Anda di halaman 1dari 22

BAB I

DESKRIPSI KASUS

I.1.IdentitasPasien

1. Nama : Nn. CS

2. JenisKelamin : Perempuan

3. Umur : 20 tahun

4. Alamat :-

5. Agama : Islam

6. Pekerjaan :-

7. TanggalMasuk : 30 Desember 2019, melaluipoli THT-KL

8. No. RM : 198169

9. Jaminan : BPJS

I.2.Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara auto anamnesis yaitu langsung dengan pasien tersebut pada

tanggal 30 Desember 2019 di ruang poliklinik THT-KL.

1
a. Keluhan Utama

Pasien dating kontrol amandel dan sudah tidak batuk pilek dan demam

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien seorang perempuan berusia 20 tahun, dating ke poli THT RSUD Pasar

Minggu dengan keluhan untuk mengontrol amandel, dan sudah tidak batuk, pilek dan

demam. Pasien sebelumnya dating dengan keluhan sakit menelan, batuk pilek dan

demam, tenggorokan rasa mengganjal, napas tidak berbau.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat operasi : disangkal

 Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal

 Riwayat hipertensi : disangkal

 Riwayat alergi : disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat keluhan serupa : disangkal

 Riwayat DM : disangkal

 Riwayat penyakit kronis lainnya: disangkal

 Riawayat alergi : disangkal

2
e. Riwayat Pengobatan

Tidak ada

f. Resume Anamnesis

- Odinofagia (-)

- Batuk (-)

- Disfagia (-)

- Fever (-)

- Halitosis (-)

- Snoring (-)

1.3. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum : Tampak sakit ringan

2. Kesadaran : Composmentis

3. Vital Sign

Tekanan Darah : 114/66 mmHg

Frekuensi Nadi : 88x/menit

Suhu : 36 C

Irama Napas : 20x/menit

3
4. Status Gizi

BB : 69 Kg

TB : 153 Cm

IMT : 29,48

5. Status Lokalis

 Telinga

Bentuk : simetris

Liang : Lapang

Cerumen : Tidakada

Membran timpani : Intak

 Hidung

Bentuk : Simetris

Deviasi Septum : Tidakada

Sekret : Tidakada

Cavum Nasi : Lapang, tidakhiperemis

4
 Tenggorokan

Tonsil : T2-T3, Kriptamelebar, hiperemis

1.4. Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan Laboratorium:

 Hematologi

Hemoglobin : 13.5 g/dL

Hematokrit : 40 %

Leukosit : 13.3 10^3/uL

Trombosit : 373 10^3uL

5
Eritrosit : 4.91 10^6u/L

RDW : 12.9%

 Nilai Eritrosit

MCV : 82fl

MCH : 28 pg

MCHC : 34 g/dL

 HitungJenis

Basofil : 0.0%

Eusinofil : 3.0%

NeutrofilBatang : 2.0%

Segmen : 70.0%

Limfosit : 22.0%

LED : 11mm/jam

 HEMOSTASIS

 Masa Protomb

PT : 12.50 detik

INR : 0.87

6
 Aptt

APTT : 35.20 detik

 KIMIA DARAH

 FUNGSI HATI

SGOT : 13u/L

SGPT : 7u/L

 IMUNO-SEROI

HBsAg Rapid : Non reaktif

1.5. Diagnosis Klinis

Tonsilo Faringitis Kronik Eksaserbasi Akut

1.6. Tatalaksana

Farmakologi:

o Ciprofloxacin 2x500mg

o Methylprednisolon 4mg 1-1-0

o Pro Tonsilektomi

7
Non-farmakologi:

Edukasi kepada pasien untuk berkumur air garam, dan tidak mengkonsumsi minuman es

1.7. Prognosis

AdVitam : bonam

AdFungsionam : bonam

AdSanationam : bonam

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 TonsilitisKronik

Tonsilitis kronik merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua

penyakit tenggorokan yang berulang. Tonsilitis kronik umumnya terjadi akibat

komplikasi dari tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi yang adekuat.

Tonsillitis kronik adalah infeksi tonsil yang kuat yang dapat menyebabkan batu tonsil.

Tonsillitis kronik juga dikenal dengan tonsillitis berulang. Tonsillitis kronik terjadi ketika

seseorag menderita beberapa insiden tonsillitis per tahun. Tonsilitis kronik dengan

kejadian berulang dapat berdampak parah pada kualitas hidup pasien.1

II.2 Epidemiologi

Banyak anak-anak yang sering menderita tonsillitis berulang dan sakit

tenggorokan sehingga penyakit ini menjadi bagian dari kehidupan mereka. Para ilmuwan

yang bekerja di Fakultas kedokteran Universitas Washington mengidentifikasi bahwa

infeksi berulang diperburuk oleh penciptaan biofilm oleh mikroorganisme dalam lipatan

tonsil basah dan hangat yang bertindak sebagai tempat penyimpanan infeksi.1

Menurut penelitian yang dilakukan, usia tersering penderita tonsillitis kronis

adalah kelompok umur 11-21 tahun yakni sebesar 56%. Penderita tonsillitis kronis lebih

sering terjadi pada pria (61,96%) dibandingkan dengan perempuan (38,03%).

Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada bulan

9
September tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut

yaitu sebesar 3,8%., prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah

nasofaringitis akut (4,6%).2,3

II.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Infeksi ini menular melalui kontak dari secret hidung dan ludah (droplet

infections). Bakteri penyebab tonsilitis kronik sama halnya dengan tonslitis akut yatiu

Streptokokus beta hemolitikus grup A (Streptococcus pneumoniae), Streptococcus

viridan, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus, dan Haemofilus influenza, namun

kadang dapat ditemukan bakteri golongan gram negatif. Faktor predisposisi timbulnya

tonsillitis kronis ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan,

hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis

akut yang tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsillitis akut tetapi

terkadang kuman berubah menjadi golongan Gram negatif.4

II.4 Patogenesis

Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman

menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada

suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian

bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah

menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke

seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Karena proses

inflamasi yang berulang, selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga

10
pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan

mengalami pengerutan sehingga kripta melebar.2,4

Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superkistal bereaksi dimana terjadi

pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Secara klinik kripta

ini tampak diisi oleh detritus. Proses bejalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan

akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak

proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibular.2,4

II.5 Manifestasi Klinis

Tanda-tanda tonsillitis kronik adalah nyeri tenggorokan yang berulang atau

menetap juga sulit dan sakit saat menelan. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan

seperti demam, namun tidak mencolok.2

Pada pemeriksaan tampak2,4:

 Tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata


 Tonsil hiperemia
 Kriptus melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus.
 Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan,
 Tenggorokan terasa kering
 Napas yang berbau
 Kelenjar limfa leher membengkak

Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan

kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai

perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang

purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam

11
dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya

tampak eksudat yang purulent. Jika karena infeksi virus, gejala pilek biasa seperti batuk

atau hidng tersumbat juga mungkin terjadi. Tonsillitis juga dapat menyebabkan gejala

atipikal, terutama pada anak-anak. hal ini termasuk sakit perut, mual atau muntah.2,5

II.6 Diagnosis

Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis

secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara menyeluruh untuk

menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan

diagnosis.2,5

Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang

berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok,

ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada

saluran cerna dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang

hipertofi. Gejala gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak

mencolok. Pada anak dapat ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa

submandibular.2

Visualisasi tonsil adalah yang terpenting. Pada pemeriksaan tampak tonsil

membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi

oleh detritus, kelenjar limfa leher membengkak. Sebagian kripta mengalamai stenosis,

tepi eksudat (purulent) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Gambaran klinis

yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya

hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulent yang tipis terlihat pada kripta. Pada

12
umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam

kategori tonsillitis kronik. Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara

menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik. Didapatkan detritus atau

detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan menggunakan tongue spatel.2,4

Dengan tidak adanya visualisasi langsung abses tonsil, deviasi uvular harus

meningkatkan kecurigaan, dan pencitraan CT dapat menjadi pilihan. Seperti halnya

semua keluhan THT, pemeriksaan telinga dan hidung yang lengkap juga harus dilakukan.

Penunjang lainnya adalah dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman

dari sediaan apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman

dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptococcus haemolitikus, Streptokokus

viridans, Stafilokokus, atau pneumokokus.5

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak

antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil,

maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi2:

T0 : Tonsil masuk di dalam fossa


T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

13
(A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) Grade III

tonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnose


tonsillitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi10:
 Leukosit : terjadi peningkatan
 Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas obat

14
II.7. Tatalaksana

Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi konservatif dan terapi
pembedahan.
1. Terapi konservatif
Terapi ini ditujukan pada higiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap,

pemberian antibiotic. Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang

bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis yaitu antibiotik golongan penisilin. Jika

penyebabnya adalah bakteri, diberika antibiotik per oral selama 10 hari. Jika anak

mengalami kesulitan menelan bisa diberikan dalam bentuk suntikan.2,7

Menunggu dengan waspada (watchful waiting) direkomendasikan untuk pasien

dengan infeksi tenggorokkan berulang jika mereka memiliki ≥7 episode pada tahun

sebelumnya, ≥5 episode dalam masing-masing 2 tahun sebelumnya, aau ≥3 episode

dalam masing-masing 3 tahun sebelumnya. Setidaknya 12 bulan pengamatan

direkomendasikan sebelum mempertimbangkan tonsilektomi pada pasien tanpa

memodifikasi faktor.2

2. Terapi pembedahan
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
Indikasi Tonsilektomi
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-head

and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 adalah1,2,8:

a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat terapi


yang adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofacial

15
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor
pulmonale.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengam pengobatan
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus beta
hemolitikus
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif

Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila

sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan

imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko

anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat.2

Komplikasi Tonsilektomi

16
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat.

Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor

operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang

berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil.

Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek

umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak

berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan

pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada

fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior

dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.2

II.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada tonsilitis kronik yaitu7:

1. Abses peritonsil

Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya pada terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang
mengelilingi faringeal bed. Hal ini pling sering terjadi pada penderita dengan
serangan berulang. Gejala yang ditimbulkan yaitu malaise yang bermakna,
odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan
aspirasi abses.

2. Abses parafaring

17
Gejala utama adalah trimus, indurasi atau pembengkakan sekitar angulus
mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga
menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi cervikal.

3. Abses intratonsilar

Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti
dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan
disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan hiperemis.
Penatalaksanannya yang dengan memberikan antibiotika dan drainase abses jika
diperlukan; selanjutnya dilaksanakan tonsilektomi.

4. Tonsilolith (kalkulus tonsil)

Tonsililith dapat ditemukan pada tonsilitis kronis bila kripta diblokade oleh sisa-
sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian terimpan yang
memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan
kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada
dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini
didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya
permukaan yang tidak rata pada perabaan.

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan kompilkasi ke daerah sekitarnya

berupa rhinitis kronik, sinusistis atau otitis media secara perkontinuitatum. Kompilkasi

jauh terjadi secara hematogen atau limfogen, menimbulkan endocarditis, artitis, miosis,

nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.4

18
II.9. Prognosis

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan

pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita

tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika

tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila

penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap

ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya,

infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang

jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau

pneumonia.9

19
BAB III
KESIMPULAN

Tonsilitis kronik merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit

tenggorokan yang berulang. Tonsilitis kronik umumnya terjadi akibat komplikasi dari

tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi yang adekuat. Adapun penyebab dari

tonsilitis kronik yaitu streptokokus beta hemoliticusf\ Group A, Haemofilus influenza,

streptokokus pneumonia, stafilokokus, dan Tubrkulosis (immunocomprmise). Faktor

predisposisi timbulnya tonsilitis kronik yaitu rangsangan yang menahun dari asap rokok,

beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan

pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.4

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses

peradangan berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada

proses penyembuhan jaringan limfoid terkikis, sehingga jaringan limfoid akan diganti oleh

jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga kripta tampak melebar dan akan diisi

oleh detriktus. Proses ini akan meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul

perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsil. Pada anak, proses ini dapat disertai dengan

pembesaran kelenjar submandibula.2,4

Diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pada anamnesis ditemukan gejala seperti rasa sakit pada tenggorakan

yang terus-menerus, sakit saat menelan, nafas berbau, malaise, kadang-kadang ada demam

dan nyeri pada leher. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsil membesar dengan adanya

hipertrofi dan jaringan parut.4,5

Terapi yang tidak adekuat dapat menimbulkan baik sekitar tonsil atau pada organ lain

yang tersebar secara hematogen dan limfogen. Terapi pada tonsilitis kronis dapat berupa

20
terapi lokal yaitu hygiene mulut, dengan berkumur atau obat hisap. Terapi definitif dari

tonsilitis kronik ialah tonsilektomi.7

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakar M.A, McKimm J, Haque S.Z, et all. Chronic tonsillitis and biofilms: a brief
overview of treatment modalities. 2018 Sep 5.
Diunduhdarihttps://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6134941/
5. Sundariyanti I.G.A.H.
TonsilitisKronisEksaserbasiAkut.FakultasKedokteranUniversitasUdayana. 2017.
Diunduhdarihttps://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/ce84a52f23a3
735f4ce7b202a8877d93.pdf
6. Sarode D.N, BholeA.V. Prevalence of chronic tonsillitis at ENT
Inpatientdepartment: a hospital based study. November 2015.
Diunduhdarihttps://www.medpulse.in/Article/Volume2Issue11/MedPulse_2_11_2
0.pdf
7. Soepardi E.A, Iskandar N, et all. Tonsillitis. Buku Ajar
IlmuKesehatanTelingaHidungTenggorokKepala dan Leher. Ed VII. Jakarta:
BalaiPenerbit FKUI. 2017. Hal 197.
8. InformedHealth.org [Internet]. Tonsillitis: Overview. Cologne, Germany: Institute
for Quality and Efficiency in Health Care (IQWiG). 2013.
Diunduhdarihttps://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK401249/
9. Lee K.J. MD. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 2003. McGraw-
Hill.
10. Fauzi A.N. Referat Tonsillitis Kronis. Bandar lampung. 2016.
Diunduhdarihttps://www.academia.edu/35598541/REFERAT_TONSILITIS_KRO
NIS
11. Randel A. AAO–HNS Guidelines for Tonsillectomy in Children and
Adolescents. Am Fam Physician. 2011 Sep.
Diunduhdarihttps://www.aafp.org/afp/2011/0901/p566.html
12. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In:
IlmuKesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4

22

Anda mungkin juga menyukai