Surveilans Epidemiologi PDF
Surveilans Epidemiologi PDF
DISUSUN OLEH:
ACHMAD RIZKI AZHARI
NIM 25010113140258
KELAS D-2013
3. Angka Kematian
Akta kematian juga termasuk dokumen yang penting bagi keluarga yang
ditinggal. Alasan yang paling penting akta kematian sangat dibutuhkan adalah untuk
memenuhi kebutuhan hukum. Kematian ditangani dengan serius dan hokum
memberikan perlindungan terhadap kemungkinan terjadinya kematian
akibatkesalahan melalui penelusuran dan pendataan kematian dengan metode yang
ketat. Kematian harus diregistrasi dan jika ada sesuatu yang mencurugakan,
kematiantersebut akan diselidiki termasuk melakukan autopsy. Akta kematian juga
dibutuhkan untuk mengajukan klaim pensiun dan asuransi jiwa. Angka kematian dan
data relevan diperoleh dari proses registrasi akta kematian.
7. Komputerisasi Surveilans
Penggunaan komputer tentunya tidak lepas dari listrik. Seperti yang kita tahu,
komputer membutuhkan listrik untuk dapat beroperasi. Meskipun pemerintah sudah
merencanakan sebuah sistem informasi kesehatan di daerah-daerah, tetap saja hal itu
kurang dapat memberikan hasil yang baik, karena masih banyak daerah yang
mendapat pemadaman listrik bergilir atau bahkan sama sekali belum teraliri listrik.
Oleh karena itu dibutuhkan peran serta yang tinggi, konsisten dan intensif dari
pemerintah dalam hal penyediaan aliran listrik yang baik dan merata hingga daerah
terkecil di nusantara.
Selain di Provinsi NTT, Provinsi NTB yang berada pada peringkat ke-32 dari 33
provinsi juga memiliki masalah terkait penggunaan teknologi komputer, yaitu adanya
fragmentasi dalam sistem informasi kesehatan. Maksud dari fragmentasi tersebut
adalah banyaknya penggunaan sistem informasi kesehatan yang berbeda-beda di
semua tingkat administrasi (kabupaten, kota, provinsi). Hal ini mengakibatkan
terjadinya duplikasi data, kurangnya kelengkapan data, dan data yang tidak valid.
Hasil penelitian di NTB membuktikan bahwa puskesmas harus mengirim lebih dari
300 laporan dan terdapat 8 macam sistem yang digunakan sehingga beban
administrasi dan beban petugas terlalu tinggi. Beban-beban yang terlalu tinggi
mengakibatkan ketidakefektifan dan ketidakefisiensian sistem informasi kesehatan
yang digunakan.
Selain itu, masalah yang dihadapi dalam sistem informasi kesehatan ialah
format pencatatan dan pelaporan masih berbeda-beda dan belum memiliki standar
secara nasional. Hal ini diwujudkan dari masih adanya daerah yang mencatat dan
menyerahkan laporan kesehatan yang diisi dengan tulisan tangan. Lebih buruknya,
mereka terkadang menyusun sendiri poin-poin pelaporan sehingga tidak sesuai
dengan standar yang sudah dibuat oleh pemerintah. Sudah dapat dipastikan, metode
pencatatan dan data basing seperti ini sangat tidak efektif dan memberi informasi
yang baik.
8. Sistem Surveilans
Tipe-Tipe Sistem Surveilans, Pengumpulan, dan Entry Data
Cara-cara penyelenggaraan surveilans epidemiologi dibagi berdasarkan atas metode
pelaksanaan, aktifitas pengumpulan data dan pola pelaksanaannya. (KMK No.
1116/MENKES/SK/VIII/2003).
B. Penyelenggaraan Berdasarkan Metode Pelaksanaan
a. Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu, adalah penyelenggaraan surveilans
epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan, dan atau faktor risiko
kesehatan
b. Surveilans Epidemiologi Khusus, adalah penyelenggaraan surveilans
epidemiologi terhadap suatu kejadian, permasalahan, faktor risiko atau situasi
khusus kesehatan
c. Surveilans Sentinel, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada
populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya masalah
kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas.
d. Studi Epidemiologi, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada
periode tertentu serta populasi dan atau wilayah tertentu untuk mengetahui
lebih mendalam gambaran epidemiologi penyakit, permasalahan dan atau
faktor risiko kesehatan
C. Penyelenggaraan Berdasarkan Aktifitas Pengumpulan Data
a. Surveilans Aktif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana
unit surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan
kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
b. Surveilans Pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana
unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari
unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
D. Penyelenggaraan Berdasarkan Pola Pelaksanaan
a. Pola Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan
yang berlaku untuk penanggulangan KLB dan atau wabah dan atau bencana.
b. Pola Selain Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada
ketentuan yang berlaku untuk keadaan diluar KLB dan atau wabah dan atau
bencana.
E. Penyelenggaraan Berdasarkan Kualitas Pemeriksaan
a. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan, adalah kegiatan surveilans
dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan klinis atau tidak
menggunakan peralatan pendukung pemeriksaan.
b. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan surveilans
dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan laboratorium atau peralatan
pendukung pemeriksaan lainnya.
a. Alat catatan
b. Pustaka atau referensi
Contoh: dokumen dari pusat pelayanan kesehatan tentang kejadian suatu masalah
kesehatan yang terjadi diwilayahnya.
Pelatihan digunakan ntuk kelancaran kegiatan surveilans di desa siaga sangat
dibutuhkan tenaga kesehatan yang mengerti dan memahami kegiatan surveilans.
Petugas seyogyanya disiapkan dari tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Puskesmas
sampai di tingkat Desa/Kelurahan. Untuk menyamakan persepsi dan tingkat
pemahaman tentang surveilans sangat diperlukan pelatihan surveilans bagi petugas.
Untuk keperluan respon cepat terhadap kemungkinan ancaman adanya KLB, di setiap
unit pelaksana (Puskesmas, Kabupaten dan Propinsi) perlu dibentuk Tim Gerak Cepat
(TGC) KLB. Tim ini bertanggung jawab merespon secara cepat dan tepat terhadap
adanya ancaman KLB yang dilaporkan oleh masyarakat.
Laporan Dan Pembagian Data (Data Sharing)
Pelaporan (reporting): data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil
kegiatan surveilans epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat
melakukan tindakan penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program
kesehatan, pusat penelitian dan pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring
surveilans epidemiologi. Pengumpulan data kasus pasien dari tingkat yang lebih
rendah dilaporkan kepada fasilitas kesehatan yang lebih tinggi seperti lingkup daerah
atau nasional.
Hasil analisa dan interpretasi data selain terutama dipakai sendiri oleh unit
kesehatan setempat untuk keperluan penentuan tindak lanjut, juga untuk
disebarluaskan dengan jalan dilaporkan kepada atasan sehagai infomasi lebih lanjut,
dikirimkan sebagai umpan balik (feed back) kepada unit kesehatan pemberi laporan.
Umpan balik atau pengiriman informasi kembali kepada sumber-sumber data
(pelapor) mengenai arti data yang telah diberikan dan kegunaannya setelah diolah,
merupakan suatu tindakan yang penting, selain tindakan follow up. Sasaran
penyebaran informasi adalah instansi terkait baik secara vertikal maupun horizontal
dengan tujuan untuk memperoleh kesepahaman dan feedback dalam perumusan
kebijakan. Manfaat penyebaran informasi adalah mendapatkan respon dari instansi
terkait sebagai feedback, tindak lanjut, dan kesepahaman. Metode yang dapat
digunakan dalam penyebaran informasi adalah tertulis dan deseminasi laporan,
verbal dalam rapat, media cetak dan elektronik (Noor, 2008).
Peranan Pengelola Data, Cara-Cara Mengelola Data
Pernanan Pengelola Data
Penyajian dan analisis data hasil kegiatan secara statistic sederhana sehingga dapat
memberikan informasi surveilans yang optimal dan keterampilan mengoperasikan
software pengolahan data.
Cara-cara mengelola data
Data yang sudah terkumpul dari kegiatan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel,
grafik (histogram, poligon frekuensi), chart (bar chart, peta/map area). Penggunaan
komputer sangat diperlukan untuk mempermudah dalam pengolahan data
diantaranya dengan menggunakan program (software) seperti epid info, SPSS, lotus,
excel dan lain-lain (Budioro, 2007).
Tujuan penilaian survailans
Pentingnya suatu peristiwa kesehatan dilihat dari segi kesehatan masyarakat adalah:
a) Jumlah kasus atau besarnya kasus, insiden dan prevalen.
b) Indikator dari besarnya masalah: angka kematian preventabilitas.
Tujuan Sistem
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan
populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus
surveilans, antara lain (Giesecke, 2002):
a) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit;
b) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
outbreak;
c) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease
burden) pada populasi;
d) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan,
implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan;
e) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;
f) Mengidentifikasi kebutuhan riset
Gambaran Sistem
Gambaran system berisi di antaranya ada daftar tujuan system, definisi kasus
peristiwa kesehatan, diagram alur dari system yang akan dievakuasi, komponen
dan pelaksanaan system, populasi, periode pengumpulan data, informasi yang
telah dikumpulkan.
“Epidemiologi” berasal dari dari kata Yunani epi= atas, demos= rakyat, populasi
manusia, dan logos = ilmu (sains), bicara. Secara etimologis epidemiologi adalah ilmu
yang mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan peristiwa yang banyak terjadi
pada masyarakat, yakni penyakit dan kematian yang diakibatkannya yang disebut
epidemi. (M.N. Bustan, 2006).
Profesor Sally Blakley menyebutkan epidemiologi ”the mother science of public
health”. Kesehatan masyarakat bertujuan melindungi, memelihara, memulihkan, dan
meningkatkan kesehatan populasi. (Bernard, 2014). Sedangkan epidemiologi
memberikan kontribusinya dengan mendeskripsikan distribusi penyakit pada populasi,
meneliti paparan faktor-faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya
perbedaan distribusi penyakit tersebut. Pengetahuan tentang penyebab perbedaan
distribusi penyakit selanjutnya digunakan untuk memilih strategi intervensi yang tepat
untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada populasi, dengan cara mengeliminasi,
menghindari, atau mengubah faktor penyebab tersebut. (Wahyudin Rajab, 2009).
Epidemiologi adalah bagian dari ilmu kesehatan masyarakat yang merupakan inti atau
induk ilmu kesehatan masyarakat, memiliki pengertian, filosofi, dan pelaksanaan metode
yang terkandung dalam public health. (Eko Budiarto, 2003).
Standarisasi langsung dan tidak langsung akan dijelaskan dalam standarisasi angka
kematian.
Ada dua cara standarisasi langsung (direct) dan tidak langsung (indirect)
a. Standarisasi langsung
Untuk membandingkan angka kematian dua tempat atau daerah, digunakan
daerah lain sebagai standar yang diketahui jumlah penduduk menurut umur (atau
variabel lain yang dianggap mempengaruhi) baik angka sebenarnya atau teoritis
saja. Dalam cara langsung ini, dua daerah yang akan dibandingkan harus
mempunyai data kematian menurut umur (ASDR), sedangkan daerah yang akan
dijadikan standar adalah daerah yang mempunyai jumlah penduduk menurut umur
baik empirik maupun teoritis, atau bahkan salah satu dari daerah yang akan
dibandingkan menjadi penduduk standar.
Keterangan : Expected death pada kolom terakhir didapatn dengan mengalikan
ASDR masing-masing kelompokumur dengan jumlah penduduk standar pada
kelompok umur yang bersangkutan.
Contoh:
Dengan standarisasi terlihat bahwa anagka kematian, alam hal ini CDR unutk
daerah A yang tadinya dianggap lebih rendah, ternyata setelah dilakukan
standarisasi berubah lebih tinggi . Hal ini terjadi karena adanya komposisi
penduduk menurut umur yang berbeda.Kalau diperhatikan pada daerah A jumlah
kelompok umur yang ASDR-nya tertinggi (150/1000) adalah kelompok umur 75+
tahun keatas dengan jumlah 1000 orang. Sedangkan pada daerah B, kelompok
umur yang ASDR-nya tertinggi adalah kelompok umu 75+ dengan jumah hanya
400 orang.
A=
B=
A=
B=
Keterangan :
a = True positive
b = False positive
c = False negative
d = True Negative
Cut Off
Cutoof dapat dicontohhkan misalnya menetapkan titik potong (cut off
point) dalam menentukan pasien mana yang akan dinyatakan memiliki
glaukomatosa oleh skrining. (Richard, 2009).
Dari gambar di atas, tampak bahwa untuk mendeteksi semua mata yang
glaukomatosa (untuk mencapai sensitivitas 100 %) maka titik potong harus berada
pada 22 mm Hg. Pada titik potong ini, semua kasus glaukomatosa akan terdeteksi,
tetapi berakibat pada tercakupnya sejumlah besar mata yang normal, yaitu yang
berada pada ekor sebelah kanan pada distribusi mata non glaukomatosa, pada
tekanan 22-27. Hal ini menunjukkan spesifisitas kurang dari 100 %. (Richard,
2009).
Selanjutnya, diasumsikan bahwa seluruh mata normal dikeluarkan agar
mendapatkan spesifisitas 100 %. Hal ini memerlukan titik potong pada tekanan 27
agar seluruh mata normal dapat dikeluarkan. Hal tersebut mengakibatkan
hilangnya sejumlah kasus glaukomatosa sehingga sensitivitas kurang dari 100 %.
(Richard, 2009).
Pada praktiknya, titik potong ditetapkan pada tekanan 24. Hal ini
mengakibatkan sensitivitas maupun spesifisitas kurang dari 100 % dan baik hasil
positif palsu maupun negatif palsu akan muncul, tetapi dalam jumlah kecil.
Distribusi populasi yang sehat dan sakit bertumpang tindih berkenaan dengan
variabel yang diukur. Hasil uji bergantung pada pembacaan satu titik potong saja,
sensitivitas dan spesifisitas selalu saling berbanding terbalik. (Richard, 2009).
PVP (Nilai Prediktif Positive) dan PVN (Nilai Prediktif Negatif)
PVP adalah prsentase dari mereka dengan hasil tes positive yang benar benar
sakit, sedangkan PVN adalah porsentase dari mereka dengan hasil tes negative
yang benar benar tidak sakit. (Rizchard, 2009)
Berdasarkan tabel matrik skrining di atas, rumus PVP dan PVP :
PVP = a / (a+b)
PVN = d/ (c+d)
Peranan Prevalensi Rate Penyakit
Yield merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai hasil dari
uji tapis (skrining). Prevalensi penyakit yang tidak tampak dapat mempengaruhi
yield. (Eko Budiarto, 2003). Makin tinggi prevalensi penyakit tanpa gejala yang
terdapat di masyarakat akan meningkat yield, terutama penyakit-penyakit kronis
seperti TBC, karsinoma, hipertensi, dan diabetes mellitus. (Eko Budiarto, 2003).
Rendahnya prevalensi rate, maka test skring akan mengambil lebih banyak true
negative. Sedangkan tingginya prevalensi rate, maka test skrining akan
mengambil lebih banyak false negative. “increased prevalence results in
decreased negative predictive value”, meningkatnya prevalensi rate akan
menghasilkan penurunan hasil negative predictive. (Penn State Science, 2015).
(Relationship between disease prevalence and predictive value in a test with 95%
sensitivity and 85% specificity.
12. Analisis Data Surveilans
Pendekatan Metode
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode epidemiologi deskriptif
dan/atau analitik untuk menghasilkan informasi yang sesuai dengan tujuan
surveilans yang ditetapkan. Epidemiologi deskriptif dalam surveilans akan
menggambarkan distribusi masalah kesehatan berdasarkan orang, tempat, dan
waktu dan akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini (M.N. Bustan,
2006):
a) Who (Siapa), dapat menyangkut variabel umur, jenis kelamin, suku, agama,
pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan populasi berisiko.
b) Where (dimana), mengenai faktor tempat dimana masyarakat tinggal atau
bekertja atau dimana saja kemungkinan mereka mengahdapi masalah
kesehatan. Faktot tempat dapat berupa: kota (urban) dan desa (rural); pantai
dan pegunungan; daerah pertanian, industry, tempat bermukim atau kerja.
c) When (kapan), kejadian masalah kesehatan berdasarkan waktu. Misalnya jam,
hari, minggu, bulan, dan tahun; musim hujan dan musim kering.
Sedangkan epidemiologi analtik akan menganalisis factor penyebab (determinant)
masalah kesehatan. (M.N. Bustan, 2006).
Konsep dan Standarisasi Rate
Rate salah satu alat ukur untuk mengukur peristiwa penting yang terjadi
di masyarakat (vita event) dan pengukuran terhadap jumlah kesakitan yang
terjadi di masyarakat. Rate dipergunakan untuk menyatakan frekuensi distribusi
suatu kejadian atau suatu keadaan yang terjadi pada populasi yang sedang
diobservasi.(Chandra, 1995)
Rate adalah ukuran untk menunjukkan perhitungan yang mempunyai
implikasi probabilitas terhadap suatu kejadian. Rate dinyatakan dalam bentuk:
b. Indirect Method
Pada keadaan tertentu kita hanya mengetahui jumlah kematian berdasarkan
kelompok umur, maka kita harus melakukan standarisasi secara indirect.
(Chandra, 1995)
Pendekatan-Pendekatan Untuk Analisis Data Eksploratif
Analisis Eksplorasi data merupakan metode untuk mengenali pola data
nelalui diagram atau grafik, mendeteksi adanya nilai ekstrim agar analisis yang
dibuat dapat tidak terpengaruh efek ekstrem, menentukan pola hubungan antar
variabel dengan menggunakan diagram pencar dan membuat garis persamaan
serta melakukan smoothing data. Penyajian data dalam bentuk tabel kontingensi
dan melakukan analisis hubungan dari variabel yang bersifat kategori.
Analisis data diperlukan untuk menjamin bahwa sumber data dan proses
pengumpulan data adalah adekuat. Untuk menganalisis data surveilans kita harus
memperhatikan beberapa hal berikut:
1. Apa keistimewaan atau kekhasan data yang didapat?
2. Memulai dari data yang paling sederhana ke data yang paling kompleks
3. Menyadari bila ketidaktepatan dalam data menghalangi analisis-analisis yang
lebih canggih. Jika ada data yang bias maka data tersebut tidak perlu
digunakan.
4. Sifat data surveilans
5. Perubahan dari waktu ke waktu
6. Beberapa sumber-sumber informasi
7. Masalah kualitas dan kelengkapan
8. Butuh pengetahuan yang mendalam tentang sistem evaluasi
B. Definisi Nomenklatur
Poligon Frekuensi
D. Menyajikan Penilaian Yang Benar Kelengkapan Sistem Surveilens
1) Kepentingan
2) Kegunaan
a. Kesederhanaan
b. Fleksibilitas
c. Akseptabilitas
d. Sensitivitas
f. Kerepresentatifan
g. Ketepatan Waktu
14. Diseminasi
Konsep Dasar Diseminasi
Kata diseminasi berasal dari bahasa Latin, disseminates. Lalu dimasukkan
ke dalam Inggris dengan sebutan dissemination, yang diartikan sebagai suatu
kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mendapatkan
informasi, sehingga timbul kesadaran, menerima dan akhirnya memanfaatkan
informasi tersebut. (Soleman, 2013).
Diseminasi merupakan sinonim dari kata penyebaran. Jadi, pengertian
diseminasi informasi adalah penyebaran informasi. Penyebaran informasi yang
dimaksud dapat dilakukan melalui berbagai jenis media seperti buku, majalah,
surat kabar, film, televisi, radio, musik, game dan sebagainya. Dengan kata lain,
diseminasi merupakan kegiatan penyebaran informasi ke dalam lingkungan
masyarakat. (Soleman, 2013).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 2014, Diseminasi informasi dapat disampaikan dalam bentuk buletin, surat
edaran, laporan berkala, forum pertemuan, termasuk publikasi ilmiah. Diseminasi
informasi dilakukan dengan memanfaatkan sarana teknologi informasi yang
mudah diakses. Diseminasi informasi dapat juga dilakukan apabila petugas
surveilans secara aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring
evaluasi program kesehatan, dengan menyampaikan hasil analisis.
Diseminasi/Komunikasi Informasi
Cara diseminasi/penyebarluasan informasi adalah (Amiruddin, 2013) :
a) Membuat suatu laporan yang disampaikan kepada unit kesehatan pada tingkat
yang lebih tinggi.
b) Membuat suatu laporan yang disampaikan dalam seminar atau pertemuan lain
c) Membuat suatu tulisan di majalah atau jurnal rutin.
Contoh Diseminasi
1) Dinas Kesehatan
Berikut ini merupakan contoh – contoh dari peranan yang dapat dilakukan oleh
Dinas Kesehatan untuk masalah malaria :
a. Kebijakan
b. Program Kegiatan
2) Pemerintah Kota/Kabupaten
3) Dinas Pendidikan
a. Hasil-hasil analisis dan interpretasi dibuat dalam bentuk laporan dan atau
presentasi. Laporan tersebut dikirimkan oleh unit penanggungjawab kepada
jenjang struktural yang lebih tinggi, dari Puskesmas ke dinas kesehatan
kabupaten/kota, dari dinas kesehatan kabupaten/kota ke dinas kesehatan
provinsi dan Kementerian Kesehatan. Umpan balik diberikan ke unit
jenjang dibawahnya, seperti ke dinkes kabupaten/kota dan dinkes provinsi.
b. Diseminasi informasi ditujukan kepada seluruh stakeholder yang terkait,
seperti jajaran kesehatan, LSM, profesi, perguruan tinggi dan masyarakat
pada umumnya. Untuk jajaran kesehatan, khususnya dinas kesehatan
informasi akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan dan
perencanaan pengendalian PTM serta evaluasi program.
15. A. Otoritas Untuk Pelaporan Data Surveilens Di Tingkat Lokal Maupun Propinsi
Pakar epidemiologi yang paling dekat dengan unit pelaporan setempat harus
menyelidiki dugaan KLB penyakit yang dideteksi oleh sistem surveilans secepat
mungkin. Sampai bantuan epidemiologi tiba, upaya penyelidikan dan pengendalian
awal menjadi tanggung jawab unit kesehatan setempat. (Fauziyah, 2006).
Rangkuman laporan dari temuan teknis sistem surveilans harus diumpan balikkan
ke Komite Darurat Nasional, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan, kemudian tindakan
yang tepat diambil untuk memperkenalkan upaya pengendalian yang tepat jika
kondisi yang ada di luar kemampuan pakar epidemiologi. (Fauziyah, 2006).
B. Sumber-Sumber dari Jenjang Surveilans
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014,
sumber surveilans berupa dari individu, fasilitas pelayanan kesehatan, unit statistic dan
demografi dan sebagainya.
A. Penyakit-penyakit menular :
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2)
Surveilans aktif. Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan
menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia
di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah
untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah
penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat
dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif
adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang
dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan
biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama
memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk
mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas.
Indikator kinerja surveilans sebagaimana dimaksud pada peraturan menteri kesehatan no.
45 tahun 2014 paling sedikit meliputi:
a. kelengkapan laporan;
Oleh karena itu, masih banyak diperlukan pembenahan pada pelaksanaan program
surveilans agar dapat ditingkatkan derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat
secara umum. (WHO, 2006).
Daftar Pustaka
Amiruddin, Ridwan. 2013. Surveilans Kesehatan Masyarakat. Bogor: IPB Press.
Arjuna, Fatkurahman. 2012. "Manfaat Epidemiolog".
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Fatkurahman%20Arjuna,%20
M.Or/sumber-data-kesehatan-masyarakat.pdf. Diakses pada 15 Juni 2015.
Budiarto, Eko dan Dwi Anggraeni. 2003. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: EGC
Budiarto, Eko. 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: EGC
Budiarto, Eko. 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: EGC
Budiarto, Eko. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran: Sebuah Pengantar. Jakarta:
EGC
Budioro. 2007. Pengantar Epidemiologi Edisi II. Semarang: Badan Penerbit Fakultas
Kesehatan Masyarakat Undip.
Bustan, M.N., 2006. Pengantar Epidemiologi (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Chandra, Budiman. 1995. Pengantar Statistika Kesehatan. Jakarta: EGC.
Churchill, Gilbert A. 2005. Dasar-Dasar Riset Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Darwin, Eryati. 2014. Etika Profesi Kesehatan. Yogyakarta: Depublish.
DCP2. 2008. “Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease
Control Priority Project”. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf. Diakses
pada 9 Juni 2015.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2004. Profil Dinas Kesehatan Kota Semarang 2004.
Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang.
Efendi, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Erlinawati, Yulis. 2011. “Pengembangan Sistem Informasi Posyandu Guna Mendukung
Surveilans Kesehatan Ibu dan Anak Berbasis Masyarakat Pada Desa Siaga”.
Program Magister Keperawatan, Kekhususan Keperawatan Komunitas, Fakultas
Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia.
Fauziyah, Munaya. 2006. Bencana Alam: Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC
J., Giesecke. 2002. Modern Infectious Disease Epidemiology. London: Arnold.
JHU (=Johns Hopkins University). 2006. Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The
Johns Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Petunjuk Pelaksanaan Surveilans Gizi. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu Dan Anak.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1116/Menkes/Sk/Viii/2003
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1479/Menkes/Sk/X/2003
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 300/ MENKES/SK/IV/2009
Tentang Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza
Kesmas. 2013. “Pengertian Surveilans Kesmas”. http://www.indonesian-
publichealth.com/2013/07/teori-surveilans-kesmas.html. Diakses pada 9 Juni
2015.
Krisanti J, Diana dan Slamet Santoso. 2008. Metodologi Penelitian Biomedis Edisi 2.
Bandung: Danamartha Sejahtera Utama (DSU)
Montori, Soleman. 2013. "Apakah Diseminasi Informasi Itu".
http://www.manadokota.go.id/berita-1194-apakah--diseminasi--informasi--
itu.html. Diakses pada 15 Juni 2015.
Morton, Richard F.; J. Richard Hebel: dan Robert J. McCarter. 2009. Epidemiologi dan
Biostatistika: Panduan Studi Edisi 5. Jakarta :EGC
Murti, Bhisma. “Sejarah Epidemiologi”. Bagian Ilmu Kesehatan Mayarakat, Fakultas
Kedokteran, Universitas Sebelas Maret.
Nasry, Nur N. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta
Penn State Science. 2015. "10.3 - Sensitivity, Specificity, Positive Predictive Value, and
Negative Predictive Value".
https://onlinecourses.science.psu.edu/stat507/node/71. Diakses pada 18 Juni 2015.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010
Tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan
Upaya Penanggulangan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan
Rajab, Wahyudin. 2009. Buku Ajar Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta:
EGC.
Romaguera, A. Raul., German, R.Robert & Klaucke N. Douglas, 2000 Evaluating
Public Health Surveillance in : Teutsch, M. Steven and Churchill, E. R. ed.
Principles and Practice of Public Health Surveillance: New york : Oxford
University Press pp.
Rutstein, David D. 1983. Sentinel Health Events (OCcupational): A Basis for Physician
Recognition And Public Health Surveilance. AJPH September 1963, Vol 73, No.
9. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1651048/. Diakses pada 14 Juni
2015.
Saraswati, Lintang Dian. 2015a. "Sumber-Sumber yang Secara Rutin Mengumpulkan
Data Untuk Surveilans".
Saraswati, Lintang Dian. 2015b. "Pertimbangan dalam Perencanaan Surveilans
Kesehatan Masyarakat".
Saraswati, Lintang Dian. 2015c. "Persoalan Etika dalam Surveilans".
Setyawan, Dodiet Aditya. 2014. Pengantar Sistem Informasi Geografis [Manfaat SIG
dalam Kesehatan Masyarakat]. Surakarta: Politeknik Kesehatan Surakarta.
Sugiasih, Ety. 2012. “Gambaran Pelaksanaan Surveilans Campak Di Puskesmas Cepu
Dan Tunjungan Kabupaten Blora Tahun 2012”. Universitas Negeri Semarang.
Supranto, J. 2007. Statistik untuk Pemimpin Berwawasan Global. Jakarta: Salemba
Empat
Turnock, Bernard J. 2014. Essentials of Public Health. United States: Jones & Bartlett
Publishers.
WHO. 2001. “An integrated approach to communicable disease surveillance”. Weekly
epidemiological record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer/
WHO. 2002. Surveillance: slides. http://www.who.int
WHO. 2006. Penyakit Bawaan Makanan: Fokus Pendidikan Kesehatan. Jakarta: EGC.