEKLOKUALON (-)-N, -dimetilfenetilamina
9. METAMFETAMINA 3-(o-klorofenil)-2-metil-4-(3H)-
10. METAMFETAMINA kuinazolinon
RASEMAT (+)-(S)-N, -
11. METAKUALON dimetilfenetilamina
12. METILFENIDAT
13. SEKOBARBITAL (+)-N, -dimetilfenetilamina
14. ZIPEPPROL 2-metil-3-o-tolil-4-(3H)-
kuinazolinon
Metil--fenil-2-piperidinaasetat
Asam 5-alil-5-(1-
metilbutil)barbiturat
-(-metoksibenzil)-4-(-
metoksifenetil)-1-
piperazinetano
DAFTAR PSIKOTROPIKA
GOLONGAN III
alkohol
8. PENTOBARBITAL (2R*,6R*,11R*)-1,2,3,4,5,6-
9. SIKLOBARBITAL heksahidro-6-11-dimetil-3-(3-
metil-2-butenil)-2,6-metano-3-
benzazosin-8-ol
Asam 5-etil-5-
(1-
metilbutil)barbiturat
Asam 5-(1-sikloheksen-1-il)-
5-
etilbarbiturat
DAFTAR PSIKOTROPIKA
GOLONGAN IV
3,3-dietil-5-metil-2,4-piperidina-
dion
8-kloro-6-(o-fluorofenil)-1-metil-
4H-imidazol [1,5-a][1,4]-
benzodiazepina
1,3-dihidro-1-metil-7-nitro-5-
fenil- 2H-1,4-benzodiazepin-2-on
1,3-dihidro--7-nitro-5-fenil-2H-
1,4-benzodiazepin-2-on
7-kloro-1,3-dihidro-5-fenil-2H-
1,4- benzodiazepin-2-on
7-kloro-1,3-dihidro-3-hidroksi-5-
fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on
10-kloro-2,3,7,11b-tetrahidro-2-
metil-11b-feniloksazolo[3,2- d]
[1,4]benzodiazepin-6(5H)-on 2-
amino-5-fenil-2-oksazolin-4-on (=
2-imino-5-fenil-4-
oksazolindinon)
7-kloro-1,3-dihidro-5-fenil-1-(2-
NAMA LAZIM propinil)-2H-1,4-benzodiazepin-2-
PIPADROL NAMA LAIN NAMA KIMIA
49. PIROVALERONA ,-difenil-2-piperidinmetanol
50. PRAZEPAM
51. 4’-metil-2-(1-
SEKBUTABARBITAL pirolidinil)valerofenon
52. TEMAZEPAM
53.
TETRAZEPAM
54. TRIAZOLAM
55. VINILBITAL
56.
Zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila di konsumsi oleh organisme
hidup, maka dapat menyebabkan kerja biologs serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi
yang sulit dihentika dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus.
https://books.google.co.id/books?
id=_mrIDwAAQBAJ&pg=PA10&lpg=PA10&dq=ruang+lingkup+toksikologi&source=bl&ot
s=2Ii_zUcdTU&sig=ACfU3U0GV30kV2WTLtZknpGwf_K5dFsz_A&hl=id&sa=X&ved=2a
hUKEwj9jc7tqYrnAhVPfSsKHXHrCDk4FBDoATASegQICRAB#v=onepage&q=ruang
lingkup toksikologi&f=false
Diktat Toksikologi oleh Eddy Sulistyowati, Apt. M.S Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas
Negeri Yogyakarta