Anda di halaman 1dari 72

Analisis Matriks

Ahmad Muchlis

January 23, 2012


2

Notasi

Pada umumnya matriks yang kita bicarakan dalam kuliah adalah matriks
kompleks. Himpunan semua matriks kompleks [real] berukuran m × n diny-
atakan dengan Cm×n [Rm×n ]. Huruf kapital cetak tebal digunakan untuk
menyatakan sebuah matriks. Matriks identitas dinyatakan dengan I, sedan-
gkan matriks nol dengan 0. Bilamana diperlukan, ukuran matriks diberikan
sebagai subskrip. Sebagai contoh, 0m,n menyatakan matriks nol berukuran
m × n, sedangkan Ik menyatakan matriks identitas k × k.

Huruf kecil cetak tebal digunakan untuk menyatakan vektor. Seringkali,


ketika mengatakan vektor, yang kita maksud adalah matriks kolom, yaitu
matriks m × 1, untuk m yang relevan. Unsur ke-i basis baku kita nyatakan
dengan ei . Jadi, ei adalah vektor kolom yang semua komponennya adalah
0, kecuali komponen ke-i yang bernilai 1.

Tranpos matriks A dituliskan sebagai At . Sedangkan transpos konyugat


matriks A, yaitu matriks yang diperoleh dengan mengganti setiap komponen
t
At dengan konyugat kompleksnya, dituliskan sebagai A atau dengan lebih
singkat sebagai A∗ .

Himpunan semua nilai eigen matriks persegi A kita tuliskan sebagai sp(A).
1

Matriks Normal

Teorema Spektral telah memberikan kaitan antara matriks Hermite dengan


diagonalisasi oleh matriks uniter yang menghasilkan matriks diagonal real.
Matriks seperti apa yang terkait dengan diagonalisasi oleh matriks uniter
secara umum? Pertanyaan ini menjadi fokus perhatian kita dalam bab per-
tama ini.

1.1 Matriks Permutasi


Bab ini kita awali dengan mempelajari sebuah kelas matriks sederhana.

Definisi 1.1.1. Misalkan P matriks berukuran n × n. Kita katakan P


matriks permutasi jika setiap baris dan setiap kolom P memuat tepat satu
komponen taknol dan komponen taknol tersebut adalah 1.

Dari definisi di atas, jelas bahwa matriks identitas adalah sebuah matriks
permutasi. Selanjutnya, semua baris setiap matriks permutasi adalah baris-
baris matriks identitas. Dua baris berbeda pada sebuah matriks permutasi
adalah dua baris berbeda matriks identitas. Demikian pula, semua kolom
setiap matriks permutasi adalah kolom-kolom matriks identitas. Dua kolom
berbeda pada sebuah matriks permutasi adalah dua kolom berbeda matriks
identitas.
Misalkan P matriks permutasi berukuran n × n. Untuk i = 1, 2, . . . , n,
misalkan komponen 1 baris ke-i matriks P terletak di posisi (kolom) ti . Ini
berarti bahwa baris tersebut adalah baris ke-ti matriks identitas. Dengan
kata lain, baris ke-i matriks P adalah etti . Pengaitan i 7−→ ti memberikan
pemetaan σ : {1, 2, . . . , n} −→ {1, 2, . . . , n}: σ(i) = ti . Karena dua baris

3
4 1. MATRIKS NORMAL

berbeda P adalah dua baris berbeda matriks identitas, maka pemetaan σ


ini bersifat satu-satu, dan akibatnya juga bersifat pada. Jadi σ adalah
permutasi pada {1, 2, . . . , n}.
Sebaliknya, dari setiap permutasi σ pada {1, 2, . . . , n} kita memperoleh
secara tunggal matriks permutasi P = [pij ], yaitu dengan mengambil pij =
1, jika l = k
δjσ(i) , dimana δ menyatakan delta Kronecker: δkl = . Hal
0, jika l 6= k.
ini menunjukkan korespondensi satu-satu antara himpunan semua permutasi
pada {1, 2, . . . , n} dengan himpunan semua matriks permutasi berorde n.
Untuk selanjutnya, matriks permutasi yang berkaitan dengan permutasi
σ kita tuliskan sebagai Pσ .
Kita akan lihat berikut ini aksi perkalian matriks permutasi terhadap
matriks.    
x1 xσ(1)
 x2   xσ(2) 
   
n
Misalkan x =  .  ∈ C . Maka Pσ x =  .  . Sebagai kon-
  
 ..   .. 
xn xσ(n)
sekuensinya, mengalikan matriks Pσ di sebelah kiri matriks A ∈ Cn×m
berarti melakukan permutasi σ terhadap baris-baris A.
Bekerja menurut kolom, untuk j = 1, 2, . . . , n, komponen 1 pada kolom
ke-j matriks Pσ terletak di posisi (baris) σ −1 (j); dengan kata lain, kolom
ke-j matriks Pσ adalah eσ−1 (j) .
h i
Misalkan y ∈ Cn dan yt = y1 y2 · · · yn . Maka
h i
yt Pσ = yσ−1 (1) /yσ−1 (2) · · · yσ−1 (n) .

Dengan demikian, mengalikan matriks P di sebelah kanan matriks B ∈


Cm×n berarti melakukan permutasi σ −1 terhadap kolom-kolom B.  
etσ(1)
 t 
e 
 σ(2) 
Misalkan σ dan τ dua permutasi pada {1, 2, . . . , n}. Maka Pσ =  . 
 .. 
 
etσ(n)
 
etτ (1)
 t 
e 
 τ (2) 
dan Pτ =  . . Selanjutnya, untuk i = 1, 2, . . . , n, baris ke-i matriks
 .. 
 
etτ (n)
1.1. MATRIKS PERMUTASI 5

Pσ Pτ adalah baris ke-σ(i) matriks Pτ , yaitu baris etτ (σ(i)) . Jadi, Pσ Pτ =


 
et(τ ◦σ)(1)
 t 
e 
(τ ◦σ)(2)
, yaitu matriks permutasi Pτ ◦σ .
 
 ..

 . 

et(τ ◦σ)(n)
Fakta-fakta di atas dapat kita pahami sebagai berikut. Aksi perkalian
matriks permutasi memberikan pemetaan dari himpunan baris-baris matriks
ke himpunan yang sama. Kemudian, fakta bahwa Pσ Pτ = Pσ◦τ menegaskan
bahwa perkalian dua matriks permutasi merepresentasikan komposisi dua
pemetaan.
Dari baris-baris dan kolom-kolom Pσ kita peroleh
 
etσ−1 (1)
 
h i  et −1 
 σ (2) 
Ptσ = eσ(1) eσ(2) · · · eσ(n) =  .  .
 .. 
 
etσ−1 (n)
Ini membuktikan sifat-sifat berikut.

Sifat 1.1.2. Untuk setiap permutasi σ berlaku Ptσ = Pσ−1 .

Akibat 1.1.3. Untuk setiap permutasi σ berlaku Ptσ = P−1


σ .

Akibat 1.1.4. Jika A ∈ Cn×n , maka Pσ APtσ diperoleh dari A dengan


melakukan permutasi σ sekaligus kepada baris-baris dan kolom-kolom A.

Akibat 1.1.3 mengatakan bahwa setiap matriks permutasi adalah ma-


triks ortogonal. Karena matriks permutasi adalah matriks real, maka setiap
matriks permutasi juga adalah matriks uniter.
Permutasi ρk pada {1, 2, . . . , k} dengan ρk (i) = i + 1, i = 1, 2, . . . , k −
1, dan ρk (k) = 1 adalah sebuah siklus dengan panjang k. Matriks per-
mutasi k × k yang berkaitan dengan siklus memiliki arti penting. Per-
tama, karena setiap permutasi adalah komposisi sejumlah permutasi sik-
lis yang saling lepas, maka setiap matriks permutasi serupa dengan ma-
triks diag (S1 , S2 , . . . , S` ), dimana S1 , S2 , . . . , S` adalah matriks-matriks sik-
lus. Dengan demikian, nilai-nilai dan vektor-vektor eigen matriks permu-
tasi dapat diperoleh melalui nilai-nilai dan vektor-vektor eigen matriks sik-
lus. Lebih jauh, hubungan keserupaan tersebut diberikan oleh matriks per-
mutasi, yaitu setiap matriks permutasi dapat dituliskan sebagai perkalian
P−1 diag(S1 , S2 , . . . , S` )P, untuk suatu matriks permutasi P.
6 1. MATRIKS NORMAL
!
1 2 3 4 5 6 7
Contoh. Matriks permutasi Pτ dimana τ = serupa
2 6 5 7 3 1 4
dengan matriks diag (S1 , S2 , S3 ), dengan
 
0 1 0 " #
0 1
S1 = 0 0 1 dan S2 = S3 = .
 
1 0
1 0 0

h Nilai penting kedua iadalah bahwa matriks permutasi siklus C = Pρn =


en e1 e2 · · · en−1 membangun kelas matriks sirkulan, yaitu matriks
yang merupakan kombinasi linier dari {I, C, C2 , . . . , Cn−1 }. Oleh karena
itu, matriks C dikenal juga dengan nama matriks sirkulan fundamental.
Berikut ini, kita tentukan nilai-nilai dan vektor-vektor eigen C.

Sifat 1.1.5. Polinom karakteristik C adalah c(t) = tn − 1.

Bukti: Dengan ekspansi pada kolom pertama, kita dapatkan


 
t −1 0 · · · 0 0
 
0 t −1 · · · 0 0 
 .. .. .. . .
 
..
det(tI − C) = det  . . . . .. .. 

 
0
 0 0 · · · t −1 
−1 0 0 ··· 0 t
= t · tn−1 + (−1)n+1 (−1)(−1)n−1
= tn − 1.

Dengan demikian, nilai-nilai eigen C adalah semua akar-pangkat-n dari


1. Dalam bentuk polar, akar-akar-pangkat-n dari 1 adalah 1, ω, ω 2 , . . . ,
ω n−1 , dimana ω = e2πi/n .
Teorema berikut dapat kita buktikan dengan menghitung langsung.

Teorema 1.1.6. Untuk i = 0, 1, . . ., n − 1, ω i adalah nilai eigen C dengan


1
 ωi 
 
 
vektor eigen berupa kelipatan wi =  ω 2i .
 
 . 
 .. 
 
ω (n−1)i

2 n−1 ) F−1 , dimana F =


h Sebagai akibatnya,
i C = F diag(1, ω, ω , . . . , ω
w0 w1 · · · wn−1 . Perhatikan bahwa F∗ F = nIn . Dengan demikian,
1.2. MATRIKS NORMAL 7

C adalah matriks dengan nilai-nilai eigen tak semuanya real yang dapat
didiagonalkan oleh matriks uniter.
Fakta di atas bersama-sama dengan dua fakta bahwa (i) setiap matriks
permutasi adalah matriks uniter, dan (ii) setiap matriks permutasi serupa,
oleh matriks permutasi, dengan matriks blok diagonal yang komponen-
komponen diagonalnya adalah matriks permutasi siklus atau [1], membawa
kita kepada kesimpulan bahwa setiap matriks permutasi adalah matriks de-
ngan nilai-nilai eigen tak harus semuanya real yang dapat didiagonalkan
oleh matriks uniter.

1.2 Matriks Normal


Sebagai konsekuensi Teorema Spektral, kita ketahui bahwa setiap matriks
Hermite dapat didiagonalkan oleh matriks uniter dan bahwa semua nilai
karakteristik matriks Hermite adalah real. Dengan kata lain, setiap matriks
Hermite A dapat dituliskan sebagai A = UDU∗ , dimana U adalah matriks
uniter dan D adalah matriks diagonal real.
Kita juga dapat dengan mudah menunjukkan keberlakuan pernyataan
sebaliknya: setiap matriks berbentuk UDU∗ , dengan U suatu matriks
uniter dan D suatu matriks diagonal real, adalah matriks Hermite. Dengan
demikian, pendiagonalan oleh matriks uniter menjadi matriks diagonal real
adalah karakteristik matriks Hermite.
Pada subbab terdahulu, telah kita lihat bahwa matriks permutasi dapat
didiagonalkan oleh matriks uniter, tetapi ia tidak mesti matriks Hermite.
Pertanyaan yang dapat diajukan disini adalah kelas matriks mana yang
memiliki karakteristik dapat didiagonalkan oleh matriks uniter?
Pertama-tama, perhatikan bahwa jika A ∈ Cn×n dapat didiagonalkan
oleh matriks uniter, yaitu A = UDU∗ , untuk suatu matriks uniter U dan
matriks diagonal D, maka

AA∗ = (UDU∗ )(UDU∗ )∗ = (UDU∗ )(UDU∗ )


= UDDU∗ = UDDU∗
= (UDU∗ )(UDU∗ ) = (UDU∗ )∗ (UDU∗ )
= A∗ A.

Definisi 1.2.1. Misalkan A ∈ Cn×n . Kita katakan A matriks normal jika


AA∗ = A∗ A.
8 1. MATRIKS NORMAL

Perhatikan bahwa matriks Hermite, matriks permutasi dan matriks uniter


adalah matriks-matriks normal.
Berdasarkan diskusi sebelum Definisi 1.2.1, sifat normal adalah syarat
perlu agar sebuah matriks dapat didiagonalkan oleh matriks uniter. Lebih
lanjut, sifat normal juga ternyata merupakan syarat cukup untuk itu. De-
ngan demikian, kita memperoleh karakterisasi berikut.

Teorema 1.2.2. Misalkan A ∈ Cn×n . Maka A dapat didiagonalkan oleh


matriks uniter jika dan hanya jika A matriks normal.

Bukti: Kita cukup membuktikan bahwa jika A matriks normal, maka A


dapat didiagonalkan oleh matriks uniter. Pertama-tama, implikasi ini benar
untuk kasus A = 0. Selanjutnya, asumsikan A 6= 0 dan kita gunakan induksi
pada n untuk membuktikan implikasi.
Misalkan A ∈ C2×2 matriks normal. Misalkan λ ∈ C nilai eigen A dengan
vektor eigen u ∈ C2 yang memenuhi u∗ u = 1. Pilih "v ∈ C 2
# sehingga
λ α
U = [u v] ∈ C2×2 uniter. Perhatikan bahwa A = U U∗ , untuk
0 β
suatu α, β ∈ C. Dari kenormalan A kita peroleh
" #" # " # ! " # !
λ α λ 0 λ α λ 0
U U∗ = U U∗ U U∗
0 β α β 0 β α β
= AA∗"= A∗#A ! " # !
λ 0 ∗ λ α
= U U U U∗
α β 0 β
" #" #
λ 0 λ α
= U U∗ .
α β 0 β

Dengan mencoret U dan U∗ di kedua ruas, kita peroleh


" # " #
λλ + αα αβ λλ λα
= .
βα ββ αλ αα + ββ

Dengan menyamakan komponen pada " baris


# pertama kolom pertama, kita
λ 0
peroleh α = 0, sehingga A = U U∗ . Jadi A didiagonalkan oleh
0 β
matriks uniter.
Misalkan n > 2 dan pernyataan teorema benar untuk semua matriks berorde
n − 1.
Misalkan A ∈ Cn×n matriks normal. Misalkan λ ∈ C nilai eigen A dengan
1.3. MATRIKS DEFINIT TAKNEGATIF 9

vektor eigen u h∈ C2 yang memenuhii u∗ u = 1. Pilih v2 , v3 , . . . , vn ∈ Cn


sehingga X = u v2 v3 · · · vn ∈ Cn×n uniter. Perhatikan bahwa
" #
λ y∗
A = X X∗ , untuk suatu y ∈ Cn−1 dan B ∈ C(n−1)×(n−1) . Kita
0 B
peroleh y = 0 dan BB∗ = B∗ B (rincian " pembuktian
# diberikan sebagai
λ 0 ∗
Soal Latihan 8). Akibatnya, A = X X∗ dan B matriks normal.
0 B
Dari hipotesis induksi, B = U1 D1 U∗1 , untuk suatu matriks " uniter
# U1 dan
1 0 ∗
matriks diagonal D1 di C(n−1)×(n−1) . Pilih U = X dan D =
0 U1
diag (λ, D1 ) di Cn×n . Maka U matriks uniter, D matriks diagonal dan
A = UDU∗ (tuliskan rincian penjelasan untuk kesimpulan-kesimpulan ini).
Jadi A didiagonalkan oleh matriks uniter.
Dari pembuktian di atas, kita dapat mengkonstruksi matriks diagonal
D sedemikian rupa, sehingga nilai-nilai eigen A muncul secara berkelom-
pok di diagonal utama D. Ini berarti bahwa kita dapat memilih D =
diag(λ1 In1 , λ2 In2 , . . . , λs Ins ), dimana λ1 , λ2 , . . . , λs adalah nilai-nilai eigen
A yang berbeda, dan n1 + n2 + · · · + ns = n.
Secara struktur, Teorema 1.2.2 memberikan dekomposisi ruang vektor
n
C atas subruang-subruang yang saling ortogonal, dimana subruang-subruang
itu tidak lain daripada ruang-ruang eigen matriks A. Dengan demikian,
setiap vektor di masing-masing subruang dipetakan oleh A ke kelipatan
dirinya sendiri. Secara persis, kita dapat menuliskan Cn sebagai hasil tam-
bah langsung Cn = E1 ⊕ E2 ⊕ · · · ⊕ Es , dimana Ei adalah ruang eigen A
untuk nilai eigen λi , i = 1, 2 . . . , s, yang memenuhi Ei ⊥ Ej jika i 6= j.

1.3 Matriks Definit Taknegatif


Misalkan A ∈ Cm×n sembarang. Maka AA∗ adalah matriks Hermite. Lebih
jauh, setiap nilai eigen AA∗ tidak negatif: jika λ ∈ C adalah nilai eigen AA∗
x∗ AA∗ x kA∗ xk
dengan vektor eigen x, maka λ = = ≥ 0. Kita memiliki
x∗ x kxk
nama khusus untuk matriks dengan nilai eigen seperti itu.

Definisi 1.3.1. Matriks Hermite A ∈ Cn×n adalah matriks definit tak-


negatif [definit positif ] jika semua nilai eigen A tidak negatif [positif].

Dengan mengingat hubungan antara nilai eigen dan singularitas sebuah


matriks persegi, kita mempunyai sifat berikut.
10 1. MATRIKS NORMAL

Sifat 1.3.2. Misalkan A matriks definit tak-negatif. Maka:

(a) A definit positif jika dan hanya jika A tak-singular,

(b) jika A definit positif, maka A−1 juga definit positif.

Matriks definit tak-negatif memiliki sejumlah karakterisasi. Karakter-


isasi pertama berkaitan dengan variasi.

Teorema 1.3.3. Misalkan A ∈ Cn×n matriks Hermite. Maka:

(a) A definit tak-negatif jika dan hanya jika x∗ Ax ≥ 0, untuk setiap x ∈


Cn , dan

(b) A definit positif jika dan hanya jika x∗ Ax > 0, untuk setiap x ∈ Cn ,
x 6= 0.

Bukti: Kita berikan di sini bukti untuk (a). Bukti untuk (b) diberikan
sebagai latihan.
Misalkan A definit tak-negatif dan x ∈ Cn . Karena A Hermite, terda-
pat basis ortonormal {u1 , u2 , . . . , un } bagi Cn dengan Aui = λi ui , untuk
suatu λi ∈ R, i = 1, 2, . . . , n. Karena A definit tak-negatif, maka semua
Xn
λ1 , λ2 , . . . , λn tak-negatif. Tulis x = αi ui , dengan α1 , α2 , . . . , αn ∈ C.
i=1
Maka
 ∗  ∗
n n n n
! !
X X X X

x Ax =  αj uj  A α i ui = αj uj  αi Aui
j=1 i=1 j=1 i=1
 ∗
n n n X
n
!
X X X
=  αj uj  α i λ i ui = αj αi λi u∗j ui
j=1 i=1 j=1 i=1
n
X
= λj |αj |2 kuj k2 ≥ 0.
j=1

Untuk arah sebaliknya, misalkan x∗ Ax ≥ 0, untuk setiap x ∈ Cn . Misalkan


λ ∈ R nilai eigen A dengan vektor eigen u, u∗ u = 1. Maka 0 ≤ u∗ Au =
u∗ λu = λu∗ u = λ.
Ingat kembali bahwa submatriks dari matriks A adalah matriks yang
diperoleh dengan memilih baris-baris dan kolom-kolom dari A tanpa men-
gubah urutan. Sebagai alternatif, submatriks dari A adalah A sendiri atau
matriks yang diperoleh dengan menghapus sebagian baris atau kolom A.
1.3. MATRIKS DEFINIT TAKNEGATIF 11

Definisi 1.3.4. Submatriks utama berorde k dari matriks A adalah sub-


matriks yang diperoleh dengan membuang n − k baris dan n − k kolom
bernomor sama dari matriks A. Submatriks utama pemuka berorde k dari
matriks A adalah submatriks yang diperoleh dengan membuang n − k baris
dan n − k kolom terakhir dari matriks A.

Sifat 1.3.5. Misalkan A ∈ Cn×n matriks Hermite dan matriks B adalah


submatriks utama dari A. Jika A definit tak-negatif, maka B juga definit
tak-negatif. Jika A definit positif, maka B juga definit positif.

Bukti: Pertama-tama, asumsikan B adalah


" submatriks
# utama pemuka dari
B F
A yang berukuran k×k, sehingga A = , untuk suatu F ∈ Ck×(n−k)
F∗ C
dan C ∈ C(n−k)×(n−k) . Karena A matriks
" #Hermite, haruslah B juga matriks
y
Hermite. Misalkan y ∈ Ck . Tulis x = ∈ Cn . Maka
0
" #" # " #
h i B F y h i y

x Ax = y∗ 0∗ ∗
= y∗ B y∗ F = y∗ By.
F C 0 0

Dengan demikian, jika A definit tak-negatif, maka y∗ By ≥ 0, untuk setiap


y ∈ Ck , yaitu B definit tak-negatif. Jika A definit positif, maka y∗ By > 0,
untuk setiap y ∈ Ck , y 6= 0, yang berarti B definit positif.
Jika B bukan submatriks utama pemuka dari A, kita mempunyai matriks
permutasi P ∈ Cn×n , sehingga B adalah submatriks utama pemuka dari
PAPt . Perhatikan bahwa A dan PAPt = PAP−1 memiliki spektrum (him-
punan nilai eigen) yang sama. Jika A definit tak-negatif, maka PAPt juga
definit tak-negatif dan berdasarkan pembuktian yang telah kita lakukan B
definit tak-negatif.
Argumentasi serupa kita gunakan untuk menyimpulkan bahwa jika A
definit positif, maka B definit positif.

Akibat 1.3.6. Semua komponen diagonal utama matriks definit tak-negatif


senantiasa tak-negatif. Semua komponen diagonal utama matriks definit
positif senantiasa positif.
" #
−1 2
Sebagai contoh, matriks pasti tidak definit tak-negatif. Demi-
2 1
" #
0 2
kian pula, matriks pasti tidak definit positif.
2 1
12 1. MATRIKS NORMAL

Teorema berikut memberikan karakterisasi bagi matriks definit tak-negatif


dan definit positif berkaitan dengan minor (determinan submatriks utama).

Teorema 1.3.7. Misalkan A ∈ Cn×n matriks Hermite. Maka:

(a) A definit positif jika dan hanya jika determinan setiap submatriks
utama pemuka A positif, dan

(b) A definit tak-negatif jika dan hanya jika determinan setiap submatriks
utama A tak-negatif.

Untuk kasus definit tak-negatif, persyaratan pada determinan" subma- #


0 0
triks utama pemuka saja tidak cukup. Ini ditunjukkan oleh matriks
0 −1
yang determinan kedua submatriks utama pemukanya tak-negatif, tetapi
matriksnya sendiri tidak definit tak-negatif.
Untuk membuktikan Teorema 1.3.7 kita lihat terlebih dahulu hubungan
antara nilai-nilai eigen sebuah matriks Hermite dan nilai-nilai eigen subma-
triks utamanya.

Teorema 1.3.8. Misalkan A ∈ Cn×n matriks Hermite dengan nilai-nilai


eigen λ1 ≤ λ2 ≤ · · · ≤ λn . Untuk i = 1, 2, . . . , n, misalkan ui vektor eigen
A untuk λi . Jika 1 ≤ k < l ≤ n, maka

λk ≤ x∗ Ax ≤ λl ,

untuk semua x ∈ huk , uk+1 , . . . , ul i, x∗ x = 1.

Bukti: Cukup kita buktikan untuk kasus {u1 , u2 , . . . , un } bebas linier.


Karena A matriks Hermite, maka ruang-ruang eigen A saling ortogonal
dan kita dapat memilih {u1 , u2 , . . . un } himpunan ortonormal.
Misalkan 1 ≤ k < l ≤ n dan x ∈ huk , uk+1 , . . . , ul i, x∗ x = 1. Maka x =
l
X
αk uk +αk+1 uk+1 +· · · +αl ul , dengan αk , αk+1 , . . . , αl ∈ C dan |αi |2 = 1.
i=k
Perhatikan bahwa αi = u∗i x, i = k, . . . , l.
Karena A matriks Hermite, haruslah x∗ Ax ∈ R dan kita peroleh
l
X l
X l
X
x∗ Ax = x∗ A α i ui = x ∗ αi Aui = x∗ αi λi ui
i=k i=k i=k
l
X l
X l
X
= αi λi x∗ ui = αi λi αi = λi |αi |2 .
i=k i=k i=k
1.3. MATRIKS DEFINIT TAKNEGATIF 13

Karena λk ≤ λi ≤ λl , i = k, . . . , l − 1, maka
l
X l
X l
X
λk = λk |αi |2 ≤ λi |αi |2 ≤ λl |αi |2 = λl .
i=k i=k i=k

Jadi λk ≤ x∗ Ax ≤ λl .

Perhatikan bahwa, pada bukti di atas, u∗k Auk = λk dan u∗l Aul = λl .
Dengan demikian, λk = min{x∗ Ax | x ∈ huk , uk+1 , . . . , ul i, x∗ x = 1} dan
λl = maks{x∗ Ax | x ∈ huk , uk+1 , . . . , ul i, x∗ x = 1}. Ketika k = 1 dan l = n
kita memperoleh akibat berikut.

Akibat 1.3.9. Misalkan A ∈ Cn×n matriks Hermite dengan nilai-nilai


eigen λ1 ≤ λ2 ≤ · · · ≤ λn . Maka

λ1 = min

x∗ Ax dan λn = maks

x∗ Ax.
x x=1 x x=1

Vektor x pada Teorema 1.3.8 dan Akibat 1.3.9 di atas dibatasi pada
vektor dengan panjang 1. Kita dapat mengganti vektor tersebut dengan
sembarang vektor x yang taknol, tetapi ekspresi x∗ Ax juga diganti dengan
x∗ Ax
. Ekspresi ratio ini dikenal sebagai kuosien Rayleigh, sedangkan Aki-
x∗ x
bat 1.3.9 dikenal dengan nama Teorema Rayleigh-Ritz.
Teorema berikut dikenal dengan nama Teorema Sela (interlacing theo-
rem).

Teorema 1.3.10. Misalkan A ∈ Cn×n matriks Hermite dan B ∈ Ck×k


submatriks utama dari A. Misalkan pula nilai-nilai eigen A adalah λ1 ≤
λ2 ≤ · · · ≤ λn dan nilai-nilai eigen B adalah µ1 ≤ µ2 ≤ · · · ≤ µk . Maka

λi ≤ µi ≤ λn+i−k , untuk i = 1, 2, . . . , k.

Bukti: Tanpa mengurangi keumuman, misalkan B adalah submatriks utama


pemuka dari A. Misalkan uj ∈ Cn adalah vektor eigen A untuk nilai eigen
λj , j = 1, 2, . . . , n, dan yi ∈ Ck adalah vektor eigen B untuk nilai eigen
µi , i = 1, 2, . . . , k, sehingga
" # {u1 , u2 , . . . , un } dan {y1 , y2 , . . . , yk } keduanya
yi
bebas linier. Maka vi = ∈ Cn adalah vektor eigen matriks blok diago-
0
nal diag(B, 0) ∈ Cn×n untuk nilai eigen µi , i = 1, 2, . . . , k.
Misalkan i = 1, 2, . . . , k. Definisikan dua subruang K = hv1 , v2 , . . . , vi i dan
14 1. MATRIKS NORMAL

L = hui , ui+1 . . . , un i dari Cn . Maka dim(K) = i dan dim(L) = n − i + 1,


sehingga K ∩ L bukan ruang nol. " #
∗ y
Misalkan x ∈ K∩L, x x = 1. Maka x = , untuk suatu y ∈ hy1 , y2 , . . . , yi i.
0
Dengan Teorema 1.3.8 kita peroleh λi ≤ x∗ Ax = y∗ By ≤ µi .
Dengan hasil di atas yang dikenakan pada matriks −A kita memperoleh
µi ≤ λn+i−k .

Akibat 1.3.11. Misalkan A ∈ Cn×n matriks Hermite dan B ∈ C(n−1)×(n−1)


submatriks utama dari A. Misalkan pula nilai-nilai karakteristik A adalah
λ1 ≤ λ2 ≤ · · · ≤ λn dan nilai-nilai karakteristik B adalah µ1 ≤ µ2 ≤ · · · ≤
µn−1 . Maka

λ1 ≤ µ1 ≤ λ2 ≤ µ2 ≤ · · · ≤ λn−1 ≤ µn−1 ≤ λn .

Sekarang kita siap untuk membuktikan Teorema 1.3.7.


Bukti Teorema 1.3.7:
Misalkan A = [aij ] dan λ1 , λ2 , . . . , λn adalah nilai-nilai eigen A.
Untuk bagian (a):
(=⇒) Untuk n = 2: Dari Akibat 1.3.6, a11 > 0. Lalu, det(A) = λ1 λ2 > 0.
Misalkan sekarang n ≥ 3 sembarang dan implikasi (=⇒) pada Teorema 1.3.7
(a) benar untuk semua matriks berukuran n − 1. Misalkan Ak adalah sub-
matriks utama pemuka dari A yang berorde k, 1 ≤ k ≤ n − 1. Maka Ak
adalah submatriks utama pemuka dari matriks B yang diperoleh dengan
membuang baris dan kolom terakhir dari A. Dari Sifat 1.3.5, B definit
positif, sehingga semua submatriks utama pemuka dari B memiliki determi-
nan positif. Ini berarti determinan semua submatriks utama pemuka dari
A yang berukuran kurang dari n positif. Submatriks utama pemuka dari A
yang berukuran n adalah A sendiri. Akan tetapi, det(A) = λ1 λ2 · · · λn > 0,
dan bukti selesai.
(⇐=) Untuk n = 2: Karena a11 a22 − |a12 |2 = det(A) > 0, maka a11 a22 >
|a12 |2 ≥ 0. Karena a11 > 0, maka a22 > 0, sehingga λ1 + λ2 = tr(A) =
a11 + a22 > 0. Akibatnya salah satu dari λ1 atau λ2 harus positif. Karena
λ1 λ2 = det(A) > 0, haruslah λ1 , λ2 keduanya positif. Jadi A definit positif.
Misalkan sekarang n ≥ 3 sembarang dan implikasi (⇐=) pada Teorema
1.3.7 "(a) berlaku
# untuk semua matriks berukuran n − 1. Partisi A menjadi
B u
A= , dimana B berorde n − 1. Semua submatriks utama pemuka
u∗ α
1.3. MATRIKS DEFINIT TAKNEGATIF 15

dari B adalah submatriks utama pemuka dari A yang berukuran kurang


dari n. Dengan hipotesis induksi, B definit positif.
Misalkan nilai-nilai eigen A terurut sebagai λ1 ≤ λ2 ≤ · · · ≤ λn , dan nilai-
nilai eigen B adalah µ1 ≤ µ2 ≤ · · · ≤ µn−1 . Teorema Sela memberikan
urutan λi ≤ µi ≤ λi+1 , i = 1, 2, . . . , n − 1. Karena B definit positif, maka
det(A)
µ1 > 0, sehingga λ2 , . . . , λn semuanya positif. Akhirnya, λ1 = > 0.
λ2 · · · λn
Untuk bagian (b):
(=⇒) Bukti untuk implikasi ini serupa dengan bukti untuk bagian (a).
Xn
(⇐=) Polinom karakteristik untuk A dapat ditulis cA (t) = tn + (−1)i si tn−i ,
i=1
dimana si adalah jumlah determinan semua submatriks utama dari A yang
berukuran i×i, i = 1, 2, . . . , n. Karena determinan semua submatriks utama
dari A tak negatif, maka s1 , s2 , . . . , sn semuanya tidak negatif.
Misalkan λ sembarang nilai eigen A. Maka cA (λ) = 0. Andaikan λ < 0.
Jika n genap, maka λn positif dan (−1)i λn−i ≥ 0, i = 1, 2, . . . , n, sehingga
cA (λ) > 0. Sebaliknya, jika n ganjil, maka λn negatif dan (−1)i λn−i ≤ 0,
i = 1, 2, . . . , n, sehingga cA (λ) < 0. Kedua kasus n ini berakhir dengan
kontradiksi. Jadi haruslah λ ≥ 0.
Di awal subbab ini telah kita lihat bahwa matriks AA∗ definit tak-
negatif, untuk setiap matriks A sembarang. Kebalikannya juga berlaku.

Teorema 1.3.12. Misalkan A ∈ Cn×n matriks Hermite. Maka:

(a) A definit tak-negatif jika dan hanya jika terdapat matriks B ∈ Cn×n
yang memenuhi A = BB∗ , dan

(b) A definit positif jika dan hanya jika terdapat matriks tak-singular B ∈
Cn×n yang memenuhi A = BB∗ .

Bukti: Kita cukup membuktikan bagian “hanya jika” pada kedua perny-
ataan dalam teorema. Karena A matriks Hermite, terdapat matriks uniter
U ∈ Cn×n dan matriks diagonal D = diag (λ1 , λ2 , . . . , λn ) yang memenuhi
A = UDU∗ . Sifat definit tak-negatif pada A berarti λ1 , λ2 , . . . , λn se-
muanya tak-negatif. Pilih bilangan-bilangan kompleks α1 , α2 , . . . , αn , de-
ngan |αi |2 = λi , i = 1, 2, . . . , n. Definisikan B = U diag (α1 , α2 , . . . , αn ) U∗ .
16 1. MATRIKS NORMAL

Maka

BB∗ = (U diag (α1 , α2 , . . . , αn ) U∗ ) (U diag (α1 , α2 , . . . , αn ) U∗ )


= U diag |α1 |2 , |α2 |2 , . . . , |αn |2 U∗


= U diag (λ1 , λ2 , . . . , λn ) U∗ = A.

Dalam hal A definit positif, semua α1 , α2 , . . . , αn taknol, sehingga B tak-


singular.
Pada bukti di atas tampak bahwa B adalah matriks normal. Lebih jauh,
dari pemilihan bilangan-bilangan α1 , α2 , . . . , αn dalam pembuktian di atas,
kita lihat bahwa matriks normal B pada Teorema 1.3.12 tidaklah tunggal.
Akan tetapi, kita mempunyai teorema berikut.
Teorema 1.3.13. Misalkan A ∈ Cn×n matriks Hermite. Maka A definit
positif jika dan hanya jika terdapat matriks segitiga bawah tak-singular L ∈
Cn×n yang memenuhi A = LL∗ . Hanya ada satu matriks L yang semua
komponen diagonal utamanya real positif.
Bukti: Seperti pada Teorema 1.3.12, kita cukup membuktikan bagian “hanya
jika” saja. Ini kita lakukan
" dengan # induksi pada n. " #
a11 a21 l11 0
Untuk n = 2, jika A = , pilih matriks L = , dimana l11
a21 a22 l21 l22
det A a21 l11
memenuhi |l11 |2 = a11 , l22 memenuhi |l22 |2 = dan l21 = . Hanya
a11 a11 r
√ det A
satu l11 dan l22 positif yang memenuhi, yaitu l11 = a11 dan l22 = .
a11
Misalkan n ≥ 3 dan asumsikan teorema
" #berlaku untuk semua matriks berorde
B u
n − 1. Partisi A menjadi A = ∗ , dengan B berorde n − 1, u ∈ Cn−1
u α
dan α ∈ C. Dengan Sifat 1.3.5, B definit positif dan α real positif. Dari
hipotesis induksi kita peroleh B = L1 L∗1 , untuk suatu matriks segitiga
bawah L1 berorde n − 1. Matriks L1 "mestilah tak-singular. # Perhatikan
B u
bahwa karena A ekivalen baris dengan , maka det A =
0∗ α − u∗ B−1 u
" #
L1 0
α − u∗ B−1 u det B. Pilih matriks L = , dimana v = L−1

1 u dan
v∗ β
det A
β ∈ C yang memenuhi |β|2 = . Ketunggalan L diperoleh dari
detsAn−1
det A
ketunggalan L1 dan pemilihan β = .
det An−1
Penulisan A = LL∗ pada teorema ini dikenal sebagai faktorisasi Cholesky.
1.4. SOAL LATIHAN 17

1.4 Soal Latihan


1. Misalkan Sn adalah himpunan semua permutasi pada {1, 2, . . . , n} dan
Permn adalah himpunan semua matriks permutasi n × n. Tunjukkan
bahwa terdapat pemetaan bijektif Φ : Sn −→ Permn yang memenuhi
Φ (σ ◦ τ ) = Φ(τ )Φ(σ), untuk semua σ, τ ∈ Sn .

2. Misalkan A ∈ Cn×n . Tunjukkan bahwa terdapat matriks permutasi


P ∈ Cn×n yang memenuhi At = PAPt .

3. Misalkan A ∈ Cm×n dengan rank(A) = r. Tunjukkan bahwa terda-


pat matriks permutasi P, matriks-matriks B berukuran m × r dan
C berukuran r × n, yang memenuhi rank(B) = rank(C) = r dan
AP = BC.

4. Misalkan P1 , P2 , . . . , Pk matriks-matriks permutasi berorde n. Mis-


alkan αi ∈ R, 0 ≤ αi ≤ 1, i = 1, 2, . . . , k. Tunjukkan bahwa jumlah
Xk
komponen pada setiap baris matriks A = αi Pi konstan, demikian
i=1
pula dengan jumlah komponen setiap kolomnya.
!
1 2 3 4 5 6 7
5. Misalkan τ = .
2 6 5 7 3 1 4

(a) Tentukan matriks tak singular S ∈ C7×7 yaang memenuhi Pτ =


Sdiag (C1 , C2 , C3 ) S−1 , dimana
 
0 1 0 " #
0 1
C1 = 0 0 1 dan C2 = C3 = .
 
1 0
1 0 0

(b) Tentukan nilai-nilai dan vektor-vektor eigen Pτ .


 
0 1 0
6. Misalkan A = 1 0 1. Apakah terdapat matriks tak singular S
 

0 1 0
sehingga S−1 AS tidak simetris?

7. Misalkan A matriks normal. Buktikan bahwa ruang kolom A ortogo-


nal terhadap ruang nol A.
18 1. MATRIKS NORMAL

8. Misalkan A matriks normal berorde n dan Au = λu, untuk suatu


skalar λ dan u ∈ Cn yang memenuhi u∗ u = 1. Misalkan
" #X =
h i λ y ∗
u v2 v3 · · · vn ∈ Cn×n uniter. Jika X∗ AX = , di-
0 B
mana y ∈ Cn−1 dan B berorde n − 1, tunjukkan bahwa y = 0 dan
BB∗ = B∗ B.

9. Misalkan L matriks segitiga bawah. Buktikan bahwa L matriks normal


jika dan hanya jika L matriks diagonal.

10. Misalkan A matriks normal berorde n dan x ∈ Cn . Buktikan bahwa


x vektor eigen A jika dan hanya jika x vektor eigen A∗ .

11. Misalkan A ∈ Cn×n . Tunjukkan bahwa terdapat matriks-matriks


H, M ∈ Cn×n yang memenuhi H∗ = H, M∗ = −M dan A = H + M,
sehingga setiap matriks dapat dituliskan sebagai jumlah dua matriks
nomal.

12. Misalkan A, B ∈ Cn×n definit tak-negatif dan α, β bilangan-bilangan


real tak-negatif. Tunjukkan bahwa αA + βB definit tak-negatif.

13. Misalkan x1 , x2 , . . . , xn ∈ Cn . Misalkan komponen baris ke-i kolom


ke-j matriks A ∈ Cn×n adalah x∗j xi , i, j = 1, 2, . . . , n. Tunjukkan
bahwa A definit tak-negatif.

14. Misalkan A ∈ Cn×n matriks Hermite. Tunjukkan bahwa A definit


tak-negatif jika dan hanya jika A = B2 , untuk suatu matriks definit
tak-negatif B ∈ Cn×n . Tunjukkan bahwa dalam hal ini B tunggal.

15. Misalkan A matriks definit tak-negatif. Buktikan bahwa Ak definit


tak-negatif, untuk semua bilangan asli k.
 
1 2 3
16. Tunjukkan bahwa matriks A = 2 8 12 definit positif. Kemu-
 

3 12 27
dian, dapatkan faktorisasi Cholesky untuk A.
2

Faktorisasi Matriks

Diagonalisasi sebuah matriks persegi adalah contoh dekomposisi matriks.


Melalui dekomposisi, kita memberikan representasi matriks dalam bentuk
atau struktur yang lebih sederhana. Representasi ini pada dasarnya be-
rasal dari dekomposisi ruang vektor. Dalam bahasa matriks, dekomposisi
matriks kita maknai sebagai penulisan matriks sebagai perkalian matriks.
Secara umum, penulisan sebuah matriks sebagai perkalian dua atau lebih
matriks dikatakan sebagai faktorisasi matriks. Sebagaimana dekomposisi,
kita menginginkan faktorisasi matriks ke dalam faktor-faktor dengan ben-
tuk atau struktur yang lebih sederhana.

2.1 Dekomposisi Nilai Singular


Dalam Subbab 1.2 kita membicarakan diagonalisasi matriks normal oleh
matriks uniter. Diagonalisasi ini dapat kita pandang sebagai perubahan
matriks representasi sebuah operator linier (pemetaan linier dengan domain
dan kodomain yang sama). Secara persis, terdapat sebuah basis ortonormal
yang memberikan matriks representasi baru berupa matriks diagonal. Eksis-
tensi basis ortonormal demikian terbatas hanya untuk operator linier yang
memiliki matriks representasi berupa matriks normal. Bagaimana dengan
matriks lainnya?
Matriks yang tidak normal tidak mungkin serupa uniter dengan matriks
diagonal. Pada subbab ini, kita masih ingin mempertahankan representasi
diagonal terhadap basis ortonormal. Untuk itu kita harus mengorbankan
sifat keserupaan.
Misalkan A ∈ Cm×n . Dalam Subbab 1.3 telah kita lihat bahwa matriks

19
20 2. FAKTORISASI MATRIKS

AA∗ ∈ Cn×n adalah matriks definit tak-negatif. Sesungguhnyalah, menurut


Teorema 1.3.12, setiap matriks definit tak-negatif dapat dituliskan sebagai
perkalian sebuah matriks dengan transpos konyugatnya. Ini berarti semua
nilai eigen AA∗ tak-negatif. Kita buktikan terlebih dahulu sifat berikut.

Sifat 2.1.1. Misalkan A ∈ Cm×n . Maka Inti(A∗ ) = Inti(AA∗ ), yaitu untuk


setiap x ∈ Cm berlaku A∗ x = 0 jika dan hanya jika AA∗ x = 0.

Bukti: Bagian hanya jika jelas berlaku. Misalkan sekarang AA∗ x = 0.


Maka kA∗ xk2 = x∗ AA∗ x = x∗ 0 = 0. Jadi A∗ x = 0.

Teorema 2.1.2. Misalkan A ∈ Cm×n , A 6= 0. Maka terdapat bilangan asli


r ≤ min{m, n}, matriks diagonal D ∈ Rr×r yang semua komponen diag-
m×m , V ∈ Cn×n ,
onal utamanya positif
" # matriks-matriks uniter U ∈ C
dan
D 0
sehingga A = U V∗ .
0 0

Bukti: Tulis AA∗ = UΛU∗ , dimana U ∈ Cm×m uniter dan Λ = diag(λ1 , λ2 , . . . , λm ).


Dengan melakukan permutasi serentak pada baris-baris dan kolom-kolom
Λ bila perlu, kita dapat mengasumsikan λ1 , λ2 , . . . , λr semuanya positif,
sedangkan λr+1 = λr+2 = · · · = λm = 0, untuk suatu h r ≤ im. Pilih
√ √ √
D = diag( λ1 , λ2 , . . . , λr ). Partisi U menjadi U = U1 U2 , dimana
" #
D 2 0
U1 ∈ Cm×r . Maka Λ = , U∗1 U1 = Ir , U∗1 U2 = 0 dan AA∗ =
0 0
U1 D2 U∗1 . Dengan demikian, AA∗ U2 = 0, dan akibatnya A∗ U2 = 0.
Definisikan V1 = A∗ U1 D h
−1 ∈ Cn×r . Maka V∗ V = I . Perluas V men-
i 1 1 r 1
jadi matriks uniter V = V1 V2 ∈ C n×n . Kita peroleh

" # " #" #


D 0 h i D 0 V∗
∗ 1
U V = U1 U2
0 0 0 0 V2∗
" #
h i V∗
1
= U1 D 0
V2∗
= U1 DV1∗
∗
= U1 D A∗ U1 D−1
= U1 DD−1 U∗1 A = U1 U∗1 A.

Karena U uniter, maka Im = UU∗ = U1 U∗1 + U2 U∗2 , sehingga U1 U∗1 =


2.1. DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR 21

Im − U2 U∗2 . Dengan demikian,


" #
D 0
U V∗ = U1 U∗1 A
0 0
= A − U2 U∗2 A
= A − (A∗ U2 U∗2 )∗
= A.

Baris terakhir kita peroleh dari A∗ U2 = 0.

Definisi 2.1.3. Misalkan A ∈ Cm×n . Misalkan pula λ1 , λ2 , . . . , λr nilai-


nilai eigen positif AA∗ , u1 , u2 , . . . , ur dan v1 , v2 , . . . , vr seperti pada bukti

Teorema 2.1.2. Kita katakan λ adalah nilai singular dari A, dan untuk
i = 1, 2, . . . , r, vektor ui [vi ] dinamakan vektor singular kiri [kanan] matriks
A.
" #
D 0
Definisi 2.1.4. Dekomposisi A = U V∗ yang diberikan pada Teo-
0 0
rema 2.1.2 dinamakan dekomposisi nilai singular matriks A.

Dari Teorema 2.1.2 dan buktinya kita memperoleh fakta-fakta berikut:

1. Perhatikan bahwa AV = U1 D, sehingga kolom-kolom U1 menyusun


sebuah basis bagi Peta(A). Kemudian, AV2 = 0. Dengan mem-
perhatikan dimensi Inti(A), kita dapat menyimpulkan bahwa kolom-
kolom V2 menyusun sebuah basis bagi Inti(A). Akibatnya, bilangan
r pada Teorema 2.1.2 adalah rank A. Jadi, setiap matriks A ∈ Cm×n
memiliki nilai singular sebanyak ranknya.

2. Dekomposisi nilai singular menyatakan bahwa Cn terdekomposisi atas


subruang-subruang saling ortogonal yang dipetakan “konstan” oleh A
ke subruang-subruang dari Cm yang juga saling ortogonal.
√ √
3. Untuk i = 1, 2, . . . , r, Avi = λi ui dan A∗ ui = λi vi .

4. Sekali pun dekomposisi nilai singular tidak tunggal, biasanya diambil


√ √ √
urutan λ1 ≥ λ2 ≥ · · · ≥ λr sebagai " bentuk
# kanonik dekomposisi
D 0
nilai singular. Dalam hal ini, matriks tunggal.
0 0

5. Kalau kita kalikan ruas kanan pada dekomposisi nilai singular, kita
lihat bahwa submatriks-submatriks U2 dan V2 tidak berperan untuk
22 2. FAKTORISASI MATRIKS

menghasilkan A di ruas kiri. Oleh karena itu, kita mempunyai bentuk


ringkas dekomposisi nilai singular:

Teorema 2.1.5. Misalkan A ∈ Cm×n , A 6= 0. Maka terdapat bilangan asli


r ≤ min{m, n}, matriks diagonal D ∈ Rr×r yang semua komponen diagonal
utamanya positif dan matriks-matriks U ∈ Cm×r , V ∈ Cn×r yang memenuhi
U∗ U = Ir = V∗ V, sehingga A = UDV∗ .

Dalam hal ini kita mempunyai V = A∗ UD−1 .


h i
5. Pada Teorema 2.1.5, misalkan D = diag (σ1 , σ2 , . . . , σr ), U = u1 u2 . . . ur ,
h i X r
dan V = v1 v2 . . . vr . Maka kita peroleh A = σi ui vi∗ . Ruas
i=1
kanan hubungan terakhir ini dikenal dengan nama ekspansi hasilkali
luar matriks A. Dengan demikian, setiap matriks dapat dituliskan
sebagai hasil penjumlahan sejumlah hingga matriks dengan rank satu.

Dekomposisi nilai singular memberikan kepada kita sebuah faktorisasi,


yaitu faktorisasi kutub.

Teorema 2.1.6. Misalkan A ∈ Cm×n dengan m ≤ n. Maka terdapat


matriks definit tak-negatif P ∈ Cm×m dan U ∈ Cm×n yang memenuhi
UU∗ = Im sehingga PU = A dan rank(P) = rank(A). Dalam hal ini,
matriks P tunggal.

Bukti: Tulis dekomposisi nilai singular untuk A: A = W1 D1 V1∗ , dengan


D1 ∈ Rr×r matriks diagonal yang semua komponen diagonal utamanya
positif, W1 ∈ Cm×r , V1 ∈ Cn×r memenuhi W1∗ W1 = Ir = V1∗ V1 . Per-
luas D1 , W1 dan V1 menjadi D = diag(D, 0) ∈ Cm×m , W = [W1 W2 ] ∈
Cm×m , V = [V1 V2 ] ∈ Cn×m sehingga W uniter dan V∗ V = Im . Maka
WDV∗ = A.
Pilih P = WDW∗ ∈ Cm×m dan U = WV∗ ∈ Cm×n . Perhatikan bahwa P
definit tak-negatif, UU∗ = WV∗ VW∗ = WW∗ = Im , dan PU = A.
Selanjutnya, kita berikan di sini garis besar bukti ketunggalan P, rincian
diserahkan kepada pembaca.
Misalkan PU dan P1 U1 dua faktorisasi kutub untuk A. Dengan meninjau
AA∗ serta mengingat sifat Hermite P dan P1 , kita peroleh P2 = P21 . Di-
agonalisasi matriks Hermite memberikan konsekuensi bahwa vektor-vektor
eigen P dan P2 persis sama. Akibatnya, vektor-vektor eigen P dan P1 juga
2.2. FAKTORISASI SEGITIGA 23

persis sama. Dengan dasar yang sama, jika λ nilai eigen P2 , maka λ = µ2 ,
untuk suatu nilai eigen µ bagi P. Karena P definit tak-negatif, λ ada-

lah nilai eigen P2 jika dan hanya jika λ adalah nilai eigen P. Pernyataan
serupa juga berlaku untuk P1 . Ini membawa kita kepada kesimpulan bahwa
P1 = P.
Faktorisasi kutub pada matriks dapat dibandingkan dengan represen-
tasi kutub bilangan kompleks. Setiap bilangan kompleks z dapat dituliskan
sebagai perkalian sebuah bilangan real tak-negatif dengan sebuah bilangan
kompleks dengan modulus 1, yaitu dalam bentuk z = reiθ , untuk r, θ ∈ R,
r ≥ 0.

2.2 Faktorisasi segitiga


Dengan dekomposisi nilai singular, setiap matriks persegi ekivalen uniter
dengan suatu matriks diagonal. [Dua matriks persegi A dan B dikatakan
ekivalen jika terdapat matriks-matriks tak singular S dan T yang memenuhi
B = SAT. Kedua matriks A dan B ekivalen uniter jika S dan T adalah
matriks-matriks uniter.] Pengertian ekivalen ini lebih umum daripada ke-
serupaan. Keserupaan tidak lain dari ekivalensi dimana kita meminta syarat
tambahan T = S−1 .
Telah kita lihat bahwa hanya matriks normal yang serupa uniter de-
ngan matriks diagonal. Mempertahankan kediagonalan memaksa kita me-
longgarkan keserupaan menjadi ekivalensi. Sebaliknya, mempertahankan
keserupaan memaksa kita melepaskan kediagonalan. Secara umum, matriks
persegi hanya serupa uniter dengan matriks segitiga.

Teorema 2.2.1 (Dekomposisi Schur). Misalkan A ∈ Cn×n . Maka terda-


pat matriks uniter U ∈ Cn×n dan matriks segitiga atas R ∈ Cn×n yang
memenuhi A = URU∗ .

Teorema Schur ini dapat dibuktikan menggunakan induksi terhadap n


dengan cara yang serupa dengan pembuktian Teorema 1.2.2.
Belakangan nanti akan kita lihat bahwa dengan melepaskan syarat uniter
kita dapat memperoleh matriks segitiga dengan struktur yang lebih baik.
Bila komponen-komponen di luar diagonal utama matriks segitiga pada
dekomposisi Schur tidak teridentifikasi, dekomposisi yang akan kita tinjau
nanti memberikan informasi tentang komponen-komponen tersebut.
24 2. FAKTORISASI MATRIKS

Bila pada dekomposisi kita berbicara tentang mencari representasi lain


bagi matriks sebagai pemetaan linier, dalam pembicaraan selanjutnya kita
ingin “memecah” matriks sebagai hasil perkalian dua matriks lain. Dalam
bahasa pemetaan, yang akan kita tinjau tidak lain dari menuliskan pemetaan
linier sebagai komposisi dua pemetaan linier.
Pada Bab 1 kita telah mengenal faktorisasi yang melibatkan matriks
segitiga, yaitu faktorisasi Cholesky (lihat Teorema 1.3.13). Faktorisasi ini
berlaku untuk matriks definit positif. Secara umum kita mempunyai fak-
torisasi berikut.

Teorema 2.2.2. Misalkan A ∈ Cn×n dengan rank(A) = r. Jika deter-


minan submatriks utama pemuka berorde k dari A taknol, k = 1, 2, . . . , r,
maka A = LR, untuk suatu matriks segitiga bawah L ∈ Cn×n dan matriks
segitiga atas R ∈ Cn×n .

Bukti: Pertama-tama, kita gunakan induksi pada n untuk membuktikan


kasus A tak singular.
Misalkan n = 2 dan A = [aij ]. Maka
" # " #
1 0 a11 a12
L= ,R =
a21 /a11 1 0 a22 − a12 a21 /a11

memenuhi LR = A.
Asumsikan A ∈ Cn×n dan teorema berlaku untuk semua matriks tak " singu-
#
B w
lar berukuran (n − 1) × (n − 1). Partisi matriks A menjadi A = ∗ ,
z α
dengan B ∈ C(n−1)×(n−1) . Dengan hipotesis teorema, B tak singular dan
memenuhi hipotesis induksi, sehingga B = L1 R1 , dimana L1 matriks segit-
iga bawah dan R1 matriks segitiga atas. "Karena B tak
# singular, L1 dan R1
L1 0
keduanya juga tak singular. Maka L = ∗ −1 adalah matriks segit-
z R1 1
" #
R1 L−1
1 w
iga bawah, R = adalah matriks segitiga atas dan
0∗ α − z∗ R−1 −1
1 L1 w
LR = A.
Sekarang misalkan A singular dengan rank r. Maka A memiliki submatriks
utama pemuka B berukuran r ×r yang tak singular dan memenuhi hipotesis
teorema, sehingga B = L1 R1 , untuk suatu matriks segitiga bawah L1 dan
matriks segitiga atas R1 . Karena rank(A) = r terdapat matriks-matriks
2.2. FAKTORISASI SEGITIGA 25

C ∈ Cr×(n−r) , E ∈ C(n−r)×r , sehingga A memiliki bentuk blok


" #
B BC
A =
EB EBC
" #
L1 R1 L1 R1 C
= .
EL1 R1 EL1 R1 C
" # " #
L1 0 R1 R1 C
Pilih L = dan R = . Maka L matriks segitiga
EL1 0 0 0
bawah, R matriks segitiga atas dan LR = A.
Faktorisasi pada Teorema 2.2.2 ini lazim dikenal sebagai faktorisasi LU
karena diperkenalkan dengan menggunakan notasi U untuk matriks segit-
iga atas. Pada dasarnya, faktorisasi ini adalah notasi matriks untuk hasil
eliminasi Gauss, tanpa pertukaran baris, pada matriks A.
Faktorisasi LU , bila ada, tidak mesti tunggal. Kita dapat memperoleh
ketunggalan dengan menambahkan syarat bahwa L tak singular dan semua
komponen diagonal utama L adalah 1. Dari sisi eliminasi Gauss, ketung-
galan ini kita peroleh jika kita membatasi diri hanya pada satu tipe operasi
baris elementer saja, yaitu menjumlahkan satu baris dengan kelipatan baris
lainnya.
Proses ortonormalisasi Gram-Schmidt kita gunakan untuk memperoleh
basis ortonormal dari sebuah basis sembarang. Dalam bahasa matriks,
proses Gram-Schmidt mengubah matriks tak-singular A ∈ Cn×n menjadi
matriks uniter Q ∈ Cn×n . Dengan memperhatikan bagaimana proses ortonor-
malisasi ini bekerja, kita lihat bahwa kedua matriks tersebut memenuhi
hubungan A = QR, untuk suatu matriks segitiga atas R ∈ Cn×n .
Proses Gram-Schmidt dapat juga kita kenakan pada himpunan bebas
linier selain basis. Teorema berikut merupakan konsekuensi proses Gram-
Schmidt.

Teorema 2.2.3. Misalkan A ∈ Cm×n dengan m ≥ n. Jika rank(A) = n,


maka A = QR, untuk suatu Q ∈ Cm×n yang memenuhi Q∗ Q = In dan
matriks segitiga atas R ∈ Cn×n . Dengan menambahkan persyaratan bahwa
semua komponen diagonal utama R real positif, faktorisasi ini tunggal.

Faktorisasi yang diperkenalkan dalam teorema ini dikenal sebagai fak-


torisasi QR. Berbagai teknik dalam komputasi matriks bersandar pada
faktorisasi QR ini.
26 2. FAKTORISASI MATRIKS

Secara teoritis, proses Gram-Schmidt memberikan bukti konstruktif un-


tuk faktorisasi QR. Akan tetapi, dalam prakteknya kita menggunakan
teknik lain dalam melakukan faktorisasi ini. Dua teknik, refleksi House-
holder dan rotasi Givens, telah digunakan secara luas.
2vv∗
Teorema 2.2.4. Misalkan v ∈ Cn , v 6= 0. Maka H = In − adalah
v∗ v
⊥ n ∗
refleksi terhadap subruang v = {y ∈ C | y v = 0}, yaitu Hx = y − αv,
untuk setiap x = y + αv ∈ Cn , dengan y ∈ v⊥ , α ∈ C.

Bukti: Dengan menghitung langsung:


2vv∗
 
Hx = In − ∗ (y + αv)
v v
2v∗ y
= y + αv − ∗ − 2αv
v v
= y − αv.

Kesamaan terakhir diperoleh karena y ∈ v⊥ .


Matriks H pada Teorema 2.2.4 disebut refleksi Householder.

Teorema 2.2.5. Refleksi Householder H adalah matriks Hermite, memenuhi


H2 = In , dan, dengan demikian, H uniter.

Bukti: Dengan menghitung langsung. Bukti lengkap diserahkan pada pem-


baca.
Gagasan menggunakan refleksi Householder untuk memperoleh faktorisasi
QR untuk matriks A adalah mencari vektor v sehingga H memetakan kolom
pertama A ke kelipatan e1 (vektor ei adalah unsur basis baku bagi Cn de-
ngan komponen 1 pada posisi ke-i). Sifat uniter H mengharuskan vektor
hasil peta tersebut memiliki norma Euklid yang sama dengan norma kolom
pertama A.
Refleksi Householder kita gunakan untuk memperoleh vektor dengan
komponen nol dalam jumlah banyak. Untuk matriks real, ketika kita ingin
mendapatkan komponen nol secara lebih selektif, kita menggunakan rotasi
Givens.

Definisi 2.2.6. Matriks G ∈ Rn×n dinamakan rotasi Givens jika


 
cos θ − sin θ 0
G = P  sin θ cos θ 0  Pt ,
 

0 0 In−2
untuk suatu matriks permutasi P dan skalar θ ∈ R.
2.2. FAKTORISASI SEGITIGA 27

Ini berarti, komponen-komponen matriks G = [gij ] selain gkk , gkl , glk


dan gll sama dengan komponen-komponen matriks identitas, untuk suatu
1 ≤ k, l ≤ n, k 6= l. Dengan menghitung langsung, kita memperoleh sifat
berikut.
Sifat 2.2.7. Matriks G adalah matriks ortogonal.
Secara geometri, G adalah matriks rotasi pada bidang-kl sebesar θ (ber-
lawanan dengan arah jarum jam).
Selain matriks segitiga, bentuk lain yang juga banyak digunakan dalam
komputasi matriks adalah bentuk Hessenberg. Matriks A = [aij ] ∈ Cn×n
dikatakan matriks Hessenberg jika aij = 0, untuk semua 1 ≤ j + 1 < i ≤ n.
Kita dapat memanfaatkan refleksi Householder untuk memperoleh fak-
torisasi A = US, dimana U, S ∈ Cn×n , U matriks uniter, dan S matriks
Hessenberg. Lebih jauh, dengan menggunakan rangkaian refleksi House-
holder yang sama di sebelah kanan, bentuk Hessenberg yang telah diperoleh
pada faktorisasi A = US di atas akan tetap dalam bentuk Hessenberg. Ini
memberi kita teorema berikut.
Teorema 2.2.8. Misalkan A ∈ Cn×n . Maka terdapat matriks uniter U ∈
Cn×n dan matriks Hessenberg S ∈ Cn×n yang memenuhi A = USU∗ .
Keperluan akan bentuk Hessenberg akan tampak ketika kita bekerja di
lapangan real. Dekomposisi Schur tidak berlaku kalau C kita ganti dengan
R. Kegagalan terjadi manakala matriks real yang didekomposisi memiliki
nilai eigen bukan real. Dalam hal ini, hasil paling mendekati yang dapat
diperoleh adalah bentuk Hessenberg sebagai pengganti matriks segitiga.
Teorema 2.2.9. Misalkan A ∈ Rn×n . Maka terdapat matriks ortogonal
Q ∈ Rn×n sehingga berlaku
 
Λ1 N12 N13 ··· N1k
 
0
 Λ2 N23 ··· N2k 

Qt AQ =  0 0 Λ3 ··· N3k 
,

 . .. .. .. .. 
 .. . . . . 
 
0 0 0 ··· Λk
dimana Λ1 , Λ2 , . . . , Λk adalah matriks-matriks berukuran 1 × 1 atau 2 × 2,
dan Λi berukuran 2 × 2 hanya jika nilai-nilai eigennya tak real.
" #
α −β
Matriks Λi berukuran 2 × 2 pada teorema di atas berbentuk
β α
jika λ = α + i β adalah nilai eigen A, dengan β 6= 0.
28 2. FAKTORISASI MATRIKS

2.3 Soal Latihan


1. Misalkan λ ∈ R, λ > 0. Tunjukkan bahwa λ nilai karakteristik AA∗
jika dan hanya jika λ nilai karakteristik A∗ A.

2. Misalkan A ∈ Cn×n memenuhi A∗ = −A.

(a) Apa yang bisa dikatakan tentang nilai-nilai karakteristik A?


(b) Tentukan dekomposisi nilai singular untuk A.

3. Berikan bukti alternatif untuk Teorema 2.1.2 dengan pertama-tama


mendiagonalisasi A∗ A.

4. Misalkan σmaks (A) menyatakan nilai singular terbesar A. Buktikan


bahwa
σmaks (A) = maks{|x∗ Ay| | x ∈ U2m , y ∈ U2n }
dimana U2k = {x ∈ Ck | kxk2 = 1}.

5. Misalkan A ∈ Cm×n , rank(A) = r, dan B diperoleh dengan mem-


buang kolom terakhir A sehingga rank(B) = r − 1. Misalkan nilai-
nilai singular A adalah σ1 ≤ σ2 ≤ · · · ≤ σr dan nilai-nilai singular
B adalah τ1 ≤ τ2 ≤ · · · ≤ τr−1 . Tunjukkan bahwa σi ≤ τi ≤ σi+1 ,
i = 1, 2, . . . , r − 1.

6. Misalkan A, B ∈ Cm×n . Buktikan bahwa

σmaks (A + B) ≤ σmaks (A) + σmaks (B),

dimana σmaks (X) menyatakan nilai singular terbesar matriks X.

7. Misalkan A ∈ Cn×n tak-singular. Jika PU = A adalah dekomposisi


kutub untuk A, tunjukkan bahwa A normal jika dan hanya jika PU =
UP.
 
α 2 0
8. Tentukan semua α ∈ C yang membuat matriks A =  1 α 1  tidak
 

0 1 α
memiliki faktorisasi LU .

9. Misalkan A ∈ Cn×n tak singular dan A = QR = Q1 R1 adalah dua


faktorisasi QR untuk matriks A. Tunjukkan bahwa terdapat matriks
diagonal D = diag(d1 , d2 , . . . , dn ), dengan |d1 | = |d2 | = · · · = |dn | = 1,
sehingga berlaku Q = Q1 D.
2.3. SOAL LATIHAN 29
 
1 19 −34
10. Diberikan matriks real A = −2 −5 20, gunakan refleksi House-
 

2 8 37
holder untuk memperoleh faktorisasi QR bagi A. Kemudian, gunakan
rotasi Givens untuk tujuan yang sama. [Gunakan kalkulator, lakukan
pembulatan sampai 4 angka di belakang koma.]
h i
11. Misalkan A = a1 a2 · · · an ∈ Cn×n . Tentukan v ∈ Cn sehingga
2vv∗
H = In − ∗ memenuhi Ha1 = ka1 ke1 .
v v
12. Buktikan Teorema 2.2.5.

13. Misalkan A = [aij ] ∈ Rn×n . Tentukan θ ∈ R sehingga


 
cos θ sin θ 0
− sin θ cos θ 0 A
 

0 0 In−2

memiliki komponen nol pada baris kedua kolom pertama.

14. Jika A ∈ Cn×n matriks tridiagonal, haruskah matriks R hasil fak-


torisasi QR matriks A adalah matriks diagonal? Mengapa?
[A = [aij ] matriks tridiagonal jika aij = 0, untuk semua i, j yang
memenuhi |i − j| > 1.]

15. Buktikan Teorema 2.2.8.


30 2. FAKTORISASI MATRIKS
3

Norma Matriks

Konsep ruang vektor merupakan rampatan sifat-sifat aljabar vektor di bidang


dan di ruang. Selain sifat aljabar, vektor di bidang dan ruang juga memiliki
sifat-sifat geometris yang bertumpu pada konsep sudut dan jarak. Dengan
memperkenalkan konsep hasilkali dalam di ruang vektor, kita memunculkan
kembali sejumlah sifat geometris vektor.
Sekali pun adanya konsep sudut membuat tinjauan geometris pada ruang
vektor lebih lengkap, konsep jarak sudah memadai untuk berbagai keper-
luan. Secara aljabar, ini kita lakukan melalui konsep norma.
Sudah kita ketahui bahwa ruang matriks m × n isomorfik dengan ruang
vektor berdimensi mn. Melalui isomorfisma ini, kita dapat menggunakan
sembarang norma ruang vektor berdimensi mn untuk ruang matriks m × n.
Ketika perkalian matriks juga kita perhitungkan, norma tersebut memer-
lukan syarat yang lebih keras.
Dalam bab ini kita akan membicarakan norma matriks, khususnya untuk
matriks persegi. Sebelum itu, kita akan membicarakan beberapa hal yang
berkaitan dengan norma vektor.

3.1 Norma Vektor

Pertama-tama,
h kita berikan sejumlah
it norma yang lazim digunakan di Cn .
Untuk x = x1 x2 . . . xn :

n
X
1. kxk1 = |xi |;
i=1

31
32 3. NORMA MATRIKS

n
!1/2
X
2
2. kxk2 = |xi | ;
i=1

3. kxk∞ = maks |xi |.


i

Secara umum kita mempunyai, untuk p ∈ R, p ≥ 1, norma-p:

n
!1/p
X
p
4. kxkp = |xi | .
i=1

Ketaksamaan segitiga untuk norma-p dikenal sebagai ketaksamaan Min-


kowski. Pembuktian ketaksamaan Minkowski dapat menggunakan ram-
patan ketaksamaan Cauchy-Bunyakovsky-Schwarz, yaitu ketaksamaan Hölder.

Sifat 3.1.1 (Ketaksamaan Hölder). Misalkan p, q ∈ R positif dan memenuhi


1 1
+ = 1. Maka |y∗ x| ≤ kxkp kykq , untuk setiap x, y ∈ Cn .
p q

Bukti:
Tanpa mengurangi keumuman, asumsikan xi dan yi real positif, i = 1, 2, . . . , n.
Pertama-tama, misalkan kxkp = kykq = 1. Maka xi < 1 dan yi < 1,
i = 1, 2, . . . , n. Misalkan i = 1, 2, . . . , n. Definisikan ai = p ln xi dan
bi = q ln yi . Sifat cekung ke atas fungsi eksponensial memberikan

1 1
xi yi = eai /p+bi /q ≤ eai + ebi
p q
1 p 1 q
= x + yi .
p i q

Dengan menjumlahkan terhadap i = 1, 2, . . . , n, kita peroleh

1 1
y∗ x ≤ + = kxkp kykq .
p q

Dalam hal norma x atau y bukan 1, ambil x̂ = x/kxkp dan ŷ = y/kykq .


Maka kx̂kp = kŷkq = 1 dan

ŷ∗ x̂ ≤ kx̂kp kŷkq .

Mengalikan kedua ruas dengan kxkp kykq memberikan y∗ x ≤ kxkp kykq .


Dalam hal komponen-komponen x dan y real tak-negatif, kita perpendek
x dan y menjadi berturut-turut w dan z dengan membuang semua posisi di
3.1. NORMA VEKTOR 33

mana komponen x atau y adalah 0. Maka semua komponen w dan z real


positif. Selanjutnya kita peroleh:

|y∗ x| = y∗ x = z∗ w
≤ kzkp kwkq
≤ kykp kxkq .

Akhirnya, misalkan x, y ∈ Cn sembarang. Misalkan w, z ∈ Cn dengan


wi = |xi |, zi = |yi |, i = 1, 2, . . . , n. Maka kxkp = kwkp dan kykp = kzkp .
Ketaksamaan segitiga bilangan kompleks memberikan
n
X

|y x| = | yi xi |
i=1
n
X
≤ |yi | |xi | = z∗ w
i=1
≤ kzkp kwkq = kxkp kxkq .

Teorema 3.1.2 (Ketaksamaan Minkowsi). Misalkan p ∈ R, p ≥ 1. Maka


untuk setiap x, y ∈ Cn berlaku
n
!1/p n
!1/p n
!1/p
X X X
|xi + yi |p ≤ |xi |p + |yi |p .
i=1 i=1 i=1

Bukti: Pertama-tama, kita peroleh kx + ykpp = |xi + yi |p =


P P
|xi +
p−1 p−1 p−1
P P
yi ||xi + yi | ≤ |xi ||xi + yi | + |yi ||xi + yi | . Dengan ketaksamaan
1/q
|xi ||xi + yi |p−1 ≤ kxkp |xi + yi |q(p−1)
P P
Hölder, kita peroleh , dimana
1/p + 1/q = 1. Syarat 1/p + 1/q = 1 berakibat q(p − 1) = p dan 1/q =
1/q
|xi + yi |q(p−1) = ( |xi + yi |p )(p−1)/p =
P P
(p−1)/p. Dengan demikian,
kx + ykp−1 |xi ||xi + yi |p−1 ≤ kxkp kx + ykp−1
P
p , sehingga p . Dengan cara
p−1 ≤ kykp kx + ykp . Jadi, kx + ykpp ≤ kxkp kx +
p−1
P
serupa, |yi ||xi + yi |
ykp−1
p + kykp kx + ykp−1 p = (kxkp + kykp ) kx + ykp−1 p , dan ketaksamaan
Minkowski segera kita dapatkan.
Indeks tak hingga pada norma maksimum modulus memperooleh pem-
benaran dari sifat berikut.

Sifat 3.1.3. Untuk setiap x ∈ Cn berlaku

kxk∞ = lim kxkp .


p→∞
34 3. NORMA MATRIKS

Bukti: Untuk x = 0, pernyataan jelas benar. Misalkan x 6= 0 dan |xm |


adalah maksimum modulus komponen-komponen x. Maka:
X 1/p
kxkp = |xi |p
 1/p
|xi | p
X 
= |xm |
|xm |
X xi p 1/p

= |xm | k +
xm ,

dimana k ≥ 1 menyatakan banyaknya komponen x yang modulusnya sama


dengan |xm | dan penjumlahan pada ekspresi terakhir diambil untuk se-
mua komponen x yang modulusnya lebih kecil dari |xm |. Dengan kalkulus,
X xi p 1/p

k+
xm −→ 1 jika p −→ ∞, dan Sifat 3.1.3 terbukti.
Norma vektor pada Cn membawa sebuah metrik di ruang tersebut, se-
hingga memungkinkan kita berbicara tentang sifat-sifat analitis pada Cn .

Sifat 3.1.4. Diberikan sembarang norma k·k pada Cn , definisikan d(x, y) =


kx − yk, ∀x, y ∈ Cn . Maka berlaku:

1. d(x, y) ≥ 0, ∀x, y ∈ Cn , dan d(x, y) = 0 jika dan hanya jika x = y;

2. d(x, y) = d(y, x), ∀x, y ∈ Cn ;

3. d(x, y) ≤ d(x, z) + d(z, y), ∀x, y, z ∈ Cn .

Dengan demikian, Cn adalah sebuah ruang metrik dengan metrik d. Per-


hatikan bahwa ketiga sifat pada Sifat 3.1.4 adalah sifat-sifat jarak antara dua
vektor di garis, ruang dan bidang. Ini berarti bahwa metrik tidak lain dari
rampatan pengertian jarak.
Tujuan pembahasan kita selanjutnya adalah menunjukkan bahwa sifat-
sifat analitis ruang vektor bernorma yang berdimensi hingga tidak bergan-
tung pada norma yang digunakan. Sebagai contoh, sebuah barisan di Cn
yang konvergen menurut satu norma juga konvergen menurut norma yang
satu lagi. Hal ini terjadi karena semua norma pada ruang demikian ekivalen.
Perhatikan bahwa, sesuai namanya, ekivalensi norma adalah sebuah relasi
ekivalen.

Definisi 3.1.5. Dua norma k · k0 dan k · k00 di Cn dikatakan ekivalen jika


terdapat konstanta-konstanta real positif m dan M yang memenuhi

mkxk0 ≤ kxk00 ≤ M kxk0 , ∀x ∈ Cn .


3.1. NORMA VEKTOR 35

Pertama-tama, subhimpunan tak hampa S dari sebuah ruang metrik


dikatakan tertutup jika setiap barisan di S yang konvergen mestilah kon-
vergen ke suatu unsur S. Barisan {xk } kita katakan konvergen ke a jika
d(xk , a) −→ 0 ketika k −→ ∞.

Sifat 3.1.6. Misalkan k · k sembarang norma di Cn . Himpunan U = {x ∈


Cn | kxk = 1} bersifat tertutup dan terbatas dengan metrik yang diturunkan
dari norma k · k.

Bukti: Sifat terbatas U jelas terpenuhi.


Sekarang misalkan {uk } barisan di U yang konvergen ke a. Akan ditun-
jukkan bahwa a ∈ U , yaitu bahwa kak = 1. Perhatikan bahwa 0 ≤
|1 − kak| = |kuk k − kak| ≤ kuk − ak. Karena uk konvergen ke a, maka
kuk − ak konvergen ke 0. Akibatnya, |1 − kak| = 0, sehingga kak = 1.
Secara khusus, Sifat 3.1.6 berlaku untuk norma k · k1 . Kita akan tun-
jukkan bahwa semua norma di Cn ekivalen dengan norma k · k1 .

Sifat 3.1.7. Dengan metrik yang diturunkan dari norma k · k1 , sembarang


fungsi norma k · k : Cn −→ R kontinu di U1 = {x ∈ Cn | kxk1 = 1}.

Bukti: Pertama-tama, kita buktikan bahwa terdapat konstanta real posi-


tif c yang memenuhi kxk ≤ ckxk1 , untuk semua x ∈ Cn . Misalkan x =
n
X n
X
[α1 α2 · · · αn ]t ∈ Cn , maka x = αi ei . Kita peroleh kxk ≤ |αi |kei k ≤
i=1 i=1
n
X n
X
|αi | maks kej k = c |αi | = ckxk1 , dimana c = maksj kej k.
j
i=1 i=1
Selanjutnya, misalkan {uk } barisan di U1 yang konvergen (menurut metrik
yang diturunkan dari k · k1 ) ke a ∈ U1 . Maka 0 ≤ |kuk k − kak| ≤ kuk − ak ≤
ckuk − ak1 . Karena kuk − ak1 konvergen ke 0, maka kuk k − kak juga kon-
vergen ke 0, sehingga kuk k konvergen ke kak, bukti selesai.
Dengan menggunakan Teorema Weierstrass (setiap fungsi real yang kon-
tinu pada himpunan yang tertutup dan terbatas mencapai maksimum dan
minimum di himpunan tersebut), Sifat 3.1.7 membawa konsekuensi berikut:

Teorema 3.1.8. Setiap norma sembarang k · k mencapai maksimum dan


minimum di U1 = {x ∈ Cn | kxk1 = 1}.

Misalkan norma k · k mencapai maksimum dan minimum berturut-turut


M dan m di U1 . Perhatikan bahwa M dan m keduanya positif. Misalkan
36 3. NORMA MATRIKS

pula x sembarang vektor taknol di ∈ Cn . Maka



x
m≤ kxk1 ≤ M.

Dengan menggunakan sifat norma kita peroleh

mkxk1 ≤ kxk ≤ M kxk1 .

Ini berarti bahwa setiap norma di Cn ekivalen dengan norma k · k1 .


Dengan menggunakan fakta bahwa ekivalensi norma adalah sebuah relasi
ekivalen kita mempunyai teorema berikut.

Teorema 3.1.9. Setiap dua norma k · k0 dan k · k00 di Cn ekivalen.

Teorema 3.1.9 berlaku untuk ruang berdimensi hingga. Contoh penyang-


kal dapat kita temukan pada ruang vektor ` = {(a1 , a2 , . . . ) | ai ∈ C, hampir
semuanya 0}, dengan operasi komponen demi komponen. Maka k · k1 dan
k · k∞ keduanya norma di `, tetapi keduanya tidak ekivalen (lihat Soal Lati-
han 4).

3.2 Norma Matriks


Telah kita ketahui bahwa himpunan matriks Cm×n membentuk ruang vek-
tor atas C yang isomorfik dengan Cmn . Sebagai akibatnya, ruang matriks
ini dapat kita perlengkapi dengan norma, yaitu dengan mengambil norma
vektor di Cmn .
Dalam hal m = n, kita juga mempunyai operasi perkalian di Cn×n .
Dalam kasus ini, kita dapat menginginkan adanya kaitan antara norma ma-
triks dengan operasi perkalian.

Definisi 3.2.1. Pemetaan ν : Cn×n −→ R adalah norma matriks jika


berlaku:

1. ν(A) ≥ 0, ∀A ∈ Cn×n , dan ν(A) = 0 ⇐⇒ A = 0;

2. ν(A + B) ≤ ν(A) + ν(B), ∀A, B ∈ Cn×n ;

3. ν(αA) = |α| ν(A), ∀α ∈ C, A ∈ Cn×n ; dan

4. ν(AB) ≤ ν(A)ν(B), ∀A, B ∈ Cn×n .


3.2. NORMA MATRIKS 37

Sifat 1 kita namakan kepositifan, Sifat 2 ketaksamaan segitiga, dan Sifat


4 submultiplikatif.
Sebagaimana norma vektor, kita lazim menggunakan notasi kAk untuk
menyatakan norma matriks A.
Berikut ini beberapa norma matriks A = [aij ] ∈ Cn×n yang banyak
digunakan.

n
X
1. kAk1 = maks |aij | (jumlah modulus kolom terbesar);
j
i=1

2. kAk2 = maks σi (A) (nilai singular terbesar);


i

n
X
3. kAk∞ = maks |aij | (jumlah modulus baris terbesar);
i
j=1

v
u n X
n
uX
4. kAkF = t |aij |2 (norma Frobenius).
i=1 j=1

Ekivalensi norma yang kita bicarakan di atas juga berlaku untuk norma
matriks. Ini kita peroleh karena ekivalensi norma tidak memerlukan sifat
submultiplikatif.
Norma matriks yang kita perkenalkan di atas memuat subskrip. Peng-
gunaan subskrip tersebut memiliki makna tersendiri.

Teorema 3.2.2. Misalkan A ∈ Cn×n . Untuk sembarang norma k · k di Cn ,


kAxk
kAk := maks = maks kAxk mendefinisikan sebuah norma matriks di
x6=0 kxk kxk=1
Cn×n .

Bukti: Pertama-tama, kita tunjukkan bahwa maksimum pada definisi me-


mang ada. Mengingat Sifat 3.1.6, kita cukup menunjukkan bahwa fungsi
x 7−→ kAx|| kontinu di U = {x ∈ Cn | kxk = 1}. Karena norma vektor di
Cn ekivalen, kita dapat menggunakan norma k · k1 .
Misalkan barisan {uk } di U konvergen ke w ∈ U . Ini berarti bahwa
kuk − wk1 konvergen ke 0. Akan ditunjukkan bahwa |kAuk k − kAwk| kon-
vergen ke 0. Untuk i = 1, 2, . . . , n, modulus komponen ke-i pada A (uk − w)
38 3. NORMA MATRIKS

memenuhi

n
X  
|(A (uk − w))i | = aij (uk )j − wj
j=1
X n
≤ |aij | (uk )j − wj

j=1
 
n
X n
X
≤  |aij | (uk )j − wj

j=1 j=1
 
n
X
=  |aij | kuk − wk1 .
j=1

Dengan menjumlahkan kedua ruas, kita peroleh

0 ≤ kAuk − Awk1
= kA(uk − w)k1
Xn
= |(A(uk − w))i |
i=1
 
n
X n
X
≤  |aij | kuk − wk1
i=1 j=1
n X
X n
= kuk − wk1 |aij | .
i=1 j=1

Karena kuk − wk1 konvergen ke 0, maka kAuk − Awk1 konvergen ke 0.


Dengan ekivalensi norma di Cn , kAuk − Awk juga konvergen ke 0. Karena

0 ≤ |kAuk k − kAwk|
≤ kAuk − Awk,

kita peroleh |kAuk k − kAwk| konvergen ke 0, sehingga kAuk k konvergen


ke kAwk. Ini berarti bahwa fungsi x 7−→ kAx|| kontinu di U . Dengan
Teorema Weierstrass, fungsi tersebut mencapai maksimum di U . Jadi kAk
terdefinisi.
Selanjutnya, di sini hanya akan diberikan bukti sifat submultiplikatif.
Bukti ketiga sifat norma matriks lainnya diserahkan kepada pembaca.
Sifat kABk ≤ kAkkBk jelas berlaku ketika AB = 0. Sekarang misalkan
kABxk
AB 6= 0. Maka kABk > 0 dan maksimum tercapai ketika Bx 6= 0.
kxk
3.2. NORMA MATRIKS 39

Akibatnya,
kABxk kABxk
kABk = maks = maks
x6=0 kxk x6=06=Bx kxk
 
kABxk kBxk
= maks
x6=06=Bx kBxk kxk
kABxk kBxk
≤ maks maks
Bx6=0 kBxk x6=0 kxk
kAyk kBxk
≤ maks maks
y6=0 kyk x6=0 kxk
= kAkkBk.

Norma matriks yang diperoleh menurut Teorema 3.2.2 disebut norma


hasil induksi. Norma matriks yang merupakan hasil induksi dari norma
vektor k · k0 kita tulis dengan notasi yang sama k · k0 .
Kita tunjukkan berikut ini bahwa norma matriks jumlah modulus kolom
terbesar adalah benar hasil induksi dari norma vektor k · k1 .
n
X
Misalkan x ∈ Cn memenuhi kxk1 = |xi | = 1. Maka
i=1

n X
n n X n

X X
kAxk1 =
a x
ij j
≤ |aij xj |
i=1 j=1 i=1 j=1
n X
n n n
!
X X X
= |aij | |xj | = |xj | |aij |
j=1 i=1 j=1 i=1
n n n
!
X X X
≤ maks |aik | |xj | = maks |aij |.
k j
i=1 j=1 i=1

n
X
Akibatnya maks kAxk1 ≤ maks |aij |. Selanjutnya, misalkan maksi-
kxk1 =1 j
i=1
mum jumlah kolom modulus A tercapai pada kolom m. Maka kAem k1 =
Xn n
X
|aim | = maks |aij |.
j
i=1 i=1
Norma matriks hasil induksi memenuhi dua sifat berikut. Bukti kedu-
anya tidak terlalu sukar, sehingga pembaca diharapkan dapat dengan mudah
memperolehnya.

Sifat 3.2.3. Misalkan k · k0 norma vektor di Cn . Maka norma matriks


hasil induksinya di Cn×n memenuhi kAxk0 ≤ kAk0 kxk0 , untuk setiap A ∈
Cn×n , x ∈ Cn .
40 3. NORMA MATRIKS

Sifat 3.2.4. Jika k · k adalah norma matriks di Cn×n hasil induksi, maka
kIn k = 1.

Sebagai konsekuensi Sifat 3.2.4, norma matriks k · kF pada contoh di


atas bukan norma hasil induksi. Sifat 3.2.3, dengan demikian tidak dapat
dikenakan kepada norma k · kF . Sekali pun demikian, untuk norma matriks
bukan hasil induksi kita mempunyai sifat berikut.

Sifat 3.2.5. Untuk setiap norma matriks k · k di Cn×n , terdapat norma


vektor k · k0 di Cn yang memenuhi kAxk0 ≤ kAk kxk0 , untuk setiap A ∈
Cn×n , x ∈ Cn .

Bukti: Kita hanya perlu membuktikan kasus k · k bukan norma hasil in-
duksi.
Untuk setiap x ∈ Cn , definisikan kxk0 = kxe∗1 k, dimana e1 adalah vektor
basis baku pertama di Cn . Akan kita tunjukkan terlebih dahulu bahwa k · k0
adalah norma vektor di Cn .
Pertama-tama, kxk0 = kxe∗1 k ≥ 0. Kemudian, kxk0 = 0 =⇒ kxe∗1 k = 0 =⇒
xe∗1 = 0 =⇒ x = 0.
Kemudian, untuk α ∈ C berlaku kαxk0 = k(αx)e∗1 k = kα(xe∗1 )k = |α|kxe∗1 k =
|α|kxk0 .
Akhirnya, kx + yk0 = k(x + y)e∗1 k = kxe∗1 + ye∗1 k ≤ kxe∗1 k + kye∗1 k =
kxk0 + kyk0 .
Sekarang kita buktikan bahwa k · k0 memenuhi kAxk0 ≤ kAkkxk0 . Karena
perkalian matriks bersifat asosiatif, kita dapatkan

kAxk0 = k(Ax)e∗1 k = kA(xe∗1 )k ≤ kAkkxe∗1 k ≤ kAkkxk0 .


Jelas bahwa norma hasil induksi dari norma vektor k · k0 memenuhi
kAk0 ≤ kAk, untuk setiap A ∈ Cn×n . Teorema berikut menyatakan bahwa
norma hasil induksi tidak mungkin mendominasi norma hasil induksi lain.

Teorema 3.2.6. Misalkan k·k dan k·k0 norma-norma hasil induksi di Cn×n .
Jika kAk ≤ kAk0 , untuk semua A ∈ Cn×n , maka kAk = kAk0 , untuk semua
A ∈ Cn×n .

Bukti: Dari Soal Latihan 16, terdapat c ∈ R, c > 0, yang memenuhi kvk =
ckvk0 , untuk setiap v ∈ Cn . Akibatnya, untuk semua v ∈ Cn , v 6= 0, berlaku
kAvk kAvk0
= . Kesimpulan yang diinginkan segera kita dapatkan.
kvk kvk0
3.2. NORMA MATRIKS 41

Dua teorema berikut menunjukkan hubungan antara norma matriks de-


ngan radius spektralnya. Ingat kembali bahwa radius spektral matriks A,
ditulis ρ(A), adalah maksimum modulus nilai karakteristik A.

Teorema 3.2.7. Jika k · k adalah norma matriks di Cn×n , maka ρ(A) ≤


kAk, untuk setiap A ∈ Cn×n .

Bukti: Kita gunakan norma vektor k · k0 yang diberikan pada Sifat 3.2.5.
Misalkan A ∈ Cn×n dan λ sembarang nilai eigen A dengan vektor eigen x
yang memenuhi kxk0 = 1. Maka

|λ| = |λ|kxk0 = kλxk0 = kAxk0 ≤ kAkkxk0 = kAk.

Karena ρ(A) adalah maksimum modulus nilai eigen A, maka ρ(A) ≤ kAk.

Lebih jauh, spektral radius sebuah matriks adalah infimum dari norma-
norma matriks tersebut.

Teorema 3.2.8. Misalkan A ∈ Cn×n . Untuk setiap  > 0, terdapat norma


matriks k · k0 di Cn×n yang memenuhi kAk0 < ρ(A) + .

Bukti: Dengan Teorema 2.2.1, terdapat matriks uniter U ∈ Cn×n sehingga


matriks R = U∗ AU matriks segitiga atas. Komponen-komponen diagonal
utama R memberikan semua nilai eigen A. Tuliskan
 
λ1 r12 r13 · · · r1n
 

 λ2 r23 · · · r2n  
R=
 λ3 · · · r3n .
 .. .. 

 0 . . 

λn

Untuk δ ∈ R, δ > 0, definisikan matriks D = diag(1, δ, δ 2 , . . . , δ n−1 ) beruku-


ran n × n. Perhatikan matriks
 
λ1 δr12 δ 2 r13 · · · δ n−1 r1n
n−2 r 
 

 λ 2 δr23 · · · δ 2n 
D−1 RD = 
 λ3 · · · δ n−3 r3n  .
 .. .. 

 0 . . 

λn
42 3. NORMA MATRIKS

n
X
Misalkan  > 0. Pilih δ sehingga δ j−1 |rij | < , i = 1, 2, . . . , n − 1,
j=i+1
misalnya δ = min{ 12 , / n2 maks |rij | }. Maka


 
n
X
kD−1 U∗ AUDk∞ = kD−1 RDk∞ = maks |λi | + δ j−1 |rij |
i
j=i+1
n
X
≤ maks |λi | + maks δ j−1 |rij |
i i
j=i+1
< ρ(A) + .

Untuk D dan U yang tak singular, kAk0 = kD−1 U∗ AUDk∞ memberikan


sebuah norma matriks, lihat Soal Latihan 15. Ini membuktikan Teorema
3.2.8.
Dalam Soal Latihan 15, kita lihat bahwa kita dapat membuat sebuah
norma matriks baru melalui relasi keserupaan. Norma baru ini tidak mesti
sama dengan norma semula. Berikut ini kita lihat hubungan kedua norma
ketika kita menggunakan matriks uniter untuk keserupaan.

Definisi 3.2.9. Norma matriks k · k di Cn×n dikatakan invarian uniter jika


berlaku kUAVk = kAk, untuk semua A ∈ Cn×n dan semua matriks uniter
U, V di Cn×n .

Norma k · k2 dan k · kF keduanya invarian uniter. Secara umum, sifat in-


varian uniter norma matriks dapat dilihat melalui hubungan norma dengan
nilai singular.

Teorema 3.2.10. Misalkan k · k norma matriks yang invarian uniter di


Cn×n . Maka kAk2 ≤ kAk, untuk setiap A ∈ Cn×n .

Bukti: Dari bukti Sifat 3.2.5, kita definisikan norma vektor k · k0 di Cn


melalui kxk0 = kxe∗1 k, untuk setiap x ∈ Cn . Norma vektor tersebut memenuhi
hubungan kAxk0 ≤ kAkkxk0 , untuk setiap A ∈ Cn×n , x ∈ Cn , dan akibat-
nya, norma hasil induksi dari norma vektor itu memenuhi kAk0 ≤ kAk,
untuk semua A ∈ Cn×n .
Misalkan x ∈ Cn . Maka terdapat matriks refleksi Householder H sehingga
Hx = kxk2 e1 . Karena matriks Householder uniter, maka kxk2 ke1 k0 =
kkxk2 e1 k0 = kHxk0 = k(Hx)e∗1 k = kH(xe∗1 )k = kxe∗1 k = kxk0 . Jadi
kxk0 = ke1 k0 kxk2 , untuk semua x ∈ Cn .
3.3. BILANGAN KONDISI 43

Akibatnya, untuk sembarang A ∈ Cn×n berlaku


kAxk2 kAxk0 /ke1 k0
kAk2 = maks = maks
x6=0 kxk2 x6=0 kxk0 /ke1 k0
kAxk 0
= maks = kAk0 .
x6=0 kxk0

Jadi kAk2 = kAk0 ≤ kAk, untuk setiap A ∈ Cn×n .


Teorema-teorema 3.2.6 dan 3.2.10 membawa kita kepada fakta berikut.

Teorema 3.2.11. Norma k · k2 adalah satu-satunya norma matriks hasil


induksi di Cn×n yang invarian uniter.

Sebagai catatan penutup, adalah mungkin untuk berbicara norma ma-


triks pada kelas semua matriks {A ∈ Cm×n | m, n ∈ N}. Dalam hal ini kita
tidak bekerja dengan satu norma saja. Persyaratan submultiplikatif kita
kenakan hanya ketika perkalian matriks dapat kita lakukan.
Sebagai contoh, kita bisa mendefinisikan untuk A ∈ Cm×n ,
kAxk2
kAk2 = maks ,
x6=0 kxk2
dimana norma vektor pada pembilang adalah norma-2 di Cm , sedangkan
norma vektor pada penyebut adalah norma-2 di Cn . Dalam hal ini, sifat sub-
multiplikatif berlaku: kABk2 ≤ kAk2 kBk2 , untuk setiap A ∈ Cm×k , B ∈
Ck×n . Perhatikan bahwa norma yang digunakan untuk AB adalah norma-2
di Cm×n , sedangkan untuk A dan B berturut-turut adalah norma-2 di Cm×k
dan Ck×n .

3.3 Bilangan Kondisi


Dalam komputasi, hampir tidak mungkin bagi kita untuk menghindari galat,
baik karena pembulatan maupun pemotongan. Selain itu, data masukan
mungkin merupakan hasil eksperimen atau pengamatan dengan akurasi ren-
dah. Berapa besar pengaruh galat terhadap hasil komputasi? Berikut ini
kita perkenalkan perangkat analisis untuk masalah sistem persamaan linier.
Misalkan A ∈ Cn×n tak singular dan b ∈ Cn . Maka persamaan Ax = b
memiliki solusi. Jika b kita ‘ganggu’ menjadi b + δb, solusi persamaan pun
‘terganggu’ menjadi x + δx. Kita peroleh Aδx = δb, sehingga δx = A−1 δb.
Pilih norma matriks k · k di Cn×n sembarang dan norma vektor di Cn yang
memenuhi ketaksamaan pada Sifat 3.2.5.
44 3. NORMA MATRIKS

1 1
Maka kδxk ≤ kA−1 k kδbk dan ≤ kAk . Dengan demikian
kxk kbk

kδxk kδbk
≤ kAk kA−1 k .
kxk kbk

Ketaksamaan di atas memberikan sebuah batas bagi deviasi relatif so-


lusi persamaan Ax = b dalam hubungan dengan deviasi relatif b. Hubun-
gan tersebut ditentukan oleh kAk kA−1 k. Karena kita menginginkan de-
viasi relatif solusi tidak jauh lebih besar daripada deviasi relatif b, kita
menginginkan kAk kA−1 k kecil.

Definisi 3.3.1. Besaran kAk kA−1 k kita namakan bilangan kondisi matriks
A, ditulis κ(A).

Ketaksamaan di atas dan ketaksamaan pada Soal Latihan 17 mem-


berikan κ(A) ≥ 1.

3.4 Soal Latihan


1. Misalkan k · k norma di Cn .

(a) Buktikan bahwa |kuk − kvk| ≤ ku − vk, untuk setiap u, v ∈ Cn .


(b) Apakah selalu berlaku ku − vk ≤ ku + vk?

2. Misalkan ν(A) adalah maksimum modulus komponen A ∈ Cn×n .


Tunjukkan, untuk setiap n > 1, bahwa terdapat A, B ∈ Cn×n yang
memenuhi ν(AB) > ν(A)ν(B).

3. Misalkan ν(A) adalah jumlah modulus semua komponen A ∈ Cn×n .


Periksa apakah ν memenuhi sifat submultiplikatif.

4. Perhatikan ruang vektor ` = {(a1 , a2 , . . . ) | ai ∈ C, hampir semuanya 0}


(dengan operasi komponen demi komponen). Maka k · k1 dan k · k∞
keduanya norma di `. Tunjukkan bahwa kedua norma tersebut tidak
ekivalen.
kAxk2
5. Misalkan A ∈ Cn×n . Buktikan bahwa konstan untuk semua
kxk2
x 6= 0 di Cn jika dan hanya jika semua nilai singular A sama besar.

6. Tunjukkan bahwa k · k∞ memenuhi sifat submultiplikatif.


3.4. SOAL LATIHAN 45

7. Misalkan x ∈ Cn dan A = xx∗ .Tentukan kAk1 , kAk2 , kAk∞ dan


kAkF dengan menggunakan norma-norma vektor x yang tepat.

8. Tunjukkan bahwa jika nilai-nilai singular A adalah σ1 , σ2 , . . . , σr , maka


r
!1/2
X
kAkF = σi2 = (tr(A∗ A))1/2 = (tr(AA∗ ))1/2 .
i=1

9. Tentukan m, M real positif yang memenuhi sekaligus (i) mkAk1 ≤


kAk2 ≤ M kAk1 , untuk setiap A ∈ Cn×n , dan (ii) mkA1 k1 = kA1 k2 , kA2 k2 =
M kA2 k1 , untuk suatu A1 , A2 ∈ Cn×n .

10. Tentukan norma vektor di Cn yang memenuhi pernyataan Sifat 3.2.5


untuk norma matriks k · kF .

11. Tunjukkan bahwa norma matriks k·k2 adalah norma hasil induksi dari
norma Euklid di Cn .

12. (a) Misalkan D ∈ Cn×n matriks diagonal. Tentukan kDk2 .


(b) Misalkan A ∈ Cn×n . Buktikan bahwa jika A normal, maka
ρ(A) = kAk2 .

13. Tunjukkan bahwa norma matriks k · k∞ adalah norma hasil induksi


dari norma maksimum modulus komponen k · k∞ .

14. Jika k·k adalah norma matriks di Cn×n hasil induksi, tunjukkan bahwa
kIn k = 1.

15. Misalkan k · k suatu norma vektor di Cn dan S ∈ Cn×n tak singular.

(a) Tunjukkan bahwa kxk0 := kSxk mendefinikan sebuah norma vek-


tor di Cn .
(b) Tunjukkan bahwa norma matriks hasil induksi kedua norma vek-
tor tersebut memenuhi kAk0 = kSAS−1 k, untuk setiap A ∈
Cn×n .

16. Misalkan k·k, k·k0 dua norma di Cn . Misalkan pula norma-norma hasil
induksi keduanya memenuhi kAk ≤ kAk0 , untuk semua A ∈ Cn×n
dengan rank 1. Buktikan bahwa terdapat konstanta real positif c yang
memenuhi kvk = ckvk0 , untuk setiap v ∈ Cn .
46 3. NORMA MATRIKS

17. Misalkan A ∈ Cn×n tak singular dan b ∈ Cn . Misalkan δb deviasi


pada b dan δx deviasi pada solusi yang diakibatkan δb. Tunjukkan
bahwa
kδbk kδxk
≤ κ(A) .
kbk kxk
4

Masalah Nilai Eigen

Masalah nilai eigen adalah satu dari dua masalah dasar dalam aljabar linier
dan teori matriks. Pada masalah nilai eigen kita mencari nilai-nilai eigen
suatu matriks atau pemetaan linier beserta vektor-vektor eigen yang terkait.
Dari sudut komputasi, masalah ini adalah masalah yang sukar. Tidak ada
satu metode tertentu yang dapat digunakan untuk memperoleh secara eksak
nilai eigen semua matriks.

4.1 Lokalisasi Nilai Eigen

Ketika menyelesaikan masalah nilai eigen, seringkali kita harus cukup puas
dengan metode iteratif. Penentuan lokasi nilai eigen merupakan hal krusial
dalam metode-metode iteratif.
Dari Teorema 3.2.7, norma matriks dapat digunakan untuk menentukan
lokasi nilai-nilai eigen. Semua nilai eigen matriks A ∈ Cn×n berada di dalam
lingkaran dengan pusat titik asal dan jari-jari kAk, untuk sembarang norma
di Cn×n .
Penggunaan norma untuk menentukan lokasi nilai eigen masih terlalu
kasar. Teorema berikut memberikan lokalisasi yang lebih baik. Bukti teo-
rema memerlukan fakta bahwa nilai-nilai eigen sebuah matriks bergantung
secara kontinu pada komponen-komponen matriks tersebut. Sebelum meny-
atakan teorema, untuk A= [aij ] ∈ Cn×n kita definisikan
 terlebih dahulu
 X 

cakram Gershgorin Di = z ∈ C |z − aii | ≤ |aij | , i = 1, 2, . . . , n.
 
j6=i

47
48 4. MASALAH NILAI EIGEN

Teorema 4.1.1 (Gershgorin). Setiap nilai eigen matriks A ∈ Cn×n berada


dalam salah satu cakram Di . Lebih jauh, jika gabungan m buah cakram
D = Di1 , ∪Di2 ∪ · · · ∪ Dim tidak beririsan dengan n − m cakram lainnya,
maka D memuat tepat m nilai eigen A.

Bukti: Untuk membuktikan bagian pertama, misalkan λ ∈ C nilai eigen


A dengan vektor eigen x ∈ Cn , kxk∞ = 1. Maka terdapat k sehingga
1 = kxk∞ = |xk | ≥ |xi |, i = 1, 2, . . . , n. Dari hubungan Ax = λx, komponen
X n X
ke-k pada Ax adalah akj xj = λxk , sehingga (λ − akk ) xk = akj xj .
j=1 j6=i
Dengan mengambil modulus, kita peroleh
X X X
|λ − akk | ≤ |akj | |xj | ≤ |akj | |xk | = |akj |.
j6=i j6=k j6=k

Untuk bukti bagian kedua, misalkan D = diag(a11 , a22 , . . . , ann ) dan


N = A − D. Maka A = D + N. Untuk t ∈ [0, 1], definisikan A(t) = D + tN.
Misalkan k tetap, 1 ≤ k ≤ n. Perhatikan bahwa cakram Gershgorin
Dk (t) untuk A(t) memiliki titik pusat akk , yang tidak bergantung pada t,
dan jari-jari yang bergantung secara linier pada t. Ketika t bergerak dari
t = 0 ke t = 1, cakram Gershgorin Dk (t) membesar dan nilai eigen ke-k bagi
A(t) bergerak mengikuti lintasan terhubung Γk dari akk ke suatu nilai eigen
λ bagi A. Jika λ berada di cakram Gershgorin Dj , maka keterhubungan
lintasan Γk membuat Dj ∩ Dk (1) = Dj ∩ Dk 6= ∅. Ini berakibat m lin-
tasan nilai eigen A(t) yang berawal di titik-titik ai1 i1 , ai2 i2 , . . . , aim im akan
berada sepenuhnya di D. Hal serupa juga berlaku bagi n − m lintasan nilai
eigen A(t) lainnya yang akan berada sepenuhnya di komplemen D. Jadi, D
memuat tepat m nilai eigen.
Teorema berikut memberikan sebuah aplikasi Teorema Gershgorin.

Teorema 4.1.2 (Bauer-Fike). Misalkan A ∈ Cn×n dapat didiagonalkan


dan A = SDS−1 , dimana S ∈ Cn×n tak singular dan D ∈ Cn×n diagonal.
Misalkan E ∈ Cn×n sembarang. Maka untuk setiap nilai eigen µ bagi A + E
terdapat nilai eigen λ bagi A yang memenuhi |µ − λ| ≤ κ∞ (S)kEk∞ .

Bukti: Misalkan D = diag(λ1 , λ2 , . . . , λn ) dan F = S−1 ES. Maka nilai-


nilai eigen A + E adalah nilai-nilai eigen D + F. Dengan mengenakan Teo-
rema 4.1.1 pada matriks D + F kita memperoleh hasil yang diinginkan.
Karena norma-norma matriks ekivalen, kita boleh mengharapkan ada
versi lain Teorema Bauer-Fike yang menggunakan norma selain norma-∞.
4.2. METODE QR 49

Teorema 4.1.3 (Bauer-Fike). Misalkan A ∈ Cn×n dapat didiagonalkan


dan A = SDS−1 , dimana S ∈ Cn×n tak singular dan D ∈ Cn×n diagonal.
Misalkan E ∈ Cn×n sembarang. Maka untuk setiap p ∈ R, 1 ≤ p < ∞, dan
untuk setiap nilai eigen µ bagi A + E terdapat nilai eigen λ bagi A yang
memenuhi |µ − λ| ≤ κp (S)kEkp .

Bukti: Misalkan v vektor eigen A + E untuk nilai eigen µ. Misalkan


w = S−1 v 6= 0 dan F = S−1 ES. Maka (D + F)w = (D + F)S−1 v =
S−1 (A + E)v = S−1 µv = µw dan kFkp ≤ kS−1 kp kEkp kSkp = κp (S)kEkp .
Jika µI − D singular, maka µ sama dengan salah satu komponen diagonal
utama D, yang beerarti µ = λ, salah satu nilai eigen A.
Misalkan sekarang µI−D tak singular. Maka w = (µI−D)−1 Fw. Kita per-
oleh juga kwkp ≤ k(µI − D)−1 kp kFkp kwkp , sehingga k(µI − D)−1 kp kFkp ≥
1. Menurut Soal Latihan 1, k(µI − D)−1 kp = 1/ min |µ − dj |, dimana
1≤j≤n
D = diag(d1 , d2 , . . . , dn ). Akibatnya, k(µI − D)−1 kp = 1/|µ − λ|, untuk
suatu nilai eigen λ bagi A. Jadi, terdapat nilai eigen λ bagi A sehingga
|µ − λ| ≤ kFkp ≤ κp (S)kEkp .

4.2 Metode QR
Secara teoritis, semua nilai eigen matriks A dapat kita peroleh kalau kita
berhasil melakukan dekomposisi Schur pada A, lihat Teorema 2.2.1. Bukti
Teorema 2.2.1 bersifat konstruktif, tetapi memerlukan nilai eigen A. Akibat-
nya, kita tidak dapat menggunakan konstruksi tersebut untuk memperoleh
nilai-nilai eigen A.
Teknik yang lazim digunakan untuk memperoleh dekomposisi Schur tanpa
memerlukan nilai eigen adalah dengan memanfaatkan faktorisasi QR. Berikut
ini kita deskripsikan metode QR untuk memperoleh nilai eigen matriks A.
Pertama-tama kita konstruksi barisan matriks {Ak } sebagai berikut:

Inisialisasi: A0 = A;

Iterasi: untuk k = 0, 1, . . . :
Ak = Qk Rk (faktorisasi QR);
Ak+1 = Rk Qk .

Perhatikan bahwa Rk = Q∗k Ak , sehingga Ak+1 = Q∗k Ak Qk , yaitu Ak+1


serupa uniter dengan Ak . Kita akan perlihatkan bahwa, dengan kondisi
tertentu, barisan {Ak } konvergen ke sebuah matriks segitiga atas.
50 4. MASALAH NILAI EIGEN

Sebelum itu, kita perkenalkan dahulu notasi-notasi berikut: Q(k) =


Q0 Q1 · · · Qk dan R(k) = Rk Rk−1 · · · R0 . Maka untuk k = 0, 1, . . . , ma-
triks Q(k) adalah matriks uniter, sedangkan matriks R(k) matriks segitiga
atas. Kita mempunyai sifat-sifat berikut.

Sifat 4.2.1. Untuk k = 0, 1, . . . berlaku:


∗
1. Ak+1 = Q(k) AQ(k) ,

2. AQ(k) = Q(k+1) Rk+1 ,

3. Ak+1 = Q(k) R(k) adalah faktorisasi QR untuk pangkat ke-k dari A.

Bukti: Kita akan lakukan induksi pada k.


∗
1. Untuk k = 0: A1 = Q∗0 A0 Q0 = Q(0) AQ(0) .
∗
Asumsikan k ≥ 0 dan Ak+1 = Q(k) AQ(k) . Maka Ak+2 = Q∗k+1 Ak+1 Qk+1 =
∗ ∗ ∗
Q∗k+1 Q(k) AQ(k) Qk+1 = Q(k) Qk+1 AQ(k) Qk+1 = Q(k+1) AQ(k+1) .

2. Untuk k = 0: Q(1) R1 = Q0 Q1 R1 = Q0 A1 = Q0 R0 Q0 = AQ0 =


AQ(0) .
Asumsikan k ≥ 0 dan AQ(k) = Q(k+1) Rk+1 . Maka AQ(k+1) =
AQ(k) Qk+1 = Q(k+1) Rk+1 Qk+1 = Q(k+1) Qk+2 Rk+2 = Q(k+2) Rk+2 .

3. Untuk k = 0: A = Q0 R0 = Q(0) R(0) .


Asumsikan k ≥ 0 dan Ak+1 = Q(k) R(k) . Maka Ak+2 = AAk+1 =
AQ(k) R(k) = Q(k+1) Rk+1 R(k) = Q(k+1) R(k+1) .

Teorema berikut memberikan syarat cukup bagi ‘kekonvergenan’ barisan


{Ak } ke sebuah matriks segitiga atas. Kita tuliskan Ak = [ak,ij ].

Teorema 4.2.2. Misalkan A ∈ Cn×n dapat didiagonalkan, sehingga A =


PDP−1 , dengan D = diag(λ1 , λ2 , . . . , λn ), |λ1 | > |λ2 | > · · · > |λn | > 0.
Misalkan pula P−1 = LR, untuk suatu matriks segitiga bawah L dan matriks
segitiga atas R. Maka untuk i = 1, 2, . . . , n, ak,ii konvergen ke λi , sedangkan
untuk 1 ≤ j < i ≤ n, ak,ij konvergen ke 0.

Bukti: Pertama-tama, asumsikan bahwa semua komponen diagonal utama


L adalah 1, lihat diskusi sesudah Teorema 2.2.2.
Misalkan P = UT adalah faktorisasi QR pada matriks P (jadi U uniter
4.2. METODE QR 51

dan T segitiga atas). Maka

Ak = PDk P−1
= UTDk LR
 
= UT Dk LD−k Dk R.

Perhatikan bahwa matriks Lk = Dk LD−k = [lk,ij ] adalah matriks segitiga


bawah dengan komponen-komponen:



0 jika i < j,

lk,ij = 1 jika i = j,

 k
 λi lij jika i > j.

λj

Karena asumsi pada modulus nilai-nilai eigen A, maka Lk konvergen ke I.


Misalkan Lk = I+Fk . Maka Fk konvergen ke 0, dan TLk = I + TFk T−1 T.


Kekonvergenan Fk ke 0 menyebabkan I+TFk T−1 tak singular untuk semua


k > K, dimana K suatu bilangan asli. Menurut Teorema 2.2.3, terdapat
secara tunggal matriks-matriks uniter Uk dan matriks-matriks segitiga atas
Tk = [tk,ij ], sehingga I + TFk T−1 = Uk Tk dan tk,ii > 0 untuk 1 ≤ i ≤ n.
Barisan matriks uniter {Uk } adalah barisan terbatas. Akibatnya, terda-
pat subbarisan {Uk0 } yang konvergen ke matriks uniter U. b Karena Tk =
∗ −1

Uk I + TFk T , maka subbarisan {Tk0 } juga konvergen ke matriks T. b
Perhatikan bahwa T b adalah matriks segitiga atas yang semua komponen
diagonal utamanya tak-negatif. Dengan mengambil limit subbarisan {I +
TFk0 T−1 }, kita peroleh I = U b T.
b Akibatnya, semua komponen diagonal
utama T b positif. Dengan menggunakan Teorema 2.2.3 sekali lagi, haruslah
Ub =T b = I.
Argumentasi di atas kita gunakan untuk menunjukkan bahwa jika terdapat
subbarisan konvergen lainnya dari {Uk } dan {Tk }, maka kedua subbarisan
tersebut haruslah konvergen ke matriks identitas. Ini berarti bahwa keselu-
ruhan barisan {Uk } dan {Tk } konvergen ke I.
Dari I + TFk T−1 = Uk Tk , kita peroleh TLk = Uk Tk T dan, akibatnya,
Ak = UUk Tk TDk R = (UUk ) Tk TDk R = Q(k−1) R(k−1) . Karena UUk


matriks uniter dan Tk TDk R matriks segitiga atas, maka Tk TDk R ada-


lah juga faktorisasi QR untuk matriks Ak . Untuk setiap k, terdapat matriks


∆k = diag (dk,1 , dk,2 , . . . , dk,n ), dengan |dk,1 | = |dk,2 | = · · · = |dk,n | = 1, se-
hingga Q(k−1) = UUk ∆k .
52 4. MASALAH NILAI EIGEN

∗
Karena P = UT, maka A = UTDT−1 U−1 . Dari Ak+1 = Q(k) AQ(k) ,
kita peroleh
 ∗
Ak+1 = Q(k) UTDT−1 U−1 Q(k)
= (UUk+1 ∆k+1 )∗ UTDT−1 U−1 UUk+1 ∆k+1
= ∆∗k+1 U∗k+1 TDT−1 Uk+1 ∆k+1 .

Misalkan Bk = U∗k TDT−1 Uk = [bk,ij ]. Karena {Uk } konvergen ke matriks


identitas, maka {Bk } konvergen ke TDT−1 yang merupakan matriks se-
gitiga atas yang diagonal utamanya sama dengan diagonal utama D, yaitu
bk,ii konvergen ke λi , untuk i = 1, 2, . . . , n, dan bk,ij konvergen ke 0 untuk
1 ≤ j < i ≤ n.
Kita juga memperoleh Ak = ∆∗k Bk ∆k . Dengan demikian, untuk i 6= j,
ak,ij = dk,i dk,j bk,ij , sedangkan ak,ii = bk,ii . Jadi, untuk i = 1, 2, . . . , n, ak,ii
konvergen ke λi , dan untuk 1 ≤ j < i ≤ n, ak,ij konvergen ke 0. Kekon-
vergenan terakhir ini kita peroleh karena |dk,i | = 1, untuk i = 1, 2, . . . , n.

Perhatikan bahwa kita menggunakan tanda kutip untuk menyatakan


kekonvergenan barisan matriks {Ak }. Sesungguhnyalah, yang kita peroleh
adalah kekonvergenan komponen-komponen matriks Ak yang terletak pada
diagonal utama dan di bawahnya. Hanya komponen-komponen tersebut
yang relevan untuk pembicaraan kita tentang nilai-nilai eigen matriks A.
Sedangkan untuk komponen-komponen di atas diagonal utama matriks Ak ,
kita tidak mengetahui, dan tidak memerlukan, kekonvergenan mereka.
Dalam implementasinya, kita dapat mempercepat kekonvergenan me-
tode QR dengan terlebih dahulu mengubah matriks A ke bentuk Hessen-
berg. Ini kita lakukan dengan memanfaatkan Teorema 2.2.8. Dengan pe-
rubahan ini, metode QR tinggal membuat diagonal tepat di bawah diagonal
utama berisikan komponen-komponen 0.

4.3 Metode Lanczos


Kita tidak selalu memerlukan semua nilai eigen sebuah matriks. Dalam
banyak masalah, kita lebih memerlukan beberapa nilai eigen, biasanya nilai
eigen yang ekstrim. Pada subbab ini kita akan membicarakan masalah mem-
peroleh nilai eigen ekstrim matriks real simetris. Metode yang digunakan
dikenal dengan nama metode Lanczos.
4.3. METODE LANCZOS 53

Sepanjang subbab ini, matriks A adalah matriks real yang simetris. Ak-
ibatnya, A memiliki n nilai eigen real yang tidak harus berbeda. Misalkan
λ1 ≤ λ2 ≤ · · · ≤ λn adalah nilai-nilai eigen A. Dengan Teorema Rayley-
∗ x∗ Ax
Ritz (Akibat 1.3.9), kita peroleh λ1 = min x Ax = min , sedangkan
x∗ x=1 x6=0 x∗ x
∗ x∗ Ax
λn = maks x Ax = maks . Dengan kata lain, nilai-nilai eigen ekstrim
x∗ x=1 x6=0 x∗ x
A adalah nilai-nilai ekstrim kuosien Rayleigh.
Gagasan yang digunakan adalah menggunakan nilai-nilai ekstrim kuosien
Rayleigh pada subruang dari Rn sebagai hampiran nilai-nilai eigen ekstrim
matriks A. Kita memperhalus hampiran yang diperoleh secara iteratif. Per-
hatikan bahwa kuosien Rayleigh pada dasarnya adalah sebuah fungsi dari
x∗ Ax
Rn \ {0} ke R dengan aturan rA (x) = ∗ .
x x
Misalkan U = [u1 u2 · · · un ] ∈ Rn×n matriks ortogonal. Maka {u1 , u2 , . . . , un }
adalah basis ortonormal bagi Rn . Untuk k = 1, 2, . . . , n, tuliskan matriks
Uk = [u1 u2 · · · uk ] ∈ Rn×k . Setiap unsur subruang Sk = hu1 , u2 , . . . , uk i
dapat dituliskan sebagai Uk y, untuk suatu y ∈ Rk .
Untuk k = 1, 2, . . . , n, definisikan Mk = maks{rA (x) | x ∈ Sk , x 6=
y∗ U∗k AUk y
0}. Akibatnya, Mk ≤ λn . Selain itu, Mk = maks ∗ =
y∈Rk ,y6=0 y∗ Uk Uk y
maks{rU∗k AUk (y) | y ∈ Rk , y 6= 0} = λk (U∗k AUk ), nilai eigen terbesar ma-
triks U∗k AUk .
Dengan cara serupa, definisikan mk = min{rA (x) | x ∈ Sk , x 6= 0}. Aki-
y∗ U∗k AUk y
batnya, mk ≥ λ1 . Selain itu, mk = min ∗ = min{rU∗k AUk (y) | y ∈
y∈Rk ,y6=0 y∗ Uk Uk y
Rk , y 6= 0} = λ1 (U∗k AUk ), nilai eigen terkecil matriks U∗k AUk .
Dari uraian di atas, kita dapat menggunakan Mk sebagai hampiran (dari
bawah) untuk λn dan mk sebagai hampiran (dari atas) untuk λ1 . Dengan
metode Lanczos, kita mulai dengan k = 1 untuk memperoleh hampiran
berupa nilai ekstrim kuosien Rayleigh pada sebuah subruang berdimensi
satu. Pada iterasi selanjutnya kita memperbesar dimensi subruang dan,
sudah tentu, kita menginginkan hasil iterasi ini memberikan hampiran yang
lebih baik. Masalahnya adalah bagaimana kita memperoleh matriks U yang
akan memenuhi keinginan kita itu.
Misalkan kita sudah melakukan k iterasi. Ini berarti kita sudah memiliki
hampiran Mk = rA (wk ), dimana wk = Uk yk , untuk suatu yk ∈ Rk . Un-
tuk iterasi berikutnya, kita mencari vektor wk+1 yang memenuhi Mk+1 =
rA (wk+1 ) > rA (wk ). Vektor wk+1 ini haruslah berada di subruang Sk+1 .
54 4. MASALAH NILAI EIGEN

Karena masalah kita adalah menentukan matriks U, dalam hal ini yang kita
perlu tentukan adalah vektor uk+1 . Secara spesifik, kita ingin memperoleh
vektor uk+1 yang akan memberikan wk+1 seperti di atas.
Dari kalkulus, kita mengetahui bahwa peningkatan nilai rA terbesar kita
dapatkan dalam arah gradien rA . Kita dapat menurunkan bahwa ∇rA (x) =
2
(Ax − rA (x)x). Dengan asumsi bahwa ∇rA (wk ) 6= 0, nilai rA akan
x∗ x
meningkat bila kita memilih uk+1 sehingga ∇rA (wk ) ∈ Sk+1 .
Pada sisi lain, misalkan mk = rA (zk ). Karena penurunan nilai rA terbe-
sar kita dapatkan dalam arah berlawanan dengan gradien rA , kita juga
menginginkan uk+1 sehingga ∇rA (zk ) ∈ Sk+1 .
Perhatikan bahwa ∇rA (wk ) berada di hwk , Awk i. Karena wk ∈ Sk ,
maka Awk ∈ A(Sk ). Dengan demikian, haruslah Sk+1 memuat subruang
A(Sk ). Tuntutan ini secara iteratif dapat dipenuhi dengan memilih uk+1 =
Auk , sehingga kita pada akhirnya memperoleh U = [u1 Au1 A2 u1 · · · An−1 u1 ].
Kita dapat memeriksa bahwa pemilihan U demikian juga memenuhi per-
syaratan untuk mk .
Subruang hx, Ax, A2 x, . . . , Ak−1 xi dinamakan subruang Krylov dan dino-
tasikan dengan K(A, x, k). Secara umum, dim(K(A, x, k)) ≤ k.

4.4 Soal Latihan


1. Misalkan D = diag(d1 , d2 , . . . , dn ) dan µ ∈ C. Tunjukkan bahwa
1
k(µI − D)−1 kp = .
mini |µ − di |
5

Matriks Tak-negatif

5.1 Teorema Perron-Frobenius


Matriks tak-negatif, yaitu matriks yang semua komponennya tidak negatif,
muncul dalam berbagai aplikasi matematika. Salah satu contoh adalah ma-
triks transisi keadaan dari suatu rantai Markov. Contoh-contoh lain dapat
ditemukan dalam bidang-bidang seperti ekonomi, riset operasi, dan sistem
dinamis.
Teorema Perron-Frobenius yang kita bicarakan di sini adalah teorema
dasar dalam teori matriks tak-negatif. Ia menyangkut nilai dan vektor
eigen matriks tak-negatif yang tak tereduksi. Versi pertama teorema ini
dikemukakan oleh O. Perron dalam tahun 1906 untuk matriks positif, yaitu
matriks yang semua komponennya positif. G. Frobenius memperluas teo-
rema ini untuk matriks tak-negatif dalam tahun 1912.
Sebelum kita membicarakan Teorema Perron-Frobenius, kita perlu men-
genal terlebih dahulu beberapa pengertian dan notasi.

Definisi 5.1.1. Matriks A = [aij ] ∈ Rm×n kita katakan tak-negatif [positif]


jika aij ≥ 0 [aij > 0], untuk i = 1, 2, . . . , m, j = 1, 2, . . . , n. Kita gunakan
notasi A ≥ 0 [A > 0] untuk menyatakan bahwa matriks A tak-negatif
[positif].

Sekalipun yang kita bicarakan adalah matriks-matriks dengan komponen


real, kita akan menganggap matriks-matriks tersebut adalah unsur-unsur
Cm×n . Anggapan ini memungkinkan, dalam hal m = n, nilai (dan vektor)
eigen kompleks.

55
56 5. MATRIKS TAK-NEGATIF

Definisi 5.1.2. Matriks persegi A ∈ Rn×n kita katakan tak-tereduksi


" jika
#
t B C
tidak terdapat matriks permutasi P yang memenuhi PAP = ,
0 F
untuk suatu B ∈ Rk×k , C ∈ Rk×(n−k) , F ∈ R(n−k)×(n−k) , 0 < k < n.
Dari Definisi 5.1.2 jelas bahwa ketaktereduksian sebuah matriks hanya
bergantung pada pola nol-taknol komponen-komponennya, yang merupakan
suatu karakter kombinatorika.
Dalam hal A merupakan matriks transisi keadaan untuk suatu rantai
Markov, pengertian tak tereduksi ini bermakna bahwa senantiasa mungkin
untuk berpindah dari keadaan i ke keadaan j dalam waktu hingga. Secara
persis, terdapat suatu barisan keadaan (direpresentasikan pada matriks A
sebagai baris dan kolom) sepanjang l + 1 : i = i1 , i2 , . . . , il+1 = j sehingga l
komponen ai1 i2 , ai2 i3 , . . . , ail il+1 bernilai positif.
Perhatikan bahwa, untuk i 6= j, kita dapat memperpendek barisan de-
ngan mengambil unsur-unsur barisan yang berbeda. Akibatnya, kita dapat
memilih barisan dengan panjang tidak lebih dari n. Ini berarti bahwa senan-
tiasa mungkin untuk berpindah dari keadaan i ke keadaan j dalam paling
banyak n − 1 langkah. Selanjutnya perhatikan pula bahwa hasil perkalian
ai1 i2 ai2 i3 . . . ail il+1 bernilai positif dan merupakan komponen baris ke-i kolom
ke-j pada matriks Al . Kita simpulkan bahwa untuk i, j = 1, 2, . . . , n, i 6= j
terdapat bilangan asli l ≤ n − 1 sehingga (Al )ij > 0. Karena matriks
n−1
(n−1)!
X
(I + A) n−1 = C(n − 1, l)Al , dengan A0 = I dan C(n − 1, l) = l!(n−1−l)! ,
l=0
kita peroleh (I + A)n−1 > 0.
Apa yang kita peroleh di atas berlaku untuk sebarang matriks tak-negatif
yang tak tereduksi. Kita simpulkan bahwa jika A ∈ Rn×n matriks tak-
negatif yang tak tereduksi, maka (I + A)n−1 > 0. Pernyataan sebaliknya
juga berlaku. Dengan demikian kita memiliki
Sifat 5.1.3. Misalkan A ∈ Rn×n , A ≥ 0. Maka A tak tereduksi jika dan
hanya jika (I + A)n−1 > 0.
Perhatikan pula bahwa sifat tak tereduksi invarian terhadap transpos,
yaitu jika A tak tereduksi, maka At juga tak tereduksi.
Kita gunakan notasi Pn untuk menyatakan ortan tak-negatif {x ∈ Rn |x ≥
0}, serta notasi En untuk menyatakan irisan ortan tak-negatif dengan bola
satuan dalam norma-1, yaitu En = {x ∈ Pn | ni=1 xi = 1}. Kita tulis
P

Pn+ = Pn \ {0}.
5.2. FUNGSI COLLATZ-WIELANDT 57

Kita sekarang siap untuk membicarakan Teorema Perron-Frobenius.

Teorema 5.1.4. Misalkan A ∈ Rn×n , A ≥ 0, A tak tereduksi. Maka ter-


dapat r > 0 yang memenuhi:

1. r nilai eigen A,

2. r berkaitan dengan suatu vektor eigen z > 0,

3. r ≥ |λ|, untuk semua nilai eigen λ bagi A,

4. multiplisitas aljabar r adalah 1.

Bukti Teorema Perron-Frobenius akan kita berikan dalam subbab berikut.

5.2 Fungsi Collatz-Wielandt


Untuk membuktikan teorema Perron-Frobenius ini, pertama-tama kita defin-
(Ax)i
isikan fungsi fA : Pn+ → R melalui fA (x) = min , ∀x ∈ Pn+ . Dalam
i;xi 6=0 xi
literatur teori matriks tak-negatif, fungsi fA dikenal dengan nama fungsi
Collatz-Wielandt. Mari kita lihat beberapa sifat fungsi ini.

Sifat 5.2.1.

1. fA (tx) = fA (x), ∀t > 0, x ∈ Pn+ ,

2. fA (x) = maks{λ | Ax − λx ≥ 0}, ∀x ∈ Pn+ ,

3. fA mencapai maksimum pada Pn+ .

Bukti:

1. Misalkan t > 0 dan x ∈ Pn , x 6= 0. Maka

(A(tx))i
fA (tx) = min
i;txi 6=0 txi
t(Ax)i
= min
i;xi 6=0 txi
(Ax)i
= min
i;xi 6=0 xi
= fA (x).
58 5. MATRIKS TAK-NEGATIF

2. Pertama-tama, untuk setiap λ ∈ R berlaku

Ax − λx ≥ 0 ⇐⇒ Ax ≥ λx
(Ax)i
⇐⇒ λ ≤ , ∀i, xi 6= 0
xi
(Ax)i
⇐⇒ λ ≤ min = fA (x).
i;xi 6=0 xi
Karena juga berlaku bahwa Ax−fA (x)x ≥ 0, hasil yang kita inginkan
pun berlaku.

3. Kita perlihatkan terlebih dahulu bahwa fA (x) ≤ fA ((I + A)n−1 x),


untuk semua x ∈ En . Perhatikan bahwa dari Ax − fA (x)x ≥ 0, kita
peroleh (I + A)n−1 Ax − fA (x)(I + A)n−1 x ≥ 0. Karena (I + A)n−1
adalah sukubanyak dalam A, kita peroleh A((I+A)n−1 x)−fA (x)((I+
A)n−1 x) ≥ 0 dan dengan demikian fA (x) ≤ fA ((I + A)n−1 x).
Tulis G = {(I + A)n−1 x|x ∈ En }.
Karena En tutup dan terbatas, serta (I + A)n−1 fungsi kontinu, maka
G juga tutup dan terbatas. Perhatikan bahwa karena x > 0, untuk
semua x ∈ G, maka fA kontinu di G. Akibatnya fA memiliki maksi-
mum di G. Karena ∀x ∈ En , terdapat y ∈ G yang memenuhi fA (x) ≤
fA (y), maka fA terbatas di atas pada En dan sup{fA (x) | x ∈ En } ≤
maks{fA (x)|x ∈ G}. Dengan mengambil t = 1/kxk1 pada butir 1, kita
peroleh fA (Pn+ ) = fA (En ), dan dengan demikian fA juga terbatas
di atas pada Pn+ serta sup{fA (x) | x ∈ Pn+ } = sup{fA (x)|x ∈ En }.
Karena G ⊆ Pn+ , maka maks{fA (x) | x ∈ G} ≤ sup{fA (x)|x ∈ Pn+ }.
Dengan demikian kita memperoleh sup{fA (x) | x ∈ Pn+ } = sup{fA (x) | x ∈
En } ≤ maks{fA (x) | x ∈ G} = sup{fA (x) | x ∈ Pn+ }; jadi sup{fA (x) | x ∈
Pn+ } = maks{fA (x) | x ∈ G}. Karena, sekali lagi, G ⊆ Pn+ , maka fA
mencapai maksimum di Pn+ dan maks{fA (x) | x ∈ Pn+ } = maks{fA (x) | x ∈
G}. Ini melengkapkan pembuktian.
Akibat 5.2.2. Fungsi fA mencapai maksimum di En dengan nilai maksi-
mum yang sama dengan nilai maksimum di Pn+ .

5.3 Bukti Teorema Perron-Frobenius


Sekarang kita siap untuk membuktikan Teorema Perron-Frobenius.
Pertama-tama, kita tentukan kandidat untuk r. Untuk itu misalkan
fA mencapai maksimum di z ∈ Pn+ . Tanpa mengurangi kerampatan, pilih
5.3. BUKTI TEOREMA PERRON-FROBENIUS 59

z ∈ En . Tulis r = fA (z). Akan kita tunjukkan bahwa r memenuhi sifat-sifat


dalam Teorema Perron-Frobenius.

A. r > 0.
Pilih u = [1, 1, · · · , 1]t ∈ Pn+ . Maka r ≥ fA (u) = mini j aij > 0. Ke-
P

taksamaan terakhir diperoleh karena ketaktereduksian A memerlukan


A tidak memuat baris nol.

B. r adalah nilai eigen bagi A dengan vektor eigen z.


Kita mempunyai Az−rz ≥ 0. Andaikan Az−rz 6= 0. Maka Az−rz ∈
Pn+ dan akibatnya (I + A)n−1 (Az − rz) > 0. Tulis y = (I + A)n−1 z.
Maka Ay − ry > 0 dan dengan demikian Ay − (r + )y ≥ 0, untuk
suatu  > 0. Akibatnya r < r +  ≤ fA (y) = fA (ty) ≤ fA (z), dengan
t = 1/kyk1 , bertentangan dengan definisi r. Jadi haruslah Az−rz = 0.
Karena z ∈ En , maka z 6= 0. Jadi Az = rz, z 6= 0, yaitu r nilai eigen
A dengan vektor eigen z.

Argumentasi di atas juga berlaku rampat: jika x ∈ Pn+ , fA (x) = r, dan


Ax − rx ≥ 0, maka x adalah vektor eigen A untuk nilai eigen r.

C. z > 0.
Perhatikan bahwa karena Az = rz, maka (I + A)z = (1 + r)z, dan
dengan demikian y = (I + A)n−1 z = (1 + r)n−1 z. Karena y > 0,
haruslah z > 0.

Pada bagian terakhir ini, sesungguhnyalah kita telah menunjukkan bahwa


jika Ax = rx, x ∈ Pn+ , maka x > 0. Ini kita peroleh dengan menormalkan
x dan menerapkan argumentasi pada butir C di atas.

D. r memiliki modulus terbesar di antara semua nilai eigen A.


Misalkan λ nilai eigen A dengan vektor eigen v, yaitu v 6= 0, Av = λv.
Maka λvi = nj=1 aij vj , i = 1, 2, · · · , n. Dengan mengambil modulus
P

dan mendefinisikan vektor |v| = w melalui wi = |vi |, i = 1, 2, · · · , n,


kita peroleh |λ||vi | ≤ nj=1 aij |vj |, i = 1, 2, · · · , n, dan |λ||v| ≤ A|v|;
P

dengan demikian A|v| − |λ||v| ≥ 0. Karena |v| ∈ Pn+ kita peroleh


|λ| ≤ r(|v|) ≤ r. Jadi r ≥ |λ|, untuk semua λ nilai eigen A.

Sebelum menunjukkan bahwa multiplisitas aljabar r adalah 1, kita per-


lihatkan terlebih dahulu bahwa multiplisitas geometri r adalah 1.
60 5. MATRIKS TAK-NEGATIF

E. Multiplisitas geometri r adalah 1.


Misalkan Av = rv, v 6= 0. Definisikan |v| seperti di atas. Maka |v| ∈
Pn+ . Dengan mengambil modulus kita peroleh r|vi | = | nj=1 aij vi | ≤
P
Pn
j=1 aij |vi |, i = 1, 2, · · · , n. Dalam bentuk matriks kita dapatkan
A|v| − r|v| ≥ 0. Akibatnya r ≤ fA (|v|) dan karena r adalah nilai
maksimum fungsi fA , haruslah fA (|v|) = r.
Dengan mengulang argumentasi pada butir B dan C di atas, |v| adalah
vektor eigen A untuk nilai eigen r dan |v| > 0.
Kepositifan |v| berakibat bahwa v1 6= 0. Pandang kombinasi linier
x = v1 z − z1 v. Perhatikan bahwa berlaku Ax = rx dan x1 = 0.
Andaikan x 6= 0. Maka dengan mengulang argumentasi di atas kita
peroleh |x| > 0. Akan tetapi ini mustahil karena x1 = 0. Jadi haruslah
x = 0.
Karena z1 juga tidak nol, maka v adalah kelipatan z. Ini berarti
multiplisitas geometri r adalah satu.

Dengan hasil terakhir ini kita peroleh bahwa setiap vektor eigen A yang
berkaitan dengan nilai eigen r mestilah memiliki komponen-komponen yang
bertanda sama, semuanya positif atau semuanya negatif.
Apa yang kita tunjukkan sejauh ini juga berlaku untuk matriks At . Su-
dah dikemukakan di depan bahwa At juga tak tereduksi. Kita juga menge-
tahui bahwa nilai-nilai eigen At persis sama dengan nilai-nilai eigen A. De-
ngan demikian r adalah nilai eigen bermodulus terbesar At dengan multi-
plisitas geometri 1 dan dengannya terkait suatu vektor eigen yang positif.

F. Multiplisitas aljabar r adalah 1.


Misalkan Φ(λ) = det(λI − A), λ ∈ R. Untuk menunjukkan bahwa
multiplisitas aljabar r adalah 1, cukup kita tunjukkan bahwa Φ0 (r) 6=
0.
Misalkan B(λ) = adj(λI − A). Kita memiliki identitas

B(λ)(λI − A) = Φ(λ)I.

Dengan menurunkan komponen demi komponen terhadap λ kita per-


oleh dB 0
dλ (λ)(λI − A) + B(λ) = Φ (λ)I. Dengan mengambil λ = r dan
mengalikan dengan z kita dapatkan dB 0
dλ (r)(rI−A)z+B(r)z = Φ (r)Iz,
dan dengan demikian B(r)z = Φ0 (r)z. Karena z > 0, kita akan mem-
peroleh Φ0 (r) 6= 0 jika B(r) memiliki baris yang terdiri dari komponen-
komponen bertanda sama. Kita akan tunjukkan bahwa B(r) memang
5.3. BUKTI TEOREMA PERRON-FROBENIUS 61

memiliki baris demikian.


Pertama-tama, karena multiplisitas geometri r adalah 1, maka rank(rI−
A) = n − 1. Karena B(r) adalah adjoin dari rI − A, maka B(r) 6= 0,
dan dengan demikian B(r) memuat suatu baris tak nol. Dari identi-
tas di atas, kita peroleh B(r)(rI − A) = Φ(r)I = 0. Akibatnya baris
tak nol dari B(r) adalah suatu vektor eigen At untuk nilai eigen r,
dan dengan demikian semua komponennya memiliki tanda sama. Ini
melengkapkan pembuktian teorema Perron-Frobenius.
62 5. MATRIKS TAK-NEGATIF
6

Fungsi Matriks

6.1 Matriks Nilpoten


Definisi 6.1.1. Misalkan A ∈ Cn×n . Kita katakan A matriks nilpoten jika
An = 0.
Dari definisi ini cukup jelas bahwa sifat nilpoten invarian terhadap hubun-
gan keserupaan. Selanjutnya, perhatikan bahwa matriks nilpoten A dapat
memenuhi Ak = 0, untuk suatu bilangan asli k < n. Matriks nol 0 adalah
matriks nilpoten dan 01 = 0. Ini memberikan pengertian indeks kenilpote-
nan ν(A) untuk matriks nilpoten A sebagai bilangan asli k terkecil yang
memenuhi Ak = 0.
Kita mempunyai syarat perlu dan cukup berikut untuk matriks nilpoten.
Bukti diserahkan kepada pemmbaca sebagai latihan.
Teorema 6.1.2. Misalkan A ∈ Cn×n . Pernyataan berikut ekivalen:
(i) A matriks nilpoten,

(ii) sp(A) = {0},

(iii) persamaan karakteristik A adalah c(t) = tn .


Sebagai konsekuensi teorema di atas, matriks segitiga atas yang nilpoten
hanya memiliki 0 sebagai komponen-komponen diagonal utamanya. Sesung-
guhnyalah, syarat perlu dan cukup bagi matriks segitiga atas untuk nilpoten
adalah diagonal utama nol, lihat Soal Latihan 2.
Sisa pembahasan dalam subbab ini akan kita isi dengan topik struktur
matriks nilpoten. Pertama-tama sebuah sifat yang berlaku untuk semua
matriks singular.

63
64 6. FUNGSI MATRIKS

Sifat 6.1.3. Misalkan A ∈ Cn×n matriks singular. Maka:

6 Inti(A) ⊆ Inti(A2 ) ⊆ · · · ,
(a) h0i =

(b) jika Inti(Ak−1 ) = Inti(Ak ), maka Inti(Ak ) = Inti(Ak+1 ), untuk setiap


bilangan asli k.

Bukti: Kita akan membuktikan pernyataan (b); bukti pernyataan (a) dis-
erahkan kepada pembaca.
Misalkan k bilangan asli dan Inti(Ak−1 ) = Inti(Ak ). Berdasarkan (a), kita
cukup menunjukkan bahwa Inti(Ak+1 ) ⊆ Inti(Ak ).
Misalkan x ∈ Inti(Ak+1 ). Maka 0 = Ak+1 x = Ak (Ax). Ini berarti,
Ax ∈ Inti(Ak ), dan berdasarkan hipotesis Ax ∈ Inti(Ak−1 ). Jadi Ak x =
Ak−1 (Ax) = 0, yaitu x ∈ Inti(Ak ).
Karena kita bekerja di ruang vektor Cn yang berdimensi hingga, barisan
subruang Inti(A), Inti(A2 ), . . . tidak mungkin terus naik. Jika A matriks
singular, Sifat 6.1.3 menyatakan bahwa barisan subruang {Inti(A)i }, dimana
i bilangan cacah, mula-mula akan naik, lalu konstan. Dalam hal terse-
but, terdapat secara tunggal bilangan asli k yang memenuhi Inti(Ak−1 ) 6=
Inti(Ak ) = Inti(Ak+1 ). Dalam hal A matriks nilpoten, bilangan asli k
tersebut tidak lain adalah ν(A). Dengan demikian, untuk sebarang matriks
nilpoten A ∈ Cn×n berlaku Inti(Ai ) = Cn , untuk setiap i ≥ ν(A).
Sekarang, misalkan A ∈ Cn×n menyatakan matriks nilpoten dengan in-
deks kenilpotenan ν(A) = k ≤ n.
Misalkan v ∈ Inti(Ak ), tetapi v 6∈ Inti(Ak−1 ). Maka vektor-vektor
v1 = Ak−1 v, v2 = Ak−2 v, . . . , vk−1 = Av, vk = v semuanya bukan vektor
nol. Lebih jauh, himpunan {v1 , v2 , . . . , vk } bebas linier, lihat Soal Latihan
3.
Perhatikan bahwa Avi = vi−1 untuk i = 2, 3, . . . , k, sedangkan Av1 =
0. Sekarang misalkan K = hv1 , v2 , . . . , vk i. Maka Ax ∈ K, untuk se-
htiap x ∈ K, yaitu i K invarian terhadap A. Dengan mengambil X =
v1 v2 · · · vk ∈ Cn×k , kita peroleh AX = XN, dimana N = [nij ] ∈
Ck×k dengan 
1, j = i + 1, i = 1, 2, . . . , k − 1
nij =
0, selain itu.
Matriks N kita sebut matriks nilpoten fundamental dengan indeks k.
Sebelum sampai kepada teorema puncak untuk subbab ini, kita tinjau
matriks nilpoten untuk kasus n = 2 dan n = 3.
6.1. MATRIKS NILPOTEN 65

Misalkan n = 2. Maka ada dua kemungkinan untuk indeks kenilpotenan


matriks nilpoten A ∈ C2×2 , yaitu ν(A) = 1 atau ν(A) = 2.
Dalam hal ν(A) = 1, kita mempunyai Inti(A) = C2 . Akibatnya," untuk #
h i h i h i 0 0
setiap basis {u, v} bagi C2 berlaku A u v = 0 0 = u v .
0 0
Dengan demikian, A serupa dengan matriks nol, tetapi ini tidak lain berarti
bahwa A = 0.
Dalam hal ν(A) = 2, pilih v ∈ C2 sehingga
"
2
# A v = 0, tetapi Av 6=
h i h i 0 1
0. Kita peroleh A Av v = Av v . Jadi, A serupa dengan
0 0
matriks nilpoten fundamental dengan indeks 2.
Misalkan sekarang n = 3. Untuk matriks nilpoten A ∈ C3×3 , terdapat
tiga kemungkinan bagi ν(A), yaitu 1 atau 2 atau 3. Dalam hal ν(A) = 1,
argumentasi serupa dengan kasus n = 2 membawa kita kepada kesimpulan
bahwa A serupa dengan matriks nol, yang berarti A = 0. Demikian pula,
dalam hal ν(A) = 3, kita pilih v ∈ C3 yang memenuhi A3 v = 0, tetapi
 
h i h i 0 1 0
A2 v 6= 0. Kita dapatkan A A2 v Av v = A2 v Av v 0 0 1,
 

0 0 0
yaitu A serupa dengan matriks nilpoten fundamental dengan indeks 3.
Asumsikan ν(A) = 2. Pilih v ∈ C3 dengan A2 v = 0, Av 6= 0. Pilih
u ∈ C3 sehingga {Av, v, u} basis C3 . Maka
 
h i h i 0 1 c1
A Av v u = Av v u 0 0 c2  .
 

0 0 c3
Karena keserupaan tidak menghilangkan sifat nilpoten dan matriks segitiga
atas yang nilpoten hanya mempunyai komponen 0 pada diagonal utamanya,
haruslah c3 = 0. Dengan demikian, Au = c1 Av + c2 v. Mengalikan A di
kedua ruas menghasilkan

0 = A2 u = c1 A2 v + c2 Av = c2 Av.

Karena Av 6= 0, haruslah c2 = 0, sehingga Au = c1 Av. Pilih w = u − c1 v.


Maka hAv, v, wi = hAv, v, ui = C3 , sehingga {Av, v, w} juga basis bagi
C3 . Kita peroleh
 
h i h i h i 0 1 0
A Av v w = 0 Av 0 = Av v u 0 0 0 .
 

0 0 0
66 6. FUNGSI MATRIKS
# "
A1 0
Jadi A serupa dengan matriks blok diagonal , dimana A1 adalah
0 A2
matriks nilpoten fundamental dengan indeks 2 dan A2 = [0].
Teorema berikut, yang merupakan puncak pembahasan subbab ini, mem-
berikan karakterisasi matriks nilpoten dengan indeks kenilpotenan k.

Teorema 6.1.4. Misalkan A ∈ Cn×n . Maka A matriks nilpoten dengan


indeks kenilpotenan k jika dan hanya jika A serupa dengan matriks blok
diagonal
 
A1 0 · · · 0
 0 A2 · · · 0 
 
,
 . .. .. 
 . ..
 . . . . 
0 0 · · · Am
dimana A1 adalah matriks nilpoten fundamental dengan indeks k, dan Ai
adalah [0] atau matriks nilpoten fundamental dengan indeks tidak lebih dari
k, i = 2, 3, . . . , m.

Bukti: Bagian “jika” kita peroleh dengan menghitung langsung dan mengin-
gat bahwa Ak1 = 0, tetapi Ak−1 1 6= 0.
Bagian “hanya jika” kita buktikan dengan menggunakan induksi pada n.
Kita telah memulai pembuktian ini dengan tinjauan terhadap kasus n = 2
dan n = 3 sebelum teorema.
Misalkan n > 2 dan bagian “hanya jika” berlaku untuk setiap matriks
nilpoten yang berukuran lebih kecil dari n × n.
Ambil v ∈ Cn yang memenuhi Ak v = 0, tetapi Ak−1 v 6= 0. Ambil basis
{v1 , v2 , . . . , vk , uk+1 , . . . , un } "bagi Cn#, dimana vi = Ak−i v, i = 1, 2, . . . , k.
h i h i N B h i
Maka A X Y = X Y , dimana X = v1 · · · vk , Y =
0 C
h i
uk+1 · · · un , N matriks nilpoten fundamental dengan indeks k, B ∈
Ck×(n−k) , C ∈ C(n−k)×(n−k) . Perhatikan bahwa C adalah matriks nilpoten
dengan indeks tidak lebih dari k. Berdasarkan hipotesis induksi, C =
SFS−1 , dimana S ∈ C(n−k)×(n−k) tak singular dan F matriks blok diag-
onal yang komponen diagonal utamanya adalah [0] atau matriks
h nilpoteni
fundamental dengan indeks tidak lebih dari k. Akibatnya, A X YS =
" #
h i N BS
X YS .
0 F
Untuk menyederhanakan notasi, asumsikan C = F dan S = I. Kita tuliskan
6.1. MATRIKS NILPOTEN 67
" #
N B
juga M = .
0 C
Selanjutnya, seperti yang telah kita tunjukkan untuk kasus n = 3, kita akan
mengganti uk+1 , . . . , un dengan wk+1 , . . . , wn , sehingga terhadap basis yang
baru A memiliki representasi yang kita inginkan.
Proses penggantian tersebut kita lakukan terhadap uj satu demi satu mulai
dari j = k + 1, lalu j = k + 2, dan seterusnya sampai j = n. Vektor peng-
ganti wj ditetapkan bergantung pada posisi relatif kolom ke-j dalam blok
matriks pada diagonal utama C. Ada dua kasus yang akan kita tinjau. Pada
kasus pertama, kolom ke-j matriks M bersesuaian dengan blok [0] pada di-
agonal utama C atau dengan kolom pertama suatu blok matriks nilpoten
fundamental pada diagonal utama C. Kasus ini terjadi ketika kolom ke-
(j − k) matriks C adalah kolom nol. Sedangkan pada kasus kedua, kolom
ke-j matriks M bersesuaian dengan kolom ke-l pada salah satu blok matriks
nilpoten fundamental pada diagonal utama C, l = 2, . . . , k. Kasus kedua
ini terjadi ketika kolom ke-(j − k) matriks C memuat komponen 1.
Kita ingin memperoleh vektor pengganti wj memenuhi Awj = 0 pada kasus
pertama, dan Awj = wj−1 pada kasus kedua.
Sebelum merinci proses penggantian tersebut, perhatikan bahwa At vi =
vi−t , i = 2, . . . , k; t = 0, . . . , i − 1, dan At vi = 0, i = 1, 2, . . . , k; t ≥ i.

Kasus I: Dalam hal ini, kolom ke-j matriks C adalah kolom nol. Akibat-
Xk Xk
k k−1
nya, Auj = bij vi . Maka 0 = A uj = A Auj = bij Ak−1 vi =
i=1 i=1
k−1
X k−1
X
bkj v1 , sehingga bkj = 0. Dengan demikian, Auj = bij vi = bij Avi+1 .
i=1 i=1
k
X
Ambil wj = uj − b(i−1)j vi untuk mendapatkan Awj = 0.
i=2

Kasus II: Kolom ke-j matriks M bersesuaian dengan kolom ke-l pada salah
satu blok matriks nilpoten fundamental pada diagonal utama C, l =
2, . . . , k. Dalam hal ini kolom ke-(j − k) matriks C memuat komponen
Xk
1. Dengan demikian, Auj = bij vi + uj−1 . Kita klaim bahwa uj
i=1
digantikan oleh
l X
X i−1 k X
X l
wj = uj − b(i−t)(j−t+1) vi − b(i−t)(j−t+1) vi .
i=2 t=1 i=l+1 t=1
68 6. FUNGSI MATRIKS

Pertama-tama kita buktikan klaim untuk l = 2. Perhatikan bahwa


kolom ke-(j − k − 1) matriks C adalah kolom nol, dan uj−1 telah di-
Xk
gantikan oleh wj−1 = uj−1 − b(i−1)(j−1) vi . Maka Auj = wj−1 +
i=2
k
X
bij + b(i−1)(j−1) vi . Akibatnya, 0 = Ak uj = Ak−1 Auj =

b1j v1 +
i=2
k
X Xk
k−1 k−1
bij A vi +A wj−1 + b(i−1)(j−1) Ak−1 vi = (bkj +b(k−1)(j−1) )v1 ,
i=1 i=2
sehingga bkj +b(k−1)(j−1) = 0. Dengan demikian, Auj = wj−1 +b1j v1 +
k−1
X Xk−1
 
bij + b(i−1)(j−1) vi = wj−1 +b1j Av2 + bij + b(i−1)(j−1) Avi+1 .
i=2 i=2
k
X 
Ambil wj = uj − b1j v2 − b(i−1)j + b(i−2)(j−1) vi untuk mendap-
i=3
atkan Awj = wj−1 .
Selanjutnya misalkan 2 < l ≤ k dan uj−1 telah digantikan oleh wj−1 =
l−1 X
X i−1 k X
X l−1
uj−1 − b(i−t)(j−t) vi − b(i−t)(j−t) vi . Maka
i=2 t=1 i=l t=1

k
X l−1 X
X i−1 k X
X l−1
Auj = bij vi + wj−1 + b(i−t)(j−t) vi + b(i−t)(j−t) vi .
i=1 i=2 t=1 i=l t=1

Kita peroleh

0 = Ak uj = Ak−1 Auj
k
X l−1 X
X i−1
k−1 k−1
= bij A vi + A wj−1 + b(i−t)(j−t) Ak−1 vi
i=1 i=2 t=1
k X
X l−1
+ b(i−t)(j−t) Ak−1 vi
i=l t=1
l−1
X
= bkj Ak−1 vk + b(k−t)(j−t) Ak−1 vk
t=1
l−1
!
X
= bkj + b(k−t)(j−t) v1 .
t=1
6.1. MATRIKS NILPOTEN 69

l−1
X
Dengan demikian, bkj + b(k−t)(j−t) = 0 dan
t=1

k−1
X l−1 X
X i−1 k−1 X
X l−1
Auj = wj−1 + bij vi + b(i−t)(j−t) vi + b(i−t)(j−t) vi
i=1 i=2 t=1 i=l t=1
k−1
X l−1 X
X i−1 k−1 X
X l−1
= wj−1 + bij Avi+1 + b(i−t)(j−t) Avi+1 + b(i−t)(j−t) Avi+1
i=1 i=2 t=1 i=l t=1
k
X l X
X i−2 Xk X l−1
= wj−1 + b(i−1)j Avi + b(i−t−1)(j−t) Avi + b(i−t−1)(j−t) Avi .
i=2 i=3 t=1 i=l+1 t=1

Ambil
k
X l X
X i−2 k X
X l−1
wj = uj − b(i−1)j vi − b(i−t−1)(j−t) vi − b(i−t−1)(j−t) vi
i=2 i=3 t=1 i=l+1 t=1
k
X l X
X i−1 k X
X l
= uj − b(i−1)j vi − b(i−t)(j−t+1) vi − b(i−t)(j−t+1) vi
i=2 i=3 t=2 i=l+1 t=2
l
X k
X
= uj − b1j v2 − b(i−1)j vi − b(i−1)j vi
i=3 i=l+1
l X
X i−1 k X
X l
− b(i−t)(j−t+1) vi − b(i−t)(j−t+1) vi
i=3 t=2 i=l+1 t=2
l i−1
!
X X
= uj − b1j v2 − b(i−1)j + b(i−t)(j−t+1) vi
i=3 t=2
k l
!
X X
− b(i−1)j + b(i−t)(j−t+1) vi
i=l+1 t=2
l X
X i−1 k X
X l
= uj − b1j v2 − b(i−t)(j−t+1) vi − b(i−t)(j−t+1) vi
i=3 t=1 i=l+1 t=1
l X
X i−1 k
X l
X
= uj − b(i−t)(j−t+1) vi − b(i−t)(j−t+1) vi .
i=2 t=1 i=l+1 t=1

Perhatikan bahwa Awj = wj−1 , dan dengan demikian bukti selesai.

Sebagai catatan penutup, perhatikan bahwa Inti(Aν(A) ) = Cn , sehingga


dim Inti(Aν(A) ) = n. Di lain pihak, karena An = 0, maka polinom karak-
teristik A adalah c(t) = tn . Ini berarti multiplisitas aljabar nilai eigen 0
70 6. FUNGSI MATRIKS

adalah n. Fakta bahwa untuk matriks nilpoten A berlaku dim Inti(Aν(A) )


adalah multiplitas nilai eigen 0 matriks A akan kita perlukan dalam subbab
berikutnya.

6.2 Bentuk Kanonik Jordan

Subbab ini kita mulai dengan meninjau bentuk A−tI, dimana A ∈ Cn×n dan
t ∈ C. Perhatikan bahwa A − tI singular jika dan hanya jika Inti(A − tI) 6=
h0i jika dan hanya jika t nilai eigen A.
Misalkan A ∈ Cn×n dan λ ∈ C nilai eigen A. Maka A − λI singular dan,
berdasarkan Sifat 6.1.3, terdapat bilangan asli k yang memenuhi Inti(A −
λI)k−1 6= Inti(A − λI)k = Inti(A − λI)k+1 .

Definisi 6.2.1. Misalkan λ ∈ C dan k sebuah bilangan asli. Matriks k × k


dengan komponen pada baris ke-i kolom ke-j adalah λ jika j = i, 1 jika
j = i + 1, i = 1, 2, . . . , k − 1, dan 0 untuk selain itu kita namakan (matriks)
blok Jordan, dan kita nyatakan dengan Jk (λ).

Perhatikan bahwa Jk (λ) memiliki nilai eigen λ dengan multiplisitas al-


jabar k dan multiplisitas geometri 1. Lebih jauh, Jk (λ) memiliki sukubanyak
karakteristik (t − λ)k .

Teorema 6.2.2. Setiap matriks persegi serupa dengan matriks blok diagonal
yang semua komponen blok diagonalnya adalah blok Jordan.

Matriks blok diagonal tersebut dikatakan bentuk Jordan untuk matriks


persegi yang diberikan.
Misalkan λ adalah nilai eigen matriks persegi A dengan multiplisitas
aljabar m. Nilai eigen λ ini muncul pada bentuk Jordan matriks A melalui
paling sedikit 1 dan paling banyak m blok Jordan.
Sebagai contoh, dalam hal m = 5 kemungkinan blok Jordan yang muncul
diberikan di tabel berikut bersama faktor sukubanyak minimal dengan λ
sebagai akar.
6.3. FUNGSI MATRIKS 71

Banyak blok Jordan Ukuran blok Jordan Sukubanyak minimal


1 5 (t − λ)5
2 4,1 (t − λ)4
2 3,2 (t − λ)3
3 3,1,1 (t − λ)3
3 2,2,1 (t − λ)2
4 2,1,1,1 (t − λ)2
5 1,1,1,1,1 t−λ

Contoh di atas dengan jelas menunjukkan bahwa dua matriks dengan


sukubanyak karakteristik dan sukubanyak minimal yang sama dapat memi-
liki bentuk Jordan yang berbeda.

6.3 Fungsi Matriks


Fungsi matriks adalah pemetaan dari Cn×n ke Cn×n . Pada bagian ini kita
tertarik pada fungsi matriks yang diperoleh dari fungsi-fungsi elementer
yang lazim kita kenal.
Misalkan f adalah fungsi sukubanyak kompleks, yaitu f (z) = ak z k +
an−1 z n−1 + · · · + a1 z + a0 , ∀z ∈ C, dimana a0 , a1 , . . . , ak ∈ C. Maka f
mendefinisikan fungsi matriks secara natural f (A) = ak Ak + an−1 An−1 +
· · · + a1 A + a0 I, ∀A ∈ Cn×n .
Sekali pun perkalian matriks tidak bersifat komutatif, khusus untuk
fungsi sukubanyak matriks kita mempunyai sifat berikut.

Sifat 6.3.1. Misalkan f, g dua sukubanyak kompleks. Maka f (A)g(A) =


g(A)f (A), untuk setiap A ∈ Cn×n .

Himpunan semua sukubanyak kompleks, dengan operasi-operasi pen-


jumlahan dan perkalian, merupakan daerah Euklid. Pada setiap daerah
Euklid berlaku algoritma pembagian. Dalam kaitan ini kita mempunyai
sifat berikut.

Sifat 6.3.2. Misalkan f, g dua sukubanyak kompleks, g 6= 0. Misalkan pula


q, r dua sukubanyak kompleks yang memenuhi (i) r = 0 atau der(r) < der(g)
dan (ii) f (z) = q(z)g(z)+r(z). Maka f (A) = q(A)g(A)+r(A), untuk setiap
A ∈ Cn×n .

Eksistensi sukubanyak q dan r dijamin oleh algoritma pembagian.


Sebagai konsekuensi sifat di atas, kita mempunyai
72 6. FUNGSI MATRIKS

Sifat 6.3.3. Misalkan f suku banyak kompleks dengan faktorisasi f (z) =


α0 (z − α1 )e1 (z − α2 )e2 · · · (z − αk )ek , dimana α0 bilangan kompleks tak nol,
α1 , α2 , . . . , αk bilangan-bilangan kompleks berbeda, dan e1 , e2 , . . . , ek bilangan-
bilangan asli. Maka f (A) = α0 (A−α1 I)(A−α2 I) · · · (A−αk I), untuk setiap
A ∈ Cn×n .

Teorema Cayley-Hamilton

6.4 Soal Latihan


1. Buktikan Teorema 6.1.2.

2. Misalkan A ∈ Cn ×n matriks segitiga atas. Buktikan bahwa jika semua


komponen diagonal utama A adalah 0, maka A matriks nilpoten.

3. Misalkan A ∈ Cn×n matriks nilpoten dengan ν(A) = k ≤ n. Jika v ∈


Ck memenuhi Ak−1 v 6= 0 dan Ak v = 0, buktikan bahwa {v, Av, . . . , Ak−1 v}
bebas linier.

Buku\AnalisisMatriks.tex

Anda mungkin juga menyukai