Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN CHOLANGITIS

Definisi
Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran empedu. Charcot
ditahun 1877 menjelaskan tentang keadaan klinis dari kolangitis, sebagai trias, yaitu
demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas, yang dikenal dengan ’’Charcot
triad’’. Charcot mendalilkan bahwa ’’empedu stagnan’’ karena obstruksi saluran empedu
menyebabkan perkembangan kolangitis.
Obstruksi juga dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran empedu, yang
membawa empedu dari hepar kekandung empedu dan usus. Bakteri yang sering dikultur
pada empedu adalah Eschericia Coli, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus, Enterococcus,
Clostridium perfiringens, Bacteroides fragilis. Bakteri anaerob yang dikultur hanya sekitar
15% kasus.
Patofisiologi kolangitis sekarang ini dimengerti sebagai akibat kombinasi 2 faktor, yaitu
cairan empedu yang terinfeksi dan obstruksi biliaris. Peningkatan tekanan intraduktal yang
terjadi menyebabkan refluks bakteri ke dalam vena hepatik dan sistem limfatik perihepatik
yang menyebabkan bakterimia.
Pada tahun 1959, Reynolds dan Dargon menggambarkan keadaan yang berat pada
penyakit ini dengan menambahkan komponen syok sepsis dan gangguan kesadaran.
ANATOMI
DUKTUS SISTIKUS
Duktus sistikus merupakan lanjutan dari vesika fellea, terletak pada porta hepatis
yang mempunyai panjang kira-kira 3-4 cm. Pada porta hepatis duktus sistikus mulai dari
kollum vesika fellea, kemudian berjalan ke postero-kaudal di sebelah kiri kollum vesika
fellea. Lalu bersatu dengan duktus hepatikus kommunis membentuk duktus koledokus.
Mukosa duktus ini berlipat-lipat terdiri dari 3-12 lipatan, berbentuk spiral yang pada
penampang longitudinal terlihat sebagai valvula disebut valvula spiralis (Heisteri).
DUKTUS HEPATIKUS
Duktus hepatikus berasal dari lobus dexter dan lobus sinister yang bersatu
membentuk duktus hepatikus komunis pada porta hepatis dekat pada processus papillaris
lobus kaudatus. Panjang duktus hepatikus kommunis kurang lebih 3 cm terletak disebelah
ventral arteri hepatika propria dexter dan ramus dexter vena portae. Bersatu dengan duktus
sistikus menjadi duktus koledokus.
DUKTUS KOLEDOKUS
Duktus koledokus mempunyai panjang kira – kira 7 cm dibentuk oleh persatuan
duktus sistikus dengan duktus hepatikus kommunis pada porta hepatis, dimana
dalam perjalanannya dapat dibagi menjadi tiga bagian.
Pada kaput pankreas duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus
wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada dinding posterior pars desenden
duodeni membentuk suatu benjolan ke dalam lumen disebut papilla duodeni major.

Gambar. 1. Anatomi saluran empedu

ETIOLOGI
Penyebab tersering obstruksi biliaris adalah : koledokolitiasis, obstruksi
struktur saluran empedu, dan obstruksi anastomose biliaris. Bagaimanapun berat penyebab
obstruksi, kolangitis tidak akan terjadi tanpa cairan empedu yang terinfeksi. Kasus obstruksi
akibat keganasan hanya 25-40% yang hasil kultur empedunya positif. Koledokolitiasis
menjadi penyebab tersering kolangitis.
Dalam beberapa tahun terakhir dengan semakin banyaknya pemakaian manipulasi
saluran biliaris invasif seperti kolangiografi, stent biliaris, untuk terapi penyakit saluran biliaris
telah menyebabkan pergeseran penyebab kolangitis. Selain itu pemakaian jangka panjang
stent biliaris seringkali disertai obstruksi stent oleh cairan biliaris yang kental dan debris
biliaris yang menyebabkan kolangitis.
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi saluran bilier dan pertumbuhan
bakteri dalam empedu (infeksi empedu). Kolangitis akut membutuhkan kehadiran dua faktor:
(1) obstruksi bilier
(2) pertumbuhan bakteri dalam empedu (bakterobilia)
Cairan empedu biasanya normal pada individu yang sehat dengan anatomi bilier yang
normal. Bakteri dapat menginfeksi sistem saluran bilier yang steril melalui ampula vateri
(karena adanya batu yang melewati ampula), sfingterotomi atau pemasangan sten (yang
disebut kolangitis asending) atau bacterial portal, yaitu terjadinya translokasi bakteri melalui
sinusoid-sinusoid hepatik dan celah disse. Bakterobilia tidak dengan sendirinya
menyebabkan kolangitis pada individu yang sehat karena efek bilasan mekanik aliran
empedu, kandungan antibakteri garam empedu, dan produksi IgA. Namun demikian,
obstruksi bilier dapat mengakibatkan kolangitis akut karena berkurangnya aliran empedu
dan produksi IgA, menyebabkan gangguan fungsi sel kupffer dan rusaknya celah membran
sel sehingga menimbulkan refluks kolangiovena.
Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis bilier jinak,
striktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas. Koledokolitiasis
digunakan untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi barubaru ini kejadian kolangitis akut
yang disebabkan oleh penyakit ganas, sklerosis kolangitis, dan instrumentasi non-bedah
saluran empedu telah meningkat. Hal ini dilaporkan bahwa penyakit ganas sekitar 10-30%
menyebabkan kasus akut kolangitis.
Berikut adalah beberapa penyebab terjadinya kolangitis akut, antara lain:
- Kolelitiasis
- Benign biliary stricture
- Faktor kongenital
- Faktor post-operatif (kerusakan ductus bilier, strictured choledojejunostomy,
- etc.)
- Faktor inlamasi
- Oklusi keganasan
- Tumor duktus bilier
- Tumor kandung empedu
- Tumor ampula
- Tumor pankreas
- Tumor duodenum
- Pankreatitis
- Tekanan eksternal
- Fibrosis papila
- Divertikulum duodenal
- Bekuan darah
- Faktor iatrogenic
- Parasit yang masuk ke duktus bilier (Biliary ascariasis)
- Sump syndrome setelah anastomosis enterik bilier

EPIDEMIOLOGI
Kolangitis merupakan infeksi pada duktus koledokus yang berpotensi menyebabkan
kesakitan dan kematian. Dilaporkan angka kematian sekitar 13-88%. Kolangitis ini dapat
ditemukan pada semua ras. Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan perbandingan
antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang dominan diantara keduanya. Berdasarkan
usia dilaporkan terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60 tahun.

PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak mengalami
hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kolangitis terjadi akibat
adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai oleh bakteria yang mengalami
multiplikasi. Obstruksi terutama disebabkan oleh batu common bile duct (CBD), striktur,
stenosis, atau tumor, serta manipulasi endoskopik CBD. Dengan demikian aliran empedu
menjadi lambat sehingga bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami migrasi ke
sistem bilier melalui porta, sistem limfatik porta ataupun langsung dari duodenum.3,4 Oleh
karena itu akan terjadi infeksi secara ascenden menuju duktus hepatikus, yang pada
akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan melampaui batas 250
mmH20.
Oleh karena itu akan terdapat aliran balik empedu yang berakibat terjadinya infeksi
pada kanalikuli biliaris, vena hepatica dan limfatik perihepatik, sehingga akan terjadi
bakteriemia yang bisa berlanjut menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan tersebut
disertai dengan pembentukan pus maka terjadilah kolangitis supuratif.
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kolangitis, yaitu:
- Kolangitis dengan kolesistitis
Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada sistem bilier, maupun pelebaran dari
duktus intra maupun ekstra hepatal. Keadaan ini sering disebabkan oleh batu CBD yang
kecil, kompresi oleh vesica felea /kelenjar getah bening/inflamasi pankreas, edema/spasme
sfinkter Oddi, edema mukosa CBD, atau hepatitis.
- Kolangitis non-supuratif akut
Terdapat bakterobilia tanpa pus pada sistem bilier yang biasanya disebabkan oleh
obstruksi parsial.
- Kolangitis supuratif akut
Pada CBD berisi pus dan terdapat bakteria, namuntidak terdapat obstruksi total
sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis.
- Kolangitis supuratif akut dengan obstruksi
Di sini terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga melampaui tekanan normal pada
sistem bilier yaitu melebihi 250mm H20 sehingga terjadi bakterimia akibat reflluk cairan
empedu yang disertaidengan influx bakteri ke dalam sistem limfatik dan vena hepatika.
- Syok sepsis
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu sepsis
berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal yang
disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering multipel) dan bahkan
peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk

MANIFESTASI KLINIK
Walaupun gambaran klasik kolangitis terdiri dari trias, demam, ikterus, dan nyeri
abdomen kuadran kanan atas yang dikenal dengan trias Charcot, namun semua elemen
tersebut hanya ditemukan pada sekitar 50 persen kasus. Pasien dengan kolangitis supuratif
tampak bukan saja dengan adanya trias charcot tapi juga menunjukkan penurunan
kesadaran dan hipotensi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cameron, demam di
temukan pada lebih dari 90 persen kasus, ikterus pada 67 persen kasus dan nyeri abdomen
hanya pada 42 persen kasus.
Dua hal yang diperlukan untuk terjadinya kolangitis yaitu adanya obstruksi aliran
empedu dan adanya bakteri pada duktus koledokus. Pada sebagian besar kasus, demam
dan mengigil disertai dengan kolangitis menandakan adanya bakteriemia. Biakan darah
yang diambil saat masuk ke rumah sakit untuk kolangitis akut adalah positif pada 40 sampai
50 persen pasien. Pada hampir semua serial Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae
adalah organisme tersering yang didapatkan pada biakan darah. Organisme lain yang
dibiakan dari darah adalah spesies Enterobacter, Bacteroides, dan Pseudomonas.
Dalam serial terakhir species Enterobacter dan Pseudomonas lebih sering
ditemukan, demikian juga isolat gram negatif dan spesies jamur dapat dibiak dari empedu
yang terinfeksi. Adapun organisme anaerobik yang paling sering diisolasi adalah
Bacteroides fragilis. Tetapi, anaerobik lebih jarang ditemukan pada serial terakhir
dibandingkan saat koledokolitiasis merupakan etiologi kolangitis yang tersering.
DIAGNOSIS
Diagnosis kolangitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Pada anamnesis penderita kolangitis dapat ditemukan adanya keluhan demam,
ikterus, dan sakit pada perut kanan atas. Beberapa penderita hanya mengalami dingin dan
demam dengan gejala perut yang minimal. Ikterus atau perubahan warna kuning pada kulit
dan mata didapatkan pada sekitar 80% penderita.
B. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam, hepatomegali, ikterus,
gangguan kesadaran, sepsis, hipotensi dan takikardi.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada sebagian besar
pasien. Hitung sel darah putih biasanya melebihi 13.000. Lekopeni atau trombositopenia
kadang – kadang dapat ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah. Sebagian besar
penderita mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin yang tertinggi terjadi
pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali fosfatase dan transaminase serum
juga meningkat yang menggambarkan proses kolestatik.

Beberapa pemeriksaan radiologis pasien dengan kolangitis adalah:


1. Foto polos abdomen
Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto polos
abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar 15% batu saluran
empedu yang terdiri dari kalsium tinggi dengan gambaran radioopak yang dapat dilihat.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar hidrops, kandung empedu
kadang juga dapat terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang
menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau
edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus
distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di dalam usus. Dengan ultrasonografi
lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai dengan gaya gravitasi.

Gambar. 2 Menunjukkan ultrasonografi dari duktus


intrahepatik yang mengalami dilatasi

3. CT-Scan
CT Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis batu kandung
empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis keganasan pada kandung empedu yang
mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90 persen.

Gambar 3. CT scan yang menunjukkan dilatasi duktus biliaris (panah


hitam) dan
dilatasi duktus pankreatikus (panah putih), dimana keduanya terisi oleh musin
4. ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang menggunakan
lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro intestinal. Endoscope
Retrograde Cholangiopancreotography (ERCP) dapat lebih akurat menentukan penyebab
dan letak sumbatan serta keuntungannya juga dapat mengobati penyebab obstruksi dengan
mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.

Gambar. 4 Menunjukkan endoscope


Cholangiopancreotography
(ERCP) dimana menunjukkan duktus biliaris yang
berdilatasi
pada bagian tengah dan distal (dengan gambaran
feeling defect)
5. Skintigrafi
Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk fungsi hati dan
kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit dengan sensitifitas dan spesifitas sekita
90% sampai 97%. Meskipun test ini paling bagus untuk melihat duktus empedu dan duktus
sistikus, namun skintigrafi bilier tidak dapat mengidentifikasi batu saluran empedu atau
hanya dapat memberikan informasi sesuai dengan letak anatominya. Agent yang digunakan
99m
untuk melakukan test skintigrafi adalah derivat asam iminodiasetik dengan label Tc.
6. Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier melalui prinsip kerja
yang sama dengan skintigrafi tapi dapat memberikan informasi yang lebih jelas. Pasien
diberi pil kontras oral selama 12-16 jam sebelum dilakukan tes. Kemudian kontras tadi
diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh hepar dan di ekskresi ke dalam empedu
dan dikirim ke kandung empedu.
7. Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien dengan
kolangitis. Pada sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan untuk menentukan patologi
biliaris dan penyebab obstruksi saluran empedu sebelum terapi definitif. Jadi, kolangiografi
jarang diperlukan pada awal perjalanan kolangitis dan dengan demikian harus ditunda
sampai menghilangnya sepsi. Kekecualian utama adalah pasien yang datang dengan
kolangitis supuratif, yang tidak berespon terhadap antibiotik saja. Pada kasus tersebut,
kolangiografi segera mungkin diperlukan untuk menegakkan drainase biliaris. Kolangiografi
retrograd endoskopik ataupun kolangiografi transhepatik perkutan dapat digunakan untuk
menentukan anatomi atau patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik tersebut dapat
menyebabkan kolangitis pada sekitar 5 persen pasien. Dengan demikian perlindungan
antibiotik yang tepat harus diberikan sebelum instrumentasi pada semua kasus.

PENATALAKSANAAN
Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal adalah
konservatif. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan perlindungan antiobiok
dimulai. Pasien yang sakit ringan dapat diterapi sebagai pasien rawat dengan antibiotik oral.
Dengan kolangitis supuratif dan syok septik mungkin memerlukan terapi di unit perawatan
insentif dengan monitoring invasif dan dukungan vasopresor.
Pemilihan awal perlindungan antibiotika empiris harus mencerminkan bakteriologi
yang diduga. Secara historis, kombinasi aminoglikosida dan penicillin telah dianjurkan.
Kombinasi ini adalah pilihan yang sangat baik untuk melawan basil gram negatif yang
sering ditemukan dan memberikan antivitas sinergistik melawan enterokokus. Penambahan
metronidazole atau clindamycin memberikan perlindungan antibakterial terhadap
anaerob bakteroides fragilis, jadi melengkapi perlindungan antibiotik. Perlindungan
antibiotik jelas diubah jika hasil biakan spesifik dan kepekaan telah tersedia.
Satu faktor yang seringkali dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik untuk terapi
kolangitis adalah konsentrasi obat yang terdapat dalam empedu. Secara teoritis antibiotik
saluran biliaris yang ideal harus merupakan antibiotik yang bukan saja mencakup organisme
yang ditemukan dengan infeksi saluran biliaris, tetapi juga yang dieksresikan dalam
konsentrasi tinggi ke dalam cairan empedu.

DEKOMPRESI BILIARIS
Sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) dengan kolangitis akut akan berespon
terhadap terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes fungsi hati
kembali ke normal seringkali dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan
perbaikan atau malahan memburuk dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris
darurat harus dipertimbangkan. Pada sebagian besar kasus, dekompresi biliaris segera
paling baik dilakukan secara non operatif baik dengan jalur endoskopik maupun perkutan.
Yaitu:

a. Penanggulangan sfingterotomi endoskopik


Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah semakin
buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu dan nanah serta
membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier. Apabila batu
duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik
mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini mungkin dianjurkan litotripsi
terlebih dahulu.
b. Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu
kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama satu sampai
dua tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu dengan metil
eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif walaupun kerap
disertai dengan penyulit
ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalah penghancuran batu saluran
empedu dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi dengan pencitraan
flouroskopi sebelum prosedur, diperlukan sfingterotomi endoskopik dan pemasangan kateter
nasobiliaris untuk memasukkan material kontras. Terapi dilanjutkan sampai terjadi
penghancuran yang adekuat atau telah diberikan pelepasan jumlah gelombang kejut yang
maksimum.
c. PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)
Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai
salah satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus
berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan pipa T
pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop dari luar untuk membantu
mengambil batu intrahepatik.

ADAPUN PEMBEDAHAN-PEMBE DAHAN YANG DILAKUKAN :


A. Kolesistektomi Terbuka
Karl Legenbach dari Jerman telah melakukan kolesistektomi elektif yang pertama
pada tahun 1882. Lebih dari satu abad kolesistektomi terbuka dijadikan standar untuk
metode terapi pembedahan pada sistem empedu. Kolesistektomi membutuhkan anestesi
umum kemudian dilakukan irisan pada bagian anterior dinding abdomen dengan panjang
irisan 12 – 20 cm.

Tekhnik operasi untuk kolesistektomi terbuka


Tidak ada aturan yang kaku tentang jenis insisi yang terbaik. Insisi digaris tengah,
paramedian kanan, transversal dan insisi subkostal dapat dilakukan, tergantung pada pilihan
ahli bedah. Kriteria penting adalah pemaparan yang adekuat untuk diseksi serta eksplorasi.
Pilihannya adalah insisi subkostal kanan (Kocher) sebagai salah satu insisi yang paling
serba guna dalam diseksi kandung empedu dan saluran empedu.(3,12)

Gambar insisi untuk pembedahan sistem bilier


Terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang pengangkatan kandung empedu
secara antegrad (diseksi dimulai di fundus) atau retrograd (diseksi dimulai di porta). Jika
anatomi porta tidak dikaburkan oleh peradangan yang parah, maka pilihannya adalah
memulai diseksi pada porta. Dengan traksi pada kandung empedu menggunakan klem yang
dipasang di fundus dan kantung Hartman, peritoneum yang menutupi segitiga Calot diinsisi
dan disisihkan dengan diseksi tumpul. Arteri sistikus diidentifikasi, diligasi ganda atau diklem
ganda, dan lalu dipotong, meninggalkan puntung sekurangnya 1sampai 2 mm.
Gambar langkah-langkah teknik kolesistektomi
Pemotongan arteri mempermudah identifikasi saluran sistikus. Memperhatikan
anomali yang sering terjadi adalah penting pada tahapan ini. Anomali yang cukup sering
adalah masuknya saluran sistikus ke saluran hepatik kanan, anomali lain adalah masuknya
saluran hepatik asesorius kanan yang cukup besar ke saluran sistikus. Sangat penting
bahwa struktur saluran yang dipotong sampai anatomi sistem saluran yang tepat telah
diketahui. Persambungan saluran sistikus dengan saluran empedu harus ditunjukkan secara
jelas. Jika kandung empedu mengandung batu kecil atau lumpur, saluran sistikus diikat
dengan jahitan atau klem tunggal pada tempat keluarnya dari kandung empedu, untuk
mencegah batu atau lumpur masuk ke dalam saluran empedu selama diseksi. Menegakkan
anatomi pada tahap operasi ini dilakukan dengan kolangiografi operatif.
* Kolangiografi operatif
Kolangiografi operatif dilakukan secara rutin karena dua alasan. Pertama, untuk
mendapatkan peta anatomik di daerah yang sering mengalami anomali. Kedua yang sama
pentingnya adalah untuk menyingkirkan batu saluran empedu yang tidak dicurigai, dengan
insidensi setinggi 5 sampai 10 persen.
Kolangiografi dilakukan dengan menggunakan salah satu dari sekian banyak kanula
kolangiografik yang dapat digunakan (Berci, Lehman, Colangiocath, dll). Pilihannya adalah
kolesistektomi terbuka adalah kanula Berci bersudut untuk mempermudah insersi dan
fiksasi. Insisi dibuat disaluran sistikus pada titik yang aman setelah persambungan sistikus
dan saluran empedu (biasanya sekurangnya 2,0 cm). Insisi harus cukup besar untuk
memasukkan kanula atau kateter, yang dapat diinsersikan jika empedu terlihat mengalir dari
lumen. Kanula lalu dipertahankan di tempatnya dengan hemoklip medium atau klem khusus.
Material kontras untuk kolangiografi adalah hypaque 25 persen. Sistem operasi yang paling
disukai untuk kolangiografi, menggunakan fluorokolangiografi dengan penguatan citra
(image intensifier) serta monitor televisi . Ini memungkinkan pengisian saluran empedu
secara lambat dan pemaparan multiple sistem saluran saat sedang diisi.
* Laparoskopi Kolesistektomi
Kolesistektomi laparoskopi adalah cara yang invasif untuk mengangkat batu empedu
dengan menggunakan teknik laparoskopi. Prosedur menjadi populer pada tahun 1988 dan
telah berkembang dengan cepat. Indikasi untuk operasi adalah batu empedu, polip
simtomatik dan penyulit akibat batu. Kontraindikasinya adalah sepsis abdomen, gangguan
pendarahan, kehamilan dan tidak mampu melihat saluran empedu. Teknik ini adalah
perawatan yang singkat dan dapat kembali beraktifitas dengan normal. Penyulitnya adalah
adanya cidera saluran empedu, perdarahan, kebocoran empedu dan cidera akibat trokar.

Gambar 5 Lokasi kanula untuk kolesistektomi laparoskopi.

Gambar 6. Lokasi kanula dan susunan awal untuk kolesistektomi laparoskopi


KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis terutama yang derajat tinggi (kolangitis
supuratif) adalah sebagai berikut:
A. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak
dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua sebagai
komplikasi penyakit saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada saluran empedu
intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses
multiple.7
B. Bakteremia , sepsis bakteri gram negatif(9)
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%). Komplikasi
bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama penyebab terjadinya
kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15%.
C. Peritonitis sistem bilier
Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis. Jika
empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang mempunyai
resiko tinggi yang sangat fatal.
D. Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau pada
eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang sangat
fatal adalah tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.
E. Perdarahan
Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat mengalami
trauma dan perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang terjadi kadang
susah untuk dikontrol.
D. Kolangitis asendens dan infeksi lain
Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada pembedahan
sistem bilier yang merupakan anastomosis yang dibentuk antara duktus empedu dan usus
besar bagian asendens. Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut menjadi infeksi aktif
sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus yang menyebabkan drainase tidak
adekuat.
Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier adalah abses
subprenikus. Hal ini harus dijaga pada pasien yang mengalami demam beberapa hari
setelah operasi.
Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian kateter pada pasien yang diterapi
dengan perkutaneus atau drainase endoskopik adalah:
* Perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus)
* Sepsis
PROGNOSIS
Tergantung berbagai faktor antara lain :

Pengenalan dan pengobatan diri


Pada kasus kolangitis dibutuhkan pengobatan antibiotik secara dini dan diikuti
dengan drainase yang tepat serta dekompresi traktus biliaris.
Respon terhadap terapi
Semakin baik respon penderita kolangitis terhadap terapi yang diberikan (misalnya
antibiotik) maka prognosisnya akan semakin baik.
Namun sebaliknya, respon yang jelek akan memperberat penyakit tersebut.
Kondisi Kesehatan Penderita
Sistem pertahanan tubuh penderita merupakan salah satu faktor yang menentukan
prognosis penyakit ini. Biasanya penderita yang baru pertama kali mengalaminya dan
berespon baik terhadap terapi yang diberikan, prognosisnya akan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Barbara C. Long (1996), Perawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan, The C.V Mosby Company St. Louis, USA.
2. Barbara Engram (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah Jilid
I,Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3. CM Townsend, RD Beauchamp et al., 2004. Sabiston Textbook of Surgery,
Biological basis of modern surgical practice, 17th Ed, Elsevier-Saunders
4. CT Albanese, JT Anderson et al., 2006. Current surgery diagnosis and treatment.
Mc Graww Hill Companies.
5. FC Brunicardi, DK Andersen et al., 2007. Schwartz Principle’s of Surgery, 8thEd. Mc
Graww Hill Companies.
6. Marylin E. Doenges (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3, Penerbit Buku
Kedoketran EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai