Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN LENGKAP

PERCOBAAN IV

TITRASI SPEKTROFOTOMETRI BISMUT TEMAGA DENGAN EDTA

NAMA : AKTER PUALA'A

STAMBUK : A 251 17 020

KELAS : C

KELOMPOK : IV (EMPAT)

ASISTEN : ANNISAA KUSUMANINGRUM

LABORATORIUM KIMIA LANJUT

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2019
LEMBAR KOREKSI

PERCOBAAN IV

TITRASI SPEKTROFOTOMETRI BISMUT TEMAGA DENGAN EDTA

NAMA : AKTER PUALA'A

STAMBUK : A 251 17 020

KELOMPOK: IV (Empat)

ASISTEN : ANNISAA KUSUMANINGRUM

Hari / Tanggal Keterangan Paraf


LAPORAN LENGKAP
PERCOBAAN IV
TITRASI SPEKTROFOTOMETRI BISMUT TEMAGA DENGAN EDTA

I. Tujuan
Percobaan ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan dasar
analisis titrasi fotometri dan aplikasinya pada titrasi bismut dan tembaga.

II. Dasar Teori


Titrasi kompleksometri yaitu titrasi berdasarkan pembentukan
persenyawaan kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar mengion),
kompleksometri merupakan jenis titrasi dimana titrat dan titran saling
mengompleks, membentuk hasil berupa kompleks. Reaksi-reaksi pembentukan
kompleks atau yang menyangkut kompleks banyak sekali dan penerapannya juga
banyak, tidak hanya dalam titrasi. Karena itu perlu pengertian yang cukup luas
tentang kompleks, sekalipun disini pertama-tama akan diterapkan pada titrasi.
Contoh reaksi titrasi kompleksometri:
Ag+ + 2CN-  Ag (CN)2
Hg+ + 2Cl-  HgCl2
(Basset, 1994).

Titrasi kompleksometri meliputi reaksi pembentukkan ion-ion kompleks


ataupun pembentukan molekul netral yang terdisosiasi dalam larutan. Persyaratan
mendasar terbentuknya kompleks demikian adalah tingkat kelarutan tinggi. Contoh
dari kompleks tersebut adalah logam dengan EDTA. Demikian juga titrasi dengan
merkuro nitrat dan perak sianida juga dikenal sebagai titrasi kompleksometri
(Khopkar, 2002).

Titrasi kompleksometri juga dikenal sebagai reaksi yang meliputi reaksi


pembentukkan ion-ion kompleks ataupun pembentukan molekul netral yang
terdisosiasi dalam larutan. Persyaratan mendasar terbentuknya kompleks demikian
adalah tingkat kelarutan tinggi. Selain titrasi komples biasa seperti diatas, dikenal
pula kompleksometri yang dikenal sebagai titrasi kelatometri, seperti yang
menyangkut penggunaan EDTA. Gugus yang terikat pada ion pusat, disebut ligan
dan dalam larutan air, reaksi dapat dinyatakan oleh persamaan:
M(H2O)n + L <==> M (H2O)(n-1) L + H2O
(Khopkar, 2002).
Kesulitan yang timbul dari kompleks yang lebih rendah dapat dihindari
dengan penggunaan bahan pengkelat sebagai titran. Bahan pengkelat yang
mengandung baik oksigen maupun nitrogen secara umum efektif dalam membentuk
kompleks-kompleks yang stabil dengan berbagai macam logam. Keunggulan
EDTA adalah mudah larut dalam air, dapat diperoleh dalam keadaan murni,
sehingga EDTA banyak dipakai dalam melakukan percobaan kompleksometri.
Namun, karena adanya sejumlah tidak tertentu air, sebaiknya EDTA
distandarisasikan dahulu misalnya dengan menggunakan larutan kadmium
(Harjadi, 1993)

Titrasi dapat ditentukan dengan adanya penambahan indikator yang


berguna sebagai tanda tercapai titik akhir titrasi. Ada lima syarat suatu indikator ion
logam dapat digunakan pada pendekteksian visual dari titik akhir yaitu reaksi warna
harus sedemikian sehingga sebelum titik akhir, bila hampir semua ion logam telah
berkompleks dengan EDTA, larutan akan berwarna kuat. Kedua, reaksi warna itu
haruslah spesifik (khusus), atau sedikitnya selektif. Ketiga, kompleks-indikator
logam itu harus memiliki kestabilan yang cukup, kalau tidak karena disosiasi tak
akan diperoleh perubahan warna yang tajam. Namun kompleks-indikator logam itu
harus kurang stabil dibanding kompleks logam. EDTA untuk menjamin agar pada
titik akhir titrasi, EDTA memindahkan ion-ion logam dari kompleks-indikator
logam ke kompleks logam EDTA harus tajam dan cepat. Kelima, kontras warna
antara indikator bebas dan kompleks-indikator logam harus sedemikian sehingga
mudah diamati. Indikator harus sangat peka terhadap ion logam (yaitu, terhadap
pM) sehingga perubahan warna terjadi sedikit mungkin dengan titik ekuivalen.
Terakhir, penentuan Ca dan Mg dapat dilakukan dengan titrasi EDTA, pH untuk
titrasi adalah 10 dengan indikator erichrn indikatome balck T. Pada pH tinggi 12
Mg(OH)2 akan mengendap, sehingga EDTA dapat dikonsumsi hanya oleh
Ca2+ dengan indikator murexide (Basset, 1994).

III. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada percobaan ini, yaitu:
A. Alat B. Bahan

1. Spektronik 20 1. Larutan Cu2+ 2M


2. Erlenmayer 100 mL 2. Larutan EDTA 0,1 M
3. Kuvet 3. Aquades
4. Staf dan klem
5. Botol semprot
6. Rak tabung
7. Buret
8. Tissue
IV. Prosedur Kerja
Prosedur kerja dalam percobaan ini adalah :
1. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum.
2. Mengambil larutan Cu2+ 0,2 M dan memasukkan ke dalam kuvet sampai tanda
batas
3. Mengukur serapan menggunakan spektronik 20 dengan panjang gelombang 745
nm
4. Mengeluarkan larutan Cu2+ dari dalam kuvet dan memasukkan ke dalam
erlenmayer.
5. Menitrasi larutan Cu2+ dengan EDTA sebanyak 1 mL
6. Memasukkan kembali larutan tersebut ke dalam kuvet dan mengukur
bserapannya menggunakan spektronik 20
7. Mengulangi langkh 4-6 sampai volume EDTA 8 mL
8. Mencatat hasil pengukuran transmitan ke dalam table hasil pengamatan
IV. Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan yang didapatkan dalam percobaan ini, adalah:
NO Volume penambahan EDTA %T A
1. 0 mL 81 0,0916
2. 1 mL 68 0,1675
3. 2 mL 57 0,2442
4. 3 mL 55 0,2597
5. 4 mL 49 0,3099
6. 5 mL 48 0,3188
7. 6 mL 47 0,5280
8. 7 mL 45 0,3468
9. 8 mL 43 0,3666
VII. Perhitungan

A. Menghitung Absorbansi
1. Untuk V awal = 0
% T = 81% A = - log T
% T = 0,81 A = - log 0,49
A = 0,3099
A = - log T
A = - log 0,81 6. Untuk V EDTA = 5 mL
A= 1 – log 8,1 %T = 48%
A = 1 – 0,9084 %T = 0,48
A= 0,0916
2. Untuk V EDTA = 1 mL A = - log T
% T = 68% A = - log 0,48
%T = 0,68 A = 0,3188

A = - log T 7. Untuk V EDTA = 6 mL


A = - log 0,68 %T = 47%
A = 0,1675 %T = 0,47

3. Untuk V EDTA = 2 mL A = - log T


%T = 57% A = - log 0,47
%T = 0,57 A = 0,328

A = - log T 8. Untuk V EDTA = 7 mL


A = - log 0,57 %T = 45%
A = 0,2442
%T = 0,45
4. Untuk V EDTA = 3 mL
%T = 55% A = - log T
%T = 0,55
A = - log 0,45
A = - log T A = 0,3468
A = - log 0,55
A = 0,2597
9. Untuk V EDTA = 1 mL
%T = 43%
5. Untuk V EDTA = 4 mL
%T = 0,43
%T = 49%
%T = 0,49
A = - log T
A = - log 0,43
A = 0,366
B. Menghitung Volume Cu 2+
Dik : M EDTA = 0,1 M
V EDTA = 7 mL
M Cu 2+ = 0,2 m
Dit : V Cu 2+ .......?
Penyelesaian :
M1 x V1 = M2 x V2
0,1 x 7 mL = 0,2 m x V2
0,7 = 0,2 m x V2
V2 = 0,7
0,2
V2 = 3,5 mL
V. GRAFIK

Hubungan antara Volume EDTA dan Absorbansi

0.4 0.3666
0.3468
0.35 0.3188 0.328
0.3099
0.3 0.2597
0.2442
Absorbansi

0.25

0.2 0.1675

0.15
0.0916
0.1

0.05
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Volume EDTA
VI. PEMBAHASAN
Titrasi kompleksometri adalah titrasi berdasarkan pembentukan persenyawaan
kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar mengion), kompleksometri
merupakan jenis titrasi dimana titrat dan titran saling mengompleks, membentuk
hasil berupa kompleks. Reaksi-reaksi pembentukan kompleks dan yang
menyangkut kompleks banyak sekali dan penerapannya juga banyak, tidak hanya
dalam titrasi. Oleh karena itu perlu pengertian yang cukup luas tentang kompleks,
sekalipun disini pertama-tama akan diterapkan pada titrasi (Basset, 1994).
Tujuan dari percobaan ini untuk memahami dan mendeskripsikan dasar
analisis titrasi fotometri dan aplikasinya pada titrasi bismut dan tembaga. (Staf
Pengajar, 2019).
Prinsip dari spektrofotometri yaitu berdasarkan adanya interaksi antara
materi dengan cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu. Perbedaannya
terletak pada panjang gelombang yang digunakan. Sinar atau cahaya yang berasal
dari sumber tertentu disebut juga sebagai radiasi elektromagnetik. Radiasi
elektromagnetik yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yaitu cahaya matahari.
Dalam interaksi materi dengan cahaya atau radiasi elektromagnetik, radiasi
elektromagnetik kemungkinanan dihamburkan, diabsorbsi atau dihamburkan
sehingga dikenal adanya spektroskopi hamburan, spektroskopi absorbsi ataupun
spektroskopi emisi (Rival, H, 1995).
Dalam percobaan pertama-tama yang akan dilakukan yaitu menyiapkan alat
dan bahan yang digunakan. Lalu memasukkan larutan Cu2+ ke dalam kuvet
hingga tanda batas. Larutan sampel Cu2+ diukur serapannya menggunakan
spektronik 20 dengan panjang gelombang 746 nm, tujuannya adalah untuk
mengetahui absorbansi awal Cu2+ tanpa tambahan EDTA sehingga nantinya akan
ada kurva kalibrasi terbentuk dari titik nol. Setelah itu larutan Cu2+ dikeluarkan dari
spektronik 20 lalu dipindahkan ke dalam erlenmeyer dan dititrasi dengan EDTA 0,1
M sebanyak 1 mL. Tujuannya dilakukan titrasi adalah untuk memeperoleh titik
ekivalen dari larutan tersebut. Kemudian larutan Cu2+ diukur kembali
absorbansinya menggunakan spektronik 20 pada panjang gelombang 475 nm, lalu
mengulangi perlakuan sebelumnya sebanyak 7 kali. Larutan cuplikan Cu2+ yang
dititrasi dengan larutan EDTA akan membentuk kompleks Cu-EDTA. Hal ini
ditandai dengan adanya larutan yang berubah warna menjadi biru pudar.
Hasil transmitan dan absorbansi yang diperoleh dalam percobaan ini secara
berturut-turut adalah 81% sebelum penambahan EDTA absorbansinya yaitu
0,0916. 68% pada penambahan 1 mL EDTA absorbansinya yaitu 0,1675. 57%
pada penambahan 2 mL EDTA absorbansinya yaitu 0,2442. 55% pada penambahan
3 mL EDTA absorbansinya yaitu 0,2597. 49% pada penambahan 4 mL EDTA
absorbansinya yaitu 0,3099. 48% pada penambahan 5 mL EDTA absorbansinya
yaitu 0,3188. 47% pada penambahan 6 mL EDTA absorbansinya yaitu 0,5280.
45% pada penambahan 7 mL EDTA absorbansinya yaitu 0,3468. dan 43% pada
penambahan 8 mL EDTA absorbansinya yaitu 0,3666. Melalui perhitungan
diketahui bahwa volume Cu2+ yang digunakan adalah 3,5 mL.
Grafik yang diperoleh pada percobaan ini menunjukkan bahwa titik ekuivalen
pada percobaan ini adalah pada saat penambahan 4 mL larutan EDTA, hal ini
ditandai dengan kenaikan absorbansi yang tidak terlalu tinggi. Hal ini dapat terjadi
karena EDTA tidak dapat menyerap panjang gelombang 746 nm sehingga hanya
kompleks Cu-EDTA yang terbaca transmitannya pada alat.
Hasil yang diperoleh pada percobaan ini setelah dibandingan dengan literatur
yaitu telah sesuai dengan literatur, dimana apabila larutan Cu2+ direaksikan dengan
EDTA akan terbentuk kompleks Cu-EDTA yang berwarna biru pudar dan besarnya
absorbansi berbanding lurus dengan pertambahan volume EDTA (Rival, H, 1995).
VII.KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa
titrasi fotometri adalah titrasi yang dipakai untuk mengukur kandungan suatu zat
dalam campuran dengan mengukur absorbansinya. Volume EDTA yang digunakan
dalam percobaan ini sebanyak 8 mL dan volume Cu2+ yang diperlukan dalam
percobaan ini yaitu 3,5 mL
Hasil pengamatan dari pengukuran %T menggunakan spektronik 20 dengan
panjang gelombang 745 nm dan volume EDTA yang telah ditambahkan secara
berturut – turut dari 0 mL – 8 mL diperoleh %T secara berturut – turut yaitu 81%,
68%, 57%, 55%, 49%, 48%, 47%, 45%, 43% dan diperoleh hasil volume Cu adalah
3,5 mL.
DAFTRAR PUSTAKA

Basset, J. dkk. (1994). Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC.

Harjadi, W. (1993). Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT Gramedia.

Khopkar. (2002). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

Rival, H. (1995). Asas Pemeriksaan Kimia.Jakarta: Ui Press.

Staf Pengajar Kimia Analisis Instrumen. (2019). Penuntun Praktikum Kimia


Analisis Instrumen. Palu: Universitas Tadulako.

Anda mungkin juga menyukai