Anda di halaman 1dari 858

KATA PENGANTAR

Perikanan budidaya dengan segala potensi pengembangan dan sumber


daya alam yang mendukung, memiliki peluang menjadi salah satu pilar dalam
Ketahanan Pangan dan Gizi dan sebagai penggerak perekonomian nasional.
Disamping itu, perikanan budidaya juga memiliki banyak peluang untuk
menyediakan lapangan usaha dan menyerap tenaga kerja dan mampu
diusahakan secara berkelanjutan. Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015, segala kelebihan yang dimiliki oleh sector perikanan
budidaya harus terus digali dan dikembangkan sehingga produk perikanan
budidaya mampu bersaing dengan kualitas yang tinggi dan jumlah yang
memenuhi kebutuhan pasar.
Untuk mendukung hal tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
menyelenggarakan kegiatan INDONESIAN AQUACULTURE (INDOAQUA)
2014 dengan tema “PERIKANAN BUDIDAYA UNTUK BISNIS DAN
KETAHANAN PANGAN” yang telah dilaksanakan pada tanggal 26 – 29
Agustus 2014 di Hotel Atlet Century (Seminar) dan di Parkir Timur Senayan
(Pameran)
INDOAQUA 2014, merupakan ajang yang diharapkan mampu menjadi
media komunikasi bagi pelaku perikanan budidaya melalui pengenalan
hasil-hasil perekayasaan teknologi, pameran dan temu bisnis di bidang
perikanan budidaya. Ada 6 (enam) kelompok seminar yang diselanggarakan
selama INDOAQUA 2014, yaitu (1) Kelompok Udang, (2) Kelompok Rumput
Laut, Kerapu, Baronang dan Bawal Bintang, (3) Kelompok Bandeng, Kakap,
Nila dan Sidat, (4) Kelompok Ikan Hias, Mutiara dan Abalone, (5) Kelompok
Catfish, Gurame, Mas dan Jelawat, (6) Kelompok Pendukung Akuakultur
(Lingkungan, Pakan, Probiotik, Penyakit dan Monitoring Minapolitan).
Prosiding ini berisi makalah lengkap materi seminar yang dilaksanakan
selama penyelenggaraan INDOAQUA 2014. Semoga prosiding ini, dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat pembudidaya dan seluruh pihak terkait
dengan perikanan budidaya, sehingga mampu mendorong pengembangan
perikanan budidaya yang berkelanjutan dan maju.

Bogor, November 2014

Penyusun
DAFTAR ISI
NO JUDUL
1 PERFORMA PEMIJAHAN BAWAL BINTANG (Trachinotus 1
blochii) DENGAN PERBEDAAN PERBANDINGAN
JANTAN DAN BETINA
2 PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP 10
LARVA IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis)
PADA CLEARING WATER SYSTEM MELALUI TEKNIK
KOMBINASI PENGAYAAN PAKAN
3 MENINGKATKAN PRODUKSI KERAPU DENGAN 27
STIMULUS DOUBLE-VAKSIN
4 AKLIMATISASI BIBIT RUMPUT LAUT KOTONI 37
(Kappaphycusalvarezii) HASIL KULTUR JARINGAN DI
PERAIRAN TELUK GERUPUK KABUPATEN LOMBOK
TENGAH.
5 APLIKASI LATOH (CAULERPA LENTILLIFERA) 53
SEBAGAI BIOFILTER UNTUK PENGENDALIAN
INFESTASI PARASIT PADA INDUK KERAPU
6 EFEKTIVITAS CARA PEMBERIAN VAKSIN CAPRIVAC 64
VIBRIN-L TERHADAP RESISTENSI IKAN BERONANG
LADA (Siganus guttatus) TERHADAP PENYAKIT
VIBRIOSIS
7 MEMBANGKITKAN PRODUKTIVITAS TAMBAK 105
TRADISIONAL PULAU KECIL DI SULAWESI SELATAN
MELALUI DIVERSIFIKASI KOMODITAS
PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN BERONANG
(Siganus.sp)
8 BUDIDAYA KERAPU (Epinephelus sp.) DI TAMBAK 121
SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA
SKALA KECIL MASYARAKAT PESISIR PANTAI
9 PENINGKATAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Kappaphycus 137
alvarezii MELALUI PEMANFAATAN PUPUK
PROVASOLI’S ENRICH SEAWATER (PES)
10 PENGEMBANGAN BIBIT RUMPUT LAUT (Gracilaria sp.) 150
YANG DIPELIHARA DI LAUT MELALUI PENEMPELAN
SPORA PADA TALI POLYETHYLENE (PE)
11 PENAMBAHAN EGG STIMULAT OR DALAM PAKAN 159
UNTUK MEMACU PEMATANGAN GONAD INDUK F1
IKAN BERONANG LADA (Siganus guttatus)
12 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN 176
BAWAL BINTANG (Trachinotus blochii) DI KERAMBA
JARING APUNG GUNA MENDUKUNG PROGRAM
INDUSTRIALISASI PERIKANAN BUDIDAYA
13 PENGGUNAAN NANNOCHLOROPSIS GEL DALAM 189
PEMELIHARAAN LARVA IKAN BERONANG (Siganus
guttatus)
14 MENINGKATKAN KEUNTUNGAN USAHA BUDIDAYA 205
LELE SUPERINTENSIF TEKNOLOGI BIOFLOC DENGAN
PEMANFAATAN LIMBAHNYA UNTUK BUDIDAYA
TUBIFEX
15 DISEMINASI PENGGUNAAN VAKSIN:PENINGKATAN 214
PRODUKTIVITAS BENIH LELE DI UNIT PEMBENIHAN
SKALA RUMAH TANGGA MELALUI
GERAKAN VAKSINASI IKAN (GERVIKAN)
16 FORMULASI PAKAN MURAH BERKUALITAS UNTUK 224
PEMBESARAN LELE SANGKURIANG
17 INTENSIFIKASI BUDIDAYA PATIN (PANGASIANODON 230
HYPOPTHALMUS) SKALA INDUSTRI DENGAN SISTEM
KOLAM DALAM
18 UPAYA MENINGKATKAN NILAI TAMBAH LAHAN 238
UGADI DAN UGAMEDI MELALUI PENDEDERAN LELE
SANGKURIANG DENGAN MEMANFAATKAN WAKTU
PENYELANG
19 POTENSI INDIGENOUS BACTERIA PENGHASIL ENZIM 244
AMILASE PADA BUDIDAYA GURAME (Osphronemus
gouramy)
PERFORMA PEMIJAHAN BAWAL BINTANG (Trachinotus blochii)
DENGAN PERBEDAAN PERBANDINGAN JANTAN DAN BETINA

Sarwono, Taufan Haryono, M. Imron


Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok

JL. Jenderal Sudirman, No.21, P.O. Box 128, Praya, Lombok Tengah

ABSTRACT

Spawning of silver pompano (Trachinotus blochii)can be done by natural or


hormonal stimulation through HCG hormone injection with the dose of 250
IU/kg. Egg produced in hormonal stimulation were varied both in quantity and
quality. When broodstock mated, the quantity and quality of egg released were
influenced by the ratio of male and female. Based on this condition, therefore it
was required to investigate sex ratio in relation with spawning performance of
silver pompano. The trials were conducted within several spawning cycles on
February 2012-June 2014 at Lombok Marine Aquaculture Development Center,
Sekotong, West Lombok. As soon as the broodstock injected 2 times, they were
then gathered in spawning tank (capacity of 8 - 10 m3). Spawning process
usually occured at the night (between 07.00-09.00 PM). The ratio of male and
female involved in the were as follows :
- male : female : 1 : 1
- male : female : 1,5 : 1
- male : female : 2 : 1
- male : female : 2,5 : 1
Spawning at different sex ratio showed the best result was at the composition
of 2,5 male : 1 female with fertilization rate of 93,33%, following by 2 male : 1
female with fertilization rate of 85,71%, and 1,5 male : 1 female with
fertilization rate of 47,17%. The lowest result was on ratio 1 male : 1 female
with fertilization rate of 21,63%. During spawning period, fecundity of silver
pompano’s broodstock was around 111.583-196.000 eggs/fish.

Keywords: silver pompano, spawning, sex ratio of broodstock, fertilization


rate, fecundity.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 1


PENDAHULUAN

Bawal Bintang merupakan ikan introduksi dari Taiwan dan


merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai prospek pemasaran yang
cukup baik dengan harga pemasaraan yang cukup ekonomis dengan harga
pasaran 60.000-70.000/kg (kondisi hidup) dan segar dengan kisaran harga
45.000-50.000/kg. Dengan meningkatnya permintaan pasar mendorong
berkembangnya kegiatan budidaya di Karamba Jaring Apung sehingga
ketersediaan benih siap tebar dalam jumlah yang cukup harus tetap tersedia dari
kegiatan pembenihan. Didalam kegiatan pembenihan ketersediaan telur yang
berkualitas sangat dibutuhkan dan harus kontinyu sehingga dapat mendukung
ketersediaan benih untuk kegiatan pembesaran.
Pemijahan bawal bintang dapat dilakukan secara alami dan dengan
rangsangan hormonal (hormon HCG) yang diberikan dengan ijeksi dengan
dosis 250 IU/kg. Dari Pemijahan yang telah dilakukan telur yang dihasilkan
masih fluktuatif baik dari jumlah maupun kualitasnya setiap kali melakukan
pemijahan. Upaya untuk memperbaiki kualitas telur yang dihasilkan perbaikan
pakan yang diberikan dan pemberian multivitamin secara kontinyu. Pada waktu
pemijahan jumlah induk, perbandingan antara jantan dan betina juga
mempengaruhi kuantitas dan kualitas telur yang dihasilkan. Dengan melihat
kendala – kendala yang ada, maka perlu adanya perekayasaan performa
pemijahan bawal bintang (Trachinotusblochii) dengan perbedaan komposisi
antara jantan dan betina.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbandingan antara
jantan dan betina yang ideal pada pemijahan induk bawal bintang.
Sasaran yang hendak dicapai diantaranya mendapatkan tingkat
pembuahan > 50 % dari total telur bawal bintang yang dihasilkan.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 2


BAHAN DAN METODE

Kegiatan perekayasaan dilakukan pada bulan Februari 2012 -Juni


Tahun 2014 di Balai Budidaya Laut Lombok, Sekotong, Lombok Barat.

Peralatan yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan adalah sebagai


berikut :
- Bak beton dengan volume 10-15 m3 sebanyak 4 buah.
- Karamba Jaring Apung HDPE dan Jaring untuk pemeliharaan induk
dan pematangan gonad
- Kolektor telur.
- Selang kanulasi
- Spuit
- Peralatan kerja : ember, gayung, keranjang, scopnet,sikat dll
Bahan yang digunakan untuk kegiatan perekayasaan, sebagai berikut :
- Induk bawal bintang Ukuran 1,2-2,8 kg sebanyak 80 ekor.
- Ikan segar dan Cumi-cumi
- Multivitamin
- Hormon HCG
- Minyak cengkeh/ethyline glikol
- Vitamin C
- Kaporit
- Bahan-bahan lainya.

Proses penanganan induk dan pemijahan :


a. Persiapan Bak Pemijahan
Sebelum digunakan terlebih dahulu bak dan peralatan yang dipakai
seperti selang aerasi, batu aerasi, timah pemberat dan peralatan lainnya
direndam dengan kaporit kemudian dicuci sampai bersih. Hal ini
dilakukan untuk mensterilkan semua peralatan supaya bebas dari
penyakit seperti bakteri dan jamur.

b. Seleksi Tingkat Kematangan Gonad


Seleksi tingkat kematangan gonad dengan tujuan untuk memilih
induk yang siap untuk dipijahkan, seleksi dilakukan dengan selang
kanulasi. Sebelum induk diseleksi terlebih dahulu di bius dengan
menggunakan minyak cengkeh dengan dosis 0,05 ml/literdiaduk
sampai merata selama 2-3 menit. Setelah induk lemah/tidak agresif
seleksi dilakukan dengan cara memasukan selang kanula kedalam
lubang urogenetalnya 2-3 cm kemudian selang dihisap dan ditarik
secara perlahan-lahan, apabila ada cairan putih kental berarti induk

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 3


tersebut jantan dan siap dipijahkan, sedangkan untuk induk betina
yang matang gonad : berwarna bening/ kekuningan berbentuk butiran
dan sudah terpisah.

c. Penyuntikan hormon

Setelah mendapatkan jumlah induk yang matang gonad sesuai yang


diinginkan induk dilakukan penyuntikan pertama dengan
menggunakan hormon HCG dengan dosis 250 IU/kg pada bagian
punggung sebelah kanan, dan dilakukan penyuntikan yang kedua pada
besok pagi ( 23-24 jam) pada punggung bagian kiri atau sebalikanya
bergantian dengan penyuntikan pertama dengan dosis yang sama 250
IU/kg. Kemudian induk di masukan kedalam bak pemijahan.

d. Pemijahan
Setelah induk jantan dan betina disuntik dikumpulkan pada bak
pemijahan (kapasitas 8 m3) dan dapat diisi 3-5 pasang induk dengan
sex rasio 1 :1 pemijahan biasanya terjadi pada waktu malam hari
(antara jam 18.00-24.00 WIB). Secara norma induk tersebut akan
memijah setelah 12-41 jam dari penyuntikan terakhir (Ditjenkan
Budidaya, 2008).

e. Pengaturan komposisi jantan dan betina saat pemijahan.


Pada perekayasan komposisi pemijahan ikan bawal bintang antara
jantan dan betina sebagai berikut :
- Komposisi jantan dan betina : 1 banding 1
- Komposisi jantan dan betina : 1,5 banding 1
- Komposisi jantan dan betina : 2 banding 1
- Komposisi jantan dan betina : 2,5 banding 1

Pengumpulan data :

a) Perhitungan telur
Telur hasil pemijahan akan terkumpul pada kolektor telur di
bak penampungan telur, telur dipanen pada pagi hari atau 10-11 jam
setelah pemijahan dan dikumpulkan diakuarium dan dilakukan
perhitungan jumlahnya :

Jumlahtelursampel 1000 ml
= X Xvolume bak/akuarium.
Banyaknyasampel volsampel (ml )

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 4


b) Derajat Fertilisasi telur
Setelah dilakukan perhitungan telur kemudian telur diseleksi,
telur yang bagus : terapung atau melayang berwarna transparan
sedangkan telur yang jelek berwarna putih dan mengendap pada dasar,
perhitungan telur yang bagus/fertil sebagai berikut :
Jumlahtelurbagus
= X100 %
Jumlahtotaltelur

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemijahan Induk dan Kualitas Telur

Dari hasil kegiatan pemijahan induk bawal bintang dengan


perbandingan jantan dan betina yang berbeda dihasilkan data seperti
tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 : Data hasil pemijahan bawal bintang dengan perbandingan jantan dan
betina yang berbeda.
Perbandingan Fertilis
rata-rata
Komposisi Jumlah tidak asi
No jantan betina bagus fekunditas
Jantan dan telur bagus telur
telur/ekor
betina (%)

1 A (1 :1) 6 6 710.000 230.000 480.000 118.333 32,39

A (1 :1) 7 7 460.000 50.000 410.000 65.714 10,87

2 B (1,5 : 1) 9 6 485.000 60.000 425.000 80.833 12,37

B (1,5 : 1) 9 6 854.000 700.000 154.000 142.333 81,97

3 C (2 : 1) 10 5 980.000 840.000 140.000 196.000 85,71

4 D (2,5 : 1) 13 5 925.000 856.000 69.000 185.000 92,54

D (2,5 : 1) 13 5 630.000 572.000 58.000 126.000 90,79

D (2,5 : 1) 7 3 580.000 560.000 20.000 193.333 96,55

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 5


Rata-rata 62,90

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa setiap pemijahan ikan bawal


bintang dengan perbandingan jantan dan betina yang berbeda menunjukkan
perbandingan yang terbaik pada komposisi jantan dan betina 2,5 : 1 dengan
hasilkan rata-rata telur 715.000 butir dengan derajat pembuahan 93,33 %
dengan rata-rata fekunditas telur 168.111 butir/ekor . Pada perbandingan
jantan banding betina 2 : 1 dihasilkan telur 980.000 butir dengan derajat
pembuahan sebesar 85,71 % dengan rata-rata fekunditas telur 196.000
butir/ekor. Perbandingan antara jantan dan betina 1,5 : 1 menghasilkan telur
669.500 butir dengan rata-rata fekunditas telur 111.583 butir/ekor dengan
rata-rata derajat pembuahan 47,17 %. Hasil terendah diperoleh pada
perbandingan jantan dan betina 1 : 1 dengan jumlah rata-rata tekur 585.000
butir dengan rata-rata fekunditas telur 21,63 % dari dua kali pemijahan.
Dari delapan kali pemijahan yang dilakukan, rata-rata derajat pembuahan
induk bawal bintang 62,90 %.

1,200,000

1,000,000

800,000
jml
600,000 bagus

400,000 jelek

200,000

-
A (1 :1) A (1 :1) B (1,5 : 1)B (1,5 : 1) C (2 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1)

Gambar 1 : Jumlah telur bawal bintang (Trachinotus blochii) pada


pemijahan perbedaan komposisi jantan dan betina.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 6


Derajat pembuahan (%)
120.00
92.54 90.79 96.55
100.00 81.97 85.71
80.00
60.00
40.00 32.39

20.00 10.87 12.37

-
A (1 :1) A (1 :1) B (1,5 : 1) B (1,5 : 1) C (2 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1)

Gambar 2 : Derajat pembuahan bawal bintang ( Trachinotus blochii)


pada pemijahan perbedaan komposisi jantan dan betina.

rata-rata fekunditas telur/ekor


250,000
196,000 185,000 193,333
200,000
142,333
150,000 118,333 126,000
100,000 80,833
65,714
50,000
-
A (1 :1) A (1 :1) B (1,5 : 1) B (1,5 : 1) C (2 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1)

Gambar 3 : Rata-rata jumlah fekunditas telur/ekor bawal bintang


(Trachinotus blochii) pada pemijahan perbedaan
komposisi jantan dan betina

Dari Gambar 1 dan 2 dapat dilihat perbandingan antara jantan dan


betina 2,5 : 1 menunjukan yang terbaik dari jumlah telur yang dihasilkan,
derajat pembuahan dan rata-rata fekunditas telur dari jumlah betina yang
dipijahkan, diikuti dengan 2 banding 1 ; 1,5 banding 1 dan yang terakhir 1
banding 1. Dengan jumlah jantan dua setengah kali jumlah betina
menyebabkan induk betina mendapatkan rangsangan/lawan pemijahan
BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 7
lebih banyak dari lawan jenisnya sehingga jumlah sperma yang
dikeluarkan oleh jantan lebih banyak, sehingga derajat pembuahan yang di
hasilkan lebih baik, karena secara umum berat induk jantan lebih kecil
dibandingkan induk betina, dengan kisaran berat induk jantang 1,2-1,6
kg/ekor dan induk betina 1,4-2,8 kg/ekor.
Dari Gambar 3 dapat dilihat fekunditas telur yang dihasilkan setiap
ekornya masih fluktuatif hal ini disebabkan dari musim pemijahan
(Maret- Oktober) dan rangsangan induk jantan pada saat pemijahan
sehingga dapat merangsang induk betina lebih banyak mengeluarkan telur
pada saat pemijahan.

Kualitas Air Media Pemijahan Induk

Selama pemijahan, air terus mengalir/flowtrhough dengan


menggunakan pipa goyang untuk mengatur ketinggian air pada bak
pemijahan, dengan debet air ≥ 1,38 liter/detik. Dari pengukuran kualitas
air, diperoleh hasil bahwa kualitas air masih bagus dan layak untuk
kegiatan pemeliharaan ikan. Hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat
pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter kualitas air selama pemijahan induk bawal bintang

Parameter Kisaran
Suhu 27-30,5 °C
pH 7,9-8,1
Salinitas 33-35 ppt
Oksigen terlarut (DO) 5,1-6,0 mg/liter

Sumber : Lab Keskanling, 2012

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 8


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil percobaan induk bawal bintang dengan komposisi jantan


dan betina berbeda dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Perbandingan antara jantan dan betina yang terbaik pada


pemijahan bawal bintang dengan perbandingan 2,5 banding 1
dengan derajat pembuahan/Fertilisasi telur 93,33 % dengan
rata-rata fekunditas telur 168.111 butir/ekor.
2. Dengan jumlah jantan lebih banyak dari betina dapat
memberikan rangsangan kepada betina untuk memijah dan
mengeluarkan telur lebih banyak pada waktu pemijahan.
3. Tingkat pembuahan rata-rata yang dicapai 62,90 % dari target
50%.

Saran

Disarankan perbandingan jantan dan betina 2,5 : 1 bila berat (ukuran)


induk jantan lebih kecil dari betina.

DAFTAR PUSTAKA

Aquaculture Asia Magazine, April-Juni 2008,Breeding and seed productionof


silver pompano (Trachinotus blochii, Lacepede) at the Mariculture
Development Center of Batam. page 47.

Ditjenkan Budidaya, 2008 . Teknik Pembenihan Ikan Bawal Bintang, BBL-


Batam halaman 83

Hartanto, N; Tinggal Hermawan, Juniyanto NW dan Fernando 2009. Teknik


Budidaya Ikan Bawal Bintang , BBL-Batam .

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 9


PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN
KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) PADA CLEARING WATER
SYSTEM MELALUI TEKNIK KOMBINASI PENGAYAAN PAKAN
YANG BERBEDA

Hamsah Amiruddin dan Sunarto


Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon
Jl. Laksda Leowatimena Waeheru - Ambon MALUKU 97232

ABSTRACT

This engineering was conducted on Mariculture Development Center Ambon


from March to Mei 2013 to know growth and survival rate of Humpback
Grouper larvae which maintained on clearing water system with difference
enrichment diet.2 treatment was used, combined fitoplankton
Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml and multivitamin 2 g (treatment A) dan
combined fitoplankton Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml, multivitamin 2 g and
fish oil 10 ml (treatment B). Humpback Grouper larvae were maintained in 2
concrete ponds (capacity of 8000 L) and were feed by diet (rotifers)
enrichment from D-3 up to D-16 with frequency 2 time/day. 30 individual
larvae were taken randomly every day since its hatched until day 16 (D-16).
Measurement were done on the larvae, include ; growth with measure total
length body (mm) and larvae which survive until at the age of 16 day (D-16).

The data were processing and analyzed with Exell program. The result
showed that absolutely growth rate of larval with diet enrichment were, D-0
to D-3 was 0,174 mm/day (treatment A) and 0,173 mm/day (treatment B);
while from D-3 to D-7 was 0,069 mm/day (treatment A) and 0,091 (treatment
B); and from D-7 to D-16 was 0,310 mm/day (treatment A) and 0,341
mm/day (treatment B). On the average the relative growth rate was 0,0757
mm/day (treatment A) and 0,0807 mm/day (treatment B). Instantaneously
growth rate (G) for treatment A was 0,067 mm/day and 0,072 mm/day
(treatment B). Survival rate (SR) of treatment B was High with valued 2,77 %
(2.492 ind.), while treatment A wih value 0,25 % (226 ind.). By combination
diet enrichment fitoplankton Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml, multivitamin 2
BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 10
g and fish oil 10 ml (treatment B) showed the growth and survival rate of
Humpback Grouper larvae more high than treatment A (fitoplankton
Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml and multivitamin 2 g).

Key Words : Growth Rate, Survival Rate, Larval of Humpback Grouper,


Clearing Water System, diet Enrichment

PENDAHULUAN

Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) merupakan salah satu jenis


ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Tingginya harga jual jenis ikan kerapu ini
di pasaran menyebabkan tingkat eksploitasinya di alam menjadi semakin tinggi
pula.

Agar dapat memenuhi kebutuhan pasar pada komoditas ikan Kerapu


Bebek dari tahun ke tahun yang terus meningkat, maka langkah atisipatif yang
perlu dilakukan adalah melalui usaha budidaya yang dikembangkan secara luas
dan berkelanjutan. Guna mendukung usaha tersebut maka perlu dilakukan
upaya pembenihan baik melalui Hatchery Skala Besar maupun Hatchery Skala
Rumah Tangga.

Usaha pembenihan ikan kerapu Bebek (C. altivelis) di Indonesia sudah


berkembang cukup pesat, dan umumnya menggunakan sistem pemeliharaan
dengan green water system. Standar operasional prosedur (SOP) pemeliharaan
larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) pada green water system adalah melalui
injeksi fitoplankton pada media pemeliharaan larva dengan volume yang cukup
besar. Akan tetapi ketika stok fitoplankton terbatas, terutama ketika terjadi
hujan dengan intensitas yang tinggi sebagaimana yang terjadi di kota Ambon,
maka kultur fitoplankton skala massal sering mengalami kematian. Hal ini
sangat mempengaruhi suplai fitoplankton pada media-media pemeliharaan
larva. Oleh karena itu maka dibutuhkan sistem pemeliharaan alternatif dengan
clearing water system yaitu suatu sistem pemeliharaan tanpa suplai fitoplankton
pada media pemeliharaan larva dan sistem pemeliharaan ini hanya
mengandalkan cara kombinasi sumber/jenis pengaya pakan (rotifer) yang tepat.
Namun perlu diketahui pengaruh sistem pemeliharaan larva ini terhadap

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 11


pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan Kerapu Bebek yang
dipelihara. Oleh karena itu maka perekayasaan ini mengangkat judul tentang
“Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Kerapu Bebek (C.
altivelis) pada Clearing Water System Melalui Teknik Kombinasi Pengayaan
Pakan Yang Berbeda”.

Perekayasaan ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan


kelangsungan hidup larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara
pada clearing water system dengan menerapkan teknik kombinasi pengayaan
pakan (rotifera).

Diharapkan perekayasaan ini dapat memberikan informasi bagi


masyarakat atau pelaku-pelaku usaha pembenihan ikan Kerapu Bebek (C.
altivelis) tentang alternatif sistem pemeliharaan larva pada kondisi stok
fitoplankton yang terbatas.

BAHAN DAN METODE

Perekayasaan ini dilaksanakan Di Balai Budidaya Laut Waiheru-Ambon


pada bulan Maret - Mei 2013 secara indoor untuk pemeliharaan dan
pengamatan kelangsungan hidup larva serta laboratorium untuk pengamatan
pertumbuhan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis).

Larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) dipelihara dalam bak beton
kapasitas 8 m3 (8000 liter) tanpa melalui injeksi fitoplankton pada bak
pemeliharaan tersebut. Larva umur 3 hari (D-3) diberi pakan alami berupa
rotifer yang terlebih dahulu diperkaya kandungan nutrisinya selama 3 - 6 jam,
dengan menggunakan kombinasi Fitoplankton Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml
dan multivitamin 2 gr (perlakuan A), sedang untuk perlakuan B menggunakan
kombinasi fitoplankton Nannochloropsis sp. 5 x 106 sel/ml, multivitamin 2 gr
dan minyak ikan 10 ml. Kepadatan awal larva yang di tebar pada bak
pemeliharaan adalah sebesar 15 ind/liter (90.000 ind./6000 m3). Sampel larva
diambil secara acak pada masing-masing bak sebanyak 30 individu setiap hari
selama 16 hari (D-0 sampai dengan D-16). Parameter yang diamati meliputi
panjang total larva (pertumbuhan) dari D-0 sampai dengan D-16 (Fuiman and
Werner, 2002) dan jumlah larva yang mampu bertahan hidup (survival rate/SR)
selama 16 hari masa pemeliharaan (Khouw, 2010). Data pertumbuhan larva
BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 12
diperoleh dengan bantuan mikroskop Olympus perbesaran 100 kali yang
dilakukan di laboratorium dan diolah serta dianalisis dengan program Exell.
Pertumbuhan larva yang dianalisis adalah Laju Pertumbuhan Mutlak (Absolute
Growth Rate), Laju Pertumbuhan Relatif (Relative Growth Rate) dan laju
pertumbuhan seketika (Instantaneous Growth Rate) (Khouw, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis)

Pertumbuhan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara


pada clearing water systembaik perlakuan A dan B dikategorikan masih cukup
baik, dimana rata-rata panjang total larva setelah 16 hari pemeliharaan yaitu
5.264 ± 0.617 mm (perlakuan A) dan5.631 ± 0.665 mm (perlakuan B).

Laju pertumbuhan mutlak larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) pada
umur D-0 sampai D-3 dikedua perlakuan masih relatif lebih besar daripada
umur D-4 sampai D-7 (tabel 1). Hal ini terjadi karena larva masih mempunyai
cadangan makanan dari kuning telur yang dibawanya (endogenous feeding) dan
cadangan makanan ini sesuai dengan nutrisi yang dibutuhkan oleh larva untuk
bertumbuh. Menurut Slamet (1990), pada umur D-0 sampai D-3 pertumbuhan
larva sangat tergantung pada cadangan makanan dari kuning telur yang
dibawanya dan kemampuan larva untuk memangsa rotifera (pakan dari luar/
eksogenous feeding) untuk pertama kalinya.

Pada umur D-3 sampai D-7 terlihat laju pertumbuhan mutlak pada kedua
perlakuan terlihat lebih rendah jika dibandingkan dengan periode D-0 sampai
D-3. Hal ini terjadi karena larva masih menyesuaikan diri dengan pakan yang
berasal dari luar tubuh (eksogenous feeding). Akan tetapi dengan berjalannya
waktu/masa pemeliharaan larva, setelah periode D-7 sampai dengan D-16
terlihat bahwa laju pertumbuhan mutlak larva di kedua perlakuan mulai
mengalami peningkatan. Peningkatan laju pertumbuhan mutlak tersebut terjadi
sebagai akibat larva sudah dapat menyesuaikan diri dengan pakan yang
diberikan. Selain itu, kuantitas maupun kualitas pakan yang diberikan sudah
sesuai dengan kebutuhan larva untuk bertumbuh secara optimal.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 13


Tabel 1. Laju Pertumbuhan Mutlak Larva Ikan Kerapu Bebek (C.
altivelis)

Perlakuan A Perlakuan B
Umur Larva
(mm/hari) (mm/hari)

0 – 3 hari 0.174 0.173

3 – 7 hari 0.069 0.091

7 – 16 hari 0.310 0.341

Makanan sangat berperan dalam pertumbuhan yaitu untuk menyediakan


bahan mentah untuk proses metabolisme guna menghasilkan sel-sel baru untuk
jaringan, otot dan organ yang sedang tumbuh. Apabila makanan sudah cukup
tersedia dari segi kuantitas maupun kualitas maka selanjutnya suhu akan
berperan dalam mempercepat proses metabolisme makanan
tersebut(Romihartanto dan Juwana, 2004). Slamet dkk. (1996) menyatakan
bahwa devisit sumber nutrisi larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) terjadi
ketika larva berumur 3 – 8 hari (D-3 sampai dengan D-8). Hal tersebut dapat
terjadi jika pada waktu tersebut larva tidak dapat mengkonsumsi pakan dari luar
atau pakan yang kandungan nutrisi yang tidak sesuai dengan kebutuhan larva.

Rata-rata laju pertumbuhan relatif larva adalah sebesar 0,0757 mm/hari


(perlakuan A) dan 0,0807 mm/hari (perlakuan B) (tabel 2). Tingginya rata-rata
laju pertumbuhan relatif pada perlakuan B terjadi sebagai akibat perbedaan
perlakuan pengayaan pakan (rotifera) karena pada perlakuan B selain
kombinasi pengayaan dengan menggunakan fitoplankton Nannochloropsis dan
multivitamin, juga ditambahkan minyak ikan dalam proses pengayaan pakan
tersebut. Sedangkan pada perlakuan A hanya menggunakan kombinasi antara
fitoplankton Nannochloropsis dan multivitamin saja. Penambahan minyak ikan
BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 14
10 ml dalam proses pengkayaan pakan (rotifer) menyebabkan kandungan
nutrisi pakan (rotifer) semakin tinggi dan tentu akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara. Menurut
Watanabe (1988), pengayaan pakan (rotifera) dengan menggunakan minyak
ikan dapat meningkatkan pertumbuhan larva ikan laut. Selain itu, tingginya laju
pertumbuhan relatif pada perlakuan B, karena larva dapat memanfaatkan pakan
secara optimal dan nilai nutrisi pakan tersebut sesuai dengan kebutuhan larva.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Effendie (1979) bahwa pertumbuhan
individu akan terjadi apabila ada kelebihan energi dan asam amino yang berasal
dari makanannya setelah digunakan untuk metabolisme dasar, pergerakan,
perawatan bagian tubuh, dan mengganti sel yang rusak.

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Relatif Larva Kerapu Bebek (C. altivelis).

Umur Perlakuan A Perlakuan B

(hari) (mm/hari) (mm/hari)

1 0.2578 0.2560

2 0.0212 0.0215

3 0.0226 0.0214

4 0.0173 0.0252

5 0.0393 0.0622

6 0.0291 0.0142

7 0.0345 0.0558

8 0.0609 0.0946

9 0.0427 0.1207

10 0.1205 0.0240

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 15


11 0.1390 0.1234

12 0.0510 0.0585

13 0.0982 0.2013

14 0.1182 0.0148

15 0.0629 0.0808

16 0.0967 0.1172

Rata-rata 0.0757 0.0807

Hasil perhitungan laju pertumbuhan seketika terlihat bahwa rata-rata


laju pertumbuhan seketika larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) pada pada
perlakuan A sebesar 0,0673 mm/hari, sedang pada perlakuan B sebesar 0,0713
mm/hari (tabel 3).

Tabel 3. Laju Pertumbuhan Relatif Larva Kerapu Bebek (C. altivelis).

Umur Larva Perlakuan A Perlakuan B

(mm/hari) (mm/hari) (mm/hari)

1 0.229 0.228

2 0.021 0.021

3 0.022 0.021

4 0.017 0.025

5 0.039 0.060

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 16


6 0.029 0.014

7 0.034 0.054

8 0.059 0.090

9 0.042 0.114

10 0.114 0.024

11 0.130 0.116

12 0.050 0.057

13 0.094 0.183

14 0.112 0.015

15 0.061 0.078

16 0.092 0.111

Rata-rata 0.0673 0.0713

Berdasarkan hasil perhitungan laju pertumbuhan seketika dapat


diketahui bahwa pertumbuhan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang
dipelihara selama kegiatan perekayasaan berlangsung menunjukan model
pertumbuhan yang yang eksponensial pada kedua perlakuan (Gambar 1 dan 2),
dimana untuk Perlakuan A diperoleh panjang larva ketika baru menetas (L0)
adalah 1,677 mm dan laju pertumbuhan seketika (G) sebesar 0,067 mm/hari
sehingga pertumbuhannya membentuk persamaan Lt = 1,677 e 0,067(t), sedangkan
pada perlakuan B, dimana panjang larva ketika baru menetas adalah 1,676 mm
dan laju partumbuhannya (G) sebesar 0,072 mm/hari sehingga membentuk
persamaan Lt = 1,676 e0,072(t).

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 17


6.000
y = 1.677e0.067x
5.000

4.000
TL (mm)

3.000
Kontrol
2.000
Expon. (Lt)
1.000

0.000
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
t (hari)

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis)


Yang Dipelihara Pada Perlakuan A

6.000
y = 1.676e0.072x
5.000

4.000
TL (mm)

3.000
Perlakuan B
2.000
Expon. (Lt)
1.000

0.000
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
t (hari)

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Larva Ikan Kerapu Bebek (C.altivelis)


Yang Dipelihara Pada Perlakuan B

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 18


Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa laju
pertumbuhan seketika (G) pada larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang
dipelihara dengan penambahan minyak ikan 10 ml (perlakuan B) pada proses
pengayaan pakan (rotifera) memiliki laju pertumbuhan seketika yang lebih
tinggi daripada perlakuan A.

Menurut Djajasewaka (1985), Fungsi utama pakan adalah untuk


kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Pakan yang dimakan oleh ikan pertama-
tama digunakan untuk kelangsungan hidup dan apabila ada kelebihan maka
akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis)
membutuhkan pakan dengan kandungan nutrisi yang sesuai dengan
kebutuhannya. Nutrisi yang harus terkandung dalam pakan ikan adalah protein,
lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.

Dalam perekayasaan ini semua unsur nutrisi pakan yang dibutuhkan


larva sudah terkandung dari hasil kombinasi jenis/bahan pengaya rotifera yang
digunakan. Sehingga ketika proses pengayaan rotifer dilakukan maka semua
unsur nutrisi tersebut telah terkandung dalam rotifera yang akan diberikan pada
larva.

No Jenis Nutrisi Nilai Nutrisi No Jenis Nutrisi Nilai Nutrisi


1 Protein 54,8 % 22 Biotin 0,5 mg

2 Lemak 13,2 % 23 Inositol 200 mg

3 Serat 0,5 % 24 Cholin 350 mg

4 CHO 24,3 % 25 Arginin 2,82 g

5 Abu 7,2 % 25 Lisin 2,82 g

6 Klorofil 2,6 mg 27 Histidin 1,05 g

7 Karotin 68 mg 28 Fenil Alanin 4,8 g

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 19


8 Xantrofil 92 mg 29 Tirosin 1,51 g

9 Kalsium 250 mg 30 Leusin 3,92 g

10 Magnesium 240 mg 31 Isoleusin 1,89 g

11 Besi 150 mg 32 Metionin 0,55 g

12 Potasium 1000 mg 33 Valin 2,87 g

13 Fosfor 1950 mg 34 Alanin 3,70 g

14 Vit B12 0,4 mg 35 Glisin 2,95 g

15 Vit B2 6,5 mg 36 Prolin 1,60 g

16 Vit B6 1,0 mg 37 Asam Glutamik 7,35 g

17 Vit C 51 mg 38 Serin 1,89 g

18 Miasin 20 mg 39 Threonin 2,06 g

19 Y-Tokopherol 19 mg 40 Asam Arpartik 4,37 g

20 Asam Pantothenik 2,5 mg 41 Triptofan 1,04 g

21 Asam Folik 0,04 mg 42 Kistin 0,51 g

Tabel 4. Jenis dan Nilai Nutrisi Fitoplankton Nannochloropsis, Yang Digunakan


Dalam Pengayaan Rotifera

Sumber : Chlorella Industry Co., Ltd

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 20


Tabel 5. Jenis dan Kandungan Multivitamin Yang Digunakan Dalam Pengayaan Rotifera

No Jenis Nutrisi Nilai Nutrisi

1 Vit. B1 1 gm

2 Vit. B2 3 gm

3 Vit. B6 0,7 gm

4 Vit. B12 2 mg

5 Vit. E 3 gm

6 Vit. K3 0,1 gm

7 β karotine 1 gm

8 Cholecalciferol 0,5 gm

9 Nicotinic acid 10 gm

10 Folic acid 0,3 gm

11 Biotin 50 mg

12 Cal. Pantothenate 1 gm

13 Inositol 10 gm

14 PABA 7 gm

Sumber : Wallance Pharmaceutical Co., Ltd

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 21


Tabel 6. Jenis dan Nilai Nutrisi Minyak Ikan Yang Digunakan Dalam Pengayaan
Rotifera

No Jenis Nutrisi Nilai Nutrisi

1 Vit. A 3.000.000 IU/KG

2 Vit. D 300.000 IU/KG

3 Vit. E 15.000 mg/KG

4 Vit. K3 10.000 mg/KG

5 EPA/DHA 1,45

Sumber : Geunchem Biotechnology Co., Ltd

Kandungan nutrisi rotifera dikayakan selama 3-6 jam dalam


perekayasaan ini ternyata masih cukup baik karena mampu memberikan
pertumbuhan tubuh larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara.
Setelah dipelihara selama 16 hari larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis)
mengalami pertumbuhan hingga mencapai ukuran panjang total tubuh tertinggi
pada perlakuan B yaitu sebesar 5,631 ± 0,665 mm, sedang pada perlakuan A
sebesar 5,264 ± 0,219 mm. Aprilia (2008) juga mengemukakan bahwa
pertumbuhan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) setelah dipelihara selama
16 hari adalah berukuran panjang total tubuh sebesar 5,5 ± 0,2 mm.

Protein merupakan komponen utama pembentukan jaringan dan organ-


organ tubuh ikan. Djajasewaka (1985) menyatakan bahwa protein dengan
kandungan asam aminonya diperlukan untuk pertumbuhan, pemeliharaan
jaringan tubuh, pembentukan enzim dan hormon serta antibodi. Selain itu,
protein juga berfungsi sebagai sumber energi. Protein pada perekayasaan ini
diperoleh larva dari hasil bioenkapsulasi dalam proses pengayaan rotifera
dengan menggunakan fitoplankton Nannochloropsis.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 22


Lemak berfungsi sebagai sumber energi. Menurut Afrianto dan
Liviawaty (2005), lemak berperan sebagai sumber energi terutama pada ikan
karnivora. Selain itu, lemak berperan dalam pembentukan struktur sel dan
membran subseluler dan merupakan sumber asam lemak esensial. Menurut
Suwirya, dkk., (2002), ikan laut membutuhkan asam lemak dari golongan
linolenat (n-3). Lemak pada perekayasaan ini diperoleh larva ikan Kerapu
Bebek dari hasil bioenkapsulasi rotifera dengan menggunakan minyak ikan.

Karbohidrat merupakan salah satu komponen sumber energi. Menurut


Afrianto dan Liviawaty (2005), ikan tidak mempunyai kebutuhan karbohidrat
secara khusus, tetapi akan tumbuh lebih baik apabila pakan yang diberikan
mengandung karbohidrat. Dalam perekayasaan ini, karbohidrat diperoleh larva
dari hasil bioenkapsulasi rotifera dengan menggunakan fitoplankton
Nannochloropsis dan ragi roti yang digunakan sebagai pakan pada kultur
massal rotifera.

Vitamin adalah senyawa organik yang esensial bagi ikan karena


digunakan untuk perbaikan, pertumbuhan, reproduksi, kesehatan dan pemacu
metabolisme didalam tubuh ikan. Menurut Khairuman dan Amri (2002),
beberapa jenis vitamin yang dibutuhkan oleh ikan dan harus terdapat dalam
pakan antara lain vitamin A, vitamin C, vitamin D3, vitamin E, vitamin K,
vitamin B1, vitamin B2, vitamin B12, Cholin dan inositol.Vitamin pada
perekayasaan ini diperoleh larva dari hasil bioenkapsulasi rotifera dengan
kombinasi bahan pengaya fitoplankton (Nannochloropsis), multivitamin dan
minyak ikan.

Mineral merupakan elemen anorganik yang dibutuhkan oleh ikan


dalam pembentukan jaringan dan berbagai fungsi metabolisme dan
osmoregulasi. Mineral juga diperlukan untuk menjaga kesehatan tulang, gigi,
dan sisik. Khairuman dan Amri (2002) menyatakan bahwa jenis mineral yang
sangat dibutuhkan oleh ikan adalah Posfor, Kalsium, Magnesium, Besi,
Tembaga, Natrium, Kalium, Alumenium dan Seng. Dalam perekayasaan ini
kebutuhan mineral oleh larva diperoleh dari hasil bioenkapsulasi rotifera
dengan menggunakan fitoplankton (Nannochloropsis).

Dari hasil kombinasi bahan pengaya yang dilakukan pada


perekayasaan ini terlihat jelas bahwa pertumbuhan larva kerapu bebek (C.
BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 23
altivelis) yang dipelihara pada clearing water system masih cukup baik karena
larva mampu bertumbuh hingga mencapai ukuran panjang total tubuh sebesar
5,264 ± 0,219 mm (perlakuan A) dan 5,631 ± 0,665 mm (perlakuan B).

Kelangsungan Hidup (SR) Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis)

Kelangsungan Hidup (SR) larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis)


setelah 16 hari masa pemeliharaan pada clearing water system masih cukup
baik. Kelangsungan hidup (SR) larva tertinggi dijumpai pada perlakuan B yaitu
sebesar 2,77 % (2.492 ind.), sedang perlakuan A yaitu sebesar 0,25 % (226
ind.). Tingginya kelangsungan hidup (SR) larva pada perlakuan B diduga
sebagai akibat pengayaan pakan (rotifera) dengan penambahan minyak ikan
yang sesuai dengan kebutuhan larva untuk bertahan hidup selama masa
pemeliharaan larva berlangsung. Menurut Watanabe (1988), minyak ikan yang
digunakan dalam proses pengayaan rotifera dapat meningkatkan vitalitas dan
kelangsungan hidup larva ikan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan Kerapu Bebek


(C.altivelis) yang dipelihara pada clearing water system lebih tinggi apabila
diberi pakan (rotifera) yang diperkaya kandungan nutrisinya dengan
menggunakan kombinasi pengayaan pakan Fitoplankton Nannochloropsis,
multivitamin dan minyak ikan.

Saran

Perlu pengkajian lebih lanjut tentang alternatif sistem pemeliharaan


larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) pada clearing water system khususnya
menyangkut cara meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva
yang dipelihara yaitu dengan lebih memaksimalkan kombinasi pengayaan
pakan (rotifera) misalnya dengan menggunakan minyak ikan yang berasal dari
bahan/sumber yang lain.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 24


DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan E. Liviawaty, 2005. Pakan Ikan. Kanisius, Yogyakarta.

Anonim, 2013. Chlorella Nutrition. Pacific Trading Aquaculture. Chlorella


Industry, Ireland.
Anonim, 2013. PUFA emulsion. Supplement unsaturated Fatty Acids for
Shrimp Artemia and Rotifer Enrichment. Genchem Biotechnology,
Taiwan.

Anonim, 2013. Eikoso. Special Vitamin Formula for Aquaculture. Wallance


Pharmaceutical, Taiwan.

Aprilia T, 2008. Aplikasi Pengkayaan Rotifera Dengan Asam Amino Bebas


Untuk Larva Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis).

Djajasewaka H., 1985. Pakan Ikan (Makanan Ikan). Cetakan-I. Penerbit


Yasaguna. Jakarta

Effendie, I. M., 2004. Pengantar Aquakultur. Penebar Swadaya, Bogor.

Fuiman L. A. and Werner R.G., 2002. Fishery Science The Unique


Contributions of Early life stages. Blackwell Science Ltd Oxford.

Khairuman dan K. Amri, 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. P.T.


AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Khouw, A.S., 2008. Ekologi Kuantitatif Sumberdaya Perairan, Ambon

Romihartanto K. dan Juwana, 2004. Meroplankton Laut ; Larva Hewan Laut


Yang Menjadi Plankton. Djambatan, Yogyakarta.

Slamet B., A. Trijoko, T. Prijoyo, Setiadharma dan K.Sugama, 1996. Penyiapan


Nutrisi Endogen. Tabiat Makan dan Perkembangan Morfologi Larva
Kerapu Bebek. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Denpasar.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 25


Suwirya K. N.A. Giri dan M. Marzuqi, 2002. Pengaruh Asam Lemak Esensial
Terhadap Sintasan dan Vitalitas Larva Kerapu Bebek (Cromileptes
altivelis). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.

Watanabe T., 1988. Larval Diets. Fish Nutrition and Mariculture. JICA
Textbook the General Aquaculture Course. Department of Aquatic
Biosciences, Tokyo University of Fisheries, Tokyo.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 26


MENINGKATKANPRODUKSI KERAPU DENGAN
STIMULUSDOUBLE-VAKSIN

Evri Noerbaeti, I.G. Pattipeilohy, Wa Nuraini, Johanis Bakarbessy

Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon

Jl. Laksda Leowatimena Waeheru - Ambon MALUKU 97232

ABSTRACT

The disease is one of the prohibitive factor in increasing fish production. The
method of treatment is considered by far the most effective is vaccination, with
the aim to stimulate the body's natural defenses against infection process.
Although not directly affect the fish growth, other effects of vaccination
reported to increase the fish growth. But until now there has been produced in
the form of a cocktail vaccine that is in one ampoule of vaccine consists of
several types of antigens that can increase immunity against some diseases that
are more effective and efficient in its application. Application of double-
vaccine efforts are alternative ways of unavailability of vaccine cocktail with
the aim of increasing production by increasing the immune grouper to support
growth.

Vaccination double-vaccine applied to humpback grouper seed size of 8 cm.


The vaccine used is IridoV (AquaVac) and Vibrio Caprivac-L (Caprifarmindo)
were injected via ip (intra peritoneal) respectively at the base of the pectoral
fin with a dose of 0.1 ml / tail and pelvic fin with a dose of 0.05 ml / tail. Seeds
kept in KJA week after the boosters. Long time maintenance for 3 months with
observation of the survival rate, specific growth rate, relative growth rates.

The results showed that the application of the double-vaccine can be able to
maintain the survival rate to 86% greater than non-vaccine is 76%, with a
specific growth rate reaches 1.34% / day for double-vaccine group and 1.20% /
day for fish that are not vaccinated. While average growth relative weight of
fish that double-vaccine reaches 230%, and were not vaccinated only 190%.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 27


Vaccination is also able to increase the total biomass of humpback grouper
10000 g/m3 to 28644 g/m3 into the stocking density 500/m3 during 3 months.

The conclusion that application of the double-vaccine in the vaccination


humpback grouper can improve survival and prevent infection iridovirus and
vibriosis, increasing the length and weight growth, and increase production /
biomass grouper and more effective and efficient in terms of time and effort

Keywords : double-vaccine, growth, survival rate

PENDAHULUAN

Perikanan budidaya saat ini dianggap merupakan sektor yang


prospektif untuk dikembangkan karena potensinya yang besar. Sebagai
ilustrasi, untuk memenuhi kebutuhan 9 miliar populasi manusia di tahun 2050
yang akan datang, produksi perikanan dunia perlu meningkat hingga 133 persen
dari angka yang diproduksi saat ini, atau dengan kata lain kebutuhan produk
akuakultur akan meningkat dari 67 juta ton pada tahun 2012 menjadi 140 juta
ton pada 2050. Prospek yang sangat luar biasa ini diprediksi akan menjadi
pemacu bagi pembangunan ekonomi negara-negara yang memiliki hasil
maritim yang melimpah seperti di wilayah Asia Tenggara.

Dalam beberapa dekade terakhir, di Asia Tenggara telah terjadi


pertumbuhan produksi aquakultur yang cepat serta mampu meningkatkan
pendapatan rata-rata negaranya. Terdapat peningkatan permintaan produk
perikanan yang tinggi terhadap ikan-ikandari kelompok grouper, kakap merah
snapper, kakap putih dan beronang dengan harga pasar yang lebih tinggi.
Dampak ini menyebabkan budidaya ikan Karamba Jaring Apung (KJA) telah
semakin meluas perkembangan ke negara-negara Asia Tenggara seperti
Pilipina, Thailand ,Vietnam, Malaysia dan Indonesia.

Dengan berkembangnya intensifikasi aquakultur di banyak negara ini


telah mendorong kejadian penyebaran berbagai penyakit dengan relatif cepat
danmerupakan salah satu dari faktor penghalang untuk dapat mendukung
produksi perikanan, terutama selama tahap pemeliharaan larva dan benih dari
komoditas yang dibudidaya (Yukio,2007). Menurut Lio-Po et all, 2001,
munculnya suatu penyakit pada organisme disebabkan oleh adanya interaksi
triple (tiga unsur) yang bekerja secara bersamaan, yaitu unsur lingkungan,
patogen dan inang. Suatu penyakit akan muncul jika terjadi pola hubungan
BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 28
yang tidak seimbangantara unsur patogen, inang dan lingkungan. Bila kondisi
lingkungan yang tidak sesuai dengan kondisi yang mendukung kehidupan
inang, misalnya adanya bahan pencemar sehingga kualitas air menjadi menurun
maka hal ini akan memacu suatu keadaan tertekan (stres) bagi organisme inang.
Kondisi stres ini akan memicu penurunan daya tahan tubuh ikan yang
dibudidayakan, dandisaat bersamaan pathogen penyakit akan mudah
menyerang. Dengan kata lain, kondisi lingkungan yang menurun, pathogen
penyakit menjadi lebih ganas dan daya tahan tubuh inang menurun adalah
kondisi yang sangat memungkinkan timbulnya penyakit pada kegiatan
budidaya ikan.

Belajar dari beberapa kasus serangan penyakit yang dapat


menyebabkan kerugian akibat mortalitas yang sangat tinggi seperti penyakit
viral maupun bakterial, perlu diantisipasi dengan tindakan pencegahan dan
pengendalian. Tidak ada jenis antibiotik dan kemoterapi lain yang dapat
digunakan untuk pengobatan penyakit viral, sementara pengendalian untuk
penyakit bakterial berdampak buruk pada terciptanya bakteri resisten
antibiotik. Pencegahan merupakan tindakan lebih efektif untuk pengendalian
penyakit. Metode pencegahan sejauh ini yang dianggap paling efektif
adalah vaksinasi, dengan tujuan untuk merangsang kekebalan alami tubuh
terhadap proses infeksi. Kekebalan yang diperoleh biasanya berlangsung
dalam jangka waktu yang lama artinya dengan sekali atau dua kali pemberian
vaksin maka kekebalan yang diperoleh dapat bertahan untuk satu periode
pemeliharaan.

Beberapa jenis vaksin untuk ikan laut telah banyak diproduksi seperti
vaksin VNN, polyvalen Vibrio, Caprivac vibrio-L, StrepSi, IridoV dan lain-lain.
Hasil aplikasi vaksin yang pernah diujicobakan disamping peningkatan
kekebalan tubuh, juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan meski hal
tersebut merupakan pengaruh tidak langsung (Isnansetyo dkk., 2010).
Pengaruh terhadap pertumbuhan pernah diamati dalam skala laboratorium
pada aplikasi vaksin Polyvalen Vibrio terhadap ikan kerapu macan di Balai
Budidaya Laut Ambon menunjukkan pertumbuhan ikan kerapu yang divaksin
cenderung lebih tinggi dibanding dengan ikan yang tidak divaksin dengan
Pertumbuhan Spesifik (Spesifik Growth Rate/SGR) dari benih kerapu macan

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 29


yang vaksin mencapai 3,35 %/hari jika dibandingkan dengan yang tidak
divaksin yaitu 2,10 %/hari (BBL Ambon., 2010).

Namun vaksin-vaksin terhadap ikan laut yang beredar dipasaran


merupakan single-vaksin dengan target meningkatkan kekebalan hanya pada
penyakit tertentu. Kekurangan dari aplikasi single-vaksin adalah harus
dilakukan pada waktu yang berbeda dan tentunya memakan waktu, tenaga serta
dapat menyebabkan stress pada ikan karena terlalu sering dihandling untuk
aplikasi beberapa vaksin. Hingga saat ini belum diproduksi vaksin dalam
bentuk cocktail yaitu dalam satu ampul vaksin terdiri dari beberapa jenis
antigen yang dapat meningkatkan kekebalan terhadap beberapa penyakit.
Sehingga untuk mengefisienkan waktu dan tenaga saat proses vaksinasi maka
perlu dilakukan kaji terap aplikasi double-vaksin pada ikan dalam waktu yang
bersamaan dengan tujuan meningkatkan kekebalan tubuh guna menunjang
pertumbuhan ikan dengan harapan terjadi peningkatan produksi budidaya
kerapu.

BAHAN DAN METODE

Vaksinasi double-vaksin dilakukan terhadap benih kerapu bebek


ukuran 8 ±1 cm dan berat 20 ±2 g sebanyak 500 ekor dengan menggunakan 2
(dua) jenis vaksin yang diinjeksi secara bersamaan. Jenis vaksin yang
digunakan adalah IridoV (AquaVac) untuk kekebalan terhadap iridovirus dan
Caprivac Vibrio-L (Caprifarmindo) untuk kekebalan terhadap Vibrio sp. Injeksi
dilakukan dengan menggunakan injector (spuit) steril kapasitas 10 ml. Aplikasi
vaksin dilakukan secara injeksi melalui ip (intra peritoneal) pada pangkal sirip
pelvicdan pangkal sirip pectoral dimana masing-masing diinjeksi dengan vaksin
yang berbeda. Dosis vaksin yang diinjeksi sebanyak 0.05 ml/ekor vaksin IridoV
dan 0.1 ml/ekor vaksin Caprivac vibrio-L, kemudian dilakukan booster/vaksin
ulang satu minggu berikutnya.

Benih dibesarkan di keramba jaring apung ukuran 3 x 3 x 3 m3


seminggu setelah divaksin ulang (booster). Pemberian pakan berupa rucah
diberikan 2 kali sehari sebanyak 10% per hari. Sampling benih dilakukan
secara acak sebulan sekali sebanyak 15%. Lama waktu pengamatan adalah 3
bulan pemeliharaan dengan parameter pengamatan terkait peningkatan produksi
adalah sintasan dan pertumbuhan.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 30


a. Derajat Kelangsungan Hidup (Sintasan)

Derajat kelangsungan hidup (SR) menurut Zonneveld et al., (1991),


dihitung dengan rumus :

SR = (Nt / No) x 100%

Keterangan :

SR = Derajat Kelangsungan Hidup (%)

Nt = Jumlah ikan yang hidup diakhir pengamatan (ekor)

No = jumlah ikan di awal pengamatan (ekor)

b. Laju Pertumbuhan Relatif

Laju pertumbuahan relatifmenurut rumus Huisman (1976) dalam Effendie


(1979) dihitung dengan rumus :

PR = ( Wt – Wo / Wo ) x 100%

Keterangan :

PR = Laju Pertumbuhan Relatif (%)

Wo = Berat rata-rata ikan pada awal pengamatan (g)

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 31


Wt = Berat rata-rata ikan pada akhir pengamatan (g)

c. Laju Pertumbuhan Spesifik (SGR)

Laju pertumbuhan spesifik menurut Zonneveld et.al., (1991), dihitung


dengan rumus :

SGR =( LnWt –LnWo / t ) x 100%

Keterangan :

SGR = Laju Pertumbuhan Spesifik (%)

Wo = Berat rata-rata ikan pada awal pengamatan (g)

Wt = Berat rata-rata ikan pada akhir pengamatan (g)

t = Jumlah waktu selama pengamatan (hari)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari sisi efesiensi waktu dalam mengaplikasi vaksinasi double-vaksin


diperoleh waktu yang lebih singkat dibandingkan kondisi yang sama pada
aplikasi single-vaksin. Bila pada aplikasi double-vaksin, waktu yang diperlukan
hingga benih siap ditebar di KJA hanya memerlukan waktu sekitar 2 minggu
sementara pada aplikasi single-vaksin untuk vaksinasi 2 jenis vaksin saja maka
dapat memakan waktu hingga 4 minggu. Efisiensi waktu didapat karena
aplikasi 2 jenis vaksin yang berbeda dapat diaplikasikan dalam waktu yang
bersamaan, sementara perolehan sintasan dan pertumbuhan pada aplikasi

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 32


double-vaksin tidak berbeda dengan hasil yang pernah diperoleh pada aplikasi
single-vaksin.
Hasil menunjukkan bahwa aplikasi double-vaksin dapat mampu
mempertahankan sintasan benih hingga 86% lebih besar dibandingkan benih
non vaksin yaitu sebesar 76% (Gambar 1). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan
ujicoba yang pernah dilakukan oleh Lestari dkk (2009) di Situbondo terhadap
benih kerapu macan yang divaksin polivalen vibrio, dimana nilai SR nya
mencapai 68,165 % dan tanpa vaksin 50 % pada pemeliharaan selama dua
bulan di KJA. Mortalitas yang terjadi selama uji coba berlangsung bukan
disebabkan oleh adanya infeksi iridovirus maupu vibriosis yang kerap
menginfeksi ikan yang dipelihara di KJA. Mortalitas yang terjadi lebih
disebabkan oleh infestasi ektoparasit Neobedenia sp. Frekuensi infestasi
Neobedenia sp. kerap terjadi pada ikan-ikan yang dipelihara di KJA
dibandingkan benih yang dipelihara di instalasi pendederan BPBL Ambon.
Dilaporkan sejak bulan Maret hingga Mei 2014, infestasi jenis ini menyerang
kerapu bebek ukuran benih hingga gelondongan yang dipelihara di KJA.
Bloomingnya jenis ini di perairan terkait dengan memburuknya kualitas air
disebabkan oleh kondisi musim pancaroba yang terjadi saat itu.

100
90
Sintasan (%)

80
70
double-vaksin
60
non vaksin
50
1 2 3

Waktu (bulan)

Gambar 1. Sintasan kerapu bebek yang didouble-vaksin dan non vaksin

Disamping tidak hanya meningkatkan sintasan, vaksin dapat


berpengaruh pada meningkatnya pertumbuhan ikan. Hal ini terlihat dari Laju

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 33


Pertumbuhan Spesifik (Spesifik Growth Rate/SGR) benih kerapu bebek yang
diberi perlakuan double-vaksin mencapai 1.34 %/hari jika dibandingkan
dengan yang tidak divaksin yaitu 1.20 %/hari. Rerata pertumbuhan berat
relatif ikan yang didouble-vaksin mencapai 230%, sedangkan ikan yang tidak
divaksin hanya 190%. Seiring dengan meningkatnya sintasan maka
pertumbuhan berat kerapu yang divaksin juga meningkat (Gambar 2).

250
Pertumbuhan Relatif (%)

200

150

100

50

0
double-vaksin non vaksin
berat 230 190
panjang 92 90

Gambar 2. Pertumbuhan relatif ikan kerapu bebek yang didouble-vaksin


dengan non vaksin

Meningkatnya pertumbuhan berat maka total biomassa ikan juga


mengalamipeningkatan. Rerata biomassa kerapu yang didouble-vaksin
mencapai 28644 kg atau 29 kg, sedangkan ikan yang tidak divaksin hanya
22098 kg atau 22 kg. Hasil ini menunjukkan bahwa vaksinasi dapat
meningkatkan produksi kerapu bebek hingga 38%.

KESIMPULAN

1. Vaksinasi double-vaksin lebih efektif dan efisien ditinjau dari segi waktu
2. Aplikasi vaksinasi double-vaksin pada kerapu bebek dapat meningkatkan
sintasan dan mencegah infeksi iridovirus dan vibriosis.
BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 34
3. Disamping meningkatkan sintasan, vaksinasi pada ikan kerapu dengan
double-vaksin meningkatkan pertumbuhan berat, serta meningkatkan
produksi/biomassa kerapu.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Budidaya Laut Ambon, 2010. Laporan Tahunan 2010. Pengendalian


Hama Penyakit Ikan dan Lingkungan. BBL Ambon 2010.

Chi, S.C, 2006, Piscine Nodavirus Infection in Asia, Department of Life


Science andInstitute of Zoology, National Taiwan University

Dennis K. G, Dong J. L, Gun W. B, Hee J. Y, Nam S. S, Hwa Y. Y, Cheol Y.


H, Jun H. P, Se C. P , 2006, Detection of betanodaviruses in apparently
healthy aquarium fishes and invertebrates, Zoonotic Disease Priority
Research Institute, and College of Veterinary Medicine, Seoul National
University, Seoul 151-742, Korea

Isnansetyo, A., Kamiso H.N., Murwantoko, Triyanto dan M. Murdjani. 2006.


Efikasi vaksin vibrio polivalen untuk pengendalian vibriosis pada
budidaya kerapu. Disampaikan pada Seminar Riset Unggulan Strategis
Nasional (RUSNAS) Kerapu 2006, BPPT, Serpong,31 Agustus 2006.

Jutono, Hartadi, S. Kabiru S. Susanto, Judoro, Suhadi (1975), Mikrobiologi


Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta, Fakultas Pertanian UGM. 192 hal.

Lestari, Y., B. Hanggono., G. Triastutik dan Fatmawati. 2009. Efektifitas


Aplikasi Vaksin Polivalen Untuk Mencegah Vibriosis pada Budidaya
Ikan Kerapu Macan di Karamba Jaring Apung (KJA). Materi Pelatihan
Vaksinasi dan Hematologi Ikan Kerapu. BBAP Situbondo.

Lio-Po, G. D, C. R. Lavilla, E. R. Cruz-Lacierda. 2001. Health Management in


Aquaculture. Aquaculture Department Southeast Asian
FisheriesDevelopment Centre. Tigbauan. Hoilo. Philipines. 187p.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 35


Sano, M., Minagawa, M., Sugiyama, A. and Nakajima, K. 2000. Susceptibility
of fish cultured in subtropical area of Japan to red seabream iridovirus.
Fish Pathol. 36: 38-39.

Sano, M., Minagawa, M. and Nakajima, K. 2002. Multiplication of red


seabream iridovirus (RSIV) in the experimentally infected grouper
Epinephelus malabaricus. Fish Pathol. 37: 163-168.

Zooneveld, N (1991), Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT Gramedia Pustaka


Utama Jakarta. 235 hal.

Yuasa, Kei, 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan. Balai Budidaya Air
Tawar Jambi, Ditjen Perikanan Budidaya, DKP dan JICA

Yukio M, Leobert d. De la peña and Erlinda R. Cruz-lacierda,


2007. Susceptibility of Fish Species Cultured in
Mangrove, Southeast Asian Fisheries Development Center(SEAFDEC)
(Tigbauan 5021, Iloilo, Philippines)

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 36


AKLIMATISASI BIBIT RUMPUT LAUT KOTONI
(Kappaphycusalvarezii)
HASIL KULTUR JARINGAN DI PERAIRAN TELUK GERUPUK
KABUPATEN LOMBOK TENGAH.

Rusman, Ujang Komarudin, dan Supriadi


Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok

JL. Jenderal Sudirman, No.21, P.O. Box 128, Praya, Lombok Tengah

ABSTRACT

The declining of seaweed production recently was probably caused by


genetically degenerated quality of seedling stocks and extreme fluctuations of
water environment. Acknowledging these causes, providing seaweed seedlings
with desirable properties including highly adaptability to water environments,
high growth rate and resistance to diseases is key step to upsurge the seaweed
production. One approach to produce such seedlings is by using tissue culture
technique. Thus, this study was conducted to observe acclimatization process of
seedling stocks produced by tissue culture technique. This study was conducted
in Gerupuk bay, Sengkol, Pujut, Central Lombok, from April to December
2013.
The result showed that the thallus grew quite fast, 0.5 to 1 gram or 2-3
cm. grown in acclimatization tank, the microalgae could grow up to 3-5 gr with
90% survival rates. After being grown in open sea, the seaweed grew to
average weight 60 gram after 1 month.

Keywords: Acclimatization, seaweed seedlings, tissue culture technique.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 37


PENDAHULUAN

Produksi rumput laut kotoni (Kappaphycus alvarezii) akhir-akhir ini


mengalami penurunan produksi di setiap kawasan budidaya. Penurunan
produksi rumput laut ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi perairan yang
sering mengalami perubahan. Perubahan ini diakibatkan kondisi musim juga
tidak stabil, sehingga berpengaruh pada kondisi kestabilan perairan. Selain itu,
kemungkinan juga disebabkan oleh terjadinya degradasi kualitas bibit rumput
laut yang disebabkan oleh penggunaan bibit rumput laut yang berulang-ulang
dengan cara stek. Selain itu, bibit yang diperoleh secara vegetatif seringkali
menyebabkan penurunan variabilitas genetik yang dapat mengakibatkan
menurunnya pertumbuhan, menurunnya rendemen karaginan dan kekuatan gel
serta menurunnya ketahanan terhadap penyakit.
Beberapa upaya teleh dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi
dalam budidaya rumput laut tersebut. Antara lain melakukan
pengamatan/pengukuran kondisi lingkungan perairanuntuk mengetahui tingkat
perubahan yang terjadi. Melakukan upaya perbaikan kualitas bibit yang
digunakan dengan mencari sumber bibit yang baru, baik dari alam maupun dari
hasil perekayasaan. Salah satunya upaya melalui hasil perekayasaan adalah
memproduksi bibit dari hasil kultur jaringan.
Kultur jaringan rumput laut adalah salah satu upaya memperbaiki performa
bibit rumput laut baik dari segi pertumbuhan dan fisiknya. Hasil kultur
jaringan ini perlu dilakukan tahap adaptasi dengan kondisi lingkungan perairan
laut yang sebenarnya setelah mendapatkan perlakukan khusus dalam
laboratorium seperti nutrisi, suhu dan lainnya. Oleh karena itu, tahap
aklimatisasi bibit rumput laut hasil kultur jaringan ini dianggap penting dalam
menghasilkan bibit yang mempunyai kualitas yang lebih baik.
Kegiatan ini bertujuan melakukan aklimatisasi bibit rumput laut kotoni
hasil kultur jaringan hingga ke perairan laut.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 38


BAHAN DAN METODOLOGI

Kegiatan perekayasaan ini dilaksanakan pada bulan April – Desember


2013 di Perairan Gerupuk Dusun Gerupuk Desa Sengkol Kecamatan Pujut
Kabupaten Lombok Tengah dan di Balai Budidaya Laut Lojuh generasi mbok
Instalasi Gerupuk

Sarana dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan adalah


sebagai berikut:
- Bak beton 2 buah dan keranjang gantung 1 buah.
- Keranjang 2 buah dan rakit bambu apung 2 buah
- Peralatan pengukur kualitas air dan timbangan digital
Bahan yang digunakan adalah bibit rumput laut hasil kultur jaringan.
Metode pemeliharaan dan adaptasi dilakukan dengan 2 tahap :

A. Tahap adaptasi awal dan pembesaran dalam wadah kecil

Dalam tahap ini dilakukan dengan dua cara yaitu :

1) Adaptasi dalam keranjang gantung di perairan laut


Konstruksi keranjang dibuat agar dapat ditaruh dalam perairan laut
dengan menggunakan tali gantungan dan ditutup dengan jaring agar rumput
laut kuljar tidak keluar. Keranjang yang digunakan disesuaikan dengan
banyaknya bibit yang akan diadaptasi awal. Ukuran size lubang keranjang
maksimal 1 cm. Lubang keranjang yang besar sebaiknya dilapisi jaring tipis
(waring). Keranjang dibersihkan setiap 2 hari sekali, jika terdapat kotoran dan
lumut yang menempel pada keranjang gantung tersebut. Keranjang gantung ini
ditempatkan pada perairan dengan arus yang tidak terlalu kuat yaitu antara 5 –
10 cm/det dengan gelombang 30 cm. Gelombang dan arus yang kuat dapat
mengakibatkan terbaliknya keranjang, sehingga dapat mengganggu tahap
adaptasi.
2) Adaptasi dalam bak di darat
Bak yang digunakan dapat terbuat dari beton maupun fiber. Bak disi
air laut dengan tinggi maksimal 60 cm. Dalam bak terdapat keranjang untuk
menempatkan rumput laut hasil kultur jaringan. Bak yang telah dilengkapi
dengan sistem sirkulasi air laut (inlet dan outlet) langsung. Air laut yang masuk
langsung ke dalam keranjang. Aerasi disimpan ditaruh dalam keranjang,
dimana aerasi berfungsi sebagai penyedia oksigen dan sebagai pembangkit arus
dalam keranjang.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 39


Rumput laut hasil kultur jaringan yang berasal dari laboratorium (ukuran 3 – 5
cm dengan berat 0,5 – 1 gram) ditaruh dalam keranjang selama 2 – 4 minggu.
Sedangkan di dalam bak dilakukan untuk mengetahui daya tahan hidupnya.

Gambar 1. Aklimatisasi awal di bak.

B. Tahap adaptasi di perairan laut

Bibit yang telah diadaptasi awal, dilakukan adaptasi lanjutan di perairan


terbuka. Dalam tahap adaptasi ini, sarana yang digunakan adalah rakit. bambu
apung, dengan pertimbangan keamanan bibit. Bibit yang telah mencapai bobot
3 – 5 gram dan minimal 3 cabang thallus serta diameter thallus 0,5 cm dapat
diikatkan pada tali ris bentang. Pengikatan bibit sebaiknya menggunakan tali
raffia (telah dibelah 3 bagian) atau plastik es yang telah dipilin. Penanaman
bibit dilakukan selama 1 bulan dengan pengontrolan setiap hari. Demikian pula
dengan rumput laut kontrol dilakukan pembudidayaan hampir sama dengan
rumput laut uji.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 40


Parameter uji

a. Perhitungan pertumbuhan mutlak

Bobotpertumbuhan akhir= Bobotakhir – Bobotawal

b. Tingkat kelangsungan hidup

Nt
SR = ---------------- x 100 %
No

HASIL DAN PEMBAHASAN

Adaptasi dalam keranjang gantung

Proses adaptasi ini dilakukan di dalam keranjang yang digantung di


dekat karamba jaring apung untuk budidaya ikan. Dari hasil adaptasi dalam
keranjang yang ditaruh di laut yang dilakukan menunjukkan bobot akhir
mencapai rata-rata 3,705 gram dalam 1 bulan dengan bobot awal antara 0,3 -
0,6 gram. Bobot terbesar diperoleh sebesar 5,2 gram dan bobot terkecil
diperoleh sebesar 2,9 gram. Kenaikan pertumbuhan bibit rumput laut hasil
kultur jaringan tersebut diperoleh rata-rata 10,01 kali dari bobot awal. Tingkat
kehidupan (SR) yang diperoleh adalah 95%. Kematian bibit rumput laut kuljar
yang terjadi disebabkan karena terjepitnya thallus rumput laut di sela-sela
lubang keranjang. Bibit yang terjepit mengalami kehilangan pigmen,
kemungkinan karena terputusnya aliran nutrine, selanjutnya menjadi putih dan
putus.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 41


Grafik pertumbuhan pada keranjang gantung

4.5
4
Rata-rata bobot (gram)

3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
1 2 3 4 5
Pengamatan (minggu)

Gambar 2. Pertumbuhan bibit kultur jaringan dalam keranjang gantung di laut.

Keunggulan dari metode ini adalah, tidak membutuhkan aerasi sebagai


pembangkit arus dan pembawa nutrien. Sedangkan kelemahan yang
didapatkan dengan metode ini adalah ketergantungan pada kondisi perairan laut
yang terjadi sangat tinggi, sehingga jika kondisi perairan yang buruk akan
berdampak pada proses adaptasi rumput laut hasil kultur jaringan, seperti
naiknya suhu perairan, turunnya salinitas akibat hujan dan lainnya. Hambatan
lainnya dalam proses aklimatisasi di perairan laut seperti gelombang tinggi,
arus kuat dan lainnya, yang dapat mengganggu kestabilan keranjang dalam
perairan.
Hasil pemeriksaan kualitas air laut selama masa pemeliharaan dalam
keranjang yang digantung dalam perairan laut, menunjukkan kondisi perairan
yang sesuai dengan pertumbuhan rumput laut. Dimana suhu perairan laut rata-
rata 29 oC, salinitas perairan rata-rata 33 ppt, DO perairan rata-rata 5 ppm, dan
pH rata-rata 8. Arus perairan yang terjadi selama masa pemeliharaan antara 5 –
15 cm/det dengan gelombang antara 0 – 20 cm. Kecerahan perairan diperoleh
100% selama pengukuran.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 42


Parameter kualitas air
40
35
30
25
Nilai

20 suhu
salinitas
15
pH
10
DO
5
0
1 2 3 4
Pengukuran (minggu)

Gambar 3. Kondisi kualitas perairan laut di lokasi keranjang gantung

Pemeliharaan dalam bak

Hasil pemeliharaan dalam bak diperoleh hasil yang hampir sama


dengan pemeliharaan di dalam keranjang yang digantung dalam perairan laut.
Pertumbuhan yang diperoleh dari bobot awal 0,3 – 0,5 gram diperoleh bobot
akhir rata-rata 3,05 gram dalam masa pemeliharaan 1 bulan. Bobot tertinggi
diperoleh sebesar 3,7 gram dan bobot terendah diperoleh sebesar 2,8 gram.
Kenaikan pertumbuhan bibit rumput laut hasil kultur jaringan tersebut
diperoleh rata-rata 9,94 kali dari bobot awal. Adapun tingkat SR rumput laut
kuljar dalam bak juga diperoleh 95 %. Sama dengan keranjang gantung di laut,
kematian bibit juga disebabkan terjepitnya thallus di keranjang. Tingkat
pertumbuhan bibit kultur jaringan dapat dilihat pada grafik pertumbuhan di
bawah ini :

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 43


Grafik pertumbuhan pada bak

3.5
3
2.5
Bobot (gram)

2
1.5
1
0.5
0
1 2 3 4 5
Pengamatan (minggu)

Gambar 4. Pertumbuhan bibit kultur jaringan dalam keranjang di bak.

Kelebihan yang dapat diperoleh dari pemeliharaan bibit dalam bak ini
adalah kondisi air laut dapat dimanupulasi, terutama suhu. Suhu perairan yang
tinggi dapat dicegah dengan menutup air laut masuk ke dalam bak, sehingga
suhu dapat dijaga. Umumnya sering terjadi pada siang dan sore hari, sehingga
kematian bibit dapat dicegah akibat fluktuasi suhu. Pemeliharaan dalam bak
sebagai wadah stocking di darat, jika kondisi perairan laut kurang baik bagi
pertumbuhan rumput laut seperti adanya badai yang dapat menyebabkan
kerontokan dan kematian bibit dilaut, yang dapat menimbulkan kelangkaan
bibit, maka bibit rumput laut masih tersedia dalam bak. Selain itu,
pemeliharaan bibit dalam bak dapat bertahan lama, sehingga ketersediaan bibit
dapat dijaga jika terjadi kelangkaan bibit di laut seperti kerusakan bibit jika
terjadi badai dan lainnya.
Dari hasil ujicoba pemeliharaan dalam keranjang yang ditaruh dalam
bak, diperoleh daya tahan bibit selama 4 bulan, dimana SR bibit yang
dipelihara sebesar 100%. Bahkan bibit yang diperoleh dari hasil pemeliharaan
dalam bak jumlahnya bertambah (Gambar 4). Hal ini disebabkan karena,
cabang thallus yang terlepas dari individu utama, tumbuh dan berkembang
menjadi individu baru. Pertambahan jumlah individu bibit kultur jaringan
selama pemeliharaan 4 bulan terlihat pada Gambar 4 dibawah ini :

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 44


510
500
490
Jumlah individu

480
470
460
450
440
430
420
1 2 3 4 5
Bulan

Gambar 5. Pertambahan jumlah individu bibit kultur jaringan

Kepadatan awal bibit kultur jaringan dalam keranjang yang ditaruh


dalam bak juga mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan bibit. Kepadatan
maksmial bibit yang dapat ditampung dalam keranjang adalah 400 individu
dengan ukuran keranjang 100 x 80 x 80 cm. Pemeliharaan pada bulan kedua,
sebaiknya bibit kuljar di bagi menjadi 2 keranjang, agar ruang untuk
berkembangbiak mencukupi dan memadai. Selain itu, cukupan nutrien dapat
merata ke setiap individu.
Kelemahan dari metode ini adalah ketergantungan pada jumlah aerasi
dan besarannya serta suplai air laut yang masuk dalam keranjang/bak. Karena
aerasi yang ada berfungsi sebagai pembangkit arus di dalam keranjang,
sedangkan air laut yang masuk membawa nutrient yang baru ke dalam
keranjang/bak.
Kondisi bibit kultur jaringan selama pemeliharaan di bak dalam
keranjang dalam kondisi sehat. Hal ini terlihat dari morfologi bibit seperti :
- Warna cerah dan bau segar dan terdapat calon thallus yang runcing
- Thallus yang besar sekitar 0,1 – 0,3 cm dan memanjang sekitar 3 – 5
cm
- Bersih tidak terdapat lumut dan epifit serta lumpur yang melekat.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 45


Bulan ke-1
Kondisi awal

Bulan ke-2

Bulan ke-4
Bulan ke-3

Gambar 6. Tahap pertumbuhan selama pemeliharaan 4 bulan di dalam bak

Dari Gambar 5 diatas memperlihatkan proses perkembangan bibit


rumput laut hasil kultur jaringan setiap bulannya sampai dengan pemeliharaan
bulan ke-4, menunjukkan adanya proses pertumbuhan thallus baik bobot
maupun panjang thallus dan jumlah cabang thallus. Dimulai dari bulan ke-1
sampai dengan bulan ke-4, bibit rumput laut mengalami pemisahan sebagian
sebagian batang thallusnya untuk bertumbuh menjadi individu baru. Pada
bulan ke-4 bibit rumput laut sudah mengalami tingkat kejenuhan pertumbuhan.
Hal ini terlihat dari kondisi bibit yang mulai kehilangan pigmen atau pucat,
pertumbuhan menjadi lambat dan lumut atau epifit mudah menempel. Hasil
sementara yang diperoleh dari ujicoba di dalam bak diperoleh maksimal
penyimpanan dalam bak sebagai stock bibit di darat selama 4 bulan.
BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 46
Hasil pengujian kualitas air laut selama masa pemeliharaan dalam bak,
menunjukkan kondisi air yang sesuai dengan kehidupan rumput laut. Dimana
suhu perairan laut rata-rata 28 oC, salinitas perairan rata-rata 32 ppt, DO
perairan rata-rata 3 ppm, dan pH rata-rata 8.

Parameter kualitas air


35
30
25
20 suhu
Nilai

15 salinitas
10 DO
5
pH
0
1 2 3 4
Pengukuran (minggu)

Gambar 7. Kondisi kualitas air di dalam bak

Adaptasi Tahap Kedua

Adaptasi tahap kedua dilakukan di perairan laut dengan menggunakan


rakit bambu apung dengan ukuran 4 x 4 m. Metode rakit bambu apung ini
digunakan, karena untuk melindungi bibit rumput laut dari pengaruh
gelombang secara langsung (Rusman, 2008). Tahap ini dilakukan agar bibit
rumput laut menghadapi kondisi perairan yang sebenarnya. Bibit yang akan
diaklimatisasi di laut yang mempunyai kriteria seperti cabang thallus minimal 3
buah, bobot minimal 3 gram, besar thallus minimal 0,1 cm.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 47


Gambar 8. Kriteria bibit yang siap di aklimatisasi di laut terbuka

Hasil domestikasi bibit kultur jaringan di perairan terbuka selama satu


bulan, diperoleh bobot akhir rata-rata 60,007 gram dari bobot awal rata-rata
sebesar 3,42 gram. Bobot terbesar diperoleh 90,06 gram, sedangkan bobot
terkecil adalah 37,9 gram. Kenaikan pertumbuhan bibit rumput laut hasil kultur
jaringan tersebut diperoleh rata-rata 17,52 kali dari bobot awal. Adapun tingkat
SR rumput laut kuljar di rakit bambu apung diperoleh 100 %. Dibandingkan
dengan kondisi bibit rumput laut konvensional, kenaikan pertumbuhan bibit
rumput laut hanya sekitar antara 4 – 8 kali dari bobot awal. Kelebihan bibit
kultur jaringan yang diaklimatisasi adalah selain pertumbuhan yang cepat, juga
mempunyai daya tahan terhadap serangan penempelan lumut dan epifit
(Polisiphonia sp). Hal ini terlihat dari kawasan yang terserang lumut tetapi
bibit kultur jaringan tidak terjadi penempelan.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 48


Grafik pertumbuhan di laut

70
60
50
Bobot (gram)

40
30
20
10
0
1 2 3 4 5
Pengamatan (minggu)

Gambar 9. Grafik pertumbuhan bibit kultur jaringan di laut.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 49


Gambar 10. Bibit kultur jaringan hasil aklimatisasi di laut.

Parameter air laut


40
35
30
25
Nilai

20 suhu
salinitas
15
DO
10
pH
5
0
1 2 3 4
Pengukuran (minggu)

Gambar 11. Kondisi kualitas air laut di lokasi aklimatisasi rakit bambu apung

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 50


Terlihat pada gambar 11 diatas menunjukkan bahwa kualitas air
selama pengukuran tidak terjadi perubahan eksrim dan masih dalam batas
kehidupan organisme perairan pada umumnya. Suhu perairan menunjukkan
nilai antara rata-rata 29 oC dengan kondisi arus yang terjadi antara 10 – 20
cm/det.
Dari hasil aklimatisasi bibit rumput laut, diperoleh bibit sebanyak
kurang lebih 80 kg dari bobot awal sekitar 2 kg selama 3 kali siklus atau F3.
Pertumbuhan yang terjadi pada siklus ketiga masih terlihat bagus, dimana rata-
rata kenaikan pertumbuhan bibit yang diperoleh antara 6 – 8 kali. Jika
dibandingkan dengan bibit konvensional kenaikan pertumbuhannya berkisar 4
– 7 kali. Demikian pula dengan performa bibit hasil kultur jaringan terlihat
baik yang ditandai dengan thallus yang sehat, bersih, banyak terdapat ujung
thalli yang runcing dan warna yang cerah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

- Aklimatisasi bibit hasil kultur jaringan dilakukan dengan menggunakan


keranjang yang digantung di perairan laut maupun keranjang yang ditaruh
dalam bak.
- Laju pertumbuhan bibit hampir sama, dengan rata-rata bobot akhir pada
keranjang gantung di laut sebesar 3,705 gram dan pada keranjang dalam
bak sebesar 3,07 gram.
- Laju pertumbuhan bibit kultur jaringan di laut mencapai 17,52 kali dari
bobot awal atau rata-rata bobot akhir 60,007 gram (dari bobot awal 3,42
gram). Sementara laju pertumbuhan bibit rumput laut konvensional
(kontrol) sebesar 4 – 8 kali dari bobot awal.
- Performa bibit pada F3 masih terlihat baik dari segi pertumbuhan dan
morfologinya yang nampak sehat dengan hasil sebanyak 80 kg selama 3
siklus.

Saran

Diperlukan ujicoba multilokasi untuk mengetahui tingkat kehidupan di


lokasi perairan lainnya.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 51


DAFTAR PUSTAKA

George EF. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture Part 1. Technology.


2nd Edition. Exegenetic Limited. England. 754 p

Gunawan LW. 1995. Teknik Kultur in vitro dalam Hortikultura. Jakarta.


Penebar Swadaya.

Hartman HT, Kester DE 1983. Plant Propagation. Principle and Practice.


Edisi ke-4. New Jersey: Practice-Hall, Inc.

Hurtado RegeneraAQ, Bitter AB, 2007. Plantlet Regeneration of


Kappaphycus alvarezii var. Adik-adik by tissue Culture. J Appl Phycol
19:783:786

Rusman, 2008. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Mataram. NTB.

Torres KC. 1989. Tissue Culture Techniques for Horticultural Crops. Chapman
and Hall. New York. London.to Somatic Embryogenesis and Regeneration of
Somatic Embryos from Pigmented Callus of Kappaphycus alvarezii (Doty)
Doty (Rhodopyta, Gigartinales). J. Phycol

Wattimena GA. 1992. Bioteknologi Tanaman. Volume ke-1. Bogor: Pusat


Antar Universitas (PAU) Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 52


APLIKASI LATOH (CAULERPA LENTILLIFERA) SEBAGAI BIOFILTER
UNTUK PENGENDALIAN INFESTASI PARASIT PADA INDUK KERAPU
1 1 1 1
Ramelan , Ibnu Sahidhir ,Irvan Firmansyah Z.A. , Abidin Nur

1
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee

ABSTRACT

Parasites infestation is a serious problem in indoor broodstock rearing.


Parasiter diseases initiates secondary infestation by bacteria so that influence
on productivity and even death. Bad water quality will increase parasitic
diseases in fish. Caulerpa lentillifera culture was initiated in January. For the
treatment water from Caulerpa sedimentation tank was flowed into
broodstock tank. In the range time January-Mei, parasites was observed
especially for Caligus sp. dan Hirudinea sp. Based on observation, there is
significantly reduce parasites infestation.

Keywords:Caulerpa lentillifera, parasites, grouper


*
ibnusahidhir@yahoo.com

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 53


PENDAHULUAN

Infestasi parasit merupakan salah satu permasalahan serius dalam


pemeliharaan induk sistem indoor.Kejadian ini dapat menginisiasi infeksi
sekunder oleh bakteri sehingga mengakibatkan kematian atau gangguan
produktifitas. Kondisi kualitas air yang tidak optimal menjadi factor
predisposisi infestasi parasit pada ikan. Pada musim hujan atau air laut keruh,
infestasi ektoparasit pada induk sangat banyak.

Parasit belum bisa diatasi dengan efektif sekarang ini. Pengobatan


Caligus rendam air tawar 2-3 menit. Menghilangkan Hirudinea dengan obat-
obatan dan air tawar tidak efektif. Hirudinea dapat menyerang organ dalam
seperti hati dan empedu. Kebanyakan Caligus dapat menimbulkan kebutaan
karena merusak mata.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek treatment C. lentillifera


pada perkembangan ektoparasit induk.

BAHAN DAN METODE

Desain eksperimen

Perlakuan dilakukan secara bertautan yakni pemeliharaan induk dengan


air tanpa Latoh dilakukan terlebih dulu, kemudian perlakuan Latoh. Induk yang
dipakai untuk kedua perlakuan adalah induk yang sama. Tiga ekor induk
kerapu macan berukuran rata-rata 6-9 kg dipelihara dalam bak bulat bervolume
50m3.

Pemberian perlakuan
Bulan Januari-Februari dilakukan perlakuan air tanpa Latoh. Air dari laut
masuk ke dalam tiga bak filter. Filter 1 yakni air melalui pipa berbungkus ijuk
dan kain screen. Bak berisi batu kerikil. Pada filter 2 air disaring dgn pipa yang
dibungkus ijuk yang diikat tali. Pada filter 3, air disaring dengan pipa yang
dibungkus ijuk dan kain screen.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 54


Pada bulan Maret-Mei dilakukan perlakuan tandon Latoh. Pertama air
laut masuk tandon Latoh terlebih dulu yang bervolume 10x10x5 m3 dengan
volume air 250 m3. Tandon sebelumnya telah diisi C. lentillifera sebanyak5 kg
selama 2 bulan. Air diendapkan selama 18 jam. Lalu, air dialirkan ke tiga bak
filter yang dipakai dalam perlakuan pertama sebelum dialirkan ke bak induk
untuk ganti air. Pergantian air menggunakan air Latoh dilakukan selama 6 jam.
Tandon kemudian diisi air baru lagi.

Prosedur pemeliharaan

Induk diberi makan ikan rucah 10% dari total badan dua kali sehari. Ikan
yang digunakan adalah dari jenis lemuru. Ikan disimpan dalam freezer untuk
penyimpanan lama. Sebelum dipakai, ikan tersebut harus diunfreeze terlebih
dulu.

Pengamatan dan analisis data

Kualitas air laut diamati secara visual sebelum digunakan. Ektoparasit dihitung
pada bulan ke-1 dan 2 saat aplikasi tandon Caulerpa belum dilakukan.
Perhitungan ektoparasit dilakukan setiap minggu pada bulan ke- 3-5 saat
aplikasi tandon Caulerpatelah dilakukan. Sampel tiap perhitungan adalah 3
ekor induk ikan kerapu berukuran sama. Perhitungan pada waktu selanjutnya
dilakukan pada ikan yang sama.
Analisis deskriptif terhadap jumlah populasi ektoparasit pada perlakuan
sebelum, saat aplikasi tandon Caulerpa . Analisis deskriptif terhadap perubahan
populasi ektoparasit pada saat aplikasi tandon Caulerpa . Analisis inferensial
terhadap perubahan tiap jenis parasit saat aplikasi tandon Caulerpa. Analisis
deskriptif menggunakan MsExcel sedangkan analisis inferensial menggunakan
SAS 9.0

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 55


HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi parasit sebelum dan saat perlakuan Caulerpa

Populasi parasit menurun secara drastic setelah diberi perlakuan


Caulerpa bila dibandingkan dengan sebelum perlakuan.

700
Jumlah parasit per
ekor induk kerapu
600

505
500
442

400

300
258

190
200 Caligus

100
30 30 29 28 29 29 28 27 31 26 25
14 16 10 12 13 13 10 7 14 13 2410 7
0

Waktu (minggu ke-)

Bagan 1. Perubahan populasi parasit


BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 56
Caligus. Pada bulan Januari Caligus berpopulasi 442 ekor. Pada bulan
Februari populasi naik menjadi 505 ekor. Setelah dilakukan perlakuan Latoh,
populasi Caligus menurun pada bulan Maret-Mei menjadi sekitar 117 ekor,
113 ekor dan 99 ekor (Bagan 1.).

Hirudinea. Populasi Hirudinea bertambah dari sekitar 190 ekor


menjadi 258 pada bulan Januari dan Februari. Hirudinea mulai menurun
setelah pemberian Latoh yakni menjadi sekitar 52 ekor pada bulan Maret dan
40 ekor pada bulan April dan Mei (Bagan 1.).

Populasi parasit saat perlakuan Caulerpa

Dalam percobaan Latoh penurunan terjadi tidak kentara. (Grafik 3

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 57


40

35

30

25 Caligus
Populasi
parasit pada
20 Hirudinea
induk kerapu
(ekor/induk)
15
Полиномиальная
(Caligus)
10
Полиномиальная
5 (Hirudinea)

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
Minggu ke-

Pengujian dengan principal component menunjukkan bahwa Caligus


menurun bila dibandingkan bulan Maret dan April.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 58


Pengujian dengan principal component menunjukkan bahwa Caligus
menurun bila dibandingkan bulan Maret dan April.

Penurunan Hirudinae terjadi pada bulan April, tetapi bulan berikutnya


tetap stabil.
BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 59
Hipotesis penyebab penurunan

Caulerpa mengandung zat aktif caulerpenyne, caulerpin, caulerpicin dan


oxytocin. Perbandingan dengan jenis lain C. Lentillifera mengandung
caulerpenyne dan oxytocin dalam dosis rendah (Baumgartner et al., 2009).
Caulerpenyne mungkin menjadi alasan rendahnya pemakanan C. taxifolia oleh
invertebrata (Bartoli and Boudouresque, 1997). Caulerpenyne berfungsi untuk
menghambat pertumbuhan atau membunuh alga lain (Raniello et al., 2007).
Caulerpenyne berfungsi juga untuk menghambat perkembangan organism
penempel atau konsumen dengan menghambat perkembangan sel,
pembelahan sel dan bersifat neurotoksik (Brunelli et al., 2000; Felline et al.,
2012; Pesando et al., 1998, 1996). Walaupun bukan racun akut tapi (Amade
and Lemée, 1998; Brunelli et al., 2000; Pesando et al., 1998, 1996). Namun
demikian peran racun tersebut sedikit untuk C. Lentillifera, caulerpenyne
bersifat bioakumulatif dan bukan racun akut (Higa and Kuniyoshi, 2000).
Dengan begitu beralasan bahwa racun ini membuat perkembangan parasit
terganggu sepertinya tidak tepat.

Dalam akuakultur C. Lentillifera dimanfaatkan sebagai biofilter untuk


menurunkan limbah nutrient, menyerap logam berat dan bahan organic
terlarut (Paul and de Nys, 2008). enyerap logam berat. Nutrisinya yang
berkualitas terutama kandungan vitamin dan mineral dan fitokimianya
bermanfaat sebagai makanan berkualitas untuk manusia (Cavas and Pohnert,
2010; Matanjun et al., 2009; Nguyen et al., 2011).

Luas permukaan Caulerpa yang luas dan koloninya yang rimbun menjadi
substrat yang tepat untuk organisme penempel, contohnya siput laut
(sacoglossan) menyukai C. lentillifera(Baumgartner et al., 2009). Pada spesies
lain (C. prolifera)terbukti alga penempel pada lebih sedikit karena dimakan
invertebrata penempel. Jenis organisme penempel pada C. prolifera juga lebih
banyak dibanding makroalga lain (Gibson, 2007).

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 60


Ektoparasit dewasa membutuhkan substrat untuk mencari makan. Hidup
bebas dimulai saat menuju reproduksi dan perkembangan larva. Pengendapan
air laut yang cukup lama (sekitar 18 jam) di dalam tandon berisi Caulerpa yang
tumbuh lebat tidak memberikan kesempatan lain bagi parasit kecuali
menempel untuk kenyamanan. Dengan demikian jumlah parasit yang
menginfestasi induk kerapu menjadi berkurang drastis. Pengendapan air saat
malam hari memungkinan matinya parasit akibat hypoxia. Daya tarik C.
lentillifera bagi ektoparasit ada pada luasnya areal penempelan dan mungkin
makanan yakni banyaknya mikroorganisme dan invertebrata lain yang
menempel pada tubuhnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pengendapan air laut yang cukup lama (sekitar 18 jam), di dalam tandon
berisi Caulerpalentillifera yang tumbuh lebat, efektif mengurangi infestasi
ektoparasit pada induk ikan kerapu. Pengamatan terhadap pengaruh musim
terhadap fluktuasi infestasi ektoparasit perlu dilakukan.

BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 61


DAFTAR PUSTAKA

Amade, P., Lemée, R., 1998. Chemical defence of the mediterranean alga
Caulerpa taxifolia: variations in caulerpenyne production. Aquat. Toxicol. 43,
287–300.

Bartoli, P., Boudouresque, C.F., 1997. Transmission failure of parasites


(Digenea) in sites colonized by the recently introduced invasive alga Caulerpa
taxifolia. Mar. Ecol. Prog. Ser. 154, 253–260.

Baumgartner, F.A., Motti, C.A., de Nys, R., Paul, N.A., others, 2009. Feeding
preferences and host associations of specialist marine herbivores align with
quantitative variation in seaweed secondary metabolites. Mar Ecol Prog Ser
396, 1–12.

Brunelli, M., Garcia-Gil, M., Mozzachiodi, R., Scuri, M.R.R., Traina, G., Zaccardi,
M.L., 2000. Neurotoxic effects of caulerpenyne. Prog. Neuropsychopharmacol.
Biol. Psychiatry 24, 939–954.

Cavas, L., Pohnert, G., 2010. The Potential of Caulerpa spp. for
Biotechnological and Pharmacological Applications, in: Seckbach, J., Einav, R.,
Israel, A. (Eds.), Seaweeds and Their Role in Globally Changing Environments,
Cellular Origin, Life in Extreme Habitats and Astrobiology. Springer
Netherlands, pp. 385–397.

Felline, S., Caricato, R., Cutignano, A., Gorbi, S., Lionetto, M.G., Mollo, E.,
Regoli, F., Terlizzi, A., 2012. Subtle Effects of Biological Invasions: Cellular and
Physiological Responses of Fish Eating the Exotic Pest Caulerpa racemosa. PLoS
ONE 7, e38763.

Gibson, A.., 2007. Community Composition of Crustaceans and Gastropods on


Caulerpa prolifera, H alodule wrightii and Thalassia testudinum (Master
Thesis). University of South Florida, Florida.

62
Higa, T., Kuniyoshi, M., 2000. Toxins associated with medicinal and edible
seaweeds. Toxin Rev. 19, 119–137.

Matanjun, P., Mohamed, S., Mustapha, N.M., Muhammad, K., 2009. Nutrient
content of tropical edible seaweeds, Eucheuma cottonii, Caulerpa lentillifera
and Sargassum polycystum. J. Appl. Phycol. 21, 75–80.

Nguyen, V.T., Ueng, J.-P., Tsai, G.-J., 2011. Proximate Composition, Total
Phenolic Content, and Antioxidant Activity of Seagrape (Caulerpa lentillifera).
J. Food Sci. 76, C950–C958.

Paul, N.A., de Nys, R., 2008. Promise and pitfalls of locally abundant seaweeds
as biofilters for integrated aquaculture. Aquaculture 281, 49–55.

Pesando, D., Huitorel, P., Dolcini, V., Amade, P., Girard, J.-P., 1998.
Caulerpenyne interferes with microtubuledependent events during the first
mitotic cycle of sea urchin eggs. Eur. J. Cell Biol. 77, 19–26.

Pesando, D., Lemée, R., Ferrua, C., Amade, P., Girard, J.-P., 1996. Effects of
caulerpenyne, the major toxin from Caulerpa taxifolia on mechanisms related
to sea urchin egg cleavage. Aquat. Toxicol. 35, 139–155.

Raniello, R., Mollo, E., Lorenti, M., Gavagnin, M., Buia, M.C., 2007. Phytotoxic
activity of caulerpenyne from the Mediterranean invasive variety of Caulerpa
racemosa: a potential allelochemical. Biol. Invasions 9, 361–368.

63
EFEKTIVITAS CARA PEMBERIAN VAKSIN CAPRIVAC VIBRIN-L
TERHADAP RESISTENSI IKAN BERONANG LADA (Siganus guttatus)
TERHADAP PENYAKIT VIBRIOSIS

Hamka, Fadli, Sitti Farida dan Khairil Jamal

ABSTRAK

Kegiatan ini bertujuan untuk melihat sejauh mana cara atau metode pemberian
vaksin yang efektif untuk meningkatkan daya tahan tubuh ikan beronang baik
pertahanan non spesifik (pertahanan seluler) maupun pertahanan spesifik
(antibodi) yang berperan dalam menahan serangan patogen bakteri vibrio.
Sedangkan sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai bahan informasi dalam
kegiatan vaksinasi khususnya vaksinasi ikan. Kegiatan ini dilakukan dalam bak
beton berukuran 2,18 x 1,56 x 1 m3 (volume efektif 3 ton) dengan pergantian
air 100-150% setiap hari yang terletak dalam ruangan sebanyak 4 bak
pemeliharaan (Bak A; Bak B; Bak C dan Bak D). Hewan uji yang digunakan
adalah ikan baronang dengan berat ± 100 gram dengan padat tebar sebanyak 20
ekor/bak. Perlakuan dari kegiatan ini adalah: Bak A dengan metode vaksin
sistem priming; Bak B dengan metode vaksin sistem booster 1 minggu;Bak C
dengan metode vaksin sistem booster 2 minggu; dan Bak D tanpa vaksin
(kontrol). Hasil akhir dari kegiatan ini menunjukkan bahwa SR tinggi didapat
pada vaksin dengan sistem booster, sementara kajian RPS metode priming
memperlihatkan hasil yang kurang memuaskan yang hanya bernilai <60.
Sementara Pravelensi juga memperlihatkan hasil terbaik ada pada booster 2
minggu diikuti oleh booster 1 minggu dan terendah adalah kontrol. Hasil
pengukuran pertumbuhan berat mutlak menunjukkan bahwa pertumbuhan
tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan sistem booster 2 minggu (Bak C).
Hasil pemeriksaan beberapa parameter kualitas air masih berada pada kisaran
yang layak untuk pemeliharaan ikan baronang.

Kata kunci :Vaksinasi, SR, RPS, Prevalensi

64
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan baronang merupakan salah satu spesies yang mulai


dikembangkan pembudidayaanya dan saat ini menunjukkan perkembangan
yang sangat signifikan. Hal ini terjadi karena meningkatnya permintaan
konsumen dalam negeri. Rumah-rumah makan yang merupakan konsumen
utama lebih memilih ikan baronang hasil budidaya dibanding dengan
tangkapan dari alam selain karena suplainya yang kontinyu ,juga bisa
didapatkan dalam jumlah yang banyak, serta ukuran yang lebih seragam .

Sebagaimana umumnya spesies yang baru dikembangkan seperti ikan


baronang memiliki kendala baik dari segi teknis maupun sarana dan
prasarananya, salah satu permasalahan adalah adanya serangan penyakit yang
dapat menyebabkan kematian massal. Ikan baronang rentan terkena penyakit
vibriosis yang disebabkan oleh bakteri patogen Vibrio. Bakteri vibrio ini
merupakan patogen primer dan juga sekunder karena umumnya menyerang
ikan yang sudah terjangkiti parasit lainnya, dan menjadi oportunis apabila
kondisi kualitas air memburuk. Penularannya dapat melalui air atau kontak
langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara
dengan kepadatan tinggi. Vibriosis merupakan penyakit bakterial utama pada
benih ikan-ikan laut dan sangat merugikan budidaya ikan laut di Asia Tenggara
(Bondad-Reantaso et al.,2000). Bakteri vibrio yang pertama kali diisolasi dari
ikan adalah Vibrio anguillarum yang diisolasi dari belut yang hidup diperairan
mediterani (Canestrini 1883; Inglis et al., 2001) . Sementara itu, kasus vibriosis
di Indonesia ditemukan pertama kali sekitar awal tahun 1980 dan menjangkiti
budidaya udang dan Vibrio alginolyticus adalah spesies yang paling sering
65
diisolasi dari ikan budidaya yang sakit di Indonesia (Taslihan et al., 2000;
Nitimulyo etal., 2005) dan termasuk bakteri patogen yang ganas pada ikan
kerapu (Desrina et al., 2006). Menurut Shickney (2000)bahwa cara yang sering
dilakukan untuk membasmi bakteri patogen ini ialah dengan menggunakan
antibiotik, namun penggunaan antibiotik dalam jangka lama dan intensif dapat
menimbulkan efek samping yaitu dapat menjadikan bakteri patogen menjadi
resisten, Oleh karena itu perlu dilakukan pencarian metode lain, salah satu
caranya dengan vaksinasi.
Dewasa ini sudah mulai diteliti calon vaksin untuk mengendalikan
vibriosis pada ikan baronang di Indonesia. Vaksin menjadi pilihan utama untuk
pencegahan patogen karena relatif aman bagi manusia, ramah lingkungan dan
lebih murah dibandingkan dengan antibiotik. Vaksin yang digunakan untuk
mengendalikan vibriosis umumnya berupa vaksin polivalen. Vaksin polivalen
adalah vaksin yang terdiri dari beberapa antigen yang memiliki beberapa
epitope.

Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka dukungan terhadap


gerakan vaksinasi ikan budidaya yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan
dan Perikanan, maka dilakukan kegiatan vaksinasi pada ikan beronang sebagi
upaya untuk pencegahan dan pengendalian penyakit vibriosis.

Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui cara atau metode
pemberian vaksin yang efektif untuk meningkatkan daya tahan tubuh ikan
baronang baik pertahanan non spesifik (pertahanan seluler) maupun pertahanan
spesifik (antibodi) yang berperan dalam menahan serangan patogen bakteri
vibrio.

66
Sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai sumber referensi dalam kegiatan
vaksinasi ikan baronang dan diharapkan pula hasil dari kegiatan ini dapat
ditindak lanjuti dengan penggunaan vaksin dan metode vaksinasi yang cocok
dan dilakukan secara meluas bagi kalangan pembudidaya ikan.

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Ikan Baronang

Menurut Sunyoto dan Mustahal ( 1997 ), Ikan Baronang memiliki


klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub filum : Avertebrata

Kelas : Pisces

Sub kelas : Actinopterygii

Infra kelas : Telestoi

Divisi : Euteleostei

Ordo : Percipformes

Famili : Siganidae

Genus : Siganus

Spesies : Siganus guttatus


67
Taksonomi Bakteri Vibrio
Menurut data Gen Bank dalam Hart et.al (2007 ), Bakteri vibrio
memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Order : Vibrionales
Family : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Species : Vibrio sp

Morfologi Bakteri Vibrio spp


Vibrio spp adalah termasuk dalam kelompok bakteri gram – negative
yang bersifat fakultatif anaerob dan memiliki tangkai berbentuk bengkok dan
memiliki ukuran 0.5 x 1.0-2.0 m, berbentuk batang bisa lurus maupun bentuk
koma, bergerak dengan menggunakan polar flagella, fermentative dan cytochrom
oksidase positif, sensitive terhadap vibriostat 0/129 (pteridine) (Richard and
Robart, 1978, dalam Desrina 2011). Secara khas ditemukan di air laut dan
tumbuh hampir disegala media umum yang mengandung NaCl 1-1.5%. Bakteri
ini bersifat motil (dengan satu sampai tiga flagella). Habitat dari bakteri ini
adalah species ikan laut sebagai pembawa, namun bakteri ini juga telah
ditemukan pada invertebrata dan benthos (Hastein, 1975, Desrina 2011).

68
2a 2b
Gambar 2a Morfologi bakteri vibrio sp (Sumber : Google.Image.Com )
2b Koloni bakteri vibrio dimedia TCBSA (Sumber : Dokumentasi
Arief Taslihan )

Bakteri vibrio yang patogen dapat hidup di bagian tubuh organisme


lain baik di luar tubuh dengan jalan menempel, maupun pada organ tubuh
bagian dalam seperti hati, usus dan sebagainya. Dampak langsung bakteri
patogen dapat menimbulkan penyakit, parasit, pembusukan dan toksin yang
dapat menyebabkan kematian biota yang menghuni perairan tersebut. Beberapa
jenis vibrio yang bersifat patogen yaitu dengan mengeluarkan toksin ganas dan
seringkali mengakibatkan kematian pada manusia dan hewan (Feliatra, 1999).

Gejala Klinis Vibriosis


Vibriosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari
genus Vibrio sp. Bakteri ini merupakan patogen oportunistik, yaitu organisme
yang dalam keadaan normal ada dalam lingkungan pemeliharaan lalu
berkembang dari sifat yang saprofit menjadi patogenik karena kondisi
lingkungan memungkinkan. Bakteri vibrio diketahui sebagai bakteri
oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada
budidaya ikan laut karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan
sekunder. Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak

69
langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang
telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987). Serangan
vibriosis bisa menimbulkan kerugian yang besar pada budidaya ikan air laut
maupun payau karena tingginya kematian yang bisa mencapai 90% dalam
waktu singkat dan akan semakin diperparah bila ikan dalam kondisi ketahanan
tubuh ikan yang stress dan lemah.
Vibrio menyerang ikan dan organisme lainnya dimulai dari bagian
lendir (mucus) yang diproduksi oleh tubuh, sebab lendir dapat menjadi media
yang baik untuk perkembangan koloni bakteri. Hal ini karena di dalam lendir
terdapat nutrisi yang dibutuhkan oleh vibrio. Tanda – tanda klinis infeksi vibrio
adalah terjadi perubahan warna kulit (melanosis), mulut merah (red mouth ),
pengelupasan (gripis ) pada ekor dan sirip punggung, hemorhagik dan edema
(borok ) pada pangkal sirip, jaringan otot dan kulit. Limpa ikan yang terinfeksi
akan mengalami pembengkakan dan berwarna merah. Secara histologis hati,
ginjal, limpa dan mukosa usus mengalami nekrosis (Irianto,2005).
Perubahan warna kulit terjadi diakibatkan ikan mengalami stress
karena adanya infeksi bakteri. Munculnya haemoragik yang ditandai dengan
luka kemerahan pada sekitar mulut dan sirip adalah karena aliran darah
terganggu akibat infeksi Vibrio. Hal ini diakibatkan adanya toksin protein
“haemolysin” yang dikeluarkan oleh bakteri yang akan merusak eritrosit.
Proses inilah yang menyebabkan eritrosit pecah dan keluar dari pembuluh dan
menyusup pada jaringan tubuh dan tampak sebagai warna kemerahan pada
sekitar mulut dan sirip ikan kerapu. Sedangkan terjadinya edema diakibatkan
oleh akumulasi cairan secara tidak normal pada rongga tubuh, ruang antara
pada jaringan dan organ yang menyebabkan terjadinya pembengkakan. Cairan
tersebut media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri, sehingga dampak
yang lebih jauh mengakibatkan kematian. Selain itu, edema menandakan
adanya ketidakseimbangan tekanan hydrostatic, tekanan osmotic darah,
70
peningkatan permeabilitas kapiler, penghalangan lymphatic atau gangguang
fungsi ginjal (Yanuhar 2008).

Vaksinasi

a.Prinsip kerja vaksin

Vaksin adalah bahan atau antigen yang dibuat dengan sengaja


kedalam tubuh ikan dengan metode tertentu untuk memperoleh dan
meningkatkan kekebalan spesifik. Vaksin atau antigen berfungsi untuk
memacu sel-sel limfosit dalam meproduksi antibodi (Klesius dkk,2001).
Menurut Ellis(1998) bahwa , vaksin merupakan cara imunisasi aktif dengan
cara meningkatkan daya tahan tubuh ikan. Vaksinasi dapat dilakukan dengan
metode rendaman,oral maupun suntikan.

Vaksinansi didasarkan pada prinsip ketika mikroorganisme patogen


(misalnya bakteri atau virus ) menginfeksi inang, maka sistem kekebalan tubuh
inang akan bereaksi untuk mengusirnya. Bila ikan terpapar kembali dengan
mikroorganisme yang sama, maka sistem kekebalan inang akan melakukan
respon imun yang lebih baik karena sudah mengenal antigen tersebut. Hal ini
yang disebut sebagai respon memori atau kekebalan adaptif. Vaksinasi meniru
mekanisme infeksi patogen dan merangsang sistem kekebalan ikan dalam
melawan patogen tersebut, tetapi vaksin tidak menyebabkan penyakit.

Vaksin harus mampu menginduksi respon imun dalam level yang


cukup untuk melindungi ikan dari serangan patogen tertentu. Kemampuan
vaksin dalam menginduksi kekebalan sangat tergantung dari proses
pembuatan antigennya. Terkadang patogen penyakit tidak dapat dikendalikan

71
dengan vaksin konvensional dapat dilakukan dengan menambahkan adjuvant
kedalam vaksin untuk meningkatkan tingkat perlindungan (level of protection)
dan lamanya kekebalan ( duration of immunity ). Adjuvan bekerja dengan cara
melakukan pelepasan antigen secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang
lama sehingga dapat meningkatkan respon imun ikan dan menimbulkan
respon inflamasi (peradangan ) sehingga menarik leukosit kelokasi
peradangan. Selanjutnya leukosit akan mengambil antigen dan membawanya
ke jaringan limfoid dimana antigen –presenting cell akan menyajikan antigen
ini ke sel limfosit.( Thompson, 2004 ).

Ada beberapa kondisi dimana penggunaan vaksin mungkin kurang


efektif, misalnya pada benih umur sebelum satu minggu atau ikan yang
mengalami stress karena transportasi atau padat tebar yang tinggi (
immunosupreseed ).hal seperti ini dapat diatasi dengan penggunaan
immunostimulan. Immunistimulan bekerja dengan cara mengaktifkan sistem
kekebalan alami (innate immune system ) baik komponen kekebalan seluler
maupun humoral. Komponen kekebalan seluler meliputi sel fagosit (makrofag
dan sel granulosit ), sel sitosik dan sel pembunuh alami (naturall killer cell ).
Sedangkan komponen kekebalan humoral meliputi opsonin, sistem litik,
antiprotease, peptide antibakteri, metal binding protein dan interferon. Zat
aktif immuostimulan yang dipakai diakuakultur terutama mengandung glukan,
peptidoglycan, lipopolisarida, chitin, laktoferin, levamisole, mikronutrisi
seperti vitamin B dan C dan proklatin (Sunarto et al 200).

72
b. Jenis-jenis vaksin

Menurut Agus, (2012 ) Berdasarkan proses pembuatannya vaksin


dapat digolongkan menjadi :

a ) Vaksin in-aktif yaitu vaksin yang dibuat dari mikroorganisme yang telah
dimatikan (in-aktif). Vaksin jenis ini diinaktivasi dengan menggunakan
formalin atau pemanasan. Jenis vaksin ini sangat efektif menginduksi
respon antibodi humoral tetapi kurang efektif merangsang kekebalan
selular maupun respon mucosal. Beberapa contoh vaksin jenis ini adalah
vaksin V.anguilarrum, V.salmonicida, V. ordalii

b )Vaksin hidup yang dilemahkan (live-attenuated vaccine ) yaitu vaksin yang


dibuat dari mikroorganisme hidup yang dilemahkan. Jadi vaksin ini seperti
infeksi oleh patogen tetapi menimbulkan penyakit. Degan vaksin ini,
sistem kekebalan inang terpapar dengan antigen dalam waktu yang lama
sehingga efektif dalam merangsang sistem kekebalan selular dan
menginduksi respon memori. Namun kelemahan vaksin jenis ini adalah
adanya kemungkinan mikroorganisme menjadi ganas kembali. Hal inilah
yang menyebabkan vaksin hidup sulit mendapatkan ijin untuk digunakan
secara komersil. Namun demikian, dengan kemajuan dalam bidang
rekayasa genetic, maka gen penyebab virulensi dapat dihilangkan
sehingga kecil kemungkinan mikroorganisme dapat menjadi ganas
kembali.

c) Vaksin sub-unit yaitu vaksin yang dibuat dari bagian/komponen


mikroorganisme misalnya molekul makro kapsul polisakarida, exotoksin,
atau protein rekombinan hasil rekayasa genetik. Vaksin rekombonian
73
diperoleh dengan cara mengkloning gen dari suatu patogen kedalam
bakteri/jamur. Bakteri dan jamur inilah yang akan menjadi pabrik untuk
memproduksi protein imunogenik. Teknologi vaksin rekombinian sangat
cocok dipakai untuk membuat vaksin dari patogen yang sulit dikultur
massal seperti virus. Vaksin ini cukup aman karena hanya mengambil
sebagian komponen mikroorganisme untuk digunakan sebagai vaksin,
maka kekhawatiran mikroorganisme menjadi ganas kembali seperti pada
vaksin hidup dapat dihindari.

d ) Vaksin DNA, yaitu vaksin yang dibuat dari DNA (gen ) yang mengkode
protein imunogenik dari patogen target. Gen imunogenik dari suatu
patogen dikloning kedalam plasmid dan pasmid ini kemudian disuntikkan
ke ikan. Gen akan terekspresi secara extrachromosal (diluar kromoson
ikan ) untuk memproduksi protein imunogenik yang merangsang sistem
kekebalan ikan spesifik ikan.

Berdasarkan jumlah/ jenis antigen yang digunakan, vaksin dibagi


menjadi vaksin monovalen (satu jenis antigen ), bivalen (dua jenis antigen ),
multivalent / polyvalent (beberapa jenis antigen ).

c. Persyaratan vaksinasi pada ikan

Proses induksi kekebalan umumnya mulai dapat terdeteksi setelah 1-


3 minggu dari saat pemberian vaksin. Idealnya, vaksinasi dilakukan lebih dari
satu kali. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa antibodi yang diperoleh
pada vaksinansi pertama (priming) relatif rendah,karena pada tahap tersebut
lebih banyak sebagai tahap pengenalan atau lebih umum dikenal sebagai
tahap memorizing terhadap antigen. untuk menghindari terjadinya peluruhan

74
antibodi maka dilakukan booster (vaksinanasi ulang ) untuk mempertahankan
level antibodi hingga mencapai level protektif. Keberhasilan program vaksinasi
tidak hanya ditentukan oleh keampuhan dari vaksin yang digunakan, tetapi
juga sangat ditentukan oleh bagaimana dan kapan sebaiknya vaksin itu
diberikan. Oleh karena itu, ada beberapa persyaratan yang sebaiknya
diperhatikan sebelum melakukan vaksinasi terhadap ikan, sebagai berikut ;

a) Sebaiknya ikan telah berumur 3 minggu atau lebih, karena pada umur
kurang dari 3 minggu, organ-organ yang berperan dalam sistem
pembentukan antibodi belum berkembang sempurna. Organ-organ
yang terlibat dalam sistem kekebalan ikan meliputi reticula
endothelial, limfosit, plasmoit dan fraksi serum protein tertentu.
b) Status kesehatan ikan harus dalam kondisi optimal, ikan yang sedang
sakit misalnya karena terinfeksi patogen parasitik sebaiknya jangan
divaksinasi terlebih dahulu sebelum parasit tersebut diberantas.
c) Suhu air relatif hangat (> 26o C). Vaksinasi ikan pada suhu air >26
o
C, respon antibodi yang terbentuk akan lebih cepat dibandingkan
dengan suhu air yang lebih rendah.
d) Air yang digunakan untuk melakukan vaksinasi dan pemeliharaan ikan
harus bebas dari unsur polutan. Air yang mengandung unsur polutan
akan menghambat proses pembentukan antibodi (immunosupressif)
dalam tubuh ikan.

Kualitas Air
Kualitas air media pemeliharaan sangat berperan dalam menunjang
keberhasilan produksi benih kerapu macan. Kualitas air yang berperan
terhadap kelangsungan hidup pada pertumbuhan ikan kerapu macan meliputi
suhu air, oksigen terlarut, kadar garam, pH air, ammonia dan nitrit.
75
Kelarutan oksigen merupakan faktor lingkungan yang terpenting bagi
pertumbuhan ikan. Kandungan oksigen yang rendah dapat menyebabkan ikan
kehilangan nafsu makan sehingga mudah terserang penyakit, pertumbuhannya
terhambat bahkan menyebabkan kematian. Biota air membutuhkan oksigen
sebagai penunjang kebutuhan lingkungan bagi species tertentu dan kebutuhan
konsumtif yang dipengaruhi oleh kebutuhan metabolisme.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan ini dilakukan pada tahun anggaran 2013 (Agustus -


Desember) bertempat di Unit Pembenihan Kerapu dan Beronang Balai
Budidaya Air Payau Takalar, Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong
Selatan Kabupaten Takalar.
Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
No. Nama Alat Kegunaan

1. Bak beton volume 3 ton Wadah pemeliharaan

2. Peralatan aerasi Suplai oksigen

3. Filter bag Menyaring air media

4. Seser Menangkap ikan

5. Timbangan elektrik Menimbang ikan & media TCBS

6. Mistar Mengukur panjang ikan sampel

7. Peralatan tulis Mencatat hasil sampling

8. Cawan petri Tempat media kultur bakteri

Api Bunsen
76
9. Thermolyne Sterilisasi jarum ose

10. Pisaubedah Memanaskan larutan TCBSA

11. Jarum ose Membedah organ dalam ikan

12. Erlenmeyer Mengambil bakteri dari badan


ikan
13. Tabung reaksi
Tempat mencampur media
14. Micropipet Sentrifuge bakteri

15. Tempat menyimpan larutan


Inkubator shake bakteri
16.
Autoklaf Mengambil larutan bakteri
17. Mikrobact24 E
Memisahkan supernatant
18. Jarum suntik bakteri
19. Hemacitometer Tempat menginkubasi biakan
20. bakteri
Mikrosop
21. Tempat mensterilkan media

22. Wadah mengidentifikasi bakteri


vibrio

Menyuntik ikan dengan vaksin

Menghitung sebaran dan jumlah


bakteri

Pengamatan jumlah & morfologi


bakteri

77
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
No. Nama Bahan Kegunaan

1. Air laut Media pemeliharaan

2. Ikan baronang Hewan uji

3. Isolat murni bakteri vibrio Obyek penelitian / uji tantang

4. Vaksin polivalen Bahan vaksin

5. Triptic Soy Agar (TSA) TCBSA Media identifikasi bakteri umum


Nutrient Agar
6. (NA) Media identifikasi bakteri spesifik

7. KRA 3 Suplemen untuk bakteri vibrio

8. Aquades Pakan ikan baronang


Pewarnaan Gram Ryu
9. Campuran media TSA dan TCBSA
Reagen Microbact
10. Pewarnaan morfologi bakteri
Minyak emersi
11. Pereaksi untuk identifikasi spesies vibrio

12. Mengikat obyek dalam preparat

Prosedur Kerja

Perekayasaan ini dilakukan dengan menggunakan bak beton


3
berukuran 2,18 x 1,56 x 1 m (volume efektif 3 ton) dalam ruangan semi

78
outdoor sebanyak 3 buah bak (Bak A; Bak B dan Bak C) dengan perlakuan
sebagai berikut :

- Perlakuan A: Ikan uji akan disuntik dengan metode vaksin priming


(satu kali suntik ) dengan dosis 0,2 ml/ikan dan diuji tantang
dengan bakteri vibrio berdasarkan dosis lethal concentration.
- Perlakuan B : Ikan uji akan disuntik dengan metode vaksin
booster (dua kali suntik ) dengan dosis 0,1 ml/ikan setiap
penyuntikan dengan rentang waktu 7 hari dan diuji tantang
dengan bakteri vibrio berdasarkan dosis letal konsentrasi.
- Perlakuan C: Ikan uji akan disuntik dengan metode vaksin
booster (dua kali suntik ) dengan dosis 0,1 ml/ikan setiap
penyuntikan dengan rentang waktu 14 hari dan diuji tantang
dengan bakteri vibrio berdasarkan dosis letal konsentrasi.
- Perlakuan D: (Kontrol) Ikan uji hanya disuntik dengan larutan PBS
tanpa disuntik bakteri.

Prosedur yang dilakukan dalam kegiatan perekayasaan ini adalah


adalah sebagai beikut :

1) Persiapan wadah & media


Wadah yang digunakan dalam kegiatan ini berupa bak beton dengan
volume efektif 3 ton. Hewan uji yang digunakan adalah ikan baronang dengan
berat rata-rata 100 gram ( ± 1 gram). Jumlah hewan uji pada setiap unit
kegiatan adalah 20 ekor/bak. Sebelum pelaksanaan kegiatan, hewan uji
diadaptasi dalam wadah pemeliharaan selama 7 hari.

2) Penyediaan Vaksin

79
Vaksin yang digunakan adalah CAPRIVAC VIBRIN- L produksi PT
Caprifarmindo Laboratories, Bandung – Indonesia. Seperti yang diketahui
bahwa vaksin adalah imunogen yang mampu menginduksi sistem pertahanan
spesifik (antibody spesifik) ikan dan hanya melakukan perlawanan sesuai
dengan jenis antigen yang pernah menyerang sebelumnya. Vaksin yang akan
digunakan dalam kegiatan ini adalah vaksin vibrio polivalen yang memiliki
empat antigen dan mampu menangkal serangan bakteri penyebab penyakit
vibriosis. Kandungan bakteri atau antigennya sebagai berikut; Vibrio Camplelli
2J2 ( 2,5 x 106 CFU ), Vibrio Algylinoticus 24 SK ( 2,5 x 10 6 CFU), Vibrio
fluvialis 16G ( 2,5 x 106 CFU) dan Vibrio sp 2SA ( 2,5 x 106 CFU).

Isolasi bakteri dari ikan


a. Kultur & isolasi bakteri
Sebelum melakukan isolasi bakteri, ikan donor dilakukan infeksi
dengan sediaan antigen dari laboratorium dengan cara disuntik, metode
ini dikenal dengan sistem pengganasan, karena walau bagaimanapun
bakteri yang telah lama tersimpan akan menurun virulensinya. Isolasi
bakteri dilakukan dilaboratorium atau tempat tidak ada hembusan angin,
hal ini dilakukan secepat mungkin untuk mencegah kontaminasi
(Yuasa,2003). Pengambilan bakteri dilakukan pada organ dalam ikan
dengan pertimbangan bahwa organ dalam akan lebih cepat terinfeksi
apabila pengganasan bakteri dilakukan dengan cara penyuntikan.
Metode inokulasi bakteri dari organ dalam sebagai berikut ;

- Membersihkan permukaan tubuh ikan dengan kapas beretanol


70%.

80
- Membedah ikan dan buka rongga perut dengan peralatan bedah
yang steril dan diusahakan tidak melukai usus.
- Menggunting permukaan tiap organ dalam dengan pisau bedah
steril.
- Masukkan jarum ose yang telah dibakar untuk mengambil sampel
jaringan dan sebar ke agar (Media TCBSA ).
- Bakteri umumnya diisolasi dari limpa, ginjal dan hati.
- Biakan bakteri diinkubasi pada suhu 28-37 °C selama 24-48 jam.

b. Identifikasi Bakteri
Koloni bakteri yang diisolasi dari ikan,biasanya mengandung
bakteri lingkungan. Bakteri ini harus dipisah atau dibuang dengan
menggunakan media kultur spesifik misal media TCBSA yang hanya bisa
ditumbuhi dengan baik oleh bakteri vibrio sehingga keberadaan koloni
bakteri lain dapat dihilangkan. Pathogen pada luka ikan yang terinfeksi
biasanya tumbuh dominan sehingga koloni yang jumlahnya dominan
pada kultur media dianggap sebagai pathogen utama (Yuasa, et,al 2003).

Identifikasi bakteri yang dilakukan melalui berbagai tahap yakni


identifikasi morfologi koloni dengan media biakan TCBSA dan TSA,
identifikasi umum morfologi bakteri dengan pewarnaan gram, katalase
dan oksidasi. Identifikasi pewarnaan gram dilakukan dengan bantuan
mikroskop. Identifikasi secara morfologi/meliputi bentuk koloni, warna,
sifat tembus cahaya, bentuk pinggiran dan permukaan koloni. Sementara
untuk identifikasi morfologi bakteri dilakukan dengan menggunakan
pewarnaan gram dibawah mikroskop (1000x ). Dengan pewarnaan Gram,
dapat dibedakan antara Gram positif dan Gram negative. Gram positif
berwarna biru dan Gram negative berwarna merah. Bakteri Vibrio sp
81
sendiri teriidentifikasi sebagai gram negative dengan batang berbentuk
koma dan ukuran 1,02 x 0,5-0,8 µm.:

Uji patogenitas
Uji patogenitas dilakukan untuk mengkonfirmasi apakah bakteri
patogen yang berhasil diisolasi dari ikan baronang yang sakit mampu
menginfeksi kembali ikan baronang yang sehat dengan gejala yang sama. Uji
patogenitas ini juga untuk menentukan nilai lethal konsentrasi (penyebab
kematian) yang nantinya digunakan sebagai dosis dalam perlakuan uji tantang
dengan vaksin vibrio.

a. Menghitung jumlah bakteri dalam larutan yang digunakan untuk


infeksi
Sebelum dilakukan uji patogenitas atau uji virulensi dilakukan
penghitungan jumlah bakteri terlebih dahulu. Jumlah bakteri dapat
diduga dengan menghitung jumlah koloni pada agar atau melakukan
penghitungan dengan bantuan haemasitometer dimikroskop, dan untuk
menghitung jumlah bakteri pada agar yang tersedia dalam bentuk
larutan, langkah kerjanya sebagai berikut :

- Hitung jumlah bakteri yang diambil dengan mikro pipet sebanyak


0,1 ml dengan menggunakan haemasitometer
- Encerkan larutan bakteri dengan larutan Nacl 0,9% pada tabung
reaksi dengan pengenceran kelipatan 10 sampai 10-6
- Inokulasi larutan bakteri dengan pengenceran 10 5 pada tempat
yang terpisah sebanyak 0,1 ml
- Inkubasi pada suhu kamar selama 1-2 hari

82
- Bakteri siap digunakan

b. Uji pathogen dengan metode suntik


Langkah-langhak kerja untuk uji pathogen dengan metode suntik
intraperitoneal adalah sebagai berikut :

- Bakteri yang sudah dihitung diinokulasi pada larutan agar dan


diinkubasi pada suhu 28-37 °C selama 24-48 jam.
- Ambil larutan bakteri dengan spoit dengan dosis 10 2 sel/ml, 103
sel/ml, 104 sel/ml, 105 sel/ml dan 106 sel/ml
- Suntikkan 0,2 ml larutan bakteri setiap dosis ke ikan sehat secara
intraperitoneal
- Ikan yang telah disuntik kemudian dipelihara dalam media
terkontrol dan kualitas lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan
ikan.
- Catat gejala klinis ikan dan waktu terjadinya kematian atau
mortalitas pada ikan.

Vaksinasi
Vaksinasi dilakukan dengan cara menyuntikkan ikan baronang uji
secara intraperitonial. Perlakuan pertama adalah menyuntikkan ikan dengan
dosis 0,2 ml / ikan dengan satu kali suntikan (priming), sementara perlakuan
kedua dilakukan dengan menyuntikkan ikan dengan vaksin 0,1 ml / ikan untuk
penyuntikan pertama dan dilakukan penyuntikan susulan (booster ) juga
dengan dosis yang sama yakni 0,1 ml / ikan setelah 7 hari dari penyuntikan
awal. Perlakuan ketiga juga dilakukan booster dengan dosis yang sama namun

83
interval waktu penyuntikan susulan lebih lama yakni 14 hari. Sementara
perlakuan yang keempat adalah kontrol yakni ikan dilakukan penyuntikan
dengan larutan PBS (Purifer buffer saline) tanpa vaksin. Ikan kemudian
dipelihara pada kondisi lingkungan yang memenuhi syarat.

Uji Tantang
Kultur murni bakteri Vibrio alginolyticus yang virulen (hasil pasase)
pada media TSA akan dipanen dan disuntikkan kepada ikan baronang uji baik
vaksin priming, vaksin booster maupun kontrol secara intraperitonial sebanyak
0,1 ml dengan dosis berdasarkan hasil uji patogenitas dalam penentuan Letal
konsentrasi. Penyuntikan bakteri dilakukan secara bersamaan untuk semua
perlakuan. Penyuntikan dilakukan setelah satu minggu dari booster terakhir.
Ikan akan dipelihara selama 2 minggu setelah diuji tantang dan dihitung RPS (
Relatif Percentage Survival ).

Tahap Pemeliharaan
Ikan yang telah divaksin dan diuji tantang akan dipelihara dengan
waktu minimal 1 bulan. Selama pemeliharaan ikan akan diberi pakan KRA 3
dengan dosis 3 % dari Berat badan dan diberi 3 kali perhari yakni pukul 08. 00,
12.00, dan 16.00. Untuk penanganan kualitas air media dilakukan penyiponan
dan pemeliharaan ikan sistem sirkulasi.

Pengukuran Peubah
Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah Tingkat Kelangsungan
Hidup (SR), Relative Percent Survival (RPS), Prevalensi, dan Pertumbuhan
Mutlak.
a. Pengukuran Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)

SR = (Nt/No) x 100%
84
Dimana :
SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor)
No = Jumlah hewan uji pada awal pengujian (ekor)

b. Pertumbuhan Berat Mutlak


Pengukuran pertumbuhan bobot biomas mutlak larva di hitung
berdasarkan rumus Effendie (1979) sebagai berikut :

W = Wt - Wo

Dimana :

W = Pertumbuhan mutlak individu (gram).

Wt = Bobot biomassa hewan uji pada akhir penelitian

(gram)

Wo = Bobot biomassa hewan uji pada awal penelitian

(gram)

c. Pengukuran RPS (Relative Percentage Survival)

RPS ( Relative percentage survival ) adalah tingkat persentase ikan


yang sembuh dari serangan bakteri. RPS > 60 % membuktikan bahwa
vaksin tersebut telah bekerja efektif dan apabila hasil RPS < 60%
maka vaksin tersebut tidak berjalan secara efektif atau tidak layak
digunakan (Hambali 2013 ). Adapun rumusnya adalh sebagai berikut:

85
RPS = 1- ( MrV/ MrC ) x 100 %

Dimana RPS = Relative percentage Survival

MrV = Mortalitas ikan vaksin

MrC = Mortalitas ikan kontrol

d. Prevalensi
Prevalensi adalah persentase jumlah ikan yang sakit yang
menggambarkan kondisi tertentu dalam periode waktu tertentu
(Period Prevalence). (Desrina 2007).

Prev = ( Jk / Jp ) x 100 %

Dimana:Prev = Prevalensi

Jk = Jumlah kasus ikan sakit

Jp = Jumlah populasi ikan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)


86
Tingkat kelangsungan hidup hewan uji uji atau survival rate (SR)
adalah merupakan persentase dari jumlah hewan uji yang hidup pada akhir
penelitian dengan jumlah hewan uji pada awal penelitian yang dipelihara
dalam suatu unit penelitian (Effendie 1985 ). Hasil perhitungan SR ikan
beronang yang disuntik vaksin dan diuji tantang dengan bakteri vibrio adalah
sebagai berikut.

Tabel 1. Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Beronang Setelah Uji


Tantang.

Survival Rate (SR)


RATA-RATA
PERLAKUAN Siklus I Siklus II Siklus III

Bak A 60% 60% 40% 53,33%

Bak B 80% 60% 80% 73,33%

Bak C 100% 80% 80% 86,67%

Bak D 0% 20% 0% 6,67%

Berdasarkan Tabel 1 maka terlihat bahwa SR atau tingkat kelulusan


hidup ikan baronang tertinggi didapatkan pada Bak C (booster vaksin 2
minggu) dengan persentase rata-rata mencapai 86,67%, kemudian diikuti Bak
B (booster vaksin 1 minggu) dengan persentase rata-rata mencapai 73,33%,
selanjutnya Bak A (priming/penyuntikan satu kali) dengan persentase rata-rata

87
mencapai 53,33%, dan yang terendah adalah pada Bak D (kontrol/tanpa
vaksin) dengan persentase rata-rata mencapai 6,67%. Hasil yang didapatkan
ini ini senada dengan pernyataan Jhonny (2004 ) bahwa ikan yang divaksin
booster dapat menstimulan antibodi sampai dengan level protektif sehingga
peluang ikan untuk menjadi sakit lebih kecil dan akan memperkecil peluang
ikan untuk mati sehingga nilai SR nya tinggi.

Tingginya tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada


perlakuan yang menggunakan vaksin dibandingkan dengan kontrol,
menunjukkan bahwa dengan pemberian vaksin dapat meningkatkan
kelangsungan hidup secara signifikan dibandingkan dengan tanpa
menggunakan vaksin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

90%

80%

70%

60%

50%

40%

30%

20%

10%

0%
Bak A Bak B Bak C Bak D

Gambar 4. Survival Rate Rata-Rata Ikan Uji selama Kegiatan Berlangsung

88
Pada Gambar 2. terlihat bahwa pada perlakuan vaksin dengan sistem
booster (Bak B dan Bak C) menunjukkan nilai kelangsungan hidup yang cukup
tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan aflikasi vaksin yang diberikan secara booster mampu meningkatkan
level antibodi dan daya memorizing terhadap antigen spesifik yang masuk.
Meskipun hasil antara Booster 2 minggu (Bak C) dan booster 1 minggu (Bak B)
menunjukkan hasil yang tidak berbeda secara signifikan tetapi lebih
disarankan untuk menggunakan metode vaksin booster 2 minggu karena
terbukti lebih tinggi tingkat sintasan ikan yang diuji tantang dengan bakteri
vibrio.

Sementara itu tingkat kelulusan hidup ikan yang divaksin dengan


metode priming yang hanya sedikit diatas 50% (Bak A), hal ini diduga
disebabkan proses pengenalan vaksin dengan jumlah dosis yang terlalu banyak
juga tidak mampu memberikan efek stimulan antibodi. Kuat dugaan terjadi
peluruhan antibodi dalam rentang waktu sampai ikan disuntik uji tantang
dengan bakteri pathogen vibrio sehingga antibodi yang terbentuk tidak
maksimal dan tidak mencapai konsentrasi protektif. Antibodi yang tidak
berkembang secara penuh ini bisa diakibatkan adanya kondisi lingkungan yang
berubah - ubah terutama suhu dan salinitas yang berubah karena pengaruh
hujan sehingga ikan mengalami kondisi stressor. Hal lain yang sering membuat
ikan stress adalah penanganan disaat sampling atau kondisi air yang
mengandung banyak polutan. Selain itu pergantian air juga ditenggarai
memiliki andil yang besar bagi meningkatnya stress ikan uji.

Untuk menghindari cepatnya menurun jumlah antibodi maka


disarankan memberikan adjuvant dimana adjuvant ini berfungsi sebagai depot
89
penampungan vaksin dan akan mengeluarkan vaksin sedikit demi sedikit dan
dalam jangka waktu yang lama. Selain penggunaan adjuvant dapat juga
dilakukan pemberian imunostimulan.

RPS (Relative Percentage Survive )

Relative Percentage Survival ( RPS ) adalah tingkat persentase ikan


yang bertahan hidup dari serangan bakteri. RPS ini didasarkan atas kematian
ikan yang terjadi setelah uji tantang. Kematian diamati setiap hari selama 15
hari. RPS ini ditentukan berdasarkan formula, RPS = 1 – (v/k) x 100%, dengan v
adalah mortalitas ikan yang divaksin (%) dan k adalah mortalitas ikan kontol
(%). RPS > 60 % membuktikan bahwa vaksin tersebut telah bekerja efektif dan
apabila hasil RPS menunjukkan nilai < 60% maka vaksin tersebut tidak berjalan
secara efektif atau tidak layak digunakan (Hambali 2013 ). Hasil RPS dari ikan
yang divaksin dapat dilihat pada Tabel 2..

Tabel 2. Hasil Perhitungan Relative Percentage Survival (RPS) pada


Setiap Bak Pemeliharaan.

MORTALITAS
RATA- RPS
KODE BAK
RATA
SIKLUS I SIKLUS II SIKLUS III

90
Bak A (Prming) 8 8 12 9,33 50%

Bak B (Bo1M) 4 8 4 5,33 72%

Bak C (Bo2M) 0 4 4 2,67 86%

Bak D (Kontrol) 20 16 20 18,67 0%

Dari hasil yang tertera diatas terlihat bahwa metode vaksin dengan
cara booster 2 minggu mencapai nilai RPS tertinggi yakni 86 %. Nilai RPS yang
tinggi menunjukkan adanya perlawanan antibodi yang terbentuk hasil
stimulan vaksin terhadap bakteri patogen vibrio. Dalam penelitian uji tantang,
memperlihatkan bahwa daya kerja bakteri pathogen terlihat pada hari kedua
uji tantang, namun ikan pada perlakuan vaksin booster mampu bertahan dan
menjadi sehat kembali.

Kemampuan ikan bertahan dari serangan bakteri pathogen vibrio ini


menunjukkan bahwa antibodi melalui stimulan vaksin caprivac vibrin L dapat
terbentuk dengan sangat cepat dan mencapai level protektif tidak sampai dua
hari setelah uji tantang. Vaksin yang masuk pertama kali akan direspon oleh
limfosit darah ikan dengan cara membentuk sel B dan sel B inilah yang
membentuk antibodi spesifik dan melakukan proses memorizing (pengenalan
reseptor ) sehingga ketika vaksin atau antigen spesifik masuk untuk yang
kedua kalinya sistem imun atau limfosit akan menghasilkan antibodi dalam
jumlah yang cukup untuk protektif karena telah terjadi pengenalan antigen
tersebut sebelumnya.

91
Hal yang juga berpengaruh terhadap meningkatnya antibodi ikan
0
adalah suhu. Suhu yang berkisar 26 C mampu menstimulan antibodi dengan
sangat cepat (Desrina 2007), selain itu kondisi ikan juga sangat berpengaruh
bagi efektifitas kerja vaksin. Ikan yang dalam kondisi stress mengalami kondisi
imunopressur dan membuat ikan tidak bisa menghasilkan antibodinya. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 2.

100

80

60

40

20

0
Priming Bo1M Bo2M Kontrol

Gambar 2. Histogram RPS (Relative Percentace Survival ) Rata-Rata Ikan


Uji pada setiap Bak Pemeliharaan.

Pada Gambar 2 terlihat bahwa pada perlakuan dengan menggunakan


vaksin menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Nilai RPS rata-rata antara
booster 1 minggu (Bak B) dan booster 2 minggu (Bak C) tidak berbeda secara
signifikan tetapi berbeda secara signifikan dengan metode priming (Bak
A).Nilai RPS rata-rata priming yang hanya 50% memperlihatkan bahwa metode
priming tidak cocok untuk diterapkan dalam pencegahan penyakit vibrio.
Seperti dikemukan dalam pembahasan SR sebelumnya bahwa pada metode

92
priming, terjadi peluruhan hampir semua antibodi sebelum dilakukan uji
tantang sehingga tidak mampu memberikan efek perlindungan dari serangan
bakteri vibrio.

Dalam rangkuman penelitian yang dilakukan Desriana 2007 , hasil


yang hampir sama juga dilaporkan oleh Rahman dan Kawai (1999) pada ikan
mas koki, Collado et al., (2000) pada ikan sidat, Rahman et al. (2002) pada ikan
mas, Qian et al.,(2008b) pada ikan large yellow croacker dan Cai et al. (2010)
pada ikan Lutjanus erythroptherus dimana nilai RPS ikan vaksin dengan cara
booster yang didapatkan pasca uji tantang berkisar antara 70-80. Perlu
disampaikan bahwa semua peneliti di atas menggunakan dosis yang lebih
tinggi dari yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan ini dan menggunakan
vaksin sub unit.

Prevalensi

Prevalensi adalah persentase jumlah ikan yang sakit yang


menggambarkan kondisi tertentu dalam periode waktu tertentu (Period
Prevalence) (Desrina 2007). Pengamatan ikan sakit dilakukan segera setelah
selesai uji tantang. Pengamatan dilakukan dengan memperhatikan gejala klinis
ikan perlakuan dan mencatatnya. Gejala klinis yang terlihat dari ikan yang
terkena serangan bakteri vibrio yakni terjadinya pelepasan mucus (lendir),
perubahan warna (melanosis), red mouth (bibir merah), haemoragik (borok),
edema (Irianto 2005) dan dalam tingkat yang sangat parah terjadinya
pengelupasan sirip (gripis) dan pop eye (mata bengkak) (Murdjiman 2004 ).
Nilai prevalensi ikan yang didapatkan selama kegiatan berlangsung dapat
dilihat pada Tabel 3.

93
Tabel 3. Nilai Prevalensi Rata-Rata Ikan Beronang yang Didapatkan
selama Kegiatan Berlangsung.

WAKTU PENGAMATAN
PREVALENSI
KODE BAK TOTAL
SIKLUS RATA-RATA
SIKLUS I SIKLUS II
III

Bak A (Priming) 8 8 12 28 46,67%

Bak B (Bo1M) 4 8 8 20 33,33%

Bak C (Bo2M) 0 4 8 12 20,00%

Bak D (Kontrol) 20 20 20 60 100%

Hasil pengamatan prevalensi pada Tabel 3. memperlihatkan bahwa


semakin lama selang waktu booster, daya tahan tubuh ikan meningkat. Hasil
yang didapatkan pada Bak C memperlihatkan bahwa dengan sistem booster
dengan selang waktu 2 minggu sangat efektif dalam mengurangi nilai
prevalensi ikan yang telah diuji tantang. Hal ini disebabkan karena proses
induksi kekebalan spesifik terbentuk setelah 2 minggu dan proses
94
peluruhannya berlangsung dalam jangka yang cukup lama yakni sekitar lebih
dari 2 bulan. (Agus, 2013). Selain itu booster 2 minggu ini mampu merangsang
limfosit untuk tetap menghasilkan sell B yang memiliki sifat memorizing
sehingga apabila ikan terpapar dengan antigen yang sama maka akan dengan
cepat direspon dengan membentuk antibodi dalam jumlah yang cukup.

Meski pada tahap awal uji tantang, ikan yang divaksin


memperlihatkan gejala klinis berupa terjadinya pelepasan mucus atau lendir,
namun hal ini adalah kondisi normal dimana pertahanan non spesifik terutama
pelindung fisik (barrier physic ) mulai melakukan perlawanan (Hambali 2013 ).
Apabila pertahanan non spesifik ini mulai tertembus maka, pertahanan non
spesifik berupa antibodi akan mulai bekerja untuk melakukan perlindungan.

Hasil pengamatan dari perlakuan ini memperlihatkan bahwa daya


kerja pertahanan non spesifik ikan hanya bekerja maksimal dalam rentang
waktu dua hari, hal itu terbukti bahwa ikan yang tidak terlindungi dengan
vaksin mulai memperlihatkan gejala sakit yang akut bahkan mulai mati
sebelum hari ke 5 uji tantang. Hal ini membuktikan bahwa perlindungan ikan
dari serangan bakteri tidak hanya bisa dilakukan dengan pertahanan non
spesifik. Grafik nilai prevalensi rata-rata yang didapatkan pada setiap
perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3..

95
100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Bak A Bak B Bak C Bak D

Gambar 3. Histogram Prevalensi Ikan Rata-Rata pada Setiap


Perlakuan.

Pada Gambar 3.terlihat nilai prevalensi rata-rata yang terendah


didapatkan pada perlakuan dengan sistem booster 2 minggu (Bak C),
kemudian diikuti Bak B (sistem booster 1 minggu), selanjutnya Bak A (sistem
priming), dan yang paling tinggi adalah Bak D (kontrol). Dua perlakuan booster
pada perlakuan ini menempati urutan terendah dalam prevalensi karena ikan
yang disuntik dengan metode ini berhasil sembuh. Selain karena efektifitas
vaksin, metode vaksinnya yang berupa metode booster sangat berpengaruh
dalam menginduksi kekebalan spesifik ikan baronang sehingga ikan mampu
bertahan dari serangan bakteri.

Hal lain yang juga turut mempengaruhi nilai prevalensi ikan adalah
faktor eksternal, seperti pemeliharaan ikan pada kondisi lingkungan yang
optimun juga berpengaruh pada membaiknya tingkat kesehatan ikan sehingga

96
nilai prevalensinya rendah. Selain itu hal yang juga dapat dilakukan untuk
menurunkan nilai prevalensi ikan yaitu menambahkan immunostimulan pada
pakan ikan. Immunistimulan yang digunakan berupa vitamin C, asam amino
dan vitaliquid.

Pertumbuhan Berat Mutlak

Pertumbuhan mutlak Ikan baronang diukur pada akhir kegiatan, yaitu


dengan menimbang langsung hewan uji yang berhasil bertahan hidup sampai
akhir kegiatan berlangsung. Hasil pengukuranpertumbuhan berat mutlak rata-
rata pada setiap perlakuandapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Pengukuran Pertumbuhan Berat Mutlak Rata-Rata


pada Setiap Perlakuan.

Berat Awal Berat Akhir Pertumbuhan Berat


Kode Bak Rata-rata (wo) Rata-rata (wt) Mutlak Rata-rata (gr)
(gr) (gr)

Bak A 108 124,00 16,00

Bak B 108 127,33 19,33

Bak C 108 128,66 20,66

Bak D 108 117,00 9,00

Nilai pertumbuhan berat mutlak ikan seperti yang terlihat pada Tabel
4. memperlihatkan bahwa hasil pertumbuhan terbaik didapatkan pada

97
perlakuan booster 2 minggu dengan nilai 20.66 gr,hal ini berbanding lurus
dengan hasil tingkat kelangsungan hidupnya yang cukup tinggi. Tingginya nilai
pertumbuhan yang didapatkan pada perlakuan ini dikarenakan ikan tidak
terlalu mengalami kondisi sakit sehingga laju metabolisme dalam tubuhnya
tidak terganggu dan pada akhirnya pertumbuhannnya juga ikut baik. Selain itu
karena ikan tidak terlalu mengalami kondisi sakit sehingga energi yang
didapatkan dari asupan pakan sebagian besar digunakan untuk bertumbuh.
Adapun grafik pertumbuhan ikan beronang yang didapatkan selama kegiatan
berlangsung dapat dilihat pada Gambar 4.

25

20

15

10

0
Bak A Bak B Bak C Bak D

Gambar 4. Grafik Pertumbuhan Berat Mutlak Ikan Beronang yang


Didapatkan Selama Kegiatan Berlangsung.

98
Pengukuran Kualitas Air

Selama kegiatan berlangsung dilakukan pengukuran parameter fisika-


kimia air media pemeliharaan pada setiap bak pemeliharaan yang
meliputi:suhu, pH, oksigen terlarut dan amoniak. Nilai kisaran parameter
kualitas air yang didapatkan dapat dilihat Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Pengukuran Beberapa Parameter Kualitas Air Media


Pemeliharaan Ikan Beronangpada Setiap Perlakuan.

Parameter PERLAKUAN
Kualitas Air BAK A BAK B BAK C BAK D
Oksigen 4,45 – 5,81 4,53 – 5,80 4,57 – 5,80 4,55 – 5,85
Terlarut
(ppm)
29- 30 29- 30 29- 30 29 - 30
Suhu (oC)
32 – 33 32 – 33 32 – 33 32 - 33
Salinitas (ppt)
7,55 – 7,73 7,48 – 7,65 7,43 – 7,71 7,50 – 7,65
PH
0,002 – 0,036 0,003 – 0,030 0,002 – 0,005 - 0,036
NH3 0,028

Suhu air media pemeliharaan ikan baronang selama kegiatan


berlangsung antara 29 - 30ºC. Kisaran tersebut masih layak untuk
kelangsungan hidup ikan beronang. Suhu yang optimal untuk kehidupan ikan
berkisar antara 25 – 33 oC, namun suhu ideal adalah 27 – 32 oC dengan
perubahan yang tidak ekstrim (Kordi, 2005). Suhu dapat menyebabkan
beberapa variabel kualitas air berada di bawah batas toleransi organisme.
Meningkatnya tingkat metabolisme dapat diakibatkan oleh peningkatan suhu

99
air dan pada akhirnya meningkatkan kebutuhan oksigen, dilain pihak kelarutan
oksigen menurun sejalan dengan peningkatan suhu.
pH air media pemeliharaan ikan beronang untuk semua perlakuan
selama kegiatan berlangsung berkisar antara 7,43 - 7,73. Kisaran ini masih
dalam batas yang layak untuk kehidupan ikan beronang. Ikan beronang
tumbuh optimal pada pH 7,2 – 8,5. Bahkan pada pH 6,5 pun ikan beronang
masih hidup dengan baik, tetapi pertumbuhannya lambat (Sunyoto dan
Mustahal, 1997).
Kandungan Oksigen terlarut (O2 ) selama kegiatan berlangsung
berkisar antara 4,45- 5,85 ppm. Nilai kisaran tersebut masih layak untuk
mempertahankan sintasan ikan beronang. Kandungan oksigen terlarut 4 ppm
merupakan standar yang tidak boleh kurang untuk kelayakan kehidupan
organisme dalam perairan ( Boyd, 1990).

Kandungan amoniak yang terukur selama kegiatan berlangsung yaitu


berkisar antara 0,002 - 0,036 ppm. Nilai kisaran ini masih layak untuk
mempertahankan kelangsungan hidup ikan beronang. Untuk kelangsungan
hidup dan pertumbuhan kadar amonia dalam media pemeliharaan ikan
beronang hendaknya tidak melebihi 0,1 ppm (Boyd, 1990). Amonia dapat
berasal dari buangan bahan organik yang mengandung senyawa nitrogen
seperti protein maupun sebagai hasil ekskresi. Amonia juga dihasilkan melalui
amonifikasi bahan organik seperti pakan yang tidak terkonsumsi dan feses
(Effendie, 2003).

100
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil kegiatan yang telah dilakukan maka dapat


disimpulkan sebagai berikut:

 Dalam pengamatan parameter peubah yakni SR, RPS dan Prevalensi


perlakuan yang memperlihatkan hasil terbaik adalah boster 2 minggu dan
diikuti oleh booster 1 minggu. Namun diantara kedua perlakuan ini tidak
menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, tetapi menunjukkan
perbedaan yang cukup signifikan dengan perlakuan metode priming
maupun kontrol.
 Laju pertumbuhan mutlak juga didapatkan hasil terbaik dari perlakuan
booster 2 minggu,beturut-turut diikuti booster 1 minggu, dan vaksin
dengan cara priming.
 Metode vaksin dengan cara booster 2 minggu menghasilkan level antibodi
yang paling protektif diantara perlakuan yang lain.

Saran
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut yang meliputi jumlah penggunaan
dosis yang tepat, analisa parameter darah ikan setelah dan sebelum uji tantang.
Selain itu juga kajian tentang penerapan immunistimulan untuk mencari
perpaduan antara metode pertahanan tubuh ikan baik secara spesifik maupun
non spesifik.

101
DAFTAR PUSTAKA

Agus S. 2013 Vaksin dan Imunostimulan. Pelatihan Vaksinator Ikan BBAP


Jepara September 2012. Laboratorium Penelitian Kesehatan Ikan.
Balitbang KKP. Jakarta.

Bondad-Reantaso, M.G., S.Kanchanakhan & S.Chinabut. 2000. Review of


Grouper Diseases and Health Management Strategies for Grouper
and other Marine Finfish Diseases. RegionalWorkshop on Sustainable
Seafarming and Grouper Aquaculture. Collaborate APEC Grouper
Research and Development Network. FWG 01/99. 17-20 April 2000.
Medan, Indonesia.

Boyd, C.E. 1982.Water Quality Management For Pond Fish Culture.


Developments in Aquaculture and Fisheries Science vol,9 , Elsevier,
New York.

Desrina, A. Taslihan, Ambariyanto, E.Yudiati, Y.D. Casessar, R.B.S. Sumanta,


Triyanto, H.J.Situmeang & L. Sembiring. 2007. Isolasi, purifikasi dan
immunogenitas protein outer membrane Vibrio alginolyticus pada
ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). J. Perikanan, IX (1):8-
16.

Desrina, A.Taslihan, Ambariyanto, B.K. Djati 2011.Pengaruh Dosis Terhadap


Efektifitas Vaksin POM Vibrio alginolitycus 74 kDa pada Ikan Kerapu
Macan Epinephelus fuscoguttatus.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.

Ellis ,A.E 1988. General principle of Fish vaccination, Academic Press, London.

Feliatra. 1999. Identifikasi Bakteri Patogen (Vibrio sp) Di Perairan Nongsa


Batam Provinsi Riau. Jurnal Natur Indonesia 1I (1).

Gasperz, V., 1991. Metode Perancangan Percobaan untuk Ilmu-Ilmu Pertanian


Teknik dan Biologi. CV Armico. Bandung.

102
Hambali S. 2013 Vaksinasi Pada Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan Budidaya, Jakarta.

Hamka, S. Faridah, Mutmainnah dan Faidar, 2008. Penggunaan Pakan Buatan


Dan Pakan Alami (Gracillaria Sp) Pada Pendederan Benih Ikan
Beronang Lada (Siganus Guttatus). Laporan Tahunan. Balai Budidaya
Air Payau Takalar. Departemen Kelautan Dan PerikananDirektorat
Jenderal Perikanan Budidaya.

Harth, E., J. Romero, R. Torres, and R. Espejo. 2007. Intragenomic Heterogenity


and Intergenomic Recombination among Vibrio parahaemolitycus 16S
rDNA. Microbiology, 153: 2640-2647immunology , 10: 379-382.

Inglis S.W, Canestrini ,1998; Bacterial Diases of Fish, Department


Aquaculture, Newcastle University. Brisbane, Australia.

Klesius 2001 Outer membrane fraction of Flavobacterium psychrophilum


induces protective immunity inrainbow trout and ayu. Fish and
shellfish mmunology, 12: 169-179.

Kordi, G. 2003. Penanggulanggan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta dan
Bina Adiaksa. Jakarta. 194 hal

Murdjani, 2002. Identifikasi dan Patologi Bakteri Vibrio alginolyticus pada Ikan
Kerapu Tikus. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya.

Nagasawa, K & E. R. Cruz-Lacierda (editors). Diseases of Cultured Groupers.


Southeast Asian Fisheries Development Center, Aquaculture
Department, Iloilo, Philippines. 81 pp.

Nitimulyo, K.H., A. Isnanstyo, Triyanto, M. Murdjani & L. Solichah. 2005b.


Effektifitas vaksin polivalen untuk pengendalian vibriosis pada kerapu
tikus (Cromoliptes altivelis). J. Perikanan, 2: 95–100

103
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.
Post, G. 1987. Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp.
proteins of Aeromonas hydrophila induce protective immunity in
goldfish. Fish and shellfish.

Rahmaningsih S.2011. Identifikasi Patogenitas selular bakteri Vibrio


alginolyticus yang menginfeksi benih ikan kerapu tikus (Cromileptes
altivelis).

104
MEMBANGKITKAN PRODUKTIVITAS TAMBAK TRADISIONAL
PULAU KECIL DI SULAWESI SELATAN
MELALUI DIVERSIFIKASI KOMODITAS
PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN BERONANG (Siganus.sp)

Dasep Hasbullah a), Sugeng Raharjo a), Jumriadi a),Imran Lapong b),
Harnita Agusanty a), Mike Rimmer b,c).
Email addrees: dash.agrifisheris@gmail.com

ABSTRACT

Indonesia as archipelagos country has many potential small island that spread
out along Nusantara. Characteristic of the community who lives in the
cloistered islands mostly as fishermen with promising results. However, this
condition usually made them have less attention of the potency of fishponds
surround their area that unutilized optimal (idle). Balai Perikanan Budidaya Air
Payau Takalar collaboration with Australian Centre for International
Agriculture Research (ACIAR) had developing fishpond intensification by
commodity diversification to reutilize idle ponds as an effort to help fishermen
that only rely from fishing results but they can have additional income from
aquaculture activities beside seaweed culture. The activities were very useful to
improve island community income, to comply daily needs especially when
fishing activities blocked by bad weather. This activity also had intention to
build awareness from communities to support Blue Economy movement and as
implementation of aquaculture activities with environmental friendly and
sustainable. One of the commodities that had been chose is Rabbit fish (Siganus
sp)

Key Words: Idle pond, Small Island, diversification and Rabbit fish

a. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar, Sulawesi Selatan, Indonesia


b. Australian Centre for International Agricultural Research Field Support
Office, Jl. Urip Sumohardjo No.20, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
c. Fakultas Ilmu Kedokteran Hewan, Universitas Sydney, 425 Werombi
Road, Camden, NSW 2570, Australia

105
PENDAHULUAN

Ikan beronang (rabbitfish) merupakan salah satu dari jenis ikan


herbivira dengan famili kecil dan terdistribusi secara luas pada Perairan Indo-
Barat Pasifik (Woodland, 1983). Dan dari segi nilai ekonomi, ikan beronang
tergolong ikan ekonomis penting dan relatif mudah untuk dipelihara sehingga
menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk dibudidayakan (Juario et. al.,
1985; Hara et. al., 1986).
Rasa ikan beronang yang enak dan gurih serta disukai
banyak orang sehingga pemasaran ikan ini cukup baik. Untuk memenuhi
kebutuhan konsumen selama ini, masih tergantung dari hasil penangkapan.
Sedangkan usaha pembesaran ikan beronang, baik di tambak maupun di
keramba masih tergantung pada benih alam. Usaha pembesaran dengan
mengandalkan benih alam memiliki beberapa kelemahan. Benih alam sangat
tergantung pada musim dan ketersediaannya terbatas. Sedangkan bila
penangkapan benih di alam terus-menerus dilakukan tanpa pertimbangan
kelestariannya akan berdampak negatif terhadap populasi beronang di alam. Di
pantai Utara Jawa, ikan beronang telah mengalami species extinction
(kepunahan spesies) karena penangkapan yang terus-menerus tanpa
mempertimbangkan kelestariannya dan hal ini tidak tertutup kemungkinan juga
akan terjadi pada daerah-daerah lain di Indonesia (Kordi, 2005).
Secara sistematika ikan beronang lada tergolong kedalam: Filum
Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Osteichthyes, Sub kelas
Actinopterygii, Infra kelas Teleostei, Divisi Euteleostei,Super ordo
Acanthoptrygii, Ordo Percipformes, Sub ordo Acanthuroidei,
Family , Genus Siganus, Species Siganus guttatus (Lin., 1766). Penyebaran
Siganus guttatusmeliputi Sumatera (Bengkulu, dan Padang Deli); Jawa (P.
Seribu, Cirebon, Balay, dan Surabaya); Kalimantan (Balik Papan); Sulawesi
(Makassar, Bajo, Manado, dan Selayar); Maluku (Seram, P. Obo, Ternate, dan
Ambon).

Kegiatan budidaya ikan beronang di tambak sebagai upaya


peningkatan kinerja tambak dan pelestarian sumber daya biota aquatic dari
kepunahan dapat dikembangkan di masyarakat dengan memperhatikan kaidah
penerapan teknologi yang baik, dintaranya sebagai berikut :
1. Benih ikan beronang yang digunakan adalah hasil tangkapan
di alam atau hasil peangkaran/pembenihan yang memiliki ukuran seragam,
sehat dan tidak terserang penyakit

106
2. Tambak yang digunakan adalah tambak lanyyah yang ada di
pesisir pantai baik di kawasan selat, teluk, tanjung maupun pulau-pulau kecil
3. Sebelum digunakan dilakukan sortir kualitas lawi-lawi dan
pemberokkan dalam bak pemeliharaan yang menggunakan air laut steril
4. Selama kegiatan budidaya berlangsung dilakukan sampling
secara terjadwal dan pengamatan terhadap kesehatan ikan dan kondisi
lingkungan tambak yang digunakan.
5. Tidak menggunakan bahan kimia yang berbahaya, baik pada
saat penampungan benih, maupun selama kegiatan budidaya berlangsung.
6. Pemanenan ikan beronang dilakukan pada saat suhu rendah
(pagi, sore hari atau malam hari)

Teknologi ini dikembangkan sebagai upaya meningkatkan nilai


tambah hasil ikan beronang dari hasil penangkapan dan kegiatan pembenihan
melalui kegiatan budidaya di tambak dan meningkatkan pendapatan
masyarakat/pembudidaya tambak.

Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan teknologi
budidaya ikan beronang (siganus.sp) prospektif/menguntungkan efisien dan
ramah lingkungan, dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan
peningkatanan ketahanan pangan bagi masyarakat nelayan dan pembudidaya.

Sasaran

Melakukan intensifikasi pada tambak tradisional pulau kecil di


sulawesi selatan Melalui diversifikasi komoditas Pengembangan budidaya ikan
beronang (siganus.sp).

BAHAN DAN METODOLOGI

Uji coba ini dilakukan di Balai Perikanan Budidaya Air Payau


(BPBAP) Takalar mulai Bulan Oktober 2013 – April 2014 di Desa Tompotana
Pulau Tanakeke Kecamatan Mappakasungu Kabupaten Takalar Provinsi
Sulawesi Selatan.

Alat yang digunakan dalam kegiatan uji coba budidaya nila meliputi :
a. Alat penangkap benih beronang (Paroppo)
b. Pompa alkon 4 inchi
c. Cangkul
d. Parang

107
e. DO meter
f. pH meter
g. Hand Repractometer
h. Timbangan digital
i. Penggaris
j. Jala
k. Ember
l. Gergaji
m. Golok
n. Waring penampungan (pemberokan)

Bahan yang digunakan dalam kegiatan budidaya meliputi :


a. Benih ikan beronang (size 8 – 11,5 cm)
b. Rumput laut
c. Pakan komersil
d. Pupuk organik
e. Saponin
f. Bambu

Prosedur Kerja

Pengumpulan dan Seleksi benih beronang


Pada saat pengumpulan benih ikan beronang, baik dari hasil tangkapan
maupun dari kegiatan budidaya (pembenihan) dilakukan penyortiran/pemilihan
kualitas dan keseragaman ukuran benih sebelum ditebar di tambak
pemeliharaan.

Gambar 1 dan 2. Alat tangkap dan grading ukuran benih beronang

108
Pemberokkan/Penampungan sementara

Benih beronang selanjutnya dilakukan pemberokkan/penampungan


dalam wadah (waring/hava) yang dipasang di dalam tambak pemeliharaan
sebelum dilakukan penebaran/dilepas langsung di tambak.

Penebaran Benih

Penebaran benih beronang dilakukan setelah 2-3 hari diaklimatisasi


dalam waring/hava penampungan sementara. Pada tahapan ini benih beronang
yang ditebar sudah dipastikan dalam kondisi siap dibesarkan dan dalam kondisi
sehat (layak dibudidayakan). Penebaran benih dilakukan pada saat suhu air
rendah yaitu pada pagi atau sore hari dengan memperhatikan kondisi lingkuaan
kualitas air tambak pemeliharaan baik secara fisik, kimia maupun biologisnya
sebagai prasarana yang akan digunakan sebagai media pembesaran beronang.
Benih beronang yang ideal untuk ditebar pada tambak pembesaran memiliki
bobot rataan 15 g/ekor dengan panjang standard dan panjang total benih
berkisar antara 8 – 11,5 cm.

Pemeliharaan dan Pemberian Pakan tambahan

Sebagai starter untuk merangsang pertumbuhan dan mengamati


respons benih terhadap ketersediaan pakan dalam tambak pemeliharaan, setelah
satu minggu dari penebaran diberikan pakan tambahan berupa pellet atau
rumput laut. Pemberian pakan tambahan ini diberikan selama satu minggu
dengan interval pemberian 2-3 kali perhari dengan dosis 2% dari total biomass
untuk pakan berupa pellet dan 4% dari total biomass untuk pakan alami rumput
laut cottoni, sedangkan untuk tahap selanjutnya sampai akhir masa
pemeliharaan cukup diberikan pakan tambahan rumput laut. Disamping itu
pada tambak yang memiliki kesuburan lingkungan perairannya ketersediaan
pakan alami yang ada di areal tambak (beberapa golongan mikroalga dan
plankton dan beberapa species lecane) sudah cukup menjadi sumber pakan
untuk ikan beronang.

Sampling

109
Untuk mengetahui bobot terkini baik rataan perindividu maupun bobot
total ikan yang dibudidayan dilakukan sampling setiap 20 hari sekali. Sampling
juga dimaksudkan untuk mengetahui laju pertumbuhan, nilai konversi pakan
yang diberikan (FCR), Sintasan/kelulus hidupan (SR) dan Efisiensi
Penggunaan pakan serta dapat menghitung kebutuhan pakan lanjutan. Agar
tidak terjadi dampak negatif dan stress terhadap ikan yang dibudidayakan
sampling dilakukan pada pagi atau sore hari ketika suhu air rendah.

Parameter yang diamati selama kegiatan, adalah :


 SR (Kelangsungan Hidup)
Nt
SR = X 100%
No

dimana : SR = kelangsungan hidup (%).


Nt = populasi ikan pada akhir masa pemeliharaan
(ekor).
No = populasi ikan pada awal masa pemeliharaan (ekor).
Menurut Effendie (1972).

 Pertumbuhan
Pertumbuhan berat mutlak atau total : h = Wt-Wo
Dimana : h = berat mutlak atau total tubuh ikan selama
percobaan (kg).
Wt = berat total tubuh ikan selama percobaan
(kg).
Wo = berat total ikan awal percobaan (kg).
Menurut Weatherley (1972).
 Produksi
P = (B1- B2) + Bd
dimana :
P = produksi.
(B1 – B2) = pertambahan berat biomass selama percobaan.
Bd = berat total ikan yang mati selama percobaan.

 Makanan dan Konversi Pakan (FCR)


Jumlah makanan yang diberikan dihitung selama 4 bulan atau 120 hari
(selama percobaan), setiap dua puluh hari dilakukan pengambilan sample ikan
untuk ditimbang berat rataannya, dihitung mortalitasnya dan diestimasi berat
110
totalnya. Hal ini digunakan untuk menetukan pemberiaan pakan lanjutan
setiaap hari 2% dari berat total tubuh ikan nila hibrid yang diujicobakan.

F
____________________
FCR =
(Wt + D) - Wo

dimana :
FCR = tingkat konversi pakan
F = jumlah pakan yang diberikan selamapercobaan (gram)
Wt = bobot total ikan pada akhir percobaan (gram)
Wo = bobot totalikan pada awal percobaan (gram)
D = bobot total ikan yang mati selama percobaan (gram)
(Djajasewaka,1985).

Monitoring Kualitas air dan kesehatan ikan

Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung proses pemeliharaan agar


pertumbuhan ikan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Kegiatan ini
dilakukan untuk proses kontrol dan melakukan pemantauan terhadap proses
pertumbuhan ikan budidaya, perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan ikan.
Hasil monitoring bisa menjadi dasar untuk tindakan penangan bila dubutuhkan.

Panen dan Pengelolaan Data pendukung kegiatan


Panen dilakukan setelah 4-5 bulan masa pemeliharaan dilaksanakan
pada pagi atau sore hari (saat suhu air dan suhu lingkungan rendah).
Pemanenan beronang bisa dilakukan dua cara yaitu panen sebagian dan panen
total. Hasil budidaya diukur dengan rumus produksi sebagai berikut : P = (B1-
B2) + Bd
Dimana :
P = produks (kg).
(B1 – B2) =pertambahan berat biomass selama percobaan(kg).
Bd =berat total ikan yang mati selama percobaan (kg)
111
Data yang dikumpulkan selama kegiatan budidaya meliputi
pertumbuhan ikan (panjang standar, panjang total, bobot rataan perindividu dan
bobot biomass), penggunaan pakan, kondisi lingkungan (kualitas air), cuaca,
dan kematian ikan, biaya, dan hasil panen. Pengolahan data yang dilakukan
meliputi tingkat pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, feed conversion
ratio (FCR), efisiensi pakan (EP), dan analisis usaha.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi yang ideal untuk pengembangan Budidaya ikan beronang


adalah kawasan/daerah yang memiliki kelayakan teknis sebagai habitat yang
cocok untuk budidaya beronang. Budidaya beronang lebih tepat jika dilakukan
di sekitar wilayah/zona tangkapan benihnya sehingga dapat meminimalisir
tingkat kerugian akibat faktor kematian ikan pada saat penanganan dan
memperkecil dampak yang ditimbulkan dari perubahan lingkungan kualitas air
tempat budidaya dan selama pemeliharaan berlangsung.
Lokasi ujicoba pengembangan teknologi budidaya ikan beronang
(siganus.sp) yang dilakukan Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar.
Teknologi ini merupakan pengembangan teknologi Diversifikasi tambak yang
dilakukan bekerja sama dengan Australian Centre for International Agricultural
Research (ACIAR). Wilayah percontohan yang direkomendasikan untuk
pengembangan teknologi ini adalah pulau yang memiliki potensi lingkungan
perairan sebagai sumber penangkapan benih beronang di alam, salah satu
contoh pulau yang memilki potensi pengembangan tersebut adalah pulau
Tanakeke di Kabupaten Takalar.

Gambar 3 dan 4. Proses Pemberokkan, pengecekan fisik dan kualitas benih


beronang sebelum dilepas ke tambak pembesaran
112
Pulau Tanakeke sebagai pulau yang kaya dengan aneka ragam ikan
tangkapan dalam keadaan hidup salah satunya beronang ditunjang dengan daya
dukung prasarana tambak yang cukup luas dan letak pulau yang strategis,
didukung animo masyarakat yang antusias dalam keinginan melalkukan usaha
budidaya sangat memungkinkan untuk dijadikan wilayah pengembangan
budidaya ikan beronang yang mempunyai prospektif untuk peningkatan
pendapatan pembudidaya dan peningkatan taraf hidup masyarakat sekitarnya.

Tabel 1. Jumlah anggota kelompok pembudidaya ikan beronang yang


terlibat dalam kegiatan pembesaran ikan beronang di tambak.

NO NAMA ANGGOTA Luas Area (Ha) KETERANGAN

1 Indar Dg Razak/Kepala Desa (Ketua) 2.20


2 Haris 2.00
3 Kahar Dg Mele 1.00
4 Baso Dg Sija 0.30
5 Baso Dg Sua (Bendahara) 0.40
Tergabung dalam
6 A Dg Tika 2.00
kelompok Nelayan
7 T Dg Ngunjung 0.75
pembudidaya " SARRO
8 J Dg Nai 0.30
MA'NAI " Desa Tompo
9 H Dg Tinri 0.45
tana Kecamatan
10 M Dg Nai' 0.40
Mappaka sungu
11 R Dg Sila 2.00
Kepulauan Tanakeke
12 M Dg Sewang 0.70
Kabupaten Takalar
13 Baso Dg Sarro 0.60
14 Baso Dg Nai 0.60
15 Nawir (Sekretaris) 0.50
16 Sila Dg Ngerang 0.80
17 HB. Dg Ngalle 0.60
TO TAL 15.60

113
Gambar 5 dan 6. Pengukuran kualitas air, dan penebaran benih
beronang dari waring/hava penampungan ke tambak pembesaran

Sampling Laju Pertumbuhan ikan yang diujicobakan

Dari hasil kegiatan di lapangan juga diperoleh data yang


menggambarkan laju pertumbuhan bobot rataan perindividu dimana hasilnya
menunjukkan bahwa kenaikan bobot rataan individu ikan beronang yang
dibudidayakan terus meningkat (lihat Grafik 1). Demikian juga dengan
performa laju pertumbuhan panjang rataan ikan diujicobakan menunjukkan
kenaikan panjang rataan yang normal (lihat Grafik 2).

Gambar 7 dan 8. Pengukuran panjang rataan dan bobot rataan ikan beronang
pada saat dilakukan sampling

114
Grafik 1. Laju penambahan bobot rataan perindividu
(g/ekor)
250.00

200.00
Bobot (g/ekor)

150.00

100.00

50.00

-
0 I II III
(50.00)
Sampling Ke.......

Grafik 2. Laju penambahan panjang rataan perindividu


(cm/ekor)
30.00

25.00
Panjang (cm)

20.00

15.00
Pajang Standard
10.00
Panjang Total
5.00

-
0 I II III IV

Sampling Ke...

115
Sebagai kegiatan pendukung pada ujicoba ini dilakukan pengamatan
morfhologi ikan beronang yang diujicobakan untuk mengetahui performa ikan yang
dibudidayakan, karakteristik biologis dan perbandingan komposisi jantan dan
betina dari hasil budidaya sebagai informasi tambahan yang sewaktu-waktu
diperlukan untuk pengembangan budidaya beronang di tambak.

Pengamatan Kualitas Air

Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung proses pemeliharaan agar


pertumbuhan ikan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Kegiatan ini dilakukan
untuk proses kontrol dan melakukan pemantauan terhadap proses pertumbuhan ikan
budidaya, perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan ikan. Hasil monitoring bisa
menjadi dasar untuk tindakan penangan bila dubutuhkan. Monitoring kesehatan
lebih ditekankan pada adanya indikasi kasus serangan penyakit. Hasil Monitoring
kuaitas air selama pelaksanaan kegiatan uji coba dilukiskan pada grafik di bawah ini
(Gambar 5 dan Gambar 8)

116
Grafik Perkembangan Kualitas Air rata-rata
di Lokasi ujicoba
90.00
8.00 7.65 8.23
80.00 7.50 7.74 7.86
7.25 7.50 7.80 7.00 8.40
8.50 7.43 7.50 8.30
6.72 7.85 8.33 6.00 3.55 6.24 6.00 5.86
70.00 33.00 6.82 5.86 4.22 6.00
34.00 33.00 8.23 33.00 32.00 31.50 30.50 32.50 32.0030.00
32.00 32.50 32.00
60.00 32.00
50.00

40.00
35.00 35.00 37.00 37.00 36.00 36.00 37.0036.00
30.00
33.00 32.00 33.00 34.00 34.00
28.00
20.00

10.00

0.00
Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu
IV IV IV IV IV IV IV

Okt Nov Des Jan Peb Mar Apr

Salinitas Suhu/Temperatur DO pH

Kelulushidupan dan Produktivitas


Angka Kelulushidupan (kelangsungan hidup) ikan beronang pada kegiatan
pembesaran ini berada pada kisaran 72%. Cukup baiknya angka kelulushidupan ikan
beronang ini membuktikan bahwa adanya harapan baru sebagai teknologi budidaya
di tambak yang dapat dikembangkan dengan baik di kemudian hari. Dari
pengalaman pada ujicoba ini walaupun menggunakan benih alam hasil tangkapan
dengan alat tangkap sederhana, alat penampungan dan mobilisasi benih yang belum
memadai tapi kualitas benih ikan yang dibudidayakan cukup bagus.
Dari penebaran benih sebanyak 10.000 ekor/Ha, hasil panen
yang diperoleh pada kegiatan budidaya beronang di tambak ini sebanyak 6.840 ekor
(1,595.9 kg) ukuran konsumsi terdiri dari 4.104 ekor (857,2 kg) dengan bobot rataan
180-226 g/ekor dan sebanyak 2.736 ekor (738,7 kg) dengan size rataan 240-300
g/ekor dengan harga jual yang cukup baik dimana untuk size 180-226 g harga jual
minimum Rp. 7.000/ekor, sedangkan untuk size 240-300 g harga jual terendah pada
angka Rp. 9.500/ekor. Harga tersebut jika dijual langsung di lokasi tambak. Bila

117
penjualan dilakukan di pasar pelelangan maka harga jual ikan beronang hasil
budidaya tersebut akan semakin baik lagi.

Potensi ekonomi dan analisa usaha budidaya


Kegiatan budidaya ikan beronang di tambak inimemberikan harapan
baru bagi pembudidaya/petambak dan keluarganya dalam membuka peluang
usaha baru dan pemberdayaan masyarakat pesisir/pembudidaya/nelayan tambak
dalam peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Pada sisi lain
kegiatan ini juga diharapkan dapat membantu peningkatan pembangunan sektor
perikanan melalui peningkatan ketahan pangan dan gizi masyarakat yang
berkesinambungan dengan produtivitas budidaya perikanan. Analisis singkat
kegiatan usaha pembesaran beronang di tambak selengkapnya terinci pada tabel
di bawah ini.

Tabel 2. Analisa usaha Pembesaran ikan beronang dalam luasan 1 Ha


Analisa Usaha Pembesaran ikan beronang dalam luasan 1 Ha tambak pemeliharaan
tambak pemeliharaan selamaSelama 5-6 bulan pemeliharaan.
3-3,5 Bulan Pemeliharaan

Harga
NO Bahan/Alat Volume Satuan Jumlah harga (Rp)
Satuan (Rp)
A. Modal Usaha
1 Bibit Beronang size 8-11.5 cm 10,000 ekor 700 7,000,000
2 Pupuk Organik 570 kg 3,600 2,052,000
3 Pakan buatan (pellet) 200 kg 8,000 1,600,000
4 Pakan alami (rumput laut) 720 kg 3,500 2,520,000
5 Waring Penampungan dan alat tangkap 1 paket 700,000 700,000
6 Timbangan, alat sampling 1 unit 600,000 600,000
7 Sewa mesin pompa dan bahan bakar 1 siklus 850,000 850,000
8 Pemelliharaan tambak dan pematang 1 siklus 2,500,000 2,500,000
9 Upah Tenaga kerja 4 bulan 2,000,000 8,000,000
JUMLAH 15,322,000
B. Produksi (SR 68-72%)
1 Ukuran konsumsi size 180-226 g/ekor 4,104 ekor 5,000 20,520,000
2 Ukuran konsumsi size 240-300 g/ekor 2,736 ekor 9,000 24,624,000
JUMLAH 45,144,000

C. Hasil Usaha persiklus (B-A) 29,822,000

118
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kegiatan ini memberikan dampak sosial yang tinggi terhadap


masyarakat baik secara teknis, ekologis maupun secara ekonomis, Manfaat
lainnya antara lain sebagai berikut :
 Meningkatkan nilai tambah produktivitas tambak, terutama
tambak idle yang berada di pesisir dan kawasan pulau terpencil
 Menambah peningkatan ekonomi masyarakat, khususnya
nelayan pengumpul benih ikan beronang
 Mendukung upaya pelestarian sumber daya alam (biota
aquatic) dengan mengubah pola pikir penangkapan besar-besaran dengan
kegiatan budidaya yang ramah lingkungan

Saran

Mengingat begitu pentingnya produktivitas tambak bagi Peningkatan


taraf hidup nelauyan, pembudidaya dan masyarakat pulau, maka upaya
pengembangan teknologi budidaya beronang di tambak yang berada di pulau-
pulau kecil ini perlu terus dilakukan untuk mewujudkan pembangunan
perikanan budidaya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Basyari, A., 1989. Biologi dan Budidaya Ikan Beronang Siganus spp.
Wicara/Seminar Pemanfaatan Sumberdaya Pantai/Laut. Sub Balai Penelitian
Budidaya Pantai Bojonegara, Serang Bojonegara, 12 – 13 April 1988. pp 1-20.

Bryan, P.G. and B.B. Madraisau, 1977. Larval Rearing and


Development of Siganus lineatus (Piscea : Siganidae) from Hatching Through
Metamorphosis Aquaculture 10 : 243 – 252.

Effendie, M.L. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka


Nusantara, Jakarta. Hal. 92 – 100.

Gundemann, N., D.M. Popper and Lichtowich, 1983. Biology and


life cycle of Siganus vermiculatus (Siganidae, Pisces). Pacifik Science, 37 (2) :
165.

119
Ismail, W., I.S. Wahyuni and T. Pangabean, 1986. Studi Pendahuluan
Pemberian Komposisi Pakan yang Berbeda pada Ikan Beronang Siganus
canaliculatus (Preliminary study on the combination of feed for siganids).
Jurnal Penelitian Perrikanan Laut 10 (36) : 1 – 5.

Koesharyani I., Zafran, E. Stiadi, K. Yuasa and S. Kawahara. 1999.


Control of benedenian infection in humpback grouper Cromileptis altivelis with
hydrogen peroxide, OP 60. In: “Aquatic Animal Health for Sustainability”,
Book of Abstracts, OP 40, Fourth Symposium on Diseases in Asian
Aquaculture, November 22-26, 1999, Cebu, Philippines.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.

Sachwan, 1999. Pakan Ikan dan Udang. Penebar Swadaya, Jakarta

Soletchnik, P., 1984. Aspect of nutrition and reproduction in Siganus


guttatus with emphasis on applications in aquaculture. SEAFDEC
Aquaculture Department, Iloilo, Philippines (Terminal Report).

Sunyoto, P. and Munstahal, 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis


penting. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tanaka, H., Waspada and K. Sugama, 1989. An experimental cage


culture of golden rabbitsfish Siganus guttatus (Bloch) from juveniles through to
adults (Draft; Personal commun).

Waspada, 1984. Pemijahan dan Pemeliharaan Larva Ikan Kea-Kea


Siganus virgitus. Laporan Penelitian Perikanan Laut No. 30 : 35 – 42.

120
BUDIDAYA KERAPU (Epinephelus sp.) DI TAMBAK SEBAGAI
ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA SKALA KECIL
MASYARAKAT PESISIR PANTAI

Marjoko, Budi Kurnia

ABSTRAK

Kegiatan budidaya kerapu di tambak merupakan kegiatan yang memiliki nilai


ekonomis tinggi dan dapat diaplikasikan dengan baik pada msyarakat pesisir
pantai. Kegiatan budidaya kerapu di tambak relative lebih ekonomsi
dibandingkan dengan budidaya kerapu di karamba jarring apung di laut. Hal ini
berkaitan dengan rendahnya biaya investasi serta biaya produksi yang
digunakan serta nilai resiko usaha yang dihadapi. Kegiatan budidaya kerapu di
tambak dapat dilaksanakan dalam 10-12 bulan persiklus dengan biaya investasi
dibawah 50 juta serta biaya produksi antara 150-175 juta persiklus. Metode
pemeliharaan budidaya kerapu di tambak dilakukan dengan menggunakan
karamba tancap jarring apung untuk phase pendederan dan metode tebar lepas
untuk phase pembesaran. Satu modul kegiatan terdiri dari dua petak tambak (
phase pendederan dan phase pembesaran), 15000 ekor benih kerapu berukuran
3 cm/ekor serta pakan buatan 1200 kg dan pakan ikan rucah 15000 kg. Volume
ikan yang dihasilkan adalah 3 ton/siklus/modul. Selama 10-12 bulan
pemeliharaan diperoleh nilai ikan yang dihasilkan sebesar Rp. 255.000.000,-
dengan biaya produksi Rp.55.000,- - Rp.65.000,-/kg, nilai B/C ratio 1,55 dan
ROI 55%. Berdasarkan nilai tersebut diatas kegiatan budidaya kerapu ditambak
merupakan salah satu alternative pengembangan usaha skala kecil masyarakat
pesisir.

Kata kunci: Budiaya kerapu, tambak, skala kecil, masyarakat pesisir.

PENDAHULUAN
121
Latar Belakang

Semakin meningkatnya kebutuhan konsumsi ikan segar dipasaran local


maupun luar terutama ikan kerapu hidup berdasarkan data permitaan Balai
Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang sepanjang
tahun 2011-2014 untuk pasaran Jakarta mencapai tidak kurang dari 1 ton/ hari.
Dengan demikian peluang usaha budidaya kerapu cukup menjanjikan untuk
dikembangkan sebagai usaha masyarakat pesisir pantai ditengah-tengah
semakin menurun hasil tangkap akibat iklim yang tidak menentu. Tambak
merupakan media yang sangat potensial sebagai model pengembangan usaha
budidaya kerapu.

Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB)


Karawang merupakan institusi Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memiliki lahan
berupa tambak yang dapat digunakan untuk pengembangan produksi kerapu.
Sebagai insitusi yang langsung berkaitan dengan aplikasi budidaya yang
memperhitungkan skala usahayang lebih aplikatif menghasilkan suatu kegiatan
yang berdaya guna dan berdaya saing tinggi yang dapat memberikan nilai
tambah ekonomi bagi pelaku usaha sekaligus dapat menggerakkan roda
perekenomian daerah tersebut.Berbagai metode terutama yang aplikatif telah
mulai dicobakan untuk mendukung target pencapaian produksi dari sektor
budidaya laut dikembangkan di lahan terbatas ini. Berdasarkan hasil kajian dan
analisa usaha didapat bahwa budidaya kerapu di tambak relative lebih
ekonomsi dibandingkan dengan budidaya kerapu di karamba jarring apung di
laut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya biaya investasi serta biaya produksi
yang digunakan serta nilai resiko usaha yang dihadapi.

Metode pemeliharaan budidaya kerapu di tambak dilakukan dengan


menggunakan karamba tancap jaring apung untuk phase pendederan dan
metode tebar lepas untuk phase pembesaran. Satu modul kegiatan terdiri dari
dua petak tambak ( phase pendederan dan phase pembesaran), 15000 ekor
benih kerapu berukuran 3 cm/ekor serta pakan buatan 1200 kg dan pakan ikan
rucah 15000 kg. Volume ikan yang dihasilkan adalah 3 ton/siklus/modul.
Selama 10-12 bulan pemeliharaan diperoleh nilai ikan yang dihasilkan sebesar
Rp. 255.000.000,- dengan biaya produksi Rp.55.000,- - Rp.65.000,-/kg, nilai
B/C ratio 1,55 dan ROI 55%. Total anggaran yang dibutuhkan persiklus kurang
dari 200 juta rupiah. Berdasarkan nilai tersebut diatas kegiatan budidaya kerapu
ditambak merupakan salah satu alternative pengembangan usaha skala kecil
masyarakat pesisir.

Tujuan
122
Tujuan dari kegiatan budiaya kerapu di tambak sebagai alternatif
pengembangan usaha skala kecil masyarakat pesisir adalah :
Meningkatkan nilai tambah margin keuntungan bagi pembudiaya kerapu
khisusnya bagi masyarakat pesisir dengan memperhatikan nilai parameter
ekonomis (biaya investasi dan biaya produksi).

Sasaran
Sasaran kegiatan yaitu tercapainya produksi ikan kerapu ukuran
konsumsi (400 gram up) guna memenuhi permintaan pasar yang semakin
meningkat.

BAHAN DAN METHODE

Waktu kegiatan dilakukan antara bulan November 2012 sampai


dengan Oktober 2013. Lokasi yang digunakan adalah sama yaitu lahan tambak
E3-5 untuk pendederan dan Lahan tambak E3-9 untuk pembesaran.

Bahan dan peralatan yang digunakan pada kegiatan ini adalah :


a. Ikan kerapu dan kerapu hybrid yang berasal dari Situbondo dengan
ukuran 3-4 cm/ekor dan jumlah masing-masing 15.000 ekor.
b. Pakan yang digunakan pada pendederan adalah pakan buatan total
sedangkan pada pembesaran menggunakan pakan ikan rucah dan pakan
buatan (komposisi 80% : 20%).
c. Panggunaan vitamin C dilakukan minimal seminggu sekali dengan dosisi
3 gram/kg pakan buatan.
d. 2 unit lahan tambak berkuran kotor 5.000 m2 yang memiliki inlet dan
outlet yang baik serta menggunakan kincir air (max. 2 unit).
e. Karamba tancap bambu yang dipasang di lahan tambak dengan jumlah
antara 2 unit/tambak.
f. Waring hitam ukuran 1 x 1,5 x 1,2 dan jaring poly ethylenen ukuran 2 x
2 x 1,5 dengan pemberatnya. Ukuran mata jaring antara 0,75-1,5 inchi.
g. Anco tempat pakan, satu petak tambak dipasang 8-10 buah
h. Alat tulis dan penunjangnya seperti kalkulator, laptop dan lain-lain.
i. Peralatan lapangan seperti ember, serok, golok dan gunting.
j. Bahan lain seperti air sirih untuk tratemen ikan, pupuk urea, kapur dan
kaporit untuk persiiapan lahan dll.

Methode Pemeliharaan

123
Metode pelaksanaan kegiatan pembesaran kerapu dengan model
pemeliharaan di karambah tancap (Gambar 1.)

Gambar 1. Karamba Jaring Tancap

A. Persiapan Lahan Tambak


Lahan yang diperlukan dalam menunjang kegiatan pembesaran
kerapu meliputi petakan tambak pemeliharaan dengan luasan 5000 m dan
petakan tambak pengelolaan kualitas air tandon (Gambar. 2).

a). Petakan Tambak Pemeliharaan (b). Petakan Tandon


Gambar 2. Lahan Budidaya

124
Persiapan tambak meliputi pengeringan kolam, pengolahan tanah
dasar dan pembuatan caren (saluran tengah kolam), pengapuran, pemupukan
dan pengisian air. Pupuk yang digunakan adalah pupuk urea dengan dosis 2
gram/m2, NPK dengan dosis 4 gram/m2. Kapur yang digunakan adalah hidup
(CaO) dengan dosis 50-100 gram/m2.pengeringan, perbaikan pematang,
saluran, dan dasar kolam serta pengapuran, pemupukan, dan pembasmian
hama dan predator. Untuk tanah yang masam pH < 6,8 dilakukan pengapuran
dengan dosis 0,5- 1 ton per Ha. Pembasmian hama dan predator menggunakan
saponen dengan dosis 20-30 gr per m2

(a). Pengeringan (b). Pengapuran (c) Perbaikan


Pematang
Gambar 3. Proses Persiapan Lahan

B. Persiapan Sarana Produksi


Persiapan sarana produksi dalam kegiatan pembesaran kerapu
meliputi pembuatan karambah tancap, persiapan waring dan jarring,
pembuatan pemberat jarring dan pemasangan bioscurity. Kontruksi per unit
karambah tancap terbuat dari bambu dengan ukuran lebar 3 meter panjang 30
meter dilengkapi dengan peneduh dari setding net. Waring hitam dari plastik
(aquatec) berukuran 1 x 1,5 x 1,2 meter dan Jaring pemeliharaan terbuat dari
bahan sintetik (PE) dengan ukuran 2.5 x 2.5 x1,5m. Pemberat jarring
digunakan paralon berdiameter 1” yang disesuaikan dengan ukuran jarring
serta bioscurity dipasang pada sekeliling areal tambak.

C. Teknik Pemeliharaan
1. Phase Pendederan
Teknis pemeliharaan budidaya kerapu diawali dari sekmen pendederan,
kegiatan ini bertujuan membesarkan benih kerapu dari ukuran 3 cm
menjadi ukuran benih 9-12 cm dipelihara dalam waktu 3 bulan.

 Pemilihan Benih
125
Kreteria benih berasal dari hasil pembenihan intensif yang telah menerapkan
SNI Pembenihan. Ukuran benih berkisar antara 3-4 cm/ekor, tidak cacat,
warna kecoklatan cerah, bebas penyakit, gerakan lincah, berenang normal,
bergerombol dan responsive terhadap pakan.

 Penebaran Benih.
Langkah-langkah dalam penebaran benih yang harus dilakukan meliputi
aklimatisasi yang bertujuan untuk mpenyesuaian terhadap suhu dan salinitas
benih, penghitungan benih bertujuan untuk mengetahui dan kroscek benih yang
dikirim dengan data pengiriman, dan penentuan padat tebar Adapun padat
tebar yang digunakan pada pendederan Kerapu disajikan pada Tabel 1 berikut
:
Tabel 1.Padat Penebaran Pembesaran Ikan Kerapu

Masa pemeliharaan Ukuran jarring (meter) Ukuran Benih (Cm) Kepadatan (per /jaring)

Bulan 0 2,5 1200

Bulan I 1 X 1,5 X 1,2 3–8 1000 – 500

Bulan II-III 8 – 12
500 – 300

 Pemberian Pakan.
Jenis pakan yang digunakan pada phase pendederan menggunakan pakan
buatan secara keseluruhan. Dosis pemberian pakan berkisar antara 3-7% dari
total biomas dengan frekuensi pemberian pakan untuk pendederan 3-6
kali/hari sedangakan pembesaran diberikan 3 kali sehari secara adlibitum.

Tabel 2. Ukuran, bentuk, feeding rate,dan frekuensi pemberian pakan

126
Ukuran Pakan Bentuk Ukuran ikan Feeding Frekuensi pemberian
Rate pakan

No. 1 Crumble 0,3 – 0,5 gr 6-5% 6 kali / hari


No. 1,3 Crumble 0,5 – 1 0 gr 5-4% 6 kali / hari
No. 1,6 Crumble 1 – 3 gr 4-3% 6 kali / hari
No. 3 Pelet 3 – 10 gr 3-2% 4 kali / hari
No. 5 Pelet 10 – 50 gr 2-1,5% 4 kali / hari
No. 7 Pelet 50 – 100 gr 15 – 1,2% 3 kali / hari
No. 10 Pelet > 100 gr 1,2 – 1% 3 kali / hari

 Grading
Grading atau pemilahan ukuran dilakukan secara periodic terutama pada
phase awal kedatangan ikan (ukuran 3 cm/ekor). Tujuan grading ini untuk
mengurangi kanibal, karena pertumbuhan benih dalam satu jarring selalu
terjadi, biasanya dalam satu jaring terdapat 3 ukuran yang berbeda.

 Penggantian waring/jaring
Pergantian jarring dilakukan setiap 3-5 hari sekali, hal ini bertujuan untuk
menjaga kebersihan media pemeliharaan agar benih yang dipelihara tidak
mudah terserang penyakit dan mecegah kematian akibat kekurangan okasigen
terlarut yang disebabkan oleh rapatnya lubang jaring. Penggantian media
pemeliharaan juga bertujuan untuk memindahkan ikan ditempat yang baru
yang lebih bersih.

 Methode Pengambilan Data (Sampling)


Sampling bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan ikan, adapun
aspek yang diukur yaitu panjang dan berat sehingga dapat digunakan sebagai
dasar penentuan jumlah pakan yang harus diberikan. Sampling phase
pendederaan dilakukan setiap 4-10 hari sekali dengan ikan sample 5-10%
populasi.

Tabel, 3. Siklus kegiatan grading, sampling, pergantian jarring dan treatmen


127
Ukuran Grading Sampling Pergantian Treatmen Pergantian
jaring Air

3 - 6 cm 4 hari 4 hari 4 - 5 hari 4 - 5 hari 20 %

6 – 9 cm 7 hari 7 hari 7 hari 7 hari 20 %

9–12 cm 10 hari 10 hari 5 hari 10 Hari 20

2. Phase Pembesaran
Yaitu merupakan kegiatan lanjutan dari phase pendederan untuk
pembesarkan benih kerapu ukuran 9-12 cm menjadi ikan konsumsi ukuran
450-500 gram. Tenis pemeliharaan dengan metode Tebar Lepas yaitu teknis
pemeliharaaan ikan dengan pemeliaharaan tebar langsung pada petakan
tambak

 Pemilihan Benih
Kreteria benih berasal dari hasil kegiatan pendederan intensif yang telah
mencapai ukuran benih berkisar antara 9-12 cm/ekor, tidak cacat, warna
kecoklatan cerah, bebas penyakit, gerakan lincah, berenang normal,
bergerombol dan responsive terhadap pakan.

 Penebaran Benih.
Penebaran benih dilakukan setelah lahan dan semua sarana dan
prasarana selesai dan benar-benar siap,dan benih dalam kondisi sehat. dan
benih tersebut telah terbiasa dengan pakan pellet dan ikan rucah. Padat tebar
disesuaikan atau dihitung berdasarkan luasan petakan tambak yaitu 2 ekor/m 3

 Pakan Dan Pemberian Pakan


Pakan yang digunakan pada sekmen pendederan adalah total pakan
buatan dan ikan rucah dengan kualitas baik. Teknis pemberian pakan
yaitu pakan ditempatkan pada anco yang telah dipersiapkan

Tabel 4. Ukuran Ikan, Jenis Pakan, feeding rate,dan frekuensi pemberian pakan
128
Ukuran Ikan (gr) Jenis Pakan Feeding Rate Frekuensi
Ukuran pemberian
(disesuaiakan dg Pelet Ikan pakan
bukaan mulut) Rucah

50 - 100 Pelet Ikan 1% 2% 3 kali / hari


200 Pelet Rucah 1% 2% 3 kali / hari
250 Pelet Ikan 0,5 3% 3 kali / hari
300 Pelet Rucah % 3% 2 kali / hari
350 - 400 Ikan 0,5 3% 2 kali / hari
450 - 500 Rucah % 3% 2 kali / hari
Ikan
Rucah
Ikan
Rucah
Ikan
Rucah

Adapun padat tebar yang digunakan pada pendederan Kerapu


disajikan pada Tabel 1 berikut :

1. Wadah Pemeliharaan yaitu petakan tambak yang dilengkapi system inlet


dan outlet sehingga memungkinkan air mengalir secara terus menerus
dengan pergantian air mencapai 20 - 50 %/hari, serta telah dilengkapi
dengan selter dan anco sebagai tempat pemberian pakan.

2. Bahan dan Alat


 Benih ukuran 9-12 cm hasil dari sekmen pendederan.
 Pakan ikan rucah
 Vitamin dan obat-obatan
 Kapur
 Pompa air
 Timbangan
 Pompa semprot jarring
 Jaring Panen (jarring badut)
 Anco pakan
 Selter ( ban bekas, paralon dan daun kelapa dll)
 Senter
129
 Jas hujan
 Sepatu boat
 Serokan
 Keranjang panen

3. Penebaran
Penebaran benih dilakukan setelah lahan dan semua sarana dan
prasarana selesai dan benar-benar siap, Adapun benih yang digunakan
berasal dari kegiatan pendederan ukuran 9-12 cm dan benih dalam
kondisi sehat. dan benih tersebut telah terbiasa dengan pakan pellet dan
ikan rucah.
Padat tebar disesuaikan atau dihitung berdasarkan luasan petakan tambak
yaitu 2 ekor/m3 .

4. Pakan Dan Pemberian Pakan


Pakan yang digunakan pada sekmen pendederan adalah total pakan
buatan dan ikan rucah dengan kualitas baik. Teknis pemberian pakan
yaitu pakan ditempatkan pada anco yang telah dipersiapkan
Tabel 5. Ukuran Ikan, Jenis Pakan, feeding rate,dan frekuensi pemberian
pakan

Ukuran Ikan (gr) Jenis Pakan Feeding Rate Frekuensi


Ukuran (disesuaiakan pemberian
dg bukaan mulut) Pelet Ikan Rucah pakan
50 - 100 Pelet Ikan 1% 2% 3 kali / hari
200 Pelet Rucah 1% 2% 3 kali / hari
250 Pelet Ikan 0,5 % 3% 3 kali / hari
300 Pelet Rucah 0,5 % 3% 2 kali / hari
350 - 400 Ikan 3% 2 kali / hari
450 - 500 Rucah 3% 2 kali / hari
Ikan
Rucah
Ikan
Rucah
Ikan
Rucah

130
5. Pengelolaan Kesehatan Ikan
Yaitu upaya menjaga kondisi fisik ikan pemeliharaan tetap sehat
sehingga ketahanan kesehatan tetap terpelihara. Adapun upaya yang dilakukan
yaitu: sampling, dan penggantian air.

Tabel, 6. Siklus Kegiatan Sampling, pergantian Air


Ukuran Ikan (gr) Sampling Pergantian Air

50 - 100 10 hari 20 %
100 - 200 12 hari 20 %
250 - 350 12 hari 30 %
350 -500 12 hari 30 %

 Methode Pengelolaan Kualitas Air/Media


Monitoring kualitas air merupakan kegiatan penunjang dan dilakukan
setiap hari yaitu pada pagi hari dan sore hari. Parameter yang harus dikontrol
dan diamati yaitu : suhu air, DO, pH air, salinitas, Alkalinitas, metabolit toxic,
kecerahan dan warna plankton, kualitas plankton. Monitoring kualitas air ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi perairan tempat pemeliharaan kerapu,
agar bila mana terjadi kondisi yang ekstrim dapat langsung diambil tindakan.

 Methode Pengelolaan Kesehatan


Pengendalihan hama dama penyakit dilakukan dengan cara
pencagahan dan penanganan (pengobatan). Adapun pencegahan dilakukan
dengan cara pemberian pakan yang baik dan penambahan vitamin melalui
pakan serta perendaman dengan air tawar secara periodic. Pengobatan
dilakukan berdasarkan jenis dan karasteristik penyerangan hama dan penyakit.
Jenis hama dan penyakit yang sering menyerangan benih yaitu Perasiit, jamur,
bakteri, dan virus.

131
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Phase Pendederan


Kegiatan budidaya ikan kerapu di tambak dibagi atas dua bagian yaitu
pendederan dan pembesaran. Phase pendederan dilakukan selama 90 hari
menunjukan hasil yang cukup baik, bila dibandingkan dengan hasil produksi
kegiatan pndederan dan penggelondongan di karamba jaring apung di laut.
Hasil data pengukuran ikan selama 90 hari phase pendederan ikan kerapu di
tambak disajikan pada Tabel 7,

Tabel 7. Data Pendederan ikan kerapu di tambak


GRADE
I II III
Parameter
Bobot panjang Bobot panjang bobot panjang
(gr) (cm) (gr) (cm) (gr) (cm
Sampling I 3.5 3 2.5

Sampling X 92 13 67 11 64 10
Waktu 90 hari
Jumlah Awal (ekor) 15000
Jumlah Akhir (ekor) 2343 6496.5 1810.5
Total Jumlah (ekor) 10650
Total biomass (kg) 791.7
SR (%) 71%
Jumlah pakan buatan
(kg) 1150 kg

Berdasarkan hasil kegiatan pendederan kerapu macan dan kerapu


hybrid di tambak menunjukkan bahwa selama pemeliharaan terdapat tiga grade
dengan sebaran masing-masing grade mencapai panjang 13 cm 22 %, 11 cm 61
% dan 10 cm 17 %.
Nilai sintasan pada phase pendederan yang diperoleh menunjukkan
(71,12%) dengan total biomas 791.7 kg, kosumsi pakan buatan sebanyak 1150
kg sehingga nilai FCR 1.5, tinggi kematian diduga akibat kanibalisme ikan
kerapu pada saat ukuran 4-5 cm. Selain itu, daya tahan ikan kerapu diketahui

132
sedikit lebih baik dibandingkan kerapu macan. Hal ini terlihat dari minimnya
serangan bakteri pada ikan ini dibandingkan kerapuy macan.

Phase Pembesaran

Hasil data pengukuran kegiatan bididaya pembesaran kerapu di


tambak dapat disajikan pada Tabel 8

Tabel 8, Data Pembesaran Ikan Kerapu Di Tambak

GRADE
Parameter I II III
Jumlah Berat Jumlah Berat Jumlah Berat
(ek) (gr) (ek) (gr) (ek) (gr)
Tebar awal 2343 92 6496 67 1811 64
Hasil akhir 2556 500 4686 480 1278 420
Rata-rata SGR 1,69
Total biomas awal
(kg) 767
Total biomas akhir
(kg) 4064
SR ( %) 80%
Pakan rucah 24384
Pakan pellet 2032

Berdasarkan data kegiatan kegiatan phase pembesaran ikan kerapu di


tambak BLUPPB Karawang selama 9 bulan lebih menunjukkan hasil bahwa
ikan kerapu memiliki pertumbuhan harian spesifik rata-rata baik, bila
dibandingkan hasil budidaya keraapu di karamba jaring apung di laut, tingat
pertumbuhan cukup baik mencapai rata-rata SGR 1.69. FCR pakan ikan rucah
1:8. Kematian yang terjadi pada ikan phase ini biasanya akibat serangan
bakteri vibrio namun dalam jumlah dan intensitas yang relatif kecil. Secara
keseluruhan selama 9 bulan masa pemeliharaan diperoleh nilai sintasan
budidaya kerapu hybrid di tambak (80%) dengan total biomas 4064 kg.

133
Rekapitulasi Kegiatan Pembesaran Kerapu di Tambak

Hasil rekapitulasi kegiatan budidaya kerapu di tambak disajikan pada


Tabel 10 di bawah ini.

Tabel 10. Rekapitulasi Budidaya kerapu hybrid dan Kerapu Macan


di Tambak

Parameter Hasil
Bobot Awal Rerata (gr/ek) 1,85
Panjang Awal Rerata (cm/ek) 3,1
Bobot Akhir Rerata (gr/er) 450
Panjang Akhir rerata (cm/ek) 27,1
SGR Pendederan (% BT/h) 5,37
SGR Pembesaran (% BT/h) 1,69
Jumlah awal (ekor) 15.000
Jumlah akhir (ekor) 8.520
Sintasan total (%) 57
Jumlah pakan buatan (kg) 3,180
Jumlah pakan rucah (kg) 24,384
Total Biomas akhir (kg) 4064
Biaya benih Rp. 45.000.000
Total biaya pakan Rp. 154,776.000
Nilai penjualan (s/d bulan ke-5) Rp. 386,080,000
B/C Ratio 1,31

Secara keseluruhan dari perbandingan ekonomis budidaya kerapu


hybrid dan kerapu macan di tambak selama lima bulan pemeliharaan diperoleh
nilai parameter biologis (pertumbuhan dan sintasan) dan ekonomis (B/C ratio)
kerapu hybrid relatif lebih baik dengan kerapu macan. Hal ini berkaitan dengan
pertumbuhan dan sintasan yang secara langsung akan berpengaruh pada
lamanya masa panen ikan tersebut.

134
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkani Hasil Kegiatan yang telah dilakukan selama 12 Bulan
pemeliharaan dengan metode pemeliharaan yang dilakukan di Tambak dapat
Disimpulkan bahwa :
 Dibandingkan dengan Kerapu memiliki pertumbuhan yang cepat. Hal ini
dilihat dari hasil akhir selama 12 bulan pemeliharaan (Bobot Total
Biomass) yang didapat yaitu bobot yang didapat 4064 Kg.
 Sintasan / Survival Rate (SR) yang didapat selama 12 bulan pemeliharaan
dari kegiatan pedederan 71% sedangkan pada kegiatan pembesaran 80 %,
sehingga nilai sintasan selama masa pemeliharaan didapat 57 %
 Bila dilihat secara analisa finansial, keuntungan yang didapat yaitu Rp.
91.512,333 dengan B/C ratio 1,33
 Kerapu lebih ekonomis dan efisien untuk dibudidayakan dan
dikembangkan di Tambak, karena dengan modal kerja untuk biaya
investasi < 50 juta dan biaya produksi Rp.216.526.000,- dapat
menghasilkan 4064 kg ikan kerapu konsumsi.

Saran
 Perlu dilakukan perbandingan ekonomis secara keseluruhan pada budidaya
ikan kerapu hybrid dan kerapu macan di tambak sebagai hasil akhir
kegiatan di atas.
 Perlu inovasi teknologi yang lebih baik untuk meningkatkan nilai sintasan
sehingga memiliki nilai ekonomis yang lebih baik.
 Perlu uji multilokasi dengan mengambil lahan pembudidayaan yang
memiliki karakteristik berbeda dengan pantai utara seperti pantai selatan
atau daerah lain sehingga aplikasi teknologi dapat diterapkan secara
menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA

135
Anonymous. 1988. Training on Marine Finfish Netcage Culture in Singapore.
Primary Product Department, Republic of Singapore.

Budi Rahardjo, B. 1992. Teknik Budidaya Ikan di Laut. Departemen


Pertanian, Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut.
Lampung.

Chang, S.L. 1996. Marine Fish Culture. Tungkang marine Fish Laboratory.
Taiwan Fisheries Research Institute
Cho, C.Y., Cowey and Watanabe. 1983. Finfish Nutrition in Asia,
Methodological Approaches to Research and Development. Ottawa,
Ont. IDRC. 154 pp.
Kurnia, B. , Arief Prihaningrum dan Yuwana Puja. 2004.Kajian Abnormalitas
Ikan Ukuran Konsumsi Dalam Satu Siklus Budidaya Ikan Kerapu
Macan (Ephinephelus fuscoguttatus). Disampaikan pada Lintas UPT,
Mataram 2004.

Williams,K.C. and Michael A. Rimmer. The Future of Feed and Feeding of


Marine Finfish in Asia Region : The need to Develop Alternative
Aquaculture Feeds. Presented at Regional wokshop on low value fish
and trahfish in the Pacific Asia Region. Vietnam, 7-9 June 2005.

Pusat Riset Perikanan Budidaya. 2003. Aplikasi Teknologi Pakan dan


Peranannya Bagi Perkembangan Usaha Perikanan Budidaya.
Prosiding Semi-Loka.

136
PENINGKATAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii
MELALUI PEMANFAATAN PUPUK PROVASOLI’S ENRICH
SEAWATER (PES)5

Lideman1,*, Andi Elman1, Akmal1, Ilham2, Suaib2, Harnita Agusanty3, dan Sugeng
Raharjo4

Indonesian seaweeds production is highest in the world since 2008, and, South
Sulawesi as a place of Brackishwater Aquaculture Development Center
(BADC) has a seaweeds production aproximately 1 milion ton a year, these
conditions have infact to BADC to develope and suport the seaweeds culture
especially in utilization of Provasoli’s Enrich Seawater (PES) in order to
increase production of Kappaphycus alvarezii. Objective of this experiment is
to know efect of dosage, dipping duration and dipping interval on the growth
of K. alvarezii. Experiment was conducted in three part, they were dosage trial,
dipping periode trial and dipping interval trial. Dosage trial were 0% (control);
0,5%; 1%; 2%; 4% and 6%, dipping duration were 0 (control); 12; 24; 36 and
48 hours, and dipping interval were every 0 (control); 6; 12; 18; 24 and 30
days. Weight and lenght of K. alvarezii was measured every 7 daysalong
culturing periode of 42 days and at the end of culturing, their relative growth
rate (RGR) were counted by equation of RGR = [(ln W1-ln Wo) / ( t1-to)] x
100%. Findings of this experiment showed that optimum dosage, dipping
duration and dipping interval were 0.5%, 24 hours and every 24 days,
respectively. Based on the results, the utilization PES fertilization more than the
optimum dosage, dipping duration and dipping interval could be not utilized by
K. alvarezii and could cused eutrofication of their cultured medium.

Kata Kunci: Fertilizer, Kappaphycus alvarezii, Provasoli’s enrich seawater


(PES), Seaweed, Aquaculture

____________________
1
Perekayasa pada Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar
*
Author for Correspondence: e-mail lidemanz@yahoo.com
2
Pengawas Perikanan Pada BPBAP Takalar
3
Kepala Seksi Sandarisasi dan Informasi BPBAP Takalar
4
Kepala BPBAP Takalar
5
Presented on Indonesian Aquaculture (Aindoaqua) Seminar on 26-29 August
2014 in Jakarta.

137
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rumput laut Kappaphycus alvarezii (“cottonii”) merupakan salah satu
komoditas unggulan, hal ini terutama disebabkan karena kandungan
keraginannya yang banyak dimanfaatkan untuk berbagai macam industri seperti
industri makanan, kosmetik, textil dan farmasi yaitu sebagai pengental dan
pengemulsi. Kegiatan budidayanya sendiri telah berkembang dengan pesat,
sehingga sejak tahun 2008 Indonesia sudah menjadi penghasil bahan mentah
rumput laut “K.alvarezii” utama dunia dan pada tahun 2009 produksi rumput
laut “K.alvarezii”Indonesia mencapai 85.000 ton kering (Bixler and Porse,
2011).
Program pemerintah dalam meningkatkan hasil produksi perikanan
budidaya dari tahun 2010-2014 menempatkan rumput laut pada posisi pertama
sebagai produk unggulan perikanan budidaya. Proyeksi produksi rumput laut
pada tahun 2014 yang ditargetkan pemerintah adalah sebesar 10 juta ton atau
naik sebesar 389% dari produksi tahun 2009 yang produksinya hanya sebesar
2,547 juta ton (Ditjen Perikanan Budidaya, 2010). Untuk memenuhi target
produksi pemerintah ini maka perlu dilakukan beberapa usaha dalam
meningkatkan produksi rumput laut, diantaranyamelalui upaya intensifikasi dan
ekstensifikasi pemeliharaan.
Bibit rumput laut K. alvarezii yang ada pada petani umumnya
didapatkan dari hasil pemeliharaan yaitu dengan cara melakukan stek dari
rumput laut yang sudah ada. Penggunaan bibit yang terus menerus tanpa
dilakukan seleksi akan menyebabkan terjadinya penurunan mutu bibit. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan dalam memperbaiki mutu bibit adalah dengan
cara melakukan perendaman bibit dalam pupuk yang mengandung nutrisi
penting. Hal ini dapat dimungkinakn karena adanya sifat dari makro-algae yang
menyerap sebanyak mungkin nutrient terlebih dahulu kemudian baru
dimanfaatkan untuk proses pertumbuhannya (luxuary nutrient uptake).
Berbeda dengan tumbuhan di darat, rumput laut tidak mempunyai akar
untuk menyerap nutrien, sehingga ketersediaan/dosis nurtien yang ada disekitar
callus mereka akan sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Nitrogen adalah
unsur utama yang sering sebagai faktor pembatas pertumbuhan, selain itu
phosphor juga kadang-kadang sebagai faktor pembatas dalam pertumbuhannya
(Lobban and Horison, 1997). Kekurangan nutrient biasanya akan menyebabkan
rumput laut yang dipelihara menjadi kerdil, sehingga upaya-upaya untuk
melakukan penambahan nutrient melalui pemupukan perlu dilakukan. Pupuk
yang sudah umum untuk makroalgae adalah Provasoli’s Erich Seawater (PES).
Karena budidaya rumput laut dilakukan di laut dan pemupukan di laut sangat
sulit dilakukan, maka salah satu cara yang mungkin dilakukan adalah melalui
138
perendaman rumput laut sebelum pemeliharaan. Untuk itulah perlu dilakukan
experiment tentang berapa dosis pupuk yang baik, berapa lama waktu
perendaman yang baik dan seberapa sering perlu dilakukan perendaman yang
untuk pertumbuhan yang optimum bagiK. alvarezii.

Tujuan
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui dosis pupuk PES yang
optimum untuk pemeliharaan Kappaphycus alvarezii dan juga untuk
mengetahui lama perendaman dan interval perendaman K. alvarezii dalam
pupuk PES yang optimum untuk pertumbuhannya.

BAHAN DAN METODE

Koleksi Sampel
Sampel rumput laut yang digunakan untuk experimen ini adalah
Kappaphycusalvarezii, Family Solieriaceae (Rhodophyta) yang dibudidayakan
di Desa Punaga, Kab. Takalar, Sulawesi Selatan (5˚34’56.62”N,
119˚27’42.56”E). Rumput laut yang diperoleh kemudian di tampung pada
wadah stereofoam yang mengandung air laut dan lalu dibawa ke laboratorium
dengan suhu yang dipertahankan kurang lebih 25 oC. Di Laboratorium rumput
laut, Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar,sampel-sampel K. alvarezii
kemudian dipelihara sebagai tahap aklimatisasi di akuarium (60 × 40 × 40cm3)
yang mengandung air laut dengan salinitas 30 ppt, pH 8.0, cahaya 90 µ mol
photons m-2 s-1, suhu 25°C dan siklus cahaya 14 jam terang:10 jamgelap. Suhu
air di akuarium yang digunakan didasarkan pada suhu alami air laut di tempat
K. alvarezii diambil.
Persiapan Wadahdan Peralatan
Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan eksplan adalah multiwel
chamber yangtelah disucihamakan dengan menggunakan autoklaf pada suhu
121oC selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Peralatan lainnya seperti pipet,
pinset dan lain-lain aerasi dicuci bersih dengan menggunakansabun kemudian
dibilas dengan air tawar mengalir sampai bersih kemudian dibilas kembali
dengan aquadest dan keringkan, setelah kering dibungkus dengan aluminium
foil dan disterilkan seperti pada wadah pemeliharaan.
Sterilisasi Air Laut
Air laut yang akan digunkanan adalah air laut yang telah disaring
dengan menggunakan saringan kapas dan saringan whatmen ukuran 0,45 µm.
Air laut tersebut kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada
suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 20 psi.
139
Seleksi dan Sterilisasi Eksplan
Rumput laut yang akan dijadikan eksplan adalah rumput laut yang
segar, bersih, warna cerah dan tidak ada kotoran yang menempel pada rumput
laut tersebut. Sample rumput laut tersebut langsung dibilas dan dibersihkan
dengan menggunakan air laut sampai bersih. Setelah itu, dilakukan
pemotonganbagian ujung tunas rumput laut dengan panjang 1.0-1.2 cm .
Eksplan yang telah dipotong-potong tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
wadah erlenmeyer yang berisi air laut steril dengan salinitas 32 ‰. Setelah
pemotongan selesai, eksplan dibilas dengan betadin 1% dengan cara
menggojok – gojok selama ± 3menit, dan dilanjutkan dengan
pembilasanmenggunakan air laut sterilsecara berulang-ulang (Lideman et al.,
2011).
Pembuatan Pupuk PES
Pembuatan pupuk PES dilakukan berdasarkan Andarsen (2005).
Untuk membuat “enrich stock solution (ES)”, masukkan aquadest (dH2O)
sebanyak 900 ml, tambahkan bahan-bahan “enrich stock solution” seperti yang
tertulis pada (vitamin ditambahkan terakhir, sesudah pencampuran bahan-
bahan lainnya), tambahkan air destilasi (dH2O) sehingga volume menjadi 1000
ml, dan disterilkan melalui proses pasteurisasi. PES medium diperoleh dengan
cara menambahkan 20 ml “enrich stock solution (ES)” ke 980 ml air laut steril,
lalu di pasteurisasi. “iron EDTA solution” dibuat dengan cara menambahkan
EDTA diikuti penambahan iron sulfate ke dalam dH2Osebanyak 900 ml, lalu
tambahkan dH2O hingga mencapai volume 1000 ml, lalu larutkan bahan-bahan
lainnya, selanjutnya di pasteurisasi dan di simpan di refrigerator. Pembuatan
“trance metal solution” dilakukan pertama-tama dengan melarutkan EDTA
kedalam 900 ml dH2O, lalu larutkan bahan lainnya. Tambahkan dH2O sehingga
volume mencapai 1000 ml dan simpan di refrigerator.
Prosedur Percobaan
a. Percobaan Beberapa Dosis Pupuk PES
Pemeliharaan eksplan pada percobaan ini dilakukan dengan cara
memodifikasi prosedur pada Lideman et al (2011) dan Nishihara et al (2004).
Pemeliharaan eksplan dilakukan dengan menggunakan 6 perlakuan yaitu
menggunakan pupuk PES dengan dosis 0,5 % ES, dosis 1% ES, dosis 2% ES,
dosis 4% ES, dosis 6% ES dan air laut steril (0% ES) sebagai kontrol. Eksplan
yang digunakan adalah eksplan yang telah disterilisasi. Selanjutnya eksplan
dimasukkan ke dalam media kultur yang telah berisi larutan pupuk PES dengan
cara satu eksplan untuk satu media kultur. Sebelum eksplan dimasukkan ke
dalam media kultur eksplan terlebih dahulu ditimbang dan di ukur panjangnya.
140
Setelah ditimbang eksplan kemudian dimasukkan ke dalam media kultur dan
selanjutnya media kultur ditutup. Pemeliharaan eksplan dilakukan selama 42
hari.
b. Percobaan Lama Perendaman

Eksplan-eksplan yang sudah sucihamakan, di timbang sebagai berat


awalnya dan kemudian dimasukkan ke wadah perendaman. Perendaman pada
media PES dilakukan selama 0 (kontrol), 12, 24, 36 dan 48 jam. Setelah
perendaman selama 12, 24, 36 dan 48 jam tiap-tiap eksplan dimasukkan ke
cawan petri volume 10 ml yang berisi air laut steril dan sudah disaring dengan
kertas saringan 0,45 µm. Setelah perendaman, setiap 7 hari sekali dilakukan
penimbangan dan pengukuran panjang eksplan dan juga pergantian media
pemeliharaan. Pengukuran pertambahan bobot, dilakukan dengan cara
menimbang dengan menggunakan timbangan elektrik Toledo dan pengukuran
panjang dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.Seperti pada percobaan
dosis pupuk, pemeliharaan eksplan dilakukan selama 42 hari.
c. Percobaan Interval Perendaman
Eksplan yang telah disucihamakan direndam didalam pupuk PES 0,5%
selama 12 jam. Selanjutnya eksplan di pelihara dalam air laut steril selma 48
hari dan selama pemeliharaan eksplan direndam dalam pupuk PES dengan
interval 0 (kontrol), 6, 12, 18, 24, dan 30 hari sekali. Penimbangan bobot
eksplan dilakukan setiap 6 hari sekali dan juga dilakukan pergantian media
pemeliharaan.
Analisis Data
Data hasil pengukuran berat dan panjang selama pemeliharaan dicatat, lalu
dihitung nilai Laju Pertumbuhan Relatif Harian (RGR, Relative Growth Rate)
(untuk mengetahui perbedaan laju pertumbuhan masing-masing perlakuan.
Adapun rumus penghitungan Laju Pertumbuhan Relatif (RGR) yang digunakan
dalam percobaan ini adalah :

141
RGR = [ (ln W1-ln Wo) / ( t1-to) ] x 100%

Ket: Wo : berat awal


W1 : berat akhir
t1 : umur penimbangan terakhir
to : umur awal penimbangan

Data laju pertumbuhan yang diperoleh dari hasil percobaan ini


kemudian dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA). Dari hasil ujiANOVA,
jika terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjutan yaitu uji Tukey/BNT dan
pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS 17.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Percobaan Dosis Pupuk PES


Hasil percobaan pengaruh dosis pupuk PES terhadap pertambahan
bobot K. alvarezii, yang ditimbang setiap 7 hari sekali selama 42 hari dapat
dilihat pada Gambar 1. Dan Hasil penghitungan Laju Pertumbuhan Relatifnya
dapat dilihat pada Gambar 2

Perkembangan Bobot K. alvarezii


30
0,5%
Berat Eksplan (mg)

25 1%

20 2%

4%
15
6%
10
0% (Kontrol)
0 7 14 21 27 35 42
Lama Pemeliharaan (hari)
142
Gambar 1. Grafik PerkembanganBobot Eksplan Selama 42 hari

Grafik Laju Pertumbuhan Relatif K. alvarezii


0.50
0.43
0.40 0.36
0.29 0.30
0.30 0.24 0.26

0.20

0.10

0.00
0,5 % 1% 2% 4% 6% kontrol
Dosis Pupuk PES (% ES)

Gambar 2 . Laju Pertumbuhan Relatife (RGR) pada Beberapa Dosis Pupuk PES

Berdasarkan gambar 2, persentase laju pertumbuhan bobot harian


tertinggi rumput laut K. alvarezii diperoleh pada perlakuan A (0,5%) dengan
bobot relative harian 0.43% diikuti dengan perlakuan B (1%) dengan bobot
relative harian 0,36 % dan perlakuan E (6%) dengan bobot relatif harian 0,30
%, sedangkan persentase Pertumbuhan bobot harian terendah eksplan diperoleh
pada perlakuan D (4%) dengan bobot relative harian 0,24 % di ikuti dengan
perlakuan F( Kontrol ) dengan bobot relative harian 0,26 % dan perlakuan C
(2%) dengan bobot relative harian 0,29 %. Analisis ragam perlakuan dosis
pupuk PES memberikan perbedaan nyata (p< 0,05) terhadap laju pertumbuhan
bobot mutlak K. alvarezzi sehingga dilakukan uji lanjutan yakni uji tukey. Hasil
uji tukey menujukkan bahwa perlakuan A (0.5%) berpengaruh nyata (p< 0,05 )
terhadap semua perlakuan lainnya.
Adanya perbedaan pertumbuhan rumput laut ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor internal dan eksternal. Kamla (2006) menyatakan bahwa faktor
internal yang berpengaruh antara lain: jenis rumput laut, bagian tubuh (thallus)
dan umur rumput laut, sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara
lain: keadaan fisika dan kimia perairan. Bird et al. (1997) dalam Ilknur
and Cirik (2004) menyatakan bahwa faktor fisika dan kimia perairan yang
143
berpengaruh antara lain gerakan air, suhu, salinitas, nutrien dan cahaya.
Sementara itu Aslan (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan rumput laut membutuhkan kualitas cahaya serta nutrien yang
cukup seperti nitrat dan fosfat. Selain itu eksplan bisa tumbuh dengan baik
jika semua elemen yang dibutuhkan cukup tersedia dan dapat diserap oleh
tanaman. Pertumbuhan rumput laut maksimal merupakan wujud dari laju
fotosintesis (Lideman et al, 2012; Lideman et al, 2013), dimana melalui proses
inilah maka sel – sel rumput laut dapat menyerap unsur hara dan mengubahnya
,menjadi bermacam – macam senyawa polisakarida.

b. Percobaan Lama Perendaman


Hasil percobaan pengaruh lama perendaman pupuk PES terhadap
perkembangan bobot in vitro K. alvarezii, yang ditimbang setiap 7 hari sekali
selama 7 minggu dapat dilihat pada Gambar 3, dan hasil penghitungan
terhadap Laju Pertumbuhan Relatif (RGR) selama pemeliharaan dapat dilihat
pada Gambar 3.

Perkembangan Bobot K. alvarezii


34 12 jam
32
30 24 jam
Bobot (mg)

28
26 36 jam

24
48 jam
22
20
0 jam
0 7 14 21 28 35 42 (kontrol)
Lama Pemeliharaan (Hari)

Gambar 3. Perkembangan pertambahan bobot eksplan selama 42 hari

144
Grafik Laju Pertumbuhan Relatif K.
alvarezii
0.6 0.57 0.56
0.53
0.44
RGR (% per hari)

0.4
0.21
0.2

0.0
0 12 24
36
48

Lama Perendaman (Jam)

Gambar 4. Laju Pertumbuhan Relatif (% per hari) pada Beberapa Tingkat Lama
Perendaman

Laju pertumbuhan relatif (RGR) K. alvareziitertinggi diperoleh pada


perlakuan B (24 jam) dengan laju pertambahan bobot 0,57% per hari, perlakuan
D (48 jam) sebesar 0,56%/hari, dan perlakuan C (36 jam) mengalami tingkat
laju pertambahan bobot 0,53% per hari, sedangkan perlakuan A (12 jam) hanya
diperoleh laju pertumbuhan 0,44% per hari. Adapun pada kontrol(0 jam)
mengalami laju pertumbuhan terendah yaitu 0,21% per hari.
Hasil analisis sidik ragam terhadap data laju pertumbuhan relatif
(RGR) K. alvarezii (% per hari) menunjukkan adanya perbedaan antara
perlakuan satu dengan yang lainnya. Lama perendaman yang berbeda
memberikan respon nilai RGR yang berbeda. Berdasarkan hasil uji BNT,
diperoleh bahwa perlakuan K (0 jam atau kontrol) berbeda nyata (p<0,05)
dengan perlakuan A (12 jam), B (24 jam), C (36 jam), dan D (48 jam).
Sementara itu perlakuan A tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan B,
C, dan D. Oleh karena itu perendaman selama 12 jam sudah cukup bagi K.
alvarezii untuk proses pertumbuhan yang baik.
Besarnya laju pertambahan bobot dan panjang thallus yang dihasilkan
pada perendaman selama 24 jam, diduga karena pengaruh lama perendaman
pada batas tertentu sangat optimal sehingga larutan PES dapat diserap dengan
145
baik tanpa mempengaruhi kualitas air media. Hal ini didukung olehAslan
(1998) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput
laut adalah nutrien yang dapat diperoleh dari pupuk. Sebagai perbandingan,
konsentrasi awal NO3-N sebanyak 200 µmol/liter akan habis diserap oleh
Laurencia brongniatii selama 5 jam (Nishihara et al, 2005). Selain itu, peran
hormon tumbuh seperti auxin, gibberelin, dan cytokinin akan mempercepat
proses pertumbuhan dan perkembangan bibit rumput laut.

c. Percobaan Interval Perendaman


Hasil percobaanpengaruh interval perendaman K. alvarezii dalam
pupuk Provasoli’s Enrich Seawater (PES) terhadap pertumbuhan secara “in
vitro” yang ditimbang setiap 6 hari sekali selama 48 hari pemeliharaan dapat
dilihat pada Gambar 5. Dan juga penghitungan laju pertumbuhan relatif dapa
dilihat pada Gambar 6. Laju pertumbuhan relatif harian eksplan tertinggi
diperoleh pada perlakuan D(24 hari sekali perendaman) sebesar 0,35 % per
hari, disusul perlakuan E(30 hari sekali perendaman) sebesar 0,28 % per hari,
perlakuan C(18 hari sekali perendaman), B(12 hari sekali perendaman) sebesar
0,22 % per hari dan perlakuan A(6 hari sekali perendaman) sebesar 0,20 % per
hari. Sedangkan laju pertumbuhan relatif terendah terjadi pada kontrol (tidak
direndam sama sekali). Analisis sidik ragam terhadap data laju pertumbuhan
relatifK. alvarezii menunjukkan bahwa interval pemberian pupuk PES mampu
memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap laju pertumbuhan relatif.Dari
hasil uji tukey menujukkan bahwa perlakuan D(24 hari sekali
perendaman)berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan

Grafik Perkembangan Bobot K. alvarezii


65.0
60.0
A(6Hari)
55.0
Bobot (mg)

B(12 Hari)
50.0 C(18 Hari)
45.0 D(24 Hari)
40.0 E(30 Hari)
35.0 Kontrol
30.0
0 6 12 18 24 30 36 42 48
Lama Pemeliharaan (Hari)
146
Gambar 5. Perkembangan Bobot Eksplan K. alvarezii Selama Pemeliharaan

Grafik Laju Pertumbuhan Relatif K. alvarezii


0.40 0.35
0.28
0.30
RGR (% per hari)

0.20 0.22 0.22


0.18
0.20

0.10

0.00
A(6) B(12) C(18) D(24) E(30) Kontrol
Interval Perendaman Pupuk PES (hari)

Gambar 6. Laju Pertumbuhan Relatif (RGR)Eksplan K. alvarezii pada


beberapaTingkat Interval Perendaman Pupuk PES

A(6 hari sekali perendaman), B(12 hari sekali perendaman), C(18 hari sekali
perendaman) dan kontrol (0 hari perendaman), tetapi tidak berbeda nyata
dengan perlakuan E(30 hari sekali perendaman). Hal ini menunjukan bahwa
interval waktu 24 dan 30 hari sekali tidak memberikan pertumbuhan yang
berbeda dan dengan trend laju pertumbuhan yang sama antara umur
pemeliharan 40 hari pada umur pemelihraan 30 hari, maka perendaman pupuk
ini cukup dilakukan pada bibit di awal pemeliharaan. Pupuk ini mengandung
unsur N, unsur P dan unsur K. Nitrogen merupakan komponen penting bagi
pertumbuhan rumput laut. (Pantjara dan Sahib, 2008), yang menyatakan bahwa
nitrogen berfungsi membantu proses pembentukan klorofil dan fotosyntesis,
sedangkan fosfat yang terkandung dalam pupuk berfungsi merangsang
pertumbuhan thallus.

KESIMPULAN DAN SARAN


147
Kesimpulan
Penggunaan pupuk PES dapat menigkatkan laju pertumbuhan K.
alvarezii. Dosis pupuk PES yang bisa digunakan untuk pemeliharaan K.
alvarezii secara invitro adalah 0,5% ES. Dalam pemanfaatan pupuk PES
perendaman K. alvarezii selama 12 jam dengan hanya melakukan perendaman
di awal pemeliharaan saja.

Saran
Pengunaan pupuk PES di media (perairan) budidaya dengan dosis
yang lebih tinggi dari 0,5% ES justru tidak dapat dimanfaatakan oleh K.
alvarezi, sehingga penggunaan dosis yang berlebihan di media pemeliharaan
dapat menyebabkan eutrofikasi. Oleh karena itu penggunaan pupuk ini untuk
kegiatan budidaya di laut akan lebih aman jika dilakukan hanya melalui
perendaman pada bibit diawal pemeliharaan.

DAFTAR PUSTAKA

Andersen, R. 2005. Algae culturing Technicues. Elsevier Academic Press.


Burlington, USA. 596 pp.

Aslan. L. 1998. Seri Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Bixler H.J, Porse H.2011. A decade of change in seaweed hydrocolloids


industry. Journal of Applied Phycology. 23: 321-335.

Ditjen Perikanan Budidaya, 2010. Program Peningkatan Produksi Perikanan


Budidaya Tahun 2010-2014. Disampaikan pada Acara “Forum
Akselerasi Pembangunan Perikanan Budidaya 2010” di Batam 25-28
Januari 2010.

Ilknur, A and S. Cirik. 2004. Distribution of Gracilaria verucosa


(Hudson)Papenfuss (Rhodophyta) in Izmir Bay (Eastern Aegean Sea).
Pakistan Journal of Bological Sciences. 7 (11) : 2022-2023

Kamla, Y. 2006. Pengembangan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di


Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.http://www.damandiri.go.id.

Lideman, Gregory N. Nhisihara, Noro T, Terada R. 2011. In Vitro Growth


and Photosynthesis of Three Edible Seaweeds, Betaphycus gelatinus,
Eucheuma serra and Meristotheca papulosa (Solieriaceae,
Rhodophyta). Aquaculture Sci. 59 (4): 563-571.

148
Lideman, Gregory N. Nishihara, Tadahide Noro and Ryuta Terada. 2012.
Effect of Temperature and Light on the Photosynthetic Performance of
Two Edible Seaweeds: Meristotheca coacta Okamura and
Meristotheca papulosa J. Agard (Solieraceae, Rodhophyta).
Aquakultur Sci. 60 (3) : 377-388.

Lideman, Gregory N. Nhisihara, Tadahide Noro and Ryuta Terada. 2013.


Effect of Temperature and Light on the Photosynthesis as measured by
cholorophyll fluorescence of Eucheuma denticulatum and
Kappaphycus sp. (Sumba Strain) from Indonesia.Journal of Applied
Phycology, 25 (2): 399-406. DOI: 10,1007/Z 10811-012-9874-5.

Lobban, C. S. and P. J. Harrison. 1997. Seaweeds Ecology and Physiology.


Cambridge University Press. Cambridge, UK, 384 pp.

Nishihara, G. N., R. Terada and T. Noro. 2004. Photosynthesis and growth


rates of Laurencia brongiartii J. Agardh (Rodhophyta, Ceramiales) in
preparation for cultivation. J. Appl Phycol., 16, 303-308.

Nishihara, G. N., R. Terada and T. Noro. 2005. Effect of temperature and


irradiance on the uptake of ammoniumand nitrate by Laurencia
brongniartii (Rhodophyta, Ceramiales). J. Appl Phycol., 17, 371-377.

Pantjara, B. dan M. Sahib. 2008. Aplikasi pupuk berimbang terhadap


pertumbuhan rumput laut, Gracilaria verrusa di tambak tanah sulfat
masam. Jurnal Riset Akuakultur. Vol. (2): 225-232.

PENGEMBANGAN BIBIT RUMPUT LAUT (Gracilaria sp.) YANG


DIPELIHARA DI LAUT MELALUI PENEMPELAN SPORA PADA
TALI POLYETHYLENE (PE)5
149
Lideman1, Andi Elman1, Sitti Farida1, Endah Soetanti1, Sugeng Raharjo3
dan Symon Dworjanin4

This activity was conducted to support industrialization and production


increment of aquaculture spesifically increase of seaweed Gracillaria
production through improvement of both its quality and quantity. Since July
2013, BADC Takalar has been initiating an effort to produce seed from spores
settled on rope. This spores-settled rope is ready to be lined in the sea. This
work was based on the development of Gracillaria cultivated in the sea by
using rope, similar method to Kappaphycus alvarezii culture. Nowdays,
production of one area in Takalar Regency has reached up to 60 ton dry basis
per month. To operate this activity, BADC Takalar collaborated with
Australian Center for International Agricultural (ACIAR), PT. Agarindo
Bogatama andInstitute for Brackishwater Aquaculture Research and
Development, Maros. Technique of seed production applied in this work is as
follow; fertiled thallus of Gracilaria sp. containing carpospore was cleaned up
and stocked in 60 L of aquarium container filled with steril seawater about 7-8
cm. Before stocking the fertiled thallus, subsrate of polyethylenerope (PE) ,
common rope used by farmer, was set in the bottom of the container. PE was
then checked under microscope to make sure if spores have been settled or not.
PE rope with settling spores was moved and maintained in PES media.
Exchange of media was carried out at least once a week. The results showed
that spores successful settled and developed into young Gracilaria sp both in
plastic and PE rope. These ropes with young Gracilaria sp. settled on can be
used by the farmer as seed.

Kata Kunci: Seed, Gracilaria sp., Spore, Polyethynene Rope dan Mariculture

____________________
1
Perekayasa pada Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar
*
Author for correspondence: e-mail lidemanz@yahoo.com
2
Pengawas Perikanan Pada BPBAP Takalar
3
Kepala BPBAP Takalar
4
Australian Center for Agricultural Reseach
5
Presented on Indonesian Aquaculture (Aindoaqua) Seminar on 26-29 August
2014 in Jakarta.

150
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perekayasaan ini dilakukan dalam rangka mendukung program
industrialisasi dan peningkatan produksi perikanan budidaya hususnya dalam
peningkatan produksi rumput laut Gracilaria melalui peningkatan kualitas dan
kuantitas bibitnya. Kegiatan ini didasari pada perkembangan pembesaran
Gracilaria sp. di laut yang sangat pesat dengan menggunakan tali seperti
budidaya Kappaphycus alvarezii di laut dan hingga saat ini Produksi untuk di
satu kawasan di Kabupaten Takalar mencapai 60 Ton kering per bulan. Tidak
seperti Gracilaria verucossa, Gracilaria sp. yang dipelihara di perairan laut
mempunyai thalus yang relatif lebih besar sehingga memungkinkan untuk
diikat ditali polyethylene (PE). Namun demikian, dalam pelaksanaanya thalus
yang diikat sering terlepas karena talus yang diikat relatif lebih banyak jika
dibandingkan dengan ikatan untuk K. alvarezii yang hanya mengikat 1-2 thalus.
Pemanfaatan spora untuk sumber bibit merupakan salah satu cara yang
memugkinakn dalam rangka peningkatan produksi dan perbaikan teknik
budidayanya. Spora tipe carpospore lebih mudah digunakan sebagai sumber
bibit karena kantong sporanya (cytocrap) dapat dilihat dengan mata telanjang.
Pemanfaatan spora sebagai sumber bibit sudah berhasil dilakukan di beberapa
negara, diantanya di Jepang dan Korea yaitu dalam memproduksi bibit
Porphyra.
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar (BPBAP Takalar) sejak
Juli 2013 telah memulai usaha untuk menghasilkan bibit yang berasal dari
spora yang ditempelkan di tali, dan tali yang sudah ada bibit tersebut langsung
bisa digunakan untuk dibentangkan di laut. Dan, dalam melakukan kegiatan ini,
BBAP Takalar bekerjasama dengan pihak Australian Center for International
Agricultural (ACIAR), PT. Agarindo Bogatama dan Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Air Payau Maros (BPPBAP Maros).
Tujuan
Perekayasaan ini bertujuan untuk menghasilkan bibit Gracilaria sp. yang
berasal dari spora yang menempel pada tali polyethylene (PE).

151
BAHAN DAN METODE
Koleksi dan Aklimatisasi Gracilaria sp. Fertil
Sampel rumput laut fertil yang digunakan untuk eksperimen ini adalah
Gracilaria sp, Family Solieriaceae (Rhodophyta) yang sudah mengandung
spora (fertil) tipe carpospore (Carposporophyte) yang dibudidayakan di Desa
Laguruda, Kab. Takalar, Sulawesi Selatan.Rumput laut fertil yang diperoleh
kemudian diseleksi dan di tampung pada wadah stereofoam yang mengandung
air laut dan lalu dibawa ke laboratorium basah Balai Perikanan Budidaya Air
Payau (BPBAP) Takalar dengan suhu yang dipertahankan kurang lebih 25 oC.
Di Laboratorium rumput laut, BPBAP Takalar,sampel-sampel Gracilaria sp.
kemudian dipelihara sebagai tahap aklimatisasi di akuarium (60 × 40 × 40cm3)
yang mengandung air laut dengan salinitas 30 ppt, pH 8.0. Carposporophyte
dari Gracilaria sp. yang akan digunakan dapat dilihat pada Gb 1.

Gb 1. Thallus Gracilaria sp. yang mengandung


Carpospore (Carposporophyte)

Sterilisasi Air Laut


Air laut yang digunkanan untuk pelepasan dan pemeliharaan spora
adalah air laut yang telah disaring dengan menggunakan saringan kapas dan
saringan whatmen ukuran 0,45 µm. Air laut tersebut kemudian disterilisasi
dengan menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit dengan
tekanan 1atm.

152
Pelepasan, Pemeliharaan Spora dan Pemeliharan Gracilaria sp. Muda
Carposporophyte dari Gracilaria sp. yang akan digunakan adalah
dengan ciri-ciri: thallus-nya bersih dari kotoran, warna agak kekuningan dan
kantong sporanya (cytocarp) berwarna coklat cerah dengan diameter yang
relatif lebih besar. Carposporophyte yang sudah diseleksi tadi kemudian
dipotong dengan panjang 1-1,5 cm yang mengandung 3-4 cytocarp. Setelah
dipotong, kemudian dimasukan ke wadah yang mengandung air laut steril dan
dipelihara hingga spora lepas dari cytocarp-nya. Untuk mengetahui salinitas
yang optimum dalam pelepasan spora maka dilakukan pengujian pelepasan
spora pada beberapa tingkat salinitas yaitu 10, 15, 20, 25, 30, 35, dan 37 ppt.
Pemeliharaan spora dilakukan dengan cara menempelkan spora secara
langsung di dasar cawan petri setelah pelepasan spora dan juga dilakukan
dengan cara memindahkan spora yang sudah lepas ke media pemeliharaan pada
cawan petri lainya.
Pengujian Tali Polyethylene (PE) Sebagai Tempat Menempel Spora dan
Berkembangannya Bibit
Setelah berhasil dalam proses pelepasan dan pemeliharaan spora dan
juga spora bisa berkembang menjadi thallus muda pada wadah-wadah kecil
seperti cawan petri, maka dilakukan pengujian untuk penggunaan tali
polyethylene (PE) sebagai substrat penempelan spora dan perkembangan bibit
yang dapat digunakan oleh petani untuk kegiatan budidaya di laut. Ujicoba
dilakukan pada husus pada tali rafia dan tali PE. Wadah yang digunakan adalah
beaker glas volume 1 liter lalu diisi dengan air laut steril dengan ketinggian 9-
10 cm dan didasarnya diletakan tali sebagai substrat tempat menempel spora.
Potongan-potongan carposporophyte digantung dalam media air laut steril
dengan kedalaman 2-3 cm dari atas permukaan, lalu dipelihara sampai sporanya
menempel dan berkembang di tali tersebut dan dicek dibawah mikroskop untuk
memastikan apakah sporannya bisa menempel atau tidak. Selanjutnya
dilakukan ujicoba tali PE pada wadah yang lebih besar yaitu akuarium volume
60 liter yang diisi air dengan ketinggian 7-8 cm dan didasar wadah diletakan
gulungan tali PE dengan panjang kurang lebih 30 m, lalu potongan-potongan
carposporophyte diletakan dalam air media (2-3 cm dari atas permukaan).
Seperti ujicoba pada wadah beaker glas, pemeliharaan dilakukan sampai
sporanya menempel dan berkembang di tali tersebut dan dilakukan pengecekan
dibawah mikroskop untuk memastikan apakah sporannya bisa menempel atau
tidak.

153
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada tahap awal percobaan pelepapasan dengan menggunakan wadah
beaker glas diperoleh hasil bahwa spora bisa lepas dari cytocarp-nya setelah
kurang lebih 12 jam, selanjutnya spora bisa lepas hingga hari ke-12, namun
seelah 7 hari pelepasan spora, selanjutanya jumlahnya relatif lebih sedikit.
Proses penempelan spora berlansung setelah antara 2-5 hari. Hasil pengujian
terhadap salainitas yang digunakan menunjukan bahwa salinitas yang baik
adalah antara 30-35 ppt. Spora yang sudah menempel selajutnya dapat
berkembang menjadi Gracilaria sp. muda. Proses perkebangan spora menjadi
Gracilaria muda dapat dilihat pada gambar berikut:

Gb 2. Pelepasan spora Gb 3. Spora (carpospore)


(carpospore) Gracilaria sp. di yang melekat di cawan
cawan petri petri (umur 1 minggu).
d = 20-35 µ

154
Gb 4. Bibit Gracilariasp.
(gracilaria muda) yang
berasal dari spora
(Carpospore) yang
dihasilkan di BBAP Gb 5. Bibit Gracilaria yang
Takalar (Umur 1,5 berkembng di wadah beaker
bln) glas dan di cawan petri yang
berasal dari spora (Umur 2
bln)

Pada tahap pengujian penggunaan tali PE dan tali rafia diperoleh hasil
bahwa spora bisa menempel dan berkembang di tali PE dan tali rapia sehingga
bisa digunakan sebagai sumber bibit. Proses perkebangan spora menjadi
Gracilaria muda dapat dilihat pada gambar berikut:

155
Gb 6. Wadah dan tali yang digunakan untuk
penempelan dan perkembangan spora
Gb 7. Spora yang menempel Gb 8. Spora yang menempel
pada tali rapia (umur 1 minggu) pada tali polyethilene (umur 1
minggu)

Gb 9. Spora yang berkembang di Gb 10. Spora yang


tali rapia (umur 2 bln) berkembang menjadi di tali PE
(umur 1 bln)

156
Pengujian penggunaan tali polyethylene (PE) pada wadah yang lebih besar
(akuarium 60 L) juga telah diperoleh bibit Gracilaria sp. yang berasal dari
spora (Gb. 11).

Gb 11. Produksi bibit Gracilaria sp. skala


massal pada wadah akuarium volume 60
L, panjang tali tempat menempel adalah
30 m.

Dalam pengembangan produksi bibit yang berasal dari spora


Gracilaria sp. maka perlu diperhatikan beberpa faktor yang mendukung
keberhasilan penempelan spora hingga tumbuh menjadi thalus (Alberto
&Robledo 1999), faktor-faktor tersebut antara lain adalah pH, salinitas,
temperatur,intensitas cahaya, aktif atau tidaknya spora, viskositasdari perairan,
lapisan microfilm yang ada pada subtrat,kekasaran subtrat, kemampuan
polasisari spora terhadapsubtrat, dan kemampuan adhesi spora terhadapsubtrat
(Lobban danHarrison, 1997).

157
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Setelah melalui beberapa tahap percobaan, maka telah berhasil diperoleh bibit
Gracilaria sp. yang menempel di tali polyethylene (PE) yang berasal dari
spora.
Saran
Tahap selanjutnya, perlu dilakukan percobaan untuk bibit yang sudah
berkembang di tali PE di areal budidaya Gracilaria sp.

DAFTAR PUSTAKA
Lobban, C. S. and P. J. Harrison. 1997. Seaweeds Ecology and Physiology.
Cambridge University Press. Cambridge, UK, 384 pp.

Alberto Guzm´an-Uri´ostegui & D. Robledo. 1999. Factors affecting


sporulation of Gracilaria cornea (Gracilariales,Rhodophyta)
carposporophytes from Yucatan, Mexico. Hydrobiologia 398/399: 285–
290.

158
PENAMBAHAN EGG STIMULATOR DALAM PAKAN UNTUK
MEMACU PEMATANGAN GONAD INDUK F1 IKAN BERONANG
LADA (Siganus guttatus)

*
Hamka , Syaichudin, Syamsul Bahri dan Jumriadi

ABSTRAK

Kegiatan ini bertujuan untuk melihat sejauh mana tingkat efektifitas


penambahan egg stimulator pada pakan buatan dalam memacu pematangan
gonad induk F1 ikan beronang. Sedangkan sasaran dari kegiatan ini adalah
sebagai bahan informasi untuk pematangan gonad induk ikan
3
beronang.Kegiatan ini dilakukan dalam bak beton berukuran 2,18 x 1,56 x 1 m
(volume efektif 3 ton) dengan pergantian air 100-150% setiap hari yang
terletak dalam ruangan semi outdoor sebanyak 3 bak pemeliharaan (Bak A;
Bak B dan Bak C). Bak A dengan pemberian pakan buatan (Kontrol); Bak B
dengan pemberian pakan buatan + egg stimulator 2% dan Bak C dengan
pemberian pakan buatan + egg stimulator 3%. Induk beronang yang digunakan
adalah induk F1 yang telah dipelihara dalam bak-bak terkontrol. Setiap baknya
diisi dengan induk beronang sebanyak 20 ekor/bak. Hasil akhir dari kegiatan
ini menunjukkan perkembangan gonad induk ikan beronang yang cukup
berkembang yaitu pada bak A sebanyak 3 ekor (2 ekor jantan dan 1 ekor
betina); pada bak B sebanyak 9 ekor (5 ekor jantan dan 4 ekor betina) dan
pada bak C sebanyak 10 ekor (6 ekor jantan dan 4 ekor betina). Adapun
jumlah telur yang dihasilkan pada akhir kegiatan pada Bak A (420.000 butir
dengan HR 20%); Bak B (1.570.000 butir dengan HR 76%)dan Bak C (1.580.000
butir dengan HR 78%). Tingkat kelangsungan hidup induk beronang sampai
akhir kegiatan untuk semua perlakuan adalah 100%.

Kata kunci :Egg stimulator, IndukF1 ikan beronang, Pematangan gonad

PENDAHULUAN
159
Latar Belakang
Ikan beronang merupakan salah satu jenis ikan laut yang ekonomis
dan merupakan komoditas budidaya. Di daerah Indonesia dikenal sekitar 12
jenis ikan beronang. Ikan beronang (Siganus) mempunyai tubuh yang lebar
dan pipih. Mulutnya kecil karena beronang memang bukan ikan pemangsa
melainkan ikan pemakan tumbuhan (herbivora). Oleh sebab itu ia sering
ditemukan di lingkungan perairan yang banyak ditumbuhi lamun (sea grass)
dan alga yang lebat. Sebagai ikan untuk konsumsi, beronang makin banyak
penggemarnya. Ada tiga jenis yang dagingnya tebal yakni : Siganus guttatus,
Siganus javus dan Siganus canaliculatus (Nontji, 1987).
Akhir-akhir ini telah dicoba usaha untuk membudidayakannya.
Namun, sayangnya pemasokan benih ikan budidaya siap tebar dari usaha panti
benih belum ada sama sekali (khususnya untuk wilayah Indonesia Timur).
Benih ikan beronang yang digunakan masih mengandalkan dari usaha
penangkapan di alam. Usaha pembesaran dengan mengandalkan benih alam
memiliki beberapa kelemahan. Benih alam sangat tergantung pada musim dan
ketersediaannya terbatas. Bila penangkapan benih di alam terus-menerus
dilakukan tanpa pertimbangan kelestariannya akan berdampak negatif terhadap
populasi beronang di alam. Di pantai Utara Jawa, ikan beronang telah
mengalami species extinction (kepunahan spesies) karena penangkapan yang
terus-menerus tanpa mempertimbangkan kelestariannya dan hal ini tidak
tertutup kemungkinan juga akan terjadi pada daerah-daerah lain di Indonesia.
Kegiatan pembenihan ikan beronang sudah mulai dilakukan pada
tahun 1980-an. Ikan beronang (Siganus guttatus) yang dipelihara dalam bak-
bak atau tempat terkontrol memiliki potensi reproduksi cukup tinggi (Tridjoko
et al., 1985). Di Filiphina ikan beronang berhasil dipijahkan, kemudian
dipelihara di jaring apung (Bentuvia, 1971).

160
Pada umumnya kegiatan pembenihan sangat ditunjang dengan
ketersedian induk baik dari segi jumlah maupun segi ukuran. Ketersediaan
induk beronang (Siganus guttatus) hasil tangkapan alam pada beberapa wilayah
sudah cukup sulit ditemukan dalam keadaan hidup baik dari segi jumlah
maupun dari segi ukuran. Pada saat ini BBAP Takalar sudah mempunyai calon
induk F1 hasil dari kegiatan perekayasaan sebelumnya. Sehubungan dengan
hal tersebut maka dilakukan kegiatan pematangan gonad terhadap induk F1
dengan pemberian egg stimulator melalui pakan sehingga nantinya didapatkan
telur dari hasil pemijahan untuk dapat digunakan dalam kegiatan pembenihan.

Tujuan dan Sasaran

Tujuan kegiatan ini adalah untuk melihat sejauh mana perkembangan


gonad dari induk F1 ikan beronang melalui penambahan egg stimulantor pada
pakan buatan.
Sasaran dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan induk F1 ikan
beronang yang sudah matang gonad dan mampu menghasilkan telur untuk
kegiatan pembenihan.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan ini dilakukan pada tahun anggaran 2013 (Januari - Mei)


bertempat di Unit Pembenihan Kerapu dan Beronang Balai Budidaya Air Payau
Takalar, Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten
Takalar.

Alat dan Bahan

161
Alat
1. Bak pemeliharaan
2. Peralatan lapangan
3. Sistem distribusi air
4. Sistem aerasi

Bahan
1. Induk Ikan Beronang (Siganus spp.)
2. Pakan buatan
3. Egg stimulant
4. Minyak cumi
5. Kaporit 60%
6. Obat-obatan

Prosedur Kerja

- Perekayasaan ini dilakukan dengan menggunakan bak beton berukuran


3
2,18 x 1,56 x 1 m (volume efektif 3 ton) dalam ruangan semi outdoor
sebanyak 3 buah bak (Bak A; Bak B dan Bak C) dengan perlakuan sebagai
berikut :
a. Bak A: Pematangan gonad dengan pemberian pakan
buatan(Kontrol).
b. Bak B : Pematangan gonad dengan pemberian pakan
buatan + egg stimulator 2%.

c. Bak C : Pematangan gonad dengan pemberian pakan


buatan + egg stimulator 3%.

162
- Menyiapkan bak pemeliharaan. Bak dicuci dengan air tawar dan detergen
yang mana sebelumnya bak telah didesinfektan dengan kaporit 100 ppm.
- Menyiapan sistem aerasi pada bak pemeliharaan.
- Mengisi bak pemeliharaan dengan air laut yang langsung dipompa dari
laut yang sebelumnya telah melalui sistem filter fisik.
- Memasukkan induk kedalam bak pemeliharaan sebanyak 20 ekor.
- Pemberian pakan buatan yang telah ditambahkan egg stimulator
dilakukan sesuai dengan perlakuan.
- Setiap menjelang bulan gelap kedalam bak pemeliharaan dimasukkan
kolektor-kolektor telur sebagai media untuk melekatkan telur induk ikan
beronang.
- Pengamatan perkembangan gonad dilakukan sekali sebulan pada saat
bulan gelap.
Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran kualitas air pada
setiap perlakuan. Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas,
oksigen terlarut, pH dan amoniak.

Pengukuran Peubah

163
Pengukuran peubah dilakukan dengan mengamati pertumbuhan
mutlak, jumlah induk matang gonad, fekunditasdan daya tetas telur.

a. Pertumbuhan Mutlak
Pengukuran pertumbuhan bobot biomas mutlak larva di hitung
berdasarkan rumus Effendie (1979) sebagai berikut :

W = Wt - Wo

Dimana :

W = Pertumbuhan mutlak individu (gram).

Wt =Bobot biomassa hewan uji pada akhir

kegiatan (gram).

Wo = Bobot biomassa hewan uji pada awal

kegiatan (gram).

b. Pengukuran Jumlah Induk Matang Gonad


Pengukuran ini dilakukan dengan melakukan pengamatan kematangan
gonad pada setiap bak pemeliharaan untuk setiap bulannya. Untuk induk
jantan tingkat kematangan gonadnya pemeriksaannya dilakukan dengan
metode stripping, sedangkan untuk pemeriksaan kematangan gonad
induk betina dilakukan dengan metode kanulasi.

c. Fekunditas

164
Penentuan jumlah total telur (fekunditas) dilakukan dengan metode
sampling. Sebanyak 5 buah waring persegi empat diletakkan pada
setiap sisi bagian bak. Jumlah total telur dihitung dengan mengkonversi
jumlah telur yang menempel pada waring terhadap total luas bak.

d. Pengukuran Daya Tetas Telur


Pengukuran daya tetas telur dilakukan dengan metode sampling dengan
cara mengambil secara acak masing-masing 500 ml, pada lima titik yang
berbeda (pada setiap sudut bak dan pada bagian pertengahan bak) pada
bak pemijahan. Penentuan daya tetas telur yaitu jumlah total larva yang
diperoleh dibagi jumlah total telur dikali 100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Gonad

Induk-induk F1 ikan beronang dipelihara dalam bak terkontrol dengan


kepadatan 20 ekor/bak. Untuk perlakuan pada bak A hanya diberi pakan
buatan; bak B diberi pakan buatan + egg stimulator 2%,dan bak C diberi pakan
buatan + egg stimulator 3%. Pemberian pakan buatan dengan dosis 3%
BB/hari dengan frekwensi pemberian 5X/hari. Untuk menambah nilai nutrisi
pakan buatan yang diberikan maka pakan tersebut ditambahkan egg
stimulator sesuai perlakuan yang sebelumnya telah ditambahkan minyak cumi

165
sebagai perekat, kemudian diaduk rata dan dikeringanginkan. Setelah itu
disimpan dalam wadah tertutup dan dimasukkan dalam freezer.

Berdasarkan hasil yang telah dilakukan terhadap perkembangan


gonad induk ikan beronang yang dipelihara dalam bak terkontrol maka
didapatkan hasil seperti pada tabel dibawah ini :

Tabel 1.Perkembangan Gonad Induk F1 Ikan Beronang yang


Dipeliharadalam Bak Terkontrol.

Perkembangan Gonad
Kode Bak
SIKLUS I SIKLUS II SIKLUS III SIKLUS IV

♂ - - 2 2

A ♀ - - - 1

K 20 20 18 17

♂ - 1 5 5

B ♀ - 2 3 4

K 20 17 15 11

♂ - 2 3 6

C ♀ - 2 2 4

K 20 16 15 10

166
Pada tabel di atas terlihat bahwa pada pengamatan bulan pertama
induk belum ada yang berkembang gonadnya baik jantan maupun betina.
Induk baru mulai berkembang gonadnya pada bulan ke dua pemeliharaan
yaitu untuk pada bak Bsebanyak 3 ekor (1 ekor jantan dan 2 ekor betina)dan
17 ekor masih kosong; pada bak C yang berkembang gonadnya 4 ekor (2
ekor jantan dan 2 ekor betina) dan 16 ekor kosong, sedangkan pada Bak A
sampai bulan ke-dua belum ada yang berkembang gonadnya.

Pada pemeriksaan bulan ke tiga jumlah induk yang berkembang


gonadnya lebih banyak lagi yaitu untuk bak A sebanyak 2 ekor (2 ekor jantan);
pada bak B sebanyak 8 ekor (5 ekor jantan dan 3 ekor betina) dan pada bak C
sebanyak 5 ekor (3 ekor jantan dan 2 ekor betina). Kemudian memasuki
pengamatan bulan ke empat induk yang berkembang gonadnya semakin
bertambah yaitu pada bak A sebanyak 3 ekor (2 ekor jantan dan 1 ekor
betina); pada bak B sebanyak 9 ekor (5 ekor jantan dan 4 ekor betina) dan
pada bak C sebanyak 10 ekor (6 ekor jantan dan 4 ekor betina).

Pada akhir pengamatan jumlah induk yang matang gonad pada bak
pemeliharaan dengan penambahan egg stimulator (Bak B = 9 ek dan Bak C =
10 ek) lebih banyak dibandingkan dengan tanpa penambahan egg stimulator
(Bak A = 3 ek). Untuk lebih jelasnya perkembangan gonad induk ikan
beronang secara keseluruhan pada setiap waktu pengamatan dapat dilihat
pada grafik di bawah ini :

167
12

10

0
SIKLUS I SIKLUS II SIKLUS III SIKLUS IV
A B C

Gambar 1. Grafik Perkembangan Gonad Induk Ikan Beronang.

Pada Gambar 1. terlihat bahwa perkembangan gonad pada bak


Cdengan Bak B tidak berbeda secara signifikan, tetapi berbeda secara
signifikan dengan Bak A, hal ini menunjukkan bahwa penambahanegg
stimulator pada pakan dapat memacu perkembangan gonad induk F1 ikan
beronang secara signifikan. Adapun nilai nutrisi yang terkandung dalam
pakan buatan yang diberikan berdasarkan hasil analisa proksimat di
laboratorium pakan buatan BBAP Takalar adalah sebagai berikut :

Pada kegiatan ini induk mulai memijah pada pengamatan bulan ke dua yaitu
pada BakB dan Bak C. Sedangkan pada bak A belum ada induk yang
mengeluarkan telurnya. Selanjutnya pada pengamatan bulan ke empat induk
pada semua bak perlakuan bertelur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 3.
168
Tabel 3. Data Pemijahan Induk F1 Ikan Beronang pada Bak

Bahan Kandungan Bahan Kandungan


Vit A 6000000 IU Bacitracin MD 55000 mg
Vit D3 1000000 IU Vit B6 1000 mg
Vit E 2000 IU Vit B12 2 mg
Vit K3 1000 mg Vit C 20000 mg
Vit B1 2000 mg Ca-D pantothenate 4800 mg
Vit B2 5000 mg nacotinic acid 15000 mg
folic acic 250 mg
Pemeliharaan.

Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV


Kode
∑ Telur HR ∑ Telur HR ∑ Telur HR ∑ Telur HR
Bak
(butir) (%) (butir) (%) (butir) (%) (butir) (%)

A - - - - 380.000 - 420.000 20

B - - 248.000 32 915.000 75 1.570.000 76

C - - 266.000 35 930.000 74 1.580.000 78

169
Berdasarkan pada Tabel 3, terlihat bahwa pada bulan pertama dan ke
dua belum ada induk yang memijah. Pada bulan ke dua sudah ada induk
memijah yaitu pada BakB dan Bak C sedangkan pada Bak A belum ada induk
yang memijah. Adapun jumlah telur yang dihasilkan pada Bak B (248.000 butir
dengan HR 32%) dan pada bak C (266.000 butir dengan HR 35%). Kemudian
pada pengamatan bulan ke tiga induk pada semua bak pemeliharaan sudah
mengeluarkan telur. Adapun jumlah telur yang dihasilkan pada Bak A
(380.000 butirdengan HR 0,00%), Bak (915.000 butir dengan HR 75%), dan
pada Bak C (930.000 butir dengan HR 74%). Selanjutnya pada pengamatan
bulan ke empat jumlah telur yang dihasilkan pada semua bak pemeliharaan
semakin meningkat. Adapun jumlah telur yang dihasilkan pada pengamatan
bulan keempat adalah Bak A (420.000 butir dengan HR 20%); Bak B (1.570.000
butir dengan HR 76%); dan Bak C (1.580.000 butir dengan HR 78%).

Jumlah telur yang dihasilkan antara Bak B dengan Bak C pada setiap
waktu pengamatan tidak terlalu berbeda secara signifikan, namun demikian
berbeda secara signifikan dengan jumlah telur yang dihasilkan pada Bak
A.Tingginya jumlah telur yang dihasilkan pada Bak B dan Bak C dibandingkan
dengan Bak A disebabkan karena jumlah induk yang matang gonad pada Bak B
dan Bak C jauh lebih banyak dibandingkan dari Bak A, selain itu juga diduga
sebagai efek adanya pemberian egg stimulator pada kedua pemeliharaan
tersebut. Secara grafik jumlah telur yang dihasilkan setiap bak pemeliharaan
pada waktu pengamatan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2.

170
1600000

1400000

1200000

1000000

800000

600000

400000

200000

0
SIKLUS I SIKLUS II SIKLUS III SIKLUS IV

A B C

Gambar 2. Grafik Peneluran Induk Beronang Selama Pengamatan

Tingkat Kelangsungan Hidup

Induk-induk ikan beronang yang dipelihara dalam kegiatan ini sampai


pada akhir kegiatan untuk semua bak pemeliharaan tidak ada satupun yang
mati (SR 100%). Hal ini disebabkan karena selain penanganan yang cukup
ketat juga disebabkan karena kondisi kualitas air pemeliharaan yang sangat
menunjang kelangsungan hidup induk-induk ikan beronang tersebut. Adapun
hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 4.

171
Tabel 4. Hasil Pengamatan Tingkat Kelangsungan Hidup Induk F1
Ikan Beronang Lada Selama Perlakuan.

Jumlah Kelangsungan Hidup


Perlakuan
(ekor) (SR)
Bak A 100 100%
Bak B 100 100%
Bak C 100 100%

Berdasarkan hasil pada Tabel 4. terlihat bahwa tingkat kelangsungan


hidup yang didapatkan pada semua perlakuan sampai akhir kegiatan adalah
sama yaitu 100%. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya kandungan
protein yang terkadung dalam pakan yang digunakan dalam kegiatan ini
sangat mendukung untuk kelangsungan hidup induk F1 ikan beronang. Selain
itu tingkat konsumsi pakan yang cukup tinggi oleh setiap ikan uji
mengakibatkan ketersediaan energi dalam tubuh ikan juga tinggi sehingga
mendukung proses fisiologi untuk tumbuh dan mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Menurut Effendi, (1979) menyatakan bahwa
ketersediaan makanan akan mempengaruhi sintasan ikan dan protein
mempunyai fungsi bagi tubuh yaitu sebagai zat pembangun yang membentuk
berbagai jaringan baru untuk pertumbuhan, zat pengatur dan zat pembakar
(Murtidjo, 2001).

Kualitas Air

Selama kegiatan berlangsung dilakukan pengukuran parameter fisika-


kimia air media pemeliharaan benih ikan beronang, meliputi : Suhu, salinitas,

172
pH, oksigen terlarut dan amoniak. Nilai kisaran parameter kualitas air dapat
dilihat pada Tabel 5.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Beberapa Parameter Kualitas Air Selama


Kegiatan Berlangsung.

Parameter Kualitas Perlakuan


Air Bak A Bak B Bak C
Oksigen Terlarut 5,25 – 6,12 5,27 – 6,14 5,32 – 6,22
(ppm)
Suhu (oC) 28 – 30 28 – 30 28 – 30
Salinitas (ppt) 29 – 31 29 – 31 29 – 31
PH 7,5 – 7,9 7,5 – 7,9 7,5 – 7,9
NO2 0,06 – 0,1 0,06 – 0,1 0,06 – 0,1
NH3 0,004 – 0,029 0,004 – 0,018 0,004 – 0,025

Suhu air media pemeliharaan selama penelitian berkisar antara 28 -


30 ºC. Kisaran tersebut masih layak untuk pertumbuhan dan kehidupan ikan
beronang. Suhu yang optimal untuk kehidupan ikan berkisar antara 25 – 33
o o
C, namun suhu ideal adalah 27 – 32 C dengan perubahan yang tidak ekstrim
(Kordi, 2005).

Salinitas air media pemeliharaan selama penelitian berkisar antara


29 -31 ppt. Nilai ini masih dalam batas yang layak untuk kehidupan ikan
beronang. Kisaran salinitas sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotic sel
tubuh. Oleh karena itu, diperlukan air yang memadai atau memenuhi
persyaratan hidup ikan beronang. Ikan beronang umumnya menyukai
salinitas 15-33 ppt dalam kelangsungan hidupnya (Kordi, 2005).

Kisaran pH air untuk semua perlakuan selama penelitian berkisar


antara 7,5 - 7,9. Nilai ini masih dalam batas yang yang layak untuk kehidupan.
173
Ikan beronang tumbuh optimal pada pH 7,2 – 8,5. Bahkan pada pH 6,5 pun
ikan beronang masih hidup dengan baik, tetapi pertumbuhannya lambat
(Sunyoto dan Munstahal, 1997). Lebih lanjut dikatakan Idris (2008) bahwa pH
yang optimal 7,85 – 8,52 pada bak pemeliharaan ikan beronang.

Kandungan Oksigen terlarut (O2) selama penelitian berkisar antara


5,25 -6,22 ppm. Nilai kisaran tersebut menunjang pertumbuhan ikan
beronang. Menurut Kasry (1996) kandungan oksigen terlarut 4 ppm
merupakan standar yang tidak boleh kurang untuk kelayakan kehidupan
organisme dalam perairan. Ikan beronang mampu mentelorir oksigen hingga
2 ppm, dan kelarutan oksigen 3 - 4 ppm sangat baik untuk ikan beronang.
Sebaliknya kelarutan oksigen yang sangat tinggi (lebih dari 8 ppm) juga tidak
baik bagi ikan karena dapat menyebabkan penyakit gelembung gas (Kordi,
2005).

Nilai kisaran amoniak yang diperoleh selama penelitian 0,004 - 0,029


ppm. Nilai kisaran ini masih layak untuk menunjang pertumbuhan dan
mempertahankan kelangsungan hidup benih beronang. Amoniak merupakan
hasil ekskresi atau pengeluaran kotoran ikan yang berbentuk gas. Selain itu,
amoniak bisa berasal dari pakan yang tidak termakan oleh biota sehingga larut
dalam air. Kadar amoniak yang terkandung dalam perairan merupakan hasil
proses penguraian bahan organik. Kandungan amoniak dipengaruhi oleh pH
dan temperatur. Menurut Sutika (1989), amoniak akan berpengaruh secara
langsung dan tidak langsung terhadap ikan yang dipelihara.

174
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang didapatkan pada kegiatan pematangan induk


F1 ikan beronang ini maka dapat disimpulkan bahwa pemberian egg stimulator
yang ditambahkan ke dalam pakan dengan 2-3% ternyata cukup efektif untuk
memacu perkembangan gonad dari induk F1 ikan beronang yang dipelihara.

Saran

Adanya keberhasilan yang cukup signifikan dalam kegiatan ini, maka


kami menyarankan supaya tidak perlu menggunakan hormon dalam proses
pematangan gonad induk ikan beronang karena tentunya akan menambah biaya
produksi cukup dengan penambahan egg stimulator.

DAFTAR PUSTAKA

Basyari, A., 1989. Biologi dan Budidaya Ikan Beronang Siganus spp.
Wicara/Seminar Pemanfaatan Sumberdaya Pantai/Laut. Sub Balai
Penelitian Budidaya Pantai Bojonegara, Serang Bojonegara, 12 – 13
April 1988. pp 1-20.

Bryan, P.G. and B.B. Madraisau, 1977. Larval Rearing and Development of
Siganus lineatus (Piscea : Siganidae) from Hatching Through
Metamorphosis Aquaculture 10 : 243 – 252.

Gundemann, N., D.M. Popper and Lichtowich, 1983. Biology and life cycle of
Siganus vermiculatus (Siganidae, Pisces). Pacifik Science, 37 (2) : 165.
175
Effendie, M.L. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Jakarta.
Hal. 92 – 100.

Ismail, W., I.S. Wahyuni and T. Pangabean, 1986. Studi Pendahuluan


Pemberian Komposisi Pakan yang Berbeda pada Ikan Beronang Siganus
canaliculatus (Preliminary study on the combination of feed for
siganids). Jurnal Penelitian Perrikanan Laut 10 (36) : 1 – 5.

Koesharyani I., Zafran, E. Stiadi, K. Yuasa and S. Kawahara. 1999. Control of


benedenian infection in humpback grouper Cromileptis altivelis with
hydrogen peroxide, OP 60. In: “Aquatic Animal Health for
Sustainability”, Book of Abstracts, OP 40, Fourth Symposium on
Diseases in Asian Aquaculture, November 22-26, 1999, Cebu,
Philippines.

Soletchnik, P., 1984. Aspect of nutrition and reproduction in Siganus guttatus


with emphasis on applications in aquaculture. SEAFDEC Aquaculture
Department, Iloilo, Philippines (Terminal Report).

Sunyoto, P. and Munstahal, 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis penting.


Penebar Swadaya, Jakarta.

Tanaka, H., Waspada and K. Sugama, 1989. An experimental cage culture of


golden rabbitsfish Siganus guttatus (Bloch) from juveniles through to
adults (Draft; Personal commun).

Waspada, 1984. Pemijahan dan Pemeliharaan Larva Ikan Kea-Kea Siganus


virgitus. Laporan Penelitian Perikanan Laut No. 30 : 35 – 42

176
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN BAWAL
BINTANG (Trachinotus blochii) DI KERAMBA JARING APUNG GUNA
MENDUKUNG PROGRAM INDUSTRIALISASI PERIKANAN
BUDIDAYA

Saipul Bahri, Nur Muflich Yunianto, M. Kadari, Faizal Andre

ABSTRAK

Ikan Bawal Bintang (Trachinotus blochii) saat ini telah banyak mendapat
tempat dan menjadi primadona baru di hati masyarakat. Karateristik ikan
Bawal Bintang yang memiliki pertumbuhan cepat, daya adaptasi tinggi, dan
mudah dibudidayakan menjadikan ikan ini memiliki potensi dan peluang besar
untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan pasar domestic dan
internasional.

Seiring keberhasilan Balai Perikanan Budidaya laut Batam dalam


membudidayakan ikan Bawal Bintang diharapkan pada akhirnya dapat
dikembangkan diseluruh wilayah perairan laut Indonesia guna mendukung
program industrialisasi perikanan budidaya. Tujuan yang diharapkan dari
kegiatan ini adalah untuk meningkatkan penguasaan teknologi produksi ikan
Bawal Bintang secara missal oleh masyarakat.

Beberapa hal yang harus menjadi perhatian dalam proses budidaya ikan Bawal
Bintang di KJA adalah meliputi wadah pemeliharaan, penebaran benih,
pemberian pakan, pemilahan ukuran, pengamatan pertumbuhan dan
kelulushidupan, pengendalian hama dan penyakit ikan serta pemanenan. Wadah
pemeliharaan pada tahap pendedran mengunakan waring ukuran 3X1X1,5 m3,
kemudian tahap penggelondongan mengunakan jarring ¾ inch dengan ukuran
3X3X3m3, sedangkan tahap pembesaran dilakukan dengan mengunakan jarring
1,5 inch dengan ukuran 3X3X3m3. Penebaran dilakukan pada benih berukuran
5 cm dengan padat tebar 40-50 ekor/m3. Pemberian pakan dilakukan
menggunakan pellet dengan kandungan protein 37% disertai pemberian
tambahan suplemen protein rekombinan pada pakan dengan dosis 5 mg/kg
pakan. Adapun pemberian pakan pellet dilakukan dengan memperhatikan 2
tahapan yaitu untuk ikan dengan ukuran < 100 gram diberikan pakan dengan
dosis 7 % dari berat total ikan sedangkan ikan dengan ukuran > 100 gram
diberikan pakan dengan dosis 4-3% dari berat total ikan. Pemilahan ukuran
177
ikan < 50 gram dilakukan setiap 2 minggu sekali dan ketika telah mencapai
ukuran > 50 gram dilakukan setiap sebulan sekali. Pengambilan data untuk
pemantauan terhadap pertumbuhan dan tingkat kelulushidupan dilakukan setiap
sebulan sekali. Pengendalian kesehatan dan lingkungan dilakukan dengan
pemantauan kondisi kualitas air secara priodik serta melakukan pengantian dan
pencucian jaring secara berkala setiap sebulan sekali diikuti dengan proses
perendaman ikan kedalam air tawar. Selama pemeliharaan dengan penambahan
protein rekombinan 5.5- 6 bulan diperoleh hasil pertumbuhan dari berat awal
10,20 gr menjadi 459,48 gr, dengan FCR 1,86 dan tingkat kelulus hidupan yang
dihasilkan sebesar 93,84 %. Dari hasil analisa usaha pembesaran ikan Bawal
Bintang di Keramba jaring Apung HDPE (4x4m)sebanyak 4 petak (satu unit),
dengan lama pemeliharaan 6-7 bulan dapat diperoleh keuntungan Rp.
57.000.000 dengan asumsi sebagai berikut : Ukuran benih tebar 7-8 cm, padat
tebar 2500 ekor/petak (10.000 ekor/unit) , SR 80%(produksi sebanyak 8000
ekor) ukuran jual 500 gram , FCR 1:2 ,harga jual Rp. 60.000. Dari hasil analisa
usaha ini BEP (Biaya operasional akan tercapai pada produksi minimal 3.050
kg.

Pada akhirnya keberhasilan budidaya ikan Bawal Bintang melalui penguasaan


teknologi diharapkan dapat menjadi bukti dukungan terhadap proses
industrialisasi sector perikanan khusunya perikanan budidaya serta mendukung
ketahanan pangan nasional.

Kata Kunci : Budidaya, Bawal Bintang, Keramaba jarring Apung,


Industrialisasi

178
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ikan bawal bintang (Trachinotus blochii, Lacepede) telah menjadi
salah satu komoditas budidaya laut yang diminati khususnya di wilayah
Kepulauan Riau, bahkan menjadi ikon daerah ini. Ikan ini merupakan salah satu
spesies yang sangat populer dibudidayakan, karena selain dagingnya lezat,
pertumbuhannya cepat dan mudah untuk dibudidayakan sehingga menyebabkan
industri pembenihan dan budidaya berkembang pesat (Anonimus, 2007).
Teknologi pembesaran ikan-ikan laut semakin berkembang dengan
adanya komoditas baru, baik melalui hybrid maupun introduksi dari Negara
lain. Salah satu komoditas baru adalah Ikan Bawal Bintang (Trachinotus
blochii. Lacepede)atau yang dikenal dengan merek dagang Silver Pompano
mulai mendapat tempat di hati masyarakat. Bawal Bintang merupakan ikan
introduksi dari Taiwan yang sudah dikuasai teknologinya baik pembenihan
maupun pembesarannya di Balai Budidaya Laut Batam, dan merupakan salah
satu jenis ikan yang mempunyai prospek pemasaran yang cukup bagus.
Penguasaan teknologi produksi benih secara massal dan teknologi
pembesarannya yang relatif mudah merupakan salah satu tahap menuju
budidaya ikan sebagai suatu usaha industri yang mendatangkan devisa negara
dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Mengingat spesies ini masih baru,
maka diperlukan langkah-langkah pengembangan usaha budidayanya di
masyarakat. Adapun kelebihan dan keunggulan dari komoditas ikan bawal
bintang antara lain : Teknologi budidaya sudah tersedia, masa pemeliharaan di
karamba jaring apung cepat, ukuran tebar benih 5 cm – 7 cm dibutuhkan waktu
5 – 6 bulan untuk mencapai ukuran konsumsi 400 gram – 500 gram, adaptif
terhadapa berbagai jenis pakan, tahan terhadap penyakit dan tidak bersifat
kanibalisme, mampu hidup dalam kondisi yang padat di keramba jaring apung,
benih tersedia, dan pasar terbuka luas.
Salah satu faktor untuk meningkatkan pertumbuhan dalam budidaya
ikan bawal bintang adalah dengan penambahan suplemen berupa protein
rekombinan dimana dengan penambahan ini selain dapat meningkatkan
pertumbuhan juga dapat meningkatkan SR dan menekan FCR serta dapat
memperpendek waktu panen.

179
Tujuan
Adapun tujuan yang diharapkan dari kegiatan ini adalah untuk
meningkatkan penguasaan teknologi produksi ikan Bawal Bintang secara
missal oleh masyarakat dan dapat menjadi salah satu solusi meningkatkan
pertumbuhan ikan budidaya dalam upaya peningkatan efisiensi produksi.

TEKNOLOGI PEMBESARAN IKAN BAWAL BINTANG

Pemilihan Lokasi
Sebelum kegiatan budidaya dilakukan terlebih dahulu diadakan
pemilihan lolkasi. Pemilihan lokasi yang tepat akan menentukan keberhasilan
usaha budidaya ikan bawal bintang. Secara umum lokasi yang baik untuk
kegiatan usaha budidya ikan di laut adalah daerah perairan teluk, lagoon dan
perairan pantai yang terletak diantara dua buah pulau (selat). Beberapa
persyaratan teknis yang harus di penuhi untuk lokasi budidaya ikan Bawal
Bintang di laut meliputi : Perairan pantai/ laut yang terlindung dari angin dan
gelombang, Kedalaman air yang baik untuk pertumbuhan ikan kakap putih
berkisar antara 5 ~ 15 meter, pergerakan air yang cukup baik dengan kecepatan
arus 20-40 cm/detik, Kadar garam 29 ~ 32 ppt, suhu air 28 ~ 32 0 C dan
oksigen terlarut 5,0 ~ 7,0 ppm, benih mudah diperoleh, bebas dari pencemaran
dan mudah dijangkau,Dekat Sarana Dan Prasarana Transportasi, dan keamanan

Teknik Pembesaran di keramba jaring apung


Pembesaran benih merupakan proses pemeliharaan benih ikan bawal
bintang dari ukuran panjang total (TL) 5-7 cm hingga mencapai ukuran
komsumsi ( 400-500 gram per ekor). Diagram prosedur pemeliharaan yang
dilakukan di Keramba jaring Apung (KJA).

180
Persiapan KJA dan jaring

Penebaran benih

Aklimatisasi

Padat tebar

Pemeliharaan ikan

Pakan

Sampling & Grading


Pengendalian kesehatan &
Lingkungan

vaksin

Pergantian Jaring

Panen

Sumber benih

Benih ikan bawal bintang berasal dari hasil pembenihan (Hatchery)


BPBL Batam. Benih yang yang digunakan harus yang bermutu/berkualitas
yang berasal dari panti benih yang bersertifikat atau memiliki surat keterangan
bebas penyakit. Kualitas benih sangat dipengaruhi oleh keberhasilan dalam
suatu budidaya. Oleh karena itu gunakan benih yang berkualitas dengan kreteia
181
sebagai berikut : Ukuran tebar 5-7 cm, warna cerah putih keperakan, sehat dan
tidak terserang penyakit, mempunyai respon yang baik terhadap pakan, gerakan
aktif, lincah dan bergerombol.

Wadah Pemeliharaan

Dalam mempersiapkan wadah (jaring atau waring), ada hal-hal yang


perlu dilakukan yaitu pencucian jaring, pemasangan jaring dan pemasangan
pemberat. Pencucian jaring dilakukan dengan menggunakan mesin semprot
jaring. Adapun tujuan dari pencucian jaring yaitu untuk membersihkan jaring
dari kotoran lumut atau lumpur yang menempel di jaring sehingga sirkulasi air
maupun oksigen terhambat. Pemasangan jaring dilakukan di bingkai karamba
kemudian keempat sudutnya diikatkan pada tiang keramba dengan tali kencang
agar tidak mudah lepas dan terbawa arus. Sesudah jaring terpasang, pada setiap
sudut jaring juga dipasang pemberat dari batu pemberat. Tujuan dari
pemasangan pemberat yaitu untuk menghindari jaring mudah terbawa arus air
dan posisi jaring lebih kencang.

Tabel 1. Hubungan Antara Ukuran Benih Dengan Mata Waring/Jaring


Ukuran Benih Ukuran Mata
No. satuan
(cm) Jaring
1 2-3 4 mm
2 3-5 0,5 inchi
3 5-7 0,75 inchi
4 7-9 1 inchi
5 ≥15 1,25 inchi

Penebaran Benih
Benih Bawal Bintang berasal dari hasil pembenihan (Hatchrey) BBL
Batam. Ukuran benih Bawal Bintang yang di tebar di KJA adalah 5-7 cm.
Benih yang baru turun dari hatchery di lakukan aklimatisasi dan diadaptasikan
dulu dengan kondisi lingkungan yang baru,terutama pengadaptasian terhadap
perbedaan suhu dan salinitas antara di hatchrey dengan kondisi air di tempat
pemeliharaan yaitu di KJA. Proses aklimatisasi yang dilakukan dengan cara
meletakan plastik ke dalam air dan dibiarkan selama 10 – 15 menit, kemudian
plastik packing dibuka dan perlahan-lahan air dari laut dimasukan kedalam
plastik, dan dibiarkan benih keluar dengan sendirinya.
182
Tabel 2. Padat penebaran Ikan bawal Bintang
FASE UKURAN UKURAN PADAT TEBAR
PEMELIHARAAN TEBAR TEBAR
( EKOR/M3)
( GRAM) ( CM )
Penggelondongan 20 - 40 5-7 50-60
50 - 100 8 - 10 45-55
Pembesaran >100 - 40-50

Pakan dan Pemberian Pakan


Pemilihan jenis pakan untuk ikan bawal bintang harus didasarkan pada
kemauan ikan untuk memangasa pakan yang diberikan, kualitas, nutrisi dan
nilai ekonomisnya. Pakan yang diberikan dalam pemeliharaan ikan bawal
bintang adalah jenis pakan pellet yang memiliki kandungan protein 37%.
Dalam pemberian pakan ini sertai penambahan suplemen protein rekombinan
pada pakan dengan dosis 5 mg/kg pakan.
Frekwensi dan waktu pemberian pakan pellet dilakukan dengan
memperhatikan 2 tahapan yaitu untuk ikan dengan ukuran < 100 gram
diberikan pakan dengan dosis 7 % dari berat total ikan sedangkan ikan dengan
ukuran > 100 gram diberikan pakan dengan dosis 4-3% dari berat total ikan.
Penambahan multivitamin dan Vitamin C dapat ditambahkan untuk
melengkapi multivitamin. Vitamin C adalah tergolong vitamin yang larut dalam
air dan mudah rusak sehingga disarankan pemberian vitamin C pada pakan
dilakukan sesaat sebelum pemberian pakan. Dosis pemberian Vitamin C adalah
2 gram/kg berat pakan dan diberikan 2 kali seminggu.

183
Tabel. 3 Ukuran dan Dosis Pakan
Dosis
Ukuran Ukuran butiran Frekuensi
No (% berat biomass /
ikan (gr) (mm) (kali)
hari)
1 1 0,8 4 10
2 3 1 4 8
3 10 2 4 7
4 50 4 2 6
5 100 5 2 4
6 200 6 2 3
7 300 7-10 2 3
* Pemberian pakan : pemberian pakan sesuai dengan prosentasi berat
ikan.

Pengendalian kesehatan dan Lingkungan


Penyakit sangat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan bawal bintang ,
karena dapat menimbulkan gangguan suatu fungsi atau struktur dari organ
tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga dapat
mengakibatkan kerugian ekonomis atau hilangnya produksi. Penyakit terjadi
antara adanya hubungan tiga faktor yaitu ikan, lingkungan dan biota.
Penyakit ikan bisa disebabkan oleh bakteri, parasit dan virus.Oleh
karena itu tindakan preventif sebaiknya dilakukan lebih awal. Adapun tindakan
pencegahan yang dilakukan yaitu dengan cara : Pergantian jaring, pemberian
Vitamin dan multivitamin, perendaman dengan air tawar, dan vaksinasi.
Tindakan pengobatan adalah langkah terakhir jika tindakan pencegahan tidak
berhasil dan tidak efektif dilakukan.

184
Tabel. 4 Tindakan pencegahan dan pengobatan penyakit pada ikan bawal
bintang
No Jenis bahan Dosis Cara penggunaan

1 Air tawar - Perendaman 10-15 menit

2 Vitamin c & 1g/kg-2g/kg Pencampuran dalam pakan


Multivitamin pakan

3 Vaksin Sesuai anjuran Dilakukan penyuntikan

Pemantauan Populasi dan Pertumbuhan


Pemantauan populasi menghasilkan informasi kelangsungan hidup ikan
sedangkan pemantauan bobot rata-rata akan menghasilkan informasi laju
pertumbuhan dan kondisi kesehatan ikan. Pemantauan ikan dilakukan dengan
cara sampling.Sampling adalah pengambilan sejumlah contoh ikan kemudian
diukur panjang dan bobotnya. Berdasarkan sampling akan diketahui bobot
biomassa ikan, laju pertumbuhan ikan dan FCR.
Grading dilakukan setiap 2 minggu-3 minggu sekali pada ukuran ikan dibawah
50 gram, satu bulan sekali untuk ukuran ikan > 50 gram. Berdasarkan data
pengamatan dipreoleh data sebagai berikut :
Data Pertumbuhan kegiatan aplikasi protein rekombinan
Ikan Bawal Bintang Ikan Bawal Bintang
Parameter Pengamatan
Uji Kontrol
Berat awal (gram/ekor) 10,20 10,20

Berat Akhir (gram/ekor) 459,48 350,26

Pertambahan berat ( 449,28 340,06


FCR (Feed Convertion
1 : 1,857 1:2
Rate)
SR/Survival Rate (%) 93,84 82,73

185
500 FCR
400 2.300
2.200
300 2.100
rgh 2.000
200 1.900
kontrol 1.800 FCR
100 1.700
1.600
0
Δw sr

Pemanenan
Rangkaian akhir dari kegiatan budidaya ikan yang berorientasi pasar
adalah panen dan pengangkutan. Kegiatan panen dan pengangkutan ini tidak
kalah pentingnya dengan kegiatan lainnya, karena kesalahan dan keteledoran
dalam pemanenan dan pengangkutan bisa berakibat fatal dan akhirnya target
produksi tidak tercapai. Mengingat ikan yang akan angkut dalam keadaan
hidup sehingga penanganannya pun harus tepat, baik waktu, cara maupun
bahan yang diperlukan. Ukuran panen untuk ikan Bawal Bintang di KJA adalah
400 - 500 gram.

Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari karena pada
saat tersebut suhu relatif rendah. Dengan suhu rendah maka diharapkan dapat
mengurangi stress selama pemanenan. Penggunaan alat panen yang benar
sangat menentukan mutu ikan yang dipanen. Alat panen yang digunakan
sebaiknya berupa serok terbuat dari bahan jaring yang halus. Serok yang kasar
dapat menimbulkan luka pada ikan sehingga dapat menyebabkan ikan stress
dan mudah terserang penyakit. Untuk pemanenan ikan Bawal Bintang
sebaiknya tidak diberi pakan atau dipuasakan terlebih dahulu selama 12 - 48
jam sebelum dipanen. Adapun langkah langkah dalam pemanenan yaitu : 1)
Melepaskan (membuka) Pemberat disetiap sudut jaring, 2). Tarik jaring
perlahan-lahan dengan mengunakan kayu sebagai pembatas sehingga ikan
186
terkumpul pada sudut/bagian, 3). Perlahan-lahan ikan diserok dengan
mengunakan serokan dan kemudian ditimbang bobotnya.

KESIMPULAN

1. Kegiatan proses budidaya ikan Bawal Bintang di KJA adalah meliputi


wadah pemeliharaan, penebaran benih, pemberian pakan, pemilahan
ukuran, pengamatan pertumbuhan dan kelulushidupan, pengendalian hama
dan penyakit ikan serta pemanenan
2. Selama pemeliharaan dengan penambahan protein rekombinan 5.5- 6 bulan
diperoleh hasil pertumbuhan dari berat awal 10,20 gr menjadi 459,48 gr,
dengan FCR 1,86 dan tingkat kelulus hidupan yang dihasilkan sebesar
93,84 %

DAFTAR PUSTAKA

APEC / SEAFDEC . 2001. Pembudidayaan dan Management Kesehatan Ikan


Bawal bintang. APEC, Singapore dan SEAFDEC, Iloilo,
Philiphines

Darmono, A. M, Kadari. 2007. Pembesaran Bawal Bintang (Trachinotus


blochii, Lacepede) di Keramba Jaring Apung dengan Pemberian
pakan Buatan (Pellet) yang Mempunyai Kadar Protein Berbeda.
Balai Budidaya Laut Batam. 9 hal.

Dikrurahman. 2003. Pertumbuhan Populasi Rotifera (Brachionus sp.) Dengan


Pemberian Pakan Alami Mikroalgae Monospesies Dan Multispesies.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
[Skripsi].

Direktorat Jendral Perikanan 1982 - Petunjuk teknis budidaya laut DIT- JEN
PERIKANAN, Jakarta : 24 hal.

Environmental Protection Agensy 1973 - Water Quality Criteria ; a report of


the Committee on Water Quality Criteria. EPA, Washington D.C.

Hartanto, N. 2007. Suivi des techniques d’elevage du bar (Dicentrarchus


labrax) et de la daurade (Sparus aurata). Rapport de stage du de
Bioressources Aquatiques en Environnement Méditerranéen et
Tropical. Université Montpellier II. 28 p.

187
Hermawan, T.; Syamsul, A.; M. Hanafi; M. Kadari. 2005. Preliminary study on
seed production of silver pompano (Trachinotus blochii, Lacepede) in
Regional Center for Mariculture Development Batam. Paper on World
Aquaculture Summit. Bali, July 9-13 2005

188
PENGGUNAAN NANNOCHLOROPSIS GEL DALAM
PEMELIHARAAN LARVA IKAN BERONANG(Siganus guttatus)

Hamka, Endah Soetanti, Dasep Hasbullah dan Suhardi Atmoko

ABSTRAK

Kegiatan ini bertujuan untuk melihat efektifitas penggunaan nanno gel


pada pemeliharaan larva ikan beronang sebagai subsitusi Nannochloropsis sp.
hasil kultur skala massal terhadap tingkat kelangsungan hidup larva.Sedangkan
sasarannya adalah sebagai bahan informasi dalam pengembangan kegiatan
pembenihan ikan beronang untuk meningkatkan produksi benihdalam
mendukung kegiatan pembudidayaan. Kegiatan ini dilakukan dengan bak beton
berukuran2,18 x 1,56 x 1 m3 (volume efektif 3 ton) dalam ruangan indoor
sebanyak 4 buah (Bak A; Bak B; Bak C dan Bak D). Adapun perlakuan yang
dilakukan adalah sebagai berikut Bak A (penggunaan nanno gel 5 ppm); Bak
B (penggunanaan nanno gel 10 ppm); Bak C (penggunanaan nanno gel 15
ppm); dan Bak D dengan penggunaan Nannochloropsis sp.(Kontrol). Padat
penebaran larva 10 ekor/ltr. Pengukuran tingkat kelangsungan hidup (SR)
dihitung pada saat larva berumur 5 hari (D5); 15 hari (D15); dan 30 hari (D30).
Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 5 hari. Tingkat kelangsungan hidup
(SR) rata-rata yang didapatkan pada saat larva berumur D5 adalah pada
perlakuan A (5%); perlakuan B (45%); perlakuan C (42,5%); dan perlakuan D
(45%).Untuk tingkat kelangsungan hidup (SR) rata-rata yang didapatkan pada
saat D15 adalah pada perlakuan A (0%); pada perlakuan B (22,25%); perlakuan
C (23,25%); dan perlakuan D (22,75%). Sedangkan tingkat kelangsungan
hidup (SR) yang didapatkan pada saat D30 adalah pada perlakuan A (0%);
perlakuan B(1%); perlakuan C (1,25%); dan perlakuan D (1,25%). Hasil
pengukuran kualitas air menunjukkan kisaran yang normal untuk mendukung
kegiatan pemeliharaan larva ikan beronang.

Kata kunci : Nannochloropsis gel, Trocopor tiram, Brachionus sp, Larva


beronang

189
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beberapa jenis ikan laut yang ekonomis dan merupakan komoditas


budidaya umumnya ada tiga golongan yaitu kerapu, kakap dan beronang.
Selain kerapu dan kakap, ikan beronang juga memiliki banyak jenis. Di daerah
Indonesia dikenal sekitar 12 jenis ikan beronang. Ikan beronang (Siganus)
mempunyai tubuh yang lebar dan pipih. Mulutnya kecil karena beronang
memang bukan ikan pemangsa melainkan ikan pemakan tumbuhan (herbivora).
Oleh sebab itu ia sering ditemukan di lingkungan perairan yang banyak
ditumbuhi lamun (sea grass) dan alga yang lebat. Sebagai ikan untuk
konsumsi, beronang makin banyak penggemarnya. Ada tiga jenis yang
dagingnya tebal yakni : Siganus guttatus, Siganus javus dan Siganus
canaliculatus (Nontji, 1987). Di makassar ikan beronang baker sangat terkenal.
Akhir-akhir ini telah dicoba usaha untuk membudidayakannya.
Namun, sayangnya pemasokan benih ikan budidaya siap tebar dari usaha panti
benih belum ada sama sekali (khususnya untuk wilayah Indonesia Timur).
Benih ikan beronang yang digunakan masih mengandalkan dari usaha
penangkapan di alam. Dengan demikian, ada kemungkinan akan terjadi
eksploitasi penangkapan ikan di alam secara berlebihan. Hal ini tentu saja akan
merusak keseimbangan ekosistem di masa mendatang.
Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan upaya untuk
melakukan kegiatan pembenihannya. Namun dalam kegiatan pembenihan ikan
beronang tingkat kelangsungan hidupnya masih rendah bahkan masih sering
didapakan kematian secara massal utamanya pada fase endogenous ke fase
eksogenous yaitu fase dimana larva untuk pertamakalinya mencari makan dari
luar. Tingginya tingkat mortalitas pada fase ini yaitu dimana larva tidak dapat
memanfaatkan pakan yang ada. Salah satu penyebab larva tidak mampu
memanfaatkan pakan yang ada karena ukuran pakan tersebut tidak sesuai
dengan bukaan mulut larva.
Selain itu ketersediaan fitoplankton (Nanno chloropsis) dalam
kegiatan pemeliharaan larva juga merupakan kendala utama, dimana
fitoplankton pada musim-musim tertentu sering mengalami trouble dan pada
kegiatan kultur skala massal kepadatan dari fitoplankton tersebut cukup rendah.
Fitoplankton dengan kepadatan sel rendah sangat tidak layak untuk digunakan
dalam pemeliharaan larva, karena jumlah fitoplankton yang dimasukkan
kedalam bak pemeliharaan larva harus dalam jumlah besar untuk mencapai
kepadatan sel yang diinginkan. Banyaknya fitoplankton yang dimasukkan
mengakibatkan kandungan amoniak dalam bak pemeliharaan larva meningkat
secara signifikan yang mengakibatkan larva mengalami keracunan amoniak
190
sehingga terjadi kematian secara massal. Sehubungan dengan hal tersebut
maka perlu dilakukan kajian untuk menggunakan fitoplankton instant (nanno
gel) dalam kegiatan pemeliharaan larva.

Tujuan dan Sasaran


Tujuan dari kegiatan ini adalah mengetahui tingkat efektifitas
penggunaan nanno gel pada pemeliharaan larva ikan beronang sebagai subsitusi
Nannochloropsis sp. hasil kultur skala massal terhadap tingkat kelangsungan
hidup larva.
Sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai bahan informasi dalam
pengembangan kegiatan pembenihan ikan beronang dalam meningkatkan
produksi dalam mendukung kegiatan pembudidayaan.

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Klasifikasi & Morfologi


Klasifikasi menurut Nelson (1976) adalah sebagai berikt :
Kelas : Osteichthyes
Sub kelas : Actinopterygii
Infra kelas : Teleostei
Divisi : Euteleostei
Super ordo : Acanthoptrygii
Ordo : Percipformes
Sub ordo : Acanthuroidei
Family : Siganidae
Genus : Siganus
Species : Siganus guttatus (Lin., 1766).
Jenis ikan ini mempunyai tubuh berwarna abu-abu kebiruan dan
bagian bawahnya berwarna keperakan dengan beberapa bintik sebsar bola
mata. Dibawah sirip punggung terdapat bercak besar berwarna kuning. Bentuk
badannya oval menyamping dengan lebar badan antara 1,8 – 2,3 kali panjang
standar. Jenis ini mempunyai 17 jari-jari keras dan 10 jari-jari pada sirip
punggung, 7 jari-jari keras, dan 9 jari-jari lunak sirip dubur. Sirip ekornya
berbentuk persegi atau sabit pada ikan-ikan dewasa. Di antara jenis beronang,
beronang lada dapat mencapai ukuran yang lebih besar, yaitu lebih dari 1 kg
dan beronang ini paling cepat pertumbuhannya disbanding jenis lain (Kordi,
2005).
Ikan beronang, biawas dan samadar itu tergolong pada marga Siganus
bila dilihat kacamata seorang ahli sistematik dan mecakup beberapa jenis ikan
191
(Martosewojo et al., 1981). Masyarakat sekitar Kepulauan Spermonde
menyebut ikan beronang S. guttatus sebagai beronang ”rante-rante”.
Ada tiga jenis ikan beronang yang sering ditemukan dan mempunyai
prospek untuk dibudidayakan yaitu Siganus javus (beronang tulis), Siganus
guttatus (beronang lada) dan Siganus canaliculatus (beronang lingkis). Ketiga
jenis ikan itu dapat dibedakan berdasarkan warnanya. Berikut ini perbedaan-
perbedaan yang dapat dikenali :
- Tubuh bagian atas S. gutatus berwarna abu-abu kebiruan,
sedangkan bagian bawah berwarna perak dengan bintik-bintik
yang lebih besar berwarna kuning keemasan. Pada sisi badan,
tepatnya bagian bawah sirip punggung belakang, terdapat sebuah
bintik besar. Di antara jenis beronang, beronang lada dapat
mencapai ukuran yang lebih besar, yaitu lebih dari 1 kg dan
beronang ini paling cepat pertumbuhannya disbanding jenis lain.
- Tubuh bagian atas S. javus berbintik putih, tetapi pada bagian
bawahnya bintik-bintik itu merapat dan membentuk garis-garis
horizontal. Ukuran ikan beronang ini dapat mencapai panjang 35
cm.
- Tubuh bagian atas S. canaliculatus berwarna hijau abu-abu
dengan bagian bawah berwarna perak yang diliputi oleh bintik-
bintik berwarna pucat. Ukuran panjang ikan ini lebih kecil jika
dibandingkan dua jenis ikan beronang sebelumnya.
-
Makanan dan Habitatnya
Sesuai dengan morfologi dari gigi dan saluran pencernaannya yaitu
mulutnya kecil, mempunyai gigi seri pada masing-masing rahang, gigi geraham
berkembang sempurna, dinding lambung agak tebal, usus halusnya panjang dan
mempunyai permukaan yang luas, ikan beronang termasuk pemakan tumbuh-
tumbuhan, tetapi kalau dibudidayakan ikan beronang mampu memakan
makanan apa saja yang diberikan seperti pakan buatan
Ikan beronang bukan ikan pemangsa melainkan ikan pemakan
tumbuhan (herbivor). Oleh sebab itu sering ditemukan dilingkungan perairan
yang banyak tumbuhan lautnya, misalnya diterumbu karang yang ditumbuhi
lamun (sea grass) dan alga yang lebat (Nontji, 1987). Ikan ini pada ukuran
benih biasanya hidup bergerombol di daerah pantai yang berpadang lamun
(banyak ditumbuhi pohon Enhallus sp.) sehingga mudah ditangkap dengan
jaring pantai pada musimnya (Sunyoto dan Munstahal, 1997).

192
Perkembangan Larva
Larva yang baru menetas bersifat pasif karena mulut dan matanya
belum terbuka, sehingga pergerakan tergantung pada arus air. Larva
membawa cadangan makanan berupa kuning telur dan gelembung minyak.
Ukuran cadangan kuning telur tergantung pada jenis ikan, pada ikan kerapu
cenderung berada lebih jauh dari bagian kepala atau lebih dekat kearah bagian
belakang. Larva yang baru menetas terlihat transparan, melayang-layang dan
gerakannya tidak aktif serta tampak kuning telurnya (Sunyoto dan Mustahal,
2000).

Bagi usaha pembenihan, perkembangan larva terutama saat kapan


mulut terbuka, mulai makan penyerapan kuning telur, ukuran bukaan mulut,
mulai perkembangan morfologis dan perkembangan saluran pencernaan
sangat penting untuk diketahui data tersebut berkaitan dengan pengelolaan
pembenihan pakan dalam rangka mempertahankan sintasan larva (Jayadi,
2004).

Setiap pemberian pakan kepada larva harus memperhatikan


perkembangan larva. Hal ini sangat penting untuk mengetahui tingkah laku
dan respon larva terhadap makanan yang diberikan (Kordi, 2005).

Kualitas Air
Kualitas air media pemeliharaan sangat berperan dalam menunjang
keberhasilan produksi benih larva beronang. Kualitas air yang berperan
terhadap kelangsungan hidup pada pertumbuhan ikan kerapu macan meliputi
suhu air, oksigen terlarut, kadar garam, pH air, ammonia dan nitrit.
Kelarutan oksigen merupakan faktor lingkungan yang terpenting bagi
pertumbuhan ikan. Kandungan oksigen yang rendah dapat menyebabkan ikan
kehilangan nafsu makan sehingga mudah terserang penyakit, pertumbuhannya
terhambat bahkan menyebabkan kematian. Biota air membutuhkan oksigen
sebagai penunjang kebutuhan lingkungan bagi species tertentu dan kebutuhan
konsumtif yang dipengaruhi oleh kebutuhan metabolisme.

193
BAHAN DAN METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Kegiatan ini dilakukan pada tahun anggaran 2013 (Mei - September)


bertempat di Unit Pembenihan Kerapu dan Beronang Balai Budidaya Air Payau
Takalar, Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten
Takalar.

Prosedur Kerja

Perekayasaan ini dilakukan dengan menggunakan bak beton volume


3 ton sebanyak 4 buah yang terletak dalam unit hachery (indoor) dengan
perlakuan sebagai berikut :

- Bak A (Penggunanaan nanno gel. 5 ppm)


- Bak B (Penggunanaan nanno gel. 10 ppm)
- Bak C (Penggunanaan nanno gel. 15 ppm)
- Bak D (Kontrol)
Adapun kegiatan dalam pelaksanaan perekayasaan ini adalah
sebabagai berikut

- Menyiapkan 4 buah bak beton. Bak dicuci dengan air tawar dan detergen
yang mana sebelumnya bak telah didesinfektan dengan kaporit 100 ppm
- Menyiapkan sistem aerasi pada masing-masing bak pemeliharaan.
- Mengisi bak pemeliharaan dengan air laut yang telah melalui sand filter
- Memasukkan larva ikan beronang dengan kepadatan 10 ekor/ltr
- Pemberian pakan berupa trocopor tiram dan brachionus pada masing-
masing bak pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan.
- Kegiatan ini dilakukan selama empat siklus.
Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran kualitas air pada
setiap perlakuan. Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas,
oksigen terlarut, pH dan amoniak.

Pengukuran Peubah

194
Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah tingkat kelangsungan
hidup (SR) pada saat larva berumur 5 hari (D5); berumur 15 hari (D15) dan
pada saat berumur 30 hari (D30).

a. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Status D5

Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dilihat berdasarkan


kepadatan larva yang ada dalam bak pemeliharaan larva pada saat D5.
Adapun kriteria dari kepadatan larva tersebut adalah sebagai berikut :

- Jumlah larva banyak sekali (++++ / 70% –90%)


- Jumlah larva banyak (+++ / 50% ≤ x < 70%)
- Jumlah larva sedang (++ / 30% ≤ x < 50%)
- Jumlah larva sedikit (+ / < 30%)
- Tidak ada larva (-)
-
b. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Status D15

Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dilihat berdasarkan


kepadatan larva yang ada dalam bak pemeliharaan larva pada saat D15.
Adapun kriteria dari kepadatan larva tersebut adalah sebagai berikut :

- Jumlah larva banyak sekali (++++ / 70% –90%)


- Jumlah larva banyak (+++ / 50% ≤ x < 70%)
- Jumlah larva sedang (++ / 30% ≤ x < 50%)
- Jumlah larva sedikit (+ / < 30%)
- Tidak ada larva (-)

c. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Status D30

Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dihitung dengan


menggunakan rumus Effendie (1979), yaitu :

SR = (Nt/No) x 100%

Dimana :

SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)

195
Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor)

No = Jumlah hewan uji pada awal pengujian (ekor)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Status D5

Berdasarkan hasil pengamatan pada kegiatan perekayasaan tentang


penggunaan nanno gel sebagai subsitusi Nannochloropsis massal pada
pemeliharaan larva ikan beronang, diperoleh data hasil seperti yang terlihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Saat Larva
Berumur 5 hari (D5) Selama Empat Siklus.

Kode Bak
Siklus
A B C D
I - ++ ++ +++
II - +++ ++ ++
III + +++ +++ ++
IV + ++ +++ +++

Berdasarkan pada Tabel 1, terlihat bahwa pada pemeliharaan siklus I


jumlah larva yang hidup untuk mencapai hari keempatpada Bak A sudah tidak
ada lagi, sedangkan pada bak lainnya masih ada yaitu pada Bak B (jumlah larva
dalam kategori sedang), Bak C (jumlah larva dalam kategori sedang)dan Bak D
(jumlah larva dalam kategori banyak). Pada pengamatan siklus II jumlah larva
yang hidup pada Bak A juga sudah tidak ada, sedangkan pada bak lainnya
masih ada yaitu pada Bak B (jumlah larva dalam kategori banyak), Bak C
(jumlah larva dalam kategori sedang)dan Bak D (jumlah larva dalam kategori
sedang). Tingginya mortalitas pada pemeliharaan Bak A baik pada siklus I
maupun pada siklus II diduga sebagai akibat rendahnya kepadatan
Nannochloropsis dalam bak pemeliharaan larva sehingga cahaya yang masuk
intensitas cukup tinggi yang dapat mengganggu aktifitas pemangsaan pakan
oleh larva. Selain itu juga diduga karena rotifer yang ada dalam bak
pemeliharaan larva kandungan nutrisinya rendah karena kurangnya kepadatan
Nannochloropsis dalam air media pemeliharaan, sehingga kebutuhan rotifer
akan Nannochloropsis yang tersisa dalam bak pemeliharaan tidak terpenuhi.

196
Pada pemeliharaan siklus III jumlah larva yang hidup untuk mencapai
hari keempatpada masing-masing bak pemeliharaan adalah untuk Bak A
(jumlah larva dalam kategori sedikit); pada Bak B (jumlah larva dalam kategori
banyak), Bak C (jumlah larva dalam kategori banyak)dan Bak D (jumlah larva
dalam kategori sedang). Pada pengamatan siklus IV jumlah larva yang hidup
pada Bak A (jumlah larva dalam kategori sedikit); pada Bak B (jumlah larva
dalam kategori sedang), pada Bak C (jumlah larva dalam kategori banyak)pada
dan Bak D (jumlah larva dalam kategori banyak). Dengan masih banyaknya
larva yang bertahan sampai hari keempat pada Bak B (10 ppm nanno gel) dan
Bak C (15 ppm nanno gel) menunjukkan bahwa pemberian nanno gel dengan
kepadatan 10 – 15 ppm ke dalam air media pemeliharaan sebagai subsitusi
Nannochloropsis kultur massal dapat mempertahankan kelangsungan hidup
dalam kategori jumlah larva sedang (++) sampai jumlah larva banyak (+++).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

SIKLUS I
SIKLUS II
SIKLUS III
SIKLUS IV

A B

Gambar 1. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada


Masing-Masing Perlakuan Status D5

197
Pada Gambar 1 terlihat bahwa pada perlakuan A jumlah larva yang
mampu bertahan hidup untuk mencapai D5 cukup rendah yaitu hanya dalam
jumlah kategori sedikit (0% - 15%), tingginya mortalitas yang didapatkan pada
Bak A untuk setiap siklus menunjukkan bahwa pemberian nanno gel dengan
kepadatan 5 ppm dalam bak pemeliharaan sangat kurang sehingga tidak mampu
mensubsitusi Nannochloropsis kultur skala massal. Dari hasil pengamatan di
bawah mikroskop menunjukkan bahwa larva yang berhasil bertahan hidup pada
perlakuan A isi lambungnya kosong. Indikasi ini mulai terlihat pada saat larva
berumur D5 dimana kondisi larva lemah dan tidak ada makanan yang ada
dalam isi lambung larva. Hal ini menunjukkan bahwa larva tidak mampu
mengkonsumsi rotifer yang diberikan pada saat larva berumur4 hari. Adanya
ketidak berhasilan larva untuk memangsa rotifer yang ada dalam bak
pemeliharaan diduga disebabkan karena ukuran rotifer masih lebih besar dari
bukaan mulut larva. Ketidak berhasilan larva dalam memangsa pakan yang ada
pada saat larva berumur 4 hari maka akan menyebabkan adanya kematian
massal pada saat larva tersebut berumur 5 hari, hal ini disebabkan karena
gelembung minyak yang merupakan energi untuk larva pada saat D5 telah
habis sehingga tidak ada lagi sumber energi dalam tubuh larva yang dapat
digunakan untuk bertahan hidup. Hal ini sesuai pernyataan Prastowo, B.W.
(1999) bahwa adanya kegagalan dalam kegiatan pembenihan beronang
disebabkan masih rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada masa transisi
dari fase endogenous ke fase eksogenous feeding, dimana pada saat itu larva
tidak dapat memanfaatkan pakan yang tersedia dalam media pemeliharaannya
sehingga terjadi kematian massal.

Tingkat kelangsungan Hidup Larva Status D15


Berdasarkan hasil pengamatan pada kegiatan perekayasaan tentang
penggunaan nanno gel sebagai subsitusi Nannochloropsis massal pada
pemeliharaan larva ikan beronang, diperoleh data hasil seperti yang terlihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Saat Larva
Berumur 15 hari (D15) Selama Empat Siklus.

Kode Bak
Siklus
A B C D
I - + + ++
II - ++ + +
III - ++ ++ +
IV - + ++ ++

198
Berdasarkan pada Tabel 1, terlihat bahwa pada pemeliharaan siklus I
sampai pada hari kesepuluhpada Bak A dan Bak C tidak ada lagi dijumpai
larva (mati total), sedangkan pada bak lainnya yaitu pada pada Bak B dan Bak
D masih ada dijumpai dalam kategori sedikit. Pada pengamatan siklus II
jumlah larva yang hidup pada Bak A juga sudah tidak ada, begitupulah pada
Bak C dan Bak D. Sedangkan pada bak B masih ditemukan adanya larva yang
bertahan hidup yaitu dalam kategori sedang.
Pada pengamatan siklus ketiga status D15 masih diketemukan adanya
larva yang bertahan hidup pada tiga bak pemeliharaan yaitu Bak B (jumlah
larva yang hidup dalam kategori sedang); Bak C (jumlah larva yang hidup
dalam kategori sedang); dan pada Bak D (jumlah larva yang hidup dalam
kategori sedikit).
Secara umum tingkat mortalitas pada semua bak pemeliharaan pada
saat larva memasuki umur 15 hari adalah cukup tinggi, dimana pada bak A dari
siklus I sampai siklus IV tidak dijumpai lagi larva yang mampu bertahan hidup.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.

40.0%
35.0%
30.0%
25.0%
20.0%
15.0%
10.0%
5.0%
0.0%

SIKLUS I
SIKLUS II
SIKLUS III
SIKLUS IV

A B

Gambar 2. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Larva pada Saat Mencapai


Umur 105Hari (D15)

199
Dari Gambar 2 terlihat bahwa pada semua siklus pemeliharaan tidak
ada lagi dijumpai larva pada Bak A pada saat memasuki umur 15 hari.
Sementara pada bak-bak perlakuan yang lain masih dijumpai larva yang
mampu bertahan hidup dalam kategori jumlah larva yang
bervariasi.Berdasarkan hasil pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan
bahwa larva yang berhasil bertahan hidup terindentifikasi dimana lambung dari
larva tersebut dalam kondisi berisi makanan.Hal ini menunjukkan bahwa larva
ada mampu memanfaatkan pakan yang diberikan yang ada dalam air media
pemeliharaan. Adanya keberhasilan larva memanfaatkan pakan yang diberikan
mengakibatkan larva mempunyai cukup energi untuk bertumbuh dan
mempertahankan kelangsungan hidupya.

Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Status D30


Pada saat larva berumur 30 hari sebagian besar larva telah berubah
menjadi benih yang menyerupai ikan dewasa. Benih beronang yang dihasilkan
pada setiap bak pemeliharaan ukurannya tidak seragam (belantik) seperti
halnya pada pembenihan ikan kerapu bebek maupun kerapu macan, namun
demikian tidak kanibal seperti halnya kerapu macan. Tetapi benih yang
berukurang lebih besar cenderung mengejar benih yang berukurang jauh lebih
kecil dan dipatuk-patuk. Meskipun tidak sampai dimakan tetapi hal ini dapat
menyebabkan kematian pada benih-benih tersebut. Adapun tingkat
kelangsungan hidup yang didapatkan pada kegiatan ini dapat dilihat pada Tabel
3.
Tabel 3. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Saat Larva
Berumur 30 hari (D30) Selama 4 Siklus.

Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)


Siklus
A B C D
I - - 1% 1%
II - 1% 1% 1,5%
III - 1% 1% 1,5%
IV - 2% 2% 1%

Secara umu tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada akhir


kegiatan untuk semua perlakuan adalah sangat rendah. Hal ini menunjukkan

200
masih banyaknya yang perlu dikaji dan dikembangkan dalam pemeliharaan
larva ikan beronang lada.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.

2.0%

1.5%

1.0%

0.5%

0.0%

SIKLUS I
SIKLUS II
SIKLUS III
SIKLUS IV

A B

Gambar 3. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Larva pada Saat Mencapai


Ukuran Benih (D30).

Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa tingkat mortalitas pada semua


perlakuan adalah cukup rendah dimana nilai kelangsungan hidup tertinggi yang
didapatkan hanya berkisar 2%. Sangat rendahnya tingkat kelangsungan hidup
yang didapatkan pada akhir kegiatantentunya hal ini erat kaitannya dengan
tinginya tingkat mortalitas larva yang didapatkan pada fase endogenous ke fase
eksogenous (D5), dimana semakin tinggi tingkat kelulushidupan larva untuk
mencapai D5 maka peluang larva untuk mencapai ukuran benih (D30) juga
lebih tinggi. Begitu pulah sebaliknya semakin rendah kelulushidupan larva
untuk status D5 maka peluang larva untuk mencapai ukuran benih (D30) juga
semakin rendah, bahkan tidak jarang terjadi kematian secara massal pada saat
sebelum larva mencapai umur 15 hari.
Adanya larva yang mampu bertahan hidup sampai akhir kegiatan yang
selanjutnya menjadi benih meskipun dalam prosentase rata-ratanya masih
sangat rendah pada perlakuan B (1%); perlakuan C (1,25%) dan perlakuan D
(1,25%) menunjukkan bahwa dengan penggunaan nanno gel dengan dosis
201
penggunaan 10 – 15 ppm mampu mensubsitusi Nannocholoropsis hasil kultur
massal. Hal ini disebabkan karena tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan
dengan menggunakan Nannochloropsis hasil kultur massal tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan dengan penggunaan nanno gel.

Kualitas Air

Kualitas air merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan


pemeliharaan larva ikan beronang , karena kualitas air dapat berpengaruh
langsung terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan. Nilai
kisaran parameter kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kisaran Parameter Kualitas Air yang Didapatkan Selama Kegiatan


Berlangsung.

Kisaran Kualitas Air


Parameter
A B C
Suhu (oC) 28 – 29 28 – 29,5 28 – 29,5
O2 Terlarut (ppm) 5,35 – 6 5,30 – 6,2 5,35 – 6,2
Salinitas (ppt) 29 – 30 29 – 30 29 – 30
pH 7,0 – 7,56 7,0 – 7,32 7,2 – 7,6
Amoniak (ppm) 0,001 – 0,035 0,001 – 0,027 0,001 – 0,030

Dari nilai kisaran beberapa parameter kualitas air pada Tabel 4


memperlihatkan bahwa secara umum nilai tersebut masih berada pada kondisi
yang layak untuk suatu kegiatan pemeliharaan larva ikan beronang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang didapatkan pada kegiatan perekayasaan ini


maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan nanno gel dalam pemeliharaan
larva ikan beronang dapat berperan untuk mensubsitusi Nannocloropsis kultu
massal.

Saran
Untuk mendapatkan tingkat kelangsungan hidup larva yang lebih
tinggi pada fase endogenous ke fase eksogenous maka perlu dilakukan kajian
lebih lanjut terhadap beberapa jenis pakan alami dari zooplankton yang sesuai

202
dengan bukaan mulut larva pada saat larva pertama kali membutuhkan asupan
pakan dari luar.

DAFTAR PUSTAKA

Bryan, P.G. and B.B. Madraisau, 1977. Larval Rearing and Development of
Siganus lineatus (Piscea : Siganidae) from Hatching Through
Metamorphosis Aquaculture 10 : 243 – 252.

Duray, M.N., 1998. Biology and Culture of Siganids. SEAFDEC Aquaculture


Deaprtement Tingbauan, Iloilo. Philipphines.

Effendie, M.L. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Jakarta.


Hal. 92 – 100.

Gundemann, N., D.M. Popper and Lichtowich, 1983. Biology and life cycle of
Siganus vermiculatus (Siganidae, Pisces). Pacifik Science, 37 (2) : 165.

Kordi, K.M.G.H. 1992. Budidaya Ikan Beronang. Penerbit Rineka Cipta.


Jakarta.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.

Prastowo, B.W. 1999. Pengembangan Teknologi Pengelolaan Induk/Benih


Ikan Beronang (Siganus spp.). Direktorat Jenderal Perikanan. Balai
Budidaya Air Payau Jepara.

Soletchnik, P., 1984. Aspect of nutrition and reproduction in Siganus guttatus


with emphasis on applications in aquaculture. SEAFDEC Aquaculture
Department, Iloilo, Philippines (Terminal Report).

Sunyoto, P. and Munstahal, 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis penting.


Penebar Swadaya, Jakarta.

Taslihan, A., M. Murdjani, C. Purbomartono & E.Kusnendar. 2000. Bakteri


patogen penyebab penyakit mulut merah pada ikan kerapu tikus
(Cromileptes altivelis). J. Perikanan, II(2): 57-62.

203
Taslihan, A., M. Murdjani, C. Purbomartono & E.Kusnendar. 2000. Bakteri
patogen penyebab penyakit mulut merah pada ikan kerapu tikus
(Cromileptes altivelis). J. Perikanan, II(2): 5762.
Todar, K., 2002. The Mechanism of Bacterial Pathogenecity. Todar’s Online
Textbook of Bacteriology. University of Wisconsin-Madison
Department of Bacteriology. P 1-18.

204
MENINGKATKAN KEUNTUNGAN USAHA BUDIDAYA LELE
SUPERINTENSIF TEKNOLOGI BIOFLOC DENGAN PEMANFAATAN
LIMBAHNYA UNTUK BUDIDAYA TUBIFEX

Tri Wahyuni, Sarifin, Sofi Hanif, Herry, Edi Pramono, Setyorini

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Direktorat Perikanan Budidaya,

ABSTRAK
Budidaya lele superintensif memerlukan penanganan air yang
ketat karena tingginya beban limbah yang dihasilkan dari
banyaknya pakan yang digunakan dan ekskresi yang
dihasilkan oleh ikan. Untuk itu, air akan cepat menjadi bau
menyengat dan ikan akan cepat mabuk karena rendahnya
kualitas air. Penerapan teknologi biofloc memiliki keunggulan
untuk mengurangi bau karena adanya bakteri pengurai dan
makroagregat air yang dapat menjaga keseimbangan dan
kestabilan kualitas air karena kerja yang komprehensif dari
bakteri heterotroph dan mikroagregat air untuk memanfaatkan
beban limbah organic (ammonia dan karbon) menjadi bagian
yang lebih bermanfaat, yaitu protein microbial, sehingga ikan
diharapkan dapat tumbuh lebih baik. Namun demikian, pada
penerapan system biofloc, diperlukan pembuangan endapan
secara berkala untuk menjaga keseimbangan kualitas air.
Supaya tidak terbuang percuma, endapan tsb dapat digunakan
untuk budidaya tubifex. Endapan yang terbentuk dari system
biofloc memiliki tekstur yang sangat lembut dan mengandung
bahan organic tinggi yang sangat sesuai dengan kebutuhan
yang diperlukan untuk media cacing tubifex. Pada makalah ini
kegiatan budidaya lele superintensif dilakukan pada bak bulat
dengan konstruksi central drain ukuran 1m3, ukuran benih 8-
12cm, padat tebar 1500 ekor/m3, lama tanam 4 bulan dan
menggunakan teknologi biofloc. Rancang bangun kegiatan ini
adalah 5 bak untuk perlakuan biofloc dan 5 bak untuk control.
Sedangkan kegiatan budidaya tubifex dilakukan pada saluran
air yang ada dengan penanaman benih cacing tubifex hanya
sekali pada awal pemeliharaan. Hasil yang diperoleh dari
budiaya lele biofloc superintensif menghasilkan fcr 0,7
(dibandungkan control fcr=0,8) dan SR 90% (dibandingkan

205
control SR 75%). Berdasarkan hasil analisa usaha diperoleh
keuntungan lele biofloc Rp 506.625/siklus dibandingkan
control Rp 324.250/siklus. Apabila diperhitungkan antara
keduanya, budidaya biofloc dapat memberikan keuntungan
56% lebih tinggi dibandingkan kontrol. Dengan pemanfaatan
limbah biofloc untuk budidaya tubifex, akan menambah
keuntungan sebesar Rp 100.000,- per minggu dari produksi
cacing tubifex sebanyak 10 L/minggu (harga tubifex Rp
10.000,-/liter).

KATA KUNCI : lele, biofloc, tubifex

PENDAHULUAN

Budidaya lele superintensif memerlukan penanganan air yang ketat karena


tingginya beban limbah yang dihasilkan. Kondisi ini membawa dampak kurang
baik terhadap kelestarian dan kesehatan lingkungan. Limbah organik tersebut
umumnya didominasi oleh senyawa nitrogen anorganik yang beracun. Menurut
Asaduzzaman et al. (2008) dan De Schryver et al.(2008), tingginya penggunaan
pakan buatan pada budidaya intensif menyebabkan pencemaran lingkungan dan
peningkatan kasus penyakit. De Schryver et al. (2008) dan Crab et al. (2007)
menyatakan bahwa ikan hanya menyerap sekitar 25% pakan yang diberikan,
sedangkan 75% sisanya menetap sebagai limbah didalam air. Limbah dari
pakan tersebut akan dimineralisasi oleh bakteri menjadi ammonia. Akumulasi
ammonia dapat mencemari media budidaya bahkan dapat menyebabkan
kematian (Avnimelech, 1999; Avnimelech, 2009). TIngginya kandungan
ammonia dapat menyebabkan air menjadi cepat berbau menyengat dan
kemudian ikan menjadi cepat mabuk.
Penerapan teknologi biofloc memiliki keunggulan untuk mengurangi
bau karena adanya bakteri pengurai dan makroagregat air yang dapat menjaga
keseimbangan dan kestabilan kualitas air. Bakteri pengurai yang paling
berperan adalah bakteri heterotroph yang mempunyai kemampuan untuk
mengkonversi ammonia menjadi biomassa bakteri heterotroph yang dapat
tumbuh maksimal melalui peningkatan rasio C/N dengan penambahan sumber
karbon organik. Dengan demikian teknologi bioflok menjadi salah satu
alternatif pemecahan masalah limbah budidaya yang paling menguntungkan
karena selain dapat menurunkan limbah nitrogen anorganik, teknologi ini juga
206
dapat menyediakan pakan tambahan berprotein untuk kultivan sehingga dapat
menaikan pertumbuhan dan efisiensi pakan.
Namun demikian, pada penerapan system biofloc, diperlukan
pembuangan endapan secara berkala untuk menjaga keseimbangan kualitas air.
Supaya tidak terbuang percuma, endapan tsb dapat digunakan untuk budidaya
tubifex. Endapan yang terbentuk dari system biofloc memiliki tekstur yang
sangat lembut dan mengandung bahan organic tinggi yang sangat sesuai dengan
kebutuhan yang diperlukan untuk media cacing tubifex.
Cacing tubifex disebut juga cacing lumpur (sludge worm), cacing
limbah(sewage worm), ular kapur (lime snake), karena dapat hidup dengan baik
pada perairan yang banyak mengandung limbah dan endapan/sedimen lumpur
organik bahkan dapat hidup pada perairan yang sangat tercemar bahan organik
yang hampir tidak ada spesies lainnya dapat bertahan. Pembentukan kista
pelindung dan penurunan aktifitas metabolime merupakan strategi hidup cacing
tubifex untuk dapat bertahan dalam kondisi kekeringan dan kekurangan
makanan. Kebiasaan makan cacing tubifex adalah dengan cara mencerna
sedimen dan memperoleh nutrisi dengan mencerna bakteri secara selektif dan
menyerap molekul melalui dinding tubuh (Gilbert dan Granath 2003).
Cacing tubifex ini banyak digunakan sebagai makanan untuk larva dan
benih ikan, baik dalam bentuk hidup, beku kering, atau dalam bentuk pellet.
Namun kebanyakan sumbernya bukan hasil budidaya tetapi berasal dari hasil
penangkapan dari alam. Dengan demikian, terbuka peluang usaha budidaya
cacing tubifex untuk memenuhi kebutuhan pakan larva dan benih ikan.
Pemanfaatan endapan limbah budidaya ikan biofloc untuk media
pemeliharaan cacing tubifex dapat meningkatkan keuntungan dan juga
meminimalisasi keluaran limbah dari kegiatan budidaya ikan lele superintensif
ke lingkungan.

BAHAN DAN METODE


Kegiatan budidaya lele superintensif dilakukan pada bak bulat dengan
konstruksi central drain ukuran 1m3, ukuran benih 8-12 cm, padat tebar 1500
ekor/m3, lama tanam 4 bulan dan menggunakan teknologi biofloc. Rancang
bangun kegiatan ini adalah 5 bak untuk perlakuan biofloc dan 5 bak untuk
control.
Perlakuan biofloc dilakukan dengan melalui beberapa tahap, yaitu
1) Persiapan wadah
Meliputi a) pemasangan instalasi aerasi, b) membersihkan wadah
dari sisa kotoran dari kegiatan sebelumnya, keringkan dan isi

207
kembali, c) sterilisasi air dengan 15 ppm kaporit dan netralkan
dengan 15 ppm natrium tiosulfat
2) Persiapan benih
Meliputi aklimatisasi ikan sebelum perlakuan biofloc
3) Perlakuan Biofloc
Meliputi a) memasukkan probiotik Pro BBPBAT sebanyak 100
mL/m3 ke dalam media pemeliharaan, b) memasukkan kapur 30
ppm, c) memberikan molase setiap hari sebanyak 25% dari jumlah
pakan yang diberikan
4) Monitoring lingkungan.
Meliputi pengecekkan suhu dan pH setiap hari dan ammonia
seminggu sekali.

Kegiatan budidaya tubifex dilakukan pada saluran air yang ada dengan
penanaman benih cacing tubifex hanya sekali pada awal pemeliharaan
sebanyak 10 L.

208
HASIL DAN PEMBAHASAN

Budidaya Lele dengan Teknologi Biofloc

Hasil budidaya lele dengan system biofloc dapat dilihat pada


Gambar 2 berikut;

Pertumbuhan Ikan pada Pakan Komersil + Biofloc


200
166.67
150
Bobot ikan (g)

Biofloc (g)
106.25
100 Kontrol (g)
61.25 66.67
50 39.29 47.5
3.73 7.80 11.6 17.83 29.74 34.33
11.33
3.73 7.13 6.24
0
0 0.4 1.0 1.7 2.7 3.2 3.7 4.7
Bulan ke-

Gambar 2. Pertumbuhan Ikan pada Budidaya Lele Sistem


Biofloc

Pada Gambar 2 di atas, dapat dilihat system biofloc dapat


meningkatkan pertumbuhan ikan lebih cepat dibandingkan dengan
control.
Efisiensi system biofloc dapat dilihat pada Gambar 3 berikut
ini:

209
Evaluasi Nilai FCR
2.00 1.030.77 0.790.590.710.640.85 0.77
FCR
0.00 Kontrol
1 2 3 4 Biofloc
Bulan ke-

Gambar 3. Evaluasi Nilai FCR selama Pemeliharaan Ikan


Sistem Biofloc

Pada Gambar 3 di atas, dapat dilihat system biofloc dapat


meningkatkan produksi dengan meningkatkan efisiensi pakan dengan
nilai FCR lebih rendah dibandingkan dengan control, yaitu berkisar
FCR 0,59 – 0,77 (rataan 0,69) untuk system biofloc dan FCR 0,71 –
1,03 (rataan 0,84) untuk kontrol.
Pengaruh system biofloc terhadap tingkat kelangsungan
hidup ikan dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini;

Evaluasi SR (%)
90.20
95.00
90.00
85.00
75.40
SR (%)

80.00 Ряд1
75.00
70.00
65.00
Kontrol Biofloc

210
Gambar 4. Hasil Evaluasi Tingkat Kelangsungan Hidup

Pada Gambar 4 dapat dilihat, perlakuan biofloc dapat


memberi pengaruh signifikan terhadap keberlangsungan hidup ikan,
yaitu dengan rataan dari kelima ulangan adalah SR 90%
dibandingkan control SR berkisar 75%.
Perbaikan kualitas lingkungan juga tampak terjadi, dapat
dilihat pada Gambar 3 berikut ini;

Penurunan TAN (Amonia)


1 2 3 4 5
0
-10
Penurunan Amonia (%)

-20
-11
-30
-40 -29
-50
-60 -37
-70 -62
-80
-90
-100
-95
Pakan Komersil

Gambar 5. Perbaikan Kualitas Air pada media Pemeliharaan


Lele Biofloc

Pada Gambar 5 diatas, menunjukkan adanya perbaikan


kualitas air pada media pemeliharaan, yaitu yang ditunjukkan dengan
adanya penurunan konsentrasi ammonia pada media air biofloc
dibandingkan dengan control.

211
Hasil Budidaya Cacing Tubifex pada Media Endapan Biofloc
Hasil pemeliharaan cacing tubifex dengan penanaman benih cacing
sebanyak 5 L dapat memberikan panen rutin sebesar 10 L/minggu. Dengan
demikian dapat diperoleh pemasukkan sebesar Rp 100.000,-/minggu atau Rp
400.000,-/bulan. Dibandingkan dengan keuntungan dari kegiatan budidaya lele,
hasil cacing tubifex relative lebih besar, yaitu budidaya lele biofloc Rp 84.438,-
/bulan dan budidaya lele control Rp 54.042,-/bulan.

KESIMPULAN
Usaha budidaya ikan lele biofloc dapat menjadi alternative pemecahan
masalah lingkungan dan bau pada budidaya lele intensif. Selain itu, budidaya
biofloc dapat mningkatkan produksi ikan dengan nilai FCR berkisar 0,7
(dibandingkan control 0,8) dan nilai SR biofloc 90% (dibandingkan control
75%). Hasil pengamatan kualitas air juga menunjukkan adanya perbaikan
dengan adanya penurunan nilai TAN pada media pemeliharaan biofloc. Hasil
analisa usaha menunjukkan budidaya lele biofloc dapat meningkatkan
keuntungan 56 % (dibandingkan control). Pemanfaatan endapan biofloc untuk
budidaya cacing tubifex dapat memberikan keuntungan lebih tinggi
dibandingkan hasil usaha budidaya ikan lele itu sendiri. Hal ini cukup menarik
karena selain pemanfaatan endapan dapat mengurangi limbah ke lingkungan,
juga dapat memberikan keuntungan dengan hasil yang lumayan.

212
DAFTAR PUSTAKA

Asaduzzaman, M., M.A. Wahab, M.C.J. Verdegem, S. Huque, M.A. Salam,


and M.E. Azim. 2008. C/N Ratio Control and Substrate Addition for
Periphyton Development Jointly Enhance Freshwater Prawn
Macrobrachium rosenbergii Production in Ponds. Aquaculture, 280:
117–123.
Avnimelech, Y. 1999. C/N Ratio As a Control Element in Aquaculture
Systems. Aquaculture, 176: 227-235.
Crab, R., B. Chielens, M. Wille, P. Bossier, and W. Verstraete. 2010. The
Effect of Different Carbon Sources on The Nutritional Value of
Bioflocs, A Feed for Macrobrachium rosenbergii Postlarvae.
Aquaculture Research, 41: 559-567.
Crab, R., Y. Avnimelech, T. Defoirdt, P. Bossier, and W. Verstraete. 2007.
Nitrogen Removal Techniques in Aquaculture for Sustainable
Production. Aquaculture, 270: 1-14.
De Schryver, P., R. Crab, T. Defoirdt, N. Boon, and W. Verstraete. 2008. The
Basics of Bio-Flocs Technology: The Added Value for Aquaculture.
Aquaculture, 277: 125–137.
Gilbert, M. A. & Granath, W.O. Jr. (2003). Whirling disease and salmonid fish:
life cycle, biology, and disease. Journal of Parasitology, 89(4), pp. 658–
667.

213
DISEMINASI PENGGUNAAN VAKSIN: PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS BENIH LELE DI UNIT PEMBENIHAN SKALA
RUMAH TANGGA MELALUI
GERAKAN VAKSINASI IKAN (GERVIKAN)

Ayi Santika, Ciptoroso, Mira , Asep S.

ABSTRAK

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer
di masyarakat. Permintaan ikan lele konsumsi yang tinggi mendorong
berkembangnya kegiatan budidaya lele di masyarakat. Serangan
penyakit bakteri Aeromonas hydrophila merupakan salah satu kendala
yang masih sering dihadapi pada usaha pembenihan lele sehingga
produkasi benih menurun. Serangan bakteri Aeromonas hydrophila bisa
mengakibatkan kematian ikan 90-100% (Gilda et al, 2001).
Penggunaan antibiotik dalam penanggulangan penyakit bakterial pada
budidaya ikan menimbulkan berbagai efek negatif antara lain timbulnya
resistensi bakteri terhadap antibiotik, terakumalasinya residu antibiotik
pada organisme budidaya dan dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan budidaya. Untuk menanggulangi dampak negatif
penggunaan antibotik tersebut, maka diperlukan alernatif yang aman.
Salah satunya adalah dengan vaksinasi. Vaksin tidak menimbulkan
dampak negatif berupa timbulnya jenis patogen yang resisten dan tidak
menyebabkan akumulasi dalam tubuh (Ellis, 1988; Pasaribu,1993).
Vaksin yang digunakan dalam diseminasi ini adalah vaksin hydrovac
(anti Aeromnonas hydrophila) produksi Balitkanwar Bogor. Diseminasi
dilakukan di Unit Pembenihan Rakyat (UPR) Iwan Tirta Mina Kencana
di Sukabumi. UPR ini sudah secara rutin menerapkan pogram vaksinasi
benih sejak tahun 2013 - 2014. Fasilitas UPR ini berupa bak terpal
ukuran 3x5 m sebanyak 12 buah dan ukuran 4x8 m sebanyak 2 buah.
Kegiatan pembenihan yang dilakukan mulai dari pendederan pertama
(P1) hinga pendederan ketiga (P3). Secara umum sintasan benih lele
yang divaksin berkisar 80-90%, lebih tinggi daripada benih vaksin yang

214
tidak divaksin yang berkisar 60-71%. Produksi benih yang divaksin
dalam 1 tahun mencapai sekitar 1.273.467 ekor benih (ukuran 4-6 cm,
5-7 cm). Sedangkan pada benih yang tidak divaksin, hasil produksi
benih dalam 1 tahun sekitar 713.653ekor (ukuran 4-6 cm, 5-7 cm).
Hasil analisa ekonomi menunjukkan bahwa penggunaan vaksin
hydrovac pada pembenihan lele mampu meningkatkan keuntungan.

Kata Kunci : Lele, Aeromonas, Vaksin hydrovac

PENDAHULUAN

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer di
masyarakat. Meningkatnya permintaaan lele ukuran konsumsi untuk pasar lokal
semakin mendorong minat masyarakat untuk membudidayakan lele.
Meningkatnya kegiatan budidaya ikan lele di masyarakat, selain karena
permintaan yang tinggi juga didukung oleh beberapa faktor antara lain ikan
lele dapat dibudidayakan pada lahan dan sumber air terbatas, teknologi
budidaya sederhana, modal usaha relatif kecil dan pemasaran yang mudah.
Segmentasi usaha pada budidaya lele (usaha pembenihan, pendederan
maupun pembesaran) juga telah berjalan dengan baik dan mempunyai pasar
sendiri sehingga memudahkan masyarakat untuk memilh segmen usaha yang
diinginkan dengan mempertimbangkan modal, lahan dan lamanya waktu
usaha.
Pada usaha pembenihan lele masih terdapat kendala salah satunya
adalah serangan penyakit bakteri Aeromonas hydrophila. Menurut Gilda et al
(2001), serangan bakteri A. hydrophila bisa mengakibatkan kematian ikan 90-
100%. Serangan bakteri ini menyebabkan banyak kematian benih bahkan pada
tingkatan yang lebih parah terjadi kegagalan panen sehingga jumlah produksi
menurun. Dalam mengatasi serangan bakteri A. Hydrophila, para pembudaiaya
umumnya menggunakan antibiotik.
Penggunaan antibiotik dalam penanggulangan penyakit bakterial pada
budidaya ikan menimbulkan berbagai efek negatif antara lain timbulnya
resistensi bakteri terhadap antibiotik, terakumalasinya residu antibiotik pada
organisme budidaya dan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan budidaya.
Untuk menanggulangi dampak negatif penggunaan antibotik tersebut, maka
diperlukan alernatif yang aman. Salah satunya adalah dengan vaksinasi. Vaksin
tidak menimbulkan dampak negatif berupa timbulnya jenis patogen yang

215
resisten dan tidak menyebabkan akumulasi dalam tubuh (Ellis, 1988;
Pasaribu,1993).
Pada usaha pembenihan lele yang ada di masyarakat umumnya belum
menerapkan program vaksinasi benih, sehingga produksi benih yang
dihasilkan kulitasnya rendah.
Penggunaan vaksin A.hydrophila diaplikasikan pada pembesaran lele di
BBPBAT Sukabumi mulai tahun 2010. Penggunaan vaksin A. Hidrophila
terbukti mampu meningkatkan produksi, dimana sintasan lele yang divaksin A.
Hydrophila sebesar 86,67%, sedangkan pada ikan lele yang tidak divaksin
sebesar 52.53%. Sehubungan hal tersebut, maka perlu dilakukan diseminasi
penggunaan vaksin A. hydrophila pada masyarakat. Tujuan diseminasi
penggunaan vaksin Aeromonas hydrophila adalah untuk meningkatkan
produksi pada usaha pembenihan lele.

BAHAN DAN METODE


Kegiatan diseminasi ini dilakukan dari bulan Januari-Desember 2013 di
Unit Pembenihan Rakyat (UPR) Skala Rumah Tangga di Sukabumi.Bahan
yang digunakan pada kegiatan ini meliputi: vaksin Aeromonas, benih lele,
pakan alami (tubifex), pakan buatan (pakan benih). Sedangkan alat yang
digunakan meliputi: alat perikanan (scoopnet, ember, jolang), pipet ukur,
spuit.Wadah yang digunakan berupa bak terpal ukuran 3x5 m2 (12 buah) dan
ukuran 4x8 m2 (2 buah). Persiapan wadah meliputi pengeringan, pengapuran
dan pengisian air pada bak. Setelah media pemeliharaan siap (warna
kehijauan), maka dilakukan penebaran larva (umur 4 hari setelah
menetas).Vaksinasi ikan dilakukan dengan cara merendam benih selama 30
menit. Metode ini sesuai dengan cara penggunaan vaksin yang terdapat pada
kemasan vaksin dari produsen.Pemeliharaan benih ikan dibagi menjadi 3
periode pendederan yaitu P1, P2, dan P3. Pemberian pakan selama
pemeliharaan meliputi pakan alami (Tubifex sp) dan pakan buatan (pakan
benih). Kepadatan larva yang digunakan pada pendederan pertama (P1)
sebanyak 150.000 ekor larva (umur 4 hari setelah menetas) /terpal (ukuran 3x5
m2). Data parameter yang diamati meliputi sintasan, titer antibodi, kualitas air
dan analisa ekonomi.

216
HASIL DAN PEMBAHASAN
Usaha Pembenihan Lele Skala Rumah tangga ini berdiri sejak tahun
2008. UPR ini merupakan binaan BBPBAT Sukabumi.
Penebaran pada pendederan sebanyak 150.000 ekor larva (umur 4-5 hari
setelah menetas) pada bak terpal 3x5m2. Setiap kali penebaran sebanyak 6 bak
terpal sehingga total penebaran dalam 1 siklus berkisar 900.000 ekor larva.
Hasil pendederan berupa benih berukuran 1-2 cm; Benih ini merupakan benih
yang digunakan untuk kegiatan vaksinasi. Penggunaan benih hasil pendederan
untuk kegiatan vaksinasi dikarenakan benih sudah berumur lebih dari 3
minggu sehingga organ tubuh ikan sudah siap untuk merespon kekebelan
tubuh. Menurut Kordi (2004), keberhasilan vaksinasi dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internal meliputi umur dan bobot ikan. Umur dan
bobot ikan harus diperhatikan karena organ tubuh ikan yang berfungsi
merespon kekebalan adalah setelah umur 2 minggu. Ikan yang berumur kurang
dari 2 minggu dan bobot tubuh kurang dari 1 gram belum mampu merespon
vaksin secara efektif dan efisien. Sedangkan faktor eksternal yang
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi adalah suhu, dimana suhu lingkungan
yang rendah menyebabkan produksi antibodi lambat.
Setelah dipanen, benih hasil pendederan ditampung dalam hapa. Benih
hasil pendederan, relatif masih seragam, berukuran 1-2 cm. Jumlah benih yang
dihasilkan berkisar 49.000-50.000ekor (penebaran 150.000; 3 x 5 m2);
Sintasan pemeliharan pendederan , umumnya berkisar 25%-38%. Benih hasil
pendederan disajikan pada Gambar di bawah ini:

217
Gambar Benih Hasil Pendederan

Sebelum proses vaksinasi, disiapkan wadah-wadah berisi air dan sudah


ditentukan (dihitung) volumenya (untuk kegiatan vaksinasi di pembudidaya
biasanya digunakan bervolume 10 l. Wadah tersebut selanjutnya diberi vaksin
dengan dosis yang sesuai (1 ml/10 L air media). Metoda vaksinasi dilakukan
dengan cara merendam benih ikan dalam suspensi vaksin, selama 30 menit.

Tabel 1. Sintasan benih yang divaksin pada P2 (%)


Penebaran (ekor) Panen (ekor) SR (%)
Siklus 1 306.000 253.368 82.8
Siklus 2 295.200 245.016 83
Siklus 3 225.000 189.000 84
Siklus 4 315.000 283.500 90
Siklus 5 324.000 265.680 82
Siklus 6 297.000 237.600 80
Total 1.762.200 1.474.164
Rata-rata 83.6%
Tabel 1 menunjukkan bahwa sintasan pendederan 2 pada benih yang
divaksinberkisar 80-90% (ukuran 2-3 cm) dengan rataan sekitar 83.6%.

218
Tabel 2. Sintasan benih yang tidak divaksin pada P2 (%)
Penebaran (ekor) Panen (ekor) SR (%)
Siklus 1 243.000 145.800 60
Siklus 2 297.000 201.760 67.9
Siklus 3 324.000 226.700 69.9
Siklus 4 342.000 242.820 71
Siklus 5 315.000 217.200 68.9
Total 1.521.000 1.034.280
Rata-rata 67.5%
Tabel 2 menunjukkan bahwa sintasan pendederan 2 pada benih yang
tidak divaksinberkisar 60-71% (ukuran 2-3 cm) dengan rataan sebesar 67.5%.

Tabel 3. Sintasan benih yang divaksin pada P3(%)


Penebaran (ekor) Panen (ekor) SR (%)
Siklus 1 189.000 160.650 85

Siklus 2 245.016 213.163 87

Siklus 3 262.470 224.438 85.5

Siklus 4 274.050 234.425 85.5

Siklus 5 265.680 236.455 88,9

Siklus 6 237.600 204.366 86

Total 1.473.816 1.273.467

Rata-rata 86,3

Tabel 3 menunjukkan bahwa sintasan benih yang divaksin pada


pendederan tiga (P3) berkisar antara 85-88.9% dengan rataan sebesar 86,3%.

219
Tabel 4. Sintasan benih yang tidak divaksin pada P3 (%)
Penebaran (ekor) Panen (ekor) SR (%)
Siklus 1 145.800 96.957 66.5
Siklus 2 201.960 138.343 68.5
Siklus 3 226.800 158.760 70
Siklus 4 242.820 165.118 68
Siklus 5 217.350 154.319 71
Total 1.034.730 713.653
Rata-rata 68,8

Tabel 4 menunjukkan bahwa sintasan benih yang tidak divaksin pada


pendederan tiga (P3) berkisar antara 66.5-71% dengan rataan sebesar 68,8%
Berdasarkan tabel 1,2,3 dan 4 terlihat bahwa perlakuan vaksinasi
menghasilkan sintasan yang lebih tinggi dibandingkan pada saat UPR ini
belum melakukan program vaksinasi. Sebelum melakukan program vaksinasi
(benih tidak divaksin), sintasan pada pendederan 2 (P2) berkisar antara 60-71
%;sintasan rataan 67,5%. Sedangkan setelah melakukan program vaksinasi ,
sintasan pada pendederan 2 (P2) berkisar antara 80-90%; sintasan rataan
83.6%, hal ini menunjukkan bahwa program vaksinasi yang dilakukan mampu
meningkatan produktivitas sekitar 20-30%. Pada pendederan 3, sintasan benih
yang tidak divaksin berkisar 66,5%-71%; rataan 68,8%, sedangkan pada benih
yang divaksin sintasan berkisar 85-88,9%;rataan 86,3%.
Berdasarkan hasil diatas, terlihat bahwa penggunaan vaksin mampu
meningkatkan produktivitas pada usaha pembenihan.Hal ini sesuai fungsi
vaksinasi yaitu meningkatkan daya tahan. Menurut Alifudin (2002) , vaksin
memiliki beberapa manfaat yaitu peningkatan daya tahan ikan, pencegahan
efek samping kemoterapeutika, proteksi terhadap serangan penyakit, keamanan
lingkungan budidaya dari pencemaran bahan kemoterapeutik, dan keamanan
konsumen dari residu antibiotik.

.Tabel 5. Titer Antibodi Benih Lele


Perlakuan Awal Akhir
Vaksin - 128
Non Vaksin - 16
Keterangan: - Tidak diukur (ukuran terlalu kecil)

220
Tabel 6. Pelaksanaan Diseminasi Vaksinasi tahun 2013

No Daerah Realisasi Keterangan

1 Kab. Sukabumi 19 Maret Di Dinas Perikanan. 11 orang

Di Dinas Perikanan. ± 10
2 Kab. Purwakarta
21 Maret orang

Di Dinas Perikanan. ± 10
3 Kab. Banjarnegara
18 Maret orang

Di Dinas Perikanan. ± 10
4 BBI Wanayasa
21 Maret orang

5 Kab. Cirebon 27 Maret Di Dinas Perikanan. 10 orang

6 Kab. Indramayu 27 Maret Di Dinas Perikanan. 19 orang

PBIAT Janti, Jawa


7 Di Dinas Perikanan. 10 orang
Tengah 23 April

8 Propinsi Bangka 16 Mei Di BBI Propinsi. 36 orang

9 Propinsi Lampung 7 Mei Di BBI Propinsi. 30 orang

10 Propinsi Bengkulu 28 Mei Di BBI Propinsi. 30 orang

Di Dinas Perikanan. ± 20
11 Kab. Bandung
30 Mei orang

12 Kota Bogor 11 Juni Di BBPBAT. 2 orang

13 Kab. Belitung 19 Juni Di Belitung. 40 orang

Kota Sukabumi dan 30 Agustus


14 Di BBPBAT. 40 orang
Cianjur

221
15 Propinsi Papua Barat 1 Oktober Di BBI Propinsi. ± 20 orang

16 Kab. Kebumen 22 Oktober Di Dinas Perikanan. 10 orang

Kota Tangerang Di Dinas Perikanan. ± 21


17 31 Oktober
Selatan orang

18 Propinsi Papua 7 Nopember Di BBI Propinsi. 20 orang

Total ± 349 orang

Tabel 7. Data Kisaran kualitas air selama pemeliharaan

Perlak. Parameter

Suhu ( pH DO NH3-N NO2


°C) (mg/l) (mg/l)

Vaksinasi 24.5-27 6.80-7.2 1.95-2,85 0,20-0,33 0.03-


0.190

Non 23.6- 6,81-7.8 1,89-2.95 0,18-0,30 0.02-


Vaksin 27,2 0.115

KESIMPULAN
Program vaksinasi yang dilakukan di UPR mampu meningkatkan
produkstivitas sekitar 20-30%. Program vaksinasi mampu meningkatkan
keuntungan.

222
DAFTAR PUSTAKA

Alifudin, M. 2002. Imunostimulasi Pada Hewan Akuatik. Jurnal


Akuakultur Indonesia. 1(2): 87-92

Baratawidajaja, K.G.2006. Imunologi Dasar. Edisi keTujuh. Bali Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 572 hal.

Ellis, A.E. 1988. Fish Vaccination. Academic Press Limited, London. 255 pp

Gilda, Lio Po, Lavilla C.R., Erlinda R, Lacierda C. 2001. Health Management
In Aquaculture. Southeast Asian Fisherie Development Center Iloilo,
Philipines.

Kordi, K.M. G.2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan . Rineka Cipta
dan Bina Adiaksara, Jakarta. 194 hal

Pasaribu FH. 1993. Pelet bervaksin terhadap Aeromonas hydrophilla.

Prosiding

Perikanan Indonesia I .25-27 Agustus 1993. Jakarta

Tizard I. 1988. An Introduction to Veterinary Immunology. Second Ed. WB.


Saunders Company. Philadelphia.363 ps

223
FORMULASI PAKAN MURAH BERKUALITAS UNTUK
PEMBESARANLELE SANGKURIANG

Herry, Sofi Hanif, Iis, Evi, Ece Ridwan, Khojiah, Ardi

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Direktorat Perikanan


Budidaya,

ABSTRAK

Salah satu alternatif pemecahannya masalah mahalnya harga pakan


dalam budidaya ikan air tawar adalah melakukan inovasi produk pakan
secara mandiri dengan memanfaatkan limbah organik dan bahan baku
lokal. Hal terpenting adalah bagaimana cara membuat pakan murah
yang berkualitas.
Ada tiga formula pakan yang akan dibuat pada pembudidayaan ikan lele
pembesaran, seperti pada Tabel berikut:
Dari hasil pengujian selama 75 hari, pakan formula 2 menghasilkan
nilainya yang paling baik diantara formulasi pakan, dimana pakan
tersebut menghasilkan rataan SR sebesar 95,02%, FCR 1,27, SGR 2,61
dan %W 436%. Sedangkan pakan formula 3 memberikan performa
paling rendah yaitu dengan rataan SR sebesar 94,44%, FCR 1,81 dan
%W 284%. Ikan Lele yang diberi pakan formula 2 yang menggunakan
10 % tepung limbah organik dan 5% tepung ikan sebagai sumber protein
utama relatif lebih baik dibandingkan ikan lele yang diberi pakan 5%
dan 15% tepung limbah organik. Hal positif dari perekayasaan ini ialah
ada indikasi bahwa pengurangan sumber protein tepung ikan sebesar
10% dengan menggantinya menggunakan tepung limbah organik 10%
bisa digunakan untuk pakan pembesaran ikan lele. Hal ini terlihat dari
adanya peningkatan pertumbuhan 436% dan memberikan FCR sebesar
1,27. Kandungan protein pakan formulasi adalah sebagai berikut pakan
formula 1, pakan formula 2 dan pakan formula 3: 30,74; 30,15; dan
30,02. Dari kandungan protein ini terlihat bahwa pakan formula 2
224
memiliki kandungan tertinggi sebesar 30,15, sehingga memberikan
pertumbuhan dan FCR lebih baik dibandingkan dengan pakan formula 1
dan 3 pada pembesaran ikan lele. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pakan formula 2 dapat disukai ikan sehingga berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan kecernaan pakan yang berubah menjadi daging.
Kandungan protein pakan formula 3 adalah yang terendah sehingga
memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ikan lele yang paling
rendah dan FCR yang paling tinggi

Kata Kunci: Single Cell protein

PENDAHULUAN
Kandungan nutrisi dan pemberian pakan memegang peranan penting untuk
kelangsungan usaha budidaya ikan air tawar. Penggunaan pakan yang efisien
dalam suatu usaha budidaya sangat penting karena pakan merupakan faktor
produksi yang paling mahal.
Permasalahan yang dihadapi para pembudidaya adalah mahalnya harga
pakan terus meningkat. Peningkatan harga ini dipicu oleh rendahnya suplai
bahan baku pakan terutama tepung ikan, tepung kedelai dan minyak ikan yang
diimpor dari luar. Negara eksportir utama mengalami penurunan produksi
tepung, tepung kedelai dan minyak ikan dikarenakan berbagai faktor yang
menghambat produksi, seperti iklim (el nino) dan bencana alam.
Salah satu alternatif pemecahannya masalah mahalnya harga pakan
dalam budidaya ikan air tawar adalah melakukan inovasi produk pakan secara
mandiri dengan memanfaatkan limbah organik dan bahan baku lokal. Hal
terpenting adalah bagaimana cara membuat pakan murah yang berkualitas.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan pada kegiatan ini meliputi : Bahan baku limbah
organik dan bahan baku lokal, tepung ikan, vitamin miks, mineral mix, minyak
ikan, minyak sayur, bahan analisa pakan dan bahan aditif.Sedangkan alat yang
digunakan meliputi: mesin pellet, disc mill, mesin penyaring, alat pelindung
kerja, dan peralatan pengemas pakan.Bahan baku limbah organik yang
dimaksud adalah bahan baku yang berasal dari produk samping pengolahan
225
material organik seperti ampas tahu, singel cell protein, bungkil kelapa yang
dikeringkan kemudian ditepungkan dengan alat penepung. Sedangkan bahan
baku lokal yang dimaksud adalah bahan baku yang berasal dari produksi lokal
(tidak dari impor), seperti tepung singkong, tepung jagung, dan
sebagainya.Dibuat pakan formulasi dengan basis dasar pemakaian tepung
limbah organik dan tepung bahan baku lokal sebagai faktor dominan dari total
pakan formulasi. Pakan yang akan dibuat diusahakan mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain: kandungan protein yang dimilikinya diatas rata-rata
SNI untuk pakan induk lele, harga pakan yang murah, dan mempunyai rasio
kecernaan yang baik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ada tiga formula pakan yang akan dibuat pada pembudidayaan ikan
lele pembesaran, seperti pada Tabel 1 berikut:

Formulasi Pakan (%)


No
Nama Bahan Baku FORMU FORMU FORMU
.
LA 1 LA 2 LA 3
1 Tepung ikan 10 5 0
2 Tepung Limbah Organik (SCP +
5 10 15
ampas kelapa+ampas tahu (8:1:1))
3 Tepung tapioka 21,5 21,5 21,5
4 Tepung kedelai 3 3 3
5 Poultry Meat Meal (PMM) 15 15 15
6 Dedak Halus 40 40 40
7 Vitamin mix 0,5 0,5 0,5
8 Mineral mix 0,5 0,5 0,5
9 Feed suplemen 0,5 0,5 0,5
10 Minyak ikan 2 2 2
11 Minyak nabati 2 2 2

226
Hasil analisa kandungan nutrisi terhadap pakan yang akan dibuat
ditampilkan pada Tabel 2 dibawah ini:
No Formula Protein Lemak serat Abu Air BETN
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
Pakan 29,91
1 30,74 9,45 7,31 15,58 7,01
Formula 1
Pakan 34,14
2 30,15 8,16 6,81 14,19 6,55
formula 2
Pakan 33,98
3 30,02 7,86 7,34 14,25 6,55
formula 3

Hasil uji pakan formulasi terhadap ikan lele pembesaran yang dipelihara selama
75 hari Tabel 3 dibawah ini:

Wadah SR FCR SGR


Ulangan (%) (%)
1. Kolam (formula 1)
1 95,33 1,35 2,37
2 95,20 1,53 2,18
3 94,00 1,46 2,16
Rataan 94,84 1,45 2,24
2. Kolam (formula 2)
1 95,73 1,3 2,63
2 95,33 1,1 2,75
3 94,00 1,4 2,46
Rataan 95,02 1,27 2,61
3. Kolam (formula 3)
1 94,67 1,69 1,95
2 93,33 1,89 1,83
3 95,33 1,85 1,68

227
Rataan 94,44 1,81 1,82

PEMBAHASAN

Dari hasil pengujian selama 75 hari, pakan formula 2 menghasilkan


nilainya yang paling baik diantara formulasi pakan, dimana pakan tersebut
menghasilkan rataan SR sebesar 95,02%, FCR 1,27, SGR 2,61 dan %W 436%.
Sedangkan pakan formula 3 memberikan performa paling rendah yaitu dengan
rataan SR sebesar 94,44%, FCR 1,81 dan %W 284%.
Ikan Lele yang diberi pakan formula 2 yang menggunakan 10 % tepung
limbah organik dan 5% tepung ikan sebagai sumber protein utama relatif lebih
baik dibandingkan ikan lele yang diberi pakan 5% dan 15% tepung limbah
organik.
Hal positif dari perekayasaan ini ialah ada indikasi bahwa pengurangan
sumber protein tepung ikan sebesar 10% dengan menggantinya menggunakan
tepung limbah organik 10% bisa digunakan untuk pakan pembesaran ikan lele.
Hal ini terlihat dari adanya peningkatan pertumbuhan 436% dan memberikan
FCR sebesar 1,27.
Kandungan protein pakan formulasi adalah sebagai berikut pakan
formula 1, pakan formula 2 dan pakan formula 3: 30,74; 30,15; dan 30,02.
Dari kandungan protein ini terlihat bahwa pakan formula 2 memiliki
kandungan sebesar 30,15% lebih rendah dari formulasi 1 (30,74%), tetapi
memberikan pertumbuhan dan FCR lebih baik dibandingkan dengan pakan
formula 1 dan 3 pada pembesaran ikan lele. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pakan formula 2 lebih disukai ikan sehingga berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan kecernaan pakan yang berubah menjadi daging.

KESIMPULAN

Pakan formula 1,2 dan 3 dengan dengan kandungan protein 30,74%,


30,15% dan 30,02 digunakan untuk pembesaran ikan lele dengan nilai FCR
1,45; 1,27; dan 1,81. %SGR sebesar 2,24; 2,61 dan 1,82. %W sebesar 293; 436;
dan 284.Pakan formula 2 memberikan pertumbuhan dan FCR yang paling baik
dibandingkan dengan pakan formula 1 dan pakan formula 3.

228
DAFTAR PUSTAKA

Lim, C., 1994. Future considerations in fish nutrition research. In: Feed for
small-scale aquaculture (Santiago et al., eds.). SEAFDEC-aQD, Iloilo,
Philippines.
Steffens, W. 1989. Principles Of Fish Nutrition. English Ed. England: Ellish
Horwood. Ltd.
Utomo. N.B. 2010. Teknologi Peningkatan Mutu Nutrisi Bahan Baku Lokal
dalam Formulasi Pakan Induk Ikan Air Tawar. Makalah dalam
pertemuan brodstock center ikan mas, nila dan lele di BBPBAT
Sukabumi.

229
INTENSIFIKASI BUDIDAYA PATIN (PANGASIANODON
HYPOPTHALMUS)
SKALA INDUSTRI DENGAN SISTEM KOLAM DALAM

Wisnu Adianto, Boyun Handoyo, Warih Hardanu,Supriyadi

ABSTRAK

Patin Siam (Pangasianodon hypopthalmus) menjadi pilihan spesies


budidaya pada kegiatan ini karena lebih adaptif dalam pembudidayaan
seperti dapat dipelihara pada salinitas 7 ppt dengan pH 6,5 – 7,5.
Pemeliharaan patin di kolam dalam, telah dilakukan di BLUPPB
Karawang dengan berbasis Industrialisasi. Tujuan dari kegiatan ini
adalah untuk mendapatkan informasi serta teknologi intensif pada
budidaya ikan patin di kolam dalam berbasis industrialisasi. Sasaran dari
kegiatan ini adalah produksi Fillet dari patin ukuran lebih dari 700
gr/ekor sebagai suatu usaha yang menguntungkan. Lahan yang
digunakan pada kegiatan ini adalah tambak yang dahulu digunakan
untuk budidaya udang windu dengan dimensi luas 3.000 M 2 dan
kedalaman air 350 – 400 CM. Benih yang ditebar dimulai dari ukuran
panjang 5 – 6 inci sebanyak 100.000 ekor atau padat tebar 33
ekor/M2.Pakan yang digunakan adalah pelet apung komersial dengan
kandungan protein (25 – 28)%. Frekuensi pemberian pakan adalah 2 kali
sehari yaitu pada pukul 07.30 dan 16.00 WIBB. Lama pemeliharaan
yang dibutuhkan adalah 6 bulan untuk menghasilkan patin ukuran berat
rata – rata 700 - 800 gr/ekor. Aerator berjenis kincir (paddle wheel)
sebanyak 2 buah digunakan untuk mendukung kelarutan oksigen yang
beroperasi 15 jam/hari (pukul 17.00 – 08.00 WIBB). Hasil kegiatan
adalah sintasan 87,2%, berat rata – rata lebih dari 700 gr sebanyak 35,5
Ton dan berat rata – rata kurang dari 700 gr sebanyak 18,2 Ton atau
biomassa total 53,7 Ton dan FCR 1: 1,44. Sedangkan salinitas selama
pemeliharaan berkisar 0 – 4 ppt. Produksi patin 53,7 Ton selanjutnya
diolah di Unit Pengolahan Ikan BLUPPB Karawang sehingga
menghasilkan Fillet sebanyak 11,4 Ton atau dengan rendemen 32%.
Selanjutnya Fillet dipasarkan di Lotte Mart dan Hypermarket
Jabodetabek dengan merk dagang Fillet Dory atas kerjasama dengan PT.
Adib Global Food Supply Jakarta. Analisa usaha sampai ukuran fillet
230
ternyata menghasilkan total pendapatan Rp.638.328.500,- dan
pengeluaran Rp.557.502.960,- dengan laba Rp.80.825.540,- sehingga
nilai B/C ratio sebesar 1,15.

Kata kunci : Pangasianodon hypopthalmus, intensifikasi, kolam dalam,


fillet, industrialisasi.

PENDAHULUAN

Budidaya perikanan saat ini menunjukkan perkembangan kegiatan usaha yang


pesat. Perkembangan tersebut berbanding antara bertambahnya permintaan
akan hasil budidaya perikanan khususnya budidaya ikan air tawar. Diantara
beberapa jenis ikan air tawar yang telah banyak dibudidayakan oleh para
pembudidaya adalah ikan patin. Jenis patin yang dibudidayakan adalah Patin
Siam (Pangasianodon hypopthalmus) spesies ini memiliki kemampuan
mentolerir kondisi perairan yang ekstrem dan dapat hidup dengan salinitas
sampai 1-7 ppt. Dengan kemampuan toleransi tersebut maka dapat
dimanfaatkan untuk memproduksi ikan patin pada perairan bersalinitas payau.
Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya Karawang dahulu
merupakan kawasan budidaya udang windu, setelah banyak terjadi serangan
penyakit yang mengakibatkan kegiatan budidaya udang windu tidak dapat
dilakukan secara intensif. Sehingga banyak tambak – tambak budidaya udang
windu yang tidak digunakan, oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk
mengaktifkan kembali tambak – tambak tersebut. Salah satu kajian yang
dilakukan adalah melakukan usaha pembesaran ikan patin. Dengan tujuan
utama meningkatkan produksi perikanan budidaya dan pemenuhan gizi
masyarakat. Tujuan kegiatan ini adalah mendapatkan data informasi dan
teknologi pembesaran ikan patin di kolam dalam pada perairan
bersalinitas.Tersedianya ikan patin ukuran fillet dan konsumsi hasil
pembesaran patin di kolam dalam pada perairan bersalinitas.

231
BAHAN DAN METODE

Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan April – September 2013


bertempat di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya Karawang.
Dalam kegiatan ini benih yang digunakan adalah benih ikan patin siam ukuran
5 - 6 inci dengan berat rata – rata 20 gram sebanyak 100.000 ekor dengan padat
tebar 33 ekor/m2.Wadah percobaan yang digunakan adalah tambak eks
budidaya udang dengan ukuran 3.000m2 dengan kedalaman air 350 – 400 cm.
Pakan uji yang digunakan dalam kegiatan ini adalah pakan komersial jenis
apung dengan kandungan protein 25 – 28% diameter 3 mm, 4 mm dan 5 mm.
Kegiatan ini dilakukan selama 5 – 6 bulan pemeliharaan atau hingga ikan telah
masuk ukuran fillet 700 gram. Pakan diberikan sebanyak 4% berat biomass/hari
pada bulan pertama, 3,5% berat biomass/hari pada bulan kedua, 3% berat
biomass/hari pada bulan ketiga, 2,5% berat biomass/hari pada bulan keempat,
2% berat biomass/hari pada bulan kelima dan 1,5% berat biomass/hari sampai
panen. Pemberian pakan dilakukan dengan frekuensi 2 kali sehari pada pukul
08.00 dan 15.00 WIB. Sampling dilakukan untuk mengetahui bobot tubuh ikan.
Sampling pertama dilakukan pada awal percobaan dan selanjutnya setiap dua
minggu sampai ikan mencapai ukuran fillet 700 gram.Parameter kualitas air
yang diukur meliputi: suhu, pH dan oksigen terlarut dilakukan setiap 2 minggu
pada pukul 09.00, sedangkan amoniak dilakukan setiap bulan pada pukul 09.00.
Parameter yang diamati selama penelitian meliputi pertumbuhan,
efisiensi pakan, serta kelangsungan hidup, sebagai berikut:
Untuk mengetahui laju pertumbuhan bobot harian ikan selama
pemeliharaan dapat dihitung dengan persamaan (Halver, 2002):
LnWt  LnWo
SGR 
t

Keterangan:

SGR = Laju pertumbuhan bobot harian (%)


Wt = Bobot ikan pada akhir pemeliharaan (gram)
Wo = Bobot ikan pada awal pemeliharaan (gram)
∆t = Lama waktu pemeliharaan (hari)

232
Untuk menghitung efisiensi pemberian pakan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus NRC (1977) sebagai berikut:
F
FCR  x 100 %
(Wt  D)  Wo

Keterangan :

FCR = Konversi pakan (%)


Wt = Bobot ikan total pada akhir pemeliharaan (gram)
Wo = Bobot ikan total pada awal pemeliharaan (gram)
D = Total bobot ikan yang mati selama pemeliharaan
(gram)

Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup ikan selama pemeliharaan


dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1997) sebagai berikut:

Nt
SR  x 100 %
No

Keterangan:

SR = Kelangsungan hidup (%)


Nt = Jumlah ikan pada akhir penelitian (ekor)
No = Jumlah ikan pada awal penelitian (ekor)

233
HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara keseluruhan kegiatan budidaya patin yang dilakukan berjalan


dengan lancar dan sesuai jadwal kegiatan.
Dari hasil kegiatan diperoleh grafik pertumbuhan patin siam sebagai berikut :

Data Pertambahan Berat Ikan (gr)


800
700
600
500
400
300
200
100
0
1 2 3 4 5 6 7 8

Air Payau Air Tawar

Diagram 1. Pertumbuhan rerata bobot pada ikan patin selama pemeliharaan.

Dari diagram diatas menunjukkan bahwa pertambahan berat ikan patin


di kolam dalam perairan payau menunjukkan tidak berbeda nyata dengan
budidaya patin di air tawar pada pemeliharaan 6 bulan. Pertambahan berat patin
di kolam dalam pada perairan bersalinitas menunjukkan pertumbuhan yang
signifikan dibandingkan dengan pertambahan berat patin yang dibudidayakan
pada air tawar.

234
Data Pertambahan Panjang Ikan
(cm)
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7

Air Payau Air Tawar

Diagram 2. Pertumbuhan panjang ikan patin siam selama pemeliharaan


Dari diagram diatas menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang ikan
patin di kolam dalam pada perairan bersalinitas / payau menunjukkan tidak
berbeda nyata dengan budidaya patin di air tawar pada pemeliharaan 6 bulan.

Tabel 1. Data kualitas air selama pemeliharaan.

Tanggal Suhu (0C) DO PH Salinitas


Hasi Hasi
Hasil SNI l SNI Hasil SNI l SNI
01 April 28 2,5 6,5 2
01 Mei 30 1,8 7,1 3
01 Juni 29 2,2 7,5 4
25 -
01 Juli 31 1,9 >4 7,2 5.5 – 8.5 5 0
30
01 Agustus 30 1,8 7,1 3
01 29 1,9 7,2 3
September

235
Secara umum data kualitas air selama pemeliharaan dapat dipertahankan
pada kriteria standar budidaya hanya kadar salinitas air relatif fluktuatif karena
suplai air tawar terpengaruh pasang air laut. Salah satu solusi adalah penentuan
waktu ganti air dengan mempertimbangkan waktu surut terendah dari air laut.
Kedalaman air konstan pada kisaran 350 – 400 cm.

Tabel 2. Tabel FCR (Feed Convertion Rate) perbulan selama


pemeliharaan.
Tambak April Mei Juni Juli Agustus September
D4-5 0,8 1.05 1.12 1.21 1.36 1.44

Dari table diatas dapat dilihat bahwa ikan patin siam di kolam dalam
pada perairan bersalinitas masih mampu untuk penyesuaian tekanan
osmoregulasi melalui penambahan energy, sehingga meningkatkan laju
konfersi pakan (FCR), Ikan juga dapat menyerap garam dibandingkan bahan
pencemar seperti amoniak dan nitrit, sehingga ikan dapat tumbuh normal.
Secara keseluruhan kelangsungan hidup ikan patin yang dipelihara di kolam
dalam perairan payau sesuai target yang diharapkan (±85%) yaitu sebesar
87,2% karena berasal dari benih kualitas baik dan kemampuan toleransi patin
siam yang baik terhadap salinitas.

236
KESIMPULAN

Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa intensifikasi patin melalui


budidaya di kolam dalam adalah sebagai berikut:
1. Ikan patin dapat dibudidayakan pada kolam dalam dengan salinitas 1-5
ppt
2. Kelangsungan hidup patin (SR) 87,20%
3. Konversi pakan (FCR) 1,44

DAFTAR PUSTAKA

Hamid, M., A dkk 2010. Manual Pembenihan Patin Siam (Pangasianodon


hypopthalmus).
Balai Budidaya Air Tawar Jambi.
Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor, Badan Litbang Pertanian. 25 Hlm.

Widiyati, A., H. Djajasewaka dan E. Tarupay 1992. Pengaruh padat tebar induk
ikan patin (Pangasius pangasius) yang dipelihara di karamba jaring
apung. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar.
Balitkanwar Bogor. Hal. 201 – 204.

237
UPAYA MENINGKATKAN NILAI TAMBAH
LAHAN UGADI DAN UGAMEDI
MELALUI PENDEDERAN LELE SANGKURIANG DENGAN
MEMANFAATKAN WAKTU PENYELANG

K. T. Wibowo, Sarifin, A. Kurnia, S. Hastuti, A. Ayuningtias.

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi

ABSTRAK
Seiring meningkatnya permintaan lele konsumsi, secara
otomatis permintaan bibit ikut mengalami peningkatan. Saat
ini, pembudidaya cenderung menghendaki benih yang
berukuran 7-8 cm karena lebih adaptif pada lingkungan kolam
pembesaran. Sementara itu pendederan di kolam terpal dan
tembok sering bermasalah dengan banyaknya kematian pada
ukuran dibawah 7 cm. Kelangkaan bibit lele pada ukuran 7-8
cm akan berakibat ketidakstabilan harga lele konsumsi
nasional, hal ini sangat merugikan masyarakat pembudidaya
lele dan pelaku usaha lainnya. Inovasi ini adalah melakukan
pendederan di lahan sawah dengan memanfaatkan waktu
penyelang yaitu waktu pasca panen padi sampai penanaman
kembali.Dengan kisaran waktu 30-40 hari.Pendederan yang
dilakukan dengan menggunakan bibit ukuran 1-2 cm (larva
naik turun) dengan padat penebaran 250-500/m2, persentase
kelangsungan hidupnya 40-60%.Untuk menunjang kesetabilan
perairan pemberian probiotik dilakukan secara berkala.
Hasilpemeliharaanlele di sawahselama 40 hari, menghabiskan
pakan rata-rata 50-100 kg. Hasil pendapatan yang didapatkan
dalam 1000 m2 berkisar antara 7-25jt/periode atau 28-
100jt/tahun.

Kata kunci: pendederan, waktu penyelang, lahan sawah

238
PENDAHULUAN

UGADI dan UGAMEDI merupakan inovasi di bidang agribisnis, kolaborasi


antara bidang pertanian dengan perikanan yang memanfaatkan areal sawah.
Budidaya minapadi yakni budidaya ikan dan tanaman padi yang dikerjakan
dalam lahan yang sama, kini menjadi salah satu alternatif usaha yang dapat
memberikan nilai tambah pendapatan bagi petani, UGADI dan UGAMEDI ini
inovasi baru dilakukan, belum berkembang di petani, ini merupakan terobosan
barudalam rangka peningkatan pendapatan petani.UGADI/UGAMEDI
adalahbudidayaterpadu yang dapatmeningkatkanproduktivitaslahansawah,
yaituselaintidakmengurangihasilpadi, jugadapatmenghasilkanudang galah dan
benih gurame.
Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah
dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di pulau
Jawa.Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan 1) dapat dibudidayakan di
lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, 2) teknologi
budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, 3) pemasarannya relatif
mudah dan 4) modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah (pembenihan dan
pendederan).
Pendederan merupakan kegiatan pemeliharaan benih yang dilakukan
untuk menghasilkan benih ukuran tertentu yang siap dibesarkan dikolam
pembesaran. Pendederan lele sangkuriang dilakukan dalam tiga tahap
pendederan, yaitu pendederan pertama (PI) selama 14-20 hari, pendederan ke
dua (PII) selama 20-28 hari, dan pendederan ke tiga (PIII) selama 14-20 hari.
Tujuan dilakukan pendederan secara bertahap adalah untuk menghasilkan
benih-benih yang mempunyai keunggulan dari segi keseragaman umur dan
ukuran, jumlah benih yang dihasilkan, serta rendahnya tingkat mortalitas pada
setiap fase pertumbuhan.Selain itu pendederan ini dilakukan untuk
mengantisipasi kelangkaan bibit akibat kegagalan para pembudidaaya lele
dikolam.
Tingginya resiko kegagalan pada segmen pendederan P1-P3 akan
berimbas pada segmen pembesaran, mengakibatnya kestabilan harga dan
kontinuitas produk terganggu, maka dari itu dibutuhkan inovasi tehnologi
untuk mendapatkan alternatif tehnologi budidaya yang menguntungkan dan
minim resiko. Tujuan dari kegiatan ini adalah Sebagai upaya optimalisasi lahan
sawah untuk memperoleh keuntungan yang optimal serta penyediaan benih lele
ukuran 7-8 cm yang kontinyu dalam rangka mendukung budidaya lele
berkelanjutan.

239
BAHAN DAN METODE

Bahan-bahan yaitu benih lele ukuran 1-2cm, pakan benih lele, probiotik,
imunostimulan alami, pupuk organic, kapur tohor. Sedangkan alat-alatnya yaitu
serok, waring, jala dan lain-lain. Desain dan kontruksi lahan sawah berupa
system caren (parit keliling) dengan bagian tengah (plataran) digunakan untuk
menanam padi.Caren tersebut berfungsi sebagai media hidup udang galah dan
leleserta untuk mempermudah pada saat panen. Lebar caren keliling 1,5 -2
mater dengan kedalaman 50 – 60 cm dari plataran padi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan pendederan lele pada lahan UGADI/UGAMEDI merupakan


sebuah rangkaian kegiatan pembesaran udang galah di lahan sawah bersama
padi, dimana kegiatan pendederan lele ini memanfaatkan waktu luang pasca
udang galah sudah di panen. Adapun hasil perhitungan sederhana dari kegiatan
ini dapat di lihat pada table 1 dan table 2.
Tabel 1.hasil kegiatan pendederan dengan padat tebar 500 ekor/m2

Awal Panen
∑ SR
Wadah Jumlah Bobot Jumlah Bobot FCR SGR(%) %W
Pakan (%)
(ek) (kg) (ek) (kg)
sawah 1 500.000 75 260.000 1170 100 52.00 0.09 9.81 1460.00
sawah2 500.000 75 200.000 900 90 40.00 0.11 8.87 1100.00
sawah3 500.000 75 210.000 945 96 42.00 0.11 9.05 1160.00
RATAAN 500.0 75.0 223.3 1005.0 95.3 44.67 0.10 9.25 1240.00
Standar Deviasi (SD) 6.43 0.01 0.50 192.87

240
Pada table 1 pemeliharaan dilakukan 30-40 hari pada lahan sawah
1000m2 dengan padat tebar 500ekor/m2. Laju pertumbuhan harian (SGR) dari
lelerataan sebesar 9.25% dengan SR (Survival Rate) sebesar 44.67%.dan FCR
(Feed Convertion Ratio) sebesar 0.10%.
Tabel 2.hasil kegiatan pendederan dengan padat tebar 250 ekor/m2
Awal Panen
∑ SR
Wadah Jumlah Bobot Jumlah Bobot FCR SGR(%) %W
Pakan (%)
(ek) (kg) (ek) (kg)
sawah 1 250.000 37.5 150.000 675 70 60.00 0.11 10.32 1700.00
sawah2 250.000 37.5 139.000 625.5 50 55.60 0.09 10.05 1568.00
sawah3 250.000 37.5 148.000 666 80 59.20 0.13 10.27 1676.00
RATAAN 250.0 37.5 145.7 655.5 66.7 58.27 0.11 10.22 1648.00
Standar Deviasi (SD) 2.34 0.02 0.15 70.31

Pada table 2 pemeliharaan dilakukan 30-40 hari pada lahan sawah


1000m2 dengan padat tebar 250ekor/m2. Laju pertumbuhan harian (SGR) dari
lelerataan sebesar 10.22% dengan SR (Survival Rate) sebesar 58.27%.dan FCR
(Feed Convertion Ratio) sebesar 0.11%.
Hasil dari kegiatan diatas menunjukkan adanya peningkatan SR
(Survival Rate) sebesar 58.27% pada padat penebaran 250ekor/m2.walaupun
FCR (Feed Convertion Ratio) sebesar 0.11%.Pola peningkatan kelangsungan
hidup diduga disebabkan karena perbedaan padat penebaran dan waktu
pemeliharaan yang berbeda, adanya perbedaan kondisi alam yang berbeda
tentunya berpengaruh terhadap lingkungan budidaya, disamping itu dengan
penebaran yang tinggi maka ketersediaan pakan dan oksigen akan semakin
berkurang sementara bahan buangan sisa metabolisme akan semakin tinggi.
Faktor-factor yang mempengaruhi dalam padat tebar tinggi yaitu kualitas dan
kuantitas pakan, ukuran ikan dan jenis wadah yang digunakan, adapun yang
mempengaruhi laju pertumbuhan spesifik pada pakan antara lain kemampuan
ikan dalam mencerna dan memanfaatkan pakan untuk pertambahan bobot
tubuh, serta formulasi pakan yang belum mengandung sumber nutrien yang
tepat dan lengkap bagi ikan sehingga tidak dapat memacu pertumbuhan pada
241
tingkat optimal. Hal ini sesuai menurut Wiadnya, et.al (2000), lambatnya
pertumbuhan diduga disebabkan dua faktor utama, yaitu :

(1) Kondisi internal ikan sehubungan dengan kemampuan ikan dalam


mencerna dan memanfaatkan pakan untuk pertambahan bobot
tubuh.
(2) Kondisi eksternal pakan, yang formulasinya belum mengandung
sumber nutrien yang tepat dan lengkap bagi ikan itu, sesuai dengan
pernyataan Junianto (2003) bahwa kandungan keseimbangan
nutrisi (protein, lemak, dan serat) pada pakan ikan akan memacu
pertumbuhan ikan yang cepat tumbuh besar.

Faktor kegagalan dalam kegiatan pendederan ini sebagian besar akibat


dari kesalahan SDM yaitu:

1. Kelalaian mengontrol ketinggian air, akan berakibat naiknya


permukaan air dan menggenangi pelataran padi, sehingga lele akan
masuk ke pelataran dan bersembunyi di lubang-lubang bekas kaki
saat proses penanaman padi. Potensi kegagalan akibat kelalaian ini
sekitar 90% karena ketika air surut lele yang bersembunyi akan
mati akibat terik matahari.
2. Kelalaian dalam pensortiran benih awal, keseragaman ukuran
merupakan harga mati didalam kegiatan pendederan ini, akibat dari
kelalaian ini mengakibatkan kegagalan sekitar 80% setelah 10-15
hari pasca penebaran bibit. kemungkinan adanya kanibalisme pada
ikan peliharaan kita sehingga lompatan pertumbuhan sangat
signifikan akan tetapi kelulus hidupannya kurang dari 10%
3. Kelalaian mengontrol pemasukan air, penambahan air yang
terlampau besar dan berlangsung lama akan berakibat lele mudah
terserang penyakit, potensi kegagalan aklibat kelalaian ini sekitar
40%, asalkan penanganannya berlangsung cepat.

KESIMPULAN

Kegiatan pendederan ini sangat layak dan menguntungkan untuk


dikembangkan.Dengan kisaran waktu 30-40 hari.Pendederan yang dilakukan
dengan menggunakan bibit ukuran 1-2 cm (larva naik turun) dengan padat
242
penebaran 250-500/m2, persentase kelangsungan hidupnya 40-60%.Hasilselama
pemeliharaan, menghabiskan pakan rata-rata 50-100 kg atau rataan FCR 0.10-
0.11.Hasil pendapatan yang didapatkan dalam 1000 m2 berkisar antara 7-25jt
periode atau 28-100jt pertahun.

DAFTAR PUSTAKA

Khairuman SP, 2008. Toguan Sihombing, Khairul Amri, S.Pi,M.Si. Budidaya


Lele Dumbo di Kolam Terpal. Agromedia Pustaka.
K.T.Wibowo, 2012. Mendongkrak Produksi Lele Dengan Sistem Padat Tebar
Tinggi. Agromedia Pustaka
Rachmatun.S, Dra dan Suyanto. 2007. Budidaya Ikan Lele (Edisi Revisi).
Penebar Swadaya. Jakarta.
Wiadnya, D.G.R, Hartati, Y. Suryanti, Subagyo, dan A.M. Hariati. 2000.
Periode Pemberian Pakan yang Mengandung Kitin untuk Memacu
Pertumbuhan dan Produksi Ikan Gurame (Osphronemtus goramy
Lac.).Jurnal Peneltian Perikanan Indonesia.
Yi Y, Lin CK, Diana S. 2003. Hybrid catfish (Clarias macrocephalus x C.
gariepinus) and Nile tilapia (Oreochromis niloticus) in an integrated
pen-cum pond system: growth performance and nutrient budgets.
Aquaculture 217: 395-408.

243
POTENSI INDIGENOUS BACTERIA PENGHASIL
ENZIM AMILASEPADA BUDIDAYA GURAME
(Osphronemus gouramy)

Gusnita Alfin, Esti Harpeni, Mahrus Ali, Berta Putri


Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No. 1 Gedung Meneng,
Bandar Lampung 35145

ABSTRAK
Gurame adalah salah satu ikan air tawar ekonomis penting. Sebagai
salah satu ikan herbivora, gurame membutuhkan porsi karbohidrat yang
cukup besar. Karbohidrat sebagai sumber energi diperlukan untuk
pertumbuhan dan penghematan penggunaan protein. Fungsi ini
menjadikan penggunaan pakan gurame kaya karbohidrat sebagai upaya
efisiensi penggunaan pakan berprotein tinggi. Energi yang dimiliki oleh
gurame sebagian besar digunakan untuk menghidrolisis karbohidrat.
Akibatnya pertumbuhan gurame menjadi lambat. Pemecahan
karbohidrat dapat dilakukan dengan lebih cepat menggunakan enzim
amilase. Sumber enzim amilase yang paling baik adalah dari bakteri
yang berasal dari habitat asli (indigenous bacteria), dalam hal ini berasal
dari usus gurame. Penelitian ini mengisolasi bakteri penghasil enzim
amilase dari usus gurame untuk mempercepat proses pemecahan
karbohidrat. Sebanyak 102 isolat berhasil diisolasi dari usus gurame dan
terdapat satu isolat (Burkholderia cepacia) yang mampu menghasilkan
enzim amilase serta memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam usaha
budidaya gurame.

Kata Kunci : gurame, karbohidrat, enzim amilase, indigenous bacteria

PENDAHULUAN
Gurame (Osphronemus gouramy) termasuk ikan yang diunggulkan
dalam budidaya perikanan, terbukti dari kenaikan produksinya tahun 2012
244
sebesar 20.320 ton dari tahun 2011 (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,
2013). Harga gurame yang relatif lebih mahal dari ikan lainnya dan
pembudidayaannya yang mudah, membuat banyak petani ikan di Lampung
memilih gurame sebagai komoditas utama budidaya.
Budidaya gurame membutuhkan waktu cukup lama karena perubahan
kebiasaan makan sepanjang hidupnya. Gurame dewasa cenderung bersifat
herbivora (Aslamyah dkk, 2009) yang mampu memanfaatkan pakan dengan
kandungan karbohidrat relatif tinggi bahkan lebih tinggi dari ikan mas
(Mokoginta dkk, 2004). Penggunaan pakan dengan porsi karbohidrat yang
cukup besar memungkinkan gurame mendapatkan sumber energi untuk
pertumbuhan sekaligus penghematan penggunaan protein (Hemre et al., 2002).
Namun, hidrolisis (pemecahan) karbohidrat membutuhkan energi besar dan
waktu lama sehingga pertumbuhan gurame menjadi lambat. Hidrolisis
karbohidrat dapat dipercepat dengan menggunakan enzim pencernaan seperti
amilase. Enzim ini banyak ditemukan di saluran pencernaan banyak ikan
(Krogdahl et al., 2005) yang diproduksi oleh bakteri asli (indigenous bacteria)
saluran pencernaan (Suhita et al., 1997; Bairagi et al., 2004). Walaupun enzim
amilase juga dapat dihasilkan dari sumber lain seperti oleh bakteri termofil dari
sumber air panas (Natsir dkk, 2014), namun penggunaan indigenous bacteria
memiliki keuntungan lebih mudah diaplikasikan pada pencernaan gurame.
Penelitian ini mengkaji potensi indigenous bacteria dari usus gurame sebagai
kandidatpenghasil enzim amilase untuk meningkatkan kinerja saluran
pencernaan gurame menghidrolisis sumber karbohidrat pada pakan.

MATERI DAN METODE PENELITIAN


Materi yang digunakan antara lain cawan petri, bunsen, jarum ose,
spreader, vortex, autoklaf, timbangan digital, parafilm, tabung reaksi,
inkubator, mikropipet, hot plate stirrer, tabung erlenmeyer, botol sempel, pipet
tetes, tube 5 ml, gurame berukuran sekitar 250 g/ekor, larutan fisiologis (NaCl
0,9%), TSA (Trypticase Soy Agar) Oxoid™, TSB (Trypticase Soy Broth)
Oxoid™, alkohol 70%, akuades, tepung kanji, dan tepung terigu.
Sampel diambil dari usus 15 ekor ikan dari 5 lokasi yang berbeda yaitu
Langkapura, Labuhan Ratu, Natar, Kemiling, dan Way Halim, Provinsi
Lampung. Isi usus diambil, digerus lalu ditimbang sebanyak 1 g. Isi usus
dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah ditambahkan 9 ml larutan
fisiologis (NaCl 0,9%). Seri pengenceran dilakukan untuk mendapatkan hasil
koloni yang menyebar dan tidak begitu rapat.
Sebanyak 50 µl sampel disebar pada media TSA. Kultur ini kemudian
diinkubasi pada suhu ruang 27-280C selama 24-48 jam. Koloni bakteri yang
telah tumbuh dimurnikan berdasarkan perbedaan morfologi koloninya. Setiap

245
isolat yang memiliki karakter berbeda selanjutnya disimpan dalam media TSA
miring.
Bakteri hasil isolasi diuji kemampuannya dalam menghidrolisis karbohidrat
dengan mengkultur bakteri tersebut dalam media TSA yang telah ditambahkan
sumber karbohidrat yaitu tepung terigu dan tepung kanji yang masing-masing
sebanyak 10%. Media kultur pada setiap cawan petri dibagi menjadi 5 bagian.
Isolat yang akan diuji ke dalam media TSA diinokulasi dengan cara
menempatkan 1 ose biakan di bagian yang telah disediakan, kemudian inkubasi
selama 24 jam. Setelah 24 jam, jika terjadi proses hidrolisis pati akan terlihat
daerah atau zona terang di sekeliling koloni mikroba. Diameter zona terang
yang terbentuk kemudian diukur (Aslamyah dkk, 2009). Isolat yang
menghasilkan zona bening, kemudian diidentifikasi secara konvensional
melalui serangkaian uji morfologi dan biokimianya secara bertahap
berdasarkan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology(Holt, 1994).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Isolat kandidat bakteri penghasil enzim amilase yang didapat dari penelitian ini
sebanyak 102 isolat yang berasal dari 15 sampel usus gurame (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah isolat bakteri yang tumbuh pada media TSA


Lokasi Urutan Ikan Kode Ikan Jumlah isolat

Langkapura 1 (L1G1) A 9

2 (L1G2) B 10

3 (L1G3) C 5

Labuhan Ratu 1 (L2G1) D 6

2 (L2G2) E 4

3 (L2G3) F 4

Natar 1 (L3G1) G 10

2 (L3G2) H 8

3 (L3G3) I 7

246
Kemiling 1 (L4G1) J 4

2 (L4G2) K 6

3 (L4G3) L 9

Way Halim 1 (L5G2) M 10

2 (L5G2) N 5

3 (L5G3) O 5

JUMLAH 102

Dari 102 isolat hanya didapat 1 isolat bakteri yang mampu


menghasilkan zona terang atau yang mampu menghidrolisis karbohidrat. Isolat
bakteri yang dimaksud yaitu isolat yang ditumbuhkan di permukaan media agar
yang telah ditambahkan 10% tepung terigu dengan kode D2 (lokasi 2 ikan ke-
1). Besarnya diameter zona terang yang dihasilkan yaitu sebesar 0,4 cm
(Gambar 1a). Koloni bakteri tersebut memiliki karakteristik bulat kecil, tebal,
dan berwarna kuning pekat atau oranye. Warna koloni bakteri merupakan hasil
pigmentasi sel dan merupakan penanda bagi bakteri (Lewaru dkk, 2012).
Pigmen yang mencolok pada bakteri dapat pula mengindikasikan potensi
tertentu seperti penghasil senyawa bioaktif (Radjasa et al., 1999).

Gambar 1. Hasil uji aktivitas enzim amilase (a). terbentuk zona terang, (b).
tidak terbentuk zona terang.

247
Hanya satu isolat yang ditemukan menghasilkan zona terang pada penelitian ini
mengindikasikan hanya sedikit bakteri yang mempunyai potensi mampu
menghidrolisis karbohidrat. Namun demikian, ada kemungkinan isolat-isolat
bakteri dari saluran pencernaan gurame tersebut memiliki potensi-potensi yang
lain, seperti sebagai bakteri probiotik (Suwarsih, 2011; Yulvizar, 2013). Isolat
D2 yang ditemukan juga hanya mampu menghidrolisis substrat karbohidrat
berupa tepung terigu bukan tepung kanji. Beberapa penelitian membuktikan
bahwa penggunaan tepung kanji pada pakan justru menghambat aktivitas enzim
amilase untuk menghidrolisis tepung kanji (Spannhof and Plantikow, 1983;
Mokoginta et al., 2004). Jenis substrat karbohidrat yang dipilih isolat ini akan
mempengaruhi kecernaan pakan (Mokoginta dkk, 2003), sehingga dapat
mempengaruhi efektifitas penggunaan pakan gurame.
Isolat bakteri ini berbentuk bulat dan tergolong Gram negatif (Tabel 2).
Umumnya bakteri yang potensial menghasilkan enzim penghidrolisis
karbohidrat tergolong bakteri Gram negatif (Suhita et al., 1997). Uji katalase
positif menunjukkan bahwa bakteri tersebut memiliki enzim katalase sebagai
katalisator dalam mengurai hidrogen peroksida (H2O2) untuk menghasilkan
oksigen dan air. Bakteri ini juga menghasilkan enzim oksidase dan dapat
mereduksi nitrat menjadi nitrit tetapi tidak menghasilkan gas (Nursyirwani dan
Amolle, 2007). Hasil positif pada uji TSIA menunjukkan bahwa bakteri ini
dapat memfermentasikan tiga jenis gula, yaitu glukosa, laktosa, dan sukrosa.
Uji sitrat (Tabel 2) yang menunjukkan hasil positif berarti bakteri tersebut
menggunakan sitrat sebagai sumber karbonnya.

Tabel 2. Hasil uji morfologi dan biokimiawi bakteri penghasil enzim amilase
No. Jenis Uji Hasil Uji

1. Morfologi Bakteri :

Bentuk Bulat

Gram Negatif

Warna Oranye

2. Katalase +

3. Oksidase +

248
4. Oksidatif/Fermentatif Oksidatif

5. TSIA +

6. TIO Anaerob

7. LIA +

8. SIMON CITRAT +

9. MIO :

Motility +

Indol +

Ornithin -

Identifikasi terhadap isolat bakteri D2 menunjukkan bahwa isolat bakteri


tersebut merupakan Burkholderia cepacia. Bakteri genus Burkholderia (dulu
Pseudomonas)merupakan bakteri hidrokarbonoklastik yaitu mampu
mendegradasi beberapa jenis hidrokarbon (Nursyirwani dan Amolle, 2007).
Bakteri ini motil, mampu bergerak menggunakan satu atau lebih flagela
(Tomich et al., 2002). Burkholderia cepacia diketahui mampu menghasilkan
beberapa senyawa antimikroba seperti pyrrolnitrin (Kadir et al., 2008; Sultan et
al., 2008)dan phenazine (Devi et al., 2012).

KESIMPULAN
Isolat yang didapat dari penelitian ini sebanyak 102 isolat dan terdapat satu
isolat potensial (D2) yang diidentifikasi sebagai Burkholderia cepacia yang
mampu menghasilkan enzim amilase dengan substrat tepung terigu.

249
DAFTAR PUSTAKA
Aslamyah, S., Azis, H.Y., Sriwulan dan Wiryawan, K.G. 2009. Mikroflora
saluran pencernaan ikan gurame (Osphronemus gouramy Lacepede).
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan), 19(1): 66-73.
Bairagi, A., Sarkar Gosh, K., Sen, S.K. and Ray, A.K. 2004. Evaluation of the
nutritive value of Leucaena leucocephala leaf meal, inoculated with
fish intestinal bacteria Bacillus subtilis and Bacillus circulans in
formulated diets for rohu, Labeo rohita (Hamilton) fingerlings.
Aquaculture Research, 35: 436-446.
Devi, S.I., Somkuwar, B., Potshangbam, M. and Talukdar, N.C. 2012. Genetic
characterization of Burkholderia cepacia strain from Northeast India: A
potential bio-control agent. Advances in Bioscience and Biotechnology,
3: 1179-1188
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2013. Statistik Produksi Perikanan
Budidaya Tahun 2012. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Hemre, G.-I., Mommsen, T.P. and Krogdahl, A. 2002. Carbohydrates in fish
nutrition: effects on growth, glucose metabolism and hepatic enzymes.
Aquaculture Nutrition, 8: 175-194.
Holt, J.G. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology Ninth Edition.
Wiliams and Wilkins. Baltimore.
Kadir, J., Rahman, M.A., Mahmud, T.M.M., Rahman, R.A. and Begum, M.M.
2008. Extraction of antifungal substances from Burkholderia cepacia
with antibiotic activity against Colletotrichum gloeosporioides on
papaya (Carica papaya L.). Int. J. Agri. Biol, 10: 15-20.
Krogdahl, A., Hemre, G.-I. and Mommsen, T.P. 2005. Carbohydrates in fish
nutrition: digestion and absorption in postlarval stages. Aquaculture
Nutrition, 11: 103-122.
Lewaru, S., Riyantini, I. dan Mulyani, Y. 2012. Identifikasi bakteri indigenous
pereduksi logam berat Cr (VI) dengan metode molekuler di Sungai
Cikijing Rancaekek, Jawa Barat. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3(4):
81-92.
Mokoginta, I., Utomo, N.P., Akbar, A.D. dan Setiawati, M. 2003. Penggunaan
tepung singkong sebagai substitusi tepung terigu pada pakan ikan mas,
Cyprinus Carpio L. Jurnal Akuakultur Indonesia, 2(2): 79-83.
250
Mokoginta, I., Takeuchi, T., Hadadi, A. and Dedi, J. 2004. Different
capabilities in utilizing dietary carbohydrate by fingerling and subadult
giant gouramy Osphronemus gouramy. Fisheries Science, 70: 996-
1002.
Natsir, N.A.N., Natsir, H. dan Dali, S. 2014. Eksplorasi dan karakterisasi
bakteri termofil penghasil enzim amilase dari sumber air panas
Panggo, Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Biokimia UIN
Hidayatullah Jakarta, 22 Mei 2014.
Nursyirwani dan Amolle, K.C. 2007. Isolasi dan karakteristik bakteri
hidrokarbonoklastik dari Perairan Dumai dengan sekuen 16S rDNA.
Jurnal Ilmu Kelautan, 12(1): 12-17.
Radjasa, O.K., Sabdono, A. and Suharsono. 1999. The growth inhibition of
marine biofilm-forming bacteria by the crude extract of soft coral
Sinularia sp. Journal of Coastal Development, 2: 329-334.
Spannhof, L. and Plantikow, H. 1983. Studies on carbohydrate digestion in
rainbow trout. Aquaculture, 30: 95-108.
Suhita, H., Kawasaki, J. and Deguchi, Y. 1997. Production of amylase by the
intestinal microflora in cultured freshwater fish. Letters in Applied
Microbiology, 24: 105-108.
Sultan, M.Z., Park, K., Lee, S.Y., Park, J.K. and Varughese, T. 2008. Novel
oxidized derivatives of antifungal pyrrolnitrin from the bacterium
Burkholderia cepacia K87. J. Antibiot. 61(7): 420–425
Suwarsih. 2011. Isolasi dan identifikasi bakteri probiotik dari ikan kerapu
macan (Ephinephelus fuscogatus) dalam upaya efisiensi pakan ikan.
Prospektus, 1: 48-55.
Tomich, M., Herfst, C.A., Golden, J.W. and Mohr, C.D. 2002. Role of flagella
in host cell invasion by Burkholderia cepacia. Infection and Immunity,
70(4): 1799-1806.
Yulvizar, C. 2013. Isolasi dan identifikasi bakteri probiotik pada Rastrelliger
sp. isolation and identification of probiotic bacteria in Rastrelliger sp.
Biospecies, 6(2): 1-7.

251
252
KATA PENGANTAR
Perikanan budidaya dengan segala potensi pengembangan dan sumber
daya alam yang mendukung, memiliki peluang menjadi salah satu pilar dalam
Ketahanan Pangan dan Gizi dan sebagai penggerak perekonomian nasional.
Disamping itu, perikanan budidaya juga memiliki banyak peluang untuk
menyediakan lapangan usaha dan menyerap tenaga kerja dan mampu
diusahakan secara berkelanjutan. Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015, segala kelebihan yang dimiliki oleh sector perikanan
budidaya harus terus digali dan dikembangkan sehingga produk perikanan
budidaya mampu bersaing dengan kualitas yang tinggi dan jumlah yang
memenuhi kebutuhan pasar.
Untuk mendukung hal tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
menyelenggarakan kegiatan INDONESIAN AQUACULTURE (INDOAQUA)
2014 dengan tema “PERIKANAN BUDIDAYA UNTUK BISNIS DAN
KETAHANAN PANGAN” yang telah dilaksanakan pada tanggal 26 – 29
Agustus 2014 di Hotel Atlet Century (Seminar) dan di Parkir Timur Senayan
(Pameran)
INDOAQUA 2014, merupakan ajang yang diharapkan mampu menjadi
media komunikasi bagi pelaku perikanan budidaya melalui pengenalan
hasil-hasil perekayasaan teknologi, pameran dan temu bisnis di bidang
perikanan budidaya. Ada 6 (enam) kelompok seminar yang diselanggarakan
selama INDOAQUA 2014, yaitu (1) Kelompok Udang, (2) Kelompok Rumput
Laut, Kerapu, Baronang dan Bawal Bintang, (3) Kelompok Bandeng, Kakap,
Nila dan Sidat, (4) Kelompok Ikan Hias, Mutiara dan Abalone, (5) Kelompok
Catfish, Gurame, Mas dan Jelawat, (6) Kelompok Pendukung Akuakultur
(Lingkungan, Pakan, Probiotik, Penyakit dan Monitoring Minapolitan).
Prosiding ini berisi makalah lengkap materi seminar yang dilaksanakan
selama penyelenggaraan INDOAQUA 2014. Semoga prosiding ini, dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat pembudidaya dan seluruh pihak terkait
dengan perikanan budidaya, sehingga mampu mendorong pengembangan
perikanan budidaya yang berkelanjutan dan maju.

Bogor, November 2014

Penyusun
DAFTAR ISI

1. ADDITIF FERMENTATIF PAKAN MEMICU OVULASI 1


DAN DAYA TETAS TELUR TINGGI PADA INDUK IKAN
BANDENG (Chanos chanos, Forskall)
2. APLIKASI MINAGROW (SUPLEMEN PEMACU 9
PERTUMBUHAN) DAN PROBIOTIK PADA
PEMBESARAN IKAN NILA
3. BIOCHAR MENINGKATKAN KELANGSUNGAN 18
HIDUP LARVA IKAN BANDENG (Chanos-chanos) 50%
DIBANDING KONTROL
4. DISEMINASI TEKNOLOGI BUDIDAYA NILA SALIN, 26
SEBUAH PENDEKATAN KEMANDIRIAN USAHA YANG
BERKELANJUTAN
5. RANCANG BANGUN PEMANAS AIR SEDERHANA 43
PADA PEMBESARAN IKAN SIDAT (Anguilla marmorata)
DI BBAT TATELU
6. OPTIMALISASI PRODUKTIVITAS TAMBAK AIR 49
PAYAU
DENGAN KARAKTER SALINITAS TINGGI DAN
RENDAH OKSIGEN MELALUI BUDIDAYA IKAN NILA
SALIN (Oreochromis. sp)
7. PERBAIKAN TEKNOLOGI PRODUKSI MASSAL BENIH 60
IKAN KAKAP PUTIH (LATES CALCARIFER, BLOCH
1790)
UNTUK MENDUKUNG INDUSTRIALISASI BUDIDAYA
LAUT
8. PENINGKATAN PRODUKSI PEMBESARAN IKAN 72
KAKAP PUTIH (Lates calcarifer, Bloch) DI KERAMBA
JARING APUNG MELALUI
PERBAIKAN PAKAN
9. INOVASI PRODUKSI PAKAN ALAMI CACING TUBIFEX 79
10. PROSPEK PRODUKSI BENIH HIBRID INTERSPESIFIK 84
ABALON Haliotis asinina DAN Haliotis squamata
11. PENGARUH HORMON rGH PADA PEMBESARAN IKAN 96
BUBARA (Caranx Sp) DI KERAMBA JARING APUNG
12. OPTIMALISASI PEMANFAATAN PAKAN RUCAH 103
(ZERO WASTE) PADA PEMBESARAN IKAN BUBARA
(Caranx sexfasciatus) DI SPOT AREA BUDIDAYA DUSUN
WAEL KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN
SERAM BAGIAN BARAT
13. DETEKSI DAN PENGOBATAN MILKY DISEASE PADA 114
LOBSTER Panulirus spp.
14. PERLAKUAN GNOTOBIOTIK KULTUR ARTEMIA 127
DENGAN β-GLUKAN: KAJIAN POTENSI β-GLUKAN
UNTUK MEMPERKUAT RESISTENSI TERHADAP
VIBRIOSIS
15. PEMANFAATAN EKSTRAKSI DAUN JAMBU BIJI 138
METODE MASERASI TERHADAP PENGENDALIAN
BAKTERI Aeromonas hydrophila SECARA IN VITRO
16. APLIKASI TEKNIS PRODUKSI STADIA BENIH IKAN 146
GRASS CARP (Ctenopharingodon idella)
17. PEMBENIHAN IKAN TERBANG (Hirundichtys 157
Oxycephalus) BIOTA AQUATIK BERNILAI EKONOMIS
TINGGI SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN PLASMA
NUTFAH DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR SULAWESI
SELATAN
18 PENINGKATAN NILAI TAMBAH HASIL PERIKANAN 166
KOMODITAS LAWI-LAWI (Caulerpa, sp) SUMBER
NUTRISI DALAM MENDUKUNG KETAHANAN
PANGAN
19 RADIASI ULTRA VIOLET SEBAGAI STIMULATING 172
GROWTH FACTOR (SGF) KULTUR MASSAL
PHYTOPLANKTON (CHLORELLA SP)
20 OPTIMALISASI LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN 182
BUDIDAYA IKAN SERTA PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS BUDIDAYA DI KAWASAN LAHAN
GAMBUT KABUPATEN PULANG PISAU PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH
21 PENGARUH MEDIA BERBEDA TERHADAP 202
PERTUMBUHAN CACING SUTRA (Tubifex sp)
22 POTENSI DAN PROSPEK BUDIDAYA IKAN GABUS 215
(Channa Striata Bloch 1793) SEBAGAI ALTERNATIF
USAHA DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN
DAN PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA DI
WILAYAH KALIMANTAN
23 DAYA HAMBAT HABBATUSSAUDA (Nigella sativa) 229
DAN PROPOLIS TERHADAP AQUABACTERIA
24 PROSPEK MARIKULTUR IKAN RAMBEU ACEH 237
(Charanx sp.)
25 STUDI KOMPARASI DAN DAMPAK HASIL 242
KEPUTUSAN GUGATAN PERDATA PENCEMARAN
LINGKUNGAN BUDIDAYA IKAN LAUT DI PULAU
BINTAN
ADDITIF FERMENTATIF PAKAN MEMICU OVULASI DAN
DAYA TETAS TELUR TINGGI PADA INDUK IKAN
BANDENG(Chanos chanos, Forskall)

Widya Puspitasari, Ibnu Sahidhir dan Nasfuddin


Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee
Jl. Krueng Raya Km. 46 Banda Aceh
Nangroe Aceh Darussalam PO BOX 46

ABSTRACT

Many young fertile milkfish broodstocks in BADC of Ujung Batee needs


special nutrition treatment. Our experiences showed that it needs longer
time for broodstocks to ripe and ovulate with ordinary treatment. Giving
fermentative additive into feed showed induction of ovulation and high
egg hatching rate. There are two treatments, one is a control and the
other is feed fermentative additive. A tank contained of 4 males and 4
females of milkfish broodstocks. Feed fermentative additive is a mix of
fermented pineapple (10 ml) and a duck egg that spread into a kg of
feed. Feeding wasconducted twice in a day, 3% of total weight. The
experiment was performed for 2 months. Feed fermentative additive
could induce and accelerate ovulation in 1 month, but the control was
not ovulated. The broodstocks was spawned 5 times i.e. 50,000, 75,000,
150,000, 250,000 and 270,000 eggs. Hatching rate of eggs washigh i.e.
80%-94%. Feed fermentative additive was suspected to increase
nutrition bioavailability of minerals that support reproduction: P, Cu,
K, Mn, Zn and Mg, improve digestibility, absorption and
immunomodulatory.

KEYWORD : Feed fermentative additive, ovulation, egg hatching rate,


milkfish broodstock

PENDAHULUAN

Produktivitas induk bandeng di Balai Perikanan Budidaya Air Payau


Ujung Batee, masih rendah. Sebagian ditunjukkan secara jelas oleh daya tetas
telur yang rendah yakni 40-50%. Faktor utama yang menentukan daya tetas
telur yang rendah adalah tidak meratanya deposisi nutrient pada telur yang
dihasilkan. Deposisi nutrisi semakin baik jika kualitas nutrisi, daya cerna, daya
serap, dan daya guna pakan ditingkatkan. Kualitas nutrisi pakan ditentukan oleh
bahan baku utamanya, terlihat dari profil asam amino, asam lemak esensial,

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 1


vitamin dan mineral (Heinsbroek et al., 2013; Izquierdo et al., 2001). Ketiga
faktor (daya cerna, daya serap dan daya guna) dapat ditingkatkan dengan
berbagai cara.
Daya cerna dapat ditingkatkan dengan pemberian enzim pracerna,
sebagai contoh protease sebelum pakan diberikan. Daya serap dapat diperbaiki
dengan merangsang proliferasi dan kesehatan sel kolon. Daya guna semakin
meningkat jika ko-enzim dan ko-faktor pada pakan mencukupi.
Nanas mengandung enzim bromelain yang bersifat proteolitik pada
asam amino sistein (Tochi et al., 2008). Pemberian nanas pada pakan akan
meningkatkan daya cerna protein terutama protein struktural yang sulit dicerna.
Penggunaan enzim pracerna bromelain akan memperingan kerja organ
pencernaan. Bromelain juga bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan ikan
(Pavan et al., 2012). Nanas juga mengandung bakteri Acetobacter yang
merupakan penghuni asli tanaman nanas (Tapia-Hernández et al., 2000).
Acetobacter dapat membantu pencernaan karbohidrat. Sedangkan, vitamin C
dan juga vitamin lain dalam nanas yang tinggi dapat meningkatkan kualitas
telur.
Telur adalah makanan yang dijadikan standar nilai biologis makanan
berprotein lain. Kandungan protein dan lemak berkualitas tinggi dengan daya
serap mendekati 100%. Karena sifat telur unggas masih mentah maka dapat
diasumsikan banyak zat pendukung ovogenesis yang masih aktif di dalamnya.
Namun demikian telur mentah tidak bisa langsung diberikan sebagai pakan
karena mengandung protease inhibitor yang akan mengurangi daya cerna
proteinnya (Hertrampf and Piedad-Pascual, 2000). Telur terfermentasi akan
dapat menghilangkan zat anti nutrisi ini. Selainitu, telur terfermentasi juga
banyak mengandung peptide rantai pendek yang bermanfaat sebagai
imunostimulan (Yoshida et al., 1993).
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh telur dan nanas
terfermentasi terhadap kematangan gonad dan fekunditas telur ikan bandeng.

BAHAN DAN METODE

Fermentasi nanas dan telur untuk pakan induk bandeng


Perlakuan dimulai dengan proses pembuatan fermentasi yaitu nanas
yang sudah matang dibersihkan dengan cara dicuci kemudian di potong-potong
kecil lalu dimasukan ke dalam termos es (kedap udara). Gula merah diiris
kemudian dicampur dengan nanas yang sudah dipotong tadi. Bahan tersebut
diaduk supaya tercampur sempurna kemudian ditutup. Termos es dimasukan ke
dalam wadah plastik dan ditutup rapat untuk memastikan bahwa reaksi akan
berjalan secara anaerob. Setelah 1 minggu, telah dihasilkan ekstrak nanas hasil
fermentasi yang akan digunakan sebagai campuran telur bebek dan pakan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 2
komersil. Ekstrak nanas hasil fermentasi sebanyak 10 ml dicampur dengan 1
butir telur bebek/kg pakan komersil. Pakan yang sudah dicampur dan dikering
anginkan selama 24 jam sudah bisa diberikan pada induk.

Pemeliharaan induk bandeng


Langkah selanjutnya yaitu melakukan persiapan tempat pemeliharaan
induk. Bak yang akan digunakan harus dalam keadaan bersih. Aerasi dipasang
sebanyak 5 titik dengan sistem airliftdan 3 titik sistem gantung. Induk yang
digunakan berasal dari pembesaran di tambak selama 4 tahun pemeliharaan.
Pengukuran kualitas air dilakukan sebelum penebaran induk untuk mengetahui
kualitas air awal pemeliharaan dan standar kualitas air untuk pemeliharaan
induk. Masing-masing bak ditebar 4 pasang induk dengan kriteria bobot tubuh
lebih dari 4 Kg/ekor induk, sehat dan tidak cacat. Bak pertama diberi perlakuan
dengan pemberian additif fermentatif, sedangkan bak kedua merupakan
kontrol. Pakan diberikan sebanyak 3%/hari dengan frekuensi pemberian 2
kali/hari. Sebelum dilakukan penebaran, induk ditimbang terlebih dahulu. Data
berat induk masing-masing bak dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel1. Data berat induk pada masing-masing bak


No Bak 1 (additif fermentatif) (kg) Bak 2 (kontrol) (kg)

1 4 4
2 6 5
3 6 4
4 5 6
5 4 4
6 5 4
7 5 4
8 4 4
Total 39 35
Rerata 4,875 4,375

Pergantian air dilakukan setiap pagi sebanyak 200 – 300%, selain untuk
menjaga kualits air tetap optimal, hal ini dilakukan untuk merangsang proses
pemijahan pada induk.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 3


Pengamatan
Pasca perlakuan, pengecekan telur pada bak dilakukan setiap pagi
sebelum pergantian air. Induk yang telah berhasil bertelur kemudian di panen
dan ditampung dalam wadah akuarium untuk dihitung fekunditasnya. Sebelum
penebaran, dilakukan pengamatan telur dibawah mikroskop. Pengamatan ini
dilakukan selain untuk mengukur diameter telur, juga untuk melihat bagus
tidaknya kondisi telur yang dihasilkan. Telur yang telah dihitung, kemudian
ditebar pada bak larva. Setelah 24 jam penebaran, telur akan menetas menjadi
larva. Jumlah larva yang menetas kemudian dihitung, sehingga akan diperoleh
data derajat penetasan (hatching rate %).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Derajat pemijahan
Hasil pengamatan menunjukan bahwa induk yang diberi addititif
fermentatif lebih cepat memijah dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
Setelah 1 bulan pemeliharaan, induk yang diberi pakan additif fermentatif
sudah mulai bertelur. Induk-induk tersebut terus bertelur sampai 5 kali
peneluran selama satu bulan. Berbeda dengan induk yang diberi pakan komersil
(kontrol), sampai akhir pemeliharaan 2 bulan belum berhasil memijah
walaupun sudah dilakukan penyuntikan hormon.

Tabel 2. Perbandingan produktivitas induk dengan additif permentatif pakan


dan pakan komersil (kontrol)

Pakan
Variabel Additif fermentatif pakan
komersil

Mulai bertelur Minggu ke-5 pemberian pakan -

Jumlah peneluran 5 kali -

Jumlah telur (butir) 795.000 -

Derajat penetasan (%) 80 – 94% -

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 4


Ovulasi terjadi setelah satu bulan dan terjadi selama 5 hari. Ovulasi
meningkat terus-menerus selama lima hari. Telur terbanyak keluar pada hari
ke-5 ovulasi yakni sebanyak 270 ribu butir.

Derajat ovulasi (ribu butir/hari)


270
250

150

75
50

1 2 3 4 5

Bagan 1. Ovulasi pada treatment additive fermentative

Derajat penetasan
Derajat penetasan meningkat menjadi 80-94% dibandingkan dengan
induk lama yang hanya sekitar 40-50 % (Ramelan, personal komunikasi).

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 5


300,000 100%

250,000 Derajat penetasan 95%


Jumlah telur (butir)

200,000 90%

150,000 85%

100,000 80%
Derajat ovulasi Daya tetas
50,000 75%

0 70%
1 2 3 4 5
Hari ovulasi

Bagan 2. Hubungan fekunditas dan daya tetas telur bandeng

Peningkatan daya tetas menunjukkan kualitas bahwa kualitas nutrisi


pakan menjadi lebih baik. Pemberian sebutir telur (sekitar 50 gr) ke dalam 1 kg
pakan berarti 5% dari berat pakan, mampu meningkatkan kualitas pakan.
Lemak telur cukup seimbang dengan asam lemak esensial 12% dari total
lemak. Induk membutuhkan asam lemak esensial yang cukup untuk
pembentukan lemak telur, juga vitamin dan mineral (Bransden et al., 2007;
Brooks et al., 1997; Emata and Borlongan, 2003; Hoa et al., 2009).

Gambar 1. Mikroba yang terdapat additive fermentative berupa Lactobacillus


spp, yeast dan Acetobacter spp.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 6


Telur bebek yang mengandung gizi tinggi, bagus untuk melengkapi
kekurangan kadar protein pakan komersil. Namun, dengan kandungan protease
inhibitor pada telur menjadi kendala dalam penggunaannya. Fermentasi,
merupakan cara sederhana yang mudah dilakukan untuk mengantisipasi hal itu.
Hasil fermentasi dari buah nanas, dihasilkan bromelain dan mikroba (Gambar
1). Bromelain merupakan enzim proteolitik yang memiliki kemampuan
menguraikan struktur kompleks protein sehingga lebih mudah diserap tubuh.
Selain itu, mikrobia hasil fermentasi dalam kondisi asam yaitu Lactobacillus
sp., Acetobacter sp. dan yeast sangat berperan dalam meningkatkan
bioavailabilitas mineral yang mendukung reproduksi seperti P, Cu, K, Mn, Zn
and Mg, memperbaiki daya cerna, daya serap dan immunostimulasi(Gambar 1).

Kualitas air
Pengamatan parameter kualitas air selama pemeliharaan masih dalam
kondisi optimal yaitu berkisar DO 5-7 ppm dan suhu air 28 – 30 C.

KESIMPULAN

Produktivitas induk ikan bandeng yang diberi additif fermentatif


memberikan hasil lebih baik dimana 1 bulan setelah pemberian pakan, induk
berovulasisedangkan induk yang diberi pakan komersil belum berovulasi.
Selain itu, daya tetas telur (hatching rate) tinggi dengan range 80 – 94%.

DAFTAR PUSTAKA

Bransden, M.P., Battaglene, S.C., Goldsmid, R.M., Dunstan, G.A., Nichols,


P.D., 2007. Broodstock condition, egg morphology and lipid content
and composition during the spawning season of captive striped
trumpeter, Latris lineata. Aquaculture 268, 2–12.
Brooks, S., Tyler, C.R., Sumpter, J.P., 1997. Egg quality in fish: what makes a
good egg? Rev. Fish Biol. Fish. 7, 387–416.
Emata, A.C., Borlongan, I.G., 2003. A practical broodstock diet for the
mangrove red snapper, Lutjanus argentimaculatus. Aquaculture,
Proceedings Of The 10th International Symposium On Nutrition And
Feeding In Fish (Feeding For Quality). 225, 83–88.
Heinsbroek, L. t. n., Støttrup, J. g., Jacobsen, C., Corraze, G., Kraiem, M. m.,
Holst, L. k., Tomkiewicz, J., Kaushik, S. j., 2013. A review on
broodstock nutrition of marine pelagic spawners: the curious case of
the freshwater eels (Anguilla spp.). Aquac. Nutr. 19, 1–24.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 7


Hertrampf, J.W., Piedad-Pascual, F., 2000. Egg Powder, in: Handbook on
Ingredients for Aquaculture Feeds. Springer Netherlands, pp. 125–
130.
Hoa, N.D., Wouters, R., Wille, M., Thanh, V., Dong, T.K., Van Hao, N.,
Sorgeloos, P., 2009. A fresh-food maturation diet with an adequate
HUFA composition for broodstock nutrition studies in black tiger
shrimp Penaeus monodon (Fabricius, 1798). Aquaculture 297, 116–
121.
Izquierdo, M.S., Fernández-Palacios, H., Tacon, A.G.J., 2001. Effect of
broodstock nutrition on reproductive performance of fish.
Aquaculture, Reproductive Biotechnology in Finfish Aquaculture 197,
25–42.
Pavan, R., Jain, S., Shraddha, Kumar, A., 2012. Properties and Therapeutic
Application of Bromelain: A Review. Biotechnol. Res. Int. 2012,
e976203.
Tapia-Hernández, A., Bustillos-Cristales, M.R., Jiménez-Salgado, T.,
Caballero-Mellado, J., Fuentes-Ramírez, L.E., 2000. Natural
Endophytic Occurrence of Acetobacter diazotrophicus in Pineapple
Plants. Microb. Ecol. 39, 49–55.
Tochi, B.N., Wang, Z., Xu, S.-Y., Zhang, W., 2008. Therapeutic application of
pineapple protease (bromelain): A review. Pak. J. Nutr. 7, 513–520.
Yoshida, T., Sakai, M., Kitao, T., Khlil, S.M., Araki, S., Saitoh, R., Ineno, T.,
Inglis, V., 1993. Immunomodulatory effects of the fermented products
of chicken egg, EF203, on rainbow trout, Oncorhynchus mykiss.
Aquaculture 109, 207–214.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 8


APLIKASI MINAGROW
(SUPLEMEN PEMACU PERTUMBUHAN) DAN PROBIOTIK
PADA PEMBESARAN IKAN NILA

Dwi Hany Yanti*, Dian Hardiantho*, Murtiati*, Alimuddin**,


Arief Eko Prasetiyo*
*Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi
**Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB

ABSTRACT

Aquaculture productivity can be improved efficient and significantly


through combinations of two or more technologies. One is the
application of technology products produced by BBPBAT Sukabumi is
MinaGrow and probiotics. MinaGrow is a supplement that works as
stimulator agent for somatic growth of the fish, so as to shorten the time
of maintenance and improve aquaculture production. Meanwhile,
probiotics play an important role in the control of water quality because
of its medium containing the bacteria Lactobacillus sp. and Bacillus sp.
Tilapia fish with a mean body weight of 2.92 g maintained in two
separate semi-permanent ponds at a density of 20 ind/m2. First pond
treated with MinaGrow and probiotics. MinaGrow given through feed at
a dose of 2 mg / kg of feed, 3 times a week every 3 days interval and
probiotics given directly into the maintenance medium at a dose of 15
ml/m3 every week. As a control, second pond untreated with MinaGrow
and probiotics. Measurement of body weight sampling is done once
every 2 weeks. The result show combination use of MinaGrow and
probiotics can increase the biomass weight of 130.31% higher than the
control tilapia. The survival of fish fed the probiotic also MinaGrow
22.62% higher than the control tilapia. This indicates that the
application MinaGrow combined with probiotics effective in promoting
growth and productivity of tilapia enlargement.

KEYWORD :recombinant growth hormone, probiotics, enlargement,


tilapia

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 9


PENDAHULUAN

Budidaya ikan nila telah berkembang semakin pesat, mulai dari sistem
berskala konvensional hingga intensif. Hal ini, menuntut adanya dukungan
teknologi untuk meningkatkan produktivitas budidaya ikan nila. Peningkatan
produktivitas dicapai melalui peningkatan biomassa panen atau pertumbuhan,
tingkat kelangsungan hidup dan persentase keuntungan yang tinggi.
Produktivitas perikanan budidaya dapat ditingkatkan secara efisien dan
signifikan melalui penerapan kombinasi dua atau lebih teknologi. Salah
satunya adalah penerapan produk teknologi yang dihasilkan BBPBAT
Sukabumi yaitu MinaGrow dan probiotik. MinaGrow merupakan suplemen
pemacu pertumbuhan yang bekerja sebagai stimulator agent bagi pertumbuhan
somatik ikan, sehingga dapat mempersingkat waktu pemeliharaan dan
meningkatkan produksi budidaya ikan. Sementara itu, probiotik sangat
berperan dalam pengendalian kualitas air media. Probiotik merupakan
mikroorganisme hidup (seperti bakteri Lactobacillus sp. dan Bacillus sp.) yang
sengaja diberikan dengan harapan dapat memberikan efek yang
menguntungkan bagi ikan/udang (FAO/WHO., 2001 dalam ISAPP., 2004).
Perpaduan antara MinaGrow dan probiotik diharapkan mampu meningkatkan
produktivitas budidaya ikan nila.

BAHAN DAN METODE

Produksi Perbanyakan Protein MinaGrow


Produksi protein MinaGrow dilakukan dengan memperbanyak bakteri
Escherichia coli BL21 yang membawa vektor ekspresi protein MinaGrow
(Alimuddin et al., 2011). Isolat bakteri diinkubasi dalam media subkultur
2xYT pada suhu 37oC, dan kecepatan 250 rpm selama 16 – 18 jam. Sebanyak
1% bakteri hasil subkultur diinokulasikan kembali dalam media kultur 2xYT
pada suhu 37oC, dan kecepatan 250 rpm selama 2 jam. Kejutan suhu dilakukan
pada suhu 15oC, dan kecepatan 250 rpm selama 30 menit. Penambahan 1 mM
isopropyl-b-D-thiogalac-topyranoside (IPTG) ke dalam media kultur bakteri
dilakukan untuk menginduksi sintesis protein. Kultur dilanjutkan pada suhu
15oC, dan kecepatan 250 rpm selama 24 jam. Total protein bakteri dalam
bentuk badan inklusi (inclusion body) diendapkan menggunakan sentrifugasi
pada suhu 4oC, dan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit, dan selanjutnya
protein dilarutkan dalam bufer fosfat salin (PBS). Dinding sel bakteri dilisis
dengan menggunakan sonikator selama 5 menit dengan selang waktu 1 menit
ON dan 1 menit OFF. Kemudian, dibilas dengan larutan buffer fosfat salin
(PBS), disentrifugasi pada suhu 4oC, dan kecepatan 12.000 rpm selama 10
menit. Pellet yang terbentuk dikeringbekukan dengan menggunakan freeze
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 10
dryer pada suhu -87oC selama over night. Selanjutnya, pellet kering yang
sudah terbentuk dapat disimpan dalam suhu ruang.

Pencampuran pada Pakan


Protein MinaGrow sebanyak 2 mg (berat kering) dilarutkan dalam 15
mL PBS, dan dicampur dengan 2 mg kuning telur ayam yang berfungsi sebagai
bahan pengikat (binder) pada pakan buatan. Setelah dihomogenasi
menggunakan vorteks, campuran kuning telur dan MinaGrow disemprotkan
secara merata pada 1 kg pakan komersial, kemudian dibiarkan kering udara
sebelum diberikan pada ikan nila.

Produksi dan Aplikasi Probiotik


Produksi probiotik dilakukan dalam air media dan peralatan yang steril.
Media produksi probiotik memerlukan bahan berupa limbah ikan, dedak halus,
molase, cuka aren, dan garam tanpa iodium. Air media direbus pada suhu 80oC
selama 30 menit. Semua bahan dimasukkan ke dalam air media, air
ditambahkan hingga mencapai volume 50 liter dan diaduk hingga rata.
Kemudian, difermentasikan selama + 15 hari. Bibit bakteri diinokulasikan ke
dalam air media setelah suhu air mencapai + 25oC dan diaerasi
minimal selama 24 jam.
Aplikasi probiotik diberikan dengan dosis 15 ml/m3 dicampur dalam air
kolam pemeliharaan dalam wadah terpisah dan diaduk rata. Kemudian, ditebar
ke media budidaya secara merata. Pemberian probiotik dilakukan setiap
minggu sekali.

Analisis Mikroba Probiotik


Isolasi dan identifikasi bakteri menggunakan media spesifik yaitu API
50 CH dan API 50 CHL untuk bakteri Lactobacillus spp., dan media API 50
CHB untuk bakteri Bacillus spp.. Isolat murni hasil isolasi diamati morfologi
koloninya, meliputi : bentuk, warna, morfologi sel, mortalitas, dan tidak
menyebabkan penyakit. Parameter uji meliputi identifikasi bakteri dan uji
kelimpahan bakteri.

Analisis Statistik
Efektivitas pemberian MinaGrow dan probiotik pada pembesaran ikan
nila ditentukan berdasarkan parameter bobot tubuh ikan pada akhir penelitian,
biomassa, dan tingkat kelangsungan hidup. Data dianalisis menggunakan
statistika deskriptif.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 11


HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemberian MinaGrow dan probiotik dapat meningkatkan bobot tubuh
ikan nila (Tabel 1). Bobot tubuh ikan yang diberi MinaGrow dan probiotik
lebih tinggi 60,58+ 6,15 g (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol (23,10 + 5,29
g). Selain itu, peningkatan laju pertumbuhan baik bobot dan panjang tubuh
pada ikan yang diberi MinaGrow dan probiotik semakin tinggi dibandingkan
pada perlakuan kontrol (Gambar 1 dan 2).
Kelangsungan hidup ikan yang diberi MinaGrow dan Probiotik
memberikan nilai yang berbeda nyata (p<0,05) (74,91 + 3,00 %) dengan
kontrol (61,09 + 5,56 %) (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
MinaGrow dan probiotik tidak menyebabkan kematian pada ikan.
Pemberian MinaGrow dan probiotik juga dapat meningkatkan biomassa
benih ikan nila (Tabel 1). Perubahan biomassa ikan yang diberi MinaGrow dan
probiotik sebesar 447.955,00 + 0,52 g (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol (135.617,90 + 0,63 g). Pemberian MinaGrow dan probiotik
dapat meningkatkan biomassa sebesar 130,31% dari kontrol.
Berdasarkan hasil uji kelimpahan bakteri probiotik, probiotik yang
dibuat mengandung bakteri dengan kepadatan pada kisaran 10 6 cfu/ml (Tabel
2). Namun demikian, jenis bakteri yang terbanyak adalah bakteri
Nitrossomonas sp. (2,00 x 106 cfu/ml), lalu diikuti oleh bakteri Lactobacillus
sp. (0,85 x 106 cfu/ml), dan Bacillus sp. (0,41 x 106 cfu/ml).
Berdasarkan hasil uji kelimpahan phytoplankton, kolam probiotik
memiliki keragaman phytoplankton yang tinggi (Gambar 3). Jumlah
phytoplankton yang paling banyak adalah Protococcus sp., kemudian diikuti
oleh Closterium sp., dan Nitzchia sp.
Berdasarkan pengukuran parameter kualitas air, diperoleh bahwa kisaran
tiap parameter tidak berbeda nyata (p>0,05) baik pada kolam yang sudah diberi
MinaGrow dan probiotik maupun kolam kontrol (Tabel 3). Penerapan
kombinasi dua atau lebih teknologi mampu meningkatkan pertumbuhan
pembesaran ikan nila (Gambar 1 dan 2). Berdasarkan hasil kegiatan, penerapan
MinaGrow dan probiotik dapat meningkatkan kelangsungan hidup, bobot
tubuh, dan biomassa ikan nila (Tabel 1). Penerapan MinaGrow atau teknologi
rekombinan hormon pertumbuhan (recombinant Growth Hormone/rGH) untuk
mempercepat pertumbuhan ikan sudah banyak dilakukan dengan berbagai
metode. Menurut Jeh et al., (1998) dengan pemberian rGH ikan flounder pada
benih ikan flounder selama 1 kali seminggu selama 4 minggu pada dosis 40
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 12
μg/g dapat meningkatkan bobot tubuh sebesar 24%. Begitu pula dengan
Moriyama et al., (1993) yang melaporkan bahwa dengan pemberian rGH ikan
salmon dapat meningkatkan secara signifikan bobot dan panjang tubuh ikan
rainbow trout. Pemberian0,5%rGHdalampakanyangdiberikanselama12minggu
padajuvenilikanseabreamhitammenunjukkanperbedaanbobotsebesar41,67%
dari ikan kontrol setelah pemeliharaan selama 18 minggu (Tsai et al. 1997).

Tabel 1. Kelangsungan hidup, bobot tubuh, dan perubahan biomassa


yang diberikan baik MinaGrow dan probiotik maupun kontrol

Kelangsungan Hidup Bobot Tubuh Perubahan Biomassa


Perlakuan
(%) (g) (g)
MinaGrow dan
74,91 + 3,00 a 60,58 + 6,15 a 447.955,00 + 0,52 a
Probiotik
Kontrol 61,09 + 5,56 b 23,10 + 5,29 b 135.617,90 + 0,63 b

Nilai dinyatakan dalam rataan ± simpangan baku. Huruf superskrip yang sama
di belakang nilai simpangan baku pada kolom yang sama menunjukkan nilai
yang berbeda nyata (p<0,05).

Pemberian MinaGrow dan probiotik juga dapat meningkatkan biomassa.


Perbedaan biomassa pada ikan nila yang diberi MinaGrow dan probiotik
sebesar 130,31% dibandingkan dengan kontrol. Dengan adanya perpaduan dua
teknologi tersebut, dapat meningkatkan produksi budidaya ikan nila.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 13


Gambar 1. Pertumbuhan bobot tubuh ikan nila yang telah diberi MinaGrow
dan Probiotik (garis biru) serta kontrol (garis merah)

Gambar 2. Pertumbuhan panjang tubuh ikan nila yang telah diberi MinaGrow
dan Probiotik (garis biru) serta kontrol (garis merah)

Probiotik sangat berperan dalam pengendalian kualitas air media


seperti menguraikan bahan organik, menurunkan/menghilangkan senyawa
beracun, menekan populasi bakteri yang merugikan, menghasilkan enzim yang
dapat membantu sistem pencernaan, menghasilkan nutrisi yang bermanfaat
(pembentukan phytoplankton yang bermanfaat bagi ikan nila), dan
meningkatkan kekebalan ikan nila sehingga dapat tumbuh dengan baik dan
tidak mudah stress (Poernomo, 2004). Seperti yang telah diungkapkan oleh
Poernomo (2004), pemberian probiotik dapat menekan populasi bakteri yang
merugikan, sehingga hanya bakteri yang bermanfaat saja yang akan terbentuk
(Tabel 2). Jumlah phytoplankton yang terbentuk bermanfaat sebagai pakan
tambahan bagi ikan nila, sesuai dengan sifat makan ikan nila yang merupakan
plankton feeder (Gambar 3). Pemberian langsung ke dalam air media
merupakan aplikasi yang paling efektif karena bebas kontaminasi dari bakteri
lain. Cara lain yang dapat dilakukan adalah secara oral (melalui pakan).

Tabel 2. Hasil uji kelimpahan bakteri probiotik


BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 14
Asal probiotik Jenis Bakteri Jumlah (cfu/ml) Metode Uji

Limbah ikan nila Lactobacillus sp. 0,85 x 106 SNI-01-2339:1991

Bacillus sp. 0,41 x 106 SNI-01-2339:1991

Nitrosomonas sp. 2,00 x 106 SNI-01-2339:1991

Gambar 3. Kondisi jumlah phytoplankton yang terbentuk setelah


pemberian probiotik pada kolam pembesaran ikan nila

Kondisi kualitas air pada kolam pembesaran ikan nila untuk parameter
suhu, pH, dan DO relatif rendah. Sedangkan, kandungan fosfat relatif tinggi,
dan lainnya masih dalam kisaran baku mutu (Tabel 3).

Tabel 3. Kondisi kualitas air pada kolam pembesaran ikan nila baik dengan
pemberian MinaGrow dan probiotik maupun kontrol.
No. Parameter Nilai Baku Mutu
1. Suhu (oC) 23,40 – 26,10 25 – 30
2. pH 4,72 – 7,20 6,50 – 8,50
3. DO (mg/L) 2,05 – 4,83 >4
4. CO2 (mg/L) 3,57 – 15,18 <12
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 15
5. Alkalinitas (mg/L) 48,00 – 75,11 50 – 300
6. NH3 (mg/L) 0,09 – 0,51 <1
7. NO2 (mg/L) 0,008 – 0,039 <0,06
8. PO4 (mg/L) 0,65 – 2,12 0,006 – 10

Analisis Usaha
Faktor penting dalam kegiatan produksi budidaya selain untuk
meningkatkan produksi perikanan, juga untuk meningkatkan keuntungan.
Penerapan MinaGrow dan probiotik dapat meningkatkan keuntungan
pembesaran ikan nila sebesar 527,8 % (Tabel 4).

Tabel 4. Analisis usaha kegiatan Aplikasi MinaGrow (Suplemen Pemacu


Pertumbuhan) dan Probiotik pada Pembesaran Ikan Nila.

Keterangan Kontrol Mina Grow + Probiotik


Hasil Produksi (Panen) (kg) 135.6 447.9
Biaya Produksi (Rp) 1,375,000,0 2,200,000.0
Biaya Mina Grow (Rp) 500,000.0
Biaya probiotik (Rp) 300,000.0
Harga Pokok Produksi (Rp) 10,140,1 6,697,9
Pendapatan (Rp) 1,762,800.0 5,822,700,0
Keuntungan (Rp) 387,800,0 2,822,700,0
Perbedaan Selisih Keuntungan (Rp) 2,434,900,0
Persentase Peningkatan Keuntungan (%) 527,8
KESIMPULAN

Penerapan MinaGrow hasil dari teknologi hormon pertumbuhan


rekombinan dapat dipadukan dengan teknologi probiotik. Aplikasi MinaGrow
dan probiotik terbukti efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan
pendapatan pembesaran ikan nila sebesar 527,8%.

DAFTAR PUSTAKA

Alimuddin, LesmanaI., SudrajatA.O., CarmanO., Faizal I., 2011. Production


and bioactivity potential of three recombinant growth hormones of
farmed fish. Indonesian Aquaculture Journal 5, 11-17.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 16
Jeh, H.S., Kim, C.H., Lee, H.K., Han, K., 1998. Recombinant flounder growth
hormone from Escherichia coli: over expression, efficient recovery,
and growth-promoting effect on juvenile flounder by oral
administration. Journal Biotechnology 60, 183–193.
Moriyama, S., Yamamoto, H., Sugimoto, S., Abe, T., Hirano, T., Kawauchi, H.,
1993. Oral administration of recombinant salmon growth hormone to
rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Aquaculture 112, 99–106.
Poernomo, A. 2004. Sejarah perkembangan dan pilihan teknologi budidaya
udang di tambak. Makalah seminar disampaikan dalam Simposium
MAI tgl 27 – 29 Januari 2004 di Semarang.
TsaiHJ,HsihMH,KuoJC.1997.Escherichiacoliproducedfishgrowthhormone as a
feed additive to enhance the growth of juvenile black seabream
(Acanthopagrus schlegeli). Journal Applied Ichthyology13: 78-82.

BIOCHAR MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA


IKAN BANDENG (Chanos-chanos)
50% DIBANDING KONTROL

Ibnu Sahidhir, Widya Puspitasari, Baharuddin


Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee
Jl. Krueng Raya Km. 46 Banda Aceh
Nangroe Aceh Darussalam PO BOX 46

ABSTRACT

Low of survival rate of milkfish larvae in BPBAP Ujung Batee’s hatchery still
become a main concern. The The suspicion was directed to feed and water
quality. Biochar, carbonized charcoal, was proven to be effective to improve
water and soil quality especially in agriculture. The experiment used biochar in
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 17
water to culture milkfish larvae and compared to control tank without biochar.
The eggs was stocked each 100.000 eggs for two tanks (biochar and control)
each 16 m2 (10 m3 as effective volume). Larva was reared until 25 days. Four
kg of biochar was placed at day 10th after first stocking eggs, divided into 4
points. Larva was fed with rotifer, formulated feed and Nannochloropsis sp.
Dissolved oxygen and temperature were measured everyday; whereas total
ammonia nitrogen (TAN), nitrite, Fe, alkalinity, total organic matter, total
bacterial count dan total vibrio count were measured once in 5 days. Survival
rate was calculated and analyzed with water quality condition. Result showed
that survival rate of biochar treatment had more survivors 47% than control.
However, the majority of water quality variables are the same in both
treatments. Higher density of biochar treatment larva produce more waste but
biochar can make it equal to low density larva. Green vibrio and alkalinity in
biochar are better than control. It implicitly means that biochar improve
denitrification and reduce pathogen.

KEYWORD: biochar, milkfish larvae, survival rate

PENDAHULUAN

Konsentrasi nutrient organik yang masuk ke dalam air pemeliharaan


mengakibatkan berkembangbiaknya mikroba dengan cepat. Perkembangan
mikroba, sebagai contoh bakteri, yang tak terkontrol mengakibatkan
kemungkinan munculnya mikroba pathogen menjadi besar. Pengendalian
mikroba telah dilakukan dengan berbagai cara seperti disinfeksi, antibiosis,
alternatif non-obat dan mengganti air pemeliharaan (Defoirdt et al., 2007; FAO,
2003).
Selain cara diatas, pengaturan komunitas mikroba non-oportunistik
dapat dilakukan secara fisik dengan memahami konsep strategi r/K (Atlas and
Bartha, 1998). Penerapan dimulai pada persiapan air. Konsentrasi bahan
organic di air dikurangi terlebih dulu dikurangi sehingga mikroba dengan
kecepatan tumbuh tinggi (strategi r) akan berkurang. Air kemudian ditreatment
berulang-ulang dalam biofilter yang telah berisi komunitas stabil mikroba non-
oportunis dengan kecepatan tumbuh yang lambat (strategi K) sebelum
digunakan untuk pemeliharaan. Konsep ini telah berhasil dicobakan untuk
memelihara larva ikan halibut atlantik (Skjermo et al., 1997). Pengurangan
bahan organic selama pemeliharaan juga merupakan aplikasi dari strategi K.
Ada persamaan dengan konsep diatas, menguatkan strategi K, yaitu
menggunakan biochar. Biochar atau arang terkarbonisasi adalah arang yang
diperoleh dengan pemanasan suhu rendah tanpa oksigen dan tanpa perlakuan
oksidator kimiawi (seperti ZnCl2, H3PO4 dan KOH) (Hirunpraditkoon et al.,

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 18


2011). Tujuan dari penambahan arang adalah untuk mengurangi bahan organic
terlarut/dissolved organic matter (DOM) di air (Miura et al., 2007), sehingga
pembusukan berlangsung lebih lambat. Dengan demikian ammonia dalam air
akan terbentuk lebih lambat. Kemampuan adsorbsi arang yang tinggi
dikarenakan banyaknya mikropori dalam arang yang saling terhubung dan
membentuk labirin (Marsh and Rodríguez-Reinoso, 2006a; Smernik, 2008).
Molekul yang berukuran besar termasuk enzim dan bahkan bakteri dapat
terperangkap di dalamnya (Marsh and Rodríguez-Reinoso, 2006b).
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh biochar terhadap
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan kualitas air pada pemeliharaan larva
bandeng.

BAHAN DAN METODE

Desain eksperimen
Eksperimen menggunakan dua perlakuan yakni pemberian biochar dan
non-biochar. Dua siklus pemeliharaan nener bandeng dijadikan sebagai
ulangan. Unit ulangan adalah bak semen berluas 4 x 4 m2 dengan volume 10
m3. Perlakuan biochar berisi 4 kg arang batok kelapa yang dibagi dalam 4
strimin. Pemberian arang dilakukan setelah benih berumur 10 hari. Setiap
bungkus biochar digantung di sudut bak. Sedangkan perlakuan non-biochar
dibiarkan tanpa pemberian arang.
Pemeliharaan bandeng
Telur ikan bandeng sebanyak 100.000 butir ditebar dalam tiap bak
bandeng. Hari ketiga ketika benih telah membuka mulut, Nannochloropsis dan
rotifer diberikan ke bak dengan kepadatan sekitar 100.000 sel/ml dan 10
ekor/ml untuk masing-masing bak. Pada hari ke-10 pakan serbuk diberikan
sebanyak 1 gram dua kali sehari. Hari berikutnya perlakuan biochar dimulai.
Penyiponan dilakukan setiap 5 hari sekali.

Pengamatan
Pada akhir penelitian dilakukan pencacahan untuk menghitung
kelangsungan hidup. Sepuluh sampel diambil dari tiap perlakuan untuk
pengukuran panjang badan. Setiap 5 hari sekali dilakukan pengukuran terhadap
TAN (total ammonia nitrogen), nitrit, besi, alkalinitas, bahan organic total, total
bacterial count dan total vibrio count (yellow dan green). Data dianalisis secara
deskriptif dengan MsExcel dan secara inferensial dengan SAS 9.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 19


Kelangsungan hidup
Dua siklus pemeliharaan nener bandeng menunjukkan bahwa perlakuan
biochar menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih baik. Secara relative
terhadap control siklus pertama perlakuan biochar (SR 31%) lebih baik 32%
dibanding non-biochar (21%). Sedangkan pada siklus kedua perlakuan biochar
lebih tinggi 56% dibanding tanpa biochar. Dengan demikian kedua siklus itu
menunjukkan bahwa perlakuan biochar lebih baik dibanding tanpa biochar
dengan kenaikan 44%.

35% 31% SR (%) Biochar


30%
Non-biochar
25% 21%
20% 16.80%
15% 10.80%
10%
5%
0%
1 Siklus 2

Bagan 1. Pengaruh biochar terhadap kelangsungan hidup larva bandeng.


Perlakuan biochar menghasilkan SR yang lebih tinggi.

Perbaikan kelangsungan hidup terjadi juga pada praktek sebelumnya


pada percobaan pendahuluan pemeliharaan ikan nila (Ibnu Sahidhir, tidak
dipubikasikan). Percobaan pendahuluan biochar batok kelapa telah dilakukan
untuk pemeliharaan benih ikan nila hitam tanpa ganti air selama 24 hari. Hasil
pengukuran menunjukkan bahwa DO pada treatment arang sebesar 3,1 ppm,
sedangkan tanpa arang 2,6 ppm. Pada akhir percobaan diperoleh SR 94% untuk
treatment biochar dibandingkan dengan 74% pada perlakuan tanpa biochar
(percobaan tanpa ulangan).

Keberhasilan ini didukung oleh berhasilnya biochar untuk memperbaiki


kualitas air. Kepadatan nener yang lebih tinggi pada perlakuan biochar tidak
membuat kualitas air pada biochar lebih buruk dibanding non-biochar. Pada
variable tertentu seperti alkalinitas dan total koloni vibrio hijau bahkan
kondisinya lebih baik. Pada bidang pertanian biochar terbukti memperbaiki
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 20
kualitas tanah dan nutriennya sehingga meningkatkan produksi dan kesehatan
tanaman (Blackwell et al., 2008; Chan and Xu, 2008).

Kualitas Air
Bila dilihat dari pengukuran kualitas air, secara umum perlakuan biochar
belum dapat menunjukkan perbedaan secara statistik karena inkonsistensi hasil,
yang ditunjukkan dengan besarnya standar deviasi pada masing-masing
variabel. Namun demikian perbedaan ditunjukkan oleh nilai alkalinitas dan
total bakteri vibrio koloni green. Alkalinitas lebih tinggi pada biochar
(76.4+14.9 ppm) dibandingkan non-biochar (76+16 ppm). Sedangkan jumlah
koloni vibrio green pada perlakuan biochar (4+8.9 ppm) lebih rendah dari
perlakuan non biochar (8+8.37ppm).

Tabel 1. Kualitas air pada perlakuan biochar dan non-biochar


Non-
Variabel biochar Komparasi Biochar Signifikansi
NH3-TAN (ppm) 1.186+0.995 < 1.225+1.02 Tak berbeda nyata
NO2 (ppm) 0.275+0.22 > 0.236+0.2 Tak berbeda nyata
Fe (ppm) 0.158+0.13 > 0.112+0.12 Tak berbeda nyata
Biochar lebih
Alkalinitas (ppm) 76+16 > 76.4+14.9 tinggi
Bahan Organik Total (ppm) 52.5+33 < 54.9+34.1 Tak berbeda nyata
TBU (Total Bakteri Umum)
(cfu/ml) 6,820+5,551 < 13,144+20,751 Tak berbeda nyata

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 21


TBV (Total Bacterial
Vibrio)-Yellow (cfu/ml) 1,252+2,047 > 806+1,454 Tak berbeda nyata
TBV (Total Bacterial Biochar lebih
Vibrio)-Green (cfu/ml) 8+8.37 > 4+8.9 rendah

Semakin padat ikan maka limbah kotoran dan pakan semakin banyak.
Kepadatan nener yang lebih tinggi pada perlakuan biochar tidak membuat
kualitas air pada biochar lebih buruk dibanding non-biochar. Ini berarti biochar
mampu menyerap limbah yang timbul lebih banyak dari jumlah biomassa nener
bandeng yang lebih banyak. Selain menyerap bahan organic biochar bagian luar
yang terkondisikan secara aerobic, gelap dan terlindung dari cahaya dapat
menjadi tempat bagi berlangsungnya nitrifikasi. Sedangkan, kondisi anaerobic
di bagian dalam biochar akan merangsang terjadinya denitrifikasi (Thies and
Rillig, 2008). Terjadinya denitrifikasi secara tersirat ditunjukkan oleh tingginya
alkalinitas. Denitrifikasi mengembalikan karbonat yang hilang dari proses
nitrifikasi sehingga meningkatkan kembali nilai alkalinitas (Crab et al., 2007).
Biochar menyerap racun yang dikeluarkan bakteri pathogen (Thies and
Rillig, 2008). Penurunan vibrio koloni hijau menunjukkan kemampuan biochar
untuk menekan bakteri pathogen, walaupun konsentrasi vibrio berkoloni hijau
belum berpotensi pathogen. Vibrio koloni hijau terkenal sebagai bakteri yang
sering menjangkiti hewan air (Lavilla-Pitogo et al., 1998).

Pertumbuhan
Perbedaan pertumbuhan antara biochar dan non biochar tidak berbeda
nyata, walaupun rata-rata cenderung meninggikan perlakuan non-biochar.

2.5
Pertumbuhan
2 panjang (cm)
1.5
1
0.5
1.85 1.55
0
Non-biochar Biochar

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 22


Ikan dapat memakan flok yang berisi limbah organic dan mikroba
menjadi nutrisi tambahan (Azim et al., 2008). Ukuran mulut larva yang kecil
menjadikan flok cocok untuknya. Banyaknya mikropori dalam biochar
menyebabkannya dapat menyerap banyak bahan organic terlarut (Smernik,
2008). Lebih banyaknya bahan organic total yang diserap oleh biochar
menurunkan jumlah flok detritus yang bisa dikonsumsi oleh larva. Dengan
demikian perlakuan memperoleh asupan pakan daur ulang yang lebih sedikit
per individu ikan.

KESIMPULAN

Pemberian biochar dapat meningkatkan kelangsungan hidup mendekati 505


relatif terhadap control. Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa sebagian
besar variable kualitas air tidak berbeda nyata. Kelangsungan hidup yang lebih
tinggi menyebabkan limbah lebih banyak, tapi dengan biochar limbah dapat
ditekan dan disejajarkan dengan perlakuan dengan kepadatan rendah . Ada dua
variable kualitas air yang lebih baik dibanding kontrol yakni alkalinitas dan
total vibrio green. Ini menyiratkan bahwa biochar dapat menekan bakteri
pathogen dan meningkatkan denitrifikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Atlas, R.M., Bartha, R., 1998. Microbial Ecology: Fundamentals and


Applications, 4th ed. Benjamin/Cummings Science Publishing,
California, USA.
Azim, M.E., Little, D.C., Bron, J.E., 2008. Microbial protein production in
activated suspension tanks manipulating C:N ratio in feed and the
implications for fish culture. Bioresour. Technol. 99,
3590–3599.
Blackwell, P., Joseph, S., Riethmuller, G., Collins, M., 2008. Biochar
Application to Soil, in: Lehmann, J. (Ed.), Biochar for Environmental
Management: Science and Technology. Earthscan, London, UK, pp.
289–300.
Chan, K.Y., Xu, Z., 2008. Biochar: Nutrient Properties and Their Enhancement,
in: Lehmann, J., Joseph, S. (Eds.), Biochar for Environmental
Management: Science and Technology. Earthscan, London, UK, pp. 67–
84.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 23
Crab, R., Avnimelech, Y., Defoirdt, T., Bossier, P., Verstraete, W., 2007.
Nitrogen removal techniques in aquaculture for a sustainable production.
Aquaculture 270, 1–14.
Defoirdt, T., Boon, N., Sorgeloos, P., Verstraete, W., Bossier, P., 2007.
Alternatives to antibiotics to control bacterial infections: luminescent
vibriosis in aquaculture as an example. Trends Biotechnol. 25, 472–479.
FAO, 2003. Health management and biosecurity maintenance in white shrimp
(Penaeus vannamei) hatcheries in Latin America (No. 450), FAO
Fisheries Technical Paper. FAO, Rome, Italy.
Hirunpraditkoon, S., Tunthong, N., Ruangchai, A., Nuithitikul, K., 2011.
Adsorption Capacities of Activated Carbons Prepared from Bamboo by
KOH Activation. World Acad. Sci. Eng. Technol. 54, 711–715.
Lavilla-Pitogo, C.., Leaño, E.., Paner, M.., 1998. Mortalities of pond-cultured
juvenile shrimp, Penaeus monodon, associated with dominance of
luminescent vibrios in the rearing environment. Aquaculture 164, 337–
349.
Marsh, H., Rodríguez-Reinoso, F., 2006a. Chapter 4 - Characterization of
Activated Carbon, in: Marsh, H., Rodríguez-Reinoso, F. (Eds.),
Activated Carbon. Elsevier Science Ltd, Oxford, pp. 143–242.
Marsh, H., Rodríguez-Reinoso, F., 2006b. Chapter 2 - Activated Carbon
(Origins), in: Marsh, H., Rodríguez-Reinoso, F. (Eds.), Activated
Carbon. Elsevier Science Ltd, Oxford, pp. 13–86.
Miura, A., Shiratani, E., Yoshinaga, I., Hitomi, T., Hamada, K., Takaki, K.,
2007. Characteristics of the Adsorption of Dissolved Organic Matter
by Charcoals Carbonized at Different Temperatures. JARQ 41, 211–
217.
Skjermo, J., Saivesen, I., Oie, G., Olsen, Y., Vadstein, O., 1997. Microbially
matured water: a technique for selection of a non-opportunistic
bacterial flora in water that may improve performance of marine
larvae. Aquac. Int. 5, 13–28.
Smernik, R.., 2008. Biochar and Sorption of Organic Compounds, in:
Lehmann, J., Joseph, S. (Eds.), Biochar for Environmental Management:
Science and Technology. Earthscan, London, UK, pp. 289–300.
Thies, J.E., Rillig, M.C., 2008. Characteristics of Biochar: Biological
Properties, in: Lehmann, J., Joseph, S. (Eds.), Biochar for
Environmental Management: Science and Technology. Earthscan,
London, UK, pp. 85–106.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 24


DISEMINASI TEKNOLOGI BUDIDAYA NILA SALIN,
SEBUAH PENDEKATAN KEMANDIRIAN
USAHA YANG BERKELANJUTAN

Hasanuddin, Muslim, Michael A. Rimmer, Ibnu Sahidhir


Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee
Jl. Krueng Raya Km. 46 Banda Aceh
Nangroe Aceh Darussalam PO BOX 46

ABSTRACT
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 25
The low production of shrimp from farms in Aceh is caused by disease in
black tiger shrimp farming. In addition, the cultivation of milkfish is
limited to certain areas. Because of these limitations, coastal pond
farmers need to turn to other livelihoods. Through ACIAR project
FIS/2007/124 Diversification of smallholder coastal aquaculture in
Indonesia, Centre for Brackishwater Aquaculture Development Ujung
Batee has been introducing brackishwater tilapia aquaculture
production to ponds in Samalanga district and Lhokseumawe city. The
project originally used a pilot pond dissemination approach, but
technology adoption by farmers with this method was low. The project
then changed to a dempond approach and with the support of
production inputs to farmers. It appears that this method to enhances
the adoption of brackishwater tilapia culture by farmers in the area.
This approach was further modified to initiate seed production at
farmers level through the establishment of saline tilapia nurseries.
Tilapia nurseries have been established at four locations with number of
male broodstock 470 pcs and female broodstock 840 pcs. These
nurseries have produced a total of 1.918.900 pcs of tilapia seedstock,
which have been sold to farmers wishing to adopt brackishwater tilapia
culture. As many as 79 farmers are now growing out brackishwater
tilapia across 14 locations in seven districts / towns in Aceh. Through
this approach the dissemination is more effective, efficient and
sustainable. These business are now running independently, due to good
selling prices for brackishwater tilapia combined with relatively cheap
production costs.

KEYWORD :dissemination, brackishwater tilapia, Aceh

PENDAHULUAN

Permasalahan rendahnya produksi tambak di Aceh yang diakibatkan


oleh produksi udang menurun akibat penyakit dan produksi ikan bandeng yang
terbatas pada daerah tertentu, Sehingga intensitas pembudidaya semakin rendah
di tambak, produksi ikan semakin menurun, dan masyarakat yang hidupnya di

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 26


pesisir pantai ketergantungan ekonominya pada produksi tambak juga
mengalami penurunan dan telah beralih ke mata pencaharian lainnya.
Melalui proyek ACIAR project FIS/2007/124 Diversification of
smallholder coastal aquaculture in Indonesia, Balai Budidaya Air Payau Ujung
Batee, mencoba mengintroduksikan kegiatan produksi budidaya nila salin di
tambak di Kecamatan Samalanga desa Arongan dan Kota Lhok-seumawe Desa
Bayu, pada tahun 2008-2009 dengan metode pendekatan diseminasi tambak
percontohan, dimana pada tahun 2008 Proyek ACIAR mencoba mengenalkan
Nila Merah (Oreochromis niloticus), respons pembudidaya sangat rendah,
akibat pasar lokal belum menyukai ikan nila merah, khususnya pasar lokal
Aceh, kemudian pada tahun 2009, mencoba mengintroduksikan ikan nila hitam,
yang sumber benihnya dari lokal Aceh, respons pasar mulai diminati, walaupun
secara umum masyarakat aceh lebih menyukai ikan mujair (Oreochromis
mossambicus), yang hidupnya di air payau.
Pada tahun 2010 – 2011, pendekatan kegiatan diseminasi melalui
denpond dan memberikan dukungan input kepada beberapa pembudidaya,
dengan benih ikan bersumber dari BBPBAT Suka Bumi, hasil yang diperoleh,
masyarakat semakin responsif terhadap kegiatan budidaya nila salin, karena
ikan nila dapat hidup ditambak pada kisaran salinitas sampai dengan 20
permill, cepat besar, dan sangat efisien pakan (Romana-Eguia and Eguia, 1999;
Stickney, 1986). Ikan Nila dapat memakan berbagai jenis tanaman air,
khususnya hidrilla, lumut, dan rumput di dalam tambak, dan permintaan pasar
mulai meningkat, respon pembudaya ikan nila salin di tambak semakin
meningkat. Sehingga menimbulkan permasalahan baru, yaitu kekwatiran
terhadap proses cross breeding ikan nila gesit dengan spesies lokal ikan mujair,
dan keterbatas ketersedian benih ikan nila gesit salin, karena bila mengandalkan
benih ikan nila gesit yang bersumber dari sukubumi menghadapi permasalahan
tingkat mortalitas akibat transportasi dan perawatan/adaptasi benih sangat
tinggi dan biaya operasional semakin tinggi juga, sehingga BBAP Ujung Batee
Melalui Proyek ACIAR No. FIS/ 124/2007 ini menginisiasi kembali untuk
menghadapi permasalahan tersebut dengan mencoba memperkenalkan Nursery
Farm Nila Gesit sebagai Metode Pendekatan Peningkatan Produksi Ikan Nila
Di Aceh di beberapa titik/lokasi untuk mengantisipasi permasalahan tersebut di
atas mulai tahun 2012.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mempersingkat akses ketersedian
benih ikan nila salin pada kawasan budidaya yang berpotensi terhadap produksi
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 27
ikan nila salin di tambak, meningkatkan kwanlitas dan kwalitas produksi benih
ikan nila di Aceh, dan meningkatkan produksi ikan nila di tambak. Manfaat
dari kegiatan ini adalah budidaya ikan nila salin dapat menjadi spesies
alternative yang produktif, efektif, effisien, menguntungkan dan ramah
lingkungan di tambak.

BAHAN DAN METODE

Identifikasi Lokasi dan Pelaku Nursery Farm


Sebelum menetapkan lokasi dan pelaku nursery, perlunya ditetapkan
kriteria calon lokasi dan pelaku nursery farm sebagai berikut:
1. Lokasi /areal kolam air tawar yang dekat/mudah akses dengan tambak air
payau atau dalam kawasan tambak air payau.
2. Sebelumnya telah/pernah melakukan kegiatan produksi benih.
3. Mempunyai keinginan yang kuat untuk berusaha produksi benih nila
4. Mempunyai beberapa kolam budidaya (kolam induk minimal 2 kolam, dan
kolam pendederan minimal 2 kolam).
5. Status lahan milik sendiri untuk kegiatan perorangan dan atau sewa minimal
3 tahun, untuk kegiatan yang berkelompok.
6. Lokasi nursery farm tidak saling berdekatan satu lokasi dengan lokasi
lainnya.

Distribusi Induk
Setelah dilakukan penentuan lokasi dan calon pelaku kegiatan nursery
farm, dilakukan pengadaan calon induk ikan nila gesit dan sultan yang akan
dibagikan ke beberapa lokasi dengan jumlah induk dan perbandingan induk
jantan dan betina (tabel 1), walaupun berdasarkan refensi perbandingan induk
jantan dan betina 1:3.

Tabel 2. Lokasi Distribusi Calon Induk


Lokasi Jumlah Distribusi Induk
Gesit Sultana Sex Ratio
Kabupaten, Kecamatan Desa
(Ekor) (Ekor)
Bireun, Samalanga Arongan 180 240 1 : 1,33
Kota Langsa 120 180 1 : 1,50
Bireun, Jangka P. Naleung 70 170 1 : 2,43
Aceh Tamiang Matang Seuping 100 250 1 : 1,25

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 28


Untuk lebih jelas jangkauan jarak wilayah ditribusi induk di beberapa lokasi
dapat digambar dalam gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Peta Distribusi induk ikan nila salin

Peningkatan Kapasitas
Untuk mencapai keberhasil produksi benih ikan nila salin di tiap lokasi
nursery farm, dalam upaya meningkatkan kapasitas pelaku nursery farm, BBAP
Ujung Batee menyediakan pelatihan teknis lapangan dengan tenaga ahli dari
BBBAP Sukabumi dan secara regular bantuan teknis didampingi oleh staff
BBAP Ujung batee yang berkompeten dibidangnya. Dengan beberapa topik
penting yang harus disampaikan dalam pelaksanaan kegiatan Diseminasi
teknologi pendekatan nursery farm tilapia salin yakni seleksi induk,
pemeliharaan induk, sistem perkawinan, metode panen larva, metode perawatan
larva, penggelondongan dan panen.
Secara regular BBAP Ujung Batee mendampingi secara teknis setiap 2
minggu sekali, melalui kunjungan lapangan tim teknis untuk meningkatkan
kapasitas pelaku (operator) nursery farm tilapia salin, bersamaan dengan
monitoring kemajuan dan evaluasi kegiatan untuk mengiventarisasi dan solusi
permasalahan yang dihadapi oleh pelaku nursery farm.

Pengumpulan data dan Distribusi Benih


BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 29
Pengumpulan data distribusi benih dilakukan dengan cara membuat
format buku yang disediakan di tiap-tiap lokasi nursery farm yang harus di isi
oleh operator nursery farm setiap transaksi penjualan benih, yang berisi, jumlah
benih yang dijual, harga satuan, lokasi budidaya (desa, kecamatan, kabupaten)
serta nomor kontak. Hal ini diperlukan untuk memudahkan mendapatkan
informasi jumlah produksi benih yang terjual dan informasi sebaran lokasi
pembudidaya.
Untuk mengetahui peta sebaran benih dan effektifitas serta efesiensi
kegiatan nursery farm benih nila salin terhadap tujuan diseminasi teknologi,
dilakukan survey dampak kegiatan diseminasi teknologi melalui observasi
lapangan dengan pembagian quisioner dan pengambilan titik koordinat posisi
lokasi budidaya untuk setiap pembeli benih dari nursery farm.

Analisis Data
Data yang diperoleh berdasarkan buku distribusi benih dari operator
nursery farm di rekapitulasi berdasar kabupaten dan kecamatan dengan
menggunakan komputer program excel dan dilakukan pengolahan peta
distribusi benih dengan menggunakan program GIS. Selanjutnya dilakukan
survey dampak kegiatan diseminasi teknologi melalui pendistribusian
quisioner, data yang diperoleh berdasarkan quisioner, dikompilasi dan
direkapitulasi dengan komputer program excel dan pengolahan data dengan
program SPSS versi 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Benih
Lokasi nursery farm Arongan Samalanga
Selama periode agustus sampai dengan Desember 2012, jumlah
produksi benih nila terjual sebanyak 242.000,- ekor benih, sedangkan periode
tahun 2013 sebanyak 165.800 ekor, dan memasuki Desember 2013 sampai
Februari 2014 (Bagan 1.), jumlah permintaan benih meningkat drastis, yang

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 30


dapat disebabkan oleh musim hujan dan meningkatnya sosialisasi budidaya nila
di tambak. Harga benih adalah Rp. 120-150 (tergantung ukuran).

300
250
200 Jumlah ribu (ribu ekor)

150
100
50
0

Bagan 3. Jumlah Produksi Benih di Nursery Farm Arongan Samalanga, Periode


Agustus 2012 sampai dengan Februari 2014.

Lokasi nursery farm Pulo Naleng


Dilokasi Pulo Naleng, jumlah permintaan bibit lebih stabil setiap bulan
selama periode tahun 2013 (Bagan 2.), hal ini didukung bahwa lokasi Pulo
Naleng merupakan lokasi existing pendederan ikan nila dan mujair
sebelumnya, sehingga dengan masuknya dukungan teknis dan induk dari BBAP
Ujung batee, dapat menambah kepercayaan masyarakat terhadap kulaitas benih
yang dihasilkan melalui pembuktian oleh mereka sendiri diperoleh hasil bahwa
ikan nila gesit yang didistribusikan oleh BBAP Ujung Batee ukuran lebih
seragam dan lebih cepat tumbuh, dibandingkan benih ikan nila yang mereka
budidayakan sebelumnya.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 31


250

200

150 Jumlah (ribu ekor)

100

50

Bagan 4Jumlah Produksi Benih Nila Lokasi nursery farm Puloe Naleung, Jangka,

Lokasi Nursery farm Kota Langsa

Produksi benih dilokasi nursery farm di Kota Langsa, pada umumnya


terdistribusi ke wilayah Aceh Tamieng, walaupun dalam proses
pemeliharaannya memerlukan proses adaptasi terhadap salinitas yang lebih
sesuai dengan kondisi dilapangan di Matang Sepieng, distribusi benih bulanan
sepanjang tahun 2013 terlihat lebih stabil (Bagan 3.). Harga benih adalah Rp.
120 – 150 (Tergantung ukuran).

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 32


80
70
60
50 Jumlah (ribu ekor)
40
30
20
10
0

Bagan 5. Jumlah produksi benih nila lokasi nursery farm Kota Langsa, Periode
November 2012 sampai dengan Desember 2014.

Lokasi nursery farm Aceh Tamieng

Lokasi nursery farm Aceh Tamieng, dimulai kegiatan pada bulan November
tahun 2013, selama selama 5 bulan menghasilkan benih 337.000 ekor, dengan
puncak permintaan paling tinggi pada bulan maret 2014, yang masih
mengalami hujan, sehingga permintaan benih nila sangat tergantung pada
musim hujan, rincianjumlah penjualan benih selama periode November 2013
sampai dengan bulan Maret 2014 dapat dilihat pada Bagan 4. dibawah ini.
Harga benih adalah Rp.200-250 tergantung ukuran.

200

150 Jumlah (ribu ekor)

100

50

0
Nov 2013 Jan 2014 Febuari 2014 Maret 2014

Bagan 6. Jumlah produksi benih nila lokasi nursery farm Matang Seuping Aceh
Tamieng Periode November 2013 sampai dengan Maret 2014

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 33


Distribusi Benih dan Adopsi Budidaya Nila Salin.
Dari empat lokasi nursery farm, dalam pelasanaan kegiatan diseminasi
teknologi, telah terdistribusi informasi budidaya ikan nila salin ke 15 lokasi
budidaya dengan rincian wialayah distribusi sebagaimana dalam Tabel 2
berikut ini. Dari tabel tersebut terlihat proses perluasan penyebaran informasi
teknologi yang sangat luas, bila dibandingkan dengan pendekatan diseminasi
teknologi model tambak percontohan dan pembagian input budidaya, sehingga
pendekatan nursery farm terlihat lebih efektif dan efisien dalam upaya
peyebaran informasi teknologi yang mandiri dan berkelanjutan, sehingga dapat
meningkatkan produksi perikanan budidaya, untuk lebis jelas gambaran
jangkaun ditribusi benih dan adopsi budidaya ikan nila salin dari masing
masing lokasi nursery farm, dapat dilihat pada peta sebaran distribusi benih dan
adopsi budidaya ikan nila pada gambar 2,3, 4 beriku ini.
Tabel 3. Wilayah Distribusi Benih
Lokasi Nursery Farm Wilayah Distribusi Benih
Arongan Samalanga 1. Matang Seping, Aceh Tamieng
2. Peuntuet Aceh Utara
3. Pasi Lhok Pidie
4. Lueng Putu Pidie Jaya
5. Jangka, dan Sekitar Samalanga Bireun
6.Banda Aceh,Aceh Besar
Puloe Naleng, Jangka 1. Sampoinet Aceh Utara
2. Km 41, Bener Meriah
3. Krueng Juli, Monklayu, Bugak, Beurawang,
Kareung dan Tanoh Anoe,sekitar Bireuen.
4.Banda Aceh
5.Aceh Besar
6.Julok,Aceh timur
7. Aceh Barat
8.Sigli
1. Matang Seping, Tamieng
Jl. Alue Jreng Gampung Batee Puteh,
Kec. Langsa Lama, Kota Langsa. 2. Kota Langsa Sekitarnya

Aceh Tamiang, Matang Seuping Kawasan Matang Seuping dan Sekitarnya.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 34


Gambar 2. Peta citra satelit sebaran wilayah distribusi benih ikan nila di wilayah
samalanga

Gambar 3. Peta distribusi benih dan adopsi budidaya nila salin dari Pulo Naleung

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 35


Gambar 4. Peta citra satelit wilayah distribusi benih ikan nila di wilayah Matang
Seuping Aceh Tamieng

Estimasi Penjualan Hasil Produksi Ikan


Berdasarkan perhitungan secara garis besar terhadap tingkat
produktifitas ikan nila dan putaran incame dilingkungan masyarakat, selama
periode kegiatan diseminasi teknologi budidaya ikan nila agustus tahun 2012 –
april 2014, diperoleh hasil benih 1.918.900 ekor, terditribusi ke pembudidaya
ikan sehingga menghasilkan estimasi total produksi sekitar 239.863 kg ikan nila
dengan estimasi SR 75 dan ukuran ikan jual size 6 ekor/ kg ikan, sehingga
dengan prediksi harga hasil survey rata rata Rp. 17.000,- /kg ikan, maka dapat
di hitung putaran incame di masyarakat dari kegiatan budidaya ikan nila lebih
kurang Rp. 4.077.662.500,- (Tabel 3.). Hal ini menunjukan hasil yang sangat
mendukung meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 36


Tabel 4. Estimasi tingkat produktifitas ikan nila dan putaran income kepada masyarakat

Jumlah
Jumlah produksi benih perlokasi nursery farm Produksi
benih (ekor)

Lokasi Arongan Samalanga (agustus 2012 s/d februari 2014) 717.300

Lokasi Pulo Naleng Jangka (Januari 2013 s/d April 2014) 581.600

Lokasi Kota Langsa (November 2012 s/d Desember 2013) 283.000

Lokasi Matang Seuping (November 2013 s/d Maret 2014) 337.000

Jumlah total produksi ke 4 lokasi nursery farm (ekor) 1.918.900

Tingkat Survival Rate Rata-rataKegiatan budidaya 75% 1.439.175

Biomass dengan Size Produksi Rata-rata 6 ekor/kg 239.863


Penjualan (Harga Satuan Jual Rata-rata Rp. 17.000) 4.077.671.000

Dampak diseminasi teknologi nursery farm


Berdasarkan sebaran distribusi benih yang teridentifikasi secara jelas
lokasi budidaya, dilakukan survey lanjutan dampak dari kegiatan nursery farm
tilapia salin ke empat lokasi yang telah dilakukan pendekatan diseminasi
teknologi, melalui interview dengan quisioner 26 pembudiaya dari 76
pembudidaya dari 6 kabupaten wilayah distribusi diperoleh hasil gambaran
pembudidaya sebagai berikut :

Kondisi umum pembudidaya ikan nila


Pelaku pembudidaya ikan nila pada umumnya berumur berkisar antara
31 – 40 tahun, dimana level umur tersebut termasuk kedalam katogori
pembudidaya produktif dan masih mudah menerima informasi baru, dengan
tingkat pendidikan rata-rata SMP dan SMA, berdasarkan dari hasil survey
tersebut menunjukan bahwa pekerjaan utama pelaku budidaya nila salin
sebagai sumber pendapatannya adalah 54 % sebagai pembudidaya ikan, dan 11
% persen sebagai pedangang ikan, artinya adopsi teknologi budidaya nila salin
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 37
melalui pendekatan nursery farm tercapai target kepada mayoritas
pembuddiaya perikanan untuk lebih jelas gambaran umum kondisi pekerjaan
utama pelaku budidaya ikan nila salin yang mengadopsi teknologi adalah
sebagai berikut Bagan 5.).

Pekerja Mekanik
perikanan Listrik
8% 4%
Guru
4%

Pegawai
lainnya
Pembudidaya
8% perikanan
54%

Tukang
Bangunan
11%

Pedagang ikan
11%

Bagan 7 Persentase pekerjaan utama pembudidaya ikan nila salin yang mengadopsi
teknologi

Sumber benih dan pasar ikan nila


Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa keberadaan nursery farm
dilapangan sangatlah membantu dalam mempermudah akses transportasi yang
lebih dekat sehingga dapat mempengaruhi kualitas benih yang lebih baik, serta
tingkat ketersediannya lebih pasti, hal ini terlihat dari jumlah persentase sumber
benih ikan nila yang digunakan ole pembudidaya perikanan adalah menyebar
merata dari keempat lokasi pengembangan nursery farm benih ikan nila
(Bagan6.) Karena lokasi nursery farm berlokasi disekitar kawasan budidaya
berdampak terhadap tingkat adopsi teknologi yang lebih tinggi karena akses
transportasi dan kualitas benih lebih terjamin dan kepercayaan terhadap kualitas
benih lebih tinggi karena ada pendampingan teknis oleh instansi teknis BBAP
Ujung Batee.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 38


Benih
masyarakat
tanpa binaan
6%
Pulo
BBAP Naleung
Ujung Batee 32%
21%

Langsa
21%
Samalanga
20%

Bagan 8. Persentase sumber ketersedian benih nila salin.

Produksi ikan nila salin yang dihasilkan oleh pembudidaya, pemasaran


hasilnya sangat besar persentasenya diserap oleh pengumpul ikan lokal sekitar
65 %, (Bagan 7. ) sehingga hasil produksi sangat terjamin pemasarannya, yang
dapat menyebabkan harga jual ikan lebih stabil, berdasarkan hasil survey harga
penjualan ikan stabil pada harga Rp. 17.000,-/kg (Bagan 8.).

Konsumsi
lokal
Pasar ikan 12%
tradisional
23%

Pengumpul
ikan lokal
65%

Bagan 9. Pemasaran ikan Nila

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 39


14

12 Harga tinggi

10

Prices

Bagan 10. Frekuensi harga jual ikan

Keuntungan dan kendala pemeliharaan ikan nila


Bagan 9. berikut ini menunjukkan persepsi pembudidaya ikan terhadap
adopsi teknologi budidaya ikan nila, terlihat secara berurutan paling banyak
komentarnya adalah bahwa budidaya ikan nila dapat menguntungkan, biaya
murah, budidaya mudah, masa budidaya lebih cepat, harga lebih tinggi dari
bandeng, meningkatkan produktifitas, pasar bagus, penyakit kurang.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 40


0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

profitable

low cost

easy to culture

fast growing

higher price

increasing productivity

good market

less diseases

no comment

Bagan 11. Persepsi pembudidaya terhadap keuntungan budidaya ikan Nila.

Sedangkan kendala-kendala dalam pemeliharaan ikan nila dapat


digambarkan pada Bagan 10., yang menunjukkan bahwa kendala terhadap
budidaya ikan nila yang disebabkan oleh faktor teknis yang dapat dan sangat
mudah di antisipasi dan dikendalikan, sehingga perlunya perlunya sharing
informasi antara pembudidaya sangat diperlukan untuk menghindari
permasalahan seperti pertumbuhan kelekap, pertumbuhan lambat, suhu rendah,
salinitas tinggi, banjir, pemangsa, penyakit serta pencurian.
0 1 2 3 4 5 6 7

lab-lab overgrowth

slow growth

low temperature

high salinity

flood

predator

diseases

stealing

no problem

no comment

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 41


Bagan 12. Kendala budidaya ikan Nila

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Diseminasi teknologi melalui nursery farm dapat menjadi sebuah
pendekatan yang efektif dan efisien melalui penyediaan benih yang
berkualitas yang dapat meningkatkan garansi keberhasilan budidaya kepada
pembudidaya sehingga meningkatkan produksi perikanan yang mandiri dan
berkelanjutan.
2. Poin kunci diseminasi adalah : Bantuan teknis, fasilitasi yang cukup,
garansi kualitas benih, pembudidaya melakukan sendiri, and supervisi serta
recording.
3. Sebagai Opsi budidaya tambak selain udang dan bandeng.
4. Melalui nursery farm dapat memfasilitasi adopsi teknologi antar
pembudidaya dan pembelajaran oleh meraka sendiri sehingga lebih mandiri
dan berkelanjutan.

Saran
1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut dampak budidaya ikan nila
terhadap kualitas lingkungan.
2. Perlunya dilakukan adopsi pengembagan yang jumlahnya lokasinya dan
intesitas pendampingan yang lebih banyak terhadap pembudidaya ikan,
untuk mempercepat peningkatan produksi perikanan budidaya.

DAFTAR PUSTAKA

Romana-Eguia, M.R.R., Eguia, R.V., 1999. Growth of five Asian red tilapia
strains in saline environments. Aquaculture 173, 161–170.
Stickney, R.R., 1986. Tilapia Tolerance of Saline Waters: A Review. Progress.
Fish-Cult. 48, 161–167.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 42


RANCANG BANGUN PEMANAS AIR SEDERHANA
PADAPEMBESARAN IKAN SIDAT (Anguilla marmorata)
DI BBAT TATELU

Iman Sudrajat, Dede Sutende, Suradi


Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Tatelu

ABSTRACT
Water temperature affects the speed of a chemical reaction media both
outside and inside the body fluids of fish which are cold-blooded animals that
metabolism in the body depends on the temperature of its environment. large
fluctuations in water temperature will affect the metabolic system.
Eel can adapt to the temperature of 12-31 ° C but the eel (Anguilla
marmorata) requires an optimal temperature in aquaculture in order to
support the growth tends to be slow. One assumption of the slow growth of eel
is a low water temperature that can affect appetite and the potential emergence
of disease. This activity aims to increase the value of the temperature of the
water in the tub eel enlargement treatment. The water heater is needed on the
location of the source water is abundant but low temperature. Range of water
temperatures in BBAT Tatelu is 22-25 ° C.
Stages ofdesignbeginswithmakingthe systemblock diagramworkingwater
heaterwitheasy operationanddetailingbudgetin order to geta low costcompared
tosimilarproductionequipmentmanufacturer.
The results of the application of a fairly good impact in supporting the
breeding of eel. During the maintenance period, the seed eel is not susceptible
to disease and stable appetite. The resulting temperature can be adjusted with
the desire by the addition of a tool that serves to break the current
microcontroller when the temperature reaches the desired limits so as to save
energy and prevent overheating in the media .
The resulting temperature range that is: For 1 ton of water with initial
temperature of 25 ° C takes about 2 hours to produce a water temperature of
28 ° C. As for the range of costs necessary to make the prototype water heater
is about IDR 3 million and could be reduced if mass production. Specifications
tools: 450 watts of power, discharge: 25 liters / min.

KEYWORDS : eel, water heater

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 43


PENDAHULUAN

Banyak faktor yang bisa mempengaruhi organisme dalam melakukan


aktivitasnya semisal pengaruh dari luar seperti lingkungan, dan pengaruh dari
dalam yang berasal dari organisme itu sendiri. Salah satu faktor lain yang
mempengaruhi aktivitas organisme adalah suhu dimana suhu mempunyai
rentang yang dapat ditolelir oleh setiap jenis organisme.
Suhu air mempengaruhi kecepatan reaksi kimia lingkungan maupun
cairan dalam tubuh ikan sehingga metabolisme dalam tubuhnya tergantung
pada suhu lingkungannya. suhu perairan yang berfluktuasi besar akan
berpengaruh pada sistem metabolisme.
Ikan sidat dapat beradaptasi pada suhu 12 - 31°C namun ikan sidat
(Anguilla marmorata) membutuhkan suhu optimal dalam budidaya agar
mendukung pertumbuhannya yang cenderung lambat. Salah satu faktor
pertumbuhan ikan sidat adalah jika suhu air rendah dapat mempengaruhi nafsu
makan dan potensi munculnya penyakit. Pemanas air dibutuhkan pada lokasi
yang sumber airnya melimpah tetapi bersuhu rendah dimana kisaran suhu air di
BPBAT Tatelu adalah 22 – 25°C.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai suhu air pada bak
treatment pembesaran benih ikan sidat.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang diperlukan adalah pipa paralon, knee, tee, dop, over sock,
lem silikon, lem pipa, cable ties, cutter, kabel, isolasi, tubular bobbin element,
pompa celup, selang pompa, klem pipa.
Alat yang digunakan adalah bor lisrik, tang, obeng, gunting, cutter,
gergaji, alat tulis, microcontroller.
Kegiatan telah dilaksanakan di Balai Budidaya Air Tawar Tatelu.
Pelaksanaan kegiatan selama tiga bulan dimulai dari bulan Januari dan berakhir
pada bulan April tahun 2014.
Perancangan dimulai dengan membuat lay out dan diagram blok sistem
kerja pemanas air dengan operasional yang mudah dan merinci anggaran agar
didapatkan biaya yang murah dibandingkan peralatan sejenis produksi
pabrikan.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 44


Gambar 1. Lay out heater sederhana dan cara kerjanya

Gambar 2. Diagram Blok Mikrokontroller

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kisaran suhu yang dihasilkan untuk 1 ton air dengan suhu awal 25°C
membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menghasilkan suhu air 28°C.
Sedangkan untuk kisaran biaya yang diperlukan untuk membuat prototipe
pemanas air ini berkisar 3 juta rupiah dan dapat ditekan jika sudah dilakukan
penyederhanaan dan penyempurnaan. Spesifikasi alat : daya 450 watt, debit :
25 liter /menit. Dimensi unit : Panjang 133 cm, Lebar 40 cm, Tinggi 43 cm.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 45


Gambar 3. Unit pemanas air sederhana

Gambar 4. Suhu yang dihasilkan setelah 2 jam

Gambar 4. Suhu yang dihasilkan setelah 2 jam

Hasil penerapan memberi dampak yang cukup baik dalam menunjang


pemeliharaan ikan sidat. Selama masa pemeliharaan, benih sidat tidak mudah
terserang penyakit dan nafsu makan stabil sehingga SR mencapai 80%.
Sebagai pembanding yakni pada pemeliharaan sebelumnya tanpa penggunaan

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 46


heater benih memiliki nafsu makan yang rendah sehingga pertumbuhan
cenderung lambat serta tingkat kematian sangat tinggi.
Suhu yang dihasilkan oleh pemanas air ini dapat disesuaikan dengan
keinginan dengan adanya penambahan alat mikrokontroller yang berfungsi
memutus arus jika suhu mencapai batas yang diinginkan sehingga dapat
menghemat energi dan mencegah terjadinya panas berlebih pada media
pemeliharaan. Selain itu, pemanasan air secara massal tentunya sangat efisien
dibanding pemanasan air menggunakan heater celup pada tiap bak.

Gambar 5. Unit Mikrokontroller

Gambar 5. Unit Mikrokontroller

KESIMPULAN

Dengan aplikasi pemanas air sederhana pada bak treatment dapat


meningkatkan nilai suhu air pada bak treatment.

SARAN

Masih perlu dilakukan penyempurnaan dan penyederhanaan baik dari


segi bentuk dan ukuran alat maupun penggunaan elemen heater yang lebih
sederhana.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 47


DAFTAR PUSTAKA

Affandi R, 2010. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Sidat (Anguilla spp)


di Indonesia. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim a, 2012. http://carabudidaya.com/cara-budidaya-ikan-sidat/.
Download tanggal 18 Mei 2012.
Anonim b, 2014. http://www.heatpumpwaterheater.info/pemanasairlistrik.htm.
Download tanggal 11 Juni 2014.
Anonim c, 2014. http://rezpect-iwak.blogspot.com/2011/07/kualitas-air-ikan-
sidat.html. Download tanggal 11 Juni 2014.
Anonim d, 2014. http://sidatkita.blogspot.com/2011/08/suhu-dan-ph-ideal-
untuk-sidat.html. Download tanggal 11 Juni 2014.
Anonim e, 2014. http://www.bibitikan.net/pengaruh-suhu-pada-budidaya-
ikan/.Download tgl 14 Agustus 2014.
Bernabe, G., 1990. Aquaculture. Ellvis Hardword Limited., England. 898p.
Creutzberg, F., 1961. On the Orientation of Migrating Elvers (Anguilla
vulgaris Turt). In a Tidal Area. Netherland J. Sea. Res.,l. 257-338pp.
Liviawaty, E. dan E. Afrianto, 1998. Pemeliharaan Sidat. Penerbit Kanasius.
Yogyakarta. 134 halaman.
Matsui, I., 1972. Eel Biologi – Biological Study. Koseisha-Koseikaku,
Tokyo. 527p.
Usui, A., 1991. Eel Culture. Second Edition Fishing News Book. A
Deviasion of Blackwell Scientific. Oxford. 148p.
Yuliani, dan Rahardjo. 2012. Panduan Praktikum Ekofisiologi. Unipress,
Universitas Negeri Surabaya: Surabaya.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 48


OPTIMALISASI PRODUKTIVITAS TAMBAK AIR PAYAU
DENGAN KARAKTER SALINITAS TINGGI DAN RENDAH
OKSIGENMELALUI BUDIDAYA IKAN NILA SALIN
(Oreochromis. sp)

Dasep Hasbullah a), Sugeng Raharjo a), Jumriadi a),Imran Lapong b), Irwan a)
Harnita Agusanty a), Mike Rimmer b,c).

a. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar, Sulawesi Selatan, Indonesia


b. Australian Centre for International Agricultural Research Field Support
Office, Jl. Urip Sumohardjo No.20, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
c. Fakultas Ilmu Kedokteran Hewan, Universitas Sydney, 425 Werombi Road,
Camden, NSW 2570, Australia

ABSTRACT

Nile tilpia culture in the ponds as additional commodities beside shrimp


and milkfish are proved to give big contribution to comply aquaculture
needs when shrimp price decreased that caused by scarcity of seed in
the field and disease outbreak in the grow out phase. Balai Perikanan
Budidaya Air Payau Takalar with Australian Centre for International
Agricultural Research (ACIAR) in diversification program since 2011
had introducing Nile tilapia seed from some development centre in West
Java to distribute to farmers in assisting area. In 2010-2011, three
cycles in Pangkep and Maros Districts shows excellent result that can
help farmers to increasing their ponds productivity. Constraints were
appears in the field such as high salinity (>20 ppt) that minimize their
result of nile tilapia cultured by generating high mortality. This
condition encourages Balai Budidaya Air Payau Takalar to improve the
quality of Nile tilapia who can survive in brackish water as well as in
high salinity (nile tilapia saline). In 2010 Balai Budidaya Air Payau
Takalar was developing technology of superior nile tilapia by
conducting hybridizations of superior nile tilapia that pass testing
challenge (Gift and Gesit) with local Nile Tilapia of South Sulawesi
(Jabir) who have high tolerant in high salinity and low oxygen. In 2013,
the result of saline tilapia hybridizations has been trialed in assisting
area. The results was showing that it can survival in high salinity ((> 20
ppt), survival rate (SR) 82%-90% and in semi-intensive pattern FCR
value reach to 0,8.

KEYWORD : optimizing, brackish water pond, productivity and saline


nile tilapia
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 49
PENDAHULUAN

Secara umum pemeliharaan/budidaya ikan nila di tambak tidak rumit,


ikan nila mampu hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik pada berbagai
kondisi dan karakter tambak baik tambak idle, tambak tadah hujan, maupun
tambak pasang surut (tambak lanyah), dapat dibudidayakan secara monokultur
maupun secara polikultur dengan komoditas bandeng, udang atau komoditas
lainnya. Tahun 2011 Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar
dan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) telah
melakukan ujicoba budidaya nila ni Desa Salenrang Kabupaten Maros untuk
menguji Performa empat strain nila yakni Merah, Gesit, Gift dan Nirwana.
Sehingga direkomendasikan untuk wilayah Sulawesi Selatan direkomendasikan
menjadi strain yang bisa dikembangkan di tambak, walaupun sebenarnya
pertumbuhan terbaik ada pada strain nila merah, namun karena nila merah
kurang disukai maka strain gesit adalah pilihan terbaik.
Karakter yang sering dipilih untuk memperbaiki mutu genetik ikan
adalah kecepatan tumbuh, tingkat toleransi terhadap lingkungan dan derajat
kelangsungan hidup. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui selective
breeding dan crossbreeding (Moav & Wohlfarth, 1976). Penggunaan satu dan
atau kedua cara tersebut tergantung pada beberapa keadaan, yakni biaya, waktu
dan ketersediaan sarana dan prasarana. Program selective breeding sering
digunakan untuk menghasilkan populasi induk Penjenis (Great Grand Parent
Stock). Crossbreeding atau istilah lain dari hibridisasi, digunakan untuk
menemukan kombinasi strain induk yang dapat digunakan untuk menghasilkan
ikan hibrida yang lebih unggul dibandingkan dengan kedua induknya. Tujuan
dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkatkan produktivitas tambak air payau
melalui budidaya ikan nila salin untuk menudukung ketahanan pangan dan
peningkatan produksi perikanan budidaya pada khususnya dan pemenuhan
kebutuhan masyarakat luas pada umumnya. SasaranMenghasilkan teknologi
pengelolaan tambak, khususnya pada tambak idle yang memiliki karakteristik
lingkungan payau dengan ketersediaan oksigen terlarut rendahmelalui kegiatan
budidaya nila salin.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 50


BAHAN DAN METODE

Pengeringan dan Persiapan Tambak


Pengeringan dasar tambak dimaksudkanuntuk mempercepat proses
pembusukan bahan organik, pembersihan gulma perairan yang bisa menjadi
kompetitor dalam penggunaan oksigen, Pemberantasan hama dengan
menggunakan saponin (40-50 g/m2 ) dan pengapuran dasar tambak
menggunakan CaO (25-30 g/m2 ) atau dengan kapur CaCO3 dengan dosis (60-
70 g/m2 ). Kegiatan persiapan tanah tambak meliputi kegiatan reklamasi lahan
tambak, saponin, pemupukan, pengisian air, dan penumbuhan pakan.
Reklamasi lahan dilakukan meliputi perbaiki/merapihkan pematang, pembuatan
caren, menutup bocoran atau rembesan, dan mengangkat lumpur. Pada tambak
yang susah dikeringkan dengan keterbatasan saluran pengeluaran, maka di
bagian tertentu diberikan saponin secukupnya sehingga mampu mematikan
benih-benih hama dan ikan ikan kompetitor yang masih hidup. Setelah
pemberian saponin mampu menyingkirkan ikan-ikan lain yang tidak
diharapkan, kemudian dilakukan pengisian air yang berasal dari sumur bor
dengan menggunakan pompa hingga pelataran tambak terisi air. Dua hari air
menggenang dilanjutkan dengan pemberian pupuk organik sebanyak 400 kg
kg/ha, dengan cara disebar secara merata di seluruh bagian permukaan tanah
dasar tambak. Pada ketinggian air dipertahankan 10 cm di pelataran tambak
selama 5 hari untuk menumbuhkan plankton dan alga lainnya. Pengisian air
dilanjutkan hingga ketinggian air mencapai 30 cm di areal tambak selama 2
hari. Pada ketinggian air ini diharapkan bisa meningkatkan pertumbuhan pakan
alami yang cukup. Pengisian air ditambahkan hingga 80 cm agar tambak siap
ditebari ditebari benih ikan nila.

Penebaran Benih
Penebaran benih setelah tambak dipersiapkan 7 hari sebelumnya.Benih
ikan nila yang digunakan berukuran panjang 3-5 cm yang merupakan anakan
dari hasil kegiatan hibridisasi nila salin di Balai Perikanan Budidaya Air Payau
Takalar. Sebagai kontrol dilakukan juga penebaran benih nila air tawar
(sultana) di lokasi sekitar tambak ujicoba. Pada saat penebaran dilakukan
proses aklimatisasi untuk menghindari stress pada ikan yang dibudidayakan.

Pemeliharaan dan Pemberian Pakan tambahan


Kegiatan pemeliharaan yang dimaksudkan adalah proses pemeliharaan
periode pertumbuhan dari komoditas ikan yang dipelihara hingga saatnya ikan
dipanen. Selama pemeliharaan ikan yang diuji cobakan secara semi intensif
diberikan makanan tambahan berupa pellet untuk mengukur tingkat respon
nafsu makan ikan serta pengukuran pengaruh pertumbuhan ikan uji terhadap
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 51
efisiensi penggunaan pakan dan rasio penambahan bobot rataan perindividunya
bila dibandingkan dengan pakan yang dikonsumsi selama uji coba berlangsung.
Pakan yang diberikan adalah pakan pellet komersial yang memiliki kandungan
protein 24-26 % dengan dosis yang diberikan sebanyak 2% dari biomassa
ikan/hari. Pemberian pakan yang sudah disesuaikan dosisnya tersebut diberikan
sebanyak 3 kali/hari (pagi, siang dan sore hari).

Sampling
Untuk mengetahui bobot terkini baik rataan perindividu maupun bobot
total ikan yang dibudidayan dilakukan sampling setiap 20 hari sekali. Sampling
juga dimaksudkan untuk mengetahui laju pertumbuhan, nilai konversi pakan
yang diberikan (FCR), Sintasan/kelulus hidupan (SR) dan Efisiensi
Penggunaan pakan serta dapat menghitung kebutuhan pakan lanjutan. Agar
tidak terjadi dampak negatif dan stress terhadap ikan yang dibudidayakan
sampling dilakukan pada pagi atau sore hari ketika suhu air rendah.

Monitoring Kualitas air dan kesehatan ikan


Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung proses pemeliharaan agar
pertumbuhan ikan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Kegiatan ini
dilakukan untuk proses kontrol dan melakukan pemantauan terhadap proses
pertumbuhan ikan budidaya, perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan ikan.
Hasil monitoring bisa menjadi dasar untuk tindakan penangan bila dubutuhkan.

Pengelolaan Data pendukung kegiatan


Data yang dikumpulkan dalam kegiatan budidaya meliputi pertumbuhan
ikan (panjang standar, panjang total, bobot rataan perindividu dan bobot
biomass), penggunaan pakan, kondisi lingkungan (kualitas air), cuaca, dan
kematian ikan, biaya, dan hasil panen. Pengolahan data yang dilakukan
meliputi tingkat pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, feed conversion
ratio (FCR), efisiensi pakan (EP), dan analisis usaha.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji coba budidaya nila salin di tambak yang dilakukan di


Kabupaten Pangkep dan Maros ditunjukkan pada beberapa tabel di bawah ini,
sedangkan mengenai perkembangan laju pertumbuhan dan gambaran kualitas
air di beberapa lokasi uji coba digambarkan pada beberapa grafik di bawah ini.
Dalam kegiatan uji coba ini terdapat 16 petambak/pembudidaya, terdiri dari 3
orang anggota di Gentung kabupaten Pangkep, dan 4 orang pembudidaya di
Dusun lempangan, 9 orang anggota di Dusun Ujung Bulu Desa
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 52
Botolempangan Kabupaten Maros, yang terlibat dengan waktu budidaya 4
bulan. Data tersebut memperlihatkan bahwa dalam budidaya nila di tambak
memberikan prospek yang baik, terutama untuk petambak kecil (small holder).
Sistem budidaya tradisional memberikan peluang besar bisa dikembangkan
untuk kelompok petambak kecil. Dengan sistem budidaya tradisional
memperlihatkan hasil yang baik dengan kisaran kelangsungan hidup di atas
71%, padahal benih yang digunakan pada saat penebaran adalah ukuran 3-5 cm.
Kondisi ini akan semakin bagus kelangsungan hidupnya bila bibit awal
tebarnya lebih besar, seperti yang sering dilakukan di air tawar dan keramba
jaring apung dengan ukuran 8-12 cm, dimana kelangsungan hidupnya bisa
mencapai lebih dari 90%.Sedangkan kegagalan hasil atau rendahnya
kelangsungan hidup pada empat uji coba disebabkan oleh masalah kondisi
lingkungan tambak, yakni terjadinya penurunan volume air di tambak akibat
intensitas panas cahaya matahari yang tinggi, salinitas air yang tinggi, dan
tingkat keseriusan pembudidaya dalam mengelola tambaknya, serta tingkat
adopsi pembudidaya terhadap pengetahuan teknis yang diberikan selama
kegiatan berlangsung.

Laju Pertumbuhan ikan yang diujicobakan


Dari hasil kegiatan di lapangan juga diperoleh data yang
menggambarkan laju pertumbuhan bobot rataan perindividu kedua strain nila
tersebut dimana hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan bobot rataan individu
ikan nila salin jauh lebih baik daripada nila air tawar terutama pada saat
salinitas air tambak pemeliharaan mulai mengalami peningkatan (lihat
Gambar 1). Demikian juga dengan performa laju pertumbuhan panjang rataan
kedua strain yang diujicobakan nila salin menunjukkan kenaikan panjang rataan
yang normal mengikuti perkembangan salinitas tambak sedangkan nila air
tawar mengalami penurunan kemampuan penambahan panjang pada saat
salinitas tambak mengalami peningkatan (lihat Gambar 2).

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 53


Gambar 1. Grafik laju Pertumbuhan ikan nila Salin dengan
nila air tawar yang diujicobakan pada tambak air payau
300.0
236 241
226
Bobot (g)

219
200.0 190.0
146.0
110.3 Nila Air Tawar
100.0
75.0
50.4
46.0 Nila Salin
20.0
20.0
- 5.0
5.0

0 Minggu ke Minggu ke Minggu ke


4 8 12

Gambar 2. Grafik Rataan panjang total (cm) ikan nila salin dan
nila air tawar yang diujicobakan di tambak air payau
25.0
22.8
Panjang Rataan (cm)

20.0 20.5 20.5 20.5 21.4


19.4
17.5 17.5
15.0
12.3
12.0
10.0 10.0
10.0
Nila Air Tawar
5.0 Nila Salin
3.5
3.5

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 54


Pengamatan Kualitas Air
Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung proses pemeliharaan agar
pertumbuhan ikan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Kegiatan ini
dilakukan untuk proses kontrol dan melakukan pemantauan terhadap proses
pertumbuhan ikan budidaya, perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan ikan.
Hasil monitoring bisa menjadi dasar untuk tindakan penangan bila dubutuhkan.
Monitoring kesehatan lebih ditekankan pada adanya indikasi kasus serangan
penyakit. Hasil Monitoring kuaitas air selama pelaksanaan kegiatan uji coba
dilukiskan pada grafik di bawah ini (Gambar 5 dan Gambar 8)

Gambar 5. Grafik Perkembangan Kualitas Air Rata-rata


di Lokasi Percobaan Kabupaten Pangkep
60.00
7.80 7.52 7.66
50.00 7.82 7.80 7.50 7.60
7.50 8.00 7.50 8.93 7.46
7.00 6.88 8.11
14.20 8.20 7.84
40.00 8.45 9.00 7.50 7.62
31.00 32.5032.00
32.50 32.00
30.00 32.00 31.42 31.50 32.00 31.40
29.35

20.00

10.00
4.00 6.00 5.00 6.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.00 2.00

MingguMingguMingguMingguMingguMingguMingguMingguMingguMingguMinggu
IV II IV II IV II IV II IV II IV

Pebruari Maret April Mei Juni Juli

Salinitas (ppt) Suhu DO (Oksigen terlarut) pH

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 55


Gambar 8. Grafik Perkembangan Kualitas Air Rata-rata di
Lokasi Percobaan di Kabupaten Maros
70.00

60.00 7.50
8.20 8.14 7.65 8.20
50.00 7.80 7.50 7.23
6.70 6.23 6.74
12.40 9.20 8.40 7.20
7.50
9.40 8.40 8.20 8.21 3.89 28.40
40.00 6.74 29.70 31.00
34.00 33.00
32.00 32.00
31.50 32.00 32.00 29.50
30.00

20.00
16.00
10.00 10.00 9.00
4.00 5.00 4.00 3.00 4.00
0.00 2.00 1.00 3.00
Minggu I Minggu IV Minggu IV Minggu IV Minggu III Minggu II

Mei Juni Juli Agustus September

Salinitas Suhu/Temperatur DO pH

Kelulushidupan, FCR, Efesiensi pakan dan Produktivitas


Tingginya angka kelulushidupan nila salin yang lebih baik dari nila air
tawar yang dibudidayakan pada tambak air payau membuktikan bahwa adanya
pengaruh positif pada nila salin yang dikembangkan dengan metode hibridisasi,
dimana teknologi ini mengahasilkan ikan nila salin yang selain memiliki
ketahanan tinggi terhadap perubahan salinitas tambak, juga memilki toleransi
positif terhadap seluruh peubah lingkungan tambak (Parameter fisika, kimia
dan biologi). Nila salin yang dibudidayakan sudah menunjukkan adanya
adaftasi yang kuat antara adaftasi lingkungan, adaptasi morfhologi maupun
adaptasi biologis ikan nila yang spesifik cocok dengan kondisi lingkungan

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 56


tambak di Sulawesi Selatan. Performa kelulushidupan masing-masing ikan nila
yang diujicobakan terlukiskan pada Diagram di bawah ini (gambar 9).

Gambar 9. Populasi awal tebar dan Kelulushidupan


(SR) ikan nila yang diujicobakan sampai akhir kegiatan

3,000
2,627
3,000
3,000 1,709 87.57
2,000
1,000 56.98
-
Populasi awal Populasi akhir SR
(ekor) uji coba (ekor)

Nila Air Tawar Nila salin

Tingkat konversi pakan (FCR) ikan nila salin yang


dibudidayakanmenunjukan nilai lebih baik dari ikan air tawar, begitu juga
dengan episiensi pakan dan produktivitas pada akhir kegiatan. FCR nila salin
dari kegiatan ini adalah 0.8 dengan episiensi penggunaan pakan sebesar
sebaliknya efesiensi pakan mencapai 235,6 %. Dari nilai FCR yang diperoleh
dari kegiatan budiadaya ini menunjukkan nilai yang sangat baik dan ini tentu
berdampak pada nilai marginal keuntungan yang dihasilkan dari budiaya ini.
Nilai FCR yang umumnya di kegiatan budidaya nila ada pada kisaran 1.0-1.2.
atau efesiensi pakan antara 80-100%.
Kemampuan beradaftasi nila salin hibrid yang toleran terhadap
lingkungan dan perubahannya diduga karena kedua individu indukan hibrid ini
sudah memiliki toleransi yang sangat baik terhadap lingkungan tambak di
Sulawesi selatan. Dimana ikan yang digunakan sebagai indukan dari hibrida ini
adalah hasil pembesaran uji tantang pada kegiatan ACIAR BBAPT Tahun
2010-2011, sedangkan nila jabir sebagai indukan jantan yang berperan sebagai
Gen donor sudah sangat teruji memiliki kemampuan adaftasi yang sangat baik

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 57


terhadap perubahan lingkungan termasuk perubahan salinitas dan lingkungan
ekstrim.
Rendahnya Produktivitas yang ditunjukan oleh kultivan Sultana (seleksi
unggul nila selabintana), diduga karena strain nila baru hasil seleksi family dan
pengembangan BBPBAT Sukabumi ini baru dirilis dan baru diintroduksi ke
Sulawesi Selatan oleh BBAP Takalar Tahun 2012. Nila Sultana yang
merupakan nila air tawar dan belum terbiasa dipelihara dalam lingkungan
tambak dengan kondisi salin (payau) di Sulawesi Selatan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari kegiatan ujicoba ini dapat disimpulkan bahwa budidaya ikan nila
salin di tambak memberikan peluang yang besar dalam upaya diversifikasi
komoditas untuk meningkatkan produktivitas tambak dan pasokan ikan nila
hasil produksi tambak dalam memenuhi permintaan pasar/masyarakat yang
membutuhkan.Mengingat begitu pentingnya produktivitas tambak bagi
Peningkatan taraf hidup pembudidaya dan keluarganya, maka upaya
pengembangan teknologi budidaya ikan nila salin di tambak payau ini perlu
terus dilakukan untuk mewujudkan pembangunan perikanan budidaya yang
berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas Siregar Djarijah 1995. Pembenihan dan Pembesaran. Penerbit Kanisius,


Jakarta Nila, Jakarta.
Adi Sucipto dan R Eko Priharta, 2005. Pembesaran Nila Merah Bangkok. Penerbit
Penebar Swadaya, Jakarta.
Bambang Cahyono, 2000. Budi Daya Ikan Air Tawar.Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
BPPS, 2009. Sumatera Utara Dalam Angka 2009, Medan.
Cornelis Rintuh, 1994. Metodologi Penelitian Ekonomi. Liberty, Yogyakarta.
Hernanto.F, 1991. Ilmu Usaha Tani. Penerbit Penebar swadaya, Jakarta.
Khairuman, 2002. Budi Daya Ikan di Sawah. Penebar swadaya, Jakarta.
Macinthosh, D.J and Sampson, D.R.T, 1985. Tilapia Culture : Hatchery
methods for Oreochromis mossambicus and O. niloticus. Institute of
Aquaculture, University of Stirling. Scotland. 154 pp
Maskur, S. Hanif, A. Sucipto, D. I. Handayani dan T. Yuniarti. 2004. Standar
Prosedur Operasional Pemuliaan (genetic improvement) ikan nila.
Pusat Pengembangan Induk Ikan Nila Nasional. Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. Sukabumi.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 58


Sucipto, A. 2002. Budidaya ikan nila (Oreochromis sp.). Makalah
disampaikan pada Workshop Teknologi dan Manajemen Akuakultur,
Himpunan Mahasiswa Akuakultur IPB, di Bogor tanggal 20, 21 dan
28 April 2002. Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi. 9 hal

PERBAIKAN TEKNOLOGI PRODUKSI MASSAL BENIH


BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 59
IKAN KAKAP PUTIH (LATES CALCARIFER, BLOCH 1790)
UNTUK MENDUKUNG INDUSTRIALISASI BUDIDAYA LAUT

Dikrurahman, Tinggal Hermawan, Salsal Purba, Ade Harwono

Abstrak

Salah satu faktor yang selama ini menghambat perkembangan usaha


budidaya ikan kakap putih di Indonesia adalah masih sulitnya pengadaan
benih secara kontinyu dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik.
Tingkat kematian yang tinggi pada fase larva dan benih dapat
diakibatkan oleh berbagai faktor, diantaranya kanibalisme, degradasi
lingkungan media pemeliharaan, dan serangan penyakit. Tujuan
kegiatanini adalah untuk memperbaiki teknologi pembenihan ikan kakap
putih dalam upaya peningkatan produksi benih secara kontinyu dan
berkualitas. Metode yang dilakukan adalah serangkaian perbaikan
teknologi pembenihan, mulai dari seleksi dan pemijahan induk hingga
pemeliharaan larva dan benih, termasuk didalamnya adalah pengelolaan
pakan dan pengelolaan kualitas air media pemeliharaan. Selain itu,
beberapa teknologi mutakhir hasil perekayasaan Balai Perikanan
Budidaya Laut (BPBL) Batam juga diterapkan dalam produksi benih ini,
diantaranya adalah melalui perbaikan kualitas air media pemeliharaan
seperti penerapan sistem resirkulasi, sterilisasi air dengan teknik
klorinasi, serta shocking temperature. Produksi benih melalui kegiatan
pemeliharaan di BPBL Batam dengan perbaikan teknologi ini
menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu pertumbuhan yang lebih cepat
(panjang rata-rata 5 cm dalam waktu 40-45 hari), tingkat kelangsungan
hidup sampai dengan ukuran 5 yang lebih tinggi (SR 15%-20%),
kenaikan SR pada produksi benih siap tebar (10 cm) hingga 30%
(sebelumnya SR 40% menjadi 75%) dan tingkat abnormalitas benih
yang lebih rendah (kurang dari 5%). Dengan potensi pasar benih untuk
kegiatan pembesaran yang terbuka luas, segmentasi usaha pembenihan
ikan kakap putih memiliki prospek yang baik. Sebagai contoh,
perhitungan analisa usaha untuk kegiatan pendederan (produksi benih)
ikan kakap putih pada hatcheri skala kecil dalam satu tahun, sebagai
berikut: biaya investasi Rp 50.000.000,-; biaya operasional dan non-
operasional Rp 80.000.000,-; menghasilkan pendapatan Rp
140.000.000,- dan keuntungan Rp 60.000.000,-. Periode Pembayaran
Kembali (Payback Period), dapat sepenuhnya kembali dalam 10 bulan.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 60


Kata Kunci: Kakap Putih, Klorinisasi, Kualitas Air, Pembenihan,
Resirkulasi, Shocking Temperature

PENDAHULUAN

Salah satu komoditas budidaya laut yang mempunyai prospek bagus


adalah ikan Kakap Putih (Lates calcarifer, Bloch 1790). Ikan ini memiliki
beberapa keunggulan seperti warna daging putih, pemeliharaan larvanya relatif
lebih mudah dengan waktu pemeliharaan singkat, tingkat kelangsungan hidup
yang tinggi, pertumbuhan yang cepat, pakan yang digunakan dapat
menggunakan pelet, dan dapat dibudidayakan baik di air laut (sea water)
maupun air payau (brakishwater) (Fermin et.al., 1996; Rimmer, 2003).
Beberapa keunggulan tersebut menyebabkan permintaannya cenderung
meningkat setiap tahunnya baik di pasar lokal maupun ekspor.
Meskipun demikian masih terdapat permasalahan dalam proses
industrialisasinya, salah satu kendala adalah produksi benih masih rendah baik
secara kualitas, kuantitas, maupun kontinuitas. Tingkat kematian yang tinggi
pada fase larva dan benih dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, diantaranya
kanibalisme, degradasi lingkungan media pemeliharaan, dan serangan penyakit.
Demi meningkatkan produksi budidaya ikan Kakap Putih yang berdaya saing
dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan perbaikan pada teknologi produksi
pembenihannya. Tujuan kegiatanini adalah untuk meningkatkan produksi
massal benih ikan kakap putih secara kontinyu dan berkualitas melalui
perbaikan teknologi pembenihan.

BAHAN DAN METODE

Perbaikan teknologi produksi massal benih ikan kakap putih ini


merupakan suatu rangkaian kegiatan berupa ulasan-ulasan dari hasil kegiatan
perekayasaan mengenai pemeliharaan larva dan benih yang telah dilakukan.
Kegiatan produksi benih ikan kakap putih dimulai dari seleksi dan pemijahan
induk hingga pemeliharaan larva dan benih, termasuk didalamnya adalah
pengelolaan pakan dan pengelolaan kualitas air media pemeliharaan. Selain itu,
beberapa teknologi mutakhir hasil perekayasaan Balai Perikanan Budidaya
Laut (BPBL) Batam juga diterapkan dalam produksi benih ini, diantaranya
adalah melalui perbaikan kualitas air media pemeliharaan seperti penerapan
sistem resirkulasi, sterilisasi air dengan teknik klorinasi, serta shocking
temperature, yang secara konsisten diterapkan sejak tahun 2013. Data-
data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil kegiatan produksi massal benih. Hasil data primer yang
diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Sedangkan data sekunder

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 61


diperoleh dari berbagai literatur yang terkait dengan pokok bahasan. Supranto
(2003) menyatakan bahwa data primer (Primary data) yaitu data yang
dikumpulkan sendiri oleh perorangan atau suatu organisasi langsung melalui
objeknya. Sedangkan menurut Sitorus (2003), data primer ialah data yang
diperoleh dari sumber-sumber asli atau sumber pertama. Data sekunder
(secondary data) adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi
berupa publikasi atau sudah dikumpulkan orang atau instansi lain (Supranto,
2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknologi Produksi Massal Benih Ikan Kakap Putih Dan Upaya-Upaya


Perbaikannya
Seleksi dan Pemijahan Induk Ikan Kakap Putih
Induk jantan yang siap dipijahkan bentuk dan ukurannya lebih kecil dari
pada induk betina dengan ukuran 3-4 kg, sedangkan untuk induk betina
umumnya lebih besar dengan berat lebih dari 5 kg. Seleksi induk dilakukan
langsung di tempat pemeliharaan induk dengan menyerok ikan menggunakan
serokan dan dimasukan kedalam bak kecil yang sudah diberi anestetik yaitu
Ethylineglicol monophenilether (dosis 5 ppm) yang bertujuan untuk
memingsankan ikan agar tidak stress dan memudahkan proses seleksi.
Seleksi induk dilakukan dengan cara pengecekan terhadap kelamin
induk, untuk induk jantan dengan cara di stripping sedangkan induk betina
dengan kanulasi. Induk jantan akan mengeluarkan cairan putih dan induk betina
akan menghasilkan telur berbentuk bulat, berwarna bening dan akan terurai
apabila induk telah matang gonad. Induk yang telah matang gonad kemudian
dipindahkan kedalam bak pemijahan yang terbuat dari fiber dengan volume 250
m3 dan sebelumnya telah diisi air laut. Perbandingan induk jantan dan induk
betina adalah berdasarkan bobot yaitu 1:1.
Pemijahan secara alami melalui manipulasi lingkungan dilakukan
dengan menaikkan dan menurunkan air yang bertujuan untuk merekayasa suhu
agar merangsang ikan cepat memijah. Pengurangan air sebanyak 80%
dilakukan pada pukul 07.00 WIB selama kurang lebih 6 jam. Pada pukul 13.00
WIB, air dinaikan kembali seperti biasa. Pemijahan terjadi pada pukul 19.00-
23.00 WIB pada suhu air 29-31°C. Berdasarkan hasil pengamatan, sejak awal
2013, induk ikan kakap putih di BPBL Batam memijah secara alami setiap
bulannya, bahkan pada beberapa bulan tertentu dapat memijah alami sebanyak
2 kali dalam satu bulan (bulan terang dan bulan gelap).
Pengumpulan telur dilakukan menggunakan egg collector, sedangkan
pemanenannya dilakukan pada pagi hari pukul 07.00-08.00 WIB. Telur yang
sudah terkumpul didalam egg kolektor, selanjutnya dipindahkan ke baskom
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 62
kecil untuk dihitung jumlahnya. Kemudian telur diseleksi dengan membuang
telur yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi akan terapung dan berada pada
permukaan air dengan warna transparan, berbentuk bulat, dan kuning telur
berada ditengah, sedangkan telur yang tidak dibuahi akan mengendap didasar
permukaan dan berwarna putih susu. Diameter telur yang dihasilkan berukuran
750-850 µm dengan tingkat pembuahan 80-90%. Penetasan telur dilakukan di
bak inkubasi telur dengan volume 500 liter, yang dilengkapi dengan aerasi
(kekuatan sedang) dan saringan outlet, dan sistem air mengalir. Waktu
penetasan telur berkisar antara 20 – 24 jam setelah pembuahan dengan suhu 29-
31°C. Tingkat penetasan telur yang dicapai berkisar antara 85-90%.
Dari hasil pengamatan terhadap diameter telur, tingkat pembuahan dan
penetasan telur, nilai-nilai yang diperoleh tergolong baik dan memenuhi
standard, dimana berdasarkan Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 (hasil
konsensus) tahun 2013 tentang Ikan kakap putih (Lates calcarifer, Bloch 1790)
bagian 2: benih, kriteria kuantitatif telur ikan kakap putih adalah diameter
minimal 750 µm, tingkat pembuahan minimal 70%, dan tingkat penetasan
minimal 80%.

Pemeliharaan Larva Ikan Kakap Putih


Sebelum dilakukan pemeliharaan larva, terlenih dahulu dilakukan
sterilisasi untuk alat dan bahan yang akan digunakan. Hal yang baru dan secara
konsisten diterapkan di BPBL Batam adalah menyiapkan air laut untuk media
pemeliharaan larva (dan juga benih) dengan klorinasi. Air laut yang akan
digunakan terlebih dahulu di beri klorin dengan dosis 25 ppm selama 12 jam
untuk menghasilkan air laut yang steril dan bebas kontaminan. Guna
menetralkan kandungan klorin dalam air, dilakukan dengan penambahan
larutan tiosulfat dengan dosis yang sama, yaitu 25 ppm. Selanjutnya sebelum
digunakan, air media pemeliharaan larva tersebut dicek untuk memastikan telah
bebas klorin (free chlor). Sedangkan untuk peralatan lainnya, sterilisasi
dilakukan dengan perendaman peralatan pada air yang telah diberi larutan
klorin dengan dosis 50 ppm selama 6 jam, kemudian dibilas hingga bersih.
Proses selanjutnya adalah memindahkan larva yang terdapat didalam
bak inkubasi ke bak pemeliharaan dengan volume 10 m3 secara manual dengan
cara mengambil langsung larva dengan menggunakan ember dan dituang secara
perlahan. Bak pemeliharaan larva ditutup dengan menggunakan plastik, hal ini
dimaksudkan agar tidak ada kotoran yang masuk ke dalam bak, selain itu untuk
menjaga suhu agar tetap stabil. Larva ditebar dengan kepadatan 10-20 ekor per
liter, dengan volume awal air media pemeliharaan adalah 8 m3.
Selama pemeliharaan, larva diberikan pakan alami dan pakan buatan.
Pakan alami yang digunakan adalah fitoplankton jenis Nannochloropsisoculata,
zooplankton jenis Brachionus plicatilis / rotifera, dan naupli artemia. Morizane
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 63
(1991) menyatakan bahwa kualitas pakan dapat mempengaruhi secara langsung
terhadap ketahanan dan perkembangan larva ikan. Larva ikan laut umumnya
bersifat "vision feeding" yakni dalam aktivitas pencarian pakan sangat
mengandalkan daya lihat (Hunter, 1980 dalam Waspada et al., 1993).
Chen dan Long (1991) melaporkan bahwa dalam pembenihan larva
ikan, pakan alami lebih disukai untuk digunakan karena pakan alami memiliki
beberapa keuntungan diantaranya tidak menimbulkan kontaminasi pada air
media kultur, mudah dicerna dan diasimilasi, dapat meningkatkan laju
pertumbuhan, dan mempunyai kandungan nutrisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis pakan buatan. Menurut Lubzens, Tandler dan
Minkoff (1989) dalam Purba et al. (1993), larva yang masih muda, hingga 85
jam setelah menetas, lebih suka Brachionus plicatilis ukuran kecil (40-80 µm)
dan menghindari makan Brachionus plicatilis ukuran besar (90-230 µm).
Nannochloropsisoculata mulai diberikan pada larva berumur D2-D15,
dengan kepadatan 3-5 x 105 sel/ml. Nannochloropsis berfungsi sebagai penahan
cahaya agar cahaya tidak terlalu banyak menembus keperairan, pakan Rotifera ,
penghasil oksigen, dan sebagai buffer (penyangga) kualitas air. Rotifera
diberikan pada larva umur D3-D20. Jumlah awal Rotifera yang diberikan
sebanyak 5-10 indvidu/ml dengan jumlah yang semakin meningkat seiring
dengan pertambahan umur larva. Pemberian Artemia dapat diberikan pada
larva mulai umur D15. Jumlah awal Artemia yang diberikan sebanyak 1
indvidu/ml dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan
pertambahan umur larva. Dosis pakan alami diberikan secara ad libitum (selalu
tersedia).

Pellet

Naupli
Rotife Artemia
Alga ra

0 5 1 1 2 2 3 Hari
0 5 0 5 0
Gambar 3.1. Skema Manajemen Pakan Larva Ikan Kakap Putih

Pakan buatan berupa pelet mulai diberikan pada larva umur D14.
Ukuran pakan pelet untuk larva ikan bervariasi mulai dari 200-800 µm
disesuaikan dengan bukaan mulut ikan. Pakan pelet dapat diberikan secara
manual yaitu dengan menebarkannya sedikit demi sedikit dan secara langsung
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 64
pada media pemeliharaan atau juga dapat dilakukan dengan menggunakan
automatic feeder. Dosis pakan pelet yang diberikan adalah at satiation (sampai
kenyang).
Kualitas air sangat berperan penting dalam pemeliharaan larva ikan
kakap putih. Kualitas air yang kurang baik akan menyebabkan kondisi stress
dan menimbulkan penyakit pada larva yang dipelihara. Pengelolaan kualitas air
pada pemeliharaan larva dilakukan dengan pergantian air, penyiponan, dan
pengukuran parameter kualitas air. Pergantian air dimulai saat larva umur D8 –
D15 sebanyak 5 – 10%. Pergantian air semakin bertambah seiring dengan
bertambahnya umur ikan, hingga pada saat pakan ikan sudah sepenuhnya pelet,
maka air media pemeliharaan dapat diganti secara terus menerus (pergantian air
minimal 100%).
Penyiponan dilakukan untuk membuang sisa hasil metabolisme, pakan
buatan yang tidak temakan dan kotoran lain yang mengendap didasar bak
pemeliharaan. Penyiponan awal dilakukan pada saat larva berumur D 10, dan
selanjutnya dilakukan setiap 2 hari sekali. Saat larva sudah sepenuhnya
mengkonsumsi pelet, penyiponan dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari.
Penyiponan harus dilakukan dengan hati-hati agar kotoran yang ada didasar bak
tidak teraduk dan naik keatas.
Selanjutnya pengelolaan kualitas air juga dilakukan dengan melakukan
pengamatan beberapa parameter kualitas perairan, seperti suhu, salinitas, pH,
dan Oksigen Terlarut. Pengukuran kualitas air ini dilakukan secara rutin setiap
hari pada pagi dan sore hari. Untuk beberapa parameter lainnya, seperti
Ammonia, Nitrat, dan Nitrit, pengukuran dilakukan secara periodik 5-6 hari
sekali. Suhu optimal untuk pemeliharaan larva ikan kakap putih di BPBL
Batam adalah 30-32 0C, salinitas 30-32 ppt, pH 6,5-8,5, dan Oksigen terlarut
minimal 4 mg/L.
Salah satu hal yang mutakhir yang konsisten diterapkan pada
pemeliharaan larva (dan benih) ikan kakap putih adalah shocking temperature
dengan penggunaan water heater guna menjaga suhu media pemeliharaan agar
berada pada kondisi optimal. Berdasarkan hasil pengamatan, larva dan benih
ikan kakap putih akan mengalami gangguan pertumbuhan bila suhu media air
berada di bawah 30 0C selama 3 hari berturut-turut. Penggunaan water heater
ini juga dilakukan bila ditemukan indikasi kondisi stress dan serangan penyakit
pada ikan (black body) serta terjadi kematian yang meningkat dalam 2-3 hari
berturut-turut. Untuk larva, penggunaan water heater dilakukan dengan
menaikkan suhu hingga 35 0C. Setelah melalui proses pemanasan, akan
diperoleh kondisi ikan yang tidak sehat akan mati, sedangkan ikan yang sehat
akan tetap hidup. Selanjutnya ikan yang mati disingkirkan dari bak
pemeliharaan. Proses ini juga menjadi upaya pencegahan sekaligus
penanggulangan serangan penyakit yang menyerang pada fase larva.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 65
Tabel 3.1. Rata-rata Panjang Larva Ikan Kakap Putih

Umur Ikan (Hari Panjang Rata-rata (cm)


ke-)

3 0,2

6 0,3

9 0,4

12 0,5

15 0,7

18 0,9

21 1,2

24 1,6

27 2,1

30 2,7

Panjang
(cm)

3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 Hari Ke-

Gambar 3.3. Grafik Rata-rata Panjang Larva Ikan Kakap Putih


BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 66
Lama pemeliharaan pada fase pemeliharaan larva berkisar antara 25-30
hari dengan ukuran panjang akhir rata-rata adalah 2,5-3,0 cm dan tingkat
kelangsungan hidup 50-60% dihitung dari tebar awal (D1). Kegiatan
pemeliharaan larva melalui perbaikan teknologi ini menunjukkan hasil yang
lebih baik dibandingkan sebelumnya, dimana waktu yang diperlukan untuk
mencapai panjang 2,5-3,0 cm adalah 30-45 hari dan tingkat kelangsungan
hidup dibawah 50%. Selanjutnya pada umur 25 hari, dilakukan pemilahan
ukuran (gradding) untuk menjaga agar pertumbuhan tetap optimal. Untuk
ukuran ikan minimal 2,5-3,0 cm, pemeliharaan selanjutnya masuk pada tahap
pendederan (pemeliharaan benih).

Pemeliharaan Benih Ikan Kakap Putih


Kegiatan pemeliharaan benih merupakan tahap akhir dalam kegiatan
pembenihan dalam produksi benih ikan kakap putih. Produk akhir benih yang
dihasilkan disesuaikan dengan permintaan pasar, biasanya dimulai dari ukuran
5 cm hingga ukuran siap tebar di keramba laut dengan ukuran 7-10 cm.
Tahap pemelihraan benih diawali dengan persiapan dan sterilisasi alat
dan bahan, seperti pada tahap pemeliharaan larva. Selanjutnya dilakukan
penebaran ikan berukuran panjang 2,5-3,0 cm dengan kepadatan 2-3 ekor per
liter. Volume bak pemeliharaan benih yang digunakan di BPBL Batam adalah
10 m3. Kepadatan ikan yang dipelihara dalam bak semakin berkurang seiring
dengan bertambahnya ukuran panjang dan bobot ikan.
Pakan yang diberikan adalah pakan buatan (pelet) yang ukurannya
bervariasi mulai dari 1,0-4,0 mm disesuaikan dengan bukaan mulut ikan dan
bertambahnya umur ikan. Dosis pakan pelet yang diberikan sebanyak 7-10%
dari total biomass. Pakan dapat diberikan secara manual atau dapat
menggunakan automatic feeder.
Pengelolaan air pada teknik pemeliharaan benih ikan kakap putih
sebelumnya adalah dengan pergantian air laut langsung dari tandon yang setiap
hari diganti (flowthrough). Pergantian air ini mempunyai efek yang kurang
baik, terutama pada saat musim hujan yang menyebabkan perubahan dan
fluktuatsi pada beberapa parameter kualitas air (suhu, salinitas, pH, DO,
turbidity, kandungan bakteri, dan lain-lain). Upaya perbaikan teknologi telah
diterapkan pada tahap pemeliharaan benih ini, yaitu dengan menerapkan sistem
resirkulasi air. Air laut yang sudah diklorinasi digunakan sebagai air media
pemeliharaan, dan selanjutnya diresirkulasi selama 24 jam.
Pada tahap pendederan ini juga dapat dilakukan shocking temperature
dengan penggunaan water heater, bila ditemukan kondisi-kondisi seperti pada
pembahasan sebelumnya di fase pemeliharaan larva. Perbedaannya adalah pada
tahap pendederan ini, pemanasan dilakukan hingga suhu air 37-39 0C. Tidak
ada pemberian pakan selama proses pemanasan ini berlangsung.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 67
Pemilahan ukuran dilakukan 5-6 hari sekali untuk menjaga agar
pertumbuhan tetap optimal. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan alat
gradding yang disesuaikan dengan ukuran ikan, sehingga prosesnya dapat
berlangsung lebih cepat dan mengurangi kondisi stress pada ikan. Sedangkan
panen dilakukan bila benih akan didistribusikan, baik untuk kegiatan
pembesaran di keramba BPBL Batam maupun untuk penjualan. Panen benih
dapat dilakukan mulai ukuran ikan 5 cm sampai dengan 10 cm yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan.
Berdasarkan hasil pengamatan, produksi benih dengan upaya perbaikan
teknologi di BPBL Batam menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan
teknik pemeliharaan sebelumnya, yaitu pertumbuhan yang lebih cepat (panjang
rata-rata 5 cm dalam waktu 40-45 hari dari umur D1) dibandingkan sebelumnya
(panjang rata-rata 5 cm dalam waktu 50-60 hari dari umur D1), tingkat
kelangsungan hidup sampai dengan ukuran 5 cm yang lebih tinggi (SR 15%-
20% dihitung dari umur D1) dibandingkan sebelumnya (SR kurang dari 10%
dihitung dari umur D1), kenaikan SR pada produksi benih siap tebar (10 cm)
hingga 30% dihitung dari ukuran ikan 5 cm (sebelumnya SR 40% menjadi
75%), dan tingkat abnormalitas benih yang lebih rendah (kurang dari 5%)
dibandingkan sebelumnya (10%-20%).

Tabel 3.2. Rata-rata Panjang Benih Ikan Kakap Putih

Umur Ikan Panjang Rata-rata


(Hari ke-) (cm)
30 2,5
35 3,2
40 4,1
45 5,1
50 6,1
55 7,0
60 7,8
65 8,5
70 9,0
75 9,5
80 10,0

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 68


Panjang
(cm)

30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 Hari ke-

Gambar 3.4. Grafik Rata-rata Panjang Benih Ikan Kakap Putih

KESIMPULAN

Produksi benih melalui kegiatan pemeliharaan di BPBL Batam dengan


upaya perbaikan teknologi pemeliharaan menunjukkan hasil yang signifikan,
yaitu pertumbuhan yang lebih cepat (panjang rata-rata 5 cm dalam waktu 40-45
hari), tingkat kelangsungan hidup sampai dengan ukuran 5 yang lebih tinggi
(SR 15%-20%), kenaikan SR pada produksi benih siap tebar (10 cm) hingga
30% (sebelumnya SR 40% menjadi 75%) dan tingkat abnormalitas benih yang
lebih rendah (kurang dari 5%).

Dengan potensi pasar benih untuk kegiatan pembesaran yang terbuka


luas, segmentasi usaha pembenihan ikan kakap putih memiliki prospek yang
baik. Sebagai contoh, perhitungan analisa usaha untuk kegiatan pendederan
(produksi benih) ikan kakap putih pada hatcheri skala kecil dalam satu tahun,
sebagai berikut: biaya investasi Rp 50.000.000,-; biaya operasional dan non-
operasional Rp 80.000.000,-; menghasilkan pendapatan Rp 140.000.000,- dan
keuntungan Rp 60.000.000,-. Periode Pembayaran Kembali (Payback Period),
dapat sepenuhnya kembali dalam 10 bulan.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 69


DAFTAR PUSTAKA

APEC / SEAFDEC . 2001. Pembudidayaan dan Manajemant Kesehatan Ikan


Kerapu. APEC, Singapore dan SEAFDEC, Iloilo, Philiphines
Chen, X. Q. dan L. J. Long. 1991. Research and production of live feeds in
china. Rotifers and microalgae culture system. Proceedings of a U.
S.- Asia Workshop. Edited by Wendy Fulks and Kevan L. Main. The
Ocean Institute. Hawaii.
Cheong, L. (1989). Status of knowledge on farming of Sea Bass (Lates
calcarifer) in South East Asia. Ifremer. Actes De Colloque.
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama.
Yogyakarta. 163 hal.
FAO (2008). FAO Fisheries Yearbook Statistics. FAO Fisheries Departement.
Fermin, A.C, Ma. Edna C., Bolivar dan Gaitan A. (1996). Nursery rearing of
the Assian Sea Bass, Lates calcarifer, fry in illuminated flating net
cages with different feeding regims and stcking densities. Aquatic
Living Tesources.
Franco-Nava, M.A, Blancheton, J.P, Deviller, G. Charrier, A. Le-Gall, J.Y.
(2004). Effect of fish size and hidarulic regime on particular organic
matter dynamics in a recirculating aquaculture system. Aquaculture
239.
Hariati, Anik Martinah. 1989.Makanan Ikan. Diktat Kuliah –
NUFFIC/UINIBRAW/LUW/FISH Fisheries Project. Universitas
Brawijaya. Malang.
Huet, M. 1971. Textbook of Fish Culture. Fishing News Book Ltd.,London
Kungvankij, P. B.J. Pudadera J.R., L.B. Tir J.R., dan Potates I.O. (1986).
Biology and culture of Seabass (Lates calcarifer). Training Manual
Selected Publication. NACA. Bangkok.
Lio Po Gilda, Celia R Lavilla and Erlinda R Cruz Lacierda.2001. Health
Management in Aquaculture. South East Asian Fisheries Development
Center.Aquaculture Department.Iloilo. Philiphines.181p.
Maen, Y., De La Pefia, L.D dan Cruz-Lacierda, E.R. (2004). Mass mortalities
assosiated with VNN in Hatchery-reared Seabass (Lates calcarifer) in
te Philippines. JARQ 38.
Morizane, T. 1991. A Review of automatization and mechanization used in
production of Rotifers in Japan. ProceedingsofaU.S. – AsiaWorkshop.
Edited by Wendy Fulks and Kevin L. Main. The Ocean Institute.
Hawaii.
Nirmala. K. 2001. Manajemen Kualitas Media Budidaya. Laboratorium
Lingkungan Budidaya Jurusan Budidaya Perairan FakultasIlmu
Kelautan Dan Perikanan. IPB.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 70


Purba, Waspada, Mustahal dan Susanti Diani. 1993.Kelangsunganhidup dan
pertumbuhan larva kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus,umur
sampai 35 hari dengan padat tebar berbeda. Jurnal Penelitian Budidaya
Pantai.Vol. 9. No.5:12-20
Rimmer, M.A. (2003). Barramundi. In : J.S. Lucas & P.C Southgate (eds).
Aquaculture : Farming Aquatic Animal and Plant 364-381
Romimohtarto, K. dan Sri Juwana. 2009. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan
Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Roza D, F Johnny dan Zafran. Penyakit infeksi pada Ikan Laut Budidaya dan
upaya Pengendaliannya. Dipresentasikan sebagai bahan Diseminasi
Budidaya laut Berkelanjutan I. 10 – 30 April. BBRBL Gondol Bali. 10
hal.
Sigit, S. 1990. Analisa Break Even. Rancangan Linear Secara Ringkas dan
Praktis. BPFE Yogyakarta. Hal 1-29
Sitorus, M. 2003. Berkenalan Dengan Sosiologi 2. Erlangga. Jakarta.
Supranto, J. 2003. Metode Riset:Aplikasinya Dalam Pembesaran. Edisi Revisi
Ke-7. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Slamet, B., Suko Ismi dan Titiek Aslianti. 2002.Produksi Benih Ikan Kerapu
Hasil Pembenihan Di Bali. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya
Laut, Gondol.
Zafran, Des Roza, Isti Koesharyani, Fris Johni, Ketut Mahardika and Kei
Yuasa. 1998. Manual for Fish Diseases Diagnosis .Marine and
Crustacean Diseases in Indonesia.Gongol Research Station and JICA.
44p
Waspada, Resmiyati Purba, Susanti Diani.1993. Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Larva Ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus) Pada Pemberian Intensitas Cahaya yang Berbeda
Selama Malam Hari. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. Vol. 9. No. 5 :
1-11.

PENINGKATAN PRODUKSIPEMBESARAN
IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer, Bloch)
DI KERAMBA JARING APUNGMELALUI
PERBAIKAN PAKAN

Sahidan Muhlis, Muhammad Sanuri, Mohamad Aola HM dan Meiyer Siregar

ABSTRAK
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 71
Pemeliharaan benih ikan kakap putih 15 cm (±20 gram) di dalam KJA
berukuran 4 m x 4 m , dengan padat tebar 2.000 ekor per jaring.
Sebelum benih ikan ditebar terlebih dahulu dilakukan vaksinasi vibro
polyvallen. Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari dengan dosis 3 % -
10 % dari biomassa, persentase pakan disesuaikan berdasarkan ukuran
ikan. Untuk memacu pertumbuhan dan daya tahan tubuh diberikan
penambahan terhadap pakan berupa vitamin C dan probiotik dengan
dosis 2 gram per kg pakan, yang diberikan sebanyak 2 kali per minggu.
Grading (pemilahan ukuran) dan sampling dilakukan setiap 2 minggu
sekali pada saat ukuran di bawah 100 gram, dan ukuran di atas 100 gram
dilakukan 1 kali dalam sebulan. Sedangkan untuk pencegahan terhadap
serangan parasit dilakukan perendaman dengan menggunakan air tawar
setiap satu minggu sekali.
Masa pemeliharan 5 bulan sudah dilakukan panen selektif dengan
ukuran rata-rata 500 gram, sedangkan selesai panen dilakukan pada
bulan ke 7 dengan total panen 3200 kg dan angka kelulushidupan
sebesar 80 %. Rasio perbandingan pakan sebesar 1: 2. Analisa usaha
pembesaran ikan kakap putih di kja adalah sebagai berikut; dimana
biaya investasi adalah sebesar Rp153.000.000., meliputi kja HDPE 4
lubang beserta rumah jaga dan peralatan kerja lainnya. Sedangkan biaya
operasional sebesar Rp183.200.000,. meliputi pembelian benih dan
pakan, obat-obatan serta biaya tak terduga lainnya. Pendapatan dari
penjualan ikan adalah 3.200 kg x Rp75.00., = Rp 240.000.000., sehingga
laba yang didapat adalah sebesar Rp56.800.000., dengan BEP 2,443
maksudnya titik impas produksi akan tercapai bila produksi minimal
2.443 kg.
Kalau dibandingkan dengan pemeliharaan sebelumnya yang dilakukan
di KJA angka kelulushidupan jarang mencapai angka 50 % dan waktu
panen yang dibutuhkan biasanya berkisar 6-8 bulan. Dengan demikian
capaian tingkat kelulushidupan 80 % dan waktu pemeliharaan yang bisa
dipersingkat menjadi 7 bulan sudah merupakan suatu efisiensi dalam
suatu produksi pembesaran ikan kakap putih di KJA, sehingga
peningkatan produksi tersebut juga akan berdampak terhadap
penghasilan pembudidaya.
Kata kunci : ikan kakap putih, kja, perbaikan pakan, pertumbuhan
dan kelulushidupan

PENDAHULUAN

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 72


Permasalahan yang sering muncul dalam pembesaran ikan kakap putih
di KJA adalah seringnya ikan kakap putih terserang penyakit terutama sekali
adalah jenis parasit. Pada musim-musim tertentu kualitas air di perairan Batam
dan sekitarnya sangat jelek, terutama pada saat hujan turun tingkat kekeruhan
tinggi akibat dari air permukaan tanah yang terbawa ke laut. Untuk mengatasi
hal tersebut maka teknisi di KJA mengambil tindakan dengan perendaman air
tawar terhadap ikan kakap putih.
Permasalahan lain dalam pembesaran ikan kakap putih di KJA adalah
kematian benih ikan kakap putih pada awal tebar. Ukuran tebar benih ikan di
KJA sangat mempengaruhi tingkat kelulushidupan, semakin besar ukuran tebar
maka tingkat kelulushidupannya juga akan semakin tinggi. Selain itu aplikasi
vaksin sebelum tebar untuk pembesaran ikan kakap putih mutlak dilakukan.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah nilai gizi dari pakan yang diberikan
kepada ikan kakap putih yang dipelihara dalam KJA harus seimbang dan
mempunyai nilai gizi yang. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui
tingkat pertumbuhan dan tingkat kelulushidupan selama pemeliharaan di KJA.

BAHAN DAN METODE

Persiapan Benih
Sebelum dilakukan penebaran benih ada beberapa hal yang harus
diperhatikan. Asal benih ikan kakap putih yang ditebar di keramba jaring apung
idealnya berasal dari panti benih (hatchery). Pemilihan benih merupakan faktor
penting dalam memulai usaha budidaya ikan secara umum. Benih yang
digunakan pada fase pendederan dan penggelondongan dapat disiapkan terlebih
dahulu sebelum ditebar dalam KJA. Ukuran tebar sebaiknya lebih besar dari 10
cm (10-15 gram). Benih yang berasal dari panti benih mempunyai
beberapa keunggulan yaitu ukurannya seragam serta kualitas dan kuantitas
dapat terjaga. Benih hasil tangkapan alam mempunyai banyak kelemahan yaitu
ukuran sering tidak seragam, jumlah dan waktunya tidak dapat ditentukan,
sering terdapat luka akibat penangkapan dan transportasi.
Vaksinasi terhadap benih ikan kakap putih mutlak dilakukan, hal tersebut untuk
mencegah serangan bakteri pathogen. Aplikasi vaksin dapat diberikan dengan
cara penyuntikan terhadap benih ikan kakap putih yang sudah berukuran ≥10
cm. Biasanya bakteri yang sering menyerang ikan kakap putih adalah bakteri
streptococcus dan bakteri vibrio.

Tebar Benih
Setelah persiapan wadah dan persiapan benih, tahap selanjutnya adalah
penebaran benih. Hal yang penting dalam penebaran benih adalah aklimatisasi.
Aklimatisasi adalah proses pengadaptasian/penyesuaian ikan terhadap
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 73
lingkungan barunya. Aklimatisasi perlu dilakukan karena adanya perbedaan,
terutama perbedaan terhadap suhu dan salinitas antara daerah asal benih atau
media transportasi dengan kondisi air tempat pemeliharaan. Apabila sistem
transportasi menggunakan kantong plastik, maka aklimatisasi dilakukan dengan
cara mengapungkan plastik tersebut hingga suhu dalam plastik dengan media
pemeliharaan hampir sama. Tahap selanjutnya membuka kantong plastik dan
memasukan air media pemeliharaan kedalam kantong sedikit demi sedikit.
Setelah kurang lebih 10 menit, biasanya ikan akan aktif dan kantong plastik
dapat dimiringkan sehingga ikan dapat keluar dengan sendirinya.

Padat Tebar
Padat tebar benih merupakan faktor yang sangat menentukan
keberhasilan usaha pembesaran ikan. Padat tebar berkaitan erat dengan
pertumbuhan dan angka kelulushidupan. Apabila kepadatan terlalu tinggi
pertumbuhannya lambat akibat adanya persaingan ruang, oksigen dan pakan.
Seiring dengan bertambahnya ukuran dan berat ikan, maka padat tebar harus
dikurangi secara bertahap. Adapun standar padat tebar ikan kakap putih adalah:

Tabel 2. Kepadatan Tebar ikan Kakap Putih di KJA


Fase Pemeliharaan Ukuran Tebar Padat Tebar
Gram Cm (ekor/m3)
Pendederan 10-15 10-12 60-75
Penggelondongan 40-50 14-15 50-60
Pembesaran 75-100 17-20 40-50
150-200 20-25 25-30
≥ 200 >25 10-20
Pemantauan Populasi dan Pertumbuhan
Pemantauan populasi menghasilkan informasi kelangsungan hidup ikan
sedangkan pemantauan bobot rata-rata akan menghasilkan informasi laju
pertumbuhan dan kondisi kesehatan ikan. Pemantauan ikan dilakukan dengan
cara sampling. Sampling adalah pengambilan sejumlah contoh ikan kemudian
diukur panjang dan bobotnya..

Sampling ikan dilakukan minimal sebulan sekali dengan mengambil


ikan secara acak sebanyak 10% dari jumlah ikan yang ada. Pada saat sampling
dilakukan perhitungan, pengukuran panjang dan beratnya. Hasil sampling
dapat menentukan padat tebar, jumlah pakan, ukuran wadah dan ukuran mata
jaring.Sampling ikan dilaksanakan secara teratur untuk mengetahui berat rata-
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 74
rata ikan dalam satu kantong jaring apung. Dengan adanya sampling akan
diketahui pertumbuhan, berat biomassa total, penentuan jumlah pakan harian
dan waktu gradding. Pelaksanaan sampling dilakukan setiap 2 minggu sekali
pada ukuran ikan dibawah 50 gram dan sebulan sekali untuk ukuran ikan diatas
50 gram.

Pakan dan Pemberian Pakan


Pemilihan jenis pakan untuk ikan kakap putih harus didasarkan pada
kemauan ikan untuk memangsa pakan yang diberikan, kualitas, nutrisi dan nilai
ekonomisnya. Pakan yang paling disenangi ikan kakap putih adalah berupa
pakan rucah segar. Akan tetapi pada daerah tertentu untuk mendapatkan ikan
rucah segar tidak tersedia setiap saat dan tergantung musim, sehingga harganya
melonjak serta bersaing dengan ikan untuk dikonsumsi manusia. Sedangkan
penggunaan pakan buatan (pellet) lebih mudah dan gampang serta
ketersediaannya bisa diatur.
Frekuensi dan waktu pemberian pakan yang tepat perlu diperhatikan
agar mengahasilkan pertumbuhan dan angka kelulusan hidup yang baik serta
penggunaan pakan yang efisien. Hal ini berhubungan dengan kecepatan
pencernaan dan pemakaian energi. Pada tahap awal pemeliharaan pemberian
pakan dilakukan sesering mungkin minimal 4 kali sehari atau sampai ikan
kenyang. Apabila ikan sudah tumbuh lebih besar pemberian pakan dapat
dilakukan 2-3 kali sehari. Pemberian pakan jangan sampai meninggalkan sisa di
dasar wadah pemeliharaan karena sisa pakan yang tersisa akan menjadi incaran
ikan-ikan di luar terutama ikan buntal yang berbahaya dan dapat merobek
jaring, selain itu juga sisa pakan yang menumpuk di dasar akan menyebabkan
sumber penyakit.
Penambahan vitamin C dan multivitamin pada ikan laut dapat
menambah kekebalan tubuh ikan, mempercepat pertumbuhan, mencegah
terjadinya pembengkokan badan, dan memepertinggi angka kelulushidupan.
Selain daripada itu pemberian vitamin C dan multivitamin juga dapat
meningkatkan kesehatan ikan sehingga warna tubuh lebih cerah dan gerakan
lebih agresif. Vitamin C adalah tergolong vitamin yang larut dalam air dan
mudah rusak sehingga disarankan pemberian vitamin C pada ikan dilakukan
bersamaan dengan pemberian pakan dengan cara mencampurkannya atau
dibuat dalam bentuk pellet basah (moist pellet). Dosis pemberian Vitamin C
adalah 2 gram/kg berat pakan dan diberikan 2 kali seminggu.
Selain pemberian vitamin dan multivitamin pemberian probiotik juga
perlu ditambahkan untuk menjaga kesehatan pencernaan ikan kakap putih yang
dipelihara. Dosis probiotik yang dicampurkan melalui pakan adalah 2 gram per
kilogram pakan dan diberikan dua kali dalam seminggu.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 75


Penentuan jumlah pakan harian harus diperhatikan karena berhubungan
dengan pertumbuhan, biaya produksi dan lingkungan. Penghitungannya
berdasarkan berat biomassa ikan dikali dengan dosis pemberian pakan. Jumlah
pakan sangat erat kaitannya dengan suhu perairan. Pada suhu yang rendah ikan
kurang bernafsu makan. Jumlah pakan meningkat seiring dengan peningkatan
temperatur dan menurun sesuai dengan peningkatan ukuran ikan.

Penggantian dan Pembersihan Jaring


Penggantian dan pembersihan waring/jaring selama masa pemeliharaan
mutlak harus dilakukan. Jaring yang kotor akibat penempelan lumpur atau
biota penempel seperti: berbagi jenis kerang, teritip dan tumbuh-tumbuhan,
dapat menghambat sirkulasi air, pertukaran air dan oksigen. Kalau dibiarkan
hal ini dapat menghambat pertumbuhan kerapu dan menimbulkan penyakit.
Penggantian jaring dilakukan apabila sudah terlihat kotor. Kadar
kekotoran jaring tergantung pada kondisi perairan setempat dan ukuran jaring.
Jaring yang mempunyai mata jaring yang lebih kecil akan lebih cepat kotor,
biasanya setelah 2 minggu perlu adanya pergantian jaring.
Jaring yang kotor sebaiknya dijemur kemudian disemprot atau
dibersihkan agar dapat dipergunakan lagi. Sebelum digunakan kembali jaring
perlu diperiksa sehingga apabila ada kerusakan atau putusnya tali jaring dapat
diperbaiki. Ikan Baronang yang bersifat pemakan tumbuhan dapat membantu
membersihkan jaring dari biota penempel khususnya dari jenis tanaman. Untuk
jaring berukuran 3x3x3 m dapat dimasukkan 15-20 ekor ikan Baronang.

Pengelolaan Kesehatan Ikan


Salah satu bagian tidak terpisahkan dari budidaya adalah masalah
kesehatan ikan. Bagaimana bagusnya lokasi, lengkapnya prasarana dan benih
yang bagus namun kalau penanganan masalah kesehatan tidak maksimal semua
itu akan berakibat sia-sia. Langkah-langkah antisipatif yang efektif dan efesien
merupakan suatu kebutuhan untuk tercapainya keberhasilan usaha ini
Salah satu kegiatan yang perlu dilakukan adalah monitoring kondisi kesehatan
ikan. Untuk pencegahan penyakit dengan tepat dan penyakit dapat
ditanggulangi secara dini. Pengawasan atau monitoring itu dapat dilakukan
dengan cara :
1. Secara reguler memonitor kondisi ikan menyangkut pakan dan
lingkungannya.
2. Mencatat dengan baik tentang tingkah laku ikan secara periodik, baik
kondisi fisik, terjadinya serangan penyakit, model kematian dan
perlakuan yang diberikan.
3. Mengawasi kondisi lingkungan budidaya, misalkan segera membuang
ikan yang telah mati agar tidak menular dan mengkarantina ikan sakit.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 76
Panen
Teknik panen ikan yang dibudidayakan dalam KJA relatif mudah,
namun demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar ikan yang akan
dipanen tetap hidup dan tidak luka pada saat pemanenan. Pelaksanaan panen
sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari pada saat cuaca teduh, hal tersebut
untuk menghindari ikan stress dan kematian. Sebelum panen ikan harus
dipuasakan. Lama pemuasaan tergantung jarak tempuh dan ukuran ikan.
Biasanya lama pemuasaan 24-72 jam. Hal tersebut untuk menghindari ikan
muntah atau ikan kembung (masuk angin) dan berakibat kematian pada saat
packing atau pengangkutan. Alat panen yang digunakan sebaiknya berupa
serok terbuat dari bahan jaring yang halus. Serok yang kasar dapat
menimbulkan luka pada ikan sehingga dapat menyebabkan ikan stress dan
mudah terserang penyakit. Selain itu ikan juga perlu disampling dan digrading
untuk mengetahui biomass dan memisahkan ikan yang sudah siap jual dengan
yang belum masuk ukuran jual atau ikan yang cacat.
Adapun langkah langkah dalam pemanenan yaitu :
 Melepaskan (membuka) Pemberat disetiap sudut jaring
 Tarik jaring perlahan-lahan dengan mengunakan kayu sebagai
pembatas sehingga ikan terkumpul pada sudut/bagian.
 Perlahan-lahan ikan diserok dengan mengunakan serokan dan
kemudian ditimbang bobotnya.

KESIMPULAN

Budidaya pembesaran ikan kakap putih di KJA pada kondisi daerah tertentu
banyak timbul permasalahan. Rendahnya tingkat kelulushidupan, besarnya
rasio konversi pakan dan lambatnya pertumbuhan. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut ada beberapa hal yang harus diterapkan, antara lain :
- Memperbesar ukuran tebar dari yang biasanya 5-7 cm menjadi ≥10 cm
- Aplikasi vaksin sebelum di tebar ke KJA
- Penjarangan kepadatan tebar
- Penambahan vitamin C, multivitamin dan probiotik terhadap ransum pakan
- Melakukan tindakan preventif terhadap serangan parasit dengan
perendaman air tawar secara periodik
- Pendeteksian dini terhadap gejala penyakit
Dengan adanya penambahan vitamin C, multivitamin dan probiotik pada
ransum pakan yang diberikan kepada ikan kakap putih memberikan dampak
yang positif terhadap pertumbuhan, tingkat kelulushidupan dan angka rasio
konversi pakan ikan kakap putih.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 77


DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. 2000. Meramu Pakan Ikan Kakap Putih : Bebek, lumpur, Macan dan
Malabar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hardjono, 1987. Biologi dan Budidaya Kakap Putih (Lates calcarifer) INFISH
Manual seri No. 47. Ditjen Perikanan-International Development
ResearchCentre. Jakarta
Julinasari dkk , 2002. Pengelolaan Kesehatan Ikan Budidaya Laut. Balai
Budidaya Laut Lampung. Seri Budidaya laut No 10.
Johni F, Roza. D dan Zafran. 2005. Infeksi Bakterial pada Ikan Laut Budidaya
dan Upaya Pengendaliannya. Dipresentasikan sebagai bahan Diseminasi
Budidaya Laut Berkelanjutan 10 – 13 April. BBRBL Gondol Bali. 11
hal.
Mokoginta. Ing, Dr. 1997. Formulasi Pakan Buatan untuk Ikan Laut.
Pertemuan Koordinasi dan Pemantapan Perekayasaan Teknologi Lintas
UPT. Direktorat Jenderal Perikanan.
Slamet,B.: A. Ismail; Wedjatmiko; dan A. Basyarie. 1995. Teknik Budidaya
Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer). Prosiding Seminar Sehari Hasil
Penelitian Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Bojonegoro–
Serang. Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Bojonegoro.
Serang. p. 11-21
Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johny and K. Yuasa.2001. Marine Finfish
and Crustacean Diseases in Indonesia. Gondol research Institute for
mariculture and JICA.

INOVASI PRODUKSI PAKAN ALAMI CACING TUBIFEX

Herry*, Sofi Hanif*, Iis*, Evi, Ece Ridwan**, Khojiah**,dan Ardi**


Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Direktorat
Perikanan Budidaya,

Abstrak

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 78


Cacing tubifex adalah salah satu alternatif pakan alami ikan terutama
pada fase larva dan benih ikan. Tubifex memiliki kandungan nutrisi
yang baik dan cenderung seimbang dan sangat baik untuk pertumbuhan
ikan. Didalam tubuh cacing tubifex terkandung kira-kira 57% protein
dan 13% lemak (S. Alex, 2011). Cacing tubifex disebut juga cacing
lumpur (sludge worm), cacing limbah(sewage worm), ular kapur (lime
snake), karena dapat hidup dengan baik pada perairan yang banyak
mengandung limbah dan endapan/sedimen lumpur organik bahkan dapat
hidup pada perairan yang sangat tercemar bahan organik yang hampir
tidak ada spesies lainnya dapat bertahan. Pembentukan kista pelindung
dan penurunan aktifitas metabolime merupakan strategi hidup cacing
tubifex untuk dapat bertahan dalam kondisi kekeringan dan kekurangan
makanan. Cacing tubifex ini banyak digunakan sebagai makanan untuk
larva dan benih ikan, baik dalam bentuk hidup, beku kering, atau dalam
bentuk pellet. Namun kebanyakan sumbernya bukan hasil budidaya
tetapi berasal dari hasil penangkapan dari alam. Perawatan harus
dilakukan ketika cacing tubifex digunakan sebagai pakan ikan pada
akuarium. Kajian budidaya dengan pendekatan teknik produksi skala
usaha masih terbatas. Dari hasil perekayasaan ini di dapatkan data
jumlah tubifek sebanyak 257 kg dari bulan mei hingga november 2013
yang berasal dari tiga blok kolam ukuran 2x2 m2 dengan menggunakan
bahan pakannya dari ampas tahu, molase dedak halus dengan jumlah
tebar awal bibit sebanyak 30 kg.

Kata Kunci : Cacing tubifex

PENDAHULUAN
Latar belakang
Cacing tubifex adalah salah satu alternatif pakan alami ikan terutama
pada fase larva dan benih ikan. Tubifex memiliki kandungan nutrisi yang baik
dan cenderung seimbang dan sangat baik untuk pertumbuhan ikan. Didalam
tubuh cacing tubifex terkandung kira-kira 57% protein dan 13% lemak (S.
Alex, 2011).
Cacing tubifex disebut juga cacing lumpur (sludge worm), cacing
limbah(sewage worm), ular kapur (lime snake), karena dapat hidup dengan baik
pada perairan yang banyak mengandung limbah dan endapan/sedimen lumpur
organik bahkan dapat hidup pada perairan yang sangat tercemar bahan organik
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 79
yang hampir tidak ada spesies lainnya dapat bertahan. Pembentukan kista
pelindung dan penurunan aktifitas metabolime merupakan strategi hidup cacing
tubifex untuk dapat bertahan dalam kondisi kekeringan dan kekurangan
makanan. Kebiasaan makan cacing tubifex adalah dengan cara mencerna
sedimen dan memperoleh nutrisi dengan mencerna bakteri secara selektif dan
menyerap molekul melalui dinding tubuh (Gilbert dan Granath 2003).
Cacing tubifex ini banyak digunakan sebagai makanan untuk larva dan
benih ikan, baik dalam bentuk hidup, beku kering, atau dalam bentuk pellet.
Namun kebanyakan sumbernya bukan hasil budidaya tetapi berasal dari hasil
penangkapan dari alam. Perlu diperhatikan bahwa cacing tubifex biasanya
sangat mudah mengkontaminasi wadah air dan dapat menjadi inang Myxobolus
cerebralis, yang menyebabkan penyakit pada populasi ikan. Perawatan harus
dilakukan ketika cacing tubifex digunakan sebagai pakan ikan pada akuarium.
Kajian budidaya dengan pendekatan teknik produksi skala usaha masih
terbatas.

Tujuan
Menghasilkan cacing tubifex sebagai pakan alami bagi larva dan benih ikan.

METODE
a. Pembuatan wadah kultur
Wadah kultur cacing tubifek terdiri dari 3 blok kolam yang terdiri dari kolam-
kolam tembok persegi empat yang berukuran 2x2 m2 (lampiran 1). Setiap
blok terdiri dari 12 s.d. 18 kolam persegi empat. Kolam diberi pelindung
dari terpal dan paranet untuk melindunginya dari hujan. Air dialirkan
secara grafitasi melalui pipa dari sumber air ke dalam wadah kultur yang
berisi media kultur

b. Pembuatan Media kultur


Media kultur dibuat dari media campuran lumpur dan dedak, dan pupuk
organik atau bahan-bahan limbah organik. Cara pembuatan media kultur
cacing tubifek dapat dilihat pada lampiran 2. Media campuran tersebut di
masukan kedalam wadah kultur dan dihamparkan secara merata dengan
ketebalan 5-10 cm. Tambahkan air ke media dan dibiarkan selama 6-7 hari
sampai tidak berbau.

c. Penanaman cacing Tubifex

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 80


Setelah media dalam wadah kultur direndam selama 6-7 hari, bibit cacing
ditebar kedalam lubang-lubang kecil dalam media kultur dengan jarak
antara lubang sekitar 10-15 cm

d. Pemeliharaan dan pemanenan cacing Tubifex


Selama pemeliharaan, kedalam media dialirkan air secara terus menerus
dengan debit air yang cukup untuk menjamin ketersediaan oksigen dalam
media. Pemanenan dapat dilakukan setelah masa pemeliharaan 8-10 hari.
Pemeliharaan cacing dilakukan selama 1-2 bulan per periode. Selama
pemeliharaan cacing diberi pakan sebanyak 100% dari bobot biomassa
dengan frekuensi 3 hari sekali. Bahan pakan yang diberikan berupa ampas
tahu.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemeliharaan cacing tubifex
Pemeliharaan cacing tubifex dilakukan pada 3 blok yaitu Blok A (16
bak), Blok B (12 bak) dan Blok C (12 bak). Pemeliharaan cacing tubifex
dilakukan dengan cara diberi pakan bahan limbah yaitu ampas tahu. Kegiatan
harian selama pemeliharaan sebagai berikut:
1. Mempertahankan kontinuitas air untuk menjaga ketersediaan oksigen
untuk cacing tubifex
2. Memberi pakan dengan ampas tahu setiap 1 hari sekali untuk
pemenuhan kebutuhan gizi cacing tubifex.
3. Memastikan bibit cacing harus terjaga dari hama (keong), yang
biasanya menjadi pemangsanya dengan cara membuang keong dari
media.
4. Pemupukan tambahan menggunakan pupuk kandang, dilakukan setiap
2 minggu sekali.

Pemanenan cacing tubifex


Sistem pemanenan cacing tubifex dilakukan secara parsial, artinya tidak
semua cacing dipanen, namun ada beberapa yang disisakan untuk
berkembangbiak. Pemanenan dilakukan beberapa kali dalam setahun, dengan
tujuan untuk memperoleh hasil yang maksimal agar tubifex diharapkan dapat
berkembang dengan baik. Pemanenan dilakukan sebanyak 7 kali pemanenan,
tercantum pada tabel 2 sebagai berikut :
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 81
Tabel 2. Hasil Panen Pakan Alami Cacing Tubifexdari mei - november 2013

No Bulan Hasil (kg)


1 Mei 38 kg 190 gelas
2 Juni 40 kg 200 gelas
3 Juli 37 kg 185 gelas
4 Agustus 38 kg 190 gelas
5 September 36 kg 180 gelas
6 Oktober 35 kg 175 gelas
7 November 33 kg 165 gelas
Total 257 kg 1285 gelas
Keterangan : hasil sampling rata rata per 1 kg cacing sutera setara dengan 5
gelas

Panen dan Penanganan Pasca Panen


Langkah atau tahapan panen cacing tubifex adalah
1. Cacing tubifex yang sudah banyak di bak dipanen secara parsial dengan
menggunakan skupnet dan hasil panen disimpan pada ember besar.
2. Ember besar tersebut yang berisis hasil panen dialiri air, untuk
memudahkan pemisahan media dan cacing. Proses ini membutuhkan waktu
± 30-60 menit.
3. Cacing yang bersih diambil, ditimbang 1 kg dan dipacking pada plastik
khusus.Penanganan pasca panen cacing tubifex fleksibel, artinya apabila
ada permintaan cacing hidup maka diberikan dalam kondisi hidup, apabila
sudah jadwal panen dan belum ada permintaan maka hasil panen disimpan
dalam freezer dalam kondisi segar.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kegiatan budidaya tubifex didapatkan informasi


mengenai sistem pemeliharaan, pemanenan dan data produksi tubifek selama
proses percobaan. Jumlah tubifek yang didapat sebanyak 257 kg dari bulan mei
hingga november 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Conder, Jason M. 2003. Tubifex tubifex culturing Standard Operating


Procedure. University of North Texas.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 82
Gilbert, M. A. & Granath, W.O. Jr. (2003). Whirling disease and salmonid fish:
life cycle, biology, and disease. Journal of Parasitology, 89(4), pp. 658–
667.
Mollah, M.F.A. and M.T. Ahamed. 1993. Sustainable Yield of Tubificids in
the outdoor culvert system. Asian Fisheries Science. 6, 229 – 233pp.
Rasmussen, C., Billie L. Kerans, James R. Winton, and. Alison E.L. Colwell.
2003. Final Report: Characterization of the Response of Genetically
Distinct Tubifex tubifex Populations to M. cerebralis Infection in
Laboratory and Natural Systems.

PROSPEK PRODUKSI BENIH HIBRID INTERSPESIFIK ABALON


Haliotis asinina DAN Haliotis squamata

Hery Setyabudi *) ,M.Imannudin**),Ade Yana***)

ABSTRACT

Abalone culture is relative new developed at Indonesia and focus on


two spesies tropical abalone who have high economical value which is Haliotis
asinina and Haliotis squamata . Several constraints on developmental abalone

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 83


culture besides continuously of seed availability, the duration of abalone
culture, make low interest of the society/fisherman/stake holder to develop
abalone culture. The duration on abalone culture until reach to market size,
might be caused by seed quality decreasing, slow growth rate, and disease
resistance decreasing. One of effort to solve the problem above is with genetic
improvement program as selection and hybrid by breeding among similar
individu/species from different location (intraspesific) or among different
(variably) individual/species (interspesific) that expected to result abalon
hybrid that have better character from their broodstock.

Spawning method are by nature method and mass method, by


collecting 50 male broodstock of abalone Haliotis asinina and 150 female
broodstock of abalone Haliotis squamata into spawning tank, fiber glass
volume 1,5 ton that provided with egg collector. Controlling to egg collector
every morning , if found eggs in collector, screened and washed off imediately
then store eggs in plastic jar/container volume 10 liters for sampling and
hatching. Trochopore are disperse in larva rearing tank, fiber glass volume 1,5
ton that provided with rearing plate and already wooded by benthic diatome.
Larva rearing is conducted for 3 months until seed measure > 0,5 cm and ready
to grow out and to be observed its growth.

On abalone hybrid rearing and grow out activities, show that abalone
hybrid grow faster than H. asinina and H. squamata, with performance of
hybrid seed is more active, more attractive with combination of shell color is
greenness red and typical meat taste.

Key word: Hybridization interspesific, Haliotis asinina, Haliotis squamata,


growth, hybrid seed

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Abalon (genusHaliotis) adalah moluska laut bercangkangtunggal dan
mempunyai otot besar "kaki" yang digunakan untuk melekatkan diri pada
terumbu karang dan substrat.Bagian kaki ini lah yang dapat dimakan dan
dianggap lezat serta diminati oleh beberapa Negara di Asia dan Eropa.
Permintaanglobal untukabalontetap tinggi, khususnya diChina
danAsiaTenggara, dan berkembangdi beberapa bagian negara barat.
Permintaaninidipenuhimelalui peningkatanpasokandari produk budidaya
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 84
daribanyak negara, termasuk China, Korea Selatan, Afrika Selatan dan
Australia.
Budidaya abalon di Indonesia relatif baru dikembangkan dan berfokus
pada dua spesies abalone tropis bernilai ekonomis yang ditemukan di beberapa
wilayah perairan pantai( seperti Lombok,Bali,Banten,Kendari dan daerah
lainnya) yaitu jenis Haliotis asinina (Mimigai) dan Haliotis squamata
(Tokobushi) dimana kedua spesies ini masing masing memiliki karakteristik
individuyang membuat mereka diterima di pasar ekspor dan domestik yang
berbeda. Namun demikian beberapa masalah yang muncul dalam usaha
budidaya abalon yaitu seperti ketersediaan benih secara kontinyu dikarenakan
rendahnya tingkat kelangsungan hidup dari penebaran larva sampai menjadi
benih siap dibesarkan (berkisar 0,5 - 1%). Disamping itu lamanya waktu
budidaya yang menyebabkan masyarakat kurang tertarik untuk
mengembangkan abalon.
Lamanya waktu budidaya abalon sampai mencapai ukuran permintaan
pasar kemungkinan disebabkan karena penurunan kualitas benih,laju
pertumbuhan yang lambat, dan penurunan ketahanan terhadap penyakit.
Kendala ini mungkin bisa disebabkan oleh inbreeding, lingkungan yang buruk,
dan metode budidaya yang tidak tepat. Salah satu upaya untuk mengatasi
permasalahan diatas yaitu dengan program perbaikan genetik seperti seleksi
dan hibridisasi yaitu melalui rekayasa pemijahan perkawinan antar individu
sejenis dari lokasi yang berbeda (intraspesifik) maupun antar individu yang
berbeda (interspesifik).
Metode interspesifik hibridisasi diantara genera dan atau family secara
umum sudah bisa diterapkan dan sudah sukses untuk beberapa ikan dan
kekerangan (seperti ikan mas,lele,salmon,tiram,dan udang) sebagai upaya
perbaikan sifat seperti laju pertumbuhan,kelangsungan hidup, serta ketahanan
penyakit (Bartley dkk.2001; Hulata 2001 dalam Fabiola Lafarga dan Cristian
Gallardo. 2011). Dengan cara yang sama, abalon hibrid juga mempunyai
potensi memperoleh keuntungan produksi melalui pertumbuhan yang lebih
cepat, adaptasi terhadap kondisi lingkungan budidaya dan kualitas permintaan
pasar yang diinginkan,seperti tekstur,warna dan rasa (Elliott 2000;Hamilton
dkk.2009a dalam Fabiola Lafarga dan Cristian Gallardo. 2011).

Dari hasil kegiatan perekayasaan dan pengalaman dalam kegiatan


budidaya abalon yang dilaksanakan di Balai Budidaya Laut Lombok sejak
tahun 2008 – 2011, diketahui bahwa karakteristik Haliotis asinina antara lain
memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat, komposisi daging yang tebal,
namun memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah pada saat
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 85
pembesaran (mudah terserang penyakit karat) dibandingkan dengan Haliotis
squamata yang memiliki laju pertumbuhan yang lebih lambat, tetapi memiliki
tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi dan memiliki cita rasa daging
yang khas. Berdasarkan perbedaan keunggulan karakter fenotip kedua spesies
tersebut diharapkan hibridisasi antara induk abalone Haliotis asinina dengan
Haliotis squamata dapat menghasilkan benih hibrid (varietas baru) yang
mempunyai sifat unggul.

1.2. Tujuan
Untuk mendapatkan varietas baru abalon melalui hibridisasi
interspesifik abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata

METODOLOGI

Pematangan Gonad
a. Induk - induk yang berasal dari alam diperiksa secara morfologi
tentang status kesehatan sebelum dimasukkan ke dalam bak
aklimatisasi
b. Induk jantan dan betina dipelihara pada bak terpisah dan ditempatkan
pada keranjang plastik industri serta pemberian pakan dilakukan
secara ad libithum/selalu tersedia
c. Pengelolaan air dilakukan dengan sistem sirkulasi (flow through)
dengan debit kencang dan dilakukan penyiphonan terhadap kotoran
setiap hari.
d. Cek kematangan gonad setiap mendekati bulan gelap/purnama dengan
cara melihat TKG secara morfologi,induk yang matang gonad
dipindahkan ke wadah pemijahan,sedangkan induk yang belum
matang gonad dikembalikan ke wadah pemeliharaan biasa.

Persiapan wadah pemijahan

a. Sebelum wadah digunakan untuk pemijahan, dicuci/direndam dengan


kaporit selama 1-2 jam kemudian dibilas dengan air tawar dan
dikeringkan. Selain sebagai desinfektan, pemberian kaporit juga
bertujuan untuk merangsang abalon untuk memijah.
b. Sirkulasi air menggunakan sistem air mengalir (flow through) yang
sumber airnya dari sistem filtrasi. In let air melalui pipa PVC
berdiameter 1 inch yang dapat diatur debit airnya. Untuk saluran outlet,
dimodifikasi untuk dapat membuang air pada bagian permukaan dan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 86
pada bagian out let dirangkai dengan bok plastik yang telah dipasang
plankton net sebagai egg colector. Bak dilengkapi juga dengan sistem
aerasisebagai tambahan suplai oksigen.

Persiapan/seleksi induk matang gonad

a. Seleksi dilakukan untuk mendapatkan induk abalone matang gonad yang


siap dipijahkan (TKG 3, dimana gonad menutupi lebih dari 50 % organ
hepatopankreas)
b. Tingkat kematangan gonad dapat dilihat dengan cara menguak antara
otot abalon dan cangkang pada sisi yang berlawanan dari letak lubang-
lubang di bagian cangkang menggunakan spatula
b. Gonad induk jantan berwarna putih susu/oranye dan gonad betina
berwarna hijau sampai keabuan

Pemijahan dan pemanenan telur

a. Pemijahan dilakukan secara alami, dimana induk abalon hasil seleksi


yang menunjukkan TKG 3 (gonad menutupi lebih dari 50% organ
hepatopankreas) dipilih dan dimasukkan ke dalam keranjang plastik dan
diletakkan pada bak pemijahan.
b. Sex ratio antara induk jantan dan betina dalam tiap box plastic
pemijahan adalah 1 : 3 (50 ekor induk jantan H. asinina : 150 ekor induk
betina H.squamata)
c. Pada sore hari siphon bak pemijahan dan debit air yang masuk dibuat
pelan/kecil
d. Amati pada pagi harinya pada bak pemijahan dan kolektor penampung
telur, jika terdapat pemijahan akan terdapat telur di dasar wadah dan air
media berwarna putih keruh serta berbau amis.
e. Jika terdapat telur atau trocophore maka segera ambil dengan cara
disipon dengan menggunakan selang siphon ¾ inch, dan air dialirkan
kemudian disaring menggunakan plankton net yang disusun secara
bertingkat dengan ukuran 60 dan 200 mikron untuk memisahkan antara
telur dan kotoran/sisa pakan

f. Telur dicuci bersih kemudian ditempatkan dalam stoples plastik volume


20 liter dan diberi aerasi cukup untuk mengaduk telur agar tidak
mengendap di dasar
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 87
g. Jumlah telur, derajat pembuahan (Fertilisasi Rate), derajat penetasan
(Hatching Rate), dan jumlah larva dilakukan pencatatan.

Pemeliharaan larva
a. Bak pemeliharaan larva dilengkapi dengan rearing plate diisi dengan air
laut yang telah melewati sistem filtrasi dengan volume 1,5 ton dan
dilakukan penumbuhan benthic diatom 1-2 minggu sebelum dilakukan
penebaran larva.
b. Benthic diatom terlebih dahulu di kultur dalam skala Lab (volume 25
liter), setelah 5 - 7 hari dilakukan pemanenan dan dimasukkan ke dalam
bak pemeliharaan larva sebagai starter/inokulan tumbuhnya benthic
diatom
c. Setelah diatom tumbuh pada rearing plate dilakukan pergantian air total
sebelum dilakukan penebaran larva
d. Penebaran larva dilakukan pada sore hari dengan kepadatan 100.000 -
200.000 trochopore
e. Setelah umur 7 hari dilakukan sistem air mengalir(flow through) dengan
debit air 100 % / hari sampai 90 hari
f. Panen dilakukan pada saat benih berumur 90 hari dan sudah
mengkonsumsi makro algae (Gracillaria sp) dengan ukuran 1,0 -1,5 cm
dan siap didederkan

Pendederan benih abalon hibrid

a. Pendederan dilakukan pada bak beton volume 10 ton


b. Benih dimasukkan ke dalam keranjang dengan kepadatan 500 ekor
c. Benih abalon diberi pakan berupa rumput laut segar terutama dari jenis
Ulva sp dan Gracilaria sp secara ad libithum atau pakan selalu tersedia
dengan dosis berkisar antara 30 – 40 % dari berat biomass per hari.
Pemberian pakan dilakukan minimal 2 kali dalam satu minggu. Pakan
sebelum diberikan harus dicuci bersih untuk menghindari masuknya
hama/predator ke dalam bak pendederan melalui pakan yang diberikan.
d. Penyiponan dasar bak terhadap sisa pakan dan kotoran dilakukan setiap
pagi hari disertai dengan penggantian air sebanyak 50 %

Parameter Pengamatan

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 88


Parameter yang diamati dalam kegiatan produksi benih abalone hibrid
ini meliputi derajat pembuahan (FR),derajat penetasan
(HR),pertumbuhan,performa abalone hybrid, serta analisa genetik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata tingkat pembuahan telur pada pemijahan hibridisasi


interspesifik (beda spesies) lebih rendah dibandingkan dengan kedua pemijahan
truebreed. Pengertian true-breed adalah dua individu dari ras/spesies sama
yang dikawinkan akan menghasilkan keturunan subur (fertil) dengan ciri-ciri
yang sama seperti kedua induknya. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak
sinkronnya waktu pemijahan (pelepasan gamet) antara masing-masing spesies,
dimana Haliotis asinina kebiasaan memijah pada malam sampai dengan dini
hari sedangkan Haliotis squamata biasanya pelepasan gamet terjadi pada dini
hari sampai pagi hari, oleh karena itu ketepatan waktu pelepasan gamet antara
kedua spesies tersebut dalam kegiatan hibridisasi secara alami kemungkinan
merupakan salah faktor penentu keberhasilan tingkat pembuahan (fertilization
rate) dan penetasan (hatching rate) sampai menjadi larva trochopore. Uji cross
breeding di laboratorium antara H. discus dan H. gigantea menunjukkan hibrid
bisa dihasilkan dengan derajat fertilisasi rendah (Ahmed et al., 2008 dalam
Xuan Luo et al., 2010). Dari hasil uji tersebut diketahui bahwa dalam
perkawinan satu spesies (H.gigantea dan H.gigantea ataupun H.discus discus
dan H.discus discus, derajat pembuahan lebih dari 90 % untuk umur telur
kurang dari 2 jam setelah pemijahan, tetapi menurun dengan bertambahnya
umur telur. Sedangkan dalam perkawinan beda spesies, fertilization rate dan
hatching rate menurun tajam jika telur dibuahi setelah 20-40 menit setelah
pemijahan. Dalam perkawinan antara H.discus discus dan H.gigantea,
fertilization rate tertinggi adalah 57,5 % saat telur dibuahi H. gigantea 10
menit setelah memijah. Sedangkan, fertilization rate dalam perkawinan antara
H.discusdiscus dan H.gigantea turun sampai kurang dari 30 % ketika telur
dibuahi setelah 40 – 50 menit setelah memijah dan hatching rate juga
berkurang dengan bertambahnya umur telur. Hasil dari eksperimen mengenai
umur gamet menunjukkan bahwa sperma akan kehilangan potensinya dalam 1-
2 jam pada uji kawin silang beda spesies, dan dengan meningkatnya umur telur
juga menyebabkan turunnya derajat pembuahan meskipun telur dibuahi
menggunakan sperma segar pada konsentrasi sperma yang optimal. Menurut
Fallu (1991) bahwa dalam hibridisasi kesempatan untuk suksesnya fertilisasi
berkurang banyak jika kondisi telur dan sperma sangat tidak segar. Untuk hasil
paling bagus,pencampuran sperma dan telur harus dalam 15 menit setelah
pelepasan gamet oleh induk abalon.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 89


Pada pemijahan hibrid (jantan H. asinina dan betina H. squamata)
menunjukkan derajat pembuahan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
resiproknya (jantan H. squamata dan betina H. asinina). Keberhasilan
pembuahan dipengaruhi kualitas sperma yang baik yaitu memiliki energi yang
cukup pada proses pembuahan dan pergerakan yang aktif. Pada proses
pembuahan telur, spermatozoa memiliki peranan penting yakni penetrasi ke
dalam telur, kemudian melebur dengan membran telur, dan melakukan reaksi
akrosomal (Gwo et al., 2002 dalam Kusumawardhani, 2012). Pada hibridisasi
dengan jantan Haliotis squamata memiliki tingkat pembuahan terendah
(35,58%). Dalam kegiatan ini, kondisi telur sudah mati sebelum dibuahi karena
perbedaan waktu pemijahan yang cukup lama. Menurut Ebert dan Hamilton
(1983); Encena et al. (1998) dalam Kusumawardhani (2012), telur Haliotis
asinina masih bisa dibuahi 2 jam setelah dipijahkan dengan menggunakan
konsentrasi sperma 1 x 10 5 sperma ml -1 ,namun tingkat fertilisasi dan
perkembangan zygot akan menurun sejalan dengan waktu.

3.9
3.6
3.3
panjang cangkang (cm)

3
2.7
2.4 H.asinina
2.1
1.8
1.5 H.squamata
1.2
0.9 Hibrid
0.6
0.3
2 3 4 5 6 7 8 umur abalon(bulan)

Gambar 8. Grafik Pertumbuhan rata-rata panjang cangkang abalon


hibrid dibandingkan Haliotis Squamata dan Haliotis asinina.

6.6
6.3
6
5.7
5.4
5.1
4.8
4.5
berat tubuh (gram)

4.2
3.9
3.6 H.asinina 90
BUKU
3.3 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014
3 H.squamata
2.7
2.4
2.1 Hibrid
1.8
1.5
Gambar 9. Grafik Pertumbuhan rata-rata berat tubuh abalon hibrid
dibandingkan Haliotis Squamata dan Haliotis asinine

Gambar 8 dan 9 diatas,nampak pertumbuhan (panjang cangkang dan


berat) benih abalon hibrid lebih cepat dibandingkan dengan Haliotis asinina
maupun juga dengan Haliotis squamata (panjang cangkang 5 – 10 %lebih cepat
dan berat tubuh 10 – 20 % lebih cepat). Tingginya laju pertumbuhan abalon
hibrid ini kemungkinan karena adanya efek heterosis positif terkait dengan
pertumbuhan. Menurut Huet (1971) dalam Gilangsari (2000) menyatakan
faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan meliputi faktor eksternal
dan internal. Faktor internal merupakan faktor yang berhubungan dengan ikan
itu sendiri yang meliputi umur dan sifat genetik (keturunan dan kemampuan
mengkonversi pakan).

Koike et al.(1988) dalam Fabiola Lafarga dan Cristian Gallardo (2011)


membandingkan pertumbuhan dan laju pemberian pakan (feeding rate) pada 3
spesies abalon (H.madaka, H.gigantea, dan H.discus) dan 4 jenis abalone hibrid
(H. madaka ♀ dan H. gigantea ♂, H. gigantea ♀ dan H. madaka ♂,
H.gigantea ♀ dan H. discus ♂ dan H. madaka ♀dan H. discus ♂). Hasil
penelitian menunjukkan laju pertumbuhan semua abalon hibrid lebih tinggi
daripada masing-masing induk jantannya sedangkan efisiensi konfersi pakan
dari hibrid lebih tinggi daripada masing-masing induk betinanya. Selain itu
kemungkinan laju pertumbuhan abalon hibrid lebih tinggi karena diduga
kondisi abalon hibrid yang steril. Menurut Chevassus (1983) dalam Gilangsari
(2000) bahwa terhambatnya pertumbuhan akibat kematangan seksual
merupakan fenomena klasik yang biasa terjadi pada ikan. Dengan adanya sifat
steril pada hibrid, fenomena tersebut dapat dihindari sehingga hibrid akan
memiliki laju pertumbuhan yang tidak terhambat oleh proses gametogenesis
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 91
dan pemijahan. Selain itu, sifat steril pada hibrid juga dapat memperbaiki
indeks karkas (berat karkas/ berat tubuh total) dan kualitas daging ikan. Hasil
studi oleh Ibarra et al. (2005) dalam Fabiola Lafarga dan Cristian Gallardo
(2011) bahwa hibrid antara H.rufescens betina dan H. fulgens jantan di
hatchery abalon Mexico menunjukkan bahwa ovagenesis terjadi normal pada
abalon hibrid betina, sedangkan abalon hibrid jantan menunjukkan
spermatogenesis abnormal dan sebagian steril.

Penampilan morfologi abalon hibrid


Tabel 4. Performa fenotip abalon hibrid hasil hibridisasi interspesifik Haliotis
asinina jantan dengan Haliotis squamata betina

Spesies
No. Parameter H.asinina H.squamata Hibrid
1. Bentuk Oval Oval bulat Oval memanjang
cangkang memanjang dan agak melebar
2. Tekstur halus Kasar Kasar
cangkang
3. Warna Kehijauan Kemerahan Merah dengan
cangkang corak kehijauan
4. Warna otot Abu-abu Hitam Dominan hitam
kaki/daging kekuningan
5. Proporsi Besar,terlihat Sedang, terlihat Cukup
otot melebihi ukuran sama dengan besar,terlihat
kaki/daging cangkang pada ukuran cangkang melebihi ukuran
saat bergerak pada saat cangkang pada
bergerak saat bergerak
6. Perilaku Aktif,cenderung Pasif,cenderung Lebih
bergerombol menyebar/soliter aktif/cenderung
menyebar(soliter)
7. Warna Coklat Hitam Hitam
tentakel
8. Rasa otot Lunak,hambar Kenyal,manis Lunak,ada rasa
kaki/daging manis

Analisa Genetik abalon hibrid

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 92


Hasil sekuensing dari Haliotis squamata dan abalon hibrid belum pernah
dilaporkan sebelumnya di dalam Genebank. Hasil dari morfologi termasuk laju
pertumbuhan, tekstur daging, panjang cangkang dan berat tubuh abalon hibrid,
Haliotis asinina dan Haliotis squamata menunjukkan bahwa abalon hibrid
lebih dekat hubungannya dengan Haliotis asinina dibandingkan dengan
Haliotis squamata yang juga didukung hasil uji molekular (Kurniasih, 2013).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam kegiatan produksi benih abalon
hibrid ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemijahan hibridisasi interspesifik induk abalone Haliotis asinina
jantan dan Haliotis squamata betina dapat dilakukan secara alami dan
dapat menghasilkan strain/varietas baru benih abalon
2. Abalon hibrid yang dihasilkan menunjukkan performa yang lebih baik
dari tetuanya terutama dari segi pertumbuhan,tampilan morfologi yang
lebih menarik, dan cita rasa dagingnya yang lebih khas (lembut dan
manis)

Saran
1. Perlu adanya kajian lanjutan untuk mengetahui ketepatan waktu
pembuahan (umur gamet) dalam upaya peningkatan keberhasilan
tingkat pembuahan dan penetasan larva.
2. Perlu adanya kajian lanjutan untuk teknik pemijahan dengan
rangsangan atau dengan kryopreservasi (pengawetan gamet) dalam
upaya peningkatan keberhasilan tingkat pembuahan dan penetasan
larva
3. Perlu adanya kegiatan uji multi lokasi untuk mengetahui (uji tantang)
terhadap kelangsungan hidup,ketahanan terhadap penyakit dan kondisi
lingkungan untuk benih abalone hybrid yang sudah dihasilkan

DAFTAR PUSTAKA

Elliot,N.G. 2000. Genetic Improvement Programmes in Abalone : What is the


Future. Aquaculture Research., 31, pp. 51 – 59
Fallu, R. 1991. Abalone Farming. Fishing New Books. Inggris

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 93


Fabiola Lafarga, Cristian Gallardo. 2011. Intraspesies and interspesies hybrids
in Haliotis : natural and experimental evidence and its impact on
abalone aquaculture. Reviews in Aquaculture.,3, pp. 74 – 99
Firdaus,Iman. 2012. Pengaruh Padat Tebar Terhadap Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Abalon Hibrid Selama Dua Bulan di Rakit
Apung.Skripsi : Fakultas Pertanian,Universitas Mataram
Fermin, A. C., Dela Pena, M R., Gapasin, R.S.J., Teruel, M. B.,Ursua,S.M.B.,
Encena,V.C., Bayona,N.C. 2008. Abalone Hatchery. Aquaculture
Department Southeast Asian Fisheries Development Center.
Aquaculture Extension Manual No.39

Freeman, K. 2001. Aquaculture and related biological attributes of abalone


species in Australia – a review. Fisheries Research Report Western
Australia 128.
Gilangsari,E.R. 2000. Karakter Kuantitatif Ikan Patin Hibrida antara
Pangasius hypopthalmus Betina dengan Pangasius nasutus Jantan pada
Fase Pembesaran.Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB..

Setyabudi,H, Gagan Garnawansyah, Arif Supriyanto, Ade Yana. 2012.


Rekayasa Kawin Silang Abalon Haliotis asinina dengan Haliotis
squamata untuk Menghasilkan Benih abalone Hibrid. Makalah ;
dipresentasikan pada Indonesian Aquaculture-FITA,Makassar,8-12
Juni 2012
Kusumawardhani,Aldilla. 2012. Fenotip Benih Hasil Hibridisasi Interspesifik
Abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata.Skripsi: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Kurniasih S.T.,Hery Setyabudi. 2013. Genetic Analysis of Abalon hybrid from
Haliotis asinina and Haliotis squamata in Lombok Marine
Aquaculture Development Center. WWAVP 2013 : 24 th International
Conference of the World Association for the Advancement of
Veterinary Parasitology. Perth,25-29 Agustus 2013

Kuncoro,aziz. 2013. Pengaruh Pemberian Pakan Buatan dengan Sumber


Protein yang Berbeda Terhadap Efisiensi Pakan,Laju Pertumbuhan
dan Kelulushidupan Benih Abalone Hybrid. Skripsi : Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro,Semarang.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 94


Rusdi,I.,Susanto,B.,Rahmawati,R.,Giri,N.A. 2011. Petunjuk Teknis Perbenihan
Abalon, Haliotis squamata. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Laut,Gondol,Bali.

SEAFDEC/AQD. 2007. Training Course on Abalone Hatchery and Grow-out.


Aquaculture Departement, SEAFDEC, Tigbauan, Iloilo, Philippines

Singhagraiwan T. and Doi M. 1993. Seed Production and Culture of a


Tropical abalone, Haliotis asinina Linne. The research Project of
fishery resource dev. In The kingdom of Thailand. EMDEC& JICA.
32pp
Sofyan,Y 2006. Rekayasa teknologi Pemijahan Abalone Tokobushi (Haliotis
diversicolor supertexta) di Balai Budidaya laut Lombok. Makalah
disampaikan dalam Forum Perekayasa Budidaya laut di Hotel
Lombok Raya, mataram 3-5 Juli 2006

Sudarmawan,R.A. 2012. Pengaruh Seks Rasio Terhadap Tingkat Keberhasilan


Pemijahan pada Kawin Silang Haliotis asinina Dengan Haliotis
squamata.Skripsi : Fakultas Pertanian,Universitas Mataram.
Xuan Luo., Caihuan Ke., Weiwei You., Dexiang Wang. 2010. Factors affecting
the fertilization success in laboratory hybridization between Haliotis
discus hannai and haliotis gigantean. Journal of Shellfisheries
Research

PENGARUH HORMON rGH PADA PEMBESARAN IKAN BUBARA


(Caranx Sp) DI KERAMBA JARING APUNG

Adi Hardiyanto dan Rajab Mahu


Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon

ABSTRACT

Pompano / jackfish / trevally (Caranx sp) is a fish that is easy and can be
found in almost all waters in the Moluccas and have high economic value
because it is one of the favorite fish Maluku community. However, the
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 95
maintenance of fish requires a lot of amount of feed that is quite high
operational costs.
This activity aims to determine the effect of hormones on fish rearing
bubara RGH given orally through feed trash. Through this application is
expected to suppress the hormone as well as shorten the FCR jackfish
pisciculture.
In the event there are two treatments ie A = feeding trash, trash B =
feeding hormone-treated RGH. The dose of hormones used as much as 3 mg /
kg of feed given over three times in one week. Initial weight of 17.4 grams of
both treatments. In each treatment, fish reared in KJA size 3x3x3 m with a
density of 250 individuals per plot. Feeding as many as 10% of the total body
weight of the fish and kept for three and a half months.
For three and a half months of maintenance that results obtained in the
treatment A average fish weight of 284 g, 94% SR and FCR of 6.6 while on
treatment B was 312 g, with a magnitude of 95% and FCR of 5.9.

Keywords: Hormones RGH, Enlargement Jackfish

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pertumbuhan merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan
usaha budidaya perikanan. Pertumbuhan yang lambat akan menyebabkan
lamanya waktu pemeliharaan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan,
lamanya waktu pemeliharaan juga akan meningkatkan resiko-resiko dalam
pemeliharaan, seperti terserang penyakit, kematian massal, dan sebagainya.

Berbagai upaya penelitian telah dilakukan untuk meningkatan laju


pertumbuhan ikan budidaya, khususnya ikan-ikan yang pertumbuhannya
lambat, seperti rekayasa lingkungan budidaya dan rekayasa pemberian pakan
atau dengan meningkatkan kandungan protein pakan. Namun kandungan
protein pakan yang tinggi dapat meningkatkan kadar amoniak dalam perairan,
sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan budidaya
Ikan kuwe/bubara/trevally (caranx sp) merupakan salah satu jenis ikan
permukaan (pelagis). Ikan ini hidup pada perairan pantai dangkal, karang, dan
batu karang. Ikan kuwe/bubara/trevally (caranx sp) merupakan ikan yang
mudah di dapat dan ditemukan hampir di seluruh perairan di Maluku serta
mempunyai nilai ekonomi tinggi karena merupakan salah satu ikan favorit
masyarakat Maluku.
Hingga saat ini benih ikan bubara masih mengandalkan tangkapan alam
dam bersifat musiman. Dengan harga benih yang terjangkau yaitu Rp 2.000 per
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 96
ekor (6-8 cm) ikan ini mulai banyak dipelihara oleh pembudidaya di Maluku
karena mempunyai beberapa keunggulan komparatif antara lain mampu hidup
dalam kondisi kepadatan yang tinggi (150 ekor/m2), mempunyai laju
pertumbuhan tinggi dan tahan terhadap serangan penyakit yang pada umumnya
terjadi di sekitar area budidaya serta mempunyai nilai jualnya cukup tinggi
hingga mencapai Rp 50.000/kg dengan masa peme;liharaan selama 3,5 – 4
bulan.
Namun dalam pemeliharaannya, ikan ini membutuhkan jumlah pakan
yang banyak sehingga biaya operasionalnya cukup tinggi dimana FCR antara 6
– 8 (Irianto dkk, 2002) . Untuk menekan biaya operasional pakan yang tinggi
tersebut maka dilakukan uji coba pemberian hormon rGH secara oral melalui
pakan rucah. Menurut Alimuddin et al 2011, ia memilih metode recombinant
growth hormone (rGH) karena mampu memberikan perbaikan genetik sebesar
200 persen. Dijelaskannya, pada ikan kakap hitam pertumbuhannya meningkat
60 persen, ikan flounder meningkat 24 persen, ikan mas koki meningkat 43
persen, ikan nila meningkat 171 persen, dan udang vaname meningkat 42,2
persen. Ia mengatakan, aplikasi hormon pertumbuhan pada ikan terbagi dalam
tiga cara. Pertama larva ikan direndam dalam air mengandung rGH dengan
dosis 0,03-30 mg/L selama 1-2 jam, dan kedua rGH bisa ditambahkan pada
pakan dengan dosis 0,5-30 mg/kg dengan tiga atau empat kali pemberian. Atau
dengan menggabungkan kedua cara di atas dengan merendam larva dan
menambahkan rGH pada pakannya.
Pada percobaan ini dosis yang digunakan yaitu sebesar 3 mg/kg pakan
mengacu pada dosis yang disarankan oleh produsen yaitu Lab. Genetika IKan
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi.

Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
hormon rGH pada pembesaran ikan bubara yang diberikan secara oral melalui
pakan rucah. Melalui aplikasi ini diharapkan pemberian hormon dapat
menekan FCR serta mempersingkat masa pemeliharaan ikan bubara.

METODE
Pada percobaan ini, pemberian hormon rGH pada ikan bubara
diaplikasikan secara oral melalui pakan rucah karena lebih praktis dan
mengurangi resiko timbulnya stress pada ikan. Pemberian melalui pakan rucah
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 97
dilakukan karena pada uji pendahuluan selama sebulan, benih tidak mau makan
pellet dan banyak benih yang mati.
Pembuatan larutan hormone rGH adalah sbb: Setelah ditimbang, hormon
dilarutkan dalam larutan PBS sebanyak 100 ml/kg pakan dan dicampur dengan
kuning telur sebanyak 20 mg/kg pakan,lalu ketiganya dicampur hingga
homogen. Larutan disemprotkan secara merata pada pakan ikan rucah,lalu
dianginkan selama 30 menit. Pakan dapat langsung diberikan pada ikan
Pada kegiatan ini ada dua perlakuan yaitu A = pemberian pakan rucah
(kontrol) ,B = pemberian pakan rucah yang diberi hormon rGH . Dosis hormon
yang digunakan sebanyak 3 mg/kg pakan yang diberikan selama tiga kali dalam
seminggu, masing – masing dengan interval tiga hari. Berat awal kedua
perlakuan yaitu 17,4 gr. Pada tiap perlakuan, ikan dipelihara dalam KJA ukuran
3x3x3 m dengan kepadatan 250 ekor per petak. Pemberian pakan dua kali
sehari pada awal bulan pertama, selanjutnya satu hari sekali sebanyak 10 %
dari total berat tubuh ikan dan dipelihara selama empat setengah bulan.
Pengamatan pertumbuhan dilakukan sebulan sekali,sedangkan kelulushidupan
dilakukan pada akhir percobaan.
Data yang diambil dalam kegiatan ini berupa tingkat kelulusan hidup
(SR) dan pertumbuhan dan dilakukan pengambilan sampel sebanyak satu kali
dalam sebulan.

Data yang telah diperoleh dikumpulkan untuk kemudian diolah menjadi :


- Tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate) :
- SR = Nt X 100%
- No
- Keterangan :
- SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
- Nt = Jumlah ikan yang hidup pada akhir percobaan (ekor)
- No = Jumlah ikan yang hidup pada awal percobaan (ekor)
-

- Laju Pertumbuhan spesifik dihitung dengan rumus:


SGR = lnWt-lnW0 X 100%

T
Keterangan
SGR = laju pertumbuhan spesifik
Wt = Berat ikan pada akhir kegiatan (kg)
W0 = Berat ikan pada awal kegiatan (kg)
T = Waktu (hari)
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 98
FFCR =Pa/( Wt-Wo+Wm)

Keterangan :

FCR = konversi pakan

Pa = Jumlah pakan yang diberikan (kg)

Wt = Biomasa akhir (kg)

Wo = Biomasa awal (kg)

Wm = Biomasa yang mati (kg)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan/pertambahan panjang benih mandarinfish


Pemberian rGH melalui pakan rucah dapat meningkatkan bobot tubuh
ikan bubara. Bobot tubuh ikan perlakuan B (dosis 3 mg/kg pakan) lebih tinggi
9% dibanding perlakuan A (control).
Biomassa merupakan bobot total ikan yang hidup hingga akhir
penelitian. Selisih biomassa pada kedua perlakuan lebih besar pada perlakuan
hormone yaitu sebesar 7,52 kg. Rata-rata bobot tubuh ikan pada kedua
perlakuan berbeda tipis dimana pada kontrol sebesar 284 gram sedangkan pada
perlakuan hormon sebesar 312 gram, rata-rata hanya selisih 28 gram per ekor.
Data pertambuhan berat ikan bubara selama empat setengah bulan masa
pemeliharaan dapat dilihat pada table 1. di bawah ini:

Tabel 1. Konsumsi pakan, kelangsungan hidup, bobot tubuh akhir,biomassa


serta rasio pakan ikan bubara yang diberi pakan mengandung hormon
pertumbuhan

Perlakuan konsumsi Survival Bobot Biomassa Rasio


pakan (kg) Rate tubuh (kg) Pakan
akhir (FCR)
(kg)
A 413,49 94% 0,284 66,74 6,6
B 413,68 95% 0,312 74,26 5,9

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 99


Ket :
A = perlakuan kontrol
B = perlakuan homon

kontrol
hormon

Grafik 1. Pola pertambahan berat ikan bubara

Kelulushidupan ikan yang diberi perlakuan hormon lebih tinggi 1%


daripada kontrol. Tingginya nilai kelulushidupan pada kedua perlakuan karena
secara umum ikan bubara memiliki SR yang tinggi dimana menurut Sulaiman
(2011) ikan bubara memiki SR antara 70 – 95%. Serta tergantung pada
penanganan benih pada awal pemeliharaan,grading dan pascapanen.Karena
secara umum ikan bubara jarang sekali sakit kecuali adanya kesalahan dalam
penanganan seperti grading dan pergantian jaring yang salah,sehingga
mengakibatkan luka akibat gesekan dan timbulnya infeksi sekunder.
Total konsumsi pakan kedua perlakuan cenderung sama yaitu sebesar
413 kg karena selama masa pemeliharaan jumlah pakan yang diberikan pada
kedua perlakuan cenderung sama besarnya. Yang membedakan disini adalah
tingkat kelulushidupan dan total biomassa pada akhir perlakuan. Nilai konversi
pakan pada perlakuan hormon sebesar 5,9 lebih rendah daripada kontrol yaitu
sebesar 6,6. Sehingga dengan selisih yang tipis tersebut biaya produksinya
tidak terlalu berbeda jauh. Rendahnya selisih FCR dan biomassa diduga karena
dosis yang digunakan terlalu rendah sehingga jumlah hormon yang dibutuhkan

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 100


oleh tubuh ikan belum maksimal serta pengguanaan pakan rucah dalam aplikasi
ini belum diketahui efektifitasnya.
Pemberian hormon pertumbuhan ( rGH) untuk memepercepat
pertumbuhan sudah banyak dilakukan dengan berbagai metode. Menurut
Alimudin et al ( 2011) hormon rGH dapat meningkatkan efisiensi pakan hingga
lima kali lipat dan menurunkan biaya produksi ikan. Setelah diberi rGH terjadi
pertumbuhan sebesar 75 persen pada ikan gurame dan ikan sidat 2,5 kali lebih
tinggi dari ikan sidat yang tidak diberi rGH. Pemberian rGH sebesar 0,5 g/g
bobot tubuh dengan frekuensi selama satu minggu sekali selama 4 minggu pada
ikan beronang dapat meningkatkan bobot sebesar 20% dibanding kontrol
(Funkenstein et al,2005) . Menurut Sumantadinata dkk (2012), Pemberian
rGH sebesar 20-30 mg/kg pakan pada benih ikan nila lebih tinggi 32 – 35%
dibandingkan kontrol. Menurut Wawan dkk,(2013) Ikan gurame yang
diberikan pakan mengandung rGH dengan dosis 20 mg/kg pakan memiliki
bobot rataan 42,27% lebih baik dibandingkan dengan bobot rataan ikan gurame
yang tidak diberi pakan rGH.
Sehingga pemberian rGH pada pembesaran ikan bubara perlu diteliti
lebih lanjut dengan dosis yang lebih tinggi dan variatif untuk memperoleh
metode yang terbaik dalam aplikasinya terutama melalui pakan rucah. Serta
efektifitas penggunaan pakan rucah dibanding pakan buatan dalam aplikasi
hormon ini.

Kesimpulan Dan Saran

Kesimpulan
Pemberian hormon rGH melalui pakan rucah dapat meningkatkan
pertumbuhan berat dan menurunkan konversi pakan

Saran
Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai dosis yang tepat terutama di
kisaran 10 – 30 mg/kg pakan.

DAFTAR PUSTAKA

Alimuddin, Lesmana I, Sudrajat AO,, Carman O, Faizal I. 2011. Production


and bioactivity potential of three recombinant growth hormone of
farmed fish. Indonesian Aquaculture Journal 5: 11-17

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 101


Funkenstein B, Dyman A, Lapidot Z, de Jesus – Ayson EG, Ayson FG,, 2005.
Expression and Purification of a Biologically Active Recombinant
Rabbitfish Siganus guttatus Hormone. Aquaculture 250 : 504-515.
Irianto B, Zubaidi T, Hasan N, Harwanti S, Suwarda R. 2002 Potensi
Pengembangan Budidaya Ikan Kuwe, Caranx spp. Dengan Sistem
Keramba Jaring Apung. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai
Maros. 49 hal.
Kertapati, Inu P, Basuki, F, Yuniarti, tristiana. 2014. Pengaruh Pemberian
Rekombinan Hormon Pertumbuhan (rGH) Melalui Metode Oral Dengan
Interval Waktu Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Dan
Kelulushidupan Benih Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus
Burchell, 1822).Journal of Aquaculture Management and
Technology.Vol 3. No 2 (2014):
Li Y, Bai J, Jian Q, Ye X, Lao H, Li X, Luo J, Liang X. 2003. Expression of
Common Carp Growth Hormone in the Yeast Pichia pastoris and The
Growth Stimulation of Juvenile Tilapia Oreochromin nilloticus.
Agquaculture 216 : 329-341.
Wawan, R.M, Indra M, Kusuma A. 2013. Pengaruh Pemberian Pemacu
Pertumbuhan (rgh) Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Gurame
(Osphronemus gourami) Institusi balitbang kp tahun Terbit 2013 Kode
Panggil 639.3/BAL/p Sumber prosiding pertemuan teknis teknisi
litkayasa 2013 Desc Fisik xix, 605p .: ilus ,; 28 cm halaman : 401-404
Sulaiman. 2011. Teknin Budidaya Ikan Kuwe (Gnathanodon spesiosus).
Skripsi.Sekolah Tinggi Perikanan

OPTIMALISASI PEMANFAATAN PAKAN RUCAH (ZERO WASTE)


PADA PEMBESARAN IKAN BUBARA (Caranx sexfasciatus)
DI SPOT AREA BUDIDAYA DUSUN WAEL
KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

Hariyano dan Engko

ABSTRACT

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 102


In the year 2013, the aquaculture industrialization policies directed at
the utilization of fishery resources based blue economy through the
development of innovation -oriented resource conservation to benefit
economically , socially , and environmentally sustainable manner . The
development of the blue economy is expected to create higher competitiveness
through continuous innovation and efficiency , doing development without
harming the environment , creating a variety of new industries , and create jobs
The application of this concept is actually blue economy indirectly been
adopted by the farmers in KJA jackfish rearing in Wael Seram the Western
District since 2010 , where the feed utilization of trash in this activity in the
absence of residual waste ( zero waste). There are two advantages of feed
utilization of trash in the activities of this enlargement , first reduce the
operating costs of 70 % to around 40-50 % and the absence of waste so that the
waste does not pollute the environment cultivation .
This activity lasts for 6 months from May - November 2013 . Feed used
are given feed trash without residual waste with 10 % of the administered dose
of body weight. Observed data include the growth , feed requirements and
business analysis .
Daily growth rate obtained was 1.63 % , Feed Conversion Efficiency of
feed = 5.6 and = 13.87 % and survival ranged from 90-95 % . And based on
the results of the feasibility analysis of the activities of this trash optimize feed
utilization can reduce operating costs as much as 20-25 % .

Keywords : optimization , zero waste , trash feed

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industrilaisasi perikanan budidaya merupakan suatu proses perubahan
dimana arah kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan budidaya,
pembangunan infrastruktur, pengembangan sistem investasi, ilmu pengetahuan,
teknologi dan sumberdaya manusia diselenggarakan secara terintegrasi,
berbasis industri untuk meningkatkan nilai tambah, efesiensi dan skala produksi
yang berdaya saing tinggi. Kedepan, kebijakan industrialisasi perikanan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 103
budidaya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan akan berbasis pada konsep
blue economy melalui pengembangan berbagai inovasi yang berorientasi pada
pelestarian sumberdaya untuk memberikan manfaat secara ekonomi, sosial, dan
lingkungan secara berkelanjutan. Pengembangan blue economy tersebut
diharapkan dapat menciptakan daya saing yang lebih tinggi melalui inovasi
dan efisiensi yang berkelanjutan, melakukan pembangunan tanpa merusak
lingkungan, menciptakan berbagai industri baru, serta menciptakan lapangan
kerja.
Melalui industrialisasi yang berbasis pada blue economy, para pelaku
usaha perikanan, khususnya pembudidaya ikan, diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, sekaligus
membangun sistem produksi yang modern dan terintegrasi dari hulu sampai ke
hilir dengan memperhatikan asas berkelanjutan. Dengan demikian
industrialisasi perikanan budidaya yang berbasis blue ekonomi diharapkan
mampu mengokohkan struktur usaha perikanan nasional, yang membawa
multiplier effect sebagai prime mover perekonomian nasional.
Dalam kegiatan budidaya perikanan, pakan merupakan faktor penting
yang perludiperhatikan.Kandungan zat gizi pakan sangat mempengaruhi hasil
panen yang merupakantujuan akhir dari proses budidaya.Oleh karena itu, aspek
nutrisi dalam pakan ikan mendapatperhatian yang cukup besar oleh para ahli
dan juga usahawan.Selain itu, pakan jugamerupakan komponen biaya
operasional yang cukup besar dalam kegiatan budidaya, sehinggaperlu
diperhitungkan efisiensinya.
Efektivitas pemberian pakan dalam kegiatan budidaya merupakan hal
yang penting, karena menyangkut efisiensi penggunaan waktu pemeliharaan,
jumlah pakan dan jenis makanan optimal yang dikonsumsi oleh setiap individu
ikan. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian yang intensif tentang jenis pakan
yang lebih baik terhadap pertumbuhan, antara pakan rucah segar yang harganya
relatif mahal dengan ikan rucah yang lebih murah, sehingga dapat dijadikan
acuan bagi pembudidaya ikan untuk mengefisienkan biaya yang dikeluarkan
untuk kebutuhan pakan.
Ikan Bubara (C. sexfasciatus) di Maluku umumnya dibudidayakan
dengan sistem budidaya Keramba Jaring Apung (KJA). Ikan bubara memiliki
beberapa keunggulan antara lain: tidak memerlukan perawatan yang terlalu
intensif sebagaimana ikan kerapu (Epinephelus), tahan terhadap penyakit,
mampu beradaptasi pada perubahan kualitas perairan yang ekstrim, merupakan
ikan yang nafsu makannya besar sehingga pertumbuhannya relatif cepat
(Hariyano dkk., 2008).Keunggulan lain dari jenis ikan bubara dalam
lingkungan budidaya selain memiliki pertumbuhan yang cepat juga efisien
dalam memanfaatkan pakan serta mampu hidup dalam kondisi yang cukup
padat.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 104
Dusun Wael merupakan salah satu spot area budidaya yang ada di
Kawasan Minapolitan Kabupaten Seram Bagian Barat. Daerah ini merupakan
pusat budidaya ikan di keramba jaring apung. Penerapan konsep blue economy
ini sebenarnya secara tidak langsung telah diadopsi oleh para pembudidaya
pembesaran ikan bubara di KJA di Dusun Wael Kab. SBB sejak tahun 2010,
dimana pemanfaatan pakan rucah dalam kegiatan ini tanpa adanya sisa limbah
(zero waste). Ada dua keuntungan dari pemanfaatan pakan rucah dalam
kegiatan pembesaran ini, pertama menekan biaya operasional dari 70% menjadi
sekitar 40-50% dan tidak adanya limbah yang terbuang sehingga tidak
mencemari lingkungan budidaya.
Oleh karena pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi oleh faktor makanan
dan biaya untuk pakanmerupakan komponen terbesar dalam operasional
budidaya, maka perlu dilakukan suatu kajian tentang pemanfaatan pakan secara
optimal sehingga dapat diperoleh hasil panen yang optimum dengan biaya yang
relatiflebih murah.Selanjutnya, dengan mengetahui laju pertumbuhan ikan yang
dibudidayakan danbeberapa faktor budidaya lainnya (FCR dan SR) akan sangat
bermanfaat untuk perhitunganinvestasi (biaya operasional) serta perkiraan hasil
panen yang lebih optimum.

METODE
Seleksi Benih
Seleksi benih dilakukan dengan memilih benih yang sehat, tidak cacat pada
sirip maupun ekor, ukuran seragam, gerakan lincah, warna cerah, responsive
terhadap makanan serta bebas penyakit. Benih yang digunakan yaitu : ikan
bubara mata besar (Caranx sexfasciatus).

Pemeliharaan Benih
Pada awal penebaran benih dipelihara dalam keramba jaring apung dengan
kepadatan 500 ekor per jaring (3 x 3 x 3 m) dan selanjutnya ukuran mesh size
dan kepadatan ikan disesuaikan dengan ukuran ikan. Keramba jaring apung
dibersihkan satu bulan sekali. Disamping itu benih juga dibesarkan pada jaring
yang berbentuk lingkaran. Ini dilakukan untuk melihat pengaruh pertumbuhan
dengan bentuk jaring yang berbeda.

Pemberian Pakan
Selama pemeliharaan benih dilakukan pemberian pakan berupa ikan segar
seperti ikan lemuru, ikan layang, kembung, teri dan sebagainya. Dosis
pemberian pakan 5-10% dari berat total ikan dan diberikan 2 kali per hari (pagi
hari jam 07:00) dan sore hari jam 16.30 WIT).

Analisa Data
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 105
Pertumbuhan
Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan dimensi suatu organisme yang
dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pengukuran
pertumbuhan ikan uji dengan menghitung pertambahan berat biomassa dalam
satu wadah, yaitu :

W = Wt-Wo
Keterangan:
W = Pertumbuhan biomassa mutlak ikan uji (g)
Wt = Biomassa ikan uji pada akhir penelitian (g)
W0 = Biomassa ikan uji pada awal penelitian (g)
Logaritma dari persamaan tersebut di atas merupakan regresi linier
dimana "g" merupakan koefisien arahnya. Jadi laju pertumbuhan
"instantaneous growth (g)" didapat dari regresi linier persamaan berikut:

Ln Wt = Ln Wo+gt
Keterangan:
Wt = Biomassa ikan uji pada akhir penelitian (g)
Wo = Biomassa ikan uji pada awal penelitian (g)
g = Koefisien laju pertumbuhan
t = Lama penelitian (minggu).

Efisiensi Pakan
Untuk menghitung efisiensi pakan, maka diperlukan informasi berat total ikan
saat awal (BT0), berat ikan setelah masa pemeliharaan tertentu (BT1) dan
jumlah pakan yang habis setelah masa pemeliharaan tertentu (P) (Safrudin,
2003) dengan formula sebagai berikut:
BT1 x BT0
Effisiensi Pakan: x 100%
P

Konversi Pakan
Konversi pakan atau FCR (Feed Convertion Ratio) adalah jumlah (berat) pakan
yang dapat membentuk suatu unit berat ikan. Adapun rumus untuk menghitung
FCR adalah:
Makanan yang dimakan (g)
FCR =
Pertambahan berat tubuh (g)

Kelangsungan Hidup (SR)


BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 106
Selama proses penelitian dilakukan pengamatan jumlah ikan Bubara Caranx
sexfasciatus yang mati dan jumlah ikan Bubara C. sexfasciatus yang masih
hidup, sehingga dapat dihitung prosentase kematian dan kelangsungan hidup
ikan Bubara C. sexfasciatus (menurut Chapman, 1968 dalam Martuti, 1989)
menggunakan rumus:

S = (1 – Z)x100
Keterangan:
S = Kelangsungan hidup (%)
Z = Koefisien laju kematian, dihitung dengan rumus Z = ln No – ln Nt/t
No = Jumlah ikan Bubara Caranx sexfasciatus yang hidup pada awal kegiatan
Nt = Jumlah ikan Bubara Caranx sexfasciatus selama periode kegiatan
t = Waktu (minggu)

HASIL
Pola Pertumbuhan
Pola pertumbuhan ikan Bubara berdasarkan ukuran berat disajikan pada
Gambar 1. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa pola pertumbuhan (berat
tubuh) ikan bubaramengikuti pola sigmoid dimana pertumbuhan masih akan
terus berkembang sampai dititik pembelokan pertumbuhan mulai melambat.

Pola Pertumbuhan Berat


Berat

1 2

Pengukuran Ke-

Laju Pertumbuhan
Hasil analisa laju pertumbuhan ikan bubaramenunjukkan bahwa laju
pertumbuhan pertambahan berat ikan bubarayang diberikan pakan dengan
memanfaatkan semua limbah pakan yang adalah 1,73%.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 107


Konversi Pakan (KP) dan Efisiensi Pakan (EP) dan Kelangsungan Hidup
(SR)
Disamping data pertumbuhan salah satu perhitungan yang menghubungkan
pertumbuhan dan jumlah pakan adalah konversi pakan. Berdasarkan hasil
analisa yang dilakukan diperoleh KPadalah 2,97. Untuk mengetahui
pemanfaatan pakan oleh ikan serta untuk mencari tahu kualitas pakan tersebut
maka dilakukan penghitungan efisiensi penggunaan pakan. EPyang diberikan
pada ikan bubara dengan menggunakan pakan ini adalah 33,3%. Berdasarkan
hasil kegiatan, diperoleh hasil perhitungan tingkat kelangsungan hidup ikan
bubara berkisar antara 90-95%.

Analisa Usaha
Analisa usaha secara umum ditetapkan dengan tujuan untuk menilai manfaat
investasi terhadap suatu usaha yang dilakukan, membandingkan tingkat
manfaat investasi terhadap suatu usaha dengan usaha lainnya, dapat digunakan
sebagai kendali terhadap investasi usaha yang dijalankan. Dan berdasarkan
hasil analisa kelayakan usaha kegiatan optimalisasi pemanfaatan pakan rucah
ini dapat menekan biaya operasional sebanyak 20 - 25%.

PEMBAHASAN
Pertumbuhan merupakan rangkaian perubahan ukuran suatu organisme
yang dapat berupa berat atau panjang dalam satuan waktu tertentu. Pada
Gambar 1 tentang pola pertumbuhan terhadap pertambahan berat terlihat bahwa
pada pengukuran sampling ikan bubara pertama sampai keempat pertumbuhan
menunjukan hasil yang agak lambat dan kemudian pertumbuhannya terus naik
pada pengukuran minggu kelima. Lambatnya pertumbuhan yang terjadi pada
pengukuran sampling pertama sampai ketiga diduga merupakan tahap adaptasi
ikan bubara terhadap lingkungannya yang baru setelah ikan diangkut dari
tempat penampungan atau penangkapan oleh para nelayan ke tempat budidaya
karena pada saat pengangkutan kemungkinan ikan mengalami luka sehingga
memerlukan waktu yang agak lama untuk dapat berkembang. Hariyano, dkk.,
(2009; 2010) menyatakan kematian ikan bubara terbanyak terjadi di awal-awal
pemeliharaan karena ikan bubara mengalami luka akibat dari transportasi ikan
dari nelayan tangkap ke tempat budidaya dan memerlukan waktu satu sampai
dua bulan untuk tahap adaptasinya. Untuk itu dalam kegiatan ini sebelum ikan
bubara di tebar di lakukan penyortiran terlebih dahulu dengan memilih ikan
yang sehat. Pattipeilohy, dkk., (2009) menyatakan bahwa ikan-ikan hasil
tangkapan dari alam memerlukan tahap adaptasi atau domestikasi terlebih
dahulu selama beberapa bulan baru bisa makan dengan baik. Selanjutnya Ely
dkk., (2009) menyatakan bahwa benih ikan bubara yang diperoleh dari alam
yang merupakan hasil tangkapan nelayan, biasanya mengalami luka-luka akibat
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 108
penangkapan dan penanganan yang kurang baik. Oleh karena itu perlu
dilakukan domestikasi sehingga dihasilkan ikan yang sehat, mampu beradaptasi
dengan lingkungan budidaya.
Laju pertumbuhan ikan bubarayang diperolehmenunjukkan bahwa laju
pertumbuhan pertambahan berat ikan bubarayang diberikan pakan dengan
memanfaatkan semua limbah pakan yang adalah 1,73%. Hasil ini mungkin
diduga disebabkan oleh padat tebar yang dilakukan sesuai dengan luas wadah
dan kebutuhan ikan untuk dapat tumbuh dengan baik. Hariyano, dkk., (2008)
memperoleh hasil laju pertumbuhan ikan bubara hanya berkisar antrara 1,11 -
1,13%. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Minjoyo, dkk., (2007) yang
dalam penelitiannya memperoleh laju pertumbuhan ikan Bawal Bintang
(Trachinotus blochii) berkisar antara 0,78 % – 1,40 %. Hasil yang diperoleh
dalam penelitian ini bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh
Hariyano, dkk., (2008) dan Minjoyo, dkk., (2007) masih lebih baik. Hal ini
diduga disebabkan oleh padat penebaran yang berbeda antara yang perlakuan
yang dilakukan oleh Hariyano, dkk., (2008) dan Minjoyo, dkk., (2007), dimana
Hariyano, dkk., (2008) dalam perlakuannya menebar dengan kepadatan 100
ekor/m3 jaring dan Minjoyo, dkk., (2007) kepadataannya 70 ekor/m3 jaring,
sedangkan pada kegiatan ini kepadatannya 64 ekor/m3 jaring. Berkaitan dengan
tingkat kepadatan (Kune, 2006) menyatakan bahwa tingkat kepadatan
penebaran ikan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ikan. Makin padat
tebar yang dilakukan makin lambat pertumbuhannya karena terjadinya
persaingan ruang dan pemanfaatan pakan. Demikian halnya yang dikemukakan
Supriyatna, dkk., (2008) bahwa ikan yang dipelihara dengan kepadatan yang
rendah mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dari pada kepadatan yang
tinggi. Lebih lanjut Alit (2009) menyatakan bahwa padat penebaran
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan. Kondisi tentang padat penebaran ini
bila dikaji lebih lanjut diduga disebabkan oleh adanya kompetisi antar individu
untuk mendapatkan makanan dan ruang gerak. Makin padat penebaran yang
dilakukan maka kompetisi akan semakin ketat dan kondisi sebaliknya terjadi
bila padat penebaran makin kecil maka kemungkinan untuk mendapatkan
makanan dan ruang gerak makin besar.
Konversi Pakan yang diperoleh dalam kegiatan ini adalah 2,97.Hasil
ini bila dibandingkan dengan konversi pakan yang diperoleh Minjoyo, dkk.,
(2007) pada pembesaran ikan Bubara famili Carangidae jenis ikan Bawal
Bintang (T. blochii) ternyata lebih besar (1,985). Perbedaan ini disebabkan
perbedaan pakan yang digunakan pada saat pemeliharaan, dimana pada
penelitian ini menggunakan pakan ikan momar putih dan pakan ikan belosoh
sedangkan Minjoyo, dkk., (2007) menggunakan pellet komersial yang
kandungan proteinnya cukup tinggi dengan nilai protein minimal 30%
sebanyak 3% dari total biomassa. Namun hasil konversi pakan ini masih layak
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 109
bagi suatu usaha budidaya ikan Bubara. Menurut Ghufron (2004) menyatakan
bahwa konversi pakan ikan Bubara adalah 3 – 9. Berdasarkan konversi pakan
ikan bubara maka ikan bubara dapat dianjurkan untuk dilakukan usaha
pembesaran karena masih dapat menguntungkan.
Untuk mengetahui pemanfaatan pakan oleh ikan serta untuk mencari
tahu kualitas pakan tersebut maka dilakukan penghitungan efisiensi
penggunaan pakan. EPyang diberikan pada ikan bubara dengan menggunakan
pakan ini adalah 33,3%.Menurut Buwono (2000) dalam Sukoso (2002)
efisiensi penggunaan makanan oleh ikan menunjukan nilai persentase makanan
yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh ikan. Jumlah dan kualitas makanan yang
diberikan kepada ikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan.Dimanajumlah
dan kualitas pakan merupakan faktor penting. Bila pakannya terlalu sedikit,
ikan akan sukar tumbuh. Sebaliknya bila terlalu banyak, kondisi air menjadi
jelek (Assoniwora, 2009).
Kelangsungan hidup (SR) yaitu persentase jumlah benih ikan yang
masih hidup setelah perlakuan (Zonneveld dkk., 1991). Kelangsungan hidup
berfungsi untuk menghitung persentase ikan yang hidup pada akhir kegiatan.
Pada kegiatan ini kelangsungan hidup ikan bubara untuk semua perlakuan
adalah 90-95%. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh manajemen
pemberian pakan yang teratur serta pengontrolan yang dilakukan tiap hari serta
padat tebar yang tidak terlalu tinggi sehingga ada ruang dan pergerakan yang
leluasa dari ikan tersebut.Menurut Fajar (1988) dalam Sukoso (2002) tingkat
kelangsungan hidup ikan dipengaruhi oleh manejemen budidaya yang baik
antara lain padat tebar, kualitas pakan, kualitas air, parasit atau penyakit. Selain
itu menurut Mudjiman (2000) pakan yang mempunyai nutrisi yang baik sangat
berperan dalam mempertahankan kelangsungan hidup dan mempercepat
pertumbuhan ikan.
Analisa usaha secara umum ditetapkan dengan tujuan untuk menilai
manfaat investasi terhadap suatu usaha yang dilakukan, membandingkan
tingkat manfaat investasi terhadap suatu usaha dengan usaha lainnya, dapat
digunakan sebagai kendali terhadap investasi usaha yang dijalankan. Dan
berdasarkan hasil analisa kelayakan usaha kegiatan optimalisasi pemanfaatan
pakan rucah ini dapat menekan biaya operasional sebanyak 20 - 25%. Return of
investasi (ROI) 120% dan benefit cost ratio (B/C) ratio 2,56. ROI adalah nilai
keuntungan yang diperoleh pengusaha dari setiap jumlah uang yang
diinvestasikan dalam periode waktu tertentu. dengan analisis ROI dapat
mengukur sampai seberapa besar kemampuan dalam mengembalikan modal
yang telah ditanamkan. Dengan ROI 114% artinya dari modal Rp 100,- yang
diinvestasikan akan menghasilkan keuntungan sebesar 114 %. Dengan benefit
cost ratio dapat dilihat kelayakan suatu usaha. Bila nilainya satu berarti usaha
tersebut belum mendapatkan keuntungan. semakin kecil nilai ratio ini, makin
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 110
besar kemungkinan perusahaan menderita kerugian. Dan B/C ratio 2,14 berarti
dengan biaya produksi Rp. 100,- diperoleh hasil penjualan 2,14 kali.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka didapatkan beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Laju pertumbuhan ikan bubaramenunjukkan bahwa laju pertumbuhan
pertambahan berat ikan bubarayang diberikan pakan dengan memanfaatkan
semua limbah pakan yang adalah 1,73%.
2. Konversi pakanadalah 2,97 dann efisiensi penggunaan pakan adalah 33,3%.
3. Tingkat kelangsungan hidup ikan bubara untuk semua perlakuan adalah 90-
95%.
4. Hasil analisa usaha ROI adalah 114% dan B/C adalah 2,14 kali.

Saran
Memperhatikan hasil yang diperoleh dalam kegiatan ini, maka dapat
disarankan:
“ Pembesaran ikan bubara di KJA di spot budidaya Dusun Wael selama ini
hanya mengandalkan benih dari alam untuk itu kedepan perlu usaha
pembenihan yang dilakukan sehingga usaha pembesaran yang terjadi di spot ini
dapat terus berlangsung”.

DAFTAR PUSTAKA

Alit, A. A., 2008. Analisis Finansial Produksi Benih Ikan Kuwe Gnathanodon
speciosus Forsskal Dengan Padat Penebaran Berbeda Dalam Hatchery
Skala Rumah Tangga di Kecamatan Gerokgak Buleleng Bali. BBRPBL-
Gondol Bali.
Alit, A. A. K., Setiadharma T. Dan Katimin, 2008. Pendederan Yuwana Ikan
Kuwe Gnathanodon speciousus Forsskal Dengan Jenis Pakan Yang
Berbeda di Bak Terkontrol. BBRPBL-Gondol.
Alit, I. G. K., 2009. Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Pertambahan Berat
dan Panjang Badan Belut Sawah (Monopterus albus). Jurnal Biologi
XIII (1), 25-28. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana-Bali.
Chrys, 2006. Ikan Kwee (Carangoides).
http://www.stp.dkp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=5
27:ikan-kwee-carangoides-chrysophrys&catid=97:ikan-
laut&Itemid=130.2006.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 111


Ely, N. Dan Darto, 2009. Domestikasi Calon Induk Ikan Bubara (C.
Sexfasciatus) di Bak Terkontrol. Prosiding Laporan Tahunan Balai
Budidaya Laut Ambon.
Ghufran.M dan Kordi K. 2007. Meramu Pakan Untuk Ikan Karnivor. Baung,
Belut, Betutu, Gabus, Jambal Siam, Kakap, Kerapu, Kuwe, Lele, Patin,
Sidat, dan Toman. Penerbit: CV.Aneka Ilmu, Anggota IKAPI
No.002/JTE. Semarang.
Hariyano. E.A. Basir, dan W. Nuraini. 2008. Makalah : Potensi
Pengembangan Pembesaran Ikan Famili Carangidae Di Keramba Jaring
Apung Teluk Ambon Bagian Dalam. Departemen Kelautan Dan
Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Budidaya
Laut Ambon.
Hariyano, N. Hendarto, R. Mahu, dan R. Dewi. 2010. Pembesaran Bubara
(Caranx sp.) Di Keramba Jaring Apung. Petunjuk Teknis Budidaya
Laut. Kementrian Kelautan Dan Perikanan Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Balai Budidaya Laut Ambon.
Hendarto, N., 2007. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan Rucah Terhadap
Pertumbuhan Benih Kerapu Macan Ephinephelus fuscoguttatus Di
Keramba Jaring Apung. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas
Darussalam-Ambon.
Kune, S. 2006. Pengaruh Tingkat Kepadatan Terhadap Pertumbuhan Ikan
Beronang Siganus Javus Dalam Keramba Jaring Apung. J.Sains dan
Teknologi Vol.6 No. I. 27-34. Universitas Muhammadiyah Makassar.
Lestari A. S dan Kadari M., 2009. Penggelondongan Ikan Bawal Bintang
(Trachinotus blochii, Lacepede) Dengan Frekuensi Pemberian Pakan
yang Berbeda di Keramba Jaring Apung. Jurnal Perekayasaan Budidaya
Laut Vol 3. Balai Budidaya Laut Batam.
Martuti, Nana KT. 1989. Penggunaan Berbagai Materi “Attractant” Dalam
Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Udang Windu (Paneus monodon
Fabricius). Skripsi. Semarang : Fakultas Peternakan UNDIP.
http://www.google.co.id/search?hl=id&noj=1&q=Penggunaan+
berbagai+materi+Atractant+oleh+Martuti+1989&oq.119331.0.126223.1
8.18.0.0.0.0.3104.16952.0j6j3j6-5j9-4.18.0...0.0.tSDR-yEiQFk.
Minjoyo, H., Prihaningrum A dan istikomah, 2007. Pembesaran Bawal Bintang
Trachinotus blochii, Lacepede dengan Padat Tebar Berbeda di Keramba
Jaring Apung. BBPBL lampung.
Mudjiman, A. 2000. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pattipeilohy, I. G., Handayani S. Dan Rahmazani, 2009. Domestikasi Calon
Induk Napoleon (Cheilinus undulatus) di Bak Terkontrol. Prosiding
Laporan Tahunan Balai Budidaya Laut Ambon.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 112


Perucha. Y. 2009. Teknik Pemeliharaan Larva Ikan Kuwe
(G. speciosus).http://dc387.4shared.com/doc/n3x4ocJz/preview.html.
akses: Jumat, 7-10-2011.
Riyanto. S, 2009. kebiasaan makan ikan kuwe (Carangidae) di Selat Makasar
dan Teluk Ambon. Vol 2 No 3. Hal 12-17.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=8203&i
dc=33. Akses: Minggu, 23-1-2011.
Rufiati. I. 2008. Laporan Praktikum Manajemen Akuakultur Tawar.
Laboratorium Akuakultur. Budidaya Perikanan. Jurusan Perikanan
Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
http://my.opera.com/sampah.bermanfaat/blog/index.dml/tag/Laporan%2
0Praktikum%20%20%Manajemen_%20Akuakultur%20Tawar. Akses:
Jumat, 10 Juni 2011
Safrudin.D. 2003. Pembesaran IkanKarper Di KerambaJaring Apung. Modul
Pengelolaan Pemberian Pakan.
http://belajar.internetsehat.org/pustaka//pen
didikan/materi-kejuruan.pertanian/budi-daya-ikan-air-tawar/pembesaran/_
ikan_karper.pengelolaan_pemberian_pakan.pd.Akses: Minggu, 12 Juni 2011.
Sukoso. 2002. Pemanfaatan Mikroalga dalam Industri Pakan Ikan. Agritek
YPN. Jakarta.
Supriyatna, A., Romdlianto M dan Gede S. A., 2008. Pengamatan Pertumbuhan
dan Sintasan Benih Kerapu Lumpur Ephinephelus coioides yang
Dipelihara Dengan Kepadatan Berbeda. BBRPL-Gondol.
Zaeni.A, dan Fatchudin.F. 2009. Produksi Benih Bawal Bintang (Trachinotus
blochii) Dengan Padat Penebaran Yang Berbeda. Makalah. Departemen
Kelautan Dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai
Budidaya Laut Batam.

DETEKSI DAN PENGOBATAN MILKY DISEASE PADA LOBSTER


Panulirus spp.

Joko Santosa*, Luluk Widayanti**, M. Budianto*** dan Ujang Komarudin****

ABSTRACT

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 113


Milky disease causes huge financial loss on marine lobster -culture. The
mortality rate of lobster caused by this disease was between 80-100% out of
total population. The infection of bacterial agents is a major problem in marine
culture systems. Diseases which occur in East and Central Lombok cause high
mortality rate, loss of weight, loss of appetite, change of the colour of carapas
to reddish-brown, production of milky-white mucus in ventral abdomen and
general weaknesses.
Using microbiological tests, the growth of colony was not found in
universal media. Molecular test using PCR to detect riketsia-like bakteria with
the primer 137F: 5‟-AAC-GAT-CTC-TTC-GGA-GAG-AGT-G-3‟, 137R: 5‟-
GCC-CAT-TCA-ATG--GCG-ATA-3‟ and 254F: 5‟-CGA-GGA-CCA-GAG-
ATG-GAC-CTT-3‟, 254R: 5‟-GCT-CAT-TGT-CAC-CGC-CAT-TGT-3‟ gave
a positive result, while the detection of parasites gave a negative result.
Therefore, the disease was diagnosed as septichaemia by rickettsia-like bacteria
or Milky Disease.
Thus, for treatments 10 mg/kg BW anti-bacterial drug, vitamins, premix
and immunostimulants were given. These treatments were successful to keep
the survival rate of 67,1 – 73,2%.

Key words : Panulirus sp, Septichaemia, Rickettsia-like bacteria, anti-bacterial


drug

*PHPI Pertama, Molecular Analyst at MADC Lombok Diagnostic Laboratory


**PHPI Muda, Tehnical Manager and Bacteriology Analyst at MADC Lombok
Diagnostic Laboratory
***PHPI Pelaksana, Parasitology Analyst at MADC Lombok Diagnostic
Laboratory
****Top Manager at MADC Lombok Diagnostic Laboratory

PENDAHULUAN

Latar belakang

Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang memiliki budidaya


lobster. Di Lombok kegitan budidaya berada di pesisir selatan, terpusat di teluk
Telong-elong, teluk Ekas, teluk Batunampar, teluk Awang, teluk Bumbang,
teluk Gerupuk dan daerah Sekotong. Di pulau Sumbawa juga terdapat beberapa
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 114
lokasi pembesaran lobster karang/Panulirus sp, meskipun tidak sebanyak di
pulau Lombok. Lobster dibudidayakan di laut dengan teknologi sederhana
menggunakan keramba jaring apung yang terbuat dari bambu atau kayu, namun
ada pula yang sudah menggunakan karamba Polietylen. Spesies lobster yang
dibudidayakan 90% merupakan jenis lobster pasir (Panulirus homarus)
sedangkan sisanya adalah lobster bambu, lobster mutiara, lobster batu dan
beberapa jenis lain. Pemberian pakan dilakukan dengan ikan rucah dari hasil
tangkapan menggunakan bagan atau jaring. Saat ini sudah mulai dikembangkan
pula pemberian pakan buatan pellet untuk lobster.
Budidaya lobster di Lombok melibatkan sekitar 500 KK dengan jumlah
karamba mencapai 1200 buah. Kegiatan ini menjadi penting bagi kehidupan
warga pesisir Lombok karena nilai komoditas yang tinggi dan banyak yang
100% penghidupannya bergantung pada hasil laut dan budidaya. Saat ini benih
yang ditangkap memiliki harga 8000-15000 rupiah tiap ekor sedangkan lobster
siap jual berharga 300 ribu – 600 ribu perkilogram pada ukuran 150 gram
keatas.
Serangan penyakit menjadi kendala utama proses budidaya dan
dilaporkan megalami peningkatan seiring berkembangnya kegiatan ini. Kasus
yang meningkat selalu dihubungkan dengan kondisi lingkungan, stressor,
system pemeliharaan, tingkat kepadatan populasi dan kualitas lingkungan yang
memburuk. Diantara penyakit lobster, Milky disease adalah penyakit yang
diketahui menyebabkan kematian masal dan kerugian besar. Penyakit ini
pernah dilaporkan mewabah pada industry budidaya lobster di Vietnam yang
mengakibatkan turunnya produksi dan kerugian yang tidak sedikit. Rickettsia-
like bakteria (RLB) diketahui sebagai penyebab dari infeksi
sistemik/septichaemia pada lobster. Morphology dari bakteri ini adalah
berbentuk batang, gram negative dengan ukuran 0.45µm x 1.5 µm, melakukan
replikasi di sitoplasma dan bersifat parasite obligat intaraseluler. Bakteri ini
memiliki target serangan pada jaringan ikat, organ lymphoid, sel epithel
cuticula, sel darah dan sel haematopoetic. Sebagaimana penyakit lain yang
disebabkan oleh bakteri maka agen therapeutic yang efektif untuk mengatasi
infeksi RLB adalah anti biotik. Ada beberapa antibakteri yang bisa digunakan
untuk mengatasi masalah ini. Flouroquinolone, oksitetrasiklin, tetrasiklin,
doxysiklin, thiamphenicol, rifampin. (Dung, 2012)
Di Lombok, mulai tahun 2010 kasus kematian lobster akibat penyakit
mulai sering dijumpai sehinga cara deteksi cepat,diagnosa yang benar
diharapkan bisa diambil untuk memberikan treatmen yang tepat sehingga
mengurangi kerugian.
Tujuan

a) Identifikasi dan deteksi penyebab penyakit Milky Disease pada lobster


BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 115
b) Mencari cara pengobatan penyakit Milky Disease.

KASUS KEJADIAN PENYAKIT

Anamnesa

Menurut pembudidaya lobster, kasus penyakit mulai timbul sekitar


tahun 2010, menyerang lobster pasir dan lobster mutiara. Lobster dengan
ukuran 50gr – 150gr mulai terkena penyakit pada karamba budidaya dengan
kematian tinggi di teluk Telong-elong yang kemudian diikuti terjadi pula di
teluk Awang, Teluk Gerupuk dan Teluk Ekas pada beberapa waktu berikutnya.
Kejadian penyakit semakin parah kematian dan tingkat sebaran penyakitnya
hingga akhir 2012. Banyak pembudidaya yang menghentikan sementara
budidaya lobster dan mencoba komoditas lain seperti ikan kerapu, kakap dan
bawal putih.
Lobster yang terkena penyakit dipelihara di jaring pada karamba bambu
di perairan teluk dengan kepadatan 200-300/ jaring. Berdekatan dengan
pembudidaya lain dengan jarak 20-50 meter antar karamba. Tingkat
kepemilikan jumlah karamba lobster bervariasi diantara pembudidaya, berkisar
antara 8 lubang hingga 200 lubang. Tingkat dating dan keluarnya lobster dari
karamba terjadi ketika penebaran benih dan penjualan lobster dewasa, namun
pada beberapa karamba berfungsi juga sebagai penampungan sementara dalam
jual beli benih dan lobster untuk dikirim ke tempat lain atau di ekspor.

Gejala Klinis
Gejala yang bisa diamati dari kejadian penyakit adalah serangan
penyakit dengan mortalitas dan morbiditas tinggi. kasus penyakit menimpa
hampir semua populasi lobster dengan gejala lobster mengalami kelemahan
umum, aktivitas hanya pada dasar jaring karamba, hilang nafsu makan,
kematian yang bertahap hingga mencapai 90%. Perubahan warna karapas
kemerahan kadang ditemukan, namun kadangkala juga tidak terjadi, pada
bagian otot perut ditemukan cairan dari semula jernih keputihan hingga putih
kecoklatan. Penyakit ini menular secara cepat diantara lobster dalam satu jaring
dan kemudian dalam satu karamba.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 116


Gambar.1 Lobster dengan gejala sakit

MATERI DAN METODE PEMERIKSAAN PENYAKIT

Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan pada lobster yang menunjukkan gejala


sakit,. Sampel diambil dari beberapa tempat, karamba lobster punya Bp. Hweri
dan Samsudin di Telong-elong, Kecamatan Jerowaru Kab Lombok Timur.
Pembudidaya ini memiliki sekitar 30 lubang karamba jaring apung yang berisi
lobster dan beberapa jenis ikan lain. Lobster berjumlah 6 ekor berumur 4 bulan
dari ketika ditebar, berat ± 60gram. Sampel juga diperoleh dari Bp Pamit, dari
teluk Awang, Lombok Tengah, pemilik sekitar 50 lubang karamba. Lobster
berumur 5 bulan dengan berat ± 80gram, sebagian besar merupakan jenis
lobster pasir.
Selain pembudidaya lobster pak Pamit juga melakukan pengumpulan
benih lobster dari alam pada karambanya dan melakukan jual beli benih untuk
dikirimkan ke pengepul. Sampel juga diambil dari karamba milik BPBL
Lombok di teluk Gerupuk dan Karamba di Sekotong. Kejadian kematian sudah
terjadi lebih dari satu minggu. Tindakan yang yang telah dilakukan pengelola
adalah pemberian beberapa jenis tanaman herbal bersamaan dengan pemberian
pakan yang diharapkan bisa mengurangi penyakit.

Kultur Bakteri
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 117
Lobster diletakkan pada sisi punggung berada di atas. Bagian punggung
diulas diantara karapas dan badan/ekor dengan kapas yang telah dibasahi
alkohol 70%.Haemolimph diambil dengan jarum 20G sebanyak sekitar 1ml.
Haemolimp diinokulasi pada TSA dan TCBS dengan beberapa tetes
haemolimp. Lalu diulas pada media untuk mendapatkan koloni yang terpisah
untuk dilakukan identifikasi bakteri.

Pengecatan Gram
Slide direndam dalam alcohol 95 % lalu dibersihkan, Slide dilewatkan
api 3x. Jarum ose dipanaskan, ambil aquadest steril dengan ose tersebut. Dimbil
haemolimp dengan jarum dan diletakkan pada slide beberapa tetes, diratakan
hingga terbentuk film yg tipis. Dikering anginkan selama 5 menit. Tuangkan
crystal violet (Gram A) pada slide biarkan selama 1 menit, Cuci dengan air
mengalir/ ledeng, kemudian dikering anginkan. Tuangkan gram,s iodine pada
slide, diamklan selama 1 menit. Cuci dengan air mengalir dan kering anginkan.
Cuci dengan alcohol 95%, Cuci dengan air mengalir dan kering anginkan.
Lakukan counter stain dengan safranin 1% selama 20 detik. Cuci dengan air
mengalir dan kering anginkan, Amati dibawah mikroskop meliputi warna dan
bentuk sel bakteri

Uji Polimerase Chain Reaction


Selain dilakukan pemeriksaan secara mikrobiologi, dilakukan
pemeriksaan secara molekuler terhadap rickettsia-like bakteria. Sampel organ
diambil dari bagian abdomen atau jaringan ikat yang terserang. Ekstraksi
sampel dilakukan menggunakan Genereach extraction kit-lisosim, mastermix
menggunakan Taqman Universal Mastermix serta menggunakan primer 137F:
5‟-AAC-GAT-CTC-TTC-GGA-GAG-AGT-G-3‟, 137R: 5‟-GCC-CAT-TCA-
ATG--GCG-ATA-3‟ dan 254F: 5‟-CGA-GGA-CCA-GAG-ATG-GAC-CTT-
3‟, 254R: 5‟-GCT-CAT-TGT-CAC-CGC-CAT-TGT-3‟ (oie, 2010). Profil
amplifikasi PCR tertera pada table 1 & 2.

Tabel 1. Profil amplifikasi mengunakan primer 137 F/R = 137 bp

Proses Suhu Waktu Siklus


Hot start 95 o C 5 menit 1
Amplifikasi 61 o C 30 detik 30
72 o C 30 detik
95 o C 30 detik
Final 61 o C 1 menit 1
1. 72 o C 2 menit
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 118
Tabel 2. Profil amplifikasi mengunakan primer 254 F/R = 254 bp

Proses Suhu Waktu Siklus


Hot start 95 o C 5 menit 1
Amplifikasi 65 o C 30 detik 30
72 o C 30 detik
95 o C 30 detik
Final 65 o C 1 menit 1
2. 72 o C 2 Menit
(* Dung, 2012)

Uji Parasitologi
Dilakukan ulas basah dan pengamatan menggunakan mikroskop
binokuler terhadap keberadaan parasit

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kultur Bakteri
Dari sampel yang diambil di 4 tempat yang berbeda, tidak terjadi
pertumbuhan pada tiga sampel pada media TSA dan TCBS sedangkan satu
sampel dari karamba BPBL Lombok di Sekotong terdeteksi tumbuh koloni
pada media TCBS. Ketika dilakukan uji lanjutan diperoleh hasil Vibrio
alginolitycus.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 119


Gambar.2. Hasil kultur pada media TCBS dan TSA, tidak tumbuh
koloni

Tabel 1. Hasil pertumbuhan koloni pada media TSA dan TCBS

Asal Lokasi TSA TCBS Hasil


Sampel Identifikasi

Telong-elong - - -

T. Awang - - -

T. Gerupuk - - -

Sekotong - Ada V.alginolitycus

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 120


Pengecatan Gram

Hasil pengecatan gram menunjukkan hasil bahwa bakteri tersebut


merupakan gram negative yang berbentuk batang lengkung, dengan ukuran 0,6
x 1,4 hingga 2,0 µm.

Gambar 3. Hasil pengecatan gram, bakteri berbentuk batang,


lengkung. termasuk gram negative.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 121


Uji Polimerase Chain Reaction

Hasil amplifikasi menggunakan sybr green dan elektroforesis


amplicon dengan metode konvensional menunjukkan hasil positif terhadap
RLB.

Uji Parasitology

Pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya parasit pada sampel lobster.

Gambar 5. Pemeriksaan parasit pada insang, ujung sirip ekor dan ulas
haemolimp lobster,tidak ditemukan parasit

Dengan hasil pemeriksaan kultur bakteri negative pada sebagian besar


sampel, kecuali pada satu sampel. Pengecatan gram negative, hasil PCR positif
terhadap RLB, hasil pemeriksaan parasit negative maka diambil kesimpulan
diagnosa dari kejadian kasus ini adalah septichaemia akibat infeksi Rickettsia-
like bakteria/ milky disease. Differensial diagnosa dari penyakit milky disease
adalah Vibriosis.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 122


Pengobatan Penyakit

Berdasarkan diagnosa dan differensial diagnosa penyakit lobster diatas


maka terapi yang diambil adalah pemberian oksitetrasiklin dengan dosis
10mg/kg BB, suplementasi pakan dengan vitamin dan premix. Penggunaan
oksitetrasiklin pada hewan aquatic menurut Carpenter, 2001 secara
intramuscular pada dosia 10 mg/kgBB q24h. secara IP/IM pada 25-
100mg/kgBB. Dung, 2013 menganjurkan penggunaan a.b oksitetrasiklin untuk
pengobatan MHD pada dosis 10 mg/kgBB. Komposisis multivitamin yang
disarankan adalah vitamin A,D, E, C, B1, B2, B6, Choline Chloride, Ca-d-
pantothenate, Nicotinic acid dan Folic acid.

Jadwal pemberian treatmen, Hari pertama : suntikan oksitetrasiklin intra


muskuler. Pengobatan dilakukan menggunakan Oxytetracylin Long Acting
injection yang diencerkan 10 kali dengan larutan pengencer atau aquabides
menggunakan spuit baru. Campuran obat dikocok hingga teremulsi sempurna
dan homogen. Campuran disuntikkan dengan dosis 0,1 ml/100 gr BB lobster
secara intra muscular pada ruas pertama otot abdominal lobster. Pengobatan
hanya dilakukan pada lobster dengan berat diatas 50 gram. Hari ke 2 - 6 :
pemberian pakan yang diperkaya dengan vitamin. Hari ke 7 : pemeriksaan
kondisi lobster yang dilakukan pengobatan, jika masih ada yang menunjukkan
gejala sakit, dilakukan injeksi lagi. Hari ke 8 : pemberian pakan yang diperkaya
dengan vitamin, premik dan mineral.

Karamba Jumlah Survival Kasus


lobster Rate berulang/tidak
yang
dilakukan
treatmen

Bp. Hweri, telong-elong 4200 2830/67,3% Berulang


ekor
Samsudin, telong-elong 1800 1271/70,6% Tidak
ekor berulang
Bp. Pamit, Awang 3000 2013/67,1% Berulang
ekor

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 123


BPBL-L St.Gerupuk 3500 2563/73,2% Tidak
ekor Berulang
BPBL-L St.Sekotong 900 ekor 643/71.4% Tidak
Berulang

Tanpa Treatmen 200 ekor 58/29%

Aplikasi pengobatan lobster dilakukan secara injeksi mengingat sifat


obat yang mudah terdegradasi oleh cahaya dan sulitnya pemberian pakan secara
peroral pada lobster. Pemberian obat dengan perendaman sudah dicobakan,
namun tidak memberikan efek yang bagus. Medikasi dilakukan di beberapa
tempat. Di teluk Telong-elong pada Karamba Bp Hweri, populasi yang terkena
penyakit sekitar 10.000 ekor. Aplikasi pengobatan dilakukan terhadap 4200
ekor lobster ukuran 100gram/ekor. Injeksi dilakukan dua kali dengan interval 1
minggu. Suplementasi vitamin dan premix dilakukan pada periode antara dua
tindakan tadi. Pengecekan kematian yang masih terjadi dilakukan tiap hari,
lobster yang mati dipisahkan dan dimusnahkan. 1 bulan dari pengobatan
terakhir dilakukan pengecekan jumlah terhadap lobster yang bertahan hidup.
Kegiatan yang sama juga dilakukan pada karaamba milik Syamsudin, dengan
populasi yang terkena penyakit sebanyak 1800 ekor. Pada karamba Bp Pamit di
teluk Awang dengan populasi yang terkena penyakit sebanyak 3000 ekor. Pada
karamba milik Balai di teluk Gerupuk dengan populasi 3500 ekor. Pada
karamba BPBL Lombok yang ada di sekotong sebanyak 900 ekor
Survival rate dari populasi terkena penyakit yang dlakukan treatmen
pada karamba Bp Hweri sebesar 67,3%, pada karamba Syamsudin 70,6 %,
karamba Bp Pamit 67,1% dan karamba punya Balai 73,2% dan 71,4%. Variasi
survival rate ini diakibatkan perbedaan tingkat keparahan, tingkat kepadatan
lobster pada jaring, serta keluar masuknya populasi lobster pada karamba
tersebut. Karamba Bp Hweri memiliki tingkat keparahan serangan paling buruk
karena populasi yang banyak, tingkat kepadatan tinggi dan selain melakukan
pembesaran juga melakukan pembelian dari masyarakat / pengumpul. Bp Pamit
juga berprofesi sebagai pengumpul lobster tangkapan dari alam. Sehingga
Survival rate lebih rendah dari kepunyaan Syamsudin dan KJA milik Balai.
Terjadinya lalu-lintas lobster dan benih dari luar ini bisa jadi merupakan
indikasi berulangnya infeksi penyakit pasca pengobatan.
Pembahasan
Rickettsia-like bakteria belum terklasifikasikan dalam susunan
taksonomi, bakteri ini merupakan gram negative, berbentuk batang atau koma,
berukuran 0,6 x 1,4 hingga 2,0 µm. bakteri ini juga belum berhasil untuk
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 124
dikultur secara invitro. Penularan penyakit ini terjadi secara horizontal dari
lobster yang berada satu jaring atau secara langsung melalui air pada lobster
yang berbeda jaring. Infeksi alami ditemukan ada lobster Panulirus sp terutama
P.ornatus, P.humarus, P.stimpsoni. penyakit ini menyerang pada benih hingga
dewasa. Masuknya bakteri dan terjadinya serangan penyakit sangat cepat.
Lobster yang terkena menjadi tidak aktif dan hilang nafsu makan. Dalam 3 - 5
hari setelah infeksi timbul cairan haemolimph yang berwarna keputihan pada
bagian bawah pleura eksoskeleton yang akan kelihatan bada bagian
abdominal/perut. Haemolimph jika diambil menggunakan jarum suntik akan
berwarna putih berkabut hingga putih susu dan tidak akan menjendal.
Differensial diagnosadari kasus inii adalah vibriosis, vibriosis adalah
penyakit yang diakibatkan oleh Vibrio spp. Hal ini dikuatkan oleh salah satu
hasil kultur bakteri yang mengarah pada Vibrio algynolitycis, meskipun vibrio
adalah nomal ditemukan pada organisme yang hidup di laut. Vibrio
alginolyticus merupakan bakteri gram negative yang berbentuk batang bengkok
atau koma, berukuran 0,5 - 0,8 x 1,4 - 2,6 µm. koloni tumbuh menyebar dalam
media padat dan memiliki diameter 2 – 3 mm. Bakteri ini tumbuh bagus pada
media TCBS dengan warna kuning dan koloni besar. Vibrio alginolyticus
sering ditemukan pada perairan payau dan laut. Beberapa gejala lobster yang
terinfeksi Vibrio alginolyticus adalah perubahan warna merah kecoklatan,
kelemahan umum, nafsu makan hilang, pasif pada dasar jaring karamba,
penularan hampir pada semua lobster pada satu populasi, kematian tinggi
(Dung, 2013) kadang disebut pula red body disease.
Berdasarkan diagnosa diatas, terapi yang memungkinkan untuk treatmen
adalah flouruquinolon, oksitetrasiklin, doxysiklin, triamphenicol dan rifampin.
Namun terapi yang disarankan untuk dilakukan adalah injeksi oksitetrasiklin 10
mg/kg BB karena jenis obat ini mudah didapatkan dan untuk keamanan pangan,
withdrawl time obat dalam produk ikan relative tidak terlalu lama. Pada
pengujian residu OTC menggunakan ELISA, dalam 1 bulan setelah treatmen,
kandungan obat sudah tidak ditemukan pada otot. Selain itu juga dilakukan
pemberian pakan yang disuplementasi dengan vitamin, premix dan
immunostimulan. Pengobatan menggunakan oksitetrasiklin pada lobster yang
menunjukkan gejala awal penyakit atau lobter yang beresiko akan tertular
penyakit menunjukkan hasil yang siknifikan, dengan tingkat survival mencapai
67,1 – 73,2%.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 125


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
a) Penyebab menyakit Milky disease adalah Rickettsia-like Bakteria
b) Tidak ada infeksi parasit yang terlibat dalam kasus Milky disease
c) Pengobatan menggunakan antibacterial dengan injeksi OTC dengan dosis
10mg/kgBB mempertahankan SR hingga 73%.

Saran
Agar kasus Milky disease tidak berulang pada tempat yang sama,
suplementasi premik dan vitamin padaa pakan disarankan selama treatmen
selain menghindari lalu-lintas masuknya lobster baru pada karamba.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Milky Haemolimph Disease of Spiny Lobster (Panulirus spp).


OIE, France.
Anonim.2010. University of Arizona‟s Pathology Short Course, Arizona, US.
Carpentter, James. W. 2001. Exotic Animal Formulary. W.B Sounders
Company. Philadelphia, Pensylvania. USA.
Dung, Nguyen Huu. 2013. Disease of Spiny lobster Cultured in Vietnam. Nha
Trang University. Vietnam.
Post,George. 1983. Textbook of Fish Health. TFH Publication.
Sindermann, Karl. J. 1990. Principal Disease of Marine Fish and Shellfish.
Academic Press, San Diego. California. USA.
Murdjani, M.. 2002. Identifikasi dan Patologi Bakteri Vibrio algynolyticus pada
ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). Program Pascasarjana
Universiitas Brawijaya. Malang.
Thoesen,John C. 1994. BlueBook : Sugested Procedures for the Detection and
Identification of Certain Finfish and Shellfish Pathogens. American
Fisheries Society. Maryland.
Whitman, Kimberley A. 2004. Finfish and Shellfish Bacteriology Manual
Techniques and Procedures. Iowa State Press. Iowa.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 126


PERLAKUAN GNOTOBIOTIK KULTUR ARTEMIA DENGAN
β-GLUKAN: KAJIAN POTENSI β-GLUKAN UNTUK
MEMPERKUAT RESISTENSI TERHADAP VIBRIOSIS

Romi Novriadi, Muh Kadari, R. Pramuanggit, Wibowo Hartanto

ABSTRACT

Alternativestrategiestoreduceandprevent thelethaleffectsfromdiseases
infectiononaquaculture activitiesare needed, especiallyafter it was revealedthat
theuse ofantibioticsproved to be ineffectiveandhas led to the resistance
inseveralstrainsof bacteria. Onealternativestrategyisthe use ofβ-glucan thathas
beenknownin generalplays an important rolein enhancing the innate and
adaptiveimmunesystem. In this study, the protective effect of β-glucans
produced from a specially-selected strain of the yeast Saccharomyces
cerevisiae (MacroGard), was tested on nauplii of the brine shrimp Artemia at
various concentrations under gnotobiotic conditions. Challenge tests were
performed with two pathogenic bacteria: Vibrio harveyi BB120 and a novel
strain of Vibrio HABRA6 (H6), at a concentration of 10 5 cells ml-1. An
autoclaved LVS3 was provided as a food source at a density of 107 cells ml-1 to
the Artemia during observation period. Various challenge tests showed that
three different concentration of β-glucan to enhance the immune system based
on size distribution analysis, 39 µg/L, 100 µg/L dan 200 µg/L was able to
provide a protection effect to the gnotobiotic culture of Artemia from bacterial
infections.This resultconfirms the potentialuse ofβ-glucan as
analternativeprophylactic approachfromthe use ofantibiotics, especiallyfor the
diseaseprevention.

Kata kunci: β-glucan, Artemia, gnotobiotic, Vibrio spp

PENDAHULUAN
Industri perikanan budidaya ikan dan udang merupakan sektor yang
sangat diharapkan dapat berkontribusi dalam peningkatan ekonomi masyarakat
di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu kegiatan industri perikanan adalah
penyediaan benih ikan dan udang yang berkualitas agar menjamin
keberlanjutan dan peningkatan produksi budidaya. Program penyediaan benih
berkualitas sangat bergantung kepada penentuan strategi pemberian pakan yang
tepat, sejak masa transisi dari ketergantungan pada kuning telur hingga
konsumsi pakan alami dari lingkungan (Hjort, 1914). Diantara pakan alami,
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 127
Artemia banyak digunakan di berbagai panti benih ikan dan udang dikarenakan
kualitas nutrisi yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan larva dan sistem
penyediaan yang mudah (Sorgeloos et al., 1986). Artemia sebagai pakan alami
mengandung asam lemak 20:5 (Ω-3) eicosapentaenoic acid atau EPA (Leger et
al., 1986) yang sangat dibutuhkan oleh sistem pencernaan larva. Namun, ada
kekhawatiran bahwa Artemia dapat menjadi vektor dalam perkembangan
penyakit, khususnya penyakit yang disebabkan oleh kelompok bakteri patogen
Vibrio penyebab vibriosis yang dapat menyebabkan tingkat mortalitas yang
tinggi (Gomezgil et al., 1994; Muroga et al., 1994; Verdonck et al., 1994).
Pada budidaya Artemia, beberapa bakteri patogen yang termasuk kedalam
genus Vibrio spp dilaporkan telah menjadi mimpi buruk dan menjadi salah satu
faktor penghambat dalam keberlanjutan produksi, diantaranya adalah: Vibrio
hispanicus (Gomez-Gil et al., 2004); Vibrio alginolyticus (Gunther dan Catena,
1980; Rico-Mora dan Voltolina, 1995); Vibrio parahaemolyticus (Gunther dan
Catena, 1980; Puente et al., 1992; Rico-Mora dan Voltolina, 1995; Orozco-
Medina et al., 2002). Fusarium solani (Criado-Fornelio et al., 1989); Vibrio
proteolyticus (Verschuere et al., 1999, 2000b); Vibrio harveyi atau Vibrio
campbelli (Roque and Gomez-Gill, 2003; Soto-Rodriguez et al., 2003a,b); dan
Vibrio vulnificus (Soto-Rodriguez et al., 2003a). Disamping bakteri dari
kelompok genus Vibrio spp, beberapa kelompok genus, seperti: Bacillus sp.,
Micrococcus sp., Staphylococcus sp., dan Erwinia sp juga menyebabkan
kematian pada Artemia (Austin dan Allen, 1982).
Upaya mengatasi penyakit yang disebabkan oleh bakteri umumnya
masih bertumpu kepada penggunaan antibiotika. Namun penggunaan yang
berlebihan dalam industri akuakultur telah menyebabkan bakteri resisten
terhadap beberapa antibiotika. Kajian dari Karunasagar et al. (1994)
menyebutkan bahwa kematian massal udang windu (Penaeus monodon)
disebabkan oleh bakteri Vibrio yang resisten terhadap Cotrimoxazole,
Chloramphenicol, Erythromycin dan Streptomycin. Selain hal tersebut,
penggunaan antibiotik juga menimbulkan ancaman terhadap kesehatan manusia
berupa alergi dan keracunan melalui akumulasi antibiotik pada produk olahan
ikan dan udang (Alderman dan Hastings, 1998; Cabello, 2006). Saat ini, upaya
untuk melindungi organisme akuatik dari infeksi Vibrio tanpa penggunaan
antibiotika sedang terus dikembangkan, salah satunya adalah melalui tindakan
pencegahan penyakit melalui penguatan sistem imun. Dalam konteks Artemia,
penguatan sistem imun alamiah pada inang melalui penggunaan β-glukan dapat
menjadi salah satu upaya pengendalian penyakit yang cukup efektif.
Tujuan dari kajian ini adalah untuk menginvestigasi apakah penggunaan
β-glukan dapat melindungi dan meningkatkan kelulushidupan (%) Artemia dari
infeksi 2 strain bakteri patogen: Vibrio harveyi BB120 dan strain baru Vibrio
H6 yang sebelumnya telah terbukti menyebabkan tingkat kematian yang tinggi
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 128
pada Artemia (Vanmaele et al., 2012). Sebagai tambahan, aplikasi beberapa
konsentrasi β-glukan juga dilakukan untuk memverifikasi konsentrasi optimal
yang dapat meningkatkan resistensi Artemia terhadap infeksi patogen Vibrio
spp.

MATERI DAN METODE


Strain bakteri
Dua strain bakteri digunakan sebagai patogen, yakni: Vibrio harveyi
BB120 dan sebuah strain baru Vibrio H6. Kultur murni dari kedua bakteri
diperoleh dari Laboratory of Aquaculture dan Artemia Reference Centre
(ARC), Universitas Ghent, Belgia. Strain H6 merupakan jenis bakteri baru yang
termasuk ke dalam kelompok/grup Vibrio harveyi dan dipilih karena memiliki
aktivitas haemolytic dan lipolytic yang kuat (Vanmaele et al., 2012).
Sementara Vibrio harveyi BB120 telah dikarakterisasi sebelumnya sebagai
bakteri patogen pada kultur Artemia (Soltanian, 2007; Ruwandeepika et al.,
2010). Selama periode kultur dan uji tantang, strain bakteri Aeromonas
hydrophila LVS3 digunakan sebagai pakan untuk Artemia. Strain bakteri ini
telah diuji sebelumnya tidak memiliki pengaruh untuk meningkatkan sistem
imun pada Artemia dan tidak berinteraksi baik dengan β-glukan maupun
dengan patogen yang akan digunakan selama uji tantang (Defoirdt et al., 2005).

Penetasan Artemia secara axenic


Seluruh percobaan yang dilakukan menggunakan kista Artemia
fransiscana, yang berasal dari danau Great Salt, Utah, Amerika Serikat.
Artemia yang bersifat axenic dihasilkan melalui proses hidrasi dan dekapsulasi
yang distandarisasi. Seluruh peralatan yang digunakan sebelumnya harus telah
disterilisasi dan diautoklaf pada suhu 1210C selama 20 menit. Seluruh
perlakuan dilakukan di dalam lemari laminar untuk mempertahankan kondisi
axenic. Untuk uji tantang, sekitar 100 mg kista Artemia dihidrasi dalam tabung
gelas yang telah diisi 90 mL air steril selama 1 jam dengan aerasi kuat.
Kemudian 3,3 mL NaOH dan 50 mL larutan klorin dingin dimasukkan dan
setelah 1,5 menit 60 mL Na2S2O3.5H2O dimasukkan untuk menetralisir klorin
dalam media kultur. Kista yang telah didekapsulasi kemudian dicuci beberapa
kali dengan menggunakan air laut yang sudah disterilisasi. Tabung yang berisi
kista kemudian ditempatkan di dalam rotor dengan siklus putar 4 kali dalam
satu menit dan secara konstan diletakkan dibawah sinar lampu fluoresen pada
suhu 280 C selama 18 – 22 jam. Naupli Artemia yang telah masuk fase Instar II
yang siap untuk mengkonsumsi pakan diambil dan dihitung didalam lemari
laminar.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 129


Kultur Gnotobiotik pada Artemia
Setelah penetasan secara axenic, sebanyak 20 naupli yang masuk tahapan
Instar II diambil dan ditransfer ke dalam tabung falkon yang telah berisikan 10
mL air laut steril bersama dengan bakteri patogen yang digunakan untuk uji
tantang dan strain bakteri yang digunakan sebagai pakan. Setiap perlakuan
memiliki empat pengulangan dan setiap tabung falkon ditempatkan dibawah
sinar lampu fluoresen pada suhu 280 C.

Kultur Bakteri
Isolat murni Vibrio harveyi BB120 dan strain baru H6 yang sebelumnya
telah disimpan dalam larutan 30% gliserol pada suhu -800 C, diinokulasi secara
aseptik didalam 30 mL media marine broth dan diinkubasi selama satu malam
pada suhu 250-280 C dengan pengadukan yang konstan. Sebanyak 150 µL
selanjutnya ditransfer dan dikembangkan hingga fase stationery dalam 30 mL
media marine broth selama 6 jam sebelum digunakan untuk uji tantang.
Kepadatan bakteri ditentukan secara spektrofotometer pada panjang gelombang
550 nm. Kepadatan bakteri kemudian dihitung dengan menggunakan
perhitungan:

Konsentrasi bakteri = [1200*106*OD]

Berdasarkan perhitungan baku McFarland (BioMerieux, Marcy L'Etoile,


France), diasumsikan bahwa OD550=1.000 sebanding dengan 1,2×109 sel/mL
bakteri.

Verifikasi kondisi axenic kultur Artemia dan media β-glukan


Kondisi axenic pada kultur Artemia dan larutan β-glukan dianalisa dengan
menggunakan metoda cawan petri yang mengandung media Difco™Marine
Agar 2216. Ketidakhadiran bakteri dianalisa dengan mentransfer 100 µL
media kultur dan larutan β-glukan ke dalam cawan petri dan disimpan di
dalam inkubator selama 5 hari pada suhu 250 C. Setiap perlakuan memiliki
empat ulangan. Media yang terkontaminasi tidak dapat digunakan untuk analisa
berikutnya dan perlakuan harus kembali diulang.

Penentuan ukuran partikel dan konsentrasi β-glukan


Distribusi ukuran partikel β-glukan (MacroGard) ditentukan dengan
menggunakan Malvern Mastersizer S (Malvern Instruments, Spring Lane
South, UK) yang dilengkapi dengan unit pelarutan skala kecil dan lensa 300
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 130
RF. Ketika partikel yang berukuran 50 µm di kalkulasi, yang merupakan
ukuran maksimal partikel yang dapat dicerna oleh Instar II Artemia (FAO,
1996), jumlah β-glukan untuk setiap tabung dapat ditentukan berdasarkan
kajian yang dilakukan sebelumnya oleh Marques et al. (2006) dan Soltanian
(2007). Dalam eksperimen ini, selain menggunakan konsentrasi minimum
berdasarkan jumlah partikel β-glukan (MacroGard) yang memiliki ukuran < 50
µm, juga digunakan konsentrasi β-glukan yang lebih besar untuk menentukan
perlindungan yang lebih baik bagi kultur Artemia.

Penentuan persentase tingkat kelulushidupan


Persentase kelulushidupan (%) Artemia ditentukan berdasarkan kepada
perhitungan yang dilakukan oleh Marques et al. (2004). Untuk ini, jumlah
Artemia dihitung terlebih dahulu di dalam lemari laminar untuk
mempertahankan kondisi gnotobiotik dan pada akhir percobaan, jumlah naupli
yang masih hidup dihitung dan persentase kelulushidupan (%) ditentukan.

Analisa statistik
Data untuk persentase tingkat kelulushidupan (%) Artemia disajikan
sebagai nilai rata-rata yang diikuti oleh perhitungan penyimpangan baku. Data
kelulushidupan (%) di ubah ke dalam bentuk arcsine untuk memenuhi
persyaratan distribusi normal dan keseragaman data. Data kelulushidupan (%)
kemudian dianalisa menggunakan one way ANOVA yang diikuti dengan
analisa Tukey‟s multiple comparison range menggunakan piranti lunak SPSS.
Seluruh level signifikan ditentukan pada p<0.05.

HASIL DAN ANALISA


Hasil Percobaan

Distribusi partikel β-glukan


Distribusi partikel β-glukan (MacroGard) yang digunakan pada
percobaan ini disajikan pada Gambar 1. Sebanyak 67,27% partikel memiliki
ukuran dibawah 50 µm, yang diyakini sebagai ukuran partikel yang dapat
dikonsumsi oleh Artemia pada fase Instar II. Berdasarkan kepada perhitungan
yang dilakukan oleh Marques et al.(2006) dan (Soltanian, 2007). Jumlah β-
glukan yang dapat diberikan kedalam kultur Artemia adalah 3,9 µg/tabung.
Namun pada percobaan ini, sebanyak 10 hingga 20 µg β-glukan/tabung juga
digunakan.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 131


Gambar 1. Persentase distribusi ukuran partikel β-glukan (MacroGard (kiri)
dan gambar mikroskopis dari partikel β-glukan (MacroGard) (kanan) yang
digunakan pada percobaan ini.

Efek menguntungkan dari penggunaan β-glukan


Pada kajian ini, pengaruh dari penggunaan 3,9 µg/tabung dan juga
penggunaan 10 µg/tabung dan 20 µg/tabung diamati. Kultur Artemia ditantang
dengan menggunakan strain H6 dan Vibrio harveyi BB120 pada kepadatan 105
sel/mL dan kelulushidupan (%) dihitung setelah 48 jam. Pada gambar 2, terlihat
bahwa pada perlakuan tanpa adanya penambahan bakteri patogen, pemberian β-
glukan sebanyak 3,9 µg/tabung dapat meningkatkan kelulushidupan (%) nauplii
(p<0,05)bila dibandingkan dengan kontrol dan naupli yang hanya menerima
bakteri LVS3 yang telah dimatikan sebagai sumber pakan. Namun, dengan
penambahan bakteri patogen H6, tingkat kelulushidupan (%) yang ditunjukkan
oleh nauplii dengan atau tanpa pemberian 3,9 µg β-glukan/tabung tidak
memiliki perbedaan yang nyata (p<0,05).

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 132


Sementara pada hasilmenunjukkan bahwa pemberian 20 µg/tabung
memberikan tingkat kelulushidupan (%) yang lebih baik jika dibandingkan
dengan pemberian 10 µg/tabung dan 3,9 µg/tabung. Hal ini utamanya terlihat
pada saat kultur Artemia diuji tantang dengan menggunakan strain baru Vibrio
H6. Dimana pemberian β-glukan sebanyak 20 µg/tabung dapat memberikan
tingkat kelulushidupan yang lebih baik jika dibandingkan dengan konsentrasi
10 µg/tabung (p<0,05). Secara umum, kombinasi pemberian 20 µg/tabung
dengan pakan D-LVS3 memberikan hasil yang lebih baik dengan tingkat
kelulushidupan yang lebih baik pada saat diuji tantang menggunakan strain H6
dan Vibrio harveyi BB120 (p<0,05)

Analisa

Strategi penting dalam kegiatan budidaya adalah mempertahankan


keseimbangan antara inang, lingkungan dan patogen (Snieszko, 1973). Namun,
pada kondisi budidaya (super) intensif, kehadiran mikroorganisme tidak dapat
dihindari dan beberapa diantaranya bahkan dapat menyebabkan wabah penyakit
serius yang berdampak pada kerugian ekonomi. Pada dua dekade terakhir,
antibiotika telah digunakan secara luas, tidak hanya untuk mengendalikan
penyakit, tetapi bahkan juga digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan
(Cabello, 2006). Penggunaan antibiotika yang tidak wajar ini telah
menstimulasi resistensi bakteri dan menantang para peneliti untuk mencari
alternative untuk pengobatan terbaik (De Schryver et al., 2009). Oleh karena
itu, pada kajian ini, dampak dari penggunaan β-glukan sebagai strategi penting
untuk memperkuat resistensi Artemia terhadap Vibrio spp diamati.

Artemia seperti halnya hewan avertebrata lainnya, mengandalkan sistem


imun alami sebagai mekanisme pertahanan utama yang terdiri atas respon
selular dan respon humoral. Ketidakhadiran sistem imun adaptif pada Artemia
juga menyebabkan tidak adanya immunological memory yang memungkinkan
terbentuknya perlindungan seumur hidup terhadap infeksi patogen yang sama
(Hultmark, 1993; Meister et al., 2000). Meskipun demikian, sistem imun di
avertebrata mampu untuk mengenal dan menghancurkan invasi
mikroorganisme patogen (Kurtz and Franz, 2003). Kajian terbaru menyatakan
bahwa pengalaman masa lalu terhadap patogen tertentu memungkinkan
avertebrata untuk juga menyedikan sistem imun hingga generasi berikutnya
(Baruah et al., 2011). Walaupun masih diperlukan kajian yang lebih
menyeluruh dan lengkap, hal ini memberikan bukti baru bahwa memory
mungkin ada di avertebrata (Kurtz, 2005).

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 133


Pada kajian ini, tiga konsentrasi yang berbeda dari β-glukan
menunjukkan bahwa dengan atau tanpa pemberian pakan D-LVS3, β-glukan
mampu memperkuat resistensi Artemia terhadap infeksi patogen dan
meningkatkan tingkat kelulushidupan (%) jika dibandingkan dengan kontrol
dan naupli yang hanya menerima D-LVS3 sebagai pakan. Lebih lanjut,
pemberian bakteri LVS3 yang telah dilemahkan dengan autoklaf (D-LVS3) itu
sendiri tidak memberikan dampak menguntungkan sedikitpun untuk
meningkatktan kelulushidupan (%) Artemia melawan infeksi BB120 dan H6.
Beberapa kajian telah mendokumentasikan bahwa β-glukan telah terbukti
mampu memperkuat sistem imun dan resistensi terhadap penyakit pada Artemia
(Soltanian, 2007; Marques et al., 2005). Namun, perlindungan tersebut sangat
tergantung pada dosis dan jenis dari β-glukan itu sendiri (Ai et al., 2007;
Soltanian, 2007). Pada kajian ini, kelulushidupan (%) Artemia secara bertahap
meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi β-glukan yang diberikan.
Berdasarkan hasil ini, resistensi Artemia terhadap infeksi Vibrio spp sebagai
bakteri patogen juga tergantung dari berapa banyak konsentrasi β-glukan yang
diberikan. Namun satu hal yang sangat penting untuk diingat bahwa dosis
memainkan peranan penting terhadap efektifitas pemberian β-glukan.
Kesalahan dalam pemberian dosis dapat berakibat buruk terhadap inang. Kajian
sebelumnya menunjukkan bahwa tingginya konsentrasi β-glukan yang
diberikan pada udang putih India F. indicus dapat menyebabkan
immunosuppression dan degradasi yang berlebihan sehingga mengakibatkan
sistem imun menjadi jenuh (Sajeevan et al., 2009).

KESIMPULAN

1. Aplikasi β-glukan (MacroGard) dapat meningkatkan resistensi Artemia


terhadap infeksi patogen: Vibrio harveyi BB120 dan strain baru Vibrio H6.
2. Pemberian β-glukan sebanyak 20 µg/mL pada kultur Artemia memberikan
tingkat kelulushidupan (%) yang lebih baik dibandingkan dengan
konsentrasi minimal 3,9 µg/mL.

DAFTAR PUSTAKA

Aldeman, D.J. and Hastings, T.S. 1998. Antibiotic use in aquaculture:


development of antibiotic resistance-potential for consumer health risks.
Int. J. Food Sci. Technology (33): 139-155.
Austin, B. and D. Allen. 1982. Microbiology of laboratory-hatched brine
shrimp (Artemia). Aquaculture (26): 369-383.
Baruah, K., Ranjan, J., Sorgeloos, P., MacRae, T.H and Bossier, P. 2011.
Priming the prophenoloxidase system of Artemia fransiscana by heat
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 134
shock proteins protect agains Vibrio campbelli challenge. Fish and
Shellfish Immunology 31: 134-141.
Bassler, B.L., Greenberg, E.P. and Stevens, A.M. 1997. Cross-species
induction of luminescence in the quorum-sensing bacterium Vibrio
harveyi. J Bacteriol(179): 4043-4045.
Cabello, F.C. 2006. Heavy use of prophylactic antibiotics in aquaculture: a
growing problem for human and animal health and for the environment.
Environ Microbiol(8): 1137-1144.
Cabello, F.C. 2003. Antibiotics and aquaculture. An analysis of their potential
impact upon the environment, human and animal health in Chile.
Fundacion Terram. Analisis de Politicas Publicas No. 17, pp. 1–16.
Criado-Fornelio, A., E. Mialhe., E. Constantin. and H. Grizel. 1989.
Experimental infection of Artemia sp. By Fusarium solani. Bull. Eur.
Assoc. Fish Pathol. (9): 35-37.
De Schryver, P., Sinha, A., Kunwar, P., Baruah, K., Verstraete, W., Boon, N.,
De Boeck, G., Bossier, P. 2009. Poly-β-hydroxybutirate (PHB) increases
growth performance and intestinal bacterial range-weighted richness in
juvenile European sea bass (Dicentrarchus labrax). Applied
Microbiology and Biotechnology (86): 1535-1541.
Defoirdt, T., Bossier, P., Sorgeloos, P. & Verstraete, W. 2005. The impact of
mutations in the quorum sensing systems of Aeromonas hydrophila,
Vibrio anguillarum and Vibrioharveyi on their virulence towards
gnotobiotically cultured Artemia franciscana. Environmental
Microbiology 7(8): 1239–1247.
FAO. 1996. Manual on the production and use of live food for aquaculture.
FAO Fisheries and Technical Paper. Food and Agriculture Organization
of the United Nations. Rome
Gomez-Gil, B., Thompson, FL., Thompson, CC., Garcia-Gasca, A., Roque, A.,
Swings, J. 2004. Vibrio hispanicus sp. nov., isolated from Artemia sp.
and sea water in Spain.Int J Syst Evol Microbiol. 54(Pt 1):261-265.
Gomez-Gil, B., F.A.A. Grobois, J.R. Jarero and M.D.H. Vega. 1994. Chemical
disinfection of Artemia nauplii. J. World Aquaculture Society (25): 574-
583.
Gunther, D. and Catena, A. 1980. The interaction of Vibrio with Artemia
nauplii. In : G. Persoone, P. Sorgeloos, O. Roels, E. Jaspers (Eds.). The
brine shrimp Artemia- Ecology, culturing and use in aquaculture. Vol. 1,
Universa Press, Wetteren, Belgium.
Hjort. J. 1914. Fluctuations in the great fisheries of northern Europe. Rapp Pv
Reun Cons int Explor Mer (20): 1-22.
Hultmark, D. 1993. Immune reactions in Drosophila and other insects: a model
for innate immunity. Trends Genet. (9): 178–183.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 135
Kurtz J. 2005. Specific memory within innate immune systems. Trends
Immunol. (26): 186-192.
Kurtz, J. and Franz, K. 2003. Evidence for memory in invertebrate immunity.
Nature(425): 37–38.
Léger, P.H., D.A. Bengtson., K.L. Simpson. and P. Sorgeloos. 1986. The use
and nutritional value of Artemia as a food source. Oceanogr. Mar. Biol.
Ann. Rev.(24): 521-623.
Marques, A., Dhont, J., Sorgeloos, P. and Bossier, P. 2006. Immunostimulatory
nature of β-glucans and baker‟s yeast in gnotobiotik Artemia challenge
tests. Fish and Shellfish immunology (20): 682-692.
Marques, A., Dhont, J., Sorgeloos, P. and Bossier, P. 2004b. Evalution of
different yeast cell wall mutants and microalgae strains as feed for
gnotobiotically-grown brine shrimp Artemia fransiscana. J. Exp. Mar.
Biol. Ecol. (312): 115-136
Marques, A., Francois, J., Dhont, J., Bossier, P. and Sorgeloos, P. 2004a.
Influence of yeast quality on performance of gnotobiotically-grown
Artemia. J.Exp. Mar. Biol. Ecol. (310): 247-264.
Meister. M., Hetru, C., Hoffmann, J.A. 2000. The antimicrobial host defence of
Drosophila. Curr. Top. Microbiol. Immunol. (248): 17–36.
Muroga, K., K. Suzuki, K. Ishimaru. and K. Nogami. 1994. Vibriosis of
swimming crab Portunus trituberculatus in larviculture. J. World
Aquaculture Society (25): 50-54.
Orozco-Medina, C., A. Maeda-Martinez. and A. Lopez-Cortes. 2002. Effect of
aerobic Gram positive heterotrophic bacteria associated with Artemia
fransiscana cysts on the survival and development of it‟s larvae.
Aquaculture (213): 15-29.
Puente, M.E., Vega-Villasante, F., Holguin, G. and Bashan, Y.1992.
Susceptibility of the brine shrimp Artemia and its pathogen Vibrio
parahaemolyticus to chlorine dioxide in contaminated sea water. J.
Appl.. Bacteriol (73): 465-471
Rico-Mora, R. and D. Voltolina. 1995. Effects of bacterial isolates from
Skeletonema costatum cultures on the survival of Artemia fransiscana
nauplii. J. Invertebr. Pathol. (66): 203-204.
Roque, A. and B. Gomez-Gill. 2003. Therapeutic effects of enrofloxacin in an
experimental infection with a luminescent Vibrio harveyi in
Artemiafransiscana Kellog 1906. Aquaculture (220): 37-42.
Snieszko, S.F. 1973. Diseases of fish and their control in the US. The Two
Lakes Fifth Fishery Management Training Course Report. Jansen.
London. pp. 55-66.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 136


Soltanian, S. 2007. Protection of gnotobiotik Artemia against Vibrio campbelli
using baker‟s yeast strains and extracts. PhD thesis. Ghent University.
Belgium.
Soltanian, S., Francois, JM., Dhont, J., Arnouts, S., Sorgeloos, P. and Bossier,
P. 2007. Enhanced disease resistance in Artemia by application of
commercial beta-glucans sources and chitin in a gnotobiotic Artemia
challenge test. Fish and Shellfish Immunology 23(6): 1304-1314 .
Sorgeloos, P., Lavens, P., Leger, P., Tackaert, W. and Versichele, D. 1986.
Manual for the culture and use of Brine shrimp Artemia in aquaculture.
FAO, Ghent, Belgium.
Soto-Rodriguez, S.A., Simoes, N., Jones, D.A., Roque, A. and Gomez-Gil, B.
2003b. Assessment of fluorescent-labeled bacteria for evaluation of in
vivo uptake of bacteria (Vibrio spp.) by crustacean larvae. J Microbil
Methods(52): 101-114.
Soto-Rodriguez, S.A., Roque, A., Lizarraga-Partida, M.L., Guerra-Flores, A.L.
and Gomez-Gil, B. 2003a. Virulence of luminous vibrios to Artemia
franciscana nauplii. Dis Aquat Org(53): 231-240.
Vanmaele, S. Defoirdt, T., Bossier, P. 2012. Immunostimulation through the
eyes of gnotobiotic Artemia fransiscana. World Aquaculture Society
2012- Meeting Abstract no : 330.
Verdonck, L., J. Swings, K. Kersters, M. Dehasque, P. Sorgeloss. and P. Leger.
1994. Variability of the microbial environment of rotifer Brachionus
plicatilis and Artemia production systems. J. World Aquaculture Society
(25): 55-59.
Verschuere, L., G. Rombaut., P. Sorgeloos. And W. Verstarete. 2000a.
Probiotic bacteria as biological control agents in aquaculture. Microbiol.
Mol. Biol. Rev. 64 (4): 655-671.
Verschuere, L., Heang, H., Criel, G., Sorgeloos, P. and Verstraete, W. 2000.
Selected Bacterial Strains Protect Artemia spp. from the Pathogenic
Effects of Vibrio proteolyticus CW8T2. Applied and Environmental
Microbiology (66): 1139–1146.
Verschuere, L., G. Rombaut., G. Huys., J. Dhont., P. Sorgeloos. and W.
Verstraete. 1999. Microbial control of the culture of Artemia juveniles
through preemptive colonization by selected bacterial strains. Appl.
Environ. Microbiol. (65): 655-671.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 137


PEMANFAATAN EKSTRAKSI DAUN JAMBU BIJI METODE
MASERASI TERHADAP PENGENDALIAN BAKTERI
Aeromonas hydrophilaSECARA IN VITRO

Manja Meyky Bond*, Betutu Senggagau dan Tanjung Penataseputro

Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan Serang


Jl. Raya Carita, Ds. Umbul Tanjung, Kec. Cinangka, Kab. Serang
PO. Box 123 Anyer Lor

ABSTRACT

Bacterial disease control of Aeromonas hydrophila in vitro by using


guava leaf extract is one alternative way to produce fishery products
safe, easy and inexpensive. The purpose of this activity was to determine
the effectiveness of guava leaf extract by maceration method with
different types of solvent inhibition zone against A. hydrophila bacteria.
A total of 1 ml each of concentrated extract of guava leaves from
maceration method using 95% ethanol solvent and distilled water were
used for disk method A. hydrophila bacteria. After 24 hours of
incubation, the diameter of inhibition zone of A. hydrophila bacteria
measured and the data were analyzed using ANOVA. Type of solvent in
the extraction of guava leaf maceration method was very significant (p
<0.01) in the bacterial inhibition zone diameter of A. hydrophila.
Distilled solvent effect of A. hydrophila bacteria inhibition zone better
than the solvent ethanol 95%, with a mean diameter of 10.8 mm and 3.7
mm, respectively. Guava leaf extract can be used for bacterial disease
control of A. hydrophila.

keywords: Guava leaf, maceration extraction, antibacterial, Aeromonas


hydrophila

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri akan sangat mengganggu
bahkan dapat merugikan pembudidaya ikan apabila serangan tersebut
mematikan seluruh ikan budidaya yang dipelihara. Salah satu jenis penyakit
bakteri yang sering dijumpai pada budidaya ikan air tawar adalah Aeromonas
hydrophila. Bakteri jenis ini yang menimbulkan penyakit bercak merah, borok
dan ekor keropos pada beberapa jenis ikan seperti ikan lele, patin, mas dan
gurame. Beberapa faktor penyebab timbulnya penyakit ini diantaranya yaitu
kualitas air yang sudah menurun serta perubahan iklim yang tidak menentu.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 138
Berbagai upaya telah banyak ditempuh oleh sebagian besar
pembudidaya ikan untuk menanggulangi penyakit bakteri jenis ini. Salah
satunya adalah penggunaan obat seperti antibiotik. Penggunaan obat ini
dilakukan secara terus menerus tanpa memperhatikan dosis dan cara pemakaian
yang seharusnya sehingga dapat menimbulkan dampak lainnya yang akan
merugikan pembudidaya ikan itu sendiri, misalnya penyakit atau patogen akan
lebih resisten dengan jenis obat tertentu, lingkungan budidaya tercemar obat
dan bahkan terakumulasinya bahan antibiotik di dalam jaringan tubuh ikan.
Oleh karena itu, maka diperlukan upaya untuk mengurangi pemakaian obat-
obatan atau bahan kimia dalam penanggulangan penyakit ikan.
Salah satunya adalah dengan memanfaatkan potensi tanaman obat
yang ada di sekitar kita. Pemanfaatan obat herbal yang berasal dari tanaman
obat masih sangat jarang dijumpai untuk mengatasi penyakit ikan budidaya.
Berbagai jenis tanaman obat telah terindikasi mampu mengatasi atau
mengendalikan jenis bakteri tertentu. Jenis tanaman tersebut di antaranya yaitu
daun sirih, daun papaya, daun jambu biji, meniran, dan lain sebagainya.
Jambu Biji (Psidium guajava Linn) telah lama dimanfaatkan sebagai
tanaman obat yang dapat menyembuhkan diare, keputihan, diabetes, sariawan,
dan luka berdarah (Alisyahbana, 1993 dalam Darsono dkk., 2003). Bagian
tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional adalah daun yang
mengandung minyak atsiri, lemak, dammar, garam-garam mineral, triterpenoid
disamping itu juga tannin dan flavonoid yang diduga berkhasiat sebagai
antidiare. Pemakaiannya dengan cara direbus atau diremas-remas halus dengan
air dan garam kemudian disaring, air remasan tersebut langsung diminum tanpa
direbus (Hembing 1992 dalam Darsono & Artemesia, 2003)
Efek farmakologis yang dimiliki daun jambu biji disebabkan oleh
berbagai kandungan kimia dalam daun jambu biji seperti senyawa fenolat,
flavonoid, karotenoi, terpenoid dan triterpen (Gutierrez et al., 2008 dan Kamath
et al., 2008 dalam Rivai dkk., 2008). Ekstrak kental daun jambu biji
mengandung kuersitrin, minyak atsiri, tannin, β-sitisterol dan asam guatakolat
(Badan POM, 2004 dalam Rivai dkk., 2008). Selain itu berbagai kajian
fitokimia telah menemukan kandungan kimia daun jambu biji yang lebih rinci
antara lain senyawa fenolat total 575,3 mg/g daun kering (Nihorimbere, 2004
dalam Rivai dkk., 2008), kuersetin 0,181-0,393% (El Sohafy et al., 2006 dalam
Rivai, dkk., 2008), morin, morin-3-O-likosida, morin-3-O-arabinosa, kuersetin
dan kuersetin-3-O-arabinosa (Arima & Danno, 2002; Rattanachaikunsopon &
Phumkhachom, 2007 dalam Rivai, dkk., 2008), guajavaria (Arima & Danno,
2002 dalam Rivai, dkk., 2008), guajadial (Yang et. Al., 2007 dalam Rivai, dkk.,
2008) asam ferulat (Chen & Yen, 2007 dalam Rivai, dkk., 2008).
Menurut Sudarsono, dkk. (2002) dalam Daud, dkk (2011) daun jambu
biji mengandung flavonoid, tannin (17,4%), fenolat (575,3 mg/g) dan minyak
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 139
atsiri. Efek farmakologis dari daun jambu biji yaitu antiinflamasi, antidiare,
analgesic, antibakteri, antidiabete, antihipertensi dan penambah trombosit.
Adapun salah satu senyawa dari flavonoid yang terkandung dalam daun jambu
biji adalah kuersetin, yang memiliki titik lebur 310 oC, sehingga kuersetin tahan
terhadap pemanasan.
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (Anonim, 2000). Rosidah & Afizia (2012) membuktikan bahwa
ekstrak daun jambu biji yang diperoleh dengan cara maserasi pada konsentrasi
250 ppm- 3250 ppm berpotensi sebagai antibakteri terhadap bakteri Aeromonas
hydrophila dengan diameter zona hambat berkisar 6,5 -11,5 ml. Potensi ekstrak
daun jaumbu biji dikategorikan berspektrum luas dan aman digunakan untuk
pengobatan benih ikan gurame yang terserang bakteri Aeromonas hydrophila
pada konsentrasi dibawah 600 yaitu 580 ppm.

Tujuan
Kegiatan ini mempunyai tujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak
daun jambu biji dengan metode maserasi dengan jenis pelarut yang berbeda
terhadap zona hambat bakteri Aeromonas hydrophila

METODOLOGI
Pembuatan ekstrak daun jambu biji dengan metode maserasi
Kegiatan ekstraksi dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
1. Simplisia daun jambu biji yang akan digunakan adalah sebanyak 100 gr
untuk satu jenis pelarut dan dimasukan kedalam wadah maserasi.
2. Ethanol 95% dan akuades yang digunakan sebagai solvent sebanyak 500
ml dimasukan ke dalam wadah maserasi.
3. Masing-masing wadah maserasi yang berisi simplisia daun jambu biji
dan jenis pelarut yang berbeda diaduk selama 1 jam pada suhu 60 0C
untuk pelarut ethanol 95% dan suhu 800C untuk pelarut akuades.
4. Setelah pengadukan selesai, hasil pengadukan disaring dengan kertas
whatman.
5. Hasil penyaringan didiamkan selama 1 x 24 jam dalam wadah tertutup
pada suhu ruang.
6. Setelah didiamkan selama 1 x 24 jam, hasil ekstraksi kemudian
dievaporasi menggunakan vacuum rotary evaporator.
7. Pengaturan suhu yang digunakan yaitu suhu 600C untuk evaporasi
pelarut ethanol 95% dan suhu 800C untuk pelarut akuades.
8. Masing-masing diputar dengan kecepatan 120 rpm selama 30 menit
9. Hasil evaporasi disimpan dalam wadah tertutup.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 140
Metode pembuatan media TSA
Menurut Buller (2004), pembuatan media TSA dilakukan dengan cara berikut:
1. Tryptone soya agar yang digunakan berbanding dengan akuades yaitu 1:25
2. Larutan diautoclave pada 1210C selama 15 menit
3. Sebelum dituang ke cawan petri tunggu larutan lebih dingin sekitar 50 0C

Metode kultur bakteri


Menurut Benson (2001), kultur bakteri dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Siapkan isolate bakteri dan 10 ml media TSB.
2. Proses kultur dilakukan secara aseptis (didepan Bunsen)
3. Ambil 1 ose bakteri dari isolat murni dan campur dan larutkan kedalam
media TSB.
4. Pastikan wadah media TSB tertutup rapat dengan parafilm agar tidak terjadi
kontaminasi.
5. Inkubasi selama 24 jam pada suhu 29-300C pada waterbath sheker.

Metode Cakram Disk


Menurut Ruangpan & Tendencia (2004), prosedur dalam melakukan tes
kemampuan antimikroba dapat dilakukan dengan menggunakan kertas disk
atau cakram disk, dengan tahapan sebagai berikut :
1. Gunakan pinset steril untuk untuk mengambil kertas cakram (disk) yang
mengandung antimikroba.
2. Tempatkan keras cakram (disk) pada media yang telah ditanami bakteri
(inokulasi bakteri).
3. Tekan kertas cakram (disk) dengan hati-hati sampai yakin bahwa kertas
cakram (disk) telah menempel pada permukaan media yang telah
diinokulasi bakteri.
4. Jangan gerakan kertas cakram (disk) sampai benar-benar mengering dan
menempel pada media.
5. Inkubasi pada suhu ruang selama 24 jam.
6. Zona bening yang timbul merupakan kemampuan dari kertas cakram (disk)
yang mengandung zat antimikroba dalam menghambat atau membunuh
bakteri yang dinokulasi pada media.

Metode penghitungan jumlah bakteri


Menurut Benson (2001), penghitungan bakteri dilakukan dengan membuat
inokulasi pada media padat dengan cara tebar pada pengenceran yang
diinginkan. Prosedurnya ialah sebagai berikut:
1. Siapkan 9 tube 1,5 ml yang berisikan 0,9 ml larutan fisiologis.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 141


2. Sebanyak 0,1 ml atau 100µl dari media TSB dicampur ke dalam tube
pertama.
3. Sebanyak 100µl dari tube pertama dicampur ke dalam tube kedua.
4. Sebanyak 100µl dari tube kedua dicampur ke dalam tube ketiga.
5. Diteruskan sampai tube kesembilan.
6. Sebanyak 100µl dari tube ke 6, 7, 8, dan 9 diinokulasikan pada masing-
masing media TSA .
7. Inkubasi pada suhu 300C selama 24 jam.
8. Plate yang digunakan adalah plate yang memiliki 25-250 koloni.
9. Jumlah bakteri dihitung dengan rumus :
1 1
Jumlah bakteri = Jumlah koloni x x
Konsentrasi pengenceran 10

Analisa Data
Data hasil uji cakram disk dalam bentuk ukuran diameter zona hambat
dianalisa keseragamannya terlebih dulu sebelum diolah menggunakan one-way
ANOVA pada program SPSS 15. Nilai keseragaman data dapat dilihat dari uji
homogenitas. Apabila nilai sig > 0.05 maka data bersifat seragam atau
homogen, namun jika sebaliknya sig < 0.05 berarti data tidak homogen dan
data tidak dapat dilanjutkan analisa dengan ANOVA. Hasil analisa data
menggunakan ANOVA memiliki interpretasi data sebagai berikut:
Nilai sig < 0.05, maka perlakuan memiliki pengaruh atau berbeda nyata.
Sedangkan nilai sig > 0.05 maka tidak terdapat perbedaan antar perlakuan yang
diberikan terhadap ukuran diameter zona hambat bakteri A. hydrophila.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Diameter Zona Hambat Bakteri A. hydrophila

Tabel 1. Diameter zona hambat bakteri A. hydrophila hasil test cakram disk

Ulangan Cakram Disk Test Cakram Disk Test Total Bakteri


ekstrak dengan pelarut ekstrak dengan yang
ethanol 95% pelarut akuades digunakan
1. 4 mm 10 mm
3,1 x 109
2. 2 mm 10 mm
cfu/ml
3. 2 mm 10 mm

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 142


4. 2 mm 10 mm
Rerata 2.5 mm 10 mm
1. 4 mm 10 mm
2. 4 mm 20 mm 2,7 x 109
3. 6 mm 8 mm cfu/ml
4. 4 mm 14 mm
Rerata 4.5 mm 13 mm
1. 4 mm 10 mm
2. 6 mm 10 mm 3,7 x 109
3. 4 mm 8 mm cfu/ml
4. 2 mm 10 mm
Rerata 4 mm 9.5 mm
Rerata
3.7 mm 10.8 mm
total

Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Bakteri A. hydrophila

Tabel 2. ANOVA Diameter zona hambat bakteri A. hydrophila

Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Between
308.167 1 308.167 49.010 .000
Groups
Within Groups 138.333 22 6.288
Total 446.500 23
Nilai Sig 0.000 < 0.05 menunjukkan perlakuan berbeda sangat nyata

Darsono & Artemesia (2003), membuktikan bahwa ekstrak daun jambu


biji dari berbagai kultivar memiliki aktivitas antimikroba Staphylococcus
aureus ATCC25923. Selain itu Rosidah & Afizia (2012), juga membuktikan
bahwa ekstrak daun jambu biji memiliki potensi antibakteri terhadap bakteri
Aeromonas hydrophila pada ikan Gurame. Hal ini sesuai dengan hasil
pengujian yang terlihat pada tabel 1 di atas bahwa ekstrak daun jambu biji

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 143


dengan pelarut akuades mampu menghasilkan zona bening rata-rata 10,8 mm
sedangkan ekstrak dengan pelarut ethanol 95% rata-rata 3,7 mm.
Berdasarkan hasil analisis ragam menggunakan One-way ANOVA
bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan pelarut aquades
dengan pelarut etanol terhadap diameter zona hambat bakteri A. hydrophila.
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pelarut akuades dalam proses
ekstraksi dengan metode maserasi lebih baik daripada pelarut ethanol 95%.
Menurut Indriani (2006), senyawa-senyawa dari daun jambu biji yang larut
dalam air lebih banyak daripada yang dapat larut dalam ethanol. Hasil
pengujian penapisan fitokimia oleh Daud et al. (2011), terhadap ekstrak daun
jambu biji dengan metode maserasi menunjukan bahwa kandungan senyawa
yang didapat dengan metode maserasi memiliki keragaman senyawa yang lebih
banyak, senyawa itu antara lain flavonoid, tannin, saponin, polifenol,
monoterpen-sequiterpen steroid, dan kuinon.
Jenis pelarut yang terbaik dalam menghasilkan senyawa antibakteri
adalah akuades karena harga lebih ekonomis dan mudah untuk didapatkan.
Selain itu tingkat polaritas akuades yang lebih luas dari ethanol.

KESIMPULAN
1. Ekstraksi daun jambu biji dengan metode maserasi mampu memberikan
efek hambat pertumbuhan bakteri A. hydrophila secara in vitro.
2. Pelarut aquades menghasilkan diameter zona hambat yang lebih baik dari
pelarut ethanol dalam ekstraksi daun jambu biji secara maserasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan


Pertama. Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan. Departemen
Kesehatan RI. Jakarta.
Benson. 2001. Microbiological Applications Laboratory Manual in General
Microbiology. 8th ed. McGraw Hill Companies. Cahpter 8. Pg 93.
Darsono, F. L. dan S.D. Artemesia. 2003. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun
Jambu Biji dari Beberapa Kultivar terhadap Staphylococcus aureus
ATCC 25923 dengan “ Hole-Plate Diffusion Method”. Berkas
Penelitian Hayati : 9 (49-51).
Daud, M. F, E.R. Sadiyah, dan E. Rismawati. 2011. Pengaruh Perbedaan
Metode Ekstraksi terhadap aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun
Jambu Biji (Psidium Guajava L.) berdaging buah putih. Prosiding
SNaPP2011 Sains, Teknologi, dan kesehatan. ISSN:2089-3582.
Indriani, S. 2006.Aktivitas antioksidan ekstrak daun jambu biji (Psidium
guajava L). Jurnal II. Pert. Indon. Vol 11(1).
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 144
Rivai, H., H. Nurdin, H.Suyani, dan A. Bakhtiar. 2008. Pengaruh Perbandingan
Etanol-Air Sebagai Pelarut Ekstraksi Terhadap Perolehan Ekstaktif,
Kadar Senyawa Fenolat dan Aktivitas Antioksidan Dari Daun Jambu
Biji (Psidium Guajava Linn). Jurnal Sains dan Teknologi FArmasi
Vol.13. No 2. Hal. 79-85.
Rosidah dan W.M. Afizia. 2012. Potensi Ekstrak Daun Jambu Biji sSebagai
Antibakterial Untuk Menanggulangi Serangan Bakteri Aeromonas
hydrophila Pada Ikan Gurame (OsphronemusGouramy lacepede).
Jurnal Akuatika Vol. III No.1/ Maret 2012 (19-27). ISSN:0853-2523.
Ruangpan, R. and E.A. Tendencia. 2004. Laboratory Manual of Standardize
Methods for Antimicrobial Sensitivity Tests for Bacteria Isolated from
Aquatic Animals and Environment. Southeast Asian Fisheries
Development Center Aquaculture Department. Philippines.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 145


APLIKASI TEKNIS PRODUKSI STADIA
BENIH IKAN GRASS CARP
(Ctenopharingodon idella)

Y. Sukmajaya. Syambas. B, tatang. S, dani. J. Dan e. Saefudin

ABSTRAK

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi


sebagai Unit Pelaksana Teknis Perikanan Budidaya Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya (Nomor 6/PERMEN-KP/2014) melaksanakan salah
satu fungsinya yaitu pengelolaan produksi induk unggul, benih bernutu
dan sarana produksi ikan air tawar. Ikan Grass carp atau ikan koan
(Ctenopharingodon idella) adalah merupakan salah satu spesies ikan air
tawar yang memiliki kemampuan untuk pemanfaatan sumber protein
nabati dari berbagai jenis rumputan atau tanaman hingga menjadi bahan
yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani bagi manusia
yang mengkonsumsinya. Permasalahan yang dihadapi pada tahun 2013
adalah kerekayasaan aplikasi teknik dan teknologi terapan.dalam
produksi stadia benih. Tujuan dari makalah ini adalah memberikan data
dan informasi tipe wadah terbaik yang digunakan dalam penetasan telur,
Metode yang digunakan mencakup pengendalian terpadu antara aplikasi
hormonal, oksigenisasi dan pengaturan pergerakan arus air dalam wadah
yang digunakan dari mulai ovulasi telur dan sperma, fertilisasi,
penetasan telur apung, pemeliharaan benih awal hingga berumur 5 hari
dan pendederan intensif mono-kultur stadia benih dalam kolam semi-
permanen. Hasil-pelaksanaan kegiatan pengendalian karakter biologi
dalam upaya peningkatan stadia benih dalam satu kali periode dengan
jumlah sebanyak 1 ekor induk betina Grass carp matang gonad
berukuran bobot badan 6.2 kg dan 4 ekor induk jantan matang gonad
dengan ukuran bobot badan berkisar 3,3-3,8 kg ditambah dengan
aplikasi perangsangan hormonal dengan dosis 0,6 cc Ovaprim /kg bobot
badan induk betina dan 0,2 cc Ovaprim/ kg induk jantan serta
menggunakan 1 buah bak permanen berukuran 3x2x1 m yang dilengkapi
1 buah hapa halus berukuran 2.8x1.8 m, 1 buah high blower 60 watt, 4
buah fiber glass berdiameter 1 m dengan ketinggian 1,2 m dan 1 buah
kolam semi permanen berukuran 350 m2 dapat diperoleh data dan
informasi bahwa ovulasi telur secara alamiah tercapai pada suhu air
22-24 oC dan Oksigen terlarut 5-6 ppm dengan jumlah telur sebanyak
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 146
+510 000 butir, keberhasilan fertilisasi spermatozoa dengan ovaria
tercapai 92% dengan jumlah telur transparan sebanyak sebanyak + 470
000 butir telur, pengendalian penetasan telur (Hatching rate) tercapai
sebesar 74% dengan jumlar larva hingga berumur 5 hari sebanyak + 377
000. Hasil pendederan mono-kultur intensif Grass carp 30 hari dalam
bak semi permanen dengan kepadatan tebar 250 ekor/m2 benih
berukuran panjang total contoh (1.2 + 0,22) cm adalah sebesar 82%
dengan ukuran panjang total benih ikan contoh (2.4 + 1.44) cm.

PENDAHULUAN
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi
sebagai Unit Pelaksana Teknis Perikanan Budidaya Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya (Nomor 6/PERMEN-KP/2014) melaksanakan salah satu
fungsinya yaitu pengelolaan produksi induk unggul dengan tujuan memiliki
kemampuan untuk menyediakan benih calon induk bernutu
Sejak lama BBPBAT Sukabumi melaksanakan produksi benih ikan
hingga induk Grass carp atau ikan koan (Ctenopharingodon idella) karena ikan
Grass carp tersebut merupakan salah satu spesies ikan air tawar yang memiliki
kemampuan untuk pemanfaatan sumber protein nabati dari berbagai jenis
rumputan atau tanaman hingga menjadi bahan yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber protein hewani bagi manusia yang mengkonsumsinya.
Berbagai teknik pematangan gonad induk betina hingga diperoleh induk
yang siap pijah secara semi alami (Induced spawning) maupun pemijahan
buatan (Induced Breeding) telah dilaksanakan dan demikian pula
pengembangan teknis fertilisasi telur hingga penetasanya pun telah diupayakan.
Karakteristik telur yang dihasilkan oleh induk ikan Grass carp adalah (1)
satu ekor induk matang gonad yang memiliki bobot badan 5 kg mampu
menghasilkan jumlah telur berkisar 400 000-500 000 butir telur dengan ukuran
diameter telur yang telah mencapai pengembangan maksimal berkisar 3.7-5.3
mm (Woynarovich dan Horvath, 1980), (2) telur yang dihasilkan oleh induk
ikan Grass carp adalah tidak memiliki bahan perekat terhadap media (Non
Sticky). (3) memiliki bobot basah telur melebihi dari bobot masa air jernih
(Shireman dan Smith, 1982) sehingga jika tidak terdapa penggerak terhadap air
maka telur akan bertumpuk yang mengakibatkan peluang kerusakan fisik telur
menjadi tinggi dan pemenuhan kebutuhan oksigen menjadi rendah.
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah dibutuhkan wadah
penetasan telur dengan luasan yang relatif yang tinggi. Data dan informasi yang
dimiliki menunjukkan bahwa (1) penetasan telur ikan Grass carp dengan
menggunakan aquarium 50x30x30 cm dibutuhkan jumlah sebanyak 40 buah
dan (2) penetasan telur dalam hapa corong dengan diameter 50 cm dan tinggi

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 147


40 cm memerlukan bak yang luas sehingga mampu terpasang hapa corong
sebanyak 50.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan data dan informasi
aplikasi sistem dan teknis yang digunakan dalam dalam mendukung produksi
stadia benih ikan Grass carp

Berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi dalam produksi benih


ikan Grass carp, pendekatan teknis yang dilakukan adalah :
a. Siststim dan Teknis (Sistek) menggunakan wadah fiber glass yang memiliki
volume air yang tinggi untuk menghadapi masalah bahwa satu ekor induk
matang gonad yang memiliki bobot badan 5 kg mampu menghasilkan jumlah
telur berkisar 400 000-500 000 butir telur dengan ukuran diameter telur yang
telah mencapai pengembangan maksimal berkisar 3.7-5.3 mm
b. Sistek dengan menerapkan sistim pemasukan dan pengeluaran air yang
dilengkapi dengan sumber oksigen alam yang berasal dari High Blower
sehingga telur yang dihasilkan oleh induk ikan Grass carp tidak menumpuk
didasar wadah penetasan telur
c. Sistek dengan melakukan pengaturan arus air dan tekanan udara yang berasal
dari bawah sehingga kerusakan fisik telur menjadi rendah dan pemenuhan
kebutuhan oksigen menjadi tinggi.

Pelaksanaan kegiatan kerekayasaan ini telah dilaksanakan di Bangsal


benih kelompok kerja ikan Grass carp dan Silver carp (Hyphophthamicthys
molitrix) BBPBAT Sukabumi pada tahun 2013.

Metodologi
Metodologiyang digunakan mencakup Standar Operasional
Pelaksanaan (SOP) persiapan induk jantan dan betina siap pijah, periapan
wadah pemijahan semi alami, persiapan wadah penetasan telur, pengendalian
terpadu antara aplikasi hormonal, oksigenisasi dan pengaturan pergerakan arus
air dalam wadah yang digunakan dari mulai ovulasi telur dan sperma,
fertilisasi, penetasan telur apung, pemeliharaan benih awal hingga berumur 5
hari dan pendederan intensif mono-kultur stadia benih dalam kolam semi-
permanen.

Persiapan dan pemilihan Induk


Induk jantan dan induk betina ikan Grass carp dipelihara dalam kolam
semi permanen atau permanen dengan kedalaman air stabil pada ketingian +
1.0-1.5 m dan memiliki sumber air yang stabil mengalir sepanjang tahun.
Upaya memacu pertumbuhan dan pematangan gonad induk dilaksanakan
melalui pemberian perlakuan berupa pakan buatan ditambah dengan tanaman
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 148
atau rumputan yang disukai untuk dikonsumsi seperti daun bambu, rumput
gajah, daun sirih dll.. pemberian pakan untuk induk jantan dan betina Grass
carp adalah pelet tenggelam maupun pelet apung komersial dengan kandungan
protein kasar sebesar 25 %. Dosis yang diberikan sebesar 2-3 % /biomasa/
dengan frekuensi dilakukan 3 kali/hari. pengaturan air harus dilaksanakan
setiap hari sementara itu, pengggantian air perlu dilaksanakan secara periodik
minimal 2 minggu.
Secara umum, induk jantan dan induk betina ikan Grass carp banyak
mengalami matang gonad pada musim penghujan. Sementara itu, pada
lingkungan pembudidaya ikan grass carp, tahap awal dari pemilihan induk
matang gonad ikan Grass carp dilaksanakan melalui pengamatan dan perabaan
visual dengan standar operasional pelaksanaan pemeriksaan ditandai oleh (1)
Terdapat pengembangan perut pada bagian alat kelamin dan jika dilakukan
pemberokan selama 1 hari tidak terdapat penurunan ukuran bobot badan, (2)
Jika diraba bagian perut tersebut akan terasa empuk. (3) Alat kelamin nampak
menonjol dan memiliki warna merah jambu. Semetara itu, pemeriksaan visual
induk jantan dilaksakan melalui pengamatan penonjolan alat kelamin dan
pengurutan alat kelamin (Hand-presser). Tampilan induk betina dan induk
jantan Grass carp siap pijah yang digunakan dalam pelaksanaan.

Persiapan wadah
Wadah-wadah yang digunakan terdiri dari (1) 1 unit bak permanen
3x2x1,5 m yang dilengkapi 1 buah hapa halus berukuran 2.8x0,9x1.0 m, 1 buah
jaring penutup bak berukuran 4x2x1 m, 1 buah High blower 80 watt dan
instalasi pemasukan dan pengeluaran air yang berasal dari pompa air 1,5 pK,
(2) wadah penetasan telur yang terdiri dari 20 buah akuarium berukuran
40x30x25 cm, 5 wadah fiber glass Tipe I bulat dengan ukuan diameter atas
sebesar 100 cm dan diameter bawah sebesar 80 cm dan ketinggian air 100 cm,
4 buah wadah fiber glass bulat Tipe II dengan ukuan diameter atas sebesar 120
cm dan diameter bawah sebesar 100 cm dan ketinggian wadah 100 cm, 1 buah
high blower 120 watt dan 1 buah pompa air 1,5 pk, (3) instalasi penyaring larva
-benih berdiameter 30 cm dan (4) alat perikanan berupa ember plastik 50 lt,
Skop net halus 40 cm. Tampilan tipe fiberr glass yang digunakan sebagai
wadah pentesan telur ikan Grass carp, disajikan pada Gambar 3 A dan 3 B.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 149


(A)
(B)

Gambar 3. (A) Tampilan tipe fiberr glass I dan (B) Tipe fiber glass II yang
digunakan sebagai wadah pentesan telur ikan Grass carp

Standar Operasional pelaksanaan pemijahan


Pemijahan ikan Grass carp dewasa ini dapat dilaksanakan dengan
menggunakan metode pemijahan buatan (Induced breeding atau pemijahan
semi alami (Induced spawning). Dalam penerapan metode pemijahan buatan
maupun semi alami . Nama hormon beserta dosis dan kosentrasi yang dapat
digunakan dalam merangsang ovulasi telur maupun sperma yaitu Ovaprim
dengan dosis 6-7 cc/kg bobot induk betina dan 0.2 cc/kg induk jantan ikan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 150
Grass carp. Semetara itu. dosis hormon yang digunakan adalah 30% pada
penyuntikan pertama dan 70% pada penyuntikan kedua dengan interval 6 jam.
Untuk memudahkan dalam penyuntikan hormon kedalam tubuh induk ikan,
dilaksanakan dengan metode intra-muskular dengan lokasi penyuntikan hormon
terletak dibagian pangkal sirip punggung (Dorsal) .
Metode pemijahan induk ikan Grass carp yang dilaksanakan adalah
pemijahan semi alami (Induced spawning). Prosedur kerja yang dilakukan
dalam pemijahan semi alami ikan Grass carp adalah sebagai berikut :
a. Pemilihan minimal 1 ekor induk betina matang gonad dan minimal 2 ekor
induk jantan matang gonad
b. Penampungan dan pemberokan induk jantan dan betina selama 24-26 jam
dalam wadah yang telah diisi air jernih mengalir dan dilengkapi sumber
oksigen alam dengan menggunakan High Blower
c. Penyuntikan hormon perangsang ovulasi telur atau sperma
d. Penyatuan induk jantan dan betina kedalam satu bak pemijahan selama 6-7
jam
e. Pembiaran induk jantan dan induk betina untuk memijah secara alamiah
f. pemanenan telur dilaksanakan setelah pemijahan alami berakhir dan telur
telah mengembang secara maksimal

Standar Operasional penetasan telur


a. pemasangan instalasi sumber udara dan sumber air
b. Penampungan telur hasil pijahan semi alami
c. Penebaran telur kedalam wadah yang digunakan berupa Akuarium, Fiber
glass tipe I dan II
d. Pengaturan air Masuk dan keluar dengan debit air 0,3 lt/dt
e. Pengaturan tekanan oksigen yang bersal dari High Blower dengan standar
tidak terdapatnya penumpukan telur didasar wadah dan melakukan
minimalisasi benturan antara telur
f. Pembersihan filteryang terdapat di permukaan dinding pengeluaran air saat
telur mulai menetasa
g. Hasil penetasan telur adalah larva berumur 1 hari dan pada waktu 5 hari
yang dihasilkan adalah benih berumur 5 hari
h. Pemeliharaan larva hingga benih berumur 5 hari tetap dilaksanakan dalam
wadah penetasan telur
i. Pemanenan benih dengan menggunakan penangkapan dengan menggunakan
skop net halus dan dikombinasikan dengan metode sifonisasi.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 151


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pelaksanaan
Hasil-pelaksanaan kegiatan pemijahan semi alami dalam upaya
mendukung produksi stadia benih ikan Grass carp dalam satu kali periode
penetasan telur, disajikan pada Tabel 1.

No Parameter Kuantitatif Data


1 Jumlah induk betina siap pijah (ekor) 1
2 Bobot induk betina awal (kg) 6.2
3 Bobot induk setelah dipijahkan (kg) 5,7
4 Jumlah induk jantan siap pijah (ekor) 4
5 Bobot induk jantan (kg) 3,3-3,8
6 Jumlah telur yang dihasilkan (butir) + 510 000
7 Jumlah total telur trasparan + 470 000
8 Jumlah rataan benih berumur 5 hari + 377 000
yang diperoleh
9 Diameter telur (mm) 0.7-1.3
10 Diameter membran berkembang (mm) 2.1-2.8
11 Suhu air ( oC) 22-24
12 pH air 7.2-7.6
13 Oksigen terlarut (ppm) 5-6
14 Karbondioksida (ppm) 28-31

Tabel 1.Data hasil penghitungan dan pengukuran parameter kuantitatif dalam


pelaksanaan kegiatan pemijahan semi alami ikan Grass carp
(Ctenopharingodon idella).

Hasil pengamatan terhadap jenis telur transparan dan perkembangan telur


selama 48 jam, disajikan pada Gambar 3.

A B

Gambar 3. Tampilan contoh telur trasparan (A) dan (B) Tampilan contoh
benih berusia 5 hari ikan Grass carp (Ctenopharingodon idella)

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 152


Tabel 1, menunjukkan bahwa jumlah telur yang diperoleh hasil
pemijahan semi alami sebanyak + 560 000 butir telur dan hasil perhitungan
jumlah total trasparan yang diperoleh sebanyak + 510 000 butir telur.
Sementara itu, jumlah benih berumur 5 hari yang diperoleh sebanyak + 337 000
ekor. Diperolehnya data jumlah telur hingga benih berumur 5 hari
menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan aplikasi perangsangan ovulasi telur
dan sperma, fertilisasi, derajat penetasan telur hingga sintasan benih siap tebar
dikolam telah tercapai.
Hasil-pelaksanaan kegiatan penetasan telur yang dilakukan dengan
menggunakan Akuarium, Fiber glass tipe I dan Fiber glass tipe II , disajikan
pada Tabel 2
.
Jumlah Tebar Tebar Jumlah
Tipe Spesifikasi wadah telur telurper benih HR
wadah (buah) total volume berusia 5 (%)
(+ butir) (Butir/lt) hari
(+ ekor)

 Kaca
 Persegi
Akuarium  40x30x30 m 20 20 000 33 12 490 41.6
 Volume air 30 lt
 Ketinggian air 25
cm
 Air tetap
 Fiber glass
 Selinder
 Atas 100 cm
Wadah  Dasar 80 cm 4 240 000 60 186 910 77.9
Tipe I  Ketinggian wadah
120 cm
 Ketinggian air 100
cm
 Volume air 1000 lt
 Air mengalir

 Fiber glass
 Selinder
Wadah  Atas 150 cm
Tipe II  Dasar 120 cm 4 250 000 52 177 600 74.0

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 153


 Ketinggian wadah
60 cm
 Ketinggian air 40
cm
 Volume ait tetap
1200 lt
 Air mengalir
510 000 377 000

Tabel 1.Data hasil penghitungan jumlah telur contoh dan derajat tetas
(Hatching Rate) benih berumur 5 hari ikan Grass carp yang
ditebarkan untuk ditetaskan dalam akuarium, fiber glass tipe I dan
Fiber Glass tipe II

Tabel 2, menunjukkan bahwa jumlah benih yang dihasilkan dari


pelaksanaan kegiatan sebanyak 337 000 ekor yang terdiri dari hasil penetasan
telur dalam 20 buah akuarium, 186 910 hasil penetasan telur dengan
menggunakan fiber tipe I serta sebanyak 177 ekor benih merupakan hasil
penetasan telur dala fiber glass tipe II.
Tabel 2, menunjukkan bahwa pentasan telur dalam wadah berupa fiber
glass bulat dengan diameter atas sebesar 100 cm, diamter dasar sebesar 80 cm
dan ketinggian air wadah sebesar 120 cm, ketinggian air 100 cm dan diikuti
oleh pengaliran air serta pengangkatan telur melalui tekanan udara dalam air
merupakan hasil yang terbaik dari penggunaan akuarium maupun tipe II. Data
hasil penghitungan jumlah telur yang ditebar dalam 3 jenis wadah penetasan
telur per liter menunjukkan bahwa kepadatan telur 33 butir/lt yang ditetaskan
dalam akuarium menghasilkan nilai derajat tetas sebesar 41,6% Sementara itu,
hasil penetasan 60 butir telur/lt dengan menggunakan wadah fiber glass tipe I
air mengalir menghasilkan derajat tetas sebesar 77.9% dan hasil penghitungan
derjat penetsan telur yang bersal dari penggunaan wadah penetasan telur fiber
glass tipe II dengan kepadatan 52 butir/ lt adalah sebesar 74.0%.

PEMBAHASAN
Tingkat keberhasilan dalam perolehan kuantitatif maupun kuantitatif
produksi benih yang dihasilkan sangat tergantung kepada kemapuan personil
dalam ilmu pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang didukung oleh
ketersediaan induk, bahan dan ketersedian fasilitas atau sarana pendukung
produksi. Woynarovich dan Hovarth (1980) menyatakan bahwa keberhasilan
produksi benih ikan sangat ditentukan oleh (1) ketersediaan induk yang siap
untuk dipijahkan, (2) ketersediaan adah dan peralatan yang dapat digunakan
dari mulai pemijahan hingga pemeliharan benih dan (3) ketersediaan bahan
yang dibutuhkan dalam perangsangan ovulasi, fertilisasi dan pengendalian
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 154
lingkungan dan (4) ketersedianya sarana dan prasarana pendukung dalam
produksi. Sementara itu, Boyd (1990) menyatakan bahwa parameter kualitas air
yang sangat memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan stadia
benih adalah kandungan oksigen terlarut, pH, fluktuasi suhu air dan kandungan
Amonia terlarut (NH3). Hasil-pelaksanaan kegiatan pengendalian karakter
biologi dalam upaya peningkatan stadia benih dalam satu kali periode dengan
jumlah sebanyak 1 ekor induk betina Grass carp matang gonad berukuran bobot
badan 6.2 kg dan 4 ekor induk jantan matang gonad dengan ukuran bobot
badan berkisar 3,3-3,8 kg ditambah dengan aplikasi perangsangan hormonal
dengan dosis 0,6 cc Ovaprim /kg bobot badan induk betina dan 0,2 cc Ovaprim/
kg induk jantan serta menggunakan 1 buah bak permanen berukuran 3x2x1 m
yang dilengkapi 1 buah hapa halus berukuran 2.8x1.8 m, 1 buah high blower 60
watt, 4 buah fiber glass berdiameter 1 m dengan ketinggian 1,2 m dan 1 buah
kolam semi permanen berukuran 350 m2 dapat diperoleh data dan informasi
bahwa ovulasi telur secara alamiah tercapai dengan baik pada pH air 7.2-7.6,
suhu air 22-24 oC, Oksigen terlarut 5-6 ppm dengan jumlah telur sebanyak +
510 000 butir telur dan 377 ekor benih berusia 5 hari
Permasalahan yang dihadapi dalam produksi benih ikan Grass carp
adalah dibutuhkan wadah penetasan telur dengan luasan yang relatif yang
tinggi karena rata-rata telur yang diperoleh dari induk betina matang ganad
berumur 4 tahun dan bobot badan telah berkisar 5-6 kg dapat menghasilkan
telur 100-120 butir telur/kg bobot badan (Woynarovich dan Hovarth (1980)
oleh sebab itu, berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi dalam produksi
benih ikan Grass carp, pendekatan teknis yang dilakukan adalah aplikasi
Siststim dan Teknis (Sistek) dengan dasar pertimbangan wadah penetasan telur
yang memiliki luasan tinggi dan dilengkapi oleh sumber air mengalir dan
sumber udara yang memiliki tekanan sebagai penggerak air. Hasil pelaksanaan
penetasan telur ikan Grass carp menunjukkan bahwa penggunaan wadah fiber
glass tipe I lebih baik dibandingkan dengan menggunakan akuarium atau fiber
tipe II yang memiliki diameter permukaan 150 cm namun kedalam air sebesar
50 cm. meneluri pada aliran air yang digunakan pada wadah fiber glass Tipe I
dan tipe II menunjukan bahwa hasil-hasil penetesan telur dan pemelihaan larva
hingga benih berumur 5 hari relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
penetasan telur hingga pemeliharaan benih dengan menggunakan akuarium
persegi. Rendahnya nilai derajat penetasan telur sangat berkaitan erat dengan
(1) bentuk akuarium segi empat memiliki daerah pojok yang dikenal dengan
nama daerah mati (Dead area) sehingga mengakibatkan banyaknya telur yang
terkumpul dan benturan antara telur banyak terjadi dan (2) tingginya
kandungan amonia (NH3) sebagai akibat dari banyak cangkang telur ikan yang
tidak segera dibuang dan dilakukan penambahan air baru.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 155


KESIMPULAN
1. Satu ekor induk betina Grass carp matang gonad berukuran bobot badan 6.2
kg dan 4 ekor induk jantan matang gonad dengan ukuran bobot badan
berkisar 3,3-3,8 kg menghasilkan jumlah telur sebanyak + 510 000 butir,
2. Keberhasilan fertilisasi spermatozoa dengan ovaria tercapai 92% dengan
jumlah telur transparan sebanyak sebanyak + 470 000 butir telur
3. Pengendalian penetasan telur (Hatching rate) tercapai sebesar 74% dengan
jumlar larva hingga berumur 5 hari sebanyak + 377 000.
4. Penggunaan fiber glass selinder dengan standar ukuran diameter atas Atas
100 cm diameter dasar 80 cm ketinggian wadah 120 cm ketinggian air 100
cm dan diikuti oleh pengaturan air mengalir 1,3 lt/dt dan tekanan penggerak
yang berasal dari High Blower memiliki kemampuan peningkatan produksi
satadia ikan Grass carp sebesar 40% dibandingkan dengan menggunakan
akuarium atau fiber glass tipe II.

DAFTAR PUSTAKA

Boyd, C.E, 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama


Agricultural Experiment Station Auburn University .USA.482 pp.
Shireman, J.V. and C.R. Smith. 1983. Synopsis of biological data on the grass
carp, Ctenopharyngodon idella (Cuvier and Valenciennes, 1844). Food
and Aquaculture Organization Synopsis. 135: 86pp.
Froese, Rainer, and Daniel Pauly, eds. (2007). "Ctenopharyngodon
idella" in Fish Base. May 2007 version
Woynarovich. E and L. Horvarth, 1980. THE ARTIFICIAL PROPAGATION
OF WARM-WATER FINFISHERIES.-AN MANUAL FOR
EXTENSION. FOOD AND AGRICULTURE ORGANITATION.
P.183
Purdom , C.E. 1993. Genetics and Fish breeding.Chapman- Hall Fish and
Fisheries Series 8 277p
Tave, D., 1993. Genetics for fish hatchery managers, Second edition, An AVI
Book. Published by Van Noststrand Reinhold. New York. 415 p.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 156


PEMBENIHAN IKAN TERBANG (Hirundichtys Oxycephalus)
BIOTA AQUATIK BERNILAI EKONOMIS TINGGI
SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN PLASMA NUTFAH
DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

Dasep Hasbullah 1), Sugeng Raharjo 2), Sadat 3),Harnita Agusanty 4),
Muhammad Amri Tiro 5).

ABSTRACT

Flying fish (Hirundichtys Oxycephalus) is fishing commodity that had high


economic value that marketed as fresh, dried fish and smoked fish. Some
species are popular in south Sulawesi known as torani, caruda and benggulung.
Beside in processed form, flying fish more popular with its eggs who have high
economic value. Flying fish eggs are „primadona‟ for export product and one of
national income. Otherwise, flying fish are high exploited (overfishing) in some
area in South Sulawesi such as Takalar, Pinrang, Barru, Jeneponto, Bantaeng
and Bulukumba. This situation was generating decreasing of population in the
nature. Effort to preserve this organism extremely need from all stakeholders to
avoid the extinction of flying fish. Balai Budidaya Air Payau Takalar in fiscal
year 1997/1998 was developing flying fish hatchery as moral movement by
following an effort for environment preservation. Moreover, in 2011, 2012 and
2013 with local Dinas of Marine and Fishery of Takalar district, South
Sulawesi were conducting hatchery engineering activities more intensively and
controlled to improve larvae survival in hatching stage and also to produce seed
that ready for restocking. Additionally, activities not only to preserve aquatic
organism but also for improving the welfare of fishermen.

Key Words: flying fish, high economic value, extinction and preservation

1) Young Engineers at BPBAP Takalar


2) Head BPBAP Takalar
3) Head of Technical Services BPBAP Takalar
4) Head of Standardization and Information BPBAP Takalar
5) Technician litkayasa on BPBAP Takalar

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 157


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan terbang (Hirundichtys Oxycephalus) merupakan ikan pelagis
kecil, hidup dipermukaan laut, termasuk perenang cepat, menyukai cahaya pada
malam hari dan mampu meluncur keluar dari permukaan air dan melayang di
udara (Parin 1999 in Carpenter & Niem 1999 dalam Nurmawati 2007). Ikan
terbang merupakan salah satu komponen ikan pelagis yang ditemukan di
perairan tropis dan sub tropis dengan kondisi perairan tidak keruh dan
berlumpur (Hutomo et al 1985 dalam Harahap).
Di Provinsi Sulawesi Selatan komoditas ikan terbang memiliki nilai
ekonomis yang cukup tinggi dipasarkan dalam bentuk segar, ikan asinan
maupun ikan asap, beberapa jenis ikan terbang yang dikenal di daerah ini antara
lain : torani, caruda dan banggulung. Selain dalam bentuk olahan yang sudah
jadi ikan terbang juga dijual telurnya. Telur ikan terbang ini mempunyai nilai
gizi tinggi dan lebih popular di masyarakat yang menjadikan nilai jual produk
dalam bentuk telur ikan terbang lebih mahal sehingga produk telur ikan terbang
dapat dijadikan primadona untuk produk ekspor dan juga merupakan sumber
devisa negara dari sektor perikanan tangkap. Produksi telur ikan tebang di
Sulawesi selatan dari tahun ke tahun terus menunjukkan kecenderungan yang
semakin menurun akibat kegiatan eksploitasi telur ikan terbang oleh nelayan di
laut semakin intensif untuk melayani permintaan pasar baik domestik maupun
ekspor yang semakin meningkat dengan harga pasaran yang cukup tinggi.
Menurut Ghofur 2003 dalam Nurmawati 2007, ikan terbang telah dieksploitasi
di Indonesia bagian timur terutama di selat Makasar dan Laut Flores.
Eksploitasi telah dilakukan oleh nelayan di Kabupaten Takalar, Pinang Baru,
Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba. Mengingat peranan penting ikan terbang
dalam penerimaan devisa negara, maka upaya pelestarian flasma nutfah
komoditas ikan terbang sangat perlu mendapat perhatian berbagai pihak agar
populasinya di alam tidak mengalami kepunahan akibat overfishing.

Tabel 1. Produksi ikan terbang di beberapa perairan Indonesia

No Daerah Produksi Ton/Tahun)

1 Sumatera Barat 299


2 Sulawesi Selatan 5.331
3 Sulawesi Utara 1.028
4 Maluku 978
5 Bali, dan NTT 525
(Sumber: Statistik Perikanan tahun 1978 dalam Hutomo 1985).
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 158
Berdasarakan data Statistik perikanan Indonesia tahun 2005 diperoleh
bahwa total produksi telur Ikan Terbang 279,8 ton/ tahun pada wilayah
Sulawesi Selatan bahkan belum lama Indonesia mengekspor telur ikan terbang
ke Rusia sebesar 20 ton seharga Rp. 5 miliar. Telur ikan terbang bermanfaat
untuk obat-obatan, telur ikan terbang mengandung karagenan yang juga
banyak di terkandung rumput laut, Telur yang lebih halus lebih diminati pasar
di luar negeri. Di Jepang orang mengkonsumsinya sebagai bahan obat seperti
yang dituturkan oleh Dr Musri Musman, seorang dosen Kelautan pada
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Doktor alumni University of the Ryukyus
pada bidang marine and natural products, menurutnya lagi ada kesimpulan
umum bahwa dengan memakan telur ikan terbang ini akibatnya dapat
memperlancar peredaran darah yang dan secara tidak langusng dapat
meningkatkan libido seperti yang dituturkannya pada Citizen Reporter
(komarudin 2007 Telur Tuing Tuing Galesong, Omzet Milyaran Menembus
Rusia)
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar (BPBAPT) pada tahun tahun
anggaran 1997/1998 waktu itu bernama Loka Budidaya Air Payau Takalar,
telah melakukan pembenihan ikan terbang sebagai gerakan moral yang
mengacu pada upaya pelestarian komoditas jenis ini dalam rangka upaya
pelestarian lingkungan dengan melakukan perbaikan teknologi rekayasa
pembenihan ikan terbang melalui teknik penetasan, pemberian pakan dan
pengelolaan kualiatas air. Selanjutnya Tahun 2011 BBAPT bekerja sama
dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi
Selatan kembali melakukan kegiatan pembenihan ikan terbang dengan
teknologi yang lebih intensif dan terkontrol untuk meningkatkan kelangsungan
hidup larva dalam penetasan dan menghasilkan produksi benih siap tebar yang
berkualitas sehingga populasi ikan terbang di alam khususnya di perairan selat
makassar dan sekitarnya tidak mengalami kepunahan, bahkan ditargetkan
produksi ikan terbang pada beberapa tahun ke depan akan melimpah tanpa
mengganggu keseimbangan alam.

Tujuan Kegiatan
- Untuk mendapatkan suatu teknologi penetasan dan perawatan larva ikan
terbang yang tepat sehingga kualitas dan kelulushidupan (survival rate)
larva dapat ditingkatkan untuk kesuksesan restocking.
- Mempertahankan kesimbangan dan pengkayaan keragaan biota aquatik
khususnya populasi komoditas ikan terbang (Hirundichtys Oxycephalus).

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 159


METODOLOGI
Prosedur Kerja
Kegiatan Pembenihan ikan terbang yang dilakukan di BPBAP Takalar
telah mengalami perkembangan dari metode konvensional yang dilakukan oleh
para pembenih pada umumnya beralih ke metode yang lebih baik dengan
menggunakan kerekayasaan sederhana yang tepat guna, efektif, efisien dan
ramah lingkungan mengacu pada cara pembenihan ikan yang baiik (CPIB).
Sehingga bukan saja meningkatkan produksi larva ikan terbang dengan
menaikkan kelulushidupan (survival ratio) tetapi juga diharapkan dapat terus
menciptakan inovasi dan kreasi terbaru dalam teknologi pembenihan ikan
terbang yang lebih maju.

Pengambilan telur
Telur ikan terbang diperoleh dari para nelayan pencari, penangkap dan
pengepul di wilayah perairan sekitar lokasi pembenihan. Biasanya para
Nelayan baru mendapatkan hasil buruan telur ikan terbang setelah mengarungi
peraian selama dua sampai empat hari. Disamping menangkap telur yang sudah
terurai dalam rerumputan yang mengapung di lautan (sargosum), mereka juga
menciptakan alat penangkap telur sendiri yang terbuat dari belahan bambu dan
kerangka rotan yang dibentuk kerucut sebagai perangkap ikan terbang yang
bertelur (dalam bahasa makassar disebut Pakajja). Untuk menciptakan rumpon
lain bagi telur ikan terbang para nelayan membuatnya dari daun kelapa yang
disebar di perairan dimana kumpulan populasi ikan terbang diketemukan.

Pengangkutan telur
Pengangkutan telur ikan terbang dari laut/perairan menggunakan
wadah/ember/drum plastik/bak fiber volume isi 30 s/d 50 liter, selanjutnya diisi
air laut sebanyak 2/3 bagiannya kemudian telur yang menempel pada substrat
atau yang terjebak dalam pakajja dimasukan ke dalam wadah dengan
memperhatikan tingkat kepadatan dan lama waktu tempuh perjalan.
Pemantauan kualitas air dan penggunaan aerator selama dalam pengangkutan
senantiasa harus dilakukan secara serius termasuk kegiatan penggantian air
dalam wadah setiap interval 1-1,5 jam selama dalam perjalanan terlebih pada
saat kondisi kualitas air rusak agar kualitas telur tetap terjaga dengan baik.

Seleksi telur
Seleksi telur-telur ikan terbang sebelum ditetaskan dimaksudkan untuk
mendapatkan telur yang sehat, berkualitas baik dan siap tetas, dapat dilakukan
secara visual dan manual maupun secara laboratorium.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 160


Telur yang sehat dan memenuhi syarat untuk ditetaskan memiliki tanda-
tanda sebagai berikut :
 Telur berwarna bening mengkilat dengan bulatan telur membentuk lingkaran
utuh
 Untaian telur saling melekat
 Tidak ada bau menyengat yang diakibatkan oleh telur yang rusak atau substrat
yang membusuk lebih dulu
 Bersih dari kotoran (organik maupun anorganik)

Disinfektan telur
Telur ikan terbang yang telah terseleksi dengan baik selanjutnya
disucihamakan dengan KMNO4 3 ppm, Malachytgreen oxalat 0,02 ppm dengan
tujuan agar kualitas telur yang hendak ditetaskan terhindar dari serangan hama
yang ikut pada media pembawa atau media yang digunakan sebagai substrat
tempat melekatnya telur.

Inkubasi dan penetasan telur


Inkubasi dan penetasan telur dilakukan dalam bak pengeraman dan
penetasan yang terkontrol berukuran 1 x 2m2 dengan ketinggian air 40-50 cm
dilengkapi dengan ram pelampung terbuat pipa PVC berdiameter ¾ - 1 inch
yang dibentuk persegi panjang sesuai ukuran bagian dalam bak dan telah diberi
tali jaring polyteline yang terpola rapi dengan tiap bagiannya membentuk
persegi empat. Air yang digunakan dalam bak penetasan ini harus air laut yang
sudah disterilkan dan ditreatment menggunakan albazine 1 ppm. Telur ikan
terbang yang melekat pada substrat (rumput sargosum) dan telah
disucihamakan selanjutnya diurai rapi mengikuti tali jaring dalam bingkai
plampung agar sebaran oksigen terlarut dan suhu dalam bak penetasan merata
dan homogen.
Telur ikan terbang menetas pada malam hari dengan interval 24 sd 36 jam
setelah perlakuan. Pemanenan larva dapat dilakukan pada malam dan pagi hari
secara berturut-turut sampai hari ketiga dan keempat sesuai dengan
produktivitas telur ikan yang ditetaskan. Telur yang tidak menetas warnanya
memudar dan akan cepat membusuk, maka pada saat panen larva telur yang
membusuk dan cangkang telur sebaiknya dikeluarkan dari bak pemeliharaan
agar kualitas air dan kualitas telur yang belum menetas tetap terjaga dengan
baik

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 161


HASIL KEGIATAN
Pendederan dan pemeliharaan larva dilakukan dalam bak beton
berukuran 2,5 x 2,5 x 1m3 yang terlindung dari hujan/di dalam hatchery dengan
padat tebar ideal 15.000 s/d 20.000 ekor/m3 (1500 s/d 2000 ekor/liter). Kualitas
air merupakan hal yang sangat penting untuk senantiasa diperhatikan baik dari
segi fisika, kimia maupun biologi agar larva hasil pembenihan tetap dalam
kondisi baik dengan nilai kelulushidupan (Survival Ratio) dapat dioptimalkan.
Nilai SR larva ikan terbang yang baik berkisar antara 83-90 %. Larva dipelihara
dalam bak pendederan selama 12-14 hari ditandai dengan terbuka sayap secara
sempurna. Pada kondisi ini benih telah siap untuk siap ditebar di laut lepas.

Tabel 4. Ktriteria kualitas air yang layak untuk pendederan larva ikan
terbang

Parameter Kisaran nilai yang Kisaran optimum


cocok
Suhu 28 – 32 oC 30 oC
Salinitas 30 – 34 ppt 30 ppt
Oxygen terlarut 4 – 10 mg/l 8 – 10 mg/l
pH 6,5 – 8,5 7–8
Nitrit (NO2) 0 – 6 mg NO2 -N/l 0 – 0,5 mg NO2 -N/l
Nitrat (NO3) 0 – 200 mg NO3 -N/l 0 – 50 mg NO3 -N/l

Pemberian pakan
Pakan alami yang digunakan adalah phytoplankton jenis Tetracelmis
dan Rotifera diberikan pada stadia larva satu hari dengan kepadatan
Tetracelmis antara 5000 – 10.000 cel/cc dengan frekuensi pemberian 2
kali/hari. Untuk larva berumur 3 hari sampai hari ke 12 dan menjelang panen
diberikan pakan berupa naupli Artemia dan pakan komersil berupa pellet halus
(powder dan cramble) sebanyak 5% dari berat total biomasa larva ikan terbang
dengan frekuensi pemberian pakan 5 kali perhari yaitu pada waktu pagi, siang,
sore dan malam hari (jam 07.00, 10.00, 13.00, 16.00, dan 19.00).

Penanggulangan Penyakit pada larva


Pengawasan terhadap kesehatan larva dari serangan penyakit
dilakukan dengan cara memperhatikan perilakunya antara lain sebagai berikut :
 Pengamatan terhadap perubahan warna tubuh, nafsu makan dan pertumbuhan
larva.
 Memisahkan larva yang sakit / diisolasi kemudian diobati sesuai hasil diagnosa
 Isolasi alat yang dipakai dengan menggunakan disinfektan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 162
Panen, Packing dan Distribusi
Panen benih siap tebar dilakukan setelah benih berumur 12 hari
dengan cara menyurutkan air kolam secara berangsur-angsur untuk mengurangi
volume air hingga benih dapat ditangkap dengan mudah. Proses pemanenan
sebaiknya dilaksanakan pada saat suhu air rendah (pagi, sore atau malam hari),
agar ikan tidak stress lakukan panen dan pengepakan dengan sangat hati-hati.
Pembenihan bukan hanya ditentukan oleh tingginya produksi benih dan kualitas
benih yang baik belaka, namun kesigapan dan kesempurnaan dalam teknik dan
pengelolaan benih saat pemanenan juga mempunyai peranan penting dalam
menentukan tingkat keberhasilan usaha pembenihan.

Tabel 5. Ciri benih ikan terbang yang telah siap ditebar di perairan dan
laut lepas

No Yang perlu diamati Keterangan umum


1. Umur benih >12 hari setelah menetas
2. Panjang total 0,8 s/d 1,2 cm
3. Organ tubuh Lengkap dan sempurna, terutama bagian sayap
(pada malam hari terlihat mengembang
sempurna)
4. Pola berenang Cepat dan sesekali melompat
5. Pola makan Mulai Rakus terutama pada malam hari
6. Tingkat kematian Mulai meningkat, ditandai banyaknya bangkai
benih ikan terbang yang menempel pada
dinding bak pemeliharaan akibat loncatan dan
terbangnya benih
7. Kanibalisme Mulai muncul

Tabel 6. Benih ikan terbang hasil pembenihan BPBAP Takalar untuk


restocking 2011-2013

JUMLAH BENIH WILAYAH PELEPASAN


TAHUN
(ekor) (ZONA RESTOCKING)
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 163
2011 7.000.000 Perairan pulau satangah selat Makassar
Perairan pulau satangah dan tanakeke selat
2012 14.300.000
Makassar
2013 Perairan pulau Tanakeke, satangah dan dayang
21.000.000
dayang selat Makassar

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kegiatan pembenihan ikan terbang sangat mendukung terhadap
pelestarian alam. Melalui program restocking ini terlihat ada peningkatan
populasi ikan terbang di alam dalam berbagai ukuran dan berdampak positif
terhadap jumlah hasil tangkapan para nelayan yang semakin meningkat, begitu
pula terhadap produktivitas telur ikan terbang di beberapa produsen olahan
telur ikan terbang yang mengalami peningkatan setiap harinya.

Saran
Melihat manfaat dan dukungan berbagai pihak khususnya dari para
belayan penangkap ikan terbang yang banyak merasakan dampaknya secara
langsung, maka kegiatan pembenihan ikan terbang untuk pelestarian alam perlu
terus dilakukan secara keberlanjutan

DAFTAR PUSTAKA

Ali, S.A. (1981). Kebiasaan makan, pemijahan,hubungan panjang berat dan


faktor kondisi ikan terbang (Cypselurus Oxycephalus) di laut plores
Sulawesi Selatan. Tesis Fakultas Perikanan UNHAS Makassar

Andi Tamsil (1992), Pertumbuhan dan Kelangsungan hidup larva ikan terbang
(Cypselurus Oxycephalus) pada berbagai jenis pakan. Tesis Program
Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Ujung Pandang.

I Made Suitha, Anton Mardiyanta (1997). Laporan Pembenihan ikan terbang


(Cypselurus Oxycephalus) sebagai upaya Pelestarian Lingkungan. Loka
Budidaya Air Payau Takalar.

I Made Suitha, Anton Mardiyanta,(1999) Uji Coba Jentik nyamuk sebagai


pakan substitusi pada larva iikan terbang. Departemen Pertanian
Direktorat Jenderal Perikanan Loka Budidaya Air Payau Takalar.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 164
Nessa, M.N.H Sugondo, I Andarias, A. Rantetondok (1997). Studi Pendahuluan
terhadap perikanan ikan terbang di Selat Makassar. Majalah UNHAS
Tahun VIII/XVIII 13,643-649. Pola Ilmiah Pokok UNHAS Makassar.

PENINGKATAN NILAI TAMBAH HASIL PERIKANAN


KOMODITAS LAWI-LAWI (Caulerpa, sp)
SUMBER NUTRISI DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN

Endah Soetanti 1), Dasep Hasbullah 2), Sugeng Raharjo 3),


Jumriadi 4), Harnita Agusanty 5).

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 165


ABSTRACT

Development of lawi-lawi (Caulerpa.sp) culture as new commodity from


seaweed group was developing together between Balai Perikanan Budidaya Air
Payau Takalar with Australian Centre for International Agricultural Research
(ACIAR). This activity is part of commodities diversification to improve
productivity of idle ponds in South Sulawesi recently become one primadona
commodity that had been chose by farmers to improve their income as well as
improving the welfare of aquaculture farmers. Lawi-Lawi productivity in
nowadays is sustain increase, this condition parallel with number of adopted
farmer increase gradually. Simultaneously, pushing up value added of lawi-
lawi productivity in the ponds is generates the abundance in the market site. To
compensate the high production, socialization of this edible seaweed was
conducting and also need to figure out processing technology for profitable
food resources as an effort to nutrient improvement and vegetable protein in
interesting package. Processing technology developed by Balai Perikanan
Budidaya Air Payau Takalar including: processing of lawi-lawi as fresh
comestible meal such as Pallu kacci, Pallu cekla, lawi-lawi soup, urab and
gado-gado also developing lawi-lawi cake such as jelly, pudding, bolu lawi-
lawi and lapis lawi-lawi. Furthermore as snack like chips, candies and healthy
fresh drink such as lawi-lawi juice and herbal.
Key words: Production, lawi-lawi (Caulerpa sp) and processing technology

1) Associate Engineer at BPBAP Takalar


2) Young Engineers at BPBAP Takalar
3) Head BPBAP Takalar
4) First Engineer at BPBAP Takalar
5) Head of Standardization and Information BPBAP Takalar

PENDAHULUAN
Lawi-lawi (Caulerpa.sp) sebagai komoditas baru dari golongan
rumput laut yang dikembangkan oleh Balai Perikanan Budidaya Air Payau
Takalar hingga saat ini telah menunjukkan hasil yng significant. Lawi-lawi
yang dulu dianggap sebagai gulma dan panganan biasa oleh masyarakat,
melalui teknologi budidaya yang dikembangkan BPBAP Takalar dalam
program diversifikasi komoditas untuk meningkatkan produktivitas tambak idle
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 166
di Sulawesi Selatan kini sudah menjadi salah satu komoditas primadona yang
dipilih oleh para petambak untuk meningkatkan penghasilan mereka,
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan pembudidaya. Kini permintaan
lawi-lawi dari beberapa pasar lokal di Sulawesi Selatan semakin menunjukan
peningkatan bahkan sudah mulai merambah pasar ekspor ke beberapa negara
seperti Cina, Korea, Jepang dan Philipina.
Produksi lawi-lawi (Caulerpa.sp) saat ini terus mengalami
peningkatan, hal ini sejalan dengan bertambahnya jumlah pembudidaya yang
mengadopsi teknologi budidanya, kondisi tersebut secara simultan akan
mendongkrak peningkatan nilai produksi lawi-lawi di tambak sehingga
keberadaan lawi-lawi di pasar akan melimpah ruah. Untuk mengimbangi
produksi yang tinggi tersebut selain terus mensosialisasikan lawi-lawi sebagai
bahan pangan lalaban dalam kondisi segar, juga dibutuhkan teknologi
pengolahan lawi-lawi menjadi sumber pangan yang bermanfaat bagi
masyarakat dalam upaya peningkatan gizi dan sumber protein nabati dengan
kemasan/olahan yang disukai masyakat.
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar melalui kegiatan
rekayasa teknologi lawi-lawi merintis pengembangan teknologi pengolahan
lawi-lawi sebagai bahan pangan dalam bentuk aneka olahan higienis yang
diharapkan dapat meningkatkan tren konsumsi lawi-lawi pada masyarakat luas
sebagai upaya peningkatan produksi perikanan budidaya yang ramah
lingkungan dan berkelanjutan. Beberapa teknologi pengolahan lawi-lawi yang
dikembangkan oleh BPBAP Takalar antara lain : Pengolahan lawi-lawi sebagai
panganan segar dalam menu lauk pauk (palu kace, palu cela, sop lawi-lawi
,urab dan gado-gado lawi-lawi) juga dikembangkan teknologi pengolahan lawi-
lawi sebagai panganan hidangan dalam bentuk kue (agar lawi-lawi, puding
lawi-lawi, bolu lawi-lawi dan lapis lawi-lawi), sebagai camilan makanan ringan
lawi-lawi juga diolah menjadi asinan lawi-lawi, kerupuk lawi-lawi dan permen
lawi-lawi. Selain itu juga lawi-lawi diolah menjadi minuman segar yang
menyehatkan (jus lawi-lawi dan minuman herbal lawi-lawi).

Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan nilai tambah
produk lawi-lawi yang dihasilkan dari kegiatan budidaya dan tersedianya aneka
panganan dengan bahan baku lawi-lawi (Caulerpa. sp) disamping sebagai
bahan panganan/makanan segar/lalapan.

METODOLOGI
Waktu dan tempat

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 167


Uji coba pemanfaatan lawi-lawi menjadi produk olahan aneka
panganan ini dilakukan di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP)
Takalar, Tahun Anggaran 2013.

Alat dan Bahan


Bahan dan alat yang digunakan dalam kegiatan ujicoba ini adalah
sebagai berikut :

No Nama Alat Kegunaan


1. Ember Wadah penampungan
2. Waskom Wadah penampungan
3. Timbangan Untuk menimbang bahan
4. Blander/mixer Pengekstrak/pengocok bahan
5. Open Pemanas kue
6. Loyang Cetakan kue
7. Baki vires Piring saji
8. Kompor Alat memasak
9. Wajan Alat memasak
10. Palstik Packing Untuk Pengemasan

No Nama Bahan Kegunaan


1. Lawi-lawi hasil budidaya Bahan baku untuk olahan
2. Ikan segar Bahan baku untuk olahan
3. Kelapa Bahan campuran untuk olahan
4. Telor ayam Bahan campuran untuk olahan
5. Tepung terigu Bahan campuran untuk olahan
6. Glukosa Bahan campuran untuk olahan
7. Gula putih Untuk citra rasa
8. Gula merah Untuk citra rasa
9. Garam Untuk citra rasa
10. Bumbu dapur Untuk citra rasa

Prosedur Kerja
- Menyiapkan bahan baku utama (lawi-lawi hasil produksi di tambak)
- Seleksi kualitas bahan baku lawi-lawi
- Pencucian lawi-lawi
- Menyiapkan bahan baku pendukung (ikan, campuran bahan baku dan bumbu)
- Membuat olahan utama
- Pembuatan aneka menu hidangan dengan bahan baku lawi-lawi
- Pengemasan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 168
- Penyajian/hidangan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Secara umum pengolahan lawi-lawi menjadi beberapa makanan
olahan tidak rumit, walaupun lawi-lawi pada umumnya lawi-lawi dikonsumsi
dalam bentuk segar sebagai lalaban pelengkap lauk pauk pada saat makan,
namun juga dapat dijadikan sebagai bahan baku aneka panganan yang bergizi
dan banyak manfaat bagi kesehatan dan daya tahan tubuh. Pengolahan lawi-
lawi menjadi bahan panganan yang bermanfaat dan aman bagi tubuh yang
mengkonsumsinya diproduksi dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini :
1. Lawi-lawi yang digunakan sebagai bahan baku adalah hasil produksi di tambak
dengan penerapan CBIB
2. Sebelum digunakan dilakukan sortir kualitas lawi-lawi dan pemberokkan dalam
bak pemeliharaan yang menggunakan air laut steril
3. Selama pemberokkan dilakukan penggantian air dan reserkulasi untuk
memperoleh bahan baku lawi-lawi yang bersih, sehat dan berkualitas
4. Tidak menggunakan bahan pengawet/bahan kimia yang berbahaya, baik pada
saat pemberokkan lawi-lawi maupun pada saat pengolahan lawi-lawi menjadi
panganan yang diinginkan
5. Dilakukan pencucian dengan air tawar yang bersih sebelum pengolahan lawi-
lawi menjadi aneka produk olahan bahan panganan.

Tahap Seleksi hasil panen


Pada saat pengumpulan hasil panen dilakukan penyortiran/pemilihan
kualitas lawi-lawi yang berkualitas dan memenuhi kriterian yang memenuhi
syarat sebagai bahan baku yang akan diolah menjadi aneka produk olahan.

Pemberokkan/Penampungan sementara
Lawi-lawi hasil seleksi selanjutnya dilakukan
pemberokkan/penampungan dalam bak dengan media air laut yang steriil,
diberi aerasi yang cukup dan reserkulasi yang cukup untk proses pencucian
(leaching) secara alami agar semua kotoran dan lumpur dari tambak
pemeliharaan yang melekat terlepas dari akar, tallus dan anggur lawi-lawi yang
akan diolah.

Pencucian
Setelah dilakukan pemberokkan selam 3 hari, lawi-lawi dari bak
penampungan selanjutnya ditiriskan selama 10-15 menit, kemudian dilakukan
pencucian dengan menggunakan air tawar yang bersihsebelum dilakukan
pengolahan lebih lanjut

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 169


Pengolahan
Lawi-lawi yang sudah dicuci bersih dengan air tawar telah siap diolah
dalam berbagai bentuk produk olahan yang diinginkan sesuai kebutuhan.baik
menjadi olahan pelengkap lauk pauk, olahan makanan camilan maupun olahan
minuman yang segar dan menyehatkan tubuh.
Hasil dari kegiatan penerapan teknologi sebagaimana terlampir pada
tabel dan dan grafik di bawah ini.

PRODUK OLAHAN YANG


NO SPESIFIKASI OLAHAN
DIHASILKAN
1. Lawi-lawi sebagai Lauk Pauk  Palu kace
 Palu ce‟la
 Sop lawi-lawi
 Urab lawi-lawi, dan
 Gado-gado lawi-lawi
2. Lawi-lawi sebagai kue  Agar lawi-lawi
 Puding lawi-lawi
 Lapis lawi-lawi
3. Lawi-lawi sebagai makanan ringan  Asinan lawi-lawi
(camilan)  Manisan lawi-lawi
 Kerupuk lawi-lawi
 Permen lawi-lawi
4. Lawi-lawi sebagai minuman segar  Jus lawi-lawi
yang menyehatkan  Herbal lawi-lawi

KESIMPULAN DAN SARAN

Kegiatan pengolahan lawi-lawi menjadi aneka produk olahan


memberikan harapan baru bagi pembudidaya/petambak dan keluarganya dalam
membuaka peluang usaha baru dan pemberdayaan masyarakat
pesisir/pembudidaya tambak dalam peningkatan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat. Pada sisi lain kegiatan ini juga diharapkan dapat
membantu peningkatan pembangunan sector perikanan melalui peningkatan
ketahan pangan dan gizi masyarakat yang berkesinambungan dengan
produtivitas budidaya perikanan.Dalam rangka lebih mengoptimalkan
pemanfaatan sebagai bahan baku untuk aneka panganan dan produk olahan
dapat dikembangkan lebih baik lagi ke arah industri kreatif untuk mendukung
program industrialisasi perikanan.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 170
Azizah. Ria. 2006. Percobaan berbagai macam metoda budidaya Latoh
(Caulerpa racemosa) Sebagai Upaya Penunjang kontinuitas
produksi.Ilmu Kelautan Juni 2006. Vol.II (2):101-105.
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. 2010. Evaluasi dan Pemetaan
Kelayakan Sumberdaya Lahan Budidaya Tambak dan Laut di Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Timur.
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros Sulawesi Selatan.
http://www.globinmed.com/index.php?option=com_content&view=article&id=
79160:caulerpa-lentillifera-j-agardh&catid=367:c (28 April 2012).
Batucan, M.L.C and Tanduyan, S.N. 2006. Growth rate of Caulerpa lentillifera
Ag. (Chlorophyta) in different substrates in the marine waters of San
Francisco, Cebu, Philippines. APCAB, College, Laguna (Philippines).
Pariyawathee, Santi, Nakhon Si Thammarat. 2003. Optimum condition of
environmental factors for growth of sea grape (Caulerpa lentillifera: J.
Agardh). Thai Fisheries Gazette.
Pong-Masak, P.R, Abdul Mansyur, dan Rachmansyah. 2007. Rumput Laut
Jenis Caulerpa dan Peluang budidayanya di Sulawesi Selatan. Media
Akuakultur Volume 2.
Trono, G.C.R, Jr. 1987. Studies on the pond culture of Caulerpa. Philippine
Journal of Science 0031-7683 (no. 17) p. 83-98.
http://www.onlyfoods.net/caulerpa-lentillifera.html (28 April 2012)
http://www.fao.org/docrep/006/y4765e/y4765e0b.htm. 8.8 Sea grapes or green
caviar (Caulerpa lentillifera) (28 April 2012)
McHugh, Dannis J. 2003. A guide to the Seaweed Industry. FAO FISHERIES
TECHNICAL PAPER 441. Rome Italia.
Novaczek, Irene. 2001. A Guide to the commom edible and Medicinal Sea
Plants of the Pacific Islands. Community Fisheries Trainning Pacific
Series 3A.
Li, Demao; Guance Wang, Limei Chen, Fang Lu, Zonggen Shen. 2008. Effect
of Irradiance and Temperature on the photosynthesis and Vegetative
Propagation of Caulerpa serrulata.
RADIASI ULTRA VIOLET SEBAGAI STIMULATING GROWTH
FACTOR (SGF) KULTUR MASSAL PHYTOPLANKTON
(CHLORELLA SP)1

Moh. Syaichudin2, Abdul Gafur3, Sitti Faridah2, Hamka2


BPBAP Takalar d/a. Ds. Mappakalompo, Kec.Galesong, Kab.Takalar, Prov.Sul-Sel

1
Makalah disampaikan pada „Indonesian Aquaculture 2014‟ di Jakarta
2
Perekayasa Muda Balai Budidaya Air Payau Takalar
3
Perekayasa Pertama Balai Budidaya Air Payau Takalar
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 171
.

ABSTRACT

Problems in the production of high quality chorella are low density, short
exponential growth charts, as well as contamination. Intensity of ultraviolet
radiation in the sub-optimal in the target organism, tend to inactivate
temporally. Therefore, the engineering activity aims to examine the role of
ultraviolet radiation as a Growth Stimulant Factor (GFS) and the reducing
agent pathogens in mass culture chlorella to produce high quality output. The
test method conducted in combination with mass culture tank volume of 20 m 3
with 4 m3 chlorella as seed with initial density is 5.4 x 10 6 cell/ml, where the
first seed treatment combination is passed to the ultraviolet filter KM-UV Type
I, while in the control tank cultures without UV filter. Culture period is done to
achieve exponential growth charts. Based on the observations: the combination
test (UV irradiated seeds) obtained the highest density of exponential growth in
the D9 which is 36 x 106 cells/ml, whereas in the control tanks on D7 is 31.5 x
106 cells / ml. The decline in growth in the control tanks to D10 recorded 5.0 x
106 cells / ml, whereas in test basins still can last up to 23.0 x 10 6 cells/ml. This
is very different from the culture using seeds that have been carried out UV
radiation, the culture can survive up to a maximum fixed maintenance period
day 9. While the results of microbiological observations (total bacteria and
total Vibrio sp), the D1 total bacteria and total Vibrio sp in test basins lower
than controls. The phenomenon can be explained with assuming that some
pests dead or weakened by UV radiation activity so as not to interfere with the
optimization of culture, as well as sub-optimal UV radiation on seed chlorella
even make it as stimulating growth factor (SGF), which in the form of thymine
dimers was lets get back to normal. This result is expected from the application
of UV filters can become SOP in the mass culture of chlorella for high quality
output and suppress pathogens for use in culturing zooplankton (rotifers) to
support the seed business in aquculture.
Key Words : Stimulating Growth Factor (SGF), eksponential, mass culture
PENDAHULUAN
Input biomass yang berkualitas dan berdensitas tinggi pada produksi
massal plankton dewasa ini, merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
produksi akhir kegiatan aquakultur (final production)(Navarro and Yufera,
1998). Permasalahan yang sering muncul pada klutur chorella yaitu rendahnya
tingkat kepadatan hasil panen, grafik pertumbuhan eksponensial dalam rentang
periode kultur yang pendek, serta munculnya kontaminasi dari berbagai jenis
protozoa, plankton lain dan bakteri patogen.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 172


Chlorella mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap tekanan
lingkungan, chlorella juga memiliki peranan penting dalam oksigenasi air serta
sangat efisien dalam mengubah zat anorganik menjadi organik. Chlorella
merupakan algae bersel tunggal yang bentuknya bulat dan mempunyai
chloroplast seperti cawan, dengan dinding sel yang keras dan padat dengan
garis tengah sekitar 2-8 μm.
Secara ekologis pertumbuhan chlorella sangat dipengaruhi oleh
beberapa parameter, seperti : tingkat kualitas maupun kuantitas kesuburan
(nutrien), pH, salinitas, intensitas cahaya dan suhu (Lavens P dan Sorgeloos P.,
1996). Seperti halnya sifat tumbuhan air, chlorella sebagai phytoplankton juga
memerlukan cahaya matahari yang cukup untuk menunjang proses fotosintesa.
Kebutuhan intensitas cahaya ini tergantung pada kondisi tempat
kulturdankepadatan chlorella. Pada kultur skala laboratorium, seperti dalam
gelas erlenmeyer hanya dibutuhkan intensitas cahaya 1000 lux, sedangkan
untuk skala massal dibutuhkan 5.000 – 10.000 lux. Sumber cahaya selain dari
matahari langsung dapat pula dilakukan manipulasi lingkungan dengan
menggunakan cahaya lampu neon, dengan durasi penyinaran minimum 18 jam
light per hari (Lavens dan Sorgeloos., 1996 dan Anonymus, 1991).
Bakteri phatogen menjadi momok yang menghantui petani penyedia
benih, karena berdampak tingginya mortalitas benih.Patogen adalah agen
biologi yang dapat menyebabkan penyakit dan infeksinya (Pillay, 1990).
Patogen bisa meliputi virus, protozoa, bakteri, jamur, atau parasit. Secara
umum lingkungan perairan selalu memiliki potensi patogen, apalagi kondisi
lingkungan perairan yang mendukung munculnya patogen. Seperti bakteri yang
dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang buruk dalam bentuk flagela atau
kapsul dan akan aktif kembali ketika kondisi lingkungan mendukung. Bakteri
yang umum dikenal menjadi patogen bagi hewan air budidaya adalah Vibrio sp,
flexybacter sp, dan Pseudomonas sp.
Filter ultra violet dikenal sebagai desinfektor pada media air sertadapat
menginaktifasi mikroorganisma seperti bakteri, virus dan protozoa
(Lechevallier dan Kwok-Keung, 2004), bahkan dengan intensitas yang lebih
tinggi dapat membunuh beberapa jenis phytoplankton. Namun dengan
mengatur tingkat intensitas cahaya yang diberikan, beberapa organisme yang
dikehendaki bertahan untuk tetap hidup atau eksis (seperti Chlorella) dapat
terjaga bahkan dapat menjadi Faktor Perangsang Tumbuh atau Stimulating
Growth Faktor (SGF). Sinar ultraviolet (UV) adalah sinar yang berada pada
range panjang gelombang antara 40 – 400 nm. Sinar UV ini dibedakan menjadi
UV-A, UV-B, UV-C atau UV vakum. Sinar UV yang effektif menginaktifasi
mikroorganisma adalah sinar UV-B dan UV-C dengan panjang gelombang
antara 200-310 nm dengan sinar UV effektif ada pada panjang gelombang 265
nm (Lechevallier dan Kwok-Keung Au, 2004). Rata-rata eksposure UV yang
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 173
diperlukan untuk meradiasi bakteri secara umum yaitu 15.000 µWs/cm2,
sementara itu untuk algae sekitar 22.000 µWs/cm2. Sejak intensitas cahaya
digunakan sebagai batasan dalam membunuh mikroorganisme, kita harus tahu
seberapa banyak energi cahaya yang digunakan dan seberapa banyak mencapai
target. Seperti sunglasses yang dapat mereduksi intensitas sinar UV, maka
warna air, turbidity, beberapa garam terlarut (ex. Sodium thiosulfat) juga dapat
mereduksi intensitas sinar UV. Sedangkan suhu 110 0 F memberikan output UV
maksimum.
Thymine yang ada di dalam DNA dan RNA sangat reaktive terhadap
sinar ultraviolet dan dalam bentuk dimer (thyamine-thyamine double bond)
proses transkripsi dan duplikasinya terganggu dan menjadi kacau, sehingga
mikroorganisma menjadi steril (Lechevallier dan Kwok-Keung Au, 2004).
Akan tetapi, thymine dalam bentuk dimer masih memungkinkan kembali
normal seperti semula, sehinga perlu dosis yang tinggi untuk menginaktifkan
secara permanen.
Sebagaimana diketahui bahwa pengembangan usaha aquakultur sangat
bergantung terhadap ketersediaan suplai dan stok phytoplankton yang
berkualitas secara simultan dan kontinyu. Sehingga kesinambungan
pengembangan aquakultur dan industri aquakultur dapat terjaga dan aman dari
kendala kebutuhan akan phytoplankton maupun zooplankton sebagai natural
food.

Tujuan :
Tujuan Kegiatan :
 Mengkaji peran ultra violetsebagai faktor perangsang tumbuh (SGF) pada
kultur massal chlorella.
 Melihat tingkat performa pertumbuhan eksponensial chlorella yang telah
diaktivasi dengan filter UV.

METODOLOGI
Persiapan media kultur
Air media kultur dari laut disaring dengan filter bag dan saringan kapas
dan ditampung pada bak beton yang berukuran 20 m3. Selanjutnya dilakukan
sterilisasi dengan kaporit 10 ppm. Air laut yang telah diklorin apabila akan
digunakan terlebih dahulu dicek dengan menggunakan chlorin test (ambil 5 ml
air laut dan teteskan 2 tetes klorin test, apabila warna air laut berubah menjadi
kuning tua berarti bahan aktif klorin masih kuat), selanjutkan dilakukan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 174
penetralan dengan menggunakan natrium thiosulfat (1/3 dari jumlah chlorin)
dan diaerasi hingga netral. Selanjutnya dilakukan pengecekan kembali
kandungan klorin, ambil 5 ml air laut dan teteskan 2 tetes chlorin test, apabila
warna air berubah menjadi terang/bening berarti air laut telah netral dan siap
digunakan.
Kemudian dilakukan pemupukan dengan komposisi pupuk antara lain :
ZA 60 ppm, Urea 40 ppm, TSP 30 ppm, NPK 10 ppm, EDTA 5 ppm dan
Daxon 2 ppm (formula dari BBAP Takalar) dan aerasi dijalankan secara
perlahan. Selanjutnya media kultur siap dipakai.

Stimuli Bibit Chlorella Dengan Radiasi UV


Perlakuan yang diujicobakan pada kegiatan kerekayasaan ini yaitu bibit
chlorella yang akan digunakan untuk kultur massal dilakukan stimulasi dengan
filter UV (KM-UV 01) dengan menyalakan seluruh lampu (3 buah), sedangkan
flow rate mengikut pada kekuatan hisab pompa 1 inchi.Selanjutnya bibit siap
untuk digunakan, sedangkan untuk kultur massal kontrol menggunakan bibit
chlorella tanpadistimuli dengan radiasi UV.

Pelaksanaan Kultur Skala Massal


Air media kultur chlorella yang telah disterilisasi ditransfer ke bak-bak
beton yang berukuran 4 x 5 m (volume 20 m3) sejumlah 16 m3 (80% volume).
Selanjutnya bibit chlorella yang sudah distimuasi denganradiasi UV
dimasukkan pada bak-bak yang telah berisi media kultur sejumlah 4 m2 (20%).
Sedangkan pada kontrol yang menggunakan bibit chlorella tanpa stimulasi
radiasi juga ditransfer ke bak kultur yang berisi media kultur. Pemberian aerasi
jangan telalu kuat, karena sering menjadi pemicu munculnya buih yang
berlebihan sehingga mengganggu pertumbuhan, bahkan bisa menyebabkan
kematian. Densitas chlorella dilakukan penghitungan dengan menggunakan alat
haemocytometer dengan bantuan hand counter.

Pengamatan dan Pengumpulan data


Pengamatan pertumbuhan chlorella dilakukan setiap hari terhadap
performa kepadatan chlorella, sedangkan analisa mikrobiologi pada hari
pertama terhadap media dan bibit yang distimuli radiasi UV maupun yang tidak
diradiasi UV.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 175


HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan selama 10 hari hingga diperoleh grafik
eksponensial, maka terlihat bahwa kultur massal yang menggunakan bibit yang
telah distimuli dengan radiasi UV dapat tumbuh dengan baik, bahkan densitas
teringgi diperoleh pada periode pemeliharaan hari ke-9 yaitu 36x 106 cell/ml,
sedangkan pada bak kontrol diperoleh pertumbuhan tertinggi pada periode
pemeliharaan hari ke-7 yang hanya sejumlah 31.5 x 106 cell/ml dan selanjutnya
mengalami penurunan pertumbuhan hingga periode pemeliharaan hari ke-10.
Hal ini sangat berbeda dengan kultur yang menggunakan bibit yang telah
dilakukan telah distimuli deengan radiasi UV, kultur bisa bertahan tetap
maksimal hingga periode pemeliharaan hari ke-9. Berdasarkan hasil pengujian
tingkat kandungan total bakteridan total bakteri Vibrio sp, memang pada hari
pertama, saat bibit chlorella dimasukkan ke media kultur, nampak bahwa bibit
chlorella yang diradiasi UV jumlah total bakteri dan total Vibrio splebih rendah
dibandingkan yang tidak diradiasi UV (lampiran), akan tetapi pada hari-hari
selanjutnya jumlah total bakteri dan total Vibrio sp cenderung sama.
Keberadaan bakteri patogen pada kultur massal chlorella dapat menjadi
masalah untuk kultur pakan alami rotifer. Pengaruh keberadaan bakteri
terhadap kultur rotifer di tangki, setelah diekplorasi melalui dua jalan, yaitu :
(pertama) keberhasilan dan kegagalan kultur rotifer akibat dari hadirnya spesies
bakteri spesifik, dan (kedua) spesies bakteri tersebut berpengaruh positif atau
negatif terhadap budidaya larva ikan, ketika tangki larva ikan tersebut dimasuki
oleh rotifer (Stottrup and McEvoy, 2003).
Selama kultur mikroalga, buangan bahan organik yang tinggi akan
terakumulasi secara cepat, yang mana menjadi subtrat untuk perkembangbiakan
bakteri. Sel bakteri dapat menyerang terhadap sel mikroalga atau dapat
berkembangbiak di dalam air. Dalam kultur di bak, tingkat bakteri yang lebih
rendah selama fase eksponensial dan mencapai maksimum selama fase
stasioner (Conceicao et.al, 2010).

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 176


Gambar 1. Grafik pertumbuhan chlorella

Asumsi yang dapat dikemukakan pada fenomena yang terjadi bahwa


performa pertumbuhan pada kultur massal chlorella yang menggunakan bibit
yang telah distimuli dengan radiasi UV yaitu : (pertama) beberapa jenis bakteri
atau organisme pengganggu akan mati atau melemah oleh aktivitas radiasi UV
sehingga tidak mengganggu optimalisasi pertumbuhan kultur chlorella;
(kedua)radiasi UV yang mengenai sel chlorella masih pada ambang batas yang
masih memungkinkan chlorella untuk tumbuh, bahkan menyebabkan sel
chlorella tereksitasi sehingga pertumbuhannya lebih baik dan bisa bertahan
lebih lama untuk mencapai fase penurunan, dengan perbandingan 7: 9.
Energi fotosintesis akan disampaikan dalam bentuk cahaya. Cahaya
merupakan radiasi elektromagnetik dan berjalan dengan kecepatan 3 x 108 ms-
1
. Panjang gelombang cahaya tampak sangat berhubungan dengan radiasi aktif
fotosintesis (Photosynthetically Active Radiation / PAR). Kisaran spektrum
cahaya tampak dari violet sekitar 380 nm hingga merah 750 nm, dimana 1 nm
ekivalen dengan 10-9m. Menurut teori kuantum, energi cahaya yang
disampaikan dalam bentuk paket terpisah yang disebut photon. Energi cahaya
kuantum tunggal atau photon cahaya biru (sekitar 400 nm) lebih energetik
dibandingkan cahaya merah (sekitar 700 nm). Pigmen fotosintesis menyerap
energi photon dan mengirim ke pusat reaksi, dimana energi photon ini
digunakan untuk proses photochemistry. Photon harus memiliki energi yang
mencukupi untuk membangkitkan elektron tunggal dari satu molekul pigmen
dan memulai pemisahan muatan. Menurut Hukum Einstein, satu mole bahan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 177
harus menyerap energi N photon (N = 6.023 x 10 23, Nomer Avogadro) untuk
memulai reaksi, unit ini disebut Einstein (E=.6.023 x 10 23 kuanta). Semua
organisme fotosintetik mengandung pigmen organik untuk mengambil energi
cahaya. Klorofil (pigmen hijau) dan karotenoid (pigmen kuning atau oranye)
adalah lipophilic dan dihubungkan dengan Chl-protein komplek, sedangkan
phycobilin adalah hydrophilic (Richmond, 2004).

Gambar 2. Grafik tingkat alkalinitas media kultur

Pengamatan tingkat alkalinitas media kultur chlorella dapat dilihat pada


grafik diatas, nampak bahwa semakin meningkat densitas chlorella secara
umum terjadi penurunan tingkat alkalinitas, hal ini dimungkinkan karena proses
photosintesis, dimana kandungan karbondioksida air pada dasarnya merupakan
fungsi dari aktivitas biologi. Dimanapun proses respirasi lebih cepat daripada
proses photosintesis dalam akumulasi karbondioksida. Air pada tambak di awal
pagi biasanya karbondioksida berada dalam kondisi jenuh. Bikarbonat hasil
dari dissosiasi asam karbonat, lebih lanjut terdissosiasi menjadi karbonat.
Selama hari terang (daylight), tumbuhan air akan memindahkan
karbondioksida di air untuk proses photosintesis. Tumbuhan dan hewan sama-
sama mengeluarkan karbondiosida ke air dalam proses respirasi. Bagaimanapun
selama hari terang tumbuhan air lebih cepat menggunakan karbondioksida
daripada saat mengeluarkan dalam respirasi. Pengaruh photosintesis dapat
terlihat dengan jelas pada persamaan, apabila karbondioksida diambil maka
karbonat akan terakumulasi dan terhidrolisis dan menaikkan pH. Tumbuhan
dapat melanjutkan untuk menggunakan karbondioksida yang tersedia dalam
jumlah kecil pada pH diatas 8.3 dan bikarbonat dapat diserap oleh tumbuhan
dan karbon dari bikarbonat digunakan untuk photosintesis. Di tambak pH dapat
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 178
naik lebih dari 8.3. Dimana konsentrasi bikarbonat rendah, air menjadi miskin
buffer dan nilai pH 9-10 umum selama periode photosintesis. Pada malam hari
karbondioksida terakumulasi dan pH menurun (Boyd, 1990).
Pada beberapa perairan ion kalsium berhubungan dengan ion bikarbonat
dan karbonat, sehingga ketika karbonat meningkat pada konsentrasi yang dapat
berasosiasi, kalsium karbonat akan mengendap karena komponen ini relatif
sukar larut (KspCaCO3 = 10-8.30). Endapan kalsium karbonat cenderung pada
pH sedang, tetapi pada pH 9 atau lebih dapat terjadi selama photosintesis pada
air yang mengandung konsentrasi kalsium tinggi. Pada perairan yang lain,
sodium dan potasium berasosiasi dengan bikarbonat dan karbonat. pH air ini
dapat naik dapat tingkat tinggi, samapi 10-12 selama periode photosintesis
dengan cepat. Hasil fenomena ini karena sodium karbonat dan potasium
karbonat lebih mudah larut daripada kalsium, mengakibatkan besarnya
akumulasi ion karbonat yang selanjutnya terhidrolisis yang menghasilkan ion
hidroksida (Boyd, 1990).

Gambar 3. Grafik tingkat turbiditi media kultur

Tingkat pertumbuhan chlorella sangat berhubungan dengan tingkat


kekeruhan atau turbiditi dari air kultur chlorella, nampak bahwa semakin padat
tingkat pertumbuhan chlorella maka tingkat turbiditi atau kekeruhan juga
semakin naik.
Radiasi UV sangat ideal untuk proses desinfeksi air, karena tanpa
menambahkan zat apapun ke dalam air yang mungkin juga dapat bersifat toksik
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 179
pada organisme kultur. Kelemahan dari radiasi UV adalah adanya
kekeruhan/turbiditi, partikel padatan di air, atau warna yang secara signifikan
mengurangi efektifitas radiasi. Hal ini dapat terjadi karena mikroorganisme
terlindung dibalik partikel tersuspensi atau penurunan dosis radiasi karena
absorbsi atau rendaman oleh air. Oleh sebab itu sebaiknya diperlukan treatmen
filtrasi 10 µm sebelum dilakukan radiasi UV (Huguenin and Colt, 2002).
Dari hasil akhir perekayasaan dapat dikemukanan bahwa aplikasi filter
UV berpengaruh terhadap tingkat kemampuan tumbuh, dan juga mereduksi
bakteri patogen pada bibit kultur massal chlorella. Untuk kegiatan ini sebaiknya
dilakukan uji lanjut terhadap berbagai tingkat flow rate filter UV dan
implikasinya dalam mereduksi beberapa bakteri patogen.
Untuk lebih meyakinkan implementasi sterilisasiairmenggunakan UV,
langkah pertama yaitu dengan air jernih, kemudian menentukan flow rate yang
disesuaikan dengan lampu UV yang dimiliki untuk mendapatkan nilai irradiasi
yang benar untuk organisme target (lihat tabel eksposure). Apabila cahaya UV
dengan flow rate untuk 15.000 µWs/cm2 dan anda menginginkan 30.000
µWs/cm2, maka dapat dilakukan dengan menggandakan jumlah lampu (double
lamp) atau mengurangi flow rate menjadi setengah (50 %), dan selanjutnya
seperti itu untuk mendapatkan dosis yang lebih tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Dari hasil akhir perekayasaan ini dapat disimpulkan bahwa aplikasi filter
UV sangat berpengaruh dalam menstimulasi tingkat performa kemampuan
tumbuh chlorella skala massal, hal ini terlihat bahwa pada perlakuan bibit yang
distimuli dengan radiasi UV memiliki tingkat pertumbuhan dan fase
ekspoensial yang lebih baik, selain itu dengan aplikasi filter UV pada bibit
chlorella terbukti dapat mereduksi bakteri patogen (Vibrio sp) pada kultur
massal chlorella, sehingga pada akhirnya akan diperoleh produksi massal
chlorella yang berkualitas.

Saran
Untuk memperoleh hasil yang lebih optimal guna mereduksi patogen
sebaiknya pada setiap pemanenan chlorella perlu dilakukan stimulasi dengan
radiasi ultra violet, baik untuk dikultur kembali maupun untuk pakan rotifer.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 180


DAFTAR PUSTAKA

Andersen R.A., 2005. Algal Culturing Techniques. ELSEVIER Academic


Press.
Boyd.C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama
Agricultural Experiment Station Birmingham Publishing.
Conceicao L.E.C, Yufera M, Makridis P, Morais S and Teresa M,. 2010.
Review Article Live Feeds For Early Stages of Fish Rearing.
Aquaculture Research 41, 2010. 613-640
Huguenin J.E, and Colt J. 2002. Design and Operating Guide For Aquaculture
Seawater Systems (Second Edition). Development in Aquaculture and
Fisheries Science -33. Pp. 328.
Isnansetyo, A dan Kurniastuty, 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan
Zooplankton. Penerbit Kanisius.
Jager, JH (1967). Introduction to research in UV Photobiology. Englewood
Cliffs, NJ, Prentice Hall, Inc.
Lavens P dan Sorgeloos P., 1996. Manual on the production and use of live
food for aquaculture. Technical Paper. Belgium.Published by Food and
Agriculture Organization of the United Nations.
LeChevallier Mark K and Kwok-Keung Au. 2004. Water Treatmen and
Pathogen Control : Process Efficiency in Achieving Safe Drinking
Water. World Health Organization‟ and IWA Publishing. London
Pillay T, 1988. Aquaculture Principles and Practices.Roma
Richmond A. 2004. Handbook of Microalgal Culture (Biotechnology and
Applied Phycology). Blackwell Science Ltd. pp. 566-23
Stottrup J G and McEvoy L A . 2003. Live Feeds in Marine Aquaculture.
Blackwell Science Ltd. pp.318.
Suthers I.M and Rissik D., 2009. Plankton (A Guide to Their Ecology And
Monitoring For Water Quality). CSIRO Publishing. Collingwood VIC
3066. Australia.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 181


OPTIMALISASI LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA
IKAN SERTA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA DI
KAWASAN LAHAN GAMBUT KABUPATEN PULANG PISAU
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Puji Widodoa*, Akmala, Tulusa, Syafrudina


Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin, Kalimantan Selatan

ABSTRACT

Fisheries aquaculture was developed at peat land area. A variety way


was done to increase fishery production effectively and efficiently at peat land
area. One of its way has done by optimizes aquaculture land that did by utilizes
space and depth of the pond as culture place of three typical fish commodity.
This way is more effective and efficient because in one place and one cycle can
produce three typical fish commodity that have same advantages. It means only
one action can get double result. Three typical fish that suitably and well
adapted by environmental condition and peat area characteristic with
condition of pH that more acid are Catfish (Pangasionodon hypopthalmus),
Climbing Perch (Anabas testudineus), and Tilapia (Oreochromis sp).
Grow out of catfish and climbing perch in pond for a period of 6 month
and grow out of tilapia at net that set in the pond for a period of 3 month were
done in Peat Land Aquaculture Station of Pulang Pisau. The objective of this
activity was to know the culture productivity of catfish, climbing perch, and
tilapia in one peat land pond. The results showed that production of catfish per
pond/cycle as much as 3,2 – 3,4 ton with averages weight ranging among 589 –
626 g/individual and survival rate averages was 90,3%, the production of
climbing perch per pond/cycle as much as 0,33 – 0,36 ton with averages weight
ranging among 70,3 – 75,8 g/individual and survival rate averages was 84,3%,
and the production of tilapia per pond/cycle as much as 0,20 – 0,23 ton with
averages weight ranging among 187 – 204,5 g/individual and survival rate
averages was 82,4%. By the result of business analysis for catfish, climbing
perch, and tilapia culture in one pond using commercial feed which is benefit
value as much as Rp. 12.165.000,- per pond/cycle and R/C ratio value is 1,25
so the culture effort of catfish, climbing perch, and tilapia at peat land pond is
reasonable to be done.
Key word: pond productivity, peat land

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 182


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan rawa merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai
fungsi hidrologi dan fungsi ekologi lain yang penting bagi kehidupan seluruh
makhluk hidup. Gambut terbentuk dari hasil dekomposisi bahan-bahan organik
seperti daun, ranting, semak belukar yang berlangsung dengan kecepatan
lambat dan dalam suasana anaerob. Sekitar 1,8 juta ha atau sekitar 50% dari
lahan rawa di Kalimantan Tengah digunakan untuk usaha perikanan
(Kartamihardja, 2002). Dengan demikian, dilihat dari tipe dan tata guna lahan
tersebut, sektor perikanan khususnya perikanan air tawar dapat dijadikan
sebagai penunjang utama ekonomi daerah melalui pemanfaatan potensi lahan
yang tersedia.
Lokasi lahan gambut yang saat ini dikembangkan oleh BPBAT
Mandiangin terletak di Provinsi Kalimantan Tengah tepatnya di Desa Garung
Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau merupakan daerah yang
cukup strategis dan terjangkau transportasi darat karena dilintasi oleh jalan raya
trans Kalimantan (Kalsel-Kalteng), kawasan ini terletak 71 km kearah Barat
dari kota Palangkaraya dan ke arah Timur sekitar 22 km dari ibukota kabupaten
Pulang Pisau dari posisinya areal perkolaman di bagian sebelah barat
merupakan kawasan lahan gambut yang cukup luas, sedangkan sungai Kahayan
terletak dibagian Timur berada sekitar 1 km sehingga pengaruh pasang surut
sungai bisa dikatakan tidak berpengaruh terhadap kolam. Sumber air untuk
kolam adalah rembesan air dalam tanah yang keluar dari bawah maupun
dinding kolam. Secara umum hasil pengukuran kualitas air menunjukkan
bahwa terdapat kecenderungan pH air yang lebih tinggi pada kolam/air
tergenang dibandingkan dengan saluran air/sungai. Kondisi ini menjadi sangat
penting untuk kemungkinan pengembangan budidaya ikan patin, nila, dan
papuyu di lahan marjinal tersebut.
Budidaya ikan yang terus berkembang di kawasan lahan gambut
menuntut adanya peningkatan produksi budidaya secara efektif dan efisien
sehingga kegiatan budidaya perikanan tetap menguntungkan. Berbagai cara
telah dilakukan untuk meningkatkan produksi budidaya perikanan secara
efektif dan efisien di lahan gambut. Salah satunya dengan mengoptimalkan
lahan budidaya yang dilakukan dengan cara memanfaatkan kolam sebagai
wadah pembesaran tiga jenis komoditas ikan. Cara ini lebih efektif dan efisien
karena dalam satu wadah dan satu siklus dapat menghasilkan tiga jenis
komoditas ikan yang sama-sama menguntungkan. Keuntungan yang lain adalah
lebih menghemat biaya persiapan kolam, termasuk didalamnya pemupukan dan
pengapuran. Selain itu perputaran uang dan pendapatan pembudidaya lebih
cepat dan bertambah karena waktu pemeliharaan ikan nila hingga saat panen
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 183
memerlukan waktu 3 bulan, sedangkan waktu pemeliharaan ikan patin dan
papuyu sampai 6 bulan. Jenis ikan yang sesuai dan mampu beradaptasi dengan
kondisi lingkungan dan karakteristik lahan gambut dengan pH yang lebih asam
adalah ikan patin, papuyu, dan nila.
Ikan patin siam (Pangasionodon hypopthalmus) merupakan salah satu
spesies ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan potensial untuk
dikembangkan serta menjadi ikan yang disukai masyarakat Kalimantan. Harga
ikan patin di pasar tradisional wilayah Kalimantan mencapai kisaran Rp.
14.000,- – Rp. 19.000,- per kilogram. Selain itu kelebihan ikan patin yang
cenderung lebih tahan terhadap kondisi oksigen terlarut yang rendah dan pH
yang asam.
Ikan papuyu (Anabas testudineus Bloch) sangat disukai masyarakat
Kalimantan karena rasanya gurih, permintaan pasar tinggi, dan harga
meningkat drastis disaat musim hujan di Banjarmasin dan sekitarnya. Harga
ikan papuyu di pasar untuk wilayah Kalimantan Selatan mencapai kisaran Rp.
30.000,- – Rp . 80.000,- per kilogram bahkan lebih untuk wilayah Kalimantan
Tengah.
Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah salah satu komoditas unggulan
di Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam meningkatkan produksi sebesar
353% pada tahun 2014. Ikan tersebut berpotensi untuk dikembangkan karena
termasuk jenis ikan yang mampu bertahan terhadap lingkungan yang buruk dan
sistem pemeliharaan yang berbeda (Huwoyon et al., 2009). Selain itu ikan nila
memiliki nilai ekonomis tinggi dengan harga ikan nila di pasar tradisional
wilayah Kalimantan mencapai kisaran Rp. 23.000,- – Rp. 28.000,- per
kilogram.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan
akan konsumsi ikan serta menciptakan peluang usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pembudidaya maka kegiatan ini perlu dilakukan.
Kegiatan budidaya ikan di kolam lahan gambut yang efektif dan efisien akan
menguntungkan, sehingga diharapkan dapat menarik minat masyarakat serta
dapat menciptakan peluang usaha bagi masyarakat sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas budidaya ikan
patin, papuyu, dan nila yang dipelihara dalam satu kolam lahan gambut,
sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah diperoleh informasi produksi
budidaya ikan patin, papuyu, dan nila dalam satu kolam lahan gambut.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 184


METODE
Persiapan Kolam
Tahap persiapan kolam terlebih dahulu dilakukan pembersihan kolam
mulai dari pematang sampai dengan bagian dalam sekeliling kolam termasuk
saluran karena merupakan bekas hutan gambut maka kotoran yang ada
merupakan bahan-bahan organik seperti sisa-sisa tumbuhan (potongan kayu
dan akar-akar tanaman), selain itu rumput liar yang mengganggu sebaiknya
dibersihkan dengan menggunakan mesin pemotong rumput atau parang untuk
menghindari bersarangnya hama seperti ular,katak dan lain sebagainya yang
dapat mengganggu organisme yang dipelihara serta memudahkan dalam
pengolahan kolam selanjutnya.
Kolam lahan gambut tidak memiliki pintu pemasukan maupun pintu
pengeluaran air karena sumber air kolam berasal dari rembesan air dari dalam
tanah sehingga untuk mengeringkan kolam diperlukan penyedotan air dengan
carapemompaan.
Secara umum dalam pengolahan kolam terlebih dahulu dilakukan
pengeringan dan pengolahan tanah, namun pada kolam di lahan gambut terlebih
dahulu dilakukan penyedotan air dan lumpur di kolam menggunakan pompa
dumping Penyedotan dilakukan dengan membuang seluruh air dan lumpur yang
ada sampai kelihatan dasar kolam.

Pengapuran
Jika air kolam telah dibuang, selanjutnya dilakukan pengapuran
menggunakan kapur tohor, dengan tujuan membasmi hama/penyakit,
memperbaiki struktur tanah dan menaikkan pH. Kapur disebarkan secara
merata di permukaan dasar kolam dan dinding kolam. Dosis kapur yang
diberikan antara ≤ 300 g/m2.

Pemupukan
Kegiatan pemupukan dilakukan sekitar 3-5 hari setelah pengapuran
untuk memberikan waktu agar kapur yang ditebar dapat bereaksi dengan tanah
maupun air kolam. Pupuk kandang diberikan dengan dosis 300-500 g/m2
dengan menebarkannya pada kolam atau dapat pula dengan membenamkan
pupuk kandang yang dikemas dalam karung plastik ke dalam kolam, dengan
tujuan untuk menambah unsur hara sehingga plankton dapat tumbuh dan
diharapkan terjadi kenaikan pH air. Sehari setelah pemberian pupuk kandang
selanjutnya ditambahkan pupuk UREA dan TSP masing-masing dengan dosis
20-50 g/m2 dan 10-25 g/m2 yang juga ditebarkan secara merata dipermukaan
air, dengan tujuan untuk menambah kesuburan kolam.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 185


Kolam didiamkan tanpa ada perlakuan sampai beberapa hari (paling
lama 15 hari). Setelah pengapuran dan pemupukan kontrol pH terus dilakukan
setiap 2 (dua) hari sekali. Apabila pH masih < 5 maka dilakukan pengapuran
kembali menggunakan kapur dolomite/tohor (300 g/m2), bila pH air telah
mencapai 5 dapat dilakukan penebaran benih ikan. Pada awal pengolahan
kolam biasanya pH air sebesar 3-4 namun setiap tahun kondisi tanah dan pH air
kolam mengalami perubahan sehingga tiap kolam memiliki kecepatan waktu
dan kemampuan yang berbeda dalam menaikkan pH air.

Penebaran Benih Ikan


Sebelum dilakukan penebaran benih terlebih dahulu dilakukan
pengukuran kualitas air terutama pH air. Bila pH minimal telah mencapai 5
baru kemudian dilakukan penebaran benih ikan.
Terlebih dahulu dipasang Jaring untuk pembesaran ikan nila sebanyak 4
unit per kolam yang dipasang di pinggir kolam berjajar, kemudian disiapkan
jaring ukuran 4 x 2 x 2 m untuk tempat penampungan sementara benih ikan
patin dan papuyu dengan tujuan untuk penyesuaian pada lingkungan baru,
melihat kondisi ikan, cara dan kemampuan makan, dan ukuran ikan. Lama
adaptasi/penyesuaian ini berkisar antara 1-2 minggu. Setelah itu benih ikan siap
dilepaskan ke kolam. Padat tebar benih ikan patin sebesar 10 ekor/m2, padat
tebar ikan papuyu 10 ekor/m2,dan padat tebar ikan nila dalam Jaring sebesar 20
ekor/m2. Penebaran dilakukan pada pagi atau sore hari.

Pemeliharaan Ikan
Secara berkala dilakukan pengukuran pH air, jika pH rendah (< 5) maka
dilakukan pengapuran kembali menggunakan kapur dolomit/tohor sebanyak
300 g/m2.
Pakan yang diberikan berupa pellet dengan dosis 5-3 % dari berat total
perhari, dengan frekuensi pemberian 2 kali sehari (pagi, dan sore hari).
Pemberian pakan dengan cara sedikit demi sedikit agar jangan sampai ada
pakan yang tidak termakan. Pemberian pakan dihentikan apabila ikan yang
dipelihara terlihat sudah mulai berhenti makan atau tidak mau makan lagi
walaupun pakan yang diberikan masih belum sampai 5%. Pada awal
pemeliharaan ikan patin antara 1 – 2 bulan diberikan pakan pelet apung protein
30 – 32% untuk memacu pertumbuhan benih ikan, kemudian diberikan pakan
pelet tenggelam protein 25% sampai panen. Pada awal pemeliharaan ikan
papuyu sampai umur 1 bulan diberikan pakan pelet apung protein 30 – 32% dan
pakan pelet tenggelam protein 25% sampai umur 2 bulan untuk meningkatkan
pertumbuhan benih ikan, selanjutnya ikan papuyu tidak diberikan pakan sampai
panen dengan tujuan agar memanfaatkan sisa pakan yang tidak termakan oleh
ikan patin sehingga pemberian pakan lebih efisien. Sedangkan pada
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 186
pemeliharaan awal ikan nila diberikan pakan pelet apung protein 30 – 32%
selama 1 bulan selanjutnya diberikan pelet tenggelam protein 25% sampai
panen.
Untuk mengetahui pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan serta
jumlah pakan yang diberikan maka dilakukan sampling panjang dan berat ikan
setiap 1 bulan sekali. Untuk menghindari ikan menjadi stress maka sampling
dilakukan dengan hati-hati dan cukup diambil beberapa ekor sampel ikan atau
1-2 % dari jumlah padat tebar per Jaring atau kolam.

Kualitas Air
Selama pemeliharaan secara periodik dilakukan pemantauan kualitas air
(suhu, DO, pH dan amoniak) dan kesehatan ikan setiap satu bulan sekali
sampai menjelang panen. Pemeliharaan kualitas air dilakukan dengan
memeriksa secara langsung kondisi kualitas air di areal perkolaman dan
mengambil sampel air untuk diAnalisis di laboratorium. Pemeriksaan kesehatan
ikan dilakukan dengan mengambil sampel ikan pada saat sampling dan diamati
kondisi tubuhnya apakah terlihat gejala terserang penyakit atau tidak.

Parameter yang Diamati


a. Pertumbuhan Mutlak Individu, yang dinyatakan dalam pertambahan berat
rerata (g) dan pertambahan panjang baku rerata (cm).

b. Kelangsungan Hidup (SR) Nt

SR = x 100%
SR : Sintasan (%)
Nt : Jumlah ikan pada akhir penelitianNo
(ekor)
No : Jumlah ikan pada awal penelitian (ekor)

c. Rasio Konversi Pakan (FCR)


Konversi makanan merupakan nilai ubah dari jumlah makanan yang
diberikan selama pengamatan dihitung menurut Effendi (1978), yaitu :
F

FCR = x 100%
FCR : Rasio konversi pakan
F : Jumlah pakan yang diberikan (gram)Wt – Wo
Wt : Bobot ikan pada akhir penelitian (gram)
Wo : Bobot ikan pada awal penelitian (gram)

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 187


d. Kualitas Air
Kualitas air yang diamati dalam kegiatan ini meliputi suhu, DO, amonia
dilakukan setiap bulan sekali dan pH dilakukan setiap 2 hari sekali atau
setelah turun hujan.
e. Analisis Usaha
Suatu Analisis untuk mengetahui untung dan rugi serta layak tidaknya suatu
usaha pembesaran ikan patin di kolam lahan gambut dilakukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari hasil kegiatan pembesaranikan patin dan papuyu di kolamlahan
gambut dan ikan nila dalam Jaring yang dipasang pada kolam yang sama
diperoleh data pertumbuhan mutlak individu yang meliputi pertambahan
panjang dan berat rerata, kelangsungan hidup (SR), konversi pakan (FCR), dan
kualitas air sebagai data pendukung serta data penunjang yaitu perhitungan
Analisis usaha.

Pembesaran Ikan Patin


Pertumbuhan Mutlak Individu
Dari hasil kegiatan diperoleh data pertambahan panjang dan berat
rerata ikan Patin (Pangasionodon hypopthalmus) yang dipelihara di kolam
lahan gambut selama 6 bulan. Secara lengkap data pertambahan panjang
dan berat ikan patin dapat dilihat pada Tabel 3. dan Tabel 4. di bawah ini.

Pertumbuhan Panjang Mutlak Individu


Tabel 3. Pertambahan panjang rerata ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus)
selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut
Panjang Panjang Pertambahan
Kolam Ulangan Awal (cm) Akhir (cm) Panjang
(cm)
P1 1 6,8 ± 0,43 35,8 ± 4,13 29 ± 3,65
P2 2 6,8 ± 0,43 36,8 ± 5,47 30 ± 4,72
P3 3 6,8 ± 0,43 36,7 ± 4,45 29,9 ± 4,38
Rerata X 6,8 ± 0,43 36,4 ± 4,68 29,6 ± 4,25

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 188


Pertumbuhan Berat Mutlak Individu
Tabel 4. Pertambahan berat rerata ikan patin (Pangasionodon
hypopthalmus) selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut
Pertambahan
Berat Awal Berat Akhir
Kolam Ulangan Berat
(g) (g)
(g)
P1 1 4,7 ± 0,33 589 ± 46,50 584,3 ± 42,35
617,3 ±
P2 2 4,7 ± 0,33
54,39 612,6 ± 48,19
P3 3 4,7 ± 0,33 626 ± 52,37 621,3 ± 44,52
610,77 ±
Rerata X 4,7 ± 0,33
51,09 606,07 ± 45,02

Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa pertambahan berat rerata ikan
patin selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut sebesar 606,07 ±
45,02 g/ekor masih lebih lambat apabila dibandingkan pertumbuhan ikan patin
yang dipelihara di kolam pada kondisi air tawar. Dari data lapangan yang
berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai pertumbuhan
berat ikan patin yang dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan mencapai
rerata 1 kg/ekor. Sedangkan menurut SNI dinyatakan bahwa pertumbuhan ikan
patin yang dipelihara di kolam air tawar selama 6 – 7 bulan mencapai ukuran
berat antara 400 – 600 g/ekor. Pertumbuhan berat ikan patin di kolam lahan
gambut lebih lambat diduga disebabkan adanya proses adaptasi ikan patin
terhadap kondisi lingkungan media pemeliharaan di lahan gambut dimana
fluktuasi pH lebih sering terjadi sehingga apabila pH air turun dibawah 4,5
maka ikan patin mulai kehilangan nafsu makan sehingga hal ini berpengaruh
terhadap pertumbuhan ikan.

Kelangsungan Hidup (SR)


Dari hasil kegiatan diperoleh data kelangsungan hidup benih ikan
Patin selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut. Secara lengkap
dapat dilihat pada Tabel 5. berikut ini.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 189


Tabel 5. Kelangsungan hidup (SR) rerata ikan patin (Pangasionodon
hypopthalmus) selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut
Jumlah Jumlah Kelangsungan Total
Kolam Ulangan Awal Akhir hidup (%) Produksi
(ekor) (ekor) (ton)
P1 1 6000 5604 93,4 3,2
P2 2 6000 5448 90,8 3,4
P3 3 6000 5196 86,6 3,2
Rerata X 6000 5416 90,3 3,2

Dari hasil diatas diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup rerata ikan
patin selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 90,3%. Hal ini
diduga karena ikan patin termasuk jenis ikan yang kuat dan mampu beradaptasi
dengan baik di lingkungan kolam lahan gambut sehingga ikan dapat bertahan
hidup selama masa pemeliharaan. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT
Mandiangin maupun pembudidaya mengenai kelangsungan hidup ikan patin
yang dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan mencapai diatas 90%.
Sedangkan menurut SNI dinyatakan bahwa pertumbuhan ikan patin yang
dipelihara di kolam air tawar selama 6 – 7 bulan mencapai kisaran SR 80 –
95%.

Konversi Pakan (FCR)


Dari hasil kegiatan diperoleh data konversi pakan (FCR) yang meliputi
jumlah pakan pelet yang digunakan serta jumlah berat ikan yang dihasilkan saat
panen. Secara lengkap konversi pakan (FCR) dapat dilihat pada Tabel 6.
dibawah ini.

Tabel 6. Konversi pakan (FCR) ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus)


selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut
Jumlah Total Total Berat Konversi
Kolam Ulangan Pakan Yang Ikan Akhir Pakan
Digunakan (kg) (kg) (FCR)
P1 1 4880 3235 1,51
P2 2 5445 3490 1,56
P3 3 4900 3225 1,52
Rerata X 5075 3317 1,53

Dari hasil diatas diketahui bahwa konversi pakan rerata ikan patin
selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 1,53. Hal ini diduga
karena pakan yang diberikan pada ikan lebih banyak yang dimakan daripada
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 190
yang terbuang. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin
maupun pembudidaya mengenai konversi pakan ikan patin yang dipelihara
pada kolam air tawar selama 8 bulan sebesar 1,3 – 1,7.

Pembesaran Ikan Papuyu


Pertumbuhan Mutlak Individu
Dari hasil kegiatan diperoleh data pertambahan panjang dan berat rerata
ikan papuyu (Anabas testudineus) yang dipelihara di kolam lahan gambut
selama 6 bulan. Secara lengkap data pertambahan panjang dan berat ikan
papuyu dapat dilihat pada Tabel 7. dan Tabel 8. di bawah ini.

Pertumbuhan Panjang Mutlak Individu


Tabel 7. Pertambahan panjang rerata ikan papuyu (Anabas testudineus) selama
pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut
Panjang Panjang Pertambahan
Kolam Ulangan Awal (cm) Akhir (cm) Panjang
(cm)
P1 1 5,3 ± 0,35 12,8 ± 2,13 7,5 ± 2,45
P2 2 5,3 ± 0,35 12,5 ± 2,35 7,2 ± 2,12
P3 3 5,3 ± 0,35 12,3 ± 2,24 7,0 ± 1,48
Rerata X 5,3 ± 0,35 12,5 ± 2,24 7,2 ± 2,02

Pertumbuhan Berat Mutlak Individu


Tabel 8. Pertambahan berat rerata ikan papuyu (Anabas testudineus) selama
pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut
Pertambahan
Berat Awal Berat Akhir
Kolam Ulangan Berat
(g) (g)
(g)
P1 1 2,7 ± 0,42 75,8 ± 9,55 73,1 ± 7,54
P2 2 2,7 ± 0,42 72,6 ± 8,49 69,9 ± 8,59
P3 3 2,7 ± 0,42 70,3 ± 8,52 67,6 ± 7,52
Rerata X 2,7 ± 0,42 72,9 ± 8,85 70,2 ± 7,88

Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa pertambahan berat rerata ikan
papuyu selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut sebesar 70,2 ±
7,88 g/ekor relatif sama apabila dibandingkan pertumbuhan ikan papuyu yang
dipelihara di kolam pada kondisi air tawar. Dari data lapangan yang berasal dari
BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai pertumbuhan berat ikan
papuyu yang dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan mencapai rerata
80 g/ekor. Pertumbuhan berat ikan patin papuyu di kolam lahan gambut yang
relatif sama diduga disebabkan proses adaptasi ikan papuyu terhadap kondisi
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 191
lingkungan media pemeliharaan di lahan gambut berjalan dengan baik dimana
sering terjadinya fluktuasi pH tidak banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan
ikan papuyu.

Kelangsungan Hidup (SR)


Dari hasil kegiatan diperoleh data kelangsungan hidup benih ikan
papuyu selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut. Secara lengkap
dapat dilihat pada Tabel 9. berikut ini.
Tabel 9. Kelangsungan hidup (SR) rerata ikan papuyu (Anabas testudineus)
selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut
Jumlah Jumlah Kelangsungan Total
Kolam Ulangan Awal Akhir hidup (%) Produksi
(ekor) (ekor) (ton)
P1 1 6000 4970 82,8 0,362
P2 2 6000 5088 84,7 0,373
P3 3 6000 5119 85,3 0,396
Rerata X 6000 5056 84,3 0,377

Dari hasil diatas diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup rerata ikan
papuyu selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 84,3%. Hal ini
diduga karena ikan papuyu termasuk jenis ikan spesifik lokal sehingga kuat dan
mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan kolam lahan gambut. Menurut
data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya
bahwa kelangsungan hidup ikan papuyu yang dipelihara pada kolam air tawar
selama 8 bulan mencapai diatas 80%.

Konversi Pakan (FCR)


Dari hasil kegiatan diperoleh data konversi pakan (FCR) yang meliputi
jumlah pakan pelet yang digunakan serta jumlah berat ikan yang dihasilkan saat
panen. Secara lengkap konversi pakan (FCR) dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Konversi pakan (FCR) ikan papuyu (Anabas testudineus) selama
pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut
Jumlah Total Total Berat Konversi
Kolam Ulangan Pakan Yang Ikan Akhir Pakan
Digunakan (kg) (kg) (FCR)
P1 1 200 396 0,51
P2 2 200 373 0,54
P3 3 200 362 0,55
Rerata X 200 377 0,53
Dari hasil diatas diketahui bahwa konversi pakan rerata ikan papuyu
selama masa pemeliharaan tergolong sangat baik yaitu sebesar 0,53. Hal ini
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 192
diduga karena pakan yang diberikan pada ikan papuyu jumlahnya sengaja
dibatasi agar ikan papuyu dapat memanfaatkan sisa pakan yang tidak termakan
oleh ikan patin sehingga tidak ada pakan yang terbuang dan pemberian pakan
menjadi lebih efisien. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT
Mandiangin maupun pembudidaya mengenai konversi pakan ikan papuyu yang
dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan sebesar 1,8 – 2,2.

Pembesaran Ikan Nila


Pertumbuhan Mutlak Individu
Dari hasil kegiatan diperoleh data pertambahan panjang dan berat rerata
ikan Nila (Oreochomis sp), yang dipelihara di Jaring yang dipasang dalam
kolam lahan gambut selama 3bulan. Secara lengkap data pertumbuhan ikan nila
dapat dilihat pada Tabel 11. dan Tabel 12. di bawah ini.
Tabel 11. Pertambahan panjang rerata ikan nila selama masa pemeliharaan 3
bulan di Jaring dalam kolam lahan gambut
Panjang Panjang Pertambahan
Kolam Ulangan
Awal (cm) Akhir (cm) Panjang (cm)
P1 1 6,25 ± 0,60 20,43 ± 2,23 14,18 ± 2,51
P2 2 6,25 ± 0,60 19,45 ± 2,55 13,20 ± 2,38
P3 3 6,25 ± 0,60 21,32 ± 2,27 15,07 ± 2,13
Rerata x 6,25 ± 0,60 20,40 ± 2,35 14,15 ± 2,34

Tabel 12. Pertambahan berat rerata ikan nila selama masa pemeliharaan 3 bulan
di Jaring dalam kolam lahan gambut
Berat Awal Berat Akhir Pertambahan
Kolam Ulangan
(g) (g) Berat (g)
194,5 ±
P1 1 3,46 ± 0,81
18,27 191,0 ± 14,04
198,2 ±
P2 2 3,46 ± 0,81
20,42 194,7 ± 14,95
203,8 ±
P3 3 3,46 ± 0,81
15,25 200,3 ± 17,09
198,8 ±
Rerata x 3,46 ± 0,81
17,98 195,4 ± 15,36

Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa pertambahan berat rerata ikan nila
selama pemeliharaan 3 bulan di Jaring dalam kolam lahan gambut sebesar
195,4 ± 15,36 g/ekor masih lebih lambat apabila dibandingkan pertumbuhan
ikan nila yang dipelihara di kolam pada kondisi air tawar. Dari data lapangan
yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai
pertumbuhan berat ikan nila yang dipelihara pada kolam air tawar selama 3
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 193
bulan mencapai rerata 300 g/ekor. Sedangkan menurut SNI dinyatakan bahwa
pertumbuhan ikan nila yang dipelihara di Jaring maupun kolam air tawar
selama 5 bulan mencapai ukuran berat antara 400 – 500 g/ekor. Pertumbuhan
berat ikan nila di kolam lahan gambut lebih lambat diduga disebabkan adanya
proses adaptasi ikan patin terhadap kondisi lingkungan media pemeliharaan di
lahan gambut dimana fluktuasi pH lebih sering terjadi sehingga apabila pH air
turun dibawah 4,5 maka ikan nila mulai kehilangan nafsu makan sehingga hal
ini berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan. Selain itu diduga energi yang
berasal dari pakan lebih banyak digunakan untuk proses adaptasi terhadap
perubahan lingkungan dibanding untuk pertumbuhan ikan nila.

Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup ikan adalah persentase jumlah ikan yang hidup
mulai saat ditebar sampai panen.
Tabel 13. Kelangsungan hidup ikan nila selama masa pemeliharaan 3 bulan di
Jaring dalam kolam lahan gambut
Jumlah Jumlah Kelangsungan Total
Kolam Ulangan Awal Akhir hidup (%) Produksi
(ekor) (ekor) (ton)
P1 1 1500 1242 82,80 0,21
P2 2 1500 1210 80,66 0,20
P3 3 1500 1268 84,53 0,23
Rerata x 1500 1240 82,66 0,22

Dari hasil diatas diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup rerata ikan nila
selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 82,7%. Hal ini diduga
karena ikan nila mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan kolam lahan
gambut sehingga ikan dapat bertahan hidup selama masa pemeliharaan. Dari
data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya
mengenai kelangsungan hidup ikan nila yang dipelihara pada kolam air tawar
selama 5 bulan mencapai diatas 80%. Sedangkan menurut SNI dinyatakan
bahwa pertumbuhan ikan nila yang dipelihara di kolam air tawar selama 5
bulan mencapai SR 80%.

Konversi Pakan
Konversi makanan dihitung untuk mengetahui kualitas makanan yang
diberikan, baik tidaknya bagi pertumbuhan ikan, Jumlah makanan setiap
harinya yang diberikan akan mengalami perubahan periode-periode tertentu
berdasarkan pertumbuhan atau pertambahan berat ikan yang dipelihara
Djajasewaka (1985). Besar kecilnya konversi makanan merupakan gambaran
tentang efesiensi makanan yang dicapai.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 194
Tabel 14. Konversi pakan ikan nila selama masa pemeliharaan 3 bulan di
Jaring dalam kolam lahan gambut
Total Pakan Yang Total Berat
Konversi
Kolam Ulangan Digunakan (kg) Ikan Akhir
Pakan (FCR)
(kg)
P1 1 327 212 1,54
P2 2 310 203 1,53
P3 3 365 234 1,56
Rerata x 334 224 1,54
Dari hasil diatas diketahui bahwa konversi pakan rerata ikan nila selama
masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 1,54. Hal ini diduga karena
energi dari pakan yang diberikan pada ikan lebih banyak digunakan untuk
pertumbuhan ikan. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin
maupun pembudidaya mengenai konversi pakan ikan nila yang dipelihara pada
kolam air tawar selama 3 bulan sebesar 1,4 – 1,5.

Kualitas Air
Dari hasil pengamatan parameter kualitas air di media pemeliharaan
diperoleh data kualitas air yang meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, amonia dan
ketinggian air yang diukur pada pagi dan siang hari selama kegiatan
pemeliharaan ikan dalam kolam di lahan gambut. Secara lengkap dapat dilihat
pada Tabel 15. di bawah ini.
Tabel 15. Parameter kualitas air media pemeliharaan ikan di kolam lahan
gambut
Kisaran kualitas air Kisaran Yang
Kolam Parameter media Layak (Pustaka)
pemeliharaan
Suhu (oC) 26 – 32 25 – 32 (Kordi,
pH 4–6 2004)
Oksigen terlarut 3,2 – 4,6 4 – 8 (Asmawi,
(mg/L) 1,8 – 2,7 1984)
P1, P2,P3
Ketinggian air (m) 0 - 0,03 > 3 (Kordi, 2004)
Amonia -
< 0,1 (Kordi,
2004)

Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa kisaran parameter kualitas air pada media
pemeliharaan ikan di kolam lahan gambut masih tergolong layak dan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 195
mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan yang dipelihara di
kolam lahan gambut.

Analisis Usaha
Analisis usaha kegiatan pembesaran ikan patin, papuyu, dan nila di
kolam lahan gambut bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha yang
dilakukan berdasarkan perhitungan ekonomi serta untuk memperbaiki dan
meningkatkan keuntungan dalam melakukan usaha budidaya. Untuk
memperoleh keuntungan yang besar dapat dilakukan dengan cara menekan
biaya produksi atau menaikkan harga jual. Biaya produksi merupakan modal
yang harus dikeluarkan untuk melakukan proses produksi usaha budidaya mulai
persiapan awal sampai akhir pemeliharaan (panen). Biaya produksi ini terdiri
dari 2 macam yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya
yang digunakan tidak habis dalam satu periode/siklus produksi, biasanya
meliputi biaya penyusutan investasi dan bunga investasi. Biaya variabel adalah
biaya yang digunakan dalam satu periode/siklus produksi, biasanya meliputi
biaya pakan, benih dan upah pekerja. Untuk perhitungan Analisis biaya yang
dilakukan meliputi Break Event Point (BEP), Return of Investment (ROI) dan
Revenue Cost Ratio (R/C Ratio).
Perhitungan Analisis usaha pembesaran ikan patin, papuyu, dan nila
dalam kolam lahan gambut selama 6 bulan dengan estimasi menggunakan
pakan buatan komersial secara lengkap dapat dilihat sebagai berikut :
A. Biaya Investasi
- Pembuatan kolam 1 unit ukuran 30 x 20 x 3 m Rp. 5.000.000,-
- Pembuatan Jaring 1 unit ukuran 15 x 5 x 2 m Rp. 2.000.000,-
Jumlah Investasi Rp. 7.000.000,-
B. Biaya Operasional
1. Biaya Tetap
- Bunga Investasi 20 % Rp 1.400.000,-
- Penyusutan Investasi per tahun 10 % Rp. 700.000,-
Jumlah Rp. 2.100.000,-
2. Biaya Variabel
- Benih patin ukuran 3” (5-8 cm)6.000 ekor @ Rp. 400,-
Rp. 2.400.000,-
- Pakan patin 5.075 kg (FCR 1,53; protein 25%) @ Rp. 7.000,-
Rp. 35.525.000,-
- Benih nila ukuran 2” (5-8 cm) 1.500 ekor @ Rp. 200,-
Rp. 300.000,-
- Pakan nila 350 kg (FCR 1,54; protein 25%) @ Rp. 7.000,-
Rp. 2.450.000,-
- Benih papuyu ukuran 2” (5-8 cm) 6.000 ekor @ Rp. 200,-
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 196
Rp. 1.200.000,-
- Pakan papuyu 200 kg (FCR 0,65; protein 25%) @ Rp. 7.000,-
Rp. 1.400.000,-
- Kapur 500 kg @ Rp. 1.000,- Rp. 500.000,-
- Pupuk 300 kg @ Rp. 1.000,- Rp. 300.000,-
- Upah pekerja 1 orang selama 6 bulan @ Rp. 300.000,-
- Rp. 1.800.000,-
- Biaya Panen Rp. 1.000.000,-
Jumlah Rp. 46.875.000,-
Total biaya operasional (a + b) Rp. 48.975.000,-
C. Pendapatan
- Benih patin 6.000 ekor SR 90 % ukuran 600 g/ekor
Harga jual Rp. 14.000,- / kg
Pendapatan persiklus (6 bulan)
= 90 % x 6.000 x 600 g x Rp. 14.000,-
= Rp. 45.360.000,-
- Benih nila 1.500 ekor SR 80 % ukuran 190 g/ekor
Harga jual Rp. 25.000,- / kg
Pendapatan persiklus (3 bulan)
= 80 % x 1.500 x 190 g x Rp. 25.000,-
= Rp. 5.700.000,-
- Benih papuyu 6.000 ekor SR 80 % ukuran 80 g/ekor
Harga jual Rp. 30.000,- / kg
Pendapatan persiklus (6 bulan)
= 80 % x 6.000 x 70 g x Rp. 30.000,-
= Rp. 10.080.000,-
Total pendapatan :
= Rp. 45.360.000,- + Rp. 5.700.000,- + Rp. 10.080.000
= Rp. 61.140.000,-
D. Keuntungan Bersih
- Pendapatan – Total Biaya Operasional
= Rp. 61.140.000,- – Rp. 48.975.000,-
= Rp. 12.165.000,-/siklus/kolam
- pendapatan bersih perbulan Rp. 2.027.500,- per kolam.
E. Cash Flow
- Laba bersih + Penyusutan Investasi
= Rp. 12.165.000,- + Rp. 700.000,-
= Rp. 12.865.000,-
F. Konversi Pakan (FCR)
- Berat pakan yang digunakan (kg) : Berat ikan yang dipanen (kg)
- Patin
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 197
= 5075 : 3300
= 1,54
- Nila
= 350 : 226
= 1,55
- Papuyu
= 200 : 340
= 0,59

G. Biaya Produksi per kg daging ikan


- Biaya Operasional
Jumlah Ikan x Berat Ikan
= Rp. 48.975.000,-
(5400+1200+4800) x (600+190+70) g
= Rp. 48.975.000,-
9.804.000
= Rp. 4.995,-
H. Break Event Point (BEP)
- Biaya Investasi
1 – Biaya Operasional
Pendapatan
= Rp. 7.000.000,-
1 – Rp. 48.975.000,-
Rp. 61.140.000,-
= Rp. 35.181.257,-
Artinya titik impas akan tercapai dengan hasil pendapatan Rp. 35.181.257,-
dimana pembudidaya tidak mendapat untung namun modal telah kembali.

I. Return of Investment (ROI)


- Keuntungan x 100 %
Biaya Operasional
= Rp. 12.165.000,- x 100 %
Rp. 48.975.000,-
= 0,25 atau 25 %
Artinya dengan modal Rp. 100,- akan menghasilkan keuntungan Rp. 25,-
J. Revenue Cost Ratio (R/C Ratio)
- Pendapatan
Biaya Operasional
= Rp. 61.140.000,-
Rp. 48.975.000,-
= 1,25 > 1
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 198
Artinya nilai rasio R/C lebih dari 1 berarti Rp. 1,- yang dikeluarkan dapat
menghasikan Rp. 1,25,- sehingga usaha ini layak untuk dilakukan, jadi
semakin besar nilai rasio R/C maka keuntungan yang diperoleh akan
semakin besar.
K. Payback periode
- Biaya Operasional
Keuntungan
= Rp. 48.975.000,-
Rp. 12.165.000,-
= 4,0
Artinya masa pengembalian modal akan tercapai setelah 4,0 kali siklus
produksi atau sekitar 24 bulan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan pembesaran ikan Patin (Pangasionodon
hypopthalmus), Papuyu (Anabas testudineus), dan Nila (Oreochromis. sp)
dalam kolam di lahan gambut dapat disimpulkan :
1. Optimalisasi kolam dengan sistem polikultur pada budidaya ikan di lahan
gambut dapat meningkatkan produktivitas budidaya, hasil panen, dan
pendapatan.
2. Produktivitas budidaya ikan patin di kolam lahan gambut per kolam (600
m2) per siklus (6 bulan) sebesar 3,2 – 3,4 ton, produktivitas budidaya ikan
papuyu di kolam lahan gambut per kolam (600 m2) per siklus (6 bulan)
sebesar 0,33 – 0,36 ton, dan produktivitas budidaya ikan nila di Jaring
dalam kolam lahan gambut per Jaring (75 m2) per siklus (3 bulan)
sebesar 0,20 – 0,23 ton.
3. Dari analisis usaha diperoleh keuntungan sebesar Rp. 12.165.000,-
/kolam/siklus dan nilai rasio R/C sebesar 1,25 sehingga usaha budidaya
ikan di kolam lahan gambut layak dilakukan.

Saran
1. Perlu dilakukan pemeliharaan menggunakan pakan (pelet) buatan sendiri
untuk mengurangi biaya produksi mengingat usaha pembesaran ikan
memerlukan biaya pakan yang cukup besar.
2. Penebaran ikan nila, papuyu, dan patin dilakukan dalam rentang waktu
yang sama atau tidak terlalu lama dan waktu pemeliharaan ikan nila di
lahan gambut sebaiknya dilakukan tidak lama maksimal selama 3-4 bulan
untuk menjaga kualitas air di kolam terutama oksigen terlarut dan amonia
dalam kondisi yang sesuai bagi kehidupan ikan nila.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 199


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mudjiman, 1985. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. 190


Halaman.
Arifin, O Z., G H. Huwoyon dan R. Gustiano. 2009. Keragaan Pertumbuhan
Ikan Nila Hitam (Best) Dan Nila Merah (NIFI) (Oreochromis Niloticus)
Dalam Pemeliharaan Terpisah Di Kolam. Prosiding Seminar Nasional
Perikanan UGM 2009 Yogjakarta. 8 hal.
Asmawi, S. 1984. Pemeliharaan Ikan dalam Karamba. Gramedia. Jakarta. 82
Halaman.
Ath-thar, M.H. Fariduddin, Dadang Ariyanto, Veranita Tri Andri A, R.
Gustiano. 2009 Toleransi Benih Ikan Nila BEST pada Berbagai Salinitas
Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Perikanan UGM 2009
Yogjakarta.
Effendi, M.I, 1978. Biologi Perikanan. Study Natural Hisory Bagian I.
Fakultas Perikanan IPB, Bogor. 105 halaman.
Gustiano, R. 2009a. Naskah Rilis Ikan Nila BEST. Unpublished. BRPBAT
Bogor
Gustiano, R. 2009b. Nila BEST Sumbang 2 Kali Lipat. Majalah TRUBUS
Edisi 480 November 2009. Hal 142-143
Gustiano, R. 2009c. Nila BEST Unggulan Baru, Harapan Mutu. Majalah
TROBOS Edisi Oktober 2009. Hal 116-117
Huet, M. 1975. Tex Books Of Fish Culture. Breeding and Cultivation of Fish.
Fishing New. London. 463 halaman.
Huwoyon, G.H dan R. Gustiano. 2008. Uji Keragaan Ikan Nila Merah dan
Hitam (Oreochromis niloticus) dalam Pemeliharaan Bersama di Kolam.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2008. Sekolah Tinggi
Perikanan, Jakarta. Hal: 225-228.
Huwoyon, G.H., O.Z. Arifin dan R. Gustiano. 2009 Uji Ketahanan Lingkungan
Populasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Di Karamba Jaring Apung
Di Danau Lido. Prosiding Seminar Nasional Perikanan UGM 2009
Yogjakarta. 6 hal
Huwoyon, G.H dan I.I. Kusmini. 2010. Pertumbuhan Ikan Tengadak Albino
dan Hitam (Barbonymus schwanenfeldii) dalam Kolam. Seminar
Nasional Ikan VI dan Kongres Masyarakat Iktiologi Indonesia III. Pusat
Penelitian Biologi LIPI. Cibinong. 12 hal.
Jangkaru dan Djajadireja, R., 1976. Pemeliharaan ikan (mas) Secara Intensif
Dalam Kolam Air Deras. Pemberitaan LPPD, Bogor. 24 halaman.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 200


Kartamihardja, E.S. 2002. Pembukaan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah :
Mega Proyek Pemusnahan Sumber Daya Perikanan?. Makalah Falsafah
Sains (Pps 702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor.
Kordi, K.M.G., 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Cetakan
Pertama. Rineka Cipta dan Bina Adiaksara. Jakarta. 194 halaman.
Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra. 2005. Panduan
Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands
International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.
Bogor. Indonesia.
Saanin, 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Cetakan ke 2. Bina Cipta.
Bogor. 503 Halaman
SNI 01-6483.5-2002. Standar Produksi Ikan Patin Siam (Pangasionodon
hypophthalmus) Kelas Pembesaran di Kolam. Badan Standardisasi
Nasional (BSN). Jakarta.
SNI 01-6139-1999. Standar Produksi induk ikan nila hitam (Oreochromis
niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock). Badan Standarisasi
Nasional (BSN). Jakarta.
Siregar. 1994. Nila Merah Pembenihan dan Pembesaran Secara Intensif.
Kanasius. Jogyakarta. 87 Halaman.
Suhaili Asmawi, 1983. Pemeliharaan Ikan dalam Karamba. Gramedia, Jakarta.
82 Halaman.
Supriani, Kosim, Sri Wartini, Subhan, Tohari. 2007. Laporan Kegiatan
Perekayasaan Ikan Nila . Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin. 2007
Tave. D., 1995. Selective Breeding Programmes for Medium – Sized Fish
Farms. FAO Fisheries Techical paper. No. 352 Rome. 122 p.
Usni Arie, 1999. Pembenihan dan Pembesaran Ikan Nila GIFT.Penebar
Swadaya.Jakarta.
Widiyati, A., R. Gustiano, dan O.Z. Arifin. 2006. Uji Pertumbuhan 24 Famili
Generasi Pertama (F1) Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Karamba
Jaring Apung. Sainteks 13: 210-216.
Widodo, P., Wahyutomo, Tulus, Akmal dan Syafrudin. 2010. Pembesaran Ikan
Patin Siam (Pangasianodon hypopthalmus) di Kolam Lahan Gambut
Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah. Laporan Hasil
Perekayasaan Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin. Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan.

PENGARUH MEDIA BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN


CACING SUTRA (Tubifex sp)

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 201


Jhonly Solang *) , Henneke Pangkey **) dan Dede Sutende ***)

ABSTRAK

Cacing sutra merupakan salah satu dari jenis pakan alami. Cacing sutra
sampai saat ini masih tergantung dari alam dimana ketersediaannya tidak
menentu. Cacing sutra di alam hidup di saluran air yang jernih dan sedikit
mengalir dengan dasar perairan mengandung banyak bahan organik. Untuk
mengantisipasi akan kurangnya ketersediaan cacing sutra, maka dilakukan
kegiatan penggunaan media yang berbeda. Tujuan kegiatan ini adalah
menemukan media yang tepat sebagai media kultur cacing sutra.
Media kultur cacing sutra yang digunakan dalam kegiatan ini terdiri dari
4 media yakni ampas tahu + lumpur, kotoran ayam + lumpur, kotoran babi +
lumpur dan lumpur itu sendiri sebagai kontrol. Wadah pemeliharaan
menggunakan stereofoam sebanyak 12 buah berukuran 75x40x30 cm3.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan A dengan
menggunakan ampas tahu+ lumpur hasil panen total cacing sutra A= 142.53 gr
diikuti perlakuan C= 116.31, perlakuan B= 111.21 gr, sedangkan kontrol 96.6
gr. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa penggunaan media ampas
tahu+lumpur memberikan pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan lainnya.

Kata Kunci : Media berbeda, cacing sutra

*) Perekayasa di Balai Budidaya Air Tawar Tatelu


**)Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam
Ratulangi
***)
Kepaladi Balai Budidaya Air Tawar Tatelu

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejalan dengan pesatnya usaha perikanan di Indonesia, sehingga pakan
bagi usaha budidaya ikan sangat berperan, khususnya pada usaha pembenihan.
Hal ini dapat dipahami karena di awal hidupnya ikan tidak menemukan
pakan yang ukurannya sesuai dengan bukaan mulutnya maka kondisinya
akan lemah dan lama kelamaan akan mati. Sebaliknya jika pada awal
kehidupannya ikan dapat menemukan pakan yang sesuai dengan bukaan
mulutnya (dalam hal ini pakan alami) maka ikan tersebut dapat meneruskan
hidupnya. Untuk itulah, ketersediaan pakan alami berkualitas baik dengan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 202
ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut ikan sangat diperlukan agar angka
mortalitas benih dapat ditekan serendah mungkin. Berbagai jenis pakan alami
secara umum cocok untuk makanan larva karena memiliki semua unsur zat gizi
yang dibutuhkan larva serta sifat dari pakan alami yang bergerak tetapi tidak
begitu aktif memungkinkan dan mempermudah larva/benih ikan untuk
memangsanya.
Kegiatan pembenihan ikan dititikberatkan pada kelangsungan hidup dan
kualitas benih, tentunya ini harus ditunjang oleh kualitas induk dan
ketersediaan pakan alami yang cukup untuk kebutuhan benih ikan. Berbagai
jenis pakan alami secara umum cocok untuk makanan larva karena memiliki
semua unsur zat gizi yang dibutuhkan larva serta sifat dari pakan alami yang
bergerak tetapi tidak begitu aktif memungkinkan dan mempermudah
larva/benih ikan untuk memangsanya.
Pakan alami ialah makanan hidup bagi larva dan benih ikan yang
mencakup antara lain fitoplankton, zooplankton dan bentos. Fitoplankton,
zooplankton dan bentos berperan sebagai sumber karbohidrat, lemak, protein
dengan susunan asam amino yang lengkap serta mineral bagi larva atau benih
ikan, disamping mengandung gizi yang lengkap dan mudah dicerna, juga tidak
mencemari lingkungan perairan dan media pemeliharaan. Pakan alami selain
gizinya lengkap juga ekonomis dalam hal pengelolaannya. Dewasa ini yang
sudah berhasil dibudidayakan antara lain infusoria, chlorella, daphnia, moina,
rotifera, artemia, cacing sutra.
Menurut Bulew,1953 dalam Khairuman,dkk(2008), nilai gizi cacing
sutra (Tubifex sp) meliputi; kadar air 87,19 %, Protein 57 %, lemak 13,30 %
karbohidrat 2,04 % dan kadar abu 3,60 %. Cacing sutra merupakan pakan alami
yang belum tergantikan keberadaanya. Sejauh ini usaha budidaya cacing sutra
belum banyak dilakukan, dan hanya mengandalkan pasokan dari alam. Namun
keberadaan cacing sutra di alam tidak menentu, sehingga keberadaan cacing
sutra sangat berfluktuasi. Pada saat tertentu bisa jadi banyak dijumpai di alam
dan dilain waktu jumlahnya sangat sedikit, apalagi saat musim hujan, di alam
akan mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan populasi cacing sutra di
alam juga bisa terjadi mengingat lingkungan tempat hidupnya seperti selokan
dan comberan sering dijadikan tempat pembuangan limbah. Limbah yang
pembuangannya tidak terkontrol, seperti limbah pabrik merupakan limbah
berbahaya yang mematikan organisme di perairan, termasuk cacing sutra.
Habitat dan penyebaran cacing sutra umumnya berada di daerah tropis.
Biasanya berada di saluran air atau kubangan dangkal berlumpur yang airnya
mengalir perlahan dan mempunyai bahan organik yang tinggi, seperti selokan
atau sungai tempat limbah dari pemukiman penduduk atau saluran pembuangan
limbah peternakan (Khairuman dkk., 2008).

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 203


Selama ini, cacing sutra diperoleh di alam. Pengadaan cacing sutra yang
bergantung dari penangkapan alam tentunya sangat riskan. Selain kualitas dan
ketersediaannya tidak terjamin(Priyambodo dan Wahyuningsih, 2002).
Melihat akan masalah ketersediaan cacing sutra yang tidak kontinyu dan
keterbatasan jumlah maka perlu dilakukan kegiatan mengenai kultur atau
budidaya cacing sutra dengan menggunakan media kultur yang tepat dan
mudah ditemukan disekitar lokasi budidaya.

Tujuan Kegiatan
Tujuan dari kegiatan ini adalah dapat menentukan jenis media yang sesuai
untuk pertumbuhan cacing sutra.

METODE KEGIATAN
Persiapan media
a. Menyiapkan lumpur sebagai media kultur
 Lumpur diambil di pinggiran selokan sekitar lokasi pelaksanaan kegiatan.
 Lumpur dibersihkan dari kotoran baik daun, akar, plastik dan bahan organik
lainnya.
 Setelah dibersihkan lumpur disaring dengan menggunakan seser/saringan.
 Lumpur hasil saringan ditampung kemudian dijemur di bawah panas
matahari selama 3 hari.
 Setelah kering disimpan dalam wadah untuk digunakan sebagai media
kultur.
 Penggunaan lumpur sebagai media kultur ± 8 kg / wadah

b. Menyiapkan Ampas Tahu.


 Ampas tahu diperoleh dari pengusaha ampas tahu
 Ampas tahu dalam keadaan basa ditiriskan ± 4 jam.
 Setelah 4 jam ditiriskan kemudian dijemur sampai kering kemudian
ditimbang 2 kg/wadah ampas tahu untuk digunakan dalam kegiatan.

c. Menyiapkan Kotoran Ayam


 Kotoran ayam yang digunakan diperoleh dari pengusaha ayam petelur
 Kotoran ayam masih dalam keadaan tercampur dengan sekam dan tanah
dengan kondisi basah
 Setelah diambil dilakukan penjemuran hingga kering di bawah matahari.
 Setelah itu ditumbuk/dihancurkan kemudian diayak menggunakan ukuran
1mm.
 Hasil ayakan ditimbang sesuai dosis yang digunakan dalam kegiatan yakni
2 kg/wadah .

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 204


d. Menyiapkan Kotoran babi
 Kotoran babi diperoleh dari pengusaha ternak babi
 Kotoran babi dikumpulkan dalam karung
 Setelah dikumpulkan dijemur sampai kering di bawah sinar matahari
 Selanjutnya setelah kering ditimbang sesuai dosis (2 kg/wadah) dan siap
digunakan.

Persiapan Kultur
Tahapan kultur langkah-langkahnya seperti di bawah ini :
 Lumpur yang telah kering yang telah dipersiapkan di masukkan dalam
wadah steroform dengan ketebalan ±5 cm.
 Selanjutnya masing-masing pupuk ditimbang dan dimasukkan dalam wadah
 Selanjutnya masing-masing pupuk dicampur dengan lumpur sampai merata
 Setelah merata media segera dimasukkan air secara perlahan-lahan sampai
semua terendam air.
 Kemudian media dibiarkan selama 6 hari untuk proses dekomposisi

Penebaran cacing sutra


 Setelah terjadi dekomposisi media dialiri air sebelum dilakukan penebaran
cacing
 Cacing sutra yang akan ditebar ditimbang dan diukur panjang awal dan
berat awal terlebih dahulu.
 Penebaran cacing sutra dilakukan secara merata dalam wadah.

Pemeliharaan
 Pemeliharaan cacing selama kegiatan dengan memasukkan air secara terus
menerus secara perlahan-lahan.
 Waktu pemeliharaan dalam wadah dilakukan selama 21 hari
 Selama pemeliharaan dilakukan kontrol terhadap inlet pemasukkan air
jangan sampai tersumbat dan air tidak mengalir.
 Selama kegiatan berlangsung tidak dilakukan penambahan pupuk.

Pemanenan.
 Pemanenan dilakukan diawali dengan cara mematikan aliran air yang
masuk ke dalam wadah
 Kemudian menutup wadah dengan kain gelap selama ± 2 jam
 Setelah 2 jam cacing sutra telah naik kepermukaan dan diangkat dalam baki
 Sisa cacing yang belum terangkat dilakukan membongkar media dan
dimasukkan dalam seser kumudian dibilas pada air berjalan.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 205
 Hasil panen cacing setelah bersih dari lumpur kemudian ditimbang dan
diukur panjang dan berat.

Pengambilan Data
Pertumbuhan Cacing Sutra
Pengumpulan data mengenai perumbuhan cacing sutra dilakukan dengan
mengukur pertambahan panjang dan pertambahan berat tubuhnya.
A. Pertumbuhan Berat Cacing sutra
Pertumbuhan mutlak cacing sutra dihitung menurut formula (Weatherley
danGill, 1989):
PM = Wt – Wo
Dimana:
PM = Pertumbuhan mutlak (gram)
Wt = Berat rata-rata akhir cacing sutra (gram)
Wo = Berat rata-rata awal cacing sutra (gram)
B. Pertumbuhan Panjang Cacing Sutra
Pertumbuhan panjang adalah panjang cacing sutra pada awal penebaran
hingga saat pemanenan. Dihitung dengan menggunakan rumus menurut(
Effendi,2003) berikut :
P = Pt - Po
Dimana :
P = Pertumbuhan panjang mutlak cacing sutra (mm)
Pt = Panjang rata-rata cacing sutra pada akhir percobaan (mm)
Po = Panjang rata-rata cacing sutra pada akhir percobaan (mm).
Kualitas Air
Selama kegiatan dilakukan mengukuran kualitas air. Adapun parameter kualitas
air yang akan diukur adalah DO, PH, dan Suhu, Amonia,Nitrit,Nitrat.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Media Budidaya Cacing Sutra
Media tumbuh cacing sutra yang digunakan dalam kegiatan ini adalah
lumpur yang telah dibersihkan dari sampah baik daun-daun, plastik-plastik dan
jenis moluska dan cacing lainnya. Pembersihan lumpur dengan cara disaring
dengan saringan mesh 1 mm.Kemudian lumpur dikeringkan di bawah terik
matahari selama 3 hari. Setelah lumpur dikeringkan kemudian disimpan dalam
wadah, sambil menunggu bahan tambahan (kotoran ayam,kotoron babi,ampas
tahu) menjadi kering. Media budidaya cacing sutra dalam kegiatan ini
menggunakan lumpur dan kotoran ayam, lumpur dan kotoran babi, lumpur dan
ampas tahu serta lumpur itu sendiri atau tanpa dilakukan pencampuran yang
dikategorikan sebagai kontrol dalam kegiatan ini.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 206


Pemeliharaan Cacing Sutra
Cacing sutra sebelum dipelihara dalam wadah terlebih dahulu di
timbang dan diukur panjang individu untuk mendapatkan data awal, dari hasil
pengukuran berat cacing sutra ditimbang untuk masing-masing wadah 30 gram
dan panjang individu rata-rata 17 mm. Media tempat penebaran sebelum
digunakan dilakukan pencampuran ketiga bahan tadi dengan lumpur kemudian
demasukkan air sedikit sampai lumpur terendam semua kemudian dilakukan
proses dekomposisi selama 7 hari, proses ini dilakukan agar supaya cacing
mendapat makanan selama pemeliharaan. Pemeliharaan cacing sutra dilakukan
secara homogen dengan cara mengalirkan air secara terus menerus (sistem
resirkulasi) dengan menggunakan pompa air, setiap hari dilakukan pengecekan
kran air yang masuk ke masing-masing wadah. Lama pemeliharaan cacing sutra
dilakukan selama 21 hari. Setelah akhir masa pemeliharaan dilakukan
pemanenan dengan cara menghentikan pompa air untuk menghentikan air yang
masuk dalam wadah, air dalam wadah dikurangi sampai permukaan lumpur
kelihatan, kemudian wadah ditutup dengan kain gelap selama 1 jam lalu
dilakukan pemanenan cacing sutra yang naik ke permukaan , cacing yang
tersisa dipanen dengan cara dimasukkan dalam seser dan dibersihkan dalam air
berjalan untuk mengeluarkan lumpur yang tercampur dengan cacing sutra.
Hasil panen ditiriskan selama ± 25 menit kemudian ditimbang dan diukur
panjang cacing sutra.

Laju Pertumbuhan Cacing Sutra


Pengamatan terhadap pertumbuhan cacing sutra selama
kegiatandiperoleh data pertumbuhan meliputi pertambahan panjang rata-rata
individu, pertambahan berat rata-rata individu dan berat total cacing sutra
pada masing-masing perlakuan.

Pertumbuhan Panjang Individu Cacing Sutra


Data hasil pengamatan terhadap pertumbuhan panjang rata-rata individu
cacing sutra terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Pertambahan Panjang Rata-rata Individu Cacing Sutra (mm)


Perlakuan
Ulangan Total
A B C K
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 207
1 65.3 47 52 43.6
2 61 41.7 55.9 39.2
3 40.7 49.7 52.7 36.4
Jumlah 167 138.4 160.6 119.2 585.2
Rata-rata 55.66 46.13 53.53 39.73

Dari tabel terlihat bahwa rata-rata pertambahan panjang individu


cacing sutra selama kegiatan (21 hari) berturut-turut dari yang tertinggi adalah
perlakuan A (55.66 mm), C (53.53 mm), B (46.13 mm), K (39.73 mm).
Histogram data pertambahan panjang rata-rata individu cacing sutra selama
kegiatantersaji pada Gambar 3.

Ряд1, A, 55. Ряд1, C, 53.


66 Ряд1, B, 46. 53
13 Ряд1, K, 39.
PANJANG (mm)

53

PERLAKUAN

Gambar 3. Histogram Pertambahan Panjang Rata-rata Individu Cacing


Sutra

Pertumbuhan Berat Rata-rata Individu Cacing Sutra


Data mengenai pertambahan berat rata-rata individu cacing sutra pada
setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan data pada tabel
menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan berat cacing sutra yang tertinggi
adalah perlakuan C (0.0643 gr),perlakuan A(0.0640 gr),perlakuan B (0.052 gr)
dan terendah perlakuan perlakuan K (0.05 gr).

Tabel 3 . Data Pertambahan Berat Rata-rata individu Cacing Sutra (gr).


Ulangan Perlakuan Total
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 208
A B C K
1 0.076 0.053 0.069 0.05
2 0.067 0.047 0.065 0.051
3 0.049 0.057 0.059 0.049
Jumlah 0.192 0.157 0.193 0.15 0.692
Rata-rata 0.064 0.052 0.0643 0.05

Berdasarkan data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata


pertambahan berat individu cacing sutra yang tertinggi adalah perlakuan C
(0.0643 gr), kemudian disusul oleh perlakuan A(0.0640 gr), perlakuan B
(0.052 gr) dan terendah perlakuan K (0.05 gr). Histogram data pertambahan
berat rata-rata individu cacing sutra selama kegiatan tersaji pada Gambar 4 .

Ряд1, C, 0.064
Ряд1, A, 0.064
BERAT INDIVIDU (gr)

3
Ряд1, B, 0.052 Ряд1, K, 0.05

PERLAKUAN

Gambar 4.Histogram Pertambahan Berat Rata-Rata Individu Cacing


Sutra

Pertumbuhan Berat Total Cacing Sutra


Berdasarkan data hasil menunjukkan bahwa berat total cacing sutra
yang tertinggi adalah perlakuan A (142.53 gr), kemudian disusul oleh
perlakuan C(116.31 gr), perlakuan B (111.21 gr) dan terendah perlakuan K
(96.6 gr). Histogram data pertambahan berat total cacing sutra selama kegiatan
tersaji pada Gambar 5.
Ряд1, A, 142. HASIL PANEN TOTAL CACING SUTERA
53
Ряд1, B, 111. Ряд1, C, 116.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture
212014 31 209
T TOTAL (gr)

Ряд1, K, 96.6
Gambar 5.Histogram Pertambahan Berat Rata-Rata Panen Total Cacing
Sutra

Kualitas Air Media Kultur


Kualitas air merupakan suatu faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan dan kelangsungan hidup suatu organisme. Kegiatan ini
menggunakan air media yang bersumber dari air sumur di sekitar hatchery.
Kualitas air yang diukur selama kegiatanini adalah parameter fisika dan kimia
yang meliputi suhu air, derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (O 2), amonia
(NH3), Nitrat (NO2), Nitrit (NO3).

Suhu
Pengamatan suhu air dilakukan pada pagi hari sekitar jam 08.00-09.00
WITA, yang dilakukan sebanyak 8 kali atau setiap 3 hari selama waktu
kegiatan(21 hari). Pengukuran suhu dilakukan terhadap air dan lumpur. Hasil
pengukuran suhu dari masing-masing perlakuan untuk perlakuan A (lumpur
25.23o C – 26.2 oC dan air 25.16 oC -26.3o C), perlakuan B (lumpur 25.20 o C
– 26.2 oC dan air 25.1 oC -26.36o C), perlakuan C (lumpur 25.20 o C – 26.2 oC
dan air 25 oC -26.1o C), perlakuan K (lumpur 25.20o C – 26.2 oC dan air 25.3
o
C -26.2o C)..
Selama kegiatan dalam wadah, cacing sutra tidak mengalami
goncangan fisiologis akibat perubahan suhu yang terjadi. Effendi (2003)
mengemukakan bahwa peningkatan suhu akan mengakibatkan kecepatan
metabolisme dan respirasi metabolisme air, dan selanjutnya mengakibatkan
peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan suhu. Fluktuasi suhu yang terjadi
pada saat kegiatan tidak begitu signifikan karena air yang digunakan mengalir
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 210
secara terus menerus dengan sistem resirkulasi. Penempatan wadah dalam
kegiatan kegiatanini dalam hatchery. Kisaran suhu yang terjadi selama
kegiatancukup stabil baik suhu pada lumpur maupun suhu air yaitu antara 25 –
26.3OC. Menurut Effendi 2003, peningkatan suhu 1 OC akan meningkatkan
oksigen sebesar 10 %.

pH (Derajat Keasaman)
Hasil pengukuran pH air dan pH lumpur pada media kegiatancacing
sutra tidak terjadi perbedaan yang menyolok yakni berkisar antara pH 6-7, 68.
Pada kondisi pH tersebut cacing sutra dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik. Effendi (2003) menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif
terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH sangat
mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan
berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam akan mengalami peningkatan pada
pH rendah.
Boyd (2001) mengungkapkan bahwa titik mati asam dan basa pada
ikan masing-masing kira-kira pH 4 dan pH 11. Namun demikian jika perairan
lebih asam dari pH 6,5 atau lebih basa dari pada pH 9 – 9,5 untuk kurun waktu
yang lama, maka reproduksi dan pertumbuhan akan menurun. Hasil
pengukuran selama kegiatan dapat di lihat dalam gambar 8 dan 9 di bawah ini.

DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu parameter penting dalam analisis
kualitas air. Nilai DO yang biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi ini
menunjukkan jumlah oksigen yang tersedia dalam suatu badan air.
Dalam kegiatan ini sumber oksigen terlarut berasal dari aliran air
dalam media pemeliharaan, masing-masing diatur melalui kran yang diatur
sedemikian rupa untuk dapat menghasilkan debit air yang hampir merata.
Apabila terjadi ketidak normalan kerja kran tersebut maka akan berpengaruh
terhadap aliran air yang menjadi kecil sehingga oksigen terlarut dalam media
kan rendah. Oleh karena itu pengontrolan harus dilakukan setiap saat untuk
menghindari tersumbatnya aliran air pada media kegiatan.
Hasil pengukuran oksigen terlarut pada media kultur selama kegiatan
adalah 4-5 ppm. Ini masih baik untuk perkembangbiakan cacing sutra seperti
yang disampaikan Marian dan Pandian (1984) dalam Utami (1986) yang
mengatakan bahwa kebutuhan oksigen bagi pertumbuhan embrio secara
normal berkisar antara 2,5 – 7,0 ppm, sedangkan kondisi oksigen 3 ppm atau
lebih dapat meningkatkan kepadatan populasi juga menjamin tingginya jumlah
telur yang dikandung (fekunditas) dari cacing tubificidae. Namun keadaan
oksigen yang rendah atau kurang dari 2 ppm akan menghambat aktifitas makan
dan reproduksi.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 211
NH4(Amonia)
Hasil pengukuran kandungan amonia yang tinggi selama
kegiatanterjadi pada perlakuan B (Lumpur + kotoran ayam) pada minggu kedua
masa pemeliharaan nilainya 0.78 ppm. Hal ini dikarenakan amonia bersifat
racun. Di alam amonia berasal dari pupuk, kotoran ikan dan dari pelapukan
mikrobial dari senyawa nitrogen (Boyd, 2001).
Hasil pengukuran amonia pada perlakuan (B)lumpur +kotoran ayam,
perlakuan (A)lumpur + ampas tahu,(K) kontrol dan kemudian terendah
perlakuan (C) dengan menggunakan lumpur+kotoran babi.

NO2
Kandungan nitrit pada media kultur selama kegiatan tertinggi pada
perlakuan K pada masa pemeliharaan minggu kedua yakni berkisar 0,37 ppm.
Pernyataan Boyd (2001) mengatakan bahwa kandungan nitrit yang tinggi di
dalam perairan sangat berbahaya bagi ikan dan biota air lainnya, karena nitrit
dalam darah mengoksidasi haemoglobin menjadi meta-haemoglobin yang tidak
mampu mengedarkan oksigen, kandungan nitrit sebaiknya lebih kecil dari 0,3
ppm. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akumulasi nitrit dapat timbul akibat
ketidakseimbangan dalam reaksi nitrifikasi.

NO3 (Nitrat)
Hasil pengukuran nitrat dalam penelitian ini bukan hanya dari air
melainkan dari lumpur atau media yang digunakan sebagai perlakuan. Untuk
lebih jelanya hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar 13 di bawah ini. Hasil
pengukuran kandungan nitrat dalam air sungai sebagai habitat alami cacing
sutra adalah < 10 ppm. Ini menandahkan bahwa kondisi perairan sungai
tersebut sangat miskin dalam hal unsur hara yang menjadi sumber nutrisi dalam
perairan tersebut. (Suharyadi, 2012).

Nitrat dalam media kultur selama masa penelitian adalah 50 - 63 ppm.


Kisaran ini merupakan kisaran yang tinggi, karena diperairan alami hampir
tidak pernah lebih dari 0.1 mg/l apa bila kadar nitrat lebih dari 5 mg/l
menggambarkan terjadinya pencemaran yang berasal dari kegiatan manusia dan
tinja hewan (Bond dkk, 2010).

KESIMPULAN DAN SARAN


KE SIMPULAN

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 212


Media dengan menggunakan ampas tahu dan lumpur memberikan pengaruh
terhadap pertumbuhan berat cacing sutra atau perlakuan A (142.53gr),
kemudian disusul media kotoran babi dan lumpur atau perlakuan C(116.31 gr),
media kotoran ayam dan lumpur perlakuan B (111.21 gr) dan terendah media
hanya menggunakan lumpur itu sendiri atau perlakuan K (96.6 gr).

SARAN
Dari hasil kegiatan saat ini disarankan untuk menggunakan media ampas tahu
dengan berbagai komposisi dan kemudian dicampurkan dengan lumpur.

DAFTAR PUSTAKA

Arkhipova, N.R. 1996. Morphology of Pectinate Setae in Tubificids


(tubificidae, oligochaeta). Zoologicheskii Zhurnal . 178-187 p.
Barnes, R.D. 1974. Invertebrate Zoology. 3rd Edition. W.B. Sounders Comp.
Philadelphia.London, Toronto. 870p.
Bond,M.M, Juniyanto,N.M, Senggagau,B dan Muhlis, S. 2010. Pengelolaan
Air pada Pembenihan Ikan Laut. BBL. Batam. 65 hal.
Boyd. C., E. 2001. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perikanan. Ahli
Bahasa Oleh: A.Syafei Sidiq. Samarinda; Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Mulawarman
Daelami, D. 2001. Usaha Pembenihan Ikan Hias Air tawar. Penebar
Swadaya.Jakarta.166 hal.
Djarijah, A.S. 1996. Pakan Ikan Alami. Kanisius.Yokyakarta.87 hal.
Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.
Fadholi, M.R, Mulyanto dan Zakiyah, U. 2001. Kajian Ekologis Cacing
Rambut (Tubifex sp) Dalam Upaya Mengorbitkanya Sebagai Indikator
Biologis Pencemaran Bahan Organik di Perairan. Jurnal ilmu-ilmu
hayati. Vol 13 No. 1 juni 2001.
Fauziah. 2009. Upaya Pengelolaan Lingkungan Usaha Peternakan. Diambil 2
Agustus 2013 pukul 14.00 wita dari situs World Wide Web
http://www.mustang89.com/literatur/74literatur-ayam/355-upaya-
pengelolaan- lingkungan -usaha - peternakan-ayam.
Gilbert A.M and Granath Jr. 2003. Persistent Infection of Miyobolus
Cerebralis the Chausative Agent of Salmonid Whirling Disease in
Tubifex Tubifex. Journal of Parasitology.
Johan, Y. 2008. Bioteknologi:Produksi Tubifex sp Sebagai Pakan
Alami.Diambil 2 Agustus 2013 pukul 10.00 wita dari situs World Wide
Web http://yarjohan.blogspot.com/2008/06/produksi-tubifex-sp-sebagai-
pakan-alami.html
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 213
Khairuman dan K.Amri . 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. Agromedia
Pustaka. Jakarta.81 hal.
Khairuman.,K.Amri dan T.Sihombing. 2008. Peluang Usaha Budidaya Cacing
Sutra. Agromedia Pustaka. Jakarta.74 hal.
Mueller, 1774. Taxonomic and Nomenclature. ITTS Standar Report: Tubifex .
Diambil 2 Oktober 2013 pukul 11.00 wita dari
http://en.wikipedia.org/wiki /Tubifex tubifex.
Mushafi,I.2012. Upaya Pengelolaan Lingkungan. Diambil 12 Juli 2013 pukul
11.30 wita dari situs World Wide Web (world-iviroment issu/2012/04/
pengolahan limbah peternakan babi.hmtl).
Pennak, R.W. 1978. Freshwater Invertebrates of United States.2nd.A Willey
Interscience Pbl John Willey and Sons.New York.
Priyambo,K dan T. Wahyuningsih.2002. Budidaya Pakan Alami Untuk
Ikan.Penebar Swadaya. Jakarta 64 hal.
Suharyadi, 2012. Studi Penumbuhan dan Produksi Cacing Sutra (Tubifex sp)
dengan Pupuk yang Berbeda Dalam Sistim Resirkulasi. Tesis Program
Pasca Sarjana Universitas Terbuka Jakarta.100 hal.
Supeni,T.,S.T Mintje dan Y.P.Talumewo .1994 .Biologi . Erlangga. Jakarta
.178 hal.
Utami, D, S, R., 1986. Pengaruh Kecepatan Aliran Air Terhadap Pertumbuhan
Populasi Tubifex sp dengan Dosis Pupuk 50 % Kotoran Ayam dan 50 %
Lumpur Halus. Skripsi Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor
Weatherley, A.N and H.S Gill.1989. The Biology of Fish Growth. Academic
Press. P. 678-679.

POTENSI DAN PROSPEK BUDIDAYA IKAN GABUS (Channa


Striata Bloch 1793) SEBAGAI ALTERNATIF USAHA DALAM

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 214


MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DAN PRODUKSI
PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH KALIMANTAN

Puji Widodoa*, Endang Mudjiutamia, Firdausia, Tulusa


Balai perikanan budidaya air tawar mandiangin, kalimantan selatan

ABSTRACT

Snakehead is one of Indonesia original fish in freshwater aquatic that


usually being found at common waters region of Java, Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, and Papua. Snakehead comprises potential local
fish type that a lot of excess which is well worth economic, perceive
delicate flesh, and tall protein content that benefit to human health.
People need of snakehead makes snakehead fishing at nature happening
continually which is alarmed will bother its continuity in the future.
Culture of snakehead at territorial of Kalimantan has become effort
alternative that don't succumb with culture of introduction fish and also
another local fish. A local fish type such as snakehead has potency and
prospect of aquaculture to meet the people need, and gives effort
opportunity to increase income for people in the future.
This activity intent is to know the potency and prospect of snakehead
culture through application technology of breeding and grow out of
snakehead in pond. Breeding of snakehead has done by natural
spawning and hormone excitement, meanwhile grow out of snakehead
has done in pond with artificial feed application.
The results showed that natural spawning and hormone excitement
breeding have successful to be done by the result of natural spawning
with hatching rate (HR) average 83,13% and survival rate (SR) average
of 2 month seed 74,75%, meanwhile the result of hormone excitement
breeding of hatching rate (HR) 82,03% and survival rate (SR) average of
2 month seed 73,15%. Grow out activity of snakehead at pond for a
period of 7 month with averages weight growth of fish on density 25
individual/m2 of 273,07 ± 5,12 g/individual and survival rate of 77,5%
is better than grow out of snakehead on density 30 individual/m 2 with
averages weight growth of 250,79 ± 7,01 g/individual and survival rate
of 73%. By the result of business analysis for breeding effort with
benefit value as much as Rp. 3.150.000,- per pond/cycle and R/C ratio
value is 2,29 and business analysis for grow out effort with benefit value
as much as Rp. 5.000.000,- per pond/cycle and R/C ratio value is 1,56 so
the culture effort of snake head is reasonable to be done.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 215


Keywords : aquaculture prospect, snakehead fish

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan gabus (Channa striata Bloch 1793) adalah ikan asli Indonesia
yang habitatnya di rawa-rawa, sawah, genangan dan daerah aliran sungai arus
tenang yang membawa emulsi lumpur, dan bisa juga di perairan payau.Ikan
gabus tersebar diseluruh Indonesia, terutama di Sumatera, Jawa, dan
Kalimantan (Courtenay et al., 2004). Ikan gabus dikenal dengan berbagai nama
daerah, di antaranya: ikan kutuk (Jawa), ikan gabus (Betawi dan Sunda), ikan
haruan (Kalimantan Selatan), ikan behau (Kalimantan Tengah), ikan deleg
(Sumatra), bale salo (Sulawesi), dan ikan gastor (Papua). Untuk selanjutnya
penyebutan dan penamaan ikan gabus dalam makalah ini digunakan nama
“gabus”. Di dunia sebaran ikan gabus meliputi India, Myanmar, Banglades,
Laos, Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Malaysia. Ikan gabus pascaintroduksi
terdapat di Madagaskar, Philipina, Indonesia bagian timur, Caledonia baru, dan
Fuji.
Ikan gabus sangat disukai masyarakat Kalimantan karena rasanya
gurih, permintaan pasar tinggi dan kontinu, bernilai ekonomis tinggi dan
harganya meningkat drastis pada saat musim tertentu. Harga ikan gabus di
pasar Kalimantan Selatan mencapai kisaran Rp. 30.000,- sampai Rp. 60.000,-
per kilogram, sedangkan di Kalimantan Tengah dapat mencapai harga lebih
dari Rp. 60.000,- per kilogram. Selain itu, tingginya kandungan albumin dalam
daging ikan gabus bermanfaat untuk mempercepat proses penyembuhan luka
pasien pascaoperasi membuat ikan gabus semakin dicari. Menurut data statistik
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011, jumlah produksi perikanan
budidaya kolam di wilayah Kalimantan Selatan untuk ikan gabus sebesar 25 ton
dan budidaya karamba sebesar 309 ton.
Selain rasanya enak ikan gabus juga memiliki manfaat yang sangat
besar untuk kesehatan karena mengandung protein albumin yang sangat tinggi.
Albumin diperlukan tubuh manusia setiap hari, terutama dalam proses
penyembuhan luka pasien pascaoperasi. Albumin berfungsi mengatur
keseimbangan air dalam sel, memberi gizi pada sel, dan mengeluarkan produk
buangan. Selain itu, albumin juga berfungsi mempertahankan pengaturan cairan
dalam tubuh Bila kadar albumin rendah, maka protein yang dikonsumsi akan
pecah. Protein yang seharusnya dikirim untuk pertumbuhan sel, menjadi tidak
maksimal Pemberian daging ikan gabus atau ekstrak dalam bentuk kapsul telah
diujicobakan untuk meningkatkan kadar albumin dalam darah dan membantu
penyembuhan beberapa penyakit dari kekurangan gizi hingga HIV-AIDS.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 216


Ikan gabus hidup di perairan sekitar kita, di rawa, di waduk dan di
sungai-sungai yang airnya tenang. Ikan ini merupakan ikan buas (karnivor yang
bersifat pemangsa). Di alam, ikan gabus tidak hanya memangsa benih ikan
tetapi juga ikan dewasa dan serangga air lainnya termasuk kodok.
Namun sayang populasi ikan gabus di alam sudah mulai berkurang
karena mengandalkan penangkapan di alam sehingga budidaya ikan ini perlu
dikembangkan khususnya pembenihan. Balai Perikanan Budidaya Air Tawar
Mandiangin sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Instalasi
Budidaya Ikan Lahan Gambut di Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan
Tengah berupaya melakukan usaha pembenihan ikan gabus secara alami dan
semi buatan di bak terpal serta pembesaran ikan gabus di kolam sebagai upaya
meningkatkan produktivitas lahan gambut. Dengan adanya teknologi budidaya
ikan gabus baik pembenihan maupun pembesarannya diharapkan akan
memberikan peluang usaha baru bagi masyarakat sehingga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat di masa depan.

Tujuan
1. Mengetahui potensi dan prospek budidaya ikan gabus melalui penerapan
teknologi pembenihan dan pembesaran ikan gabus yang dipelihara di
kolam.
2. Menerapkan teknik pembenihan ikan gabus (Channa striata Bloch 1793)
secara alami dan semi buatan serta pembesaran ikan gabus di kolam.

METODE
Teknologi Pembenihan
1. Pematangan gonad induk
- Induk ikan gabus dipelihara di jaring tempat pematangan gonad. Induk di
pisah antara jantan dan betina.
- Tiap hari diberi pakan apung komersil untuk induk protein 30 – 32%.
- Dua minggu sekali di cek kematangan gonadnya.
- Induk yang dipelihara berjumlah 30 ekor jantan dan 30 ekor betina.
2. Persiapan bak terpal
- Sebelum ikan ditebar di bak terpal sebelumnya telah dilakukan persiapan
bak selama 1 minggu meliputi pengisian air,pemupukkan bak terpal serta
penambahan substrat sebagai pelindung dan wadah ikan gabus meletakkan
telurnya mengingat telur ikan gabus bersifat melayang di permukaan air..
- Pemberian pupuk di lakukan untuk menumbuhkan pakan alami jika ikan
gabus memijah dengan pupuk dosis 100 gram/m2.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 217


- Pemeriksaan kualitas air bak terpal dilakukan meliputi pH air dan DO.
Apabila pH air sudah mencapai 5 dan plankton sudah tumbuh maka induk
ikan gabus dapat ditebar.
3. Perlakuan pada proses pemijahan
Pemijahan Alami
- Induk yang telah diseleksi dan matang gonad dicampurkan di bak terpal
dengan perbandingan 1 betina : 1 jantan.
- Pengamatan proses pemijahan dilakukan setiap hari, dimana bila telah
terjadi pemijahan maka telur akan kelihatan mengapung di permukaan air.
- Pemijahan alami menggunakan 3 buah bak terpal.
Pemijahan semi buatan
- Induk yang telah diseleksi dan matang gonad sebelum ditebar dilakukan
penimbangan berat untuk menentukan dosis penyuntikkan. Dosis
penyuntikkan adalah 0,5 cc/kg berat induk. Penyuntikkan di lakukan intra
muscular satu kali bersamaan antara induk jantan dan betina.
- Induk yang telah di suntik dicampurkan di bak terpal dengan
perbandingan 1 betina : 1 jantan.
- Pengamatan proses pemijahan dilakukan setiap hari, dimana bila telah
terjadi pemijahan maka telur akan kelihatan mengapung di permukaan air.
- Pemijahan semi buatan menggunakan 3 buah bak terpal
4. Penetasan, pemeliharaan larva dan pendederan
- Telur ikan gabus yang telah di buahi akan berwarna bening sedangkan
yang tidak dibuahi berwarna putih, telur mengapung di permukaan air.
- Telur akan menetas 24 – 38 jam setelah di keluarkan.
- Pemeliharaan larva di lakukan di bak pemijahan bersama dengan
induknya selama 1 bulan. Induk ikan gabus memiliki sifat sebagai
pengasuh anaknya sehingga induk tidak perlu dipindah ke wadah
pemeliharaan induk.
- Pemberian pakan buatan berupa pakan pelet tepung protein 40% di
lakukan setelah umur benih seminggu dengan dosis adlibitum.
- Pemeliharaan larva di bak terpal di lakukan selama ± 1 bulan sampai
benih berukuran 3 – 5 cm/ekor.
- Pendederan benih dilakukan dalam hapa yang dipasang di kolam selama 2
bulan sampai benih berukuran 8 – 12 cm/ekor.

Teknologi Pembesaran
1. Persiapan Kolam
- Sebelum ikan ditebar di kolam sebelumnya telah dilakukan persiapan
kolam selama 1 minggu meliputi penyedotan air dan penyedotan lumpur
serta pembersihan kolam.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 218


- Setelah 1–2 hari maka dilakukan persiapan kolam diberi kapur dosis 300
g/m2 dan pupuk dengan dosis 350 kg/m2.
- Pasang hapa/jaring tancap dengan penutup diatasnya untuk menghindari
lolosnya ikan gabus yang dipelihara.
- Setelah 1 minggu dilakukan pemeriksaan pH air, apabila pH air sudah
mencapai 5 dan plankton sudah tumbuh maka benih ikan siap ditebar.
2. Penebaran di Kolam
- Benih ikan gabus yang dipergunakan berukuran berat rata-rata 5,5 – 8,3
g/ekor dan panjang rata-rata 5–8 cm/ekor dengan perlakuan padat tebar 25
ekor/m2 dan 30 ekor/m2, sebelum ditebar terlebih dahulu didisenfektan
dengan larutan PK 1 %.
- Penebaran kedalam kolam dilakukan pada pagi hari.
3. Pemeliharaan di Kolam
- Benih ikan gabus yang dibesarkan di kolam diberi pakan pellet sebanyak
5% dari berat tubuh ikan dengan frekuensi 3 kali sehari (pagi, siang dan
sore hari). Pellet komersil yang digunakan dengan protein 30-40%. Untuk
bulan pertama dan kedua pemeliharaan menggunakan pellet udang
(tepung) dengan protein 40%, bulan selanjutnya menggunakan pakan
pellet apung dengan protein 30%.
- Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ikan gabus yang dipelihara
dalam kolam dan parameter lainnya maka setiap 1 bulan sekali dilakukan
sampling.
- Sampling dilakukan sebanyak 10% dari populasi ikan per hapa yang
dilakukan secara acak. Kontrol kualitas air dilakukan untuk melihat
fluktuasi kualitas air media pemeliharaan.
- Koleksi data pertumbuhan dilakukan untuk mendeteksi pertumbuhan,
panjang, berat, serta Kelangsungan hidup masing-masing populasi ikan.

Parameter Yang Diamati


a. Pertumbuhan Mutlak Individu
Dinyatakan dalam pertambahan berat rata-rata (gram) dan pertambahan
panjang baku rata-rata (cm).
b. Laju pertumbuhan spesifik (Specific Growth Rate)
Untuk menentukan laju pertumbuhan spesifik sesuai dengan Steffens (1989):
SGR = lnWt – lnWo x 100 %
t1 – t0
Dimana :
SGR = Laju pertumbuhan berat spesifik (% perhari)
Wt = Bobot biomassa pada akhir penelitian (gram)
Wo = Bobot biomassa pada awal penelitian (gram)
t1 = Waktu akhir penelitian (hari)
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 219
t0 = Waktu awal penelitian (hari)

c. Kelangsungan hidup
Prosentase dari jumlah ikan yang hidup dari populasi ikan selama masa
pemeliharaan. Kelangsungan hidup ikan uji diperoleh dengan mengikuti
rumus Effendie (1979) :

Kelangsungan hidup (SR) = Nt x 100 %


No
Dimana : SR = (%)
Nt = Jumlah ikan hidupi pada akhir pemeliharaan
No = Jumlah ikan hidup pada awal pemeliharaan
d. Konversi pakan
Yaitu nilai ubah dari jumlah makanan yang diberikan selama kegiatan yang
dihitung berdasarkan rumus :

K = F_____ x 100 %
(Wt + D) – Wo

Keterangan : K = Konversi makanan


F = Jumlah makanan yang diberikan selama masa
pemeliharaan (gram)
Wt = Berat akhir interval (gram)
Wo = Berat awal interval (gram)
D = Berat ikan uji yang mati (gram)

e. Kualitas Air
Kualitas air yan diamati dalam kegiatan ini meliputi pH, suhu, oksigen
terlarut (DO) dan amoniak (NH3). Pengamatan kualitas air dilakukan setiap
minggu sekali selama kegiatan pemeliharaan ikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pembenihan
a. Pemijahan alami
Pemijahan alami meliputi kegiatan pemilihan induk matang gonad,
pencampuran induk, proses pemijahan, dan penetasan telur. Pemilihan
induk dilakukan dengan melihat ciri-ciri visual induk jantan dan betina yang
telah matang gonad, kemudian induk yang matang gonad dikumpulkan
dalam baskom. Pencampuran induk dilakukan dengan memasukkan induk
pada tiap bak pemijahan sebanyak satu pasang induk jantan dan betina.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 220
Proses pemijahan alami biasanya akan terjadi selama 1-2 minggu. Setiap
hari dilakukan pemeriksaan di bak pemijahan, apabila induk telah memijah
akan terdapat telur di permukaan air. Selanjutnya telur ikan gabus dibiarkan
sampai menetas di bak pemijahan selama 24-38 jam.

b. Pemijahan Semi Buatan


Pemijahan semi buatan meliputi kegiatan pemilihan induk matang gonad,
penyuntikan hormon, pencampuran induk, proses pemijahan, dan penetasan
telur. Pemilihan induk dilakukan dengan melihat ciri-ciri visual induk jantan
dan betina yang telah matang gonad, kemudian induk yang matang gonad
dikumpulkan dalam baskom. Penyuntikan ovaprim dilakukan secara
intramuskular terhadap induk jantan dan betina sebanyak 1 kali penyuntikan
dengan dosis 0,5 ml/kg. Selanjutnya dilakukan pencampuran induk dengan
memasukkan induk jantan dan betina hasil seleksi pada tiap bak pemijahan
sebanyak satu pasang induk jantan dan betina. Proses pemijahan biasanya
akan terjadi selama 1-2 minggu. Setiap hari dilakukan pemeriksaan di bak
pemijahan apabila induk telah memijah akan terdapat telur dipermukaan air.
Selanjutnya telur ikan gabus yang telah keluar dibiarkan sampai menetas di
bak pemijahan selama 24-38 jam.
Dari hasil diatas diketahui bahwa pemijahan alami dan semi buatan telah
berhasil dilakukan dengan nilai HR diatas 80%, sedangkan pemeliharaan
larva ikan gabus selama 1 bulan diperoleh SR benih berkisar antara 5,8% –
20,6%. Rendahnya nilai SR benih diduga disebabkan karena pakan alami
yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup larva,
mengingat larva hanya diberikan pakan buatan berupa pelet berbentuk
tepung. Penyesuaian larva terhadap pakan buatan yang diberikan bisa juga
menyebabkan rendahnya kelangsungan hidup larva. Selain itu, sifat
kanibalisme yang ada pada benih ikan gabus dan perubahan kondisi kualitas
air dan lingkungan pada media pemeliharaan diduga dapat juga
menyebabkan kematian pada larva maupun benih ikan gabus.

Pendederan dalam hapa di kolam


Larva ikan gabus dipelihara sampai menjadi benih sampai berukuran 3-5 cm
di bak terpal bersama dengan induknya yang bersifat mengasuh anaknya
selama 1 bulan dengan diberi pakan pelet tepung dengan kandungan protein
40%. Setelah itu dilakukan pendederan dengan menggunakan wadah hapa
ukuran 2 x 1 x 0,8 m3 yang dipasang di kolam. Padat tebar benih
400ekor/hapadan 600ekor/hapa dengan ukuran awal 3-5 cm. Setiap
seminggu dilakukan penjarangan (grading) dengan cara menyeleksi benih
yang berukuran besar dan kecil, kemudian dipisahkan dalam hapa yang
berbeda. Pertumbuhan ikan gabus relatif lambat; memerlukan waktu selama
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 221
1 bulan dari ukuran 3-5 cm sampai mencapai ukuran panjang 5-8 cm dan
selama 2 bulan mulai dari ukuran 3-5 cm sampai mencapai ukuran panjang
8-12 cm.
Pada penebaran 600 ekor/hapa kelangsungan hidup benih ikan gabus selama
pendederan kelangsungan hidup sebesar 43,42 ± 3,62%, sedangkan pada
penebaran benih 400 ekor/hapa kelangsungan hidup rata-rata 73± 3,15%.
Perbedaan kelangsungan hidup (SR) ini, diduga akibat perbedaan padat
tebar yang mengakibatkan pertumbuhan yang tidak seragam (perbedaan
ukuran tubuh), sehingga memungkinkan terjadinya kanibalisme. Karenanya,
perlu dilakukan penyortiran dan penjarangan padat tebar pada umur 1
sampai 2 bulan pemeliharaan untuk menghindari kanibalisme pada ikan
gabus karena ukuran yang berbeda.

Pembesaran
Pertumbuhan berat rerata ikan gabus selama pemeliharaan 7 bulan pada
padat tebar 25 eko//mr 2 sebesar 276 ± 22,31 g/ekor lebih tinggi dibanding
padat tebar 30 eko/m2 sebesar 259 ± 26,52 g/ekor walaupun selisihnya tidak
jauh berbeda. Hasil pertumbuhan ikan gabus ini cenderung lambat karena
ikan gabus sepenuhnya diberikan pakan pellet apung dengan kandungan
protein 30-32% Pemberian pakan buatan (pellet) diduga belum sepenuhnya
memenuhi kebutuhan energy pada ikan gabus agar dapat tumbuh dengan
optimal. Namun demikian hasil pertumbuhan ini dapat menjadi dasar acuan
dimana ikan gabus dapat tumbuh dengan pemberian pakan pellet komersil
tanpa pakan rucah/segar. Menurut Kottelat, et al. (1993) bahwa kecepatan
pertumbuhan ikan yang ideal sangat tergantung pada padat tebar, pakan
yang cukup dan diminati ikan tersebut serta kualitas air yang baik.
Sedangkan menurut Suhaili Asnawi, 1986kecepatan pertumbuhan sangat
tergantung kepada jumlah makanan yang diberikan, ruang, suhu, kedalaman
air, kandungan oksigen dalam air dan parameter kualitas air lainnya.
Makanan yang didapat oleh ikan terutama dimanfaatkan untuk pergerakan,
memulihkan organ tubuh yang rusak, setelah itu kelebihan makanan yang
didapat digunakan untuk pertumbuhan Ikan dalam komposisi zat gizinya
juga membutuhkan mineral dalam campuran pakannya agar ikan dapat
tumbuh dengan baik. Mineral merupakan unsur anorganik yang dibutuhkan
oleh organisme perairan (ikan) untuk proses hidupnya secara normal. Ikan
sebagai organisme air mempunyai kemampuan untuk menyerap beberapa
unsur anorganik ini, tidak hanya dari makanannya saja tetapi juga dari
lingkungan.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 222


Laju Pertumbuhan Spesifik (%bb/hari)
Laju pertumbuhan spesifik ikan gabus dengan padat tebar 25 ekor/m2
sebesar 5,62 ± 0,22 %/harilebih tinggi dari laju pertumbuhan spesifik ikan
gabus dengan padat tebar 30 ekor/m2 sebesar 5,55 ± 0,26 %/hari. Namun selisih
perbedaan laju pertumbuhan spesifik pada kedua perlakuan tidak jauh berbeda.

Kelangsungan hidup
Tingkat kelangsungan hidup rerata ikan gabus selama masa
pemeliharaan pada kedua perlakuan tergolong baik yaitu sebesar 77,5% dan
73%. Kematian ikan gabus diduga disebabkan sifat kanibal pada ikan gabus
pada masa awal pemeliharaan bulan ke-1 sampai bulan ke-2 cenderung lebih
kuat. Selain itu juga karena tidak dilakukan penyortiran/grading ikan gabus
ukuran besar denganukuran yang lebih kecil, sehingga yang lebih kecil
dimangsa oleh ikan gabus yang lebih besar. Dari data lapangan yang berasal
dari pembudidaya mengenai kelangsungan hidup ikan gabus yang dipelihara di
kolam selama 10 bulan dengan pemberian pakan buatan mencapai 70%.

Konversi Makanan
Konversi pakan rerataikan gabus dengan padat tebar 25 ekor/m2 sebesar
2,11 sedangkan konversi pakanrerata ikan gabus dengan padat tebar 30 ekor/m2
berkisar antara 2,03. Menurut Mudjiman (1983), nilai konversi makanan untuk
ikan berkisar dari 1,5 – 8,5. Jika dibandingkan dengan nilai konversi makanan
hasil kegiatan selama masa pemeliharaan, maka nilai konversi makanan dapat
dikatakan baik hal ini dikarenakan ikan tersebut optimal dalam memanfaatkan
makanan yang diberikan. Pakan yang digunakan adalah pakan pellet apung
komersial dengan protein30–32 %.

Pengamatan Kualitas Air


Data parameter kualitas air kimia dan fisika pada media pemeliharaan ikan
gabus disajikan pada Tabel 8. berikut :
Tabel 8. Parameter sifat kimia dan fisika air media pemeliharaan ikan gabus
Parameter Nilai
Suhu 25-32 ˚C
Kecerahan 25-30 cm
Oksigen terlarut >3 mg/L (ppm)
pH air 4–5
Amonia 0,0 – 0,02 mg/Lmax (ppm)
NO2 <1 mg/L (ppm)

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 223


Kisaran kualitas air diatas masih berada dalam kisaran yang layak untuk
mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan gabus. Namun
perubahan kualitas air terutama pH di lahan gambut khususnya saat musim
hujan yang terjadi secara mendadak dapat menyebabkanhilangnya nafsu makan
pada ikan sehingga dapat menyebabkan stres dan kematian pada ikan. Hal ini
perlu diantisipasi dengan cara pengukuran kualitas air terutama pH secara rutin
dan melakukan pengapuran kolam dengan kapur tohor untuk menjaga
kestabilan pH air kolam.

Pengamatan Terhadap Penyakit (Parasit, Jamur, dan Bakteri)


Pengamatan terhadap penyakit (parasit, jamur, dan bakteri) dilakukan
pada saat benih ikan gabus yang dibesarkan di hapa hijau dan jaring di kolam
lahan gambut. Pengamatan ini dimaksudkan untuk mengetahui jenis parasit,
jamur, dan bakteri yang menyerang dan untuk mengambil tindakan pencegahan
maupun pengobatannya. Pengamatan tersebut dilakukan secara mikroskopis
pada permukaan dan organ tubuh. Secara lengkap hasil pemeriksaan penyakit
pada ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 9. berikut ini.

Tabel 9. Hasil pemeriksaan penyakit pada ikan gabus (Channa striata)


Jenis penyakit yang ditemukan
Ukuran
Keterangan
ikan
Parasit Jamur Bakteri
Benih Ichthyoptir Oodinium Aeromonas Musim hujan
ius sp., Achlya hydrophila dan panas
multifilis sp.
/White
spot,
Trichodina
sp.
Induk - - A. hydrophila; Musim hujan
Enterobacter sp. dan panas

Analisis Usaha
Analisis usaha kegiatan pembenihan dan pembesaran ikan gabus di
kolam bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha yang dilakukan
berdasarkan perhitungan ekonomi serta untuk memperbaiki dan meningkatkan
keuntungan dalam melakukan usaha budidaya. Untuk memperoleh keuntungan
yang besar dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi atau
menaikkan harga jual. Biaya produksi merupakan modal yang harus
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 224
dikeluarkan untuk melakukan proses produksi usaha budidaya mulai persiapan
awal sampai akhir pemeliharaan (panen). Biaya produksi ini terdiri dari 2
macam yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang
digunakan tidak habis dalam satu periode/siklus produksi, biasanya meliputi
biaya penyusutan investasi dan bunga investasi. Biaya variabel adalah biaya
yang digunakan dalam satu periode/siklus produksi, biasanya meliputi biaya
pakan, benih dan upah pekerja. Untuk perhitungan Analisis biaya yang
dilakukan meliputi Break Event Point (BEP), Return of Investment (ROI) dan
Revenue Cost Ratio (R/C Ratio).
Perhitungan Analisis usaha pembenihan dan pembesaran ikan gabus
dalam kolam selama 7 bulan dengan estimasi menggunakan pakan buatan
komersial secara lengkap dapat dilihat sebagai berikut :

Analisa usaha pembenihan ikan gabus


Pembenihan ikan gabus di bak terpal sebanyak 1 unit per siklus (2 bulan).
A. Biaya Investasi
- Pembuatan bak terpal 1 unit 4x2x1,5 m Rp. 1.500.000,-
- Jumlah Investasi Rp. 1.500.000,-
B. Biaya Operasional
1. Biaya Tetap
- Bunga Investasi 20 % Rp. 300.000,-
- Penyusutan per tahun 10 % Rp. 150.000,-
Jumlah Rp 450.000,-
2. Biaya Variabel
- Induk 2 pasang (300 g) 4 ekor @ Rp. 25.000,- Rp. 100.000,-
- Pakan induk pelet apung @ Rp. 300.000,- Rp. 300.000,-
- Pakan benih pelet apung @ Rp. 150.000,- Rp. 150.000,-
- Hormon ovaprim 1 botol + peralatan suntik Rp. 250.000
- Hapa hijau 2 x 1 x 1 m 2 unit @ 250.000 Rp. 500.000,-
- Pupuk/Probiotik Rp. 100.000,-
- Tenaga kerja Rp. 600.000,-
Jumlah Rp. 2.000.000,-
Total biaya operasional (a + b) Rp. 2.450.000,-
C. Pendapatan
- Jumlah benih ikan 5.000 ekor/induk dengan SR 70 % dan ukuran 5 – 8
cm/ekor;
- Harga jual benih ikan Rp. 800,- /ekor;
- Pendapatan persiklus (2 bulan)
= 70 % x 5.000 x 2 induk x Rp. 800,-
= Rp. 5.600.000,-

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 225


D. Keuntungan Bersih
- Pendapatan – Total Biaya Operasional
= Rp. 5.600.000,- - Rp. 2.450.000,-
= Rp. 3.150.000,-
E. Biaya Produksi per ekor ikan
- Biaya Operasional
Jumlah Ikan
= Rp. 2.450.000,-
7.000
= Rp. 350,-
F. Revenue Cost (R/C) Ratio
- Pendapatan
Biaya Operasional
= Rp. 5.600.000,-
Rp. 2.450.000,-
= 2,29 > 1 (Layak untuk dilakukan)
G. Payback Period
- Biaya Investasi
Keuntungan Bersih
= Rp. 1.500.000,-
3.150.000
= 0,47 tahun
Jadi rata-rata pendapatan bersih perbulan sekitar Rp. 1.575.000,- /bak.

Analisa usaha pembesaran ikan gabus


Analisa usaha pembesaran ikan gabus di kolam dengan 1 unit kolam per siklus
(7 bulan).
1. Biaya Investasi
- Pembuatan kolam 1 unit 10x8x1,5 m Rp. 2.000.000,-
- Jumlah Investasi Rp. 2.000.000,-
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
- Bunga Investasi 20 % Rp. 400.000,-
- Penyusutan per tahun 10 % Rp. 200.000,-
Jumlah Rp 600.000,-
b. Biaya Variabel
- Benih (5-8 cm) 2.000 ekor @ Rp. 800,- Rp. 1.600.000,-
- Pakan 712,5 kg (FCR 2,0) @ Rp. 8.000,- Rp. 5.700.000,-
- Kapur 25 kg @ Rp. 1.000,- Rp. 25.000,-
- Pupuk 25 kg @ Rp. 1.000,- Rp. 25.000,-
- Tenaga kerja @ Rp. 150.000,- Rp. 1.050.000,-
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 226
Jumlah Rp. 8.400.000,-
Total biaya operasional (a + b) Rp. 9.000.000,-
3. Pendapatan
- Jumlah ikan 2.000 ekor dengan SR 70 % dan ukuran 250 g/ekor;
- Harga jual ikan Rp. 40.000,- /kg;
- Pendapatan persiklus (7 bulan)
= 70 % x 2.000 x 250 g x Rp. 40.000,-
= Rp. 14.000.000,-
4. Keuntungan Bersih
- Pendapatan – Total Biaya Operasional
= Rp.14.000.000,- - Rp. 9.000.000,-
= Rp. 5.000.000,-
5. Biaya Produksi per kg daging ikan
- Biaya Operasional
Jumlah Ikan x Berat Ikan
= Rp. 9.000.000,-
1400 x 250 g
= Rp. 25.700,-
6. Revenue Cost Ratio (rasio R/C)
- Pendapatan
Biaya Operasional
= Rp. 14.000.000,-
Rp. 9.000.000,-
= 1,56 > 1 (Layak untuk dilakukan)
7. Payback Period
- Biaya Investasi
Keuntungan Bersih
= Rp. 2.000.000,-
Rp. 5.000.000,-
= 0,4 siklus (3 bulan)
Jadi rata-rata pendapatan bersih perbulan sekitar Rp. 700.000,- /kolam.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Potensi dan prospek budidaya ikan gabus sangat terbuka dengan keberhasilan
penerapan teknologi pembenihan dan pembesaran ikan gabus.
2. Pembenihan ikan gabus dapat dilakukan secara alami dan semi-buatan dan
pembesaran ikan gabus dapat dilakukan di kolam dengan pemberian pakan
buatan (pellet komersial).

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 227


3. Dari analisis usaha pembenihan ikan gabus diperoleh keuntungan sebesar Rp.
3.150.000,-/kolam/siklus dan nilai rasio R/C sebesar 2,29 sehingga usaha
budidaya ikan di kolam lahan gambut layak dilakukan.
4. Dari analisis usaha pembesaran ikan gabus dikolam diperoleh keuntungan
sebesar Rp. 5.000.000,-/kolam/siklus dan nilai rasio R/C sebesar 1,56 sehingga
usaha budidaya ikan di kolam lahan gambut layak dilakukan.

Saran
1. Perlu dilakukan penyortiran dan pengurangan padat tebar (grading) terutama
pada saat awal pemeliharaan umur 1 sampai 2 bulan untuk menghindari kanibal
pada ikan gabus karena ukuran yang berbeda.
2. Perlu dilakukan pembuatan pakan ikan gabus dengan pengayaan protein untuk
memacu pertumbuhan ikan gabus.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mudjiman, 1985. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. 190


Halaman
Effendi, M.I, 1978. Biologi Perikanan. Study Natural Hisory Bagian I. Fakultas
Perikanan IPB, Bogor. 105 halaman.
Huet, M. 1975. Tex Books Of Fish Culture. Breeding and Cultivation of Fish.
Fishing New. London. 463 halaman.
Kartamihardja, E.S. 2002. Pembukaan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah :
Mega Proyek Pemusnahan Sumber Daya Perikanan?. Makalah
Falsafah Sains (Pps 702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian
Bogor.
Kordi, K.M.G., 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Cetakan
Pertama. Rineka Cipta dan Bina Adiaksara. Jakarta. 194 halaman.
Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra. 2005. Panduan
Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands
International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.
Bogor. Indonesia.
Saanin, 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Cetakan ke 2. Bina Cipta.
Bogor. 503 Halaman
Suhaili Asmawi, 1983. Pemeliharaan Ikan dalam Karamba. Gramedia, Jakarta.
82 Halaman.
Tabloid KONTAN, 2012. Bisnis Gabus Terbilang Bagus. Edisi 2 – 8 Januari
2012. 40 Halaman.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 228


DAYA HAMBAT HABBATUSSAUDA (Nigella sativa) DAN
PROPOLIS TERHADAP AQUABACTERIA

Chairin Sofia, Sukarni, Rice Novrizah

ABSTRAK

Habatasauda atau jintan hitam dikenal sebagai penawar dari segala


macam penyakit sejak dulu.. Selain nutrisi, habatasauda juga
mengandung minyak-minyak esensial/ atsiri atau volatil yang berfungsi
sebagai antibakteri, fungisida. Fitosterol, alkoloid seperti nigelleine dan
nigellamin), arginin, karotin, dan zat gizi yang penting untuk
meningkatkan kekebalan tubuh, bioregulator, antihistamin, dan penetral
racun. Sedangkan kandungan bioflavonoid pada propolis mampu
menghancurkan banyak bakteri yang resisten terhadap anti biotik
sintesis. Kandungan-kandungan inilah yang menjadi menjadi dasar uji
coba habbatussauda dan propolis sebagai penghambat bakteri-bakteri
akuakultur (aquabacteria). Bakteri- bakteri akuakultur yang diujicobakan
antara lain : V.harveyi, V.parahaemolyticus, E.coli, Salmonella,
Pseudomonas dan Aeromonas yang merupakan koleksi isolat
Laboratorium Mikrobiologi BPBAP Ujung Batee. Metode uji yang
digunakan adalah : antibiogram Kirby Bauer dan ALT. Pada uji
antibiogram, masing- masing suspensi bakteri uji dengan kepadatan
sama yaitu 3 x 108 CFU/mL dioleskan secara merata pada lempengan
media Mueller Hinton Agar, kemudian ditanamkan cakram
habbatussauda (sediaan kapsul minyak dan ekstrak serbuk), propolis dan
antibiotik sintetis ((Ampicillin 10 µg, Novobiocin 30 µg, Polymixin B
300 units). Sedangkan pada metode ALT, masing- masing isolat bakteri
dibuat suspensi dengan kepadatan 3 x 107 CFU/mL, kemudian dikultur
pada test tube berisi Nutrient Broth dan diberi perlakuan pemberian
propolis 1%, habbatussauda 1% serta kontrol. Hasil uji antibiogram
Kirby Bauer menunjukkan : seluruh isolat aquabakteria memiliki zona
hambat kurang dari 10 mm atau resisten terhadap antibiotik sintetis.
Sedangkan daya hambat habbatussauda sangat besar terhadap isolat
Salmonella (84 mm dan 21 mm) dan Vibrio harveyi (60 mm), terhadap
Vibrio parahaemolyticus termasuk kelompok sedang/ intermediate (15
mm). Daya hambat propolis sangat kecil untuk seluruh isolat yaitu
antara 0 hingga 6 mm. Hasil uji metode ALT menunjukkan bahwa Total
Bakteri Umum pada perlakuan propolis dan habbatassauda menurun
secara nyata dibanding kontrol.Dari kedua metode diatas dapat
disimpulkan bahwa habatasauda efektif menghambat Salmonella dan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 229
Vibrio harveyi , sedangkan bersama-sama propolis secara nyata dapat
menurunkan kelimpahan aquabakteria patogen.

Kata kunci : habbatussauda, Nigella sativa, propolis, V.harveyi,


V.parahaemolyticus, E.coli, Salmonella, Pseudomonas, Aeromonas,
antibiogram Kirby Bauer, ALT

PENDAHULUAN
Beberapa jenis bakteri patogen yang sering menginfeksi komoditas
budidaya air payau antara lain : Aeromonas hydrophila ( penyebab penyakit
merah atau Motil Aeromonas Septicemia, umumnya pada ikan air tawar),
Pseudomonas ( penyebab penyakit Pseudomoniasis (Bacterial fin rot/ tail rot
pada ikan tawar,payau dan laut), Vibrio harveyi dan Vibrio parahaemolyticus
(penyebab Vibriosis pada udang ). Sedangkan Salmonella dan E.coli
merupakan kelompok Enterobacter yang sering menjadi indikator lingkungan
dengan sanitasi buruk. Kemunculan bakteri ini pada air media budidaya udang
dan ikan mengindikasikan cara budidaya yang kurang baik sehingga memicu
munculnya penyakit pada udang.
Habatasauda atau jintan hitam dikenal sebagai penawar dari segala
macam penyakit sejak dulu.. Selain nutrisi, habatasauda juga mengandung
minyak-minyak esensial/ atsiri atau volatil yang berfungsi sebagai antibakteri,
fungisida. Fitosterol, alkoloid seperti nigelleine dan nigellamin), arginin,
karotin, dan zat gizi yang penting untuk meningkatkan kekebalan tubuh,
bioregulator, antihistamin, dan penetral racun. Sedangkan kandungan
bioflavonoid pada propolis mampu menghancurkan banyak bakteri yang
resisten terhadap anti biotik sintesis
Kandungan-kandungan inilah yang menjadi menjadi dasar uji coba
habbatussauda dan propolis sebagai penghambat bakteri-bakteri patogen pada
akuakultur (aquabacteria)
Studi ini bertujuan untuk melihat daya hambat habbatussauda dan
propolis terhadap terhadap beberapa bakteri patogen akuakultur seperti: Vibrio
harveyi, V.parahaemolyticus, E.coli, Salmonella, Pseudomonas dan
Aeromonas. Studi ini dilaksanakan pada bulan Januari - Juli Tahun 2014 di Lab
Mikrobiologi BPBAP Ujung Batee.

METODOLOGI
Isolat Aquabacteria
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 230
Isolat bakteri Vibrio harveyi, V.parahaemolyticus, E.coli, Salmonella,
Pseudomonas, Aeromonas yang digunakan dalam studi ini berasal dari koleksi
isolat Laboratorium Ujung Batee. Isolat dimudakan pada media Nutrient Agar
dengan pelarut NaCl fisiologis dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 28 °C.

Tabel 1. Jenis- jenis aquabakteria yang digunakan

No Jenis Bakteri Asal isolat Sifat


1 Vibrio harveyi Udang Pisang Gram negatif, batang, pendek,
berpendar, koloni kuning (Y) pada
media TCBS, oksidase positif, tidak
dapat tumbuh pada NaCl 0 %, reaksi
VP negatif, ONPG negatif, penyebab
Vibriosis pada udang
2 Vibrio Udang windu Gram negatif, batang, pendek, koloni
parahaemolyticus kuning (G) pada media TCBS, tidak
dapat tumbuh pada NaCl 0 %, reaksi
VP negatif, ONPG negatif, penyebab
Vibriosis pada udang
3 Aeromonas Udang Pisang Gram negatif, batang, pendek, koloni
kuning (Y) media GSP, penyebab
penyakit merah atau Motil
Aeromonas Septicemia, umumnya
pada ikan air tawar
4 Pseudomonas Udang Pisang Gram negatif, batang, pendek, koloni
ungu (P) media GSP, penyebab
penyakit Pseudomoniasis (Bacterial
fin rot/ tail rot pada ikan tawar,payau
dan laut)
5 E.coli Udang Pisang Gram negatif, batang, pendek, koloni
hitam (B) media EMBA,
Enterobacter
6 Salmonella Udang Pisang Gram negatif, batang, pendek, tdk
mfermentasikan sukrosa,
menghasilkan gas H2S, Enterobacter

Sebelum digunakan, masing-masing isolat dibuat suspensi dengan kepadatan 3


x 108 CFU/mL menggunakan McFarland Turbidity Standard no 1.

Kirby Bauer Antibiogram

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 231


Masing- masing suspensi bakteri uji dengan kepadatan yang sama yaitu
3 x 108 CFU/mL dioleskan secara merata pada lempengan media Mueller
Hinton Agar, selanjutnya pada bagian permukaan diletakkan kertas cakram /
disc antibiotik yang akan diujikan, antara lain (Tabel 2) :

Tabel 2. Cakram / disc yang digunakan pada uji Antibiogram Kirby Bauer
No Cakram / disc Dosis Keterangan
1 Habbatussauda
(kapsul
minyak)
2 Habbatussauda
(ekstrak
serbuk)
3 Propolis
4 Ampicillin 10 g Oxoid
5 Novobiocin 30 g Unipath
6 Polymixin B 300 Limited,
units Besingstoke,
Hampshire,
UK

Kemudian diinkubasikan pada suhu 29 0C selama 24 jam. Tingkat


sensitivitas ditentukan melalui pengukuran zona penghambatan yang
diakibatkan oleh masing-masing antibiotik.

Angka Lempeng Total


Selain metode uji sensitivitas dengan Antibiogram Kirby Bauer, juga
dilakukan perhitungan jumlah bakteri patogen yang dikultur tanpa perlakuan
(habbatussauda/ propolis) dan dengan perlakuan. Hal ini berguna untuk melihat
dampak pemberian propolis/ habbatussauda terhadap pertumbuhan atau
kelimpahan bakteri patogen.
Masing- masing isolat bakteri dibuat suspensi dengan kepadatan 3 x 10 7
CFU/mL, kemudian dikultur pada test tube berisi Nutrient Broth. Tube
Kemudian diinkubasikan pada suhu 29 0C selama 24 jam.
Dengan metode ALT, hitung masing- masing jumlah kepadatan bakteri
pada setiap tube perlakuan (Tabel 3).

Tabel 3. Perlakuan Isolat Aquabakteria Pada Metode ALT


BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 232
Jumlah Perlakuan
No Isolat bakteri Awal
Kontrol Propolis Habbatussauda
(CFU/mL)
1 Aeromonas 3 x 107 - 1% 1%
2 E.coli 3 x 107 - 1% 1%
3 Vibrio 3 x 107 - 1% 1%
parahaemolyticus
4 Pseudomonas 3 x 107 - 1% 1%
5 Salmonella 3 x 107 - 1% 1%
6 Vibrio harveyi 6,66 x 109 - - 1%

HASIL DAN PEMBAHASAN


Uji Sensitivitas Antibiogram Kirby Bauer
Berikut hasil pengukuran zona hambat yang dihasilkan oleh tiap- tiap
isolat terhadap 5 jenis cakram uji (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil Pengamatan Zona Hambat Aquabacteria dengan kepadatan 3 x


108 CFU/mL terhadap cakram uji
Aquabacteria (mm)
N Perlakua V. Aerom E.c V.parahaemo Pseudom Salmo
o n harv onas oli lyticus onas nella
eyi
1 Ampicilli
0 0 0 0 0 2
n 10 µg
2 Novobioc
4 3 0 9 0 3
in 30 µg
3 Polymixi
n B 300 7 10 8 4 3 15
units
4 Propolis - 1 1 2 0 6
5 Habbatus
sauda
60 12 1 15 5 84
(kapsul
minyak)
6 Habbatus
sauda
- 14 2 15 6 21
(ekstrak
serbuk)

Keterangan : 1 – 11 mm = Resisten
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 233
12 – 17 mm = Intermediate
> 18 mm = Sensisitive

Dari Tabel 4, diketahui bahwa seluruh isolat aquabakteria memiliki


zona hambat kurang dari 10 mm atau resisten terhadap antibiotik sintetis
(Ampicillin 10 µg, Novobiocin 30 µg, Polymixin B 300 units). Isolat E.coli
dan Pseudomonas telah resisten terhadap antibiotik sintetis, habbatussauda
maupun propolis. Daya hambat propolis juga sangat kecil untuk seluruh isolat
yaitu antara 0 hingga 6 mm. Sedangkan daya hambat habbatussauda sangat
besar (84 mm dan 21 mm) terhadap isolat Salmonella dan Vibrio harveyi (60
mm). Daya hambat habbatussauda termasuk kelompok sedang terhadap Vibrio
parahaemolyticus ( 15 mm).

Gambar 2. Daya hambat habbatussauda terhadap


Salmonella (kiri), antibiotik sintetis (tengah) dan
propolis (kanan)

Angka Lempeng Total

Berikut hasil perhitungan kepadatan masing-masing isolat bakteri


dengan metode ALT konvensional setelah 24 jam diberi perlakuan.

Tabel 5. Hasil Pengamatan Angka Lempeng Total Yang Diberi Perlakuan


Setelah 24 Jam
Jumlah Jumlah Bakteri Setelah 24 jam
awal (0 (CFU/mL)
No Aquabacteria jam) Perlakuan
dalam
Kontrol Propolis Habbatussauda
CFU/mL
7
1 Aeromonas 3 x 10 3 x 109 7 x 106 8,9 x 105
2 E.coli 3,17 x 2,02 x 2,38 x 109
9 9
10 10
3 Vibrio 3 x 109 6,1 x 106 3,4 x 105
parahaemolyticus
4 Pseudomonas 2,7 x 109 8 x 106 7,8 x 105
9 6
5 Salmonella 2,4 x 10 5,2 x 10 4,2 x 104
8
3 x 10 6,66 x - 1,2 x 106
6 Vibrio harveyi 9
10
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 234
1,33 x 6 x 108 3 x 108 -
107

Berbeda dengan hasil pada metode antibiogram Kirby Bauer, pada metode ALT
konvensional, lima isolat yang diberi perlakuan pemberian propolis dan
habbatussauda sebanyak 1 % mengalami jumlah penurunan kelimpahan bakteri
setelah 24 jam, kecuali pada isolat E.coli yang cenderung tidak mengalami
perbedaan hasil.

Analisa Data
Hasil perhitungan angka lempeng total diatas dibuat dalam nilai logaritma
untuk memudahkan analisa statisitik (Tabel 6)

Tabel 6. Logaritma Hasil Pengamatan Angka Lempeng Total Setelah 24 Jam


No Aquabacteria Logaritma Logaritma setelah perlakuan 24 jam
awal Kontrol Propolis Habbatussauda
1 Aeromonas 7,477 9,477 6,845 5,949
2 E.coli 7,477 9,501 9,305 9,376
3 Vibrio 7,477 9,477 6,785 5,531
parahaemolyticus
4 Pseudomonas 7,477 9,431 6,903 5,892
5 Salmonella 7,477 9,380 6,716 4,623
6 Vibrio harveyi 8, 477 9,823 - 6,079
Vibrio harveyi 7, 123 8,778 8,477 -

Dengan menggunakan analisa statistik Anova Faktor Tunggal, diketahui bahwa


daya hambat propolis dan habbatussauda untuk menurunkan jumlah
kelimpahan bakteri berbeda nyata dibanding kontrol (Tabel 7)

Tabel 7. Analisa Statistik Anova Faktor Tunggal


Analisa Kontrol Propolis Habbatussauda
deskriptif (a) (b) (b)

9,477 6,845 5,949


9,501 9,305 9,376
9,477 6,785 5,531
9,431 6,903 5,892
9,38 6,716 4,623
Rata-rata 9,4532 7,3108 6,2742
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 235
SD 0,048137 1,116955 1,813270719
CV 1% 15% 29%

Kesimpulan
Kesimpulan dari studi daya hambat habbatussauda dan propolis terhadap
aqua bakteria , yaitu :
- daya hambat habbatussauda sangat besar terhadap isolat Salmonella dan Vibrio
harveyi, dan sedang/intermediate terhadap Vibrio parahaemolyticus
- Isolat E.coli dan Pseudomonas telah resisten terhadap antibiotik sintetis,
habbatussauda maupun propolis
- seluruh isolat aquabakteria resisten terhadap antibiotik sintetis (Ampicillin 10
µg, Novobiocin 30 µg, Polymixin B 300 units)
- pengaruh propolis dan habbatussauda untuk menurunkan kelimpahan
aquabakteria patogen berbeda secara signifikan dibanding kontrol

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Anna H,MP. Apresiasi Diagnosis HPIK Bakteri SKI Kelas I


Tabing Padang, Makalah.2005
Chong ,YC and Chao,TM. Common Diseases of Marine Foodfish. Fisheries
Handbook no.2, 1986, Ministry Of National Development, Republic of
Singapore
Cowan, Steel‟s.1993. Manual For The Identification of Medical Bacteria.
3ed.Cambridge University Press
Frerichs, G.Nicolas and Millar, Stuart D. Manual For The Isolation and
Identification of Fish Bacterial Pathogens, Piscess Press,Stirling.
Holt, John G. The Shorter Bergey’s Manual Of Determinative Bacteriology,
8th ed, The William and Wilkin Company, Baltimore
Kelly MS, Florene C ; Hite, K.Eileen. Microbiology. 2nd ed, New York
Lay, Bibiana W. Analisis Mikroba Di Laboratorium, 1994, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Lightner, Donald V,Ph.D. A Handbook of Pathology and Diagnostic
Procedur For Diseases of Penaeid Shrimp. Departement of Veterinary
Science, University of Arizona, Arizona,USA
Sarono,Adi dkk, Deskripsi Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan
Bakteri, Buku 2,1993, Pusat Karantina Pertanian,Jakarta
Vandepitte,J and Verhaegen,J, et al. Basic Laboratory Prosedures In Clinical
Bacteriology. 2nd ed. 2003. World Health Organization, Geneva.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 236


PROSPEK MARIKULTUR IKAN RAMBEU ACEH (Charanx sp.)

Satria*1,Hamdani*, Ibnu Sahidhir*, Abidin Nur*


*Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee

ABSTRACT

Aceh Rambeu fish (Charanx sp) is well-known as fishing sport fish. The
fish often migrates to brackishwater ponds in schooling. Local fish
farmers recognize the fish as fast growing, voracious and bustle eating
fish. The natures make the fish appropriate for aquaculture
commodities. The research was conducted to 200 aceh rambeu fish
caught from brackishwater aquaculture pond in Aceh Besar. The wild
fry had weight average 13,8 gr and length 9,6 cm cultured in the tank
volume 200 m2. The fish was cultured for 203 days. Trash fish was fed at
satiation to the fish twice time a day. Water exchange was 100% in a
day. Underwater camera recording was conducted for several times to
reveal fish behavior in captivated area. In the last day, fish was
measured by weight and length; weight-length relationship and growth
rate were analyzed. The result reveals that length growth of the fish is
longer at younger age, showed by higher constant order. Accuracy of
weight-length relationship is higher when the two data is united i.e. y =
0.008x3.263 with level of significance 0,998. The formula shows that
length growth impacts to cubical weight growth. Average weight and
length at the end of research are 704,8 gr (range 600-900 gr) and 32,1
cm; average growth rate 25% per day or 102 gr per month (30 day).
Refer to fish farmer experience, in equal time, fish able to grow for more
than 1 kg. Feeding with fresh trash fish could improve the fish growth.
With this reference of excellence growth the fish has the potency for
brackishwater aquaculture species.

Keywords: Aceh rambeu fish (Charanx sp), growth, weight-length,

PENDAHULUAN
Ikan merupakan komoditas yang sangat disukai dan digemari oleh
masyarakat. bila dilihat dari sisi pasar ikan, selain mengandung gizi yang tinggi
ikan juga memiliki banyak pilihan rasa karena banyak jenisnya, dan tingginya
variasi segmen harga pasar terhadap ikan mulai dari ikan tuna hingga ikan teri,
wisata kuliner seafood, kolam pemancingan, restoran dan ikan asin sekalipun
sangat digemari. Hal ini menyebabkan konsumsi ikan sangat tinggi di

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 237


masyarakat. Namun kondisi pasar ikan hingga saat ini hasil perikanan dari
budidaya masih sangat sedikit, prosentase tertinggi masih sangat tergantung
dan didominasi dari hasil perikanan tangkap (nelayan). Padahal usaha
penangkapan sangat tergantung oleh musim dan hasil semakin menurun. Bila
dilihat dari sisi budidaya perikanan air payau banyak area lahan tambak yang
terbengkalai (idle), selain itu sebagian kondisi tambak dikelola bukan oleh
pemilik asli tambak karena pada komoditas tertentu nilai bagi hasil usaha
tambak rendah, padahal padat tebar tambak lebih luas dibanding kolam air
tawar. Di pasaran harga pakan terus meningkat, namun harga komoditas rata-
rata stagnan kecuali hari dan bulan tertentu seperti maulid, imlek, dll. Sehingga
disebagian masyarakat, tambak hanya menjadi penghasilan sampingan bukan
utama. Oleh karena itu diperlukan komoditas alternatif yang memiliki nilai jual
tidak murah dan tidak mahal tetapi terjangkau oleh daya beli masyarakat,
teknologi mudah diadopsi, cepat panen, mudah dipelihara oleh pembudidaya,
perputaran uang cepat, tahan terhadap penyakit dan sangat menguntungkan bila
dijadikan sebuah usaha pertambakan.
Ikan Rambeu Aceh (Charanx sp) merupakan ikan olahraga pancing
yang terkenal dikalangan para hobiis pancing. Migrasi ikan ini dari benih
hingga ukuran empat jari tangan mulai dari muara hingga ke tambak-tambak
payau sering terjadi secara schooling. Petambak lokal mengenal ikan ini
sebagai ikan yang tumbuh cepat, rakus, dan pemakan hiruk pikuk dalam
gerombolan, mirip seperti piranha. Sifat-sifat tersebut memungkinkan bagi
spesies ini untuk menjadi alternatif komoditas perikanan budidaya air payau.

METODOLOGI
Prosedur Pemeliharaan
Pada kegiatan ini dilakukan pembesaran terhadap 200 benih ikan
rambeu alam yang diambil dari tambak air payau di Aceh Besar dengan kondisi
benih tidak boleh luka dan cacat. Benih diadaptasikan pada lingkungan
setempatsebelumditebardanpenebarandilakukanpadapagi, sore atau malam
hari. Benih ikan rambeu terlebih dahulu dilakukan pemeliharaan awal selama
tujuh hari baru dilakukan penebaran benih sesuai dengan jumlah benih yang
sehat (hidup). Benih yang berukuran lebih kecil dipelihara dalam jaring
penampungan untuk dipacu pertumbuhan agar seragam dan kemudian
dipelihara dalam bak bulat bervolume 200 m2. Pakan yangdiberikan berupa
cincanganikanrucahdan diberikan dengan metode at satiation (sampai
kenyang), frekuensi pemberian pakan dua kalisehari (pagi dan sore).
Pemeliharaan dilakukan selama 203 hari.
Pada saat kondisi air pemeliharaan mulai mengeluarkan gelembung
busa yang tidak mudah pecah dipermukaan air, maka dilakukan pergantian air
sebanyak 100% dari volume air di dalam bak. Selama beberapa kali dilakukan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 238
perekaman bawah air untuk memahami tingkah laku ikan rambeu di dalam
kondisi budidaya. Pada akhir kegiatan pemeliharaan ikan diukur panjang dan
beratnya lalu dianalisis hubungan panjang berat dan growth rate. untuk
mengetahui laju pertumbuhan dan produktifitas ikan yang dipelihara.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada awal pemeliharaan benih ikan rambeu memiliki berat awal rata-
rata 13,8 gr dan panjang 9,6 cm. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa
pertumbuhan panjang ikan rambeu lebih tinggi saat muda, ditunjukkan pada
nilai konstanta pangkat yang lebih besar. Akurasi hubungan panjang berat
menjadi tinggi jika kedua nilai digabung yakni y = 0.008x3.263 dengan tingkat
kepercayaan kurva 0,998. Formula ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
panjang menyebabkan perubahan berat secara kubikal. Berat dan panjang akhir
rata-rata ikan rambeu adalah 704,8 gr (kisaran 600-900 gr) dan 32,1 cm dengan
tingkat pertumbuhan rata-rata adalah 25% per hari atau sekitar 102 gr per bulan
(30 hari). Berdasarkan pengalaman petambak dalam waktu ini pertumbuhan
bahkan dapat mencapai lebih dari 1 kg. Penggunaan ikan rucah yang lebih
segar dapat memperbaiki pertumbuhannya.

Gambar 1. Berat rata-rata benih tebar


BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 239
Gambar 2. Pengukuran panjang ikan rambeu

Gambar 3. Laju pertumbuhan ikan rambeu

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 240


KESIMPULAN
Selama masa pemeliharaan tidak ditemukan penyakit pada ikan rambeu.
Dilihat dari data yang diperoleh pertumbuhan mampu melebihi satu
kilogram/ekor bila dipelihara selama enam bulan dengan protein pakan yang
teratur. Dapat dilakukan pemanenan dengan umur pemeliharaan 3,5 bulan pada
unit usaha sehingga perputaran uang lebih cepat. Dengan kecepatan
pertumbuhan seperti ini, ikan rambeu sangat berpotensi dijadikan sebagai
komoditas alternatif komoditas akuakultur air payau.

DAFTAR PUSTAKA

Afonso P, Fontes J, Morato T, Holland K.N and Santos R.S, 2008.


Reproduction and Spawning of white trevally,Pseudocaranx
dentex, University of the Azores, PT 9901-862 Horta, Portugal. E-
mail: afonso@uac.pt, Hawai‟i Institute of Marine Biology, University
of Hawai‟i at Manoa, 46-007, Lilipuna Road,Kane‟ohe, HI 96744,
USA. Scientia Marina 72(2) June 2008, 373-381, Barcelona (Spain)
ISSN: 0214-8358
Amanda C. H, Jeffrey M. L, Domine L. C, I-Shiung C, Kwang T. S, 2010.
Behavioral ontogeny in larvae and early juveniles of the giant
trevally (Caranx ignobilis) (Pisces: Carangidae) : Sydney, New
South Wales 2010, Australia.
Bambang I, Zubaidi T, Hasan N, Harwanti S dan Rosniyati SPotensi
Pengembangan Budidaya Ikan Kuwe, Caranx spp., Dengan Sistem
Keramba Jaring Apung
Radway S, 2012 Giant Trevally (Caranx ignobillis) Tagging Reveals fish
Behavior Breeding Pilgrimages, life fish, project of the Hawaii
Fisheries Local Action Strategy, Division of Aquatic Resources and
funded by the Federal Aid in Sport Fish Restoration Program.
Zakimin, Y., Juniyanto, N. M., Apprianing, S., dan Hermawan, T. 2007.
Pembenihan Ikan Simba Kuning / Golden Trevally (Gnathanodon
speciocus). Balai budidaya laut Batam. Direktorat Jenderal Perikan
Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Batam.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 241


STUDI KOMPARASI DAN DAMPAK HASIL KEPUTUSAN
GUGATAN PERDATA PENCEMARAN LINGKUNGAN
BUDIDAYA IKAN LAUT DI PULAU BINTAN

Romi Novriadi *), Sri Agustatik, Endang Widiastuti, Hendrianto, Wibowo


Hartanto

ABSTRACT

To support the sustainability of aquaculture production, other than


control of pest and fish diseases, environmental quality is also one of the
important factors that must be managed properly. Currently, the
decreasing trend of marine fish environment quality is not only caused
by farming activities itselves, but also can be affected by various
activities, such as: industrial, mining to household activities. In this
study, the object is more focused on the decision ofSupreme
Courtagainsttwo communities class actiondue to irresponsible bauxite
miningactivitiesinBintan Island. The purpose of this study was to
investigate the factors supporting the success of a civil lawsuit in
mariculture environmental pollution caused by bauxite mining activities.
Data were analyzed bydirectobservationanddocuments analysisby
comparingthe results oftwoclass action decisionsconducted byfish
farmercommunitiesinBintan Island. The results showedthat theanalysis
factor ofseawaterparametersinaccreditedlaboratoriesand complete
administrative requirements during the cultivation period hasa
verysignificantinfluenceon the successful of civilclass actionlawsuit. The
results alsoshowthe impact ofa decrease inproductionandincrease in
unemploymentdue to the declining of productionactivityatthe two
sitesaffected bywatercontamination. However, theseconditionsprovidea
positiveunderstandingamong the fish farmersaboutthe
environmentalauditactivities that should be donebased on the
referencestandardsandquality index which has the power of law in front
of the court

Keywords : Class action lawsuit, Environmental pollution, Bauxite,


Economic losses, Aquaculture, Tiger grouper.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 242


PENDAHULUAN
Industri budidaya perikanan yang terdiri atas sistem budidaya di air
tawar, air payau maupun di lingkungan air laut telah mengalami perkembangan
yang cukup pesat. Menurut data statistik dari FAO (2011), dalam kurun waktu
1970-2008, terus mengalami peningkatan hingga mencapai pertumbuhan rata-
rata 8,3% per tahun. Sementara kegiatan perikanan tangkap cenderung stabil
bahkan mengalami penurunan akibat pola dan frekuensi tangkap yang
berlebihan dan tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu, untuk tetap dapat
memenuhi kebutuhan ikan secara global yang terus meningkat, produksi
perikanan budidaya dunia diharapkan dapat mencapai 80 Juta ton di tahun 2050
(FAO, 2011).
Posisi Pulau Bintan yang strategis baik jika ditinjau dari aspek geografis
maupun ekonomi serta potensi wilayah untuk kegiatan budidaya ikan yang
cukup besar menjadikan wilayah ini sebagai salah satu daerah yang ditetapkan
sebagai sentra produksi budidaya ikan laut di Indonesia. Namun, seiring dengan
perkembangan industri budidaya, pembangunan sektor lain, seperti: sektor
pertambangan yang tidak dilengkapi dengan kinerja pengelolaan lingkungan
yang baik dapat menjadi faktor penghambat bagi keberlanjutan produksi
perikanan budidaya. Kondisi ini dapat menjadi potensi konflik kepentingan
terlebih apabila komponen kegiatan produksi sektor pertambangan tidak
mampu menanggulangi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan (Fandelli,
dkk., 2006).
Potensi konflik juga muncul akibat lemahnya kerangka hukum yang
mengatur tata ruang wilayah untuk kegiatan perikanan budidaya serta tidak
konsistennya penerapan audit lingkungan sesuai dokumen AMDAL yang dapat
dijadikan sebagai early warning system bagi kondisi kualitas lingkungan.
Konsekuensinya, pihak pembudidaya yang sangat bergantung terhadap
kesehatan dan kualitas lingkungan akan menjadi pihak yang terus dirugikan
akibat cemaran limbah cair yang telah melebihi baku mutu untuk kegiatan
produksi ikan budidaya. Bahkan tidak jarang cemaran limbah cair ini dapat
menyebabkan tingkat kerugian ekonomi dan kematian ikan yang cukup besar
bagi para pembudidaya. Sehingga langkah-langkah gugatan perdata perlu
dilakukan untuk mencari penyelesaian masalah bagi beberapa komponen
kegiatan pertambangan yang belum berhasil menanggulangi kerusakan
lingkungan.
Tujuan dari kajian ini adalah untuk melakukan analisis terhadap
komponen instrumen audit yang dapat mendukung keberhasilan gugatan class
action dan dampak kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan serta
melakukan evaluasi terhadap metoda audit lingkungan yang dilakukan oleh
para pembudidaya ikan. Fokus kajian dilakukan pada Keputusan Mahkamah
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 243
Agung No. 705 K/Pdt/2011 dan No. 1808 K/Pdt/2009. Dimana dua direktori
putusan ini memberikan hasil gugatan class action yang berbeda untuk kasus
kematian ikan yang sama, kerapu macan (Epinephelus fuscogutatus) oleh
pencemaran limbah pertambangan yang sama, pertambangan bauksit. Hasil
kajian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam menyusun komponen audit
lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan pembudidaya ikan dalam
mengajukan gugatan Class action akibat cemaran limbah cair pertambangan.

METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan selama dua tahun, 2008 sampai dengan 2011, di
Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau dengan pertimbangan bahwa daerah ini
memiliki potensi pencemaran lingkungan kegiatan budidaya ikan laut akibat
limbah cair hasil kegiatan pertambangan bauksit.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode pengamatan dan studi dokumen. Penentuan metode ini merujuk pada
penjelasan Arikunto (2010) dengan tujuan untuk mendapatkan data
perbandingan yang memiliki kepercayaan tinggi. Teknik pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara, observasi dan diskusi sejarah usaha budidaya
ikan di pulau Bintan. Sebagai data primer, selain teknik live in untuk
mendapatkan data faktual, peneliti juga memanfaatkan data sekunder berupa
dokumen ijin usaha budidaya ikan, dokumen produksi budidaya, dokumen
analisa lingkungan pembudidaya dan dua direktori putusan Mahkamah Agung
terhadap gugatan class action yang dilakukan oleh masyarakat pembudidaya
ikan di Batu Licin dan Senggarang Pulau Bintan akibat pencemaran limbah cair
bauksit. Dokumen-dokumen ini penting sebagai indikator subjektif kerugian
usaha budidaya akibat cemaran limbah cair.
Analisis data dilakukan berdasarkan tahapan pelaksanaan audit
lingkungan yang dikemukakan oleh Fandelli, dkk., (2006) yang meliputi tiga
tahap, yaitu pre audit, site audit, dan post audit. Pre audit merupakan tahapan
pengumpulan data yang diperoleh melalui informasi dan bahan yang
disampaikan oleh para pembudidaya ikan. Hasil pre audit kemudian
diverifikasi dengan melakukan kunjungan lapangan (site audit). Pada tahapan
site audit ini sangat bergantung kepada hasil wawancara dengan pembudidaya
ikan yang mencakup metodologi, topik prioritas, jadwal waktu, tempat analisa
dan bentuk laporan. Pada tahapan ini metodologi penelitian yang baik sangat
menentukan tingkat objektivitas bukti/temuan audit yang akan tercantum dalam
laporan. Seluruh hasil audit lingkungan yang berupa bukti-bukti objektif
disampaikan kepada pembudidaya ikan sebagai komponen utama dalam post
audit.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 244


HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan Pembangunan di Pesisir Bintan
Kegiatan pembangunan di pesisir Bintan yang memanfaatkan
sumberdaya alam, selain akan mempengaruhi komponen fisik tanah dan udara,
juga mempengaruhi komponen air. Perubahan kualitas air sangat berpengaruh
terhadap keberlanjutan produksi perikanan budidaya. Oleh sebab itu, untuk
menjaga kualitas lingkungan perairan, sangat penting dilakukan proses audit
lingkungan dan manajemen pengelolaan lingkungan yang baik bagi setiap
industri yang memiliki cemaran limbah cair yang dapat berkontribusi pada
perubahan fisik komponen air (Pluta dan Trembaczowski, 2001).
Sebuah kegiatan usaha yang mengeluarkan cemaran limbah cair harus
selalu diamati. Hal ini sesuai dengan prinsip “Polusi tidak mengenal batas
wilayah dan negara”, sehingga harus tetap waspada jika ada indikasi
pencemaran di sekitar perairan. Terkait dengan hal tersebut, sektor
pertambangan merupakan sektor yang wajib melaksanakan audit lingkungan
sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 30 tahun 2001. Oleh
karena itu, situasi yang terjadi di Pulau Bintan dapat berpotensi konflik apabila
audit lingkungan tidak dilakukan secara rutin dan cemaran limbah cair
berdampak negatif terhadap kesehatan lingkungan produksi budidaya perikanan
di lokasi yang memiliki ruang aktivitas ekonomi yang sama (Kurniasari, dkk.,
2012).
Berdasarkan pengamatan pada site audit diketahui bahwa terdapat
konflik pengelolaan wilayah pesisir antara pemerintah, komunitas penambang
bauksit dan komunitas pembudidaya ikan kerapu. Sementara kewenangan
dalam mengatur dan mengelola sumberdaya laut dan pesisir hanya dimiliki oleh
Pemerintah. Konflik umumnya terjadi apabila kegiatan pengelolaan tidak
diikuti oleh penegakan konsekuensi atas pelanggaran pengelolaan yang
dilakukan sehingga mengakibatkan kerugian di pihak pemanfaat yang lain
(Kurniasari, dkk., 2012). Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat
diketahui bahwa kegiatan budidaya perikanan telah dilakukan selama dua
sampai tiga generasi sementara aktivitas pertambangan beroperasi dalam waktu
yang terbatas. Sehingga dapat dikatakan bahwa kasus pencemaran lingkungan
yang mengakibatkan kerugian ekonomi hingga miliaran rupiah merupakan
wujud kongkrit dari pemaknaan tata ruang dan wilayah yang masih bersifat
abstrak.

Hasil audit lingkungan


Dalam kegiatan audit lingkungan, komponen atau parameter yang
dianalisa dilakukan secara keseluruhan dengan mempertimbangkan parameter
yang sesuai dengan cemaran limbah cair hasil kegiatan penambangan bauksit.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 245
Tabel 1. Hasil audit lingkungan di dua lokasi budidaya yang
terkena dampak kegiatan pertambangan Bauksit.

Hasil analisa
Lokasi 1 (Batu Licin)1 Lokasi 2 (Senggarang)2
S
N Plu Al N Plu Al
atuan
ikel mbum umina ikel mbum umina
(Ni) (Pb) (Al) (Ni) (Pb) (Al)
m 0 0,7 4, 0 0.2 6,
g/l ,79 - 9 - 0,86 36 – 8.17 ,318 596 11 – 8.12
0,86
1) Jumlah sampel Batu licin = 3 sampel
2) Jumlah sampel Senggarang = 3 sampel

Berdasarkan hasil audit lingkungan dan direktori Keputusan


Mahkamah Agung No. 705 K/Pdt/2011 dan No. 808 K/Pdt/2009, parameter
yang menjadi conflict of interest, diketahui telah berada di atas baku mutu
lingkungan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Di lokasi
Batu Licin, konsentrasi Alumina (Al) dengan kisaran 4,36 – 8,17 sudah berada
diatas lethal concentration, terlebih bila berada di dalam air laut yang
bertransformasi dalam bentuk ion dari bentuk padatan dan akan menyerang
syaraf ikan. Tingkat infeksi saraf ini akan semakin diperparah oleh kondisi
derajat keasaman (pH) yang rendah akibat limbah cair pencucian bauksit yang
mengandung larutan asam. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh parameter
logam Nikel (Ni) dan Plumbum (Pb) yang keduanya, 0,79 -0,86 mg/l, telah
melewati baku mutu lingkungan yang mempersyaratkan konsentrasi < 0,1 mg/l
untuk menjamin keberlanjutan produksi ikan budidaya. Peningkatan
konsentrasi kedua logam berat terlarut dalam air tersebut dapat mengakibatkan
kerusakan pada insang dan sistem saraf ikan (Jarup, 2003).
Situasi yang sama juga ditunjukkan oleh kondisi kualitas lingkungan di
lokasi dua, yakni di lokasi perairan senggarang. Konsentrasi Alumina (Al)
berada pada kisaran 6.11 – 8.12 mg/l, sementara Plumbum (Pb) memiliki
konsentrasi 0.2596 mg/l dan Nikel (Ni) memiliki konsentrasi 0,318 mg/l.
Kondisi ini kembali menegaskan bahwa kesehatan lingkungan di kedua lokasi
budidaya tidak layak untuk kegiatan produksi. Namun, kedua hasil analisa
tersebut memiliki pandangan yang berbeda pada hasil direktori putusan
Mahkamah Agung.

Berdasarkan direktori Keputusan Mahkamah Agung No. 705


K/Pdt/2011 dan No. 808 K/Pdt/2009, diketahui bahwa hasil analisa di lokasi
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 246
perairan Senggarang lebih kuat dimata hukum dibandingkan hasil analisa di
lokasi batu licin. Hal ini utamanya disebabkan oleh penilaian kualitas
lingkungan yang dilakukan untuk sampel air di Senggarang di lakukan di
laboratorium penguji yang telah terakreditasi KAN 17025:2005. Sementara
analisa sampel yang dilakukan untuk wilayah Batu Licin dianggap dilakukan di
Laboratorium yang belum terakreditasi, walaupun seluruh tahapan audit
lingkungan seperti pengambilan sampel dan proses preparasi sampel telah
memenuhi Standar Nasional Indonesia. Nasional Indonesia.
Sistem akreditasi merupakan perangkat instrumen yang ditetapkan
berdasarkan sistem birokrasi dalam negeri yang menerapkan prinsip-prinsip
sistem manajemen mutu dan dapat dianggap sesuai dengan syarat hukum dan
berbagai peraturan Internasional lainnya (Menteri Perdagangan RI, 1994;
Suardi, 2003). Namun, saat ini di Indonesia, masih terdapat laboratorium
penguji yang belum mendapatkan sertifikat akreditasi. Sehingga para
pembudidaya ikan perlu mendapatkan sosialisasi yang efektif terhadap
kekuatan hukum sebuah hasil analisa yang dihasilkan oleh laboratorium
terakreditasi.
Menurut Sukirno (1985), pembangunan ekonomi adalah suatu proses
yang menyebabkan pendapatan per kapita kelompok masyarakat meningkat
dalam jangka waktu yang panjang. Pembangunan yang dilakukan terkadang
tidak mencerminkan rasa keadilan khususnya bagi para pembudidaya ikan yang
jarang mendapatkan pendidikan tinggi. Permasalahan ekologi ini menjadi
permasalahan yang cukup rumit untuk diselesaikan oleh para pelaku budidaya
ikan di kawasan pesisir yang berdekatan dengan lokasi pertambangan.
Penyelesaian yang dilakukan untuk mengatasi dosa-dosa ekologi ini tak jarang
membutuhkan koordinasi lintas kementerian/lembaga dan lintas sektoral dan
bahkan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Dalam pengajuan gugatan perdata, para pembudidaya diharapkan
memiliki catatan administrasi yang lengkap, dimulai dari kepemilikan Surat Ijin
Usaha Perikanan, catatan pembelian benih, pakan, sarana dan prasarana
kegiatan budidaya hingga kepada catatan penggajian karyawan secara lengkap.
Hal ini dimaksudkan untuk dapat memperkirakan jumlah kerugian yang
diakibatkan oleh pencemaran limbah pertambangan. Berdasarkan direktori
Keputusan Mahkamah Agung No. 705 K/Pdt/2011 dan No. 808 K/Pdt/2009,
kedua lokasi budidaya yang terkena dampak cemaran limbah cair telah
memiliki catatan kegiatan produksi yang cukup baik. Hal ini mendapatkan
apresiasi yang sangat baik dari pihak pengadilan dan mempermudah pihak
pengadilan dalam memperhitungkan tingkat kerugian yang dialami oleh para
pembudidaya.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 247


Aspek Sosial Ekonomi
Berdasarkan kajian pre site di lokasi budidaya ikan, dampak kegiatan
penambangan bauksit pada bidang ekonomi masyarakat Batu licin dan
Senggarang sangat besar. Pada umumnya masyarakat kehilangan sumber
pendapatan karena lingkungan budidaya sudah tidak layak untuk mendukung
keberlanjutan produksi. Jumlah kerugian materi masyarakat masyarakat Batu
Licin dan Senggarang hampir mencapai 4 Milyar Rupiah.

Masyarakat Batu licin memperkirakan kerugian sebesar:


1. Kerugian karena kematian ikan Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)
sebanyak 27.673 ekor =22.138,4 Kg x Rp.80.000,- per ekor =
Rp.1.771.072.000,-
2. Kerugian atas pembelian makanan ikan, perawatan dan pemeliharaan ikan
yang telah dikeluarkan pembudidaya sebesar Rp.281.621.000,-

Sementara kerugian yang dialami oleh masyarakat Senggarang adalah sebesar:


1. Kerugian karena kematian ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
6.300 kg x Rp. 7500 = Rp. 945.000.000
2. Kerugian atas pembelian makanan ikan, perawatan dan pemeliharaan ikan
yang telah dikeluarkan pembudidaya sebesar Rp. 420.000.000,-

Di wilayah Batu licin dan Senggarang, jumlah pembudidaya ikan dan


nelayan hampir mencapai 70%. Sebelum adanya pertambangan, kegiatan
budidaya dan menangkap ikan adalah sumber utama pendapatan mereka. Saat
ini, akibat buangan limbah cair, pola distribusi ikan berubah dan ikan yang
berada dalam pemeliharaan memiliki investasi logam berlebihan di insang.
Potensi konflik masyarakat pembudidaya dan masyarakat pertambangan
akan terus berulang apabila aturan formal tentang konsep tata ruang wilayah
tidak diterapkan secara maksimal (Kurniasari, dkk., 2012). Potensi konflik
tersebut bahkan tidak jarang mendorong para pembudidaya melakukan gugatan
class action apabila tingkat kerugian dan kematian ikan telah melebihi 70-80%
dari total produksi yang mereka lakukan. Oleh karena itu, pengelolaan
sumberdaya alam secara bijaksana dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman hayati harus terus diupayakan.
Berdasarkan kajian post site setelah hasil putusan gugatan perdata class
action dibacakan, para pembudidaya ikan baik yang berhasil ataupun tidak
berhasil, tetap dituntut untuk mencari lokasi baru dengan kualitas lingkungan
yang lebih baik. Bahkan tidak jarang beberapa pembudidaya meninggalkan
usaha produksi ikan dikarenakan modal dan penentuan lokasi yang cukup sulit
dan mahal. Kerusakan lingkungan juga berakibat kepada penurunan jumlah
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 248
produksi ikan kerapu macan dan peningkatan angka pengangguran akibat
menurunnya aktivitas kegiatan produksi budidaya, khususnya di wilayah batu
licin dan senggarang.
Solusi lingkungan yang dapat dilakukan adalah dengan selalu
melakukan evaluasi AMDAL secara rutin untuk mengetahui pelanggaran
lingkungan yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Strategi pengelolaan zona
khusus untuk kegiatan perikanan budidaya juga mendesak untuk ditetapkan,
khususnya di Pulau Bintan. Dengan data-data yang dihasilkan oleh kegiatan
monitoring AMDAL tersebut, kebijakan yang tepat, efisien dan efektif dapat
dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut. Sangat
diharapkan partisipasi dari berbagai pihak agar pengelolaan lingkungan yang
membutuhkan anggaran cukup besar dapat dilakukan dengan baik.

KESIMPULAN
Hasil kajian ini menegaskan bahwa dalam melakukan audit lingkungan,
masyarakat pembudidaya harus selalu berpatokan kepada aturan dan standar
yang memiliki ketetapan hukum di muka pengadilan. Oleh karena itu, harus
terus diupayakan peningkatan pemahaman dan kualitas hasil analisa audit
lingkungan melalui kerjasama yang kuat antara masyarakat pembudidaya,
pemerintah dan organisasi pemerhati lingkungan. Selain itu, dalam skala
makro, pengelolaan sumber daya alam hendaknya dilakukan berdasarkan
prinsip konservasi dan memperhatikan kondisi lingkungan serta mengacu
kepada aturan tata ruang wilayah yang telah ditetapkan, sehingga keberlanjutan
produksi dan angka tenaga kerja di sektor budidaya perikanan dapat terus
ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Putusan No. 705 K/Pdt/2011, Direktori Putusan Mahkamah Agung


Republik Indonesia. Jakarta
Anonim, Putusan No. 1808 K/Pdt/2009, Direktori Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Jakarta
Fandelli, S., Utami, R.N. dan Nurmansyah, S. (2006). Audit Lingkungan.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
FAO. (2011). The state of world fisheries and aquaculture 2010. FAO Fisheries
and Aquaculture Department. Food and Agriculture Organization of the
United Nations. Rome.
Jarup, L. (2003). Hazards of heavy metal contamination. British Medical
Bulletin 68: 167-182.

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 249


Kurniasari, N., Satria, A. dan Rusli, S. (2012). Konflik dan Potensi Konflik
Dalam Pengelolaan Sumberdaya Kerang Hijau Di kalibaru Jakarta
Utara. J. Sosek KP Vol. 7 No. 2
Menteri Perdagangan. (1994). Kumpulan Tulisan Tentang International
Standards Organization. Penerbit PSLH UGM, Yogyakarta
Pluta, I dan Trembaczowski, A. (2001). Changes of the chemical composition
of discharged coal mine water in the Rontok Pond, Upper Silesia,
Poland. Environmental ecology (40): 454-457
Sukirno, S. (1985). Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar
Kebijakan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Jakarta

BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 250


KATA PENGANTAR
Perikanan budidaya dengan segala potensi pengembangan dan sumber
daya alam yang mendukung, memiliki peluang menjadi salah satu pilar dalam
Ketahanan Pangan dan Gizi dan sebagai penggerak perekonomian nasional.
Disamping itu, perikanan budidaya juga memiliki banyak peluang untuk
menyediakan lapangan usaha dan menyerap tenaga kerja dan mampu
diusahakan secara berkelanjutan. Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015, segala kelebihan yang dimiliki oleh sector perikanan
budidaya harus terus digali dan dikembangkan sehingga produk perikanan
budidaya mampu bersaing dengan kualitas yang tinggi dan jumlah yang
memenuhi kebutuhan pasar.
Untuk mendukung hal tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
menyelenggarakan kegiatan INDONESIAN AQUACULTURE (INDOAQUA)
2014 dengan tema “PERIKANAN BUDIDAYA UNTUK BISNIS DAN
KETAHANAN PANGAN” yang telah dilaksanakan pada tanggal 26 – 29
Agustus 2014 di Hotel Atlet Century (Seminar) dan di Parkir Timur Senayan
(Pameran)
INDOAQUA 2014, merupakan ajang yang diharapkan mampu menjadi
media komunikasi bagi pelaku perikanan budidaya melalui pengenalan
hasil-hasil perekayasaan teknologi, pameran dan temu bisnis di bidang
perikanan budidaya. Ada 6 (enam) kelompok seminar yang diselanggarakan
selama INDOAQUA 2014, yaitu (1) Kelompok Udang, (2) Kelompok Rumput
Laut, Kerapu, Baronang dan Bawal Bintang, (3) Kelompok Bandeng, Kakap,
Nila dan Sidat, (4) Kelompok Ikan Hias, Mutiara dan Abalone, (5) Kelompok
Catfish, Gurame, Mas dan Jelawat, (6) Kelompok Pendukung Akuakultur
(Lingkungan, Pakan, Probiotik, Penyakit dan Monitoring Minapolitan).
Prosiding ini berisi makalah lengkap materi seminar yang dilaksanakan
selama penyelenggaraan INDOAQUA 2014. Semoga prosiding ini, dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat pembudidaya dan seluruh pihak terkait
dengan perikanan budidaya, sehingga mampu mendorong pengembangan
perikanan budidaya yang berkelanjutan dan maju.

Bogor, November 2014

Penyusun
DAFTAR ISI

1. APLIKASI PENANGKAPAN BENIH LOBSTER 1


DENGAN MENGGUNAKAN LAMPU
2. USAHA PEMBESARAN LOBSTER DENGAN 13
MENGGUNAKAN PAKAN ALTERNATIF
3. APLIKASI EKSTRAK BIJI MANGROVE JENIS NYIRIH 19
(Xylocarpus granatum) UNTUK MENINGKATKAN
STATUS KESEHATAN UDANG VANNAMEI
(Litopenaeus vannamei)
4. PERFORMA REPRODUKSI INDUK UDANG GALAH 36
(MACROBRACHIUM ROSENBERGII) DENGAN
PEMBERIAN CACING TANAH (LUMBRICUS
RUBELLUS)
5. APPLICATION OF Terminalia catappa AT THE MEDIUM 44
OF GIANT FRESH WATER PRAWN (Macrobrachium
rosenbergii De Man) LARVAE REARING FOR
INCREASING SEED PRODUCTION
6. THE BROODSTOCK IMPROVEMENT OF GIANT 61
FRESHWATER PRAWN FOR INCREASING OF SEED
PRODUCTION
7. SUBSTITUTE APPLICATION OF JABIR AS 81
ARTIFICIAL FEED MATERIAL FOR TIGER SHRIMP
(Penaeus monodon.Fabr) NURSERY
8. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA 96
RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TAMBAK
TRADISIONAL BERBASIS INDUSTRIALISASI
PERIKANAN
10. AKSELERASI PRODUKSI VANNAMEI DENGAN 110
SISTEM PANEN CEPAT MEMANFAATKAN HSRT
IDLE SEBAGAI SEGMENTASI PRODUKSI
11. REVITALISASI TAMBAK UDANG WINDU (PENAEUS 122
MONODON) DI ACEH MELALUI DISEMINASI
PENTOKOLAN MULTI PONDS DAN SINGLE POND
12. PERFORMA REPRODUKSI UDANG PISANG (Penaeus 132
sp)
13. KAJIAN AWAL PRODUKTIVITAS BUDIDAYA 145
UDANG PISANG (Penaeus sp) SISTEM INTENSIF
14. KELANGSUNGAN HIDUP POST LARVA UDANG 153
PISANG NAIK HAMPIR DUA KALI LIPAT
DIBANDING KONTROL DENGAN PROBIOTIK
FERMENTATIF
15. DISEMINASI SISTEM PENTOKOLAN TERPADU 163
DALAM MENGOPTIMALKAN BUDIDAYA UDANG
VANNAME PADA TAMBAK DI KABUPATEN MAROS
PROPINSI SULAWESI SELATAN
16. KELANGSUNGAN HIDUP POST LARVA UDANG 174
PISANG MENINGKAT STABIL MENGIKUTI
NAIKNYA DOSIS VITAMIN C LEVEL RENDAH
17. APLIKASI BIOFILTER CAULERPA SP PADA 186
PRODUKSI UDANG WINDU DI TAMBAK
18. SEX RATIO EFFECT OF MANDARIN FISH 193
(Synchiropus splendidus ) QUALITY OF EGGS
19. PENERAPAN VAKSIN DNA GLIKOPROTEIN-KOI 203
HERPES VIRUS (Gp-KHV) PADA BENIH CALON
INDUK DAN BENIH SEBAR KOI
20. TEKNIK INKUBASI LARVA IKAN HIAS 219
RWANAHIJAU (Scleropages macrocephalus) FASE
KUNING TELUR SECARA IN VITRODENGAN SISTEM
HEMAT AIR
21 PENGELOLAAN CALON INDUK IKAN HIAS 226
BOTIA(Chromobotia macracanthus, Bleeker, 1852) DI
KOLAM TERKONTROL
22. APLIKASI PAKAN BUATAN PADA USAHA 237
PENDEDERAN ABALONE (Haliotis squamata)
23. PEMANFAATAN TELUR IKAN KERAPU INFERTIL 247
PADA PEMBESARAN IKAN HIAS LAUT
24. KELAYAKAN USAHA PEMBESARAN ABALONE 256
Haliotis squamata DI KARAMBA JARING APUNG
25. NEMO FISH PRODUCTION OF HYBRID VARIETY OF 263
BLACK PHOTON HOUSEHOLD SCALE
26. USAHA BUDIDAYA ABALON (Haliotis squamata) 270
SISTEM KERANJANG DASAR DI AREAL PASANG
SURUT
27. USE OF RABBIT SEAS (Dolabella auricularia) 279
ENLARGEMENT OF FISH NEMO (Amphyprion sp) IN
FLOATING NET CAGES
28. REPRODUCTION PERFORMANCE OF WILD AND 285
CULTIVATED BROODSTOCK OF PEARL OYSTER
(Pinctada maxima)
29. PRODUKSI BENIH IKAN HIAS BANGGAI 294
CARDINALFISH (Pterapogon kauderni) DI KERAMBA
JARING APUNG (KJA)
30. SEGMENTASI USAHA PENDEDERAN TIRAM 301
MUTIARA (Pinctada maxima) DI LOMBOK, NTB.
31 POLIKULTUR ABALONE (Haliotis sp) DAN IKAN 307
HIAS CLOWNFISH (Amphiprion sp.) SECARA
TERKONTROL DALAM MENINGKATKAN EFISIENSI
WADAH BUDIDAYA

32. PEMBIAKAN ANEMON SECARA VEGETATIF 313


DENGAN METODE FRAGMENTASI SEBAGAI
ALTERNATIF USAHA IKAN HIAS
33.. ANCAMAN PENYAKIT PARASITIK PADA IKAN HIAS 318
CAPUNGAN BANGGAI (Pterapogon kauderni) DI
BANGGAI KEPULAUAN
34. POTENSI PENGEMBANGAN BUDIDAYA KUDA 327
LAUT (Hyppocampus kuda) DI KEPULAUAN RIAU
35. UPAYA MEMACU KOMSUMSI PAKAN PADA BENIH 333
ABALONE (HALIOTIS ASININA) DENGAN
PEMBERIAN EKSTRAK TUMBUHAN
APLIKASI PENANGKAPAN BENIH LOBSTER DENGAN
MENGGUNAKAN LAMPU

Samsul Bahrawi, Ujang Komarudin AK,


Andre Arfiyanto
Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok
Jl. Jend. Sudirman No.21 Po.Box 128 Praya, Lombok Tengah NTB

ABSTRAK

Penangkapan benih lobster dengan menggunakan lampu sudah


lama dilakukan oleh para penangkap benih lobster di Vietnam.
Berdasarkan data sensus di Vietnam selama 6 musim. Pada tahun
2005-2011, total benih lobster yang tertangkap berjumlah
11.329.724 untuk jenis lobster mutiara dan 4.609.612 untuk jenis
lobster pasir. Jumlah tangkapan tersebut sangatlah berbeda jauh
dengan hasil tangkapan benih lobster di Indonesia, khususnya di
pulau Lombok yang berjumlah 696.545 ekor per tahun. Kegiatan
ini bertujuan untuk mengetahui efek penggunaan lampu terhadap
jumlah hasil tangkapan benih lobster di perairan Teluk Awang,
Lombok Tengah. Kegiatan perekayasaan ini dirancang dengan
menggunakan 4 buah lampu (@ 42 watt) untuk 1 unit KJA,
dimana sumber energinya menggunakan generator kapasitas
1.500 watt. Jumlah responden yang menggunakan lampu 33
orang dan yang tidak menggunakan lampu 33 orang. Percobaan
berlangsung pada bulan Juni – September 2013, di perairan Teluk
Awang, Lombok Tengah. Hasil percobaan menunjukkan adanya
peningkatan jumlah hasil tangkapan sebesar 31% dengan
menggunakan lampu. Total jumlah tangkapan benih dengan
menggunakan lampu adalah 257.661 ekor dan yang tidak
menggunakan lampu berjumlah 177.438 ekor.

KATA KUNCI : lobster, benih alam, penangkapan, lampu

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 1


PENDAHULUAN

Kegiatan budidaya lobster di Indonesia khususnya di Propinsi Nusa


Tenggara Barat telah berkembang seiring ditemukannya benih lobster pada
tahun 2000. Awalnya benih lobster ini ditemukan secara tidak sengaja pada
long line rumput laut oleh para pembudidaya rumput laut. Sejak mulai
diketahui bahwa benih lobster yang tertangkap memiliki pasar dan bisa
dibudidayakan sampai mecapai ukuran konsumsi, maka semakin bertambah
masyarakat pesisir yang menjadi penangkap benih lobster.
Sampai saat ini, dilaporkan bahwa sumber benih lobster alam terbanyak
hanya ditemukan di beberapa teluk di Pulau Lombok, diantaranya Teluk
Awang, Teluk Bumbang dan Teluk Gerupuk. Benih-benih lobster yang
ditangkap umumnya berukuran 2-3 cm, terdiri dari lobster pasir (Panulirus
homarus) dan lobster mutiara (Panulirus ornatus).
Pada umumnya para pengumpul benih menggunakan teknik pasif dalam
menangkap benih lobster, yaitu dengan menggantungkan sebanyak mungkin
shelter/ perangkap dibawah Keramba Jaring Apung (KJA) sampai dengan
kedalaman tertentu. Tiap daerah penangkapan benih menggunakan material
shelter yang berbeda, misalnya di Teluk Awang menggunakan kertas semen
dan di Teluk Bumbang dan Teluk Gerupuk menggunakan potongan karung
beras.
Berdasarkan hasil sensus benih lobster yang dilakukan ACIAR di
beberapa lokasi seperti Dusun Awang, Kelongkong, Bumbang I, Bumbang II
dan Gerupuk selama tahun 2012, total benih lobster yang tertangkap berjumlah
696.545 ekor. Untuk memenuhi permintaan benih lobster yang terus meningkat
tiap tahunnya, maka dipandang perlu untuk melakukan perbaikan metode
penangkapan, salah satunya adalah dengan menggunakan lampu.
Penangkapan benih lobster dengan menggunakan lampu sudah
dilakukan oleh para penangkap benih lobster di Vietnam. Berdasarkan data
sensus di Vietnam selama, 6 musim penangkapan yang berlangsung pada 2005-
2011, total benih lobster yang tertangkap berjumlah 11.329.724 ekor lobster
mutiara dan 4.609.612 ekor lobster pasir.
Dengan perbedaan jumlah tangkapan tersebut, maka sangat perlu
dilakukan percobaan untuk mengkaji pengaruh penggunaan lampu terhadap
hasil tangkapan benih lobster alam di perairan Pulau Lombok.
Mengkaji efektivitas penggunaan lampu terhadap peningkatan jumlah
hasil tangkapan benih lobster alam di perairan Teluk Awang.
Diperoleh satu informasi teknologi penangkapan benih lobster alam
yang dapat diadopsi oleh masyarakat.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 2


BAHAN DAN METODE

Kegiatan perekayasaan ini dilakukan pada bulan Juni – September 2013


di perairan Teluk Awang.Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan ini
adalah sebagai berikut:Keramba Jaring Apung (KJA) sederhana sebanyak 66
unit, Perangkap yang terbuat dari kertas semen, Perahu untuk mengecek jumlah
tangkapan benih lobster setiap pagi hari, Lampu 42 watt sebanyak 4 buah untuk
tiap KJA, Generator kapasitas 1.500 watt, Kabel, Fitting lampu, Isolasi.

Pemasangan Lampu pada KJA penangkap benih lobster


Pemasangan lampu dilakukan pada 33 unit KJA milik masyarakat
dengan langkah-langkah sebagai berikut:Pemasangan tiang-tiang pada tiap
sudut KJA sebanyak 4 buah, Pemasangan instalasi lampu sebanyak 4 buah pada
tiap KJA, Menghubungkan semua lampu dengan sumber tenaga yaitu
generator, Menyalakan generator

Pengumpulan data
Pengumpulan datadilakukan dengan mencatat hasil tangkapan 33 orang
pengumpul benih yang menggunakan lampu dan 33 orang pengumpul benih
yang tidak menggunakan lampu. Pengumpulan data dilakukan satu kali
seminggu untuk mengetahui jumlah tangkapan selama periode 1 minggu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan pada bulan Juni –


September 2013 terhadap 66 responden (33 orang menggunakan lampu dan 33
orang tidak menggunakan lampu) diperoleh informasi sebagaimana tercantum
pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil tangkapan benih lobster alam dengan menggunakan lampu
pada periode Juni – September 2013 di Teluk Awang, Lombok
Tengah.
Bulan
Responde
Juni Juli Agustu Septembe Total
n
s r
1 5.331 3.347 866 1.098 10.642
2 4.354 2.902 745 1.144 9.145
3 4.111 2.979 808 1.051 8.949
4 4.564 2.539 709 923 8.735
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 3
5 4.571 2.880 697 917 9.065
6 4.145 2.616 735 894 8.390
7 4.476 2.723 710 1.025 8,934
8 1.944 1.616 443 953 4.956
9 2.931 3.113 550 1.062 7.656
10 3.125 3.051 482 927 7.585
11 3.095 3.337 845 754 8.031
12 3.184 3.105 742 787 7.818
13 3.068 3.272 661 696 7.697
14 3.117 3.292 1.558 968 8.935
15 2.927 2.843 733 815 7.318
16 3.581 3.188 805 940 8.514
17 3.681 2.858 661 896 8.096
18 3.386 2.985 818 851 8.040
19 2.997 3.092 693 944 7.726
20 3.010 2.964 695 857 7.526
21 2.348 2.946 759 713 6.766
22 2.815 2.910 696 940 7.361
23 2.801 2.835 497 694 6.827
24 2.517 2.299 583 830 6.229
25 2.466 4.469 749 1.012 8.696
26 6.227 5.447 912 908 13.494
27 2.479 3.188 741 748 7.156
28 2.095 2.208 883 632 5.818
29 2.718 2.953 668 705 7.044
30 2.709 2.633 697 1.049 7.088
31 2.503 2.612 546 833 6.494
32 2.285 2.460 558 657 5.960
33 1.766 2.120 527 557 4.970
Total 107.327 97.782 23.772 28.780 257.661

Berdasarkan Tabel 1, selama periode bulan Juni – September 2013


jumlah benih yang tertangkap dengan menggunakan lampu adalah 257.661
ekor benih. Dimana, terlihat bahwa terdapat perbedaan jumlah tangkapan untuk
tiap bulannya dimana berdasakan data yang dikumpulkan dari 33 responden
musim puncak tangkapan terjadi pada bulan Juni 2013 dengan total tangkapan

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 4


benih 107.327 ekor, selanjutnya bulan Juli dengan total tangkapan benih 97.782
ekor, bulan September 2013 dengan total tangkapan benih 28.780 ekor dan
jumlah tangkapan terkecil terjadi pada bulan Agustus 2013 dengan total
tangkapan benih 23.772 ekor, seperti tertera pada

7,000
6,000
Jumlah Tangkapan

5,000
4,000
3,000
2,000 Juni

1,000
-
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
Pengumpul Benih

Gambar 1, 2, 3 dan 4.

Gambar 1.Grafik jumlah tangkapan benih lobster dengan


menggunakan lampu selama bulan Juni 2013

6,000
5,000
Jumlah Tangkapan

4,000
3,000
Juli
2,000
1,000
-
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
Pengumpul Benih

Gambar 2. Grafik jumlah tangkapan benih lobster dengan


BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 5
menggunakan lampu selama bulan Juli 2013

2,000
Jumlah Tangkapan

1,500

1,000

500 Agustus

-
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
Pengumpul Benih

Gambar 3. Grafik jumlah tangkapan benih lobster dengan


menggunakan lampu selama bulan Agustus 2013

1,400
Jumlah Tangkapan

1,200
1,000
800
600
400 September
200
-
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33
Pengumpul Benih

Gambar 4. Grafik jumlah tangkapan benih lobster dengan


menggunakan lampu selama bulanSeptember 2013

Perbedaan jumlah hasil tangkapan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor


diantaranya musim dan lokasi penempatan alat. Menurut Kulmiye dan Mavuti,
2004, Lobster pasir sangat mirip dengan cray-fish. Hidup di batuan dasar laut,
biasanya ditemukan bersama organisme pasir lainnya yang juga hidup pada
batuan dasar laut. Habitat alami lobster pasir adalah kawasan terumbu karang di
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 6
perairan yang dangkal hingga 100 m di bawah permukaan laut. Habitat yang
paling disukai adalah perairan dengan dasar pasir berkarang yang ditumbuhi
rumput laut. Habitat ini disukai lobster pasir yang masih muda pada perairan
karang dengan kedalaman berkisar antara 0,3-0,5 m (Kanna, 2006).
Hasil dari 33 responden lainnya yang menangkap benih tanpa
menggunakan lampu tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil tangkapan benih lobster alam dengan tidak


menggunakan lampu pada periode Juni – September 2013 di
Teluk Awang, Lombok Tengah.
Bulan
Responden Total
Juni Juli Agustus September
34 1.918 2.229 455 566 5.168
35 1.717 2.277 618 618 5.230
36 1.857 1.810 535 465 4.667
37 1.867 1.597 422 527 4.413
38 2.987 2.504 512 720 6.723
39 2.873 2.292 514 530 6.209
40 1.892 2.201 525 449 5.067
41 1.660 2.163 517 525 4.865
42 2.360 2.388 515 499 5.762
43 1.710 2.501 499 450 5.160
44 2.106 2.746 536 1.855 7.243
45 1.859 2.090 492 427 4.868
46 1.981 2.339 511 442 5.273
47 1.841 1.938 498 668 4.945
48 2.772 1.817 518 517 5.624
49 2.603 2.088 525 542 5.758
50 2.331 2.336 441 547 5.655
51 1.933 1.850 452 439 4.674
52 2.069 2.028 439 430 4.966
53 2.188 2.068 532 435 5.223
54 2.354 1.825 462 511 5.152
55 1.891 2.049 490 562 4.992
56 1.937 2.001 550 622 5.110
57 2.472 2.255 543 519 5.789
58 2.116 2.003 441 456 5.016
59 2.368 2.023 529 534 5.454
60 3.032 2.819 701 477 7.029

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 7


61 1.775 2.020 441 508 4.744
62 1.937 1.900 466 570 4.873
63 2.107 2.250 424 583 5.364
64 3.221 1.999 656 533 6.409
65 1.584 2.507 404 528 5.023
66 1.736 2.234 540 480 4.990
Total 71.054 71.147 16.703 18.534 177.438

Dari Tabel 2. diatas dapat dilihat bahwa total jumlah tangkapan benih
lobster dari 33 responden yang tidak menggunakan lampu selama bulan Juni –
September adalah 177.438 ekor. Fluktuasi tangkapan benih lobster dari 33
responden yang tidak menggunakan lampu berbeda dengan yang menggunakan
lampu dimana musim puncak tangkapan pengumpul benih yang tidak
menggunakan lampu terjadi pada bulan Juli 2013 dengan total tangkapan benih
71.147 ekor, selanjutnya bulan Juni dengan total tangkapan benih 71.054 ekor,
bulan Agustus 2013 dengan total tangkapan benih 16.703 ekor dan jumlah
tangkapan terkecil terjadi pada bulan September 2013 dengan total tangkapan
benih 18.534 ekor (Gambar 5, 6, 7 dan 8).

3,500
3,000
Jumlah Tangkapan

2,500
2,000
1,500
Juni
1,000
500
-
34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66
Pengumpul Benih
Gambar 5.Grafik tangkapan benih lobster dari 33 orang koresponden
yang tidak menggunakan lampu selama bulan Juni 2013

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 8


3,000
Jumlah Tangkapan 2,500
2,000
1,500
1,000 Juli
500
-
3436384042444648505254565860626466
Pengumpul Benih

Gambar 6. Grafik tangkapan benih lobster dari33 orang koresponden


yang tidak menggunakan lampu selama bulan Juli 2013

800
700
Jumlah Tangkapan

600
500
400
Agustus
300
200
100
-
34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66
Pengumpul Benih

Gambar 7. Grafik tangkapan benih lobster dari 33 orang koresponden


yang tidak menggunakan lampu selama bulan Agustus 2013

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 9


2,000
Jumlah Tangkapan
1,500

1,000
September
500

-
34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64
Pengumpul Benih

Gambar 8. Grafik tangkapan benih lobster dari 33 orang koresponden


yang tidak menggunakan lampu selama bulan Agustus 2013

Dari Tabel 1 dan Tabel 2 diatas terlihat jelas bahwa terdapat perbedaan
jumlah tangkapan benih lobster antara menggunakan lampu dan yang tidak
menggunakan lampu. Selama kegiatan percobaan berlangsung dari bulan Juni–
September 2013 jumlah benih tertangkap dengan menggunakan lampu adalah
257.661 ekor, sedangkan jumlah tangkapan yang tidak menggunakan lampu
177.438 ekor.
Hal ini berarti jumlah tangkapan benih lobster meningkat sekitar 31%
dengan menggunakan lampu. Hal ini tentunya dapat meningkatkan pendapatan
para pengumpul benih dimana benih lobster dapat dijual dengan kisaran harga
Rp.6000 – Rp. 12.000.
Terdapat 2 spesies lobster yang umumnya ditangkap oleh para
pengumpul benih yaitu lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster mutiara
(Panulirus ornatus) dengan kisaran panjang umumnya 2-3 cm dan juga stadia
yang berbeda mulai dari puerulus sampai dengan post puerulus seperti pada
gambar dibawah ini.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 10


Gambar 9. Post Puerulus lobster mutiara (kiri) dan lobster pasir (kanan)

Gambar 10. Puerulus lobster pasir

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 11


KESIMPULAN

Penggunaan lampu pada penangkapan benih lobster akan memberikan


hasil terbaik dimana terjadi peningkatan jumlah tangkapan sebesar 31% jika
dibandingkan dengan tidak menggunakan lampu, di Teluk Awang selama bulan
Juni – September jumlah tangkapan benih lobster dengan menggunakan lampu
sebesar 257.661 ekor, sementara yang tidak menggunakan lampu 177.438 ekor,
Terdapat 2 jenis lobster yang tertangkap yaitu dominan dari jenis lobster pasir
(Panulirus homarus) dan lobster mutiara (Panulirus ornatus).
Sebaiknya digunakan lampu 42 watt pada malam hari untuk
meningkatkan hasil tangkapan benih lobster;
Perlu kajian lanjutan mengenai efek penggunaan lampu pada penangkapan
benih lobster di daerah sumber benih lainnya, sehingga tingkat kefektifitasan
penggunaan lampu akan lebih teruji;

DAFTAR PUSTAKA
Kanna, I., 2006. Lobster Penangkapan, Pembenihan, Pembesaran Seri
Budidaya. Kanisius. Jogjakarta.
Kulmiye, A., J., dan K., M., Mavuti. 2004. Growth and Moulting of Captive
Panulirus homarus in Kenya, Western Indian Korean. Internasional
Converence and Workshop on Lobster Biology and Management.
Hobart, Australia.
Leaflet Balai Budidaya Laut Lombok, 2012. Budidaya Lobster.
Petunjuk Teknis Balai Budidaya Laut Lombok, 2012. Budidaya Lobster
(Panulirus sp.)

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 12


USAHA PEMBESARAN LOBSTER DENGANMENGGUNAKAN
PAKAN ALTERNATIF

Dony Prastowo, Aprisanto DL, M. Imron.


Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok
Jl. Jend. Sudirman No.21 Po.Box 128 Praya, Lombok Tengah NTB

ABSTRACT
Although lobster's seed collecting is a new activity at Lombok, but the
market demand for this commodity is so high, even for domestic or
foreign market. Besides, lobster's seed collecting that progressively
extends will open opportunity for grow out activity.
Constraint on this industry is limited or unstable on fresh fish/trash fish
availability. And snail has a good nutrition content that can be used as
feed. The objective of this activity is to find growth rate and survival
rate on lobster (Panulirus homarus) culture use alternatively feed which
is snail. On this activity use 9 baskets as culture container where the
density on every basket is 10 lobsters, with feed composition are trash
fish, snail, and combination trash fish with snail.
Result of this activity is as follows, the best relative growth rate is fed by
trash fish mixed with snail (89,573%), trash fish (86,287%), and snail
(84,016%). The best daily growth rate is fed by trash fish mixed with
snail (0,276% / days), trash fish (0,255% / days) and snail (0,245% /
days). Meanwhile the survival rate on trash fish with snail (63,33%),
trash fish (66,67%) and snail (73,33%).

Keywords : Lobster, grow out, alternative feed, golden snail.

PENDAHULUAN

Permintaan pasar komoditas lobster mengalami peningkatan setiap


tahun baik untuk ekspor ataupun konsumsi dalam negeri sendiri dengan nilai
jual cukup tinggi. Tingginya nilai jual berakibat pada peningkatan usaha
penangkapan di alam tanpa memperhatikan kelestariannya. Oleh karena itu
diperlukan adanya upaya mempertahankannya serta memenuhi kebutuhan
pasar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui kegiatan
budidaya. Kendala dalam usaha budidaya lobster adalah pertumbuhannya yang
lambat, dan tingkat kanibalisme yang tinggi pada saat pergantian kulit (Aslianti
et al., 2004).
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 13
Kebutuhan pakan diperlukan mulai dari usia pembibitan sampai siap
jual tak lepas dari masalah makanan, jadi diperlukan adanya solusi adanya
pakan alternatif yang bisa menekan biaya pakan untuk meningkatkan hasil dari
panen. Salah satu alternatif pakan yang melimpah adalah keong mas,
dikarenakan keong mas (Pomacea canaliculata) menjadi hama persawahan
yang merusak kawasan pertanian setiap tahun dan cukup sulit dibasmi karena
tingkat survivalnya tinggi hewan ini bisa menjadi alternatif pakan tambahan
untuk budidaya lobster karena memiliki sifat kelimpahanya yang tinggi dan
murah namun memiliki kandungan protein dan nutrisi yang baik (Lingga dan
Kurniawan, 2013). Hal inilah yang mendasari untuk dilakukannya kegiatan
perekayasaan pembesaran lobster menggunakan pakan alternatif yaitu keong
mas.
Perekayasaan ini bertujuan untuk mengetahui prospek pengunaan
keong mas sebagai pakan alternatif pada pembesaran lobster di karamba jaring
apung.

BAHAN DAN METODE

Benih lobster yang digunakan berasal dari hasil tangkapan alam dari
perairan teluk Gerupuk. Benih-benih lobster yang akan disampling terlebih
dahulu ditampung kemudian dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat
lobster yang akan ditebar pada wadah yang telah disiapkan. Benih yang
sebelumnya telah ditimbang selanjutnya ditebar pada tiap wadah keranjang
bulat yang telah disiapkan. Pada kegiatan ini wadah yang digunakan berjumlah
9 keranjang dimana pada tiap keranjang jumlah benih yang ditebar berjumlah
10 ekor dengan berat ± 20 gram.
Kegiatan perekayasaan ini dilakukan dari Bulan Maret – Juni 2014 di
Balai Budidaya Laut Lombok. Hewan uji yang digunakan adalah Lobster pasir
(Panulirus Homarus). Pada kegiatan ini menggunakan 3 perlakuan dengan 3
ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah perlakuan A menggunakan pakan
ikan rucah, perlakuan B menggunakan pakan keong, dan perlakuan C
menggunakan pakan campuran ikan rucah dengan keong.
Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan sore hari dengan dosis 12 %
dari biomass. Kegiatan sampling dilakukan untuk mengetahui penambahan
berat lobster dan juga tingkat kelangsungan hidup lobster. Sampling secara
rutin setiap 14 hari sekali. Lobster-lobster pada tiap wadah ditimbang satu per
satu dan dilakukan penghitungan jumlah lobster.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kelulushidupan

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 14


Nilai kelulushidupan lobster pasir (P. homarus) selama kegiatan dapat
dilihat pada Gambar 1.
76.00
74.00
72.00
70.00
68.00
66.00
64.00
62.00
60.00
58.00
A B C

Gambar 1. Histogram Kelulushidupan Losbter Pasir (P.homarus)


Gambar 1 merupakan histogram kelulushidupan lobster pasir pada
perlakuan A (pakan rucah), B (pakan keong), dan C (pakan rucah + keong).
Nilai kelulushidupan pada perlakuan A, B, dan C secara berturut-turut adalah
perlakuan A sebesar 66,67%, perlakuan B sebesar 73,33%, dan perlakuan C
sebesar 63,33%.
Kematian terbesar benih lobster disebabkan adanya kanibalisme saat
moulting dan gagal ganti kulit. Umumnya kanibalisme terjadi pada malam hari,
kebanyakan mortalitas terjadi dikarenakan lobster yang sedang mengalami
moulting cenderung rentan dan lemahnya perlindungan diri sehingga mudah
untuk dimangsa oleh lobster lain yang tidak mengalami moulting. Lobster yang
mengalami moulting memiliki kecenderungan untuk memisahkan diri dari
lobster lainnya dengan cara bersembunyi pada tempat persembunyian atau
shelter. Menurut Mujiman dan Suyanto (1989), udang memiliki sifat
kanibalisme, yaitu sifat suka memangsa jenisnya sendiri. Sifat ini sering timbul
pada udang sehat dan tidak sedang ganti kulit (moulting). Sasarannya adalah
lobster-lobster yang sedang ganti kulit atau pada saat moulting.
Menurut Chittleborough (1974), Shelter melindungi dari predasi,
terutama selama moulting saat lobster dalam keadaan yang lemah. Lobster
paling rentan akan kanibalisme ketika proses moulting, yang biasanya terjadi
setiap 1 atau 2 minggu sekali. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa shelter
memiliki manfaat positif terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan lobster.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 15


Laju Pertumbuhan Harian
Nilai laju pertumbuhan harian lobster pasir (P. homarus) selama
kegiatan dapat dilihat pada Gambar 2.

0.280
0.270
0.260
0.250
0.240
0.230
0.220
A B C

Gambar 2. Histogram Laju Pertumbuhan Harian Losbter Pasir


(P. homarus)
Gambar 2 merupakan histogram laju pertumbuhan harian pada lobster
perlakuan A (pakan rucah), B (pakan keong), dan C (pakan rucah + keong).
Nilai laju pertumbuhan harian pada perlakuan A, B, dan C secara berturut-turut
adalah perlakuan A sebesar 0,255%/hari, perlakuan B sebesar 0,245%/hari, dan
perlakuan C sebesar 0,276%/hari.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 16


Pertumbuhan Relatif
Nilai pertumbuhan relative lobster pasir (P. homarus) selama kegiatan
dapat dilihat pada Gambar 3.

90

88

86

84

82

80
A B C

Gambar 3. Histogram Pertumbuhan Relatif Losbter Pasir (P. homarus)


Gambar 3 merupakan histogram pertumbuhan relatif lobster pada lobster
perlakuan A (pakan rucah), B (pakan keong), dan C (pakan rucah + keong).
Nilai laju pertumbuhan harian pada perlakuan A, B, dan C secara berturut-turut
adalah perlakuan A sebesar 86,287%, perlakuan B sebesar 84,016%, dan
perlakuan C sebesar 89,573%.
Hasil kerekayasaan didapatkan bahwa pertumbuhan relatif dan laju
pertumbuhan harian tertinggi adalah pada perlakuan C (pakan rucah + keong)
yaitu laju pertumbuhan harian sebesar 0,276%/hari, dan pertumbuhan relatif
89,573%. Hasil terendah pada perlakuan B (pakan keong) dengan laju
pertumbuhan harian sebesar 0,245%/hari, dan pertumbuhan relatif 84,016%.
Dari hasil diatas dimungkinkan perlakuan C (pakan rucah + keong)
memiliki variasi kandungan nutrisi yang lebih baik dari pada perlakuan lainnya.
Pakan yang baik adalah pakan dengan kandungan zat-zat gizi yang dibutuhkan
lobster, seperti protein, lemak, mineral, dan vitamin. Pakan memegang peranan
penting untuk pertumbuhan dan perkembangan lobster. Pemberian pakan
dengan jenis, jumlah, dan frekuensi yang tepat diharapkan lobster akan tumbuh
cepat dalam kondisi sehat, kuat dan terbebas dari serangan penyakit (Wiyanto
dan Hartono, 2003).
Pemberian pakan berupa ikan rucah saat ini belum ideal dan
kemungkinan terjadi kekurangn nutrisi,seperti dibuktikan oleh pigmentasi
pigmentasi pucat pada lobster dewasa. Mungkin perlu ada penambahan spesies
moluska dan krustacea sebagai pelengkap ikan rucah yang saat ini digunakan
(Suastika, 2008).
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 17
Daftar Pustaka

Aslianti, T., B. Slamet, 2004. Budidaya Lobster (Panulirus sp) di Teluk Ekas
dengan Sistem Budidaya Berbeda. Prosiding Seminar Hasil
Pertanian, Perikanan, dan Kelautan. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta

Chittleborough R.G. 1974. Review of prospects for rearing rock lobster.


Australian Fisheries 33, 4–8.

Lingga, N, dan kurniawan, N. 2013. Pengaruh Pemberian Variasi Makanan


Terhadap Pertumbuhan Ikan Lele. (Clarias gariepinus).Fakultas
MIPA. Universitas Brawijaya

Mujiman, A dan Suyanto, R. R. 1989. Budidaya Udang Windu. Penebar


Swadaya. Jakarta. 93 hal.

Nainggolan, D. A. 2010. Teknik Budidaya dan Analisa Finansial Pembesaran


Lobster (Panulirus sp) pada Keramba Jaring Apung di Balai
Budidaya laut Lombok Stasiun Sekotong, Nusa Tenggara Barat.
Sekolah tinggi Perikanan press. Jakarta. 86 hal.

Wiyanto H, dan Hartono R. 2003. Lobster Air Tawar : Pembenihan dan


Pembesaran. Penebar Swadaya. 78 hal.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 18


APLIKASI EKSTRAK BIJI MANGROVE JENIS NYIRIH (Xylocarpus
granatum)UNTUK MENINGKATKAN STATUS KESEHATAN UDANG
VANNAMEI(Litopenaeus vannamei)

Subhan Riza1, Tb Haeru Rahayu2, Niken Dharmayanti3

ABSTRACT

The modulation on nonspesific immune response, growth and


diseaseresistance of Litopenaeus vannamei againstwhite spot syndrom
virus(WSSV) was aimed on this study. The efficacy of seed extract
Xylocarpus granatum in enhancing nonspecific immune response,
disease resistance and growth of L.vannamei was investigated. Shrimp
juveniles (mean weight 5.0±0.5 g) were feed commercial pellet
previously supplemented with seed extract X. granatum with five
different doses (A:0, B:0,5, C:1,0, D:1,5, E:2,0 g kg -1 feed for 4 weeks
rearing), each with three replication. Both of stages had positive and
negative control, and done in complete randomized design where the
performance based on dynamic of immunity and shrimp growth were
measured during rearing, while survival rate, clinical signs and
histophatology were observed after challenged. Shrimps were feed three
times a day for four consecutive weeks at a feeding rate of 2% of body
weight day-1. Challenge test was performed by mean feeding the shrimp
with WSSV via submersion. The juveniles of the vannamei shrimps per
container were previously immersed in a 10-5 diluted WSSV stock
medium for three hours to acces the efficacy of seed extract
X.granatum, and then observed for 14 days. The results showed that
shrimp which administered with seed extract X. granatum at rate of 1 g
kg-1 feed had best performance than other aplications. The shrimp’s
hemocyte count, phagocytic activity, and specific growth ratewere 9,16 -
10,18 x 106 cell ml-1; 18,50-25,60%; and 2% respectively. After
challenged, the survival rate was 59,37 ± 4,4%. They were confirmed by
visual gross sign and histopathology that appeared as well as PCR test.
Then, it was concluded that, the administration of seed extract
X.granatum at rate 1 g kg-1 and present in 12days interval had better
immunostimulatory effect to enhance nonspesific immune response and
elevate disease resistance of whiteleg shrimp juveniles against WSSV.
Keywords: Xylocarpus granatum, Litopenaeus vannamei,health status,
WSSV

1.Staff Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil


BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 19
Perikanan Kelas I Pekan Baru
2.Dosen Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta
3.Dosen Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta

PENDAHULUAN
WSSV merupakan patogen yang paling serius menyerang udang windu
dan telah menghancurkan industri udang windu di berbagai negara (YiG et al.,
2004). Virus ini sangat ganas dan sangat sulit dihentikan (Chang et al., 1996).
Sistem budidaya yang intensif dengan menggunakan kepadatan tinggi,
kurangnya sanitasi, serta meningkatnya distribusi udang ke berbagai negara
akibat meningkatnya perdagangan udang dunia maka WSSV dapat menyebar
dengan cepat dan mengakibatkan kerugian yang besar secara ekonomi bagi
industri-industri udang budidaya.
Salah satu alternatif pengendalian penyakit WSSV yang dapat
dikembangkanadalah penggunaan ekstrak bijinyirih.Diketahui ekstrak biji
nyirih mengandung senyawa aktif yaitu : tanin, flavonoid, saponin dan steroid.
Flavonoid ini digunakan sebagai antivirus, mencegah kepanasan (freshener)
dan memiliki aktivitas sebagai sitotoksik (Markham, 1988). Pemberian ekstrak
biji mangrove, melalui pakan diharapkan mampu meningkatkan respons imun
udang vannamei dan dengan pemberian dosis dan frekuensi yang tepat
diharapkan dapat meningkatan pertumbuhan dan resistensi udang terhadap
serangan WSSV. Respons imun pada udang tergambar dari meningkatnya
parameter imun dan resistensi udang tergambar dari kelangsungan hidup udang
yang terinfeksi. Parameter imun yang mengekspresikan respons imun pada
udang, berupa total hemosit, aktifitas fagositik, aktifitas phenoloxidase,
diferensiasi hemosit yang terdiri dari sel hialin, sel granular dan semi granular
(Yeh and Chen 2008).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan rendemen dan
menentukan keberadaan flavonoid di dalam biji mangrove, menguji pengaruh
pemberian ekstrak biji nyirih melalui pakan dalam meningkatkan respons imun
udang vannamei dan mengevaluasi resistensi udang vannamei dari serangan
WSSV yang telah diberi ekstrak biji nyirih dengan dosis yang berbeda. Hasil
penelitian ini di harapkan memberikan kontribusi terhadap masyarakat
pembudidaya udang sebagai alternatif pengunaan zat-zat kimia dan antibiotik
dalam peningkatan produksi udang vannamei, sehingga produknya lebih aman
untuk dikonsumsi.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 20


BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan selama 9 (sembilan) bulan yaitu dari Agustus
2013 sampai April 2014, di Laboratorium Kimia Pengolahan Hasil Perikanan,
Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Analisis PCR (polymerase chain reaction),
Histologi dan pemeriksaan kesehatan udang dilaksanakan di Balai Uji Standar
Karantina Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Udang
vannameii yang digunakan adalah benih SPF (specific pathogen free) yang
berasal dari Kampus BAPPL STP Serang yang berukuran 5,0±0,1 g/ekor.
Udang dipelihara dalam kondisi terkontrol dan diberi pakan empat kali sehari
dengan FR (feeding rate) sebesar 2% dari bobot biomassa/hari. Sebagai langkah
biosecurity maka air, wadah dan peralatan pemeliharaan didesinfeksi.
Informasi biji nyirih terdiri dari tempat tumbuh, kondisi habitat dan
faktor lingkungannya, hal ini akan menunjukkan habitat tanaman, dan
perubahan fluktuasi dari kualitas air di sekitar vegetasi. Mangrove yang
digunakan merupakan hasil ekstraksi biji nyirihyang berasal dari Desa Bokor
Kecamatan Tebinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti. hasil ekstraksi biji
nyirih yang dicampurkan ke pakan komersial udang dengan cara di coating.
Infeksi WSSV pada udang vannamei diberikan secara perendaman.
Menentukan dosis LC50 sesuai dengan Hamsah (2004) yaitu dengan cara
perendaman dalam air yang telah di tambahakan larutan stock WSSV sesuai
dengan pengenceran selama 3 jam.
Penelitian tahap pertama adalah menentukan dosis pemberian ekstraksi
bijinyirihterbaik yang terdiri dari empat perlakuan dan kontrol (kontrol positif
dan kontrol negatif). Udang yang digunakan berukuran 5,0±0.1 g. Pemberian
perlakuan berlangsung selama empat minggu dan dilanjutkan dengan
menginfeksikan WSSV pada udang uji. Perlakuan yang diberikan berupa dosis
pemberian ekstraksi bijinyirihsebesar K: 0, A: 0,5, B: 1,0 C: 1,5 dan D : 2,0
g/kg pakan udang. Pengamatan yang dilakukan meliputi respons imun,
pertumbuhan relatif dan resistensi udang vannamei setelah diinfeksi dengan
WSSV.
Respons imun dan pertumbuhan relatif diamati setiap minggu saat
pemberian perlakuan, sebelum udang vannamei diinfeksi dengan WSSV.
Respons imun yang diamati dalam penelitian ini, meliputi total hemosit,
diferensiasi hemosit, aktifitas fagositik. Resistensi udang vannamei diamati
setelah diinfeksi dengan WSSV yang meliputi kelangsungan hidup,
pemeriksaan gejala klinis, histologi dan konfirmasi keberadaan WSSV dengan
PCR. Rancangan yang digunakan yaitu analisis ragam (analysis of
variance/ANOVA) pada selang kepercayaan 95% (α=0,05) dengan 3 ulangan
pada masing-masing perlakuan. Perbedaan setiap perlakuan pada parameter
imun, kelangsungan hidup dan pertumbuhan relatif harian udang vannamei di
analisis keragamannya menggunakan ANOVA. Bila terdapat perbedaan antar
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 21
perlakuan, maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji Duncan. Data
pengamatan gejala klinis, histologi dan konfirmasi PCR di analisis secara
deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen ekstrak biji nyirih
Ekstraksi terhadap bahan tanaman bertujuan untuk memisahkan
senyawa bioaktif tanaman (biasanya dari senyawa tunggal atau kelompok
senyawa). Sebelum dilakukan proses ekstraksi sampel dikecilkan ukurannya
untuk memudahkan kontak dengan pelarut sehingga diharapkan semakin
banyak senyawa bioaktif yang dapat terekstrak. Dimana hasil pengamatan
ekstrak metanol dari biji nyirih warna filtratnya merah tua pekat dengan bentuk
fisiknya bubuk dengan nilai rendeman sebesar 16,25%, ini lebih tinggi dari
hasil penelitian Sari (2008) sebesar 15,60 %.
Perbedaan hasil ekstraksi di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
kondisi alamiah bahan, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel
sampel serta kondisi dan lama penyimpanan sampel. Berat ekstrak kering yang
diperoleh menunjukkan bahwa pelarut metanol mampu melarutkan bahan
alami terseleksi dari padatannya. Rendeman yang di hasilkan dari biji
nyirihyang di maserasi memiliki nilai rendemen yang bervariasi pada habitat
dan lokasi yang berbeda. Perbedaan ini diduga disebabkan karena tiap jenis
mangrove ini mempunyai pola adaptasi fisiologi yang berbeda terhadap
lingkungannya, sesuai dengan penyataan Murniasih (2005) bahwa senyawa
bioaktif yang di hasilkan oleh organisme laut di pengaruhi oleh beberapa
faktor di antaranya salinitas, intensitas cahaya matahari, arus dan kompetisi
sehingga mendorong organisme laut menghasilkan metabolit sekunder.
Perbedaan rendemen yang dihasilkanjuga diduga karena pada saat
penyaringan (filtrasi) sampel hasil maserasi tedapat bagian yang menguap,
karena pelarut yang di gunakan bersifat volatile sehingga volume filtrat yang di
hasilkan berbeda. Saat proses pemekatan dengan vakum rotary evaporator
juga di peroleh volume ekstrak yang berbeda. Sesuai dengan penyataan Smart
dalam Ismet (2007), menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi , suhu dan jenis pelarut yang
di gunakan.

Uji flavonoid ekstrak biji nyirih


Pengujian fitokimia merupakan uji kualitatif awal terhadap ekstrak
kasar untuk mengetahui jenis senyawa metabolit sekunder/golongan senyawa
yang terkandung pada ekstrak. Golongan senyawa dalam ekstrak dapat
ditentukan dengan mengamati perubahan warna dan terbentuknya endapan
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 22
setelah ditambahkan pereaksi yang spesifik untuk setiap uji kualitatif. Hasil
pengujian flavonoid ekstrak biji nyirih menunjukkan bahwa bagian tersebut
memiliki kandungan flavonoid, hal itu ditunjukkan dengan terbentuknya warna
merah pekat pada lapisan amil alkohol yang telah di uji. Flavonoid merupakan
senyawa aktif yang potensial dan sangat efektif untuk digunakan sebagai
antioksidan (Astawan dan Kasih 2008), dan hal ini pun terbukti dari hasil
penelitian Sari (2008) yang menunjukkan Ekstrak kasar metanol dari biji
nyirihmengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin dan saponin. Flavonoid
ini digunakan sebagai antivirus, mencegah kepanasan (freshener) dan memiliki
aktivitas sebagai sitotoksik (Markham 1988).
Pemberian ekstrak biji nyirih secara oral berpengaruh terhadap
patogenitas WSSV. Diduga senyawa dalam biji yang berpengaruh terhadap
patogenitas WSSV adalah flavonoid. Flavonoid merupakan glikosid dengan
satu atau lebih kumpulan hidroksil fenolik yang terikat gula. Flavonoid
digunakan sebagai antivirus, mencegah kepanasan (Freshner) dan memiliki
aktivitas sebagai sitotoksik, aktivitas antivirus oleh flavonoid adalah
menghambat ATP dan enzim phospolipase yaitu enzim yang membantu asam
nukleat dalam proses replikasi sehingga virus menjadi lemah (Jesekera,
1991dalam Supriatna, 2004). Dengan adanya zat aktif flavonoid ini replikasi
virus dalam tubuh inang akan terhambat sehingga tidak dapat memperbanyak
diri yang dapat meningkatkan tingkat infeksi, melemahnya virus sangat
diharapakan dapat menimbulkan rangsangan pembentukan antibodi, dengan
mengunakan ekstrak biji nyirih diharapkan senyawa aktif flavonoid yang
terkandung didalamnya sebagai virus bisa melemahkan WSSV sehingga
dihasilkan suatu vaksin yang berguna untuk meningkatkan kekebalan tubuh
udang uji.

Penentuan LC50
Berdasarkan, hasil uji penentuan pengenceranlarutan stok WSSV
menunjukkan bahwa letal concentration 50% (LC50) diperoleh pada
pengenceran larutan stok WSSV 10-5, yang diindikasikan terlihatnya pita pada
visualisasi gel agarose pada pasang basa 941, sedangkan pada pengenceran
lebih rendah yaitu 10-7, 10-8 dan 10-9menunjukkan hasil negatif WSSV pada
visualisasi gel elektroforesis, yang ditunjukkan dengan tidak terlihat pada pita
pada visualisasi gel elektroforesis.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 23


(Gambar 1).

Gambar 1. Hasil elektroforesis produk PCR sampel udang hari ke 14,


berdasarkan pengenceran berseri stok WSSV (Keterangan: M.
Marker DNA K+: Kontol positif WSSV K-: Kontorl negatif
WSSV KP: Kontrol Perlakuan, 10-3: Pengenceran 10-3,10-4
Pengenceran 10-4 , 10-5 Pengenceran 10-5 , 10-6. Pengenceran 10-6,
10-7 Pengenceran 10-7, 10-8 Pengenceran 10-8, 10-9. Pengenceran
10-9).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa gejala klinis serangan WSSV


mulai terlihat pada hari keempat pengenceran larutan stok WSSV 10 -3.Udang
mulai mengalami penurunan nafsu makan, warna tubuh pucat, lemah,
berenang tidak terarah dan usus kosong, namun belum menimbulkan kematian.
Gejala yang sama terjadi setelah hari kelima untuk pengenceran 10 -4, dan hari
ke enam 10-5. Kematian 50% dijumpai hari ke sembilan pada pengenceran
10-5, sedangkan pada pengenceran 10-3 dan 10-4 mencapai 100% dan 80%
secara berturut-turut pada periode yang sama. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Lightner (1996) dan Witteveld (2004) yang menyatakan bahwa
serangan virus WSSV sangat ganas dan dapat menimbulkan kematian masal
hingga mencapai 100% setelah 3 – 10 hari udang terinfeksi. Hasil deteksi
dengan mengunakan metode PCR terlihat bahwa negatif WSSV terlihat pada
pengenceran 10-7,10-8 dan 10-9. Hal ini diduga karena konsenterasi larutan stok
WSSV yang terlalu rendah sebagai akibat pengenceran bertingkat yang
dilakukan. Virus WSSV kemungkinan tidak dapat melakukan penentrasi ke
dalam jaringan sel pada udang (Lewis dan Leong 2004).

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 24


Parameter Imun Udang Vannamei diberi Dosis ekstrak Biji Nyirih
Berbeda
Total Haemocyte Count (THC)
Total hemosit udang vannamei yang diberi ekstrak biji nyirih mengalami
peningkatan mulai minggu ke-1 hingga minggu ke-3 pengamatan, kemudian
mengalami penurunan pada minggu ke-4 pengamatan. (Tabel. 1)

Tabel 1. Total hemosit udang vannamei diberi ekstrak biji nyirih 0(A),
0,5(B),1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (C) g/kg pakan selama empat
minggu pengamatan.
Total Hemosit (106 sel/ml)
Perlakuan
Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
A 4,05 ±0,54 a 5,41 ±0,43 a 5,50 ±0,19 a 6,78 ±0,52 a 6,52 ±0,26 a
B 4,52 ±0,25 a 7,25 ±0,24 b 8,40 ±0,35 b 8,80 ±0,43 b 7,48 ±0,20 b
C 4,61 ±0,69 a 7,76 ±0,68 b
8,85 ±0,09 bc 10,18 ±0,30 c 9,16 ±0,24 c
D 4,80 ±0,41 a 7,90 ±0,63 b
9,97 ±0,21 c 8,93±0,75 b 8,59 ±0,66 c
E 4,90 ±0,07 a 8,11 ±0,38 b
9,61 ±0,34d 8,58 ±0,33 b 8,42 ±0,45 c

* huruf superscript yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata


antar perlakuan (P> 0,05).
Hemosit merupakan bagian terpenting dalam sistem imun Crustaceae.
Selain diketahui berperan penting dalam fagositosis, encapsulasi, degranulasi
dan proses penggumpalan terhadap partikel asing ataupun patogen (Soderhall
dan Cerenius 1992), hemosit juga sebagai tempat produksi dan pelepasan
ProPO Sirkulasi hemosit tidak hanya penting dalam proses penyerapan dan
pembunuhan langsung terhadap agen infeksi tetapi juga dalam sintesis dan
eksositosis molekul bioaktif. Pada dasarnya hemosit mengeksekusi jenis-jenis
reaksi inflamasi, seperti fagositosis, aglutinasi, produksi metabolit reaktif
oksigen dan pelepasan protein mikrobisidal (Smith et al. 2003). Dalam
penelitian ini, pemberian ekstrak biji nyirih melalui pakan pada udang
vannamei memberikan pengaruh yang baik dalam meningkatkan aktifitas
fagositosis udang vannamei. Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya jumlah
total hemosit yang terjadi selama pengamatan. Peningkatan aktifitas fagositik
pada setiap minggu selama empat minggu pengamatan mengindikasikan bahwa
pemberian ekstrak biji nyirih melalui pakan pada udang vannamei mampu
meningkatkan aktifitas fagositik sel-sel fagosit dalam haemolymph. Sel yang
berperan besar dalam proses fagosit pada udang vannamei adalah sel hialin.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 25


Persentase sel hialin dalam penelitian ini pun mengalami peningkatan pada
setiap minggu pengamatannya.

Differential Haemocyte Count (DHC)


Persentase sel hialin udang vannamei yang diberi pakan dengan ekstrak
biji nyirih sebesar 0,5 (B), 1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (E) g/kg pakan, serta
perlakuan kontrol memperlihatkan kenaikan nilai setiap minggunya, mulai dari
minggu ke-0 hingga minggu ke-4. Selama empat minggu pengamatan
persentase sel hialin berkisar antara (42.0-54.6)%. persentase sel hialin berbeda
nyata (P<0.05) terjadi mulai minggu ke-3 hingga minggu ke-4 pengamatan.
Pada minggu ke-3, terlihat perbedaan secara nyata pada taraf 0.05 antara
masing-masing perlakuan A, B, D dan E. Nilai persentase sel hialin tertinggi
terlihat pada minggu ke-3 pemberian ekstrak biji nyirih 1,0 g/kg pakan (C),
yaitu sebesar 54,6±1,52%. (Tabel 2).
Diferensiasi sel hemosit yang terdiri dari sel hialin, semi-granular dan
granular pada udang vannamei dalam penelitian ini menunjukan adanya
perbedaan pengaruh yang bervariasi. Sel hialin digambarkan oleh tidak adanya
granul (agranular) yang berfungsi sebagai sel yang melakukan fagositosis
(Smith et al. 2003). Persentase sel hialin dalam penelitian ini mencapai (49,6–
53,0)% dari total hemosit. Sel hialin pada udang vannamei yang diberi ekstrak
biji nyirih dalam penelitian ini mengalami peningkatan setiap minggunya
dibandingkan dengan udang vannamei yang tidak diberi ekstrak biji nyirih.
Meningkatnya sel hialin dapat meningkatkan aktifitas fagositosis terhadap
masuknya patogen (Le Moullac et al.1998; Smith et al. 2003).

Tabel 2. Persentase diferensiasi hemosit udang vannamei diberi ekstrak


biji nyirih 0 (A), 0,5(B),1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (E) g/kg
pakan selama empat minggu pengamatan.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 26


Persentase Difensiasi Hemosit (%)
Perlakuan
Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
Hialin
a a a
A 44,0 ±1,00 48,6 ±1,52 50,0 ±1,73 51,6 ±2,08 ab 49,6 ±0,57 a
a a a
B 42,0 ±2,00 48,6 ±1,52 50,3 ±2,08 51,3 ±0,57 a 49,6 ±0,57 a
a a a
C 43,6 ±1,15 49,3 ±2,08 53,0 ±2,64 54,6 ±1,52 b 53,0 ±2,64 b
a a a
D 44,6 ±1,15 49,0 ±1,00 51,3 ±2,08 53,3 ±0,57 ab 51,0 ±1,00 ab
a a a
E 43,3 ±3,05 49,6 ±2,51 52,0 ±3,60 52,3 ±2,51 ab 50,6 ±2,08 ab
Semi
Granular
a a a a b
A 37,3 ±2,08 33,0 ±2,00 31,3 ±2,08 32,3 ±3,05 34,6 ±0,57
a a a a b
B 38,0 ±4,00 33,0 ±2,00 32,6 ±3,05 33,0 ±1,00 34,3 ±0,57
a a a a a
C 36,3 ±0,57 33,0 ±2,64 28,6 ±3,21 29,3 ±2,51 31,0 ±2,64
a a a a b
D 37,0 ±2,00 33,3 ±1,15 32,0 ±1,73 32,3 ±1,15 35,0 ±1,73
a a a a b
E 37,3 ±5,50 32,3 ±3,51 30,6 ±5,50 32,6 ±5,03 34,0 ±1,00
Granular
a a a a
A 18,6 ±1,52 18,3 ±0,57 18,6 ±0,57 16,0 ±1,00 15,6 ±0,57 ab
a a a a
B 20,0 ±2,00 18,3 ±0,57 17,0 ±1,00 15,6 ±0,57 16,0 ±1,00 b
a a a a
C 20,0 ±1,00 17,6 ±0,57 18,3 ±0,57 16,0 ±1,00 16,0 ±0,00 b
a a a a
D 18,3 ±1,15 17,6 ±0,57 16,6 ±1,52 14,3 ±0,57 14,0 ±1,00 a
a a a a
E 19,3 ±2,51 18,0 ±1,00 17,3 ±2,08 15,6 ±1,52 15,3 ±1,52 ab

* a huruf superscript yang berbeda pada kolom menunjukkan


berbeda nyata antar perlakuan (P> 0,05)

Sel semi-granular digambarkan sebagai sel yang memiliki sejumlah


granul kecil, berfungsi dalam mengenali dan merespon molekul asing atau
patogen yang masuk ke dalam tubuh krustasea (Soderhall dan Cerenius 1992).
Sedangkan sel granular digambarkan sebagai sel yang memiliki sejumlah besar
granul, yang berfungsi dalam menyimpan dan melepaskan sistem proPO dan
juga sebagai cytoxicity bersama-sama dengan sel semi-granular (Smith et al.
2003). Walaupun terjadi penurunan persentase sel granular dan semigranular
dalam penelitian ini, namun sel-sel tersebut mampu meningkatkan aktifitas
phenoloxidase yang berperan dalam proses melanisasi. Phenoloxidase
dihasilkan melalui sistem proPO. Aktifitas phenoloxidase ini dapat diaktifkan
oleh adanya imunostimulan (Yudiana 2009). Masuknya patogen dalam tubuh
udang akan dikenali oleh plasma dan diikat. Selanjutnya terjadi respon pada sel
granular dan semi granular dengan melepaskan sistem proPO yang diaktifkan,
meliputi cell-adhesive, opsonic protein dan peroxinectin. Selanjutnya dapat
menstimulasi fagositosis oleh sel hialin atau enkapsulasi oleh sel semi-granular
(Soderhall dan Cerenius 1992; Johansson et al. 1989).

Aktifitas fagositik
Aktifitas fagositik disajikan pada Tabel 3. Aktifitas fagositik udang
vannamei yang diberi ekstrak biji nyirih menunjukkan peningkatan selama
empat minggu masa pengamatan, dengan kisaran nilai sebesar (19,00 –
26,00)%, sedangkan kontrol hanya memiliki kisaran nilai sebesar (18,33 –
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 27
23,33)%. Berdasarkan analisis ragam dan uji lanjut Duncan, nilai aktifitas
fagositik pada minggu minggu ke-3 dan minggu ke-4 menunjukkan hasil
berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan kontrol dan perlakuan pemberian
ekstrak biji nyirih 1,0 (C) g/kg pakan dibandingkan dengan perlakuan
pemberian ekstrak biji nyirih mangrove 0 (A), 0,5 (B), 1,5 (D), dan 2,0 (E)
g/kg pakan
Tabel 3. Aktifitas fagositik udang vannamei diberi Ekstrak biji nyirih 0(A),
0,5(B),1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (C) g/kg pakan selama empat minggu
pengamatan.

Aktifitas Fagositik (%)


Perlakuan
Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
A 16,8 ±1,17 a 19,5 ±0,92 a 20,3 ±0,53 a 21,5 ±1,40 a 22,5 ± 1,00 a
B 18,1 ±0,10 a 19,7 ±0,50 a 22,5 ±0,35 ab 24,2 ±0,22 ab 24,2 ±1,46 ab
C 18,5 ±1,33 a 19,5 ±2,13 a 22,4 ±1,51 ab
25,6 ±1,50 b 25,6 ±0,82 b
D 17,8 ±0,76 a 19,4 ±1,59 a 24,1 ±1,39 b
24,7 ±0,52 b 22,6 ±1,77 a
E 17,7 ±1,92 a 19,6 ±2,25 a 23,2 ±2,31 b
24,1 ±2,66 ab 22,2 ±1,77 a

* huruf superscript yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda


nyata antar perlakuan (P> 0,05)
Efektifitas ekstrak biji nyirih dalam menetralisir antigennya sangat
berhubungan dengan metabolism pencernaan udang. Proses pencernaan udang
diawali dengan masuknya makanan melewati mulut (ingestion) untuk dicerna
(digestion) di hepatopankreas dan kemudian diserap (absorption) tubuh melalui
haemolymph yang bersirkulasi dalam tubuhnya. Sel-sel haemolymph bebas
(tunggal) yang disebut haemocyte inilah yang berperan penting dalam sistem
imun terhadap infeksi patogen (Mayes 1995).
Waktu yang dibutuhkan udang untuk mencerna makanan dalam proses
pencernaan dan mendistribusikannya memiliki kaitan erat dengan aplikasi
ekstrak biji nyirih sebagai pengebalan pasif. Udang yang memiliki struktur
tubuh yang sederhana juga memiliki sistem pencernaan yang sederhana pula.
Protein sebagai komponen dasar pakan udang dapat dicerna dengan baik
setelah 3 jam (Hentschel and Feller 1990) atau 4 jam (Hoyt et al. 2000)
menggunakan immunoassay. Kandungan senyawa aktif di dalam ekstrak biji
nyirihbereaksi dengan enzim pencernaan di hepatopankreas. Flavonoid yang
terkandung didalam pakan langsung didistribusikan oleh haemolymph ke
seluruh tubuhnya. Kinerja senyawa aktif didalam tubuh udang dipengaruhi oleh
jumlah kandungan ekstrak biji nyirihyang terdapat di dalam haemolymph.
Waktu yang dibutuhkan udang untuk meningkatkan immunostimulan secara
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 28
optimal dipengaruhi oleh konsentrasi ekstrak biji nyirih yang terkandung
didalam pakan. Pada penelitian ini, Keempat dosis ekstrak biji nyirih 0,5(B),1,0
(C), 1,5 (D) dan 2,0 (E) g/kg pakan menunjukkan kinerja optimal. Imunisasi
pasif yang diberikan secara peroral dengan konsentrasi 0,5(B) g/kg pakan
meningkatkan kelansungan hidup 65%, sedangkan dengan konsentrasi 1,0 (C),
1,5 (D) dan 2,0 (E) g/kg pakan dapat meningkatkan kelansungan hidup 58%
hingga 69%, setelah hari ke 30 perlakuan.

Resistensi Udang Vannamei diberi ekstrak biji nyirih dengan dosis


Berbeda Terhadap Serangan WSSV
Pengamatan resistensi udang vannamei meliputi kelangsungan hidup,
histologi dan konfirmasi keberadaan WSSV pada udang vannamei setelah
diinfeksi WSSV. Kelangsungan hidup udang vannamei pada 12 dpi (days post
infection) menunjukkan hasil yang lebih baik pada udang vannamei yang telah
diberi ekstrak biji nyirih (21,8 – 59,4)% dibandingkan dengan udang
vannamei yang diberi pakan tanpa ekstrak biji nyirih (9,4±4,41)%. Berdasarkan
analisis ragam dan uji lanjut Duncan kelangsungan hidup udang vannamei pada
12 dpi berbeda nyata (P<0.05) antar perlakuan dan kontrol (Gambar 2).
Kelangsungan hidup udang vannamei kontrol negatif (K-) yang tidak diberi
ekstrak biji nyirih dan juga tidak diinfeksi WSSV bernilai 100%, namun
berbeda nyata dengan kelima perlakuan lainnya (perlakuan B,C,D, E dan K+).
Kelangsungan hidup udang vannamei yang diberi 0,5 g/kg pakan (B) sebesar
21,8±4,4% berbeda nyata dibandingkan dengan kelangsungan hidup udang
vannamei yang diberi ekstrak biji nyirih 1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (E) g/kg
pakan dan juga perlakuan K - (yang tidak diberi ekstrak biji nyirih namun
diinfeksi WSSV), yang masing-masing hanya bernilai (34,4 – 59,4)%.

100.00
Kelangsungan Hidup (%)

90.00
80.00
70.00 K-
60.00 K+
50.00
40.00 B
30.00
20.00 C
10.00
0.00 D

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 E
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 29
Hari setelah infeksi (dpi)
Gambar 2. Kelangsungan hidup udang vannamei yang diberi Ekstrak biji
nyirih 0 (A), 0,5(B),1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (C) g/kg pakan
setelah diinfeksi dengan WSSV.
Peningkatan sistem imun yang ditandai salah satunya dengan
meningkatnya jumlah total hemosit pada krustasea sangat penting dalam
menjaga resistensi terhadap patogen. Pada penelitian ini. Walaupun tidak
dilakukan pengujian parameter imun setelah di uji tantang dengan WSSV, patut
diduga udang vannamei yang telah diberi ekstrak biji nyirih pada pakannya
dengan dosis yang berbeda selama empat minggu, memiliki resistensi yang
lebih baik terhadap infeksi WSSV dibandingkan dengan udang vannamei yang
diberi pakan tanpa ekstrak biji nyirih, secara umum yaitu bernilai lebih tinggi
(21,8- 59,4%) dibandingkan dengan udang vannamei yang diberi pakan tanpa
ekstrak biji nyirih (9,37±4,4%). Kelangsungan hidup tertinggi terjadi pada
udang vannamei yang diberi ekstrak biji nyirihpada perlakuan (C), 1 g/kg
pakan yaitu sebesar 59,37±4,41%. Sedangkan menurut Lightner (1996) tingkat
kematian yang ditimbulkan penyakit WSSV akan mengalami tingkat kematian
mencapai 100% selama 3 hingga 10 hari setelah terinfeksi. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa pemberian ekstrak biji nyirih selama empat minggu,
telah mampu meningkatkan resistensi udang vannamei terhadap infeksi WSSV.
Pengamatan histologi pada jaringan insang, hepatopankreas, jaringan otot dan
subkutikula dilakukan pada 12 dpi (Tabel 4) menunjukan abnormalitas pada
semua perlakuan yang diinfeksi WSSV, sedangkan pada perlakuan kontrol
yang tidak diinfeksi WSSV (K-) menunjukan bentuk jaringan yang masih
normal.
Tabel 4. Pengamatan kelangsungan hidup (SR), histologi jaringan insang,
hepatopankreas, jaringan otot dan subkutikula serta PCR udang
vannamei diberi dosis Ekstrak biji nyirih berbeda setelah diinfeksi
WSSV.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 30


Histologi SR
Perlakuan PCR
Insang Hepatopankreas Subkutikula (%)
K- n n n 100,0 -
K+ ab ab ab 9,4 +
B ab n ab 21,8 +
C ab n n 59,4 -
D ab n ab 40,6 +
E ab ab ab 34,4 +

Keterangan : n (normal); ab(abnormalitasi); + (positif WSSV); -


(negative WSSV); SR (survival rate)
Berdasarkan pengamatan histologi pada jaringan insang, hepatopankreas
dan subkutikula yang diinfeksi dengan WSSV, menunjukkan terjadinya
abnormalitas jaringan insang, hepatopankreas dan subkutikula. Kondisi tersebut
sesuai dengan pendapat Lightner (1996) yang menyatakan bahwa serangan
WSSV dapat mengakibatkan kerusakan jaringan sel pada udang termasuk
organ insang dan hepatopankreas, kerusakan tersebut dapat berupa atrophy
yaitu menurunnya jumlah cytoplasma dari sel, degenerasi (penurunan fungsi
sel) hingga nekrosis (kematian masal). Chou et al. (1995) melaporkan bahwa
pada udang panaeus japonicus yang di infeksi dengan WSSV menunjukkan
adanya degenerasi pada hepatopankreas. Perubahan secaara histologi tersebut
terjadi setelah udang dipapar pada inokulum WSSV selama 1 jam, dan
pengamatan histologi di lakukan pada udang yang sekarat (moribund).
Berdasarkan pengamatan histologi pada jaringan insang, hepatopankreas
dan subkutikula yang diinfeksi dengan WSSV, menunjukkan terjadinya
abnormalitas jaringan insang, hepatopankreas dan subkutikula. Kondisi tersebut
sesuai dengan pendapat Lightner (1996) yang menyatakan bahwa serangan
WSSV dapat mengakibatkan kerusakan jaringan sel pada udang termasuk
organ insang dan hepatopankreas, kerusakan tersebut dapat berupa atrophy
yaitu menurunnya jumlah cytoplasma dari sel, degenerasi (penurunan fungsi
sel) hingga nekrosis (kematian masal)
Visualisasi histologi udang juga berkaitan erat terhadap deteksi
infeksi virus mengungakan metode PCR, sampel yang di tambahkan ekstrak
biji nyirih1,0 (C), g/kg pakan menunjukkan negatif terinfeksi WSSV, di
tunjukkan dengan tidak pita visualisasi gel agarose pada 941 pasang basa.
Proses pemulihan ini juga diikuti dengan masih hidupnya udang tersebut
hingga akhir percobaan. Hal ini patut diduga adanya kemampuan ekstrak biji
nyirih1,0 (C), g/kg pakan yang terkandung didalam pakan dapat menurunkan
virulensi WSSVdalam tubuh udang. (Gambar 3).

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 31


Gambar 3 . Hasil elektroforesis produk PCR sampel udang yang di infeksi
WSSV (Keterangan: M. Marker DNA, K+: Kontol positif
WSSV K- : Kontorl negatif WSSV kp+ : Kontrol (+) Perlakuan,
kp - : Kontrol (-) Perlakuan B: Perlakuan (B) ekstrak biji nyirih
0,5 g/kg pakan C. Perlakuan (C) ekstrak biji nyirih 1,0 g/kg
pakan D. Perlakuan (D) ekstrak biji nyirih 1,5 g/kg pakan E.
Perlakuan (E) ekstrak biji nyirih 2,0 g/kg pakan.

Ekstrak biji nyirih mampu menekan perkembangan dari patogen


WSSV melalui aktifitas fagositas udang, sehingga patogen tertahan untuk dapat
masuk/penetrasi ke dalam tubuh udang . Lewis & leong (2004) dan Ka Yin
(2004) menyatakan bahwa tahapan multivikasi dari DNA virus di awali
dengan perlekatan partikel virus (attachment) pada permukaan sel yang peka,
sebelum melanjutkan ke tahapan penentrasi, pelepasan selubung virus
(uncoating), perekaman (trancription) hingga tahapan akhir perakitan
(assembly) virus baru dan pelepasan virus yang telah matang (released by
budding). Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa ekstrak biji nyirih
dimungkinkan untuk digunakan sebagai imunostimulan untuk menanggulangi
serangan WSSV pada udang vannamei.

KESIMPULAN

Hasil pengamatan ekstrak metanol dari biji nyirihwarna filtratnya merah


tua pekat dengan bentuk fisiknya bubuk dengan nilai rendeman sebesar 16,25%
dan ekstrak kasar ini juga mengandung senyawa flavonoid. Pemberian ekstrak
biji mangrove, melalui pakan diduga mampu meningkatkan respons imun,
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 32
pertumbuhan dan resistensi udang vannamei terhadap pengendalian penyakit
WSSV.Pemberian ekstrak biji nyirih dosis 1 g/kg pakan menghasilkan respons
imun tertinggi (total hemosit 9,16-10,18x106 sel/ml), aktifitas fagositik (18,50-
25,60%), pertumbuhan bobot relatif 2%, dan kelangsungan hidup 59,37±4,4%,
visualisasi histologi organ hepatopankreas, dan subkutikula normal serta
deteksi PCR negatif di bandingkan dengan perlakuan yang lain setelah diinfeksi
dengan WSSV. Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah
hendaknya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui frekuensi
pemberian ekstrak biji nyirih yang efektif pada udang vannamei terhadap
serangan WSSVyang tepat, sehingga hasilnya mampu melengkapi penelitian
yang telah dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: PT
Gramedia.
Chang PS, Lo CF, Wang YC. and Kou GH.1996. Identification of White Spot
Syndrome Associated Baculovirus (WSBV) Target Organs in the
Shrimp Penaeus monodon by In Situ Hybridization. Dis. Aquat.
Org. 27, 131-139
Chou, H.Y,C. Yi Huang, C. H. Wang, H.C Chiang & C.F Lo. 1995.
Pathogenicity of a baculovirus infection causing white spot
syndrome in cultured penaeid in Taiwan. Dis aquat org. 23 : 165-
173
Hamsah. 2004 Peran pakan alami dalam penularan White spot syndrome virus
(WSSV) pada benur udang windu, Penaeus monodon. [Tesis].
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
Hentschel BT and Feller RJ. 1990. Quantitative Immunoassay of the Pro
Ventrikular Contents of White Shrimp Penaeus setiferus Linnaeus:
a Laboratory Study.Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology, vol 139; 85 – 99
Hoyt M, Fleeger JW, Siebeling R, Feller RJ. 2000. Serological Estimation of
Prey-Protein Gut-Residence time and Quantification of Meal Size
for Grass Shrimp Consuming Meiofaunal Copepods. Journal of
Experimental Marine Biology and Ecology, vol 248; 105 – 119

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 33


Ismet MS. 2007. Penapisan Senyawa Bioaktif spons Aatops dan Petrosia sp
dari lokasi yang berbeda (tesis) Bogor: Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Johansson MW, Keyser P, Sritunyalucksana K, Soderhall K. 2000. Crustacean
hemocytesand haemotopoiesis. Aquac 191: 45-52
Ka. Yin L. 2004. Current trends in the study of bacterial and viral fish and
shrimp disease. World scientific singapore. 421 hal.
Le Moullac G, Soyez C, Saulnier D, Ansquer D, Avarre JC and Levy P. 1998.
Effect of hypoxic stress on the immune response and the resistance
to vibriosis of the shrimp Penaeus stylirostris. Fish & Shellfish
Immunol. 8:621-629.
Lewis , T .D & J.A.C. Leong . 2004 . Virus of the fish in: Ka Yin, Leung (ed)
2004. Current trends in the study of bacteria and viral fish and
shrimps disease. World Scientific. Singapore 421 hlm.
Lightner, D.V.1996. A Handbook of Shrimp patalogy and diagnostic prosedure
for discase of culture penaeid shrimp in asia. Wold Aquaculture
Society. Baton Rounge.LA. USA. 350p
Markham, K.R.1988 Cara mengindentifikasi Flavonoid.Penerbit ITB Bandung
Mayes, PA. 1995. Karbohidrat dengan Makna Fisiologis yang Penting. Dalam
Hartono A (Alih Bahasa): Biokimia Harper. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Murniasih T. 2005. Potensi Mikroorganisme sebagai sumber bahan obat-obatan
dari laut yang dapat dibudidayakan, Oseana 29: 1-7
Sari, DK 2008. penapisan antibakteri dan inhibitor topoisomerase I dari
Xylocarpus granatum [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Smith VJ, Janet HB, Hauton C. 2003. Immunostimulation in crustaceans : does
it really protect against infection. Fish & Shellfish Immunology.
15:71-90.
Soderhall K, Cerenius L. 1992. Crustacean Immunity. Annual Review of Fish
Disease. 2:3-23.
Supriatna, A. 2004 Pengaruh perendaman White spot syndrom virus (WSSV)
dalam ekstrak biji Mangrove terhadap patogentitas pada udang
windu (Penaeus monodon ) [skripsi]. IPB, Bogor.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 34


Witteveldt J, Vlak JM, van Hulten MCW. 2004. Protection of Penaeus
monodon against white spot syndrome virus using a WSSV subunit
vaccine. Fish Shellfish Immunol
Yeh ST, Chen JC. 2008. Immunomodulation by carrageenans in the white
shrimp Litopenaeus vannamei and its resistance against Vibrio
alginolyticus. Aquaculture. 276:22-28.
YiG et al, 2004. VP 28 of Shrimp White spot syndrome virus is involved in the
attachment and penetration into shrimp cell, J Biohem Mol Biol
37: 726-734
Yudiana J.2009. Penggunaan ekstrak Gracilaria verrucosa untuk
meningkatkansistem ketahanan udang vaname Litopenaeus
vannamei. [Thesis]. Bogor :Sekolah Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 35


PERFORMA REPRODUKSI INDUK UDANG GALAH (Macrobrachium
rosenbergii) DENGAN PEMBERIAN CACING TANAH (Lumbricus
rubellus)

Anton Mardiyanta, Adi Susanto dan Suhartono


Balai Perikanan Budidaya Air Payau
Jl. Pemandian Kartini PO BOX No.1 Jepara JAWA TENGAH

ABSTRACT
Larvae production programmes in giant fresh water prawn,
Macrobrachium rosenbergii focused usually on gonad maturation
process, number eggs production and hatching rate. An effort to
improve larvae production was done throught substitution of feed using
earth worm (Lumbricus rubellus). The tests was conducted in fiberglass
tank 2 m x 2 m with 40 cm water depht and placed in indoor room. 36
- 54 g body weight of M. rosenbergii was used as animal tested. Earth
worm as substitution feed was given 25% from total feed daily that
comprised of fresh potato and squid. As comparison, standart feed
comprised of fresh potato, squid and shrimp pellet with 40 % protein
content was apllied. Result indicated that application of earth worm
increse the number of larvae reached to 14.772 in 36 – 38 g body
weight. M. rosenbergii with 40 – 42 g and 50 – 54 g body weight
produce 21.445 larvae and 39.305 larvae respectively. Maturation
using standart feed produce 9.500, 12.950, and 14.300 larvae in each
body weight of 36 – 38 g, 40 – 42 g and 50 – 54 g. respectively.
Higher percentage of ripe broodstock were observed in apllication of
earth worm, that was 85%, compared to 30 % without earth worm.
Subsequent eggs formation were found 10 days after spawning in earth
worm substitution and 21 days without substitution.

Keywords : Udang galah, cacing tanah, Lumbricus

PENDAHULUAN

Udang galah merupakan salah satu spesies udang air tawar yang dapat
tumbuh cepat dalam waktu pemeliharaan yang cukup singkat. Meski pangsa
pasar belum sebesar spesies udang laut, namun potensi ekspornya cukup tinggi
serta mempunyai beberapa segmen pasar baik berupa produk olahan maupun
bahan mentah. Pada kegiatan budidaya, udang galah dapat dipelihara secara
polikultur dengan spesies lain ataupun sebagai spesies pilihan yang tepat selain
tipalia dan udang laut. Benih bermutu merupakan tuntutan untuk meningkatkan

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 36


produksi budidaya dimana performa mutu benih mesti diuji melalaui beberapa
tolok ukur. Salah satu upaya untuk mendapatkan benih yang baik adalah
dengan menggunakan indukan yang baik.Beberapa upaya peningkatan kualitas
induk telah dilakukan mulai dari program pemuliaan induk, penggunaan pakan
berkualitas hingga produksi induk yang dapat menghasilkan benih monosex.
Pakan yang diberikan selama proses maturasi diyakini akan berpengaruh
terhadap performa reproduksi baik jumlah dan kualitas telur dan larva yang
dihasilkan. Karakterisasi dan aktivitas dari enzym pencernaan mengindikasikan
bahwa udang galah bersifat omnivora, yang terlihat adanya variasi jenis pakan
yang terdapat pada saluran pencernaan baik berupa bahan tumbuhan maupun
hewan. Kebutuhan nutrisi bervariasi pada setiap stadia, namun hampir
kesemuanya memerlukan kandungan protein yang cukup tinggi untuk
kecukupan asam amino, kebutuhan akan Triglycerida, cholesterol dan
phospolipid serta kebutuhan akan mineral dan vitamin (D‘ Abramo dan B
New, 2000). Pada kegiatan maturasi pakan yang umum diberikan adalah cumi-
cumi segar dan kentang sebagai sumber karbohidrat. Karaktersistik pakan
induk udang galah mengikuti kebutuhan nutrien yakni kandungan protein,
lemak dan energi yang tinggi (D‘Abramo dan B New, 2000).
Cacing tanah (Lumbricus rubellus) dicobakan sebagi salah satu alternatif
pakan maturasi induk udang galah setelah beberapa uji yang dilakukan terhadap
udang windu didapat hasil yang cukup signifikan. Cacing, baik cacing laut
maupun lumbricus memiliki kelebihan dari tekstur tubuhnya dibanding jenis
pakan lain, ukuran tubuhnya yang relatif kecil serta lunak dengan selaput kulit
tipis menjadikannya mudah dimakan oleh udang tanpa meninggalkan sisa.
Cacing lumbricus mulai dilirik penggunaannya karena fungsinya yang makin
beragam. Cacing ini dapat digunakan sebagai pakan ternak, pakan ikan, bahan
baku obat, kosmetika, penghasil pupuk, pelenyap sampah serta makanan
manusia. Cacing lumbricus merupakan pemakan organik yang cukup rakus,
sehingga penambahan bahan-bahan pengkaya untuk meningkatkan nilai gizi
cukup mudah dilakukan. Selain memiliki kandungan protein cukup tinggi,
nutrisi cacing tanah yang diperkaya diharapkan akan sesuai dengan kebutuhan
nutrisi organisme yang dipelihara.
Penggunaan pakan dengan nutrisi tinggi dan bukan merupakan
pembawa virus merupakan pilihan jenis pakan pada pengelolaan induk udang
galah di masa mendatang. Ditemukannya jenis virus seperti MrNV cukup
menjadi ganguan pada peningkatan program produksi. Virus – virus tersebut
dapat ditularkan secara vertikal maupun horizontal yang salah satunya lewat
pakan yang terinfeksi.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 37


BAHAN DAN METODE

Pengujian penggunaan cacing tanah sebagai salah satu pakan pada


kegiatan pematangan gonad induk udang galah dilakukan pada bak fiberglass
ukuran 2 x 2 m yang diisi air tawar steril dengan kedalaman 40 cm. Wadah
pemeliharan ditempatkan pada ruangan (indoor) dengan kondisi cahaya
mengikuti pola penyinaran secara alami. Calon induk yang digunakan
merupakan hasil seleksi dari pemeliharaan yang dipilih berdasarkan beberapa
kriteria. Ukuran induk yang digunakan memiliki kisaran berat antara 40 dan 50
gram untuk masing – masing induk betina dan jantan. Sebelum digunakan
induk diperiksa status kesehatannya dan dipastikan bersih dari beberapa
organisme yang bersifat parasit serta bebas virus. Induk dipelihara pada bak
fiber glass yang telah dipersiapkan dengan kepadatan 4 – 5 ekor /m2 dengan
ratio jantan dan betina 1 : 3
Cacing tanah sebagai pakan uji diperoleh dari unit budidaya cacing,
Lab Pakan Alami BBPBAP Jepara. Sebelum digunakan cacing dipanen dan
diseleksi untuk mendapatkan ukuran dewasa, kemudian dicuci hingga bersih
dari media budidayanya. Cacing yang sudah dibersihkan ditimbang dan siap
diberikan kepada induk udang galah. Jenis pakan lain yang digunakan adalah
cumi-cumi segar dan pelet udang. Sebagai pembanding, digunakan juga
komposisi pakan yang terdiri dari kentang, cumi-cumi dan pelet udang. Secara
keseluruhan pakan diberikan sebanyak 35 % dari berat biomas induk yang
terbagi atas tiga kali pemberian, pada pagi, siang dan sore hari. Cacing tanah
diberikan sebanyak 25 % dari berat total pakan yang diberikan pada pagi hari.
Pengelolaan media dilakukan dengan melakukan pergantian air sebanyak 25 –
50 % setiap hari
Pengamatan dilakukan terhadap respon terhadap pemberian cacing,
kecepatan pembentukan telur, prosentase induk bertelur, berat telur serta
jumlah larva yang dihasilkan pada setiap kisaran berat. Berat telur diamati
pada setiap inividu dengan menimbang berat induk bertelur yang kemudian
dikonversi dengan berat induk yang sama setelah telurnya terlepas. Jumlah
larva setiap kisaran berat induk diamati dengan menetaskan telur pada
aquarium volume 40 liter yang diisi secara individual dengan air media
penetasan 4 – 5 ppt. Waktu pembentukan telur kembali dihitung berdasar
jumlah hari yang diperlukan untuk menghasilkan telur setelah telur dilepaskan.
Parameter kualitias diamati secara periodik guna memastikan bahwa kisaran –
kisaran nilai berada pada level aman. Pengujian dilakukan selama 3 bulan.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 38


HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap status kesehatan induk yang digunakan


menunjukkan bahwa induk tidak terindikasi adanya infeksi virus dan sehat
secara fisik. Respon terhadap cacing terlihat positif, dimana sejumlah cacing
yaang diberikan setiap hari hampir tidak pernah tersisa. Produktifitas induk
pada pengujian pemberian cacing dan tanpa pemberian cacing terlihat berbeda,
dimana baik berat telur dan jumlah larva lebih baik pada induk yang diberikan
pakan cacing

Tabel 1. Berat telur dan jumlah larva yang dihasilkan dengan penambahan
cacing

Kisaran berat Induk Rata – rata panjang Rata-rata berat Rata-rata jumlah
(Gram) induk (Cm) telur/ekor induk larva/ekor induk
(Gram) (ekor)
36 - 38 13.9 3 14.772
40 - 42 14.25 4 21.445
50 - 54 16.35 5 39.305

Tabel 2. Berat telur dan jumlah larva yang dihasilkan tanpa penambahan
cacing
Kisaran berat Induk Rata – rata panjang Rata-rata berat Rata-rata jumlah
(Gram) induk (Cm) telur/ekor induk larva/ekor induk
(Gram ( ekor)
36 - 38 13,6 3 9.500
40 - 42 14,15 4 12.950
50 - 54 15.00 4 14.300

Pada pengamatan kecepatan pembentukan telur teramati bahwa pada


perlakuan penambahan cacing telur terbentuk lebih cepat yakni 10 – 15 hari
dibandingkan dengan 21 hari pada perlakuan tanpa penambahan cacing.
Prosentase induk bertelur juga terlihat lebih banyak mencapai 85 % dibanding
dengan 30 % pada perlakuan tanpa penambahan cacing. Kualitas air selama
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 39
masa pemeliharaan berada pada kisaran yang dapat ditolerir pada kedua
perlakuan uji.

Tabel 3. Kisaran fluktuasi parameter kualitas air selama masa Pemeliharaan

Jenis Pakan Suhu (oC) pH DO (ppm) Salinitas NH3 (ppm) NO2 (ppm)
(ppt)
Penambahan 29.5-30.5 7,8 – 8,1 4.3 – 4.7 6 0.012- 0.009-
cacing 0.024 0.335
Tanpa 27,6 – 28,1 7.9 – 8.0 4.0 – 5.3 5 0.006- 0.016-
penambahan 0.017 0.052
cacing

Pemeriksaan status kesehatan pada calon induk sebelum digunakan


pada kegiatan pematangan gonad merupakan tahapan yang cukup penting.
Status kesehatan calon induk akan menentukan kualitas benih yang nantinya
dihasilkan karena beberapa jenis virus dapat diturunkan secara vertikal dari
induk ke anakannya (Sudhakaran et al, 2007). Status bebas MrNV pada calon
induk yang digunakan pada pengujian ini akan memberi kepastian tidak adanya
deviasi pada produktifitas yang disebabkan oleh infeksi virus.
Penggunaan cacing tanah sebagai pakan substitusi ternyata dapat
meningkatkan berat telur dan jumlah larva yang dihasilkan. Induk udang galah
yang diberi pakan cacing menghasilkan berat telur lebih tinggi dibandingkan
dengan tanpa pemberian cacing, demikian juga jumlah larva yang dihasilkan.
Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan perbedaan berat dan jumlah telur pada setiap
kelas berat pada masing – masing individu. Dari pengamatan preferensi
terhadap pakan juga terlihat bahwa cacing yang diberikan selalu habis termakan
oleh calon induk. Preferensi induk udang galah yang tinggi terhadap jenis
cacing juga terlihat pada habitatnya di alam Bilamana pakan yang diberikan
kurang, maka populasi makro invertebrata di substrat akan berkurang
setidaknya 70%. Proporsi terbesar dari jenis yang berkurang adalah
oligochaeta dan diikuti oelh insekta gastropoda, chironomid, pepelypoda dan
nematoda (Tidwell et al, 1995). Cacing secara umum masuk dalam Phylum
Annelida dimana di dalamnya terdiri atas cacing dengan tubuh bersegmen
termasuk cacing tanah, cacing laut maupun cacing tawar. Phylum Annelida
terdiri atas 3 (tiga) kelas yakni Polychaeta, Oligochaeta serta Hirudinea
(Barnes, 1974). Setiap kelas mempunyai karakter berbeda yang tergantung dari
masing – masing kelengkapan anggota tubuh dan behaviour. Nereis adalah
salah satu jenis dari klas Polychaeta, sementara Lumbricus merupakan jenis
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 40
yang banyak dijumpai pada klas Oligochaeta. Polychaeta termasuk hewan
pemakan bangkai, omnivora, herbivora, browser serta organik sementara
Oligochaeta hampir semuanya pemakan bangkai dan bahan organik yang
berasal dari pembusukan tumbuhan (Barnes, 1974). Hal tersebut menyebabkan
secara umum kandungan nutrisi dari Polychaeta lebih tinggi dan beragam
dibanding Oligochaeta. Namun beberapa kelebihan dari jenis Oligochaeta juga
terlihat dimana salah satunya adalah kemudahan dalam pembudidayaan
(Palungkun, 2010).
Berat telur dan jumlah larva yang dihasilkan kemungkinan juga
dipengaruhi oleh kandungan nutrisi cacing tanah yang cukup tinggi. Cacing
tanah mengandung protein 61%, lebih tinggi dari daging (51%) dan ikan (60%).
Komposisi asam amino didominasi oleh Arginin, Lisin dan Leusin, sementara
jenis yang lain dijumpai pada konsentrasi lebih rendah. Kandungan nutrisi
tersebut diduga merupakan komponen penting dalam proses formasi telur.
Pengaruh nutrisi terhadap kualitas larva juga dikemukakan oleh Wybanet
al(1997) dimana induk vaname yang pada pakannya ditambahkan paprika
sebagai sumber beta carrotene menghasilkan jumlah dan kualitas nauplius yang
lebih baik. Penambahan asam linoleat (18:2n-6) dan n-3 HUFA dapat
meningkatkan fekunditas induk udang galah namun dengan ukuran telur yang
lebih kecil (Cavalii et al, 1999). Penambahan vitamin C pada pakan juga
berpengaruh terhadap kualitas larva udang galah terutama terhadap pengaruh
stress, meskipun tidak terlihat pengaruh yang signifikan terhadap fekunditas
dan jumlah larva yang dihasilkan (Cavalii et al, 2003).
Penggunaan cacing sebagai pakan pada proses maturasi ternyata dapat
mempercepat proses pembentukan telur. Pada calon induk yang diberi cacing,
telur kembali terbentuk 10 hari setelah spawning, drbandingkan dengan 21 hari
tanpa pemberian cacing. Jumlah induk bertelur juga lebih banyak pada induk
yang diberi cacing. Kejadian frekuensi bertelur yang lebih dari sekali atau yang
dikenal dengan multiple spawning merupakan fenomena unik pada udang.
Selain hal tersebut sering juga dijumpai sejumlah induk yang tidak dapat
menghasilkan telur selama masa pematangan gonad. Kejadian multiple
spawning cukup menguntungkan pada kegiatan produksi larva karena dalam
satu induk akan dihasilkan lebih banyak larva. Pada udang vaname tidak
terlihat adanya perbedaan kualitas telur pada kejadian multiple spawing baik
pada kandungan protein, lemak, karbohidrat maupun beta carroten (Ibara et al,
2007). Peningkatan jumlah spawning juga dapat dicapai dengan memberikan
pakan optimal, dimana pada uji penggunaan pakan dengan kandungan nutrisi
optimal dapat meningkatkan kejadian spawning menjadi 6 kali dibandingkan 4
kali pada pakan kontrol (Marsden et al, 1997). Penggunan artemia yang
diperkaya dengan beberapa asam lemak essensial menghasilkan induk udang
dengan performa reproduksi lebih baik dibanding dengan artemia yang tidak
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 41
diperkaya maupun cumi-cumi. Induk – induk tersebut meningkat proporsi
memijahnya menjadi lebih dari satu kali serta tercapainya jumlah maksimum
pemijahan ( Wouters et al, 2001). Sebaliknya, dijumpainya induk-induk yang
tidak memijah merupakan suatu ketidak beruntungan sebab mereka tetap
menempati ruangan yang sama, menghabiskan pakan yang diberikan namun
tidak memberi kontribusi terhadap produksi larva. Pada kondisi kurang optimal
seperti ukuran terlalu kecil, prosentase induk yang tidak produktif dapat
mencapai 90% (Cavalii et al, 1997). Demikian pula, pada ukuran optimal
sejumah betina yang tidak produktif juga sering dijumpai.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penambahan cacing tanah (Lumbricus rubellus) sebagai pakan pada


pematnag gonad induk udang galah dapat meningkatkan berat telur serta
jumlah larva yang dihasilkan. Peningkatan juga terjadi pada proporsi induk
yang bertelur dan lebih singkatnya waktu yang diperlukan untuk pembentukan
telur berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Barnes, R.D., 1974. Invertebrate Zoology. W.B. Sounders CompanyCavalii,


R.O., M.P. Scardua dan W, Wasiliesky, 1997. Reproductive
performance of different size wild and pond-reared Penaeus paulensis
female. J Worid Aquac Soc 28 : 260 – 267

Cavalii, R.O., P. Lavens dan P. Sorgeloos, 1999. Performance


ofMacrobrachium rosenbergii fed diets with different fatty acid
composition. Aquaculture 179 (1-4): 387 – 402

Cavalii, R.O., F.M.M. Batista, P. Lavens, P. Sorgrloos, H.J. Nelis dan A.P
Deleendeer, 2003. Effect of dietary supplementation of vitamin C and
E on maternal performance and larval quality of the prwan
Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 227:131 – 146

D‖Abramo, L.R. dan M.B. New, 2000. Nutrition, Feeds and Feeding. New,
M.B, dan W.C. Valenti (Ed). Freshwarwe prawn culture.The farming
of Macrobrachiumrosenbergii. Blacwell science Ltd

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 42


Ibara, A.M., I.S. Racotta, F.G. Acros dan E, Palacios, 2007, Progress on
genetics of reproductive performance in penaeid shrimp. Aquaculture
268: 23 – 43

Marsden, G., J. McGuren, E.W. Handsford dan M.J. Burke, 1997. A


moistartificial diet for prwn broodstock : its effect on veriable
reproductive performance of wild caugh Penaeus monodon.
Aquaculture 149 : 145 – 156

Palungkun, R., 2010. Usaha ternak cacing tanah. Penebar


SwadayaSudhakaran.R., Ishaq, A.V.P., Haribabu P., Mukherjee, SC.,
Sri Widada, J., Bonami, J.R., dan Sahul, H.A.S., 2007. Experimental
vertical transmission of Macrobrachium rosenbergii nodavirus
(MrNV) and extra small virus (XSV) from brooders to progeny in
Macrobrachium rosenbergii and artemia. J Fish Dis 30(1): 27 -35

Wouters, R., P, Lavens, J. Nieto dan P. Sorgeloos, 2001. Penaeid shrimp


broodstock nutrition : an update review on research and development.
Aquaculture 202 : 1 – 21
Wyban, J., G. Martinez dan J. Sweeny, 1997. Adding paprika to
Penaeusvanamei maturation diet improves nauplii quality. World
Aquaculture, June 2007

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 43


APPLICATION OF Terminalia catappa AT THE MEDIUM OF GIANT
FRESH WATER PRAWN (Macrobrachium rosenbergii De Man)
LARVAE REARINGFOR INCREASING SEED PRODUCTION

Susi Rosellia, Dasu Rohmana, Yuani Mundayana, Murtiati, Kesit Tisnawibowo,


Sri Hastuti, Bunga, Nendih, Ade Kurnia
Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi,
Jl. Salabintana No.17 Sukabumi, Jawa Barat

ABSTRACT

Catappa leaves have been used in many sectors of fisheries, mainly for
fish transfortation. Terminalia catappa contains important matters as
alkaloid, flavanoid, tanin, and saponin. The fuction of alkaloid and
flavanoid as antibiotic, tanin as antioxidant, and saponin as supported
for moulting the skin. In this study, Terminalia catappa leaves that were
used that tree shed its leaves. And then the leaves were dried. In the
experimental, there were three doses of treatments. The treatment
without leaves of Termianlia catappa as control, dose at 100 g/m 3 (30
leaves), and the other dose at 200 g/m3 (60 leaves). The result of this
study showed that the treatment with Terminalia catappa accoured
increasing in the survival rate. The survival rate in each dose was
58.2±6.8 %, (control), 64.3±5.0 % (100 g/m 3), and 66.0±11.1% (200
g/m3). Another that, duration of larvae rearing was different in each
treatment, 30-36 days (control), 24-30 days to the dose given at 100
g/m3 and 200 g/m3. The decreased of duration can be used to increase
productivity, because its can be efficiency for feed and waters used.

Keyword : Terminalia catappa, giant fresh water prawn


(Macrobrachium rosenbergii De Man), larvae rearing.

PENDAHULUAN

Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) adalah salah satu komoditas


perikanan yang bernilai ekonomis. Seiring berkembangnya pariwisata dan
beragam kuliner udang galah di Indonesia, pasar domestik semakin prosfektif.
Minat masyarakat untuk mengkonsumsi udang galah semakin meningkat.
Peluang ekspor juga terbuka karena udang galah diminati oleh pasar
mancanegara. Selain pangsa pasarnya yang masih terbuka luas, udang galah

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 44


relatif mudah untuk dibudidayakan dan dapat dibesarkan secara polikultur
dengan ikan air tawar lainnya, atau dengan sistem ugadi.
Berkembangnya budidaya udang galah di masyarakat akan
meningkatkan permintaan benih udang galah. Ketersediaan benih yang cukup
dan berkualitas tentu diperlukan untuk mendorong kegiatan pengembangan
budidaya. Ketersediaan benih udang galah akan sangat bergantung pada
tingkat produktivitas di hatchery/panti benih.
Saat ini pengembangan udang galah terkendala dengan
ketidakberhasilan produksi benih di hatchery akibat infeksi penyakit yang
beragam serta kerentanan benih terhadap perubahan lingkungan/kualitas air.
Infeksi penyakit dapat terjadi melaui media pemeliharaan. Kerugian ekonomis
akibat kasus penyakit cukup tinggi, karena akan menurunkan tingkat
produktivitas dengan menurunnya tingkat kelangsungan hidup benih. Salah
satu upaya meningkatkan kelangsungan hidup adalah mencegah terjadinya
infeksi penyakit.
Beberapa bahan antibiotik telah banyak digunakan untuk mencegah dan
mengobati terjadinya infeksi penyakit pada udang. Salah satu bahan herbal
yang ada dan digunakan dalam pengobatan tradisional adalah daun ketapang.
Pemberian daun ketapang pada media pemeliharaan larva diharapkan mampu
meningkatkan kelangsungan hidup sehingga terjadi peningkatan produksi
benih.
Pohon ketapang tersebar di daerah tropis dan sub tropis terutama di
Benua Afrika. Di Indonesia, pohon ini tumbuh liar di dataran rendah dan
sering dijumpai di daerah pesisir pantai (Heyne, 1987 dalam Elin, 2006).
Berdasarkan hasil pengujian kualitatif diketahui bahwa daun ketapang
mengandung beberapa zat penting seperti alkaloid, flavanoid, steroid, kuinon,
tanin dan saponin (WHO, 1998 dalam Elin, 2006). Begitu pula hasil pengujian
yang dilakukan oleh LP2IL Serang bahwa dalam daun ketapang terkandung zat
alkaloid, flavanoid, tanin dan saponin (LP2IL, 2014). Penggunaan daun
ketapang yang gugur berdasarkan hasil kajian Hardiko, 2004 yang
menyebutkan bahwa aktifitas anti bakteri dan anti jamur pada daun ketapang
yang gugur lebih besar dibandingkan dengan daun ketapang yang masih pada
pohonnya. Oleh karena itu aplikasi pada media pemeliharaan larva udang
galah digunakan daun ketapang yang gugur.

Tujuan
Meningkatkan produksi benih udang galah.

Sasaran
Tersedianya benih yang cukup untuk kegiatan budidaya udang galah di
masyarakat.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 45
BAHAN DAN METODE

Kegiatan dilaksanakan pada Bulan Januari sampai dengan Juni 2014,


bertempat di Instalasi Pembenihan Udang Galah Palabuhan Ratu Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi.

Bahan yang digunakan adalah induk udang galah, pakan induk, pakan
larva, pakan benih, Artemia, vitamin C, daun ketapang kering (Terminalia
catappa), bahan kimia (iodine, kaporit dan thiosulfat). Sedangkan alat yang
digunakan adalah kolam pemeliharaan dan pemijahan induk, bak penetasan
telur, bak pemeliharaan larva, bak tandon air tawar, bak tandon air laut,
instalasi air tawar, instalasi air laut, perlengkapan sifon, perlengkapan aerasi,
perlengkapan ganti air, bak penetasan artemia, ember, baskom, scoopnet,
perlengkapan pembuatan pakan egg custard.

Persiapan sarana dan prasarana pembenihan (Standar Prosedur


Operasional Pembenihan Udang Galah BBPBAT Sukabumi 2009)
a. Persiapan sarana dan prasarana pembenihan
- Bangunan hatchery dibersihkan,lantainya didesinfeksi dengan
kalsium hipoklorit 10%
- Mencuci kotoran yang menempel pada permukaan bak dengan
memakai detergen selanjutnya diseka dengan kalsium hipoklorit
10%
- Pipa saluran air didesinfeksi dengan cara memasukkan larutan
kalium permanganat dengan dosis 100 g/ton ke dalamnya dan
ditahan selama minimal 24 jam
- Perlengkapan aerasi dan perlengkapan lapang lainnya dicuci dengan
detergen selanjutnya direndam pada larutan iodin dengan dosis 100
ml/ton selama minimal 24 jam, lalu dibilas dan dikeringkan
(dijemur) di tempat yang bersih
- Bangunan dan bak pemeliharaan dibiarkan terjemur selama minimal
1 minggu selanjutnya dicuci ulang dengan menggunakan natrium
thiosulfat 5% sampai residu kaporit hilang
- Pemasangan perlengkapan aerasi dan pipa outlet/dop di setiap wadah
pemeliharaan
b. Pengelolaan air sumber.
- Air tawar berasal dari sumur dalam/sungai, dipompa dan
diendapkan di bak reservoir air tawar

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 46


- Air laut diambil pada saat kondisi jernih di hamparan karang
dengan menggunakan pompa dan diendapkan di bak reservoir air
laut
- Air tawar dialirkan melalui send filter dan air laut disaring dengan
filter bag ke dalam bak pencampuran
- Pada kegiatan pembenihan dibutuhkan air bersalinitas 5 promil
untuk penetasan telur dan 12 promil untuk pemeliharaan larva, dan
untuk membuat air dengan salinitas tersebut digunakan perhitungan
dengan rumus: StVt + SlVl = ScVc dimana St = salinitas air
tawar, Vt = volume air tawar, Sl = salinitas air laut, Vl = volume air
laut, Sc = salinitas air campuran dan Vc = volume air campuran
- Desinfeksi air dilakukan dengan cara berikut:
 Mengisi air pada bak pencampuran dengan salinitas yang
dikehendaki
 Menimbang kalsium hipoklorit sebanyak 30 g/m3, ditempatkan
di ember 10 liter, lalu diencerkan dengan air, diaduk dan
disebar merata pada air yang didesinfeksi
 Pengaerasian dilakukan selama 1 jam
 Air dibiarkan selama minimal 24 jam lalu dinetralkan dengan
natrium thiosulfat 15 g/m3 dengan cara seperti memberikan
kalsium hipoklorit
 Pengaerasian dilakukan terus menerus minimal 12 jam hingga
air siap pakai

Prosedur pemijahan dan penetasan induk (Standar Prosedur Operasional


Pembenihan Udang Galah BBPBAT Sukabumi 2009)
a. Pemijahan induk
- Melakukan pengelolaan induk dengan memasangkan induk betina
dan jantan. Pemeliharaan induk dilakukan di kolam dengan
kepadatan 5 ekor/m2, selama pemeliharaan induk diberi pakan pellet
3% dengan frekuensi 3 kali sehari
- Pemijahan dilakukan di bak pemijahan berukuran 15 m2 secara
masal dengan kepadatan 2-3 ekor/m2 serta perbandingan jantan dan
betina adalah 1:3.
b. Penetasan telur
- Wadah penetasan berupa bak volume 2 m3 diisi dengan air
bersalinitas 5 ppt
- Induk yang bertelur dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan
telur

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 47


- Selama pengeraman induk diberi pakan pellet sebanyak 3 %/BB
dengan frekuensi 2 kali
- Telur akan menetas setelah kira-kira 21 hari sejak diovulasikan

Prosedur pengujian daun ketapang pada media pemeliharaan larva


a. Menyiapkan daun ketapang
- Kumpulkan daun ketapang yang telah jatuh dari pohonnya (gugur)
- Ambil daun ketapang gugur yang daunnya masih segar dan lebar
- Kemudian bersihkan daun ketapang dari pasir atau kotoran lainnya
- Jemur daun ketapang dibawah sinar matahari
- Timbang daun ketapang sebanyak 100 gram dan 200 gram

b. Pemeliharaan larva
- Menyiapkan wadah pemeliharaan larva berupa bak fiber glass
volume 1,5 m3 sebanyak 9 buah (untuk 3 perlakuan dengan 3
ulangan)
- Wadah diisi dengan air bersalinitas 12 ppt sebanyak 1 m3
- Air media selanjutnya diberi daun ketapang. Perlakuan A (tanpa
daun ketapang), perlakuan B dengan dosis daun ketapang 100 g/m3
(± 30 lembar), dan perlakuan C dengan dosis 200 g/m3 (± 60
lembar). Biarkan selama 12-24 jam
- Lakukan penebaran larva pada pagi hari dengan kepadatan tebar 50
ekor/liter
- Pada umur hari kedua diberi pakan artemia, sedangkan pakan buatan
diberikan mulai hari ke-6. Ketika terjadi perubahan stadia dari larva
ke juvenil pakan yang diberikan adalah pakan benih berbentuk
cramble sebanyak 2 g/m3 dan pakan egg custard mulai dikurangi.
Manajemen pemberian pakan larva disajikan pada Tabel 1
- Lakukan pergantian air sebanyak 20% setiap tiga hari bertepatan
dengan waktu penyifonan kotoran
- Daun ketapang diganti yang baru setiap seminggu sekali dengan
dosis yang sama pada masing-masing perlakuan hingga akhir
pengujian
- Monitoring kesehatan dan lingkungan dilakukan secara rutin
- Penurunan salinitas dimulai pada saat perubahan stadia larva menjadi
juvenil/post larva (PL) sudah mencapai 60%. Penurunan dilakukan
secara gradual dan mencapai salinitas 0 promil pada saat stadia post
larva 5 (PL5)

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 48


- Lakukan pemanenan post larva 5. Hitung kelngsungan hidup benih
dan catat durasi pemeliharaan larva pada masing-masing perlakuan

Tabel 1 Manajemen pemberian pakan larva udang galah

07.00 09.00 11.00 13.00 15.00 17.00


Umur Artemia Egg custard Artemia Egg custard Artemia Egg custard
3 3 3
(ekor/ml) (g/m ) (ekor/ml) (g/m ) (ekor/ml) (g/m )
D1 - - - - - -
D2-5 1 - 1 - 1 -
D6-10 1 2 1 2 1 2
D11-15 1-2 4 1.2 4 1-2 4
D16-20 1-2 6 1-2 6 1-2 6
D21-25 2 8 2 8 2 8
D26-30 2 6 2 6 2 6
D31-35 2 4 2 4 2 4
D36-40 2 2 2 2 2 2

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengukuran jumlah pakan dan volume ganti air

Berdasarkan hasil kegiatan aplikasi daun ketapang pada media


pemeliharaan larva udang galah, memperlihatkan terjadinya perbedaan durasi
pemeliharaan pada setiap perlakuan (Tabel 5). Durasi pemeliharaan pada
perlakuan A (Kontrol) adalah antara 30-36 hari, perlakuan B (dosis 100 g/m3)
24-29 hari, dan perlakuan C (dosis 200 g/m3) 24-30 hari. Kandungan saponin
pada daun ketapang dapat mempercepat dan mendorong terjadinya
moulting/pergantian kulit pada larva udang galah, sehingga durasi
pemeliharaan menjadi lebih cepat.
Dengan lebih singkatnya durasi pemeliharaan maka jumlah pakan baik
artemia maupun pakan buatan (egg custard) akan lebih sedikit. Hal ini terlihat
pada Tabel 2-5, sesuai dengan jadwal pada management pemberian pakan
larva, jumlah pakan artemia yang diberikan pada perlakuan A adalah 165
ekor/ml, perlakuan dengan daun ketapang adalah 129 dan 123 ekor/ml. Begitu
pula pemberian pakan buatan (egg custard), pada perlakuan tanpa daun
ketapang jauh lebih banyak yakni 426 g/m3, sedangkan pada perlakuan daun
ketapang masing masing 336 g/m3 dan 318 g/m3.
Jumlah pakan yang berbeda menyebabkan nilai FCR yang berbeda pula.
Perbedaannya sangat significan. Media tanpa daun ketapang menyebabkan
nilai FCR sebesar 2.85, sedangkan pada media dengan daun ketapang masing-
masing 2.06 dan 1.86. FCR yang lebih rendah akan menyebabkan biaya
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 49
produksi mejadi lebih murah. Dalam hal ini telah terjadi efisiensi penggunaan
pakan larva. Selain itu penggunaan air payau untuk media pemeliharaan larva
dalam proses ganti air sebanyak 20% juga lebih sedikit pada perlakuan dengan
daun ketapang yakni berbeda 400 liter dalam setiap bak pemeliharaan volume 1
m3. Penggunaan air payau yang lebih sedikit juga akan mengurangi biaya
produksi, sehingga terjadi efisiensi.

Tabel 2. Jumlah artemia, egg custard, volume ganti air dan nilai FCR pada
setiap perlakuan

Jumlah artemia Jumlah pakan egg Jumlah volume ganti


No Perlakuan FCR
(ekor/ml) custard (g/m3) air payau (liter)

1 A 165 426 1.400 2.85

2 B 129 336 1.000 2.06

3 C 123 318 1.000 1.86

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 50


Tabel 3. Jumlah pakan dan volume ganti air pada perlakuan tanpa daun
ketapang
07.00 09.00 11.00 13.00 15.00 17.00
Umur Artemia Egg custard Artemia Egg custard Artemia Egg custard Ganti air
3 3 3
(ekor/ml) (g/m ) (ekor/ml) (g/m ) (ekor/ml) (g/m )
D1 - - - - - - -
D2 1 - 1 - 1 - -
D3 1 - 1 - 1 - -
D4 1 - 1 - 1 - -
D5 1 - 1 - 1 - -
D6 1 2 1 2 1 2 -
D7 1 2 1 2 1 2 Payau 20%
D8 1 2 1 2 1 2 -
D9 1 2 1 2 1 2 -
D10 1 2 1 2 1 2 Payau 20%
D11 2 4 2 4 2 4 -
D12 2 4 2 4 2 4 -
D13 2 4 2 4 2 4 Payau 20%
D14 2 4 2 4 2 4 -
D15 2 4 2 4 2 4 -
D16 2 6 2 6 2 6 Payau 20%
D17 2 6 2 6 2 6 -
D18 2 6 2 6 2 6 -
D19 2 6 2 6 2 6 Payau 20%
D20 2 6 2 6 2 6 -
D21 2 8 2 8 2 8 -
D22 2 8 2 8 2 8 Payau 20%
D23 2 8 2 8 2 8 -
D24 2 8 2 8 2 8 -
D25 2 8 2 8 2 8 Payau 20%
D26 2 6 2 6 2 6 -
D27 2 6 2 6 2 6 Tawar 30%
D28 2 6 2 6 2 6 Tawar 30%
D29 2 6 2 6 2 6 Tawar 50%
D30 2 6 2 6 2 6 Tawar 50%
D31 2 4 2 4 2 4 Tawar 50%
D32 2 4 2 4 2 4 -
D33 2 4 2 4 2 4 -
Jumlah 55 142 55 142 55 142 1.400 liter

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 51


Tabel 4. Jumlah pakan dan volume ganti air pada perlakuan daun ketapang
dosis 100 g/m3

07.00 09.00 11.00 13.00 15.00 17.00 Daun


Umur Artemia Egg custard Artemia Egg custard Artemia Egg custard Ganti air ketapang
3 3 3
(ekor/ml) (g/m ) (ekor/ml) (g/m ) (ekor/ml) (g/m )
D1 - - - - - - - 30 lembar
D2 1 - 1 - 1 - -
D3 1 - 1 - 1 - -
D4 1 - 1 - 1 - -
D5 1 - 1 - 1 - -
D6 1 2 1 2 1 2 -
D7 1 2 1 2 1 2 Payau 20% ganti
D8 1 2 1 2 1 2 -
D9 1 2 1 2 1 2 -
D10 1 2 1 2 1 2 Payau 20%
D11 2 4 2 4 2 4 -
D12 2 4 2 4 2 4 -
D13 2 4 2 4 2 4 Payau 20% ganti
D14 2 4 2 4 2 4 -
D15 2 4 2 4 2 4 -
D16 2 6 2 6 2 6 Payau 20%
D17 2 6 2 6 2 6 -
D18 2 6 2 6 2 6 -
D19 2 6 2 6 2 6 Payau 20% ganti
D20 2 6 2 6 2 6 -
D21 2 8 2 8 2 8 Tawar 30%
D22 2 8 2 8 2 8 Tawar 30%
D23 2 8 2 8 2 8 Tawar 50%
D24 2 8 2 8 2 8 Tawar 50%
D25 2 8 2 8 2 8 Tawar 50% ganti
D26 2 6 2 6 2 6 -
D27 2 6 2 6 2 6 -
Jumlah 43 112 43 112 43 112 1.000 liter 150 lmbr

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 52


Tabel 5. Jumlah pakan dan volume ganti air pada perlakuan daun ketapang
dosis 200 g/m3

07.00 09.00 11.00 13.00 15.00 17.00 Daun


Umur Artemia Egg custard Artemia Egg custard Artemia Egg custard Ganti air ketapang
3 3 3
(ekor/ml) (g/m ) (ekor/ml) (g/m ) (ekor/ml) (g/m )
D1 - - - - - - - 60 lembar
D2 1 - 1 - 1 - -
D3 1 - 1 - 1 - -
D4 1 - 1 - 1 - -
D5 1 - 1 - 1 - -
D6 1 2 1 2 1 2 -
D7 1 2 1 2 1 2 Payau 20% ganti
D8 1 2 1 2 1 2 -
D9 1 2 1 2 1 2 -
D10 1 2 1 2 1 2 Payau 20%
D11 2 4 2 4 2 4 -
D12 2 4 2 4 2 4 -
D13 2 4 2 4 2 4 Payau 20% ganti
D14 2 4 2 4 2 4 -
D15 2 4 2 4 2 4 -
D16 2 6 2 6 2 6 Payau 20%
D17 2 6 2 6 2 6 -
D18 2 6 2 6 2 6 -
D19 2 6 2 6 2 6 Payau 20% ganti
D20 2 6 2 6 2 6 -
D21 2 8 2 8 2 8 Tawar 30%
D22 2 8 2 8 2 8 Tawar 30%
D23 2 8 2 8 2 8 Tawar 50%
D24 2 8 2 8 2 8 Tawar 50%
D25 2 8 2 8 2 8 Tawar 50% ganti
D26 2 6 2 6 2 6 Tawar 50%
Jumlah 41 106 41 106 41 106 1.000 liter 300 lmbr

Kelangsungan Hidup
Jumlah tebar larva, juvenile (PL5), durasi pemeliharaan larva, dan
kelangsungan hidup pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6
dan Gambar 1. Jumlah larva yang ditebar pada setaip perlakuan adalah sama
yaitu 50.000 ekor/m3. Kelangsungan hidup pada perlakuan A (kontrol) sebesar
58.2±6.8%, perlakuan B (dosis 100 g/m3) adalah 64.3±5.0% dan perlakuan C
(dosis 200 g/m3) adalah 66.0±11.0%. Persentase kelangsungan hidup pada
media dengan daun ketapang lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan
Kontrol. Kelangsungan hidup yang tinggi dapat terjadi salah satunya sebagai
akibat tidak terinfeksi penyakit. Media pemeliharaan larva yang diberi
perlakuan daun ketapang menunjukkan warna air yang coklat menguning dan
bahan organik terendapkan. Warna media coklat menguning tersebut berasal
dari tannin yang terdapat pada daun ketapang. Daun ketapang mengandung
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 53
tannin (LP2IL Serang, 2014). Menurut Mustafa, daun ketapang (Terminalia
catappa) mengandung tannin sebasar 21%. Tanin berfungsi sebagai antioksidan
yang mampu mencegah terjadinya peroksidasi lemak. Aktifitas antioksidan
pada daun berwarna merah lebih besar dari daun berwarna hijau yaitu 5.12-
9.98% > 2.36-6.08%, menurut Chyau, et al, 2002. Asam tannin, lignin dan
fulvic adalah sub kelas dari asam humic. Zat tersebut semua mewarnai air
sehingga menguning. Asam humic dan tannin bermanfaat untuk menghambat
berbagai jenis bakteri yang membahayakan kesehatan ikan peliharaan. Asam
humic dan tannin juga dapat menyerap dan menetralkan racun dari bahan kimia
logam berat seperti seng, almunium dan tembaga. Menurut D.S. Mohale, et. al,
2009 daun ketapang kering yang dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 0.5
mg/ml mampu menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophyla.
Selain itu mampu mengurangi infeksi jamur pada telur ikan tilapia, dan pada
dosis 800 ppm mampu mengeradikasi ektoparasit Trichodina.

Tabel 6. Jumlah tebar larva , jumlah juvenil (PL5) dan kelangsungan hidup
pada setiap perlakuan

Durasi
Jumlah larva Jumlah juvenil
Perlakuan Ul pemeliharaan SR (%)
(ekor) PL5 (ekor)
(Hari)
1 50.000 25.650 36 51.3
(A) Kontrol 2 50.000 32.400 30 64.8
3 50.000 29.200 34 58.4
33.3±3.1 58.2±6.8
1 50.000 30.300 29 60.6
(B) Dosis 100
3 2 50.000 31.150 29 62.3
g/m
3 50.000 35.000 24 70.0
27.3±2.9 64.3±5.0
1 50.000 26.850 30 53.7
(C) Dosis 200
3 2 50.000 37.800 25 75.6
g/m
3 50.000 34.300 24 68.6
26.3±3.2 66.0±11.0

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 54


70 66
64.3
65
58.2
60

55

50
A B C

Gambar 1. Tingkat kelangsungan hidup larva (%)

Laju Pertumbuhan Harian

Tingkat laju pertumbuhan harian larva umur D1 hingga menjadi PL5


(post larva 5) pada masing-masing perlakuan adalah 7.19±0.71% (perlakuan
A), 8.87±1.04% (perlakuan B) dan 9.23±1.11% (perlakuan C). Gambar 2
memperlihatkan laju pertumbuhan harian pada setiap ulangan dari masing-
masing perlakaun.

12
laju pertumbuhan harian

10 9.65 10.07
8 8.27
7.98 8.27
7.98
7 A
6.6
(%)

6
B
4
C
2
0
1 2 3

Gambar 2. Laju pertumbuhan harian larva (%)

Laju pertumbuhan harian berkaitan dengan kegiatan moulting/pergantian


kulit dan perubahan stadia pada larva. Pertumbuhan pada udang ditandai
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 55
dengan seringnya moulting. Saponin adalah salah satu zat yang dapat
membantu dan mendorong terjadinya moulting pada udang. Zat saponin ini
terkandung dalam daun ketapang kering. Sehingga laju pertumbuhan udang
pada media dengan daun ketapang lebih tinggi dibanding pada media tanpa
daun ketapang (kontrol).

Hasil Pengujian kualitas Air


Berikut adalah hasil pengujian kualitas air (Lab.UJI BBPBAT
Sukabumi) pada setiap media pemeliharaan.

Tabel 7. Hasil pengujian kualitas air*

No Perlakuan Parameter Satuan/Unit Hasil Metode


pH - 7.86 SNI-06-6989.11-2004
1 A
Kekeruhan NTU 35 APHA 2113 Ed 21:2005
pH - 7.83 SNI-06-6989.11-2004
2 B
Kekeruhan NTU 51 APHA 2113 Ed 21:2005
pH - 7.70 SNI-06-6989.11-2004
3 C
Kekeruhan NTU 2 APHA 2113 Ed 21:2005

*Hasil Lab.Uji BBPBAT Sukabumi

Parameter kualitas air yang berkaitan dengan pemberian daun ketapang


adalah pH. pH air yang diberi daun ketapang lebih rendah dibanding dengan
tanpa daun ketapang. Untuk media pemeliharaan larva udang keadaan pH air
harus sesuai dengan baku mutu yang dipersyaratkan. Dari ketiga perlakuan pH
air yang terukur adalah 7.70, 7,.83 dan 7.86.

Hasil Uji Kualitatif Daun Ketapang


Hasil uji kualititatif terhadap kandungan daun ketapang hijau dan daun
ketapang kering (yang sudah gugur) dilakukan oleh LP2IL Serang dalam
kegiatan monitoring dan surveillance penyakit Macrobrachium rosenbergii
Noda Virus (MrNV) pada udang galah di Instalasi Pembenihan Udang Galah
Pelabuhan Ratu - BBPBAT Sukabumi pada Bulan April 2014. Hasil pengujian
tersaji dalam Tabel 7.
Tabel 7. Hasil pengujian kualitatif zat aktif yang terdapat pada daun ketapang*

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 56


Hasil Uji Spesifikasi Metode
No Kode Sampel
Parameter Hasil
Alkaloid (Wagner) Positif Wilstater (Journal of Microbiology
and Antimicrobial Vol.3 (1), pp1-7
Alkaloid (Mayer) Negatif
Daun ketapang Januari 2011; ISSN 2141-23 08
1 Tanin Positif
segar @2011 Academic Journal)
Saponin Positif

Flavanoid Positif

Alkaloid (Wagner) Positif Wilstater (Journal of Microbiology


and Antimicrobial Vol.3 (1), pp1-7
Alkaloid (Mayer) Negatif
Daun ketapang Januari 2011; ISSN 2141-23 08
2 Tanin Positif
kering (gugur) @2011 Academic Journal)
Saponin Positif
Flavanoid Positif

*(Hasil uji LP2IL Serang, 2014)


Hasil analisis daun ketapang juga dilkemukakan dalam beberapa
literatur lainnya. WHO (1998) dalam Elin, 2006 menyebutkan bahwa hasil uji
kualitatif daun ketapang positif mengandung zat alkaloid, flavanoid, tannin,
saponin, steroid dan kuinon. Selain itu juga Elin (2006) melakukan ekstrak
daun ketapang, dari 1 kg simplisia diperoleh 52 gram ekstraknya.

Analisa Usaha
Dengan berkurangnya durasi larva, kelangsungan hidup meningkat,
nilai FCR lebih rendah dan terjadi efisiensi 21-25% dalam pemanfaatan pakan
serta 28% penggunaan air, maka biaya pemeliharaan larva untuk memproduksi
juvenile udang galah dapat ditekan.

Berikut adalah hasil analisa usaha selama satu periode pemeliharaan


larva dengan target produksi juvenil sebanyak 1.000.000 ekor. Dalam periode
waktu 2 bulan (1 siklus produksi) diperoleh keuntungan Rp 11.879.000,00.
Jika dalam setahun mampu melakukan 6 kali siklus produksi maka keuntungan
yang diperoleh adalah sebesar Rp 71.274.000,00

Tabel 8. Analisa usaha pemeliharaan larva udang galah per siklus produksi
dengan aplikasi daun ketapang
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 57
Komponen Jumlah Harga satuan (Rp) Harga total (Rp)
A. Biaya variabel
1. Artemia 20 kaleng 500.000 10.000.000
2. Pakan larva (egg 35.000 350.000
10 kg
custard)
3. Pakan benih 20 kg 20.000 400.000
4. Pakan induk 50 kg 15.000 750.000
5. Obat-obatan 1 paket
- Kaporit 5 40.000 200.000
- Thiosulfat 3 20.000 60.000
- Daun ketapang 33 kg 2.000 66.000
6. Peralatan packing/panen 1 paket
- Isi gas oksigen 2 tabung 100.000 200.000
- Karet 4 kg 25.000 100.000
- plastik 134 kg 30.000 420.000
Total Biaya Variabel 12.546.000
B. Biaya Tetap
1. Tenaga kerja Per siklus 5.000.000 10.000.000
2. Listrik Per siklus 3.000.000 3.000.000
3. Operasional genset Per siklus 500.000 500.000
4. Penyusutan alat Persiklus 500.000 500.000
5. Pajak bangunan Per siklus 100.000 100.000
6. Induk jantan Per siklus 625.000 625.000
7. Induk betina Per siklus 850.000 850.000
Total 15.575.000
C. Total biaya operasional 28.121.000
D. Penerimaan/pendapatan 1 juta 40 40.000.000
E. Keuntungan per siklus 11.879.000
F. Keuntungan per tahun 6 siklus 71.274.000

KESIMPULAN

Kegiatan aplikasi daun ketapang (Terminalia catappa) pada media


pemeliharaan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) telah memberikan
kelangsungan hidup sebesar 64.3±5.0% (dosis 100 g/m3) dan 66.0±11.1%
(dosis 200 g/m3) dengan tingkat laju pertumbuhan harian sebesar 8.87±1.04%
dan 9.23±1.11%.
Selain itu telah terjadi efisiensi dalam penggunaan pakan 21-25% dan
air payau sebesar 28%. Efisiensi terjadi karena durasi pemeliharaan larva dapat
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 58
dipersingkat 6-10 hari, yakni durasi pemeliharaan menjadi 24-30 hari. Durasi
yang singkat dan terjadi efisiensi penggunaan pakan menyebabkan nilai FCR
lebih rendah. Nilai FCR maing-masing perlakuan adalah 2.85, 2.06 dan 1.86.
Hal ini akan menyebabkan biaya produksi lebih rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Apri, A. 2007. Efektifitas Ekstrak Steroid Teripang Untuk Memanipulasi


Kelamin Udang Galah. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor.

[BBPBATS] Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi.2009.


Standar Prosedur Operasional (SPO) Pembenihan Udang Galah.
Sukabumi: BBPBATS, DJPB-DKP.

Elin, Y.S et.al, 2006. Uji Aktifitas Anti Jamur Salep dan Krim Daun ketapang
(Terminalia catappa, L) pada Kulit Kelinci. Sekolah Farmasi, ITB.
Dalam Majalah Farmasi Indonesia 17 (3) .

Chyau, et.al. (2002). Antioxidant Properties of Solvent extract From Teminalia


catappa Leaves, Food Chemistry, 78 (4) 483-488.

Dharma, F. 2005. Studi Kematangan Gonad Dan Perkembangan Telur Udang


Galah (Macrobrachium rosenbergii De Man, 1879). Skripsi. FIKP.
Universitas Hasanudin

D.S. Mohale et. al. 2009. Brief Review On Medicinal Potential Of Terminalia
catappa. P.W. Collage of Pharmacy, Damangaon road, Yavatmal,
India. Journal of Herbal Medicine and Toxicology 3(1) 7-11 (2009).
ISSN:0973-4643.

Hardiko, R.S. 2004. Aktifitas Antimikroba Ekstrak Etanol, Ekstrak Air Daun
yang Dipetik dan Daun Gugur Pohon Ketapang (Terminalia catappa,
Linn), Acta Pharm, Indonesia, 22(4) 129-133.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 3. Terjemahan Bahan


Litbang Kehutanan Jakarta, 1502.

Mustapha, M.B. 2001. Potentials of Nigerian Terminalia catappa as Tanning


agent. Pige Kexue Yu Gongcheng. 11(3) 37-41.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 59


BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 60
THE BROODSTOCK IMPROVEMENT OF GIANT FRESHWATER
PRAWN FOR INCREASING OF SEED PRODUCTION

Dasu Rohmana, YuaniMundayana, Susi Rosellia,


KesitTisnawibowo, Bunga, Nendih, Sri Hastuti, Ade Kurnia
Balai Perikanan Budidaya Sukabumi
Jl. Selabintana No.37 Sukabumi

ABSTRACT
The goal of broodstock improvement is to increase production of seed
production at hatchery and consumsion prawn at prawn pond by
development of synthethic founder broodstock. Materials for synthethic
founder broodstock are broodstock F4 from Mahakam River, Cenranae
River and Citanduy River with diallel crossing from all population
combination. Every step of regeneration are made by individual selected
method. The adult age of GFW prawn is sixt month, average of
standard length is 8,8±0,4 cm and average of total weight is 31,8±5,1
g. The reproductive age of GFW prawn is eight month with spawning
successfully are 26% every spawning period. The Number of relative
fecundity are 742 eggs/g of broodstock female and hatching rate are
81,7%. At hatchery, the survival rate of larvae are 57,4±12,7%; larvae
to juvenile duration are 24-30 days and total length of day-5 juvenile
are 9,0±0,8 mm. The increasing of the survival rate of larvae to juvenile
is very high. That will be increase hatchery productivity and always
ready stock for farmer.

KEYWORD : GFW Prawn; Individual Selected Method;


Sintetic Population

PENDAHULUAN

Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) merupakan komoditas ikan


air tawarpenting khususnya di Asia Tenggara, baik untuk konsumsi lokal
maupun sebagai produk ekspor yang bernilai tinggi. Selain pangsa pasarnya
yang masih terbuka luas, udang galah relatif mudah dibudidayakan karena
makanannya tidak tergantung pada pakan buatan dan dapat dibesarkan secara
polikultur dengan ikan tawar lain. Di alam udang galah memiliki kebiasaan
makan yang bersifat omnivor, makan dengan frekuensi sering dan rakus
terhadap cacing air, serangga air, larva serangga, moluska kecil, krustase
(udang jenis lain), daging dan organ dalam ikan dan binatang lain, padi-padian,
biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan, alga, serta daun dan batang lunak
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 61
tanaman air. Bahkan dapat memanfaatkan bakteri heterotrof dalam bentuk
biofloc.
Pengembangan udang galah terkendala dengan ketidakberhasilan
produksi benih di hatchery akibat infeksi penyakit yang beragam serta
kerentanan benih terhadap perubahan lingkungan/kualitas air dan pertumbuhan
udang yang lambat pada masa pembesaran di kolam. Kerentanan larva
terhadap penyakit dan lingkungan diduga sebagai dampak dari manajemen
induk yang salah yang menyebabkan terjadinya inbreeding. Pada umumnya
hatchery menggunakan induk dari hasil pembesaran sendiri tanpa
memperhatikan kaidah pemuliaan induk yang seharusnya.
Indonesia memiliki sumber keragaman genetik udang galah yang sangat
besar. Hampir di seluruh wilayah kepulauan terdapat udang galah mulai dari
Aceh sampai Papua. Hal ini merupakan potensi untuk pembentukan varietas
baru yang memiliki keunggulan spesifik seperti karakter pertumbuhan cepat,
kepala kecil, resisten terhadap penyakit atau toleran terhadap lingkungan.
Karakter pertumbuhan cepat pada udang galah sudah diperlihatkan
mulai perkembangan larva di hatchery, masa pendederan serta pembesaran di
kolam. Waktu yang dibutuhkan oleh larva udang galah untuk bermetamorfosis
menjadi juvenil serta keseragaman waktu menjadi juvenil sangat menentukan
kelangsungan hidup bagi ikan yang bersifat kanibal termasuk udang galah.
Program pemuliaan udang galah yang dilakukan ditujukan untuk
menghasilkan udang galah yang memiliki pertumbuhan cepat. Namun demikian
karakter-karakter lain pun diamati untuk menambah keunggulan udang varietas
baru ini. Salah satu permasalahan dari biologi udang galah adalah kepalanya
yang cukup besar dengan prosentae bagian daging yang lebih sedikit dibanding
udang-udang laut. Sehingga karakter persentase bobot kepala serta bobot edible
menjadi karakter yang cukup penting untuk diamati.

Tujuan
Tujuan Program pemuliaan udang galah adalah untuk mendapatkan
udang galah unggul yang memiliki kelangsungan hidup tinggi dan pertumbuhan
cepat baik pada masa pemeliharaan di hatchery maupun pembesaran di kolam.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan pemuliaan dilakukan di Instalasi Pembenihan Udang Galah


(IPUG) - Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar di Pelabuhanratu. Uji
multi lokasi dilakukan di kolam pembesaran IPUG Pelabuhanratu, Kolam
pembesaran BBPBAT di Sukabumi dan BBUG Pamarican-Ciamis.
Pemuliaan udang galah untuk mendapatkan strain baru dilakukan secara
bertahap mulai dari pengadaan induk alam dan meregenerasinya sampai
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 62
mendapatkan generasi yang stabil. Larva udang galah hasil pemijahan induk
alam (F0) sangat sulit diproduksi menjadi juvenil dan pada generasi keempat
capaian kelangsungan hidup sudah cukup baik. Koleksi dan domestikasi
dilakukan dari tahun 2007-2010, pembentukan populasi dasar sintetis tahun
2011, pembentukan F1 tahun 2012, pembentukan F2 tahun 2013 dan
pembentukan F3 pada tahun 2014. Pada tahun 2014 dilakukan beberapa
pengujian baik terhadap induk maupun benih, dengan jadwal pelaksanaan
sebagai berikut:
Tabel 2.1 Jadwal kegiatan seleksi individu udang galah di BBPBAT
Sukabumi

Tahun
2007-2010 2011 2012 2013 2014
No Uraian Kegiatan
Semester ke-
I II I II I II I II I II
Koleksi, Domestikasi,
1
dan Karakterisasi
2 Pembentukan F0
3 Pembentukan F1
4 Pembentukan F2
5 Pembentukan F3
Karakterisasi benih sebar
6
dan induk F3

Material Awal
Udang Galah strain BBPBAT Sukabumi dibentuk oleh tiga strain udang
galah yang secara geografis berasal dari tempat yang berbeda, yaitu Sungai
Mahakam (Kalimantan Timur), Sungai Cenranae-Bone (Sulawesi Selatan) dan
Sungai Citanduy (Jawa Barat). Induk alam ketiga strain tersebut didatangkan
pada tahun 2007. Setiap tahun ketiga strain tersebut diregenerasi sampai pada
tahun 2011 telah mencapai generasi yang keempat (F4) dan secara bersama-
sama membentuk populasi gabungan melalui pembentukan populasi dasar
sintetis (F0).
Metode Seleksi
Metode Seleksi Pemuliaan
Acuan protokol
Metode seleksi yang dilakukan untuk memperoleh karakter
pertumbuhan cepat di BBPBAT Sukabumi adalah program seleksi individu
pada karakter pertumbuhan. Secara garis besar, kegiatan dimulai dengan
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 63
pengadaan induk alam, pembentukan populasi dasar sintetis (F0), serta
pembentukan populasi-populasi generasi berikutnya. Pedoman yang dipakai
adalah protocol #1 : Seleksi Individu untuk Karakter Pertumbuhan Udang
Galah (LRPTBPAT, 2010).

Pembentukan Populasi Dasar Sintetis (Populasi F0)


Populasi dasar sintetis (F0) BBPBAT Sukabumi dibentuk dari 3 (tiga)
strain induk Mahakam (M), Bone (B), dan Citanduy (C) generasi ke-4 (F4).
Keberadaan induk dari ke-3 strain tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 2.3 Jumlah induk udang galah F4 dari ke-3 strain hasil koleksi
dan domestikasi di BBPBAT Sukabumi

Strain Jml Jantan (ekor) Jml betina (ekor) Total (ekor)


Mahakam 95 739 834
Bone 108 1090 1198
Citanduy 77 244 321

Pemijahan dilakukan secara dialel crossing dari tetua jantan dan betina
dari masing-masing strain. Hasil pemijahan dan penetasan tersebut
diperlihatkan pada tabel 2.4.
Hasil pemeliharaan larva diperoleh juvenil, untuk kemudian didederkan
sebanyak 202.500 ekor juvenil ukuran 0.0029 g dari 9 kombinasi dialel
crossing (masing-masing 22.500 ekor). Tokolan udang galah hasil pendederan
9 kombinasi tersebut dipilih 50% terbaik kemudian dipelihara secara komunal
untuk membentuk populasi dasar sintetis (F0).

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 64


Tabel 2.4 Jumlah induk betina dan jantan F4, betina matang telur (MT)
dan jumlah larva pada kegiatan pemijahan secara dialel
crossing

Dialel Jml Betina Jml Jantan Jml Betina Jml Betina Tdk Jumlah Larva
crossing (ekor) (ekor) MT (ekor) Bertelur (ekor) (ekor)
CC 30 30 24 4 144.500
CM 30 30 22 5 158.500
CB 30 30 15 12 63.000
MC 30 30 21 6 80.000
MM 30 30 11 14 80.000
MB 30 30 19 7 100.000
BC 30 30 17 6 128.700
BM 30 30 21 8 102.500
BB 30 30 16 12 85.000

Berikut adalah diagram pembentukan populasi dasar sintetis yang telah


dilaksanakan pada tahun 2011 di BBPBAT Sukabumi.

DIAGRAM PEMBENTUKAN POPULASI DASAR SINTETIS


Koleksi populasi/strain udang galah
Mahakam [M] Bone [B] Citanduy [C]

Lakukan persilangan secara diallel crossing dari seluruh kombinasi


populasi
Skema diallel crossing Tetua Jantan
M B C
M MM MB MC
Tetua Betina B BM BB BC
C CM CB CC
Dapatkan populasi turunan (juvenil) dari setiap kombinasi dengan
umur yang seragam
@22.500 ekor (Total 202.500 ekor)
Tebar/pelihara juvenil di pendederan untuk masing-masing
kombinasi, seleksi top 50%
@5000 ekor (Total 45.000 ekor) Populasi
Tebar tokolan di pembesaran secara komunal dasar
sintetik

Gambar 2.1 Diagram pembentukan F0 (populasi dasar sintetis)


udang galah di BBPBAT

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 65


Pembentukan Populasi F1
Pada tahun 2012 populasi F1 Sintetik dibentuk dari pemijahan induk
populasi dasar sintetik (F0) terseleksi dan pemijahan induk populasi kontrol
dari populasi induk dasar sintetik. Populasi anakan (F1) yang dihasilkan
selanjutnya dipelihara dalam beberapa tahapan. Pemeliharaan larva selama 30 -
45 hari, tahap pendederan 1 dan 2 masing-masing 45 hari, dan terakhir tahap
pembesaran selama 3 bulan pemeliharaan. Pada akhir tahap pembesaran
keragaan pertumbuhan populasi F1 dibandingkan dengan populasi kontrol
untuk mengetahui besarnya nilai respon seleksi yang telah dilakukan. Selain
itu pada akhir tahap pembesaran juga dilakukan seleksi individu berdasarkan
ukuran panjang standar. Hasil pengukuran digunakan untuk mendapatkan data
respon seleksi, diferensial seleksi dan nilai heritabilitas populasi F1. Individu-
individu terbaik hasil seleksi merupakan populasi calon induk yang akan
digunakan untuk membentuk populasi F2 sintetik. Dalam waktu yang
bersamaan juga dibentuk populasi kontrol.
Pembentukan Populasi F2
Populasi F2 dibentuk dengan memijahkan udang galah populasi F1
terseleksi. Pada waktu yang sama juga dibentuk populasi kontrol. Populasi
anakan (F2) dipelihara mulai dari pemeliharaan larva hingga tahap pembesaran
dengan teknik pemeliharaan yang sama pada pembentukan populasi F1.
Untuk mengetahui besarnya respon seleksi, keragaan pertumbuhan
populasi F2 dibandingkan dengan populasi kontrol. Seleksi individu juga
dilakukan pada akhir tahap pembesaran. Seleksi individu dilakukan dengan
memilih individu-individu terbaik berdasarkan ukuran panjang standar. Teknik
seleksi individu tersebut sama dengan seleksi individu yang dilakukan pada
pembentukan populasi F1.
Pembentukan Populasi F3
Populasi F3 dibentuk melalui pemijahan F2 Sintetis terseleksi. Pada
saat yang bersamaan juga dipijahkan udang galah populasi kontrol.
Selanjutnya populasi anakan (F3) dan anakan populasi kontrol di pelihara mulai
dari tahap pemeliharaan larva hingga tahap pembesaran. Pada akhir tahap
pembesaran, keragaan pertumbuhan populasi F3 dibandingkan dengan populasi
control untuk mengetahui nilai respon seleksi.

Metode Analisis Karakter Meristik dan Morfometrik


Pada populasi F2 dan populasi F3 dilakukan serangkaian pengukuran
dan pengujian untuk mendapatkan beberapa karakterisasi udang galah hasil
seleksi. Beberapa karakterisasi dan pengujian yang dilakukan adalah :

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 66


Karakterisasi Morfologis (Morfometrik dan Meristik)
Karakterisasi morfologis dilakukan pada karakter morfometrik udang
galah populasi F2 dan populasi F3. Karakter morfometrik yang diukur
berdasarkan Imron dan Suprapto (2009), yang meliputi : 1) panjang rostrum
(RST), 2) panjang karapas (PK), 3) lebar karapas (LK), 4) panjang antennascale
(ANS), 5) panjang ruas pertama (PRP), 6) panjang ruas kedua (PRD), 7)
panjang ruas ketiga (PRT), 8) panjang ruas keempat (PRE), 9) panjang ruas
kelima (PRL), 10) panjang ruas keenam (PRN), 11) tinggi ruas keenam (TRN),
12) panjang abdomen (PAB), 13) lebar abdomen (LAB), 14) lingkar abdomen
(LGAB), 15) panjang telson (PST), 16) panjang kaki jalan pertama (FST), 17)
panjang propudus pada kaki jalan pertama (PROP). Hasil pengukuran
kemudian dipresentasikan terhadap panjang standar udang galah.

Karakterisasi Reproduksi Induk


Karakterisasi reproduksi induk meliputi kegiatan menghitung umur
udang galah menjadi dewasa (mengalami perkembangan gonad), umur
produktif yaitu pada saat udang galah dewasa produktif melakukan perkawinan,
mengukur karakter bobot dan panjang udang galah dimasa reproduksi,
menghitung keberhasilan melakukan pemijahan, menghitung jumlah telur yang
dihasilkan setiap induk, menghitung jumlah larva yang dihasilkan per gram
induk matang telur.

Metode Uji Multilokasi


Salah satu metode untuk mengetahui karakterisasi benih hasil seleksi
pada tahap pembesaran adalah dengan melakukan pengujian di beberapa
tempat/lokasi berdasarkan ketinggian wilayah di atas permukaan laut (Uji
multilokasi). Lokasi pengujian di bagi ke dalam 3 (tiga) kelompok wilayah
dengan ketinggian berbeda: 1) Lokasi di wilayah dengan ketinggian > 600 m di
atas permukaan laut (dpl), 2) Lokasi di wilayah dengan ketinggian 200 - 600 m
di atas permukaan laut , 3) Lokasi di wilayah dengan ketinggian 0 – 200 m di
atas permukaan laut.
Lokasi yang dirancang untuk pengujian ini adalah 1) BBPBAT
Sukabumi 2) BBUG Pamarican (Ciamis), 3) Instalasi Pembenihan Udang
Galah (IPUG) BBPBAT Pelabuhanratu. Uji multilokasi dilakukan selama
periode pemeliharaan 90 hari. Benih yang digunakan adalah benih sebar F3
sintetik hasil seleksi, dengan ukuran 3-5 gram. Kepadatan yang digunakan 10
ekor/m2. Pakan yang diberikan adalah pakan komersial dengan kandungan
protein 30%. Diberikan sebanyak 5-3% biomassa/hari, dengan frekuensi
pemberian pakan 2-3 kali/hari.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 67


Metode Uji Kualitas Benih
Uji kualitas larva terhadap terhadap penyakit vibriosis
Uji toleransi benih terhadap lingkungan
Uji toleransi (tingkat ketahanan) udang galah dilakukan pada stadia Post
Larva 5 (PL5) populasi F3 sintetik. Parameter pengujian meliputi uji toleransi
terhadap penurunan salinitas 12 ppt menjadi 0 ppt, peningkatan salinitas 0 ppt
menjadi 20 ppt, perubahan suhu 180C – 250C, uji toleransi terhadap pemaparan
formalin 500 ppm, perubahan tingkat keasaman (pH 4). Pengujian ini mengacu
pada SNI Nomor: 01-6486.2 – 2000 tentang benih udang galah
(Macrobrachium rosenbergii De man) kelas benih sebar, dimana tingkat
ketahanan benih yang sehat memiliki nilai > 80%.
Pengujian dilakukan menggunakan wadah volume 2 liter, dilengkapi
dengan aerasi dan diisi air media pengujian (sesuai parameter pengujian)
sebanyak 1 liter. Benih ditebar dengan kepadatan 100 ekor/liter. Metode
pengujian ketahanan benih terhadap perubahan suhu dilakukan dengan cara
memindahkan benih PL 5 dari media dengan suhu 28-30 0C ke dalam media
dengan suhu 18-25 0C secara mendadak. Waktu toleransi yang diberikan
adalah selama 60 menit. Setelah 60 menit dilakukan pengamatan terhadap
tingkat ketahanan benih. Benih dengan tingkat ketahanan > 80% dinyatakan
toleran.
Metode pengujian terhadap pemaparan formalin 500 ppm adalah
dilakukan dengan memasukkan benih PL 5 ke dalam media yang telah dipapar
formalin 500 ppm secara mendadak. Waktu toleransi selama 15 menit.
Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap ketahanan benih. Benih dengan
tingkat ketahanan > 80% dinyatakan toleran.
Pengujian ketahanan terhadap pH dilakukan dengan memasukkan benih
PL 5 ke dalam media dengan pH 4. Untuk mendapatkan pH 4, dilakukan
dengan cara menambahkan asam cuka ke air media sebelum benih dimasukkan.
Waktu toleransi dilakukan selama 15 menit. Benih dengan tingkat ketahanan >
80% dinyatakan toleran.
Pengujian terhadap salinitas dilakukan dalam dua perubahan, yaitu pada
penurunan dan peningkatan salinitas. Pada uji penurunan salinitas, benih yang
digunakan adalah benih yang masih dipelihara pada salinitas 12 ppt,
Selanjutnya benih dipindahkan ke dalam media dengan salinitas 0 ppt (tawar).
Sedangkan uji peningkatan salinitas dilakukan menggunakan benih yang sudah
dipelihara pada salinitas 0 ppt, kemudian benih dimasukkan ke dalam media
dengan salinitas 20 ppt. Masing-masing waktu toleransi 15 menit. Benih
dengan tingkat ketahanan > 80% dinyatakan toleran.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 68


Metode Uji Kualitas Daging
Karakterisasi bobot (kualitas daging/bagian edible)
Bagian edibles pada udang galah ditentukan berdasarkan proporsi
bagian abdomen dengan karapas maupun tanpa karapas. Setiap individu
ditimbang bobot total, kemudian dipisahkan bagian kepala dan abdomen, serta
bagian abdomen tanpa cangkang untuk ditimbang dan dihitung prosentasenya
terhadap bobot total udang galah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pemuliaan Induk Unggul


Pembentukan populasi dasar sintetis (F0) berasal dari proses
penggabungan populasi generasi ke-4 (F4) Mahakam, Bone dan Citanduy
melalui perkawinan dua arah (diallel crossing). Selanjutnya hasil pembentukan
populasi dasar tersebut digunakan sebagai pembentuk populasi F1 sintetis.
Melalui kegiatan seleksi individu pada populasi F1 sintetis dibentuk populasi
F2 sintetis dan pada tahun 2014 telah dihasilkan populasi F3 sintetis. Pada
setiap kegiatan pembentukan populasi sintetis hingga generasi ke-3 telah
dilakukan beberapa pengukuran terhadap karakter panjang dan bobot untuk
melihat tingkat keberhasilan seleksi dan tingkat pertumbuhan dari setiap
generasi. Tingkat keberhasilan seleksi dapat dilihat dari nilai respon seleksi,
diferensial seleksi dan nilai heritabilitasnya.
Selama tiga generasi (F1 sampai F3) diperoleh respon seleksi
berdasarkan karakter panjang standar sebesar 0,21 cm atau setara dengan
8,22%, seperti tersaji pada Tabel 3.1 dan Lampiran

Tabel 3.1. Respon seleksi (RS) pada karakter panjang standar udang
galah hasil seleksi
RS (cm) Rataan RS RS (%) Rataan RS
Populasi
Betina Jantan (cm) Betina Jantan (%)

F1 0,19 0,12 0,16 1,56 0,92 1,24

F2 0,46 0,16 0,31 7,02 2,14 4,58

F3 0,19 0,13 0,16 2,81 1,99 2,40

Total Respon Seleksi 0,63 8,22

Total respon seleksi berdasarkan karakter bobot total dari populasi F1 sampai
F3 adalah sebesar 6,29 g atau setara dengan 33,68%, seperti tersaji pada Tabel
3.2.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 69
Tabel 3.2. Respon seleksi (RS) pada karakter bobot total udang galah
hasil seleksi

RS (g) Rataan RS RS (%) Rataan RS


Populasi
Betina Jantan (g) Betina Jantan (%)
F1 1,62 2,30 1,96 7,16 8,39 7,78
F2 2,74 2,56 2,65 19,00 11,91 15,46
F3 1,52 1,83 1,68 9,34 11,54 10,44
Total Respon Seleksi 6,29 33,68

Nilai heritabilitas dari populasi F1 sampai F3 pada karakter


pertumbuhan panjang standar sebesar 0,27±0,24, seperti terlihat pada Tabel 3.3.
Adapun nilai heritabilitas pada karakter bobot adalah 0,34±0,30, seperti terlihat
pada Tabel 3.4.

Tabel 3.3. Heritabilitas (h2) pada karakter panjang standar


udang galah

DS (cm) RS (cm) h2 Rataan


Populasi
Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan h2
F1 2,61 1,11 0,19 0,12 0,07 0,11 0,09
F2 0,94 0,16 0,46 0,16 0,94 0,16 0,55
F3 0,66 1,90 0,19 0,13 0,29 0,07 0,18
Rataan Heritabilitas 0,27±0,24

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 70


Tabel 3.4. Heritabilitas (h2) pada karakter bobot total udang
galah

DS (g) RS (g ) h2 Rataan
Populasi
Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan h2
F1 21,00 16,16 1,62 2,30 0,08 0,14 0,11
F2 2,54 9,04 2,74 2,56 1,08 0,28 0,68
F3 4,20 14,04 1,83 1,52 0,36 0,13 0,24
Rataan Heritabilitas 0,34±0,30

Ket: DS : Diferensial seleksi


RS : Respon seeleksi

Karakteristik Induk
Terdapat 19 karakter morfometrik yang diamati dan 8 karakter bobot
yang diamati. Hasil pengamatan karakter morfometrik dan morfometrik induk
sintetis F2 tersaji pada Tabel 3.5.
Karakter reproduksi meliputi umur dewasa, umur reproduktif, bobot dan
panjang standar udang dewasa, keberhasilan pemijahan, fekunditas telur dan
jumlah larva relatif disajikan pada Tabel 3.6.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 71


Tabel 3.5. Karakter morfometrik dan meristik induk hasil
seleksi
No Karakter morfometrik Satuan Betina Jantan
1 Panjang Rostrum (RST) cm 3,97 ± 0,27 4,50 ± 0,53
2 Panjang Karapas (PK) cm 3,58 ± 0,20 4,36 ± 0,22
3 Lebar Karapas (LK) cm 2,33 ± 0,18 2,80 ± 0,25
4 Panjang Antenascale (ANS) cm 1,72 ± 0,10 2,04 ± 0,17
5 Panjang Ruas Pertama (PRP) cm 0,64 ± 0,06 0,71 ± 0,05
6 Panjang Ruas Kedua (PRD) cm 1,07 ± 0,07 1,10 ± 0,14
7 Panjang Ruas Ketiga (PRT) cm 1,00 ± 0,09 1,06 ± 0,10
8 Panjang Ruas Keempat (PRE) cm 0,84 ± 0,11 0,96 ± 0,08
9 Panjang Ruas Kelima (PRL) cm 0,63 ± 0,08 0,75 ± 0,12
10 Panjang Ruas Keenam (PRN) cm 1,04 ± 0,06 1,05 ± 0,16
11 Tinggi Ruas Keenam (TRN) cm 1,03 ± 0,36 1,11 ± 0,07
12 Panjang Abdomen (PAB) cm 5,18 ± 0,32 5,66 ± 0,30
13 Lebar Abdomen (LAB) cm 2,04 ± 0,13 2,18 ± 0,17
14 Lingkar Abdomen (LGAB) cm 7,39 ± 0,41 7,61 ± 0,34
15 Panjang Telson (PST) cm 1,66 ± 0,16 2,03 ± 1,11
16 Panjang Kaki Jalan Pertama (FST) cm 2,63 ± 0,22 3,88 ± 0,31
17 Pj. Propudus Kaki Jalan ke-1 (PROP) cm 0,60 ± 0,00 0,72 ± 0,17
18 Panjang Total (PT) cm 13,41 ± 0,56 15,28 ± 0,62
19 Panjang Baku (PB) cm 8,85 ± 0,42 10,03 ± 0,14
No Karakter Bobot Satuan Betina Jantan
20 Bobot Total g 31,78 ± 5,14 53,29 ±8,57
21 Bobot Abdomen (Skin on) g 14,88 ± 2,21 20,69 ± 2,51
22 Bobot Kepala g 16,14 ± 3,11 31,13 ± 7,33
23 Bobot edibel abdomen (Karkas) g 11,41 ± 2,74 16,23 ± 2,27
24 Bobot edibel kepala g 8,26 ± 1,16 14,33 ± 2,06
25 Bobot Gonad g 2,25 ± 0,73 2,79 ± 0,95
26 Bobot tanpa telur g 30,30 ± 4,50 -
27 Bobot telur g 3,60 ± 0,70 -

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 72


Tabel 3.6. Karakter reproduksi induk hasil seleksi

Karakter reproduksi induk Nilai


Umur dewasa (bulan) 6
Umur produktif (bulan) 8
Bobot dewasa (g) 31.78±5.14
Panjang standar dewasa (cm) 8.85±0.42
Keberhasilan pemijahan (%) 25.95
Fekunditas (butir/gram induk) 742.51
Jumlah larva relatif (ekor/g induk) 607
Derajat Penetasan (%) 81.75

Karakteristik Benih sebar


Benih sebar udang galah hasil seleksi memiliki karakteristik seperti
tersaji pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7. Karakter benih sebar udang galah hasil seleksi
No Karakteristik Satuan Nilai
1. Diameter telur mm 0.511±0.029
2. Tingkat keseragaman larva % 90
3. Durasi pemeliharaan larva – PL5 hari 24-30
4. Kelangsungan hidup larva (SR) % 47.77 – 63.91
5. Ukuran PL 5 mm 9.02±0.81
6. Tingkat keseragaman ukuran PL5 % 99.19
7. Tingkat keseragaman warna PL5 % 90
8. SR pada pendederan 1 (45 hari) % 72.72±11.52
9. SR pada pendederan 2 (45 hari) % 77.09±22.47
10. Ukuran tokolan 1 cm 3.75±0.09
11. Ukuran tokolan 2 cm 6.78±0.65
12. Laju Pertumbuhan Harian pendederan 1 % BB/hari 9.94±2.89

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 73


Karakteristik pembesaran
Karakteristik pembesaran udang galah hasil seleksi dan populasi Mahakam
sebagai pembanding disajikan pada Tabel 3.8 dan Lampiran
Tabel 3.8. Performa pembesaran udang galah hasil seleksi selama 90
hari pemeliharaan
Parameter Seleksi Mahakam
Rataan bobot awal (g) 0,55±0,00 0,57±0,01
Biomassa awal (g) 82,50±0,00 85,10±2,12
Rataan bobot akhir (g) 18,50±0,06 16,97±0,82
Biomassa akhir (g) 2350,00±70,71 1979,10±180,17
Sintasan (%) 84,67±2,83 77,67±3,30
Laju pertumbuhan harian 3,98±0,01 3,84±0,08
(%)
Rasio konversi pakan 1,56±0,08 2,65±0,30

Adapun pertambahan bobot udang hasil seleksi dan kontrol Mahakam


pada fase pembesaran disajikan pada Gambar 3.2
20

15
Bobot (g)

10
Seleksi
5 Mahakam

0
1 15 30 45 60 75 90
Hari ke-

Gambar 3.2 Pertambahan bobot udang galah pada fase pembesaran

Hasil Uji Multilokasi


Performa pertumbuhan udang galah di beberapa lokasi tersaji pada Tabel 3.9.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 74
Tabel 3.9 Performa pertumbuhan udang galah hasil kegiatan uji
multilokasi
Sukabumi Pamarican Palabuhanratu
Parameter
(850 m dpl) (21m dpl) (3 m dpl)
Tipe kolam Terpal Tanah beton
Ukuran kolam (m2) 200 200 90
Padat tebar (ekor/m2) 10 10 10
Ukuran benih tebar 5,0 9,0 0,55
Waktu pemeliharaan (hari) 75 50 90
Biomassa awal (g) 12.000 18.000 495
Biomassa akhir (g) 35.000 41.000 11.400
Laju pertumbuhan harian (%) 2,11 2,06 3,8
Sintasan (%) 72,8 81,9 80,7
Rasio konversi pakan 1,7 1,2 1,8
Produksi (kg/ha) 1.750 2.050 1.267

Hasil pengukuran kualitas air baik sumber untuk kegiatan fase


pembenihan, fase pendederan maupun pada fase pembesaran di Instalasi
Pembenihan Udang Galah Pelabuhan Ratu tersaji pada Tabel 3.10

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 75


Tabel 3.10 Hasil pengukuran kualitas air
No Identifikasi Sampel Parameter Satuan/unit Hasil/Result
1 Air Laut Pb mg/l Ttd
Cd mg/l Ttd
Hg mg/l 0.008
2 Air Tawar Pb mg/l Ttd
Cd mg/l Ttd
Hg mg/l 0.007
3 Media pemeliharaan larva
udang galah di IPUG Salinitas ppt 12
Kekeruhan NTU 35
o
Suhu C 28-29
Alkalinitas mg/l 84.10
Ammoniak mg/l 0.04
DO mg/l 4.14-5.78
4 Media pembesaran udang DO mg/l 3.8
o
galah di IPUG Suhu C 26-27
pH - 6.98-7
Conductivity 0.01-0.02
Turbidity 77
5 Media pembesaran udang Suhu o
C 24,46o – 26,45
galah di BBPBAT Oksigen terlarut mg/l 2,89 – 4,33
Sukabumi (Selabintana) Karbondioksida 9,85 – 19,22
mg/l
pH - 5,71 – 7,12
Alkalinitas mg/l 51,11 – 54,15
Amonia mg/l 0,14 – 1.04
NO2 mg/l 0,034 - 0,243

Hasil Uji Toleransi dan Kualitas Benih


Uji kualitas larva udang galah terhadap Vibrio harveyi menunjukkan
bahwa larva hasil seleksi dan kontrol Mahakam memiliki daya tahan yang
hampir sama yaitu masing-masing 80,0% dan 81,0%. Data tersebut
menunjukkan bahwa larva udang galah hasil seleksi memiliki ketahanan yang
baik terhadap penyakit vibriosis.
Uji toleransi benih udang galah meliputi perendaman benih pada
formalin 500 ppm selama 15 menit, penurunan suhu dari suhu normal (25 oC)
ke suhu ekstrim (18 oC) selama 60 menit, penurunan derajat keasaman dari 7 ke
4 selama 15 menit, dan penurunan salinitas dari 12 ppt ke 0 ppt selama 15
menit, terlihat pada Tabel 3.11

Tabel 3.11. Toleransi benih udang galah terhadap lingkungan

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 76


No Toleransi Waktu Ulangan Tingkat toleransi
Toleransi (%)
1 Formalin 500 ppm 15 menit 1 100
2 100
3 100
100
2 Perubahan Suhu 180C- 60 menit 1 100
250C 2 99
3 98
99
3 Tingkat keasaman (pH 4) 15 menit 1 100
2 100
3 100
100
4 Perubahan salinitas (12 15 menit 1 100
ppt ke- 0 ppt) 2 100
3 100
100

Pengamatan virus MrNV pada induk, benih dan tokolan


Virus MrNV merupakan virus utama pada udang galah yang
menyebabkan kelumpuhan pada industri udang galah dunia. Sehingga
monitoring terhadap keberadaan virus ini harus dilakukan secara terus menerus,
dan Loka Penyidik Kesehatan Ikan Serang telah dimandatkan untuk melalukan
monitoring keberadaan virus ini baik pada induk, benih maupun kegiatan
pembesaran di kolam-kolam pembudidaya. Sedangkan jadwal monitoring yang
akan dilakukan Loka tersebut di wilayah Jawa barat termasuk Sukabumi adalah
pada Bulan April 2014. Sehingga untuk inventarisasi MrNV pada kegiatan di
Instalasi Pembenihan Udang Galah BBPBAT akan bekerjasama dengan Loka
Penyidik Kesehatan Ikan Serang disamping monitoring rutin dari Laboratorium
Kesehatan Ikan BBPBAT Sukabumi.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 77


Tabel 3.12 Hasil pengamatan virus MrNV pada induk, larva, juvenile
dan tokolan

No Stadia Jumlah Bak atau Jumlah Sampel per Bak Hasil Pengujian
Kolam atau Kolam MrNV
1 Induk 2 10 Negatif
2 Larva 11 1000 Negatif
3 Juvenil H-5 8 500 Negatif
4 Juvenil H-30 4 30 Negatif
5 Tokolan 8 10 Negatif

Kualitas/bagian edibles
Persentase karakter bobot tanpa atau dengan karapas udang galah hasil
seleksi tersaji pada tabel 3.13.
Tabel 3.13 Persentase karakter bobot jantan dan betina udang galah
hasil seleksi
No Karakter Bobot Jantan (%) Betina (%)
1 Bobot Abdomen (Skin on) 38.83 46.80
2 Bobot Kepala 58.42 50.79
3 Bobot edible abdomen (Karkas) 30.46 35.89
4 Bobot edible kepala 26.89 25.98

Ketersedian Induk
Ketersediaan induk udang galah kelas GGPS sebanyak 2000 ekor
dengan rataan bobot jantan 53,29±8,57 g dan bobot betina 31,78±5,14 g,
dengan karakteristik seperti tersaji pada Tabel 3.14
Tabel 3.14 Karakteristik dan ketersediaan induk GGPS

Induk GGPS Satuan Betina Jantan


Umur Bulan 8 8
Bobot Gram 31,78±5,14 53,29±8,57
Panjang Total Cm 13,41±0,56 15,28±0,62
Panjang Standar Cm 8,85±0,42 10,03±0,45
Ketersediaan ekor 1.000 1.000

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 78


Dalam rangka penyediaan induk untuk kebutuhan di hatchery-hatchery
(terutama di BBUG) dan untuk memproduksi benih sebar, telah dipersiapkan
calon induk GPS. Calon induk tersebut telah memasuki tahap pembesaran
selama tiga bulan dan telah dilakukan pemilihan top 50%, dengan rerata bobot
pada populasi jantan 18,96±5,79 g dan bobot pada populasi betina 14,39±2,40
g. Sebanyak 1000 ekor calon induk telah didistribusikan ke Balai Benih
Udang Galah Pamarican Kabupaten Ciamis pada Tanggal 4 Agustus 2014.
Tabel 3.15 Karakteristik dan ketersediaan calon induk GPS
Umur
Pemeliharaan Karakter Calin GPS Betina Jantan Keterangan
(Bulan)
Bobot (g) 14.39±2.40 18.96±5.79
Panjang Total (cm) 10.55±0.62 11.67±1.38
Sudah
3 Panjang Standar 6.62±0.38 7.19±0.61 Diseleksi
(cm)
Ketersediaan 5.990 3.610

Bobot (g) 6.67±1.85


Panjang Total (cm) 8.51±0.61
Belum
1 Panjang Standar 5.29±0.46
Diseleksi
(cm)
Ketersediaan 20.000

KESIMPULAN
Program pemuliaan udang galah melalui seleksi individu yang telah
dilakukan di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi telah
menghasilkan strain udang galah yang memiliki karakter pertumbuhan lebih
cepat baik pada masa pemeliharaan di hatchery maupun pembesaran di kolam
budidaya.
Di hatchery, Udang galah hasil seleksi memiliki nilai rerata
kelangsungan hidup sebesar 47.77 – 63.91% dengan durasi larva selama 24-30
hari. Udang galah hasil seleksi memiliki nilai rerata heritabilitas pada karakter
panjang sebesar 0.27±0.24, nilai rerata heritabilitas pada karakter bobot sebesar
0.34±0.30. Keunggulan lainnya adalah pertumbuhan cepat (33.68%), bebas
virus MrNV, durasi dan perkembangan larva lebih cepat, tahan terhadap bakteri
vibriosis, sintasan tinggi pada fase pembesaran ≥ 80%, toleransi lingkungan
(pH, suhu, salinitas) tinggi (≥95%), persentase bobot edible tanpa cangkang
sebesar 30,46% (jantan) dan 35,89% (betina).

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 79


DAFTAR PUSTAKA

Soewardi, K. 2007. Pengelolaan Keragaman Genetik Sumberdaya Perikanan


Dan Kelautan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
153 p.
BBPBATS] Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. 2007.
Standar Prosedur Operasional (SPO) Pembesaran Udang Galah di
Kolam. Sukabumi: BBPBATS, DJPB-DKP.
[BBPBATS] Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi.2009.
Standar Prosedur Operasional (SPO) Pembenihan Udang Galah.
Sukabumi: BBPBATS, DJPB-DKP.
New MB. 2002. Farming Freshwater Prawns: A Manual for Cultureof The
Gaint River Prawn (Macrobrachium rosenbergii). Roma: Food and
Agriculture Organization of The United Nations.
[LRPTBPAT] Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air
Tawar Sukamandi.2010. Protokol Pemuliaan Udang Galah.
Sukamandi: LRPTBPAT, PRPB-BRKP.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 80


SUBSTITUTE APPLICATION OF JABIR AS ARTIFICIAL FEED
MATERIALFOR TIGER SHRIMP (Penaeus monodon.Fabr)
NURSERY

Syamsul Bahri, Sugeng Raharjo, Dasep Hasbullah, Lideman, Marwan


Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar
Ds. Bontole, Kec. Galesong Selatan, Kab. Taklar, Sulawesi Selatan

Abstract

To improve productivity and tiger shrimp seed quality, it is need to


develop engineering technology that combine comprehensive shrimp
brood stock management, larvae and seed nursery fish health and feed
management as nutrition resources from seed phase, nursery until grow
out phase. Various alternative of technology development that been trial
were aims to increase survival ratio of cultivar, enhancing grow rate
and improving food conversion rate (FCR) and finally as economic
motive of aquaculture intent to increase productivity with low
management cost without decreasing product quality. Jabir is specific
local fish from Oreochromismozambicus family in South Sulawesi, their
population grow in the wild and has high abundance surround fishpond
area. Existence of Jabir considered as competitor and pest in shrimp
cultured and difficult to eliminate totally. Balai Perikanan Air Payau
Takalar in technology engineering activities were developing alternative
raw material for artificial feed. From proximate testing result, Jabir
contain quite high protein reach to 67,77%, water content; 5,38% and
fat; 7,38%. Other testing for artificial feed in tiger shrimp nursery was
showing positive correlation, able to give better influence on biomass
weight rate of tiger shrimp with survival rate close to commercial feed
utilization (>80%). Low FCR also showing that economically utilization
of artificial feed with Jabir (trash fish) material is profitable.

Key words: Artificial feed, jabir, nursery, tiger shrimp and production

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 81


PENDAHULUAN

Kegiatan usaha perbenihan merupakan bagian integral dari kegiatan


usaha budidaya perikanan, oleh karena itu pembangunan dan pengembangan
sistem perbenihan disusun dengan berpedoman kepada Program Utama
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya beserta target dan sasarannya seperti
dalam Perencanaan Strategik (Renstra) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Salah satu program kegiatan sesuai
dengan tugas dan fungsi Direktorat Perbenihan adalah peningkatan produksi
benih. Benih komuditas perikanan payau yang sudah memiliki teknologi
produksi benih yang mapan dan berkembang di masyarakat dan kalangan
pengusaha adalah udang windu (P. monodon).
Keberhasilan peningkatan secara kuantitatif produksi benih udang windu
belum sepenuhnya diikiuti dengan peningkatan secara kualitatif benih yang
dihasilkan. Kulaitas benih yang kurang bermutu disinyalir sebagai penyebab
kegagalan budidaya udang di tambak. Sulawesi Selatan dan beberapa daerah
lain di Indonesia Timur merupakan daerah yang sangat potensial dalam
pengembangan usaha budidaya udang khususnya udang windu. Percepatan
perkembangan dari budidaya udang tergantung pada pemahaman yang baik
dalam proses produksinya baik yang berkaitan dengan asfek genetik, nutrisi,
pengelolaan lingkungan maupun penerapan bioscurity. Dalam proses
pembenihannya diharapkan dapat dihasilkan efisiensi produksi (sarana
prasarana, pakan) dan tingkat kelangsungan hidup benih yang tinggi serta
kualitas benih yang sehat dan bermutu.
Berdasarkan permasalahan dan kendala yang dihadapi di lapangan maka
perlu diambil langkah-langkah yang strategis menjawab berbagai persoalan
yang timbul, diantaranya adalah dengan melakukan upaya perbaikan mutu
benih melalui teknik pembenihan dengan mengacu pada kaidah-kaidah Cara
Pembenihan Ikan Yang Baik (CPIB) dan kaidah-kaidah Cara Budidaya Ikan
yang Baik (CBIB). Sebagai tindak lanjut guna mengantisipasi permasalahan di
atas, maka Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar sebagai salah satu Unit
Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya pada Tahun
Anggaran 2013melakukan kegiatan ujicoba substitusi pakan buatan dengan
bahan baku yang murah dan ramah lingkungan serta secara ekonomis
memberikan keuntungan usaha yang cukup baik untuk diterapkan pada
kegiatan usaha pembenihan udang windu di masyarakat.

Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi mengenai
efektivitas substitusi ikan rucah (jabir) sebagai pakan buatan terhadap
kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih udang windu di penggelondongan.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 82
Sasaran
Sasaran dari kegiatan ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dalam
pengembangan teknik penggelondongan udang windu sehingga mendapatkan
hasil yang lebih baik dan secara ekonomis menguntungkan untuk dilakukan.

BAHAN DAN METODE


Secara ilmiah udang windu menyandang nama Penaeus monodon.
Udang windu ini termasuk golongan Crustacea (udang-udangan), dan
dikelomokkan sebagai udang laut atau udang Penaide bersama dengan jenis-
jenis udang lainnya, seperti udang putih atau udang jrebung (Penaeus
monodon), udang werus atau udang dogol (Metapenaeuss spp), udang jari
(Penaeus indicus), udang kembang (Penaeus semisulcatus), dan Penaeus
japanicus. Udang penaeid termasuk bintang Crustacea atau biasa disebut
bintang beruas-ruas, karena pada tiap ruasnya terdapat sepasang anggota badan.
Tubuh udang secara morfologi dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu
Cephalothorax atau bagian kepala dan abdomen atau dada serta perut. Bagian
Cephalothorax disebut carapace (Sutaman, 1993).
Secara anatomis baik cephalothorax maupun abdomen terdiri dari
segmen-segmen atau ruas-ruas, jumlah ruas udang penaeid ada 20 buah
termasuk bagian badan dimana terletak mata bertangkai Antenna I atau
Antennules mempunyai dua buah flagella pendek yang berfungsi sebgai alat
peraba dan pencium. Antenna II atau antennae mempunyai dua cabang yaitu
cabang pertama (Exopodite) berupa cambuk panjang berfungsi sebagai alat
peraba (Cholik, dan Poernomo 1989).
Pada bagian dada terdiri dari 8 ruas, masing-masing ruas mempunyai
sepasang aggota badan disebut thoracopoda. Thoracopoda pertama sampai
ketiga dinamakan maxilliped yang berfungsi sebagai pelengkap mulut dalam
memegang makanan.Thoracopoda ke 5-8 berfungsi sebagai kaki jalan yang
disebut pereiopoda. bagian perut atau abdomen terdiri dari 6 ruas yang pertama
sampai ruas ke lima masing-masing memiliki sepasang anggota badan yang
dinamakan pleopoda. Pelopoda berfungsi sebagai alat berenang bentuknya
pendek dan kedua ujungnya pipih dan berbulu. Pada ruas keenam pleopoda
berubah bentuk menjadi pipih dan melebar dinamakan urupoda dan berfungsi
sebagai kemudi (Suyanto,1995).

Habitat dan daur hidup

Habitat udang windu berbeda-beda tergantung dari jenis dan tingkatan


dalam daur hidupnya. Daur hidup udang windu mengalami tingkatan perubahan
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 83
yaitu telur , Nauplius, Larva, Post Larva, Juvenie, udang muda dan dewasa.
Udang yang bersifat bentik yaitu hidup pada permukaan dasar laut. Habitat
disukai adalah dasar laut yang biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir
(Tricahyo, 1995).
Udang windu termasuk hewan yang heteroseksual. Udang jantan
dicirikan dengan alat reproduksi bagian luar berupa paetasma dan sepasang
apendix Masculina, sedangkan yang betina alat reproduksi bagian luar disebut
thelicum. Petasma terletak diantara sepasang kaki renang ke-2. Alat reproduksi
betina atau thelicum terletak diantara pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5,
sepasang lubang alat pengeluaran sperma. Pada yang jantan terletak pada kaki
jalan ke-5 dan baginya yang betina untuk pengeluaran telur teletak pada
pangkal jalan ke-3, udang betina umumnya mempunyai ukuran relatif lebih
besar daripada yang jantan (Sudarmin dan Sulistiyono, 1988).

Makanan dan Kebiasaan makan


Udang windu biasanya makan berbagai jenis crustacea besar, benda-benda
nabati, polychaeta, Mollusca, ikan-ikan kecil dan crustacea kecil, dalam jumlah
yang terbatas, sedngkan udang yang dipelihara dihatchery pada umunya pakan
diberikan berupa cumi-cumi, hati sapi, cacing, ikan rucah, dan tiram. Namun
pakan yang diberikan pada pemeliharaan udang windu di Balai Budidaya Air
Payau yaitu keong sawah, cumi-cumi, dan kepiting. Walaupun udang penaeid
ini merupakan pemakan segala (omnovora), akan tetapi pada umunya udang
merupakan predator bagi invertebrata yang pergerakannya lambat. Dalam usaha
pemeliharaan udang, makanannya yang diberikan selain harus berkualitas yang
baik juga jumlahnya harus cukup

Pakan Buatan

Pakan buatan adalah makanan khusus yang diramu dari berbagai macan
bahan yang kemudian dibentuk sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Ketersediaan pakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan bernilai gizi
baik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kegiatan usaha
budidaya. Penyediaan pakan yang tidak sesuai dengan jumlah ikan yang
dipelihara menyebabkan laju pertumbuhannya lambat, akibatnya produksi yang
dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan (Sachwan, 1999).
Protein, karbohidrat dan lemak merupakan zat gizi dalam makanan yang
berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh. Protein bersama dengan mineral
dan vitamin berfungsi dalam pengaturan suhu tubuh, pengaturan keseimbangan
asam basa, pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh serta pengaturan proses
metabolisme dalam tubuh (Afrianto dan Liviawaty, 2004).

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 84


Tingkat kelangsungan Hidup (SR)

Tingkat kelangsungan hidup (sintasan) adalah jumlah organisme yang


hidup dalam ukuran waktu tertentu. Effendi (1979) menyatakan bahwa
ketersediaan makanan akan mempengaruhi sintasan ikan. Sintasan yang
dicapai suatu populasi merupakan gambaran hasil interaksi dengan daya
dukung lingkungan dengan respon populasi terhadap lingkungan. Kondisi
perairan yang tidak cocok dapat menyebabkan kematian pada ikan.

Menurut Krebs (1972) dalam Kasim (1996) bahwa sintasan yang dicapai
suatu populasi merupakan gambaran hal interaksi dari daya dukung lingkungan
dengan respon populasi yang ada. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi
sintasan yang utama adalah kepadatan dan jumlah pakan.
Kualitas Air

Kualitas air media pemeliharaan sangat berperan dalam menunjang


keberhasilan produksi benih kerapu macan. Kualitas air yang berperan
terhadap kelangsungan hidup pada pertumbuhan benih udang windu meliputi
suhu air, oksigen terlarut, kadar garam (salinitas), dan pH air.

Menurut (Jannah, 2009) bahwa suhu yang terbaik untuk pemeliharaan


post larva yaitu 29-31°C, aman bagi udang karena biasanya larva tumbuh dan
melakukan moulting dengan cepat pada suhu tersebut. Sedangkan menurut
(Amri, 2006) menyatakan bahwa untuk perkembangan larva yang normal yaitu
kisaran sekitar 28-31°C, apabila suhu turun menjadi 24-27°C, maka proses
metamorfosa menjadi terhambat. Kondisi ini akan diimbangi dengan
meningkatnya laju komsumsi pakan. Apabila suhu semakin meningkat maka
udang windu akan mengalami stress dan mengeluarkan lendir berlebihan
sebaliknya bila suhu terlalu rendah, udang mengalami kurang aktif makan dan
bergerak, sehingga pertumbuhan akan melambat (Sumerudan Anna, 1992).

pH merupakan singkatan dari potensial hidrogen atau derajat keasaman


di dalam perairan,pH mempengaruhi daya racun amoniak. Dimana amoniak
akan meningkat apabila pH meningkat dan akan menurun apabila pH menurun.
Kisaran pH yang efektif/ normal untuk pertumbuhan udang windu yakni
kisaran 7,5 – 8,5. Apabila pH mencapai angka terendah (6) dan tertinggi (9)
maka mengakibatkan pertumbuhan udang akan melambat bahkan akan
mengalami kematian

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 85


Kisaran salinitas berkisar antara 30-34 ppt. Jika salinitas terlalu rendah
dan tinggi nafsu makan masih ada tetapi konversi pakan menjadi tinggi karena
energi tubuh banyak terbuang. Alat yang digunakan untuk mengukur salinitas
adalah Handrefaktometer.

Kelarutan oksigen merupakan faktor lingkungan yang terpenting bagi


pertumbuhan ikan. Kandungan oksigen yang rendah dapat menyebabkan benih
kehilangan nafsu makan sehingga mudah terserang penyakit, pertumbuhannya
terhambat bahkan menyebabkan kematian. Biota air membutuhkan oksigen
sebagai penunjang kebutuhan lingkungan bagi species tertentu dan kebutuhan
konsumtif yang dipengaruhi oleh kebutuhan metabolisme. Kandungan oksigen
yang cukup didalam air akan terlihat pada aktivitas pada udang itu sendiri yang
dimana akan terlihat beristirahat dan sekali-kali bergerak mencari makan,
begitu pula sebaliknya apabila kandungan oksigen dalam air rendah maka
udang akan terlihat tampak aktif bergerak /berenang bebas karena akibat stress.
Akan tetapi apabila kadar oksigen terlalu berlebihan didalam air dapat
menyebabkan gelembung gas biasa disebut dengan (gas bubble disease).
Kisaran oksigen yang baik bagi pertumbuhan adalah sekitar 85% -125% jenuh
atau 4-6 ppm. Menurut (Amri, 2003) menyatakan bahwa ketersedian
oksigen didalam air sangat menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan
udang windu, Kandungan oksigen yang baik adalah kisaran 4-8 ppm.

Jabir

Ikan jabir merupakan merupakan ikan spesifik lokal dari family


Oreochromismozambicusyang populasinya cukup besar diareal pertambakan
masyarakat khususnya di Sulawesi Selatan. Ikan ini selalu menjadi bumerang
bagi pembudidaya karena menjadi hama pada kegiatan budidaya yang sulit
dibasmi secara tuntas. Melihat ketersediaan yang cukup melimpah
danketersediaanya setiap waktu serta nilai yang tidak ekonomis, maka untuk
pemanfaatan biota inidilakukan analisis proksimat untuk pemanfaatan sebagai
bahan baku pakan buatan alternatif.

Dari hasil uji proksimat menunjukkan bahwa ikan jabir mempunyai


kandungan protein yang cukup tinggi yaitu mencapai 67,77 %,(hasil analisa
lab.pakan buatan BBAP Takalar). Dengan melihat kandungan protein yang
cukup tinggi dan ketersediaan yang melimpah tersebut, ikan jabir mempunyai
potensi untuk dapat dijadikan sumber bahan baku pakan buatan. Dalam
perbaikan pemeliharaan benih udang windu, dilakukan upaya meningkatkan
SR dan pertumbuhan benih, serta upaya penggelondongan dengan
pemanfaatan ikan jabir sebagai bahan subtitusi pakan buatan diharapkan
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 86
dapat menigkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih gelondongan
yang tinggi, sehat dan berkualitas untuk budidaya di tambak.

Tabel 1. Data Hasil Analisa Proksimat Ikan Jabir


PARAMETER UJI ANALISIS
PROKSIMAT
KODE SAMPEL JENIS BAHAN BAKU
Kadar Protein Lemak
Air (%) (%) (%)

Tepung Ikan Ikan Jabir/mujair


5.10 67.77 7.38

Sumber ; Lab.uji BPBAP Takalar 2013

Berdasarkan hasil analisis uji coba penggunaan ikan jabir tersebut maka
dilakukan ujicoba penggunaan ikan jabir sebagai bahan pakan buatan dalam
kegiatan penggelondongan udang windu.Dalam perbaikan pemeliharaan benih
udang windu, dilakukan upaya meningkatkan SR dan pertumbuhan benih, serta
upaya penggelondongan dengan pemanfaatan ikan jabir sebagai bahan
subtitusi pakan Diharapkan dapat menigkatkan kelangsungan hidup benih
gelondongan yang tinggi, sehat dan berkualitas untuk budidaya di tambak

BAHAN DAN METODE


Uji coba penggunaan jabir sebagai substitusi pakan buatan pada
penggelondongan udang windu ini dilakukan pada bulan Januari - Desember
2013 di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 87


Alat dan Bahan
Bahan dan alat yang digunakan dalam kegiatan ujicoba ini adalah sebagai
berikut :

No Nama Alat Kegunaan


1. Fibreglass Wadah perekayasaan
2. Ember Wadah pakan
3. Jangka sorong Mengukur panjang sampel
4. Instalasi Aerasi Suplay oksigen
5. Thermometer Mengukur suhu
6. Timbangan elektrik Menimbang sample
7. DO meter Mengukur Oksigen Terlarut
8. pH Meter Mengukur pH air media
9. Hand Refraktometer Mengukur salinitas

No Nama Bahan Kegunaan


1. Benih udang windu PL 12 Hewan uji
2. Pakan Komersil Pakan pembanding
3. Pakan uji (berbahan baku jabir) Pakan benih

Prosedur Kerja
- Menyiapkan wadah ujicoba berupa fiberglass volume 500 liter sebanya
9 buah.
- Menyiapkan pakan uji dan pakan komersil
- Pakan uji dengan bahan baku ikan jabir (hasil produksi divisi pakan
formula BPBAP Takalar)
- Menyiapkan air media pemeliharaan
- Kegiatan ini dilakukan dengan 2 perlakuan yaitu A (pakan komersil), B
(Pakan dengan bahan Jabir) dan tiga ulangan.
- Mengukur panjang berat awal benih udang windu PL 12
- Melakukan penebaran benih sebanya 2.000 ekor/wadah
- Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari yaitu jam 06.00, jam 14.00,
dan jam 22.00 WITA
- Pergantian air dilakukan secara berkala setiap dua hari sekali
- Pengukuran pertumbuhan dilakukan setiap empat hari.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 88


- Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 4 hari (suhu, salinitas, pH dan
DO)

Pengukuran Peubah
Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah tingkat laju pertumbuhan berat
mutlak, laju pertumbuhan harian, konversi pakan (FCR) dan tingkat
kelangsungan hidup (SR).

a. Pertumbuhan Berat Mutlak, dengan rumus:

W = Wt - W o

Dimana :
W = Pertumbuhan mutlak individu (g).
Wt = Bobot biomassa hewan uji pada akhir penelitian(g)
Wo = Bobot biomassa hewan uji pada awal penelitian (g)

b. Laju Pertumbuhan Harian (LPH), dengan rumus:

Wt - Wo
LPH = x 100%
t

Dimana :
LPH = Laju pertumbuhan bobot individu harian hewan uji (% hari)
Wt = Bobot rata-rata hewan uji pada akhir penelitian (g)
Wo = Bobot rata-rata hewan uji pada awal penelitian (g)
t = Periode waktu pemeliharaan (hari)

c. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR), dengan rumus:


Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dihitung dengan
menggunakan rumus Effendie (1979), yaitu :

SR = (Nt/No) x 100%

Dimana :
SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor)
No = Jumlah hewan uji pada awal pengujian (ekor)

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 89


HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan dari data hasil pengukuran terhadap pertumbuhan benih
udang windu yang telah digelondongkan selama 32 hari dengan menggunakan
pakan yang berbahan dasar ikan jabir, dapat dilihat pada grafik (gambar 1) di
bawah ini, dimana terlihat jelas bahwa penggunaan pakan dengan bahan baku
ikan jabir mampu memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap laju
pertambahan bobot rataan per individu benih udang windu yang diujikan.

Gambar 1. Grafik Pertambahan bobot rataan individu larva


selama uji coba
30.0
Rerata berat (mg/ekor)

25.5
20.0 21.9 20.1
18.1 19.2
15.7 14.8 16.3
13.5
10.0 9.7 10.1
7.0 7.4
4.9 5.3
5.0 5.2
-
0 I II III IV V VI VII VIII

Sampling ke

A = Pakan Komersial B = Pakan buatan bahan baku jabir

Uji coba pemberian pakan buatan dengan substitusi bahan baku ikan
rucah/jabir ini juga memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap laju
penambahan panjang rataan per individu benih udang windu yang diujicobakan
(dapat dlihat pada gambar 2 di bawah ini). Secara detail Gambar 2 melukiskan
grafik kenaikan ukuran panjang rataan benih pada masing-masing perlakuan,
dimana pemberian pakan buatan dengan substitusi ikan jabir sebagai bahan
bakunya telah mampu mengimbangi pemberian pakan komersial. Hal ini
menunjukan pengaruh positif yang cukup baik dari uji coba pakan buatan
dengan bahan baku jabir yang diberikan pada benih udang windu di
penggelondongan.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 90


Gambar 2. Grafik petambahan panjang larva selama
uji coba
25.00
Panjang tubuh (mm)

20.00 16.47 21.00


12.40 14.37 15.37 17.33
15.00 13.67 14.83
11.80 12.20 12.80
10.00 10.70 10.87 11.13 11.73
5.00
-
0 I II III IV V VI VII VIII

Sampling Ke

A = Pakan Komersial B = Pakan buatan bahan baku jabir

Selanjutnya pengamatan terhadap kegiatan kerekayasaan pada uji coba


ini juga dilakukan pengujian dan pengukuran korelasi masing-masing
perlakuan terhadap pertumbuhan biomass benih yang diuji cobakan, tingkat
efisiensi penggunaan pakan dan korelasinya dengan pertumbuhan total biomass
pada akhir percobaan dilakukan pengkuran feed convertion ratio (FCR). Hasil
dari pengamatan dari parameter tersebut dapat dilihat pada gambar 3 di bawah
ini. Pada gambar tersebut terlihat bahwa penggunaan pakan dengan bahan baku
ikan jabir mampu memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap laju
pertambahan bobot biomass benih udang windu yang diujikan. Nilai FCR yang
rendah juga menunjukkan bahwa secara ekonomi penggunaan pakan buatan
dengan bahan baku ikan rucah/jabir masih menguntungkan dapat dijadikan
solusi alternative sebagai pakan tambahan pada kegiatan penggelondongan
benih udang windu.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 91


Gambar 3. Diagram korelasi masing masing perlakuan
terhadap pertumbuhan biomass dan FCR

435.82 337.98 239.98


320.00

337.82 313.60
98.00
1.33
98.00
0.93

A B

Pada gambar 4 di bawah ini juga dilukiskan bahwa penggunaan pakan


dengan bahan baku ikan jabir juga mampu memberikan pengaruh yang cukup
baik terhadap nilai kelulushidupan/ survival ratio (SR) benih udang windu yang
diujikan. Dimana jumlah populasi akhir dan prosentase jumlah benih udang
windu yang masih hidup sampai akhir kegiatan pada masing masing perlakuan
baik yang menggunakan pakan komersial maupun yang menggunakan pakan
buatan dengan substitusi ikan rucah/berbahan baku ikan jabir masih pada
kisaran normal (> 80%). Hal ini menunjukkan adanya korelasi positif dari
penggunaan pakan pada masing-masing perlakuan terhadap benih udang windu
yang diujicobakan. Dengan demikian penggunaan pakan buatan dengan

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 92


substitusi bahan baku ikan rucah/jabir mampu menyamai kemampuan pakan
komersial yang biasa digunakan dalam kegiatan penggelondongan benih udang
windu. Harga bahan baku yang sangat murah dapat direkomendasikan untuk
digunakan sebagai bahan baku alternative yang murah, ramah lingkungan dan
aflikatif. Diagram selengkapnya mengenai korelasi penggunaan pakan pada
masing-masing perlakuan terhadap angka kelulushidupan benih yang
diujicobakan dapat dilihat pada gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Diagram Populasi dan Kelulushidupan selama uji


coba

2,000
1,681
2,000
1,709
2,000
1,500 84.03
1,000
85.47
500
-
Populasi awal Populasi akhir uji SR
(ekor) coba (ekor)

A = Pakan Komersial B = Pakan buatan bahan baku jabir

Hal yang tidak kalah pentingnya dalam kegiatan budidaya, khususnya


pada pembenihan dan penggelondongan benih udang windu selain pengamatan
terhadap laju pertumbuhan dan bobot rataan individu, angka kelukushidupan
dan efektivitas pengggunaan pakan terhadap pertumbuhan benih adalah
pengamatan terhadap kondisi harian lingkungan/wadah pemeliharaan.
Pengamatan terhadap lingkungan/wadah pemeliharaan sangat penting
dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi harian lingkungan dengan
kualitas airnya dan pengaruhnya terhadap tingkah laku dan kesehatan hewan uji
yang diujicobakan. Parameter yang kualitas air yang diamati secara berkala
Antara lain suhu, salinitas, jumlah oksigen terlarut dan pH air media pada
wadah yang digunakan.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 93
Hasil pengamatan parameter kualitas air yang dilakukan selama ujicoba
berlangsung masih pada taraf normal dan tidak ditemukan indikasi kualitas air
dan lingkungan yang membahayakan bagi hewan uji baik pada kesehatan benih
yang diujicobakan maupun pada kemungkinan timbulnya penyakit akibat
memburuknya lingkungan kualitas air pada wadah budidaya. Selama uji coba
seluruh benih yang diujicobakan dalam kondisi sehat dan dapat melakukan
aktivitas metabolisme dengan sempurna. Kondisi kualitas air yang baik juga
memberikan korelasi positif terhadap nilai kelulushidupan benih yang
diujicobakan (SR > 80%).Grafik pengamatan parameter kualitas air (suhu,
salinitas, jumlah oksigen terlarut dan pH air) pada wadah yang digunakan untuk
kegiatan uji coba ini selengkapnya dapat dilihat dengan jelas pada gambar 5 di
bawah ini.

Gambar 5. Grafik Kualitas Air Selama


40.0
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
-
A B A B A B A B A B A B A B A B A B

0 SuhuI ('C) II Salinitas


III (ppt)IV DO (mg/l)VI
V pH
VII VII

KESIMPULAN
Meskipun belum pengaruhnya belum menyamai pakan komersil yang
biasa digunakan tapi penggunaan pakan buatan dengan substitusi ikan
rucah/berbahan baku ikan jabir dapat direkomendasikan sebagai pakan
alternative pada pemeliharaan bennih udang windu di penggelondongan.Dalam
rangka lebih mengoptimalkan pemanfaatan ikan jabir sebagai pakan buatan dan
mendukung kegiatan penggelondonggan udang windu, maka kami
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 94
menyarankan untukdilakukan pembuatan pellet dalam berbagai ukuran dan
bentuk, agar aplikasi pakan buatan dengan bahan baku ikan jabir dapat
dilakukan dalam berbagai segmentasi budidaya udang windu baik di
penggelondongan maupun di pembesaran.

DAFTAR PUSTAKA
Arsana, I. N. 2002. Pemberian pakan berupa cacing laut, cumi-cumi dan tiram
dengan persentase perbandingan yang berbeda pada produksi massal
induk udang windu matang gonad. Balai Budidaya Air Payau Takalar,
4 hal.
Basyarie dan D.N. Putra. 1991. Pengaruh Perbedaan Sumber Protein Utama
dalam Makanan Buatan Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Kerapu
Lumpur. Jurnal Penel. Budidaya pantai. Vol 7(2). Hal 102-109.
Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management For Pound Fish Culture.
Development in Aquaculture and Fisheries Science Vol. 9 Elsevier
Science Publishing Company, Netherland.
Hariati, A.M., 1989. Ilmu Makanan Ikan. Fakultas Perikanan Universitas
Brawijaya. Malang. 153 Hal.
Haryati, E. Saade dan Zainuddin. 2006. Peningkatan Kualitas Induk Udang Windu
(Penaeus monodon Fab.) Lokal dengan Pemberian Berbagai Jenis Pakan
Segar. Balitbangda Prop. Dati I Sulawesi Selatan dan Lembaga Penelitian
UNHAS.
Hutagalung S.P., 2009. Udang Primadona Ekspor Perikanan. Tempo Interaktif
Jakarta.
Irwan, I. 2008. Pengaruh Kombinasi Pakan Segar yang Terbaik Diberikan
pada Induk Udang Windu ( Penaeus monodon Fabr) Terhadap Ukuran
Telur dan Nauplii. Skripsi. UNHAS. 30 hal.
Likur, R. 2008. Pengaruh Berbagai Pakan Segar Terhadap Laju Kematangan
Gonad dan Frekwensi Bertelur Induk Udang Windu ( Penaeus
monodon) . Skripsi. UNHAS. 35 hal
Ratnasari. 2002. Pengaruh pemberian cacing laut (Nereis Sp) sebagai
kombinasi pakan terhadap tingkat kematangan gonad dan kualitas telur
induk udang windu (Penaeus monodon Fabr). Tesis Intitut Pertanian
Bogor.
Sachwan, 1999. Pakan Ikan dan Udang. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soleh, M. dan Hamid N., 1994. Pengamatan kematangan telur induk udang
windu yang berasal dari berbagai perairan . Laporan tahunan Balai
Budidaya Air payau Jepara, 1993 – 1994

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 95


PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA RAJUNGAN (Portunus
pelagicus) DI TAMBAK TRADISIONAL BERBASIS
INDUSTRIALISASI PERIKANAN

Eddy Nurcahyono dan Sugeng Raharjo


Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar
Dusun Kawari Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar
Sulawesi Selatan

ABSTRACT

The purposedevelopmentof blueswimmingcrabaquaculturetechnology


intraditional pondsaresupporting theindustrializationof fisheriesthrough
neweconomically valuablecommoditydevelopmentof. The activityis a
collaboration between BAFD TakalarandPT. KBTMakassar company of
blueswimmingcrabprocessing. The activitiescarried outfrom
September2013 till March 2014inMaros andLuwuRegency in South
Sulawesi.
Blueswimmingcrab nursery at pondswithan area of0.5ha. Stocking
density4tail/m2withwaterheight40-80cm.
Seedsthatarestockedcrabletweighing0.03g-0.14g. The
feedisdriedsmallshrimpandtrash fishat a dose of100-15% ofbody weight.
Maintenanceof watersalinityranges from15ppt–48ppt. Substitutionof
waterby40–60% every5–7days.
The results ofthe blueswimmingcrabaquacultureintraditional pondsfor
threemonthsshowedweightmaintenancereached67.70 to 102.30grams,
salinitytolerance 15ppt–48ppt, averagesurvival rate-average25 -
40%.The resultsshowedthat theweight
85gramsofpostharvestblueswimmingcrabmeatjumboproduce4grams,
meat-like texturecolorblueswimmingcrabfishing, taste of meatcrab from
aquaculture at ponds more sweetandsavory.
Analysisaquaculturequiteprofitablewith theBC ratio of1.96withannual
incomereached Rp. 28.340.000and theaveragemonthlyincome-
averageRp.2.361.667. The development
ofblueswimmingcrabaquaculture technologyintraditional
pondscansupport theindustrialization offisheriesandprovide farmers
alternativeincreas average through the newcommodities development.

Keywords: blueswimmingcrab, Aquaculture, Pond

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 96


PENDAHULUAN

Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditas ekspor


perikanan terbesar di Indonesia.Hingga saat ini ekspor rajungan ada di
peringkat ketiga sampai keempat dari total nilai ekspor produk perikanan
Indonesia setelah udang (46%), tuna (14%) dan rumput laut.Berdasarkan data
yang ada untuk semester I tahun 2013, ekspor rajungan dan produk olahannya
mencapai 19.786 ton. Volume ekspor ini meningkat 25,76 % dibanding
periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 15.733 ton. Adapun nilai
ekspor rajungan tahun 2012 US$ 183,7 juta pada semester I atau setara Rp.
2,09 triliun, menjadi US$ 198,0 juta (Rp. 2,25 Triliun) naik 7,82 % pada tahun
2013. Amerika serikat menjadi pasar ekspor rajungan terbesar dengan volume
ekspor 5.711 ton senilai US$ 104, 7 juta atau Rp. 1,193 triliun.
Pemenuhan bahan baku rajungan hingga saat ini masih tergantung pada
hasil tangkapan, sehingga masih tergantung pada musim dan kondisi cuaca
sehingga hasilnya tidak bisa terukur dan produksi tidak dapat berlangsung
secara berkelanjutan. Salah satu alternatif pemenuhan bahan baku rajungan
secara berkelanjutan adalah dengan meningkatkan produksi budidaya
perikanan. Dengan berkembangnya budidaya rajungan di tambak kebutuhan
bahan baku dapat terukur dan terpenuhi secara berkelanjutan sehingga proses
produksi di industri pengolahan rajungan dapat terus berkelanjutan.
Pengembangan budidaya rajungan di tambak telah dilakukan oleh Balai
Budidaya Air Payau Takalar sejak tahun 2007 dan menunjukkan perkembangan
yang signifikan. Pengembangan teknologi budidaya rajungan tersebut telah
menarik perhatian industri pengolahan untuk mengembangkan budidaya
rajungan guna memenuhi kapasitas bahan baku produksi. Salah satu
pengembangan budidaya kepiting telah dilakukan oleh BPBAP Takalar
bekerjasama dengan industri pengolahan rajungan PT. Kemilau Bintang Timur
Makassar.Hasil produksi tambak yang cukup signifikan dan menjanjikan
menarik beberapa pembudidaya tambak untuk mengembangkan budidaya
rajungan di tambak.Dengan kegiatan budidaya rajungan yang dikembangkan
BPBAP Takalar diharapkan dapat menyukseskan program industrialisai
perikanan budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan sehingga dapat
meningkatkan produksi perikanan budidaya serta produksi perikanan nasional.
Tujuan kegiatan pengembangan budidaya rajungan di tambak tradisional
adalah sebagai berikut :
1. Memperbaiki teknologi budidaya rajungan di tambak yang sudah
berkembang sehingga menjadi standar teknologi anjuran yang dapat
dikembangkan oleh para pembudidaya.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 97
2. Mengembangkan komoditas alternatif yang bernilai ekonomis sehingga
meningkatan pendapatan pembudidaya tambak.
3. Mengetahui analisa usaha budidaya rajungan di tambak.

Sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan budidaya rajungan di tambak


adalah terciptanya kawasan budidaya dengan komoditas baru yang bernilai
ekonomis sehingga dapat mendorong peningkatan pendapatan pembudidaya
secara finansial serta peningkatan produksi perikanan nasional dalam
mendukung program industrialisai perikanan budidaya berbasis blue economy.

BAHAN DAN METODE


Kegiatan budidaya rajungan di tambak tradisional dilaksanakan mulai
bulan Juli 2013 sampai Februari 2014 di tambak Dusun Kuri Ca‘di Desa
Nisombalia Kecamatan Marusu Kabupaten Maros dan tambak milik PT.
Kemilau Bintang Timur (KBT) Makassar Dusun Pengkasalu Desa Wara
Kecamatan Kamanre Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan.
Bahan dan alat yang digunakan selama kegiatan budidaya rajungan di
tambak seperti tersaji pada tabel 1 berikut :
Tabel 1. Bahan dan Alat untuk Kegiatan Budidaya Rajungan di Tambak
Tradisional
NO. NAMA BAHAN/ALAT FUNGSI/MANFAAT
1. Crablet Benih rajungan
2. Pakan (udang rebon/ikan rucah) Pakan
3. Obat – obatan/probiotik Pencegahan/pengobatan
4. Es Balok Pendingin hasil panen
5. Mesin pompa alkon 4 ― Memompa air
6. Rakang/Bubu Alat sampling/panen
7. Jala / jarring Alat sampling/panen
8. Timbangan Alat sampling/panen
9. Jangka Sorong Alat sampling/panen
10. Thermometer Pengukur suhu air media
11. Baskom Alat menampung rajungan sampling
12. Ember Alat penampung rajungansampling
13. Streofoam Penampung hasil panen
14. Basket Pengangkut hasil panen
15. Freezer Penyimpan pakan segar

Kegiatan budidaya rajungan di tambak tradisional dilaksanakan di dua


lokasi budidaya yaitu di tambak dusun Kuri Ca‘di Desa Nisombalia Kecamatan
Marusu Kabupaten Maros ( Petak A1 dan petak A2) dan tambak di Dusun
Pengkasalu Desa Wara Kecamatan Kamanre Kabupaten Luwu Sulawesi

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 98


Selatan (Petak B1 dan Petak B2). Metode pelaksanaan kegiatan budidaya
dibagi dalam beberapa tahapan antara lain :
1. Persiapan Tambak
Kegiatan persiapan dilakukan dengan metode sebagai berikut:
a. Tambak dikeringkan selama 2 minggu
b. Sebelum dan sesudah pengeringan dilakukan pengukuran pH tanah.
c. Pengapuran tambak disesuaikan dengan tingkat pH tanah dasar tambak.
d. Pencucian tambak dilaksanakan dengan membuka pintu saluran air pada
saat air pasang dan membuang air pada saat air surut.
e. Pengisian air dilaksanakan pada saat air pasang. Ketinggian air tambak
pada masing – masing lokasi adalah petak 1 (ketinggian air minimal 30
cm, maksimal 40 cm) dan petak 2 (ketinggian air minimal 60 cm,
maksimal 100 cm).
f. Pemupukan dengan pupuk organik dan anorganik untuk menumbuhkan
planton.
2. Penebaran Benih
Penebaran benih di tambak dilakuakan bila plankton yang ada di tambak
sudah tumbuh.Kepadatan tebar benih untuk masing – masing petakan
tambak adalah 4 ekor/m2. Ukuran benih yang ditebar adalah bobot rata –
rata 0,03 – 0,14 gram gram.
3. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan di tambak meliputi kegiatan pemberian pakan,
pergantian air dan sampling untuk mengetahui pertumbuhan rajungan yang
dipelihara.Kegiatan sampling dilakukan dengan mengampil sampel secara
acak untuk mengetahui bobot rajungan setiap minggunya.
4. Panen dan Penanganan Pasca Panen
Panen dilaksanakan bila rajungan telah berumur 90 hari
pemeliharaan.Panen dilaksanakan dengan membuang air tambak dan
memasang jaring di tambak.Untuk mempertahankan kualitas hasil panen
maka penanganan pascapanen dan pengujian daging rajungan hasil
budidaya di tambak dilakukan oleh PT KBT dan Buyer dari USA.

Parameter pengamatan selama kegiatan budidaya rajungan ditambak


meliputi sintasan, pertumbuhan meliputi pengukuran berat /bobot rajungan
selama pemeliharaan yang dilakukan setiap seminggu sekali, serta analisa
usaha kelayakan budidaya rajungan di tambak. Pengamatan kualitas air selama
pemeliharaan meliputi suhu, salinitas, pH, Ammoniak, Oksigen Terlarut, Total
vibrio, dan Total Bakteri.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 99


HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil kegiatan budidaya rajungan di tambak tradisional di
Kabupaten Maros dan Kabupaten Luwu di setiap tahapan kegiatan budidaya
diperoleh hasil sebagai berikut :

A. Persiapan
Kegiatan persiapan yang dilaksanakan selama kegiatan budidaya
meliputi kegiatan pengeringan, pengapuran, pencucian tambak, perbaikan
pematang dan pintu air, pengisian air, pemupukan serta penumbuhan plankton
sebagai pakan alami pada awal pemeliharaan di tambak. Adapun hasil kegiatan
persiapan tambak seperti tersji pada tabel2 berikut :
Tabel 2. Hasil kegiatan persiapan tambak budidaya rajungan di tambak di
Kabupaten Maros dan Kabupaten Luwu
Kabupaten Standar
Parameter Kabupaten Maros
No. Satuan Luwu Kualitas
Pengamatan Tambak 1 Tambak 2 Tambak 1 Tambak 2

1. Luas lahan Ha 0,5 0,5 0,5 0,5 -


2. Tanah
- pH 7,85 7,64 7,86 7,84 6,5-7
- Redokspotensial mv 60,2 50,2 60,4 58,9 >50
3. Pemupukan (Dosis)
- Pupuk kandang kg 15 15 15 15 10-30kg/ha
- Urea ppm 1 1 1 1 1-2 ppm/ha
- Za ppm 1 1 1 1 1-2 ppm/ha
- TSP ppm 1 1 1 1 1-2 ppm/ha
4. Kualitas air
- Salinitas ppt 38 38 18 18 15-35
- Kecerahan cm 30 40 40 40 >25
- Ketinggian air cm 40 80 60 40 40-80
- pH - 8,4 8,6 7,8 8,1 7-9
- Ammoniak ppm <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <>
- Oksigen Terlarut ppm 5,6 5,2 4,9 5,6 >4
- Total bakteri cfu/ml <102 <102 <102 <102 -
- Total Vibrio cfu/ml 4,2 X104 4,5 X103 4,2 X104 4,2 X104 -

Dari tabel pengamatan selama kegiatan persiapan tersebut secara umum hasil
pengukuran parameter masih dalam kondisi yang standar dan optimal untuk
kegiatan budidaya rajungan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukan
oleh Raharjo,dkk.(2012) bahwa kegiatan persipan tambak budidaya rajungan
meliputi kegiatan pengeringan tanah tambak, pengapuran, pemupukan dan
pengisian air tambak. Pada kegiatan budidaya yang berlangsung di Kabupaten
Maros dan Kabupaten Luwu tidak dilakukan pengapuran pada tanah dasar
tambak karena dari hasil pengukuran parameter tanah yang dilaksanakan
menunjukkan hasil yang optimal untuk kegiatan budidaya dengan nilai pH pada
kisaran 7,64 – 7,85.
Pemupukan yang dilakukan bertujuan untuk menumbuhkan plankton
sehingga digunakan pupuk organik yaitu pupuk kandang dan pupuk
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 100
anorganik.Hal tersebut sudah sesuai dengan tujuan pemupukan yaitu
meningkatkan kesuburan tanah dasar tambak. Menurut Raharjo dan
Nurcahyono (2013) Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk
anorganik dan organik. Pemberian pupuk anorganik untuk menumbuhkan
fitoplankton sedangkan pemberian pupuk organik berguna untuk
menumbuhkan fitoplankton dan zooplanton yang sangat diperlukan sebagai
sumber makanan benih/ crablet rajungan yang masih kecil.
Standar kualitas air selama pemeliharaan masih dalam kondisi yang
optimal untuk kegiatan awal budidaya rajungan di tambak. Pada tambak
Kabupaten Maros kondisi parameter air terutama salinitas diatas kondisi yang
optimal yaitu mencapai 38 ppt,hal tersebut dikarenakan pada saat tersebut
adalah puncaknya musim kemarau di daerah tersebut sehingga terjadi
peningkatan nilai salinitas perairan di tambak. Kondisi yang optimal nilai
salinitas untuk kegiatan budidaya rajungan menurut Sugeng,dkk. (2003)
salinitas air tambak untuk budidaya rajungan adalah 20 – 34 ppt, sedang
Raharjo dan Nurcahyono (2013) menyebutkan salinitas air pemeliharaan
rajungan ditambak pada kisaran 15 – 35 ppt. Perbedaan parameter air terutama
salinitas tidak menjadi masalah karena lokasi budidaya yang dekat dengan
muara sungai sehingga memudahkan untuk melakukan pergantian air apabila
terjadi kenaikan salinitas air tambak yang ekstrim.

B. Penebaran Benih
Benih yang digunakan untuk kegiatan budidaya rajungan di tambak
adalah benih hasil pembenihan dari hatchery rajungan BPBAP Takalar. Benih
yang ditebar mempunyai bobot antara 0,03 gram – 0,14 gram dengan lebar
karapas 0,5 cm – 1,5 cm. Kepadatan tebar adalah 4 ekor/m2, sehingga masing –
masing petakan dengan luas lahan 0,5 Ha dipelihara 20.000 ekor crablet
rajungan. Padat tebar benih yang dipelihara adalah lebih rendah dibanding yang
telah dilakukan Effendy dan Komaruddin (2005); Raharjo,dkk. (2012) dimana
padat tebar yang telah dilaksanakan adalah 5 ekor/m2.Kepadatan tebar yang
lebih rendah ini diharapkan dapat meningkatkan hasil produksi yang diperoleh
pada budidaya rajungan di tambak tradisional.
Kegiatan penebaran benih diawali dengan proses aklimatisasi suhu dan
salinitas. Proses aklimatisasi biasanya berlangsung selama 15 – 30 menit.
Adapun metode penebaran dan aklimatisasi crablet rajungan ditambak adalah
sebagai berikut :
1. Crablet yang telah tiba dilokasi budidaya dibuka dari kantong kemasan.
2. Kantong packing benih/ crablet dimasukkan kedalam tambak dan
dibiarkan selama 15 menit atau sampai kantong terlihat mengembun.
Hal ini mengindikasikan bahwa suhu dalam kantong dan media
pemeliharaan air tambak telah sama.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 101
3. Kemudian kantong packing crablet dibuka dan dimasukkan air tambak
kedalam kantong sedikit demi sedikit sampai penuh dan dibiarkan
selama 5 – 10 menit. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan
penyesuaian salinitas air dalam kantong packing dengan salinitas air
tambak.
4. Crablet rajungan dilepas ke tambak secara perlahan – perlahan. Crablet
yang sehat akan berenang dengan lincah mencari tempat perlindungan /
shelter.

C. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan rajungan ditambak bertujuan untuk memberikan
kondisi yang optimal sehingga dapat tumbuh secara optimal dengan hasil yang
maksimal. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan selama kegiatan budidaya
rajungan di tambak tradisional Kabupaten Maros dan Kabupaten Luwu meliputi
kegiatan pemberian pakan, pergantian air, monitoring pertumbuhan, kualitas air
serta hama dan penyakit yang mungkin menyerang rajungan yang dipelihara di
tambak. Kegiatan pemeliharaan yang dilaksanakan pada kedua lokasi tersebut
adalah kegiatan pembesaran. Hal ini berbeda dengan yang dilaksanakan oleh
Sugeng,dkk. (2003); Effendy dan Komaruddin (2005); Raharjo,dkk. (2012)
dimana kegiatan pemeliharaan dibagi dalam dua tahap yaitu kegiatan
pendederan/ penggelondongan dan kegiatan pembesaran.Perbedaan metode
kegiatan pemeliharaanini bertujuan untuk mengurangi tingkat kanibalisme
selama pemeliharaan pada tahap pendederan/penggelondongan serta untuk
memaksimalkan tambak yang digunakan untuk kegiatan budidaya rajungan.
Pemberian pakan dilaksanakan dengan frekuensi dua sampai tiga kali
sehari yaitu pagi jam 06.00 WITA ; jam 17.00 WITA dan jam 23.00 WITA
dengan dosis disesuaikan pada bobot tubuh rajungan selama pemeliharaan.
Pakan yang diberikan adalah ebi kering pada awal pemeliharaan dan
dilanjutkan dengan ikan rucah segar. Pergantian air dilaksanakan setiap 5 -7
hari sekali dengan memanfaatkan pasang surut air laut sebanyak 40 – 60 % dari
total volume air tambak .Adapun frekuensi,dosis dan jenis pakan yang
diberikan selama pemelihraan seperti pada tabel 3 berikut :

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 102


Tabel 3.Data Hasil Pengamatan Frekuensi, Dosis ,Jenis Pakan Rajungan dan
Prosentase Pergantian Air Selama Pemeliharaan di Tambak.

DOSIS
UMUR BOBOT FREKUESI
PAKAN JENIS PAKAN
(HARI) (GRAM) PEMBERIAN
(%)
1–7 0,003 – 0,14 100 Ebi kering 2
8- 15 0,14 -0, 3 100 Ebi kering 2
16 – 21 0,3 – 0,6 100 Ebi kering 2
22 – 28 0,6 – 1,2 100 Ebi kering 2
29 – 35 1,2- 3 100 Ebi kering 2
36 – 42 3-8 80 Ebi kering/ikan rucah segar 2
42 – 49 8 - 14 80-60 Ikan rucah segar 2
50 – 56 14 - 22 60 Ikan rucah segar 2
57 – 63 22 - 34 60-50 Ikan rucah segar 2
64 – 70 34 - 42 50 Ikan rucah segar 3
71 – 77 42 - 56 50-30 Ikan rucah segar 3
78 – 84 56 - 80 30 Ikan rucah segar 3
85 – 90 80 - 150 30 – 15 Ikan rucah segar 3

Dari data hasil pengamatan diatas diperoleh pertumbuhan rata – rata bobot
rajungan tiap minggu setiap petaknya seperti pada gambar 1 grafik
pertumbuhan berikut :

120 DATA PERTUMBUHAN BOBOT RAJUNGAN SELAMA


B 110 PEMELIHARAAN
O 100
B 90
O 80
T 70 Maros
60 A1
Maros
50
(

A2
G 40
R 30
A 20
M 10
)

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
MINGGU KE-

Gambar 1.Grafik Pertumbuhan Bobot Rajungan di Tambak

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 103


Parameter kualitas air sebagai bagian terpenting dari proses budidaya
rajungan di tambak tradisional dalam memantau kondisi lingkungan yang
optimal maka dilaksanakan pengamatan secara rutin dan berkala. Pengamatan
rutin harian selama kegiatan budidaya rajungan di tambak tradisional meliputi
suhu , pH, salinitas dan Oksigen terlarut,sedang pengamatan berkala meliputi
pengamatan Total vibrio, total bakteri dan bobot / pertambahan berat rajungan
selama pemeliharaan yang dilaksanakan setiap seminggu sekali.

Tabel 4. Parameter Kualitas Air Selama Pemeliharaan Rajungan di


Tambak
TAMBAK
PARAMETER
NO. SATUAN MAROS MAROS LUWU LUWU
PENGAMATAN
A1 A2 B1 B2
0
1. Suhu C 32-36 32-36 30-32 30-33
2. Salinitas ppt 28-48 26-60 15-28 15-28
3. pH 8,2-8,6 8,0-8,7 7,8-8,6 7,4-8,4
4. Ammoniak mg/l 0,005 0,001 0,002 0.012
5. Oksigen terlarut mg/l 4-6 4-6 3-5 3-5
6. Total vibrio cfu/ml < 103 < 103 < 103 < 103
4 5 4 6
7. Total Bakteri cfu/ml 10 -10 10 -10 <104 104-105

Hasil pengamatan selama pemeliharaan rajungan di tambak tradisional


Kabupaten Maros dan kabupaten Luwu menunjukkan perbedaan yang
signifikan dimana pada tambak maros berdasarkan data grafik diatas terlihat
pertumbuhan rajungan setiap minggunya cenderung naik dan terlihat stagnan
pada minggu 10 – 11 dimana minggu ke – 10 pada petak A1 bobot rajungan
rata – rata hasil sampling adalah 47,60 gram dan minggu ke- 11 49,20. Petak
A2 minggu ke 10 berat mencapai 50,70gram dan minggu ke -11 beratnya 52
gram. Hasil lain ditunjukkan pada budidaya di Kabupaten Luwu pertumbuhan
rajungan dari awal penebaran cenderung naik dan stagnan pada minggu ke- 7 –
8, dimana pada minggu ke 7 petak B1 berat rata – rata menncapai 51 gram; B2
beratnya 54,30 gram. Sedang pada minggu ke – 8 berat rata – rata B1 54,30
gram dan B2 beratnya 55,60 gram. Dari kedua data tersebut dapat disimpulkan
bahwa pemeliharaan rajungan pada berat rata – rata kisaran 50 gram
pertumbuhannya akan sedikit melambat dan akan meningkat lagi laju
pertumbuhannya.
Hasil akhir dari pemeliharaan selama 3 bulan pemeliharaan terlihat hasil
yang berbeda dimana pada tambak Maros A1 berat akhir rata – rata panen
adalah 67,70 gram dan A2 mencapai 80, 80 gram. Sedang tambak Luwu B1
berat akhir saat panen rata – rata mencapai 97,90 gram dan B2 berat rata –
ratanya mencapai 102,30 gram. Perbedaan ukuran hasil panen akhir tersebut
diperkirakan adalah adanya perbedaan kondisi parameter kualitas air terutama
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 104
salinitas air pemeliharaan dimana pada tambak Maros kondisi awal tebar
salinitasnya mencapai 38 ppt dan selama pemeliharaan naik menjadi 48 ppt dan
pada minggu terakhir panen salinitasnya tinggal 28 ppt. fluktuasi salinitas yang
beragam dikarenakan pada awal penebaran adalah musim kemarau dan pada
akhir pemeliharaan adlah musim awal hujan. Sedangkan untuk tambak Luwu
salinitas cenderung stabil pada kisaaaran 15 - 28 ppt selama periode
pemeliharaan berlangsung. Dari hasil pengamatan parameter selama
pemeliharaan pada kedua lokasi tambak tersebut dapat direkomendasikan
bahwa kondisi optimum untuk pemeliharaan rajungan di tambak adalah pada
kisaran salinitas 15 – 30 ppt. hal tersebut sesuai dengan yang dikemukan oleh
Sugeng,dkk. (2003); Effendy dan Komaruddin (2005); Raharjo,dkk. (2012),
dimana salinitas pemeliharan rajungan di tambak pada kisran 15 – 34 ppt.

D. Panen dan Penanganan Pascapanen


Panen dilakukan bila umur pemeliharaan telah mencapai 90 hari atau
ukuran berat rtajungan rata – rata 80 gram. Panen dilakukan secara total dengan
membuang air seluruh petakan dan memasang jaring keliling tambak dan
mengamnbil rajungan secara manual di tambak ataupun secara parsial dengan
menggunakan alat berupa rakang/bubu yang dipasang pada sore hari dan
diambil pada malam dan pagi hari. Rajungan hasil panen langsung direbus
dilokasi tambak untuk mendapatkan kualitas daging maksimal. Berikut rata –
rata hasil panen budidaya rajungan di tambak tradisional Kabupaten Maros dan
Luwu.
Tabel 5. Hasil Panen Rajungan di Tambak Tradisional Kabupaten
Maros dan Luwu
HASIL PANEN RATA – RATA BOBOT
NO TAMBAK
(KG) PANEN/EKOR (GRAM)
1 Maros A1 560 100
2 Maros A2 465 97
3 Luwu A1 640 80
4 Luwu A2 402 67

Hasil uji performa daging yang dilakukan oleh PT. Kemilau Bintang
Timur dengan buyer dan customer dari USA dapat diketahui bahwa :
1. Warna dan Tekstur daging daging putih mirip daging rajungan hasil
tangkapan alam
2. Ukuran berat 80 gram dapat menghasilkan daging jumbo 4 gram.
3. Rasa daging lebih manisdan gurih dibanding rajungan tangkapan,
pengujian dilakukan oleh buyer dan customer dari USA, kemungkinan
hal tersebut disebabkan oleh rajungan tambak lebih fresh karena waktu
dimasak/dikukus masih hidup.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 105
Gambar 2. Daging Rajungan Budidaya Tambak

Analisa Usaha Budidaya di Tambak

Penebaran awal crablet sebanyak 20.000 ekor (kepadatan 4 ekor/m2 dan luas
tambak 0,5 Ha) ; panen berat 80 gram dengan tingkat kelangsungan hidup 40%.
I Investasi
Jumlah Nilai (Rp) Total
Sewa Tambak (1 hektar/tahun) 1 hektar 2,000,000
Pompa 4" 1 unit lengkap 1 unit 4,000,000
Peralatan lapangan (jala, ember, dll.) 1 paket 1,000,000
Perbaikan konstruksi tambak 1 hektar 1,500,000
8,500,000

II Biaya Operasional per Siklus (3 bulan)


A Biaya Tetap
Sewa Tambak (1 hektar/tahun) 2,000,000
Penyusutan pompa (10% / siklus) 400,000
Penyusutan peralatan lapangan (25% / siklus) 250,000
Penyusutan konstruksi tambak (25% / siklus) 500,000
3,150,000

B Biaya Variabel (tidak tetap)


Biaya persiapan lahan 2 petak 1,000,000
Benih (crab-10) @ Rp. 300,- 20,000 ekor 6,000,000
Pakan (ikan segar) @ Rp. 2000,-/kg 600 kg 1,200,000
Kapur @ Rp. 500,-/kg 100 kg 50,000
BBM ( pompa, dll) @ Rp. 500,000/bln 3 bulan 1,500,000
Tenaga kerja 1 orang @ Rp. 600,000/bulan 3 OB 1,800,000
Biaya panen 1,000,000
12,550,000
C Total Biaya Operasional (A + B)
per siklus (3 bulan) 15,700,000
per tahun (2 siklus) 31,400,000
III Produksi
Kelangsungan hidup 40%; ukuran panen 80
gram/ekor; harga jual Rp. 48,000,- per kg;
produksi 2 kali/tahun.
Pendapatan dari produksi :
40% x 20.000 ekor x80 gram
per siklus (3 bulan) 640 kg 30,720,000
per tahun (2 siklus) 1280 kg 61,440,000
IV Suku bunga investasi per tahun 20% 1,700,000

V Keuntungan bersih sebelum pajak


per hektar per tahun 28,340,000
per hektar per bulan 2,361,667

VI Rentabilitas ekonomi 71%


VII B/C ratio 1.96
VIII Pay back period 1.27

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 106


KESIMPULAN
Dari hasil kegaitan produksi rajungan di tambak tradisional dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Kegiatan budidaya rajungan di tambak meliputi kegiatan persiapan
antara lain pengeringan tanah dasar tambak, pengapuran bila diperlukan,
pemupukan serta perbaikan – perbaikan konstruksi tambak ; penebaran
benih yaitu benih yang di tebar adalah benih rajungan hasil pembenihan
di hatchery ; pemeliharaan di tambak yang meliputi kegiatan pemberian
pakan, pergantian air dan monitoring pertumbuhan serta kualitas air
pemeliharaan ; panen dan pascapanen dimana panen dapat dilakukan
bila umurpemeliharaan di tambak sudah mencapai 90 hari atau berat rata
– rata rajungan mencapai minimal 80 gram.
2. Pengembangan budidaya rajungan di tambak dengan melibatkan
perusahaan pengolahan rajungan dapat menjadikan komoditas ini
sebagai model pengembangan komoditas berbasis industrialisasi
perikanan.
3. Dari hasil analisa usaha pengembangan budidaya rajungan untuk skala
tambak tradisional cukup menguntungkan dengan B/C 1,96, dimana
dengan modal Rp. 31.400.000 per tahun pendapatan yang diperoleh
pertahun mencapai Rp. 28.340.000.

Diperlukan sosialisasi yang lebih intensif bagi pembudidaya


tambaktentangteknologi budidaya rajungan di tambak serta dukungan penuh
dari stake holder sehingga rajungan dapat dikembangkan menjadi teknologi
budidaya berbasis industrialisasi perikanan dalam mendukung program
peningkatan produksi perikanan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Effendy, S., dan U. Komaruddin.2005. Pengembangan Budidaya Rajungan


Portunuspelagicus Pada Tambak Rakyat Di Kabupaten Takalar
Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada Pertemuan Teknis
Lintas UPT Pusat tanggal 14 – 19 September 2005 di Surabaya.
Komarudin, U., Sugeng, Sapto, Prayitno, H., 2005. Rajungan: Komoditas
alternatif budidaya tambak. Makalah disampaikan pada Pertemuan
Teknis Lintas UPT Pusat Budidaya Air Payau dan Laut, 19 – 21 Juli
2005 di Imperial Aryaduta Makassar.
Raharjo,S., E. Nurcahyono, dan I. Usman. 2012. Panduan Teknis Budidaya
Rajungan (Portunus pelagicus) di Tambak.BBAP Takalar.Sulawesi
Selatan.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 107


Raharjo,S., dan E. Nurcahyono.2013. Potensi, Prospek dan Upaya
Pengembangan Budidaya Rajungan di Tambak. International on
Maritime and Agribusiness SeminarMedia Center - Tadulako
University, Palu, Central Sulawesi – Indonesia13th – 14th
December 2013.
Sugeng, SP. Raharjo, Subiyanto, dan H. Prayitno. 2003. Budidaya rajungan
(Portunus pelagicus) di tambak. Laporan Tahunan BBPBAP Jepara.
Hal. : 136 – 145.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 108


AKSELERASI PRODUKSI VANNAMEI DENGAN SISTEM PANEN
CEPAT MEMANFAATKAN HSRT IDLE SEBAGAI SEGMENTASI
PRODUKSI

Guno Gumelar, Sugeng Raharjo, Ashar, Aswar


Ds. Bontelo- Kec.Galesong Selatan Kab. Takalar - Ujung Pandang

ABSTRAK

Peningkatan produktifitas vannamei di seluruh dunia saat ini


ditingkatkan melalui intensifikasi budidaya. Berbagai metode budidaya
yang telah dilakukan untuk meningkatkan produksi pada umumnya
hanya berkutat pada peningkatan padat tebar dan manajemen kualitas air
yang baik. Tetapi lamanya waktu panen yang dapat meningkatkan resiko
usaha budidaya belum dapat diturunkan secara signifikan. Sistem panen
cepat udang vannamei adalah system budidaya dengan waktu
pemeliharaan hanya dua bulan dengan kepadatan tebar yang sangat
tinggi. Dua hal utama yang mendukung keberhasilan system ini adalah
system pemeliharaan yang tepat dan peran serta HSRT (Hatchrery Skala
Rumah Tangga) Idle untuk menunjang system ini. Peran penting HSRT
ini adalah menyediakan benih SPF yang telah didederkan sehingga
mencapai ukuran 2-3 gr/ekor dengan kepadatan 3000 ekor/m3 dan
kelulushidupan 85% serta FCR 1. HSRT digunakan sebagai segmentasi
produksi di Sulawesi Selatan sebab secara lokasi, social, ekonomi serta
kemampuan SDM lebih mudah dilakukan transfer teknologi.
Pembesaran lanjutan dilakukan di bak pemeliharaan dengan penebaran
sangat tinggi telah dilakukan pada bak bulat seluas 78,5 m2 dengan
padat tebar 1270 ekor/m2. Hasil panen yang diperoleh selama dua bulan
pemeliharaan adalah 1100 kg dengan kelulushidupan 85% dan FCR 1.3
dengan panen parsial. Akselerasi produksi vannamei dengan cepat dapat
terwujud jika pembesaran diarahkan pada segmentasi produksi yang
tepat sehingga proses budidaya dapat berjalan dengan efektif dan efisien
serta menguntungkan. Segmentasi pertama yang merupakan pembesaran
di HSRT, sangat tepat untuk menghasilkan udang tebar yang homogen
dengan ukuran besar. Sedangkan segmentasi pembesaran kedua adalah
pembesaran sampai ukuran konsumsi dimana waktu produksi akan
menjadi jauh lebih pendek, sehingga total produksi tahunan akan jauh
meningkat karena singkatnya waktu produksi tiap siklusnya.
KATA KUNCI : produksi; vannamei; panen cepat; HSRT

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 109


PENDAHULUAN

Produksi vannamei saat ini menjadi ujung tombak perudangan nasional


pasca runtuhnya kejayaan udang windu beberapa decade silam. Keunggulan
udang vannamei yang diintroduksi ke Indonesia adalah pertumbuhan yang
cepat, dapat ditebar dalam kepadatan tinggi, tingginya toleransi salinitas dan
suhu, kebutuhan minimum protein pakan yang relative rendah , ketahanan
terhadap penyakit serta mudah untuk didomestikasi menjadi alasan kuat
perubahan komoditas budidaya dari udang windu ke udang vannamei.
Peningkatan produksi udang nasional saat ini mengandalkan udang vannamei
sebagai pilar utama peningkatan produksi udang nasional.
Peningkatan produktifitas vannamei di seluruh dunia saat ini
ditingkatkan melalui intensifikasi budidaya. Berbagai metode budidaya telah
dilakukan untuk meningkatkan produksi baik dengan meningkatkan padat
penebaran, peningkatan pengelolaan air sampai dengan penyempurnaan system
budidaya terus dilakukan untuk mendapatkan hasil panen yang tinggi dengan
masa pemeliharaan yang singkat. Salah satu optimalisasi produksi udang
vannamei yang telah dilakukan oleh Moss (2005) adalah menebar benih diatas
1gr agar dapat mencapai ukuran besar dengan waktu yang cepat menggunakan
system panen parsial.
Keberadaan HSRT Idle yang ada di Sulawesi Selatan merupakan
peningkatan produksi dalam tambak pembesaran juga dapat ditingkatkan
dengan penebaran sampai 1300ekor/m2 dengan system raceway yang telah
dilakukan di BBAP Takalar. Sistem super intensif raceway merupakan salah
satu system yang cukup berhasil dilakukan untuk mendapatkan produktifitas
udang yang tinggi. Dr Lawrence yang telah mematenkan system budidayanya
mengandalkan raceway untuk mendapatkan density tertinggi untuk udang
vannamei.Samocha (2006), Avnimelech (2002) juga menggunakan raceways
yang dikombinasikan dengan bioflok untuk mendapatkan hasil panen yang
tinggi.
Dengan kombinasi pembesaran HSRT yang dilanjutkan Pembesaran
Super Intensif Raceway maka diharapkan akan terjadi peningkatan produksi
udang yang signifikan disebabkan banyaknya siklus pembesaran dalam setahun
dan tingginya produktifitas permeter persegi wadah pembesaran

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 110


Tujuan
Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui hasil teknologi panen cepat dengan
memanfaatkan HSRT sebagai segmentasi produksi dapat berjalan secara efektif
dan efiien dengan kelayakan usaha yang baik.
Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilakukan di Balai Perikanan Budididaya Air Payau Takalar dan
HSRT sekitar, tahun 2013-2014.Kegiatan ini sudah berlangsung selama 3
siklus.

BAHAN DAN METODE

SKEMA PRODUKSI CEPAT VANNAMEI

Benih SPF Vannamei PL


8-9
Hatchery CPIB

Pembesaran sampai 2-3 gr/ePadat Pakan


H Protein
tebar 3000 e/m2
S
Per unit HSRT min 150.000 ekor min 40%
R
T
40 hari

P
E Tradisional/Semi
Super Intensif Supra intensif
M intensif
B
E Padat Tebar Padat Tebar Padat Tebar 600-
S 10-80 e/m2 200-400 1300 e/m2
A e/m2
R
A Protein pakan Protein pakan Protein pakan min
min 26% min 31% 37%
N

Semi Closed Semi Closed Raceway System,


System System, Biofloc Semi closed system

40-60 hari 40-65 hari 45-75 hari


H
A
R Partial/Total
Partial/Total Partial Harvest
V
Harvest Harvest
E
S
T

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 111


Dari gambar diatas memperlihatkan skema produksi cepat vannamei
menjelaskan pembesaran HSRT selama 40 hari dilanjutkan dengan pembesaran
di lokasi tambak pembesaran selama 40-60 hari maupun pembesaran Supra
Intensif selama 40-75 hari dapat meningkatkan produksi vannamei secara
signifikan.
Prosedur
Teknik Pembesaran Udang di HSRT
Pembesaran di HSRT bertujuan untuk menyiapkan udang vannamei
ukuran 2-3 gr untuk ditebar pada tambak pembesaran untuk pembesaran sampai
ukuran konsumsi.
1. Sarana
Wadah pemeliharaan udang di HSRT menggunakan bak beton ukuran
10m3. Pada umumnya dalam satu unit HSRT memiliki minimal 8 bak
dengan ukuran yang sama. Bak yang berada di HSRT biasanya memiliki
konstruksi yang cukup kuat sehingga untuk mencegah kebocoran hanya
dilakukan pengecatan bak untuk menutup dinding bak agar tidak terjadi
kebocoran.
Suplai air laut pada HSRT menggunakan pipa ke laut yang diisap dengan
menggunakan mesin kecil (alcon).Sedangkan untuk suplai air tawar
menggunakan sumur dangkal dengan salinitas 0-5ppt. Suplai air laut dan
tawar biasanya masih pada kondisi yang dapat digunakan, sehingga untuk
mengaktifkannya hanya dibutuhkan pembersihan pipa dari kotoran dan
lumpur yang ada.
Suplai oksigen dalam air menggunakan blower dengan kapasitas 100-200
watt/buah.Pada umumnya setiap HSRT masih memiliki blower buatan
jepang dan untuk produksi hanya dibutuhkan perbaikan minor seperti
pergantian klep udara dan servis ringan.Dalam kasus rusaknya blower yang
ada sehingga tidak dapat digunakan, pengadaan blower buatan cina
kapasitas 100watt dapat dijadikan solusi.Selain harga cukup terjangkau
(sekitar 1 juta rupiah), masa pakai blower ini dapat digunakan lebih dari
satu tahun. Kebutuhan blower untuk produksi di HSRT adalah 4 buah atau
dapat disetarakan dengan daya max 700 watt.
2. Persiapan Tebar
Kelebihan dari persiapan pembesaran HSRT adalah singkatnya masa
persiapan sehingga produksi dalam setahun akan tinggi karena cepatnya
waktu siklus produksi. Persiapan dapat dilakukan dengan cepat dalam
waktu sekitar 4 hari. Jeda waktu antar siklus akan singkat sebab persiapan
yang dilakukan cenderung sederhana dan efektif.
Persiapan awal usaha pembesaran adalah persiapan wadah, Pengaturan
aerasi dan pemasukan air. Persiapan wadah budidaya dilakukan dengan cara
pencucian biasa yang dilanjutkan dengan pembilasan. Pengaturan aerasi
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 112
dilakukan dengan menggunakan pipa ukuran setengan inchi sebanyak 1
buah/bak yang diletakkan melintang dibawah tengah bak.Pipa tersebut
dilubangi dengan jarak sekitar 20 cm tiap lubangnya.Setiap blower min 120
watt dapat mencukupi kebutuhan oksigen 2 bak dengan ukuran
10m3.Pemasukan air dilakukan dengan menyedot air laut langsung dengan
system filtrasi fisik berupa lilitan dakron ataupun filrasi bertingkat.
3. Benih
Benih yang digunakan harus berasal dari hatchery yang bersertifikat CPIB.
Dengan sumber benih yang bersertifikat maka keamanan pangan dan
ketelusuran produk yang dihasilkan akan terjamin dan dapat meningkatkan
nilai tawar udang hasil pembesaran HSRT. Pada umumnya benih F1 lepas
hatchery saat ini adalah PL8-9 dengan berat kurang dari 0,01gr.Penebaran
benih yang cukup aman untuk skala HSRT ini adalah 2000-2500 ekor/m2
untuk target panen 2-3 gr/ekor. Sehingga dalam satu unit HSRT yang
memiliki bak minimal 8 buah dengan ukuran 10m2 tiap baknya dapat
menebar sekitar 150.000 - 200.000 ekor/siklus.
4. Pemberian Pakan
Pakan yang digunakan dalam pembesaran HSRT ini adalah pakan dengan
kandungan protein minimal 40%. Pakan yang diberikan sebagai pakan awal
adalah bubuk kasar dengan carablind feedingdengan frekuensi pemberian
pakan 4 kali perhari. Setelah benih tumbuh sampai min 0,1gr/ekor makan
dapat diberikan pakan crumble dengan feeding program yang telah dibuat
oleh BBAP Takalar. Pemberian pakan 4 kali perhari ini dibagi menurut
kuantitasnya yaitu 40% untuk dua kali pemberian pagi dan siang serta 60%
untuk dua kali pemberiansore dan malam. Penambahan vitamin C dalam
pakan dilakukan dengan dosis 1000mg/kg pakan dan seminggu sebelum
panen dinaikkan menjadi 2000mg/kg pakan.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 113


5. Manajemen Kualitas Air
Kualitas air memegang peran yang sangat penting dalam pembesaran
HSRT. Setiap minggu sekali media pemeliharaan ditebar probiotik padat
dan cair untuk menjaga kualitas air tetap terjaga.Pergantian air pertama
dilakukan setelah beih memasuki usia 30 hari dan kemudian setiap minggu
berikutnya dilakukan pergatian air kembali.Pergantian air dilakukan sebesar
maksimal 50% dari total media pemeliharaan. Total jumlah pergantian air
dalam satu siklus pemeliharaan adalah tiga kali. Dengan perhitungan ini
dapat dihitung kebutuhan air dalam satu siklus untuk unit HSRT dengan bak
min 8 buah adalah 200m3 persiklus
6. Panen
Panen dilakukan pada saat udang mencapai 2-3gr dengan usia sekitar 45
hari. Panen dilakukan dengan hati-hati menggunakan jarring bak panen dan
penyerokan langsung. Proses pemanenan dilakukan dengan metoda yang
disesuikan dengan metoda pengangkutan yang akan dilakukan.
Dalam hal perhitungan udang dilakukan dengan metode kering.
7. Pengangkutan
Proses pengangkutan merupakan proses yang sangat penting agar udang
dapat ditebar dalam tambak pembesaran dalam kondisi yang sehat .
Pengangkutan udang ukuran 2-3 gr/ekor sebaiknya menggunakan fiber atau
bak terpal dalam mobil pickup/truk.Ketersediaan blower dan tabung
oksigen merupakan hal yang mutlak dalam pengangkutan. Lama
pengangkutan udang hasil panen ini adalah 3 jam pertabung oksigen. Setiap
pengangkuatan menggunakan truk diperkirakan dapat mengangkut sekitar
150.000-200.000 ekor benih untuk waktu pengangkutan 5 jam dengan
menggunakan es untuk menurunkan suhu air.

Teknik Pembesaran Udang Supra Intensif


Pembesaran Supra Intensif adalah teknologi intensifikasi lahan dengan
tujuan produksi udang dengan penebaran 600-1300 ekor/m2
1. Sarana
Wadah pemeliharaan udang untuk teknologi ini adalah bak beton dengan
ukuran bulat dengan luas 78,5m2.Ketinggian bak ini minimal 2.6 m dengan
diameter 10m.Wadah ini dilengkapi dengan central drain dengan ukuran
minimal 8 inchi.
Suplai air berasal dari air laut langsung yang diisap menggunakan pompa 4
inchi.Air laut yang digunakan sebaiknya telah difilter dengan filiterisasi
minimal adalah penyaringan di pipa isap di laut menggunakan ijuk dan
arang.Pengaturan pipa isap dilaut harus secara cermat dilakukan sehingga
air laut dapat dengan mudah diisap walapun kondisi pasang surut yang
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 114
tinggi sekalipun. Motor penggerak pompa isap dapat menggunakan mesin
diesel maupun dynamo listrik. Motor penggerak pompa sebaiknya 5 HP
dengan putaran 1400 rpm.
Suplai oksigen dalam bak menggunakan blower. Blower yang digunakan
setiap bak sebaiknya 1,5 inchi. Penggunaan blower 2-2,5 inchi lebih
efektif dilakukan sebab dapat mencukupi kebutuhan oksigen 2 unit bak.
Motor penggerak blower ini dapat digunakan mesin diesel maupun dynamo
listrik.

2. Persiapan Tebar
Kelebihan dari persiapan pembesaran di bak beton adalahs ingkatnya masa
persiapan sehingga dalam satu tahun siklus produksi akan semakin tinggi.
Persiapan dalam bak dapat dilakukan dengan cepat dengan waktu maksimal
7 hari.
Persiapan awal usaha pembesaran adalah persiapan wadah, Pengaturan
aerasi dan pemasukan air. Persiapan wadah budidaya dilakukan dengan cara
pencucian biasa yang dilanjutkan dengan pembilasan. Pada budidaya
system supra intensif ini pencucian bak sangat mudah dilakukan karena
kerang maupun teritip yang menempel di dinding bak sangat jarang ditemui
sebab kepadatan udang yang tinggi menyebabkan teritip atau kerang tidak
dapat tumbuh di dinding bak. Pengaturan aerasi dilakukan dengan
menggunakan pipa ukuran satu inchi dengancentral drain. Diharapkan
dengan pengaturan aersasi demikian maka limbah padat pembesaran akan
mudah terbuang dan kualitas air media pemeliharaan tetap terjaga.
Pemasukan air laut dengan pompa 4 inch membutuhkan waktu sekitar 6-7
jam agar bak dapat terisi penuh.

3. Benih
Benih yang digunakan berasal HSRT dengan ukuran minimal 2gr/ekor.
Dengan benih sebesar ini maka diharapkan dapat mempercepat waktu
pembesaran dan meningkatkan kelulus hidupan udang dan tingkat
homogenitas yang baik.Kepadatan benih yang ditebar adlah 1300
ekor/m2.Sehingga setiap bak pemeliharaan dapat diisi minimal 100.000
ekor.

4. Pemberian Pakan
Pakan yang digunakan dalam pembesaran supra intensif adalah pakan
dengan kandungan protein minimal 37%.Ukuran pakan yang diberikan
diseuaikan dengan ukuran udang yang dipelihara.Feeding frekuensi dan
dosis pakan mengikuti feeding program yang telah dibuat oleh BBAP
Takalar. Pemberian pakan 8 kali perhari ini dibagi menurut kuantitasnya
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 115
yaitu 40% untuk empat kali pemberian pagi dan siang serta 60% untuk
empat kali pemberian sore dan malam. Penambahan vitamin C dalam pakan
dilakukan dengan dosis 1000mg/kg.
5. Manajemen Kualitas Air
Kualitas air pada system supra intensif ini dapat dijaga kestabilannya
karena system raceway yang diterapkan. Pemasukan air menggunakan
metode milkfish circulation dimana air yang masuk dapat memutar hampir
seluruh ketinggian media pemeliharaan.Setelah udang berukuran 5 gr/ekor
sebaiknya pemasukan air dilakukan terus sehingga pergantian air sekitar
200% perhari. Dengan tingginya pergantian air ini diharapkan dapat
meningkatkan kandungan oksigen dalam air untuk mencukupi kebutuhan
oksigen udang yang tinggi. Dengan pergantian air ini, plankton akan sulit
blooming, sebab dengan sirkulasi, air pemeliharaan tidak akan pernah
berwarna hijau maupun coklat sehingga pada malam hari diharapkan
persaingan oksigen mayoritas hanya terjadi sesama komoditas yang
dibudidayakan. Prinsip raceway inilah yang diterapkan oleh Dr. Lawrence
dalam patent US0100294202 walaupun dalam skala berbeda.Jumlah persen
sirkulasi air perhari ini masih dalam tahap perbaikan untuk mengejar
kepadatan udang yang lebih tinggi lagi dan menghasilkan udang dengan
ukuran yang lebih besar.

6. Manajemen Kesehatan Udang


Pengetahuan tentang kesahatan udang berkala sangat penting dilakukan
sebagai dasar setiap perlakuan yang akan diberikan. Pemeriksaan kesehatan
udang dilakukan setiap tiga hari dengan melihat pertumbuhan dan ciri fisik
udang. Berdasarkan kondisi udang yang dipelihara maka setiap perlakuan
yang akan diberikan mengacu pada data yang ada sehingga analisa kejadian
dan perencanaan akan mudah dilakukan.
7. Panen
Panen udang system supra intensif dilakukan secara partial. Penentuan
panen dilakukan dengan mengukur kandungan oksigen pada waktu subuh.
Jika oksigen kurang dari 4 ppm maka panen sebaiknya dilakukan. Pada
umumnya panen pertama dilakukan pada ukuran udang 11-12 gr/ekor,
panen kedua saat udang 15-16 gr/ekor dan panen terakhir saat udah
berukuran 17-20gr. Dengan system panen ini diharapkan usaha pembesaran
ini memperoleh keuntungan maksimal. Sistem panen ini juga diterapkan
oleh Moss (2005) untuk menghasilkan panen ukuran besar

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 116


HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pemeliharaan vannamei dengan memanfaatkan HSRT sebagai
segmentasi produksi dengan dilanjutkan dengan pembesaran supra intensif
diperoleh hasil

dengan pembesaran supra intensif diperoleh hasil

Pembesaran HSRT Pembesaran Tambak

16

14

12
B
e 10
r
a 8
t 6

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Minggu
Grafik 1. Pemeliharaan Udang

Grafik diatas menunjukkan pemeliharaan selama 15 minggu dengan berat akhir


16,7 gr. Area berwarna biru menunjukkan pembesaran HSRT dan area merah
muda menunjukkan pembesaran di bak supra intensif.
Tabel 1.Pembesaran HSRT
No Uraian Hasil
1 Growth 2,65 gr ±0,21
2 Survival Rate 85%
3 FCR 0,99
4 SGR 18%
Tabel 1 diatas menunjukkan pertumbuhan udang pada pembesaran di HSRT.
Dari hasil diatas dapat dilihat pertumbuhan udang yang cukup baik 2,65
gr ±0,21, kelulushidupan 85% FCR 0,99 dan pertumbuhan harian 18%
perhari.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 117


Tabel 2. Pembesaran di Bak Supra Intensif
No Uraian Hasil
1 Growth 16,7 gr ± 1,2
2 Survival Rate 85%
3 FCR 1,3
4 SGR 9,08%
Panen
Parsial I (ukuran 9,8 gr) 350 kg
Parsial II (ukuran 13,5 gr) 350 kg
Panen akhir (ukuran 16,7 gr) 400 kg
Total Panen 1100 kg
Tabel 2 diatas menunjukkan pertumbuhan udang pada pembesaran di bak supra
intensif. Dari hasil diatas dapat dilihat pertumbuhan udang yang sangat
baik 16,7 gr ± 1,2 kelulushidupan 85% FCR 1,3 dan pertumbuhan harian
9,08 % perhari. Panen dilkukan sebanyak 3 kali dengan total panen 1100
kg
Pendekatan dalam akselerasi produksi vannamei dengan pemanfaatan HSRT
Idle sebagai segmentasi pembesaran tahap I merupakan solusi yang tepat
dalam meningkatkan produksi udang vannamei. Dengan aktifnya kembali
HSRT maka secara langsung dapat mempercepat masa panen dan sebagai
solusi dalam mengaktifkan kembali HSRT yang cukup lama tidak berpropduksi
sejak runtuhnya kejayaan udang windu. Beberapa aspek yang sangat
menunjang dalam system ini adalah :
1. Masa Panen Cepat
Masa panen udang vannamei saat ini berada dalam kisaran minimal 90 hari
setelah tebar.Dengan system ini maka panen dapat dipercpat lebih dari satu
bulan masa panen normal. Dengan pembesaran sampai ukuran 2-3 gr di
HSRT maka diharapkan masa panen di tambak pembesaran akan jauh lebih
cepat, yaitu dalam kisaran 45 hari. Hal ini juga dapat meningkatkan
kelulushidupan udang yang dipelihara sebab dalam ukuran tebar 2-3 gr
maka kemampuan adaptasi udang akan semakin tinggi sehingga berdampak
pada skelulushidupan yang tinggi pula. Kendala yang sering dihadapi pada
tambak tradisional dan semi intensif adalah benih udang vannamei yang
beredar saat ini sangat kecil. Ukuran benih lepas dari hatchery saat ini pada
umumnya hanya PL8. Kecilnya ukuran benih ini berdampak pada
menurunnya kemampuan adaptasi benih terhadap lingkungan serta bila
dikaitkan dengan pemangsa maka benih yang kecil ini sangat rawan
terhadap pemangsa yang ada ditambak. Selain itu juga, ukuran yang
dihasilkan dengan menebar benih yang kecil ini akan sangat bervariasi
karena luasnya wadah pembesaran menyebabkan pemberian pakan akan
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 118
kurang optimal sehingga udang yang kalah akan cenderung menjadi
―kuntet‖.
Pembesaran di HSRT untuk mencapai 2-3 gr diperlukan waktu 43 hari.
Dengan penanganan yang baik dalam bak terkontrol sesuai dengan
percontohan yang dilakukan BBAP Takalar, maka diharapkan hasil benih
pembesaran HSRT akan memiliki kualitas yang baik dengan ukuran yang
seragam sehingga saat dipindah ke tambak pembesaran akan lebih cepat
pertumbuhannya sehingga masa panen akan singkat dengan ukuran yang
seragam.
Dengan mempersingkat masa panen udang ini maka akan sangat berdampak
pada peningkatan produksi hampir dua kali lipat produksi saat ini.
2. Lokasi
Lokasi HSRT cukup merata di sepanjang pantai barat Sulawesi Selatan
dengan jumlah yang banyak. Lokasi ini dianggap penting sebab dengan
aktifnya kembali HSRT maka penyaluran udang hasil pembesaran HSRT ke
tambak pembesaran akan mudah sebab lokasi pengangkutan yang relative
dekat.
3. Kemampuan SDM
Para pemilik HSRT Idle sekarang ini adalah pembudidaya yang telah
terbiasa membenihkan udang windu dalam HSRT. Dengan pengalaman
yang tinggi dalam memelihara udang windu yang umumnya berawal dari
stadia naupli maka pergeseran ke pembesaran udang vannamei akan mudah
sebab teknologi yang digunakan dalam pembesran vannamei skala HSRT
lebih mudah dari pembenihan udang windu.
4. Sosial
Sosial masyarakat HSRT telah terbentuk sejak lama sebelum keruntuhan
udang windu sehingga akan mudah dalam pendekatan maupun
pendampingan HSRT secara berkelompok. Pendekatan social masyarakat
ini cukup penting sebab dengan kelompok HSRT yang dapat dibentuk maka
akan dapat menstimulir HSRT lain disekitarnya. Dengan adanya kelompok
HSRT juga dapat berdampak pada semangat pembudidaya dalam
berproduksi dan penyelesaian masalah teknis akan dapat diseselaikan
bersama.
5. Ekonomi
Dampak ekonomi yang akan timbul dari system ini adalah meningkatkan
pendapatan pembudidaya sebab siklus akan menjadi jauh lebih pendek dan
produksi tahunan dapat meningkat dengan signifikan. Untuk pembudidaya
skala tambak, produksi akan lebih cepat sehingga hasil yang diperoleh
dalam satu tahun akan jauh lebih banyak. Sedangkan untuk HSRT, akan
sangat menguntungkan dengan panen setiap 30-45 hari, sehingga
pembudidaya HSRT akan mendapatkan keuntungan dari setiap siklus
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 119
produksi yang pendek. Hal ini akan berdampak langsung terhadap nilai
produksi udang khususnya di Sulawesi Selatan.

KESIMPULAN

Dengan semua uraian diatas maka peningkatan produksi vannamei dengan


cepat dapat terwujud jika pembesaran diarahkan pada segmentasi produksi
yang tepat sehingga proses budidaya dapat berjalan dengan efektif dan efisien
serta menguntungkan. Segmentasi pertama yang merupakan Pembesaran di
HSRT sangat tepat untuk menghasilkan udang tebar yang homogeny dengan
ukuran besar. Sedangkan segmentasi pembesaran kedua adalah pembesaran
sampai ukuran konsumsi dimana waktu produksi akan menjadi jauh lebih
pendek, sehingga total produksi tahunan akan jauh meningkat karena
singkatnya waktu produksi tiap siklusnya.

DAFTAR PUSTAKA
Moss.Et al, 2005.Optimizing Strategis for Growing Larger L. vannamei. Global
Aquaculture Advokat, 68-69.
Avnimelech Y., 2007. Biofloc technology. World Aquaculture Society, 75-90
Lawrence A.L., 2011.New Aquaculture Technology Super Intensive Raceway.
Texas Agrilife Research
Lawrence A.L., 2011.Patent US0100294202. Systems and Methods

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 120


REVITALISASI TAMBAK UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI
ACEH MELALUI DISEMINASI PENTOKOLAN MULTI PONDS DAN
SINGLE POND

Muhammad, M. Fadhly Nauri, Hendro Wahyudi, dan T. Ridwan


Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee
Jl. Krueng Raya Km. 46 Banda Aceh
NANGROE ACEH DARUSSALAM

ABSTRAK
Metode pentokolan meningkatkan keberhasilan budidaya udang windu
(Penaeus monodon). Selama tahun 2013 BPBAP (Balai Perikanan
Budidaya Air Payau) Ujung Batee telah membina sejumlah unit
pentokolan di seluruh Aceh. Metode produksi tokolan secara in-situ di
kawasan tambak memudahkan aklimasi dan transportasi benih ke
tambak masyarakat. Kegiatan diseminasi teknologi ini dilakukan dengan
metode eksperimental-diseminatif, yakni melibatkan petambak di
kawasan pembinaan. Lokasi pembinaan dibagi menjadi dua kelompok
yakni pantai timur Aceh (multi ponds) 13 lokasi dan di pantai barat
(single pond) 3 lokasi. Unit pentokolan multi ponds dibuat di tambak
dengan luas 5000 m² yang memuat petak 10-20 petak tokolan dengan
ukuran 5x15 m², 4x10 m² dan 5x10 m². Padat tebar benur 400 ekor/m²,
dipelihara selama 15-21 hari dengan Survival Rate (SR) mencapai
79.1%, panjang total 2,6-3 cm/ekor dan bobot 0.28-0.31 gram/ekor.
Sedangkan, unit pentokolan single pond dibuat dalam petakan besar
berukuran 0,5-1 ha yang dikelilingi tambak-tambak pembudidaya
pengguna tokolan dengan kepadatan benur 30-50 ekor/m². Pemeliharaan
dilakukan selama 35-45 hari dengan SR mencapai 60-75%, panjang total
4-5,5 cm/ekor dan bobot 3 -5 gram/ekor. Tokolan hasil multi ponds dan
single pond digunakan untuk pembesaran udang sistem sederhana plus.
Tokolan multi ponds ditebar di tambak pembesaran dengan kepadatan 3-
5 ekor/m², produksi 600-900 kg/ha/siklus selama 3 bulan, SR 75%, dan
Feed Conversion Ratio (FCR) 1,2. Tokolan hasil single pond ditebar di
tambak pembesaran dengan kepadatan 2-3 ekor/m², produksi mencapai
500-800 kg/ha/siklus selama 2,5 bulan, SR 80% dan FCR 1.
Keberhasilan ini memicu sebagian pembudidaya untuk melakukan
budidaya semi intensif dan terbukti berhasil (total panen 5280 kg/ha).

KATA KUNCI: revitalisasi, udang windu, pentokolan, single


pond dan multi ponds
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 121
PENDAHULUAN
Diseminasi pentokolan secara in-situ adalah salah satu solusi dalam
menanggulangi gagal panen akhir akhir ini. Salah satu cara mengatasinya
adalah menggunakan tokolan berukuran lebih besar dari hasil pendederan.
Petak tokolan dikelilingi dengan pagar biosecurity dan pengecekan virus
dengan PCR (Polimerase Chain Reaction) sebelum tokolan disebarkan ke petak
pembesaran.
Pentokolan secara in-situ adalah usaha pemeliharaan benur dari ukuran
PL 12-15 menjadi ukuran PL 33-35 dengan menggunakan petakan kecil dengan
ukuran yang bervariasi. Orientasi pentokolan dimaksud sebagai tempat untuk
proses beradaptasi dengan lingkungan bebas dan sedikit mengurangi tahapan
kebutuhan fisiologis larva, sehingga kondisi lingkungan tambak akan lebih
terakomodasi saat proses pentokolan, sehingga saat ditebar kedalam tambak
tidak akan stress sebab kondisi salinitas, suhu, pH cenderung lebih sama
(Persyn and Aungst, 2006). Akses petani dalam memperoleh benur yang
berkualiats juga dapat terjamin baik kualitas maupun kuantitas, karena
dilakukan secara langsung dikawasan tambak atau yang lebih dikenal dengan
in situ.
Kegiatan pentokolan secara in situ di lakukan didalam sebuah kawasan
tambak yang terdiri dari beberapa klaster budidaya, akses dalam mendapatkan
benur dapat diperoleh dengan mudah baik kualitas maupun kuantitas, sehingga
penerapan system budidaya secara klaster dapat diterapkan secara maksimal.
Pengertian klaster itu sendiri adalah hamparan tambak dengan hamparan
tambak lain terpisah secara hidrologis baik oleh saluran, sungai dan jalan.
Kelebihan menganut konsep klaster adalah dapat mengeliminasi siklus
penyebaran penyakit sehingga dalam klaster penebaran sampai panen dapat
dikontrol karena asal benur dari satu tempat atau satu lokasi pentokolan.
Pentokolan udang windu merupakan salah segmen usaha dan berfungsi sebagai
satu mata rantai dalam budidaya udang windu system tradisional atau pola
sederhana. Diseminasi budidaya berorientasi pengembangan kawasan budidaya
sistem kluster terintegrasi dengan sistem pentokolan sehingga disebut secara in
situ
Kabupaten Aceh Timur adalah salah satu wilayah di Provinsi Aceh yang
memiliki potensi budidaya perikanan yang cukup besar. Wilayah Kecamatan
julok memiliki lahan potensial bekas tambak idle seluas ± 181 Ha. Lahan-lahan
tersebut cukup layak untuk dihidupkan kembali terutama pada budidaya udang.
Dengan berkembangnya kawasan tersebut diharapkan dapat berperan
meningkatkan produksi perikanan budidaya di Provinsi Aceh sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 122


Pada tahun 2012 dan 2013 mengalami peningkatan produksi tokolan
disebabkan adanya peningkatan kebutuhan tokolan dan bertambahnya petani
binaan dengan sistem kelompok klaster. Sistem klaster budidaya adalah
pengelompokan pembudidaya dalam satu kawasan yang memiliki kesamaan
seperti komoditas, salinitas, konstruksi dan kualitas tanah. Tiap-tiap klaster
dipisahkan oleh satu saluran. Cara ini bertujuan untuk meminimalisir
penyebaran penyakit pada tiap klaster.
Tujuan dari diseminasi ini adalah meningkatkan kemudahan akses
terhadap tokolan udang berkualitas secara kuantitatif.

BAHAN DAN METODE


Identifikasi klaster
Identifikasi wilayah klaster mulai dilakukan pada bulan Mei 2011
dengan mendata kecocokan wilayah yang mempunyai kesamaan ekologis, dan
dipisahkan oleh saluran. Kegiatan tersebut bertujuan untuk meninjau berapa
kelompok klaster yang dapat dibentuk di lokasi rencana kegiatan diseminasi
(Figure 1).
Kegiatan teknis pentokolan udang bebas virus
Benih disebarkan ke wilayah pesisir Timur Aceh sebanyak 13 lokasi
(13.863.000 ekor) dan Pantai Barat Aceh sebanyak 3 lokasi (2.260.000 ekor).
Pelaksanaan kegiatan pentokolan meliputi penyediaan benur PL 12 yang
dibeli dari hatchery BBAP Ujung Batee, penebaran, pemberian pakan 2 kali
sehari, pemberian minyak cumi dan vitamin C yang dicampur dengan pakan
untuk meningkatkan nafsu makan dan meningkatkan kekebalan benih, kontrol
kualitas air, panen dan pasca panen.
Pendampingan teknis budidaya
Kegiatan pendampingan teknis petani dilakukan dalam beberapa tahap,
yaitu temu lapang, pengawasan dan evaluasi. Temu lapang dilakukan beberapa
kali apabila dibutuhkan. Pengawasan dilakukan sejalan dengan kegiatan teknis
lapangan. Pengawasan bertujuan untuk mengetahui sampai di mana tingkat
pencapaian dan tingkat penyelesaian dari kegiatan tersebut dalam rangka
mencapai tujuan yang ditentukan. Tindak lanjut dari kegiatan pengawasan
adalah evaluasi. Kegiatan evaluasi dilakukan di tiap akhir bulan. Kegiatan ini
merupakan lanjutan dari kegiatan temu lapang, kegiatan teknis dan
pengawasan. Dalam evaluasi juga dilakukan analisis serangkaian data yang di
dapat dari kegiatan temu lapang, teknis dan pengawasan di lapangan.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 123


Evaluasi diseminasi pentokolan
Untuk mengukur keberhasilan diseminasi dilakukan terlebih dulu
pengklasifikasian standar keberhasilan (Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria keberhasilan kegiatan

Kriteria Keterangan
Tidak berhasil Klasifikasi buruk >70%
Kurang berhasil Klasifikasi buruk 50-70%
Berhasil Klasifikasi buruk 30-50%
Sangat berhasil Klasifikasi buruk <30%

Keberhasilan pentokolan ditentukan dari daya serap tokolan oleh


pembudidaya udang. Klasifikasi daya serap ini adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Klasifikasi penyerapan tokolan

Klasifikasi Penyerapan tokolan per petani


Buruk <10,000
Cukup baik 10,000-20000
Baik 20,000-60,000
Sangat baik >60,000

Untuk memperjelas efek kegiatan di lapangan, maka sampel diseminasi


pentokolan dilakukan di Julok dengan membandingkan dengan produksi
tokolan pada tahun sebelumnya (2011-2012).
Perbandingan bioteknis
Kemudian multi ponds dan single ponds dibandingkan dengan variabel
waktu pemeliharaan kelangsungan hidup, berat, panjang, dan FCR.

Efek pentokolan pada keberhasilan pembesaran


Sebelumnya dilakukan survey untuk menentukan standar keberhasilan
penen udang menurut petani. Petani yang memperoleh benih tokolan dievaluasi
antara jumlah pembelian dan hasil panen. Kemudian hasil dari panen ini
dibandingkan standar kesuksesan yang petani buat sendiri.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 124


HASIL DAN PEMBAHASAN

Pentokolan Multi Ponds

Dari hasil survey awal didapat bahwa data kualitas lahan di Gampong
Baro, Julok, Aceh Timur adalah pH tanah 5-6, pH air 7-8, dan Salinitas 22-28
ppt. Dengan demikian tanah menunjukkan keadaan asam. Keadaan ini
menyebabkan petani menambahkan dolomite lebih banyak untuk menetralkan
kondisi tanah dasar. Kualitas pH tanah perlu mendapat perhatian lebih dalam
hal ini, agar produksi udang maksimal
Produksi Pembeli Penyerapan tokolan/ Klasifikasi
No Lokasi Diseminasi tokolan/lokasi pembudidaya/tahun penyerapan
1 Desa Pasi Ie Leubeu Kec. Kembang 375,000 34 11,029 cukup baik
Tanjong Kab. Pidie
2 Desa Meuraksa Kec. Meureudu Kab. 1,495,000 26 57,500 Baik
Pidie Jaya
3 Desa Meurah Dua, Kec. Meureudu Kab. - - buruk
Pidie Jaya
4 Desa Lhong Reng Kec. Trienggadeng - buruk
Kab. Pidie Jaya
5 Desa Seuneubok Seumawe Kec. 280,000 12 23,333 Baik
Peulimbang Kab. Bireun
6 Desa Engking Barat Kec. Samalanga - - buruk
Kab. Bireun
7 Desa Puuk Kec. Samudera Kab. Aceh 1,200,000 18 66,667 sangat baik
Utara
8 Desa Jambo Mesjid Kab. Blang Mangat 752,000 14 53,714 Baik
Kab. Aceh Utara
9 Desa Glumpang Umpung Unoe Kec. - - buruk
Tanah Jambo Aye Kab. Aceh Utara
10 Desa Teupin Mamplam Kec. Simpang 1,500,000 13 115,385 sangat baik
Ulim Kab. Aceh Timur
11 Desa Gampong Baro Kec. Julok Aceh 2,670,000 14 190,714 sangat baik
Timur
12 Desa Cot Keh Kec. Peureulak Kota Kab. - buruk
Ceh Timur
13 Desa sungai Pauh Kec. Langsa Barat 2,680,000 12 223,333 sangat baik
Kota Langsa
Total 10,952,000 143 92,709 sangat baik

Di lokasi pesisir Timur, hanya 4 lokasi pentokolan yang tidak


memperoleh benih karena ketidakcukupan jumlah benih yang disediakan Balai.
Sedangkan 9 lokasi lainnya dapat melakukan pentokolan dengan serapan udang
tokolan per petani rata-rata 11.000-223.000. Dengan kemampuan petani
membeli 20.000 benih per siklus maka bisa dipastikan seorang petani
memperoleh tokolan sepanjang tahun. Dengan demikian 62% lokasi pentokolan

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 125


telah mampu memperbaiki ketersediaan benih. Dari hasil ini kegiatan
diseminasi tokolan dapat dikategorikan sebagai berhasil.

Figure 1. Tambak pentokolan single pond berpagar untuk biosekuriti

Pentokolan single Ponds


Pentokolan single ponds diterapkan pada petani bertambak luas dan
memiliki modal besar untuk sekaligus membeli benih PL muda dalam jumlah
besar. Petakan tokolan single pond dilengkapi dengan pagar jaring sebagai
penghalang agar hewan berukuran besar tidak masuk seperti hewan ternak.
Pada pentokolan single ponds juga tergolong berhasil yakni seluruh petani
dapat memperoleh benih. Daerah Subang dapat memperoleh benih sepanjang
tahun karena pasokan benih PL yang cukup banyak.

No Lokasi Diseminasi Produksi tokolan/petani Pembeli Tokolan/petani/tahun Klasifikasi


1 Subang, Kuala Unga, Aceh Jaya 1,400,000 20 70,000 sangat baik
2 Lhok Bubon, Samatiga, Aceh Barat 70,000 5 14,000 cukup baik
3 Sejahter, Manggeng, Aceh Barat Daya 112,500 7 16,071 cukup baik
1,582,500 32 33,357

Perbandingan bioteknis antara multi ponds dan single ponds


Apabila dibandingkan petak single pond dengan padat tebar lebih rendah
pemeliharaan lebih lama dan pakan alami yang lebih melimpah menghasilkan
benih tokolan yang lebih besar, lebih dari 10 kali lipat tokolan multiponds.
Namun demikian karena jangka waktunya lebih lama (lebih dari 2 kali lipat

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 126


multi ponds) maka kelangsungan hidup tokolan menjadi lebih rendah (Tabel
6).
Keberhasilan pentokolan diatas tidak terlepas dari antusiasme masyarakat
dalam menerima informasi dan bantuan teknis dari teknisi di lapangan.

Tabel 3. Perbedaan hasil dalam pentokolan multi ponds dan


single pond

Variabel Multi ponds Single ponds


SR 79.10% 67.50%
Panjang (cm) 2.6-3 4-5.5
Berat (gr) 0.28-0.31 3-5
Lama pemeliharaan (hari) 15-21 35-45
Kepadatan 400 30-50

Keberhasilan pentokolan Julok, Aceh Timur


Kegiatan Diseminasi pendederan benih udang windu di Aceh Timur
telah berjalan 8 siklus mulai tahun 2011 (200 ribu) dan mengalami kenaikan
lebih dari 10 kali lipat saat 2013 (2,67 juta) (figure 2.).

86% 2,670 3,000


85% 85%
2,500
84%
83% 2,000
1,600
82% Jumlah
SR 1,500
81% tokolan (ribu)
80% 80% 1,000
79% 80% Tokolan
200 500
78% SR
77% 0
2011 2012 2013

Figure 2. Kenaikan hasil dan kelangsungan hidup tokolan udang

Keberhasilan pentokolan udang windu terlihat jelas. Selain dari segi kuantitas
yang meningkat juga dari kelangsungan hidup selama pentokolan. SR selama
tahun 2011-2012 tetap dan meningkat setelah 2013 yakni dari 80% ke 85%. Ini
menunjukkan terjadi perbaikan system manajemen budidaya.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 127


Keberhasilan budidaya konsep kluster menjadi semakin baik ketika ditunjang
dengan bioscreening yang diterapkan. Pengaplikasian ikan nila pada sekeliling
saluran masuk dan buang air tambak mungkin menjadi penyebab hal ini. Ikan
nila mengurangi masuknya kurstasea dan ikan liar masuk kesaluran (Al-Harbi
and Uddin, 2005).

Keuntungan dalam system pentokolan single pond adalah kemudahan


mengelola waktu panen. Panen benih dapat dilakukan secara bertahap. Dengan
demikian kebutuhan pasar dapat terpenuhi secara simultan. Kerja petambak
juga tidak melelahkan karena beban pekerjaan menjadi terbagi-bagi

Pentokolan meningkatkan produksi udang


Hasil survey menunjukkan bahwa keberhasilan budidaya udang windu
dapat dilihat dari jumlah benih yang ditebar dan produksi udang yang
dihasilkan. Sebagian besar pembudidaya memberi standar 20.000 ekor untuk
menghasilkan 100 kg atau dibutuhkan 200 ekor per kg udang yang dihasilkan.

Tabel 4. Klasifikasi keberhasilan budidaya udang berdasarkan kebutuhan


tokolan per kg udang

Kebutuhan tokolan per kg hasil


Klasifikasi
udang
Buruk >200
Cukup baik 100-200
Baik 50-100
Sangat baik <100

Dalam prakteknya. Pentokolan yang dilakukan di Aceh Timur (Julok),


panen sering dilakukan serentak saat permintaan tinggi. Namun demikian hasil
produksi udang tetap berlanjut. Klaster lokasi telah membantu memperingan
kegagalan budidaya.
Kisaran panen udang oleh petani adalah 75-440 kg udang per siklus
(Tabel 1).
Hampir setengahnya panen sekitar dua bulan. Ini menunjukkan bahwa
pentokolan memperpendek masa budidaya sehingga risiko kegagalan menurun
(Juan et al., 1988). Berdasarkan testimony petani, pelaksanaan diseminasi
system kluster memberikan keuntungan. Petani menjadi lebih mudah
mengakses benih bebas virus dan memperoleh bantuan teknis langsung. Selain

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 128


itu mereka juga mendapatkan usaha tambahan yakni pentokolan udang (Tabel
2). Bagi Balai, keuntungan yang nyata adalah dapat berperan untuk
menumbuhkan usaha budidaya baru dan tercapainya sertifikasi Cara Budidaya
Ikan yang Baik.
Pola produksi semakin jelas, yakni selama bulan-bulan kemarauproduksi
meningkat (50-80%) sedangkan pada bulan penghujan produksi menurun.
Pengaruh ini karena fluktuasi lingkungan membesar saat musim penghujan

Tabel 5. Produksi udang windu di tambak dari benih hasil pentokolan

Jumlah tokolan Kebutuhan tokolan


No. Umur pemeliharaan (hari) Panen (kg) Klasifikasi
(ekor) per kg produksi
1 25,000 60 150 167 cukup baik
2 10,000 75 130 77 Baik
3 15,500 80 150 103 cukup baik
4 25,000 60 280 89 Baik
5 20,000 92 350 57 Baik
6 20,000 118 440 45 sangat baik
7 29,000 60 125 232 buruk
8 10,500 77 90 117 cukup baik
9 25,000 62 120 208 buruk
10 10,000 65 80 125 cukup baik
11 10,000 60 75 133 cukup baik

KESIMPULAN
Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Pentokolan udang windu dapat disimpulkan berhasil dan dapat diterima
masyarakat.
2. Keberhasilan pentokolan tercermin dari meningkatnya keinginan
masyarakat untuk memproduksi tokolan tiap tahun. Produksi udang di
sekitar lokasi pentokolan meningkat.
3. Keberhasilan teknis ditunjukkan oleh kelangsungan hidup benih yang
tinggi dan pertumbuhannya yang baik.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 129


DAFTAR PUSTAKA

Al-Harbi, A.H., Uddin, N., 2005. Bacterial diversity of tilapia


(Oreochromis niloticus) cultured in brackish water in Saudi
Arabia. Aquaculture 250, 566–572.
doi:10.1016/j.aquaculture.2005.01.026
Juan, Y.-S., Griffin, W.L., Lawrence, A.L., 1988. Production Costs of Juvenile
Penaeid Shrimp in an Intensive Greenhouse Raceway Nursery
System. J. World Aquac. Soc. 19, 149–160. doi:10.1111/j.1749-
7345.1988.tb00943.x
Persyn, H., Aungst, R., 2006. Nursery, in: Operating Procedures for Shrimp
Farming: Global Shrimp OP Survey Results and
Recommendations. Global Aquaculture Alliance, Missouri, USA,
pp. 41–51.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 130


PERFORMA REPRODUKSI UDANG PISANG
(Penaeus sp)

Sarifuddin , Syafrizal , Abidin Nur


Balai Perikanan Budidaya Air Payau ujung Batee
Jl. Krueng Raya KM 46 Banda Aceh
Nanggroe Aceh Darussalam

ABSTRAK

Pembenihan udang pisang (Penaeus sp) di fokuskan untuk tujuan


domestikasi sebagai udang kekayaan lokal Aceh. Species ini diharapkan
sebagai komoditas andalan karena terbukti belum pernah di temukan di
perairan daerah lain. Penamaan lokal disebut ― udeung pisang‖ artinya
udang pisang begitu masyarakat nelayan dan petani tambak
menyebutnya. Udang jenis ini banyak tersebar disepanjang perairan
wilayah barat Aceh dari Lamno hingga sampai ke pantai Aceh Selatan.
Keunikan dari jenis udang ini adalah ukurannya yang menyerupai induk
udang windu, bahkan dari beberapa kajian pemeliharaan sebelumnya
post larvanya mirip udang windu sampai umur satu setengah bulan di
tambak. Bentuk morfologinya, karakteristik/behaviornya menyerupai
udang windu, sehingga sering disebut kerabat dekat dari udang windu.
Akan tetapi berdasarkan hasil analisa DNA finger printing dengan
Primer AAM, disimpulkan bahwa Species ini berbeda dengan udang
windu (penaeus monodon). Produktivitas Induk dapat menghasilkan
telur sebanyak 276.000 butir/ekor dengan berat individu 89.7 gram
(3000 butir/gram induk), berdasarkan hasil sampling populasi stadia
nauplius mencapai 247.000 ekor, sementara Post larva hingga
mencapai hari ke-13 (panen) mencapai 183.000 ekor. Asumsi survival
rate (%) dari stadia naulplii hingga PL-13, mencapai 74.0 %. Dengan
volume bak 10 m3

Keynote : Pembenihan, udang pisang dan SR.

PENDAHULUAN
Secara umum, Aceh mempunyai beberapa keunggulan geografis, salah
satunya adalah bentangan pegunungan yang hijau dan subur disepanjang
perairan pantai barat telah memberikan konstribusi kelimpahan nutrien yang
masuk kedalam laut sehingga rantai ekosistem cukup lengkap, hasilnya adalah
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 131
keanekaragaman sumberdaya hayati perairan sangat tinggi terbukti banyak
spesies yang tidak ditemukan di daerah lain. Diantaranya adalah udang pisang
dengan nama lokal Aceh udeung pisang, sejeniscrustacea yang secara
morfologis termasuk famili Penaidae.Secara umum udang pisang mempunyai
kemiripan dengan udang windu dari sisi morfologi dan tingkah laku. Udang ini
muncul secara musiman di pesisir barat Aceh dari Lamno hingga Aceh Selatan.
Spesiesini diharapkan menjadi komoditas andalan akuakultur berdasarkan
aspek cita rasa, nilai ekonomis serta keunggulan biologis.
Salah satu kunci keberlanjutan akuakultur adalah diversifikasi
komoditas. Pembenihan udang pisangtelah berhasil memproduksi benih untuk
mensuplai benih ke pembudidaya kebutuhan domestikasi sebagai udang
kekayaan lokal Aceh. Dengan demikian keberadaan udang putih lokal seperti
―udang pisang‖ dapat diperhitungkan dan berkontribusi terhadap industri udang
di Indonesia. Sebagai negara yang kaya dengan plasma nutfah, Indonesia
memiliki peluang diversifikasi komoditas udang dengan program pemanfaatan
jenis udang lokal yang potensial. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung
Batee pernah menyebutnya dengan nama dagang flower king dan hingga saat
ini menjadi komoditas andalan Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP)
Ujung Batee Provinsi Aceh.Pembenihan udang pisang di BPBAP Ujung Batee
masih mengandalkan tangkapan induk dari alam yang di seleksi untuk diablasi.
Ketersediaan benih akan sangat menunjang usaha budidaya udang secara
sustain. Benih yang berkualitas hanya dapat diproduksi dengan menggunakan
induk yang berkualitas dan penerapan teknik produksi yang benar sesuai
standar.
Tujuan dari kegiatan pembenihan udang Pisang adalah menghasilkan
benih berkualitas untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber benur pada tahap
pembesaran di tambak dan sekaligus untuk kegiatan domestikasi. Batas
kegiatan meliputi beberapa capaian yaitu :
1. Sebagai Kajian awal dalam merintis pembenihan udang Pisang skala massal
2. Memenuhi kebutuhan benih udang Pisang pada masyarakat pembudidaya
3. Untuk mengetahui performa reproduksi udang Pisang pada setiap tahapan
stadia.
4. Memenuhi kebutuhan benih untuk kegiatan domestikasi udang Pisang
5. Memenuhi kebutuhan benih pada tahap awal uji multi lokasi udang Pisang.
Sasaran kegiatan ini adalah melakukan pengkajian pembenihan untuk
memproduksi benih udang Pisang dari aspek fekunditas, hatching rate, survival
rate, performa benih.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 132


BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam kegiatan pembenihan udang


pisangadalah bak beton indoor dengan kapasitas 10 m3, peralatan aerasi dengan
sistem AWL (air waterlift system), pompa celup, alat sipon, gayung, ember,
seser, selang, timbangan, filter bag dan peralatan lapangan lain. Alat dan
beberapa fasilitas yang digunakan dalam kegiatan pembenihan adalah :
1. Wadah karantina induk: Bak plastik Volume 100 Liter
2. Wadah pemeliharaan induk: Bak beton bulat kapasitas 10 m3.
3. Wadah peneluran dan penetasan: conical tank 300 liter
4. Wadah pemeliharaan larva :bak beton panjang kapasitas 10m3.
Penggunaan bahan dalam kegiatan pembenihan udang pisang dibagi atas dua
jenis :
1. Pakan buatan
2. Pakan alami(alga)
3. Media pemeliharaan

Pakan buatan yang digunakan berbagai macam jenis dan bentuk yaitu :
bentuk serbuk halus, plek hitam dengan kandungan protein 60%. Sedangkan
pakan alami (alga) digunakan dari plankton jenis diatom yaitu : skeletonema sp
dan chaetoceros sp. Pakan ini dapat tumbuh dengan cara dikultur secara missal
sebagai pakan awal larva udang.

Karantina induk
Induk yang diperoleh dari alam terlebih dahulu dikarantina dengan
memisahkan antara jantan dan betina. Proses karantina ini dilakukan untuk
mengidentifikasi pathogen potensial yang dibawa oleh induk tersebut dengan
cara melakukan pengamatan kondisi dan kesehatannya. Pengamatan kesehatan
induk dilakukan melalui pengujian PCR untuk mengetahui apakah induk
tersebut bebas virus atau tidak. Bagi induk yang matang telur (TKG 3)
dimasukan ke dalam wadah peneluran. Setelah melepaskan telur , dilakukan
pengujian PCR. Setelah satu kali 24 jam dilihat hasilnya, bagi induk yang
negatif dipindahkan ke bak pemeliharaan dan bagi induk yang positif white
spot, baik induk maupun naupliusnya di musnahkan. Beberapa kriteria induk
sehat dapat dilihat berdasarkan pemeriksaan makroskopis, antara lain:
1. Ukuran yang sesuai yaitu betina ( 80–150 gram/ekor) dan jantan (40-60
gram/ekor).
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 133
2. Organ tubuh eksternal seperti mata, rostrum, alat gerak, telikum dan insang
lengkap (tidak cacat)
3. Aktif dan responsif terhadap gerakan atau kontak fisik
4. Warna tubuh tidak terlalu merah
5. Warna insang cerah dan tidak terdapat organisme menempel (fouling)
6. Karapas tidak lembek/keropos, tidak berbintik putih
7. Tidak terdapat bintik hitam pada telikum

Pemeliharaan induk
Semua peralatan (bak, serok, sendok, selang aerasi) dicuci dengan
menggunakan kaporit dengan 20 ppm baik sebelum dan setelah digunakan (
NACA, 2005). Kegiatan diawali dengan persiapan wadah pemeliharaan yang
meliputi kegiatan pencucian bak dan sterilisasi dengan menggunakan kaporit
100 ppm. Wadah yang digunakan adalah bak volume 10m3 ( di isi 4-5 m3 ) dan
kepadatan induk 2-3 ekor/m2 dengan perbandingan jantan dan betina 1 : 1-2.
Air media yang digunakan telah melalui proses sterilisasi hingga layak untuk
induk. Ruang atau bak induk diatur gelap, dikondisikan seperti tingkah laku
induk di alam. Selanjutnya dilakukan ablasi mata untuk mempercepat proses
pematangan gonad.
Pemberian pakan yang berkualitas merupakan salah satu kunci
keberhasilan pada proses pemijahan. Frekwensi pemberian pakan dilakukan 6
– 8 kali sehari. Jenis pakan yang digunakan adalah : cumi – cumi, kepiting,
kerang – kerangan, artemia dan pellet dengan kadar protein tinggi. Porsentase
pemberian pakan juga berbeda – beda tergantung jenis pakan yang diberikan.
Kelemahan dari pemberian pakan segar adalah penurunan kualitas air secara
drastic, sehingga disarankan dua jam setelah pemberian pakan sebaiknya
diganti air sebanyak 100 – 200 %. Hal ini dimaksudkan agar sisa pakan akan
terbuang dan tidak mengalami dalam bak pemeliharaan induk.

Ablasi mata
Induk yang akan dilakukan ablasi harus sehat, tidak sedang ganti kulit
atau keropos, organ lengkap dan tidak ada gejala infeksi penyakit bakteri pada
insang dan induk telah dinyatakan bebas virus. Setelah cukup adaptasi, induk
betina diablasi dengan cara memotong salah satu tangkai mata. Untuk
menghidari terjadinya infeksi pada bekas potongan maupun organ lainnya,
induk direndam dengan larutan iodine 5 – 10 ppm selama 40 detik.

Pemeliharaan induk pasca ablasi


Induk yang telah diablasi membutuhkan energi yang cukup tinggi untuk
pemijahan. Oleh karena itu, dibutuhkan pakan dengan kandungan nutrisi yang
tinggi yaitu berupa pakan segar berupa cumi-cumi, cacing, kepiting dan tiram.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 134
Berbagai macam pakan segar serta kualitas yang tinggi adalah cumi – cumi
(Loligo sp) sebanyak 6 – 10 %/hari, ditambah kekerangan seperti tiram (4 – 8
%/hari) Pakan diberikan 5 kali sehari dengan dosis20 – 30 % dari biomass
udang/hari (FAO, 2007). Pengecekan sisa pakan dilakukan sebelum pemberian
pakan berikutnya. Apabila terdapat sisa pakan sampai jadwal pemberian pakan
selanjutnya, berarti pakan harus dikurangi. Namun apabila satu jam setelah
pemberian pakan, pakan sudah habis berarti pakan untuk pemberian selanjutnya
harus dilebihkan. Sisa pakan yang ada di bak harus di buang untuk mencegah
pembusukan dan menjaga kualitas air.
Pengelolaan air dilakukan dengan mengganti air media pemeliharaan
setiap hari sebanyak 100-200 %. Sampling induk dilakukan 4-5 hari setelah
ablasi, sedangkan sampling berikutnya dengan melihat kondisi tingkat
perkembangan gonad.

Pemijahan dan penetasan telur


Bak pemijahan berbagai macam ukuran mulai dari 300 – 500 liter untuk
satu individu dan jika pemijahan massal menggunakan kapasitas bak 5 – 8 m3
(FAO. 2007). Induk yang telah berhasil matang gonad dipindahkan ke bak-
pemijahan/peneluran yang sebelumnya direndam dalam larutan iodine. Bak
peneluran diisi air laut bersih dan ditambahkan EDTA 10-15 ppm. Telur
dipanen, dicuci air bersih, direndam (dipping) dengan larutan Iodine 10 ppm
selama 1 menit, kemudian dimasukkan dalam bak penetasan. Wadah penetasan
dan pemijahan yang digunakan terbuat dari fiber kapasitas 300 liter.
Penghitungan telur dilakukan secara volumetrik yaitu dalam mengambil sampel
telur dengan wadah sampel 30 ml diulang tiga kali kemudian di rata-rata. Hasil
yang didapatkan dikonversikan dalam volume besar. Sedangkan tingkat daya
tetas dihitung berdasarkan jumlah nauplius yang dihasilkan dibagi dengan
jumlah telur dikalikan 100%. Kualitas air yang optimal untuk pemijahan
adalah : suhu (29 – 32oC) dan salinitas (32 – 35 ppt) (FAO, 2007).
Pemanenan nauplius
Setelah telur menetas dilakukan penghitungan nauplius dengan metode
volumetrik. Pemanenan nauplius pada bak conical dilakukan dengan
penyeseran secara langsung. Sebelum diseser aerasi dimatikan kemudian diberi
lampu di atasnya, dengan demikian diharapkan nauplius yang sehat akan berada
di daerah permukaan air yang bersifat fototaksis. Setelah selesai pemanenan
nauplius direndam dalam larutan iodine 5 – 10 ppm selama 30 detik dan siap di
tebar di bak pemeliharaan larva yang telah diketahui jumlah naupliusnya.
Manajemen Benur
Bak yang digunakan untuk pemeliharaan larva berkapasitas 10 m3
dengan dimensi 10 x 1 meter. Secara umum air media pemeliharan benur udang
windu harus memenuhi persyaratan, diantaranya yaitu: jernih, steril, bebas dari
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 135
polutan, salinitas 29-32 ppt, pH 7-8, DO > 4 ppm, dan temperatur 29-320C.
Setelah semua persiapan sarana dan peralatan selesai, dilakukan pengisian air
dengan ketinggian awal 70 cm.
Penebaran nauplius
Tahap berikutnya dilakukan penebaran nauplius dengan padat tebar 80 -
100 ekor/liter. Nauplius yang akan ditebar harus berkualitas baik; dicirikan
dengan sifat fototaksis (berada di daerah permukaan air ketika aerasi
dimatikan) warna putih transparan, ukuran relatip besar dan seragam serta
gerakan aktif. Penebaran nauplius dilakukan melalui aklimatisasi dengan
penambahan air media kedalam wadah nauplius sedikit demi sedikit dalam
waktu sekitar 15-30 menit sampai penuh sambil diaerasi pelan. Selanjutnya
nauplius ditebar ke dalam bak secara perlahan – lahan. Kepadatan naupli antara
75 – 120 naupli/liter air atau 75.000 – 120.000 naupli/m3 (FAO,2007).
Pemberian pakan
Jenis, dosis dan ukuran pakan disesuaikan dengan jumlah populasi,
stadia perkembangan/ukuran bukaan mulut, sifat pakan serta nafsu makan.
Pakan alami berupa Skeletonema sp. (dengan dosis 15.000 – 40.000 sel/ml) dan
Chaetocheros sp. (dengan dosis 120.000 – 500.000sel/ml) diberikan sejak
zoea1 hingga PL-5, yang diberikan 1-3 kali/hari. Nauplius artemia diberikan
sejak stadia PL1 hingga panen (PL-12) dengan dosis 15-60 nauplius/larva/hari
yang diberikan 2-4 kali. Pakan buatan berupa serbuk/powder dan flake
diberikan dengan dosis 3 – 12 ppm/hari yang diberikan 6-8 kali.

Manajemen kualitas air


Manajemen kualitas air meliputi sistem penyiapan air steril, pengaturan
ketinggian air media, sirkulasi, penyiponan, pengelolaan pakan yang tepat,
pengaturan aerasi, pengaturan salinitas, temperatur dan lain-lain. Ketinggian air
media pemeliharaan benur diatur sejak nauplius hingga mysis-2 yaitu 70 cm
hingga 100 cm. Mulai mysis-2 hingga PL -12 ( panen ) ketinggian air
dipertahankan 90 – 100 cm. Sirkulasi air mulai dilakukan pada stadia mysis-2
sebanyak 5% berikutnya mysis-3 bisa 10-15%, diatas PL-5 bisa dilakukan
sirkulasi lebih dari 25%/hari hingga panen.

Pengendalian penyakit.
Pengendalian penyakit dengan menggunakan prinsip dasar yaitu
tindakan pencegahan dan pengobatan. Tindakan pencegahan dilakukan dengan
cara mulai dari penerapan biosecurity dengan menggunakan PK (Kalium
Permanganat) sebanyak 1,5 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk
sebelum memasuki dan akan memasuki ruangan pembenihan. Selain penerapan
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 136
biosecurity dilakukan juga sanitasi peralatan yang dilakukan sebelum dan
sesudah pemakaian peralatan dengan cara diping menggunakan formalin 100
ppm pada setiap bak atau dicuci bersih dengan detergen.
Untuk mengendalikan penyakit bakteri, jamur, protozoa dan parasit
masing-masing diberikan antibiotik, antijamur dan formalin secara berkala pada
setiap stadia. Untuk meningkatkan daya tubuh dan nafsu makan digunakan
vitamin berupa multivitamin dengan dosis 0,2-0,5 ppm/hari. Untuk mengetahui
sejak dini adanya gejala serangan penyakit, maka perlu monitoring secara rutin
terhadap perkembangan benur baik dengan pengamatan visual di lapangan
maupun pengamatan dilaboratorium.

Pemanenan benur
Pemanenan benur dilakukan setelah mencapai stadia PL12 atau lebih.
Benur yang akan didistribusikan,sebelumnya dilakukan pengujian dulu dengan
uji stress dan uji PCR. Uji stress dilakukan dengan merendam benur dalam air
tawar selama 15 menit. Apabila > 80% benur hidup berarti kualitas benur
bagus. Sedangkan uji PCR dilakukan untuk mengetahui apakah benur tersebut
terserang pathogen potensial (WSSV) atau tidak. Hanya benur yang lolos uji
inilah yang akan didistribusikan kepada masyarakat.
Pemanenan dilakukan dengan mengurangi sebagian air media hingga
kedalaman 30 cm, berikutnya benur dikeluarkan melalui hapa penampungan
pada petak panen. Benur diseser, ditampung, disampling/hitung dan dilakukan
pengepakan. Kepadatan per kantong disesuaikan dengan ukuran PL (post larva)
dan jarak tempuh pengiriman benur. Ukuran PL makin besar dan semakin jauh
jarak tempuh maka kepadatan dalam kantong dikurangi.

Panen dan transportasi benih


Pemanenan benih mulai dilakukan pada stadia PL-10 karena pada umur
ini benih sudah cukup aktif, lincah dan mampu beradaptasi dengan lingkungan
pembesaran yang lebih fluktuatif. Sebelum didistribusikan, benih melalui uji
stres salinitas dan uji PCR terlebih dahulu. Benih yang telah melalui
serangkaian uji tersebut sudah layak untuk didistribusikan. Pada proses
distribusi benih faktor jarak dan waktu pengangkutan berpengaruh terhadap
kepadatan dalam kantong. Untuk mengurangi aktifitas metabolisme dilakukan
penurunan suhu menjadi 25oC (Tabel 1).

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 137


Tabel 1 : Kepadatan Benih berdasarkan jarak tempuh
J
Kepad Ukuran Post
Narak
atan : Larva
o. tempuh
ekor/kantong (PL)
(jam)
1 2 3.500 10
–4 – 4.000
2 5 2.000 10
–7 – 2.500
3 8 1.500 10
– 12 – 2.000

HASIL DAN PEMBAHASAN.

Pengelolaan Induk
Induk yang lolos seleksi dipelihara pada bak pematangan berbentuk
bulat dengan diameter 4 meter dan kedalaman 0,5 meter. Perbandingan jantan
dan betina 1:2 dengan kepadatan 3-4 ekor/m2. Sebelumnya dilakukan persiapan
bak berupa pengaturan titik aerasi, pengisian air dan penambahkan Na 2EDTA
5-10 ppm. Kematangan induk betina ditentukan dengan cara mengamati
kondisi ovarium yang terletak pada bagian punggung. Kedalaman air pada bak
pemijahan induk 0.5-0.7 meter sedangkan kualitas air yang optimal untuk
pemijahan adalah : suhu (29-32oC) dan salinitas (30-32 ppt).
Tabel 2. : Kriteria induk udang Pisang untuk pembenihan.

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 138


Parameter
Kriteria
Pengamatan

Berat/Panjang
>40 g />17 cm
Jantan

Berat/Panjang
>80g / >23 cm
Betina

Kelengkapan Organ Lengkap, tidak cacat

Tingkat
Kosong - TKG III
Kematangan Gonad
Warna berkilau hijau kemerahan, tidak keropos,
Penampilan fisik
aktif dan tidak berlumut

Pengujian PCR Negatif virus WSSV, MBV, IHHNV, IMNV, TSV

Proses ablasi dilakukan setelah induk dikarantina selama 7 hari. Butuh


waktu 7 hari setelah di ablasi untuk kembali matang telur, selama proses
pemeliharaan induk, pemberian pakan segar dan bernutrizi tinggi sangat
menentukan jumlah telur dan kualitas larva yang dihasilkan. Jenis pakan yang
diberikan adalah : kerang-kerangan, cumi – cumi dan cacing dengan porsentase
yang berbeda – beda. Pemberian pakan induk dilakukan sebanyak 6 kali selama
24 jam, karena menggunakan pakan segar protein tinggi, maka pengendalian
kualitas air menjadi pertimbangan untuk selalu dilakukan pergantian air dengan
system flow trough. Porsentase pemberian pakan juga berbeda tergantung jenis
pakan yang diberikan (Tabel 3).

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 139


Tabel 3 : Program pemberian pakan induk

Pakan ke
Waktu Cacing Kekerangan Cumi
-
1 06.00 6%
2 10.00 4%
3 14.00 6%
4 18.00 6%
5 21.00 4%
6 24.00 6%

BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 140


Induk udang Pisang sangat respon terhadap pemberian pakan segar ini
terlihat dari aktifitas menangkap dan memangsa pakan yang diberikan, sifat
makannya semi dasar artinya dapat memanfaatkan dasar dan kolom air dalam
menangkap pakan yang diberikan. Jumlah, jenis pakan, waktu pemberian pakan
sangat menentukan tingkat kematangan gonad pada induk. Pemberian pakan
dari cacing sebanyak 4 %, cumi-cumi 6 % dan jenis kekerangan sebanyak 6%
dengan interval pemberian pakan empat jam sekali. Hasilnya adalah dalam
waktu enam hari setelah ablasi, induk sudah mulai matang gonad yang
sebelumnya ditandai dengan pergantian kulit dan perkawinan. Proses awal
perkawinan ditandai dengan moulting pada induk betina secara alamia
mempermuda induk jantan memasukkan spermatophoranya ketelikum induk
betina. Induk jantan mulai melakukan perkawinan dengan cara mengikuti dan
bermanuver bagian bawah kaki renang induk betina, hanya hitungan detik
induk jantan melintang tepat dibawah telikum menandakan bahwa induk
berhasil memasukkan spermatophoranya ketelikum betina . Satu ekor betina
terkadang diikuti oleh dua ekor jantan tetapi hanya satu ekor jantan yang
punya kesempatan kawin.
Air media diganti sebanyak 100 – 200 % pada pagi dan sore hari. Hal
ini dimaksudkan agar sisa pakan dan hasil metabolisme terbuang. Pengisian
air dilakukan dengan menggunakan filter bag. Filter bag ini diganti setiap 3 hari
sekali dan didesinfeksi menggunakan larutan kaporit 100 ppm. Kualitas air
selama pemeliharaan induk terutama suhu berkisar 27–29 oC dan salinitas 30-
32 ppt.
Fekunditas
Hasil menunjukkan bahwa induk dengan berat individu 89.7 gram/ekor
mampu menghasilkan telur sebanyak 276.000 butir/ekor, sehingga jika di
konversi maka produktivitas Induk mencapai 3.000 butir/gram induk.

Hatching rate
Daya tetas telur udang Pisang menunjukkan hasil yang cukup baik,
ketepatan menetas dari telur menjadi nauplius berkisar 30-36 jam. Dari total
telur yang dihasilkan porsentase menetasnya sebesar 89,5 % atau 247.000 ekor
nauplius.

Pengelolaan larva
Stadia mysis merupakan stadia perubahan dari zoea atau stadia ketiga
dari daur hidup udang Pisang. Pada stadia mysis dilakukan penambahan air
media sebanyak 20-30% serta dilakukan aplikasi antibakterial. Selain
meningkatkan volume air dalam bak, penambahan air media juga membantu
proses moulting dari stadia zoea ke stadia mysis. Mysis merupakan stadia yang
penting, karena menentukan keberhasilan pada saat transisi menuju post larva
(PL).
141
Pengalaman menunjukkan bahwa penanganan stadia mysis yang buruk
sering mengakibatkan mortalitas yang tinggi pada fase transisi mysis ke post
larva. Pakan yang diberikan berupa pakan alami dan pakan buatan
Secara morfologi, stadia post larva menyerupai udang dewasa. Seiring
dengan perubahan morfologi, sifat karnivor udang dewasa mulai muncul
sehingga nauplius Artemia mulai diberikan. Jenis pakan ini sangat penting dan
menjadi faktor penentu kualitas benih. Dosis pemberian nauplius Artemia
sebanyak 60-80 individu/ekor post .
Pergantian air media dapat dilakukan mulai stadia PL-4 berkisar 30-
40%. Pada stadia PL-6 dilakukan transfer benih ke media yang baru. Transfer
dilakukan agar kondisi benih lebih sehat dan lincah serta mengeliminir benih
yang lemah. Benih yang ditransper sebelumnya di dipping selama ± 30 detik

Survival Rate (SR %)


Berdasarkan hasil sampling populasi stadia nauplius mencapai
247.000 ekor, sementara Post larva hingga mencapai PL-13/panen mencapai
183.000 ekor. Asumsi survival rate (%) dari stadia naulplii hingga PL-13,
mencapai 74.0 %. Bak yang digunakan dengan volume bak 10 m3.
Performa benih.
Perkembangan secara umum embrio pada udang Pisang memiliki
kesamaan bentuk, ukuran dengan udang Windu, tahapan perkembangan setiap
larva mulai dari telur hingga post larva. Perkembangan embriosis berlangsung
secara alamiah mulai dari telur, Nauplius, zoea, mysis dan post larva.
Berdasarkan hasil pengamatan post larva udang windu, post larva udang
Pisang memiliki karakteristik yang berbeda antara lain:
a. Post larva ke-3 sudah mulai menempel pada dinding bak
b. Fase post larva banyak terdapat di dasar bak
c. Warna badan kelihatan merah bening kehijauan dan transparan
d. Tangkai mata lebih melebar dan menonjol
e. Ukuran karapas agak lebih besar dari bagian abdomen
f. Pangkal telson lebih lebar
g. Larva lebih agresif dan lincah
h. Lebih sensitif pada hentakan atau getaran
i. Respon pakan lebih cepat

KESIMPULAN
Pematangan gonad induk dilakukan dengan cara di ablasi Kedalaman air
pada bak pemijahan induk 0.5-0.7 meter sementara kualitas air yang optimal
untuk pemijahan adalah : temperatur (29-32oC) dan salinitas (30-32 ppt).
Induk udang Pisang dapat bertelur setelah 5 -7 hari setelah ablasi, ini ditandai
142
dengan kematangan ovariumnya terlihat jelas diatas punggung memanjang dari
kepala hingga menuju ekor.
Produktivitas Induk dapat menghasilkan telur sebanyak 276.000
butir/ekor dengan berat individu 89.7 gram (3000 butir/gram induk),
berdasarkan hasil sampling populasi stadia nauplius mencapai 247.000 ekor,
sementara Post larva hingga mencapai hari ke-13 (panen) mencapai 183.000
ekor. Asumsi survival rate (%) dari stadia naulplii hingga PL-13, mencapai
74.0 %. Dengan volume bak 10 m3

DAFTAR PUSTAKA

FAO,2003. Health management and biosecurity maintenance in white shrimp


(Penaeus monodon) hatcheries in Latin America. FAO Fisheries
Technical Paper. No. 450. Rome. 62p.
NACA, 2005. Better Management Practices (BMPs) Manual for Black Tiger
Shrimp (Penaeus monodon) Hatcheries in Vietnam.
FAO, 2007. Improving Penaeus monodon Hatchery Practices. Manual
based on experience in India. FAO Fisheries Technical Paper. No. 446.
Rome.101p

143
KAJIAN AWAL PRODUKTIVITAS BUDIDAYA UDANG PISANG
(Penaeus sp)SISTEM INTENSIF

Sarifuddin, Joko Purwantyo, Abidin Nur

ABSTRAK

Udang putih lokal Aceh atau dikenal udang pisang adalah jenis udang
yang disinyalir hanya ada diperairan Aceh. Penyebaran udang Pisang
cukup unik sebab tidak semua daerah pesisir Aceh terdapat udang putih
jenis ini. Populasi udang pisang terbanyak berada pada daerah pesisir
bagian barat sepanjang pantai Lamno, Meulaboh bahkan sampai ke
Aceh Selatan. Identifikasi secara taksonomi saat ini belum menghasilkan
jenis/species dari udang pisang, tapi secara morfologis, udang ini
banyak memiliki kesamaan dengan udang windu baik rumus rostrum,
performance Post Larva (PL) dan behavior (tingkah laku). Akan tetapi
berdasarkan hasil analisa DNA finger printing dengan Primer AAM,
disimpulkan bahwa Species ini berbeda dengan udang windu (Penaeus
monodon). Metode budidaya yang diterapkan adalah secara intensif,
dengan luas tambak 3000 m2 padat tebar 43.3 ekor/ m2,, ukuran benih PL
13, lama pemeliharaan akan ditargetkan hingga mencapai 120 hari. Hasil
pemeliharaan udang Pisang hingga umur 45 hari menunjukkan bahwa
Survival Rate (SR) 90.0 %, ABW : 4.5 gram/ekor, FCR : 1.2. Kontrol
anco : 1 – 2.5 jam, Persentase anco 0.6 – 1,4 %. Pedoman pemberian
pakan mengacu pada feeding program budidaya udang windu dan udang
vanamae ,pendekatan ini dikombinasikan mengingat bahwa udang
Pisang sifat dan kebiasaan makannya mirip udang windu dan udang
vanamae. Kualitas air selama pemeliharaan, suhu :29 – 31 oC,
Ammonia :0.05 – 1.03 ppm. pH : 7,62 – 8.74. Salinitas : 29 – 33 ppt dan
Alkalinitas : 95 – 120 ppm. Estimasi produksi hingga akhir
pemeliharaan mencapai 5 – 6 ton/ha.

Keywords : Udang pisang, Intensif, produksitivitas dan kualitas air

144
PENDAHULUAN
Budidaya udang Pisang intensif belum familiar di masyarakat
pembudidaya di Aceh terlebih lagi diluar Aceh. Populasi dan penyebaran
udang Pisang hanya dijumpai di perairan Aceh. Itupun tidak semua perairan
laut Aceh terdapat udang Pisang, terbatas hanya ada disepanjang perairan
pantai barat Aceh mulai dari Aceh Jaya hingga Aceh Selatan. Berdasarkan
hasil analisa DNA finger printing dengan Primer AAM, disimpulkan bahwa
Species ini berbeda dengan udang windu (Penaeus monodon) hanya 7 %
(Sugama, Pers. Comm. 2014) . Sementara identifikasi morfologi menjelaskan
bahwa udang Pisang mempunyai kedekatan sifat biologis, karakteristik,
behavior dan daya tahan cenderung mendekati udang Windu sehingga sering
disebut kerabat dekat udang Windu, walaupun udang Pisang seluruh badannya
berwarna putih, pertumbuhannya juga tidak kalah jauh dari jenis udang Putih
yang umum dibudidaya ditambak, banyak sisi keunggulan yang dimiliki, mulai
dari sifat makan cenderung sangat rakus, agresif, lincah dan aktif mencari
makan dikolom air.
Seiring dengan penguasaan teknologi produksi benih di BPBAP Ujung
Batee, maka langkah selanjutnya adalah mempersiapkan teknologi pembesaran.
Dalam kajian ini, intensifikasi pemeliharaan menjadi perhatian utama sebagai
landasan pengembangan selanjutnya.

Tujuan
1. Mengetahui produktifitas udang pisang yang dipelihara secara intensif
2. Pola pertumbuhan mulai dari Average Body Weight (ABW) dan Average
Daily Growt (ADG).
3. Kebiasaan, tingkah laku, perfoma dan pola makan.
4. Dinamika kualitas air selama pemeliharaan.

Sasaran
Sasaran kegiatan ini merujuk pada pemeliharaan secara intensif pada luas
tambak 3.000 m2 dapat menghasilkan 1.5 ton dengan padat tebar 43 ekor/m2
dengan target Survival Rate (%) > 85 %, dengan variasi ukuran/size 40-60
ekor/kg.

BAHAN DAN METODE


Alat dan Bahan
Untuk mendukung proses produksi ditambak tidak terlepas dari peralatan
yang digunakan selama kegiatan pemeliharaan berlangsung. Alat ini meliputi:
1. Unit peralatan Biosecurity :1 Pkt
2. Jala sampling : 1 unit
3. Gerobak sorong : 1 unit

145
4. Timbangan pakan : 1 unit
5. Ember pakan : 1 unit
6. Peralatan panen : 1 unit

Demikian juga dengan bahan, penggunaan bahan operational seperti


pakan, kapur, pupuk, saponin tersedia lebih awal dalam memperlancar kegiatan
pemeliharaan. Bahan yang digunakan meliputi :
1. Pakan Starter(protein 38) %) : 200 kg
2. Pakan Growth (protein 36 %) : 1.000 kg
3. Pakan Akhir (protein 35 %) : 2.150 kg
4. Desinfektan alami (saponin) : 100 kg
5. CaCO3 (hydrate Lime) : 2.000 kg
6. Ca Mg (Dolomite) : 1.500 kg
7. Bahan fermentasi : 1 Paket
8. Vitamin C : 5 kg
9. Benur udang Pisang : 130.000 ekor
10. Pupuk N.P.K : 100 kg

Prosedur Pemeliharaan
Tambak yang digunakan sebagai wadah pemeliharaan seluas 3.000 m2,
dengan kedalaman total 2 meter, luas tambak mempunyai type persegi empat
dengan dimensi 50 x 60 meter 2. Pendukung lainnya adalah tandon difungsikan
sebagai bak pengendapan yang didalamnya terdapat tanaman laut berfungsi
sebagai biofilter (Caulerpa sp), pengendapan air laut sebelum dimanfaatkan
sebagai air media pemeliharaan selama 1-2 minggu. Kuat dugaan dengan
menggunakan air berasal dari tandon yang ditumbuhi Caulerpa sp
menghasilkan air sehat untuk budidaya udang, sehingga penggunaan bahan
kimia saat treatmen tidak lagi digunakan. Selain dapat menghemat biaya
produksi juga dapat menjaga kesimbangan ekosistem budidaya. Interaksi unsur
mikro dalam air sangat dibutuhkan dalam menjaga kesimbangan. Pada air yang
steril/ bersih susah membentuk kesimbangan ekosistem, sebab rantai ekosistem
terputus akibat kematian karena menggunakan larutan kimia tertentu.
Kuncinya adalah mulai dari persiapan tambak hingga pemeliharaan sama sekali
tidak menggunakan bahan kimia tertentu. Persiapan tanah tambak hanya
menggunakan kapur CaCO3 dicampur dengan Ca Mg dengan perbandingan 2:1
artinya kapur CaCO3 sebanyak 1.000 kg dan kapur CaMg sebanyak 500 kg.
Untuk meransang pertumbuhan plankton digunakan pupuk dengan ratio N, P
dan K seimbang, dosis pupuk yang digunakan sebanyak 50 kg. Air media
pemeliharaan yang berasal dari tandon dimasukkan dengan menggunakan
saringan berlapis (double screen), ini sebagai upaya menghindari masuknya
bibit dari jenis krustase yang tidak mampu dibasmi dengan saponin. Pemasukan

146
air dimulai dari kedalaman 25 cm, biarkan selama tiga hari, kemudian kembali
naikkan air hingga menjadi 50 cm lalu dibiarkan selama 3 hari, kemudian
ditambah menjadi kedalaman 120 cm. Untuk mempertahankan kecerahan dan
kepadatan plankton maka ditambahkan pupuk susulan N.P.K sebanyak 2 – 5
ppm yang telah dilarutkan sebelumnya kemudian ditebar pada cuaca cerah
(pagi hari).
Setelah 2 minggu atau terlihat zooplankton sudah tumbuh, benih lalu ditebar.
Kontrol anco : 1 – 2.5 jam, Persentase anco 0.6 – 1,4 %. Pedoman pemberian
pakan mengacu pada feeding program budidaya udang windu dan udang
vanamae ,pendekatan ini dikombinasikan mengingat udang Pisang sifat dan
kebiasaan makannya mirip udang windu dan udang vanamae. Pengamatan
dilakukan pada pertumbuhan udang, pakan alami dan kualitas air. Air tawar
ditambahkan secara bertahap untuk menurunkan salinitas. Panen dilakukan
setelah lingkungan tidak mampu lagi mendukung biomassa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkah laku dan Pertumbuhan ABW udang Pisang

Hasil pengamatan pertumbuhan menunjukkan bahwa udang Pisang


selama dipelihara menunjukkan tingkah laku (behavior) perpaduan antara
karakteristik udang Windu (Penaeus monodon) dan udang Vaname
(Liptopenaeus Vannamae), dari segi cita rasa, bentuk tubuh, sangat respon
terhadap cahaya atau gerakan dimalam hari, mampu beradaptasi terhadap
strafikasi suhu dan salinitas serta pola makan pada umur < 30 hari
memperlihatkan kemiripan dengan udang Windu cenderung mencari makan
didasar sedangkan pada umur >40 hari sampai akhir pemeliharaan,
karakteristik, sifat dan cara makannya berubah kearah udang Vaname mulai
dari , cara makan, mampu mengkonsumsi pakan protein rendah, menangkap
pakan dikolom air, aktif memutar atau berenang pada kolom air dan memiliki
keseragaman ukuran yang tinggi.

147
140
120
100
Umur Ke-

80
60
40
20
0
2.25 3.04 4.43 5.98 7.83 9.81 12.9216.3119.91
ABW (grm/ekor)

Gambar 1 : Grafik pertumbuhan udang Pisang

Secara biologis, udang pada umumnya tumbuh dan berkembang melalui


proses moulting (ganti kulit). Moulting sangat dipengaruhi oleh faktor : Asupan
Gizi yang cukup, faktor lingkungan dan genetik. Udang Pisang juga
mempunyai pola yang sama, melakukan pergantian kulit selama pemeliharaan.
Sampling pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui pola pertambahan berat
dengan interval 10 sampling hari, sampling dimulai pada umur 35 hari.
Pertumbuhan mulai terlihat setelah benih mencapai umur 2 minggu
pemeliharaan dengan berat rerata 1,36 gr/ekor, Ibnu Sahidhir 2010.
Berdasarkan grafik diatas menunjukkan berat awal sampling pertama (umur 35
hari) 2.25 gram/ekor, sampling kedua pada umur 49 dengan berat 3.04
gram/ekor, sampling ketiga pada umur 4.43 gram/ekor. Kenaikan berat rata –
rata per ekor seiring dengan durasi pemeliharaan yang makin hari semakin
bertambah, pertambahan secara signifikan mulai terlihat pada umur 99 hari
dengan berat 12.92 gram/hari, umur 109 juga terlihat cukup bagus dari
sebelumnya dengan berat bisa mencapai 16.31 gram/ekor dan diakhir masa
pemeliharaan pada umur 120 hari beratnya mencapai 19.91 gram/ekor.

148
Pertumbuhan ADG

0.30
ADG (gram/ekor/hari)
0.28
0.25 0.26
0.24
0.20

0.15 0.14 0.15


0.12
0.10 0.11

0.05 0.06

0.00
35 49 59 69 79 89 99 109

Gambar 2 : Grafik berat harian (gram/ekor/hari)

Perkembangan Average daily growth (berat rata – rata harian) harus


terlacak untuk mengetahui pertambahan berat harian tiap individu udang. Ini
merupakan kunci dalam mengatur feeding program sebagai acuan untuk
ketepatan jumlah pemberian pakan harian. Berdasarkan berat rata-rata harian
udang Pisang, terlihat variasi kenaikan berat rata-rata per ekor. Berat ADG
terendah pada umur udang 49 hari dan capaian tertinggi sangat bervariasi,
grafik diatas menunjukkan pada umur 89 – 109 hari berat ADG mencapai 0.24
– 0.28 gram/hari/ekor. Jika melihat perbandingan variasi ADG pada udang
Windu, udang Vaname dan udang Pisang menunjukkan bahwa capaian ADG
udang Pisang (0.28 gram/ekor/hari), dibawah udang Windu (maksimal 0.35
gram/hari/ekor) tetapi sedikit unggul dari ADG udang Vaname (maksimal 0.26
gram/ekor/hari).

Hasil Produksi

Kapasitas produksi erat kaitannya dengan daya dukung lahan. Semakin


tinggi kemampuan menghasilkan produksi maka lambat laun akan mengalami
penurunan daya dukung lahan. Pengelolaan tanah dasar tambak, kualitas air,

149
mengatur padat tebar adalah hal yang perlu di evaluasi setiap akan memulai
produksi.

Tabel 1 : Data produksi udang Pisang system intensif.


No. Variabel Nilai Satuan
1 Padat tebar 43 m2
2 Produksi 1.560 Kg
3 Berat rata-rata 16.81 gram/ekor
4 SR 79 %
6 Total Pakan 2.300 Kg
7 FCR 1.5 -
8 ADGnormal 0.24-0.28 gram/ekor/hari

Dari data tabel 1 diatas diperoleh hasil produksi dengan lama


pemeliharaan 120 hari, ADG normal 0.24-0.28 gram/ekor/hari sementara
peroleh FCR mencapai 1.5 dengan hasil produksi sebanyak 1.560 kg udang
Pisang. FCR yang dihasilkan sangat ideal karena total pakan yang habis
sebanyak. 2.300 kg. Dari total pakan yang habis dengan FCR 1.5, maka
penjelasannya adalah : 1 kg udang menghabiskan pakan sebanyak 1.5 kg.
Sehingga estimasi produktivitas udang Pisang dapat mencapai 5 – 6 ton/ha, jika
dilihat dari hasil produksi saat ini. Hasil akhir pemeliharaan mencapai
kelangsungan hidup 79%.

KESIMPULAN
Data pertumbuhan menunjukkan berat awal sampling pertama (umur 35
hari) 2.25 gram/ekor, sampling kedua pada umur 49 dengan berat 3.04
gram/ekor, sampling ketiga pada umur 4.43 gram/ekor. Kenaikan berat rata –
rata per ekor seiring dengan durasi pemeliharaan yang makin hari semakin
bertambah, pertambahan secara signifikan mulai terlihat pada umur 99 hari
dengan berat 12.92 gram/hari, umur 109 juga terlihat cukup bagus dari
sebelumnya dengan berat bisa mencapai 16.31 gram/ekor dan diakhir masa
pemeliharaan pada umur 120 hari beratnya mencapai 19.91 gram/ekor.
Berdasarkan berat rata-rata harian udang Pisang, terlihat variasi
kenaikan berat rata-rata per ekor. Berat ADG terendah pada umur udang 49 hari
dan capaian tertinggi sangat bervariasi, grafik diatas menunjukkan pada umur
89 – 109 hari berat ADG mencapai 0.24 – 0.28 gram/hari/ekor. Jika melihat
perbandingan variasi ADG pada udang Windu, udang Vaname dan udang
Pisang menunjukkan bahwa capaian ADG udang Pisang (0.28 gram/ekor/hari),
dibawah udang Windu (maksimal 0.35 gram/hari/ekor) tetapi sedikit unggul

150
dari ADG udang Vaname (maksimal 0.26 gram/ekor/hari). Hasil akhir
pemeliharaan mencapai kelangsungan hidup 79 %.

DAFTAR PUSTAKA

Sahidhir et, al 2010. Sistem Pemeliharaan udang Lambaouh 88 hari pada


Tambak tradisional. Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, Aceh .

151
KELANGSUNGAN HIDUP POST LARVA UDANG PISANG NAIK
HAMPIR DUA KALI LIPAT DIBANDING KONTROL DENGAN
PROBIOTIK FERMENTATIF

Ibnu Sahidhir1*,Wahyudi2, Abidin Nur1


Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee
2
Universitas Abul Yatama, Provinsi Aceh

ABSTRAK

Dalam akuakultur, istilah probiotik ditujukan tidak hanya untuk


mengoptimalkan kesehatan tubuh biota tetapi juga sebagai
bioremediator air. Karena beberapa alasan seperti rendahnya kebutuhan
oksigen dan pencegahan putrefaksi, probiotik yang bersifat fermentatif
lebih baik dibandingkan probiotik aerobic. Selain itu vitamin yang
dihasilkannya dapat meningkatkan kekebalan tubuh biota. Eksperimen
ini bertujuan untuk menguji keefektifan probiotik fermentatif (sebuah
produk kerjasama yang melibatkan BPBAP Ujung Batee dan sebuah
probiotik formulasi sendiri) terhadap kelangsungan hidup dan
pertumbuhan udang pisang dibandingkan dengan vitamin C sebagai
pemacu sistem kekebalan tubuh dan kondisi biasa/kontrol. Dalam
eksperimen ini ada 4 perlakuan yakni probiotik fermentatif komersil (10
ppm 2 hari sekali), probiotik RABAL (ragi dan bakteri asam laktat) (100
ppm tiap hari), vitamin C (0,4 ppm tiap hari), dan kontrol. Tiap
perlakuan memiliki 3 ulangan. Tiap ulangan adalah sebuah wadah berisi
20 liter air laut dan 1000 ekor post larva 3 udang pisang (kepadatan 50
ekor/L). Pakan yang diberikan adalah artemia dan pakan buatan
disesuaikan dengan standard pembenihan udang BPBAP Ujung bate.
Pemeliharaan dilakukan selama 12 hari (PL3-PL15). Percobaan
menunjukkan hasil sebagai berikut: probiotik fermentatif komersil
72,1%, RABAL 70,7%, vitamin C 45,43%, control 38,4%. Eksperimen
ini menunjukkan bahwa probiotik fermentative dapat meningkatkan
kelangsungan hidup (SR) post larva (PL) udang pisang hampir 2 kali
lipat dari control dan 56% lebih baik dibandingkan dengan perlakuan
vitamin C. Sedangkan untuk pertumbuhan tidak berbeda nyata secara
statistic.

Kata kunci: probiotik fermentatif, kelangsungan hidup, pertumbuhan,


post larva udang pisang
152
PENDAHULUAN

Air steril tidak selalu baik untuk digunakan dalam pembenihan udang.
Ketiadaan mikroorganisme pada awal penebaran dengan cepat meningkatkan
dominasi bakteri oportunis yang bersifat pathogen. Seperti ditunjukkan oleh
Lavilla-Pitogo et al. (1998), Vibrio harveyi naik signifikan pada air laut yang
diautoklaf pada hari ke-3 dan meningkat terus pada hari ke-6 jauh melebihi air
laut tanpa treatment, air larva dan air berplankton.
Pemberian pakan alami seperti mikroalga, ke dalam bak kultur larva
udang berarti menambahkan bakteri yang berasosiasi langsung dengan pakan
alami tersebut. Bakteri tersebut menempel dan berhubungan saling
menguntungkan dengan mikroalga. Sebagai contoh, diatom memberikan bahan
organic kepada bakteri penempelnya sedangkan bakteri mengeluarkan vitamin
B12 untuk diatom (Amin et al., 2012). Bakteri penempel tersebut bermanfaat
positif pada air pemeliharaan. Sebagai contoh bakteri Roseobacter yang
berasosiasi dengan diatom terbukti bermanfaat sebagai probiotik (Planas et al.,
2006). Roseobacter juga ditemukan pada Nannochloropsis oculata dan
menekan Vibrio anguillarum dengan mengeluarkan asam tropoditietat
(TDA/trophoditietic acid) (Sharifah and Eguchi, 2011). Mikroalga juga menjadi
sumber antioksidan level tinggi bagi air dan postlarva. Sebagai contoh
Chaetoceros dan Skeletonema adalah pakan alami dengan konsentrasi vitamin
C paling tinggi diantara jenis pakan alami lain yang digunakan dalam
akuakultur (Brown and Miller, 1992).
Pemeliharaan postlarva yang tidak lagi mendapat asupan mikroalga
segar akan kekurangan antioksidan dan bakteri menguntungkan yang melimpah
dari sumber ini. Penambahan probiotik dapat menanggulangi kedua
permasalahan ini. Dalam akuakultur, istilah probiotik ditujukan tidak hanya
untuk mengoptimalkan kesehatan tubuh biota tetapi juga sebagai bioremediator
air (Gatesoupe, 1999). Probiotik fermentatif seperti bakteri asam laktat
mengeluarkan asam lemak rantai pendek yang dapat menekan pertumbuhan
bakteri pathogen (Defoirdt et al., 2007). Produk probiotik seperti
eksopolisakarida berfungsi sebagai antioksidan yang efektif untuk menangkal
radikal bebas (Kodali and Sen, 2008). Mikroba fermentatif menguntungkan
karena mengkonsumsi lebih sedikit oksigen, tidak menimbulkan bau
(putrefaksi) dan sedikit menghasilkan protease. Senyawa yang dihasilkannya
meningkatkan kekebalan tubuh udang dengan menyuplai antioksidan (Rekha
and Vijayalakshmi, 2008).

153
Eksperimen ini bertujuan untuk menguji keefektifan probiotik
fermentatif komersil dan probiotik RABAL (Saccharomyces cerevisae dan
Lactobacillus casei) terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang
Pisang. Vitamin C sebagai antioksidan dan imunostimulan diujikan sebagai
perbandingan.

Metode eksperimen

Desain eksperimen
Percobaan dilakukan dengan empat perlakuan yakni probiotik
fermentatif komersil/kerjasama swasta dengan BPBAP Ujung Batee (10 ppm 2
hari sekali), probiotik RABAL (S. cerevisae dan L. casei) (100 ppm tiap hari),
vitamin C (0,4 ppm tiap hari), dan kontrol. Masing-masing perlakuan
memperoleh tiga ulangan. Setiap ulangan adalah wadah transparan berisi air 20
L. Sebanyak 1000 ekor postlarva dipelihara dalam wadah tersebut dengan
pakan artemia dan pakan buatan sebanyak 6 kali per hari. Kontrol lingkungan
dilakukan dengan menutup rapat wadah dengan terpal hitam. Aerasi diberikan
pada tiap wadah melalui tutup wadah yang dilubangi.

Pemberian perlakuan
Probiotik komersil berasal dari sampel PT. Indoacidatama tbk. Probiotik
ini berisi 6 agen mikroba yakni Azospirillium sp., Aspergillus sp.,
Actinomycetes, Lactobacillus sp., Saccharomyces cerevisae, dan Rhodobacter
sp. Sebanyak 0,2 ml probiotik diencerkan dalam air tawar 50 ml sebelum
diberikan pada air pemeliharaan. Pemberian probiotik dilakukan dua hari
sekali. Sedangkan RABAL dikembangkan dengan memfermentasikan 0,5 kg
gula merah, 300 ml air kelapa tua, dengan dua butir ragi (S. cerevisae) dan 4
botol kecil L. casei dalam 18 liter air. RABAL diberikan setiap hari dengan
dosis 2 ml. RABAL diencerkan dulu pada air 50 ml sebelum ditebar. Sebelum
diberikan tablet vitamin C dilarutkan dulu dalam air tawar. Satu butir tablet
vitamin C berisi 1000 mg asam askorbat dilarutkan dalam 250 ml air. Larutan
asam askorbat 4 ppt ini diberikan pada air pemeliharaan sebanyak 1 ml dua kali
sehari untuk mendapatkan konsentrasi vitamin C 0.4 ppm per hari. Larutan
disimpan dalam lemari pendingin selama pemakaian.

Prosedur pemeliharaan
Selama pemeliharaan postlarva udang pisang diberi pakan buatan 6 ppm
per hari dan naupli artemia sekitar 450 ekor/L per hari. Pemberian pakan
diberikan secara selang-seling antara pakan buatan dan artemia, masing-masing
3 kali per hari. Kista artemia ditetaskan sebanyak 2 gr/L air laut, dengan hasil
naupli lebih dari 400.000 ekor/L. Setelah dipanen artemia diberikan sebanyak
154
25 ml per unit percobaan per pemberian. Kadar oksigen terlarut, pH dan suhu
diukur tiap pagi dan sore hari sedangkan salinitas diukur tiap 4 hari sekali.

Pengamatan
Pada akhir penelitian pertumbuhan panjang postlarva diukur dengan
jangka sorong. Masing-masing unit perlakuan diambil 5 sampel postlarva.
Rumus pertambahan panjang total adalah Tt-T0, Tt adalah panjang postlarva
akhir, sedangkan T0 adalah panjang postlarva awal. Seluruh postlarva dihitung
untuk menentukan persentase kelangsungan hidupnya dengan rumus (Nt-N0)/N
x 100%, Nt adalah jumlah postlarva akhir penelitian dan N0 adalah jumlah
postlarva awal penelitian. Total bakteri umum dan total bakteri vibrio koloni
kuning diuji di lab mikrobiologi BPBAP Ujung Batee. Sedangkan pengujian
TAN dan nitrit dilakukan di lab kualitas air BPBAP Ujung Batee dengan
metode kolorimetri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup postlarva udang pisang meningkat mendekati dua
kali lipat setelah pemberian probiotik fermentatif. Antara probiotik komersil
(72%) dan RABAL (70,7%) belum menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Sedangkan kelangsungan hidup postlarva udang pisang lebih rendah (45,43%)
pada perlakuan vitamin C (0,4 ppm). Pemberian vitamin C belum juga
menunjukkan kenaikan kelangsungan hidup yang signifikan pada postlarva
udang pisang relatif terhadap control (38,4%).
SR (%)
90.00
80.00
70.00 b b
60.00
50.00
40.00 a
ac
30.00
20.00
10.00 45.43 72.10 70.70 38.40
0.00
vit C Prob. Komersil RABAL Kontrol
Bagan 1. Kelangsungan hidup PL udang pisang lebih tinggi pada perlakuan
probiotik dibanding control.
155
Perlakuan probiotik secara signifikan meningkatkan SR PL udang
pisang mendekati 2 kali lipat. Dengan demikian ada perbaikan kesehatan pada
air atau tubuh udang. Konsorsium mikroba yang terdapat dalam kandungan
probiotik bekerja mengeluarkan zat yang dapat bersifat immunostimulan,
antioksidan dan inhibitor mikroba pathogen. RABAL dan probiotik komersil
memiliki kandungan ragi. Fermentasi ragi menghasilkan alkohol yang
menghambatpertumbuhan bakteri. Vitamin B12 yang dihasilkannya selain akan
memperbaiki efisiensi metabolism tetapi juga bersifat pengkelat sehingga
meningkatkan daya serap mineral. Beta-glucan pada dinding sel ragi bersifat
immunostimulant, meningkatkan kekebalan non-spesifik pada udang (Smith et
al., 2003). Sedangkan fermentasi bakteri asam laktat menghasilkan asam lemak
rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA) seperti asam propionate dan asam
butirat yang menghambat pertumbuhan bakteri (Defoirdt et al., 2007). Bakteri
asam laktat juga mengeluarkan eksopolisakarida yang dapat berfungsi sebagai
imunostimulan dan antioksidan (Kodali and Sen, 2008; Ruas-Madiedo et al.,
2002).
Rhodobacter sp. yang terdapat pada probiotik komersil adalah bakteri
fotosintetik heterotrof pada kondisi anaerobik bercahaya. Namun fungsi
fisiologisnya berubah pada kondisi tanpa cahaya menjadi aerobik fermentatif.
Dalam kondisi tersebut, Rhodobacter sp. mengubah gula menjadi polihidroksi
butirat (PHB) selama fermentasi aerobiknya dan senyawa ini dapat
menghambat pertumbuhan bakteri pathogen (Kobayashi and Kobayashi, 2008).
Sedangkan Azospirillium sp., Aspergillus sp., dan Actinomycetes memproduksi
antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri lain (Mendes et al., 2013).
Vitamin C juga menghambat keganasan bakteri dengan mengganggu
komunikasi antar bakteri (Vissers et al., 2001).
Perlakuan cenderung menurunkan konsentrasi bakteri total (TBC),
walaupun perlakuan menghasilkan keragaman yang besar, dari 67.10 3 cfu/ml ke
rentang 20.103-30.103 cfu/ml. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dapat
menghambat perkembangan bakteri. Perlakuan juga cenderung menurunkan
konsentrasi vibrio total (TBV) kecuali pada RABAL. Sisa sukrosa pada
RABAL mungkin masih merangsang pertumbuhan Vibrio terutama yang
berkoloni kuning.

156
120,000

100,000 Total
bacterial
80,000 count
(cfu/ml)
60,000

40,000

20,000
29,067 24,450 19,700 67,100
0
vit C Prob. RABAL Kontrol
Komersil
Bagan 2. Kontrol cenderung memiliki jumlah bakteri yang lebih banyak.

30,000

25,000
Total
20,000 vibrio
count
15,000 (cfu/ml)
10,000

5,000
2,620 5,798 10,630 11,667
0
vit C Prob. RABAL Kontrol
Komersil
Bagan 3.Kontrol dan RABAL cenderung memiliki jumlah bakteri vibrio
yang lebih banyak.

Pertumbuhan
Kontrol tidak menunjukkan perbedaan pertumbuhan apabila
dibandingkan dengan ketiga perlakuan lain. Sebenarnya, vitamin B12 yang
banyak terdapat dalam ragi berguna untuk memperlancar metabolism energy.
Sedangkan asam lemak rantai pendek dapat merangsang sel kolon untuk
berkembang dengan baik dengan demikian daya serapnya menjadi baik.
Mungkin efek zat nutrisi yang dikeluarkan oleh probiotik tidak terlalu
menambah secara signifikan terhadap peran pakan.

157
2.50
Pertambahan
2.00 panjang
1.50 (mm) a
a
1.00
a a
0.50
1.20 1.60 1.20 1.27
0.00
vit C Prob. RABAL Kontrol
Komersil
Bagan 4. Pertumbuhan belum dipengaruhi oleh perlakuan secara
signifikan

Kualitas Air
Pemberian probiotik tidak menunjukkan perubahan pada konsentrasi
ammonia dan nitrit. Namun, ammonia pada RABAL cenderung lebih tinggi.

2.50
TAN
2.00
TAN Nitrit
1.50
Nitrit
1.00

0.50

0.00
vit C Prob. Komersil RABAL Kontrol

Kecenderungan TAN tinggi pada RABAL mungkin dikarenakan


hambatan pada nitrifikasi heterotrofik karena masuknya asam hasil fermentasi,
seperti asam lemak rantai pendek . Asam organic tidak dapat dikonsumsi oleh
bakteri nitrifikasi heterotrof (Nishio et al., 1994).
Standar kualitas air yang lain seperti, DO, pH, suhu dan salinitas tidak
berbeda secara nyata. Selama 12 hari penelitian. Oksigen terlarut turun dari 7,6
ke 7,1 ppm. pH juga turun dari 8,5 menuju 8,3. Suhu air naik dari 290C ke
320C. Salinitas naik dari 36 ppt ke 34 ppt.

158
Tabel 6. Parameter kualitas air standar

Variabe
l Nilai Pola
DO 7,1-7,6 Turun
pH 8,2-8,5 Turun
Suhu 29-32 Naik
Salinita
s 34-36 Naik

Kenaikan salinitas mungkin membuat pertumbuhan menjadi tidak signifikan,


karena udang mengalami kesulitan moulting pada salinitas tinggi.

KESIMPULAN

Perlakuan probiotik secara signifikan meningkatkan SR PL udang


pisang mendekati 2 kali lipat tetapi tidak berpengaruh pada pertumbuhan PL
udang pisang. Dengan demikian ada perbaikan kesehatan pada air dan tubuh
udang. Namun pemberian probiotik dan vitamin C tidak berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan. Pemberian perlakuan juga tidak berpengaruh pada
konsentrasi total ammonia nitrogen (TAN) dan nitrit, walaupun ada
kecenderungan ammonia lebih tinggi pada perlakuan RABAL. Perlakuan
cenderung menurunkan konsentrasi bakteri total (TBC). Perlakuan juga
cenderung menurunkan konsentrasi vibrio total (TBV) kecuali pada RABAL.
Dosis perlakuan perlu ditingkatkan untuk melihat pengaruh maksimalnya.

159
DAFTAR PUSTAKA

Amin, S.A., Parker, M.S., Armbrust, E.V., 2012. Interactions between Diatoms
and Bacteria. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 76, 667–684.
Brown, M.R., Miller, K.A., 1992. The ascorbic acid content of eleven species
of microalgae used in mariculture. J. Appl. Phycol. 4, 205–215.
Defoirdt, T., Boon, N., Sorgeloos, P., Verstraete, W., Bossier, P., 2007.
Alternatives to antibiotics to control bacterial infections: luminescent
vibriosis in aquaculture as an example. Trends Biotechnol. 25, 472–479.
Gatesoupe, F.., 1999. The use of probiotics in aquaculture. Aquaculture 180,
Kobayashi, M., Kobayashi, M., 2008. Waste Remediation and Treatment Using
Anoxygenic Phototrophic Bacteria, in: Blankenship, R. e., Madigan,
M.T., Bauer, C.E., Govindjee (Eds.), Anoxygenic Photosynthetic
Bacteria, Advances in Photosynthesis. Kluwer Academic Publisher,
USA, pp. 1269–1282.
Kodali, V.P., Sen, R., 2008. Antioxidant and free radical scavenging activities
of an exopolysaccharide from a probiotic bacterium. Biotechnol. J. 3,
245–251.
Lavilla-Pitogo, C.., Albright, Paner, M.., 1998. Will Microbial Manipulation
Sustain the Ecological Balance in Shrimp (Penaeus monodon)
Hatcheries?, in: Flegel, T.W. (Ed.), Advances in Shrimp Biotechnology.
National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Bangkok,
pp. 185–191.
Mendes, R., Garbeva, P., Raaijmakers, J.M., 2013. The rhizosphere
microbiome: significance of plant beneficial, plant pathogenic, and
human pathogenic microorganisms. FEMS Microbiol. Rev. 37, 634–
663.
Nishio, T., Yoshikura, T., Chiba, K., Inouye, Z., 1994. Effects of Organic Acids
on Heterotrophic Nitrification by Alcaligenes faecalis OKK17. Biosci.
Biotechnol. Biochem. 58, 1574–1578.
Planas, M., Pérez-Lorenzo, M., Hjelm, M., Gram, L., Uglenes Fiksdal, I.,
Bergh, Ø., Pintado, J., 2006. Probiotic effect in vivo of Roseobacter
strain 27-4 against Vibrio (Listonella) anguillarum infections in turbot
(Scophthalmus maximus L.) larvae. Aquaculture 255, 323–333.
Rekha, C.R., Vijayalakshmi, G., 2008. Biomolecules and Nutritional Quality of
Soymilk Fermented with Probiotic Yeast and Bacteria. Appl. Biochem.
Biotechnol. 151, 452–463.

160
Ruas-Madiedo, P., Hugenholtz, J., Zoon, P., 2002. An overview of the
functionality of exopolysaccharides produced by lactic acid bacteria. Int.
Dairy J., NIZO Dairy Conference on Food Microbes 2001 12, 163–171.
Sharifah, E.N., Eguchi, M., 2011. The Phytoplankton Nannochloropsis oculata
Enhances the Ability of Roseobacter Clade Bacteria to Inhibit the
Growth of Fish Pathogen Vibrio anguillarum. PLoS ONE 6, e26756.
Smith, V.J., Brown, J.H., Hauton, C., 2003. Immunostimulation in crustaceans:
does it really protect against infection? Fish Shellfish Immunol. 15, 71–
90.
Vissers, M.C.M., Lee, W.-G., Hampton, M.B., 2001. Regulation of Apoptosis
by Vitamin C Specific Protection of the Apoptotic Machinery Against
Exposure to Chlorinated Oxidants. J. Biol. Chem. 276, 46835–46840.

161
DISEMINASI SISTEM PENTOKOLAN TERPADU DALAM
MENGOPTIMALKAN BUDIDAYA UDANG VANNAME PADA
TAMBAK DI KABUPATEN MAROS PROPINSI SULAWESI SELATAN

Haruna, Syamsir Syam, Sitti Faridah dan Sugeng Raharjo


Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP)
Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong Kota, Kabupaten Takalar, Propinsi
Sulawesi Selatan

ABSTRACT

Severalconcept ofshrimps farmingtechnologyhas


beenappliedbyBPBAPTakalarondisseminationactivitiesbothtiger
andvannameshrimps. But in factthe technologydeployment processis
noteasybecauseshrimp farmersneed technologythat isapplicable,
efficient, and providebenefitsoverother technologies. Based on
this,systemrepairsshrimps farming inpondsthrough
thedisseminationactivitiesby applying thejuveniles
productiontechnologyin an efforttooptimizeshrimps
farminginpondsbasedon BMP(base management practice). This activity
iscarried outby using apl-12 shrimps fryarethenmaintainedfor
30daysinjuvenilesproductionplotafterplotwastransferredto
thecultivationandmaintainedvanname for
38dayswithsize85shrimps/kgwith amarketprice of36.000.00 IDR. When
comparedwithconventional systemsthatare maintainedfor 60dayscan
onlyproduceshrimpvannamewithsize150shrimps/kg with amarketprice
of24.000.00 IDR. This showsifthe applicationintegratedsystem of
juvenilesproductionis moreprofitablethan conventional systems.
Byseeingfavorableresults, prompting
somefarmerstoparticipateimplementintegratedsystem
ofjuvenilesproductioninMaros regency.

Keywords: Dissemination,vannameshrimps, integratedsystem


ofjuvenilesproduction, andcultivation.

162
PENDAHULUAN
Bermula pada tahun 2001, perkembangan usaha budidaya udang
vannamei cenderung meningkat di Indonesia sebagai akibat dari permasalahan
dalam usaha budidaya udang windu (Penaeus monodon), masalah yang timbul
antara lain berjangkitnya ―White spot Virus (WSV/SEMBV)‖, pertumbuhan
lambat dan tidak seragam, menyebabkan trauma pada sebagian besar
pembudidaya sehingga para petambak mulai mencari alternatif species udang
lain yang dapat dibudidayakan. Sebagai pengganti udang windu salah satunya
adalah L. vannamei. Keuntungan dari budidaya udang vannamei antara lain
masa pemeliharaan lebih cepat, lebih tahan terhadap penyakit dibandingkan
dengan udang windu, lebih toleran terhadap perubahan kualitas air/lingkungan.
Pada tahun 2005, pemerintah mentargetkan produksi udang sebanyak
300.000 ton meningkat 23 % dari produksi tahun lalu yang mencapai 242.560
ton (Anonim, 2005) Dari target tersebut diharapkan 60 % atau sekitar 200.000
ton berasal dari budidaya udang Vanname dan sisanya 40 % sekitar 100.000 ton
dari udang Windu dan udang lainnya. Untuk mencapai target tersebut, petani
tambak tentunya membutuhkan benih udang vannamei yang cukup banyak.
BeberapakonsepteknologitambakudangtelahditerapkanolehBPBAP
Takalar pada kegiatan diseminasi udang baik udang windu maupun vanname.
Namun pada kenyataannya proses penyebaran teknologi tidakmudahkarena
petambak udang membutuhkan teknologi yang aplikatif, efisien dan
memberikan keuntungan yang lebih dari teknologi lainnya. Berdasarkan
hal tersebut, dilakukan perbaikan sistem budidaya udang di tambak
memalui kegiatan diseminasi dengan menerapkan teknologi pentokolan
sebagai upaya untuk mengoptimalkan budidaya udang di tambak yang
berbasis BMP (base management practice).

Tujuan
Tujuan dari kegiatan diseminasi ini adalah untuk melakukan
perbaikan sistem budidaya udang di tambak dengan menerapkan
teknologi pentokolan secara terpadu sebagai upaya untuk
mengoptimalkan budidaya udang di tambak yang berbasis BMP (base
management practice).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

163
Kegiatan diseminasi budidaya udang vannamei dilakukan pada bulan
April 2013 – Juni 2014, dilaksakanan Kawasan Minapolitan, Desa Bonto
Bahari, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan.

Bahan dan Alat


Dalam kegiatan diseminasi ini, bahan yang digunakan adalah benih
udang vanamei (Pl 12), pupuk organik dan anorganik (urea, SP-36 dan NPK),
kapur, saponin, dan pakan buatan. Sedangkan alat yang digunakan adalah
ember pakan, timbangan meja, pompa air laut, anco, jala lempar, peralatan
kualitas air dan mesin katinting

Metode
Tambak yang digunakan terdiri atas 2 petakan yaitu petakan pertama
untuk pentokolan dengan ukuran 10 x 15 m dengan kedalaman 60 cm dan
petakan kedua untuk pembesaran atau budidaya dengan ukuran 0,5 Ha dengan
kedalaman 0,8 meter. Sumber air diperoleh dari aliran air sungai yang berjarak
2 km dari garis pantai ketika air pasang dimasukkan ke dalam tambak
pemeliharaan dan juga menggunakan sumur bor air laut untuk penambahan air
ketika dibutuhkan.
Persiapan tambak untuk penggelondongan dimulai dari pengeringan
tanah dasar selama 1 minggu, perbaikan pematang, pengangkatan lumpur,
pemberian pupuk anorganik jika dibutuhkan dan setelah 7 hari pemupukan
untuk menumbuhkan pakan alami dilakukan penebaran benih dengan
kepadatan 400 ekor/m2. Selama pemeliharaan benih dipetakan pentokolan tidak
dilakukan pemberian pakan buatan, hanya mengandalkan pakan alami yang
tumbuh di dalam petakan pentokolan. Untuk pengamatan kualitas air dilakukan
secara rutin.
Selama pemeliharaan benih di petak pentokolan, dilakukan juga
persiapan petakan tambak untuk pembesaran. Persiapan petakan pembesaran
dimulai dari pengeringan tanah dasar selama 3 minggu, pengangkatan lumpur,
perbaikan pematang, pintu air, pemberian pupuk anorganik (urea, SP-36 dan
NPK) dan pemupukan susulan berupa pupuk organik, setelah 7 hari pemupukan
untuk menumbuhkan pakan alami dilakukan penebaran benih.
Sebelum dilakukan penebaran benih di petak pembesaran, terlebih
dahulu dilakukan pemanenan benih pada petak pentokolan. Untuk kemudian
dilakukan penebaran benih di petak pembesaran dengan kepadatan 10 ekor/m2.
Selama masa pemeliharaan dilakukan pengamatan kualitas air, pengamatan
pertumbuhan (panjang dan berat), pemupukan susulan, pergantian air dan
pemberian pakan buatan yang dilakukan pada hari ke-20 setelah dilakukan
pemeliharaan di petak pembesaran. Interval pemberian pakan dilakukan

164
sebanyak 2 kali sehari. Waktu pemeliharaan di petak pembesaran ini
berlangsung selama 38 hari, untuk kemidian dilakukan pemanenan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan diseminasi budidaya udang di Kabupaten Maros dilakukan


sejak tahun 2011 hingga sekarang, namun kendala yang sering ditemukan
adalah susahnya benih untuk berkembang dimasa pemeliharaan 2 bulan. Hal
ini disebabkan, udang yang dipelihara di tambak pada umur 2 bulan (60 hari)
sangat rentan terhadap penyakit yang mungkin disebabkan karena pada
kawasan minapolitan di Kabupaten Maros ini kondisi lingkungan dalam hal ini
salinitas sangat berfluktuatif. Dari hasil pengamatan ini maka perlu dilakukan
perubahan sistem pemeliharaan dengan penerapkan sistem pentokolan secara
terpadu dalam satu areal tambak budidaya yang dilakukan sejak tahun 2013
hingga sekarang.

Pemeliharaan di Petak Pentokolan


Perapan sistem pentokolan secara tepadu pada satu areal tambak lebih
efektif dilakukan dari pada penebaran langsung di tambak pada sistem
tradisional (konvensional) untuk pemeliharaan udang vanname. Untuk
mengetahui perbandingan panjang dan berat di petak pentokolan antara sistem
pentokolan secara terpadu dengan sistem konvensional dapat dilihat pada
Gambar 1. dan Gambar 2. berikut:

165
Perbandingan hasil pengukuran panjang di petak
pentokolan
6
5
Panjang (cm)

4
sistem terpadu
3
konvensional
2
1
0
ke-0 ke-7 ke-14 ke-21 ke-28
Waktu Pemeliharaan (hari)

Gambar 1. Perbandingan hasil pengukuran panjang di petak pentokolan


Dengan sistem konvensional.

Perbandingan hasil pengukuran berat di petak


pentokolan
3
2.5
2
berat (gr)

sistem terpadu
1.5 konvensional
1
0.5
0
ke-0 ke-7 ke-14 ke-21 ke-28
waktu pemeliharaan (hari)

166
Gambar 2. Perbandingan hasil pengukuran berat di petak pentokolan
dengan sistem konvensional.

Dari hasil yang diperoleh pada tahap pemeliharaan di petak pentokolan


dapat diketahui jika baik panjang maupun berat udang vannamei yang
dipelihara pada sistem terpadu lebih rendah dibandingkan pemelihraan dengan
sistem konvensional. Hal ini mungkin disebabkan karena pada petak
pentokolan kepadatan penebaran lebih tinggi yaitu 400 ekor/m2 jika
dibandingkan dengan sistem konvensional yang langsung melakukan penebaran
di teakan tambak dengan kepadatan 7,5 – 10 ekor/m2.
Dengan kepadatan yang tinggi dilakukan pada sistem pentokolan
terpadu menyebabkan terjadinya persaingan ruang dan makanan walaupun
tidak dilakukan pemberian pakan buatan karena kondisi pakan alami yang
melimpah dan cukup untuk kultivan yang dipelihara. Menurut Mangampa et al.
(2008), semakin besar kepadatan ikan yang kita berikan, akan semakin kecil
laju pertumbuhan per individu. Dengan kepadatan rendah ikan mempunyai
kemampuan memanfaatkan makanan dengan baik dibandingkan dengan
kepadatan yang cukup tinggi, karena makanan merupakan faktor luar yang
mempunyai peranan di dalam pertumbuhan.
Selama pemeliharaan di petak petokolan, tidak dilakukan pemberian
pakan buatan karena ketersediaan pakan alami melimpah dan hanya diberikan
pada kondisi tertentu saja karena kelebihan pakan akan mencemari perairan
sehingga menyebabkan udang stress dan lemah serta nafsu makan akan
menurun (Kholifah et al., 2008).

Pemeliharaan di Petak Pembesaran


Setelah dilakukan pemeliharaan di petak pentokolan selama ± 30 hari,
benih kemudian dipindahkan ke petak pembesaran. Untuk mengetahui
perbandingan panjang dan berat di petak pembesaran pada sistem pentokolan
secara terpadu dengan sistem konvensional dapat dilihat pada Gambar 3. dan
Gambar 4. berikut:

167
Perbandingan hasil pengukuran panjang di petak
pembesaran
15
Panjang (cm)

10
sistem terpadu
konvensional
5

0
Ke-7 Ke-14 ke-21 ke-28 ke-35 ke-38
waktu pemeliharaan (hari)
Gambar 3. Perbandingan hasil pengukuran panjang di petak pembesaran
dengan sistem konvensional.

Perbandingan hasil pengukuran berat di petak


pembesaran
12
10
8
berat (gr)

sistem terpadu
6
konvensional
4
2
0
Ke-7 Ke-14 ke-21 ke-28 ke-35 ke-38
waktu pemeliharaan (hari)
Gambar 4. Perbandingan hasil pengukuran berat di petak pembesaran
dengan sistem konvensional.

168
Pada petak pembesaran dilakukan penebaran dengan kepadatan 10
ekor/m2 dengan ukuran benih, panjang ± 5 cm dan berat ± 2,9 gr dan dipelihara
selama 38 hari. Dari hasil yang diperoleh pada petak pembesaran dapat dilihat
pada Gambar 3. dan 4., diketahui jika baik panjang maupun berat udang
vannamei yang dipelihara pada sistem pentokolan secara terpadu dengan
pembesaran lebih tinggi dibandingkan pemelihraan dengan sistem
konvensional. Hal ini mungkin disebabkan karena benih yang sebelumnya
dipelihara pada kepadatan yang lebih tinggi dengan persaingan ruang dan
makanan tinggi kemudian di pindahkan ke petak pembesaran yang lebih luas
dan kepadatan lebih rendah dimana persaingan ruang dan makanan lebih
rendah dibandingkan sebelumnya. Menurut Cholik et al. (1990), padat
penebaran akan mempengaruhi kompetisi terhadap ruang gerak, kebutuhan
makanan dan kondisi lingkungan yang pada gilirannya dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan kelulushidupan yang merinci pada produksi.
Pertumbuhan panjang dan berat udang vanname yang meningkat pesat
pada sistem pentokolan terpadu dari pada sistem konvensional kemungkinan
juga disebabkan karena kondisi lingkungan yang baru sehingga pakan alami
yang tumbuh dan berkembang melimpah dan kondisi kualitas air yang pada
petak pembesaran lebih sesuai untuk pertumbuhan benih udang vanname.
Menurut Spote (1987) dalam Badare (2001), menyatakan bahwa kualitas air
turut mempengaruhi kelulushidupan dan pertumbuhan udang dalam sistem
budidaya.
Pada sistem konvensional, dari gambar 3. dan 4., dapat diketahui jika
pada hari pemeliharaan ke-35 dan ke-38 tidak diperoleh hasil pengukuran
panjang dan berat karena pada sistem konvensional hanya bertahan hingga hari
ke-59 pemeliharaan dari penebaran di Pl-12 atau hari ke-31 jika dikonversi
dengan waktu pemeliharaan di petak pembesaran pada sistem pentokolan
tepadu. Sistem konvensional hanya bertahan hingga kurang dari 2 bulan
pemeliharaan sedangkan dengan sisten pentokolan yang terpadu mampu
bertahan lebih dari 2 bulan.

Panen
Setelah dilakukan pemeliharaan di petak pembesaran selama ± 38 hari,
dilakukan pemanenan. Untuk mengetahui perbandingan hasil panen di petak
pembesaran pada sistem pentokolan secara terpadu dengan sistem konvensional
dapat dilihat pada Gambar 5. dan Gambar 6. berikut:

169
Ukuran Hasil Panen

160
140
size panen (ekor/kg)

120
100 sistem terpadu
80
60 konvensional
40
20
0
sistem terpadu konvensional

Gambar 5. Perbandingan size/ukuran panen yang diperoleh antara


sistem pentokolan terpadu dengan sistem konvensional.

Harga Panen

40000
35000
30000
Harga (Rp/kg)

25000
sistem terpadu
20000
konvensional
15000
10000
5000
0
sistem terpadu konvensional

Gambar 6. Perbandingan harga panen yang diperoleh antara sistem


pentokolan terpadu dengan sistem konvensional.

170
Dari hasil pemeliharaan di petak pembesaran yang dilakukan selama 38
hari dapat diketahui jika ukuran/size sistem pentokolan terpadu lebih kecil yaitu
85 ekor/kg hal ini berarti ukuran per ekor udang besar pada sistem terpadu dari
pada sistem konvensional yang 150 ekor/kg yang berarti ukuran udang lebih
kecil setiap ekornya. Dan harga untuk penjualan udang vanname hasil panen
lebih tinggi sistem terpadu yaitu sekitar Rp 36.000,00 dibandingkan dengan
sistem konvensional yaitu Rp 24.000,00.

KESIMPILAN

Dari hasil dan pembahasan kegiatan diseminasi budidaya udang


vanname dengan sistem pentokolan yang tepadu dengan kegiatan pembesaran,
dapat disimpulkan :
1. Hasil pengukuran panjang dan berat pada petak pentokolan dengan
sistem pentokolan terpadu lebih rendah dibandingkan sistem
konvensional.
2. Hasil pengukuran panjang dan berat pada petak pembesaran ddengan
sistem pentokolan terpadu lebih tinggi dibandingkan sistem
konvensional.
3. Hasil panen pada sistem pentokolan terpadu diperoleh size yang lebih
kecil dari pada sistem konvensional.
4. Harga jual pada sistem pentokolan terpadu lebih besar dibandingkan
sistem konvensional.

Saran
Penggunaan sistem pentokolan yang terpadu dengan pembesaran sangat
efektif dan efisien pada lokasi tambak yang memiliki pakan alami yang dapat
tumbuh subur dan pada lahan dengan kondisi salinitas yang fluktuatif. Perlu
dilakukan penerapan diloksai diseminasi lainnya untuk mengetahui keefektifan
dan efiesiensi sisten ini.

171
172
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. Acclimation Guidelines For Broodstock. 2006. Shrimp


Improvement System. Research and Development Departement.
Badare, A. I. 2001. Pengaruh Pemberian Beberapa Makroalga Terhadap
Pertumbuhan dan Kelulushidupan Juvenil Abalone (Holiotis spp) yang
Dipelihara Dalam Kurungan Terapung. Program Studi Budidaya
Perairan Fakultas Pertanian Undana: Kupang.
Fast, W. A and Lester, J. L. 1992. Marine Shrimp Culture Principles
andPractices. Lsevier . New York.
Haliman dan Adijaya, D.S. 2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mangampa, M. Bursan dan Suswoyo, H. 2008. Optimalisasi Padat Penebaran
Terhadap Sintasan Tokolan Udang Windu Dengan Sistem Aerasi di
Tambak. www.yahoo.com. 02 juli 2008.
RSNI. Perbenihan Perikanan Udang Vaname. 2005. Direktorat Perbenihan.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan
Perikanan Budidaya. Jakarta.
Subaedah, S dan S. Harjono. 2004. Pembenihan Udang Vannamei. Balai
Budidaya Air Payau. Situbondo.
Texas Shirmp Farming Manual : An up Date on Current Technology.
Chamberlain,G.W, M.G. Haby and R.J. Miget. 1988. Texas
Agriculturral Extension Service. Texas A & M University System.
Research and Extension Center. Route 2. 589. Coupus Christi.

173
KELANGSUNGAN HIDUP POST LARVA UDANG PISANG
MENINGKAT STABILMENGIKUTI NAIKNYA DOSIS VITAMIN C
LEVEL RENDAH

Ibnu Sahidhir1*,Siti Fatimah2, Abidin Nur1


1
Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee
2
Universitas Abul Yatama, Provinsi Aceh

ABSTRACT

Vitamin C, in abundant aquaculture researches, had proven to be able


to improve growth and survival rate. Vitamin C usually incorporated to
feed or indirectly transferred to live feed for high dosage. This
experiment aimed to test the influence of vitamin C in low dosage (0,4-
1,2 ppm) to growth and survival rate of Pisang shrimp (Penaeus sp.)
post larvae. The dosage of vitamin C was increased steeply for each
treatment i.e. control (0 ppm), 0,4 ppm, 0,8 ppm, and 1,2 ppm vitamin C.
A treatment has three repetitions. A repetition is a bucket contained 20
liter of seawater and 1000 individuals of Pisang shrimp postlarvae 3
(stocking density is 50 individuals/L). The shrimp was fed with artemia
and commercial diet according to standard operational procedures of
BADC of Ujung Batee and reared for 12 days (PL3- PL15). Survival
rate of the treatments are following: control (0 ppm) 39,43%; 0,4 ppm
vitamin C 42,3%; 0,8 ppm vitamin C 55,8%; 1,2 ppm vitamin C 67,4%.
The growth gain (length) is significantly different i.e. control 0,43 cm;
0,4 ppm vitamin C 1,4 cm; 0,8 ppm vitamin C 0,9 cm; 1,2 ppm vitamin
C 1,03 cm. The experiment showed that the low dosage of vitamin C
could be able to promote survival rate. The increase of dosage is linear
with rising of survival rate. However, additional growth could be
achieved by treatment 0,4 ppm, and the growth was stable for additional
dosage more than it.

Keywords: vitamin C, survival rate, growth gain, banana shrimp post


larva

174
PENDAHULUAN

Banyak senyawa kontaminan di air yang tidak mendukung kesehatan


ikan. Diantara senyawa pengganggu dan perusak kerja hormonal adalah
estrogen steroid, bisphenol A, dan alkylphenols (Barber et al., 2012). Senyawa
estrogen steroid, contohnya, meniru kerja hormon endokrin asli dan
mengganggu ritme fisiologis hewan air. Radikal bebas di perairan alami juga
melimpah (Mill et al., 1980). Radikal bebas tersebut muncul dari limbah rumah
tangga, limbah pabrik, fotooksidasi matahari, oksidasi oleh organism, dan
residu disinfeksi air. Oksidasi bahan organic oleh disinfektan menambah
radikal bebas di air yang selain berpotensi karsinogenik juga mutagenik.
Keseluruhan limbah hasil oksidasi disinfektan ini disebut sebagai disinfection
by products (DBPs). Sebagai contoh, S3-Chloro-4-(dichloromethyl)-5-hydroxy-
2(5H)-furanone atau MX (mutagen ‗x‘) adalah agen mutagenik kuat hasil
oksidasi bahan organic oleh klorin (Holme et al., 1999; Komulainen et al.,
1997; McDonald and Komulainen, 2005; Melnick et al., 1997). Radikal bebas
juga terbentuk dari metode disinfeksi lain seperti disinfeksi dengan iodine dan
ozon (Richardson et al., 2007).
Senyawa kontaminan ini mengganggu sistem endokrin, sistem syaraf
dan keseluruhan kerja tubuh sehingga kekebalan terganggu. Efek ini lebih
kentara pada larva yang kemampuan menjaga kondisi fisiologisnya masih
rendah.
Dalam banyak hasil penelitian akuakultur, pemberian Vitamin C atau
asam askorbat lewat pakan telah terbukti mampu meningkatkan kualitas
biologis ikan/udang, selain peningkatan kekebalan tubuh dan kelangsungan
hidup tetapi juga pertumbuhan dan kematangan gonad (Merchie et al., 1997).
Vitamin C adalah vitamin berstruktur dasar furanones yang disintesis dari jalur
gulonolakton pada metabolisme glukosa (Slaughter, 1999). Vitamin C menjadi
penting bagi organisme yang kurang atau tidak memiliki enzim gulonolactone
oksidase (Bender, 2003).
Selain sebagai nutrisi, vitamin C mempunyai peran dalam menjaga
kualitas air. Sebagai antioksidan, vitamin C dapat digunakan untuk deklorinasi
air yang aman (Brenda, 2005; Tikkanen et al., 2001) walaupun kemampuan
menetralkan senyawa sisa klorinasi masih di bawah sulfit dan besi (MacCrehan
et al., 2005). Sebagai reduktor, vitamin C adalah agen pengkelat (Dabrowski
and Köck, 1989) sehingga meningkatkan daya serap mineral dari dalam air,
seperti besi dan seng. Secara mikrobiologis, vitamin C dapat menurunkan
perkembangan bakteri karena sifatnya yang menghambat quorum sensing.
Akibatnya, pembentukan biofilm oleh bakteri pathogen menjadi terhambat
sehingga pembasmiannya oleh antibiotik menjadi lebih mudah (El-Gebaly et
al., 2012).

175
Penelitian ini bertujuan menguji efek vitamin C terhadap kelangsungan
hidup, pertumbuhan dan kualitas air PL udang pisang, udang local Aceh yang
sedang dikembangkan BPBAP Ujung Batee.

BAHAN DAN METODE

Desain eksperimen adalah rancangan acak lengkap dengan ulangan


dilakukan sebanyak 3 kali, dengan demikian seluruh unit percobaan berjumlah
12 yang terbagi dalam 4 perlakuan. Masing-masing unit percobaan adalah
wadah silinder transparan bervolume 25 L diisi air 20 L. Tiap unit percobaan
diisi PL3 udang pisang dengan kepadatan benur awal 50 ekor/L. Wadah ditutup
rapat, sedangkan selang aerasi masuk melalui lubang yang dibuat pada tutup
wadah. Aerasi diberikan cukup besar mengikuti kondisi asli pemeliharaan
postlarva. Lama pemeliharaan adalah 12 hari yakni sampai stadia PL15.
Perlakuan diberikan secara acak sesuai penentuan letak perlakuan dengan
angka acak. Semua wadah ditutup rapat dengan terpal hitam untuk menghindari
fluktuasi suhu.

Pemberian perlakuan
Dalam penelitian ini kandungan besi di air laut dijadikan sebagai acuan
dalam menentukan pemberian vitamin C. Hasil pengukuran di BPBAP Ujung
Batee adalah sekitar 0,1 ppm. Dengan rasio vitamin C dan Fe diatas 1, maka
ditetapkan dosis 0,4 ppm, 0,8 ppm, 1,2 ppm vitamin C per hari.
Satu butir tablet vitamin C yang mengandung 1000 mg sodium askorbat
dilarutkan dalam 250 ml air untuk mendapatkan konsentrasi asam askorbat 4
ppt. Perlakuan 0.4 ppm, 0,8 ppm dan 1,2 ppm dibuat dengan memberikan
masing-masing 1 ml, 2 ml dan 3 ml dari larutan tersebut pada air pemeliharaan.
Pemberian dilakukan 2 kali sehari yakni pagi dan sore hari. Larutan disimpan
dalam lemari pendingin selama pemakaian.

Prosedur pemeliharaan
Sebagai pakan diberikan artemia dan pakan buatan sesuai aturan
pemberian pakan di hatchery pembenihan udang BPBAP Ujung batee. Artemia
ditetaskan dengan dosis 2 gr/L air laut. Naupli yang dihasilkan (>400.000
ekor/L) dipanen dan diberikan sebanyak 25 ml per wadah. Pemberian naupli
artemia dilakukan tiga kali sehari untuk memenuhi dosis lebih dari 3 ekor
naupli/ind PL. Pakan buatan diberikan sebanyak 6 ppm per hari dengan cara
membuat suspensi pakan dengan konsentrasi 20 ppt. Pemberian suspensi pakan
ini adalah 2 ml diberikan ke dalam wadah sebanyak tiga kali sehari. Pakan
artemia dan pakan buatan diberikan secara selang-seling. Variabel kualitas air
utama dimonitor dengan melakukan pengukuran kadar oksigen terlarut, pH,
suhu tiap pagi dan sore hari. Salinitas diukur tiap 3 hari sekali.
176
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada hari terakhir penelitian terhadap
kelangsungan hidup, pertambahan panjang, konsentrasi bakteri total,
konsentrasi bakteri Vibrio dan konsentrasi TAN (total ammonia nitrogen) dan
nitrit. Kelangsungan hidup dihitung dengan mencacah semua postlarva dalam
tiap unit percobaan pada akhir penelitian. Panjang diukur dengan mengambil 5
sampel postlarva pada tiap unit perlakuan. Konsentrasi bakteri total dan Vibrio
diuji di lab mikrobiologi BPBAP Ujung Batee dan dihitung dari koloni yang
tumbuh dalam agar plate. Sedangkan TAN dan nitrit diukur di lab kualitas air
BPBAP Ujung Batee dengan metode kolorimetri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelangsungan hidup
Hasil menunjukkan bahwa kelangsungan hidup PL udang pisang naik
secara bertahap mengikuti kenaikan dosis vitamin C (Grafik 1) (p<0,05).
Keragaman antar satu perlakuan saling terhubung dengan keragaman satu level
perlakuan di bawah dan diatasnya sehingga menunjukkan efek yang tidak
berbeda nyata pada perlakuan yang berdekatan. Sebagai contoh pemberian
vitamin C 0,4 ppm tidak berbeda nyata terhadap control (39,43%) dan juga
tidak berbeda nyata terhadap perlakuan 0,8 ppm, namun berbeda terhadap
perlakuan 1,2 ppm. Perlakuan 1,2 ppm menunjukkan hasil kelangsungan hidup
terbaik yakni 67,4%, mendekati 2 kali lipat dari yang dicapai kontrol.

80
70 SR (%) c
60 b
50 ac
40 a
b
30
20
10 39.43 42.30 55.80 67.40
0
0 0.4 0.8 1.2
Konsentrasi vitamin C (ppm)

*Huruf yang sama menunjukkan perlakuan tidak


berbeda nyata 1.
Grafik Efek pemberian vitamin C terhadap kelangsungan hidup PL
udang pisang

177
Kelangsungan hidup (SR) meningkat seiring naiknya dosis vitamin C,
namun belum dicapai titik puncaknya. Hasil ini menyiratkan bahwa perlu
dilakukan uji dosis tambahan untuk mencapai SR maksimal. Ekstrapolasi
dengan kurva kuadratik (y=13.64x2+7.975x+38.80, R²=0.815) memprediksi
dosis 1,8-2 ppm sebagai konsentrasi optimal pemberian vitamin C dengan SR
terbaik.
Peningkatan kelangsungan hidup PL udang pisang mungkin sebagai
efek dari menurunnya radikal bebas di air dan meningkatnya kesehatan tubuh
udang karena asupan vitamin C tambahan. Pemberian vitamin C dapat memicu
apoptosis (kematian sel) pada sel yang terkena kanker akibat terkena radikal
bebas dari air terklorinasi (Vissers et al., 2001). Asupan tambahan vitamin C
akan menghilangkan defisiensi vitamin C yang berakibat kematian yakni
munculnya penyakit black death syndrome. Hal ini muncul akibat gagalnya
pembentukan jaringan ikat karena kurangnya kolagen triple helix yang dibantu
oleh vitamin C sebagai ko-faktor. Ketiadaan jaringan ini akan berakibat pada
menurunnya daya cerna pakan karena hepatopankreas yang tidak berkembang
dan kerusakan jaringan ikat di bawah cangkang, dinding esophagus, usus
bagian belakang, lambung dan insang. Gejala klinisnya adalah warna hitam
pada bagian bawah cangkang (Hunter et al., 1979; Lightner et al., 1977;
Magarelli Jr et al., 1979).
Kenaikan kelangsungan hidup pada aplikasi vitamin C di air mungkin
juga dikarenakan menurunnya keganasan dan pertumbuhan bakteri. Dari
pengujian total bakteri, populasi bakteri menunjukkan kecenderungan menurun
(Grafik 2). Berdasarkan rata-rata, penurunan mencapai 4 kali lipat yakni dari
80.103 cfu/ml menjadi 20.103 cfu/ml. Namun penurunan tetap stagnan pada
konsentrasi vitamin C diatas 0,4 ppm. Berdasarkan rata-rata, konsentrasi koloni
vibrio kuning juga cenderung menurun 2 kali lipat dari konsentrasi control
sekitar 4.103 cfu/ml menjadi sekitar 2.103 cfu/ml. Namun demikian koloni
vibrio hijau tetap stagnan (Grafik 3.).

200,000
Total bacterial
150,000 count (cfu/ml)
100,000
50,000
0
0 0.4 0.8 1.2
Konsentrasi vitamin C (ppm)
Grafik 2. Total bakteri umum pada media pemeliharaan PL udang
Pisang

178
8,000 TBV yellow TBV green 120
(cfu/ml) (cfu/ml)
7,000 100
6,000
5,000 80
4,000 60
3,000 40
2,000
1,000 20
- -
0 0.4 0.8 1.2 1.6
Konsentrasi vitamin C (ppm)
Grafik 3. Jumlah koloni bakteri vibrio berkoloni kuning dan hijau pada media
pemeliharaan PL udang pisang

Vibriosis adalah penyakit bakterial yang umum terjadi pada budidaya udang .
Vibrio menyerang saluran pencernaan terutama hepatopankreas dan
menyebabkan kematian lebih dari 50% benih udang (Lavilla-Pitogo et al.,
1998; Leaño et al., 1998). Vibriosis terdeteksi jelas karena benih nampak
bercahaya karena vibrio mengeluarkan pendar cahaya saat berkomunikasi
dengan jenisnya (Defoirdt et al., 2007). Vitamin C dapat menurunkan
perkembangan bakteri karena sifatnya yang menghambat quorum sensing
(kemampuan bakteri untuk berkomunikasi dengan bakteri sejenis di
sekitarnya), sehingga menurun pathogenisitasnya. Efek ini mungkin berasal
dari struktur dasar vitamin C yakni furanone (Slaughter, 1999). Sebagai contoh
furanones terhalogenasi (furnanone yang berikatan dengan halogen seperti Br
dan Cl) dapat mengganggu menempelnya acyl homoserine lactones (AHLs)
pada protein pengaktif gen quorum sensing (Manefield et al., 2002).
Terhalangnya komunikasi antar bakteri menyebabkan pembentukan
biofilm yang menjadi pertahanan ampuh bakteri pathogen menjadi terhambat
sehingga pembasmiannya oleh antibiotik menjadi lebih mudah (El-Gebaly et
al., 2012). Sifat anti-biofilm juga terlihat ketika diberikan pada kultur
Pseudomonas aeruginosa (Abbas et al., 2012). Pengujian pada Clostridium perf
ringens telah menurunkan auto inducer (sinyal yang dikeluarkan individu
bakteri untuk sel bakteri itu sendiri) pada quorum sensing sampai 100 kali lipat
sehingga mengontrol pertumbuhan, sporulasi dan produksi enterotoksin (Novak
and Fratamico, 2004). Pemberian vitamin C terbukti telah meningkatkan
keefektifan kerja antimikroba lain seperti pemberian quercetin pada
Staphylococcus aureus.
179
Pertumbuhan
Efek vitamin C terhadap pertumbuhan juga berbeda nyata, yakni
panjang PL udang pisang pada keseluruhan perlakuan meningkat dua kali lipat
dibanding control. Sedangkan perbedaan antara perlakuan pemberian vitamin C
tidak berbeda nyata (p<0,05). Selama 12 hari pertambahan panjang postlarva
udang pisang sekitar 1 mm bagi yang mendapat perlakuan vitamin C sedangkan
control hanya menunjukkan kenaikan 0,4 mm.
Vitamin C menjadi ko-faktor dalam pembentukan kolagen yang menjadi
unsur penting jaringan ikat. Jaringan ikat terdapat sebagian besar pada lapisan
di bawah cangkang dan saluran pencernaan dan menyebar di seluruh tubuh
postlarva. Dengan demikian kekurangan vitamin C akan menghambat
pertumbuhan secara keseluruhan. Pada defisiensi parah bahkan akan berakibat
pada kematian (Lightner et al., 1977).
1.80
1.60
1.40 b
1.20
Pertambah b b
1.00
an panjang
(mm) 0.80
0.60
0.40 a
0.20 0.40 1.33 0.93 1.00
0.00
0 0.4 0.8 1.2
Konsentrasi vitamin C (ppm)
*Huruf yang sama menunjukkan perlakuan tidak
berbeda nyata
Grafik 4.Efek pemberian vitamin C terhadap kelangsungan hidup PL
udang pisang

Peningkatan pertumbuhan mungkin adalah efek dari membaiknya proses


metabolisme yakni karena naiknya asupan vitamin C. Diantara semua jenis
vitamin, vitamin C adalah vitamin esensial yang paling sulit penanganannya.
Selain sangat mudah larut dalam air, vitamin C juga sangat mudah teroksidasi.
Selama proses pembuatan pakan, Vitamin C dapat hilang sebanyak 75%, dan
bahkan dapat hilang sama sekali selama 1 hari penyimpanan (National
Research Council, 2011). Dosis 0,4 ppm adalah 6,7% dari jumlah pakan kering
yang diberikan (6 ppm), jumlah yang cukup tinggi apabila dibandingkan
dengan konsentrasi dalam pakan (Tabel 1.). Vitamin C dapat masuk melalui
insang dan saluran pencernaan saat bernapas atau minum air. Berinteraksi
180
dengan nutrient lain, vitamin C membantu regenerasi vitamin E setelah
teroksidasi. Tanpa vitamin C, oksidasi vitamin E pada fase minyak akan
meningkatkan kadar radikal bebas dalam sel (Chan, 1993).

Tabel 1. Rasio vitamin C terhadap konsentrasi pakan dan Fe di air


Paka
Rasio
n Kandun Vit C Rasio
vit
(pp gan Fe (ppm) (ppm) vit C/Fe
C/pakan
m)
6 0.1 0 0.0% 0
6 0.1 0.4 6.7% 4
6 0.1 0.8 13.3% 8
6 0.1 1.2 20.0% 12

Udang tidak mampu membuat vitamin C sendiri karena tidak memiliki


enzim gulonolactone oksidase sehingga memerlukan input vitamin C dari luar
(Merchie et al., 1997). Kebutuhannya dapat dengan mudah terpenuhi oleh
fitoplankton yang tumbuh di kolam (Moss et al., 2006). Sedangkan pada stadia
larva, udang memperoleh vitamin C dari diatom, seperti Chaetoceros dan
Skeletonema yang mengandung vitamin C lebih tinggi dibanding jenis alga lain
(Brown and Miller, 1992). Pada stadia postlarva awal, vitamin C diberikan
lewat artemia dengan cara perendaman yakni vitamin C yang lebih stabil
seperti ascorbyl palmitat, emulsi dari asam askorbat dan asam palmitat yang
menghasilkan vitamin C larut dalam lemak. Selama 24 jam pengkayaan,
artemia dapat mengandung 2 ppt vitamin C berat kering (Merchie et al., 1995).
Sedangkan pada postlarva tingkat lanjut (>PL14) vitamin C diberikan pada
pakan buatan dengan dosis 100-200 ppm berat kering pakan (Conklin, 1997).
Infeksi vibriosis paling ringan terjadi pada post larva dengan kandungan
vitamin C 200 ppm berat kering pada tubuhnya (Kontara et al., 1997).
Pertumbuhan yang semakin baik karena pemberian vitamin C mungkin
juga karena meningkatnya daya serap mineral. Konsentrasi besi dalam air dari
hasil pengukuran beberapa kali menunjukkan rata-rata kadar besi adalah 0,1
ppm. Dosis vitamin C 0,4 ppm berarti 4 kali konsentrasi besi dalam air (Tabel
1.). Penambahan EDTA (ethylene diamine tetraacetic acid) untuk
meningkatkan daya serap dan sebagai penanggulangan racun logam berat akan
berefek pada menurunnya bioavailabilitas mineral karena daya pengkelatnya
yang kuat. Namun pemberian vitamin C dapat menggantikan peran EDTA
dengan lebih baik. Vitamin C adalah pengkelat yang akan bereaksi cepat
dengan mineral tetapi mudah melepaskan mineral setelah berada di dalam sel,
sehingga daya serap mineral menjadi lebih baik (Dabrowski and Köck, 1989).
181
Efek tunggal vitamin C atau pun yang bersifat sinergis dengan zat-zat
lain di dalam air dapat secara signifikan meningkatkan pertumbuhan dan
kelangsungan hidup postlarva udang pisang.

KESIMPULAN

Pemberian vitamin C di air secara signifikan mampu meningkatkan


kelangsungan hidup PL udang pisang mendekati dua kali lipat daripada tanpa
vitamin C. Dosis masih perlu dinaikkan untuk meningkatkan kelangsungan
hidup sampai level maksimal. Pemberian vitamin C menunjukkan
kecenderungan TBC dan TBV koloni kuning menurun namun perlu pengujian
yang lebih ketat dan ulangan lebih banyak untuk memperjelas efek ini.
Pertumbuhan semakin baik setelah pemberian vitamin C mulai dosis 0,4 ppm
dan stabil setelahnya. Hal ini mungkin karena naiknya asupan vitamin C dan
mineral yang terkelat olehnya melalui permukaan tubuh, insang dan saluran
Pencernaan.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, H.A., Serry, F.M., EL-Masry, E.M., 2012. Combating Pseudomonas


aeruginosa biofilms by potential biofilm inhibitors. Asian J. Res.
Pharm. Sci. 2, 2012.
Barber, L.B., Vajda, A.M., Douville, C., Norris, D.O., Writer, J.H., 2012. Fish
Endocrine Disruption Responses to a Major Wastewater Treatment
Facility Upgrade. Environ. Sci. Technol. 46, 2121–2131.
doi:10.1021/es202880e
Bender, A., 2003. Vitamin C (ascorbic acid), in: Nutritional Biochemistry of
the Vitamins. Cambridge University Press, pp. 357–384.
Brenda, L., 2005. Using Vitamin C To Neutralize Chlorine in Water Systems
(No. 0523 1301—SDTDC). United States Department of Agriculture
Forest Service.
Brown, M.R., Miller, K.A., 1992. The ascorbic acid content of eleven species
of microalgae used in mariculture. J. Appl. Phycol. 4, 205–215.
Chan, A.C., 1993. Partners in defense, vitamin E and vitamin C. Can. J.
Physiol. Pharmacol. 71, 725–731.
Conklin, D.E., 1997. Vitamin, in: Crustacean Nutrition. The World
Aquaculture Society, Baton Rouge, Lousiana, pp. 123–149.

182
Dabrowski, K., Köck, G., 1989. Absorption of Ascorbic Acid and Ascorbic
Sulfate and their Interaction with Minerals in the Digestive Tract of
Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Can. J. Fish. Aquat. Sci. 46,
1952–1957.
Defoirdt, T., Boon, N., Sorgeloos, P., Verstraete, W., Bossier, P., 2007.
Quorum sensing and quorum quenching in Vibrio harveyi: lessons
learned from in vivo work. ISME J. 2, 19–26.
El-Gebaly, E., Essam, T., Hashem, S., El-Baky, R.A., 2012. Effect of
Levofloxacin and Vitamin C on Bacterial Adherence and Preformed
Biofilm on Urethral Catheter Surfaces. J Microb Biochem Technol 4,
131–136.
Holme, J.A., Steffensen, I.L., Brunborg, G., Becher, G., Alexander, J., 1999.
Chlorination of drinking water--possible cancer risk from a by-
product. Tidsskr. Den Nor. Lægeforen. Tidsskr. Prakt. Med. Ny
Række 119, 2528–2530.
Hunter, B., Magarelli Jr, P.C., Lightner, D.V., Colvin, L.B., 1979. Ascorbic
acid-dependent collagen formation in penaeid shrimp. Comp.
Biochem. Physiol. Part B Comp. Biochem. 64, 381–385.
Komulainen, H., Vaittinen, S.-L., Vartiainen, T., Tuomisto, J., Kosma, V.-M.,
Kaliste-Korhonen, E., Lötjönen, S., Tuominen, R.K., 1997.
Carcinogenicity of the Drinking Water Mutagen 3-Chloro-4-
(dichloromethyl)-5-hydroxy-2(5H)-furanone in the Rat. J. Natl.
Cancer Inst. 89, 848–856.
Kontara, E.K., Merchie, G., Lavens, P., Robles, R., Nelis, H., De Leenheer, A.,
Sorgeloos, P., others, 1997. Improved production of postlarval white
shrimp through supplementation of L-ascorbyl-2-polyphosphate in
their diet. Aquac. Int. 5, 127–136.
Lavilla-Pitogo, C.., Leaño, E.., Paner, M.., 1998. Mortalities of pond-cultured
juvenile shrimp, Penaeus monodon, associated with dominance of
luminescent vibrios in the rearing environment. Aquaculture 164,
337–349.
Leaño, E.M., Lavilla-Pitogo, C.R., Paner, M.G., 1998. Bacterial flora in the
hepatopancreas of pond-reared Penaeus monodon juveniles with
luminous vibriosis. Aquaculture 164, 367–374.
Lightner, D.V., Colvin, L.B., Brand, C., Danald, D.A., 1977. Black Death, a
Disease Syndrome of Penaeid Shrimp Related to a Dietary
Deficiency of Ascorbic Acid. Proc. Annu. Meet. - World Maric. Soc.
8, 611–624.
MacCrehan, W.A., Bedner, M., Helz, G.R., 2005. Making chlorine greener:
Performance of alternative dechlorination agents in wastewater.
Chemosphere 60, 381–388.

183
Magarelli Jr, P.C., Hunter, B., Lightner, D.V., Benard Colvin, L., 1979. Black
death: an ascorbic acid deficiency disease in penaeid shrimp. Comp.
Biochem. Physiol. A Physiol. 63, 103–108.
Manefield, M., Rasmussen, T.B., Henzter, M., Andersen, J.B., Steinberg, P.,
Kjelleberg, S., Givskov, M., 2002. Halogenated furanones inhibit
quorum sensing through accelerated LuxR turnover. Microbiology
148, 1119–1127.
McDonald, T., Komulainen, H., 2005. Carcinogenicity of the Chlorination
Disinfection By-Product MX. J. Environ. Sci. Health Part C 23, 163–
214.
Melnick, R.L., Boorman, G.A., Dellarco, V., 1997. Water Chlorination, 3-
Chloro-4-(dichloromethyl)-5- hydroxy-2(5H)-furanone (MX), and
Potential Cancer Risk. J. Natl. Cancer Inst. 89, 832–833.
doi:10.1093/jnci/89.12.832
Merchie, G., Lavens, P., Dhert, P., Dehasque, M., Nelis, H., De Leenheer, A.,
Sorgeloos, P., 1995. Variation of ascorbic acid content in different
live food organisms. Aquaculture 134, 325–337.
Merchie, G., Lavens, P., Sorgeloos, P., 1997. Optimization of dietary vitamin C
in fish and crustacean larvae: a review. Aquaculture, Proceedings of
the fish and shellfish Larviculture Symposium LARVI ‘95 155, 165–
181.
Mill, T., Hendry, D.G., Richardson, H., 1980. Free-radical oxidants in natural
waters. Science 207, 886–887.
Moss, S.M., Forster, I.P., Tacon, A.G.J., 2006. Sparing effect of pond water on
vitamins in shrimp diets. Aquaculture 258, 388–395.
National Research Council, 2011. Vitamin, in: Nutrient Requirements of Fish
and Shrimp. The National Academic Press, Washington D.C., pp.
186–220.
Novak, J.S., Fratamico, P.M., 2004. Evaluation of Ascorbic Acid as a Quorum-
sensing Analogue to Control Growth, Sporulation, and Enterotoxin
Production in Clostridium perfringens. J. Food Sci. 69, FMS72–
FMS78.
Richardson, S.D., Plewa, M.J., Wagner, E.D., Schoeny, R., Demarini, D.M.,
2007. Occurrence, genotoxicity, and carcinogenicity of regulated and
emerging disinfection by-products in drinking water: a review and
roadmap for research. Mutat. Res. 636, 178–242.
Slaughter, J.C., 1999. The naturally occurring furanones: formation and
function from pheromone to food. Biol. Rev. 74, 259–276.
Tikkanen, M.W., Schroeter, J.H., Leong, L.Y.., Ganesh, R., 2001. Guidance
Manual For the Disposal of Chlorinated Water (No. 90863),
AWWA Research Foundation Report. Denver.

184
Vissers, M.C.M., Lee, W.-G., Hampton, M.B., 2001. Regulation of Apoptosis
by Vitamin C Specific Protection of the Apoptotic Machinery
Against Exposure to Chlorinated Oxidants. J. Biol. Chem. 276,
46835–46840.

185
APLIKASI BIOFILTER CAULERPA SP PADA PRODUKSI UDANG
WINDU DI TAMBAK

Joko Purwantyo1,Sarifuddin1
1
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee

ABSTRAK

Penyediaan air media pemeliharaan udang windu yang sehat telah


dilakukan melalui penerapan tandon/biofilter, dari Caulerpa sp. Lima
petak tambak berukuran 3000 m2 (satu petak biofilter dari Caulerpa sp
dan empat petak pembesaran) telah digunakan dalam kajian ini. Padat
penerbaran bervariasi yaitu 45-60 ekor/m2 (PL15) dan dipelihara selama
125-145 hari. Pengelolaan air selama pemeliharaan hanya
mengandalkan aplikasi molase guna mereduksi ammonia air media
pemeliharaan. Molase diberikan 2-3 kali seminggu dengan dosis 10-20%
dari jumlah pakan yang diberikan. Hasil kajian menunjukkan bahwa
kondisi udang sehat, aktif, kulit keras dan warna berkilau. Produksi
udang adalah 1.800-2.482 kg/petak dengan sintasan 71%-80%. Size
panen berkisar 51-58 ekor/kg. Hasil analisa kualitas air secara umum
masih pada batas toleransi kultivan, kecuali salinitas berkisar antara 30-
36 ppt. Diduga air media dengan menggunakan Caulerpa serta
pengelolaan bahan organic melalui molase berpengaruh kuat terhadap
system produksi udang.

Kata kunci : Caulerpa, molase, udang windu

PENDAHULUAN

Pengendalian (treatmen) hama pada budidaya udang cenderung masih


mengandalkan bahan – bahan kimia, selain penggunaannya praktis, efeknya
instan, mudah diperoleh dan terjangkau oleh para pembudidaya. Akibat
tuntutan air harus selalu steril menjadi fenomena yang tak terelakkan sampai
saat ini, sehingga penggunaan bahan kimia semakin digandrungi, akibatnya
lambat laun kondisi tanah tambak menjadi miskin akan unsur hara.
Pemahaman tentang air media harus steril akan menyimpang dari konsep
kesimbangan ekosistem, suatu ekosistem akan terbentuk jika rantai tidak
terputus. Kuat dugaan dengan menggunakan air berasal dari tandon yang
ditumbuhi Latoh (Caulerpa sp) menghasilkan air sehat untuk budidaya udang,
sehingga penggunaan bahan kimia saat treatmen air diawal persiapan tambak
tidak lagi digunakan. Selain dapat menghemat biaya produksi juga dapat

186
menjaga kesimbangan ekosistem budidaya. Interaksi unsur mikro dalam air
sangat dibutuhkan dalam menjaga kesimbangan. Pada air yang steril/ bersih
rumit membentuk keseimbangan ekosistem seperti penumbuhan pakan alami,
sebab rantai ekosistem akan terputus akibat kematian karena menggunakan
larutan kimia tertentu..
Solusi yang tepat adalah upaya penyediaan air media pemeliharaan
udang windu yang sehat sebelum digunakan pada tambak pembesaran, langkah
yang sederhana melalui memanfaatkan Latoh (caulerva sp) sebagai biofilter.
Karena menjaga kestabilan lingkungan merupakan salah satu faktor yang
sangat penting dalam mendukung proses budidaya.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan aplikasi biofilter Caulerva sp pada produksi budidaya udang


windu dilaksanakan mulai bulan April 2013 s/d Agustus 2014. Lokasi kegiatan
produksi budidaya udang windu di tambak milik Balai Perikanan Budidaya Air
Payau Ujung Batee yang terdiri lima petak tambak berukuran masing-masing
3000 m2 (satu petak tandon biofilter dari Caulerva sp dan empat petak
pembesaran).

Manfaat Latoh (Caulerva sp) terhadap perairan budidaya.


Rumput laut jenis Latoh (Caulerpa sp) mengandung zat aktif
caulerpenyne, caulerpin, caulerpicin dan oxytocin dan zins,magnesium 300 kali
lipat dari jenis rumput lainnya . Perbandingan dengan jenis lain C. Lentillifera
mengandung caulerpenyne dan oxytocin dalam dosis rendah (Baumgartner et
al., 2009).
Caulerpenyne mungkin menjadi alasan rendahnya pemakanan C.
taxifolia oleh invertebrata (Bartoli and Boudouresque, 1997). Caulerpenyne
berfungsi untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh alga lain (Raniello
et al., 2007). Caulerpenyne berfungsi juga untuk menghambat perkembangan
organism penempel atau konsumen dengan menghambat perkembangan sel,
pembelahan sel dan bersifat neurotoksik (Brunelli et al., 2000; Felline et al.,
2012; Pesando et al., 1998, 1996). Walaupun bukan racun akut tapi (Amade
and Lemée, 1998; Brunelli et al., 2000; Pesando et al., 1998, 1996).
Namun demikian peran racun tersebut sedikit untuk C. Lentillifera,
caulerpenyne bersifat bioakumulatif dan bukan racun akut (Higa and
Kuniyoshi, 2000). Dengan begitu beralasan bahwa racun ini membuat
perkembangan parasit terganggu sepertinya tidak tepat.
Dalam akuakultur C. Lentillifera dimanfaatkan sebagai biofilter untuk
menurunkan limbah nutrient, menyerap logam berat dan bahan organic terlarut
(Paul and de Nys, 2008). enyerap logam berat. Nutrisinya yang berkualitas

187
terutama kandungan vitamin dan mineral dan fitokimianya bermanfaat sebagai
makanan berkualitas untuk manusia (Cavas and Pohnert, 2010; Matanjun et al.,
2009; Nguyen et al., 2011).
Permukaan Caulerpa yang luas dan koloninya yang rimbun menjadi
substrat yang tepat untuk organisme penempel, contohnya siput laut
(sacoglossan) menyukai C. lentillifera (Baumgartner et al., 2009). Pada spesies
lain (C. prolifera)terbukti alga penempel pada lebih sedikit karena dimakan
invertebrata penempel. Jenis organisme penempel pada C. prolifera juga lebih
banyak dibanding makroalga lain (Gibson, 2007).

Persiapan Tambak
Persiapan tambak dilakukan untuk memperbaiki wadah/media
pemeliharaan udang. Rangkaian persiapan tambak yang dilakukan adalah
pengeringan, pemberantasan hama, pengolahan tanah dasar dan perbaikan pH
tanah dasar. Aplikasi molase (tetes tebu) dilakukan pada saat peredaman tanah
dasar dengan ketinggian air ± 10 cm
Persiapan Air Media
Kondisi sarana dan tata letak tambak produksi budidaya udang windu
adalah menggunakan tandon yang dilengkapi dengan sistem sadimentasi. Air
dari sumber dimasukan petak tandon sebelum digunakan untuk petak
pembesaran udang. Petak tandon bersedimen juga sebagai petak biofilter
karena berfungsi juga upaya mencegahan infeksi penyakit. Oleh karena itu,
petak tandon ditebari tanaman air berupa rumput laut (Caulerpa sp), keberadaan
Caulerpa sp pada petak tandon ± 60% dari luas petakan 3.000 m2 dengan tujuan
untuk dapat menyerap nutrein hasil perombakan bahan organik. Ikan karnivor
(ikan kerapu) berfungsi sebagau fredator yaitu memangsa udang-udang kecil
yang berasal dari air sumber dimasukan petak tandon. Penggunaan air tandon
siap digunakan setelah mengalami pengendapan ± 2 – 3 hari. Pemasukan air
dari petak tandon ke petak pembesaran udang dengan menggunakan pompa.
Untuk mencegak masuknya crustacea liar dan ikan lainnya, maka dilakukan
penyaringan air dengan saringan kassa mesh size 1 mm, Pengisisan air tahap
awal mencapai di atas 80 cm.
Kondisi air media petak pembesaran udang dikatakan siap tebar apabila
parameter air sudah stabil, diantaranya : pH 7,8-8,5, Tom < 100 ppm,
alkalinitas 90 – 150 ppm, kecerahan 50 cm dengan warna plankton hijau
kecoklatan.

188
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Air
Monitoring kualitas air merupakan salah satu kunci utama dalam
pembesaran udang, air yang sehat sudah pasti akan nyaman untuk udang, baik
dari segi pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup dan daya respon pakan
yang tinggi. Filosopi pelihara udang secara implisit dikatakan bahwa budidaya
udang sebenarnya adalah pelihara air, artinya mengelola air yang ideal maka
sudah pasti udangnya juga akan hidup dan tumbuh secara normal.

Tabel 1 : Parameter kualitas air selama pemeliharaan

Variabel Kisaran Satuan


Derajat keasaman (pH) 7,57-8,17 -
Amoniak (NH3) 0,144-0,332 ppm
Bahan Organik total 80,8-1,04 ppm
Besi (Fe) 0,11-0,23 ppm
Phospat (PO4) 7,6-15,9 ppm
Nitrat (NO3) 6,3-6,5 ppm
Nitrit(NO2) 0,001-0,074 ppm
Salinitas 30-36 ppt

Data kualitas selama pemeliharaan menunjukkan jauh lebih stabil, mulai


dari pH dengan kisaran 7,57-8,17, ammoniak 0,144-0,332 ppm, nitrit 0,001-
0,074 ppm, hal ini yang mengindikasikan bahwa dampak keterlibatan Latoh
dalam mendukung kelengkapan biota mikro yang tumbuh secara seimbang
sehingga ekosistem terbentuk secara sempurna pada air tambak yang tidak
dilakukan sterilisasi kimiawi, tapi hanya dengan menggunakan air yang berasal
dari pengendapan/tandon menggunakan latoh (Caulerpa sp). Konsekwensi
menggunakan air untuk media pemeliharaan tanpa sterilisasi kimia adalah
penggunaan saringan berlapis (Double screening) pada inlet/pipa pemasukan
air secara ketat dan konsisten. Salinitas selama pemeliharaan mencapai 30-36
ppt sehingga menjadi faktor pembatas karena, sulitnya memperoleh sumber air
tawar. Sementara pertumbuhan udang dapat tumbuh secara optimal pada
salinitas 15-25 ppt.

189
Tabel 2 : Hasil uji Mikrobiologi

TBU TBV. Yellow TBV Green


Variabel
(cfu/ml) (cfu/ml) (cfu/ml)
Tandon
5,6.102 30 20
Caulerpa sp
Tandon non
3,5.102 2,08.103 1,8.102
Caulerpa sp
Tambak
1,51.104 2,82.103 5,4.102
Pemeliharaan

Hasil uji mikrobiologis juga menunjukkan bahwa tandon yang ditumbuhi Latoh
(Caulerpa sp) kandungan vobriosisnya jauh lebih sedikit dari dari tandon yang
tidak ditumbuhi Latoh (Caulerpa sp). Hasilnya juga ditambak memperlihatkan
pertumbuhan vibrio green hanya mencapai 5,4.10 2artinya dibawah ambang
batas maksimum yaitu 1.000 cfu/ml. Terciptanya kesimbangan ekosistem sudah
pasti terjadi karena kandungan pertumbuhan vibriosis terkontrol akibat dari
perombakan bahan organik oleh rumput laut Latoh (Caulerpa sp) .

Capaian Produksi.
Dapat di yakini bahwa Latoh (Caulerpa sp), mempunyai konstribusi
yang sangat kuat dalam membentuk keseimbangan ekosistem, sehingga udang
dapat hidup dan tumbuh secara simultan.

Tabel : Data produksi

Petakan Petak1 Petak2 Petak3 Petak4


Padat Tebar 130.000 150.000 200.000 150.000
Luas (m2) 3.000 3.000 3.000 3.000
SR (%) 79 68 85 75
ABW 19 21 15 20.3
FCR 1,5 1,6 1,8 1,7
Biomass 1.951 2,142 2.550 2,283

Bukti produksi juga dapat dilihat pada tabel 1, jumlah 4 petakan dengan luas
3.000 m2 yang digunakan sebagai pemeliharaan udang menunjukkan varias
produksi yang fantastis rata-rata produksi tambak 1.951-2.550 kg/petak,
survival rate juga menunjukkan cukup bagus rata-rata 68-85%.

190
KESIMPULAN

Hasil uji mikrobiologis juga menunjukkan bahwa tandon yang


ditumbuhi Latoh (Caulerpa sp) kandungan vobrio jauh lebih sedikit dari dari
tandon yang tidak ditumbuhi Latoh (Caulerpa sp). Hasilnya juga di tambak
memperlihatkan pertumbuhan vibrio green hanya mencapai 5,4.10 2artinya
dibawah ambang batas maksimum yaitu 1.000 cfu/ml. Terciptanya
kesimbangan ekosistem sudah pasti terjadi karena kandungan pertumbuhan
vibrio terkontrol akibat dari perombakan bahan organik oleh rumput laut Latoh
(Caulerpa sp) .
Produksi juga dapat dilihat pada tabel 1, jumlah 4 petakan dengan luas
masing-masing 3.000 m2 yang digunakan sebagai pemeliharaan udang
menunjukkan varias produksi yang fantastis rata-rata produksi tambak 1.951-
2.550 kg/petak, survival rate juga menunjukkan cukup bagus rata-rata 68-85%.
Salinitas selama pemeliharaan mencapai 30-36 ppt sehingga menjadi faktor
pembatas karena, sulitnya memperoleh sumber air tawar. Sementara
pertumbuhan udang dapat tumbuh secara optimal pada salinitas 15-25 ppt.

Kuat dugaan dengan menggunakan air berasal dari tandon yang


ditumbuhi Latoh (Caulerpa sp) menghasilkan air sehat untuk budidaya udang,
sehingga penggunaan bahan kimia saat treatmen air diawal persiapan tambak
tidak lagi digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Amade, P., Lemée, R., 1998. Chemical defence of the mediterranean alga
Caulerpa taxifolia: variations in caulerpenyne production. Aquat.
Toxicol. 43, 287–300.
Bartoli, P., Boudouresque, C.F., 1997. Transmission failure of parasites
(Digenea) in sites colonized by the recently introduced invasive alga
Caulerpa taxifolia. Mar. Ecol. Prog. Ser. 154, 253–260.
Baumgartner, F.A., Motti, C.A., de Nys, R., Paul, N.A., others, 2009. Feeding
preferences and host associations of specialist marine herbivores
align with quantitative variation in seaweed secondary metabolites.
Mar Ecol Prog Ser 396, 1–12.
Brunelli, M., Garcia-Gil, M., Mozzachiodi, R., Scuri, M.R.R., Traina, G.,
Zaccardi, M.L., 2000. Neurotoxic effects of caulerpenyne. Prog.
Neuropsychopharmacol. Biol. Psychiatry 24, 939–954.
Cavas, L., Pohnert, G., 2010. The Potential of Caulerpa spp. for
Biotechnological and Pharmacological Applications, in: Seckbach,

191
J., Einav, R., Israel, A. (Eds.), Seaweeds and Their Role in Globally
Changing Environments, Cellular Origin, Life in Extreme Habitats
and Astrobiology. Springer Netherlands, pp. 385–397.
Gibson, A. 2007. Community Composition of Crustaceans and Gastropods on
Caulerpa prolifera, H alodule wrightii and Thalassia testudinum
(Master Thesis). University of South Florida, Florida.
Higa, T., Kuniyoshi, M., 2000. Toxins associated with medicinal and edible
seaweeds. Toxin Rev. 19, 119–137.
Matanjun, P., Mohamed, S., Mustapha, N.M., Muhammad, K., 2009. Nutrient
content of tropical edible seaweeds, Eucheuma cottonii, Caulerpa
lentillifera and Sargassum polycystum. J. Appl. Phycol. 21, 75–80.
Nguyen, V.T., Ueng, J.-P., Tsai, G.-J., 2011. Proximate Composition, Total
Phenolic Content, and Antioxidant Activity of Seagrape (Caulerpa
lentillifera). J. Food Sci. 76, C950–C958.
Paul, N.A., de Nys, R., 2008. Promise and pitfalls of locally abundant seaweeds
as biofilters for integrated aquaculture. Aquaculture 281, 49–55.
Pesando, D., Huitorel, P., Dolcini, V., Amade, P., Girard, J.-P., 1998.
Caulerpenyne interferes with microtubuledependent events during
the first mitotic cycle of sea urchin eggs. Eur. J. Cell Biol. 77,
19–26.
Pesando, D., Lemée, R., Ferrua, C., Amade, P., Girard, J.-P., 1996. Effects of
caulerpenyne, the major toxin from Caulerpa taxifolia on
mechanisms related to sea urchin egg cleavage. Aquat. Toxicol.
35, 139–155.
Raniello, R., Mollo, E., Lorenti, M., Gavagnin, M., Buia, M.C., 2007.
Phytotoxic activity of caulerpenyne from the Mediterranean invasive
variety of Caulerpa racemosa: a potential allelochemical. Biol.
Invasions 9, 361–368.

192
SEX RATIO EFFECT OF MANDARIN FISH ( Synchiropus splendidus )
QUALITY OF EGGS

Imanuel G Pattipeilohy , Abdul Gani , A. Basir Erdy


Mariculture Ambon

ABSTRACT

Mandarin fish (Synchiropus splendidus) is a small,


brightly colored fish belonging to the family Callionymidae, the
famous in sea aquarium business. Mandarin fish is distributed
from the Pacific Ocean, Ryukyu Islands (southern Japan) to
Australia. Mandarin fish (Synchiropus splendidus) is one of the
sea water ornamental fishes which is much favored by saltwater
aquarium businessmen national and international. The
conservation efforts can be developed through cultivation . The
purpose of this research is to determine the quality of the
mandarin fish eggs with different sex ratio treatment . Percentage
degrees fertilization (FR) of the mandarin fish ranged from 75.15
% ± 22.1 % ± 18.7-79,85. Degrees conception of spawning period
in the treatment of male and female ratio of 1:1 on average 77.64
% ± 16.3 , male and female ratio of 1:2 with an average of 22.1 ±
79.85 % , and the ratio of 1:3 of males and females on average
75.15 ± 18.7%, whereas the percentage of hatching (HR) of
mandarin fish ranged between 76.5 % -81.35%. Calculation of the
data shows the average degree of hatchery spawning period of the
treatment of male and female ratio of 1:1 was 81.35 %, the male
and female ratio of 1:2 was 81.17 % , and the ratio of 1:3 of males
and 76.50 % females. Based on Chi-square test performed on the
degree of fertilization and hatching in the treatment of sex ratios
shows that x 2 count > x 2 tables. Thus, the number of males and
females of the same or more number of females than males
influence the degree of fertilization and hatching eggs mandarin
fish (Synchiropus splendidus) .

KEYWORDS : sex ratio, Synchiropus splendidus, Egg Quality

193
PENDAHULUAN
Ikan Mandarin (Synchiropus splendidus) adalah ikan kecil berwarna
cerah yang termasuk dalam famili Callionymidae, yang terkenal dalam bisnis
akuarium air laut. Ikan mandarin terdistribusi dari Samudera Pasifik,
Kepulauan Ryukyu (Jepang Selatan) hingga Australia. Ikan mandarin memiliki
garis-garis warna hijau, jingga, dan kuning, dengan warna biru menyelimuti
sekujur tubuhnya dan memiliki tubuh yang memanjang. Ikan ini biasa
memangksa krustasea kecil dan hewan invertebrata lainnya. Pembuahan ikan
mandarin di alam terjadi secara eksternal, dimana ikan betina mendekati ikan
jantan, kemudian sel telur dan sperma dilepaskan ke kolom air (Mayell, 2001).
Pemijahan merupakan proses pengeluaran sel telur oleh induk betina
dan sperma oleh induk jantan, yang kemudian diikuti dengan pembuahan.
Pemijahan sebagai salah satu aspek dari reproduksi, merupakan mata rantai dari
siklus hidup dalam menentukan kelangsungan hidup dari spesies. Pemijahan
tidak hanya tergantung dari proses gametogenesis tetapi berkaitan dengan
perilaku ikan, seperti migrasi ikan sebelum memijah, seleksi di habitatnya,
musim kawin, dan keberadaan pasangan.
Ikan Mandarin (Synchiropus splendidus) merupakan salah satu ikan hias
air laut yang banyak digemari oleh para pebisnis akuarium air laut di dalam
maupun di luar negeri.Dalam upaya pelestariannya dapat dikembangkan
melalui kegiatan budidaya dengan melakukan tahapan awal yaitu pengumpulan
induk dari alam atau domestikasi induk yang kemudian dilakukan kegiatan
pembenihan
Pembenihan ikan mandarin telah dilakukan, namun induk yang
digunakan berasal dari tangkapan alam, ukuran panjang induk jantan 5 cm dan
ukuran panjang betina 4 cm dengan kepadatan 30 sampai 50 individu ikan
mandarin dan dipelihara pada wadah berkapasitas 2 ton (Gani dkk, 2012).
Selain itu masih minimnya informasi hasil pengamatan tentang kualitas telur
(derajat pembuahan dan derajat penetasan) dan perkembangan embriogenesis
dari ikan mandarin (Synchiropus splendidus). Penyediaan induk merupakan
salah satu cara dalam proses pemijahan dengan mempertimbangkan kualitas
induk ikan tersebut. Induk yang berkualitas dapat diamati dari telur dan larva
yang dihasilkan.
Pemijahan ikan dengan rasio jantan betina berbeda pada wadah
terkontrol secara masal telah berhasil dilakukan, misalnya ikan kuda laut
(Hippocampus kuda) oleh Sukmono (2004), ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) oleh Setiadharma dkk (2008), ikan baronang (Siganus guttatus)
oleh Lante dan Palinggi (2010), dan ikan bada (Rasbora argyrotaenia) oleh
Said dan Mayasari (2010). Sementara pemijahan induk ikan mandarin
(Synchiropus splendidus) dengan menggunakan rasio jantan dan betina belum

194
dilakukan. Untuk mendapatkan kuantitas dan kualitas telur yang baik maka
perlu dilakukan penyediaan calon induk sesuai ukuran panjang dan berat.
Dengan demikian untuk melestarikan ikan mandarin (Synchiropus
splendidus) adalah melakukan pemijahan dengan rasio kelamin berbeda
terhadap kualitas telur (derajat penetasan dan derajat penetasan).

BAHAN DAN METODE


Pelaksanaan dilakukan dengan cara eksperimen, dimana induk ikan
mandarin (Synchriopus splendidus) digunakan sebagai objek pengamatan.
Panjang induk ikan ini diukur dengan milimeterblok dan berat induk ditimbang
dengan timbangan elektrik dengan tingkat ketelitian 0,0001 gr, kemudian
dipilih secara acak jenis kelaminnya melalui cara pengamatan morfologi
dimana induk jantan mempunyai sirip dorsal pertama lebih panjang dan
sebaliknya untuk induk betina. Induk yang diseleksi, dipasangkan jantan dan
betina sesuai rasio kelamin, yaitu 1:1; 1:2; dan 1:3, dan selanjutnya ditampung
sementara pada wadah plastik.
Sebelum Ikan ditempatkan pada tiga akuarium volume 100 liter
sebanyak tiga buah, terlebih dahulu akuarium disterilkan dengan kaporit
kemudian dibilas dengan air tawar sampai bau kaporit hilang, dan akuarium
diisi air laut sebanyak ± 80 liter dari volume akuarium serta memasukan selter.
Induk ikan mandarin dimasukan ke dalam masing-masing akuarium, dipelihara
pada tiga buah akuarium dengan kepadatan pada akuarium I dengan
perbandingan 1:1 sebanyak 10 individu (5 jantan : 5 betina), akuarium II
perbandingan 1:2 sebanyak 15 individu (5 jantan : 10 betina) dan akuarium III
perbandingan 1:3 sebanyak 20 individu (5 jantan : 15 betina) Akuarium
dilengkapi dengan sistem aerasi dan sistem air laut mengalir.
Pemberian pakan pada induk ikan mandarin adalah pakan hidup (artemia
salina, copepod dan cacing merah). Pemberian pakan hidup setiap hari secara
adlibitum. Pengamatan pemijahan dilakukan setiap hari, dan bila terjadi
pemijahan dilakukan pengumpulan data meliputi derajat pembuahan dan
derajat penetasan.
Telur ikan mandarin dipanen menggunakan serokan mesh zise
400 mikron, selanjutnya telur ikan dimasukkan pada gelas ukur volume 100 ml
untuk setiap perlakuan. Jumlah telur dihitung dengan cara sensus. Perhitungan
ini dibantu dengan hand counter dan senter.
Derajat pembuahan telur adalah presentase jumlah telur yang dibuahi
dari jumlah telur yang dilepas yang dapat ditentukan pada saat stadium morula
dengan formula (Sedjati, 2002) sebagai berikut:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟𝑦𝑎𝑛𝑔𝑑𝑖𝑏𝑢𝑎ℎ𝑖
𝐹𝑅 = × 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟𝑦𝑎𝑛𝑔𝑑𝑖𝑝𝑖𝑗𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛

195
Sedangkan untuk derajat penetasan (Hatching Rate) merupakan
persentase jumlah embrio yang menetas dari jumlah yang telah dibuahi.
Perhitungan Hatching Rate (HR) menggunakan formula yang dikemukakan
oleh Sedjati, (2002) sebagai berikut:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑒𝑚𝑏𝑟𝑖𝑜𝑦𝑎𝑛𝑔𝑚𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑠
𝐻𝑅 = × 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟𝑦𝑎𝑛𝑔𝑑𝑖𝑏𝑢𝑎ℎ𝑖
Metode yang digunakan dalam analisa data untuk menilai pengaruh
rasio induk jantan betina terhadap Pembuahan telur adalah uji Chi-Square
(Elliot, 1977 dalam Khouw, 2009), dengan formula sebagai berikut:

𝑟 𝑘
2
(𝑂𝑖𝑗– 𝐸𝑖𝑗)2
𝑥 =
𝐸𝑖𝑗
𝑖=1 𝑗 =1
dimana:
Oij = Jumlah data yang diobservasi yang dikategorikan dalam baris
ke-i dan kolom ke-j
Eij = Jumlah data yang diharapkan yang dikategorikan dalam baris
ke-i dan kolom ke-j
k = Jumlah kolom
r = Jumlah baris

HASIL DAN PEMBAHASAN


Derajat Pembuahan (Fertilisasi)
Derajat pembuahan sering digunakan sebagai parameter untuk
mendeteksi kualitas telur. Telur ikan mandarin hasil ovulasi menunjukan ciri-
ciri berwarna bening transparan dan mengapung pada permukaan air, serta
menggumpul atau membentuk rantai. Telur hasil ovulasi dari ketiga perlakuan
setelah diinkubasi sampai pada fase morula menunjukan terdapat perbedaan
presentasi derajat pembuahan. Presentase derajat pembuahan (FR) dari ikan
mandarin berkisar antara 75,15% ±18.7-79,85% ±22.1. Hasil perhitungan
menunjukan derajat pembuahan dari periode pemijahan pada perlakuan rasio
jantan dan betina 1:1 rata-rata 77.64% ±16.3, rasio jantan dan betina 1:2 dengan
rata-rata 79.85% ±22.1, dan rasio jantan dan betina 1:3 rata-rata 75.15% ±18.7.
Berdasarkan Uji Chi-square yang dilakukan terhadap derajat pembuahan pada
perlakuan kelamin menunjukan bahwa 𝑥 2 hitung >𝑥 2 tabel.
Dengan demikian, jumlah jantan dan betina yang sama atau jumlah
betina lebih banyak dari jantan mempengaruhi derajat pembuahan. Hal ini
disebabkan ikan mandarin dialam mempunyai kebiasaan berpasangan dalam
melakukan pemijahan alami tetapi dalam wadah terkontrol. Selain itu sifat ikan

196
jantan, adalah polygynandrous yaitu dapat melakukan pemijahan dengan
beberapa induk betina dalam semalam.
Hasil pengamatan dari telur ikan mandarin selama proses fertilisasi
berjalan terlihat adanya lapisan korion dan terbentuknya ruang perivetiline
sedangkan untuk selaput veteline dan selaput plasma tersebut tidak nampak
(gambar 1).

Gambar 1. Telur ikan mandarin terbuai

Nilai FR dari ikan mandarin tertinggi didapatkan pada perlakuan rasio


jantan betina 1:2, berkisar yaitu sebesar 79.85% ±22.1. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan satu induk jantan untuk memijah dalam semalam dengan dua
betina. Selain itu diduga keberhasilan pembuahan telur ikan mandarin
(Synchiropus splendidus) dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas sperma yang
dikeluarkan oleh ikan jantan. Semakin banyak spermatozoa yang dikeluarkan
maka kesempatan spermatozoa untuk dapat menjangkau sel telur. Sperma yang
berkualitas memiliki zat androgamone I dikeluarkan oleh sperma untuk
menekan aktivitas spermatozoa pada saat masih di dalam saluran genital ikan
jantan (Fujaya, 2008).
Tinggi dan rendah nilai derajat pembuahan telur ikan mandarin
(Synchiropus splendidus) dapat diakibatkan oleh faktor fisiologi dan faktor
lingkungan. Said dan Mayasari (2007), menyatakan bahwa fertilisasi ikan
pelangi Sulawesi (Marosatheria ladigesi) dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti kepadatan, dan jumlah individu jantan (rasio kelamin). Yustina dan
Darmawati (2003), menyatakan bahwa keberhasilan fertilisasi juga tergantung
dari periode ejakulasi sperma (mijah) dan kemampuan sperma bersaing untuk
membuahi telur serta peluang fertilisasi dipengaruhi oleh perilaku anatomi dan
fisiologi ikan jantan.
Dari hasil pengamatan yang diperoleh bahwa ukuran panjang induk
jantan pada rasio 1:1 berkisar 4,3–4,8 ±0,23 cm dan ukuran panjang induk
betina berkisar 3,2-3,4 ±0,08 cm dengan presentase derajat pembuahan 77,64%
±16,3. Presentase derajat pembuahan pada rasio 1:2 adalah 79,85% ±22,1

197
dengan ukuran panjang induk jantan yang digunakan berkisar 4,3-4,9 ±0,22 cm
dan panjang induk betina berkisar 3-3,6 ±0,18 cm. Presentase derajat
pembuahan pada rasio 1:3 dengan ukuran panjang induk jantan berkisar 4,6-
4,9 ±0,11 cm dan panjang induk betina berkisar 3-3,7 ±0,21 cm adalah 75,15%
±18,7 dengan demikian hubungan ukuran panjang induk jantan dan betina dari
ketiga perlakuan bervariasi menghasilkan presentase derajat pembuahan yang
bervariasi juga serta kepadatan induk betina untuk masing-masing perlakuan
berbeda dengan jumlah jantan sama. Selain itu media pemeliharaan yang
digunakan berukuran 80 liter serta pakan yang diberikan bervariasi menunjukan
terjadinya pemijahan induk ikan mandarin. Nilai derajat pembuahan sangat
dipengaruhi oleh kemampuan sperma untuk membuahi telur. Kualitas sperma
yang baik dengan indikasi dapat membuahi sel telur yang dilepaskan oleh
betina dalam waktu yang relative singkat sebelum sperma bersifat immotile.
Effendi (1997), menyatakan bahwa spermatozoa motil pada saat
bercampur dengan air yakni 1-2 menit setelah dikeluarkan dari tubuh. Menurut
Sumarianto (2006), bahwa nilai derajat pembuahan ikan buta (Astyanax
fasciatus) 60.5%-63%, sedangkan derajat pembuahaan ikan mandarin
(Synchiropus splendidus) sebesar 75.15%-79.85%. Hal ini disebabkan telur
ikan buta bersifat menempel sedangkan telur ikan mandarin bersifat
mengapung, selain itu dipengaruhi juga oleh spesies.
Rata–rata persentase fertilisasi ikan mandarin selama pengamatan, yaitu
sebesar 77,55%. Hal ini menunjukan bahwa kualitas dan jumlah sperma
cukup baik untuk membuahi telur. Telur yang terfertilisasi dapat diamati dari
warna telur yang bening.Dengan demikian, dari hasil yang diperoleh dapat
dikatakan bahwa derajat pembuahan terbaik pada rasio jantan dan betina 1:2.
Fakta ini mengindikasikan induk jantan ikan mandarin menghasilkan sperma
yang mampu membuahi telur yang dihasilkan oleh dua individu ikan mandarin
betina dalam semalam atau selama musim pemijahan.

Derajat Penetasan
Dalam menentukan kualitas telur yang baik, tidak hanya dapat diamati
melalui derajat pembuahan, namun dapat diamati juga dari derajat penetasan
telur. Hal ini karena penetasan telur merupakan hasil akhir dari masa inkubasi.
Dari hasil pengamatan telur ikan mandarin (Synchiropussplendidus), sebelum
menetas telur menunjukan perubahan penampakan pada cangkangnya yaitu dari
warna bening berubah menjadi kusut (gambar 2). Perubahan penampakan ini
diduga dari kerjanya enzim khorionase yang mengakibatkan lapisan korin
menjadi lunak. Menurut Fitriliyani (2005), menyatakan bahwa pada waktu telur
ikan akan menetas kekerasan lapisan korion akan menurun.
Telur dari ketiga perlakuan setelah diinkubasi selama kurang lebih tiga
belas jam sepuluh menit sampai empat belas jam setelah pemijahan

198
menunjukan adanya perbedaan. Presentase derajat penetasan (HR) dari ikan
mandarin berkisar antara 76,5%-81,35%. Dari data perhitungan menunjukan
rata-rata derajat penetasan dari periode pemijahan dari perlakuan rasio jantan
dan betina 1:1 sebesar 81.35%, rasio jantan dan betina 1:2 sebesar 81.17%, dan
rasio jantan dan betina 1:3 sebesar 76.50%. Berdasarkan Uji Chi-square yang
dilakukan terhadap derajat penetasan pada perlakuan rasio kelamin menunjukan
bahwa 𝑥 2 hitung >𝑥 2 tabel. Dengan demikian, jumlah jantan dan betina yang
sama atau jumlah betina lebih banyak dari jantan mempengaruhi terhadap
derajat penetasan telur ikan mandarin. Pada perlakuan 1:1 menunjukan derajat
tetas yang tertinggi, Hal ini karena pemijahan yang terjadi pada rasio jantan dan
betina 1:1 tidak kontinyu dibanding perlakuan 1:2 dan 1:3, sehingga diduga
kualitas sperma dan telur sangat baik serta kuantitas sperma untuk membuahi
telur yang dikeluarkan oleh induk betina. Selain itu, dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, yaitu suhu dan intensitas cahaya pada media penetasan.
Derajat penetasan telur ikan mandarin (Synchiropus splendidus) cukup
tinggi dibanding dengan ikan bada (Rasbora argyotaenia) dengan derajat
penetasan 60.61% (Said dan Mayasari, 2010).Hijriyati (2012), menyatakan
bahwa derajat penetasan dengan kisaran 30%-50% adalah derajat penetasan
yang rendah. Rendah daya tetas diduga disebabkan oleh guncangan air sewaktu
telur dipanen. Terjadinya penetesan telur ikan mandarin diduga dipengaruhi
oleh kualitas air antara lain suhu dan intensitas cahaya matahari pada media
penetasan serta dipengaruhi juga oleh salinitas, oksigen terlarut dan pH (Tabel
1.).
Tabel 1. Rata-rata Kualitas air Suhu, Oksigen terlarut, Salinitas dan
pH

Salinia
Perla Suhu DO tas (‰) pH
kuan (°C) (mg/l)
1:1 29.3 4.20 30 8.3
1:2 29.2 3.22 30.9 8.4
1:3 29.2 3.37 31.9 8.4

Rata-rata kualitas air pada media pemeliharaan menunjukan suhu,


salinitas dan pH air laut untuk ketiga perlakuan seragam, sedangkan DO
menunjukan bervariasi untuk ketiga perlakuan, hal ini diduga karena
pengunaan aerasi tidak merata pada masing-masing akuarium, selain itu jumlah
populasi induk pada rasio 1:1 (10 individu) bila dibandingkan dengan rasio 1:2
dan 1:3 sehingga kebutuhan oksigen lebih banyak. Dari hasil pengamatan
menunjukan bahwa suhu optimum penetasan telur ikan mandarin berkisar
antara 27°C-29°C dengan lama waktu penetasan tiga belas jam sepuluh menit

199
setelah pemijahan, sedangkan pada suhu 25°C telur ikan mandarin menetas
lebih lama dengan waktu empat belas jam setelah pemijahan. Hal ini diduga
bahwa pada suhu tinggi akan memacu enzim khorionase bekerja lebih cepat
untuk melunakan lapisan khorion. Selain itu peningkatan suhu menyebabkan
proses metabolisme lebih cepat. Telur yang tidak menetas diduga karena
adanya fluktuasi suhu di pagi hari pada wadah inkubasi yang dipengaruhi oleh
intensitas cahaya matahari, yang mengakibatkan kenaikan suhu pada media
penetasan lebih cepat. Suhu pada media inkubasi pada malam hari setelah
pemijahan rata-rata 27°C kemudian turun pada pagi hari 25°C, dan menjelang
menetas suhu naik 29°C, selain itu fluktuasi suhu juga dapat mengakibatkan
kerusakan benang-benang spindel yang terbentuk saat proses pembelahan sel
dalam telur. Muktidkk. (2009) menyatakan bahwa kenaikan suhu dan densitas
air dapat merusak mikrotubulus yang membentuk spindel selama pembelahan.
Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan.
Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bergantung pada suhu, salinitas,
turbulensi air dan tekanan atmosfir (Effendi, 2003). Semakin besar suhu
dan semakin tinggi tekanan atmosfir, maka kadar oksigen terlarut semakin
kecil (Ardias, 2008). Hal ini dinyatakan juga oleh Nugraha dkk (2012), yang
memperoleh hasil bahwa suhu optimum daya tetas ikan black ghost
(Apteronotus albifrons) 26°C. Selanjutnya dikatakan bahwa akibat kenaikan
suhu, maka semakin rendah oksigen terlarut.
Melalui hasil pengamatan dan uraian yang telah dikemukakan dapat
dikatakan bahwa derajat penetasan telur ikan mandarin untuk ketiga perlakuan
cukup tinggi, tetapi yang terbaik pada perlakuan dengan rasio jantan dan betina
1:1. Fakta ini mengindikasikan proses pemijahan terjadi secara temporal
sehingga sperma dan telur yang dihasilkan dan kualitas telur ikan mandarin
dapat menetas dengan suhu air 25°C – 29°C.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka
dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Jumlah jantan dan betina yang sama atau jumlah betina lebih banyak dari
jantan mempengaruhi kualitas telur
2. Presentase derajat pembuahan telur ikan mandarin berkisar 75,15% ±18.7 -
79,85% ±22.1 dan derajat penetasan untuk ketiga perlakuan berkisar
76,5%-81,35%.
3. Telur ikan mandarin membutuhkan waktu inkubasi 13-14 jam dengan suhu
berkisar 25°C - 29°C

200
DAFTAR PUSTAKA

Effendi. M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan, Yayasan Dewi Sri Bogor.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta
Fitriliyani I, 2005., Pembesaran larva ikan gabus (Channa striata) dan
efektifitas induksi hormon gonadotropin untuk pemijahan induk. Tesis
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Fujaya Y, 2008., Fisiologi Ikan. Dasar pengembangan teknik perikanan.
Diterbitkan PT Rineka Cipta, Jakarta ISBN: 979-518-866-6.
Gani A, Herlina T, Erdy Asmaul Basir dan Agus Darmawan, 2012.,
Pembenihan Ikan Hias Laut Mandarin Fish (Synchiropus splendidus)
Skala Rumah Tangga. Jurnal Teknologi Budidaya Laut. Volume: 2
Tahun 2012, ISSN. 2089-3728
Hijriyati. K. H., 2012. Kualitas telur dan perkembangan awal larva ikan kerapu
bebek (Cromiliptes altivelis, Valenciennes (1928)). Di desa air saga,
tanjung pandan, Belitung. Tesis. Program Studi Magister Ilmu
Kelautan Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Indonesia.
Khouw A. S., 2009., Metode dan Analisa kuantitatif dalam Bioekologi Laut.
Diterbitkan oleh Pusat pembelajaran dan pengembangan pesisir dan
laut (P4L). ISBN: 978-979-16730-8-2
Lante S. dan N. N. Palinggi, 2010., Pematangan gonad dan pemijahan beronang
(Siganus guttatus) dengan ratio jantan dan betina yang berbeda.
Prosiding forum inovasi technology akuakultur.
Mayell H, 2001., Tiny mandarin fish reveal surprisingly complex spawning
ritual.
(http://news.nationalgeographic.com/news/2001/04/0423_mandarinfis
h.hl) 27 April 2001.
Mukti A. T., H. Arsianingtyas dan S. Subekti. 2009. Pengaruh kejutan suhu
panas dan lama waktu setelah pembuahan terhadap daya tetas dan
abnormalitas larva ikan nila (Oreochromis niloticus). Jurnal ilamiah
perikanan dan kelautan. Vol 1, No 2, November 2009.
Nugraha D, M. N. Supardio dan Subiyanto. 2012. Pengaruh perbedaan suhu
terhadap perkembangan embrio, daya tetas telur dan kecepatan
peneyerapan kuning telur ikan black ghost (Apteronotus albifrons)
pada skala laboratorium. Jurnal Penelitian Manajemen Aquaculture.
Volume 1, No 1, Tahun 2012, Hal 1-6
Said, D.S dan N. Mayasari. 2007. Reproduksi dan pertumbuhan ikan
Marosatherina ladigesi pada rasio kelmain berbeda. Jurnal
Aquaculture Indonesia Vol 8(1) 2007.

201
Said, D. S dan N. Mayasari, 2010., Pertumbuhan dan pola reproduksi ikan bada
(Rasbora argyrotaenia) pada rasio kelamin yang berbeda. LIMNOTEK
(2010) 17 (2): 201-209.
Setiadharma, T. A. Prijono, N. A. Giri dan Trijoko. 2008. Manajemen pakan
induk kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) untuk peningkatan
pemijahan dan kualitas telur.
Sedjati, I.F. 2002. Embriogenesis dan perkembangan larva ikan redfin shark
(Labeo erythropterus C.V). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan
Fakuktas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Sukmono, T. 2004., Studi perilaku kawin kuda laut (Hippocampus kuda) di
Balai Budidaya Laut Lampung. Jurnal iktiologi Indonesia, volume 4
nomor 2.
Sumarianto, A. 2006. Embriogenesis ikan buat (Astyanax fasciatus). Skripsi.
Program Studi Teknologi Manajemen Akuakultur Departemen
Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.
Yustina, A dan Darmawati. 2003. Daya tetas dan laju pertumbuhan larva ikan
hias Betta splendes di habitat buatan. Jurnal Natural Indonesia 5(2):
129-132 (2003). ISSN 1410-9379.

202
PENERAPAN VAKSIN DNA GLIKOPROTEIN-KOI HERPES VIRUS
(Gp-KHV) PADA BENIH CALON INDUK DAN BENIH SEBAR KOI

A. Santika, Y. Mundayana, Ciptoroso, M. Mawardi, S. Hanif, Z. Zainun dan


Suroso
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi

ABSTRAK
Vaksinasi merupakan tindakan untuk memicu sistem pertahanan
tubuh secara spesifik terhadap antigen yang memicunya. Pemberian
vaksinasi dalam kegiatan budidaya ikan terbukti efektif untuk
mendukung proses produksi. Sejak tahun 2010 Inovasi vaksin DNA
Gp-KHV untuk ikan mas telah meningkatkan sintasan pemeliharaan
antara 85-90% pada kondisi uji lapang terbatas. Penerapan vaksin DNA
KHV pada ikan koi telah dilakukan pula pada TA 2013,meliputi: (1) Uji
efikasi vaksin pada koi skala lab; (2) Penerapan vaksin pada calin dan
benih sebar koi. Kegiatan mencakup produksi vaksin, adaptasi ikan
benih, uji efikasi vaksin dan aplikasi vaksin pada benih sebar dan calon
induk. Produksi bahan vaksin meliputi kultur masal glikoprotein-KHV,
pelleting, inaktivasi bakteri glikoprotein KHV, dan isolasi plasmid.Hasil
produksi vaksin selanjutnya digunakan untuk uji efikasi vaksin
menggunakan metoda perendaman; Penerapan vaksin tersebut
selanjutnya diaplikasikan pula pada pada calon induk dan benih sebar
menggunakan metoda injeksi dan perendaman.
Produksi bahan vaksin KHV berupa pellet berisi glikoprotein-
KHV yang dihasilkan sebanyak 1.450 g, dimana dari jumlah tersebut
diproduksi vaksin dalam bentuk plasmid DNA glikoprotein-KHV
sebanyak 25.400 dosis, dan 624.155 dosis vaksin glikoprotein-KHV
bentuk pellet. Berdasarkan uji efikasi menunjukan bahwa, terjadi
peningkatan respon imunitas pada ikan yang koi yang divaksin, ditandai
oleh peningkatan leukosit dan indeks fagositosis; Respon imun yang
lebih baik pada ikan yang divaksin (suspensi pellet Gp-KHV) mampu
meningkatan kekebalan ikan koi terhadap infeksi KHVsehingga mampu
meningkatkansintasan ikan yang divaksin sebesar 76,67% pasca uji
tantang oleh KHV (Sintasan ikan non vaksin 26,67%). Aplikasi vasin
DNA Gp-KHV dalam bentuk plasmid telah dilakukan pada 2.849 ekor
calon induk ikan koi. Sementaran itu penerapan vaksin yang sama dalam
bentuk rendaman suspensi E. coli yang berisi glikoprotein-KHV telah
diplikasikan pada 50.900 ekor benih sebar koi.

KATA KUNCI : Koi; Vaksin DNA ; Imunitas

203
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan produksi budidaya perlu didukung oleh ketersediaan
jumlah induk yang memadai. Selain itu kondisi kesehatan induk sangat penting
untuk menghasilkan benih yang sehat dalam kegiatan budidaya. Serangan
patogen merupakan salah satu kendala dalam penyediaan induk.
Serangan penyakit masih merupakan kendala bagi budidaya ikan air
tawar. Salah satunya adalah Koi herpesvirus (KHV) yang menyerang ikan
mas dan koi yang dapat menyebabkan kematian ikan 50-90%. Hingga kini,
kendala tersebut belum mampu diatasi sehingga upaya pemulihan kegiatan
budidaya dan produksi ikan mas maupun koi masih terkendala sampai saat ini.
Mengingat permasalahan tersebut, maka diperlukan benih yang sehat dan
tahan terhadap KHV untuk mendukung keberhasilan produksi calon induk.
Salah satu upaya untuk meningkatkandaya tahan ikan terhadap KHV secara
spesifik adalah melalui vaksinasi.
Vaksinasi merupakan tindakan memasukkan antigen (yang dilemahkan)
ke dalam tubuh ikan untuk memicu sistem pertahanan tubuh secara spesifik
terhadap antigen yang memicunya. Melalui pemberian vaksin diharapkan ikan
mempunyai kekebalan spesifik terhadap patogen tertentu. Pemberian vaksinasi
dalam kegiatan budidaya ikan terbukti efektif untuk mendukung proses
produksi. Sejak tahun 2010, Inovasi dan aplikasi vaksin dalam kegiatan
akuakultur telah dilakukan di BBPBAT Sukabumi. Inovasi vaksin DNA
glikoprotein-KHV (Gp-KHV) untuk ikan mas pada skala lapang terbatas di
BBPBAT Sukabumi terbukti mampu meningkatkan sintasan pemeliharaan
antara 85-90%.
Pada Tahun Anggaran 2013 penerapan vaksin GP-KHVdilakukan untuk
mendukung produksi benih calon induk koi yang sehat. Penerapan vaksinasi
tersebut meliputi : (1) Uji efikasi vaksin pada koi skala lab. Dan (2) Penerapan
vaksin pada benih sebar ikan koi. Tujuannya meningkatkan daya tahan spesifik
benih sebar dan benih calon Induk Ikan koi melalui penerapan vaksin
glikoprotein-KHV.

BAHAN DAN METODE


Kegiatan dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan &Karantina Ikan,
kolam pendederan, BBPBAT Sukabumi dan kolam pendederan binaan
BBPBAT Sukabumi, dari Bulan Januari hingga Bulan Desember 2013.
Bahan utama yang digunakan dalam pengujian ini meliputi benih sebar
dan benih calon induk ikan koi dan bahan vaksin glikoprotein-KHV serta kit
Isolasi plasmid.
Peralatan yang digunakan meliputi peralatan laboratorium (mikroskop,
mesin PCR, peralatan analisis darah), peralatan perikanan, peralatan packing,

204
instalasi aerasi, sejumlah wadah pemeliharaan meliputi: bak beton/bak fiber
dengan sistem air mengalir, serta kolam air tenang.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil produksi vaksin
Berdasarkan hasil kegiatan pengujian pada TA. 2012, vaksin DNA
Glikoprotein-KHV (Gp-KHV) dapat digunakan dalam dua bentuk yaitu: (1)
bentuk plasmid murni glikoprotein-KHV dan (2) bentuk sediaan pellet E. coli
mengandung glikoprotein-KHV. Sediaan bentuk plasmid mempunyai berhasil
mempertahankan sintasan pemeliharaan calon induk 81,5-93,2% (Santika et al.,
2011) sedangkan bentuk pellet E. coli Gp-KHV berdasarkan pengujian TA.
2012 mampu meningkatkan sintasan 75-80% (Santika et al., 2012).
Berdasarkan hasil tersebut, maka kedua bentuk sediaan vaksin KHVtersebut
direkomendasikan untuk diaplikasikan lebih lanjut
Produksi pellet E coliGp-KHV yang dihasilkan sangat terkait dengan
jumlah bahan dan kapasitas produksi alat utama (shacker incubator) serta
peralatan penunjang lainnya. Saat ini kapasitas produksi pellet E.coli 150-180
g/ bulan. Hingga Bulan Desember 2013 telah dihasilkan sejumlah bahan
vaksin KHV berupa pellet berisi glikoprotein-KHV sebanyak 1.450 g. Hasil
pellet E.coli sebagian diproses (ekstraksi dan diisolasi plasmid) hingga menjadi
vaksin bentuk plasmid (DNA Gp-KHV murni). Adapunyang lainnya
digunakan dan disimpan untuk penggunaan vaksin dalam bentuk pellet E. coli.
Produksi plasmid murni DNA glikoprotein-KHV pada TA 2013
sebanyak 25.400 dosis vaksin dalam bentuk plasmid, dan 624.155 dosis vaksin
glikoprotein-KHV bentuk pellet. Pemanfaatan vaksin dalam bentuk plasmid
untuk mendukung kegiatan produksi calon induk ikan mas (Kegiatan
Kelompok Kerja Ikan Mas) sebanyak 20.156dosis dan 5.224 dosis lainnya
disimpan di Laboratorium Kesehatan ikan BBPBAT Sukabumi. Sedangkan
untuk bentuk pellet bakteri telah digunakan 159.155 dosis. Rincian jumlah
produksi vaksin yang dihasilkan tertera pada Tabel 1.

205
Tabel 1. Rekapitulasi Produksi Vaksin Glikoprotein-KHV (Gp-KHV)
Tahun 2013
JENIS VAKSIN Jumlah Kondisi Stok Total
Pemakaian Desember Produksi
Vaksin (dosis) 2013 (dosis) (dosis)
a. Bentuk 25.4
plasmid DNA Gp-KHV 20.156 5.244 00
b. Bentuk pellet 460.00 624.
E. Coli : DNA Gp-KHV 159.155 0 155

Uji efikasi vaksin DNA Glikoprotein KHV (DNA Gp-KHV) pada benih
ikan koi metoda perendaman

Kondisi kesehatan ikan benih ikan koi sebelum digunakan untuk vaksinasi
Benih ikan koi yang digunakan merupakan benih sebar. Sebelum
divaksin, ikan tersebut diadaptasikan terlebih dahulu dalam bak fiber selama 2
minggu hingga diperoleh ikan yang benar-benar sehat. Ikan yang akan
digunakan pengujian, dilakukan pemeriksaan KHV dengan PCR (metode Gray
et al. 2002). Hasil uji PCR menunjukkan status ikan uji adalah negatif KHV
(Gambar 1).

M Aw1 Aw2 Aw3 M1.1 M1.2 M1.3 M2.1 M2.2 M2.3 K (-) K(-) K(+)

290 bp

Gambar 1
Profil gel elektroforesis hasil deteksi Koi Herpes Virus (KHV) dari
benih ikan koi sebelum uji efikasi vaksin: Status Awal (Aw1-Aw3), satu
minggu setelah adaptasi (M1.1-M1.3), dua minggu setelah adaptasi (M2.1-
M2.3) menunjukkan ikan tidak terinfeksi KHV; M = marker DNA; K (-) dan K
(+) 8 merupakan kontrol negatif dan positif. Pengambilan sampel insang
berasal dari 5 ekor ikan dipool menjadi satu untuk kemudian diproses untuk
pemeriksaan dengan metoda PCR.

206
Respon imunitas ikan koi hasil vaksinasi
Hasil uji efikasi vaksin dapat dievaluasi melalui respon peningkatan
daya tahan tubuh. Respon daya tahan tubuh yang diamati meliputi total
leukosit dan indeks fagositosis.

Total leukosit
Hasil pengamatan rataan total leukosit pada masing-masing perlakuan
tertera pada Tabel 1, dimana total leukosit pada perlakuan Vaksinasi (A)
sebesar 23.450-60.450sel/mm3, sedangkan pada Kontrol (B) sebesar 16.550-
39.550 sel/mm3. Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa total leukosit pada
perlakuan vaksin lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian vaksin bersifat imunogenik sehingga berhasil meningkatkan
respon pertahanan selular ikan berupa peningkatan sel leukosit. Pola perubahan
nilai leukosit selama masa vaksinasi dan uji tantang terlihat pada Gambar 2.

Tabel 1.Rataan totah sel leukosit (sel/mm3)selama kegiatan perekayasaan


Masa Inkubasi Ma
A /pemeliharaan sa Uji
Pe wal (pasca vaksinasi) tantang
rlakuan U h Hari hari Ha
langan ari ke-0 ke-30 hari ke-45 ri ke- 66
A: 2 604 50
Vaksin 1 8150 42300 50 100
2 553 38
2 5500 50350 50 300
2 502 42
3 3450 45600 50 750
R 2 46083, 553 43
ataan 5700,0 3 50,0 716,7
B: 2 328 22
Kontrol 1 6200 29800 00 300
2 395 16
2 9550 35200 50 550
2 359 21
3 2750 27500 50 050
R 2 30833, 361 19
ataan 6166,7 3 00,0 966,7

207
60000

Total leukosit (sel/mm3)


55350
50000
46083 43716
40000
36100
30000 30833 A
25700 (Vaksi…
20000 26166 19966
10000
Induksi imunitas Uji tantang
0
Awal 30 hari 45 hari 66hari
Pengamatan hari ke-

Gambar 2. Pola Perubahan Nilai Total Leukosit Selama Masa


Vaksinasi dan Uji tantang

Gambar 2, memperlihatkan bahwa pada hari ke-45 (masa inkubasi),


secara umum terjadi peningkatan total leukosit yang nyata baik pada perlakuan
vaksinasi (A) maupun B (tanpa vaksinasi). Namun peningkatan nilai rataan
leukosit pada perlakuan A (vaksinasi) sebesar 55.350 sel/mm3, jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol sebesar 36.100 sel/mm3(P< 0,05). Selanjutnya
setelah uji tantang di Lab(pada hari ke-66 pasca vaksinasi), terjadi penurunan
leukosit baik pada ikan yang divaksin maupun kontrol. Total leukosit pada
perlakuan vaksinasi (A) setelah uji tantang sebesar 43.716 sel/mm3, sedangkan
pada control sebesar 19.966 sel/mm3. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat
uji tantang di laboratorium telah terjadi infeksi KHV secara kuat, dimana pada
ikan kontrol terjadi infeksi yang parah hingga menyebabkan penurunan
leukosit secara drastis. Sebaliknya pada ikan yang divaksin infeksi yang terjadi
direspon secara baik, dimana bahan imunogenik dari vaksin memberikan efek
memori (Ellis, 2001), sehingga mampu meningkatkan kembali jumlah leukosit
pada perlakuan vaksinasi (A).
Berdasarkan data yang diperoleh,mekanisme pembentukan tanggap
kebal terhadap KHV telah terjadi pada ikan yang divaksin. Vaksin yang
diinjeksikan (plasmid yang berisi glikoprotein-KHV) akan menyisip ke dalam
sel, dan sel tersebut kemudian akan menjadi ‖mesin‖ untuk memproduksi
glikoprotein-KHV (sesuai dengan yang ada di plasmid). Glikoprotein-KHV
yang diproduksi akan terdeteksi oleh sistem imun tubuh dan dikenalisebagai
protein/glikoprotein asing yang masuk ke dalam tubuh.Langkah selanjutnya
sistem imun tubuh akan memberikan reaksi dengan membentuk antibodi yang
homolog (anti KHV) (Nuryati, 2009; Lorenzon & La Patra 2005). Pada
208
pengujian yang dilakukan sifat imunogenik dari bahan vaksin berupa
glikoprotein-KHV mampu memicu sistem imun ikan berupa peningkatan
leukosit yang lebih tinggi pada ikan yang divaksinasi. Jumlah sel leukosit yang
relatif bertahan setelah uji tantang terjadinya (hari ke-66), menunjukkan bahwa
memori pada sistem imun ikan mampu berperan mempertahankan respon
imunitas selular, yang selanjutnya akan memicu untuk respon pertahanan
spesifik (antibodi) terhadap KHV(Kresno, 2003).Penurunan respon leukosit
pada ikan yang divaksin terjadi setelah uji tantang KHV di laboratorium,
namun nilai leukosit yang ada masih relatif tinggi (43.716 sel/mm3).Sebaliknya
pada ikan kontrol nilai leukosit menurun hingga 19.966 sel/mm3, hal ini
menggambarkan respon pertahanan ikan tidak mampu mengatasi serangan
KHV.

Indeks fagositosis
Hasil pengamatan indek fagositosis tertera pada Tabel 2, pada perlakuan
vaksinasi A dan kontrolsecara berturut-turut adalah 9-32% dan 5-18%. Pola
perubahan indek fagositosis selama masa vaksinasi dan uji tantang terlihat pada
Gambar 3.

Tabel 2. Indek fagositosis (%) selama perekayasaan


Masa
Inkubasi/pemeliharaan(pasca Masa Uji
Awal vaksinasi) tantang
Perlakuan Hari ke-30
Ulangan hari ke-0 hari hari ke-45 hari ke-66
A: Vaksin 1 9 21 28 24
2 10 20 32 21
3 13 18 35 25
Rataan 10,67 19,67 31,67 23,33
B:
Kontrol 1 12 14 18 9
2 8 10 11 5
3 9 13 16 6
Rataan 9,67 12,33 15,00 6,67

209
35

Indeks fagositosis (%)


31.7
30
25
23.3
20 19.7
15 15 A
12.3 (Vaksi…
10 10.7
9.7 6.7
5
Induksi imunitas Uji tantang
0
Awal 30 hari 45 hari 65 hari
Pengamatan hari ke-

Gambar 3. Pola Perubahan Persentase Indek Fagositosis Selama


Masa Vaksinasi dan Uji Tantang.

Fagositosis merupakan pertahanan pertama dari respon selular dilakukan


oleh monosit/makrofag dan granulosit (Kollner dan Kotterba 2002); Fagositosis
merupakan bagian paling kuat dan penting dari sistem pertahanan tubuh yang
dapat beroperasi segera (tanpa penundaan) dalam melawan invasi
mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Berdasarkan Gambar 3, terlihat
bahwa aktivitas fagositosis mengalami peningkatan setelah proses vaksinasi
(hari ke-30 dan ke-45). Peningkatan pola aktivitas fagositosis ini relatif sejalan
fungsi peningkatan total leukosit, dimana sel-sel leukosit berupa
monosit/makrofag, granulosit, maupun sel B (limfosit) berperan sebagai sel
fagosit; Sirkulasi sel darah putih (monosit/makrofag, dan granulosit) akan
membentuk suatu kesatuan jaringan pertahanan yang mampu mengeliminasi
berbagai patogen penyerang dan sekresinya, melalui fagositosis tanpa suatu
aktivasi awal. Proses fagositosis meliputi pengenalan material yang akan
dieliminir, tahap kemotaksis, tahap perlekatan, tahap penguraian sel dan
melakukan digesti internal dengan beberapa mekanisme antimikrobial(Kollner
dan Kotterba 2002)
Gambar 3 memperlihatkan bahwa penurunan respon fagositosis pada
ikan yang divaksin terjadi setelah proses uji tantang, namun nilainya masih
relatif tinggi untuk perlakuan A: vaksin yaitu23,33%); Sebaliknya pada ikan
non vaksin nilai indeks fagositosis menurun hingga 6,67%, menggambarkan
respon pertahanan ikan tidak mampu mengatasi serangan KHV. Berdasarkan
data-data tersebut tercatat bahwa respon fagositosis pada perlakuan vaksinasi
secara umum memberikan respon lebih baik dibandingkan dengan tanpa

210
vaksinasi; Pada perlakuan vaksinasi respon pertahanan tubuh ikan mampu
mempertahankan nilai indek fagositosis sehingga lebih mampubertahan dalam
menghadapi infeksi KHV yang terjadi.

Gejala klinis
Hasil pengamatan tingkah laku dan gejala klinis pada kelompok ikan
yang divaksin selama masa proses induksi kekebalan tubuh awal proses
vaksinasi hingga bulan hari ke-45(pasca vaksinasi) terlihat bahwa secara umum
dapat dikatakan cukup sehat dan normal. Kondisi yang sama terjadi pula pada
kelompok ikan kontrol selama periode tersebut semuanya tampak sehat dan
normal.
Setelah melewati masa induksi kekebalan selama 45 hari, selanjutnya
ikan diujiketahanannya dengan cara diinjeksidengan KHV hasil pengganasan,
pada kondisi laboratorium(periode uji tantang 21 hari). Hasil pengamatan
gejala klinis dan tingkah laku terhadapikan yang terinfeksi menunjukkan
tingkah laku abnormal seperti nafsu makan menurun, lemah, berenang tidak
terarah, dan megap-megap (umumnya terjadi 5-7 hari setelah injeksi KHV).
Gejala klinis infeksi KHV terutama teramati pada kelompok ikan kontrol/non
vaksin. Beberapa gejala klinis yang teramati meliputi: Pendarahan di sekitar
mata, mulut dan operculum (Gambar 4.K1); Perubahan warna tubuh disertai
pendarahan pada bagian sirip (Gambar4.K1); Kerusakan pada lamella insang,
pendarahan, nekrosa dan akhirnya membusuk (Gambar 4.K2).Mata terlihat
cekung mengalami pendarahan, terdapat ekses lendir, kulit melepuh, serta
geripis pada ujung sirip (Gambar 4.K1). Sebaliknya pada ikan yang divaksin
walaupun sejumlah 23,33% dari populasi mati, namun sebagian besar ikan
kondisinya relatif sehat (Gambar 4. V1 dan 4.V2).

Gambar 4. Gambaran gejala klinis ikan mas yang terinfeksi Koi Herpes
Virus (KHV) saat uji tantang di laboratorium; Ikan bervaksin
yang selamat dari uji tantang tampak menunjukan kondisi tubuh
relatif sehat (V1, V2). Sebaliknya pada ikan non vaksin terlihat
warna tubuh abnormal (K1); Pendarahan di sekitar mata, mulut

211
dan operculum ditunjukan anak panah pada gambar K1.Ekses
lendir hampir di seluruh permuakaan tubuh, kulit melepuh,
kerusakan pada lamella insang, pendarahan, nekrosa dan akhirnya
busuk (K2).

Hasil Sintasan ikan koi hasil vaksinasi setelah proses uji tantang
Evaluasi keampuhan vaksin Gp-KHV yang diberikan pada ikan koi
dapat dilakukan dengan menilai ketahanan tubuh ikan terhadap infeksi KHV
yang virulen (uji tantang). Proses uji tantang tersebut dilakukan dengan cara
meninfeksikan KHV yang telah diganaskan (secara injeksi) terhadap ikan koi
yang telah divaksin. Proses uji tantang ikan hasil vaksinasi dilakukan setelah 2
bulan masa pemeliharaan.Sintasan ikan pasca uji tantang selengkapnya tertera
pada Tabel 3.

Tabel 3. Sintasan Ikan koiSetelah UjiTantang (selama 21 hari)

N Perla U Ʃ Ʃ Sinta
o. kuan langan Awal Akhir san (%)
(ekor) (ekor)

A: 1 30 25 83,33
1Vaksin
2 30 21 70
3 30 23 76,67

Rataan 76,67
1 30 10 33,33
2 30 6 20
B:
2Kontrol 3 30 8 26,67

Rataan 26,67

Penerapan vaksin Glikoprotein KHV untuk calin dan benih sebar


ikan koi
Penerapan vaksin Glikoprotein KHV bentuk plasmid pada calin koi
Penerapan vaksin Gp-KHV dengan metoda injeksi vaksin dalam bentuk
plasmid DNA Gp-KHV merupakan cara yang paling ampuh untuk
meningkatkan daya tahan tubuh ikan mas terhadap KHV. Oleh karena itu, maka

212
metoda tersebut tetap dipilih sebagai metoda vaksinasi pada benih calon induk
ikan mas. Dosis vaksin yang digunakan pada calon induk dengan kisaran
bobobt 100-150 g/ekor adalah sebanyak 3 dosis vaksin (3 x 12,5 ug/0,1
ml/ekor). Pelaksanaan vaksinasi dilakukan di Stasiun Kolam Air Deras
BBPBAT Sukabumi. Hasil penerapan vaksin untuk benih calon induk tertera
pada Tabel 4.Sebagai tambahan dilakukan pula uji multilokasi penerapan
vaksin DNA Gp-KHV bentuk plasmid di beberapa pembudidaya dan instansi
binaan BBPBAT Sukabumi. Penerapan vaksinasi vaksin Gp-KHV bentuk
plasmid pada calin ikan Mas dan Koi disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Penerapan Vaksinasi Vaksin Gp-KHV Bentuk Plasmid


Pada Calin Koi.

Penerapan vaksin DNA Gp-KHV dalam bentuk injeksi plasmid


merupakan metoda yang sudah teruji keampuhannya, hasil uji efikasi vaksin
tersebut pada ikan calon induk ikan mas pada tahun 2011-2012 mampu
menghasilkan nilai sintasan antara 80-90% (Santika et al., 2011 dan Nuryati
2011). Berdasarkan data tersebut maka untuk calon induk koi terseleksi
diaplikasikan jenis vaksin DNA dalam bentuk plasmid. Hasil pemeliharaan
calon induk pasca vaksinasi (Tahun 2013), menghasilkan sintasan antara 85-
95% dan hampir tidak tercatat data kematian karena serangan KHV.

213
Tabel 4. Data PenerapanVaksin Plasmid DNA Glikoprotein-KHV pada
calin Koi
Ʃ calon induk Ʃ Dosis Tempat/
Bulan (Ekor) vaksin Wadah
Maret 501 (aplikasi 3 1.500 Pokja. Koi,
dosis) BBPBAT Sukabumi
Mei 930 (aplikasi 3 2.790 Pokja Koi, BBPBAT
dosis) Sukabumi
Mei 143 (aplikasi 3 429 Pokja Koi, BBPBAT
dosis) Sukabumi
Juli-oktober 33 (aplikasi 3 99 Pokja Koi, BBPBAT
dosis) Sukabumi
Oktober 8 ( 3 dosis) 24 Pembudidaya, Blitar
November 650 (aplikasi 3 1.950 Pokja Koi, BBPBAT
dosis) Sukabumi
November 8 ( 3 dosis) 24 BBI Cikoneng,
Bandung

Penerapan vaksin dalam bentuk bakteri E.coli berisi Gp-KHV pada benih
sebar koi
Berdasarkan hasil pengujian (butir 3.2), penerapan vaksin Gp-KHV
pada benih sebar koi dengan metoda perendaman menggunakan suspensi
bakteri E. coli (berisi Gp-KHV) pada konsentrasi 107 CFU. Penerapan vaksin
dilakukan pada benih sebar ikan koi yang dihasilkan oleh kelompok kerja ikan
koi BBPBAT Sukabumi. Pelaksanaan vaksinasi dilakukan di BBPBAT
(hatchery koi). Kegiatan vaksinasi melibatkan perekayasa, litkayasa, PHPI dan
pembudidaya. Hasil penerapan vaksin untuk benih sebar tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Data Penerapan Vaksin Bentuk Pellet E. coli DNA glikoprotein


KHV;

Perlakuan
N Jumlah Jumlah Sintasan Lokasi
No tebar panen (%) pemeliharaan
(ekor) (ekor)
Vaksin
1 Kolam
perendaman 15.000 11.172 74,48 BBPBAT
Sukabumi
Vaksin
2 Kolam
perendaman 15.000 11.526 76,84 BBPBAT
Sukabumi
214
Vaksin
3 Kolam
perendaman 15.000 10.584 70,56 BBPBAT
Sukabumi
Vaksin
4 Sudajaya,
perendaman 10.000 7.425 74,25 Pembudidaya
binaan
Non
5 vaksin Sudajaya,
(Kontrol) 10.000 5.251 52,51 Pembudidaya
binaan
Total
Penerapan 55.000
Vaksinasi
Ket: Penebaran ukuran 8-12 cm; lama pemeliharaan 3 bulan (September-
November 2013)

Berdasarkan data pada Tabel 5 ; Hasil pemeliharaan ikan bervaksin di


perkolaman selama 3 bulan menunjukkan nilai sintasan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan non vaksin; Sintasan ikan bervaksin berkisar 70,56-
76,84%, sedangkan kontrol 52,51%. Hasil ini sejalan dengan dengan hasil uji
efikasi vaksin yang sama di laboratorium. Dengan demikian vaksin DNA Gp-
KHV dalam bentuk suspensi pellet bakteri diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan vaksin yang dapat diterapkan di masyarakat secara lebih luas.

KESIMPULAN
Pemberian vaksin dengan metodaperendaman suspensi E. coli yang
berisi glikoprotein-KHVdengan konsentrasi 107 CFU mampu meningkatan
kekebalan ikan koi terhadap infeksi KHV. Sintasan pemeliharaan pada
perlakuan vaksinasi sebesar 76,67%, sedangkan pada kontrol (non vaksin)
sebesar 26,67%. Dengan demikian aplikasi vaksin dengan metoda
perendamandapat digunakan sebagai alternatif metoda vaksinasi (selain
metoda injeksi). Penerapan vaksin DNA Gp-KHV dalam bentuk plasmid telah
dilakukan pada 2.273 ekor calon induk koi. Sementaran itu penerapan vaksin
yang sama dalam bentuk rendaman suspensi E. coli yang berisi glikoprotein-
KHV telah diplikasikan pada 55.000 ekor benih sebar koi.
Hasil pemeliharaan benih bervaksin (bentuk suspensi pellet E. coli yang
berisi Gp-KHV) memberikan nilai sintasan 70,56-76,84%, sedangkan kontrol
52,51% dan biaya per dosis vaksin sekitar Rp 13,2/dosis/ekor benih. Biaya
tersebut 72 kali lebih murah daripada vaksin bentuk plasmid DNA Gp-KHV.
Namun demikian nilai sintasan yang diperoleh masih lebih rendah dari efikasi
vaksin DNA dalam bentuk plasmid (80-90%) (Santika et al. 2011).

215
Upaya perbaikan teknik pemberian vaksin DNA dengan metoda
perendaman masih perlu dilakukanuntuk meningkatkan nilai sintasan yang
dihasilkan. Selain itu konsistensi keberhasilan vaksin DNA Gp-KHV, masih
memerlukan beberapa uji multilokasi di beberapa tempat/sentra budidaya ikan
koi.
Aplikasi vaksinasi perlu memperhatikan beberapa persyaratan seperti:
(1) Kondisi kesehatan ikan sebelum divaksin harus berada dalam kondisi yang
terbaik (2) Riwayat kesehatan ikan yang divaksin sebaiknya harus diketahui
bahwa ikan belum pernah terinfeksi KHV (3) Masa induksi kekebalan ikan
setelah proses vaksinasi minimal 3-4 minggu (4) Umur ikan yang divaksin
minimal lebih dari 3 bulan relatif memberikan hasil yang lebih baik
Pemberian vaksin DNA Gp-KHV dalam bentuk pellet bisa
dikombinasikan dengan pemberian imunostimulan sehingga bisa lebih
meningkatkan sintasan seperti pada pemberian vaksin dalam bentuk plasmid.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson DP. Siwicki AK. 1993. Basic Haernatology and Serology for Fish
Health Program. Paper Presented. In Second Symposium on
Diseases in Asian Aquaculture "Aquatic Animal Health and the
Environment" Phuket, Thailand. 25-29'h October 1993. 17 ps.

Amrullah 2004. Penggunaan Immunostimulan Spirulina platensis Untuk


Meningkatkan Ketahanan Tubuh Ikan Koi (Cyprinus carpio)
Terhadap Virus Herpes. Tesis S2. Program Pasca Sarjana Institute
Pertanian Bogor. 101 hal
Ellis AE. 2001. Innate host defense mechanism of fish against viruses and
bacteria. J Developmental and Comparative Immunology 25: 827-
839.

Gatta PG, Thompson KD, Smullen R, Piva A, Testi S and Adams A. 2001.
Dietary organic organic chromium supplementation and its effect on
the immune response of rainbow trout (Onchorinchus mykiss). J Fish
& Shellfish Immunology (2001) 11, 371-382.

Gray, W.L., L. Mullis, S.E. LaPatra, J.M. Groff and A. Goodwin. 2002.
Detection of koi herpesvirus DNA in tissues of infected fish. Journal
of Fish Disease, 25: 171-178.

216
Hastuti S. 2004. Respon Fisiologis Ikan Gurami (Osphronemus gouramy, Lac)
yang Diberi Pakan Kromium-ragi Terhadap Penurunan Suhu
Lingkungan (Disertasi). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.

Hedrick RP, Gilad 0, Yun S, Spangerberg JV, Marty GD, Nordhausen RW,
Kebus MJ, Bercovier H and Eldar A. 2000. A herpesvirus associated
with mass inortality of juvenile and adult koi, a stain of common
carp. American Fisheries Society. Journal of Aquatic Animal Health
12 : 44-57

Hedrick, 0 Gilad, Yun SC, Mc dowell TS, Waltzed TB, Kelley 60 and Adkison
MA. 2005. Initial isolation and characterization of a herpes-like virus
(khv) from koi and common carp. Bulletin of Fisheries Research
Agency, Yokohama, Japan 86 : 1-7.

Kresno SB. 2001. Imunologi diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi


Ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia., Jakarta

Kollner B and Kotterba G. 2002. Temperature dependent activation of


leucocyte population of rainbow trout, Onchorinchus mykiss, after
intraperitoneal immunization with Aeromonas salmonicida. J Fish &
Shellfish Immunology 12: 35-48

Ornamental aquatic trade association (OATA). 2001. Koi Herpes Virus (KHV).
United Kingdom.

Parelberg A, Sminov MS, Hutoran M, Diamant A, BeJerano Y and Kotler M.


2003. Epidernology description of new viral disease afflicting
cultured Cyprinus carpio in Israel. The Israeli journal of aquaculture
55 : 5-12

Perelberg A, Ronen A, Hutoran M, Smith Y and. Kotler M. 2005. Protection of


cultured Cyprinus carpio disease by an attenuated virus vaccine. J.
Vaccine 23: 3396-3403.

Sunarto A, A Rukyani and T Itami. 2005. Indonesian Experience on the


Outbreak of Koi Herpesvirus in Koi and Caro (Cprinus carpio).
Bulletin of Fisheries Research AgencyYokohama, Japan, Suplement
No 2, 15-21.

217
Taukhid, A. Sunarto, I. Koesharyani, H. Supriyadi dan L. Gardenia. 2005. Strategi
pengendalian penyakit Koi Herpes Virus (KHV) pada ikan mas dan
koi. Serial Bunga Rampai: Strategi Pengelolaan dan Pengendalian
Penyakit KHV, suatu upaya pemecahan dalam pembudidayaan ikan air
tawar. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal. 41-60.

Yasumoto S, Kuzuya Y, Yasuda M, Yoshimura T and Miyazaki. 2006. Oral


Immunization of Common Carp with a Liposome Vaccine using Koi
Herpesvirus Antigen. J. Fish Pathology 41 (4) : 141-145

218
TEKNIK INKUBASI LARVA IKAN HIAS ARWANA HIJAU
(Scleropages macrocephalus)FASE KUNING TELUR SECARA IN
VITRODENGAN SISTEM HEMAT AIR

Ena Sutisna, Wahyu Budi Wibowo, Rangga Wiryawan


Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Jambi

ABSTRAK

Salah satu kendala yang biasa ditemukan dalam kegiatan


pembenihan ikan arwana hijau (Scleropages macrocephalus) adalah
rendahnya sintasan larva pada fase kuning telur apabila diinkubasi
dalam wadah terkontrol. Mortalitas dapat disebabkan karena pecahnya
selaput yang membungkus kuning telur, yang diduga oleh adanya
gesekan dengan dasar akuarium atau lapisan luar kuning telur diselimuti
oleh endapan air pada dasar akuarium. Inkubasi larva arwana hijau di
BBAT Jambi sebelumnya dilakukan dengan menggunakan air mineral
dan pergantian air setiap hari minimal 25%. Metode inkubasi larva ini
kurang efisien waktu dan tenaga serta biaya operasional tinggi. Oleh
karena itu, dilakukan perekayasaan teknik inkubasi larva dengan sistem
hemat air sehingga dapat meningkatkan sintasan larva. Sasaran kegiatan
yaitu menghasilkan larva fase habis kuning telur dengan sintasan 80%-
100% dan benih ukuran 6-9 cm sebanyak 100 ekor.
Metode inkubasi yaitu menggunakan wadah berupa akuarium
kaca berukuran 60x50x40 cm3. Dalam akuarium tersebut diberi dua
sekat kaca yaitu satu sekat sebagai ruang filtrasi dan penghangat dan
satu sekat sebagai ruang inkubasi larva. Untuk mengalirkan air kedalam
ruang filtrasi menggunakan tekanan aerasi yang disalurkan melalui pipa
PVC berdiameter 0,5 inci. Prinsip sirkulasi air yang digunakan adalah
memanfaatkan kekuatan aerasi dari blower, dalam hal ini tekanan angin
yang dikeluarkan disalurkan melalui selang aerasi ke dalam pipa saluran
pengeluaran air dengan cara demikian gelembung udara akan membawa
air ke muka pipa pengeluaran air. Sistem filtrasi dilakukan secara
vertikal dengan bahan sederhana yaitu : serabut kasar, glasswool, dan
bioball. Serabut kasar dan glasswool digunakan untuk menyaring
partikel kasar seperti endapan air sedangkan bioball digunakan sebagai
tempat netralisasi sisa metabolisme berupa amoniak yang kemudian

219
dengan bantuan bakteri diurai menjadi nitrat yang tidak berbahaya bagi
kualitas air media inkubasi.
Hasil yang diperoleh yaitu : suhu optimal untuk inkubasi larva
arwana hijau fase kuning telur adalah 29 0 C; sintasan larva selama
inkubasi yaitu 100 % dan wadah inkubasi yang telah dibuat
direkomendasikan untuk digunakan dalam kegiatan inkubasi larva
arwana hijau berikutnya karena lebih efektif dan efisien (tidak perlu
ganti air).

KATA KUNCI : teknik inkubasi, larva arwana hijau fase kuning


telur, sistem hemat air

PENDAHULUAN

Arwana jambi (Scleropages macrocephalus) adalah salah satu jenis ikan


hias asli Indonesia dari perairan Sumatera yang belum cukup populer di
kalangan pecinta ikan hias khususnya hobiis arwana. Ikan ini tergolong ke
dalam jenis arwana hijau yang harganya relatif lebih rendah dibanding dengan
arwana jenis lainnya terutama golden ataupun jenis super red.
Salah satu kendala yang biasa ditemukan dalam kegiatan pembenihan
ikan arwana jambi adalah rendahnya tingkat kelangsungan hidup larva ataupun
derajat penetasan telur jika diinkubasi dalam wadah terkontrol. Hal tersebut
dapat disebabkan karena pecahnya selaput telur yang membungkus kuning
telur, yang diduga oleh adanya gesekan dengan dasar akuarium atau adanya
endapan air pada dasar akuarium yang menyelimuti lapisan luar kuning telur.
Setyowibowo.C, dkk (2006) menyatakan bahwa kematian telur ataupun larva
pada media inkubasi disebabkan karena kuning telur (yolk sac) berjamur atau
pecah karena endapan kasar. Kendala lain yang dapat ditimbulkan dari air
endapan yaitu terdapat parasit seperti Argulus sp. yang dapat menempel pada
kuning telur dan menghisap kuning telur sampai pucat sehingga larvanya mati.
Inkubasi larva arwana di BBAT Jambi sebelumnya dilakukan dengan
menggunakan air mineral dan pergantian air setiap hari minimal 25%. Metode
inkubasi larva ini kurang efisien waktu dan tenaga serta biaya operasional
tinggi. Oleh karena itu pada tahun 2009 dilakukan kegiatan rekayasa teknik
inkubasi larva arwana yang lebih baik yaitu dengan menggunakan sistem
resirkulasi sehingga akan lebih efektif dan efisien.
Kegiatan ini dilakukan bertujuan untuk mendapatkan teknik inkubasi
larva yang lebih baik, sehingga dapat meningkatkan tingkat kelangsungan
hidup larva. Menghasilkan larva yang habis kuning telur dengan tingkat
kelangsungan hidup 80% (benih ukuran 5 cm sebanyak 100 ekor).

220
BAHAN DAN METODE

Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Desember


2009 bertempat di Balai Budidaya Air Tawar Jambi. Kegiatan inkubasi larva
arwana jambi dengan sistem resirkulasi menggunakan wadah berupa akuarium
berukuran 60x50x40 cm3, dalam akuarium tersebut diberi dua sekat kaca yaitu
satu sekat sebagai ruang filtrasi dan penghangat dan satu sekat sebagai ruang
inkubasi larva.
Peralatan yang digunakan adalah serok, peralatan sampling
pertumbuhan seperti timbangan dan mistar. Sedangkan bahan yang digunakan
adalah bahan pembuat sistem resirkulasi (Pipa, keni, bioball, glasswoll, dan
jaring supernet),
Untuk mengalirkan air kedalam ruang filtrasi menggunakan tekanan
aerasi yang disalurkan melalui pipa PVC berdiameter 0,5 inci. Prinsip sirkulasi
air yang digunakan adalah memanfaatkan kekuatan aerasi dari blower, dalam
hal ini tekanan angin yang dikeluarkan disalurkan melalui selang aerasi ke
dalam pipa saluran pengeluaran air dengan cara demikian gelembung udara
akan membawa air kemuka pipa pengeluaran air.
Sistem filtrasi dilakukan secara vertikal dengan bahan sederhana
seperti serabut kasar, glasswool, dan bioball. Serabut kasar dan glasswool
digunakan untuk menyaring partikel kasar seperti endapan air sedangkan
bioball digunakan sebagai tempat netralisasi sisa metabolisme berupa amoniak
yang kemudian dengan bantuan bakteri diurai menjadi nitrat yang tidak
berbahaya bagi kualitas air media inkubasi.
Penyetelan dilakukan sesuai dengan susunan sistem baik sistem filtrasi
maupun sirkulasi. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah : memasang
sekat akuarium untuk ruang filtrasi; pada ruang bagian bawah filtrasi diisi
dengan bioball sebanyak 500 buah; pada bagian atasnya dimasukan filter halus
dan kemudian filter kasar; pada sudut akuarium dimasukan heater dan
diletakan pada bagian depan untuk memudahkan penyetelan suhu.
Pada kegiatan modifikasi ini terdapat dua bagian prototipe yang
dijalankan menjadi satu sistem resirkulasi yaitu sistem filtrasi dan sirkulasi air.
Pembuatan sistem filtrasi dilakukan secara langsung dalam akuarium inkubasi,
setelah pembuatan sistem filtrasi selesai maka dimasukan pipa untuk sirkulasi
dimana muka untuk pengeluaran air menghadap ke arah sistem filtrasi sehingga
air akan jatuh pada filter bagian atas. Untuk menjaga debit air tetap stabil pada
sistem sirkulasi maka perlu dilakukan pembersihan pada bagian saringan pipa
hisapan air agar tidak tersumbat dari adanya kotoran atau endapan. Dengan
penggunaan kedua sistem ini diharapkan tidak perlu dilakukan penggantian air
selama proses inkubasi larva berlangsung.

221
Setelah semua wadah inkubasi selesai disusun dan diisi air 1 minggu
sebelum larva kuning telur diinkubasi. Pada kegiatan ini, suhu yang digunakan
adalah 280 C, 290 C dan 300 C. Air yang digunakan berasal dari sumber air yang
ada di BBAT Jambi (air rawa) yang sudah diendapkan dan difilter dengan filter
fisik di bak penampungan air.
Selama masa inkubasi dilakukan pengamatan kualitas air dan
perkembangan larva melalui metode sampling yang dilakukan setiap
minggunya.
Setelah kuning telur habis, larva dapat berenang bebas dan mulai
mendapatkan nutrisi dari luar maka larva tersebut dapat dipanen untuk
kemudian dipelihara dalam akuarium / bak pendederan.
Sampling larva dilakukan satu minggu sekali sampai larva habis kuning
telur dan bisa berenang bebas.
Parameter yang diuji dalam kegiatan ini adalah kualitas air,
pertumbuhan (diameter kuning telur, panjang dan bobot larva, laju penyerapan
kuning telur) dan tingkat kelangsungan hidup larva.
Analisis data dilakukan dengan deskriptif, yaitu disajikan dalam bentuk
tabel dan grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil perekayasaan teknik inkubasi larva arwana jambi dengan sistem


resirkulasi yaitu :
Selama kegiatan perekayasaan teknik inkubasi larva ikan arwana ini
berlangsung, diperoleh data pertumbuhan ikan dan tingkat kelangsungan hidup
sebagai berikut :
Tabel 1. Rerata panjang total tubuh
Tanggal
Perlakuan Minggu ke-1 Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke-
2 3 4
28oC 5.9 cm 6.0 cm 6.3 cm 6.5 cm
29oC 5.7 cm 6.0 cm 6.2 cm 6.8 cm
o
30 C 5.9 cm 6.1 cm 6.5 cm 7.0 cm
Kontrol 5.8 cm 6.0 cm 6.4 cm 6.8 cm

222
Tabel 2. Rerata diameter kuning telur
Tanggal
Perlakuan Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke-
1 2 3 4
28oC 1.2 cm 1.1 cm 0.7 cm Habis
29oC 1.2 cm 1.0 cm 0.6 cm Habis
30oC 1.2 cm 0.9 cm 0.5 cm Habis
Kontrol 1.2 cm 1.1 cm 0.8 cm 0.3 cm

Tabel 3. Rerata kelangsungan hidup


Perlakuan Tingkat Kelangsungan Hidup
28oC 100 %
29oC 100 %
30oC 100 %

Kontrol 50 %

Pada suhu yang lebih tinggi, metabolisme tubuh berjalan lebih cepat
sehingga meningkatkan laju penyerapan kuning telur. Hal tersebut dibuktikan
pada pengamatan diameter kuning telur pada saat panen dimana larva ikan
arwana yang diinkubasi dengan media bersuhu 28 o C, pada minggu ke-3
memiliki rerata diameter telur sebesar 0.7 cm, sedangkan pada suhu 29 oC rerata
diameter telurnya adalah 0.6 cm. Pada suhu 30o C rerata diameter telurnya
adalah 0.5 cm. Pada minggu ke-4, didapatkan larva ikan arwana dengan
kondisi kuning telur yang sudah habis. Lama waktu habis kuning telur pada
inkubasi larva ini adalah 30 hari.
Rerata kelangsungan hidup selama inkubasi larva adalah 100 %, dan
diperoleh total larva yang sudah habis kuning telur berukuran 6,5 - 7,0 cm
sebanyak 98 ekor. Kelangsungan hidup larva pada wadah kontrol sebesar 50%,
didapatkan beberapa larva mati dengan kondisi kuning telur yang pucat dan
kemudian pecah. Selama inkubasi larva, tidak dilakukan pergantian air dan
larva tidak diberi makan karena masih mengandung kuning telur. Data kualitas
air selama inkubasi larva, diperlihatkan pada Tabel 4 sebagai berikut :

223
Tabel 4. Rerata kualitas air selama inkubasi larva
Minggu-1 Minggu-2 Minggu-3 Minggu-4
Parameter
Pagi Sore Pagi Sore Pagi Sore Pagi Sore
pH 6.4 6.4 6.5 6.4 6.6 6.6 6.8 6.8
DO 3.1 3.2 3.1 3.2 2.9 3.2 3.5 3.4
Amoniak 0.05 0.06 0.09 0.09

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa perkembangan nilai pH


dapat diketahui. Terjadi peningkatan nilai pH pada setiap minggunya hal ini
disebabkan karena adanya faktor sirkulasi air pada sistem filtrasi dan adanya
aerasi selama masa pemeliharaan. Nilai suhu media pemeliharaan relatif stabil
karena wadah pemeliharaan berada dalam ruangan begitu juga yang terjadi
dengan perkembangan nilai DO.

0.1
0.08
0.06
Amoniak
0.04
0.02
0
1 2 3 4

Gambar 3. Grafik rerata amoniak selama inkubasi larva

Terjadi peningkatan amoniak (NH3) dalam media mulai pada minggu


ke-2, kenaikan nilai amoniak tersebut disebabkan karena sisa metabolisme
larva. Sampai dengan minggu terakhir pengamatan didapatkan nilai amoniak
sebesar 0.09 ppm namun demikian nilai tersebut masih berada dalam batas
toleransi amoniak untuk larva ikan arwana.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapat dari kegiatan perekayasaan ini yaitu suhu yang
optimal untuk inkubasi larva arwana yang masih mengandung kuning telur
adalah 290 C. Kelangsungan hidup larva selama inkubasi dalam wadah
resirkulasi sederhana ini yaitu 100 %. Wadah inkubasi yang telah dibuat,
direkomendasikan untuk digunakan dalam kegiatan inkubasi larva arwana
224
berikutnya karena lebih efektif dan efisien (selama inkubasi tidak perlu ganti
air, jadi lebih hemat air).

DAFTAR PUSTAKA

Setyowibowo, C., E. Rahayuni, A. Hariyanto, 2005. Perekayasaan wadah


inkubasi telur ikan arwana (Scleropages formosus). Laporan
Perekayasaan Balai Budidaya Air Tawar Jambi.

Emilia, SP. 2002. Mengenal lebih dekat arowana si ikan naga. PT. AgroMedia
Pustaka. Jakarta.

Wikipedia Indonesia. Arwana asia.


"http://id.wikipedia.org/wiki/Arwana_Asia"

Yangesa, I. 2006. Mekanisme pemanfaatan arowana (Scleropages formosus).


Inovasi –vol 6/XVIII/Maret 2006.

225
PENGELOLAAN CALON INDUK IKAN HIAS BOTIA
(Chromobotia macracanthus, Bleeker, 1852) DI KOLAM TERKONTROL

Ena Sutisna, Nurul Trijayanti, Suryana, Salali


Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Jambi

ABSTRAK
Ikan botia merupakan salah satu komoditas ikan hias lokal yang
diminati. Sejalan dengan berkembangnya pasar ikan hias ini,
penangkapan di alam semakin marak. Ikan-ikan mulai dari ukuran larva
(bubuk) sampai induk ditangkap untuk diperjualbelikan dengan harga
yang menjanjikan, sehingga dikhawatirkan dalam beberapa tahun ke
depan ikan ini akan semakin langka ditemukan di alam. Kendala yang
dihadapi sampai saat ini adalah terbatasnya jumlah induk yang ada.
Dalam rangka pengembangan budidaya ikan hias botia di masyarakat,
disamping teknologi pematangan gonad, pembenihan dan pemeliharaan
larva ikan botia, juga diperlukan teknologi pemeliharaan benih calon
induk ikan botia untuk menjamin ketersediaan induk ikan botia
sepanjang tahun sehingga tidak lagi tergantung dari alam. Maka
dilakukan kegiatan pemeliharaan benih calon induk ikan hias botia asal
sungai batanghari yang diadaptasikan dengan lingkungan budidaya
terkontrol yaitu di kolam.
Kegiatan pembesaran dilakukan di kolam berukuran 250 m2. Pakan yang
diberikan terdiri dari pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yaitu
Moina sp, cacing tubifek/ Chironomus sp. dan jentik nyamuk.
Pemberian pakan dilakukan secara at satiation. Sedangkan pakan buatan
yaitu pellet diberikan setiap hari sebanyak dua kali (pagi dan sore).
Feeding rate untuk pakan buatan yaitu pagi 20% dan sore 10% dari
bobot biomassa total.
Pada saat sampling awal calon induk ikan botia diperoleh kisaran bobot
0,12 - 0,90 gram dengan rerata panjang total 3 cm dan rerata bobot 0,32
gram. Setelah sembilan bulan pemeliharaan, diperoleh rerata panjang
total akhir yaitu 5,7 cm dan rerata bobot 2,74 gram. Perlu dilakukan
kegiatan lanjutan yaitu pemeliharaan calon induk ikan botia yang sudah
beradaptasi dengan wadah budidaya (kolam tanah) dan pakan buatan,
dibesarkan sampai menjadi induk. Diharapkan setelah menjadi induk
bisa lebih tahan terhadap perubahan lingkungan dalam wadah budidaya
dan tidak mudah terserang penyakit seperti halnya apabila
mendatangkan induk-induk botia dari alam yang berukuran besar.
KATA KUNCI : pembesaran, calon induk ikan hias botia, kolam

226
PENDAHULUAN
Ikan hias botia (Chromobotia macracanthus, Bleeker 1852) termasuk
genus Chromobotia dalam subfamili Botiinae, diantaranya adalah mempunyai
pola warna yang unik yaitu pita hitam (satu melewati mata dan dua di badan)
pada warna dasar tubuh orange-merah cerah (Kottelat, 2004).
Ikan botia merupakan salah satu komoditas ikan hias lokal yang
diminati. Sejalan dengan berkembangnya pasar ikan hias ini, penangkapan di
alam semakin marak. Ikan-ikan mulai dari ukuran larva (bubuk) sampai induk
ditangkap untuk diperjual belikan dengan harga yang menjanjikan, sehingga
dikhawatirkan dalam beberapa tahun ke depan ikan ini akan semakin langka
ditemukan di alam.
Beberapa lembaga penelitian seperti Balai Penelitian Ikan Hias di Depok
dan Balai Budidaya Air Tawar Jambi sudah berhasil mengembangkan teknologi
pemijahan dan produksi benih ikan botia. Masalah yang dihadapi pada
pembenihan ikan botia adalah induknya masih tergantung dari alam, dan dari
tahun ketahun semakin sulit didapatkan. Selain semakin sulit didapatkan,
penangkapan induk dari alam juga dikhawatirkan akan mempercepat
kelangkaan dan kepunahan ikan ini.
Berdasarkan hal tersebut, BBAT Jambi salah satunya bertugas untuk
menjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya ikan, akan terus
mengembangkan teknologi budidaya ikan botia. Pada tahun 2013 akan terus
mengembangkan teknologi pembenihan ikan botia (melanjutkan kegiatan tahun
sebelumnya) dan melakukan pembesaran benih calon induk ikan botia dari
alam dalam kolam dan hapa.

BAHAN DAN METODE


Kegiatan produksi benih dan calon induk ikan botia ini dimulai pada
bulan Januari sampai Desember 2013, bertempat di Balai Budidaya Air Tawar
Jambi.
Pendederan calin ikan botia dilakukan dalam kolam pendederan
berukuran 250 m2 yang telah dilakukan persiapan sebelumnya (Tabel 1). Hapa
yang digunakan adalah berukuran 2x5x1,8 m. Perlakuan yang dilakukan pada
kegiatan ini adalah dengan kepadatan yang berbeda, yaitu 1000 ekor dan 2000
ekor per-hapa.

227
Tabel 1. Jadwal persiapan kolam pendederan
Hari ke- Kegiatan
0 Pengeringan kolam, pembersihan predator dan
kompetitor
1 Pengolahan kolam dan pengapuran ; 100 gr/m2
2 Pemupukan :
Kotoran ayam kering ; 500 gr/m2 dionggokkan di
beberapa tempat dalam kolam (pinggir)
Tepung ikan BS/ Ikan rucah ; 50 gr/m2
Dedak ; 100 gr/m2
Pemasukan air setinggi 40 cm
Pengisian air hijau setinggi 10 cm
3 Pemasukan inokulan rotifera. Monitoring kelimpahan
plankton
4 Monitoring kelimpahan plankton
Pengadukan kotoran ayam yang dionggokan.
5 Monitoring kelimpahan plankton
6 Monitoring kelimpahan plankton
Pengadukan kotoran ayam yang dionggokan
7 Penambahan air jadi 80 – 100 cm
8 Siap tebar benih

Masing masing perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.


Dalam kolam (diluar hapa) juga dilakukan penebaran calon induk sebagai
kontrol. Benih yang ditebar adalah benih F0 yang berasal dari alam berukuran
2-3 cm.
Pada kegiatan pembenihan ikan botia, diamati beberapa parameter
penting, diantaranya : Prosentase jumlah induk matang gonad, Prosentase
jumlah induk yang ovulasi, derajat pembuahan, derajat penetasan, SR
pemeliharaan larva, SR pendederan benih. Sedangkan pada pemeliharaan
induk, diamati : pertumbuhan panjang dan bobot, laju pertumbuhan harian,
kelangsungan hidup, FCR. Selain itu juga dipantau beberapa parameter kualitas
air yaitu pengukuran Suhu, DO, pH, dan Amoniak.
Beberapa parameter yang memungkinkan dilakukan analisis
menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Tukey dengan
bantuan piranti lunak MINITAB 16. Sedangkan parameter lainnya akan
dianalisis secara deskriptif.

228
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada saat sampling awal calin ikan Botia diperoleh kisaran bobot 0,12 -
0,90 gram dengan rerata panjang total 3 cm dan rerata bobot 0,32 gram.

Tabel 2. Hasil sampling awal (Tanggal 12 Februari 2013)


Kisaran
Kisaran
TL (cm) BW (gram) Bobot
Panjang (cm)
(gram)
3.0 2.4 - 4.0 0.32 0.12 - 0.90

Tabel 3. Data sampling tanggal 27 Pebruari (hari ke-15)


Hapa/ TL BW Jumlah Rerata
Rerata BW
Kolam (cm) (gram) Ikan TL
H3 2,97 0,33 1000
H4 3,26 0,44 1000 3,11 0,39
H5 3,11 0,39 1000
H1 3,26 0,44 2000
H2 3,2 0,42 2000 3,20 0,41
H6 3,13 0,37 2000
Kolam 3,85 0,84 4200 3,58 0,73

Tabel 4. Data sampling tanggal 14 Maret (hari ke-30)


Hapa/ TL BW Jumlah
Rerata TL Rerata BW
Kolam (cm) (gram) Ikan
H3 3,02 0,36 1000
H4 3,36 0,56 1000 3,28 0,48
H5 3,45 0,53 1000
H1 3,2 0,45 2000
H2 3,6 0,60 2000 3,34 0,49
H6 3,24 0,41 2000
Kolam 3,58 0,73 4200 3,85 0,84

229
Tabel 5. Data sampling tanggal 10 April (hari ke-57)
Hapa/ TL BW Jumlah Rerata Rerata Rerata
SR
Kolam (cm) (gram) Ikan TL BW SR

H3 3,15 0,37 1000 85,6

H4 3,53 0,55 1000 3,37 0,48 82,7 81,63

H5 3,42 0,51 1000 76,6

H1 3,33 0,45 2000 62,25

H2 3,7 0,64 2000 3,41 0,52 63,95 64,05

H6 3,25 0,46 2000 65,95

Kolam 4,49 1,31 4200 4,49 1,31 79,71 79,71

Gambar 3. Grafik pertumbuhan panjang benih calon induk ikan botia


yang dipelihara dalam hapa dan kolam di BBAT Jambi

230
Gambar 4. Grafik pertumbuhan bobot benih calon induk ikan botia
yang dipelihara dalam hapa dan kolam di BBAT Jambi

Gambar 5. Grafik sintasan benih calon induk ikan botia yang


dipelihara dalam hapa dan kolam di BBAT Jambi

231
Tabel 6. Laju pertumbuhan bobot dan panjang harian

Wt W0 Ln Wt - Ln W0 LPH (α)
H1000 0,48 0,32 0,40 22,96
H2000 0,52 0,32 0,48 27,23
Kolam 1,31 0,32 1,41 80,15

Tt T0 Ln Tt - Ln T0 LPH (α)
H1000 3,37 3 0,12 6,56
H2000 3,41 3 0,13 7,38
Kolam 4,49 3 0,40 23,02

Gambar 6. Grafik Laju Pertumbuhan Harian Bobot dan Panjang pemeliharaan


calon induk Botia di hapa dan kolam

232
Parameter kualitas air selama pemeliharaan di kolam masih dalam
kisaran yang baik untukbudidaya.
Tabel 7. Kisaran kualitas air selama pemeliharaan

Parameter yang diamati Kolam/Ha


pa
Suhu 25-28oC
pH 7-8
Oksigen 3-6 mg/l
Kecerahan 20 cm

Dari hasil kegiatan, terlihat bahwa pemeliharaan calon induk ikan botia
di kolam lebih baik jika dibandingkan di hapa, baik dengan kepadatan 1.000
ekor maupun 2.000 ekor per hapa. Hal ini disebabkan selain faktor kepadatan
ikan dalam wadah pemeliharaan yang tentunya juga berpengaruh pada
kompetisi dalam mendapatkan pakan. Kelimpahan pakan alami di luar hapa
dengan kepadatan ikan yang ditebar sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
bobot dan panjang ikan. Hal lain yang menyebabkan pemeliharaan di hapa
hasilnya kurang bagus dibandingkan di kolam karena semakin lama lubang-
lubang hapa tertutup oleh lumut yang menyebabkan sirkulasi pakan alami dan
air juga kurang maksimal, meskipun dalam pemeliharaan setiap hari juga
diberikan pakan buatan (pellet).
Kegiatan dilanjutkan dengan pemeliharaan semua calon induk ikan botia
di kolam. Pertumbuhan calon induk ikan botia selama pemeliharaan di kolam
adalah sebagai berikut :

Gambar 8. Rerata pertumbuhan panjang total (cm) calon induk ikan


botia di kolam

233
Gambar 9. Rerata pertumbuhan bobot (gram) calon induk ikan botia di
kolam

KESIMPULAN
Dari percobaan ini, pemeliharaan calon induk botia di kolam secara
umum hasilnya lebih baik jika dibandingkan di hapa dengan kepadatan 1.000
ekor dan 2.000 ekor. Data hasil pemeliharaan dikolam dan hapa selama 57 hari
yaitu,
Laju Pertumbuhan
Sintasan
Panjang Bobot Harian
Bobot Panjang
H-1000 3,37 0,48 81,63
22,96 6,56
H-2000 3,41 0,52 27,23 7,38 64,05

Kolam 4,49 1,31 79,71


80,15 23,02

Sampai pemeliharaan bulan November 2013, diperoleh rerata panjang


total akhir yaitu 5,7 cm dan rerata bobot 2,74 gram.
Perlu dilakukan kegiatan lanjutan yaitu pemeliharaan calon induk ikan
botia yang sudah beradaptasi dengan wadah budidaya (kolam tanah) dan pakan
buatan, dibesarkan sampai menjadi induk. Diharapkan setelah menjadi induk
bisa lebih tahan terhadap perubahan lingkungan dalam wadah budidaya dan
tidak mudah terserang penyakit seperti halnya apabila mendatangkan induk-
induk botia dari alam yang berukuran besar.
234
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1992. Studi identifikasi/inventarisasi plasma nutfah perikanan


perairan umum Jambi. Laporan Akhir. Dinas Perikanan Propinsi
Dati I Jambi, 119 hal.

Axelord, H.R. and W. Vordenwinkler., 1986. Encylopedia to Tropical Fishes.


T.F.H. Publication, Inc. USA.

Axelrod, H.R. and W. Vordenwinkler., 1972. Color Guide to Tropical Fish.


Sterling Publishing Co, Inc. New York.

Azwar, Z.I. dan T. Ruchimat., 1999. Aplikasi hormonal untuk reproduksi ikan
dalam menunjang upaya pemuliaan. Prosiding Symposium V
Perhimpunan Ilmu Pemulaiaan Indonesia (PERIPI-JATIM).
Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya,
hal.311-322.

Chumaidi., Sudarto, A. Priyadi, I.W. Subamia dan P. Yuliati., 2008.


Penangkaran dan Pembenihan ikan balashark (Balantiocheilus
melanopterus, Bleeker). Prosiding Seminar Nasional Ikan V,
Masyarakat Iktiologi Indonesia, Bogor, hal.247-251.

Effendi, I., 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya, Jakarta, 184 p.

Fishbase., 2007. Chromobotia mcracanthus Clown Loach.

Kamal, M.M., 1992. Bioekologi Ikan Botia (Botia macracanthus Bleeker) di


Sungai Batanghari, Propinsi Jambi. Skripsi Fakultas Perikanan, IPB.

Kottelat, M., 2004. Botia kubotai, a New Species of Loach (Teleostei:


Cobitidae) from the Ataran River Basin (Myanmar) with Comment
on Botiine Nomencalture and Diagnosis of a New Genus. Zootaxa
401, 1-18.

Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari and S. Wirjoatmojo., 1993.


Freswater fishes of westernIndonesia and Sulawesi. Periplus Edition,
Hongkong, pp. 259.

235
Legendre, M., J. Subagja, D. Day, Sularto dan J. Slembrouck., 2002. Evolution
saisonniere de la maturite sexuelle et reproduction induite de
Pangasius djambal et de Pangasius nasutus. Rapport au MAE sur le
programme des poisons chats (Siluriformes, Pangassiidae) a
Sumatra et Java (Indonesia), p. 6-33.

Mills, D., 1992. Tropical Aquarium Fishes How to Keep Freswater Fish.
Published by Chancellor Press Michelin House, 81 Fulham Road
London sw3 6rb.

Mokoginta, I., D. Jusadi, M. Setiawan, dan M.A. Suprayudi., 2000. Kebutuhan


asam lemak esensial, vitamin dan mineral dalam pakan induk
Pangasius suchii untuk reproduksi. Laporan akhir hibah bersaing
VII/1-2 Perguruan Tinggi/tahun anggaran 1998/2000. IPB, 54 hal.
Mokoginta, I., D.S. Moeljohardjo, K. Sumawidjaja dan D. Fardiaz., 1998.
Kebutuhan ikan lele (Clarias batrachus) akan asam lemak linoleat
dan linolenat. Forum Pascasarjana, 12(2):65-73.

Mokoginta, I., D.S. Moeljohardjo, T. Takeuchi, K. Sumawidjaja, dan D.


Fardiaz., 1995. Kebutuhan asam lemak esensial untuk perkembangan
kematangan gonad induk ikan lele, Clarias batrachus Linn. Jurnal
Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, III(2): 41-50.

Priyono, A., 1999. Teknologi produksi telur ikan bandeng (Chanos-chanos


Forskall) dengan implant kronik hormone Luteinizing Hormon
Realizing Hormon analog (LHRH-alfa). Prosiding Simposium V
Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI-JATIM). Lembaga
Penerbit Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, hal. 394-397.

Rohman., 1994. Biologi Reproduksi Ikan botia (B. macracanthus Bleeker) di


Sungai Batanghari, Propinsi Jambi. Skripsi Fakultas Perikanan, IPB.

Takeuchi, T., 1996. Essensial fatty acid requirement in carp. Arch Anim. Nutr.,
(49):23-32.

Weber, M. and L.F. de Beaufort., 1916. The Fishes of the Indo-Australian


Archipelago. Vol.VIII. E.J.Brill, Ltd. Leiden. 456 p.

236
APLIKASI PAKAN BUATAN PADA USAHA PENDEDERAN
ABALONE(Haliotis squamata)

Woro Kusumaningtyas P, Taufan Haryono, Ade Yana

ABSTRACT

Artificial feed (pellet) application on abalone nursery, haven't


common conducted because of still depending on seaweed as nature
food. Artificial feed or pellet also better in comparison with nature feed
which is its availability that can be relied appropriate requirement,
long-lasting and easy for storage. The objective of this activity is to
know abalone's (Haliotis squamata) growth rate and survival rate with
artificial feed application.
Method in this activity is abalone's (H. squamata) seed rearing
size 3-4 cm with artificial feed application as pellet and agar. Result of
this activity is weight growth rate of abalone (H. squamata) seed higher
on fed with agar (0,290 - 0,334%) compared to pellet (0,222 - 0,264%)
meanwhile length growth rate of abalone seed with pellet's application
(awabi) (0,195 - 0,232%) higher compare to agar (0,156 - 0,193%).
Survival rate of abalone's seed that is fed with pellet and agar are
similar, 93.75% - 100%. The best of feed conversion rate (FCR) and
feed efficiency is pellet.

Key word: abalone (Haliotis squamata), pellet, agar, growth


rate, survival rate.

237
PENDAHULUAN

Dalam budidaya abalon, banyak hal yang perlu diperhatikan dalam


menunjang kelangsungan hidupnya. Salah satunya adalah kebutuhan pakannya.
Pakan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam menunjang
keberhasilan budidaya abalon, kelangsungan hidup dan pertumbuhannya.
Ketepatan jenis pakan yang diberikan menjadi pertimbangan utama dalam
pemberian pakan. Jenis pakan abalon adalah rumput laut yang biasa disebut
makro-alga, namun tidak semua dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai
sumber makanan. Pakan yang diberikan berupa rumput laut dari jenis
Gracillaria dan Ulva yang memiliki nilai ekonomis yang sangat rendah yang
merupakan makanan favorit untuk abalon.
Ketersediaan makanan alami untuk abalon tidak selamanya akan
terpenuhi. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang dapat menghambat
tersuplainya makanan oleh alam. Keterbatasan pakan alami dialam dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti halnya lingkungan, bila sewaktu-waktu terjadi
bencana alam maka akan menghambat produksi pakan alami rumput laut
(Gracillaria), atau bahkan hujan yang terus menerus akan mengakibatkan
kualitas pakan alami membusuk atau rusak dan tidak baik untuk dijadikan
pakan abalon. Untuk menghindari terjadinya kemungkinan-kemungkinan
tersebut, maka perlu mengambil alternatif lain yang bisa dimanfaatkan sebagai
pengganti dari pakan alami yang ketersediaannya mudah di dapat dan bisa di
produksi sendiri, yakni dengan cara memanfaatkan pakan buatan (pelet) supaya
suplai makanan abalon tetap tersedia.
Pakan pelet dari segi ekonomi lebih mahal dibandingkan dengan pakan
alami, akan tetapi pakan alami tidak selamanya mendukung dalam
ketersediaannya. Tujuan dari penggunaan pakan buatan adalah sebagai
pengganti dari pakan alami.Keunggulan dari pelet ini ialah kemampuannya
untuk merangsang kematangan gonad, sehingga pertumbuhan benih abalon
akan tergolong lebih cepat dibandingkan menggunakan pakan alami saja.

Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahuiprospek penggunaan
pakan buatan (pellet dan agar) dalam pendederan benih abalone (Haliotis
squamata).

238
BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan adalah benih abalone (Haliotis squamata) ukuran


3 – 4 cm, pakan buatan (agar) dan pakan buatan/pellet (Awabi).

Tabel 1. Uji Proximat Pakan Buatan


Pakan buatan
Komposisi Pelet Awabi
(Agar)
Kadar protein (%) 7,25 29,00
Kadar lemak (%) 3,92 2,00
Kadar serat kasar (%) 14,40 7,00
Kadar abu (%) 2,63 20,00
Kadar air (%) 69,71 11,00
Kadar kalsium (%) 0,33 1,50
Kadar fospat (%) Nd 0,80
Sumber: Kuncoro (2013) dan Pantjara (1993) dalam Susanto
dkk., (2010);

Tahap persiapan bak pemeliharaan meliputi persiapan bak beton volume


20 ton (ukuran panjang 10 meter, lebar 2 meter dan tinggi 1 meter) sebagai
tempat penempatan keranjang plastik yang digunakan sebagai tempat
pemeliharaan. Sedangkan ukuran untuk keranjang plastik yakni dengan panjang
60 cm, lebar 40 cm dan tinggi 30 cm. Bagian dasar keranjang dilapisi dengan
waring agar pakan yang diberikan tidak lolos keluar dari keranjang tersebut dan
diberi shelter sebanyak dua buah dengan ukuran 40 cm x 23 cm. Aerasi di
tempatkan sedemikian rupa guna meratakan okigen terlarut pada seluruh bak.

Grading adalah proses mengelompokkan benih abalon (Haliotis


squamata) dengan ukuran yang seragam. Tahap pertama dalam proses grading
adalah penimbangan berat tubuh dan pengukuran panjang cangkang benih
abalon. Penimbangan berat tubuh menggunakan timbangan digital. Pengukuran
panjang cangkang menggunakan jangka sorong. Tahap kedua adalah
penempatan benih secara merata ke dalam keranjang beserta aerasinya. Yakni
dengan penempatan 50 ekor benih abalon untuk masing-masing unit.

Pembuatan Pakan Buatan (Agar)


Cara pembuatan pakan buatan (agar) yaitu agar – agar dimasak dengan
air hingga mendidih, kemudian dicampur dengan tepung udang, tepung ikan,
minyak ikan, tepung kedelai, tepung jagung, tepung singkong, instan alga,
astaxanthin, vitamin C, binder dan pengawet makanan. Semua bahan diaduk
hingga merata kemudian dituang ke dalam cetakan berbentuk segi empat

239
dengan ukuran 20x20x5 cm dan dibiarkan hingga mengeras lalu disimpan
dalam lemari pendingin. Sebelum diberikan sebagai pakan untuk abalone, agar
dipotong dengan ukuran 1 cm.
Tabel 2. Komposisi bahan pakan buatan (agar)

Bahan Jumlah
Tepung Udang 100 gram
Tepung Ikan 100 gram
Minyak Ikan 20 gram
Tepung Kedelai 50 gram
Tepung Jagung 75 gram
Tepung Singkong 75 gram
Agar – agar dan nutrijel 34 gram
Vitamin C 4 gram
Instan Alga 30 gram
Astaxanthin 1 gram
Pengawet makanan 4 gram
Binder 5 gram
Air 1500 ml

Pemberian Pakan
Pemberian pakan pada benih abalon dilakukan dua kali setiap hari yaitu
pada pagi dan sore hari sebanyak 5% pakan buatan agardan 3% peletdari berat
total biomassa. Pakan yang tersisa ditimbang, untuk mengetahui total pakan
yang dikonsumsi.

Pengukuran Laju Pertumbuhan


Pengukuran berat dan panjang benih abalon dilakukan selang dua
minggu sekali, untuk dapat mengetahui pengaruh pemberian pakan buatan
terhadap tingkat pertumbuhan abalon. Penimbangan berat benih menggunakan
timbangan digital, pengukuran panjang cangkang menggunakan jangka sorong.

240
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan
Tabel 3. Berat (g), panjang (cm) dan Pertumbuhan Mutlak benih abalone
selama percobaan
Sampling ke - Berat (g) Panjang (cm)
PA PP PA PP
1 8.222 8.169 3.64 3.53
2 8.521 8.490 3.75 3.67
3 8.741 8.627 3.86 3.82
4 9.248 8.992 3.93 3.92
5 9.940 9.466 4.04 4.00
Laju Pertumbuhan 1.719 1.297 0.4 0.47
Laju Pertumbuhan
0.316 0.245 0.174 0.208
Spesifik (SGR)
Keterangan :
PA : Pakan Agar
PP : Pakan Pellet awabi

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa pertumbuhan berat


benih abalon lebih tinggi pada benih abalone (Haliotis squamata) yang
mengkonsumsi pakan buatan berupa agar. Hal ini diduga karena benih abalone
dapat memanfaatkan pakan agar sebagai makanan untuk pertumbuhan sehingga
pakan yang diberikan dapat diserap oleh tubuh dengan baik. Sedangkan dalam
pertumbuhan panjang, benih abalon tampak lebih cepat tumbuh apabila diberi
makan pelet awabi, meskipun nilai perbedaan pertumbuhan panjangnya tidak
signifikan dibanding pakan buatan (agar). Hal ini diduga karena kandungan
kadar kalsium (Ca) dalam pelet awabi lebih tinggi jika dibandingkan
kandungan kalsium dalam pakan agar. Kandungan kadar kalsium dalam pelet
awabi sebesar 1,50 sedangkan kandungan kalsium dalam pakan agar sebesar
0,33. Kalsium bermanfaat untuk pembentukan cangkang abalon karena
komposisi cangkang moluska terdiri dari 95-99% kalsium karbonat dan 5%
lainnya terdiri atas bahan organik (Chang 2006 cit Susanto, 2010).

241
2
1.5
1 Pakan Pellet
0.5 Pakan Agar
0
Berat (g) Panjang (cm)

Gambar 4. Grafik Laju Pertumbuhan Berat dan panjang Benih Abalone

Laju pertumbuhan spesifik berat lebih tinggi pada benih abalone yang
diberi pakan buatan agar sedangkan laju pertumbuhan spesifik panjang lebih
tinggi pada benih abalone yang diberi pakan pellet awabi, meskipun
perbedaannya tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pakan buatan
berupa agar, lebih cepat dicerna dan dimanfaatkan oleh abalone untuk
pertumbuhan daripada pakan pellet awabi. Sedangkan kandungan kalsium yang
lebih tinggi pada pellet awabi memberikan pertumbuhan cangkang abalone
(panjang) yang lebih baik daripada pakan agar.

Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate)


Hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup benih abalone (Haliotis
squamata) yang dipelihara adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Abalon


Jumlah Benih Jumlah Benih
Jenis Pakan SR (%)
Awal (ekor) (Akhir)
Agar 50 48 96
Pellet 50 49 98

Tingkat kelangsungan hidup benih abalon (H.squamata) pada kegiatan


pendederan ini, berkisar antara 96 – 98 %. Rata-rata tingkat kelangsungan
hidup benih abalon yang diberi pakan pelet awabi lebih tinggi dibandingkan
benih abalon yang diberi pakan buatan agar, namun perbedaannya tidak secara
signifikan. Kedua perlakuan pemberian pakan masih menghasilkan tingkat
kelangsungan hidup (SR) benih abalon yang tinggi. Tingginya nilai
kelangsungan hidup pada semua perlakuan diduga karena pakan dan kepadatan
tebar cocok untuk benih abalon sehingga stabilitas dan nutrisinya baik untuk
pertumbuhan benih abalon. Di samping itu ketersediaan makanan yang cukup
242
dan kualitas air yang menunjang sangat mempengaruhi tingkat kelangsungan
hidup abalon. Secara umum pertumbuhan dan kelangsungan hidup hewan jenis
kerang-kerangan sangat dipengaruhi oleh faktor penting yaitu suhu dan
makanan (Marsden 2004 cit. Hamzah, 2009).

Konversi Pakan (Feed Convertion Rate/FCR)


Tingkat Konversi Pakan (Feed Convertion Rate/FCR) adalah jumlah
makanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan penambahan bobot 1 kg daging
ikan (abalone). Efisiensi penggunaan pakan dapat diukur melalui rasio konversi
pakan atau FCR. Hasil penghitungan tingkat konversi pakan pada pendederan
benih abalone (H.squamata) dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4. Tingkat Konversi Pakan (FCR)

Jumlah Benih Jumlah Benih


Jenis Pakan SR (%)
Awal (ekor) (Akhir)
Agar 50 48 96
Pellet 50 49 98

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa tingkat konversi pakan


tertinggi pada perlakuan pemberian pakan buatan agar. Secara rata-rata, tingkat
konversi pakan buatan agar lebih tinggi dibandingkan pakan pellet awabi. Hasil
ini menunjukkan bahwa benih abalone (H.squamata) relatif lebih besar
mengkonsumsi pakan buatan agar dibandingkan dengan pellet awabi. Hal ini
diduga karena pemberian pakan buatan agar lebih disukai dibandingkan dengan
pellet awabi karena kebiasaan abalone memakan pakan basah.

243
15

10
Pakan Agar
5
Pakan Pellet

0
FCR Efisiensi Pakan

Gambar 5. Grafik Tingkat Konversi dan Efisiensi Pakan

Efisiensi pakan tertinggi adalah pada pendederan benih abalone yang


diberi pakan pellet awabi. Hal ini diduga karena pellet awabi memiliki
kandungan nutrisi yang lebih lengkap dibandingkan dengan pakan buatan agar.
Nilai efisiensi pakan digunakan sebagai indicator untuk menentukan efektifitas
pakan yang dikonsumsi. Faktor utama yang menentukan tinggi rendahnya
efisiensi pakan adalah macam sumber nutrisi dan jumlah dari tiap-tiap
komponen sumber nutrisi dalam pakan tersebut. Secara umum dapat dikatakan
bahwa nilai efiensi pakan yang baik apabila abalone mampu mengkonsumsi
pakan dengan baik sehingga nilai efisiensinya tinggi, begitu juga sebaliknya
apabila abalone tidak mengonsumsi pakan dengan baik maka akan
menyebabkan rendahnya nilai efisiensi dari pakan tersebut.

Kualitas Air
Pengukuran kualitas air dilakukan seminggu sekali. Parameter kualitas
air yang diukur adalah suhu, DO (Disolved Oxygen), salinitas dan pH. Hasil
pengukuran kualitas adalah suhu rata-rata yakni 28,6 0C seperti yang
disampaikan Irwan (2006), suhu yang optimal untuk abalon berkisar 24-300C.
Nilai pH rata-rata 7 sama halnya dengan pernyataan Fuadi (2007) bahwa nilai
pH air yang normal adalah netral, yaitu antara ph 6 sampai pH 8. Nilai salinitas
rata-rata pada 35 ppt di dukung oleh pernyataan Setiawati dkk., (1995) bahwa
abalon dapat tumbuh pada kisaran salinitas 35-37 ppt; 33-35 ppt (Fallu, 1991).
Nilai DO rata-rata 4,8 mg/l. Setyono (2009) melaporkan bahwa nilai DO 3,27-
6,26 ppm; 3-4 (Fallu, 1991). Nilai suhu, pH, salinitas dan DO pada kegiatan
pendederan ini sudah termasuk dalam kisaran normal.

244
KESIMPULAN

Kesimpulan
a) Laju pertumbuhan spesifik berat lebih tinggi pada pemeliharaan benih
abalone (Haliotis squamata) dengan pemberian pakan agar
dibandingkan dengan pellet (awabi)
b) Tingkat kelangsungan hidup benih abalone pada pemeliharaan dengan
pemberian pellet lebih tinggi dibandingkan dengan pakan agar, namun
tidak berbeda secara signifikan.
c) Tingkat konversi pakan (FCR) dan efisiensi pakan paling baik adalah
pakan pellet (awabi).

Saran
Perlu ada usaha pembuatan pakan buatan (pellet) dengan komposisi
yang sama dengan pellet (awabi), dengan menggunakan bahan lokal sehingga
lebih efisien dalam biaya produksi.

245
DAFTAR PUSTAKA

Fallu, R., 1991. Abalone Farming. Fishing News Books. Oxford Ox2 OEL.
England. hal:37
Fuadi,2007. Faktor Fisika-Kimia
Air.http://letsbelajar.blogspot.com/2007/08/faktor-fisika-kimia-air.html.
hal:8
Hamzah, M.S., 2009. Pengaruh Suhu dan Salinitas Yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anakan Abalon. Makalah Hasil
Penelitian. LIPI. Mataram. hal:4
Irwan, J.E., 2006. Pengembangan Budidaya Abalon (Haliotis asinina L.)
Produksi Hatchery di Indonesia. Jurusan Perikanan, UNHALU,
Kendari, Sulawesi Tenggara. hal:21
Setyono, D.E.D. 2009. Abalone Biologi dan Reproduksi.LIPI Press.
Jakarta.hal: 1-25.
Setiawati, K.M., Yunus, I. Setyadi dan R. Arfah, 1995. Pendugaan Musim
Pemijahan Abalon di Pantai Kuta Lombok Tengah. J. Pen. Perik.
Indonesia, 3:124-129
Susanto, B., I. Rusdi., S. Ismi dan R. Rahmawati, 2010. Pemeliharaan Yuwana
Abalon (Haliotis squamata) Turunan F-1 Secara Terkontrol Dengan
Jenis Pakan Berbeda. J.Ris.Aquakultur. Vol.5. No.2.hal:199-202.

246
PEMANFAATAN TELUR IKAN KERAPU INFERTIL
PADA PEMBESARAN IKAN HIAS LAUT

Hariyano, Abdul Gani, Herlina Tahang dan Erdy A. Basir


Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon

ABSTRAK

Telur infertil merupakan telur yang tidak terbuahi pada saat


terjadinya pemijahan ikan laut dan tidak bisa dimanfaatkan. Dari total
produksi telur kerapu di Balai Budidaya Laut Ambon yang mencapai
20-30 juta butir perbulan, 10-15 % diantaranya merupakan telur infertil
yang tidak termanfaatkan. Namun seiring dengan berkembangnya
pembenihan ikan hias laut di BBL-Ambon yang mencapai 12 spesies
ikan, diperlukan pakan yang dapat mempercepat pertumbuhan dan
sintasan sehingga adanya peningkatkan produksi. Alternatif yang
diambil adalah memanfaatkan telur-telur kerapu yang infertil sebagai
pakan pada pembesaran ikan hias laut tersebut.
Kegiatan ini berlangsung dari bulan Juni – Agustus 2013 dan
bertempat di Hatchery Pembenihan Ikan Hias Laut BBL-Ambon. Telur-
telur hasil pemijahan ikan kerapu yang ada pada kolektor telur, diambil
yang infertil atau yang mengendap didasar wadah penampungan telur.
Kemudian diberikan pada benih ikan hias laut blue devil (Chrysiptera
cyanea) dan ikan nemo biasa (Amphiprion sp.) sebanyak 1000 butir
untuk 100 ekor ikan. Sedangkan ikan hias laut pada wadah yang lainnya
diberi pakan pelet sebagai pembanding.
Laju pertumbuhan untuk ikan hias blue devil yang diberi telur
kerapu infertil adalah 1,86% dan yang diberi pelet 1,79%. Sedangkan
pada ikan nemo laju pertumbuhan yang diberi pakan telur infertil
kerapu 2,43% dan yang diberikan pakan pelet 2,31%.
Hasil analisa kelayakan usaha yang dilakukan terhadap kegiatan
pemanfaatan telur infertil kerapu dalam pembenihan ikan hias laut di
BBL Ambon dapat menekan biaya operasional sebanyak 20 - 30%.

Kata Kunci : Telur infertil, pertumbuhan, ikan hias laut

247
PENDAHULUAN

Seiring dengan meningkatnya ritme kerja masyarakat, maka kebutuhan


akan objek rekreasipun meningkat. Salah satu yang populer sebagai penawar
kepenatan setelah menjalankan aktivitas sehari hari adalah menikmati
keindahan ikan hias, baik ikan hias air tawar maupunikan hias air laut. Ikan hias
air laut kini kian populer baik didalam maupun di luar negeri, karena warna dan
bentuknya yang unik dan beraneka ragam. Ikan hias merupakan salah satu
komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi baik
itu untuk pasar lokal maupun di pasar luar negeri.
Keragaman spesies ikan hias, baik ikan hias air laut maupun air tawar
adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia. Dari 650 spesies
ikan hias air laut, 480 spesies sudah teridentifikasi dan 200 spesies
diperdagangkan. Potensi ikanhias Indonesia ini
selainuntukmemenuhipermintaanpasarlokaljugauntukmengisipasarluarnegeri.Pe
rmintaanikanhias air lautmeningkat
seiringterjadinyapeningkatankebutuhanmasyarakatakanhiburan.
Pasarinternasionalikanhias air lauthampirtersebardiseluruhnegaradidunia. Ikan
hias air laut Indonesia memiliki pangsa pasar di dunia internasional sebesar 20
%, dan bila dicermati lebih jauh hampir semua ikan hias laut pada pangsa pasar
ini berasal dari penangkapan.
Aneka warna-warni yang dimiliki oleh ikan hias laut merupakan
cerminan dari habitat yang didiaminya akibat dari kemampuan adaptasi
terhadap lingkungannya.
Penanganan ikan hias laut tidak serumit ikan kerapu karena
teknologinya sederhana dan dapat dipijahkan pada akuarium kapasitas 100 liter.
Perkembanganikan hias laut di BBL-Ambon dimulai pada tahun 2009 dengan
mendomestikasi ikan Banggai Cardinal Fish. Tahun 2013 BBL-Ambon telah
berhasil memijahkan 12 jenis ikan hias nemo, blue devil, banggai cardinal fish
dan ikan ikonik mandarin fish.
Pakan merupakan unsur penting yang diperlukan oleh makhluk hidup
sebagai zat pembangun dalam tubuh. Penggunaan berbagai jenis pakan dengan
komposisi kandungan nutrisi yang berbeda pada ikan peliharaan merupakan
salah satu cara untuk mendapatkan nilai pertumbuhan yang diinginkan serta
kondisi tubuh yang lebih tahan terhadap serangan penyakit serta perubahan
kondisi lingkungan yang yang berujung pada nilai kelulushidupan ikan yang
dipelijhara. Penggunaan pakan dengan kompisisi yang tepat diharapkan dapat
menekan angka kematian dan mempercepat pertumbuhan ikan yang
dibudidayakan.Dalam kegiatan budidaya perikanan, pakan merupakan faktor
penting yang perludiperhatikan.Kandungan zat gizi pakan sangat
mempengaruhi hasil panen yang merupakantujuan akhir dari proses

248
budidaya.Oleh karena itu, aspek nutrisi dalam pakan ikan mendapatperhatian
yang cukup besar oleh para ahli dan juga usahawan.Selain itu, pakan
jugamerupakan komponen biaya operasional yang cukup besar dalam kegiatan
budidaya, sehinggaperlu diperhitungkan efisiensinya. Oleh karena pertumbuhan
ikan sangat dipengaruhi oleh faktor makanan dan biaya untuk pakanmerupakan
komponen terbesar dalam operasional budidaya.
Salah satu aspek penting dalam produksi benih yaitu produksi telur yang
fertile supaya dapat menghasilkan larva dengan sintasan dan pertumbuhan yang
tinggi. Kandungan nutrisi pada pakan yang diberikan dapat berpengaruh
terhadap produksi telur yang dihasilkan. Pada ikan teleostei, banyaknya nutrisi
berhubungan dengan banyak faktor seperti rasio pakan, tingkatan nutrisi dan
komposisi yang telah diketahui berpengaruh terhadap berbagai macam
parameter reproduksi seperti perkembangan gonad, kualitas dan kuantitas telur,
keberhasilan pemijahan, daya tetas dan kualitas larva. Umumnya pakan yang
diberikan adalah pakan buatan (pellet) dan artemia dewasa. Masing-masing
memiliki kandungan nutrisi yang berbeda dan dibutuhkan bagi induk ikan
untuk mampu melakukan reproduksi.
Telur ikan adalah bahan makanan yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia. Telur Ikan mengandung energi sebesar 398 kilokalori,
protein 16,7 gram, karbohidrat 4,5 gram, lemak 34,8 gram, kalsium 235
miligram, fosfor 544 miligram, dan zat besi 25,2 miligram. Selain itu di dalam
Telur Ikan juga terkandung vitamin A sebanyak 0 IU, vitamin B1 0,3 miligram
dan vitamin C 0 miligram. Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian
terhadap 100 gram Telur Ikan, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak
100 %.
Telur infertil merupakan telur yang tidak terbuahi pada saat terjadinya
pemijahan ikan laut dan tidak bisa dimanfaatkan. Dari total produksi telur
kerapu di Balai Budidaya Laut Ambon yang mencapai 20-30 juta butir
perbulan, 10-15 % diantaranya merupakan telur infertil yang tidak
termanfaatkan. Namun seiring dengan berkembangnya pembenihan ikan hias
laut di BBL-Ambon yang mencapai 12 spesies ikan, diperlukan pakan yang
dapat mempercepat pertumbuhan dan sintasan sehingga adanya peningkatkan
produksi. Alternatif yang diambil adalah memanfaatkan telur-telur kerapu yang
infertil sebagai pakan pada pembesaran ikan hias laut tersebut.
Adapun tujuan dilakukan kegiatan ini adalah untuk mengkaji pengaruh
telur kerapu infertil terhadap pertumbuhan benih ikan hias laut dengan sasaran
adanya pengurangan biaya operasional dalam kegiatan budidaya ikan hias laut.

249
BAHAN DAN METODE

Pelaksanaan kegiatan pemanfaatan telur kerapu infertil terhadap


pertumbuhan ikan hias laut bertempat di Divisi Ikan Hias Balai Budidaya Laut
Ambon dan Dilaksanakan Pada Bulan Juni - Agustus 2013.

Tabel 1. Alat dan Bahan yang Digunakan


Alat Bahan
Aquarium Benih ikan hias laut (blue devil
dan nemo)
Instalasi air Air Laut
laut
Instalasi Pakan pellet
aerasi
Timbangan Telur kerapu indertil
Kamera
Alat tulis
menulis
Selang sipon

Telur-telur hasil pemijahan ikan kerapu yang ada pada kolektor telur,
diambil yang infertil atau yang mengendap didasar wadah penampungan telur.
Kemudian diberikan pada benih ikan hias laut blue devil (Chrysiptera cyanea)
dan ikan nemo biasa (Amphiprion sp.) sebanyak 1000 butir untuk 100 ekor
ikan. Sedangkan ikan hias laut pada wadah yang lainnya diberi pakan pelet
sebagai pembanding.
Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan dimensi suatu organisme
yang dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pengukuran
pertumbuhan ikan uji dengan menghitung pertambahan berat biomassa dalam
satu wadah (Matondang, 1994 dalamMartuti, 1989), yaitu :

W = Wt-Wo

Keterangan:
W = Pertumbuhan biomassa mutlak ikan uji (g)
Wt = Biomassa ikan uji pada akhir penelitian (g)
W0 = Biomassa ikan uji pada awal penelitian (g)
Logaritma dari persamaan tersebut di atas merupakan regresi linier
dimana "g" merupakan koefisien arahnya. Jadi laju pertumbuhan
"instantaneous growth (g)" didapat dari regresi linier persamaan berikut:
250
Ln Wt = Ln Wo+gt

Keterangan:
Wt = Biomassa ikan uji pada akhir penelitian (g)
Wo = Biomassa ikan uji pada awal penelitian (g)
g = Koefisien laju pertumbuhan
t = Lama penelitian (minggu).
Selama proses penelitian dilakukan pengamatan jumlah larva mandarin
fish yang mati dan jumlah larva mandarin fish yang masih hidup, sehingga
dapat dihitung prosentase kematian dan kelangsungan hidup larva mandarin
fish (menurut Chapman, 1968 dalam Martuti, 1989) menggunakan rumus:

S = (1 – Z)x100
Keterangan:
S = Kelangsungan hidup (%)
Z = Koefisien laju kematian, dihitung dengan rumus Z = ln No – ln
Nt/t
No = Jumlah larva mandarin fish yang hidup pada awal pengamatan
Nt = Jumlah larva mandarin fish selama periode pengamatan
t = Waktu (minggu)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan merupakan rangkaian perubahan ukuran suatu organisme


yang dapat berupa berat atau panjang dalam satuan waktu tertentu. Dalam
kegiatan pemanfaatan telur kerapu infertil ini juga terlihat adanya pertumbuhan
yang ditunjukan dengan pertambahan panjang dari ikan tersebut. Pola
pertumbuhan ikan hias berdasarkan ukuran panjang disajikan pada Gambar 1.
Dari gambar tersebut, terlihat bahwa pola pertumbuhan ikan hiascenderung
naik dan hampir membentuk garis lurus. Ikan hias clownfish yang diberi pakan
telur infertil (CFPTI) memiliki pertumbuhan yang agak cepat bila dibandingkan
dengan ikan hias clownfish yang diberi pakan pelet (CFPP). Perbedaan juga
terlihat pada saat dibandingkan dengan ikan blue devil yang diberi pakan telur
infertil (BDPTI) dan ikan blue devil yang diberi pakan pelet (BDPP).

251
6

4 BDPTI
Panjang
(cm)
3 BDPP

2 CFPTI
CFPP
1

0
1 2 3 4 5
Pengukur
Gambar 1. Pola Pertumbuhan Ikan Hias Laut Berdasarkan Pertambahan
Panjang Tubuh

Hasil analisa laju pertumbuhan ikan hias lautmenunjukkan bahwa laju


pertumbuhan untuk ikan hias blue devil yang diberi telur kerapu infertil adalah
1,86% dan yang diberi pelet 1,79%. Sedangkan pada ikan nemo laju
pertumbuhan yang diberi pakan telur infertil kerapu 2,43% dan yang diberikan
pakan pelet 2,31%. Sedangkan kelangsungan hidup ikan hias blue devil 93%
dan ikan nemo 96%.
Hasil analisa kelayakan usaha yang dilakukan terhadap kegiatan
pemanfaatan telur infertil kerapu dalam pembenihan ikan hias laut di BBL
Ambon dapat menekan biaya operasional sebanyak 20 - 30%.
Pertumbuhan merupakan rangkaian perubahan ukuran suatu organisme
yang dapat berupa berat atau panjang dalam satuan waktu tertentu. Dalam
kegiatan pemanfaatan telur kerapu infertil ini juga terlihat adanya pertumbuhan
yang ditunjukan dengan pertambahan panjang dari ikan tersebut. Dari analisa
data yang dilakukan terlihat bahwa ikan hias yang diberikan pakan telur infertil
agak lebih cepat pertumbuhannya bila dibandingkan dengan ikan hias yang
dberikan pakan pelet, baik pada ikan hias blue devil ataupun ikan hias
clownfish. Hasil analisa laju pertumbuhan juga menunjukkan bahwa ikan hias
blue devil yang diberi telur kerapu infertil adalah 1,86% dan yang diberi pelet
1,79%. Sedangkan pada ikan nemo laju pertumbuhan yang diberi pakan telur
infertil kerapu 2,43% dan yang diberikan pakan pelet 2,31%. Sedangkan
kelangsungan hidup ikan hias blue devil 93% dan ikan nemo 96%. Cepatnya
pola pertumbuhan dan laju pertumbuhan ikan hias laut yang diberi telur kerapu
infertil kemungkinan disebabkan oleh telur kerapu infertil yang diberikan mirip

252
dengan pakan alami seperti rotifer dan artemia yang sering diberikan kepada
ikan hias laut dari segi bau dan rasa yang lebih natural dan mudah dicerna
disamping kandungan nutrisi yang ada didalam telur ikan tersebut. Menurut
Chumaidi et al., (2009) kandungan nutrisi pakan alami terutama asam lemak
tak jenuh berkaitan dengan sintasan dan pertumbuhan panjang. Selanjutnya
Steffen (1997) menyatakan bahwa asam linoleat, asam linolenat dan EDA pada
pakan alami berfungsi sebagai bahan pembentuk hormon yang penting dalam
proses metabolisme ikan. Walaupun dari perbandingan kandungan protein,
pakan pelet memiliki kandungan yang lebih tinggi (40%) bila dibandingkan
dengan protein telur ikan yang hanya 16,7%, namun dari kandungan lemak
telur ikan mempunyai kandungan yang lebih tinggi (34,8%) dari pelet yang
diberikan (13%). Arif dan Adiwinata (2008) menyatakan bahwa nutrien yang
tidak kalah penting adalah lemak. Lemak dalam pakan dapat menjadi sumber
energi dan sumber asam lemak essensial. Hal ini senada dengan Suprayudi et
al. (2002a) yang menyatakan bahwaDHA mempunyai pengaruh yang lebih
besar dibandingkan dengan EPA dalam mempercepat perubahan bentuk,
pigmentasi, kelangsungan hidup dan pertumbuhan Selanjutnya, Giri et al.
(1999) meyatakan bahwa kebutuhan lemak untuk ikan kerapu mencapai 9%-
125%. Untuk kebutuhan lemak dan profil asam lemak larva ikan–ikan laut
dibutuhkan kandungan lemak yang lebih tinggi dengan DHA/EPA rasio
mendekati 2.0 (Sargent et al., 1997).
Kelangsungan hidup (SR) yaitu persentase jumlah benih ikan yang
masih hidup setelah perlakuan (Zonneveld dkk., 1991). Kelangsungan hidup
berfungsi untuk menghitung persentase ikan yang hidup pada akhir kegiatan.
Pada kegiatan ini kelangsungan hidup ikan hias laut untuk semua perlakuan
adalah 93-96%. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh manajemen
pemberian pakan yang teratur serta pengontrolan yang dilakukan tiap hari serta
padat tebar yang tidak terlalu tinggi sehingga ada ruang dan pergerakan yang
leluasa dari ikan tersebut.Menurut Fajar (1988) dalam Sukoso (2002) tingkat
kelangsungan hidup ikan dipengaruhi oleh manejemen budidaya yang baik
antara lain padat tebar, kualitas pakan, kualitas air, parasit atau penyakit. Selain
itu menurut Mudjiman (2000) pakan yang mempunyai nutrisi yang baik sangat
berperan dalam mempertahankan kelangsungan hidup dan mempercepat
pertumbuhan ikan.
Analisa usaha secara umum ditetapkan dengan tujuan untuk menilai
manfaat investasi terhadap suatu usaha yang dilakukan, membandingkan
tingkat manfaat investasi terhadap suatu usaha dengan usaha lainnya, dapat
digunakan sebagai kendali terhadap investasi usaha yang dijalankan. Dan
berdasarkan hasil analisa kelayakan usaha kegiatan pemafaatan telur kerapu
infertil diperoleh Return of investasi (ROI) 144% dan benefit cost ratio (B/C)
ratio 2,44. ROI adalah nilai keuntungan yang diperoleh pengusaha dari setiap

253
jumlah uang yang diinvestasikan dalam periode waktu tertentu. dengan analisis
ROI dapat mengukur sampai seberapa besar kemampuan dalam
mengembalikan modal yang telah ditanamkan. Dengan ROI 144% artinya dari
modal Rp 100,- yang diinvestasikan akan menghasilkan keuntungan sebesar
144 %. Dengan benefit cost ratio dapat dilihat kelayakan suatu usaha. Bila
nilainya satu berarti usaha tersebut belum mendapatkan keuntungan. semakin
kecil nilai ratio ini, makin besar kemungkinan perusahaan menderita kerugian.
Dan B/C ratio 2,44 berarti dengan biaya produksi Rp. 100,- diperoleh hasil
penjualan 2,44 kali. Sedangkan yang menggunakan pelet diperoleh ROI 0,80%
dan B/C ratio 1,80 kali. Perbandingan hasil yang diperoleh ini dapat
disimpulkan penggunaan telur kerapu infertil dapat menekan biaya 20-30%.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka didapatkan beberapa


kesimpulan, laju pertumbuhan untuk ikan hias blue devil yang diberi
telur kerapu infertil adalah 1,86% dan yang diberi pelet 1,79%. Sedangkan pada
ikan nemo laju pertumbuhan yang diberi pakan telur infertil kerapu 2,43% dan
yang diberikan pakan pelet 2,31%. Tingkat kelangsungan hidup hias laut untuk
semua perlakuan adalah 93-96%.Hasil analisa usaha ROI adalah 144% dan B/C
adalah 2,44 kali untuk ikan hias yang diberi telur infertil dan ROI 0,8% dan
B/C ratio 1,8 kali untuk ikan hias yang diberi pakan pelet.
Perlu kegiatan lebih lanjut dengan mengkombinasikan pemberian pakan
antara telur infertil dan pakan pelet.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan Liviawaty, E., 2005. Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta

Arif, G. A. Dan W. Adiwinata, 2008. Aplikasi Kombinasi Beberapa Pakan


Dalam Pemeliharaan Larva Ikan Kerapu Pasir (Epinephelus
corallicola). Buletin Teknisi Litkayasa Akuakultur Volume 7 No. I
Tahun 2008.

Effendie, I. 2004. Pengantar Aquakultur. Penebar Swadaya. Bogor


Fuiman, L. A. and Werner R.G., 2002. Fishery Science The Unique
Contributions of Early life stages. Blackwell Science Ltd. Oxford

Giri, N.A., K. Suwirya dan M. Marzuqi, 1999. Kebutuhan Protein, Lemak dan
Vitamin C untuk Yuwana Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis).
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 4(3) : 38-45.

254
Ignatius, Boby., G. Rathore, I. Jagadis., D. Kandasami and A.C.C. Victor.
2001. Spawning and larval rearing technique for tropical clown fish
Amphiprion sebae under captive condition. Journal of Aquaculture in
the Tropics. 241-249.

http://www.genchembiotech.com/index.php/zh/homepage/aquaculture-
hatchery/product/27-pufa-emulsion

http://www.indonesianaquaculture.com/showthread.php/190-Aplikasi-
Probiotik-dan-Metodenya.

Mudjiman, A. 2000. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta

Rodriguez C et al. 1997. Influence of the EPA/DHA ratio in the rotifers on


gilthead seabream (Sparus aurata) larval
development. Aquaculture 150: 77-89.

Rusdy, 2009. Pakan Untuk Larva Ikan. http://mamanabee.wordpress.com

Sargent JR, McEvoy LA, Bell JG. 1997. Requirement, presentation and sources
of polyunsaturated fatty acids in marine fish larval feeds. Aquaculture
155:117-127.

Sargent JR, McEvoy LA, Estevez A, Bell JG, Bell M, Henderson J, Tocher
D.1999. Lipid nutrition of marine fish during early development:
currentstatus and future direction. Aquaculture 179: 217-229.

Sukoso. 2002. Pemanfaatan Mikroalga dalam Industri Pakan Ikan. Agritek


YPN. Jakarta.

Suprayudi MA, Takeuchi T, Hamasaki K, Hirakawa J. 2002a. The effect of N-3


HUFA content in rotifers on the development and survival of mud
crab,Scylla serrata, larvae. Suisanzoshoku, Japan Aquaculture Society,
50 (2):205-212.
Steffens, 1997. Effect of Variation in Essential Fatty in Fish Feed on Nutritive
Values of Fresh Water Fish for Humans. Aquaculture.51: 97 – 119.

255
KELAYAKAN USAHA PEMBESARAN ABALONE Haliotis squamataDI
KARAMBA JARING APUNG

Mochamad Amiri, Andry Arfiyanto, Adeyana

ABSTRACT

Siput abalon (Haliotis squamata) termasuk kedalam kelompok


kekerangan laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dengan harga
berkisar antara Rp.150.000-Rp 200.000 perkilogram. Eksplorasi yang
terus menerus, menyebabkan penurunan hasil tangkapan dan stock
abalon di alam, serta tingginya permintaan pasar baik internasional
maupun domestik untuk abalon, menjadi daya tarik tersendiri untuk
mengembangkan kegiatan budidaya abalon. Dalam rangka memenuhi
permintaan abalon maka perlu upaya perekayasaan pembesaran abalon
dengan metode pembesaran agar dapat mensuplai kebutuhan abalon
secara kontinyu.
Kegiatan perekayasaan ini dilaksanakan mulai Januari - Desember
2012 bertempat di Balai Budidaya Laut Lombok. Benih yang ditebar
ukuran 2-3 cm dengan berat rata-rat 4-5 gram/ekor dengan padat tebar
150 ekor/wadah budidaya. Wadah budidaya yang digunakan dengan
keranjang kotak yang sudah diberi waring ukuran 40x60x30 cm dan
digantung pada keramba jaring apung. Pakan yang di berikan berupa
rumput laut (Gracillaria sp ) secara adlibitum.
Hasil kegiatan perekayasaan pembesaran abalon Haliotis squamata di
keramba jaring apung selama 12 bulan dengan tingkat kelangsungan
hidup 80 % dan laju pertumbuhan panjang harian abalone 0,075 cm /
hari dan berat 111 mg/ hari (dengan berat rata-rata akhir abalone 40
gram/ekor). Dari hasil analisa usaha menunjukkan bahwa kegiatan ini
layak untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
keuntungan sebesar Rp 20.225.000,-, R/C 1,73 dan pengembalian
modal 137,3 % yang berarti modal akan kembali setelah 1,3 siklus,
atau 15 bulan.
Kisaran kualitas air pemeliharaan: salinitas 33-34 ppt, suhu 29-30 °C,
DO 3,5-4,5 mg/l, pH 7,5-8 dan NH3 0,1-0,2 mg/liter.

Keyword : Abalone, Haliotis squamata, pembesaran, Karamba, Jaring


Apung

256
PENDAHULUAN

Kerang abalone (Haliotis sp) merupakan komoditas laut jenis moluska,


yang mempunyai satu cangkang dan sebuah otot yang besar, berupa kaki yang
digunakan untuk melekat pada substrat. Dimana bagian kaki inilah yang
mempunyai porsi/bagian terbesar dari hewan moluska ini dan dianggap
mempunyai cita rasa yang khas oleh para penggemar sea food. Pemanfaatan
abalone sebagai hidangan laut sea food dan biasanya hanya disajikan di
hotel/restoran berbintang dengan harga fantastis, yang disebabkan karena
mempunyai nilai gizi tinggi, cita rasa yang khas, juga dipercaya mampu
meningkatkan vitalitas dan rendah kolesterol sehingga menjadikan abalone
termasuk ke dalam kekerangan eksklusive.
Namun demikian keberadaan kerang abalone di alam dari tahun ke
tahun semakin menurun yang disebabkan oleh eksploitasi yang terus menerus.
Sementara jumlah tangkapan menurun, permintaan abalon terus mengalami
peningkatan. Hal itu mendorong berkembangnnya budidaya akuakultur abalon.
Sehingga saat ini kebutuhan abalon dunia lebih banyak dipenuhi dari sektor
budidaya.
Salah satu pemecahan untuk mengatasi over-eksploitasi adalah dengan
mengembangkan sistem budidaya yang tepat yang diharapkan dapat
meningkatkan stock dan supply pasar untuk komoditas yang mempunyai nilai
prestise ini. Pembesaran atau budidaya merupakan istilah dalam industri
perikanan untuk proses yang melibatkan pembesaran juvenile/benih kerang
sampai mencapai ukuran pasar atau konsumsi.
Teknologi produksi benih dan pembesaran telah ada sehingga dapat
dikembangkan secara berkelanjutan, biaya operasional yang relatif rendah
karena pakan yang diberikan berupa rumput laut (Gracilaria sp dan Ulva sp)
yang melimpah di kawasan perairan Indonesia serta bentuk produk dengan
berbagai pilihan merupakan peluang untuk meningkatkan nilai jual.
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
analisis kelayakan usaha untuk mengetahui apakah usaha pembesaran abalone
di KJA saat ini layak atau tidak diusahakan jika dilihat dari Aspek teknis dan
analisa usaha/finansial.

Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha budidaya
abalone di KJA ditinjau dari Aspek teknis dan analisa usaha/finansial.

257
BAHAN DAN METODE

Kegiatan ini dilaksanakan mulai Januari – Desember 2012 bertempat di


Balai Budidaya Laut Lombok. Adapun kegiatan dalam pembesaran abalon di
KJA adalah sebagai berikut Benih yang digunakan dalam kegiatan
perekayasaan pembesaran adalah Haliotis squamata berjumlah 7.500 ekor dari
hasil pembenihan dengan ukuran rata-rata berat awal 4-5 gram dan panjang
cangkang 2-3 mm) dan Wadah budidaya yang digunakan untuk kegiatan
pembesaran ini berupa keranjang bentuk persegi dari plastik dengan ukuran 60
cm x 40 cm x 30 cm yang diberi pintu sebanyak 50 buah dan digantungkan
pada rakit apung.
Kegiatan persiapan yang dilakukan adalah, benih abalone dipilih yang
mempunyai ukuran panjang cangkang 2-3cm, sehat, tidak cacat/luka, serta
sensitif terhadap respon luar. Benih diadaptasikan terlebih dahulu minimal 1
minggu di darat pada keranjang yang terbuat dari super net berukuran 90 cmx
50cmx30 cm dan di dalamnya diberi shelter berupa potongan pipa PVC dengan
panjang 30 cm sebanyak 3-4 buah. Keranjang tersebut digantungkan pada bak
fiber glass volume 1,5 ton dengan sistem air mengalir (flow through)dan aerasi
kuat. Benih diberi pakan Gracillaria sp secara ad libithum. Setelah
diadaptasikan, benih abalone ditebar pada keranjang gantung dengan kepadatan
150 ekor/keranjang, dan digantungkan pada rakit apung dengan kedalaman 2-3
m. Pemberian pakan berupa rumput laut Gracilaria sp dilakukan setiap 3-4
hari sekali secara ad libithum/selalu tersedia.
Sampling terhadap pertumbuhan dilakukan setiap bulan dengan
mengambil sampel 15 ekor setiap keranjangnya secara hati-hati dengan
menggunakan spatula plastik. Panjang cangkang diukur dengan menggunakan
kaliper plastik dan berat tubuh dengan menggunakan timbangan digital.
Sebelum ditimbang, sampel abalone harus dikeringkan dahulu dengan
menggunakan kain handuk. Sampel dikembalikan ke keranjang semula setelah
diukur pertumbuhannya. Dihitung juga jumlah abalone yang masih hidup tiap
keranjangnya.
Panen dilakukan setelah pemeliharaan selama 12 bulan. Selanjutnya
dilakukan analisa data yang diperoleh.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeliharaan selama 12 bulan, kerang abalone Haliotis squamata


yang dipelihara pada keranjang keranjang kotak pada Keramba Jaring Apung,
diperoleh data aspek teknis berupa data pertumbuhan (berat dan panjang
cangkang) dan kelulusan hidup.

258
Laju Pertumbuhan
Data sampling pengukuran panjang cangkang dan berat benih abalon
tiap bulan selama pemeliharaan disajikan pada Tabel 1
Tabel 1. Pertumbuhan panjang dan berat rata-rata benih abalone Haliotis
squamata serta SR selama 12 bulan pemeliharaan.
Bulan ke- Berat Rata-rata Panjang Rata-rata Kelulushidupan
(gr) (cm) (SR%)
1 (Tebar) 3.8 2.1 100.00
2 7.2 2.34 99.69
3 11.1 2.58 99.49
4 13.3 2.83 98.29
5 16.6 3.07 96.69
6 21.2 3.32 93.49
7 26.5 3.56 91.09
8 30.5 3.8 87.40
9 35.3 4.05 81.60
10 36.1 4.3 81.09
11 37.2 4.56 80.09
12 (Panen) 43.9 4.82 80.00

60
50 4.82
4.56
4.054.3
40 3.8
3.56
30 3.32
3.07
20 2.582.83 Panjang
10 2.1 2.34
rata-rata
0 (cm)
5
2
3
4

6
7
8
9
10
11
12
Bulan ke- 1

Gambar 1. Pertumbuhan panjang dan berat rata-rata benih


abalone Haliotis squamata

259
Berdasarkan tabel.1 dan gambar 1 diatas pada kolom berat rata-rata
diketahui bahwa benih abalone H. squamata tumbuh dari berat rata-rata 3,8
gram/ekor menjadi 43,1 gram/ekor dalam waktu pemeliharaan 12 bulan.
Dengan demikian rata-rata laju pertumbuhan harian (Daily Growth Rate)
sebesar 111 mg/hari. Sedangkan pada kolom panjang rata-rata, benih abalone
H. squamata dapat terlihat penambahan dari ukuran tebar 2,1 cm menjadi 4,82
cm dengan waktu pemeliharaan yang sama, mengalami laju pertumbuhan
panjang cangkang sebesar 0.075 mm/hari.

Apabila dibandingkan dengan Hasil dari uji coba pembesaran di


karamba di Philipina (Capinpin dkk,1999 dalam Fermin dan Shela,2002),
menunjukkan bahwa Haliotis asinina dengan ukuran panjang cangkang awal
tebar berkisar antara 35-40 mm dengan kepadatan 43/m2 mencapai ukuran
panen 60 mm panjang cangkang dan berat 62 gram dalam waktu lebih 180 hari(
berarti laju pertumbuhan harian 0,111-0,138 mm/hari). Haliotis asinina bisa
tumbuh panjang cangkangnya sampai 35,6 mm dalam 6 bulan dan 55-70 mm
dalam satu tahun (McNamara dan Johnson,1995; Williams dan degnan,1998
dalam Freeman,2001)

Tingkat Kelangsungan hidup


Pada tingkat Kelangsungan hidup benih abalone didapatkan sebesar
80% yang berarti bahwa abalone yang berhasil dipanen sebanyak 6.000
ekor.Untuk lebih jelas tingkat SR benih abalone disajikan dalam grafik 2
dibawah sebagai berikut:
100.00
95.00
90.00
85.00
80.00
75.00

Grafik 2. Tingkat Kelulushidupan abalone

Apabila dilihat dari grafik di atas selama masa pemeliharaan, terlihat


terjadi penurunan jumlah abalone pada bulan sebelas sampai dengan bulan ke

260
12 dimana benih banyak yang mati tergencet diantara wadah dan shelter, hal ini
disebabkan oleh gangguan alam berupa ombak dan angin besar. Kematian
abalone selain disebabkan oleh gannguan alam juga disebabkan karena adanya
hama/predator berupa kepiting dan ikan liar yang masuk kedalam
kurungan/keranjang gantung.
Kelulusanhidupan dari abalone yang dibesarkan di laut sampai mencapai
ukuran pasar/konsumsi, tergantung pada beberapa faktor, namun yang utama
adalah ukuran awal abalone saat ditebar, dimana ketika abalone yang berukuran
kecil ditebar (panjang cangkang < 2 cm), kelulusanhidup akan lebih rendah.
Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa abalone kecil akan lebih mudah
dimangsa oleh predator dan kurang tahan dengan kondisi lingkungan yang
ekstrem (arus,gelombang). Kelulusanhidup abalone juga dipengaruhi oleh
metode atau teknik pemeliharaan/perawatan yang dilakukan setelah benih
ditebar seperti kontrol dan pengamatan secara rutin terhadap hama ,
predator,keutuhan wadah budidaya dan ketersediaan jumlah pakan yang
diberikan.

KESIMPULAN

Dari kegiatan budidaya abalone H. squamata selama 12 bulan diketahui


bahwa abalone tumbuh dengan rata-rata laju pertumbuhan harian (Daily
Growth Rate) sebesar 111 mg/hari dan panjang cangkang sebesar 0.075
mm/hari. Usaha budidaya abalone dengan menggunakan keranjang gantung di
KJA layak diusahakan dari hasil analisa usaha yang didapat dari nilai BEP
produksi dan harga sebesar 123,5 kg dan Rp 114,351, Payback Period 0,9
Tahun (11 bulan) dan R/C ratio sebesar 2.18.

DAFTAR PUSTAKA

Capinpin,E.C. dan Corre,K.G. 1996. Growth Rate of The Philippine Abalone,


Haliotis asinina Fed an Artificial Diet and Macroalgae.
Aquaculture. 144 : 81-89

Freeman,K.A. 2001. Aquaculture and related Biological attributes of Abalone


Species in Australia- a review. Western Australia Marine Research
laboratories, Departemen of Fisheries

Utama F. W, 2008. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan Di


Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Dki
Jakarta. Program sarjana ekstensi manajemen agribisnis Fakultas
pertanian Institut pertanian bogor. Bogor

261
262
NEMO FISH PRODUCTION OF HYBRID VARIETY OF BLACK
PHOTONHOUSEHOLD SCALE

Abdul Gani, Hariyano, Herlina Tahang and Erdy Asmaul Basir


Center For Mariculture Ambon

ABSTRACT

The development of ornamental fish nemo in Ambon Mariculture Center


more visible variations. Until now reached 8 species that have been
successfully developed, both pristine native species or species hybrids or
crosses between species that exist. Ornamental fish nemo hybrid variant
black ornamental fish nemo photon is the result of a cross between
Amphiprion ocellaris and A. percula that has the shape and the color is
more beautiful than these two species, and the price is also higher than
these two species. This activity aims to produce ornamental fish nemo
photon hybrid variant black household.
This activity lasts from April to May 2014 Fish Hatchery located
in Outdoor ornamental Mariculture Center Ambon household scale
format. Parent who used a pair of ornamental fish is nemo with male A.
ocellaris and female A. percula reared in a container tank capacity of
100 liters. Another container used is fiber tub 1 or 2 ton capacity as a
larval rearing tank and a 100 liter capacity for maintenance of seed.
The results of the activities during the three-month maintenance
period the number of eggs obtained 8,500 grains and produce 5000 fry
size of 3,5 cm. Further comparative analysis of the business's activities
and the results of hybrid ornamental fish nemo black 9 photons can
provide benefits to the species A. ocellaris times and 4 times the profit of
the species A. percula.

KEYWORDS: hybrid nemo, black photons, household scale

263
PENDAHULUAN

Ikan nemo atau Clownfish berasal dari famili Pomacentridae. Salah satu
famili terbesar dalam komunitas ikan karang Hingga saat ini diketahui ada
sekitar 32 spesies. 2 spesies diantaranya termasuk dalam marga Amphiprion
dan dua lainnya marga Premnas. Sedangkan hybrid sendiri adalah perkawinan
silang antara 2 jenis spesies yang berbeda untuk mendapatkan keturunan yang
berbeda pula. Mengingat jumlah spesies clownfish yang cukup banyak tersebut
dapat memberikan peluang untuk melakukan perkawinan silang. Sampai saat
ini Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon telah mengembangkan 8 spesies
clownfish dan berhasil menghibrid beberapa spesies dari jenis tersebut. Ukuran
maksimal clownfish bisa mencapai 10 – 18 cm.
Pada dasarnya clownfish terlahir dalam keadaan jantan dan yang akan
berubah kelamin menjadi betina adalah yang terbesar dari kelompoknya atau
pasangannya. Untuk mencapai ukuran induk membutuhkan waktu sekitar 8
bulan sampai 1 tahun.
Clownfish merupakan salah satu ikan hias laut yang mempunyai harga
yang bervariasi yaitu mulai dari kisaran harga Rp 5000 sampai jutaan rupiah.
Jika dilihat dari segi ukuran dan usia pemeliharaan, dibandingkan dengan
harganya yang cukup tinggi maka dapat memberikan asumsi bahwa budidaya
clownfish dapat memberikan keuntungan yang luar biasa. Tingginya harga
clownfish sangat ditentukan oleh keunikan warna dan coraknya. Untuk
Amphiprion percula, salah satu factor penentu harga adalah ketebalan warna
hitamnya. Induk Amphiprion percula onyx yang hampir semua tubuhnya
berwarna hitam hanya mampu mewariskan warna yang sama dengan induknya
sekitar 5 – 7 % dan sisahnya hanya memiliki warna hitam separuh badan dan
bahkan ada yang tidak memiliki warna hitam. Oleh karena itu perlu adanya
penelitian dan pengkajian dalam menciptakan corak dan warna yang diinginkan
oleh pasar sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomisnya. Salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk menyikapi hal tersebut adalah dengan melalui
perkawinan silang (hybrid).
Dari hasil temuan hybrid antara clonfish Amphiprion percula dan
Amphiprion ocelaris dapat memberikan warna dan variasi corak yang unik
serta daya tahan tubuh yang lebih baik terhadap serangan penyakit. Dengan
demikian hasil hybrid ini dapat memberikan nilai tambah terhadap benih yang
diproduksi sehingga kegiatan ini dapat menjadi acuan untuk budidaya
clownfish skala rumah tangga yang mandiri dan kreatif.
Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah kegiatan ini bertujuan untuk
menghasilkan ikan hias nemo hybrid varian black photon skala rumah tangga.

264
BAHAN DAN METODE

Kegiatan ini berlangsung dari bulan April – Mei 2014 yang bertempat di
Outdoor Hatchery ikan hias Balai Budidaya Laut Ambon.
Alat dan Bahan
No Peralatan Bahan
1 Akuarium 50 – 100 liter Betina A. percula
2 Bak fiber 2 ton jantan A. ocelaris (biasa)
3 Instalasi air laut dan air jantan A. ocelaris (black
tawar australis)
4 Instalasi aerasi Anemon
5 Potongan pipa paralon Air Laut
4‖
6 Peralatan kualitas air Air Tawar
7 Alat tulis menulis Pakan buatan ( pellet )
8 kemera Artemia
9 Peralatan kerja Cacing darah
Obat-obatan

Metode
Induk yang digunakan adalah induk yang sudah pernah memijah atau
induk produktif dengan asumsi untuk mempercepat proses pemijahan. Induk
betina yang digunakan adalah Amphiprion percula (onyx) berukuran 7 cm
dimana jenis ini mempunyai harga dan pasaran yang cukup bagus. Untuk
menciptakan variasi yang berbeda maka digunakan dua jenis induk jantan yang
berbeda yaitu Amphiprion ocelaris biasa dan Amphiprion ocelaris (black
Australis) dan masing masing berukuran sekitar 5 cm.
Perjodohan dilakukan dengan cara menempatkan keduan calon induk
yang berlainan spesies tersebut dalam akuarium bervolume 50 liter dengan
sistem air mengalir dan dilengkapi dengan aerasi. Selama 3 hari induk tidak
diberikan selter atau anemon dengan tujuan untuk menghindari sifat soliternya.
Apabila didapatkan ketidak cocokan terhadap kedua induk tersebut maka perlu
diganti pasangannya, pada saat mengganti pasangan sebaiknya kedua induk
direndam air tawar secara bersamaan dalam satu wadah. Perendaman air tawar
tersebut bertujuan untuk melemaskan kedua induk dan pada saat dimasukkan
kedalam akuarium, induk betina berkonsentrasi untuk berosmoregulasi
sehingga sifat galaknya berkurang. Setelah keduanya rukun atau sudah cocok
dengan pasangannya maka selter dan anemonpun dimasukkan kedalam

265
akuarium tersebut sebagai rumahnya dengan tujuan untuk memberikan
kenyamanan.
Sebelum ikan memijah biasanya ditandai dengan adanya kerjasama
antara induk jantan dan betina dengan melakukan pembersihan pada selter,
selain itu terlihat dari induk betina dengan perut membuncit dan pada bagian
dubur atau saluran telur terlihat menonjol keluar. Pemijahan biasanya terjadi
pada siang hari atau sore hari. Pada saat pemijahan induk betina menempelkan
telurnya pada selter dan dibuahi oleh jantan. Telur tersebut rutin dibersihkan
dan dijaga oleh kedua induk namun yang paling dominan adalah jantan dan
akan menetas setelah 6 sampai 8 hari tergantung lingkungan dan kualitas telur.
Telur yang mau menetas ditandai warna transparan sehingga larva yang
ada didalampun terlihat jelas, selain itu dapat ditandai dengan mata yang
menyala atau berwarna perak. Sebelum penetasan terlebih dahu bak dibilas
dengan kaporit dan dicuci sampai bersih kemudian diisi dengan air laut. Bak
fiber berkapasitas 2 ton tersebut selanjutnya diisi Phytoplankton sekitar 30-50
liter seperti yang terlihat pada gambar dibawah. Pemindahan telur kebak larva
dapat dilakukan sehari sebelum telur menetas dengan cara memindahkan induk
dan selternya ke bak larva denagn menggunakan keranjang yang sudah diberi
pelampung. Tujuannya tidak lain adalah memberikan kesempatan kepada induk
untuk merawat telur sampai menetas sehingga HRnya bisa lebih bagus dan
dengan metode ini larva bisa beradaptasi langsung dengan lingkungannya dan
larva tidak stress akibat pemindahan.
Larva yang berumur 1 hingga 7 hari terkadan stress dan terkumpul
didinding bak, hal ini biasa terjadi pabila air dalam bak terlalu jernih sehingga
perlu adanya penambahan phytoplankton. Phitoplangton bertujuan untuk
menstabilkan kualitas air dan juga sebagai makanan rotifer sehingga sangat
penting keberadaannya dalam pemeliharaan larva, akan tetapi phytoplankton
yang terlalu padat juga dapat merusak kualitas air. Pakan yang diberikan pada
hari pertama adalah rotifer, selanjutnya naupli artemia dapat ditambahkan
stelah semua larva berubah warna dari hitam menjadi kemerah merahan atau
dapat ditandai dengan munculnya garis putih pada leher dan ini biasanya
terlihat pada hari ke 7 atau hari ke 8. Pakan rotifer dapat dihentikan setelah
semua larva dapat mengkonsumsi naupli artemia. Perbaikan kualitas air dapat
dilakukan dengan penyiponan dan pergantian air pada hari 7 sekitar 20-30 %.
Larava dapat dipanen setelah berumur + 15 hari. Dalam 1 pasang induk dapat
menghasilkan benih sekitar 250 -700 ekor tergantung banyaknya telur, HR dan
SR larva.
Benih yang baru dipanen dipelihara dalam wadah aquarium dengan
system sirkulasi air selama 24 jam dengan kepadatan 5-8 ekor perliter sesuai
ukuran ikan. Frekwensi pemberian pakan dapat dilakukan 4-6 kali sehari
dengan dosis sampai kenyang. Pakan yang digunakan adalah naupli artemia dan

266
pakan buatan yang disesuaikan dengan bukaan mulut. Penyiponan kotoran
dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Grading dilakukan 2 minggu
sekali untuk memisahkan ikan yang berukuran sama. Khusus untuk
pembesaran clownfish sebaiknya dilakukan pada wadah akuarium berwarna
hitam dengan tujuan untuk memunculkan warna hitamnya.
Pemanenan dapat dilakukan berdasarkan ukuran permintaan karena
clownfish saat ini sudah dapat dipasarkan benihnya untuk dibudidayakan di
keramba jaring apung. Khusus untuk budidaya di keramba jaring apung
biasanya pembudidaya memesan ukuran 2 cm. sedangkan untuk eksportir
biasanya dipasarkan setelah berukuran 3,5 cm dan ukuran ini dapat dicapai
setelah pemeliharaan sekitar 3 sampai 4 bulan. Pemanenan harus disesuaikan
permintaan baik itu jumlah, ukuran maupun motif yang diinginkan oleh pasar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amphiprion ocelaris tanpa hybrid melahirkan benih yang mempunyai


corak, warna dan bentuk persis seperti induknya. Setelah benih berumur sekitar
12 hari garis putih pada bagian tengah badannya sudah mulai muncul.
Harganya berkisar antara Rp 3000 sampai Rp 5000 dan benihnya sangat
rentang terhadap serangan penyakit.
Amphiprion percula onyx tanpa hybrid melahirkan motif corak dan
warna yang bervariasi mulai dari yang bisa, setengah hitam, misbar maupun ful
hitam yang biasa disebut onyx. Harganya bervariasi sesuai dengan motifnya
dan yang paling bagus harganya diantara motif tersebut adalah onyx akan tetapi
setiap induk hanya mampu memproduksi 5-7% onyx sedangkan misbar dan
setengah hitam hanya mampu dihasilkan sekitar 10 %.
Amphiprion percula onyx hybrid Amphiprion ocelaris biasa dapat
melahirkan banyak corak dan setelah dewasa mempunyai warna yang cukup
terang akan tetapi setelah hampir mencapai ukuran induk lama kelamaan
berubah menjadi sedikit gelap, hanya beberapa persen saja yang setengah hitan
dan tidak ada mampu menjadi onyx. Kelebihan hasil hybrid ini adalah daya
tahan tubuhnya cukup tinggi terhadap serangan penyakit setelah berukuran 3
cm.
Amphiprion percula onyx hybrid Amphiprion ocelaris Black Australis
dilakukan untuk mendapatkan mendapatkan hasi benih yang mempunyai warna
hitam yang lebih pekat dan prosentasenya lebih tinggi. Dari hasil benih yang
didapatkan menunjukkan bahwa pada 12 hari warna hitamnya sudah mulai
muncul dan semakin hari semakin bertambah gelap dan setelah menginjak usia
dewasa warnanyapun semakin cantik seperti yang terlihat pada gambar diatas.
Pasaran untuk ikan ini cukup bagus dan harganya lebih tinggi. Jika dilihat
secara teliti bentuknya sedikit berbeda dari kedua induknya. Hasil hybrid ini

267
biasa disebut dengan black photon dan mempunyai pertumbuhan serta daya
tahan tubuh yang lebih bagus disbanding dengan non hybrid.
Dari hasil uji coba pada beberapa pasang induk baik yang non hybrid
maupun hybrid menunjukan hasil yang sangat berbeda. Amphiprion percula
onyx hybrid Amphiprion ocelaris Black Australis mempunyai kelebihan
terhadap benih yang dihasilkan baik cari segi corak, warna, bentuk, daya tahan
tubuh terhada serangan penyakit serta pertumbuhan yang lebih dibandingkan
dengan ketiga pasang induk lainnya. Ketebalan warna hitam pada keturunan
Amphiprion percula dapat meningkatkan harga berlipat ganda dibandingkan
dengan yang bermotif biasa dan terbukti pada Amphiprion percula onyx hybrid
Amphiprion ocelaris Black Australis mampu memunculkan warna hitam yang
tebal dan memenuhi tubuhnya.
Hasil kegiatan selama tiga bulan masa pemeliharaan diperoleh jumlah
telur sebanyak 8.500 butir dan menghasilkan lebih dari 5000 ekor benih ukuran
3,5 cm. Selanjutnya dilakukan analisa usaha pembanding terhadap kegiatan ini
dan hasilnya ikan hias nemo hybrid black photon dapat memberikan
keuntungan berlipat ganda dari hasil sebelumnya.

KESIMPULAN

Dengan adanya hasil hybrid ini dapat meningkatkan nilai tambah bagi
pembenihan clownfish skala rumah tangga begitupula pembudidaya cloenfish
di keramba jaring apung.Perlu pengembangan lebih lanjut dan didesiminasikan
ke masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Allen, G. 1997. Ikan Laut Tropis Australia dan Asia Tenggara. Perth: Museum
Australia Barat.
Arvedlund, M., L. Nielsen. 1996. Apakah ikan anemon Amphiprion
ocellaris (Pisces: Pomacentridae) jejak diri mereka tuan rumah
anemon laut Heteractis magnifica (Athozoa: Actinidae). Etologi
Arvedlund, M., I. Bundgaard, L. Nielsen. 2000. Tuan pencetakan di
anemonefishes (Pisces: Pomacentridae): apakah itu menentukan
preferensi situs pemijahan Ikan Biologi Lingkungan
Fautin, D., G. Allen. 1992 Lapangan Panduan untuk Anemonefishes dan Host
Anemon Laut mereka..Perth: Museum Australia Barat.
Fricke, H., S. Fricke. 1977. Monogami dan perubahan seks dengan dominasi
agresif dalam ikan terumbu karang Alam

268
Nelson, J., P. Phang, L. Chou. 1996. Kelangsungan hidup dan tingkat
pertumbuhan Amphiprion ocellaris dari ikan anemon: suatu
percobaan pengalihan Jurnal Biologi Ikan,

269
USAHA BUDIDAYA ABALON (Haliotis squamata) SISTEM
KERANJANG DASARDI AREAL PASANG SURUT

Hery Setyabudi, M.Imannudin, Ade Yana

ABSTRAK
Keberlangsungan usaha budidaya abalon salah satunya tergantung pada
desain wadah yang digunakan dalam kegiatan budidaya. Upaya
menemukan teknologi budidaya abalon yang mudah diadopsi oleh
masyarakat terus dilakukan. Metode budidaya abalon bisa dilakukan di
darat maupun di laut. Sistem budidaya di darat membutuhkan biaya
investasi fasilitas dan peralatan yang cukup besar termasuk biaya
operasional pompa air dan aerasi. Metode budidaya yang berbasis di
laut dapat dilaksanakan dengan menggunakan karamba jaring apung,
keranjang gantung pada rakit apung, maupun yang dilakukan pada
daerah intertidal dengan metode kurungan tancap (pen culure).
Salah satu usaha kegiatan budidaya abalon yang dapat dilakukan
di areal pasang surut yaitu dengan menggunakan sistem keranjang dasar.
Keranjang plastik sebagai wadah budidaya berukuran
60cmx40cmx30cm, dimana bagian dasar dan atas terbuat dari beton
dengan ketebalan 5 cm dan berisi 3 buah shelter dari potongan pipa
HDPE ataupun pipa PVC.Benih H.squamata digunakan dari hasil
pembenihan hatchery dengan ukuran panjang cangkang 2,0-3,0 cm.
Padat tebar dalam tiap keranjang adalah 600 ekor,dan dilakukan
penjarangan kepadatan menjadi 300 ekor setelah 4 bulan lama
pemeliharaan. Pakan yang diberikan berupa rumput laut segar yang
terdapat di sekitar kawasan budidaya (Gracillaria sp,Ulva sp).
Dari hasil kegiatan pemeliharaan selama 8 bulan didapat rata-rata laju
pertumbuhan harian (Daily Growth Rate) panjang cangkang adalah
67,18 μm/hari dan bobot tubuh 68,87 mg/hari dengan tingkat
kelulusanhidup rata-rata 92 %.
Budidaya abalon di areal pasang surut (intertidal zone) dengan
menggunakan keranjang yang di letakkan di dasar ini dapat menjadi
alternative bagi metode pen culture (kurungan tancap) yang sudah
umum dilakukan dan juga diharapkan mudah diadopsi oleh para
pembudidaya dan layak diusahakan dengan nilai R/C rasio > 1 yaitu 1,8
dan B/C > 0 yaitu 0,8.

Kata kunci : Usaha,budidaya abalon, Haliotis squamata,pasang


surut,keranjang dasar

270
PENDAHULUAN
Haliotis squamata merupakan salah satu spesies abalon tropis yang
bernilai ekonomis yang ditemukan di beberapa wilayah perairan pantai di
Indonesia.( Bali, Banten, dan Yogyakarta )selain jenis Haliotis asinina. Di
pasaran Jepang, Haliotis squamata lebih dikenal dengan nama Tokobushi
karena ukuran dan morfologinya yang juga mirip dengan Haliotis diversicolor
supertexta dari Taiwan. Jenis Tokobushi iniharganya lebih mahal dan
permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Haliotis asinina). Di
pasaran Jepang Tokobushi mempunyai harga sampai Rp.600.000/kg dan lebih
tinggi jika dibandingkan dengan Mimigai/Haliotis asinina yang hanya
mempunyai harga Rp.200.000/kg.Karena sama sama berasal dari daerah
tropis,maka pada prinsipnya teknologi pembenihan maupun budidaya Haliotis
squamata sama dengan Haliotis asinina. Budidaya abalon tropis umumnya
mencapai ukuran pasar/konsumsi dalam satu tahun dimana untuk spesies
abalon dari daerah temperata bisa memakan waktu 2-3 tahun ( Hahn, 1989
dalam Fermin dan Buen, 2000).
Keberlangsungan usaha budidaya abalon salah satunya tergantung pada
desain sistem yang digunakan dalam kegiatan budidaya. Karena lamanya
periode budidaya dan pertumbuhan yang lambat,sehingga keuntungan bisa
menjadi kecil dalam kegiatan budidaya di darat (Capinpin,dkk. 1999). Upaya
menemukan teknologi budidaya abalon yang mudah diadopsi oleh
pembudidaya dan layak secara ekonomis terus dilakukan. Metode budidaya
abalon bisa dilakukan di darat maupun di laut. Budidaya di darat biasanya
dilakukan pada bak beton maupun bak fiber glass. Sistem budidaya ini lebih
mudah dalam hal pengontrolan selama proses budidaya baik terhadap
pemberian jumlah pakan, pengaturan debit air yang masuk, pembuangan sisa
pakan secara periodik maupun pengaturan jumlah padat penebaran,namun
demikian metode ini membutuhkan biaya investasi fasilitas dan peralatan yang
cukup besar termasuk biaya operasional pompa air dan aerasi.
Metode budidaya lainnya adalah metode budidaya yang berbasis di laut.
Metode ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan karamba jaring apung,
keranjang gantung pada rakit apung, maupun yang dilakukan pada daerah
intertidal dengan metode kurungan tancap (pen culure). Metode budidaya di
laut ini relative cepat pertumbuhan dan lebih rendah biaya operasionalnya. Oleh
karena itu dilakukan sebuah ujicoba kegiatan budidaya abalon
(Haliotissquamata) pada daerah pasang surut (intertidal zone) dengan
menggunakan keranjang yang diletakkan di dasar perairan yang masih
terendam air pada saat surut terendah.

271
Tujuan
Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya
siput abalon Haliotis squamata (Tokobushi) yang dipelihara dengan metode
keranjang yang diletakkan di dasar pada daerah pasang surut (intertidal zone).

BAHAN DAN METODE


Kegiatan budidaya ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 – Desember
2013, di Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok Sekotong Barat, Kabupaten
Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Metode
(a) Persiapan Wadah
Wadah pemeliharaan yang digunakan adalah keranjang dasar, dimana
kerangka utama berupa keranjang plastik berbentuk persegi ukuran
60cmx40cmx30cm serta pada bagian alas/dasar dan bagian atas (tutup)
dipasang cor beton dengan ketebalan 5 cm dengan kerangka beton terbuat dari
ram kabel tuis ukuran diameter 7mm. Jumlah keranjang yang digunakan dalam
kegiatan perekayasaan ini sebanyak 8 unit. Pada setiap unit keranjang dasar
terdapat 3 buah shelter yang terbuat dari potongan pipa HDPE ukuran
38cmx20cmx18cm atau 2 buah pipa pvc 8 inch panjang 38 cm,dimana pada
setiap bagian ujung pipa dipasang waring penutup.

(b). Persiapan Benih Abalon


Benih abalon yang digunakan jenis Haliotis squamataberasal dari hasil
pembenihan di hatchery in door Balai Budidaya Laut Lombok Sekotong. Proses
seleksi abalon terlebih dahulu dilakukan sebelum penimbangan dengan
memilih benih yang seragam,sehat,tidak cacat dan melekat kuat pada shelter .
Benih terseleksi dimasukkan ke dalam setiap shelter pipa HDPE sebanyak 200
ekor. Penimbangan dan pengukuran dilakukan dengan mengambil sampel
secara acak 5 % ( 10 ekor) dari total benih dalam setiap shelter sebagai data
awal ukuran benih yang digunakan. benih abalon yang telah ditimbang segera
dimasukkan kembali ke dalam shelter dan dibawa ke tempat pemeliharaan
(keranjang dasar).

(c). Persiapan pakan


Pakan yang diberikan pada benih abalon berupa rumput laut segar jenis
Gracilaria sp dari hasil budidaya di tambak,selain itu juga diberikan rumput
laut yang juga banyak ditemukan di lokasi budidaya seperti Ulva sp dan
Gracillaria arcuata. Sebelum diberikan untuk pakan abalon,rumput laut dicuci
bersih dari lumpur,teritip,dan menghindari kemungkinan dari adanya

272
hama/predator. Pemberian pakan dilakukan 3-4 hari sekali dengan Feeding
Rate 30 % dari bobot biomass/hari. Pakan diberikan dengan cara membuka
waring penutup shelter dan memasukkan pakan ke dalamnya.

(d). Pemeliharaan abalon (Haliotis saquamata)


Kegiatan ini dilakukan selama 8 bulan. Selama pemeliharaan tersebut
dilakukan pengukuran pertumbuhan dimana setiap keranjang dasar (berisi 3
buah shelter pipa HDPE) dan pada setiap shelter berisi 200 ekor benih abalon
diambil secara acak sebanyak 5 % ( 10 ekor benih abalon setiap shelter HDPE).
Pengukuran pertumbuhan dilakukan dengan mengukur panjang cangkang
dengan menggunakan jangka sorong dan berat tubuh dengan timbangan digital,
pengukuran pertumbuhan dilakukan 30 hari sekali. Pengamatan kelulusan
hidup dilakukan dengan mengamati jumlah abalon yang mati pada setiap
keranjang dasar. Setelah 4 bulan lama pemeliharaan,dilakukan kegiatan
penjarangan atau pengurangan kepadatan tebar menjadi 100 ekor tiap shelter (
300 ekor tiap keranjang dasar).Kegiatan yang dilakukan selama pemeliharaan
antara lain: pembersihan wadah budidaya dengan maksud untuk menjaga
kelancaran sirkulasi air dilaksanakan bersamaan dengan pemberian pakan yaitu
3- 4 hari sekali sekaligus dilakukan pengecekan kemungkinan adanya hama
pengganggu/ predator yang masuk dan pasir yang masuk ke dalam shelter.

Parameter Pengamatan
Adapun parameter yang diamati dalam kegiatan ini adalah pertumbuhan
(pertambahan panjang mutlak dan bobot, laju pertumbuhan harian),
kelulusanhidup (SR) dan analisa usaha.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan dan kelulusan hidup abalon


Hasil pengamatan selama 8 bulan kegiatan budidaya siput abalon
dengan menggunakan metode keranjang dasar yang diletakkan pada areal
pasang surut , diperoleh data pertumbuhan (berat tubuh dan panjang cangkang)
serta kelulusan hidup benih abalonHaliotis squamata (Tokobushi) yang
dipelihara pada 8 unit keranjang dasar seperti tercantum pada Tabel 2,Tabel 3
dibawah berikut:

273
Tabel 2. Rata-rata panjang cangkang (mm) dan berat tubuh (gram)
abalon selama 8 bulan pemeliharaan

Parameter Lama Pemeliharaan ( Bulan )


Pertumbuhan 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Panjang 29,48 29,63 31,99 33,58 34,78 38,29 41,44 43,71 45,61
cangkang
(mm)
Berat tubuh 4,28 5,17 6,36 7,62 8,80 12,86 15,59 19,57 20,81
(gram)

Tabel 3. Penambahan Panjang cangkang mutlak (L), Berat tubuh mutlak (W),
Laju pertumbuhan harian panjang cangkang (DGRSL), Laju
pertumbuhan harian berat tubuh (DGR BW),serta Kelulusanhidup
(SR) benih Haliotis squamata (Tokobushi) Selama 8 Bulan
Pemeliharaan (240 hari)
Keranjang L W DGR SL DGR BW SR
(mm) (gram) (µm/hari) (mg/hari)
dasar (%)
1 17,20 16,69 71,67 69,54 90
2 15,30 16,07 63,75 66,96 91,33
3 15,90 17,65 66,25 73,54 93
4 15,62 16,83 65,08 70,13 93
5 16,55 16,14 68,96 67,25 93,33
6 16,25 16,01 67,71 66,71 92
7 15,70 15,45 65,42 64,38 92
8 16,48 17,40 68,67 72,50 91,33
Rata-rata 16,13 16,53 67,18 68,87 92,00

Berdasarkan Tabel 2 dan 3 diatas dapat dilihat bahwa benih abalon


Haliotis squamata tumbuh dari rata-rata panjang cangkang awal 29,48 mm dan
berat 4,28 gram menjadi 45,61 mm dan berat 20,81 gram dalam waktu
pemeliharaan 240 hari (terdapat penambahan panjang cangkang 16,13 mm dan
berat tubuh 16,53 gram) sedangkan rata-rata laju pertumbuhan harian (Daily
Growth Rate) panjang cangkang adalah 0,067 mm/hari (67,18μm/hari) dan
bobot tubuh 0,069 gram/hari (68,87 mg/hari ). Model budidaya abalon pada
daerah pasang surut (intertidal zone) seperti yang dilakukan dengan keranjang
dasar juga banyak dilakukan di China, dimana digunakan benih Haliotis
diversicolor (Tokobushi) dipelihara dalam bak beton bulat, diameter 120 cm
dan tinggi 60 cm, ketebalan dinding 5 cm, dilengkapi dengan penutup dan rak
274
untuk menempel abalon. Ada beberapa lubang pada bagian penutup, bawah,
dan dinding bak beton untuk pergantian air antara bagian dalam dan luar
bak,dimana 500 sampai 700 ekor benih abalon ukuran panjang cangkang 2 cm
dapat ditempatkan dalam tiap bak beton. Bak beton ditempatkan dalam zona
intertidal dan diberi pakan dengan rumput laut segar sekali per minggu atau
lebih sesuai dengan kondisi cuaca, dengan dosis berkisar antara 20% sampai
30% dari berat total abalon di dalam bak beton. Budidaya abalon biasanya
memakan waktu rata-rata 7 bulan, bervariasi dari 5 hingga 11 bulan juga. Ini
adalah sistem tertutup dan pertama kali telah diterapkan di Zhanjiang,
Guangdong pada tahun 1993 (Xu,Huasen,2004). Cook (1991) dalam
Susanto,dkk (2010) menyatakan bahwa abalon merupakan organisme yang
pasif,sehingga hanya akan memilih dan memanfaatkan pakan yang tersedia dan
terdapat disekitarnya saja. Pertumbuhan abalon sangat lambat serta berbeda
antara satu spesies dengan lainnya dan pertumbuhannya hanya berkisar 1,0 –
2,5 mm/bulan (Stickney, 2000 dalam Susanto,dkk,2010). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa hasil pengamatan yang dilakukan di BBRPBL Gondol untuk
benih abalon Haliotis squamata pertumbuhan panjang dan lebar cangkang
relative lebih cepat yaitu pada pemeliharaan 70 hari mencapai 5,81 mm dan
4,01 mm,dengan rata-rata pertumbuhan per bulannya sebesar 2,0 – 2,37 mm.
Dari hasil penelitian Susanto,dkk (2010),dimana budidaya abalon Haliotis
squamata sumber benih dari alam dengan ukuran awal tebar panjang cangkang
31,75 mm dan berat 4,13 gram dilakukan pada waring Ø 0,5 cm dengan ukuran
panjang x lebar x tinggi : 1 m x1 m x1,25 m dan ditempatkan pada di KJA serta
dilengkapi dengan shelter dari potongan pipa 6 inch. Pakan yang diberikan
merupakan kombinasi antara Gracilaria sp dan E.cottoni.Padat tebar dalam
waring yaitu 200 ekor/m2.Pemeliharaan dilakukan selama 3 bulan (90 hari) dan
diperoleh data pertumbuhan panjang cangkang mutlak 8,32 mm dan bobot
tubuh mutlak 5,89 gram.Jika dibandingkan dari hasil penelitian diatas,
Pertumbuhan mutlak maupun laju pertumbuhan harian pada kegiatan budidaya
di keranjang dasar lebih rendah (khususnya untuk penambahan panjang
cangkang 16,13 mm sedangkan berat tubuh tubuh hampir sama 16,53 gram
selama 8 bulan pemeliharaan). Hal ini kemungkinan salah satunya disebabkan
karena perbedaan padat tebar, dimana pada kegiatan budidaya dengan
keranjang dasar menggunakan padat tebar intensif yaitu dalam satu unit
keranjang dasar ukuran 60cmx40cmx30cm ditebar 600 ekor benih H.squamata
ukuran 2-3 cm (dalam satu shelter ukuran 38cmx20cmx18cm diisi 200 ekor
benih abalon). Padat penebaran abalon berdasarkan pada ketersediaan tempat
untuk menempel akan mempengaruhi konsumsi pakan dan pertumbuhan abalon
yang dipelihara di dalam keranjang/wadah budidaya yang diletakkan pada bak
terkontrol dengan sistem air mengalir (Fermin dan Buen,2000). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa abalon yang ditebar dengan padat tebar paling tinggi akan

275
menunjukkan laju konsumsi pakan (feeding rate) lebih rendah yang diduga
bahwa adanya persaingan untuk tempat telah membatasi akses hewan akan
makanan meskipun kenyataannya bahwa pakan yang diberikan tersebut
diberikan berlebih (Jarayabhand dan Newkirk 1989,Mgaya dan Mercer
1995,Clarke dan Creese 1998). Dijelaskan pula bahwa dengan terbatasnya
tempat menempel, abalon akan bertumpuk satu dengan yang lainnya sehingga
akan membatasi gerakan dan makan hewan/abalon yang ada dibawah (Dourus
1987,Capinpin dkk.1999) sehingga secara langsung akan mempengaruhi
terhadap pertumbuhan abalon. Capinpin dkk (1999) menyatakan bahwa
pertumbuhan individu abalon menurun ketika padat penebaran ditingkatkan.
Hasil yang sama telah dilaporkan pada studi abalon lainnya di dalam karamba
jaring maupun system budidaya lainnya (Koike,dkk.,1979; Chen,1984; jee
dkk.,1988; Mgaya dan Mercer,1995; Marsden dan William,1996). Tingginya
padat tebar di dalam karamba/wadah budidaya akan membuat kesulitan abalon
yang ada pada tumpukan di dasar untuk bergerak dan mencerna
makanan,sehingga akan mempengaruhi tingkat konsumsi pakan meskipun
pakan yang tersedia cukup (Mgaya dan Mercer,1995 dalam Capinpin
dkk,1999). Abalon cenderung akan menumpuk khususnya pada kepadatan tebar
tinggi karena kurangnya tempat utama untuk menempel (Douros,1987 dalam
Capinpin,dkk., 1999). Penumpukan abalon akan membatasi pergerakan selama
aktifitas makan,khususnya dalam area yang terbatas seperti karamba jarring;
oleh karena itu,pembatasan pakan adalah kemungkinan salah satu factor utama
yang mempengaruhi pertumbuhan abalon pada kepadatan tebar tinggi( Mgaya
dan Mercer,1995 dalam Capinpin, dkk., 1999).
Berdasarkan Tabel 3 diatas,terlihat bahwa kelulusanhidup benih
abalon yang dibesarkan di keranjang beton selama 8 bulan lama pemeliharaan
(240 hari) masih tinggi yaitu berkisar antara 90 – 93,33 % dengan rata-rata
kelulusanhidup 92 %. Tingginya tingkat kelulusanhidup benih abalon yang
dibesarkan pada keranjang dasar kemungkinan disebabkan oleh karena benih
abalon yang dibesarkan benar-benar terproteksi dari adanya serangan predator
dimana letak keranjang dasar pada daerah pasang surut cenderung tidak ada
predator penyu dan ikan liar yang sering dijumpai memangsa abalon pada
kegiatan budidaya di KJA, konstruksi keranjang dasar yang dilengkapi dengan
shelter pipa HDPE yang didesain bisa melindungi abalon dari predator yang
ada, ukuran keranjang dasar yang tidak terlalu besar (efisien) sehingga
memudahkan dalam hal monitoring terhadap masuknya predator,disamping itu
dengan adanya pakan alami (makro alga) yang ditemukan pada lokasi budidaya
(Ulva sp,Gracillaria arcuata) memberikan peluang benih abalon yang
dibesarkan memperoleh asupan pakan yang bervariasi. Disamping itu pada
kegiatan budidaya dengan keranjang dasar menggunakan benih dari hasil
pembenihan (hatchery) sehingga benih tersebut benar benar sudah teradaptasi

276
dengan kondisi lingkungan perairan budidaya,berbeda dengan benih yang
berasal dari alam, yang memerlukan proses adaptasi dan kemungkinan banyak
benih yang luka pada saat pengambilan dari alam. Selain itu faktor perubahan
kondisi lingkungan seperti suhu dan salinitas ikut berperan penting dalam
mempengaruhi tingkat kelulusanhidup benih abalon yang dibudidayakan.

KESIMPULAN
Budidaya abalon dapat dilakukan di daerah pasang surut (intertidal
zone) dengan menggunakan keranjang dasar selain dengan menggunakan
metode pen culture (kurungan tancap) yang sudah umum dilakukan. Budidaya
abalon Haliotis squamata di keranjang dasar selama 240 hari memberikan
pertumbuhan panjang cangkang mutlak 16,13 mm dan berat tubuh 16,53 gram
dengan rata-rata laju pertumbuhan harian (Daily Growth Rate) panjang
cangkang adalah 67,18 μm/hari dan bobot tubuh 68,87 mg/hari dengan tingkat
kelulusanhidup rata-rata 92 %. Padat penebaran merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi laju pertumbuhan abalon pada kegiatan budidaya
(budidaya)
Desain konstruksi dan ukuran wadah budidaya salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat kelulusanhidup abalon terkait dengan efisiensi dan
kemudahan dalam memonitoring predator/hama yang merupakan faktor utama
penyebab rendahnya tingkat kelulusanhidup disamping faktor perubahan
kondisi lingkungan perairan.
Dilihat dari hasil analisis kelayakan usaha yaitu analisis biaya manfaat
diketahui bahwa nilai R/C >1 dan B/C > 0, maka usaha budidaya abalon di
daerah pasang surut dengan menggunakan keranjang dasar tersebut dikatakan
feasible (untung).

Pemilihan lokasi yang tepat untuk penempatan wadah budidaya pada


kegiatan budidaya di daerah pasang surut ikut menunjang keberhasilan
budidaya (hidrografi dari kondisi air harus dipelajari untuk mengetahui
perubahan musim pada suhu air,salinitas,oksigen terlarut,arus air, tingkat polusi
dan lain sebagainya). Perlu dilakukan pengurangan padat tebar secara bertahap
pada keranjang dasar (penjarangan) seiring dengan bertambahnya ukuran
abalon yang dibudidayakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Capinpin EC,Toledo JD,Encena VC, Doi M. 1999. Density dependent growth


of the tropical abalon Haliotis asinine in cage culture. Aquaculture 171:
227 – 235

277
Effendie,1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor
Fermin,A.C., and Buen S.M. 2000. Feeding,growth and survival of abalon (
Haliotis asinina Linnaeus 1758)reared at different stocking densities in
suspended mesh cages in flow-through tanks. Philippines Scientist 37 :
31-41
Susanto,B., Rusdi,I.,Rahmawaty,R., Adiasmara Giri,I.N.,Sutarmat,T. 2010.
Aplikasi Teknologi Budidaya Abalon (Haliotis squamata) dalam
Menunjang Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Prosiding Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 . hlm : 295 – 305

Xu,Huasen.2004. Abalon mariculture in China. Journal of Shellfish research

278
USE OF RABBIT SEAS (Dolabella auricularia)
ENLARGEMENT OF FISH NEMO (Amphyprion sp)
IN floating net cages

I.Gidion Pattipeilohy, Costansa Oraplean, Rajab Mahu and Johanis Bakarbessy


Mariculture Center Ambon

ABSTRACT
In marine fish rearing activities in floating net cages require quite a long time, so that a
variety of organisms found attached to the net. One of the problems in the activities of
enlargement is the closed pores nets resulted in disruption of water circulation, oxygen
for fish cultivation and frequent turnover decreased net .
At nemo fish rearing in KJA , container used is net having a pore size that is very small,
it is adjusted to the size of the farmed fish. Nemo fish rearing fish in cages is very
efficient because it does not require aeration , maintenance of flexible containers, water
pump and does not require electrical power. However, the problems faced during
maintenance nemo fish is quickly covered with netting attachment of biofouling (
macroalgae ) on the surface and the base waring that disruption of water circulation ,
decreasing oxygen demand and shorter service life nets. Sea hare is an organism that
always sticks to the maintenance of fish in sea containers , organime does not have a
hard shell , brown body color, his body as a shield and slow movement, these organisms
usually takes macroalgae Scrab manner. To overcome this, the system performed nemo
fish rearing in cages by using rabbit Sea ( Dolabella auricularia ) with the aim to reduce
the attachment of macroalgae on the net so that the maintenance of circulating water can
run well, needs oxygen for fish nemo maintenance and extend the use of the container.
The results showed that closing the pores of the net by moss plants very quickly, but
with the use of rabbits for three months enlargement sea nemo fish, algae or macroalgae
attachment can be restricted , because rabbits get eaten from the attachment of marine
macroalgae, in addition to the circulating water from outside net can run well , judging
by the presence of small-sized crustaceans in the water column which is the live feed for
fish nemo. In addition, from the results of measurements of growth nemo fish showed
growth tends to increase the length of 2.2 cm
Maintenance and rabbit fish nemo sea for three months in a container does not affect the
growth of absolute length and with the use of fish nemo sea hare can limit the growth of
macroalgae on the net, live food availability for nemo fish nets and extend usage.

KEYWORDS : Amphyprion sp , Dolabella auricularia , Floating Net Cage

PENDAHULUAN

Ikan nemo atau clownfish merupakan salah satu jenis ikan hias yang
sangat digemari oleh para penggemar ikan hias air laut. Ikan ini banyak
ditemukan pada perairan tropis dan bersimbiosis dengan anemon sebagai
habitatnya. Ikan Nemo termasuk dalam kelompok pomacentridae dan beberapa

279
genus yang sering ditemui ialah Amphiprion dan Premnas. Ikan nemo
merupakan ikan omnivore, dengan memakan larva crustacea, parasit pada
anemon dan alga serta ikan ini agresif dalam menjaga teritorinya. Ikan Nemo
berwarna kuning, jingga, kemerahan atau kehitaman. Spesies terbesar mencapai
panjang 18 cm, sementara yang terkecil hanya 6 cm.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ikan_giru
Pembesaran ikan nemo biasanya dilakukan pada wadah akuarium
dengan memiliki sirkulasi air yang baik dan sering melakukan pengontrolan
terhadap jumlah pakan, kualitas air, kebersihan akuarium serta pemberian
pakan berupa artemia, cacing dan pellet. Pembesaran ikan laut dilakukan pada
keramba jaring apung (KJA), dimana selama ini KJA digunakan untuk
pembesaran ikan-ikan konsumsi, namun KJA dapat juga digunakan untuk
pembesaran ikan hias air laut seperti ikan nemo. Dalam kegiatan pembesaran
ikan laut di keramba jaring apung memerlukan waktu cukup lama, sehingga
dijumpai berbagai organisme yang menempel pada jaring. Salah satu masalah
dalam kegiatan pembesaran adalah tertutupnya pori-pori jaring yang
mengakibatkan terganggunya sirkulasi air, oksigen bagi ikan budidaya menurun
dan sering melakukan pergantian jaring.
Pembesaran ikan nemo di keramba jaring apung sangatlah efisien karena
tidak memerlukan aerasi, wadah pemeliharan yang fleksibel, tidak memerlukan
pompa air serta tenaga listrik. Namun permasalahan yang dihadapi selama
pembesaran ikan nemo adalah waring cepat ditutupi dengan penempelan
biofouling (makroalga) pada permukaan dan dasar waring sehingga
terganggunya sirkulasi air, menurunnya kebutuhan oksigen serta umur
pemakaian waring lebih singkat. Salah satu organisme yang sering dijumpai
pada jaring apung adalah kelinci laut (Dolabella auricularia), kelinci laut
merupakan organisme yang selalu menempel pada wadah pembesaran ikan di
laut, organime ini tidak memiliki cangkang keras, warna tubuhnya kecoklatan,
tubuhnya seperti perisai dan pergerakannya lambat, biasanya organisme ini
memakan makroalga dengan cara scrab.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka dilakukan sistem pembesaran ikan
nemo di keramba jaring apung dengan menggunakan kelinci Laut (Dolabella
auricularia) dengan tujuan untuk mengurangi penempelan makroalga pada
waring pembesaran sehingga sirkulasi air dapat berjalan dengan baik,
kebutuhan oksigen bagi ikan nemo dan memperpanjang pemakaian wadah
pembesaran.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan perekayasaan ini dilaksanakan pada bulan Januari – April 2014


bertempat di Keramba Jaring Apung Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon.

280
Alat dan bahan yang digunakan pada kegiatan ini antara lain KJA,
militermeter blok, serok, pemberat waring, kamera digital dan peralatan
lapangan sedangkan bahan antara lain ikan nemo, kelinci laut, pakan pellet dan
pakan rucah
Pelaksanaan pembesaran ikan hias nemo dengan menggunakan kelinci
laut di KJA dilakukan secara eksperimen, dimana ikan nemo, kelinci laut dan
wadah pembesaran (waring) dengan mezh size ± 1mm sebagai objek
pengamatan. Panjang ikan nemo di ukur dengan menggunakan milimeterblok,
kemudian dilakukan penebaran ikan nemo pada wadah pemeliharan (waring)
yang belum adanya penempelan biofouling, ukuran wadah yang digunakan 3 X
1 X 1,5 m, dengan kepadatan ikan nemo 492 individu. Selama pembesaran ikan
nemo diberi pakan pellet 3% dengan frekuensi 1 kali sehari.
Setelah lama pembesaran satu minggu dengan di tandai adanya
penempelan biofouling/makroalga pada wadah pembesaran, dilakukan
penebaran kelinci laut sebanyak 3 individu. Pengamatan yang dilakukan adalah
kondisi wadah pembesaran dan pertumbuhan ikan nemo dilakukan sebulan
sekali serta kualitas air perairan di KJA (suhu, salinitas, pH dan DO).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kelinci Laut (Dolabella auricularia)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penutupan pori-pori wadah


pembesaran ikan hias nemo di laut oleh lumut ( makroalga) memerlukan waktu
yang singkat (6 hari setelah tebar ikan nemo), hal ini dilihat dengan adanya
perubahan warna waring menjadi kecoklatan pada setiap sisi waring.
Pertumbuhan makroalga ini diduga dari kondisi perairan yang cukup
subur, cahaya matahari langsung mengenai pada wadah pembesaran dan arus
permukaan, sehingga menyebabkan pertumbuhan makroalga pada waring
memerlukan waktu yang singkat. Menurut Anggadiredja, dkk 2010, bahwa
pertumbuhan alga sangat dipengaruhi oleh toleransi fisiologi dari biota untuk
beradaptasi terhadap faktor-faktor lingkungan seperti substrat, salinitas,
temperature, intensitas cahaya, tekanan dan nutrisi, selain itu alga dijumpai
tumbuh di daerah yang masih ditembus oleh cahaya matahari.
Setelah penebaran kelinci laut (Dolabella auricularia) menunjukkan
bahwa cara makan hewan ini adalah menempel pada wadah pembesaran yang
terdapat makroalga dengan bagian kepala keluar memanjang.

281
Kondisi waring pembesaran ikan nemo selama tiga bulan menunjukkan
bahwa pertumbuhan makroalga dibatasi dengan adanya kelinci laut, dimana
kelinci laut mendapatkan makan dari penempelan makroalga pada permukaan
waring. Hal ini dilihat dari minggu pertama pemeliharaan ikan nemo tanpa
adanya kelinci laut, menunjukkan bahwa hampir seluruh permukaan waring
ditumbuhi makroalga.
Dari hasil pengamatan selama tiga bulan pada permukaan waring,
pertumbuhan makroalga tersebut dapat dibatasi dengan menggunakan
organisme kelinci laut. ini dilihat dari cara makan kelinci laut yaitu
mengikis/scrab dimana bagian anterior atau bagian kepalanya bergerak
memanjang kedepan serta sebagai pemakan lambat. Sesuai yang dikemukakan
bahwa kelinci laut (Dolabella auricularia) kadang-kadang digunakan oleh para
pencinta akuarium laut, untuk membatasi pertumbuhan alga, karena alga
merupakan makan utama bagi kelinci
laut(wikipedia.Org/wiki/Dolabella_auricularia). Hasil pengamatan kondisi
waring sampai bulan ke-tiga, penutupan pori-pori wadah pembesaran oleh
makrolaga dapat dibatasi oleh keberadaan kelinci laut sehingga umur
penggunaan wadah pembesaran dapat diperpanjang.

Pertumbuhan Ikan Nemo

Pembesaran ikan nemo di keramba jaring apung (KJA) selama tiga


bulan dengan menggunakan kelinci laut memperlihat pertumbuhan cukup baik,
dimana terjadi pertambahan panjang setiap bulan. Hasil pengukuran panjang
ikan nemo dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pertambahan Panjang Ikan Nemo


No Umur Panjang rata-rata
Pembesaran (bulan) (cm)
1 I 1.5

2 II 2.4
3 III 3.7

Pertambahan panjang ikan nemo dari bulan pertama ke bulan ke dua


adalah 0.9 cm dan pada bulan ke tiga pertambahan panjang menjadi 1.3 cm atau
pertumbuhan mutlak ikan nemo dengan lama pembesaran selama 3 bulan
sebesar 2.2 cm. Hal ini dipengaruhi oleh pakan rucah maupun pakan pellet
yang diberikan, sangat mempengaruhi pertumbuhan panjang ikan nemo, selain
282
itu dari pengamatan menunjukkan ketersedian pakan hidup selalu ada pada
waring seperti jenis crustacea yang cukup melimpah pada permukaan air di
dalam wadah pemeliharaan, hal ini dilihat dengan penyebaran ikan nemo yang
sangat aktif renangnya pada kolom air untuk mendapatkan pakan hidup.
Ketersedian pakan hidup pada wadah pemeliharaan diduga dari aktivitas
kelinci laut yang selalu memakan makroalga yang menempel pada dinding
waring sehingga pori-pori waring tidak tertutup. Adearisandi 2008, menyatakan
bahwa ikan nemo merupakan ikan omnivore (pemakan hewan dan tumbuhan),
jadi selain invertebrata kecil (crustacea & parasit yang melekat pada tubuh
anemon), alga juga diketahui memenuhi 20 – 25% kebutuhan nutrisinya. Hal
ini dikemukakan oleh Madinawati dkk 2011, bahwa nutrisi adalah bahan baku
yang dibutuhkan demi kelangsungan hidup suatu organisme serta kandungan
nutrisi dalam pakan yaitu protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral
yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan.

Kualitas air
Hasil pengamatan kondisi lingkungan perairan di sekitar keramba jaring
apung yang digunakan sebagai tempat pemeliharaan ikan nemo
memperlihatkan bahwa secara umum kondisi lingkungan perairan tersebut
berada dalam kisaran normal, kondisi perairan di KJA dapat dilihat pada tabel
2.
Tabel 2. Parameter kualitas air pembesaran
ikan nemo di KJA
Lokasi Pembesaran
Parameter
(rata-rata)
Suhu (⁰C) 30
Salinitas (ppt) 32.7
pH 8.1
DO (mg/l) 5.4
Kecerahan (m) >9

Dari data kualitas air di lingkungan budidaya ikan nemo menunjukan


bahwa suhu, salinitas, pH, DO dan kecerahan merupkan kualitas air yang dapat
digunakan untuk pembesaran ikan nemo di Keramba Jaring Apung dengan
menggunakan kelinci laut.

283
KESIMPULAN

Dari hasil yang diperoleh dari pembesaran ikan nemo dengan kelinci
laut di kja maka disimpulkan Penggunaan kelinci laut dapat membatasi
pertumbuhan makroalga, membantu masuk pakan hidup bagi ikan nemo serta
mengurangi pergantian waring.Pemeliharaan ikan nemo dan kelinci laut selama
tiga bulan di dalam satu wadah tidak mempengaruhi pertumbuhan dari ikan
nemo.

DAFTAR PUSTAKA

Anggadireja, J. T., A. Zatnika, H. Purwoto dan S. Istini, 2008. Rumput Laut.


Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta
Budidaya Ikan Badut (Clownfish) | Yayasan Terumbu Karang Indonesia
(TERANGI)
http://www.terangi.or.id/index.php?option=com
Madinawati , Novalina Serdiati dan Yoel. 2011. Pemberian Pakan yang
Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Media Litbang Sulteng IV (2)
: 83 – 87 , Desember 2011. ISSN : 1979 – 5971

http://adearisandi.wordpress.com/2012/01/25/ikan-badut-clownfish/
http://www.seaslugforum.net/find/dolaauri).
http://en.wikipedia.org/wiki/Dolabella_auricularia
http://id.wikipedia.org/wiki/Ikan_giru

284
REPRODUCTION PERFORMANCE OF WILD AND CULTIVATED
BROODSTOCK OF PEARL OYSTER (Pinctada maxima)

Aprisanto Dwi L., Wildan, dan Suherlan AH


Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok

ABSTRACT
Pearl oyster breeding activity is regarded by mature broodstock
avaibility. Now natural broodstocks are decreasing and hard to get, and
its price is expensive. It is because of the exploitation of pearl oyster
shell that has a high value as handycraft, so ensues on descent of seed
production.
Compared to natural broodstocks, the avaibility of cultivated
broodstocks are abundant, and produce egg or sperm without depend to
season. From study result at Lombok Marine Aquaculture Development
Center (2011), cultivated broodstock that have more than 3 years old
and size 13 cm was mature already and enable for spawning.
The stages on breeding are: selection of gonade maturation,
spawning, hatching, larva nursering, feeding, harvesting. Base on
hatching rate (HR), survival rate (SR) of larva from cultivated
broodstock (F1) that breed with natural broodstock (F0), show that
cultivated broodstock (F1) can be use to increase seed production when
avaibility of natural broodstocks were limited.

KEYWORDS: Sea pearls, spawning, cultivated broodstock (F1),


larvae.

285
PENDAHULUAN

Ketersediaan induk alam yang semakin lama semakin berkurang serta


sulitnya didapatkan dan pastinya harga semakin mahal, karena maraknya
penjualan kulit tiram hasil alam yang memiliki nilai jual yang tinggi untuk
kerajinan sehingga berakibat menurunnya produksi benih.
Dibandingkan dengan induk alam, induk dari hasil budidaya
ketersediaannya sangat melimpah, dan dapat menghasilkan telur atau sperma
tanpa tergantung pada musim. Dari hasil pengkajian di Balai Budidaya Laut
Lombok (2011), Induk hasil budidaya yang telah berumur lebih dari 3 tahun
dan berukuran diatas 13 cm sudah matang gonad dan memungkinkan untuk di
pijahkan. Sehingga untuk meningkatkan hasil produksi benih, induk hasil
budidaya dapat dijadikan alternatif pendukung sehingga dapat menghasilkan
benih secara berkelanjutan.Mengetahui HR dan SR benih hasil pemijahan dari
induk budidaya untuk peningkatan produksi benih tiram mutiara.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan ini dilakukan di Balai Budidaya Laut-Lombok, Sekotong,


Lombok Barat, mulai tanggal 12 Juni sampai 31 Desember 2011 dengan 3 kali
siklus produksi untuk kegiatan pembenihan dan dilanjutkan dengan kegiatan
pendederannya.
Peralatan yang di gunakan antara lain :

a. Peralatan seleksi induk : Forsep, baji dan spatula


b. Peralatan pemijahan induk : bak pemijahan, pemanas air/kompor,
termometer, senter, pisau, forsep
c. Peralatan pemeliharaan larva : bak pemeliharaan larva volume 3
ton, plankton net 40µ, 60 µ,80 µ,100 µ,150 µ,180 µ, 200 µ dan
250 µ. Slang spiral 1 inchi, ember penampung saringan,
mikroskop, peralatan airasi, substrat kolektor
d. Peralatan kultur pakan alami : toples 15 liter, peralatan sterilisasi,
peralatan airasi
e. Peralatan pendederan : Long line, pocket net, waring pembungkus
pocket, peralatan pembersih tiram,speed boat

Bahan yang digunakan antara lain :


a. Induk tiram mutiara Jantan dan betina hasil budidaya (F1) matang
gonad umur lebih dari 3 tahun dan ukuran lebih dari 13 cm
b. Induk jantan dan betina alam (F0) yang matang gonad

286
c. Pakan alami jenis Nanno, isocreisis, pavlova, tetraselmis dan c.
amami, simplek
d. Pupuk

Seleksi Tingkat Kematangan Gonad


Seleksi kematangan gonad dilakukan setiap 1 bulan sekali untuk
memastikan bahwa induk tersebut siap dipijahkan atau tidak. Seleksi dilakukan
dengan cara membuka mantel bagian dalam dan akan terlihat pada bagian
pangkal gonad apakah terdapat sperma atau sel telur. Sampling dilakukan
dengan menggunakan baji, forshape, dan spatula. Pada induk betina akan
terlihat berwarna kekuningan dan induk jantan akan terlihat berwarna putih
susu.

Perlakuan pemijahan dengan induk yang berbeda


Siklus Induk jantan Induk betina

1 Induk hasil budidaya (F1) Induk hasil budidaya (F1)

2 Induk hasil budidaya (F1) Induk alam (F0)

3 Induk alam (F0) Induk hasil budidaya (F1)

4 Induk alam (F0) Induk alam (F0)

Teknik Rangsangan dan Pemijahan


Teknik yang dipergunakan untuk merangsang pemijahan tiram mutiara
adalah metode kejut suhu (thermal shock). Induk ditempatkan dalam pocket
keranjang dan direndam di dalam box Styrofoam I yang berisi pakan berupa
campuran fitoplankton. Volume fitoplankton dan air laut dalam box Styrofoam
adalah 1:1. Suhu Styrofoam I adalah 23 oC, sedangkan suhu awal styrofoam II
adalah 28 oC.kemudian Suhu Styrofoam II ditingkatkan sampai 32 0C-33 0C
dengan cara memasukkan air laut panas, jika pemijahan secara alami tidak
dapat dilakukan. Adapun suhu air media penetasan dalam bak fiber 3 ton
dibiarkan dalam suhu ruang, yaitu 28 0C.Pemijahan dilakukan dengan cara
memindahinduk dalam pocket keranjang dari Styrofoam I ke styrofoam II
sampai keluar sperma sama sel telur. Selanjutnya dipindahkan ke bak fiber 3
ton.

287
Pemanenan larva
Setelah induk tiram berhenti memijah, induk tersebut dipindahkan dari
bak penetasan ke dalam styrofoam dan selanjutnya dipelihara di rakit apung
maupun long line. Adapun telur-telur yang dihasilkan dibiarkan terbuahi
terlebih dahulu di dalam bak fiber. Segera setelah proses pemijahan berhenti
dipasang aerasi satu titik. Hal ini dilakukan agar peluang terjadinya pembuahan
lebih besar. Setelah telur menetas selama kurang lebih 20 jam, kemudian
disaring dengan menggunakan saringan ukuran 40 dan 60 mikron.dan
dipindahkan ke bak pemeliharaan larva dengan volume 3 ton.

Pemeliharaan Larva
Larva mulai diberi pakan setelah mencapai fase D-Shape (D1). Pakan
yang diberikan berupa fitoplankton jenis Isochrysis galbana, Chaetocheros
gracillis, dan Nannoclhoropsis sp.. Setelah mencapai fase umbo 3, pakan yang
diberikan ditambah dengan fitoplankton jenis Nitzchia sp. dan Tetraselmis
chuii. Dilakukan pengamatan terhadap larva dengan mikroskop sebelum dan 4
jam sesudah larva diberi pakan. Hal ini bertujuan untuk melihat kondisi larva,
terutama isi perut.
Fitoplankton yang diberikan berumur 4-5 hari. Larva diberi pakan sehari
sekali, yaitu pada pagi hari jam 10.00. Pakan yang akan diberikan terlebih
dahulu disaring dengan planktonet 10µ, kemudian ditampung dalam toples 15
liter. Di dalam toples tersebut kombinasi pakan yang akan diberikan
dicampurkan. Setelah itu, pakan diambil dengan menggunakan teko berskala
dan dimasukkan secara merata ke dalam bak pemeliharaan larva sesuai dengan
jumlah pakan yang akan diberikan.
Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan cara mengganti air secara
total 3-4 hari sekali. Selain penggantian secara total juga dilakukan penyiponan
pada dasar bak dengan tujuan larva yang kurang sehat yang mengendap pada
dasar bak tidak tercampur dengan larva yang sehat.. Air yang akan diganti
disedot dengan menggunakan selang spiral 1 inchi secara bertahap dengan cara
mengambil larva yang ada di permukaan air terlebih dahulu. Larva yang berada
di atas cenderung lebih sehat, jika dibandingkan dengan larva yang berada di
dasar.
Saringan yang digunakan disesuaikan dengan ukuran larva. Yakni mulai
dari 40 mikron, 80 mikron, 100 mikron, 120 mikron, 150 mikron, 180 mikron,
200 mikron, dan 250 mikron. Setelah larva tersaring, larva kemudian
dimasukkan ke dalam bak 3 ton yang terisi air baru. Penggantian air ini
dilakukan sampai larva siap menempel yakni masuk pada fase plantygrade
dengan ukuran larva kurang lebih 200 – 250 mikron.

288
Pemeliharaan Spat
Setelah melewati fase plantigrade, larva akan tumbuh menjadi spat.
Mulai dari penetasan sampai mencapai fase plantygrade tingkat kelangsungan
hidup larva sanagt kecil yakni mencapai 5 – 10 %. Beberapa factor yang
mempengaruhi SR adalah sebagai berikut: Tingkat kematangan induk,
perlakuan saat pemijahan, kualitas pakan, dan kualitas air media pemeliharaan
itu sendiri. Adapun parameter kualitas air yang media pemeliharaan yang baik
sebagai berikut :
Pada fase peralihan yakni fase plantygrade menjadi spat, sifat hidupnya
akan cenderung menempel pada substrat. Oleh karena itu, larva yang mulai
tumbuh menjadi spat harus diberikan substrat agar tidak menempel pada bak
pemeliharaan. Substrat yang digunakan biasanya terbuat dari tali PE atau orcid
net dengan kerapatan 80-90%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Daya tetas telur (HR)

Tabel 1. Performa pemijahan induk hasil budidaya (F1)


Jumlah induk Jumlah telur Perkembangan larva Daya
Siklus (butir) tetas
telur
(%)
Jant Betina Hari Jumlah
an ke (ekor)
1 4 7 34.000.000 1 21.400.000 62

2 3 5 36.000.000 1 31.800.000 88

3 4 9 27.000.000 1 18.200.000 67

Rata-rata 3,6 7 32.333.333 1 23.800.000 72,3

Sebagai kontrol data pemijahan dengan menggunakan induk alam yakni


pada pemijahan bulan November tahun 2010 dengan menggunakn induk jantan
alam 4 dan induk betina alam 8 yang menempel pada 500 lembar substrat
kolektor dengan kepadatan adalah sebagai berikut :

289
Tabel 2. Performa pemijahan induk alam (F0)
Data Perkembangan Larva
Jumlah Jumlah Telur
Hari Jumlah Larva Ket
Induk ( Butir )
(ke-) ( Ekor )
8 betina 42.000.000 1 40.200.000 HR :95 %
dan 4
jantan
Sumber data primer (2010)

Dilihat dari data daya tetas telur (HR) diatas dapat di ketahui bahwa
hasil pemijahan dengan menggunakan induk alam (F0) dengan induk alam (F0)
yang dapat menghasilkan (HR) paling tinggi. Akan tetapi kendala yang di
hadapi ketersediaannya semakin terbatas serta tingkat kematangannya
dipengaruhi musim. Sebagai alternatifnya menggunakan induk hasil budidaya
(F1) jantan yang disilangkan dengan induk alam (F0) betina yang hasilnya
hampir sama dengan perkawinan induk alam.

Tingkat kelangsungan hidup (SR) larva


Siklus 1 produksi benih pada pemijahan bulan Juni dengan
menggunakan induk Hasil budidaya yang menempel pada 105 lembar kolektor
dengan SR sebagai berikut :
Tabel 3. Performa perkembangan larva siklus 1
Data Perkembangan Larva
Jumlah Telur
Jumlah Induk Jumlah Larva Ket
( Butir ) Hari (ke-)
( Ekor )
34.000.000 1 21.400.000 HR : 62 %
5 20.680.000
8 12.800.000
11 9.800.000
7 betina dan 14 -
4 jantan 17 4.500.000
20 1.400.000
23 33.200
27 - SR akhir
40 21.500 0,10%

Untuk kegiatan pada siklus 2 yakni pemijahan pada bulan September


dengan induk jantan hasil budidaya 3 ekor dan betina alam 5 ekor yang
menempel pada 400 lembar substrat kolektor adalah sebagai berikut :

290
Tabel 4. Performa perkembangan larva siklus 2
Data Perkembangan Larva
Jumlah Jumlah Telur
Jumlah Larva Ket
Induk ( Butir ) Hari (ke-)
( Ekor )
36.000.000 1 31.800.000 HR :86
5 28.000.000 %
8 26.400.000
11 18.600.000
5 betina 14 -
dan 3 17 14.000.000
jantan 20 9.200.000
23 98,800
27 -
40 81.400
SR
akhir
0,25%

Untuk kegiatan pada siklus ke 3 yakni pemijahan pada bulan November


dengan menggunakan induk jantan alam 4 ekor dan induk betina hasil budidaya
9 ekor yang menempel pada 200 lembar substrat kolektor dengan kepadatan
adalah sebagai berikut :

Tabel 5. Performa perkembangan larva siklus 3


Data Perkembangan Larva
Jumlah Jumlah Telur
Jumlah Larva Ket
Induk ( Butir ) Hari (ke-)
( Ekor )
27.000.000 1 18.200.000 HR :67 %
5 16.400.000
8 12.700.000
11 6.200.000
9 betina dan 14 -
4 jantan 17 1.280.000
23 40.000
27 -
40 28.800 SR akhir
0,15%
Sumber : Data primer 2011

291
Sebagai kontrol data pemijahan dengan menggunakan induk alam yakni
pada pemijahan bulan November tahun 2010 dengan menggunakn induk jantan
alam 4 dan induk betina alam 8 yang menempel pada 500 lembar substrat
kolektor dengan kepadatan adalah sebagai berikut :

Data Perkembangan Larva


Jumlah Telur
Jumlah Induk Jumlah Larva Ket
( Butir ) Hari (ke-)
( Ekor )
8 betina dan 4 42.000.000 1 40.200.000 HR :95 %
jantan 5 39.400.000
8 17.100.000
11 -
14 7.100.000
17 2.800.000
23 960.000
27 -
40 176.000 SR:0,43%
Sumber data primer (2010)
Dilihat dari data tingkat kelangsungan hidupan (SR) dari masing –
masing siklus produksi dengan memanfaatkan induk hasil budidaya, yang
paling tinggi adalah pemijahan antara induk jantan hasil budidaya (F1) dengan
induk betina alam.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
a) Daya tetas telur (HR) siklus 1 : 62 %, siklus`2 : 88 %, dan siklus 3 : 67
%
b) Survival rate (SR) siklus 1 : 0,10 %, siklus 2 : 0,25 % dan siklus 3 : 0,15
%
c) Performa (HR) dan (SR) dari ketiga siklus perkawinan antara induk
jantan hasil budidaya (F1) dengan induk alam (F0) lebih tinggi dan
hampir sama dengan performa pemijahan antara induk alam (F0)

Saran
Pemanfaatan induk hasil budidaya dapat dilakukan untuk peningkatan
produksi benih tiram mutiara terutama pada saat ketersediaan induk alam
terbatas.

292
DAFTAR PUSTAKA

Mulyanto, S. 1987. Teknik Budidaya Laut Tiram mutiara di Indonesia. Diktat


Ahli Usaha Perikanan Jakarta. 69 hlm.
Raswin dan Ayodhyoa, 1972. Budidaya Tiram. Direktorat Jenderal Perikanan,
Departemen pertanian, Jakarta.
Balai Budidaya Laut Lombok, 2011 Petunjuk teknis Budidaya Mutiara (
pinctada maxima ) Teknik Pembenihan, Pendederan dan insersi
Sujoko. 2010. Membenihkan Kerang Mutiara. Yogyakarta : Insania.

293
PRODUKSI BENIH IKAN HIAS BANGGAI CARDINALFISH
(Pterapogon kauderni) DI KERAMBA JARING APUNG (KJA)

Erdy Asmaul Basir, Heru Salamet, Johanis Bakarbessy dan Sri


Handayani
Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon

ABSTRAK

Banggai Cardinalfish yang merupakan ikan hias endemik di Kepulauan


Banggai, Propinsi Sulawesi Tengah telah diproduksi secara massal di BBL
Ambon. Kegiatan tahun 2010 – 2012 yang dilakukan di bak fiber dan bak
beton menghasilkan benih yang relatif sedikit dan Survival Rate yang rendah.
Untuk itu pada tahun 2013 dilakukan upaya peningkatan produksinya melalui
kegiatan budidaya di KJA. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memproduksi
ikan hias banggai cardinalfish di KJA dengan paket teknologi budidaya
sederhana yang dapat diterapkan masyarakat.
Induk dipelihara dalam wadah berupa waring berukuran 2,8 m x 2,8 m x 1 m
pada KJA kayu dengan kepadatan 25 ekor, 50 ekor dan 75 ekor tiap waring.
Ditambahkan shelter berupa bulu babi dan ranting pohon bakau di dalam
waring pemeliharaan induk. Pemanenan benih dilakukan 1 – 2 minggu sekali
dan benih dipelihara terpisah dalam waring berukuran 2 m x 1 m x 1 m dengan
bulu babi di dalamnya. Pemberian pakan induk dan benih sebanyak 1-2kali
sehari hingga kenyang (at satiation) berupa ikan rucah yang dihaluskan.
Pada bulan April s/d Juli 2013 dilakukan uji coba untuk membandingkan
budidaya di bak fiber dengan KJA dan diperoleh hasil produksi benih dan SR
induk yang lebih baik pada budidaya di KJA. Benih yang dihasilkan di bak
fiber sebanyak 39 ekor dengan SR induk sebesar 42 % dan benih yang
dihasilkan di KJA sebanyak 612 ekor dengan SR induk 100 %.Selanjutnya
pada bulan Agustus s/d Nopember 2013dilakukan uji coba terhadap padat
tebar induk di KJA dan diketahui bahwa dengan 25 ekor induk/waring mampu
memproduksi benih sebanyak 726 ekor benih, kemudian pada 50 ekor
induk/waring sebanyak 712 ekor benih dan 75 ekor induk/waring
menghasilkan 681 ekor benih. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
produksi benih ikan hias Banggai Cardinalfish di KJA lebih baik dengan padat
tebar induk yang optimal adalah 25 ekor/waring.
Analisa performance menunjukkan bahwa usaha ini menguntungkan dengan
Benefit Cost Ratio (B/C) sebesar 1,50.

Kata kunci :Banggai Cardinalfish, produksi benih, KJA

294
PENDAHULUAN
Ikan hias Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni) dikenal juga
dengan nama Ikan Capungan Banggai atau Banggai Cardinal dan dalam bahasa
lokal disebut ikan capungan atau bibisan. Ikan ini merupakan spesies ikan laut
endemik di Kepulauan Banggai, Propinsi Sulawesi Tengah. Ikan hias khas
Sulawesi ini menjadi salah satu ikan hias yang diincar para penggemar sejak
tahun 1990 dengan tingkat permintaan yang sangat tinggi. Pada tahun 2008
penangkapan ikan ini mencapai 236.373 ekor dalam setahun di dua lokasi yaitu
Bone Baru dan Toropot.
Ikan Banggai Cardinalfish telah disebutkan sebagai spesies yang patut
dilindungi bahkan ada usulan agar penangkapan dan perdagangannya
dihentikan demi kelestarian spesies tersebut. Namun, hasil survei lebih lanjut
menunjukkan bahwa populasi Banggai Cardinalfish dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Upaya tersebut berupa penggunaan
alat tangkap yang ramah lingkungan, penangkapan dengan ukuran yang telah
disepakati bersama yaitu 2 – 3 cm, lokasi penangkapan yang selalu berpindah
setiap minggunya serta kegiatan budidaya in-situ yang sedang dikembangkan
sebagai usaha alternatif.
Dalam rangka mendukung upaya tersebut di atas, Balai Budidaya Laut
Ambon telah melakukan kegiatan pembenihan Banggai Cardinalfish sejak
tahun 2010 dan masih berlanjut hingga sekarang. Kegiatan tahun 2010 – 2012
yang dilakukan di bak fiber dan bak beton menghasilkan benih yang relatif
sedikit dan Survival Rate yang rendah. Untuk itu pada tahun 2013 dilakukan
upaya peningkatan produksinya melalui kegiatan budidaya di KJA. Tujuan dari
kegiatan ini adalah untuk memproduksi benih ikan hias banggai cardinalfish di
KJA dengan paket teknologi budidaya sederhana yang dapat diterapkan
masyarakat.

BAHAN DAN METODE


Alat dan bahan yang digunakan antara lain :
a) KJA dengan petakan berukuran 3 m x 3 m atau 4 m x 4 m;
b) waring (polyethylene) ukuran 2,8 m x 2,8 m x 1 m atau 3,8 m x 3,8 m x
1 m dengan ukuran mata jaring 0,5 mm untuk pemeliharaan induk;
c) waring (polyethylene) ukuran 2 m x 1 m x 1 mdengan ukuran mata
jaring 2 mm - 4 mm untuk pemeliharaan benih.
d) induk jantan dan induk betina yang sudah matang gonad;sehat, tidak
cacat, dan bentuk tubuh proporsional.
e) Pelindung (shelter) berupa bulu babi (Diadema sp.) dan ranting pohon
bakau atau daun kelapa.
f) Pakan segar

295
g) Peralatan kerja : perahu/speedboat, freezer, ember, serokan/seser/
tanggo, gayung, alat penggiling daging/pisau, capit besi, penggaris.
h) Peralatan pengukur kualitas air : thermometer, salinometer atau
refraktometer, DO meter, pH meter.

Pemilihan Lokasi
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi
budidaya ikan hias Banggai Cardinalfish di KJA antara lain :
a) perairan pantai yang terlindung dari gelombang besar dan angin
kencang;
a) kedalaman 7 m – 15 m dari surut terendah dan tidak tercemar;
b) salinitas 28g/l – 32 g/l;
c) mudah dijangkau dan sesuai dengan tata ruang dan peruntukan wilayah.
d) Persyaratan kualitas air yang diharapkan antara lain suhu berkiras antara
27 – 30oC, salinitas 28 – 32 g/l, oksigen terlarut minimal 4,5 mg/l dan
pH berkisar antara 8,0 – 8,4.

Pemeliharaan Induk
Induk/calon induk berasal dari tangkapan alam atau hasil budidaya yang
telah matang gonad, berumur minimal 6 bulan dengan panjang standar 4
cm/ekor, sehat, tidak cacat dan bentuk tubuhnya proporsional.
Selama pemeliharaan induk diberikan pakan rucah yang digiling atau
dicincang halus atau pakan pelet dengan frekuensi 1 – 2 kali sehari sampai
kenyang (ad-satiation).Pemijahan induk berlangsung sepanjang tahun secara
massal dalam wadah pemeliharaan tersebut. Induk jantan akan mengerami telur
hasil pemijahan selama 18 – 25 hari hingga benih siap dikeluarkan dari
mulutnya dengan bentuk morfologi yang sama dengan ikan dewasa.Dalam
wadah pemeliharaan induk ditambahkan pelindung (shelter) berupa bulu babi
(Diadema sp.) dan ranting pohon bakau atau daun kelapa.

Wadah Budidaya Yang Berbeda


Induk sebanyak 50 ekor dipelihara dalam bak fiber bervolume 3 ton dan
dibandingkan dengan pemeliharaan 20 ekor induk dalam waring berukuran 2,8
x 2,8 x 1 m3 di KJA.dalam masing-masing wadah diberikan bulu babi sebagai
shelter. Pemanenan benih dilakukan setiap ada benih yang telah bernaung di
bulu babi dan dipelihara dalam wadah yang lain.

296
Padat Tebar Induk Yang Berbeda
Uji coba selanjutnya adalah perlakuan padat tebar induk yang berbeda
yang dipelihara dalam wadah yang sama yaitu waring berukuran 2,8 x 2,8 x 1
m3. Jumlah padat tebar induk yang diuji adalah 25 ekor/waring (A), 50
ekor/waring (B) dan 75 ekor/waring (C) dan perlakuan diulang dengan 3 kali
ulangan.Pemanenan benih dilakukan setiap 1 – 2 minggu sekali.

Pemanenan Benih
Metode pemanenan benihnya tergolong mudah, yaitu dengan
mengangkat benih yang sedang berlindung pada bulu babi.Benih tersebut
diangkat langsung beserta bulu babinya dan diletakkan dalam ember yang telah
diisi air.Kemudian satu per satu bulu babi diangkat keluar dengan
menggunakan jepit besi sehingga benihnya tertinggal dalam ember. Setelah itu
benih dipindahkan ke dalam wadah yang lain. Sebaiknya pemanenan benih
dilakukan pada pagi atau sore hari.

Pemeliharaan Benih
Benih ikan Banggai Cardinalfish dipelihara dalam waring berwarna
hitam dengan ukuran 2 m x 1m x 1 m atau 2,8 m x 1 m x 1 m dengan kepadatan
tebar 250 – 375 ekor/m3. Benih tersebut dipelihara hingga mencapai panjang
standar 3 – 4 cm/ekor selama 4 – 5 bulan yang sesuai dengan permintaan pasar.
Selama pemeliharaan, benih diberikan pakan yang sama dengan
induknya yaitu pakan rucah yang digiling/dicincang halus atau pakan pelet.
Frekuensi pemberian pakan sebanyak 1 – 2 kali sehari dengan dosis
sekenyangnya (ad-satiation).Selain itu, pakan alami berupa zooplankton yang
masuk dalam wadah pemeliharaan banyak tersedia di perairan sehingga dapat
langsung dikonsumsi oleh benih.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan bulan Juli
2013. Uji coba yang dilakukan yaitu dengan memelihara induk sebanyak 50
ekor dalam bak fiber bervolume 3 ton dan dibandingkan dengan pemeliharaan
20 ekor induk dalam waring berukuran 2,8 x 2,8 x 1m3 di KJA. Hasil produksi
benih yang diperoleh dapat dilihat dalam Tabel 1.berikut :

297
Tabel 1. Produksi benih Banggai Cardinalfish dalam wadah
pemeliharaan berbeda
Jumlah Produksi Benih
Bulan (ekor)
Bak Fiber KJA
April 39 -
Mei - 164
Juni - 225
Juli - 223
Total 39 612

Dari tabel di atas diketahui bahwa hasil yang diperoleh dari kedua
perlakuan menunjukan nilai yang berbeda nyata. Dari pemeliharaan di bak fiber
selama 4 bulan dihasilkan benih berukuran 1 cm hanya sebanyak 39 ekor,
sedangkan dari pemeliharaan di KJA diperoleh benih sebanyak 612 ekor. Selain
itu, induk di KJA rutin memproduksi benih setelah 1 bulan pemeliharaan
sedangkan di bak fiber hanya diperoleh pada 1 bulan pertama yaitu bulan
April.Tidak adanya produksi benih di bak fiber disebabkan sedikitnya induk
yang memijah diduga karena padat tebar yang terlalu tinggi dan terjadinya
kematian induk akibat perkelahian serta serangan penyakit.Selain itu, adanya
kanibalisme terhadap benih yang baru keluar dari mulut indukan oleh induk-
induk yang lainnya.
Selain produksi benih, parameter lain yang diukur adalah tingkat
kelulushidupan induk yang dipelihara. Pada bak fiber, dari jumlah induk yang
dipelihara sebanyak 50 ekor, tersisa 21 ekor pada akhir pemeliharaan atau
diperoleh SR sebesar 42 %. Sedangkan pada pemeliharaan induk di KJA
jumlah induk yang dipelihara bertahan sebanyak 20 ekor hingga akhir uji coba
atau diperoleh SR sebesar 100 %.
Dari kedua parameter yang diukur dalam uji coba ini, diperoleh
kesimpulan bahwa kegiatan pembenihan Banggai Cardinalfish di KJA lebih
baik daripada bak fiber.Untuk itu, dapat digunakan sebagai acuan dalam
kegiatan selanjutnya.

Perlakuan Padat Tebar Induk dalam KJA


Percobaan ini merupakan uji coba lanjutan setelah diketahui bahwa
pembenihan Banggai Cardinalfish lebih baik dilaksanakan di KJA. Adapun
percobaan yang dilakukan adalah dengan perlakuan padat tebar induk yang
dipelihara dalam wadah yang sama yaitu waring berukuran 3 x 3 x 1 m 3.
Jumlah padat tebar induk yang diuji adalah 25 ekor (A), 50 ekor (B) dan 75
ekor (C) setiap wadahnya dan perlakuan diulang dengan 3 ulangan. Kegiatan

298
ini dilaksanakan pada Agustus sampai dengan Nopember 2013.Adapun benih
yang dihasilhan pada uji coba ini sapat dilihat pada Tabel 2.di bawah ini :

Tabel 2. Produksi Benih Banggai Cardinalfish dengan Padat Tebar Induk


Berbeda
Jumlah Produksi Benih
Bulan (ekor)
Bak Fiber KJA
April 39 -
Mei - 164
Juni - 225
Juli - 223
Total 39 612

Untuk lebih jelas mengenai perbandingan ketiga perlakuan dapat dilihat


pada Gambar1.berikut :

Grafik Produksi Benih Banggai Cardinalfish


dengan Padat Tebar Induk Berbeda
2,500 2,179 2,134 2,046
Jumlah Produksi Benih (ekor)

2,000
1,500
1,000 726 712 681
Jumlah Total
500
- Total Rata-rata
wadah A wadah B wadah C
Perlakuan

Gambar 1. Grafik Produksi Benih Banggai Cardinalfish dengan Padat Tebar


Induk Berbeda

Dari tabel 2.dan Gambar 1. di atas, dapat diketahui bahwa perlakuan


pada wadah A yaitu dengan padat tebar induk 25 ekor menghasilkan nilai
tertinggi pada jumlah produksi benih total dan total rata-rata tiap ulangan, yaitu

299
sebesar 2,179 ekor dan 726 ekor. Kemudian diikuti oleh perlakuan wadah B (50
ekor/wadah) dan nilai terendah pada perlakuan wadah C (75 ekor/wadah).
Walaupun nilai yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan tidak terlihat
signifikan, namun dapat disimpulkan bahwa dengan padat tebar 25 ekor/wadah
memberikan hasil terbaik dibandingkan padat tebar 50 ekor dan 75 ekor per
wadahnya. Sedangkan data SR induk pada perlakuan ini tidak dapat terhitung
mengingat adanya lubang pada wadah pemeliharaan sehingga banyak induk
yang lolos keluar dari waring.

KESIMPULAN
Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Produksi benih ikan hias Banggai Cardinalfish di Keramba Jaring Apung
(KJA) lebih baik dari pada di bak fiber.
2. Padat tebar induk dalam pemeliharaan di KJA sebanyak 25 ekor/waring
menunjukkan hasil produksi benih yang lebih baik daripada 50
ekor/waring dan 75 ekor/waring.
3. Hasil analisa performance menunjukkan bahwa usaha ini menguntungkan.
Saran yang dapar diberikan dalam perbaikan kegiatan ini di depan
adalah sebaiknya pengecekan kondisi waring perlu secara rutin dilakukan agar
diketahui adanya kebocoran waring untuk mencegah lolosnya induk yang
dipelihara.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Riset Perikanan Laut. 2006. Ikan Hias Laut Indonesia. Penebar Swadaya.
Depok.
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan.2010. Pedoman Rehabilitasi
Banggai cardinal Fish (Pterapogon kauderni). Ditjen Kelautan, Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kep.Men LH No. 51 Tahun 2004.Baku mutu air laut untuk biota laut.
Robert M. Fenner. 2007. The Concientious Marine Aquarist : A Commonsense
Handbook for Successful Saltwater Hobbyist. Microcosm Ltd.
Vermont - USA.
Rudie H. Kuiter and Helmut Debelius. 2007. World Atlas of Marine Fishes.
IKAN-Unterwasserarchiv. Frankfurt – Germany. page 335.
Vagelli. 2011. The Banggai Cardinalfish. Natural History, Conservation, and
Culture of Pterapogon kauderni.Wiley-Blackwell Publiction. United
Kingdom.

300
SEGMENTASI USAHA PENDEDERAN TIRAM MUTIARA (Pinctada
maxima)DI LOMBOK, NTB.

Aprisanto Dwi L., Wildan, and Landra Wijaya.

ABSTRAK

Sudah bukan menjadi rahasia umum kalo budidaya mutiara


hanya bisa dilakukan oleh pengusaha yang bermodal besar. Namun,
dalam usaha budidaya mutiara rantai kegiatannya dapat dibagi menjadi
tiga. Yaitu pembenihan, pendederan dan produksi mutiara. Dengan
segmentasi usaha budidaya mutiara, ternyata masyarakat dan pengusaha
kecil yang mau bergerak dalam bidang inipun dapat berperan aktif
khususnya pada segmen pendederannya.
Untuk segmentasi usaha pendederan, kegiatannya dapat
dikatakan sangat mudah diadopsi oleh masyarakat . Dengan metode long
line ataupun rakit apung yang umur ekonomisnya lebih dari 5 tahun dan
sarana wadah pemeliharaan berupa pocket net yang digantungkan, serta
kegiatan pemeliharaan yang sangat sederhana, meliputi : penggantian
waring pelindung pocket net, pembersihan tiram pada bagian luar
cangkangnya, penjarangan dan seleksi menurut ukuran.
Dilihat dari sudut pandang analisa usahanya, dengan umur siklus
produksi 1tahun, SR 10 % akan mendapatkan penghitungan B/C ratio =
1,83. Masyarakat atau pelaku usaha pendederan dapat mendapat
keuntungan yang luar biasa besarnya. Hanya dengan modal tenaga kerja,
tanpa harus mengeluarkan biaya pakan ataupun multifitamin.

Kata kunci: Segmentasi usaha, pendederan tiram mutiara,


masyarakat
pesisir, analisa usaha, SR, B/C ratio

301
PENDAHULUAN

Siklus produksi usaha budidaya tiram mutiara membutuhkan waktu


yang terlalu panjang, sehingga tidak sedikit biaya produksi yang dibutuhkan.
Dengan mengelompokkan menjadi tiga segmentasi usaha , yakni : pembenihan,
pendederan dan produksi mutiara. Dari ke tiga segmentasi tersebut akan
memberikan informasimasi kepada masyarakat, bahwa budidaya mutiara bukan
hanya bisa dilakukan oleh pengusaha yang memiliki modal besar akan tetapi
masyarakat pun bisa melakukannya. Tentunya ada beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan antara lain: teknologinya mudah dikuasai, biaya infestasinya
tidak terlalu tinggi dan pastinya menguntungkan.
Salah satu segmentasi yang memungkinkan dikembangkan oleh
masyarakat atau pelaku usaha bermodal kecil yang memiliki potensi perairan
yang layak untuk budidaya mutiara adalah kegiatan pendederan tiram mutiara

Tujuan
Memberikan gambaran segmentasi usaha, agar masyarakat dapat turut
serta dalam usaha budidaya tiram mutiara.

BAHAN DAN METODE

Peralatan yang digunakan Long line, pocket net, Waring pembungkus,


speed boot, Peralatan pembersih tiram, mesin spoid, jangka sorong. Bahan yang
di gunakan Spat kolektor, Bahan bakar speed boot

Pendederan
Kegiatan pendederan merupakan kegiatan lanjutan dari pemeliharaan
spat di hatchery yang akan di lakukan di laut. Pendederan spat tiram mutiara
dilakukan dengan menggunakan metode long line. Dalam satu siklus
pendederan memerlukan waktu minimal selama 12 bulan dengan ukuran spat
mencapai 6 – 8cm. Dengan laju pertumbuhan rata-rata 0,5 cm per bulan dengan
SR sekitar 1-10 %. Kecilnya SR pada saat pemeliharaan diduga karena adanya
masa transisi dari pemeliharaan di hatchery yang kemudian di pindahkan ke
laut. Banyak dijumpai kematian terjadi pada saat spat berukuran kurang dari 3
cm.
Pendederan spat tiram mutiara di BBL Lombok menggunakan metode
longlineyaitu teknik pendederan dengan menggunakan longline sebagai tempat
untuk menggantung pocket yang berisikan spat kolektor hingga ukuran siap
panen. Longline terbuat dari tali PE 22mm dengan panjang 100 m dilengkapi
bola pelampung sebanyak 20 buah dengan diameter 40 cm dengan jarak

302
pemasangan setiap pelampung yaitu 5 m dan terdapat 5 tali gantungan berjarak
antar tali 80 cm dengan panjang tali 6 m, jadi dalam 1 unit longline terdapat
100 tali gantungan pocket.
Adapun kegiatan yang harus dilakukan selama pemeliharaan adalah
Pembersihan dan penjarangan serta seleksi menurut ukuran. Pembersihan
dilakukan setiap bulan sekali setelah penebaran, pembersihan pertama dengan
mengangkat spat dari kolektor dan cangkang dibersihkan dengan menggunakan
sikat gigi halus. Setelah bersih spat kemudian ditempatkan pada pocket yang
diselubungi waring dan digantung pada longline.
Seleksi pada spat dilakukan dengan tujuan mengklasifikasikan spat
sesuai dengan ukuran, antara spat yang cepat dan lambat dalam
pertumbuhannya. Seleksi dilakukan pada saat penjarangan. Tujuan penjarangan
adalah mengurangi tingkat kepadatan spat persatuan ruang. Penjarangan mulai
dilakukan pada saat pembongkaran spat pada kolektor yang ukurannya sudah
mencapai 1 cm. Seiring meningkatnya ukuran spat maka akan terjadi kompetisi
terhadap ruang pemeliharaan dan pakan. Sering kali spat saling menempel
antara satu dengan yang lain sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan spat
yang tidak normal. Teknik penjarangan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Mengangkat pocket dari laut yang diselubungi dengan waring.
2. Mengangkat spat yang masih menempel pada kolektor dengan cara
memotong bisusnya dengan menggunakan pisau kecil secara hati-hati
agar bisus tidak tertarik. Kemudian ditampung pada ember plastik yang
berisi air laut yang mengalir. Air laut dipompa dengan mesin pompa air
laut dan dialirkan pada bak penampungan.
3. Membersihkan kulit luar spat dengan menggunakan sikat gigi yang
halus satu persatu dan kemudian spat dipelihara pada pocket dengan
kepadatan 40 – 50 ekor per pocket.
4. Pocket yang sudah berisi spat tersebut dibungkus kembali dengan
waring yang bermata jaring 2 mm, kemudian digantung sementara pada
ponton.
5. Setelah semua siput selesai diseleksi, dibersihkan dan dijarangkan,
pocket digantung pada longline.

303
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pendederan tiram mutiara

Tabel 1. Hasil pendederan tahun 2012


Jumlah spat Ukuran Jumlah Keterangan
Tebar (ekor) (cm) Tiram SR
(Ekor) (%)

Juli 21.500 7-9 774 3,6

November 81.400 5-7 4228 5,1

Januari 28.800 4-6 1167 4

Sumber : data primer Desember (2012)

Dilihat dari metode kerja, kegiatan pendederan tiram mutiara


memungkinkan untuk dikembangkan di masyarakat. Selain mudah dikerjakan
biaya produksinya pun tidak terlalu besar. Peran Balai Budidaya Laut Lombok
sebagai perpanjangan tangan pemerintah khususnya di bidang perikanan
budidaya, adalah memberikan informasi teknologi dan percontohan kegiatan
budidaya kepada masyarakat sehingga dapat memanfaatkan potensi laut untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Pada tahun 2011 Demplot pendederan sudah mulai dikembangkan di


masyarakat dan dalam perhitungannya masyarakat sebagai pelaksana kegiatan
masih diuntungkan. Jadi sangatlah memungkinkan jika usaha ini diterapkan di
masyarakat sebagai pelaku kegiatan yang bekerja sama dengan pihak swasta
yang memiliki modal, sehingga dapat mengurangi biaya yang akan dikeluarkan
serta membagi resiko kegagalan dalam usaha meski pada ahirnya keuntungan
akan dibagi sesuai kesepakatan.

304
Biasanya usaha pendederan tiram mutiara dilakukan dengan sistem long
line, dimana poket yang berisi benih tiram mutiara digantung pada long line.
Untuk mendapatkan tiram ukuran panen, 7 – 9 cm, dibutuhkan 1 siklus
produksi dengan durasi waktu 1 tahun . usaha skala menengah membutuhkan 5
unit long line dengan kapasitas produksi 36.000 ekor/tahun dan kebutuhan
investasi awal sebagai berikut:

Tabel 2. Sarana dan prasarana pendederan tiram mutiara


No Item jml satuan Harga/sat Total
A Kontruksi
1 Ponton 1 bh 5.000.000 5.000.000

2 Longline 5 bh 15.000.000 75.000.000


3 Poketnet 1000 bh 20.000 20.000.000
4 Waring 1000 bh 12.000 12.000.000
5 Spedboad+mesin 1 bh 50.000.000 50.000.000
B Peralatan
1 Pompa alkon 1 bh 3.500.000 3.500.000
2 pompa spoid 1 bh 4.000.000 4.000.000
3 Waring 500 bh 12.000 6.000.000
4 Bak fiber 1 bh 500.000 500.000
176.000.000

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Metodependederan tiram mutiara relatif mudah sehingga masyarakat
dapat lebih cepat memahami dan mampu melakukannya
2. Dilihat dari gambaran analisa usahanya, segmen usaha pendederan tiram
mutiara dapat dikatakan ―layak‖ untuk usaha, dengan capaian SR 10%,
lama pemeliharaan 1 tahun akan didapatkan B/C ratio sebesar 1,83
sehingga penghitungan pengembalian modal akan dicapai dalam kurun
waktu 2,5 tahun.

Saran
Untuk mengatasi tingginya mortalitas tiram pada saat pendederan
harusnya pemilihan lokasi untuk kegiatan budidaya sangat diperhitungkan.
Sebab tidak semua lokasi perairan laut bisa digunakan untuk mengembangkan
budidaya tiram mutiara.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyanto, S. 1987. Teknik Budidaya Laut Tiram mutiara di Indonesia. Diktat


Ahli Usaha Perikanan Jakarta. 69 hlm.

305
Raswin dan Ayodhyoa, 1972. Budidaya Tiram. Direktorat Jenderal Perikanan,
Departemen pertanian, Jakarta.

Balai Budidaya Laut Lombok. 2011. Petunjuk teknis Budidaya Mutiara


(Pinctada maxima). Teknik Pembenihan, Pendederan dan insersi.

Sujoko. 2010. Membenihkan Kerang Mutiara. Yogyakarta : insania

306
POLIKULTUR ABALONE (Haliotis sp) DAN IKAN HIAS CLOWNFISH
(Amphiprion sp.) SECARA TERKONTROL DALAM
MENINGKATKAN EFISIENSI WADAH BUDIDAYA

M. Nurul Huda, Arsyad Sujangka, dan Hery Setyabudi

ABSTRAK

Kegiatan pembesaran abalone (Haliotis sp.) selama ini telah banyak


dilakukan, mulai dari pembesaran di bak terkontrol, di daerah pasang surut
dengan menggunakan keranjang beton, mapun di laut dengan menggunakan
karamba jaring apung. Begitu pula pembesaran ikan hias clownfish
(Amphiprion sp.) telah banyak dilakukan di akuarium dan bak fiber yang
terkontrol. Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok telah mengembangkan
pembesaran secara polikultur antara abalone dan clownfish. Pembesaran
abalone menggunakan bak beton panjang sejumlah 3 bak dengan volume 10
m³ (10x1x1m), dilakukan melalui cara benih abalone di tempatkan ke dalam
keranjang kotak kemudian digantungkan pada kayu tepat diatas bak beton
tersebut. Hal ini menyisakan ruang kosong (space) dalam bak. Sehingga ruang
kosong ini bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pembesaran clownfish. Selain
itu, sebaran copepod yang telurnya terbawa bersama rumput laut gracillaria saat
pemberian pakan abalone, dapat digunakan sebagai pakan tambahan bagi
clownfish. Dalam kegiatan perekayasaan ini yang digunakan adalah benih
lownfish Amphiprion ocellaris ukuran 1-1,5 cm 2.000 ekor/bak dan benih
abalone squamata (Haliotis squamata) ukuran 1-2 cm sebanyak 3.000 ekor/bak.
Dari hasil perekayasaan dapat diketahui bahwa : Clown fish memiliki
laju pertambahan berat harian sebesar 0.005 gram/hari, dan laju pertambahan
panjang harian sebesar 0.02 cm/hari; dengan kelulushidupan rata-rata sebesar
95%. Sedangkan abalone memiliki laju pertambahan berat harian sebesar 0.06
gram/hari dan laju pertambahan panjang harian sebesar 0.09 mm/hari dengan
kelulushidupan rata-rata sebesar 92,4%.
Dalam masa pemeliharaan polikultur selama 3 bulan di bak beton 10 ton, dapat
dihasilkan clownfish ukuran 3-4 cm. Hal ini berarti, dalam pemeliharaan
selama 1,5 tahun dapat dipanen abalone squamata sebanyak 1 kali panen
dengan ukuran 4,5-6 cm dan panen clownfish sebanyak 6 kali dengan ukuran 3-
4 cm.

Kata kunc i: Abalone, clownfish, polikultur, kelulushidupan, pertumbuhan.

307
PENDAHULUAN
Budidaya abalon dan ikan hias clownfish telah banyak dilakukan.
Namun kegiatan budidaya, keduannya cenderung dilakukan secara terpisah.
Dalam pembesarannya, abalon memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 1,-
1,5 tahun dari ukuran 0,5 cm hingga ukuran konsumsi 5-7 cm. Sedangkan ikan
clownfish memerlukan waktu sekitar 3-4 bulan untuk ukuran jual 3-4 cm.
Selama ini abalon banyak dibesarkan di bak beton, keranjang dasar
maupun karamba jaring apung (KJA). Sedangkan ikan clownfish banyak
dibudidayakan di akuarium maupun di bak fiber. Model budidaya keduanya
terkesan berbeda, namun sebenarnya pembesarannya bisa dilakukan secara
bersamaan (polikultur).
Balai Budidaya Perikanan Laut Lombok telah melakukan perekayasaan
teknologi berupa polikultur abalon dan clownfish. Kegiatan ini bertujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan SR ikan hias clownfish dengan memanfaatkan
ruang kosong di bak beton tempat pembesaran abalon (Haliotis sp.). Dengan
polikultur abalon dan clownfish diharapkan keuntungan dari kegiatan
pembesaran lebih optimum.

BAHAN DAN METODE


Perekayasaan di lakukan di dalam 4 bak beton panjang dengan volume
10m3 (dengan panjang x lebar x tinggi = 10mx1mx1m). Benih abalon yang
digunakan berukuran 1-2 cm/ekor dengan jumlah 3.000 ekor/bak sedangkan
benih clownfish ukuran 1-1,5 cm/ekor sebanyak 2.000 ekor/bak. Abalon
diletakkan dalam 15 keranjang yang digantungkan di bak beton dengan jumlah
benih abalon di dalam keranjang masing-masing 200 ekor. Sedangkan benih
clownfish diletakkan di dalam bak beton di luar keranjang untuk optimasi
penggunaan bak.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada kegiatan perekayasaan polikultur abalon dengan clownfish ini,
pakan pembesaran untuk abalone yang digunakan adalah Gracillaria dengan
pemberian pakan secara adlibitum. Sedangkan pakan yang digunakan untuk
benih clownfish adalah Love Larva 1-3 dengan pemberian pakan adlibitum
pula. Selain pakan yang diberikan, benih clownfish juga makan copepod yang
terbawa bersamaan rumput laut Gracillaria, saat pemberian pakan abalon.
Dari kegiatan ini dapat diketahui bahwa clownfish memiliki laju
pertumbuhan berat harian sebesar 0.005 gram/hari, dan laju pertumbuhan
panjang harian sebesar 0.02 cm/hari; dengan kelulushidupan rata-rata sebesar
95%. Sedangkan abalon memiliki laju pertumbuhan berat harian sebesar 0.06

308
gram/hari dan laju pertumbuhan panjang cangkang harian sebesar 0.09 mm/hari
dengan kelulushidupan rata-rata sebesar 92%. Pertumbuhan yang optimum dan
sintasan yang tinggi ini diakibatkan oleh kondisi bak yang terkontrol dengan
pergantian air dan pemberian pakan yang optimum pula.

Tabel 1. Kelulushidupan rata-rata

Kelulushidupan (Sintasan Rata-Rata) (%)


Komoditas
1 2 3 4
Abalon 100 98 95 93 92
Clownfish 100 99 97 96 95

Berikut adalah Grafik pertumbuhan panjang rata-rata bulan 1 sampai


dengan bulan ke 4.
Gambar 1. Grafik pertumbuhan Panjang (cm)
3.5
3
2.5
2
1.5 Abalon
1
0.5 Clown Fish
0
Bulan ke- 2 3 4
1

Pada grafik ini terlihat bahwa clownfish hingga bulan keempat masih
tumbuh dengan baik untuk mencapai ukuran optimumnya. Dari pengalaman
kegiatan pemeliharaan benih clownfish yang dilakukan di BPBL Lombok
selama ini, pertumbuhan akan melambat setelah ukuran 4 cm. Sedangkan untuk
pertambahan panjang cangkang abalon cenderung lambat. Hal ini karena durasi
pemeliharaan abalone memang cenderung lama yaitu hingga 1-1,5 tahun,
tergantung jenisnya. Menurut Susanto (2010), pertumbuhan abalone sangat
lambat dan berbeda antar spesies, akan tetapi pertumbuhan panjang cangkang
mulai mencolok setelah masa pemeliharaan 8-10 bulan.

Sedangkan grafik pertumbuhan berat rata-rata bulan ke 1 sampai dengan


bulan ke 4 adalah sebagai berikut:

309
Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Berat (gram)
8
6
4
Abalon
2
Clown fish
0
Bulan ke- 2 3 4
1

Dari grafik terlihat bahwa pertumbuhan berat abalon cenderung cepat


pada bulan ke 1 hingga ke 3, dan cenderung melambat setelah bulan ke 3.
Sedangkan untuk clownfish justru pertumbuhan cenderung cepat dari bulan ke
3 hingga ke 4. Pertumbuhan kedua jenis komoditas ini masih cenderung
normal. Dalam polikultur clownfish dengan abalone ini, pemberian pakan
utama untuk clownfish berupa pellet yang diberikan sehari 4-6 kali, dan pakan
tambahan berupa copepod yang menempel pada rumput laut Gracillaria (yang
menjadi pakan abalone) dan menyebar ke seluruh kolom bak. Di habitat
aslinya, ikan clownfish tergolong omnivore (Setiawan 2006), walaupun
sebagian besar kelompok clownfish memakan copepod dan larva tunicate.
(Fautin dan Allen 1992)..
Benih abalone tumbuh dengan baik di bak terkontrol. Pemberian pakan
Gracillaria mencukupi kebutuhan abalone untuk tumbuh baik dari penambahan
biomass maupun panjang cangkang. Pertumbuhan ini sangat dipengaruhi oleh
beberapa variable terutama oleh faktor genetis, hormone, dan Lingkungan
(Fujaya 2004), juga pemberian pakan yang cukup dan kualitas air yang terjaga.

310
Dari pengukuran kualitas air selama perekayasaan polikultur abalone
dan ikan clownfish diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 2. Kisaran kualitas air selama kegiatan perekayasaan.


No. Parameter Kualitas Kisaran Nilai Satuan
Air
1. Suhu 26 – 30 (˚C)
2. Salinitas 33 – 35 (ppt)
3. pH 7,5 – 8,9
4. DO 4,01 – 4,87 (mg/l)

Dari data kualitas air yang diukur, kualitas air pemeliharaan masih
dalam kisaran normal, yang sesuai untuk pertumbuhan abalone dan clownfish..
Menurut Setyono (2009), semua jenis abalone menyukai suhu perairan 27-30˚
C, salinitas 29-33 ppt, pH 7,6-8,1 dan DO 3,27-6,28 ppm. Sedakan ikan
clownfish menyukai kisaran suhu 27-28˚ C untuk tumbuh (Fautin dan Allen
1992) pH optimum 7,8-8,6 (Ari dan Murdjani 2008), DO antara 4-5 ppm (Ari
et al. 2009), dan salinitas 30-35 ppt (Maddu et al. 2009). Selain itu parameter
kualitas air selalu terjaga karena pemeliharaan dilakukan dalam bak yang
mengalir dengan pergantian air secara kontinyu dan penyiponan setiap pagi hari
untuk membersihkan sisa pakan.

KESIMPULAN

Clown fish memiliki laju pertambahan berat harian sebesar 0.005


gram/hari, dan laju pertambahan panjang harian sebesar 0.02 cm/hari;
sedangkan abalone memiliki laju pertambahan berat harian sebesar 0.06
gram/hari dan laju pertambahan panjang harian sebesar 0.09 mm/hari. Rerata
sintasan untuk clownfish sebesar 95% dan rerata sintasan untuk abalone 92%.
Dengan model polikultur, pemeliharaan abalone 1 tahun, dapat dilakukan panen
clownfish sebanyak 3 kali, dengan keuntungan usaha Rp. 61.650.000 / 1 tahun
(Rp.5.137.500/bulan) dan dengan payback period 1,4 tahun.

311
DAFTAR PUSTAKA
Ari, K. dan Murdjani, M. 2008. Rekayasa Penyediaan Induk Unggul
Ikan Hias
Amphiprion ocellaris. Makalah Seminar Indoaqua 2008. Yogyakarta.

Ari, dkk. 2009. Rekayasa Pemeliharaan Benih Amphiprion ocellaris dengan


Wadah Berbeda. Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung.
Lamung.

Fautin, D.G. dan Allen G.R. 1992. Field Guide to Anemone Fishes and Their
Host Sea Anemones. California Academy of Sciences University of
Kansas. California.

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan dan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan.


Rineka Cipta. Jakarta.

Madhu, K. Madhu, R. dan Venugopalan, K.K. 2009. Acclimation and Growh of


Hatchery Produced False Clown Amphiprion ocellaris to Natural and
Surrogate anemones. J. Mar.Biol. Ass. India,51:205-210.

Setiawan, F. 2006. Panduan Lapangan Identifikasi Ikan Karang dan


Invertebrata Laut. Wildlife Conservation Society. Jakarta.

Susanto, B. Rusdi, I., Rahmawati, R., Giri, N.A., Sutarmat T. 2010. Aplikasi
Teknologi Pembesaran Abalon (Halotis squamata) dalamMenunjang
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Balai Besar Riset Perikanan
Budidaya Laut Gondol. Bali.

312
PEMBIAKAN ANEMON SECARA VEGETATIF DENGAN METODE
FRAGMENTASI SEBAGAI ALTERNATIF USAHA IKAN HIAS

Arsyad Sujangka, M. Nurul Huda, dan Bangun


Abstract
Anemone is one ornamental fish that hankered by abroad buyer.
Beside of attractive colour, the type and its form are so diverse. Lombok
Marine Aquaculture Development Center has developed anemone's
fragmentation engineering, in order that this technology can be adopted by
ornamental fisherman society. Anemone fragmentation can increase benefit
and positively impact to controlling the anemon catching activity. Its mean is
to reach selling target, anemone's fisherman society not only relies from
catching activity, but also from fragmentation activity.
Engineering activity was conducted on two anemon's types, which is :
carpet anemone (Stichodactyla gigantea ) and sand anemone ( Heteractis
malu ) . Fragmentation was conducted by fission 1 anemone's individual
becomes 2 individuals. Results: carpet anemone has survival rate 90%, with
recovery time 4 – 10 days. Meanwhile sand anemon has survival rate average
65%, with recovery time 6 – 14 days.
In this anemone's fragmentation engineering, can be known that anemone's
type which has better survival rate and give higher benefit is carpet anemone
type.

KEYWORD:Anemone, vegetative reproduction, fragmentation,survival rate.

PENDAHULUAN
Ikan hias merupakan komoditas estetis yang beragam dilihat dari jenis,
bentuk dan warnanya.Salahsatu yang diminati adalah anemone. Anemon
banyak diminati karena dalam penyajian ikan hias dalam akuarium, ia akan
tampil sebagai sebagai pusat perhatian dengan warna dan bentuknya yang
sangat bervariasi.
Selama ini anemone hanya ditangkap oleh nelayan kemudian dijual
begitu saja kepada pengumpul dan eksportir. Penangkapan tentu saja akan
membuat kelestariannya di alam dalam jangka waktu tertentu, akan terganggu.
Untuk mengatassi hal ini perlu dilakukan upaya-upaya tertentu, salahsatunya
adalah dengan melakukan fragmentasi (pembelahan) anemon.
Fragmentasi anemone selama ini hanya dilakukan oleh eksportir
sebagai upaya untuk meningkatkan keuntungan usaha. Namun masyarakat
penangkap ikan belum banyak melakukannya untuk tujuan keuntungan usaha
maupun menjaga kelestariannya di alam.

313
Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok telah melakukan perekayasaan
fragmentasi anemone. Tujuan kegatan ini adalah untuk meningkatkan kuantitas
anemone yang akan berimbas pada peningkatan keuntungan sekaligus menjaga
kelestariannya di alam.

BAHAN DAN METODE


Fragmentasi dilakukan pada 2 jenis anemone, yaitu anemone pasir
(Heteractis malu) dan anemone karpet (Stichodactyla gigantea) ; masing-
masing 40 ekor. Sehingga total anemone yang digunakan adalah 80 ekor.
Fragmentasi dilakukan dengan mengambil specimen kemudian memasukkan ke
dalam air laut yang sudah dicampur dengan antibiotic dan sudah diturunkan
suhunya yaitu sekitar 24-26˚C selama 30-60 detik, kemudian memotongnya
dengan pisau bedah, dan meletakkannya kembali ke dalam bak semula. Air di
dalam bak mengalir secara kontunyu dan digunakan aerasi.Pengamatan
dilakukan hingga 2 minggu pasca pemotongan dilakukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sintasan (Kelulushidupan/SR)
Dari kegiatan fragmentasi yang dilakukan, didapatkan data
kelulushidupan (SR) sebagai berikut:

Tabel 1. Kelulushidupan Anemon (dalam%)


Jenis Hari ke-
Anemon
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Anemon
100 97 91 87 85 80 78 75 71 71 69 67 67 65
Pasir
Anemon
100 98 96 94 94 93 92 92 91 91 91 90 90
Karpet 91

Dari data di atas dapat diketahui bahwa SR anemone karpet lebih tinggi
daripada anemone pasir. Ini berarti anemone karpet memiliki daya tahan yang
lebih baik dalam proses pembelahan. Bila dilihat dari sifat keduanya, daya
tahan anemone karpet dapat diketahui dengan cara menempel yang kuat di
substrat atau di dinding bak, bila dibandingkan dengan anemone pasir. Selain
itu daya pulih (recovery) anemone karpet lebih baik bila dibandingkan dengan
anemone pasir.
Selain jenis anemone, menurut Ulfa (2009), kondisi perbedaan lokasi
pengambilan anemone turut mempengaruhi daya tahan anemone. Anemon yang
berasal dari lokasi pengambilan yang berbeda, akan berpengaruh pada
perbedaan daya tahan anemone terhadap pengaruh lingkungan yang baru.

314
Dari data di atas dapat diketahui bahwa SR anemone karpet lebih tinggi
daripada anemone pasir. Ini berarti anemone karpet memiliki daya tahan yang
lebih baik dalam proses pembelahan. Bila dilihat dari sifat keduanya, daya
tahan anemone karpet dapat diketahui dengan cara menempel yang kuat di
substrat atau di dinding bak, bila dibandingkan dengan anemone pasir. Selain
itu daya pulih (recovery) anemone karpet lebih baik bila dibandingkan dengan
anemone pasir.
Selain jenis anemone, menurut Ulfa (2009), kondisi perbedaan lokasi
pengambilan anemone turut mempengaruhi daya tahan anemone. Anemon yang
berasal dari lokasi pengambilan yang berbeda, akan berpengaruh pada
perbedaan daya tahan anemone terhadap pengaruh lingkungan yang baru.

Morfologi Visual Anemon


Berikut adalah morfologi visual pasca pembelahan:

Gambar 1. Grafik Morfologi Visual Anemon Karpet


80
60 Warna Cerah
40
Warna Pucat
20
0 Tentakel
Hari 4 6 8 10 12 14 Mengembang
ke-2

Dari grafik morfologi visual, fluktuasi warna anemone karpet terlihat


pada hari ke- 1 sampai hari ke-4. Sedangkan untuk kondisi tubuh dan
tentakelnya, fluktuasi terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke- 9. Namun dari
kondisi warna dan tentakel terlihat bahwa anemone karpet mulai menunjukkan
gejala-gejala stabil pada hari ke-4 sampai dengan hari ke-10, dan mulai stabil
pada hari ke 11-14. Ini menunjukkan pada hari ke- 4 sampai hari ke- 10,
anemone karpet rata-rata sedang mengalami recovery atau pemulihan kondisi
tubuhnya, dan menunjukkan kondisi rata-rata yang sudah normal pada hari ke-
11 sampai ke- 14.

315
Gambar 2. Morfologi Visual Anemon Pasir
70
Warna Cerah
60
50
40
30 Warna Pucat
20
10
0 Tentakel
Hari 4 6 8 10 12 14 mengembang
ke-2

Sedangkan untuk anemone pasir fluktuasi warnanya terjadi pada hari ke-
1 sampai hari ke -9, dan untuk kondisi tentakel fluktuasi terjadi dari hari ke-1
sampai hari ke-12.Namun dari kondisi tentakel dan warnanya, anemone pasir
mulai menunjukkan gejala stabil pada hari ke-8 sampai hari ke-13, dan mulai
stabil pada hari ke 14. Hal ini menunjukkan rata-rata anemone pasir mengalami
proses pemulihan pada hari ke 6 sampai hari ke 12, dan menunjukkan rata-rata
kondisi normal pada hari ke 14.
.
Kualitas Air
Sedangkan untuk data kualtas air adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Data Kualitas Air


No. Parameter Kualitas Kisaran Nilai Satuan
Air
1. Suhu 26 – 30 (˚C)
2. Salinitas 33 – 35 (ppt)
3. pH 7,5 – 8,9
4. DO 4,01 – 4,87 (mg/l)

Dari data kualitas air dapat diketahui bahwa kisaran kualitas air
pemeliharaan anemone masih sesuai untuk kehidupan anemone. Menurut
Cervino et al (2003), anemone ideal dielihara pada suhu 28˚C, salinitas 35‰,
dan pH antara 8,10-8,3.
Usaha fragmentasi anemone dapat dilakukan oleh nelayan maupun
pengumpul (middle man). Usaha ini akan lebih menguntungkan apabila
316
dilakukan oleh nelayan, dimana untuk mendapatkan anemone tidak perlu
membeli. Apabila dilakukan oleh pengumpul, maka margin keuntungan akan
lebih bagus apabila anemone yang dikumpulkan lebih banyak dan sebagian
disimpan untuk dibelah kembali apabila kondisi anemone sudah pulih.
Pemeliharaan anemon dalam jangka waktu lama dengan tujuan untuk disimpan
dan dibelah kembali, bisa dilakukan di KJA.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
A. Dalam fragmentasi anemone, anemone karpet memiliki daya tahan
lebihbaik daripada anemone pasir
B. Sintasan anemone karpet sebesar 90% sedangkan anemone pasir 65%.
C. Usaha fragmentasi anemone karpet akan menghasilkan keuntungan
Rp. 14.850.000 / 4 bulan (Rp. 3.712.500/bulan) dan dengan payback
period 1,5 tahun.

Saran
A. Perlu dilakukan perekayasaan fragmentasi anemone dengan beberapa
metode untuk meningkatkan sintasan anemone yang akan
meningkatkan keuntungan.
B. Perlu kajian usaha untuk kegiatan fragmentasi yang dilakukan di
karamba jaring apung (KJA)

DAFTAR PUSTAKA

Cervino, J.M., Hayes R.L., Honovich M., Goreau T.J., Jones S., dan Rubec P.J.
2003.Changes In Zooxanthelae Density, Morphology, and Mitotic Index
in Hermatypic Corals and Anemones Exposed to Cyanide. Marine
Pollution Bulletin 46 (2003): 573-586.
Ufa, M. 2009. Pengaruh Jenis Lampu yang Berbeda Terhadap Minotik Indeks,
Densitas Zooxantellae dan Morfologi Anemon (Heterectis malu) pada
Skala Laboratorium.IPB. Bogor.

317
ANCAMAN PENYAKIT PARASITIK PADA IKAN HIAS
CAPUNGAN BANGGAI (Pterapogon kauderni)
DI BANGGAI KEPULAUAN

Moh. Zamrud1, Arsal1, Evifany Marlino1dan Alimudin Laapo2


1
Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan Palu, Jl. Garuda No. 22 Palu Sulawesi Tengah 94116
2
Staf Pengajar Jurusan Pertanian Universitas Tadulako Palu

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui frekuensi serangan
ektoparasit yang menginfeksi ikan capungan Banggai (Pterapogon
kauderni) yang dilalulintaskan di Kepulauan Banggai dan potensi
ancaman yang ditimbulkan dari masing-masing jenis ektoparasit
tersebut.Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif secara time
series.Analisis data diperoleh dengan melihat frekuensi serangan pada
tahun 2010 – 2013 dan memprediksi potensi ancaman yang ditimbulkan
pada tahun-tahun mendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
tahun 2010 - 2013 , terdapat enam jenis ektoparasit yang ditemukan
yaitu Chilodonella sp, Trichodina sp, Amyloodinium sp, Vorticella sp,
Zoothamnium sp dan Ichthiopthirius sp. Frekuensi serangan ektoparasit
yang paling banyak adalah Trichodina sp sebanyak 189 kali,
Amyloodinium sp sebanyak 56 kali, Chilodonella sp sebanyak 39 kali,
Zoothamnium sp sebanyak 14 kali, Ichthiopthirius sp sebanyak 10 kali,
dan Vorticella sp sebanyak 8 kali. Dari hasil analisis regresi diperoleh
bahwa kemungkinan potensi ancaman ektoparasit jenis Amyloodinium
sp untuk tahun-tahun mendatang lebih tinggi dibandingkan jenis parasit
lain yaitu sebesar 78%. .Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
frekuensi serangan ektoparasit yang menginfeksi ikan capungan Banggai
pada tahun 2010 - 2013 didominasi oleh Trichodina sp sedangkan
ancaman potensi serangan diperoleh pada parasit Amyloodinium sp.

KATA KUNCI: capungan Banggai, ektoparasit.

318
PENDAHULUAN
Ikan capungan Banggai (Pterapogon kauderni) atau yang dikenal
dengan Banggai Cardinalfish (BCF) merupakan spesies ikan hias laut endemik
yang penyebaran alaminya hanya bisa ditemukan di Kepulauan Banggai
Sulawesi Tengah.Semakin besarnya permintaan pasar terhadap jenis ikan ini,
menuntut pembudidaya ikan untuk meningkatkan jumlah produksi. Di Banggai
Kepulauan, budidaya ikan capungan Banggai belum terlalu banyak ditekuni
oleh masyarakat, kebanyakan masih berupa penangkapan di alam dan
ditampung sementara pada karamba jaring apung sebelum dipasarkan ke luar
daerah. Beberapa kendala dalam pembudidayaan ikan capungan Banggai
diantaranya adalah tingginya tingkat kematian. Penyakit merupakan faktor
penghambat dalam pembudidayaan ikan capungan Banggai. Serangan penyakit
pada ikan capungan Banggai yang ditampung dikaramba merupakan faktor
utama pernyebab tingkat kematian yang tinggi dan kerugian besar pada
pembudidaya ikan.
Kewaspadaan terhadap penyakit perlu sekali mendapat perhatian
utama.Ikan yang terserang dapat mengakibatkan penurunan produksi budidaya,
bahkan dapat menimbulkan kematian ikan.Penyakit pada ikan dapat disebabkan
oleh agen infeksi seperti parasit, bakteri, jamur dan virus, agen non infeksi
seperti kualitas pakan yang jelek, maupun kondisi lingkungan yang kurang
menunjang bagi kehidupan ikan.Timbulnya serangan penyakit merupakan hasil
interaksi yang tidak serasi antara ikan, kondisi lingkungan, dan organisme atau
agen penyebab penyakit. Interaksi yang tidak serasi ini menyebabkan stress
pada ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi
lemah, akhirnya agen penyakit mudah masuk kedalam tubuh dan menimbulkan
penyakit (Afrianto dan Liviawaty, 1992).
Salah satu jenis penyakit ikan adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi ektoparasit.Walaupun kerugian akibat infeksi ektoparasit tidak sebesar
kerugian akibat infeksi bakteri atau virus namun infeksi ektoparasit menjadi
salah satu faktor predisposisi bagi infeksi organisme patogen yang lebih
berbahaya tersebut. Kerugian non letal yang lain dapat berupa kerusakan organ
luar, pertumbuhan yang lambat, penurunan nilai jual dan peningkatan
sensitivitas terhadap stressor (Pramono dan Syakuri, 2008). Lebih lanjut,
dijelaskan bahwa tingkat infeksi ektoparasit yang tinggi dapat mengakibatkan
kematian akut, yaitu mortalitas tanpa menunjukkan gejala terlebih dahulu.
Berbagai dampak negatif yang ditimbulkan menjadi faktor yang mendorong
dikembangkannya upaya pengendalian infeksi ektoparasit.
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan adalah mencegah penyebaran
ektoparasit dari satu tempat ke tempat yang lain. Upaya ini termasuk dalam
konsep yang dikenal dengan istilah biosecurity, yaitu serangkaian usaha untuk

319
mencegah atau mengurangi peluang masuknya suaitu penyakit ke dalam suatu
sistem budidaya (Lotz 1997 dalam Pramono dan Syakuri 2008).Adapun
penerapan konsep ini terdiri dari dua aspek, yaitu isolasi dan desinfeksi
(Prayitno dan Sunarto, 2004). Kegiatan isolasi dan proses identifikasi akan
memberikan informasi penting tentang karakteristik pathogen yang diperlukan
dalam menentukan metode desinfeksi yang tepat.
Metode deteksi dini ektoparasit dengan melihat aspek epidemiologi atau
sejarah berkembangnya parasit di suatu tempat merupakan hal yang relatif
baru.Deteksi ektoparasit pada simpul distribusi ikan, seperti farm penampungan
merupakan kegiatan yang perlu dilakukan.Informasi yang diperoleh dari
kegiatan ini sangat berguna baik bagi instansi pemerintah, pembudidaya
maupun pedagang dalam mengendalikan organisme patogen ini.Oleh karena
itu, dalam penelitian ini dilakukan deteksi ektoparasit pada ikan capungan
Banggai (P. kauderni) yang dilalulintaskan keluar wilayah Kepulauan Banggai.
Berdasarkan permasalahan yang telah diidentifikasi, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi serangan ektoparasit beserta
potensi ancaman yang ditimbulkan dengan melihat data frekuensi serangan
selama kurun waktu tahun 2010 sampai dengan 2013.Adapun manfaat
penelitian ini adalah memberikan pengetahuan dan informasi mengenai parasit
yang menyerang ikan capungan Banggai di Kepulauan Banggai dengan
mengembangkan teknik deteksi dini untuk mencegah serangan parasit yang
berpotensi merugikan secara sosial ekonomi.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan analisis regresi linear
sederhanamenggunakan data time series dimana data hasil pemeriksaan parasit
pada ikan capungan Banggai yang dilalulintaskan pada tahun 2010 sampai
dengan 2013 telah divalidasi dan dibandingkan dengan data dan telaah hasil
penelitian sebelumnya.
Pemeriksaan ektoparasit dilakukan dengan mengambil preparat basah
dari seluruh permukaan tubuh dan sirip, lalu diperiksa di bawah
mikroskop.Identifikasi ektoparasit dilihat berdasarkan petunjuk Kabata
(1985).Data yang diperoleh kemudian ditabulasikan dan diuraikan secara
deskriptif dengan melihat potensi serangan ektoparasit pada tahun-tahun
mendatang.Analisis regresi sederhana digunakan untuk mengkaji persentase
perubahan/perkembangan frekuensi/intensitas serangan parasit dan
memproyeksi jenis parasit mana yang kemungkinan tingkat determinasi
serangan berpotensi tinggi pada periode mendatang.

320
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan selama tahun 2010 sampai dengan 2013,
ditemukan beberapa jenis ektoparasit dengan frekuensi serangan yang berbeda-
beda satu sama lain. Data jenis ektoparasit yang menginfeksi ikan capungan
Banggai pada setiap tahun pengamatan dapat diamati pada tabel 1.

Tabel 1. Frekuensi serangan ektoparasit pada ikan capungan Banggai di


Kepulauan Banggai
Frekuensi Serangan
No. Jenis Ektoparasit Jumlah (Ʃ)
2010 2011 2012 2013
1 Trichodina sp 45 50 38 56 189
2 Amyloodinium sp 8 15 16 17 56
3 Chilodonella sp 9 10 12 8 39
4 Zoothamnium sp 5 3 2 4 14
5 Ichthiopthirius sp 2 3 1 4 10
6 Vorticella sp 2 2 2 2 8

(Sumber : Karantina Ikan Luwuk Banggai, 2014)

Data pada tabel 1 menunjukkan enam jenis ektoparasit yang


menginfeksi ikan capungan Banggai merupakan organisme parasit yang
termasuk golongan protozoa yaitu Trichodina sp,, Amyloodinium sp,
Chilodonella sp, Zoothamnium sp, Ichthiopthirius sp dan Vorticella sp.dimana
parasit ini umumnya termasuk parasit yang sering dijumpai pada ikan hias laut
tropis. Pada kurun waktu 2010 – 2013, frekuensi serangan ektoparasit
didominasi oleh Trichodina sp sebanyak 189 kali, Amyloodinium sp sebanyak
56 kali, Chilodonella sp sebanyak 39 kali, Zoothamnium sp sebanyak 14 kali,
Ichthiopthirius sp sebanyak 10 kali, dan Vorticella sp sebanyak 8 kali.
Hasil pengamatan secara mikroskopis di laboratorium menunjukkan
Trichodina sp kebanyakan menyerang organ insang.Penyakit atau parasit yang
menyerang organ insang agak sulit dideteksi secara dini karena menyerang
bagian dalam ikan. Salah satu cara yang dianggap cukup efektif mengetahui
adanya serangan ektoparasit pada ikan adalah mengamati pola tingkah laku
ikan.
Trichodina sp termasuk dalam famili Trichodinidae, sub ordo Mobilina,
ordo Peritrichida dan kelas Sarcomastigophora.Parasit ini dikenal telah
menginfeksi berbagai jenis inang dengan cakupan distribusi yang cukup luas
secara geografis pada ikan air tawar dan ikan laut (Arthur and Lom, 1984
dalam Pramono dan Syakuri, 2008). Infeksi Trichodina sp dalam jumlah yang
sedikit tidak akan mengakibatkan kerugian namun jika ikan mengalami stress
atau kualitas air menurun, maka parasit ini dapat berkembang biak dengan

321
cepat, ikan tampak pucat, nafsu makan menurun dan sensitif terhadap infeksi
bakteri (Klinger and Floyd, 1998). Serangan Trichodina sp dengan intensitas
tinggi dapat menyebabkan hiperplasia pada sisik dan kerusakan struktur insang
yang pada akhirnya ikan akan mati (Pramono dan Syakuri, 2008).
Selain kualitas air yang kurang baik, serangan parasit ini dapat juga
disebabkan karena tingkat kepadatan ikan yang relatif tinggi sehingga proses
persinggungan ikan lebih banyak terjadi dan penyebaran Trichodina sp. bisa
menjadi lebih cepat. Selain itu, Trichodina sp. tumbuh dengan baik pada
kolam-kolam dangkal dan menggenang terutama pada tempat-tempat
pemijahan dan pembenihan.Parasit ini pada umumnya menimbulkan kematian
pada benih ikan (Kabata, 1985).
Parasit Amyloodinium sp ditemukan sebanyak 56 kali menginfeksi ikan
capungan Banggai selama tahun 2010 – 2013 atau tertinggi kedua setelah
Trichodina sp. Parasit ini termasuk dalam golongan Dinoflagellata yang
menyerang insang dan kulit ikan air tawar dan air laut dimana memiliki ciri-ciri
berbentuk beludru (velvet) atau disebut penyakit debu emas (Reed and Floyd,
1994). Tingginya kejadian penyakit velvet diduga karena adanya pergantian
musim dari kemarau ke penghujan sehingga kualitas air cenderung tidak stabil
dan ikan mengalami stress sehinga parasit dengan mudah menginfeksi ikan
(Sumiati dan Aryati, 2010).
Serangan parasit Amyloodinium sptertuju pada berbagai jenis ikan air
tawar dengan menunjukkan gejala klinis antara lain ikan yang sakit bergerak
cepat dan liar, kadang-kadang gerakan ikan menjadi lemah, kulit dan insang
tertutup mucus kuning tua, pengamatan histologis menunjukkan kehadiran
organisme berbentuk oval, sering megap-megap di permukaan perairan, terjadi
kerusakan pada kulit dan insang, adanya pendarahan, inflamasi, dan necrosis di
bagian insang, serta dapat juga mengakibatkan kematian massal (Kurniawan,
2012).
Ektoparasit Chilodonella sp ditemukan menginfeksi ikan capungan
Banggai sebanyak 39 kali pada tahun 2010 – 2013. Faktor penyebab infeksi
parasit ini adalah kualitas air yang rendah seperti suhu..Parasit ini berukuran 80
μm dan tertutup oleh cilia-cilia (Roberts, 1989 dalam Zamrud dan Adriany,
2013).Parasit ini menyebabkan penyakit Chilodonelliasis yang dapat
menyebabkan kematian pada suatu kolam.Dalam keadaan yang tidak
menguntungkan beberapa individu dapat memproduksi cystys.Ikan yang
terserang Chilodonella sp mengalami luka-luka, kulit yang terkena infeksi
menjadi rusak dengan lapisan mukosa menjadi suram dan sirip tidak utuh lagi.
Jenis parasit Zoothamnium sp menyerang ikan capungan Banggai
sebanyak 14 kali dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini.Protozoaini
merupakan penyebab penyakit zoothamniumiosis.Protozoaini biasanya
menyerang ikan kakap putih di tambak atau karamba jaring apung. Selain itu,

322
Zoothamnium sp juga ditemukan menyerang udang windu.Gejala klinis
serangan seperti pada umumnya, yaitu nafsu makan berkurang dan ikan
kelihatan lesu, terdapat bintik-bintik seperti lumut di permukaan tubuh, dan
produksi mucus yang berlebih (Kurniawan, 2012).
Penyakit bercak putih disebabkan oleh kelompok parasit
Ichthyophthirius.Pada penelitian ini ditemukan frekuensi serangan sebanyak 10
kali selama empat tahun terakhir.Parasit inibergerombol dalam jumlah puluhan
bahkan ratusan sehingga terlihat sebagai bintik putih (white spot) sehingga
disebut white spot disease.Protozoaini bersarang pada lapisan kulit dan sirip,
merusak lapisan insang dan sel-sel lendir, serta menyebabkan pendarahan yang
terlihat pada sirip dan insang.
Serangan penyakit ini biasanya terjadi pada musim hujan, yaitu pada
saat suhu berkisar 20-24oC dan pada musim kemarau, serangannya bersifat
sporadis saja. Gejala klinis antara lain pergerakan ikan hiperaktif atau kadang
kala malas dan cenderung mengapung di permukaan air, menggosok-gosokkan
tubuh ke pinggir wadah, dasar, atau benda keras di sekelilingnya, nafsu makan
turun dan menjadi lemah, timbul bintik-bintik putih pada sirip, tutup insang,
permukaan tubuh, dan ekor, serta memperlihatkan gejala flashing yang
memantulkan cahaya (Pramono dan Syakuri, 2008).
Untuk membandingkan tren frekuensi serangan ektoparasit yang
menyerang ikan capungan banggai dari tahun ke tahun dapat dilihat pada
gambar 1 dan gambar 2.

60
56
50 50 Trichodina sp
45
40 38 Amyloodinium sp
30 Chilodonella sp
20 Zoothamnium sp
15 16 17
10 10 12 Ichtiophthirius sp
9
8 8
5 3 4
0 2 2 2
1 2 Vorticella sp
2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 1. Grafik tren frekuensi serangan ektoparasit pada ikan capungan


Banggai tahun 2010 – 2013 di Banggai Kepulauan

323
Gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah frekuensi serangan ektoparasit
terhadap ikan capungan Banggai setiap tahun didominasi (paling tinggi) oleh
parasit Trichodina sp, lalu diikuti oleh serangan parasit Amyloodinium sp, dan
serangan parasit yang paling rendah adalah Vorticella sp. Jika dilihat dari
fluktuasi frekuensi serangan setiap tahunnya (antara 2010-2013), maka dapat
dikelompok atas tiga bagian: pertama, kelompok parasit dengan kategori sangat
berfluktuasi dan kecenderungan serangan meningkat walaupun perubahannya
relatif kecil yakni ektoparasit Trichodina sp (fluktuasi frekuensi serangan
tinggi) dan ektoparasit Ichtiophthirius sp (sedang), kelompok dua: kategori
serangan meningkat setiap tahunnya (jenis parasit Amyloodinium sp), dan
kelompok ketiga: kategori serangan parasit rendah fluktuasinya dan relatif
konstan setiap tahunnya yakni Chilodonella sp, Zoothamnium sp dan Vorticella
sp.
Untuk mengetahui besaran perkembangan dan determinasi frekuensi
serangan ektoparasit setiap tahunnya, maka dilakukan analisis regresi sederhana
dengan melihat dua indikator yakni koefisien determinasi (R 2) dan koefisien
regresi (kemiringan garis regresi). Indikator R2 menunjukkan persentase
perubahan serangan setiap tahun yang dihasilkan oleh setiap
ektoparasit.Sementara kemiringan regresi menunjukkan besaran perubahan
frekuensi serangan parasit pada setiap tahunnya. Makin besar nilai koefisien
regresi, makin besar perubahan frekuensi serangan parasit untuk setiap
tahunnya.
Hasil analisis data secara regresi menunjukkan tren frekuensi serangan
ektoparasit dari tahun ke tahun menunjukkan data yang cukup signifikan
terutama dari jenis Amyloodinium sp. Walaupun data frekuensi serangan
Trichodina sp cukup besar dan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun namun
jika dilihat dari hasil analisis koefisien determinasi serangan (R2) dan koefisien
regresi (perubahan serangan per tahun) menunjukkan nilai yang masih lebih
rendah dibanding jenis Amyloodinium sp.Hal diperilihatkan oleh nilai R2jenis
Amyloodinium sp sebesar 78% dan koefisien regresi (perubahan serangan per
tahun) 2,8. Hal ini berarti bahwa selama empat tahun terakhir (2010-2013),
78% terjadinya serangan parasit didominasi oleh ektoparasit Amyloodinium
spdan kemungkinan akanterjadi peningkatan menginfeksi ikan capungan
Banggai pada tahun-tahun mendatang. Sementara determinasi serangan untuk
parasit lainnya berada pada kisaran 0-16%.
Walaupun frekuensi serangan Trichodina sp cukup besar namun
determinasi serangan hanya 12%, sementara determinasi parasit Zoothamnium
sp dan Ichthiopthirius spmasing-masing 16%.Dari sisi perkembangan serangan
setiap tahun pada jenis Amyloodinium sp menunjukkan nilai 2,8, yang bahwa
setap tahun terjadi peningkatan 2,8 (3) kali serangan dan masih lebih tinggi

324
dari frekuensi serangan jenis parasit lainnya termasuk jenis Trichodina spyakni
2,1 (dibulatkan 2) yang berarti setiap tahunnya terjadi peningkatan serangan
sebanyak 2 kali. Ini berarti bahwa perlu perhatian besar dalam pencegahan
maupun penanggulangan parasit pengganggu pada capungan Banggai terutama
kedua jenis parasit tersebut (jenis Amyloodinium spdan Trichodina sp). Untuk
itulah, metode deteksi dini melalui pendekatan epidemiologi penyakit
dibutuhkan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap serangan penyakit pada
ikan eksotik seperti capungan Banggai.

KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut : terdapat enam jenis ektoparasit yang menginfeksi ikan capungan
Banggai selama tahun 2010 – 2013 yang terdiri dari Trichodina sp,
Amyloodinium sp, Chilodonella sp, Vorticella sp, Zoothamnium sp dan
Ichthiopthirius sp. Frekuensi serangan ektoparasit selama empat tahun terakhir
didominasi oleh Trichodina sp sebanyak 189 kali, lalu jenis
parasitAmyloodinium sp sebanyak 56 kali, Chilodonella sp sebanyak 39 kali,
Zoothamnium sp sebanyak 14 kali, Ichthiopthirius sp sebanyak 10 kali, dan
Vorticella sp sebanyak 8 kali. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa
kemungkinan potensi ancaman ektoparasit jenis Amyloodinium sp untuk tahun-
tahun mendatang lebih tinggi dibandingkan jenis parasit lain yaitu sebesar 78%.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E & Liviawaty, E., 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit


Ikan.Penerbit Kanisius Yogyakarta.88 hal.
Anonim.2014. Laporan Tahunan Operasional dan Administrasi Stasiun
Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
Kelas II Luwuk Banggai Tahun Anggaran 2013.84 p. Tidak
dipublikasikan.
Kabata, Z. 1985. Parasites Diseases of Fish Culture in the Tropics, Taylor and
Francis (Printers) Ltd. London.
Klinger, R. E., and R.F. Floyd. 1998. Introduction to Freshwater Fish Parasites.
Cooperative Extension Service.Institute of Food and Agricultural
Sciences University of Florida.17 p.
Kurniawan, A. 2012. Penyakit Akuatik. Universitas Bangka Belitung (UBB)
Press. 225 hal.
Reed, P. and R.F. Floyd. 1994. Amyloodinium infections of marine fish.
University of Florida.IFAS Extension, 1-3 pp.

325
Prayitno, S.B. dan A. Sunarto. 2004. Pengembangan Budidaya Berbasis
Biosecurity. Makalah Prosiding Seminar Penyakit Ikan dan Udang
IV.Hal. 38 – 43.
Pramono, T.B. dan H. Syakuri. 2008. Infeksi parasit pada permukaan tubuh
ikan nilem (Osteochilus hasellti) yang diperdagangkan di PPI
Purbalingga. Jurnal Berkala Ilmiah Perikanan. Vol. 3 (2): hal 79 – 82.
Sumiati, T. dan Y. Aryati. 2010. Penyakit parasitik pada ikan hias air tawar.
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar
Zamrud, M. dan D.T. Adriany. 2013. Identifikasi ektoparasit pada ikan kerapu
macan (E. fuscoguttatus) yang dilalulintaskan di kepulauan Banggai.
Makalah disampaikan pada Forum Inovasi Teknologi Akuakultur
(FITA) 2013.Balai Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan Perikanan.

326
POTENSI PENGEMBANGAN BUDIDAYA KUDA LAUT (Hyppocampus
kuda) DI KEPULAUAN RIAU

Agung Darmono, Nur Muflich J., Tinggal Hermawan dan Muh. Kadari

ABSTRAK
Upaya pengembangan budidaya laut dapat ditingkatkan dengan
intensifikasi budidaya dan diversifikasi komoditas budidaya.
Diversifikasi komoditas budidaya dimulai dengan mengidentifikasi
komoditas ikan laut yang mempunyai keunggulan : antara lain adanya
permintaan pasar, mempunyai nilai ekonomi dan teknologi produksi
sudah dikuasai. Alternatif diversifikasi komoditas budidaya adalah kuda
laut (Hyppocampus kuda), baik sebagai ikan hias maupun sebagai bahan
baku obat-obatan. Menurut Vincent (1996) dalam Syafiuddin (2004)
yang meneliti tentang perdagangan kuda laut di dunia, bahwa konsumsi
kuda laut di Asia mencapai 45 ton per tahun (≥ 16 juta ekor), dimana
konsumen utamanya adalah China ≥ 20 ton, Taiwan ≥ 11,2 ton dan
Hongkong ≥ 10 ton. Data tahun 1997 menunjukkan bahwa harga impor
kuda laut di Cina mencapai US$ 1200 per kg (Al Qodri dkk., 1998
dalam Syafiuddin, 2004). Di China, kuda laut kering sebagai bahan
baku untuk obat-obatan. Konsumen kuda laut kering terbanyak adalah
dari etnik China, baik yang berasal dari Singapura maupun dari
Indonesia (Romimohtarto & Juwana, 2005).
Kuda laut mempunyai keunikan induk jantan yang hamil, dimana
telur yang dihasilkan induk betina diletakkan dalam kantung perut jantan
dan akan dibuahi oleh induk jantan. Selanjutnya induk jantan juga akan
melahirkan anak kuda laut (juwana).
Kuda laut dewasa berumur 8 bulan dengan bobot 7,5 gr/ekor siap
untuk dipanen dan dijual dalam bentuk kering dengan harga kisaran Rp.
5.000.000 per kg. Dalam setiap kilogram kuda laut kering berisi sekitar
400 ekor.

KATA KUNCI : diversifikasi produk, kuda laut, induk jantan

327
PENDAHULUAN

Di dalam negeri, permintaan kuda laut banyak berdatangan dari industri


jamu.Alhasil, permintaan dari tahun ke tahun terus meningkat.Sayangnya,
budidaya kuda laut Indonesia masih minim peminat.Akibatnya, Indonesia
belum bisa memenuhi tingginya permintaan kuda laut, baik di dalam maupun
luar negeri.Selain permintaan besar, harga kuda laut juga lumayan
menggiurkan.Satu ekor kuda laut dengan panjang 10-15 centimeter (cm) bisa
laku sekitar Rp 25.000-Rp. 50.000. Padahal di Medan permintaanya mencapai
30 kg setiap bulan, Batam 30 kg, Jawa Barat mencapai 20 kg setiap bulan.
(Kontan, 2010)
Kuda laut dewasa berumur 8 bulan dengan bobot 7,5 gr/ekor siap untuk
dipanen dan dijual dalam bentuk kering dengan harga kisaran Rp. 5.000.000
per kg. Dalam setiap kilogram kuda laut kering berisi sekitar 400 ekor.
Meningkatnya permintaan kuda laut menyebabkan produksi kuda laut
hasil tangkapan di alam semakin terbatas dan belum mencukupi kebutuhan
pasar. Eksploitasi secara terus-menerus bahkan berlebihan dapat
mengakibatkan turunnya populasi kuda laut di alam, sedangkan upaya budidaya
dan restocking belum dilakukan secara optimal.
Kegiatan budidaya secara terpadu yang terdiri dari kegiatan pembenihan
sampai dengan pembesaran berikut kegiatan lainnya seperti restocking di alam,
merupakan jawaban yang tepat untuk menghindari penangkapan yang
berlebihan dengan demikian dapat meningkatkan pemanfaatan sumberdaya
yang secara optimal.
Pengembangan budidaya kuda laut ini potensial untuk dikembangkan di
wilayah Kepulauan Riau. Untuk mendukung keberhasilan budidaya kuda laut
di Kepulauan Riau maka diperlukan data biologis kuda laut dan teknologi
budidaya kuda laut. Hal ini akan mejadi dasar untuk tersebarnya teknologi
budidaya kuda laut di seluruh masyarakat Kepulauan Riau.

BAHAN DAN METODE


Teknologi Budidaya Kuda Laut

Persiapan Wadah
Dipersiapkan wadah berupa bak beton atau fiberglass ataupun
aquarium.Dalam bak pemeliharaan juga dilengkapi dengan tempat bertengger
(shelter) induk berupa karang mati, lamun buatan yang terbuat dari plastik dan
tali yang dibentuk seperti piramid dan dilengkapi dengan pemberat dari batu
agar tenggelam di dasar aquarium.Fungsi dari tempat bertengger adalah untuk

328
tempat istirahat yang nyaman dengan cara melilitkan ekornya. Bak
pemeliharaan diberi aerasi yang bergelembung halus.

Pemeliharaan Induk
Calon induk hasil tangkapan dari alam harus dikarantina dan
diaklimatisasi terlebih dahulu. Karantina bertujuan untuk membebaskan
organisme pathogen yang mungkin terbawa dari alam agar tidak menyebar ke
induk yang sudah ada di pembenihan. Disamping itu kegiatan aklimatisasi juga
untuk menyesuaikan calon induk dengan lingkungan yang baru serta pakan
yang biasa digunakan di pembenihan. Induk dipelihara di dalam wadah
pemeliharaan dengan perbandingan jantan dan betina adalah 1 : 1, dengan
kepadatan 20 – 30 ekor/ton dengan tidak memelihara lebih dari 4 ekor/100 liter
air. Induk diberi pakan 2-3 kali sehari secara adlibitum, yaitu pada pagi, siang
dan sore hari, berupa udang rebon dan udang jambret. Induk betina dewasa
dengan panjang tubuh antara 10 – 14 cm dapat memproduksi telur 300 – 600
butir.

Pemijahan dan Pengeraman


Kuda laut dapat memijah secara alami dalam bak terkontrol, telur hasil
pemijahan akan dierami oleh induk jantan. Setelah terjadi pemijahan, induk
jantan dipisahkan atau tetap bersama dengan induk lain. Lama pengeraman
lebih kurang 10 hari. Sebaiknya induk dihindarkan dari hal-hal yang
menyebabkan stress yang mengakibatkan juwana lahir prematur, sehingga tak
dapat bertahan hidup lama.

Kelahiran Juwana
Induk jantan yang sudah menerami telur pada hari kesembilan
dipindahkan ke bak lain yang telah disiapkan sebelumnya. Pada hari ke
sepuluh, juwana akan dikeluarkan dari kantung jantan. Pengeluaran juwana
umumnya pada malam hari. Setelah seluruh juwana dikeluarkan, induk jantan
dipindahkan kembali ke bak pemeliharaan induk.

Penebaran dan Pemeliharaan Juwana


Juwana dapat dipelihara di tempat yang terlindungi maupun yang
terkena sinar matahari langsung. Pemeliharaan di bak beton maupun di bak
fibreglass memberikan hasil yang cukup baik. Penebaran juwana dilakukan
pada pagi hari antara pukul 08.00 – 10.00, kepadatan di bak pemeliharaan 2 – 5
ekor/liter. Juwana yang dihasilkan dari pembenihan dipelihara dalam bak
dengan kepadatan 1000 – 1500 ekor/ton, apabila sudah berumur lebih dari 30
hari maka kepadatan nya 200-300 ekor/ton. Pemeliharan juwana dapat
dilakukan selama 1.5 – 2 bulan sampai mencapai ukuran 3 – 5 cm/ekor.

329
Pemberian Pakan untuk Juwana
Pakan yang diberikan pada juwana yang berumur 1-15 hari berupa
Nauplii Copepoda.Nauplii Artemiasalina baru diberikan setelah juwana
berumur 14 hari dengan kepadatan 2 ekor/ml dan frekwensi pemberian 3 kali
sehari. Ke dalam bak pemeliharaan dapat juga ditambahkan fitoplankton dari
jenis Tetraselmis dengan kepadatan 50-300 ribu sel/ml. Penambahan
fitoplankton ini selain berperan penting untuk memperbaiki kualitas air juga
berfungsi untuk pakan Copepoda dan Artemia.

Penggantian Air dan Penyiponan


Penggantian air dilakukan setiap hari mulai hari ketiga sebanyak 50 –
80% perhari sampai umur 30 hari.Sebelum dilakukan penggantian air, terlebih
dahulu dilakukan penyiponan untuk membersihakan sisa kotoran dan pakan
yang mati di dasar bak. Bila kotoran tidak dibuang, maka akan membusuk dan
mengurangi kualitas air. Penyiponan dilakukan dengan hati-hati, untuk
menghindari teraduknya kotoran sebaiknya pengudaraan dihentikan terlebih
dahulu sebelum penyiponan.

Pengelolaan Kualitas Air


Karakteristik perairan yang cocok untuk budidaya kuda laut adalah
kondisi perairan yang cendrung tenang, terlindung dari gelombang dan laut
terbuka, perairan dangkal yang banyak terdapat rumput laut (seaweed),
mangrove dan lamun (seagrass). Selain itu kondisi perairan dengan suhu
berkisar 29 – 31°C, oksigen terlarut 4,0 – 4,2 ppm, salinitas antara 30 – 32 ppt,
pH 7 – 8, nitrat 0,522 – 2,796 ppm, pospat 1,114 – 1,958 ppm dan amoniak
0,021-0,022 ppm (Anonimous, 2009b).
Agar kualitas air media tetap baik maka perlu dilakukan penyiponan dan
pergantian air sekitar 200 % per hari dengan sistem air mengalir. Kuda laut
membutuhkan air yang tenang sehingga dapat bertengger, bergerak untuk
menangkap makanan maupun untuk melakukan pemijahan, oleh karena itu
aliran air dibuat pelan agar tidak mengganggu aktivitas. Pergantian air secara
total dilakukan jika media pemeliharaan terlihat sudah tidak layak atau terlihat
kotor. Air diturunkan hingga ketinggian air sekitar 30 cm. Agar arus air tidak
terlalu kencang, pada pipa pemasukan diberi saringan yang sekaligus berfungsi
untuk menyaring kotoran (Fahri, 2009).

Kultur Pakan Alami


Pakan alami yang digunakan adalah Nauplii Copepoda, Artemia, dan
fitoplankton.Copepoda dapat dikultur di air laut (salinitas 25-30 ppt)

330
ditambahkan pupuk organik selam 5-8 hari. Nauplii Copepoda dipanen dengan
plankton net 60 mikron. Kista Artemia dapat ditetaskan dalam fiberglass, yang
dibagian bawahnya berbentuk kerucut dan berwarna terang, diisi air laut bersih
dan diberi aerasi kuat. Kista akan menetas setelah 19-24 jam pada temperatur
kamar. Sedangkan fitoplankton yang diberikan adalah Tetraselmis.

KESIMPULAN

Strategi Pengembangan Budidaya Kuda Laut


Mengingat besarnya potensi pasar kuda laut, keunggulan wilayah dan
posisi strategis Kepulauan Riau, dengan segala keunggulan dan potensi
budidaya kuda laut di Kepulauan Riau maka diperlukan strategi untuk
pengembangan budidaya kuda laut :
1. Memantapkan peran Balai Perikanan Budidaya Laut Batam sebagai sentra
pengembangan teknologi budidaya laut sehingga dapat dikuasai teknologi
budidaya kuda laut yang mudah dan sederhana.
2. Memanfaatkan peran Balai Benih Ikan Pantai yang ada di wilayah
Kepulauan Riau dalam menerapkan teknologi budidaya kuda laut sekaligus
menyampaikan teknologi budidaya kuda laut yang mudah dan sederhana
kepada masyarakat di wilayah Kepulauan Riau.
3. Menyampaikan dan mengajak masyarakat untuk memulai melakukan
kegiatan budidaya kuda laut sebagai alternatif kegiatan budidaya laut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2006. http://www.wetlands.or.id


Anonimous. 2007a. http://fpik.bunghatta.ac.id/news.php?extend.8
Anonimous. 2007b. http://www.e-martschool.com/PNU/004/PNU0040010.asp
Anonimous. 2009a. http://bioterz.blogspot.com/2009/04/hewan-jantan-yang-
hamil.html
Anonimous. 2009b. http://jerrydm hidup lebih baik.blogspot.com/2009/06/
budidaya kuda laut.html
Balai Riset Perikanan Laut. 2004. Ikan Hias Laut Indonesia. Jakarta. Penebar
Swadaya.
Fahri, M. 2009. http://elfahrybima.blogspot.com/2009/01/budidaya-kuda-laut-
hippocampus-sp.html
Kontan, 2010. Wow, Pasar Ekspor Kuda Laut, Jakarta, Tabloid Kontan
Romimohtarto, K dan Juwana,S. 2005. Biologi Laut. Jakarta.Djambatan.
Republika, 2013, Wah, Potensi Perikanan Kepulauan Riau Rp. 150 Triliun,
Jakarta, Republika

331
Syarifuddin. 2004. Pembenihan dan Penangkaran Sebagai Alternatif Pelestarian
Populasi Kuda Laut (hyppocampus spp.) Di Alam. afikiki@telkom.net
Teguh.2007. http://teripang-kudalaut.blogspot.com/Vedcabagus. 2008.
http://vedcabagus.wordpress.com/2008/12/
Yahya, H.2005. info@harunyahya.com

332
UPAYA MEMACU KOMSUMSI PAKAN PADA BENIH ABALONE
(HALIOTIS ASININA) DENGAN PEMBERIAN EKSTRAK
TUMBUHAN

Hamzah, Mutmainnah, Andi Elman, Samsul Bahri, Suarni


Balai Budidaya Air Payau Takalar

ABSTRAK
Ketersediaan pakan sangat dibutuhkan dalam proses
pembesaran benih abalone sehingga efektifitas pencernaan
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan bobot abalone dengan
mengkomsumsi pakan sedikit mungkin. Efektifitas pencernaan
dan penyerapan nutrisi pakan dari abalone dapat ditingkatkan
dengan memberikanperlakuan penambahan ekstrak buah
tomat, sehingga nilai FCR dapat diturungkan hingga kisaran 11
– 13gr dan pertambahan pertumbuhan mencapai 77%
perbulannya.
Kata kunci : kecernaan abalone, ekstrak herbal, bobot
abalone

PENDAHULUAN
Benih merupakan salah tahap suatu kegiatan budidaya yang sangat
menentukan keberhasilan yang akan dicapai. Kesalahan dalam memilih benih
akan menimbulkan danpak kerugian yang besar, seperti tingginya tingkat
kematian saat proses pemeliharaan dan lambatnya pertumbuhan. Oleh karena
itu, seleksi benih sebelum penebaran harus dilakukan dengan tepat.
Ketersediaan pakan sangat dibutuhkan dalam proses pembesaran benih
abalone sehingga efektifitas pencernaan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
bobot abalone dengan mengkomsumsi pakan sedikit mungkin.
Telah menjadi pemahaman masyarakat dari dahulu bahwa beberapa
tumbuhan dapat memacu nafsu makan jika mengkomsumsinya, diantaranya
adalah buah tomat dan daun papaya muda. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka ada kemungkinan buah tomat dan daun papaya dapat pula memacu nafsu
makan pada abalon
Buah tomat merupakan sala satu sayuran yang sangat popular di
Indonesia. Rasanya yang asam segar membuat sangat digandrungi sebagai
lalapan, pelengkap salad, maupun bahan untuk membuat saos atau sambal.

333
Dibalik rasanya yang asam, ternyata memiliki manfaat yang luar biasa bagi
kesehatan dan meningkatkan nafsu makan.
Pepaya merupakan buah tropis yang keberandaannya cukup
melimpah.Buah yang satu ini memang dikenal sebagai buah meja yang nikmat
dikonsumsi langsung tanpa diolah terlebih dahulu. Selain nikmat, pepaya juga
diketahui memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh manusia terutama yang
berhubungan dengan kesehatan perut dan sebagai penambah nafsu makan

BAHAN DAN METODE


Perekayasaan ini dilaksanakan selama 3 bulan, mulai bulan Juni sampai
Agustus 2013 di lokasi pembenihan abalone (Haliotis asinina) Balai Budidaya
Air Payau Takalar.
Perekayasaan ini terdiri atas 4 perlakuan lama perendaman dan setiap
perlakuan mempunyai 3 ulangan, sehingga terdapat 12 unit perlakuan .
1. Unit perlakuan tersebut adalah :
a. Perlakuan A : ekstrak buah tomat 500 ppm
b. Perlakuan B : ekstrak daun papaya 500 ppm
c. Perlakuan C : fermentasi buah tomat dan daun papaya 500 ppm
d. Perlakuan D : Kontrol ( Tanpa perendaman)
2. Perendaman dilakukan dalam wadah pemeliharaan yang telah terisi
rumput laut sebagai sumber pakannya
3. Perlakuan perendaman glukosa dilakukan setiap ganti pakan alami
4. Waktu perendaman 5 jam, setelah itu dilakukan proses sirkulasi

Pembuatan ekstrak
Ekstrak daun papaya atau tomat
1. Siapkan gelas piala volume 1 liter yang berisi air laut steril
2. Timbang daun pepaya/tomat 175 gr dan dihaluskan/digerus
3. Masukkan dalam air hangat yang telah disediakan, aduk hingga rata,
kemudian ditapis dan air ekstraknya diambil
Fermentasi
1. Siapkan gelas piala volume 1 liter yang berisi air laut steril
2. Timbang daun papaya dan tomat masing-masing 175 gr dan
dihaluskan/digerus
3. Masukkan dalam air hangat yang telah disediakan, aduk hingga rata,
kemudian ditapis dan air ekstraknya diambil
4. Tambahkan 5 gr biakan saccharomyces (permifan)

334
Parameter yang di Amati
Pertumbuhan Mutlak
Pertumbuhan mutlak abalon (H. asinina)diamati dari awal hingga
berakhirnya perekayasaan. Pertumbuhan mutlak diukur dengan menggunakan
rumus pertumbuhan mutlak Effendy (2000).
G = Wt-Wo
Dimana:
G = Pertumbuhan Mutlak Rata-Rata (g)
Wt = Berat Bibit Pada akhir penelitian (g)
Wo = Berat Bibit Pada Awal Penelitian (g)

Konsumsi Pakan Harian


Konsumsi pakan harian pada perekayasaan dihitung dengan
menggunakan rumus yang direkomendasikan oleh Pereira, dkk., (2007)
sebagai berikut :
FC = F1 – F2 (g)
Keterangan : FC : Konsumsi pakan
F1 : Berat pakan awal
F2 : Berat pakan akhir
Perhitungan ini dilakukan untuk masingmasing wadah penelitian,
perhitungan konsumsi
pakan tiap abalon dilakukandengan menggunakan rumus berikut :
𝐹𝐶
𝑁 = (g/abalone/hari)
𝐷𝑎𝑦
Setelah nilai tersebut diperoleh, selanjutnya ditentukan nilai rata-rata
konsumsi pakan masing-masing wadah perekayasaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kerang abalone merupakan hewan herbivore, yaitu hewan pemakan
tumbuh-tumbuhan dan aktif makan pada suasana gelap.Jenis makanannya
adalah seaweed yang biasa disebut makro alga.Jenis seaweed/makro alga yang
tumbuh dilaut sangat beraneka ragam.Secara garis besar ada 3 golongan
seaweed/makro alga yang hidup di laut, yaitu; 1) makro alga merah (Red
seaweeds), 2) alga coklat (Brown seaweeds), dan 3) alga hijau (Green
seaweed).Ketiga golongan tersebut terbagi atas beberapa jenis dan beraneka
ragam.Keragaman tersebut tidak semuanya dapat dimanfaatkan kerang abalone
sebagai makanannya. Berikut ini spesies/jenis seaweed yang dapat
dimanfaatkan kerang abalone sebagai makanannya, yaitu makro alga merah(
Corallina sp,Lithothamnium sp,Gracilaria sp,Jeanerettia sp,Porphyra sp
335
),Makro alga coklat (Ecklonia sp,Laminaria sp,Macrocystis sp,Nereocystis
sp,Undaria sp,Sargasum sp ), makro alga hijau, seperti Ulva sp
Kerang abalone adalah hewan yang sangat lambat tumbuh. Untuk
mencapai ukuran diatas 8cm/ekor dengan berat 30-40gr/ekor, dibutuhkan masa
waktu pemeliharaan 12-14 bulan dengan ketersediaan pakan yang selalu cukup.
Pada awal pemeliharaan, pertumbuhan panjang cangkang sejalan dengan
pertumbuhan berat hingga mencapai ukuran cangkang 4cm dengan berat 11,5-
13,37gr. Setelah mencapai ukuran diatas 4cm, pertumbuhan lebih mengarah
terhadap pertumbuhan berat. Kelangsungan hidup kerang abalone yang dicapai
dalam masa pemeliharaan 12-14 bulan sebesar 55-63%.
Sifat kerang abalone yang sangat rakus namun lambat tumbuh
mengakibatkan tingginya nilai konversi pakan (Feeding Convercation of Ratio;
FCR) yang dapat mencapai 27-29, artinya untuk meningkatkan berat badan
sebesar 1 gr, kerang abalone harus memakan makanan sebanyak 27-29gr.
Setelah melaksanakan kegiatan penimbangan dan perhitungan berat
abalone, maka didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 1. Data Pengamatan Pertumbuhan


Bobot Pertumbuhan Bulan Ke-1
Kode
Awal Bobot(Gr) Selisih Persen Rata-Rata
A1 35.77 44.22 8.45 23.62
A2 27.94 35.13 7.19 25.73 28.25
A3 36.55 49.49 12.94 35.40
B1 34.71 47.54 12.83 36.96
B2 30.73 40.17 9.44 30.72 34.56
B3 25.01 34.01 9.00 35.99
C1 42.97 59.41 16.44 38.26
C2 30.83 38.59 7.76 25.17 32.23
C3 37.23 49.61 12.38 33.25
D1 59.27 91.88 32.61 55.02
D2 32.60 47.10 14.50 44.48 41.16
D3 26.64 33.03 6.39 23.99
Keterangan : A = pemberian ekstrak daun papaya
B = pemberian ekstrak buah tomat
C= pemberian fermentasi daun papaya + buah tomat
D = tampa perlakuan
336
Pakan merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam
menunjang keberhasilan budidaya abalon, kelangsungan hidup dan
pertumbuhan.Ketepatan jenis pakan yang diberikan menjadi pertimbangan
utama dalam pemberian pakan. Jenis pakan kerang abalon adalah seaweed
yang biasa disebut makroalga, namun tidak semua dapat dimanfaatkan dengan
baik sebagai sumber makanan, Saat pemberian pakan, perlu diperhatikan
kebersihan dan kesegaran pakan. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya
predator-predator yang terbawa dan menghindari pakan yang hampir/telah mati
yang nantinya akan membusuk dan menimbulkan racun bagi kerang abalon
(Tisna, 2008).

Tabel 2. Data Pengamatan Pertumbuhan


Bobot Pertumbuhan Bulan Ke-2
Kode
Awal Bobot(gr) Selisih Persen Rata-rata
A1 44.22 46.86 11.09 31
A2 35.13 36.34 8.40 30 33.59
A3 49.49 27.23 7.74 40
B1 47.54 63.92 29.21 84
B2 40.17 49.49 18.76 61 81.36
B3 34.01 43.11 21.43 99
C1 59.41 60.09 25.71 75
C2 38.59 41.86 11.03 36 63.71
C3 49.61 67.22 29.99 81
D1 91.88 117.65 58.38 98
D2 47.10 58.74 26.14 80 71.80
D3 33.03 36.42 9.78 37

337
Tabel 3. Data Pengamatan Pertumbuhan
Pertumbuhan Bulan Ke-3
Kode Bobot Awal
Bobot(gr) Selisih Persen Rata-Rata
A1 46.86 51.06 15.29 43
A2 36.34 39.57 11.63 42 48.40
A3 27.23 31.35 11.86 61
B1 63.92 80.14 45.43 131
B2 49.49 63.67 32.94 107 114.97
B3 43.11 51.73 26.72 107
C1 60.09 70.73 27.76 65
C2 41.86 38.35 7.52 24 70.64
C3 67.22 83.00 45.77 123
D1 117.65 141.20 81.93 138
D2 58.74 71.26 38.66 119 97.89
D3 36.42 36.46 9.82 37

Tabel 4. Data Pertumbuhan Abalon


Persentase Pertumbuhan
Perlakuan
Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Rata-rata
Daun pepaya 28.25 33.59 48.4 36.75
Buah tomat 34.56 81.36 114.97 76.96
Fermentasi 32.23 63.71 70.64 55.53
kontrol 41.16 71.8 97.89 70.28

Berdasarkan data yang diatas, penambahan bobot pada abalone cukup


tinggi pada pemeliharaan dengan perlakuan ekstrak buah tomat (kode B)
sebesar 76,96% dan terendah pada perlakuan pemberian ekstrak daun pepaya
(kode A) sebesar 36,75%.. Hal ini sesuai dengan Grubert (2005) yang
menyatakan bahwa laju pertumbuhan abalone pada fase postlarva dan juvenile
merupakan periode pertumbuhan eksponensial dan akan melambat saat
memasuki periode perkembangan gonad. Gusrina (2008) juga menambahkan
bahwa hampir pada semua jenis organisme akuatik yang dibudidayakan,
konsumsi pakan pada awal perkembangan organisme lebih tinggi dibandingkan
ketika pada saat dewasa.
338
Tabel 5. Nilai konversi pakan (Feeding Convercation of Ratio; FCR)
Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3
Kode
FCR Rata-rata FCR Rata-rata FCR Rata-rata
A1 15.79 20.58 15.45
A2 14.59 14 15.61 21 15.91 16
A3 11.18 28.14 35.63
B1 12.08 12.87 10.16
B2 12.86 13 15.43 13 11.69 11
B3 14.41 11.47 11.63
C1 10.88 11.41 12.22
C2 14.28 13 15.66 13 17.39 14
C3 12.64 12.62 11.58
D1 8.53 11.07 10.07
D2 11.12 13 13.83 16 11.29 15
D3 17.96 24.30 22.21

Tabel 6. Nilai FCR Abalon


Nilai Konversi Pakan (FCR)
Perlakuan
Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Rata-rata
Daun pepaya 14 21 16 17.00
Buah tomat 13 13 11 12.33
Fermentasi 13 13 14 13.33
Kontrol 13 16 15 14.67

Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa perlakuan


perendaman ekstrak buah tomat dapat menurungkan FCR abalone sampai pada
nila 11- 13 gr. Marsden dan Williams (1996) dalam Setyono (2005) mencatat
bahwa tingkat konsumsi pakan per unit biomassa dan laju pertumbuhannya
lebih tinggi pada masa juvenile dibandingkan pada abalone yang lebih besar.
Sedikitnya pakan yang tersisa dari pakan yang diberikan pada juvenile abalone
mengindikasikan bahwa penerapan pemberian pakan 20% dari bobot tubuh
cukup effektif.Hal ini sesuai dengan penyataan Setyono (2005) yang
mennyatakan bahwa konsumsi pakan juvenile H. asinina adalah 15-25% dari

339
bobot tubuhnya.Namun untuk abalone muda dan abalone induk hal tersebut
kurang effektif karena masih banyaknya pakan yang tersisa.

KONVERSI PAKAN
PERBULAN
25
NILAI FEEDING RATE

20
Perlakuan A
15
Perlakuan B
10
Perlakuan C
5
0 Perlakuan D
1 2 3

Grafik 1. Nilai Konversi Pakan (FCR)

Pakan yang diberikan merupakan jenis Gracillaria sp, yaitu G. verucosa


dan G. arcuata.Pakan jenis ini yang dipilih karena berdasarkan hasil penelitian,
abalone yang diberi pakan rumput laut dari jenis Gracilliaria sp menunjukkan
laju pertumbuhan sintasan yang lebih tinggi dibanding rumput laut jenis lain
(Setyono, 2003; Capinpin dan Corre, 1996 dalam Setyono, 2005; Mardin, 2005;
Viera et all., 2005).Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa rata-rata
tingkat konsumsi pakan pada semua keranjang, jenis G. arcuata lebih tinggi
dibandingkan pakan jenis G. verucosa.Hal ini diduga karena kandungan nutrisi
yang berbeda pada kedua jenis pakan tersebut. Wula (2005) mencatat
kandungan protein, kerbohidrat dan lemak pada .verrucosa berturut-turut adalah
13, 58%, 42,59%, dan 9,56%. Sedangkan pada G. arcuata berturut-turut 6,11%,
14,80%, dan 1,56%. Kandungan energi yang rendah pada G. arcuata diduga
mengakibatkan volume pakan yang dikonsumsi menjadi lebih banyak untuk
mencukupi kebutuhan energi yang tinggi pada abalone. Sebaliknya pada G.
verrucosa yang kandungan energinya lebih tinggi, dengan hanya
mengkonsumsi G. verrucosa lebih rendah dari jumlah G. arcuata yang
dikonsumsi, maka kebutuhan energi abalone sudah dapat terpenuhi.
Faktor lain yang dapat menjadi penyebab tingginya konsumsi pakan
pada G. arcuata adalah kerena daya attraktabilitasnya lebih tinggi. Setiap jenis
pakan alami memiliki attraktan tertentu yang dapat menarik orgnisme untuk

340
mendekati dan mengkonsumsi pakan tersebut (Harada et al., 1984).Hal tersebut
mengindikasikan bahwa G. arcuata memilki daya attraktan yang lebih baik
dibanding G. verucosa.Selain itu, tekstur antara kedua jenis rumput laut yang
berbeda juga dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan
tingkat konsumsi pakan antara kedua jenis pakan tersebut. Hal ini sesuai
dengan penyataan Fleming (1995) dalam Viera et al. (2005) bahwa tingkat
konsumsi pakan pada abalone H. asinina diduga dipengaruhi oleh faktor lain
selain kualitas nutrisi dari pakan, seperti tekstur (dalam hal ini kekerasannya)
serta kehadiran dari bahan kimia antinutrisi lainnya. Dari hal tersebut diduga
tekstur dari G. arcuata lebih disukai oleh abalone. Stepherd dan Steinberg
(1992) dalam Viera et al. (2005) menemukan bahwa kekerasan tekstur dan
kadar abu pada G. cornea diduga berpengaruh pada konsumsi pakan pada H.
musciformis, di alam. Hal tersebut terkait dengan kemampuan penetrasi radula
ke dalam permukaan alga, sebab radula memilki batas kemampuan untuk
memotong substrat (Steneck dan Walting, 1982 dalam Viera et al., 2005).Selain
itu, keadaan lingkungan yaitu kualitas air (pH, salinitas, DO, photoperiod) juga
dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan abalone (Freeman, 2001).
Tingkat konsumsi pakan yang tinggi tidak menjamin bahwa laju
pertumbuhan juga akan tinggi. Hasil penelitian Mardin (2005) dan Wula (2005)
menunjukkan bahwa pakan rumput laut jenis G. verrucosa memperlihatkan laju
pertumbuhan dan tingkat kematangan gonad yang lebih tinggi dibandingkan
pakan jenis G. arcuata. Hal ini dikarenakan kandungan nutrisi pada G. verucosa
lebih tinggi dari G. arcuata, terutama kandungan protein, lemak dan
karbohidratnya (Wula, 2005) dimana nutrisi tersebut sangat dibutuhkan bagi
pertumbuhan dan perkembangan gonad bagi abalone induk (Bautista dan
Millamena, 1999).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari perekayasaan ini, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Efektifitas pencernaan dan penyerapan nutrisi pakan dari abalone dapat
ditingkatkan dengan penambahan ekstrak buah tomat
2. Penambahan ekstrak daun pepaya tidak memberikan efek positif pada
nafsu makan dan nilai kecernaan abalone
3. Penambahan hasil permentasi ekstrak buah tomat dan daun papaya tidak
lebih baik dari control (tanpa perlakuan)

341
DAFTAR PUSTAKA

Bautista, M.n., dan Millamena, O.M. 1999. Diet Development and Evaliation
for Juvenile Abalone, H. Asinina: Protein/Energy Levels. Aquaculture
178 (1999) 117-126.
Effendy, I.J., R. S. Patadjai dan A.I. Nur. 1998. Studi Tentang Jenis, Kepadatan
dan Penyebaran Setiap Jenis Abalon (H. varia dan H. asinina). Di
Perairan Pantai Pulau Hari Sulawesi Tenggara. Laporan Penelitian.
Lembaga Penelitian Unhalu. Kendari.
Estes, J.A., Lindberg, D.R., dan Wray, C. 2005. Evolution of Large Body Size
in Abalones (Haliotis): Patterns and Implications. Journal
Paleobiology, 31(4), 2005, pp. 591–606.
Fermin, A. 2008.Abalone Aquaculture in the Philippines.Southeast Asian
Fisheries Development Center (SEAFDEC) AQUACULTURE
DEPARTMENT Tigbauan, Iloilo, Philippines.Disampaikan pada
Kuliah Umum di Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan Universitas
Haluoleo pada tanggal 23 Juli 2008.
Freeman, K.A. 2001. Fisheries Research Report: Aquaculture and Related
Biological Attributes of Abalone Species in Australia – A Review.
Department of Fisheries. Australia
Grubert, M.A. 2005. Factor Influencing the Reproductive Development and
Early Live History of Blacklip (H. rubra) and Greenlip (H. laevigata)
Abalone. Submitted in fulfillment of the requirements for the Degree
of Doctor of Philosophy.School of Aquaculture.University of
Tasmania, Launceston, Australia.
Harada, K., Maruyama, S., dan Nakano, K. 1984.Bulletin of Japanese Society
os Scientific Fisheries. 50(9), 1541-1544.
Heasman, M dan Savva, N. 2007. Manual for Intensive Hatchery Production of
Abalone: Theory and Practice for Year-Round, High Density Seed
Production of Blacklip Abalone (H. rubra). Australian Government
Fisheries and Development Coorporation. Australia.
Litaay,M. 2005. Peranan Nutrisi dalam Siklus Reproduksi Abalon. Oseana,
Volume XXX, Nomor 3, 2005 : 1 – 7.
Mardin.2005. Penggunaan Jenis Pakan Rumput Laut yang Berbeda Terhadap
Laju Pertumbuhan dan Sintasan Abalone Muda (H. asinine) di
Hatchery.SKRIPSI.Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas
perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari
Mudjiman, A., 2006. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Olin, P. 1994. Abalone Culture in Hawai H. Fulgens and H. Diversicolor
Supertexta. Aquaculture Specialist, Universitas Hawai Sea Grant
Extension Service. Hawai.

342
Proo, S.A.G., Zaragoza,E.S., dan BeltronesS, S.Q. 2003. Natural Diet of
Juvenile Abalone H. fulgens and H. corrugate (Mollusca: Gastropoda)
in Bahia Tortugas, Mexicol. Pacific Science (2003), vol. 57, no.
3:319-324. University of Hawai‘i Press
Setyono, D.E.D. 2005. Abalone (H. asinina L): Early Juvenile Rearing And
Ongrowing Culture. Oseana, Volume XXX, Nomor 2, 2005 : 1-10.
Stevens, M.M. 2003. Seafood Watch, Seafood Report Cultured Abalone
(Haliotis spp.) Fisheries Research Analyst Monterey Bay Aquarium.
Amerika Serikat.
Tahang, M. 2005. Budidaya Abalone pada bak 4 x 3x 2 m. Jurnal.Balai
Budidaya Laut Lombok.
Ungson, J., Yin, Y. M., Vannsereyvuth S., Yii S.H., Doris AU., 2002. Towards
Sustainable Abalone Culturein Thailand. Monthon Ganmanee : 1-10
(2)
Viera, M.P., Pinchetti, J.L.G., Vicose, G.C.D., Bilbao, A., Suareaz, S., Haroun,
R.J., Izquierdo, M.S. 2005.Suitability of Three Red Macroalgae as A
Feed for the Abalone H. Tuberculata coccinea reeve.Aquaculture 248
(2005) 75– 82.
Wula, R. 2005. Pengaruh Penggunaan Jenis Penggunaan Jenis Pakan Rumput
Laut yang Berbeda Terhadap Perkembangan Gonad Abalone (Haliotis
asinina) Jenis kelamin Jantan dan Betina di Hatchery.Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari.

343

Anda mungkin juga menyukai