Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DAN


PILIHAN METODE BUNUH DIRI

Diajukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian Kepaniteraan Senior


di bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Disusun oleh:
Camelia Qonita Najah 22010119210008 UNDIP
Eleonora Nada Klarissa 22010118220222 UNDIP
Hernanda Haudzan Hakim 22010118220079 UNDIP
Pratiwi Diah Pitaloka 22010118220080 UNDIP
Shaura Ladayna Isma 22010117220063 UNDIP
Yohanes Andressa Nugroho 22010119210002 UNDIP

Dosen penguji:
dr. Bianti Hastuti Machroes, MH, Sp.KF

Pembimbing:
dr. Chotimah Z.

KEPANITERAAN SENIOR BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Pilihan Metode Bunuh Diri”. Penulisan
referat ini dilakukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepanitraan senior di
bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal di Rumah Sakit Umum Pusat
Dr. Kariadi Semarang.
Penulis menyadari sangatlah sulit untuk menyelesaikan referat ini tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan
terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Bianti Hastuti Machroes, MH, Sp.KF selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan arahan dalam penyusunan referat ini.
2. dr. Chotimah Z. selaku residen pembimbing yang telah menyediakan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penyusunan referat ini.
3. Seluruh rekan-rekan kepaniteraan senior bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang atas
kebersamaan dan kerja sama yang telah terjalin selama ini.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari bahwa referat ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat diharapkan oleh penulis. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi
kita semua.

Semarang, November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1

A. Latar belakang......................................................................................... 1

B. Rumusan masalah ................................................................................... 2

C. Tujuan ..................................................................................................... 2

D. Manfaat ................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3

I. INDEKS MASSA TUBUH (IMT) ......................................................... 3

A. Definisi Indeks Massa Tubuh (IMT) ............................................... 3

B. Cara perhitungan Indeks Massa Tubuh ........................................... 3

C. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) ........................................... 3

D. Faktor yang mempengaruhi Indeks Massa Tubuh (IMT) ................ 4

II. BUNUH DIRI ......................................................................................... 5

A. Definisi bunuh diri ........................................................................... 5

B. Faktor resiko bunuh diri ................................................................... 5

C. Metode bunuh diri .......................................................................... 10

III. HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN PEMILIHAN

METODE BUNUH DIRI ..................................................................... 18

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Indeks Massa Tubuh (IMT), yang sebelumnya disebut dengan indeks
Quetelet, adalah ukuran untuk menunjukkan status gizi pada orang dewasa. IMT
didefinisikan sebagai berat seseorang dalam kilogram dibagi dengan kuadrat
tinggi seseorang dalam meter (kg/m2). IMT juga dapat digunakan pada anak dan
remaja. Pengukuran IMT dikembangkan sebagai indikator resiko penyakit;
dengan meningkatnya IMT, meningkat pula resiko beberapa penyakit seperti
penyakit kardiovaskular, osteoarthritis, dan diabetes.1
Bunuh diri merupakan sebuah tindakan yang dilakukan dengan sukarela dan
sengaja untuk mengakhiri hidup diri sendiri.2 Berdasarkan data World Health
Organization (WHO), di dunia ini hampir 800.000 orang meninggal akibat
bunuh diri setiap tahunnya, dan di Indonesia angka kejadian bunuh diri pada
tahun 2016 diestimasikan sebanyak 3,4 kasus per 100.000 penduduk dengan
rerata kejadian pada Asia Tenggara sebanyak 13,2 kasus per 100.000
penduduk.3,4 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kasus bunuh diri terbanyak
di Jawa Tengah sebanyak 331 kasus. Pada setiap kejadian bunuh diri, lebih
banyak orang yang mencoba untuk bunuh diri. Percobaan bunuh diri sebelumnya
adalah satu-satunya faktor resiko yang paling penting untuk terjadinya bunuh
diri pada keseluruhan populasi. Bunuh diri adalah penyebab kematian nomor dua
pada anak usia 15 – 29 tahun. 79% bunuh diri terjadi di negara-negara dengan
penghasilan menengah ke bawah. Terdapat berbagai metode bunuh diri.
Gantung, intoksikasi, dan dengan senjata api merupakan metode bunuh diri yang
paling sering digunakan di dunia.3
Wingren dan Ottosson berpendapat bahwa peningkatan IMT dikaitkan
dengan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Hal ini mungkin disebabkan karena
individu dengan nilai IMT di atas normal memilih metode bunuh diri yang lebih
tidak mematikan. IMT yang lebih rendah telah terbukti terkait dengan metode
gantung. Namun, masih sedikit diketahui mengenai hubungan dengan metode
bunuh diri yang berbeda.5

1
II. RUMUSAN MASALAH
a. Adakah terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan pemilihan
metode bunuh diri?
b. Bagaimanakah hubungan antara indeks massa tubuh dengan pemilihan
metode bunuh diri?
III. TUJUAN
a. Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara indeks massa tubuh dengan pemilihan
metode bunuh diri.
b. Tujuan khusus
i. Mengetahui definisi indeks massa tubuh
ii. Mengetahui cara penghitungan indeks massa tubuh
iii. Mengetahui klasifikasi indeks massa tubuh
iv. Mengetahui faktor yang mempengaruhi indeks massa tubuh
v. Mengetahui definisi bunuh diri
vi. Mengetahui faktor resiko bunuh diri
vii. Mengetahui metode bunuh diri
IV. MANFAAT
Manfaat dari penulisan referat ini adalah untuk menambah informasi
mengenai hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan pemilihan metode
bunuh diri antaralain mengenai indeks massa tubuh (IMT) dan faktor resiko serta
metode bunuh diri.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. INDEKS MASSA TUBUH (IMT)


A. Definisi Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks massa tubuh (IMT) disebut juga dengan Quetelet Index, yang
digunakan untuk menilai status gizi pada seorang individu, namun tidak
dapat mengukur lemak tubuh secara langsung. Pengukuran dan penilaian
menggunakan IMT berhubungan dengan kekurangan dan kelebihan status
gizi. Gizi kurang dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit infeksi dan
gizi lebih dengan akumulasi lemak tubuh berlebihan meningkatkan risiko
menderita penyakit degeneratif.1
B. Cara perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Rumus untuk mengetahui nilai IMT dapat dihitung dengan rumus
metrik berikut:
IMT = Berat badan (Kg ) : [Tinggi badan (m)]2
Orang dewasa yang berusia 20 tahun keatas, indeks massa tubuh
(IMT) diinterpretasikan menggunakan kategori status berat badan standar
yang sama untuk semua umur bagi laki-laki dan perempuan. Interpretasi
IMT pada anak-anak dan remaja adalah spesifik mengikut usia dan jenis
kelamin.1
C. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT)
Kategori Kg/m2
Underweight < 18.5
Normal 18.5 - 24.9
Pre-Obes 25.0 - 29.9
Obesity Class I 30.0 - 34.9
Obesity Class II 35.0 – 39.9
Obesity Class III >40.0
Tabel 1. Klasifikasi IMT berdasarkan World Health Organization (WHO)1

3
Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) (kg/m2)

Kurus IMT < 18,5


Normal IMT ≥18,5 - <24.9
Berat Badan Lebih IMT ≥25,0 - <27.0
Obesitas IMT ≥27,0
Tabel 2. Klasifikasi IMT berdasarkan Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia6
D. Faktor yang mempengaruhi Indeks Massa Tubuh (IMT)
a. Usia
Penelitian yang dilakukan oleh Tungtrochitr dan Lotrakul
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia
yang lebih tua dengan IMT kategori obesitas. Subjek penelitian pada
kelompok usia 40-49 dan 50- 59 tahun memiliki risiko lebih tinggi
mengalami obesitas dibandingkan kelompok usia kurang dari 40 tahun.
Keadaan ini dicurigai oleh karena lambatnya proses metabolisme,
berkurangnya aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan yang lebih
sering.7
b. Jenis kelamin
IMT dengan kategori kelebihan berat badan lebih banyak ditemukan
pada laki-laki. Namun, angka kejadian obesitas lebih tinggi pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Data dari National Health
and Nutrition Examination Survey (NHANES) periode 1999-2000
menunjukkan tingkat obesitas pada laki-laki sebesar 27,3% dan pada
perempuan sebesar 30,1% di Amerika.8
c. Pola makan
Pola makan adalah pengulangan susunan makanan yang terjadi saat
makan. Pola makan berkenaan dengan jenis, proporsi dan kombinasi
makanan yang dimakan oleh seorang individu, masyarakat atau
sekelompok populasi. Makanan cepat saji berkontribusi terhadap
peningkatan indeks massa tubuh sehingga seseorang dapat menjadi
obesitas. Hal ini terjadi karena kandungan lemak dan gula yang tinggi
pada makanan cepat saji. Selain itu peningkatan porsi dan frekuensi

4
makan juga berpengaruh terhadap peningkatan obesitas. Orang yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak lebih cepat mengalami
peningkatan berat badan dibanding mereka yang mongkonsumsi
makanan tinggi karbohidrat dengan jumlah kalori yang sama.8
d. Aktifitas fisik
Aktifitas fisik menggambarkan gerakan tubuh yang disebabkan oleh
kontraksi otot menghasilkan energi ekspenditur. Menjaga kesehatan
tubuh membutuhkan aktifitas fisik sedang atau bertenaga serta
dilakukan hingga kurang lebih 30 menit setiap harinya dalam seminggu.
Penurunan berat badan atau pencegahan peningkatan berat badan dapat
dilakukan dengan beraktifitas fisik sekitar 60 menit dalam sehari.9
II. BUNUH DIRI
A. Definisi bunuh diri
Bunuh diri adalah sebuah tindakan yang dengan sengaja mengakhiri
hidup diri sendiri. Pikiran (selanjutnya disebut "perilaku bunuh diri")
diklasifikasikan secara lebih spesifik ke dalam tiga kategori: ide bunuh diri,
yang mengacu pada pemikiran untuk terlibat dalam perilaku yang
dimaksudkan untuk mengakhiri hidup sendiri; rencana bunuh diri, yang
mengacu pada perumusan metode tertentu yang menyebabkan kematian;
dan upaya bunuh diri, yang mengacu pada keterlibatan dalam perilaku
berpotensi melukai diri sendiri di mana setidaknya ada beberapa niat untuk
mati.10
Sedangkan menurut who bunuh diri merupakan tindakan sengaja
membunuh diri, yang biasanya dipengaruhi oleh faktor gangguan mental
maupun akibat masalah ekonomi.3 Bunuh diri juga diartikan sebagai
seseorang yang secara sadar dan mau untuk mengakhiri hidupnya sendiri.11
B. Faktor resiko bunuh diri
1. Faktor Resiko Sistem Kesehatan dan Masyarakat
a. Halangan Memperoleh Bantuan Kesehatan
Risiko bunuh diri meningkat secara signifikan dengan
komorbiditas. Akses dan waktu yang tepat serta efektif ke
perawatan kesehatan sangat penting untuk mengurangi risiko

5
bunuh diri. Namun, sistem kesehatan di Indonesia dan banyak
negara lain biasanya terlalu kompleks atau sumber dayanya
terbatas. Stigma negatif terkait dengan mencari bantuan untuk
percobaan bunuh diri dan gangguan mental terus menambah
kesulitan lain, mengarah pada akses perawatan yang tidak tepat dan
ke risiko bunuh diri yang lebih tinggi.12
b. Akses ke Sarana yang Membahayakan
Akses ke sarana bunuh diri adalah faktor risiko utama bunuh
diri. Akses langsung atau kedekatan dengan sarana (termasuk
pestisida, senjata api, ketinggian, rel kereta api, racun, obat-obatan,
sumber karbon monoksida seperti mobil knalpot atau arang, dan
hipoksia dan beracun lainnya gas) meningkatkan risiko bunuh
diri.12
c. Pemberitaan Media yang Tidak Pantas
Praktik pelaporan media yang tidak tepat dapat
mengagungkan dan membuat bunuh diri menjadi sensasional,
serta dapat meningkatkan risiko "peniru"bunuh diri (peniruan
bunuh diri) di antara orang-orang yang rentan. Praktik pelaporan
media yang tidak tepat ketika mereka dengan sengaja melaporkan
kasus bunuh diri selebritas, metode bunuh diri yang tidak biasa,
perlihatkan gambar atau informasi tentang metode yang
digunakan, atau menormalkan bunuh diri sebagai cara yang dapat
diterima ketika menanggapi krisis atau kesulitan.12
d. Stigma Masyarakat
Stigma negatif pada individu yang mencari bantuan untuk
perilaku bunuh diri,masalah kesehatan mental atau
penyalahgunaan zat, atau tekanan emosional lain terus ada di
masyarakat dan dapat menjadi penghalang besar bagi individu
yang butuh bantuan. Stigma juga dapat mengecilkan hati teman dan
keluarga orang-orang yang rentan dari menyediakan mereka
dukungan yang mungkin mereka butuhkan.12

6
2. Faktor Resiko Komunitas dan Hubungan Antar Individu
a. Perang, Bencana dan Konflik
Pengalaman melalui bencana alam, perang dan konflik dapat
meningkatkan resiko bunuh diri karena memiliki dampak yang
merusak hubungan sosial, kesehatan, tempat tinggal, pekerjaan
serta keamanan.12
b. Trauma
Trauma atau pelecehan meningkatkan tekanan emosional
dan mungkin memicu depresi dan perilaku bunuh diri pada orang
yang sudah rentan. Stresor psikososial terkait dengan bunuh diri
dapat timbul dari berbagai jenis trauma (termasuk penyiksaan,
khususnya pada pencari suaka dan pengungsi),krisis disiplin atau
hukum, masalah keuangan, akademik atau masalah terkait
pekerjaan, dan bullying.12
c. Diskriminasi
Diskriminasi terhadap subkelompok dalam populasi dapat
terjadiberkelanjutan, endemik dan sistemik. Hal ini dapat
menyebabkan individu dapaat terus mengalami peristiwa
kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan kebebasan,
penolakan, stigmatisasi, dan kekerasan yang mungkin terjadi dan
membangkitkan perilaku bunuh diri.Beberapa contoh hubungan
antara diskriminasi dan bunuh diri termasuk orang yang dipenjara
atau ditahan, lesbian, gay, biseksual,transgender dan interseks,
orang yang terkena dampak intimidasi, cyberbullying, dan
viktimisasi sebaya, pengungsi, pencari suaka dan migran.12
d. Perasaan Terisolasi dan Kurangnya Dukungan
Isolasi terjadi ketika seseorang merasa terputus dari
lingkaran sosial terdekatnya, seperti mitra, anggota keluarga,
teman sebaya, dan orang penting lainnya. Isolasi sering
menyebabkan depresi dan perasaan kesepian serta putus asa.
Ditambah dengan faktor-faktor lain, hal ini dapat menyebabkan
peningkatan risiko perilaku bunuh diri.12

7
3. Faktor Resiko Individu
a. Percobaan Bunuh Diri Sebelumnya
Sejauh ini indikator terkuat untuk risiko bunuh diri di masa
depan adalah satu atau lebih banyak upaya bunuh diri sebelumnya.
Bahkan satu tahun setelah upaya bunuh diri, risiko bunuh diri dan
kematian dini dari penyebab lainnya tetap tinggi.12
b. Gangguan Mental
Di negara-negara berpenghasilan tinggi, gangguan mental
munculhingga 90% dari orang yang mati karena bunuh diri, dan di
antara10% tanpa diagnosis yang jelas, gejala kejiwaanmenyerupai
orang-orang yang mati karena bunuh diri. Faktor risiko ini harus
memerlukan pendekatan yang hati-hati.Depresi, gangguan
penggunaan narkoba dan perilaku antisosial merupakan gangguan
mental yang relatif umum diderita dan kebanyakan orang yang
menderita dari mereka tidak akan menampilkan keinginan untuj
bunuh diri. Namun,orang yang meninggal karena bunuh diri atau
melakukan upaya bunuh diri mungkin memiliki komorbiditas
kejiwaan yang signifikan. Risiko bunuh diri bervariasi dengan jenis
kelainan, dan kelainan yang paling umum terkait dengan perilaku
bunuh diri adalah depresi dangangguan penggunaan alkohol.12
c. Penggunaan Alkohol
Semua gangguan penggunaan narkoba meningkatkan risiko
bunuh diri. Alkohol dan gangguan penggunaan zat lainnya
ditemukan di 25-50% dari semua kasus bunuh diri, dan risiko
bunuh diri lebih lanjut meningkat jika alkohol atau penggunaan zat
bersifat berkomorbid dengan yang gangguan kejiwaan lain. Dari
semua kematian akibat bunuh diri, 22% bisa jadi dikaitkan dengan
penggunaan alkohol, yang berarti setiap seperlimab unuh diri tidak
akan terjadi jika alkohol tidak dikonsumsi.12
d. Bangkrut dan Kehilangan Pekerjaan
Kehilangan pekerjaan, penyitaan rumah dan ketidakpastian
keuangan menyebabkan peningkatan risiko bunuh diri melalui

8
komorbiditas dengan faktor risiko lain seperti depresi, kecemasan,
kekerasan dan penggunaan alkohol yang berbahaya.12
e. Kehilangan Harapan
Keputusasaan, sebagai aspek kognitif psikologis, sering
digunakan sebagai indikator bunuh diri risiko ketika digabungkan
dengan gangguan mental atau upaya bunuh diri sebelumnya. Tiga
aspek utama keputusasaan berhubungan dengan perasaan
seseorang tentang masa depan, kehilangan motivasi dan harapan.12
f. Penyakit Kronik
Nyeri kronis dan penyakit adalah faktor risiko penting untuk
bunuh diri. Perilaku bunuh diri ditemukan 2−3 kali lebih tinggi
pada mereka yang menderita sakit kronis dibandingkan dengan
populasi umum. Penyakit yang berhubungan dengan rasa sakit,
cacat fisik, gangguan perkembangan saraf dan stress
meningkatkan risiko bunuh diri.Ini termasuk kanker, diabetes dan
HIV / AIDS.12
g. Riwayat Keluarga Bunuh Diri
Bunuh diri yang dilakukan oleh anggota keluarga atau
komunitas dapat menjadi hal khusus yang memengaruhi dan
mengganggu kehidupan seseorang. Kehilangan seseorang yang
dicintai dapat menghancurkan kehidupan kebanyakan orang. Hal
tersebut dapat mengakibatkan kesedihan, stres, rasa bersalah,
malu, marah, kecemasan dan kesusahan bagi anggota keluarga dan
orang-orang terkasih. Kehidupan keluarga bisa berubah, sumber
dukungan yang biasa mungkin terganggu, dan stigma negatif dapat
menghalangi pencarian bantuan kesehatan.12
h. Faktor Biologis
Perubahan genetik atau gangguan perkembangan dalam
sejumlah sistem neurobiologis dikaitkan dengan perilaku bunuh
diri. Misalnya, kadar serotonin yang rendah berhubungan dengan
upaya bunuh diri yang serius pada pasien dengan gangguan mood,
skizofrenia dan gangguan kepribadian. Riwayat bunuh diri

9
keluarga merupakan faktor risiko yang kuat untuk bunuh diri dan
percobaan bunuh diri.12

Gambar 1. Faktor Resiko Bunuh Diri12

C. Metode bunuh diri


Masing-masing negara memiliki perbedaan dalam metode bunuh
diri yang digunakan. Tiga metode – gantung, keracunan, senjata api – adalah
metode bunuh diri yang paling umum dilakukan pada negara tertentu.
Melompat dari ketinggian dan metode keracunan lainnya seperti overdosis
obat-obatan terkadang muncul sebagai metode alternatif untuk bunuh diri.13
Di Amerika Serikat, bunuh diri menggunakan senjata api adalah
metode yang paling sering digunakan, dengan persentase 61% pada laki-
laki dan 39% pada perempuan. Namun, senjata api jarang digunakan pada
negara-negara lain di benua Amerika, dimana laki-laki maupun perempuan
lebih sering menggunakan metode bunuh diri dengan keracunan dan
gantung.14 Di Afrika Selatan, metode yang paling sering digunakan adalah

10
gantung (69% pada pria dan 41% pada wanita), diikuti metode bunuh diri
dengan keracunan menggunakan pestisida dan obat-obatan (35%,
kebanyakan pada perempuan).14 Sementara di Asia, secara keseluruhan,
paling sering menggunakan metode bunuh diri dengan gantung dan
keracunan.14 Di negara-negara Eropa, metode bunuh diri dengan gantung,
senjata api, dan melompat dari ketinggian menjadi pilihan pada kaum laki-
laki, sementara kaum perempuan lebih banyak menggunakan metode bunuh
diri dengan gantung, keracunan, dan melompat dari ketinggian.14 Di negara
Australia dan Selandia Baru, metode bunuh diri dengan gantung dan senjata
api menjadi pilihan pada kaum laki-laki, sementara metode bunuh diri
dengan gantung dan keracunan menjadi pilihan pada kaum perempuan di
negara tersebut.14
Metode bunuh diri diklasifikasikan menjadi dua kategori utama
yaitu metode dengan kekerasan (violent methods) dan metode bunuh diri
dengan bukan kekerasan (non-violent methods). Metode-metode yang
termasuk dalam metode bunuh diri dengan kekerasan diantaranya: a)
gantung diri (hanging), b) senjata api (firearm), c) potong/tusuk
(cutting/stabbing), d) melompat dari ketinggian (jumping from height), e)
tabrak dengan kendaraan (vehicular impact). Sedangkan metode-metode
yang termasuk dalam bunuh diri dengan bukan kekerasan antara lain: a)
peracunan (poisoning), termasuk diantaranya konsumsi pestisida, overdosis
obat dan alkohol, racun oleh gas, dan b) sufokasi (suffocation).15
1. Gantung diri (hanging)
Gantung merupakan salah satu metode bunuh diri yang sangat
umum digunakan di sebagian besar negara.13 Metode ini adalah suatu
bentuk dari asfiksia dimana seluruh atau sebagian dari berat tubuh
seseorang ditahan di bagian lehernya oleh suatu benda dengan
permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga
daerah tersebut mengalami tekanan. Kematian dapat terjadi akibat
asfiksia, gangguan sirkulasi darah ke otak, syok karena refleks vagal,
dan kerusakan medulla spinalis. Metode ini berbeda dari pencekikan
oleh pengikat, dimana leher dibatasi oleh kekuatan dari luar.13,16

11
Tingginya insidensi bunuh diri dengan gantung disebabkan karena
alat-alat yang digunakan mudah diakses dan sederhana untuk
digunakan tanpa perlu perencanaan dan pengetahuan teknis.17 Alat-alat
yang digunakan antara lain ligatur atau alat penjerat (seperti tali, ikat
pinggang, flex) dan titik ligatur (seperti pegangan tangga, kenop pintu,
kait, pohon) mudah ditemukan dan dijangkau.18 Karena alasan tersebut,
pencegahan bunuh diri dengan metode gantung merupakan suatu tugas
yang sulit.19
Pemeriksaan di TKP penting untuk menjelaskan bila ada luka di
tubuh korban. Bila tergantung dekat dinding mungkin ada tonjolan yang
dapat melukai korban menjelang kematian. Keadaan di TKP (tempat
kejadian perkara) dimana korban ditemukan biasanya tenang, dalam
ruang atau tempat yang tersembunyi atau pada tempat yang sudah tidak
dipergunakan. Posisi korban yang tergantung lebih mendekati lantai,
berbeda dengan pembunuhan dimana jarak antara kaki dengan lantai
cukup lebar. Pakaian korban rapi, sering didapatkan surat peninggalan
pada saku, yang isinya adalah alasan mengapa ia melakukan tindakan
nekat tersebut. Simpul alat penjerat biasanya simpul hidup.20
2. Peracunan (poisoning)
Bunuh diri dapat dilakukan dengan menggunakan zat-zat beracun
yang tingkat toksisitasnya tinggi terhadap manusia. Zat-zat yang
digunakan dapat berupa pestisida, obat-obatan (golongan barbiturat,
analgesik), asam sianida, inhalasi gas CO, dan bahkan beberapa
tumbuhan seperti Atropa belladonna, Jatropha curcas, biji jarak, dan
masih banyak lagi. Namun, zat-zat yang paling sering digunakan pada
metode ini adalah pestisida, obat-obatan, dan gas karbon monoksida.
a. Pestisida
Di seluruh dunia, 30% kasus bunuh diri berasal dari
keracunan pestisida. Namun, penggunaan metode ini sangat
bervariasi di berbagai wilayah di dunia, dari 4% di Eropa hingga
lebih dari 50% di wilayah Pasifik. Sebuah studi menunjukkan,
dengan menggabungkan data dari enam wilayah, perkiraan

12
mengenai jumlah kasus bunuh diri menggunakan pestisida setiap
tahunnya di seluruh dunia adalah 258.234 dengan kisaran yang
masuk akal dari 233.997 hingga 325.907. Ini menyumbang 30%
(kisaran 27% hingga 37%) dari semua kasus bunuh diri secara
global. Perkiraan proporsi kasus bunuh diri yang disebabkan oleh
keracunan pestisida sangat bervariasi di enam wilayah menurut
WHO: di Eropa diperkirakan 3,7% dari kasus bunuh diri
menggunakan pestisida, Amerika: 4,9%, Mediterania Timur:
16,5%, Afrika: 22,9%, Asia Tenggara : 20,7%, dan Pasifik Barat:
55,8%. Berdasarkan studi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kasus
bunuh diri dengan pestisida paling banyak terjadi di negara-negara
berpenghasilan rendah.21
Kasus bunuh diri dengan pestisida dikaitkan dengan tingkat
fatalitas antara 1% – 70%, tergantung dari jenis pestisida yang
digunakan. Paraquat dan aluminium phosphide memiliki tingkat
fatalitas lebih dari 70%, sedangkan tingkat fatalitas untuk
insektisida organophosphorus (OP) dimethoate dan chlorpyrifos
masing-masing adalah 23% dan 8%.21
b. Overdosis obat dan alkohol
Keracunan merupakan salah satu metode bunuh diri yang
umum digunakan dan sekitar 75% kasus kematian akibat bunuh diri
dengan metode ini disebabkan karena overdosis obat-obatan dan
alkohol. Jenis obat yang digunakan dapat berupa obat-obatan yang
diresepkan, obat-obatan yang dijual bebas, maupun obat-obatan
terlarang. Penggunaan tunggal obat-obatan yang diresepkan seperti
golongan opioid, benzodiazepine, dan antidepresan (oxycodone,
diazepam, fluoxetine) merupakan kasus overdosis yang paling
sering terjadi, dimana mewakili 79% kasus bunuh diri dengan
overdosis. Obat-obatan yang dijual bebas seperti asetaminofen
adalah jenis zat utama kedua yang digunakan untuk bunuh diri.
Mereka mewakili 10% kasus bunuh diri dengan overdosis.
Sementara overdosis obat-obatan terlarang dan alkohol

13
menunjukkan proporsi kecil dari kasus bunuh diri degan metode ini,
masing-masing 2% dan kurang dari 1% kasus. Overdosis dapat
terjadi dengan menggunakan satu jenis zat saja maupun kombinasi
dari zat-zat tersebut. Kombinasi zat-zat tersebut dapat berupa
kombinasi obat resep dengan alkohol, obat resep dengan obat yang
dijual bebas, obat terlarang dengan obat resep, dan sebagainya.22
c. Gas karbon monoksida
Keracunan gas karbon monoksida terjadi saat seseorang
menghirup gas tersebut pada tingkat yang berlebihan.23 Karbon
monoksida adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau
sehingga keberadaannya tidak dapat dideteksi menggunakan
penglihatan maupun penciuman.24 Karbon monoksida diproduksi
selama pembakaran tidak lengkap bahan organik. Hal tersebut dapat
terjadi dari kendaraan bermotor, pemanas, atau peralatan memasak
yang menggunakan bahan bakar berbasis karbon.24,25 Cara kerjanya
yaitu berikatan dengan hemoglobin membentuk
karboksihemoglobin (HbCO), mencegah darah untuk membawa
oksigen.24 Di masa lalu, metode ini dilakukan dengan menyalakan
mesin kendaraan bermotor di ruang tertutup seperti garasi. Insidensi
bunuh diri dengan metode ini melalui pembakaran arang, seperti
barbekyu di ruang tertutup, tampaknya telah meningkat. Namun,
upaya yang gagal dapat menyebabkan korban mengalami kerusakan
otak parah akibat anoksia serebral.26
3. Senjata api (firearm)
Di seluruh dunia, prevalensi bunuh diri menggunakan senjata api
sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan senjata api dalam suatu
budaya. Penggunaan senjata api dalam kasus bunuh diri berkisar dari
kurang dari 10% di Australia hingga 50,5% di Amerika Serikat, dimana
metode ini adalah salah satu metode bunuh diri yang paling umum
dilakukan.27,28 Terdapat hubungan positif antara ketersediaan senjata
api dengan peningkatan risiko bunuh diri.29 Hubungan tersebut paling
kuat ditemukan di negara Amerika Serikat.30

14
Pada metode ini secara umum senjata akan diarahkan ke jarak dekat,
seringnya pada pelipis atau, lebih jarang, ke dalam mulut, di bawah
dagu, dan di dada. Bila pasien bertahan dari luka tembak tersebut,
pasien dapat merasakan rasa sakit yang parah, mengalami penurunan
fungsi kognitif dan motorik, dan untuk senjata yang diarahkan pada
daerah kepala dapat terjadi perdarahan subdural, pneumocephalus,
kebocoran cairan serebrospinal, dimana abses lobus temporal,
meningitis, afasia, hemianopsia, dan hemiplegia menjadi komplikasi
intrakranial lanjut yang sering terjadi. Sebanyak 50% orang yang
selamat dari luka tembak yang diarahkan pada tulang temporal
menderita kerusakan saraf wajah, biasanya karena saraf yang terputus.31
4. Potong atau tusuk (cutting or stabbing)
Bunuh diri dengan metode ini melibatkan perdarahan, infark, dan
syok sepsis. Perdarahan melibatkan pengurangan volume dan tekanan
darah sampai di bawah level kritis akibat kerusakan arteri yang terlibat.
Arteri karotis, radialis, ulnaris, atau femoralis biasanya menjadi target.
Kematian dapat terjadi secara langsung sebagai akibat perdarahan
masif, syok hipovolemia, dimana volume darah dalam sistem peredaran
darah menjadi terlalu rendah.32
5. Membakar diri (self-immolation)
Metode ini biasanya mengacu pada bunuh diri dengan membakar
dirinya menggunakan api. Metode ini awal digunakan sebagai suatu
aksi protes, yang paling terkenal diantaranya oleh Thich Quang Duc
pada tahun 1963 untuk memprotes kebijakan anti-Budha, pro-Katolik
yang sistematis dari pemerintah Vietnam Selatan; oleh Malachi
Ritscher pada tahun 2006 untuk memprotes keterlibatan Amerika
Serikat dalam Perang Irak; dan oleh Mohamed Bouazizi di Tunisia yang
memulai Revolusi Tunisia pada tahun 2011 dan musim semi Arab.
Metode ini relatif jarang digunakan karena prosesnya yang lama dan
menyakitkan yang harus dilalui seseorang sebelum kematian terjadi.
Hal ini juga dikontribusikan pada risiko yang selalu ada bahwa api
selalu dipadamkan sebelum kematian terjadi sehingga orang tersebut

15
masih hidup namun dengan luka bakar yang parah, jaringan parut, dan
dampak emosional dari cedera tersebut.
6. Sufokasi (suffocation)
Bunuh diri dengan mati lemas adalah tindakan menghambat
kemampuan seseorang untuk bernapas atau membatasi pengambilan
oksigen saat bernapas, yang menyebabkan hipoksia dan akhirnya
asfiksia. Metode ini dapat dilakukan dengan melibatkan penggunaan
suatu kantong seperti kantong plastik yang biasa dipasang di kepala,
atau dikurung di ruang tertutup tanpa oksigen. Upaya-upaya tersebut
melibatkan penggunaan depresan untuk membuat pengguna pingsan
karena kekurangan oksigen sebelum terjadi kepanikan naluriah dan
keinginan untuk melarikan diri akibat respon alarm kondisi
hiperkapnea.
Tidak mungkin bagi seseorang untuk bunuh diri hanya dengan
menahan napasnya, karena tingkat oksigen dalam darah menjadi terlalu
rendah, otak mengirimkan refleks yang tidak disengaja, dan orang
tersebut bernapas ketika otot-otot pernapasan berkontraksi. Bahkan jika
seseorang mampu mengatasi respon ini hingga tidak sadarkan diri,
dalam kondisi ini, tidak mungkin lagi mengendalikan pernapasan, dan
ritme normal terbentuk kembali.33
Karena hal tersebut, seseorang lebih mungkin untuk melakukan
bunuh diri dengan cara inhalasi gas daripada berusaha mencegah
pernapasan bersama. Gas inert seperti helium, nitrogen, dan argon, atau
gas beracun seperti karbon monoksida, umumnya digunakan dalam
bunuh diri dengan mati lemas karena kemampuannya yang cepat
membuat seseorang tidak sadar, dan dapat menyebabkan kematian
dalam beberapa menit.34
7. Tenggelam (drowning)
Bunuh diri dengan tenggelam adalah tindakan sengaja merendam
diri dalam air atau cairan lain untuk mencegah pernapasan dan
merampas oksigen dari otak. Karena kecenderungan tubuh untuk
mendapatkan udara, upaya tenggelam seringkali melibatkan

16
penggunaan benda berat untuk mengatasi refleks tersebut. Ketika
tingkat karbon dioksida dalam darah meningkat, sistem saraf pusat
mengirimkan sinyal involunter ke otot-otot pernapasan agar
berkontraksi sehingga orang tersebut bernapas dalam air. Kematian
biasanya terjadi karena tingkat oksigen menjadi terlalu rendah untuk
menopang sel-sel otak. Metode ini adalah salah satu metode yang
paling tidak umum dilakukan.35
8. Electrocution (listrik)
Bunuh diri dengan listrik melibatkan penggunaan sengatan listrik
yang mematikan untuk membunuh diri sendiri. Hal tersebut
menyebabkan aritmia jantung, yang pada dasarnya menyebabkan
eliminasi aliran darah. Selanjutnya, tergantung pada arus, luka bakar
juga dapat terjadi. Dalam pendapatnya melarang kursi listrik sebagai
metode eksekusi, seorang hakim William M. Connolly dari Nebraska
Supreme Court menyatakan bahwa “Sengatan listrik menimbulkan rasa
sakit yang hebat dan penderitaan yang menyengsarakan”.36
Perpustakaan Kedokteran Nasional Amerika Serikat menyatakan
“Kontak dengan listrik 20 mA bisa berakibat fatal”.37
9. Jumping from height (melompat dari ketinggian)
Bunuh diri dengan melompat dari ketinggian biasanya dilakukan
dengan melompat dari jendela, balkon atau atap gedung tinggi, tebing,
bendungan, atau jembatan. Metode ini, dalam banyak kasus, apabila
upaya bunuh diri gagal akan mengakibatkan konsekuensi yang berat
seperti kelumpuhan, patah tulang, dan kerusakan organ.
10. Vehicular impact
Cara lain untuk bunuh diri adalah dengan sengaja menempatkan diri
di jalur kendaraan besar dan bergerak cepat yang dapat berakibat fatal.
Metode ini dilakukan dengan memposisikan diri di jalur kereta api
ketika kereta mendekat, atau mengendarai mobil ke rel kereta api.38
Upaya yang gagal dapat menyebabkan cedera parah, seperti patah
tulang, gegar otak, serta cacat fisik dan mental yang parah.39

17
III. HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN PEMILIHAN
METODE BUNUH DIRI
Bunuh diri didefinisikan sebagai kematian yang disengaja dan disebabkan
oleh diri sendiri.40 Bunuh diri menjadi penyabab utama kematian ke-13 di
seluruh dunia.41 Prevalensi bunuh diri diperkirakan 11,4 per 100.000 populasi,
yang akhirnya menyebabkan 804.000 kematian akibat bunuh diri di seluruh
dunia.42 Ada beberapa faktor risiko yang dapat memengaruhi kerentanan
seseorang terhadap perilaku bunuh diri, termasuk gangguan kejiwaan dan
penggunaan narkoba, kurangnya dukungan sosial, lingkungan keluarga
(misalnya status perkawinan yang terganggu), dan terjadinya tekanan dalam
hidup (contohnya pengangguran, kesedihan berkepanjangan). Faktor-faktor
risiko termasuk marker biologis seperti kadar kolesterol serum, dan pengukuran
fisik seperti berat badan belum sepenuhnya dijelaskan bagaimana dampaknya
terhadap bunuh diri.43
Melalui pengukuran indeks massa tubuh, diperkirakan sepertiga dari
populasi orang dewasa di seluruh dunia mengalami kelebihan berat badan.44
Prevalensi obesitas telah meningkat secara dramatis selama empat dekade,
prevalensi obesitas meningkat dari 3,2% pada tahun 1975 menjadi 10,8% pada
tahun 2014 untuk pria dan dari 6,4% menjadi 14,9% pada wanita,45 dan
prevalensi obesitas pada anak-anak dan remaja meningkat dari tahun 1975
hingga 2016, prevalensi obesitas meningkat dari 0,7% pada tahun 1975 menjadi
5,6% pada tahun 2016 untuk anak perempuan dan dari 0,9% menjadi 7,8% pada
anak laki-laki.46 Obesitas diketahui menjadi faktor risiko dari penyakit kronis
seperti penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, osteoartritis, hipertensi, dan
stroke.43 Selain itu, kelebihan berat badan atau obesitas dikaitkan dengan stigma
sosial di antara budaya-budaya tertentu, dan sikap negatif masyarakat terhadap
individu-individu yang obesitas. Telah dilaporkan bahwa obesitas dikaitkan
dengan peningkatan gejala kejiwaan.47
Banyak studi telah dilakukan untuk meneliti peran BMI dalam bunuh diri,
tetapi hasil penelitian ini masih kontroversial, beberapa studi telah menunjukkan
bahwa BMI berbanding terbalik dengan kematian akibat bunuh diri.48–51 Studi
lain juga menunjukkan hubungan positif antara BMI dan ide bunuh diri.52–54

18
Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan positif antara obesitas dan
gangguan mood, gangguan kecemasan dan depresi. Selain itu, orang yang
obesitas ditemukan memiliki risiko lebih tinggi untuk bunuh diri dibandingkan
dengan orang dengan BMI normal. Peningkatan prevalensi ide bunuh diri di
kalangan individu yang obesitas paling sering ditafsirkan sebagai akibat dari
penurunan kepercayaan diri karena stigma sosial dan tekanan sosial dari orang
lain.47 Sekitar 60% kasus bunuh diri terjadi di antara individu dengan gangguan
mood, dan 10% hingga 20% pasien yang dirawat di rumah sakit karena depresi
melakukan bunuh diri. Jika obesitas berhubungan positif dengan depresi, maka
lebih banyak bunuh diri yang terjadi pada individu dengan kelebihan berat badan
dan obesitas. Namun, beberapa penelitian kohort retrospektif telah melaporkan
hubungan terbalik antara bunuh diri dan BMI, yaitu terjadi penurunan risiko
bunuh diri dengan peningkatan BMI.43
Penelitian di Korea pada tahun 2018 menunjukkan bahwa di antara populasi
orang dewasa di Korea, individu dengan berat badan kurang memiliki risiko
tinggi untuk melakukan upaya bunuh diri. Orang dengan berat badan kurang
dalam penelitian tersebut, dua kali lebih mungkin melakukan percobaan bunuh
diri dibandingkan individu dengan berat badan normal. Hasil tersebut sesuai
dengan beberapa penelitian sebelumnya mengenai hubungan BMI dan kematian
karena bunuh diri yang menunjukkan hubungan terbalik antara keduanya, yang
berarti bahwa individu dengan berat badan kurang memiliki risiko bunuh diri
terbesar, sedangkan orang dengan berat badan lebih memiliki risiko rendah. Hal
tersebut mungkin terkait dengan prevalensi tinggi gangguan depresi di antara
populasi orang dewasa Korea yang berusaha untuk menurunkan berat badannya
karena tekanan dan stigma sosial hingga menjadi underweight, mengingat
bahwa individu yang depresi lebih rentan terhadap bunuh diri. Beberapa
pendapat menduga mekanisme biologis berperan dalam menghubungkan BMI
dan bunuh diri. Misalnya, tingkat tryptophan dan serotonin yang tinggi di antara
individu dengan BMI yang lebih tinggi dapat mengurangi risiko bunuh diri.
Resistensi insulin pada orang berat badan lebih juga dapat meningkatkan kadar
serotonin otak, yang dapat menurunkan perilaku bunuh diri.47

19
Terdapat hubungan negatif antara obesitas dan sebagian besar metode
bunuh diri kecuali metode bunuh diri keracunan, yang sebaliknya menunjukkan
hubungan positif dengan obesitas.5 Obesitas dan kelebihan berat badan
keduanya berhubungan negatif dengan gantung pada pria dan wanita.
Kekurangan berat badan memiliki hubungan negatif dengan gantung diri pada
pria tetapi tidak pada wanita.5 Dalam sebuah studi dari Jerman dari 245 kasus
bunuh diri, dilaporkan bahwa gantung tampaknya lebih sering terjadi pada
kelompok kurang berat badan dibandingkan dengan kelompok BMI lainnya.
Sebuah studi di Jerman melaporkan bahwa keracunan adalah metode bunuh
diri yang paling umum pada wanita dan lebih sering terjadi pada obesitas.55
Wingren dan Ottoson juga menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara
obesitas dan metode bunuh diri keracunan. Hubungan tersebut mungkin bersifat
kausal dan memiliki spekulasi bahwa individu yang obesitas menggunakan
metode ini karena kurangnya mobilitas fisik dan kesulitan untuk menggunakan
metode tertentu lainnya seperti menggantung, serta akses yang lebih mudah
untuk mendapatkan obat-obatan karena morbiditas yang ditimbulkan obesitas.5

20
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan referat di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan


antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan pemilihan metode bunuh diri. Metode
bunuh diri yang paling banyak digunakan adalah gantung, intoksikasi, dan dengan
senjata api. Semakin tinggi nilai IMT seseorang, semakin tinggi kemungkinan orang
tersebut untuk melakukan bunuh diri dengan cara intoksikasi. Sedangkan semakin
rendah nilai IMT seseorang, semakin tinggi kemungkinan orang tersebut untuk
melakukan bunuh diri dengan cara gantung. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai hubungan IMT dengan pemilihan metode bunuh diri.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Nutrition - Body Mass Index (BMI). World Health Organization


(WHO). 2019.
2. Merriam-Webster. Suicide [Internet]. Merriam-Webster. Available from:
http://merriam-webster.com/
3. WHO. Suicide. World Health Organization (WHO); 2019.
4. WHO. Global Health Observatory Data - Suicide rates per (100.000
population). 2016.
5. Wingren CJ, Ph D, Ottosson A, Ph D. Body Mass Index and Suicide
Methods. J Forensic Leg Med [Internet]. 2016; Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jflm.2016.05.013
6. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) -
Panduan untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jendral Bina
Kesehatan Masyarakat; 2003.
7. Hidayati DR. Hubungan Asupan Lemak dengan Kadar Trigliserida dan
Indeks Massa Tubuh. J Prodi Biol Akad UNY. 2017;6(1):25–33.
8. Kumalasari ST, Saryono, Purnawan I. Hubungan Indeks Massa Tubuh
dengan Kadar Asam Urat Darah pada Penduduk Desa Banjaranyar
Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumanik. Purwokerto: Jurusan
Keperawatan Universitas Jendral Soedirman; 2009.
9. Kurdanti. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Obesitas pada
Remaja. Yogyakarta: Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kementrian
Kesehatan Yogyakarta; 2015.
10. K. Nock M, Borges G, Lee S. Suicide and Suicidal Behaviour. 2008;
11. Dorland. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary E-Book [Internet]. 32nd
ed. Elsevier Health Sciences; 2011. 37 p. (Dorland’s Medical Dictionary).
12. WHO. Mental Health Action Plan 2013-2020. Geneva: World Health
Organization (WHO); 2013.
13. Aidacic-Gross V, G Weiss M, Ring M, Hepp U, Bopp M, Gutzwiller F, et
al. Methods of Suicide: International Suicide Patterns Derived from the
WHO Mortality Database. Bull World Health Organ. 2008;86(9):726–32.

22
14. Bachmann S. Epidemiology of Suicide and the Psychiatric Perspective. Int J
Env Res Public Heal. 2018;15(7):1425.
15. Sun SH, Jia CX. Completed suicide with violent and non-violent methods in
rural Shandong, China: a psychological autopsy study. PLoS One.
2014;9(8):e104333.
16. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro; 2000.
17. Biddle L, Donovan J, Owen-Smith A, Potokar J, Longson D, Hawton K, et
al. Factors Influencing the Desicion to Use Hanging as A Method of Suicide:
Qualitative Study. Br J Psychiatry. 2010;197(4):320–5.
18. Gunnell D, Bennewith O, Hawton K, Simkin S, Kapur N. The Epidemiology
and Prevention of Suicide by Hanging; A Systematic Review. Int J
Epidemiol. 2005;34(2):433–42.
19. Vijayakumari N. Suicidal Hanging: A Prospective Study. J Indian Acad
Forensic Med. 2011;33(4).
20. Abdul Karim Lubis, et al. Gantung Diri (Hanging): Tinjauan Pustaka. J Med
Sch Univ Sumatera Utara. 2012.
21. Gunnell D, Eddleston M, Phillips M, Konradsen F. The Global Distribution
of Fatal Pesticide Self-Poisoning: Systematic Review. BMC Public Health.
2007;7:357.
22. CDC. Suicides due to Alcohol and/or Drug Overdose: A Data Brief from the
National Violent Death Reporting System.
23. Schotke D. Emergency Medical Responder: Your First Response in
Emergency Care. Jones&Bartlett Learn. 2016;224.
24. Bleecker M. Carbon Monoxide Intoxication. Occup Neurol Handb Clin
Neurol. 2015;131:191–203.
25. National Center for Environmental Health. Carbon Monoxide Poisoning -
Frequently Asked Questions. National Center for Environmental Health.
2015.
26. Howe A. Media Influence on Suicide. BMJ. 2003;326(7378):498.
27. A Review of Suicide Statistics in Australia. Gov Aust.
28. McIntosh J, Drapeau C. U.S.A Suicide: 2010 Official Final Data. Am Assoc

23
Suicidol. 2012;
29. Wstefeld JS, Gann LC, Lustgarten SD. Relationship Between Firearm
Availability and Suicide: The Role of Psychology. Prof Psychol Res Pract.
2016;47(4):271–7.
30. Brent DA. Firearms and Suicide. Ann New York. 2006;932(1):225–40.
31. Douglas B. Temporal Bone Gunshor Wounds: Evaluation and Management.
Baylor Coll Med. 2008.
32. Pounder D. Lecture Notes in Forensic Medicine. 2011;6.
33. Kurzban R. Why Can’t You Hold Your Breath Until You’re Dead? 2013.
34. M G. Carbon Monoxide Poisoning. J Emerg Nurs. 2008;34(6):538–42.
35. WISQARS Leading Causes of Death Reports. 2009.
36. Liptak A. Electrocution is Banned in Last Statte to Rely on It. The New York
Times. 2010 May 24.
37. Fish RM, Geddes LAM. Conduction of Electrical Current to and Through
the Human Body: A Review. United States Natl Libr Med. 2009;9:44.
38. Hilkevitch J. When Death Rides The Rails. Chicago Tribune. 2012.
39. Zaldivar R-A. Suicide by Train is A Growning Concern. Los Angeles Times.
2005.
40. WHO. The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders
Diagnostic Criteria for Research. Geneva: World Health Organization
(WHO); 1993.
41. Wang H, Dwyer-Lindgren L, Lofgren KT, Rajaratnam JK, Marcus JR,
Levin-Rector A, et al. Age-Specific and Sex-Specific Mortality in 187
Countries, 1970-2010: A Systematic Analysis For The Global Burden of
Disease Study 2010. 2012;380(9859):2071–94.
42. Turecki G, Brent DA. Suicide and Suicidal Behaviour. Lancet.
2016;387(10024):1227–39.
43. Perera S, Eisen R, Bawor M, Dennis B, Souza R De, Thabane L. Association
between body mass index and suicidal behaviors : a systematic review
protocol. BioMed Cent [Internet]. 2015;1–8.
44. Lehnert T, Sonntag D, Konnopka A, Riedel-Heller S, Konig HH. Economic
Costs of Overweight and Obesity. Best Pr Res Clin Endocrinol Metab.

24
2013;27(2):105–15.
45. NCD. Trends in Adult Body-Mass Index in 200 Countries from 1975 to
2014: A Pooled Analysis of 1698 Population-Based Measurement Studies
With 19.2 Million Participants. Lancet. 2016;387(10026):1377–96.
46. NCD. Worldwide Trends in Body-Mass Index, Underweight, Overweight,
and Obesity from 1975 to 2016: A Pooled Analysis Of 2416 Population-
Based Measurement Studies in 128.9 Millionchildren, Adolescents, and
Adults. Lancet. 2017;390(10113):2627–42.
47. Kim H. Association of Body Mass Index with Suicide Behaviors, Perceived
Stress, and Life Dissatisfaction in the Korean General Population. Psychiatry
Investig. 2018;15(3):272–8.
48. Bjerkeset O, Romundstad P, Evans J, Gunnell D. Association of Adult Body
Mass Index and Height With Anxiety, Depression, and Suicide in The
General Population: The HUNT Study. Am J Epidemiol. 2008;167(2):193–
202.
49. Kaplan MS, McFarland BH, Huguet N. The Relationship of Body Weight to
Suicide Risk Among Men and Women: Results From The US National
Health Interview Survey Linked Mortality File. J Nerv Ment Dis.
2007;195(11):948–51.
50. Mukamal KJ, Kawachi I, Miller M, Rimm EB. Body Mass Index and Risk
Of Suicide Among Men. Arch Intern Med. 2007;167(5):468–75.
51. Mukamal KJ, Rimm EB, Kawachi I, O’Reilly EJ, Calle EE, Miller M. Body
Mass Index and Risk Of Suicide Among One Million US Adults.
Epidemiology. 2010;21(1):82–6.
52. Brunner J, Bronisch T, Pfister H, Jacobi F, Hofler M, Wittchen HU. High
cholesterol, triglycerides, and body-mass index in suicide attempters. Arch
Suicide Res. 2006;10(1):1–9.
53. Kim DS. Increasing Effect of Body Weight Perception on Suicidal Ideation
Among Young Korean Women: Findings from the Korea National Health
and Nutrition Examination Survey 2001 and 2005. Diabetes Metab Syndr
Obes. 2011;4:17–22.
54. Mather AA, Cox BJ, Enns MW, Sareen J. Associations of Obesity With

25
Psychiatric Disorders and Suicidal Behaviors In A Nationally Representative
Sample. J Psychosom Res. 2009;66(4):277–85.
55. Flaig B, Zedler B, Ackermann H. Anthropometrical Differences Between
Suicide and Other Non-Natural Death Circumstances: an Autopsy Study. Int
J Leg Med. 2013;127(4):847–56.

26

Anda mungkin juga menyukai