Penyusun
DAFTAR ISI
NO JUDUL
1 PERFORMA PEMIJAHAN BAWAL BINTANG (Trachinotus 1
blochii) DENGAN PERBEDAAN PERBANDINGAN
JANTAN DAN BETINA
2 PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP 10
LARVA IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis)
PADA CLEARING WATER SYSTEM MELALUI TEKNIK
KOMBINASI PENGAYAAN PAKAN
3 MENINGKATKAN PRODUKSI KERAPU DENGAN 27
STIMULUS DOUBLE-VAKSIN
4 AKLIMATISASI BIBIT RUMPUT LAUT KOTONI 37
(Kappaphycusalvarezii) HASIL KULTUR JARINGAN DI
PERAIRAN TELUK GERUPUK KABUPATEN LOMBOK
TENGAH.
5 APLIKASI LATOH (CAULERPA LENTILLIFERA) 53
SEBAGAI BIOFILTER UNTUK PENGENDALIAN
INFESTASI PARASIT PADA INDUK KERAPU
6 EFEKTIVITAS CARA PEMBERIAN VAKSIN CAPRIVAC 64
VIBRIN-L TERHADAP RESISTENSI IKAN BERONANG
LADA (Siganus guttatus) TERHADAP PENYAKIT
VIBRIOSIS
7 MEMBANGKITKAN PRODUKTIVITAS TAMBAK 105
TRADISIONAL PULAU KECIL DI SULAWESI SELATAN
MELALUI DIVERSIFIKASI KOMODITAS
PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN BERONANG
(Siganus.sp)
8 BUDIDAYA KERAPU (Epinephelus sp.) DI TAMBAK 121
SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA
SKALA KECIL MASYARAKAT PESISIR PANTAI
9 PENINGKATAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Kappaphycus 137
alvarezii MELALUI PEMANFAATAN PUPUK
PROVASOLI’S ENRICH SEAWATER (PES)
10 PENGEMBANGAN BIBIT RUMPUT LAUT (Gracilaria sp.) 150
YANG DIPELIHARA DI LAUT MELALUI PENEMPELAN
SPORA PADA TALI POLYETHYLENE (PE)
11 PENAMBAHAN EGG STIMULAT OR DALAM PAKAN 159
UNTUK MEMACU PEMATANGAN GONAD INDUK F1
IKAN BERONANG LADA (Siganus guttatus)
12 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN 176
BAWAL BINTANG (Trachinotus blochii) DI KERAMBA
JARING APUNG GUNA MENDUKUNG PROGRAM
INDUSTRIALISASI PERIKANAN BUDIDAYA
13 PENGGUNAAN NANNOCHLOROPSIS GEL DALAM 189
PEMELIHARAAN LARVA IKAN BERONANG (Siganus
guttatus)
14 MENINGKATKAN KEUNTUNGAN USAHA BUDIDAYA 205
LELE SUPERINTENSIF TEKNOLOGI BIOFLOC DENGAN
PEMANFAATAN LIMBAHNYA UNTUK BUDIDAYA
TUBIFEX
15 DISEMINASI PENGGUNAAN VAKSIN:PENINGKATAN 214
PRODUKTIVITAS BENIH LELE DI UNIT PEMBENIHAN
SKALA RUMAH TANGGA MELALUI
GERAKAN VAKSINASI IKAN (GERVIKAN)
16 FORMULASI PAKAN MURAH BERKUALITAS UNTUK 224
PEMBESARAN LELE SANGKURIANG
17 INTENSIFIKASI BUDIDAYA PATIN (PANGASIANODON 230
HYPOPTHALMUS) SKALA INDUSTRI DENGAN SISTEM
KOLAM DALAM
18 UPAYA MENINGKATKAN NILAI TAMBAH LAHAN 238
UGADI DAN UGAMEDI MELALUI PENDEDERAN LELE
SANGKURIANG DENGAN MEMANFAATKAN WAKTU
PENYELANG
19 POTENSI INDIGENOUS BACTERIA PENGHASIL ENZIM 244
AMILASE PADA BUDIDAYA GURAME (Osphronemus
gouramy)
PERFORMA PEMIJAHAN BAWAL BINTANG (Trachinotus blochii)
DENGAN PERBEDAAN PERBANDINGAN JANTAN DAN BETINA
JL. Jenderal Sudirman, No.21, P.O. Box 128, Praya, Lombok Tengah
ABSTRACT
c. Penyuntikan hormon
d. Pemijahan
Setelah induk jantan dan betina disuntik dikumpulkan pada bak
pemijahan (kapasitas 8 m3) dan dapat diisi 3-5 pasang induk dengan
sex rasio 1 :1 pemijahan biasanya terjadi pada waktu malam hari
(antara jam 18.00-24.00 WIB). Secara norma induk tersebut akan
memijah setelah 12-41 jam dari penyuntikan terakhir (Ditjenkan
Budidaya, 2008).
Pengumpulan data :
a) Perhitungan telur
Telur hasil pemijahan akan terkumpul pada kolektor telur di
bak penampungan telur, telur dipanen pada pagi hari atau 10-11 jam
setelah pemijahan dan dikumpulkan diakuarium dan dilakukan
perhitungan jumlahnya :
Jumlahtelursampel 1000 ml
= X Xvolume bak/akuarium.
Banyaknyasampel volsampel (ml )
Tabel 1 : Data hasil pemijahan bawal bintang dengan perbandingan jantan dan
betina yang berbeda.
Perbandingan Fertilis
rata-rata
Komposisi Jumlah tidak asi
No jantan betina bagus fekunditas
Jantan dan telur bagus telur
telur/ekor
betina (%)
1,200,000
1,000,000
800,000
jml
600,000 bagus
400,000 jelek
200,000
-
A (1 :1) A (1 :1) B (1,5 : 1)B (1,5 : 1) C (2 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1)
-
A (1 :1) A (1 :1) B (1,5 : 1) B (1,5 : 1) C (2 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1)
Parameter Kisaran
Suhu 27-30,5 °C
pH 7,9-8,1
Salinitas 33-35 ppt
Oksigen terlarut (DO) 5,1-6,0 mg/liter
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
The data were processing and analyzed with Exell program. The result
showed that absolutely growth rate of larval with diet enrichment were, D-0
to D-3 was 0,174 mm/day (treatment A) and 0,173 mm/day (treatment B);
while from D-3 to D-7 was 0,069 mm/day (treatment A) and 0,091 (treatment
B); and from D-7 to D-16 was 0,310 mm/day (treatment A) and 0,341
mm/day (treatment B). On the average the relative growth rate was 0,0757
mm/day (treatment A) and 0,0807 mm/day (treatment B). Instantaneously
growth rate (G) for treatment A was 0,067 mm/day and 0,072 mm/day
(treatment B). Survival rate (SR) of treatment B was High with valued 2,77 %
(2.492 ind.), while treatment A wih value 0,25 % (226 ind.). By combination
diet enrichment fitoplankton Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml, multivitamin 2
BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 10
g and fish oil 10 ml (treatment B) showed the growth and survival rate of
Humpback Grouper larvae more high than treatment A (fitoplankton
Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml and multivitamin 2 g).
PENDAHULUAN
Larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) dipelihara dalam bak beton
kapasitas 8 m3 (8000 liter) tanpa melalui injeksi fitoplankton pada bak
pemeliharaan tersebut. Larva umur 3 hari (D-3) diberi pakan alami berupa
rotifer yang terlebih dahulu diperkaya kandungan nutrisinya selama 3 - 6 jam,
dengan menggunakan kombinasi Fitoplankton Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml
dan multivitamin 2 gr (perlakuan A), sedang untuk perlakuan B menggunakan
kombinasi fitoplankton Nannochloropsis sp. 5 x 106 sel/ml, multivitamin 2 gr
dan minyak ikan 10 ml. Kepadatan awal larva yang di tebar pada bak
pemeliharaan adalah sebesar 15 ind/liter (90.000 ind./6000 m3). Sampel larva
diambil secara acak pada masing-masing bak sebanyak 30 individu setiap hari
selama 16 hari (D-0 sampai dengan D-16). Parameter yang diamati meliputi
panjang total larva (pertumbuhan) dari D-0 sampai dengan D-16 (Fuiman and
Werner, 2002) dan jumlah larva yang mampu bertahan hidup (survival rate/SR)
selama 16 hari masa pemeliharaan (Khouw, 2010). Data pertumbuhan larva
BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 12
diperoleh dengan bantuan mikroskop Olympus perbesaran 100 kali yang
dilakukan di laboratorium dan diolah serta dianalisis dengan program Exell.
Pertumbuhan larva yang dianalisis adalah Laju Pertumbuhan Mutlak (Absolute
Growth Rate), Laju Pertumbuhan Relatif (Relative Growth Rate) dan laju
pertumbuhan seketika (Instantaneous Growth Rate) (Khouw, 2008).
Laju pertumbuhan mutlak larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) pada
umur D-0 sampai D-3 dikedua perlakuan masih relatif lebih besar daripada
umur D-4 sampai D-7 (tabel 1). Hal ini terjadi karena larva masih mempunyai
cadangan makanan dari kuning telur yang dibawanya (endogenous feeding) dan
cadangan makanan ini sesuai dengan nutrisi yang dibutuhkan oleh larva untuk
bertumbuh. Menurut Slamet (1990), pada umur D-0 sampai D-3 pertumbuhan
larva sangat tergantung pada cadangan makanan dari kuning telur yang
dibawanya dan kemampuan larva untuk memangsa rotifera (pakan dari luar/
eksogenous feeding) untuk pertama kalinya.
Pada umur D-3 sampai D-7 terlihat laju pertumbuhan mutlak pada kedua
perlakuan terlihat lebih rendah jika dibandingkan dengan periode D-0 sampai
D-3. Hal ini terjadi karena larva masih menyesuaikan diri dengan pakan yang
berasal dari luar tubuh (eksogenous feeding). Akan tetapi dengan berjalannya
waktu/masa pemeliharaan larva, setelah periode D-7 sampai dengan D-16
terlihat bahwa laju pertumbuhan mutlak larva di kedua perlakuan mulai
mengalami peningkatan. Peningkatan laju pertumbuhan mutlak tersebut terjadi
sebagai akibat larva sudah dapat menyesuaikan diri dengan pakan yang
diberikan. Selain itu, kuantitas maupun kualitas pakan yang diberikan sudah
sesuai dengan kebutuhan larva untuk bertumbuh secara optimal.
Perlakuan A Perlakuan B
Umur Larva
(mm/hari) (mm/hari)
1 0.2578 0.2560
2 0.0212 0.0215
3 0.0226 0.0214
4 0.0173 0.0252
5 0.0393 0.0622
6 0.0291 0.0142
7 0.0345 0.0558
8 0.0609 0.0946
9 0.0427 0.1207
10 0.1205 0.0240
12 0.0510 0.0585
13 0.0982 0.2013
14 0.1182 0.0148
15 0.0629 0.0808
16 0.0967 0.1172
1 0.229 0.228
2 0.021 0.021
3 0.022 0.021
4 0.017 0.025
5 0.039 0.060
7 0.034 0.054
8 0.059 0.090
9 0.042 0.114
10 0.114 0.024
11 0.130 0.116
12 0.050 0.057
13 0.094 0.183
14 0.112 0.015
15 0.061 0.078
16 0.092 0.111
4.000
TL (mm)
3.000
Kontrol
2.000
Expon. (Lt)
1.000
0.000
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
t (hari)
6.000
y = 1.676e0.072x
5.000
4.000
TL (mm)
3.000
Perlakuan B
2.000
Expon. (Lt)
1.000
0.000
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
t (hari)
1 Vit. B1 1 gm
2 Vit. B2 3 gm
3 Vit. B6 0,7 gm
4 Vit. B12 2 mg
5 Vit. E 3 gm
6 Vit. K3 0,1 gm
7 β karotine 1 gm
8 Cholecalciferol 0,5 gm
9 Nicotinic acid 10 gm
11 Biotin 50 mg
12 Cal. Pantothenate 1 gm
13 Inositol 10 gm
14 PABA 7 gm
5 EPA/DHA 1,45
Kesimpulan
Saran
Watanabe T., 1988. Larval Diets. Fish Nutrition and Mariculture. JICA
Textbook the General Aquaculture Course. Department of Aquatic
Biosciences, Tokyo University of Fisheries, Tokyo.
ABSTRACT
The disease is one of the prohibitive factor in increasing fish production. The
method of treatment is considered by far the most effective is vaccination, with
the aim to stimulate the body's natural defenses against infection process.
Although not directly affect the fish growth, other effects of vaccination
reported to increase the fish growth. But until now there has been produced in
the form of a cocktail vaccine that is in one ampoule of vaccine consists of
several types of antigens that can increase immunity against some diseases that
are more effective and efficient in its application. Application of double-
vaccine efforts are alternative ways of unavailability of vaccine cocktail with
the aim of increasing production by increasing the immune grouper to support
growth.
The results showed that the application of the double-vaccine can be able to
maintain the survival rate to 86% greater than non-vaccine is 76%, with a
specific growth rate reaches 1.34% / day for double-vaccine group and 1.20% /
day for fish that are not vaccinated. While average growth relative weight of
fish that double-vaccine reaches 230%, and were not vaccinated only 190%.
PENDAHULUAN
Beberapa jenis vaksin untuk ikan laut telah banyak diproduksi seperti
vaksin VNN, polyvalen Vibrio, Caprivac vibrio-L, StrepSi, IridoV dan lain-lain.
Hasil aplikasi vaksin yang pernah diujicobakan disamping peningkatan
kekebalan tubuh, juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan meski hal
tersebut merupakan pengaruh tidak langsung (Isnansetyo dkk., 2010).
Pengaruh terhadap pertumbuhan pernah diamati dalam skala laboratorium
pada aplikasi vaksin Polyvalen Vibrio terhadap ikan kerapu macan di Balai
Budidaya Laut Ambon menunjukkan pertumbuhan ikan kerapu yang divaksin
cenderung lebih tinggi dibanding dengan ikan yang tidak divaksin dengan
Pertumbuhan Spesifik (Spesifik Growth Rate/SGR) dari benih kerapu macan
Keterangan :
PR = ( Wt – Wo / Wo ) x 100%
Keterangan :
Keterangan :
100
90
Sintasan (%)
80
70
double-vaksin
60
non vaksin
50
1 2 3
Waktu (bulan)
250
Pertumbuhan Relatif (%)
200
150
100
50
0
double-vaksin non vaksin
berat 230 190
panjang 92 90
KESIMPULAN
1. Vaksinasi double-vaksin lebih efektif dan efisien ditinjau dari segi waktu
2. Aplikasi vaksinasi double-vaksin pada kerapu bebek dapat meningkatkan
sintasan dan mencegah infeksi iridovirus dan vibriosis.
BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 34
3. Disamping meningkatkan sintasan, vaksinasi pada ikan kerapu dengan
double-vaksin meningkatkan pertumbuhan berat, serta meningkatkan
produksi/biomassa kerapu.
DAFTAR PUSTAKA
Yuasa, Kei, 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan. Balai Budidaya Air
Tawar Jambi, Ditjen Perikanan Budidaya, DKP dan JICA
JL. Jenderal Sudirman, No.21, P.O. Box 128, Praya, Lombok Tengah
ABSTRACT
Nt
SR = ---------------- x 100 %
No
4.5
4
Rata-rata bobot (gram)
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
1 2 3 4 5
Pengamatan (minggu)
20 suhu
salinitas
15
pH
10
DO
5
0
1 2 3 4
Pengukuran (minggu)
3.5
3
2.5
Bobot (gram)
2
1.5
1
0.5
0
1 2 3 4 5
Pengamatan (minggu)
Kelebihan yang dapat diperoleh dari pemeliharaan bibit dalam bak ini
adalah kondisi air laut dapat dimanupulasi, terutama suhu. Suhu perairan yang
tinggi dapat dicegah dengan menutup air laut masuk ke dalam bak, sehingga
suhu dapat dijaga. Umumnya sering terjadi pada siang dan sore hari, sehingga
kematian bibit dapat dicegah akibat fluktuasi suhu. Pemeliharaan dalam bak
sebagai wadah stocking di darat, jika kondisi perairan laut kurang baik bagi
pertumbuhan rumput laut seperti adanya badai yang dapat menyebabkan
kerontokan dan kematian bibit dilaut, yang dapat menimbulkan kelangkaan
bibit, maka bibit rumput laut masih tersedia dalam bak. Selain itu,
pemeliharaan bibit dalam bak dapat bertahan lama, sehingga ketersediaan bibit
dapat dijaga jika terjadi kelangkaan bibit di laut seperti kerusakan bibit jika
terjadi badai dan lainnya.
Dari hasil ujicoba pemeliharaan dalam keranjang yang ditaruh dalam
bak, diperoleh daya tahan bibit selama 4 bulan, dimana SR bibit yang
dipelihara sebesar 100%. Bahkan bibit yang diperoleh dari hasil pemeliharaan
dalam bak jumlahnya bertambah (Gambar 4). Hal ini disebabkan karena,
cabang thallus yang terlepas dari individu utama, tumbuh dan berkembang
menjadi individu baru. Pertambahan jumlah individu bibit kultur jaringan
selama pemeliharaan 4 bulan terlihat pada Gambar 4 dibawah ini :
480
470
460
450
440
430
420
1 2 3 4 5
Bulan
Bulan ke-2
Bulan ke-4
Bulan ke-3
15 salinitas
10 DO
5
pH
0
1 2 3 4
Pengukuran (minggu)
70
60
50
Bobot (gram)
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5
Pengamatan (minggu)
20 suhu
salinitas
15
DO
10
pH
5
0
1 2 3 4
Pengukuran (minggu)
Gambar 11. Kondisi kualitas air laut di lokasi aklimatisasi rakit bambu apung
Kesimpulan
Saran
Torres KC. 1989. Tissue Culture Techniques for Horticultural Crops. Chapman
and Hall. New York. London.to Somatic Embryogenesis and Regeneration of
Somatic Embryos from Pigmented Callus of Kappaphycus alvarezii (Doty)
Doty (Rhodopyta, Gigartinales). J. Phycol
1
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee
ABSTRACT
Desain eksperimen
Pemberian perlakuan
Bulan Januari-Februari dilakukan perlakuan air tanpa Latoh. Air dari laut
masuk ke dalam tiga bak filter. Filter 1 yakni air melalui pipa berbungkus ijuk
dan kain screen. Bak berisi batu kerikil. Pada filter 2 air disaring dgn pipa yang
dibungkus ijuk yang diikat tali. Pada filter 3, air disaring dengan pipa yang
dibungkus ijuk dan kain screen.
Prosedur pemeliharaan
Induk diberi makan ikan rucah 10% dari total badan dua kali sehari. Ikan
yang digunakan adalah dari jenis lemuru. Ikan disimpan dalam freezer untuk
penyimpanan lama. Sebelum dipakai, ikan tersebut harus diunfreeze terlebih
dulu.
Kualitas air laut diamati secara visual sebelum digunakan. Ektoparasit dihitung
pada bulan ke-1 dan 2 saat aplikasi tandon Caulerpa belum dilakukan.
Perhitungan ektoparasit dilakukan setiap minggu pada bulan ke- 3-5 saat
aplikasi tandon Caulerpatelah dilakukan. Sampel tiap perhitungan adalah 3
ekor induk ikan kerapu berukuran sama. Perhitungan pada waktu selanjutnya
dilakukan pada ikan yang sama.
Analisis deskriptif terhadap jumlah populasi ektoparasit pada perlakuan
sebelum, saat aplikasi tandon Caulerpa . Analisis deskriptif terhadap perubahan
populasi ektoparasit pada saat aplikasi tandon Caulerpa . Analisis inferensial
terhadap perubahan tiap jenis parasit saat aplikasi tandon Caulerpa. Analisis
deskriptif menggunakan MsExcel sedangkan analisis inferensial menggunakan
SAS 9.0
700
Jumlah parasit per
ekor induk kerapu
600
505
500
442
400
300
258
190
200 Caligus
100
30 30 29 28 29 29 28 27 31 26 25
14 16 10 12 13 13 10 7 14 13 2410 7
0
35
30
25 Caligus
Populasi
parasit pada
20 Hirudinea
induk kerapu
(ekor/induk)
15
Полиномиальная
(Caligus)
10
Полиномиальная
5 (Hirudinea)
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
Minggu ke-
Luas permukaan Caulerpa yang luas dan koloninya yang rimbun menjadi
substrat yang tepat untuk organisme penempel, contohnya siput laut
(sacoglossan) menyukai C. lentillifera(Baumgartner et al., 2009). Pada spesies
lain (C. prolifera)terbukti alga penempel pada lebih sedikit karena dimakan
invertebrata penempel. Jenis organisme penempel pada C. prolifera juga lebih
banyak dibanding makroalga lain (Gibson, 2007).
Pengendapan air laut yang cukup lama (sekitar 18 jam), di dalam tandon
berisi Caulerpalentillifera yang tumbuh lebat, efektif mengurangi infestasi
ektoparasit pada induk ikan kerapu. Pengamatan terhadap pengaruh musim
terhadap fluktuasi infestasi ektoparasit perlu dilakukan.
Amade, P., Lemée, R., 1998. Chemical defence of the mediterranean alga
Caulerpa taxifolia: variations in caulerpenyne production. Aquat. Toxicol. 43,
287–300.
Baumgartner, F.A., Motti, C.A., de Nys, R., Paul, N.A., others, 2009. Feeding
preferences and host associations of specialist marine herbivores align with
quantitative variation in seaweed secondary metabolites. Mar Ecol Prog Ser
396, 1–12.
Brunelli, M., Garcia-Gil, M., Mozzachiodi, R., Scuri, M.R.R., Traina, G., Zaccardi,
M.L., 2000. Neurotoxic effects of caulerpenyne. Prog. Neuropsychopharmacol.
Biol. Psychiatry 24, 939–954.
Cavas, L., Pohnert, G., 2010. The Potential of Caulerpa spp. for
Biotechnological and Pharmacological Applications, in: Seckbach, J., Einav, R.,
Israel, A. (Eds.), Seaweeds and Their Role in Globally Changing Environments,
Cellular Origin, Life in Extreme Habitats and Astrobiology. Springer
Netherlands, pp. 385–397.
Felline, S., Caricato, R., Cutignano, A., Gorbi, S., Lionetto, M.G., Mollo, E.,
Regoli, F., Terlizzi, A., 2012. Subtle Effects of Biological Invasions: Cellular and
Physiological Responses of Fish Eating the Exotic Pest Caulerpa racemosa. PLoS
ONE 7, e38763.
62
Higa, T., Kuniyoshi, M., 2000. Toxins associated with medicinal and edible
seaweeds. Toxin Rev. 19, 119–137.
Matanjun, P., Mohamed, S., Mustapha, N.M., Muhammad, K., 2009. Nutrient
content of tropical edible seaweeds, Eucheuma cottonii, Caulerpa lentillifera
and Sargassum polycystum. J. Appl. Phycol. 21, 75–80.
Nguyen, V.T., Ueng, J.-P., Tsai, G.-J., 2011. Proximate Composition, Total
Phenolic Content, and Antioxidant Activity of Seagrape (Caulerpa lentillifera).
J. Food Sci. 76, C950–C958.
Paul, N.A., de Nys, R., 2008. Promise and pitfalls of locally abundant seaweeds
as biofilters for integrated aquaculture. Aquaculture 281, 49–55.
Pesando, D., Huitorel, P., Dolcini, V., Amade, P., Girard, J.-P., 1998.
Caulerpenyne interferes with microtubuledependent events during the first
mitotic cycle of sea urchin eggs. Eur. J. Cell Biol. 77, 19–26.
Pesando, D., Lemée, R., Ferrua, C., Amade, P., Girard, J.-P., 1996. Effects of
caulerpenyne, the major toxin from Caulerpa taxifolia on mechanisms related
to sea urchin egg cleavage. Aquat. Toxicol. 35, 139–155.
Raniello, R., Mollo, E., Lorenti, M., Gavagnin, M., Buia, M.C., 2007. Phytotoxic
activity of caulerpenyne from the Mediterranean invasive variety of Caulerpa
racemosa: a potential allelochemical. Biol. Invasions 9, 361–368.
63
EFEKTIVITAS CARA PEMBERIAN VAKSIN CAPRIVAC VIBRIN-L
TERHADAP RESISTENSI IKAN BERONANG LADA (Siganus guttatus)
TERHADAP PENYAKIT VIBRIOSIS
ABSTRAK
Kegiatan ini bertujuan untuk melihat sejauh mana cara atau metode pemberian
vaksin yang efektif untuk meningkatkan daya tahan tubuh ikan beronang baik
pertahanan non spesifik (pertahanan seluler) maupun pertahanan spesifik
(antibodi) yang berperan dalam menahan serangan patogen bakteri vibrio.
Sedangkan sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai bahan informasi dalam
kegiatan vaksinasi khususnya vaksinasi ikan. Kegiatan ini dilakukan dalam bak
beton berukuran 2,18 x 1,56 x 1 m3 (volume efektif 3 ton) dengan pergantian
air 100-150% setiap hari yang terletak dalam ruangan sebanyak 4 bak
pemeliharaan (Bak A; Bak B; Bak C dan Bak D). Hewan uji yang digunakan
adalah ikan baronang dengan berat ± 100 gram dengan padat tebar sebanyak 20
ekor/bak. Perlakuan dari kegiatan ini adalah: Bak A dengan metode vaksin
sistem priming; Bak B dengan metode vaksin sistem booster 1 minggu;Bak C
dengan metode vaksin sistem booster 2 minggu; dan Bak D tanpa vaksin
(kontrol). Hasil akhir dari kegiatan ini menunjukkan bahwa SR tinggi didapat
pada vaksin dengan sistem booster, sementara kajian RPS metode priming
memperlihatkan hasil yang kurang memuaskan yang hanya bernilai <60.
Sementara Pravelensi juga memperlihatkan hasil terbaik ada pada booster 2
minggu diikuti oleh booster 1 minggu dan terendah adalah kontrol. Hasil
pengukuran pertumbuhan berat mutlak menunjukkan bahwa pertumbuhan
tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan sistem booster 2 minggu (Bak C).
Hasil pemeriksaan beberapa parameter kualitas air masih berada pada kisaran
yang layak untuk pemeliharaan ikan baronang.
64
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui cara atau metode
pemberian vaksin yang efektif untuk meningkatkan daya tahan tubuh ikan
baronang baik pertahanan non spesifik (pertahanan seluler) maupun pertahanan
spesifik (antibodi) yang berperan dalam menahan serangan patogen bakteri
vibrio.
66
Sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai sumber referensi dalam kegiatan
vaksinasi ikan baronang dan diharapkan pula hasil dari kegiatan ini dapat
ditindak lanjuti dengan penggunaan vaksin dan metode vaksinasi yang cocok
dan dilakukan secara meluas bagi kalangan pembudidaya ikan.
TINJAUAN PUSTAKA
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Divisi : Euteleostei
Ordo : Percipformes
Famili : Siganidae
Genus : Siganus
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Order : Vibrionales
Family : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Species : Vibrio sp
68
2a 2b
Gambar 2a Morfologi bakteri vibrio sp (Sumber : Google.Image.Com )
2b Koloni bakteri vibrio dimedia TCBSA (Sumber : Dokumentasi
Arief Taslihan )
69
langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang
telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987). Serangan
vibriosis bisa menimbulkan kerugian yang besar pada budidaya ikan air laut
maupun payau karena tingginya kematian yang bisa mencapai 90% dalam
waktu singkat dan akan semakin diperparah bila ikan dalam kondisi ketahanan
tubuh ikan yang stress dan lemah.
Vibrio menyerang ikan dan organisme lainnya dimulai dari bagian
lendir (mucus) yang diproduksi oleh tubuh, sebab lendir dapat menjadi media
yang baik untuk perkembangan koloni bakteri. Hal ini karena di dalam lendir
terdapat nutrisi yang dibutuhkan oleh vibrio. Tanda – tanda klinis infeksi vibrio
adalah terjadi perubahan warna kulit (melanosis), mulut merah (red mouth ),
pengelupasan (gripis ) pada ekor dan sirip punggung, hemorhagik dan edema
(borok ) pada pangkal sirip, jaringan otot dan kulit. Limpa ikan yang terinfeksi
akan mengalami pembengkakan dan berwarna merah. Secara histologis hati,
ginjal, limpa dan mukosa usus mengalami nekrosis (Irianto,2005).
Perubahan warna kulit terjadi diakibatkan ikan mengalami stress
karena adanya infeksi bakteri. Munculnya haemoragik yang ditandai dengan
luka kemerahan pada sekitar mulut dan sirip adalah karena aliran darah
terganggu akibat infeksi Vibrio. Hal ini diakibatkan adanya toksin protein
“haemolysin” yang dikeluarkan oleh bakteri yang akan merusak eritrosit.
Proses inilah yang menyebabkan eritrosit pecah dan keluar dari pembuluh dan
menyusup pada jaringan tubuh dan tampak sebagai warna kemerahan pada
sekitar mulut dan sirip ikan kerapu. Sedangkan terjadinya edema diakibatkan
oleh akumulasi cairan secara tidak normal pada rongga tubuh, ruang antara
pada jaringan dan organ yang menyebabkan terjadinya pembengkakan. Cairan
tersebut media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri, sehingga dampak
yang lebih jauh mengakibatkan kematian. Selain itu, edema menandakan
adanya ketidakseimbangan tekanan hydrostatic, tekanan osmotic darah,
70
peningkatan permeabilitas kapiler, penghalangan lymphatic atau gangguang
fungsi ginjal (Yanuhar 2008).
Vaksinasi
71
dengan vaksin konvensional dapat dilakukan dengan menambahkan adjuvant
kedalam vaksin untuk meningkatkan tingkat perlindungan (level of protection)
dan lamanya kekebalan ( duration of immunity ). Adjuvan bekerja dengan cara
melakukan pelepasan antigen secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang
lama sehingga dapat meningkatkan respon imun ikan dan menimbulkan
respon inflamasi (peradangan ) sehingga menarik leukosit kelokasi
peradangan. Selanjutnya leukosit akan mengambil antigen dan membawanya
ke jaringan limfoid dimana antigen –presenting cell akan menyajikan antigen
ini ke sel limfosit.( Thompson, 2004 ).
72
b. Jenis-jenis vaksin
a ) Vaksin in-aktif yaitu vaksin yang dibuat dari mikroorganisme yang telah
dimatikan (in-aktif). Vaksin jenis ini diinaktivasi dengan menggunakan
formalin atau pemanasan. Jenis vaksin ini sangat efektif menginduksi
respon antibodi humoral tetapi kurang efektif merangsang kekebalan
selular maupun respon mucosal. Beberapa contoh vaksin jenis ini adalah
vaksin V.anguilarrum, V.salmonicida, V. ordalii
d ) Vaksin DNA, yaitu vaksin yang dibuat dari DNA (gen ) yang mengkode
protein imunogenik dari patogen target. Gen imunogenik dari suatu
patogen dikloning kedalam plasmid dan pasmid ini kemudian disuntikkan
ke ikan. Gen akan terekspresi secara extrachromosal (diluar kromoson
ikan ) untuk memproduksi protein imunogenik yang merangsang sistem
kekebalan ikan spesifik ikan.
74
antibodi maka dilakukan booster (vaksinanasi ulang ) untuk mempertahankan
level antibodi hingga mencapai level protektif. Keberhasilan program vaksinasi
tidak hanya ditentukan oleh keampuhan dari vaksin yang digunakan, tetapi
juga sangat ditentukan oleh bagaimana dan kapan sebaiknya vaksin itu
diberikan. Oleh karena itu, ada beberapa persyaratan yang sebaiknya
diperhatikan sebelum melakukan vaksinasi terhadap ikan, sebagai berikut ;
a) Sebaiknya ikan telah berumur 3 minggu atau lebih, karena pada umur
kurang dari 3 minggu, organ-organ yang berperan dalam sistem
pembentukan antibodi belum berkembang sempurna. Organ-organ
yang terlibat dalam sistem kekebalan ikan meliputi reticula
endothelial, limfosit, plasmoit dan fraksi serum protein tertentu.
b) Status kesehatan ikan harus dalam kondisi optimal, ikan yang sedang
sakit misalnya karena terinfeksi patogen parasitik sebaiknya jangan
divaksinasi terlebih dahulu sebelum parasit tersebut diberantas.
c) Suhu air relatif hangat (> 26o C). Vaksinasi ikan pada suhu air >26
o
C, respon antibodi yang terbentuk akan lebih cepat dibandingkan
dengan suhu air yang lebih rendah.
d) Air yang digunakan untuk melakukan vaksinasi dan pemeliharaan ikan
harus bebas dari unsur polutan. Air yang mengandung unsur polutan
akan menghambat proses pembentukan antibodi (immunosupressif)
dalam tubuh ikan.
Kualitas Air
Kualitas air media pemeliharaan sangat berperan dalam menunjang
keberhasilan produksi benih kerapu macan. Kualitas air yang berperan
terhadap kelangsungan hidup pada pertumbuhan ikan kerapu macan meliputi
suhu air, oksigen terlarut, kadar garam, pH air, ammonia dan nitrit.
75
Kelarutan oksigen merupakan faktor lingkungan yang terpenting bagi
pertumbuhan ikan. Kandungan oksigen yang rendah dapat menyebabkan ikan
kehilangan nafsu makan sehingga mudah terserang penyakit, pertumbuhannya
terhambat bahkan menyebabkan kematian. Biota air membutuhkan oksigen
sebagai penunjang kebutuhan lingkungan bagi species tertentu dan kebutuhan
konsumtif yang dipengaruhi oleh kebutuhan metabolisme.
Api Bunsen
76
9. Thermolyne Sterilisasi jarum ose
77
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
No. Nama Bahan Kegunaan
Prosedur Kerja
78
outdoor sebanyak 3 buah bak (Bak A; Bak B dan Bak C) dengan perlakuan
sebagai berikut :
2) Penyediaan Vaksin
79
Vaksin yang digunakan adalah CAPRIVAC VIBRIN- L produksi PT
Caprifarmindo Laboratories, Bandung – Indonesia. Seperti yang diketahui
bahwa vaksin adalah imunogen yang mampu menginduksi sistem pertahanan
spesifik (antibody spesifik) ikan dan hanya melakukan perlawanan sesuai
dengan jenis antigen yang pernah menyerang sebelumnya. Vaksin yang akan
digunakan dalam kegiatan ini adalah vaksin vibrio polivalen yang memiliki
empat antigen dan mampu menangkal serangan bakteri penyebab penyakit
vibriosis. Kandungan bakteri atau antigennya sebagai berikut; Vibrio Camplelli
2J2 ( 2,5 x 106 CFU ), Vibrio Algylinoticus 24 SK ( 2,5 x 10 6 CFU), Vibrio
fluvialis 16G ( 2,5 x 106 CFU) dan Vibrio sp 2SA ( 2,5 x 106 CFU).
80
- Membedah ikan dan buka rongga perut dengan peralatan bedah
yang steril dan diusahakan tidak melukai usus.
- Menggunting permukaan tiap organ dalam dengan pisau bedah
steril.
- Masukkan jarum ose yang telah dibakar untuk mengambil sampel
jaringan dan sebar ke agar (Media TCBSA ).
- Bakteri umumnya diisolasi dari limpa, ginjal dan hati.
- Biakan bakteri diinkubasi pada suhu 28-37 °C selama 24-48 jam.
b. Identifikasi Bakteri
Koloni bakteri yang diisolasi dari ikan,biasanya mengandung
bakteri lingkungan. Bakteri ini harus dipisah atau dibuang dengan
menggunakan media kultur spesifik misal media TCBSA yang hanya bisa
ditumbuhi dengan baik oleh bakteri vibrio sehingga keberadaan koloni
bakteri lain dapat dihilangkan. Pathogen pada luka ikan yang terinfeksi
biasanya tumbuh dominan sehingga koloni yang jumlahnya dominan
pada kultur media dianggap sebagai pathogen utama (Yuasa, et,al 2003).
Uji patogenitas
Uji patogenitas dilakukan untuk mengkonfirmasi apakah bakteri
patogen yang berhasil diisolasi dari ikan baronang yang sakit mampu
menginfeksi kembali ikan baronang yang sehat dengan gejala yang sama. Uji
patogenitas ini juga untuk menentukan nilai lethal konsentrasi (penyebab
kematian) yang nantinya digunakan sebagai dosis dalam perlakuan uji tantang
dengan vaksin vibrio.
82
- Bakteri siap digunakan
Vaksinasi
Vaksinasi dilakukan dengan cara menyuntikkan ikan baronang uji
secara intraperitonial. Perlakuan pertama adalah menyuntikkan ikan dengan
dosis 0,2 ml / ikan dengan satu kali suntikan (priming), sementara perlakuan
kedua dilakukan dengan menyuntikkan ikan dengan vaksin 0,1 ml / ikan untuk
penyuntikan pertama dan dilakukan penyuntikan susulan (booster ) juga
dengan dosis yang sama yakni 0,1 ml / ikan setelah 7 hari dari penyuntikan
awal. Perlakuan ketiga juga dilakukan booster dengan dosis yang sama namun
83
interval waktu penyuntikan susulan lebih lama yakni 14 hari. Sementara
perlakuan yang keempat adalah kontrol yakni ikan dilakukan penyuntikan
dengan larutan PBS (Purifer buffer saline) tanpa vaksin. Ikan kemudian
dipelihara pada kondisi lingkungan yang memenuhi syarat.
Uji Tantang
Kultur murni bakteri Vibrio alginolyticus yang virulen (hasil pasase)
pada media TSA akan dipanen dan disuntikkan kepada ikan baronang uji baik
vaksin priming, vaksin booster maupun kontrol secara intraperitonial sebanyak
0,1 ml dengan dosis berdasarkan hasil uji patogenitas dalam penentuan Letal
konsentrasi. Penyuntikan bakteri dilakukan secara bersamaan untuk semua
perlakuan. Penyuntikan dilakukan setelah satu minggu dari booster terakhir.
Ikan akan dipelihara selama 2 minggu setelah diuji tantang dan dihitung RPS (
Relatif Percentage Survival ).
Tahap Pemeliharaan
Ikan yang telah divaksin dan diuji tantang akan dipelihara dengan
waktu minimal 1 bulan. Selama pemeliharaan ikan akan diberi pakan KRA 3
dengan dosis 3 % dari Berat badan dan diberi 3 kali perhari yakni pukul 08. 00,
12.00, dan 16.00. Untuk penanganan kualitas air media dilakukan penyiponan
dan pemeliharaan ikan sistem sirkulasi.
Pengukuran Peubah
Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah Tingkat Kelangsungan
Hidup (SR), Relative Percent Survival (RPS), Prevalensi, dan Pertumbuhan
Mutlak.
a. Pengukuran Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)
SR = (Nt/No) x 100%
84
Dimana :
SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor)
No = Jumlah hewan uji pada awal pengujian (ekor)
W = Wt - Wo
Dimana :
(gram)
(gram)
85
RPS = 1- ( MrV/ MrC ) x 100 %
d. Prevalensi
Prevalensi adalah persentase jumlah ikan yang sakit yang
menggambarkan kondisi tertentu dalam periode waktu tertentu
(Period Prevalence). (Desrina 2007).
Prev = ( Jk / Jp ) x 100 %
Dimana:Prev = Prevalensi
87
mencapai 53,33%, dan yang terendah adalah pada Bak D (kontrol/tanpa
vaksin) dengan persentase rata-rata mencapai 6,67%. Hasil yang didapatkan
ini ini senada dengan pernyataan Jhonny (2004 ) bahwa ikan yang divaksin
booster dapat menstimulan antibodi sampai dengan level protektif sehingga
peluang ikan untuk menjadi sakit lebih kecil dan akan memperkecil peluang
ikan untuk mati sehingga nilai SR nya tinggi.
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Bak A Bak B Bak C Bak D
88
Pada Gambar 2. terlihat bahwa pada perlakuan vaksin dengan sistem
booster (Bak B dan Bak C) menunjukkan nilai kelangsungan hidup yang cukup
tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan aflikasi vaksin yang diberikan secara booster mampu meningkatkan
level antibodi dan daya memorizing terhadap antigen spesifik yang masuk.
Meskipun hasil antara Booster 2 minggu (Bak C) dan booster 1 minggu (Bak B)
menunjukkan hasil yang tidak berbeda secara signifikan tetapi lebih
disarankan untuk menggunakan metode vaksin booster 2 minggu karena
terbukti lebih tinggi tingkat sintasan ikan yang diuji tantang dengan bakteri
vibrio.
MORTALITAS
RATA- RPS
KODE BAK
RATA
SIKLUS I SIKLUS II SIKLUS III
90
Bak A (Prming) 8 8 12 9,33 50%
Dari hasil yang tertera diatas terlihat bahwa metode vaksin dengan
cara booster 2 minggu mencapai nilai RPS tertinggi yakni 86 %. Nilai RPS yang
tinggi menunjukkan adanya perlawanan antibodi yang terbentuk hasil
stimulan vaksin terhadap bakteri patogen vibrio. Dalam penelitian uji tantang,
memperlihatkan bahwa daya kerja bakteri pathogen terlihat pada hari kedua
uji tantang, namun ikan pada perlakuan vaksin booster mampu bertahan dan
menjadi sehat kembali.
91
Hal yang juga berpengaruh terhadap meningkatnya antibodi ikan
0
adalah suhu. Suhu yang berkisar 26 C mampu menstimulan antibodi dengan
sangat cepat (Desrina 2007), selain itu kondisi ikan juga sangat berpengaruh
bagi efektifitas kerja vaksin. Ikan yang dalam kondisi stress mengalami kondisi
imunopressur dan membuat ikan tidak bisa menghasilkan antibodinya. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 2.
100
80
60
40
20
0
Priming Bo1M Bo2M Kontrol
92
priming, terjadi peluruhan hampir semua antibodi sebelum dilakukan uji
tantang sehingga tidak mampu memberikan efek perlindungan dari serangan
bakteri vibrio.
Prevalensi
93
Tabel 3. Nilai Prevalensi Rata-Rata Ikan Beronang yang Didapatkan
selama Kegiatan Berlangsung.
WAKTU PENGAMATAN
PREVALENSI
KODE BAK TOTAL
SIKLUS RATA-RATA
SIKLUS I SIKLUS II
III
95
100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Bak A Bak B Bak C Bak D
Hal lain yang juga turut mempengaruhi nilai prevalensi ikan adalah
faktor eksternal, seperti pemeliharaan ikan pada kondisi lingkungan yang
optimun juga berpengaruh pada membaiknya tingkat kesehatan ikan sehingga
96
nilai prevalensinya rendah. Selain itu hal yang juga dapat dilakukan untuk
menurunkan nilai prevalensi ikan yaitu menambahkan immunostimulan pada
pakan ikan. Immunistimulan yang digunakan berupa vitamin C, asam amino
dan vitaliquid.
Nilai pertumbuhan berat mutlak ikan seperti yang terlihat pada Tabel
4. memperlihatkan bahwa hasil pertumbuhan terbaik didapatkan pada
97
perlakuan booster 2 minggu dengan nilai 20.66 gr,hal ini berbanding lurus
dengan hasil tingkat kelangsungan hidupnya yang cukup tinggi. Tingginya nilai
pertumbuhan yang didapatkan pada perlakuan ini dikarenakan ikan tidak
terlalu mengalami kondisi sakit sehingga laju metabolisme dalam tubuhnya
tidak terganggu dan pada akhirnya pertumbuhannnya juga ikut baik. Selain itu
karena ikan tidak terlalu mengalami kondisi sakit sehingga energi yang
didapatkan dari asupan pakan sebagian besar digunakan untuk bertumbuh.
Adapun grafik pertumbuhan ikan beronang yang didapatkan selama kegiatan
berlangsung dapat dilihat pada Gambar 4.
25
20
15
10
0
Bak A Bak B Bak C Bak D
98
Pengukuran Kualitas Air
Parameter PERLAKUAN
Kualitas Air BAK A BAK B BAK C BAK D
Oksigen 4,45 – 5,81 4,53 – 5,80 4,57 – 5,80 4,55 – 5,85
Terlarut
(ppm)
29- 30 29- 30 29- 30 29 - 30
Suhu (oC)
32 – 33 32 – 33 32 – 33 32 - 33
Salinitas (ppt)
7,55 – 7,73 7,48 – 7,65 7,43 – 7,71 7,50 – 7,65
PH
0,002 – 0,036 0,003 – 0,030 0,002 – 0,005 - 0,036
NH3 0,028
99
air dan pada akhirnya meningkatkan kebutuhan oksigen, dilain pihak kelarutan
oksigen menurun sejalan dengan peningkatan suhu.
pH air media pemeliharaan ikan beronang untuk semua perlakuan
selama kegiatan berlangsung berkisar antara 7,43 - 7,73. Kisaran ini masih
dalam batas yang layak untuk kehidupan ikan beronang. Ikan beronang
tumbuh optimal pada pH 7,2 – 8,5. Bahkan pada pH 6,5 pun ikan beronang
masih hidup dengan baik, tetapi pertumbuhannya lambat (Sunyoto dan
Mustahal, 1997).
Kandungan Oksigen terlarut (O2 ) selama kegiatan berlangsung
berkisar antara 4,45- 5,85 ppm. Nilai kisaran tersebut masih layak untuk
mempertahankan sintasan ikan beronang. Kandungan oksigen terlarut 4 ppm
merupakan standar yang tidak boleh kurang untuk kelayakan kehidupan
organisme dalam perairan ( Boyd, 1990).
100
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut yang meliputi jumlah penggunaan
dosis yang tepat, analisa parameter darah ikan setelah dan sebelum uji tantang.
Selain itu juga kajian tentang penerapan immunistimulan untuk mencari
perpaduan antara metode pertahanan tubuh ikan baik secara spesifik maupun
non spesifik.
101
DAFTAR PUSTAKA
Ellis ,A.E 1988. General principle of Fish vaccination, Academic Press, London.
102
Hambali S. 2013 Vaksinasi Pada Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan Budidaya, Jakarta.
Kordi, G. 2003. Penanggulanggan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta dan
Bina Adiaksa. Jakarta. 194 hal
Murdjani, 2002. Identifikasi dan Patologi Bakteri Vibrio alginolyticus pada Ikan
Kerapu Tikus. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya.
103
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.
Post, G. 1987. Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp.
proteins of Aeromonas hydrophila induce protective immunity in
goldfish. Fish and shellfish.
104
MEMBANGKITKAN PRODUKTIVITAS TAMBAK TRADISIONAL
PULAU KECIL DI SULAWESI SELATAN
MELALUI DIVERSIFIKASI KOMODITAS
PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN BERONANG (Siganus.sp)
Dasep Hasbullah a), Sugeng Raharjo a), Jumriadi a),Imran Lapong b),
Harnita Agusanty a), Mike Rimmer b,c).
Email addrees: dash.agrifisheris@gmail.com
ABSTRACT
Indonesia as archipelagos country has many potential small island that spread
out along Nusantara. Characteristic of the community who lives in the
cloistered islands mostly as fishermen with promising results. However, this
condition usually made them have less attention of the potency of fishponds
surround their area that unutilized optimal (idle). Balai Perikanan Budidaya Air
Payau Takalar collaboration with Australian Centre for International
Agriculture Research (ACIAR) had developing fishpond intensification by
commodity diversification to reutilize idle ponds as an effort to help fishermen
that only rely from fishing results but they can have additional income from
aquaculture activities beside seaweed culture. The activities were very useful to
improve island community income, to comply daily needs especially when
fishing activities blocked by bad weather. This activity also had intention to
build awareness from communities to support Blue Economy movement and as
implementation of aquaculture activities with environmental friendly and
sustainable. One of the commodities that had been chose is Rabbit fish (Siganus
sp)
Key Words: Idle pond, Small Island, diversification and Rabbit fish
105
PENDAHULUAN
106
2. Tambak yang digunakan adalah tambak lanyyah yang ada di
pesisir pantai baik di kawasan selat, teluk, tanjung maupun pulau-pulau kecil
3. Sebelum digunakan dilakukan sortir kualitas lawi-lawi dan
pemberokkan dalam bak pemeliharaan yang menggunakan air laut steril
4. Selama kegiatan budidaya berlangsung dilakukan sampling
secara terjadwal dan pengamatan terhadap kesehatan ikan dan kondisi
lingkungan tambak yang digunakan.
5. Tidak menggunakan bahan kimia yang berbahaya, baik pada
saat penampungan benih, maupun selama kegiatan budidaya berlangsung.
6. Pemanenan ikan beronang dilakukan pada saat suhu rendah
(pagi, sore hari atau malam hari)
Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan teknologi
budidaya ikan beronang (siganus.sp) prospektif/menguntungkan efisien dan
ramah lingkungan, dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan
peningkatanan ketahanan pangan bagi masyarakat nelayan dan pembudidaya.
Sasaran
Alat yang digunakan dalam kegiatan uji coba budidaya nila meliputi :
a. Alat penangkap benih beronang (Paroppo)
b. Pompa alkon 4 inchi
c. Cangkul
d. Parang
107
e. DO meter
f. pH meter
g. Hand Repractometer
h. Timbangan digital
i. Penggaris
j. Jala
k. Ember
l. Gergaji
m. Golok
n. Waring penampungan (pemberokan)
Prosedur Kerja
108
Pemberokkan/Penampungan sementara
Penebaran Benih
Sampling
109
Untuk mengetahui bobot terkini baik rataan perindividu maupun bobot
total ikan yang dibudidayan dilakukan sampling setiap 20 hari sekali. Sampling
juga dimaksudkan untuk mengetahui laju pertumbuhan, nilai konversi pakan
yang diberikan (FCR), Sintasan/kelulus hidupan (SR) dan Efisiensi
Penggunaan pakan serta dapat menghitung kebutuhan pakan lanjutan. Agar
tidak terjadi dampak negatif dan stress terhadap ikan yang dibudidayakan
sampling dilakukan pada pagi atau sore hari ketika suhu air rendah.
Pertumbuhan
Pertumbuhan berat mutlak atau total : h = Wt-Wo
Dimana : h = berat mutlak atau total tubuh ikan selama
percobaan (kg).
Wt = berat total tubuh ikan selama percobaan
(kg).
Wo = berat total ikan awal percobaan (kg).
Menurut Weatherley (1972).
Produksi
P = (B1- B2) + Bd
dimana :
P = produksi.
(B1 – B2) = pertambahan berat biomass selama percobaan.
Bd = berat total ikan yang mati selama percobaan.
F
____________________
FCR =
(Wt + D) - Wo
dimana :
FCR = tingkat konversi pakan
F = jumlah pakan yang diberikan selamapercobaan (gram)
Wt = bobot total ikan pada akhir percobaan (gram)
Wo = bobot totalikan pada awal percobaan (gram)
D = bobot total ikan yang mati selama percobaan (gram)
(Djajasewaka,1985).
113
Gambar 5 dan 6. Pengukuran kualitas air, dan penebaran benih
beronang dari waring/hava penampungan ke tambak pembesaran
Gambar 7 dan 8. Pengukuran panjang rataan dan bobot rataan ikan beronang
pada saat dilakukan sampling
114
Grafik 1. Laju penambahan bobot rataan perindividu
(g/ekor)
250.00
200.00
Bobot (g/ekor)
150.00
100.00
50.00
-
0 I II III
(50.00)
Sampling Ke.......
25.00
Panjang (cm)
20.00
15.00
Pajang Standard
10.00
Panjang Total
5.00
-
0 I II III IV
Sampling Ke...
115
Sebagai kegiatan pendukung pada ujicoba ini dilakukan pengamatan
morfhologi ikan beronang yang diujicobakan untuk mengetahui performa ikan yang
dibudidayakan, karakteristik biologis dan perbandingan komposisi jantan dan
betina dari hasil budidaya sebagai informasi tambahan yang sewaktu-waktu
diperlukan untuk pengembangan budidaya beronang di tambak.
116
Grafik Perkembangan Kualitas Air rata-rata
di Lokasi ujicoba
90.00
8.00 7.65 8.23
80.00 7.50 7.74 7.86
7.25 7.50 7.80 7.00 8.40
8.50 7.43 7.50 8.30
6.72 7.85 8.33 6.00 3.55 6.24 6.00 5.86
70.00 33.00 6.82 5.86 4.22 6.00
34.00 33.00 8.23 33.00 32.00 31.50 30.50 32.50 32.0030.00
32.00 32.50 32.00
60.00 32.00
50.00
40.00
35.00 35.00 37.00 37.00 36.00 36.00 37.0036.00
30.00
33.00 32.00 33.00 34.00 34.00
28.00
20.00
10.00
0.00
Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu
IV IV IV IV IV IV IV
Salinitas Suhu/Temperatur DO pH
117
penjualan dilakukan di pasar pelelangan maka harga jual ikan beronang hasil
budidaya tersebut akan semakin baik lagi.
Harga
NO Bahan/Alat Volume Satuan Jumlah harga (Rp)
Satuan (Rp)
A. Modal Usaha
1 Bibit Beronang size 8-11.5 cm 10,000 ekor 700 7,000,000
2 Pupuk Organik 570 kg 3,600 2,052,000
3 Pakan buatan (pellet) 200 kg 8,000 1,600,000
4 Pakan alami (rumput laut) 720 kg 3,500 2,520,000
5 Waring Penampungan dan alat tangkap 1 paket 700,000 700,000
6 Timbangan, alat sampling 1 unit 600,000 600,000
7 Sewa mesin pompa dan bahan bakar 1 siklus 850,000 850,000
8 Pemelliharaan tambak dan pematang 1 siklus 2,500,000 2,500,000
9 Upah Tenaga kerja 4 bulan 2,000,000 8,000,000
JUMLAH 15,322,000
B. Produksi (SR 68-72%)
1 Ukuran konsumsi size 180-226 g/ekor 4,104 ekor 5,000 20,520,000
2 Ukuran konsumsi size 240-300 g/ekor 2,736 ekor 9,000 24,624,000
JUMLAH 45,144,000
118
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Basyari, A., 1989. Biologi dan Budidaya Ikan Beronang Siganus spp.
Wicara/Seminar Pemanfaatan Sumberdaya Pantai/Laut. Sub Balai Penelitian
Budidaya Pantai Bojonegara, Serang Bojonegara, 12 – 13 April 1988. pp 1-20.
119
Ismail, W., I.S. Wahyuni and T. Pangabean, 1986. Studi Pendahuluan
Pemberian Komposisi Pakan yang Berbeda pada Ikan Beronang Siganus
canaliculatus (Preliminary study on the combination of feed for siganids).
Jurnal Penelitian Perrikanan Laut 10 (36) : 1 – 5.
120
BUDIDAYA KERAPU (Epinephelus sp.) DI TAMBAK SEBAGAI
ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA SKALA KECIL
MASYARAKAT PESISIR PANTAI
ABSTRAK
PENDAHULUAN
121
Latar Belakang
Tujuan
122
Tujuan dari kegiatan budiaya kerapu di tambak sebagai alternatif
pengembangan usaha skala kecil masyarakat pesisir adalah :
Meningkatkan nilai tambah margin keuntungan bagi pembudiaya kerapu
khisusnya bagi masyarakat pesisir dengan memperhatikan nilai parameter
ekonomis (biaya investasi dan biaya produksi).
Sasaran
Sasaran kegiatan yaitu tercapainya produksi ikan kerapu ukuran
konsumsi (400 gram up) guna memenuhi permintaan pasar yang semakin
meningkat.
Methode Pemeliharaan
123
Metode pelaksanaan kegiatan pembesaran kerapu dengan model
pemeliharaan di karambah tancap (Gambar 1.)
124
Persiapan tambak meliputi pengeringan kolam, pengolahan tanah
dasar dan pembuatan caren (saluran tengah kolam), pengapuran, pemupukan
dan pengisian air. Pupuk yang digunakan adalah pupuk urea dengan dosis 2
gram/m2, NPK dengan dosis 4 gram/m2. Kapur yang digunakan adalah hidup
(CaO) dengan dosis 50-100 gram/m2.pengeringan, perbaikan pematang,
saluran, dan dasar kolam serta pengapuran, pemupukan, dan pembasmian
hama dan predator. Untuk tanah yang masam pH < 6,8 dilakukan pengapuran
dengan dosis 0,5- 1 ton per Ha. Pembasmian hama dan predator menggunakan
saponen dengan dosis 20-30 gr per m2
C. Teknik Pemeliharaan
1. Phase Pendederan
Teknis pemeliharaan budidaya kerapu diawali dari sekmen pendederan,
kegiatan ini bertujuan membesarkan benih kerapu dari ukuran 3 cm
menjadi ukuran benih 9-12 cm dipelihara dalam waktu 3 bulan.
Pemilihan Benih
125
Kreteria benih berasal dari hasil pembenihan intensif yang telah menerapkan
SNI Pembenihan. Ukuran benih berkisar antara 3-4 cm/ekor, tidak cacat,
warna kecoklatan cerah, bebas penyakit, gerakan lincah, berenang normal,
bergerombol dan responsive terhadap pakan.
Penebaran Benih.
Langkah-langkah dalam penebaran benih yang harus dilakukan meliputi
aklimatisasi yang bertujuan untuk mpenyesuaian terhadap suhu dan salinitas
benih, penghitungan benih bertujuan untuk mengetahui dan kroscek benih yang
dikirim dengan data pengiriman, dan penentuan padat tebar Adapun padat
tebar yang digunakan pada pendederan Kerapu disajikan pada Tabel 1 berikut
:
Tabel 1.Padat Penebaran Pembesaran Ikan Kerapu
Masa pemeliharaan Ukuran jarring (meter) Ukuran Benih (Cm) Kepadatan (per /jaring)
Bulan II-III 8 – 12
500 – 300
Pemberian Pakan.
Jenis pakan yang digunakan pada phase pendederan menggunakan pakan
buatan secara keseluruhan. Dosis pemberian pakan berkisar antara 3-7% dari
total biomas dengan frekuensi pemberian pakan untuk pendederan 3-6
kali/hari sedangakan pembesaran diberikan 3 kali sehari secara adlibitum.
126
Ukuran Pakan Bentuk Ukuran ikan Feeding Frekuensi pemberian
Rate pakan
Grading
Grading atau pemilahan ukuran dilakukan secara periodic terutama pada
phase awal kedatangan ikan (ukuran 3 cm/ekor). Tujuan grading ini untuk
mengurangi kanibal, karena pertumbuhan benih dalam satu jarring selalu
terjadi, biasanya dalam satu jaring terdapat 3 ukuran yang berbeda.
Penggantian waring/jaring
Pergantian jarring dilakukan setiap 3-5 hari sekali, hal ini bertujuan untuk
menjaga kebersihan media pemeliharaan agar benih yang dipelihara tidak
mudah terserang penyakit dan mecegah kematian akibat kekurangan okasigen
terlarut yang disebabkan oleh rapatnya lubang jaring. Penggantian media
pemeliharaan juga bertujuan untuk memindahkan ikan ditempat yang baru
yang lebih bersih.
2. Phase Pembesaran
Yaitu merupakan kegiatan lanjutan dari phase pendederan untuk
pembesarkan benih kerapu ukuran 9-12 cm menjadi ikan konsumsi ukuran
450-500 gram. Tenis pemeliharaan dengan metode Tebar Lepas yaitu teknis
pemeliharaaan ikan dengan pemeliaharaan tebar langsung pada petakan
tambak
Pemilihan Benih
Kreteria benih berasal dari hasil kegiatan pendederan intensif yang telah
mencapai ukuran benih berkisar antara 9-12 cm/ekor, tidak cacat, warna
kecoklatan cerah, bebas penyakit, gerakan lincah, berenang normal,
bergerombol dan responsive terhadap pakan.
Penebaran Benih.
Penebaran benih dilakukan setelah lahan dan semua sarana dan
prasarana selesai dan benar-benar siap,dan benih dalam kondisi sehat. dan
benih tersebut telah terbiasa dengan pakan pellet dan ikan rucah. Padat tebar
disesuaikan atau dihitung berdasarkan luasan petakan tambak yaitu 2 ekor/m 3
Tabel 4. Ukuran Ikan, Jenis Pakan, feeding rate,dan frekuensi pemberian pakan
128
Ukuran Ikan (gr) Jenis Pakan Feeding Rate Frekuensi
Ukuran pemberian
(disesuaiakan dg Pelet Ikan pakan
bukaan mulut) Rucah
3. Penebaran
Penebaran benih dilakukan setelah lahan dan semua sarana dan
prasarana selesai dan benar-benar siap, Adapun benih yang digunakan
berasal dari kegiatan pendederan ukuran 9-12 cm dan benih dalam
kondisi sehat. dan benih tersebut telah terbiasa dengan pakan pellet dan
ikan rucah.
Padat tebar disesuaikan atau dihitung berdasarkan luasan petakan tambak
yaitu 2 ekor/m3 .
130
5. Pengelolaan Kesehatan Ikan
Yaitu upaya menjaga kondisi fisik ikan pemeliharaan tetap sehat
sehingga ketahanan kesehatan tetap terpelihara. Adapun upaya yang dilakukan
yaitu: sampling, dan penggantian air.
50 - 100 10 hari 20 %
100 - 200 12 hari 20 %
250 - 350 12 hari 30 %
350 -500 12 hari 30 %
131
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampling X 92 13 67 11 64 10
Waktu 90 hari
Jumlah Awal (ekor) 15000
Jumlah Akhir (ekor) 2343 6496.5 1810.5
Total Jumlah (ekor) 10650
Total biomass (kg) 791.7
SR (%) 71%
Jumlah pakan buatan
(kg) 1150 kg
132
sedikit lebih baik dibandingkan kerapu macan. Hal ini terlihat dari minimnya
serangan bakteri pada ikan ini dibandingkan kerapuy macan.
Phase Pembesaran
GRADE
Parameter I II III
Jumlah Berat Jumlah Berat Jumlah Berat
(ek) (gr) (ek) (gr) (ek) (gr)
Tebar awal 2343 92 6496 67 1811 64
Hasil akhir 2556 500 4686 480 1278 420
Rata-rata SGR 1,69
Total biomas awal
(kg) 767
Total biomas akhir
(kg) 4064
SR ( %) 80%
Pakan rucah 24384
Pakan pellet 2032
133
Rekapitulasi Kegiatan Pembesaran Kerapu di Tambak
Parameter Hasil
Bobot Awal Rerata (gr/ek) 1,85
Panjang Awal Rerata (cm/ek) 3,1
Bobot Akhir Rerata (gr/er) 450
Panjang Akhir rerata (cm/ek) 27,1
SGR Pendederan (% BT/h) 5,37
SGR Pembesaran (% BT/h) 1,69
Jumlah awal (ekor) 15.000
Jumlah akhir (ekor) 8.520
Sintasan total (%) 57
Jumlah pakan buatan (kg) 3,180
Jumlah pakan rucah (kg) 24,384
Total Biomas akhir (kg) 4064
Biaya benih Rp. 45.000.000
Total biaya pakan Rp. 154,776.000
Nilai penjualan (s/d bulan ke-5) Rp. 386,080,000
B/C Ratio 1,31
134
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkani Hasil Kegiatan yang telah dilakukan selama 12 Bulan
pemeliharaan dengan metode pemeliharaan yang dilakukan di Tambak dapat
Disimpulkan bahwa :
Dibandingkan dengan Kerapu memiliki pertumbuhan yang cepat. Hal ini
dilihat dari hasil akhir selama 12 bulan pemeliharaan (Bobot Total
Biomass) yang didapat yaitu bobot yang didapat 4064 Kg.
Sintasan / Survival Rate (SR) yang didapat selama 12 bulan pemeliharaan
dari kegiatan pedederan 71% sedangkan pada kegiatan pembesaran 80 %,
sehingga nilai sintasan selama masa pemeliharaan didapat 57 %
Bila dilihat secara analisa finansial, keuntungan yang didapat yaitu Rp.
91.512,333 dengan B/C ratio 1,33
Kerapu lebih ekonomis dan efisien untuk dibudidayakan dan
dikembangkan di Tambak, karena dengan modal kerja untuk biaya
investasi < 50 juta dan biaya produksi Rp.216.526.000,- dapat
menghasilkan 4064 kg ikan kerapu konsumsi.
Saran
Perlu dilakukan perbandingan ekonomis secara keseluruhan pada budidaya
ikan kerapu hybrid dan kerapu macan di tambak sebagai hasil akhir
kegiatan di atas.
Perlu inovasi teknologi yang lebih baik untuk meningkatkan nilai sintasan
sehingga memiliki nilai ekonomis yang lebih baik.
Perlu uji multilokasi dengan mengambil lahan pembudidayaan yang
memiliki karakteristik berbeda dengan pantai utara seperti pantai selatan
atau daerah lain sehingga aplikasi teknologi dapat diterapkan secara
menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
135
Anonymous. 1988. Training on Marine Finfish Netcage Culture in Singapore.
Primary Product Department, Republic of Singapore.
Chang, S.L. 1996. Marine Fish Culture. Tungkang marine Fish Laboratory.
Taiwan Fisheries Research Institute
Cho, C.Y., Cowey and Watanabe. 1983. Finfish Nutrition in Asia,
Methodological Approaches to Research and Development. Ottawa,
Ont. IDRC. 154 pp.
Kurnia, B. , Arief Prihaningrum dan Yuwana Puja. 2004.Kajian Abnormalitas
Ikan Ukuran Konsumsi Dalam Satu Siklus Budidaya Ikan Kerapu
Macan (Ephinephelus fuscoguttatus). Disampaikan pada Lintas UPT,
Mataram 2004.
136
PENINGKATAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii
MELALUI PEMANFAATAN PUPUK PROVASOLI’S ENRICH
SEAWATER (PES)5
Lideman1,*, Andi Elman1, Akmal1, Ilham2, Suaib2, Harnita Agusanty3, dan Sugeng
Raharjo4
Indonesian seaweeds production is highest in the world since 2008, and, South
Sulawesi as a place of Brackishwater Aquaculture Development Center
(BADC) has a seaweeds production aproximately 1 milion ton a year, these
conditions have infact to BADC to develope and suport the seaweeds culture
especially in utilization of Provasoli’s Enrich Seawater (PES) in order to
increase production of Kappaphycus alvarezii. Objective of this experiment is
to know efect of dosage, dipping duration and dipping interval on the growth
of K. alvarezii. Experiment was conducted in three part, they were dosage trial,
dipping periode trial and dipping interval trial. Dosage trial were 0% (control);
0,5%; 1%; 2%; 4% and 6%, dipping duration were 0 (control); 12; 24; 36 and
48 hours, and dipping interval were every 0 (control); 6; 12; 18; 24 and 30
days. Weight and lenght of K. alvarezii was measured every 7 daysalong
culturing periode of 42 days and at the end of culturing, their relative growth
rate (RGR) were counted by equation of RGR = [(ln W1-ln Wo) / ( t1-to)] x
100%. Findings of this experiment showed that optimum dosage, dipping
duration and dipping interval were 0.5%, 24 hours and every 24 days,
respectively. Based on the results, the utilization PES fertilization more than the
optimum dosage, dipping duration and dipping interval could be not utilized by
K. alvarezii and could cused eutrofication of their cultured medium.
____________________
1
Perekayasa pada Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar
*
Author for Correspondence: e-mail lidemanz@yahoo.com
2
Pengawas Perikanan Pada BPBAP Takalar
3
Kepala Seksi Sandarisasi dan Informasi BPBAP Takalar
4
Kepala BPBAP Takalar
5
Presented on Indonesian Aquaculture (Aindoaqua) Seminar on 26-29 August
2014 in Jakarta.
137
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumput laut Kappaphycus alvarezii (“cottonii”) merupakan salah satu
komoditas unggulan, hal ini terutama disebabkan karena kandungan
keraginannya yang banyak dimanfaatkan untuk berbagai macam industri seperti
industri makanan, kosmetik, textil dan farmasi yaitu sebagai pengental dan
pengemulsi. Kegiatan budidayanya sendiri telah berkembang dengan pesat,
sehingga sejak tahun 2008 Indonesia sudah menjadi penghasil bahan mentah
rumput laut “K.alvarezii” utama dunia dan pada tahun 2009 produksi rumput
laut “K.alvarezii”Indonesia mencapai 85.000 ton kering (Bixler and Porse,
2011).
Program pemerintah dalam meningkatkan hasil produksi perikanan
budidaya dari tahun 2010-2014 menempatkan rumput laut pada posisi pertama
sebagai produk unggulan perikanan budidaya. Proyeksi produksi rumput laut
pada tahun 2014 yang ditargetkan pemerintah adalah sebesar 10 juta ton atau
naik sebesar 389% dari produksi tahun 2009 yang produksinya hanya sebesar
2,547 juta ton (Ditjen Perikanan Budidaya, 2010). Untuk memenuhi target
produksi pemerintah ini maka perlu dilakukan beberapa usaha dalam
meningkatkan produksi rumput laut, diantaranyamelalui upaya intensifikasi dan
ekstensifikasi pemeliharaan.
Bibit rumput laut K. alvarezii yang ada pada petani umumnya
didapatkan dari hasil pemeliharaan yaitu dengan cara melakukan stek dari
rumput laut yang sudah ada. Penggunaan bibit yang terus menerus tanpa
dilakukan seleksi akan menyebabkan terjadinya penurunan mutu bibit. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan dalam memperbaiki mutu bibit adalah dengan
cara melakukan perendaman bibit dalam pupuk yang mengandung nutrisi
penting. Hal ini dapat dimungkinakn karena adanya sifat dari makro-algae yang
menyerap sebanyak mungkin nutrient terlebih dahulu kemudian baru
dimanfaatkan untuk proses pertumbuhannya (luxuary nutrient uptake).
Berbeda dengan tumbuhan di darat, rumput laut tidak mempunyai akar
untuk menyerap nutrien, sehingga ketersediaan/dosis nurtien yang ada disekitar
callus mereka akan sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Nitrogen adalah
unsur utama yang sering sebagai faktor pembatas pertumbuhan, selain itu
phosphor juga kadang-kadang sebagai faktor pembatas dalam pertumbuhannya
(Lobban and Horison, 1997). Kekurangan nutrient biasanya akan menyebabkan
rumput laut yang dipelihara menjadi kerdil, sehingga upaya-upaya untuk
melakukan penambahan nutrient melalui pemupukan perlu dilakukan. Pupuk
yang sudah umum untuk makroalgae adalah Provasoli’s Erich Seawater (PES).
Karena budidaya rumput laut dilakukan di laut dan pemupukan di laut sangat
sulit dilakukan, maka salah satu cara yang mungkin dilakukan adalah melalui
138
perendaman rumput laut sebelum pemeliharaan. Untuk itulah perlu dilakukan
experiment tentang berapa dosis pupuk yang baik, berapa lama waktu
perendaman yang baik dan seberapa sering perlu dilakukan perendaman yang
untuk pertumbuhan yang optimum bagiK. alvarezii.
Tujuan
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui dosis pupuk PES yang
optimum untuk pemeliharaan Kappaphycus alvarezii dan juga untuk
mengetahui lama perendaman dan interval perendaman K. alvarezii dalam
pupuk PES yang optimum untuk pertumbuhannya.
Koleksi Sampel
Sampel rumput laut yang digunakan untuk experimen ini adalah
Kappaphycusalvarezii, Family Solieriaceae (Rhodophyta) yang dibudidayakan
di Desa Punaga, Kab. Takalar, Sulawesi Selatan (5˚34’56.62”N,
119˚27’42.56”E). Rumput laut yang diperoleh kemudian di tampung pada
wadah stereofoam yang mengandung air laut dan lalu dibawa ke laboratorium
dengan suhu yang dipertahankan kurang lebih 25 oC. Di Laboratorium rumput
laut, Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar,sampel-sampel K. alvarezii
kemudian dipelihara sebagai tahap aklimatisasi di akuarium (60 × 40 × 40cm3)
yang mengandung air laut dengan salinitas 30 ppt, pH 8.0, cahaya 90 µ mol
photons m-2 s-1, suhu 25°C dan siklus cahaya 14 jam terang:10 jamgelap. Suhu
air di akuarium yang digunakan didasarkan pada suhu alami air laut di tempat
K. alvarezii diambil.
Persiapan Wadahdan Peralatan
Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan eksplan adalah multiwel
chamber yangtelah disucihamakan dengan menggunakan autoklaf pada suhu
121oC selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Peralatan lainnya seperti pipet,
pinset dan lain-lain aerasi dicuci bersih dengan menggunakansabun kemudian
dibilas dengan air tawar mengalir sampai bersih kemudian dibilas kembali
dengan aquadest dan keringkan, setelah kering dibungkus dengan aluminium
foil dan disterilkan seperti pada wadah pemeliharaan.
Sterilisasi Air Laut
Air laut yang akan digunkanan adalah air laut yang telah disaring
dengan menggunakan saringan kapas dan saringan whatmen ukuran 0,45 µm.
Air laut tersebut kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada
suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 20 psi.
139
Seleksi dan Sterilisasi Eksplan
Rumput laut yang akan dijadikan eksplan adalah rumput laut yang
segar, bersih, warna cerah dan tidak ada kotoran yang menempel pada rumput
laut tersebut. Sample rumput laut tersebut langsung dibilas dan dibersihkan
dengan menggunakan air laut sampai bersih. Setelah itu, dilakukan
pemotonganbagian ujung tunas rumput laut dengan panjang 1.0-1.2 cm .
Eksplan yang telah dipotong-potong tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
wadah erlenmeyer yang berisi air laut steril dengan salinitas 32 ‰. Setelah
pemotongan selesai, eksplan dibilas dengan betadin 1% dengan cara
menggojok – gojok selama ± 3menit, dan dilanjutkan dengan
pembilasanmenggunakan air laut sterilsecara berulang-ulang (Lideman et al.,
2011).
Pembuatan Pupuk PES
Pembuatan pupuk PES dilakukan berdasarkan Andarsen (2005).
Untuk membuat “enrich stock solution (ES)”, masukkan aquadest (dH2O)
sebanyak 900 ml, tambahkan bahan-bahan “enrich stock solution” seperti yang
tertulis pada (vitamin ditambahkan terakhir, sesudah pencampuran bahan-
bahan lainnya), tambahkan air destilasi (dH2O) sehingga volume menjadi 1000
ml, dan disterilkan melalui proses pasteurisasi. PES medium diperoleh dengan
cara menambahkan 20 ml “enrich stock solution (ES)” ke 980 ml air laut steril,
lalu di pasteurisasi. “iron EDTA solution” dibuat dengan cara menambahkan
EDTA diikuti penambahan iron sulfate ke dalam dH2Osebanyak 900 ml, lalu
tambahkan dH2O hingga mencapai volume 1000 ml, lalu larutkan bahan-bahan
lainnya, selanjutnya di pasteurisasi dan di simpan di refrigerator. Pembuatan
“trance metal solution” dilakukan pertama-tama dengan melarutkan EDTA
kedalam 900 ml dH2O, lalu larutkan bahan lainnya. Tambahkan dH2O sehingga
volume mencapai 1000 ml dan simpan di refrigerator.
Prosedur Percobaan
a. Percobaan Beberapa Dosis Pupuk PES
Pemeliharaan eksplan pada percobaan ini dilakukan dengan cara
memodifikasi prosedur pada Lideman et al (2011) dan Nishihara et al (2004).
Pemeliharaan eksplan dilakukan dengan menggunakan 6 perlakuan yaitu
menggunakan pupuk PES dengan dosis 0,5 % ES, dosis 1% ES, dosis 2% ES,
dosis 4% ES, dosis 6% ES dan air laut steril (0% ES) sebagai kontrol. Eksplan
yang digunakan adalah eksplan yang telah disterilisasi. Selanjutnya eksplan
dimasukkan ke dalam media kultur yang telah berisi larutan pupuk PES dengan
cara satu eksplan untuk satu media kultur. Sebelum eksplan dimasukkan ke
dalam media kultur eksplan terlebih dahulu ditimbang dan di ukur panjangnya.
140
Setelah ditimbang eksplan kemudian dimasukkan ke dalam media kultur dan
selanjutnya media kultur ditutup. Pemeliharaan eksplan dilakukan selama 42
hari.
b. Percobaan Lama Perendaman
141
RGR = [ (ln W1-ln Wo) / ( t1-to) ] x 100%
25 1%
20 2%
4%
15
6%
10
0% (Kontrol)
0 7 14 21 27 35 42
Lama Pemeliharaan (hari)
142
Gambar 1. Grafik PerkembanganBobot Eksplan Selama 42 hari
0.20
0.10
0.00
0,5 % 1% 2% 4% 6% kontrol
Dosis Pupuk PES (% ES)
Gambar 2 . Laju Pertumbuhan Relatife (RGR) pada Beberapa Dosis Pupuk PES
28
26 36 jam
24
48 jam
22
20
0 jam
0 7 14 21 28 35 42 (kontrol)
Lama Pemeliharaan (Hari)
144
Grafik Laju Pertumbuhan Relatif K.
alvarezii
0.6 0.57 0.56
0.53
0.44
RGR (% per hari)
0.4
0.21
0.2
0.0
0 12 24
36
48
Gambar 4. Laju Pertumbuhan Relatif (% per hari) pada Beberapa Tingkat Lama
Perendaman
B(12 Hari)
50.0 C(18 Hari)
45.0 D(24 Hari)
40.0 E(30 Hari)
35.0 Kontrol
30.0
0 6 12 18 24 30 36 42 48
Lama Pemeliharaan (Hari)
146
Gambar 5. Perkembangan Bobot Eksplan K. alvarezii Selama Pemeliharaan
0.10
0.00
A(6) B(12) C(18) D(24) E(30) Kontrol
Interval Perendaman Pupuk PES (hari)
A(6 hari sekali perendaman), B(12 hari sekali perendaman), C(18 hari sekali
perendaman) dan kontrol (0 hari perendaman), tetapi tidak berbeda nyata
dengan perlakuan E(30 hari sekali perendaman). Hal ini menunjukan bahwa
interval waktu 24 dan 30 hari sekali tidak memberikan pertumbuhan yang
berbeda dan dengan trend laju pertumbuhan yang sama antara umur
pemeliharan 40 hari pada umur pemelihraan 30 hari, maka perendaman pupuk
ini cukup dilakukan pada bibit di awal pemeliharaan. Pupuk ini mengandung
unsur N, unsur P dan unsur K. Nitrogen merupakan komponen penting bagi
pertumbuhan rumput laut. (Pantjara dan Sahib, 2008), yang menyatakan bahwa
nitrogen berfungsi membantu proses pembentukan klorofil dan fotosyntesis,
sedangkan fosfat yang terkandung dalam pupuk berfungsi merangsang
pertumbuhan thallus.
Saran
Pengunaan pupuk PES di media (perairan) budidaya dengan dosis
yang lebih tinggi dari 0,5% ES justru tidak dapat dimanfaatakan oleh K.
alvarezi, sehingga penggunaan dosis yang berlebihan di media pemeliharaan
dapat menyebabkan eutrofikasi. Oleh karena itu penggunaan pupuk ini untuk
kegiatan budidaya di laut akan lebih aman jika dilakukan hanya melalui
perendaman pada bibit diawal pemeliharaan.
DAFTAR PUSTAKA
148
Lideman, Gregory N. Nishihara, Tadahide Noro and Ryuta Terada. 2012.
Effect of Temperature and Light on the Photosynthetic Performance of
Two Edible Seaweeds: Meristotheca coacta Okamura and
Meristotheca papulosa J. Agard (Solieraceae, Rodhophyta).
Aquakultur Sci. 60 (3) : 377-388.
Kata Kunci: Seed, Gracilaria sp., Spore, Polyethynene Rope dan Mariculture
____________________
1
Perekayasa pada Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar
*
Author for correspondence: e-mail lidemanz@yahoo.com
2
Pengawas Perikanan Pada BPBAP Takalar
3
Kepala BPBAP Takalar
4
Australian Center for Agricultural Reseach
5
Presented on Indonesian Aquaculture (Aindoaqua) Seminar on 26-29 August
2014 in Jakarta.
150
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perekayasaan ini dilakukan dalam rangka mendukung program
industrialisasi dan peningkatan produksi perikanan budidaya hususnya dalam
peningkatan produksi rumput laut Gracilaria melalui peningkatan kualitas dan
kuantitas bibitnya. Kegiatan ini didasari pada perkembangan pembesaran
Gracilaria sp. di laut yang sangat pesat dengan menggunakan tali seperti
budidaya Kappaphycus alvarezii di laut dan hingga saat ini Produksi untuk di
satu kawasan di Kabupaten Takalar mencapai 60 Ton kering per bulan. Tidak
seperti Gracilaria verucossa, Gracilaria sp. yang dipelihara di perairan laut
mempunyai thalus yang relatif lebih besar sehingga memungkinkan untuk
diikat ditali polyethylene (PE). Namun demikian, dalam pelaksanaanya thalus
yang diikat sering terlepas karena talus yang diikat relatif lebih banyak jika
dibandingkan dengan ikatan untuk K. alvarezii yang hanya mengikat 1-2 thalus.
Pemanfaatan spora untuk sumber bibit merupakan salah satu cara yang
memugkinakn dalam rangka peningkatan produksi dan perbaikan teknik
budidayanya. Spora tipe carpospore lebih mudah digunakan sebagai sumber
bibit karena kantong sporanya (cytocrap) dapat dilihat dengan mata telanjang.
Pemanfaatan spora sebagai sumber bibit sudah berhasil dilakukan di beberapa
negara, diantanya di Jepang dan Korea yaitu dalam memproduksi bibit
Porphyra.
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar (BPBAP Takalar) sejak
Juli 2013 telah memulai usaha untuk menghasilkan bibit yang berasal dari
spora yang ditempelkan di tali, dan tali yang sudah ada bibit tersebut langsung
bisa digunakan untuk dibentangkan di laut. Dan, dalam melakukan kegiatan ini,
BBAP Takalar bekerjasama dengan pihak Australian Center for International
Agricultural (ACIAR), PT. Agarindo Bogatama dan Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Air Payau Maros (BPPBAP Maros).
Tujuan
Perekayasaan ini bertujuan untuk menghasilkan bibit Gracilaria sp. yang
berasal dari spora yang menempel pada tali polyethylene (PE).
151
BAHAN DAN METODE
Koleksi dan Aklimatisasi Gracilaria sp. Fertil
Sampel rumput laut fertil yang digunakan untuk eksperimen ini adalah
Gracilaria sp, Family Solieriaceae (Rhodophyta) yang sudah mengandung
spora (fertil) tipe carpospore (Carposporophyte) yang dibudidayakan di Desa
Laguruda, Kab. Takalar, Sulawesi Selatan.Rumput laut fertil yang diperoleh
kemudian diseleksi dan di tampung pada wadah stereofoam yang mengandung
air laut dan lalu dibawa ke laboratorium basah Balai Perikanan Budidaya Air
Payau (BPBAP) Takalar dengan suhu yang dipertahankan kurang lebih 25 oC.
Di Laboratorium rumput laut, BPBAP Takalar,sampel-sampel Gracilaria sp.
kemudian dipelihara sebagai tahap aklimatisasi di akuarium (60 × 40 × 40cm3)
yang mengandung air laut dengan salinitas 30 ppt, pH 8.0. Carposporophyte
dari Gracilaria sp. yang akan digunakan dapat dilihat pada Gb 1.
152
Pelepasan, Pemeliharaan Spora dan Pemeliharan Gracilaria sp. Muda
Carposporophyte dari Gracilaria sp. yang akan digunakan adalah
dengan ciri-ciri: thallus-nya bersih dari kotoran, warna agak kekuningan dan
kantong sporanya (cytocarp) berwarna coklat cerah dengan diameter yang
relatif lebih besar. Carposporophyte yang sudah diseleksi tadi kemudian
dipotong dengan panjang 1-1,5 cm yang mengandung 3-4 cytocarp. Setelah
dipotong, kemudian dimasukan ke wadah yang mengandung air laut steril dan
dipelihara hingga spora lepas dari cytocarp-nya. Untuk mengetahui salinitas
yang optimum dalam pelepasan spora maka dilakukan pengujian pelepasan
spora pada beberapa tingkat salinitas yaitu 10, 15, 20, 25, 30, 35, dan 37 ppt.
Pemeliharaan spora dilakukan dengan cara menempelkan spora secara
langsung di dasar cawan petri setelah pelepasan spora dan juga dilakukan
dengan cara memindahkan spora yang sudah lepas ke media pemeliharaan pada
cawan petri lainya.
Pengujian Tali Polyethylene (PE) Sebagai Tempat Menempel Spora dan
Berkembangannya Bibit
Setelah berhasil dalam proses pelepasan dan pemeliharaan spora dan
juga spora bisa berkembang menjadi thallus muda pada wadah-wadah kecil
seperti cawan petri, maka dilakukan pengujian untuk penggunaan tali
polyethylene (PE) sebagai substrat penempelan spora dan perkembangan bibit
yang dapat digunakan oleh petani untuk kegiatan budidaya di laut. Ujicoba
dilakukan pada husus pada tali rafia dan tali PE. Wadah yang digunakan adalah
beaker glas volume 1 liter lalu diisi dengan air laut steril dengan ketinggian 9-
10 cm dan didasarnya diletakan tali sebagai substrat tempat menempel spora.
Potongan-potongan carposporophyte digantung dalam media air laut steril
dengan kedalaman 2-3 cm dari atas permukaan, lalu dipelihara sampai sporanya
menempel dan berkembang di tali tersebut dan dicek dibawah mikroskop untuk
memastikan apakah sporannya bisa menempel atau tidak. Selanjutnya
dilakukan ujicoba tali PE pada wadah yang lebih besar yaitu akuarium volume
60 liter yang diisi air dengan ketinggian 7-8 cm dan didasar wadah diletakan
gulungan tali PE dengan panjang kurang lebih 30 m, lalu potongan-potongan
carposporophyte diletakan dalam air media (2-3 cm dari atas permukaan).
Seperti ujicoba pada wadah beaker glas, pemeliharaan dilakukan sampai
sporanya menempel dan berkembang di tali tersebut dan dilakukan pengecekan
dibawah mikroskop untuk memastikan apakah sporannya bisa menempel atau
tidak.
153
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada tahap awal percobaan pelepapasan dengan menggunakan wadah
beaker glas diperoleh hasil bahwa spora bisa lepas dari cytocarp-nya setelah
kurang lebih 12 jam, selanjutnya spora bisa lepas hingga hari ke-12, namun
seelah 7 hari pelepasan spora, selanjutanya jumlahnya relatif lebih sedikit.
Proses penempelan spora berlansung setelah antara 2-5 hari. Hasil pengujian
terhadap salainitas yang digunakan menunjukan bahwa salinitas yang baik
adalah antara 30-35 ppt. Spora yang sudah menempel selajutnya dapat
berkembang menjadi Gracilaria sp. muda. Proses perkebangan spora menjadi
Gracilaria muda dapat dilihat pada gambar berikut:
154
Gb 4. Bibit Gracilariasp.
(gracilaria muda) yang
berasal dari spora
(Carpospore) yang
dihasilkan di BBAP Gb 5. Bibit Gracilaria yang
Takalar (Umur 1,5 berkembng di wadah beaker
bln) glas dan di cawan petri yang
berasal dari spora (Umur 2
bln)
Pada tahap pengujian penggunaan tali PE dan tali rafia diperoleh hasil
bahwa spora bisa menempel dan berkembang di tali PE dan tali rapia sehingga
bisa digunakan sebagai sumber bibit. Proses perkebangan spora menjadi
Gracilaria muda dapat dilihat pada gambar berikut:
155
Gb 6. Wadah dan tali yang digunakan untuk
penempelan dan perkembangan spora
Gb 7. Spora yang menempel Gb 8. Spora yang menempel
pada tali rapia (umur 1 minggu) pada tali polyethilene (umur 1
minggu)
156
Pengujian penggunaan tali polyethylene (PE) pada wadah yang lebih besar
(akuarium 60 L) juga telah diperoleh bibit Gracilaria sp. yang berasal dari
spora (Gb. 11).
157
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Setelah melalui beberapa tahap percobaan, maka telah berhasil diperoleh bibit
Gracilaria sp. yang menempel di tali polyethylene (PE) yang berasal dari
spora.
Saran
Tahap selanjutnya, perlu dilakukan percobaan untuk bibit yang sudah
berkembang di tali PE di areal budidaya Gracilaria sp.
DAFTAR PUSTAKA
Lobban, C. S. and P. J. Harrison. 1997. Seaweeds Ecology and Physiology.
Cambridge University Press. Cambridge, UK, 384 pp.
158
PENAMBAHAN EGG STIMULATOR DALAM PAKAN UNTUK
MEMACU PEMATANGAN GONAD INDUK F1 IKAN BERONANG
LADA (Siganus guttatus)
*
Hamka , Syaichudin, Syamsul Bahri dan Jumriadi
ABSTRAK
PENDAHULUAN
159
Latar Belakang
Ikan beronang merupakan salah satu jenis ikan laut yang ekonomis
dan merupakan komoditas budidaya. Di daerah Indonesia dikenal sekitar 12
jenis ikan beronang. Ikan beronang (Siganus) mempunyai tubuh yang lebar
dan pipih. Mulutnya kecil karena beronang memang bukan ikan pemangsa
melainkan ikan pemakan tumbuhan (herbivora). Oleh sebab itu ia sering
ditemukan di lingkungan perairan yang banyak ditumbuhi lamun (sea grass)
dan alga yang lebat. Sebagai ikan untuk konsumsi, beronang makin banyak
penggemarnya. Ada tiga jenis yang dagingnya tebal yakni : Siganus guttatus,
Siganus javus dan Siganus canaliculatus (Nontji, 1987).
Akhir-akhir ini telah dicoba usaha untuk membudidayakannya.
Namun, sayangnya pemasokan benih ikan budidaya siap tebar dari usaha panti
benih belum ada sama sekali (khususnya untuk wilayah Indonesia Timur).
Benih ikan beronang yang digunakan masih mengandalkan dari usaha
penangkapan di alam. Usaha pembesaran dengan mengandalkan benih alam
memiliki beberapa kelemahan. Benih alam sangat tergantung pada musim dan
ketersediaannya terbatas. Bila penangkapan benih di alam terus-menerus
dilakukan tanpa pertimbangan kelestariannya akan berdampak negatif terhadap
populasi beronang di alam. Di pantai Utara Jawa, ikan beronang telah
mengalami species extinction (kepunahan spesies) karena penangkapan yang
terus-menerus tanpa mempertimbangkan kelestariannya dan hal ini tidak
tertutup kemungkinan juga akan terjadi pada daerah-daerah lain di Indonesia.
Kegiatan pembenihan ikan beronang sudah mulai dilakukan pada
tahun 1980-an. Ikan beronang (Siganus guttatus) yang dipelihara dalam bak-
bak atau tempat terkontrol memiliki potensi reproduksi cukup tinggi (Tridjoko
et al., 1985). Di Filiphina ikan beronang berhasil dipijahkan, kemudian
dipelihara di jaring apung (Bentuvia, 1971).
160
Pada umumnya kegiatan pembenihan sangat ditunjang dengan
ketersedian induk baik dari segi jumlah maupun segi ukuran. Ketersediaan
induk beronang (Siganus guttatus) hasil tangkapan alam pada beberapa wilayah
sudah cukup sulit ditemukan dalam keadaan hidup baik dari segi jumlah
maupun dari segi ukuran. Pada saat ini BBAP Takalar sudah mempunyai calon
induk F1 hasil dari kegiatan perekayasaan sebelumnya. Sehubungan dengan
hal tersebut maka dilakukan kegiatan pematangan gonad terhadap induk F1
dengan pemberian egg stimulator melalui pakan sehingga nantinya didapatkan
telur dari hasil pemijahan untuk dapat digunakan dalam kegiatan pembenihan.
161
Alat
1. Bak pemeliharaan
2. Peralatan lapangan
3. Sistem distribusi air
4. Sistem aerasi
Bahan
1. Induk Ikan Beronang (Siganus spp.)
2. Pakan buatan
3. Egg stimulant
4. Minyak cumi
5. Kaporit 60%
6. Obat-obatan
Prosedur Kerja
162
- Menyiapkan bak pemeliharaan. Bak dicuci dengan air tawar dan detergen
yang mana sebelumnya bak telah didesinfektan dengan kaporit 100 ppm.
- Menyiapan sistem aerasi pada bak pemeliharaan.
- Mengisi bak pemeliharaan dengan air laut yang langsung dipompa dari
laut yang sebelumnya telah melalui sistem filter fisik.
- Memasukkan induk kedalam bak pemeliharaan sebanyak 20 ekor.
- Pemberian pakan buatan yang telah ditambahkan egg stimulator
dilakukan sesuai dengan perlakuan.
- Setiap menjelang bulan gelap kedalam bak pemeliharaan dimasukkan
kolektor-kolektor telur sebagai media untuk melekatkan telur induk ikan
beronang.
- Pengamatan perkembangan gonad dilakukan sekali sebulan pada saat
bulan gelap.
Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran kualitas air pada
setiap perlakuan. Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas,
oksigen terlarut, pH dan amoniak.
Pengukuran Peubah
163
Pengukuran peubah dilakukan dengan mengamati pertumbuhan
mutlak, jumlah induk matang gonad, fekunditasdan daya tetas telur.
a. Pertumbuhan Mutlak
Pengukuran pertumbuhan bobot biomas mutlak larva di hitung
berdasarkan rumus Effendie (1979) sebagai berikut :
W = Wt - Wo
Dimana :
kegiatan (gram).
kegiatan (gram).
c. Fekunditas
164
Penentuan jumlah total telur (fekunditas) dilakukan dengan metode
sampling. Sebanyak 5 buah waring persegi empat diletakkan pada
setiap sisi bagian bak. Jumlah total telur dihitung dengan mengkonversi
jumlah telur yang menempel pada waring terhadap total luas bak.
Perkembangan Gonad
165
sebagai perekat, kemudian diaduk rata dan dikeringanginkan. Setelah itu
disimpan dalam wadah tertutup dan dimasukkan dalam freezer.
Perkembangan Gonad
Kode Bak
SIKLUS I SIKLUS II SIKLUS III SIKLUS IV
♂ - - 2 2
A ♀ - - - 1
K 20 20 18 17
♂ - 1 5 5
B ♀ - 2 3 4
K 20 17 15 11
♂ - 2 3 6
C ♀ - 2 2 4
K 20 16 15 10
166
Pada tabel di atas terlihat bahwa pada pengamatan bulan pertama
induk belum ada yang berkembang gonadnya baik jantan maupun betina.
Induk baru mulai berkembang gonadnya pada bulan ke dua pemeliharaan
yaitu untuk pada bak Bsebanyak 3 ekor (1 ekor jantan dan 2 ekor betina)dan
17 ekor masih kosong; pada bak C yang berkembang gonadnya 4 ekor (2
ekor jantan dan 2 ekor betina) dan 16 ekor kosong, sedangkan pada Bak A
sampai bulan ke-dua belum ada yang berkembang gonadnya.
Pada akhir pengamatan jumlah induk yang matang gonad pada bak
pemeliharaan dengan penambahan egg stimulator (Bak B = 9 ek dan Bak C =
10 ek) lebih banyak dibandingkan dengan tanpa penambahan egg stimulator
(Bak A = 3 ek). Untuk lebih jelasnya perkembangan gonad induk ikan
beronang secara keseluruhan pada setiap waktu pengamatan dapat dilihat
pada grafik di bawah ini :
167
12
10
0
SIKLUS I SIKLUS II SIKLUS III SIKLUS IV
A B C
Pada kegiatan ini induk mulai memijah pada pengamatan bulan ke dua yaitu
pada BakB dan Bak C. Sedangkan pada bak A belum ada induk yang
mengeluarkan telurnya. Selanjutnya pada pengamatan bulan ke empat induk
pada semua bak perlakuan bertelur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 3.
168
Tabel 3. Data Pemijahan Induk F1 Ikan Beronang pada Bak
A - - - - 380.000 - 420.000 20
169
Berdasarkan pada Tabel 3, terlihat bahwa pada bulan pertama dan ke
dua belum ada induk yang memijah. Pada bulan ke dua sudah ada induk
memijah yaitu pada BakB dan Bak C sedangkan pada Bak A belum ada induk
yang memijah. Adapun jumlah telur yang dihasilkan pada Bak B (248.000 butir
dengan HR 32%) dan pada bak C (266.000 butir dengan HR 35%). Kemudian
pada pengamatan bulan ke tiga induk pada semua bak pemeliharaan sudah
mengeluarkan telur. Adapun jumlah telur yang dihasilkan pada Bak A
(380.000 butirdengan HR 0,00%), Bak (915.000 butir dengan HR 75%), dan
pada Bak C (930.000 butir dengan HR 74%). Selanjutnya pada pengamatan
bulan ke empat jumlah telur yang dihasilkan pada semua bak pemeliharaan
semakin meningkat. Adapun jumlah telur yang dihasilkan pada pengamatan
bulan keempat adalah Bak A (420.000 butir dengan HR 20%); Bak B (1.570.000
butir dengan HR 76%); dan Bak C (1.580.000 butir dengan HR 78%).
Jumlah telur yang dihasilkan antara Bak B dengan Bak C pada setiap
waktu pengamatan tidak terlalu berbeda secara signifikan, namun demikian
berbeda secara signifikan dengan jumlah telur yang dihasilkan pada Bak
A.Tingginya jumlah telur yang dihasilkan pada Bak B dan Bak C dibandingkan
dengan Bak A disebabkan karena jumlah induk yang matang gonad pada Bak B
dan Bak C jauh lebih banyak dibandingkan dari Bak A, selain itu juga diduga
sebagai efek adanya pemberian egg stimulator pada kedua pemeliharaan
tersebut. Secara grafik jumlah telur yang dihasilkan setiap bak pemeliharaan
pada waktu pengamatan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2.
170
1600000
1400000
1200000
1000000
800000
600000
400000
200000
0
SIKLUS I SIKLUS II SIKLUS III SIKLUS IV
A B C
171
Tabel 4. Hasil Pengamatan Tingkat Kelangsungan Hidup Induk F1
Ikan Beronang Lada Selama Perlakuan.
Kualitas Air
172
pH, oksigen terlarut dan amoniak. Nilai kisaran parameter kualitas air dapat
dilihat pada Tabel 5.
174
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Basyari, A., 1989. Biologi dan Budidaya Ikan Beronang Siganus spp.
Wicara/Seminar Pemanfaatan Sumberdaya Pantai/Laut. Sub Balai
Penelitian Budidaya Pantai Bojonegara, Serang Bojonegara, 12 – 13
April 1988. pp 1-20.
Bryan, P.G. and B.B. Madraisau, 1977. Larval Rearing and Development of
Siganus lineatus (Piscea : Siganidae) from Hatching Through
Metamorphosis Aquaculture 10 : 243 – 252.
Gundemann, N., D.M. Popper and Lichtowich, 1983. Biology and life cycle of
Siganus vermiculatus (Siganidae, Pisces). Pacifik Science, 37 (2) : 165.
175
Effendie, M.L. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Jakarta.
Hal. 92 – 100.
176
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN BAWAL
BINTANG (Trachinotus blochii) DI KERAMBA JARING APUNG GUNA
MENDUKUNG PROGRAM INDUSTRIALISASI PERIKANAN
BUDIDAYA
ABSTRAK
Ikan Bawal Bintang (Trachinotus blochii) saat ini telah banyak mendapat
tempat dan menjadi primadona baru di hati masyarakat. Karateristik ikan
Bawal Bintang yang memiliki pertumbuhan cepat, daya adaptasi tinggi, dan
mudah dibudidayakan menjadikan ikan ini memiliki potensi dan peluang besar
untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan pasar domestic dan
internasional.
Beberapa hal yang harus menjadi perhatian dalam proses budidaya ikan Bawal
Bintang di KJA adalah meliputi wadah pemeliharaan, penebaran benih,
pemberian pakan, pemilahan ukuran, pengamatan pertumbuhan dan
kelulushidupan, pengendalian hama dan penyakit ikan serta pemanenan. Wadah
pemeliharaan pada tahap pendedran mengunakan waring ukuran 3X1X1,5 m3,
kemudian tahap penggelondongan mengunakan jarring ¾ inch dengan ukuran
3X3X3m3, sedangkan tahap pembesaran dilakukan dengan mengunakan jarring
1,5 inch dengan ukuran 3X3X3m3. Penebaran dilakukan pada benih berukuran
5 cm dengan padat tebar 40-50 ekor/m3. Pemberian pakan dilakukan
menggunakan pellet dengan kandungan protein 37% disertai pemberian
tambahan suplemen protein rekombinan pada pakan dengan dosis 5 mg/kg
pakan. Adapun pemberian pakan pellet dilakukan dengan memperhatikan 2
tahapan yaitu untuk ikan dengan ukuran < 100 gram diberikan pakan dengan
dosis 7 % dari berat total ikan sedangkan ikan dengan ukuran > 100 gram
diberikan pakan dengan dosis 4-3% dari berat total ikan. Pemilahan ukuran
177
ikan < 50 gram dilakukan setiap 2 minggu sekali dan ketika telah mencapai
ukuran > 50 gram dilakukan setiap sebulan sekali. Pengambilan data untuk
pemantauan terhadap pertumbuhan dan tingkat kelulushidupan dilakukan setiap
sebulan sekali. Pengendalian kesehatan dan lingkungan dilakukan dengan
pemantauan kondisi kualitas air secara priodik serta melakukan pengantian dan
pencucian jaring secara berkala setiap sebulan sekali diikuti dengan proses
perendaman ikan kedalam air tawar. Selama pemeliharaan dengan penambahan
protein rekombinan 5.5- 6 bulan diperoleh hasil pertumbuhan dari berat awal
10,20 gr menjadi 459,48 gr, dengan FCR 1,86 dan tingkat kelulus hidupan yang
dihasilkan sebesar 93,84 %. Dari hasil analisa usaha pembesaran ikan Bawal
Bintang di Keramba jaring Apung HDPE (4x4m)sebanyak 4 petak (satu unit),
dengan lama pemeliharaan 6-7 bulan dapat diperoleh keuntungan Rp.
57.000.000 dengan asumsi sebagai berikut : Ukuran benih tebar 7-8 cm, padat
tebar 2500 ekor/petak (10.000 ekor/unit) , SR 80%(produksi sebanyak 8000
ekor) ukuran jual 500 gram , FCR 1:2 ,harga jual Rp. 60.000. Dari hasil analisa
usaha ini BEP (Biaya operasional akan tercapai pada produksi minimal 3.050
kg.
178
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan bawal bintang (Trachinotus blochii, Lacepede) telah menjadi
salah satu komoditas budidaya laut yang diminati khususnya di wilayah
Kepulauan Riau, bahkan menjadi ikon daerah ini. Ikan ini merupakan salah satu
spesies yang sangat populer dibudidayakan, karena selain dagingnya lezat,
pertumbuhannya cepat dan mudah untuk dibudidayakan sehingga menyebabkan
industri pembenihan dan budidaya berkembang pesat (Anonimus, 2007).
Teknologi pembesaran ikan-ikan laut semakin berkembang dengan
adanya komoditas baru, baik melalui hybrid maupun introduksi dari Negara
lain. Salah satu komoditas baru adalah Ikan Bawal Bintang (Trachinotus
blochii. Lacepede)atau yang dikenal dengan merek dagang Silver Pompano
mulai mendapat tempat di hati masyarakat. Bawal Bintang merupakan ikan
introduksi dari Taiwan yang sudah dikuasai teknologinya baik pembenihan
maupun pembesarannya di Balai Budidaya Laut Batam, dan merupakan salah
satu jenis ikan yang mempunyai prospek pemasaran yang cukup bagus.
Penguasaan teknologi produksi benih secara massal dan teknologi
pembesarannya yang relatif mudah merupakan salah satu tahap menuju
budidaya ikan sebagai suatu usaha industri yang mendatangkan devisa negara
dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Mengingat spesies ini masih baru,
maka diperlukan langkah-langkah pengembangan usaha budidayanya di
masyarakat. Adapun kelebihan dan keunggulan dari komoditas ikan bawal
bintang antara lain : Teknologi budidaya sudah tersedia, masa pemeliharaan di
karamba jaring apung cepat, ukuran tebar benih 5 cm – 7 cm dibutuhkan waktu
5 – 6 bulan untuk mencapai ukuran konsumsi 400 gram – 500 gram, adaptif
terhadapa berbagai jenis pakan, tahan terhadap penyakit dan tidak bersifat
kanibalisme, mampu hidup dalam kondisi yang padat di keramba jaring apung,
benih tersedia, dan pasar terbuka luas.
Salah satu faktor untuk meningkatkan pertumbuhan dalam budidaya
ikan bawal bintang adalah dengan penambahan suplemen berupa protein
rekombinan dimana dengan penambahan ini selain dapat meningkatkan
pertumbuhan juga dapat meningkatkan SR dan menekan FCR serta dapat
memperpendek waktu panen.
179
Tujuan
Adapun tujuan yang diharapkan dari kegiatan ini adalah untuk
meningkatkan penguasaan teknologi produksi ikan Bawal Bintang secara
missal oleh masyarakat dan dapat menjadi salah satu solusi meningkatkan
pertumbuhan ikan budidaya dalam upaya peningkatan efisiensi produksi.
Pemilihan Lokasi
Sebelum kegiatan budidaya dilakukan terlebih dahulu diadakan
pemilihan lolkasi. Pemilihan lokasi yang tepat akan menentukan keberhasilan
usaha budidaya ikan bawal bintang. Secara umum lokasi yang baik untuk
kegiatan usaha budidya ikan di laut adalah daerah perairan teluk, lagoon dan
perairan pantai yang terletak diantara dua buah pulau (selat). Beberapa
persyaratan teknis yang harus di penuhi untuk lokasi budidaya ikan Bawal
Bintang di laut meliputi : Perairan pantai/ laut yang terlindung dari angin dan
gelombang, Kedalaman air yang baik untuk pertumbuhan ikan kakap putih
berkisar antara 5 ~ 15 meter, pergerakan air yang cukup baik dengan kecepatan
arus 20-40 cm/detik, Kadar garam 29 ~ 32 ppt, suhu air 28 ~ 32 0 C dan
oksigen terlarut 5,0 ~ 7,0 ppm, benih mudah diperoleh, bebas dari pencemaran
dan mudah dijangkau,Dekat Sarana Dan Prasarana Transportasi, dan keamanan
180
Persiapan KJA dan jaring
Penebaran benih
Aklimatisasi
Padat tebar
Pemeliharaan ikan
Pakan
vaksin
Pergantian Jaring
Panen
Sumber benih
Wadah Pemeliharaan
Penebaran Benih
Benih Bawal Bintang berasal dari hasil pembenihan (Hatchrey) BBL
Batam. Ukuran benih Bawal Bintang yang di tebar di KJA adalah 5-7 cm.
Benih yang baru turun dari hatchery di lakukan aklimatisasi dan diadaptasikan
dulu dengan kondisi lingkungan yang baru,terutama pengadaptasian terhadap
perbedaan suhu dan salinitas antara di hatchrey dengan kondisi air di tempat
pemeliharaan yaitu di KJA. Proses aklimatisasi yang dilakukan dengan cara
meletakan plastik ke dalam air dan dibiarkan selama 10 – 15 menit, kemudian
plastik packing dibuka dan perlahan-lahan air dari laut dimasukan kedalam
plastik, dan dibiarkan benih keluar dengan sendirinya.
182
Tabel 2. Padat penebaran Ikan bawal Bintang
FASE UKURAN UKURAN PADAT TEBAR
PEMELIHARAAN TEBAR TEBAR
( EKOR/M3)
( GRAM) ( CM )
Penggelondongan 20 - 40 5-7 50-60
50 - 100 8 - 10 45-55
Pembesaran >100 - 40-50
183
Tabel. 3 Ukuran dan Dosis Pakan
Dosis
Ukuran Ukuran butiran Frekuensi
No (% berat biomass /
ikan (gr) (mm) (kali)
hari)
1 1 0,8 4 10
2 3 1 4 8
3 10 2 4 7
4 50 4 2 6
5 100 5 2 4
6 200 6 2 3
7 300 7-10 2 3
* Pemberian pakan : pemberian pakan sesuai dengan prosentasi berat
ikan.
184
Tabel. 4 Tindakan pencegahan dan pengobatan penyakit pada ikan bawal
bintang
No Jenis bahan Dosis Cara penggunaan
185
500 FCR
400 2.300
2.200
300 2.100
rgh 2.000
200 1.900
kontrol 1.800 FCR
100 1.700
1.600
0
Δw sr
Pemanenan
Rangkaian akhir dari kegiatan budidaya ikan yang berorientasi pasar
adalah panen dan pengangkutan. Kegiatan panen dan pengangkutan ini tidak
kalah pentingnya dengan kegiatan lainnya, karena kesalahan dan keteledoran
dalam pemanenan dan pengangkutan bisa berakibat fatal dan akhirnya target
produksi tidak tercapai. Mengingat ikan yang akan angkut dalam keadaan
hidup sehingga penanganannya pun harus tepat, baik waktu, cara maupun
bahan yang diperlukan. Ukuran panen untuk ikan Bawal Bintang di KJA adalah
400 - 500 gram.
Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari karena pada
saat tersebut suhu relatif rendah. Dengan suhu rendah maka diharapkan dapat
mengurangi stress selama pemanenan. Penggunaan alat panen yang benar
sangat menentukan mutu ikan yang dipanen. Alat panen yang digunakan
sebaiknya berupa serok terbuat dari bahan jaring yang halus. Serok yang kasar
dapat menimbulkan luka pada ikan sehingga dapat menyebabkan ikan stress
dan mudah terserang penyakit. Untuk pemanenan ikan Bawal Bintang
sebaiknya tidak diberi pakan atau dipuasakan terlebih dahulu selama 12 - 48
jam sebelum dipanen. Adapun langkah langkah dalam pemanenan yaitu : 1)
Melepaskan (membuka) Pemberat disetiap sudut jaring, 2). Tarik jaring
perlahan-lahan dengan mengunakan kayu sebagai pembatas sehingga ikan
186
terkumpul pada sudut/bagian, 3). Perlahan-lahan ikan diserok dengan
mengunakan serokan dan kemudian ditimbang bobotnya.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jendral Perikanan 1982 - Petunjuk teknis budidaya laut DIT- JEN
PERIKANAN, Jakarta : 24 hal.
187
Hermawan, T.; Syamsul, A.; M. Hanafi; M. Kadari. 2005. Preliminary study on
seed production of silver pompano (Trachinotus blochii, Lacepede) in
Regional Center for Mariculture Development Batam. Paper on World
Aquaculture Summit. Bali, July 9-13 2005
188
PENGGUNAAN NANNOCHLOROPSIS GEL DALAM
PEMELIHARAAN LARVA IKAN BERONANG(Siganus guttatus)
ABSTRAK
189
PENDAHULUAN
Latar Belakang
TINJAUAN PUSTAKA
192
Perkembangan Larva
Larva yang baru menetas bersifat pasif karena mulut dan matanya
belum terbuka, sehingga pergerakan tergantung pada arus air. Larva
membawa cadangan makanan berupa kuning telur dan gelembung minyak.
Ukuran cadangan kuning telur tergantung pada jenis ikan, pada ikan kerapu
cenderung berada lebih jauh dari bagian kepala atau lebih dekat kearah bagian
belakang. Larva yang baru menetas terlihat transparan, melayang-layang dan
gerakannya tidak aktif serta tampak kuning telurnya (Sunyoto dan Mustahal,
2000).
Kualitas Air
Kualitas air media pemeliharaan sangat berperan dalam menunjang
keberhasilan produksi benih larva beronang. Kualitas air yang berperan
terhadap kelangsungan hidup pada pertumbuhan ikan kerapu macan meliputi
suhu air, oksigen terlarut, kadar garam, pH air, ammonia dan nitrit.
Kelarutan oksigen merupakan faktor lingkungan yang terpenting bagi
pertumbuhan ikan. Kandungan oksigen yang rendah dapat menyebabkan ikan
kehilangan nafsu makan sehingga mudah terserang penyakit, pertumbuhannya
terhambat bahkan menyebabkan kematian. Biota air membutuhkan oksigen
sebagai penunjang kebutuhan lingkungan bagi species tertentu dan kebutuhan
konsumtif yang dipengaruhi oleh kebutuhan metabolisme.
193
BAHAN DAN METODOLOGI
Prosedur Kerja
- Menyiapkan 4 buah bak beton. Bak dicuci dengan air tawar dan detergen
yang mana sebelumnya bak telah didesinfektan dengan kaporit 100 ppm
- Menyiapkan sistem aerasi pada masing-masing bak pemeliharaan.
- Mengisi bak pemeliharaan dengan air laut yang telah melalui sand filter
- Memasukkan larva ikan beronang dengan kepadatan 10 ekor/ltr
- Pemberian pakan berupa trocopor tiram dan brachionus pada masing-
masing bak pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan.
- Kegiatan ini dilakukan selama empat siklus.
Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran kualitas air pada
setiap perlakuan. Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas,
oksigen terlarut, pH dan amoniak.
Pengukuran Peubah
194
Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah tingkat kelangsungan
hidup (SR) pada saat larva berumur 5 hari (D5); berumur 15 hari (D15) dan
pada saat berumur 30 hari (D30).
SR = (Nt/No) x 100%
Dimana :
195
Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor)
Kode Bak
Siklus
A B C D
I - ++ ++ +++
II - +++ ++ ++
III + +++ +++ ++
IV + ++ +++ +++
196
Pada pemeliharaan siklus III jumlah larva yang hidup untuk mencapai
hari keempatpada masing-masing bak pemeliharaan adalah untuk Bak A
(jumlah larva dalam kategori sedikit); pada Bak B (jumlah larva dalam kategori
banyak), Bak C (jumlah larva dalam kategori banyak)dan Bak D (jumlah larva
dalam kategori sedang). Pada pengamatan siklus IV jumlah larva yang hidup
pada Bak A (jumlah larva dalam kategori sedikit); pada Bak B (jumlah larva
dalam kategori sedang), pada Bak C (jumlah larva dalam kategori banyak)pada
dan Bak D (jumlah larva dalam kategori banyak). Dengan masih banyaknya
larva yang bertahan sampai hari keempat pada Bak B (10 ppm nanno gel) dan
Bak C (15 ppm nanno gel) menunjukkan bahwa pemberian nanno gel dengan
kepadatan 10 – 15 ppm ke dalam air media pemeliharaan sebagai subsitusi
Nannochloropsis kultur massal dapat mempertahankan kelangsungan hidup
dalam kategori jumlah larva sedang (++) sampai jumlah larva banyak (+++).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
SIKLUS I
SIKLUS II
SIKLUS III
SIKLUS IV
A B
197
Pada Gambar 1 terlihat bahwa pada perlakuan A jumlah larva yang
mampu bertahan hidup untuk mencapai D5 cukup rendah yaitu hanya dalam
jumlah kategori sedikit (0% - 15%), tingginya mortalitas yang didapatkan pada
Bak A untuk setiap siklus menunjukkan bahwa pemberian nanno gel dengan
kepadatan 5 ppm dalam bak pemeliharaan sangat kurang sehingga tidak mampu
mensubsitusi Nannochloropsis kultur skala massal. Dari hasil pengamatan di
bawah mikroskop menunjukkan bahwa larva yang berhasil bertahan hidup pada
perlakuan A isi lambungnya kosong. Indikasi ini mulai terlihat pada saat larva
berumur D5 dimana kondisi larva lemah dan tidak ada makanan yang ada
dalam isi lambung larva. Hal ini menunjukkan bahwa larva tidak mampu
mengkonsumsi rotifer yang diberikan pada saat larva berumur4 hari. Adanya
ketidak berhasilan larva untuk memangsa rotifer yang ada dalam bak
pemeliharaan diduga disebabkan karena ukuran rotifer masih lebih besar dari
bukaan mulut larva. Ketidak berhasilan larva dalam memangsa pakan yang ada
pada saat larva berumur 4 hari maka akan menyebabkan adanya kematian
massal pada saat larva tersebut berumur 5 hari, hal ini disebabkan karena
gelembung minyak yang merupakan energi untuk larva pada saat D5 telah
habis sehingga tidak ada lagi sumber energi dalam tubuh larva yang dapat
digunakan untuk bertahan hidup. Hal ini sesuai pernyataan Prastowo, B.W.
(1999) bahwa adanya kegagalan dalam kegiatan pembenihan beronang
disebabkan masih rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada masa transisi
dari fase endogenous ke fase eksogenous feeding, dimana pada saat itu larva
tidak dapat memanfaatkan pakan yang tersedia dalam media pemeliharaannya
sehingga terjadi kematian massal.
Kode Bak
Siklus
A B C D
I - + + ++
II - ++ + +
III - ++ ++ +
IV - + ++ ++
198
Berdasarkan pada Tabel 1, terlihat bahwa pada pemeliharaan siklus I
sampai pada hari kesepuluhpada Bak A dan Bak C tidak ada lagi dijumpai
larva (mati total), sedangkan pada bak lainnya yaitu pada pada Bak B dan Bak
D masih ada dijumpai dalam kategori sedikit. Pada pengamatan siklus II
jumlah larva yang hidup pada Bak A juga sudah tidak ada, begitupulah pada
Bak C dan Bak D. Sedangkan pada bak B masih ditemukan adanya larva yang
bertahan hidup yaitu dalam kategori sedang.
Pada pengamatan siklus ketiga status D15 masih diketemukan adanya
larva yang bertahan hidup pada tiga bak pemeliharaan yaitu Bak B (jumlah
larva yang hidup dalam kategori sedang); Bak C (jumlah larva yang hidup
dalam kategori sedang); dan pada Bak D (jumlah larva yang hidup dalam
kategori sedikit).
Secara umum tingkat mortalitas pada semua bak pemeliharaan pada
saat larva memasuki umur 15 hari adalah cukup tinggi, dimana pada bak A dari
siklus I sampai siklus IV tidak dijumpai lagi larva yang mampu bertahan hidup.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.
40.0%
35.0%
30.0%
25.0%
20.0%
15.0%
10.0%
5.0%
0.0%
SIKLUS I
SIKLUS II
SIKLUS III
SIKLUS IV
A B
199
Dari Gambar 2 terlihat bahwa pada semua siklus pemeliharaan tidak
ada lagi dijumpai larva pada Bak A pada saat memasuki umur 15 hari.
Sementara pada bak-bak perlakuan yang lain masih dijumpai larva yang
mampu bertahan hidup dalam kategori jumlah larva yang
bervariasi.Berdasarkan hasil pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan
bahwa larva yang berhasil bertahan hidup terindentifikasi dimana lambung dari
larva tersebut dalam kondisi berisi makanan.Hal ini menunjukkan bahwa larva
ada mampu memanfaatkan pakan yang diberikan yang ada dalam air media
pemeliharaan. Adanya keberhasilan larva memanfaatkan pakan yang diberikan
mengakibatkan larva mempunyai cukup energi untuk bertumbuh dan
mempertahankan kelangsungan hidupya.
200
masih banyaknya yang perlu dikaji dan dikembangkan dalam pemeliharaan
larva ikan beronang lada.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.
2.0%
1.5%
1.0%
0.5%
0.0%
SIKLUS I
SIKLUS II
SIKLUS III
SIKLUS IV
A B
Kualitas Air
Kesimpulan
Saran
Untuk mendapatkan tingkat kelangsungan hidup larva yang lebih
tinggi pada fase endogenous ke fase eksogenous maka perlu dilakukan kajian
lebih lanjut terhadap beberapa jenis pakan alami dari zooplankton yang sesuai
202
dengan bukaan mulut larva pada saat larva pertama kali membutuhkan asupan
pakan dari luar.
DAFTAR PUSTAKA
Bryan, P.G. and B.B. Madraisau, 1977. Larval Rearing and Development of
Siganus lineatus (Piscea : Siganidae) from Hatching Through
Metamorphosis Aquaculture 10 : 243 – 252.
Gundemann, N., D.M. Popper and Lichtowich, 1983. Biology and life cycle of
Siganus vermiculatus (Siganidae, Pisces). Pacifik Science, 37 (2) : 165.
203
Taslihan, A., M. Murdjani, C. Purbomartono & E.Kusnendar. 2000. Bakteri
patogen penyebab penyakit mulut merah pada ikan kerapu tikus
(Cromileptes altivelis). J. Perikanan, II(2): 5762.
Todar, K., 2002. The Mechanism of Bacterial Pathogenecity. Todar’s Online
Textbook of Bacteriology. University of Wisconsin-Madison
Department of Bacteriology. P 1-18.
204
MENINGKATKAN KEUNTUNGAN USAHA BUDIDAYA LELE
SUPERINTENSIF TEKNOLOGI BIOFLOC DENGAN PEMANFAATAN
LIMBAHNYA UNTUK BUDIDAYA TUBIFEX
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Direktorat Perikanan Budidaya,
ABSTRAK
Budidaya lele superintensif memerlukan penanganan air yang
ketat karena tingginya beban limbah yang dihasilkan dari
banyaknya pakan yang digunakan dan ekskresi yang
dihasilkan oleh ikan. Untuk itu, air akan cepat menjadi bau
menyengat dan ikan akan cepat mabuk karena rendahnya
kualitas air. Penerapan teknologi biofloc memiliki keunggulan
untuk mengurangi bau karena adanya bakteri pengurai dan
makroagregat air yang dapat menjaga keseimbangan dan
kestabilan kualitas air karena kerja yang komprehensif dari
bakteri heterotroph dan mikroagregat air untuk memanfaatkan
beban limbah organic (ammonia dan karbon) menjadi bagian
yang lebih bermanfaat, yaitu protein microbial, sehingga ikan
diharapkan dapat tumbuh lebih baik. Namun demikian, pada
penerapan system biofloc, diperlukan pembuangan endapan
secara berkala untuk menjaga keseimbangan kualitas air.
Supaya tidak terbuang percuma, endapan tsb dapat digunakan
untuk budidaya tubifex. Endapan yang terbentuk dari system
biofloc memiliki tekstur yang sangat lembut dan mengandung
bahan organic tinggi yang sangat sesuai dengan kebutuhan
yang diperlukan untuk media cacing tubifex. Pada makalah ini
kegiatan budidaya lele superintensif dilakukan pada bak bulat
dengan konstruksi central drain ukuran 1m3, ukuran benih 8-
12cm, padat tebar 1500 ekor/m3, lama tanam 4 bulan dan
menggunakan teknologi biofloc. Rancang bangun kegiatan ini
adalah 5 bak untuk perlakuan biofloc dan 5 bak untuk control.
Sedangkan kegiatan budidaya tubifex dilakukan pada saluran
air yang ada dengan penanaman benih cacing tubifex hanya
sekali pada awal pemeliharaan. Hasil yang diperoleh dari
budiaya lele biofloc superintensif menghasilkan fcr 0,7
(dibandungkan control fcr=0,8) dan SR 90% (dibandingkan
205
control SR 75%). Berdasarkan hasil analisa usaha diperoleh
keuntungan lele biofloc Rp 506.625/siklus dibandingkan
control Rp 324.250/siklus. Apabila diperhitungkan antara
keduanya, budidaya biofloc dapat memberikan keuntungan
56% lebih tinggi dibandingkan kontrol. Dengan pemanfaatan
limbah biofloc untuk budidaya tubifex, akan menambah
keuntungan sebesar Rp 100.000,- per minggu dari produksi
cacing tubifex sebanyak 10 L/minggu (harga tubifex Rp
10.000,-/liter).
PENDAHULUAN
207
kembali, c) sterilisasi air dengan 15 ppm kaporit dan netralkan
dengan 15 ppm natrium tiosulfat
2) Persiapan benih
Meliputi aklimatisasi ikan sebelum perlakuan biofloc
3) Perlakuan Biofloc
Meliputi a) memasukkan probiotik Pro BBPBAT sebanyak 100
mL/m3 ke dalam media pemeliharaan, b) memasukkan kapur 30
ppm, c) memberikan molase setiap hari sebanyak 25% dari jumlah
pakan yang diberikan
4) Monitoring lingkungan.
Meliputi pengecekkan suhu dan pH setiap hari dan ammonia
seminggu sekali.
Kegiatan budidaya tubifex dilakukan pada saluran air yang ada dengan
penanaman benih cacing tubifex hanya sekali pada awal pemeliharaan
sebanyak 10 L.
208
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biofloc (g)
106.25
100 Kontrol (g)
61.25 66.67
50 39.29 47.5
3.73 7.80 11.6 17.83 29.74 34.33
11.33
3.73 7.13 6.24
0
0 0.4 1.0 1.7 2.7 3.2 3.7 4.7
Bulan ke-
209
Evaluasi Nilai FCR
2.00 1.030.77 0.790.590.710.640.85 0.77
FCR
0.00 Kontrol
1 2 3 4 Biofloc
Bulan ke-
Evaluasi SR (%)
90.20
95.00
90.00
85.00
75.40
SR (%)
80.00 Ряд1
75.00
70.00
65.00
Kontrol Biofloc
210
Gambar 4. Hasil Evaluasi Tingkat Kelangsungan Hidup
-20
-11
-30
-40 -29
-50
-60 -37
-70 -62
-80
-90
-100
-95
Pakan Komersil
211
Hasil Budidaya Cacing Tubifex pada Media Endapan Biofloc
Hasil pemeliharaan cacing tubifex dengan penanaman benih cacing
sebanyak 5 L dapat memberikan panen rutin sebesar 10 L/minggu. Dengan
demikian dapat diperoleh pemasukkan sebesar Rp 100.000,-/minggu atau Rp
400.000,-/bulan. Dibandingkan dengan keuntungan dari kegiatan budidaya lele,
hasil cacing tubifex relative lebih besar, yaitu budidaya lele biofloc Rp 84.438,-
/bulan dan budidaya lele control Rp 54.042,-/bulan.
KESIMPULAN
Usaha budidaya ikan lele biofloc dapat menjadi alternative pemecahan
masalah lingkungan dan bau pada budidaya lele intensif. Selain itu, budidaya
biofloc dapat mningkatkan produksi ikan dengan nilai FCR berkisar 0,7
(dibandingkan control 0,8) dan nilai SR biofloc 90% (dibandingkan control
75%). Hasil pengamatan kualitas air juga menunjukkan adanya perbaikan
dengan adanya penurunan nilai TAN pada media pemeliharaan biofloc. Hasil
analisa usaha menunjukkan budidaya lele biofloc dapat meningkatkan
keuntungan 56 % (dibandingkan control). Pemanfaatan endapan biofloc untuk
budidaya cacing tubifex dapat memberikan keuntungan lebih tinggi
dibandingkan hasil usaha budidaya ikan lele itu sendiri. Hal ini cukup menarik
karena selain pemanfaatan endapan dapat mengurangi limbah ke lingkungan,
juga dapat memberikan keuntungan dengan hasil yang lumayan.
212
DAFTAR PUSTAKA
213
DISEMINASI PENGGUNAAN VAKSIN: PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS BENIH LELE DI UNIT PEMBENIHAN SKALA
RUMAH TANGGA MELALUI
GERAKAN VAKSINASI IKAN (GERVIKAN)
ABSTRAK
Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer
di masyarakat. Permintaan ikan lele konsumsi yang tinggi mendorong
berkembangnya kegiatan budidaya lele di masyarakat. Serangan
penyakit bakteri Aeromonas hydrophila merupakan salah satu kendala
yang masih sering dihadapi pada usaha pembenihan lele sehingga
produkasi benih menurun. Serangan bakteri Aeromonas hydrophila bisa
mengakibatkan kematian ikan 90-100% (Gilda et al, 2001).
Penggunaan antibiotik dalam penanggulangan penyakit bakterial pada
budidaya ikan menimbulkan berbagai efek negatif antara lain timbulnya
resistensi bakteri terhadap antibiotik, terakumalasinya residu antibiotik
pada organisme budidaya dan dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan budidaya. Untuk menanggulangi dampak negatif
penggunaan antibotik tersebut, maka diperlukan alernatif yang aman.
Salah satunya adalah dengan vaksinasi. Vaksin tidak menimbulkan
dampak negatif berupa timbulnya jenis patogen yang resisten dan tidak
menyebabkan akumulasi dalam tubuh (Ellis, 1988; Pasaribu,1993).
Vaksin yang digunakan dalam diseminasi ini adalah vaksin hydrovac
(anti Aeromnonas hydrophila) produksi Balitkanwar Bogor. Diseminasi
dilakukan di Unit Pembenihan Rakyat (UPR) Iwan Tirta Mina Kencana
di Sukabumi. UPR ini sudah secara rutin menerapkan pogram vaksinasi
benih sejak tahun 2013 - 2014. Fasilitas UPR ini berupa bak terpal
ukuran 3x5 m sebanyak 12 buah dan ukuran 4x8 m sebanyak 2 buah.
Kegiatan pembenihan yang dilakukan mulai dari pendederan pertama
(P1) hinga pendederan ketiga (P3). Secara umum sintasan benih lele
yang divaksin berkisar 80-90%, lebih tinggi daripada benih vaksin yang
214
tidak divaksin yang berkisar 60-71%. Produksi benih yang divaksin
dalam 1 tahun mencapai sekitar 1.273.467 ekor benih (ukuran 4-6 cm,
5-7 cm). Sedangkan pada benih yang tidak divaksin, hasil produksi
benih dalam 1 tahun sekitar 713.653ekor (ukuran 4-6 cm, 5-7 cm).
Hasil analisa ekonomi menunjukkan bahwa penggunaan vaksin
hydrovac pada pembenihan lele mampu meningkatkan keuntungan.
PENDAHULUAN
Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer di
masyarakat. Meningkatnya permintaaan lele ukuran konsumsi untuk pasar lokal
semakin mendorong minat masyarakat untuk membudidayakan lele.
Meningkatnya kegiatan budidaya ikan lele di masyarakat, selain karena
permintaan yang tinggi juga didukung oleh beberapa faktor antara lain ikan
lele dapat dibudidayakan pada lahan dan sumber air terbatas, teknologi
budidaya sederhana, modal usaha relatif kecil dan pemasaran yang mudah.
Segmentasi usaha pada budidaya lele (usaha pembenihan, pendederan
maupun pembesaran) juga telah berjalan dengan baik dan mempunyai pasar
sendiri sehingga memudahkan masyarakat untuk memilh segmen usaha yang
diinginkan dengan mempertimbangkan modal, lahan dan lamanya waktu
usaha.
Pada usaha pembenihan lele masih terdapat kendala salah satunya
adalah serangan penyakit bakteri Aeromonas hydrophila. Menurut Gilda et al
(2001), serangan bakteri A. hydrophila bisa mengakibatkan kematian ikan 90-
100%. Serangan bakteri ini menyebabkan banyak kematian benih bahkan pada
tingkatan yang lebih parah terjadi kegagalan panen sehingga jumlah produksi
menurun. Dalam mengatasi serangan bakteri A. Hydrophila, para pembudaiaya
umumnya menggunakan antibiotik.
Penggunaan antibiotik dalam penanggulangan penyakit bakterial pada
budidaya ikan menimbulkan berbagai efek negatif antara lain timbulnya
resistensi bakteri terhadap antibiotik, terakumalasinya residu antibiotik pada
organisme budidaya dan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan budidaya.
Untuk menanggulangi dampak negatif penggunaan antibotik tersebut, maka
diperlukan alernatif yang aman. Salah satunya adalah dengan vaksinasi. Vaksin
tidak menimbulkan dampak negatif berupa timbulnya jenis patogen yang
215
resisten dan tidak menyebabkan akumulasi dalam tubuh (Ellis, 1988;
Pasaribu,1993).
Pada usaha pembenihan lele yang ada di masyarakat umumnya belum
menerapkan program vaksinasi benih, sehingga produksi benih yang
dihasilkan kulitasnya rendah.
Penggunaan vaksin A.hydrophila diaplikasikan pada pembesaran lele di
BBPBAT Sukabumi mulai tahun 2010. Penggunaan vaksin A. Hidrophila
terbukti mampu meningkatkan produksi, dimana sintasan lele yang divaksin A.
Hydrophila sebesar 86,67%, sedangkan pada ikan lele yang tidak divaksin
sebesar 52.53%. Sehubungan hal tersebut, maka perlu dilakukan diseminasi
penggunaan vaksin A. hydrophila pada masyarakat. Tujuan diseminasi
penggunaan vaksin Aeromonas hydrophila adalah untuk meningkatkan
produksi pada usaha pembenihan lele.
216
HASIL DAN PEMBAHASAN
Usaha Pembenihan Lele Skala Rumah tangga ini berdiri sejak tahun
2008. UPR ini merupakan binaan BBPBAT Sukabumi.
Penebaran pada pendederan sebanyak 150.000 ekor larva (umur 4-5 hari
setelah menetas) pada bak terpal 3x5m2. Setiap kali penebaran sebanyak 6 bak
terpal sehingga total penebaran dalam 1 siklus berkisar 900.000 ekor larva.
Hasil pendederan berupa benih berukuran 1-2 cm; Benih ini merupakan benih
yang digunakan untuk kegiatan vaksinasi. Penggunaan benih hasil pendederan
untuk kegiatan vaksinasi dikarenakan benih sudah berumur lebih dari 3
minggu sehingga organ tubuh ikan sudah siap untuk merespon kekebelan
tubuh. Menurut Kordi (2004), keberhasilan vaksinasi dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internal meliputi umur dan bobot ikan. Umur dan
bobot ikan harus diperhatikan karena organ tubuh ikan yang berfungsi
merespon kekebalan adalah setelah umur 2 minggu. Ikan yang berumur kurang
dari 2 minggu dan bobot tubuh kurang dari 1 gram belum mampu merespon
vaksin secara efektif dan efisien. Sedangkan faktor eksternal yang
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi adalah suhu, dimana suhu lingkungan
yang rendah menyebabkan produksi antibodi lambat.
Setelah dipanen, benih hasil pendederan ditampung dalam hapa. Benih
hasil pendederan, relatif masih seragam, berukuran 1-2 cm. Jumlah benih yang
dihasilkan berkisar 49.000-50.000ekor (penebaran 150.000; 3 x 5 m2);
Sintasan pemeliharan pendederan , umumnya berkisar 25%-38%. Benih hasil
pendederan disajikan pada Gambar di bawah ini:
217
Gambar Benih Hasil Pendederan
218
Tabel 2. Sintasan benih yang tidak divaksin pada P2 (%)
Penebaran (ekor) Panen (ekor) SR (%)
Siklus 1 243.000 145.800 60
Siklus 2 297.000 201.760 67.9
Siklus 3 324.000 226.700 69.9
Siklus 4 342.000 242.820 71
Siklus 5 315.000 217.200 68.9
Total 1.521.000 1.034.280
Rata-rata 67.5%
Tabel 2 menunjukkan bahwa sintasan pendederan 2 pada benih yang
tidak divaksinberkisar 60-71% (ukuran 2-3 cm) dengan rataan sebesar 67.5%.
Rata-rata 86,3
219
Tabel 4. Sintasan benih yang tidak divaksin pada P3 (%)
Penebaran (ekor) Panen (ekor) SR (%)
Siklus 1 145.800 96.957 66.5
Siklus 2 201.960 138.343 68.5
Siklus 3 226.800 158.760 70
Siklus 4 242.820 165.118 68
Siklus 5 217.350 154.319 71
Total 1.034.730 713.653
Rata-rata 68,8
220
Tabel 6. Pelaksanaan Diseminasi Vaksinasi tahun 2013
Di Dinas Perikanan. ± 10
2 Kab. Purwakarta
21 Maret orang
Di Dinas Perikanan. ± 10
3 Kab. Banjarnegara
18 Maret orang
Di Dinas Perikanan. ± 10
4 BBI Wanayasa
21 Maret orang
Di Dinas Perikanan. ± 20
11 Kab. Bandung
30 Mei orang
221
15 Propinsi Papua Barat 1 Oktober Di BBI Propinsi. ± 20 orang
Perlak. Parameter
KESIMPULAN
Program vaksinasi yang dilakukan di UPR mampu meningkatkan
produkstivitas sekitar 20-30%. Program vaksinasi mampu meningkatkan
keuntungan.
222
DAFTAR PUSTAKA
Ellis, A.E. 1988. Fish Vaccination. Academic Press Limited, London. 255 pp
Gilda, Lio Po, Lavilla C.R., Erlinda R, Lacierda C. 2001. Health Management
In Aquaculture. Southeast Asian Fisherie Development Center Iloilo,
Philipines.
Kordi, K.M. G.2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan . Rineka Cipta
dan Bina Adiaksara, Jakarta. 194 hal
Prosiding
223
FORMULASI PAKAN MURAH BERKUALITAS UNTUK
PEMBESARANLELE SANGKURIANG
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Kandungan nutrisi dan pemberian pakan memegang peranan penting untuk
kelangsungan usaha budidaya ikan air tawar. Penggunaan pakan yang efisien
dalam suatu usaha budidaya sangat penting karena pakan merupakan faktor
produksi yang paling mahal.
Permasalahan yang dihadapi para pembudidaya adalah mahalnya harga
pakan terus meningkat. Peningkatan harga ini dipicu oleh rendahnya suplai
bahan baku pakan terutama tepung ikan, tepung kedelai dan minyak ikan yang
diimpor dari luar. Negara eksportir utama mengalami penurunan produksi
tepung, tepung kedelai dan minyak ikan dikarenakan berbagai faktor yang
menghambat produksi, seperti iklim (el nino) dan bencana alam.
Salah satu alternatif pemecahannya masalah mahalnya harga pakan
dalam budidaya ikan air tawar adalah melakukan inovasi produk pakan secara
mandiri dengan memanfaatkan limbah organik dan bahan baku lokal. Hal
terpenting adalah bagaimana cara membuat pakan murah yang berkualitas.
Bahan yang digunakan pada kegiatan ini meliputi : Bahan baku limbah
organik dan bahan baku lokal, tepung ikan, vitamin miks, mineral mix, minyak
ikan, minyak sayur, bahan analisa pakan dan bahan aditif.Sedangkan alat yang
digunakan meliputi: mesin pellet, disc mill, mesin penyaring, alat pelindung
kerja, dan peralatan pengemas pakan.Bahan baku limbah organik yang
dimaksud adalah bahan baku yang berasal dari produk samping pengolahan
225
material organik seperti ampas tahu, singel cell protein, bungkil kelapa yang
dikeringkan kemudian ditepungkan dengan alat penepung. Sedangkan bahan
baku lokal yang dimaksud adalah bahan baku yang berasal dari produksi lokal
(tidak dari impor), seperti tepung singkong, tepung jagung, dan
sebagainya.Dibuat pakan formulasi dengan basis dasar pemakaian tepung
limbah organik dan tepung bahan baku lokal sebagai faktor dominan dari total
pakan formulasi. Pakan yang akan dibuat diusahakan mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain: kandungan protein yang dimilikinya diatas rata-rata
SNI untuk pakan induk lele, harga pakan yang murah, dan mempunyai rasio
kecernaan yang baik.
Ada tiga formula pakan yang akan dibuat pada pembudidayaan ikan
lele pembesaran, seperti pada Tabel 1 berikut:
226
Hasil analisa kandungan nutrisi terhadap pakan yang akan dibuat
ditampilkan pada Tabel 2 dibawah ini:
No Formula Protein Lemak serat Abu Air BETN
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
Pakan 29,91
1 30,74 9,45 7,31 15,58 7,01
Formula 1
Pakan 34,14
2 30,15 8,16 6,81 14,19 6,55
formula 2
Pakan 33,98
3 30,02 7,86 7,34 14,25 6,55
formula 3
Hasil uji pakan formulasi terhadap ikan lele pembesaran yang dipelihara selama
75 hari Tabel 3 dibawah ini:
227
Rataan 94,44 1,81 1,82
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
228
DAFTAR PUSTAKA
Lim, C., 1994. Future considerations in fish nutrition research. In: Feed for
small-scale aquaculture (Santiago et al., eds.). SEAFDEC-aQD, Iloilo,
Philippines.
Steffens, W. 1989. Principles Of Fish Nutrition. English Ed. England: Ellish
Horwood. Ltd.
Utomo. N.B. 2010. Teknologi Peningkatan Mutu Nutrisi Bahan Baku Lokal
dalam Formulasi Pakan Induk Ikan Air Tawar. Makalah dalam
pertemuan brodstock center ikan mas, nila dan lele di BBPBAT
Sukabumi.
229
INTENSIFIKASI BUDIDAYA PATIN (PANGASIANODON
HYPOPTHALMUS)
SKALA INDUSTRI DENGAN SISTEM KOLAM DALAM
ABSTRAK
PENDAHULUAN
231
BAHAN DAN METODE
Keterangan:
232
Untuk menghitung efisiensi pemberian pakan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus NRC (1977) sebagai berikut:
F
FCR x 100 %
(Wt D) Wo
Keterangan :
Nt
SR x 100 %
No
Keterangan:
233
HASIL DAN PEMBAHASAN
234
Data Pertambahan Panjang Ikan
(cm)
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7
235
Secara umum data kualitas air selama pemeliharaan dapat dipertahankan
pada kriteria standar budidaya hanya kadar salinitas air relatif fluktuatif karena
suplai air tawar terpengaruh pasang air laut. Salah satu solusi adalah penentuan
waktu ganti air dengan mempertimbangkan waktu surut terendah dari air laut.
Kedalaman air konstan pada kisaran 350 – 400 cm.
Dari table diatas dapat dilihat bahwa ikan patin siam di kolam dalam
pada perairan bersalinitas masih mampu untuk penyesuaian tekanan
osmoregulasi melalui penambahan energy, sehingga meningkatkan laju
konfersi pakan (FCR), Ikan juga dapat menyerap garam dibandingkan bahan
pencemar seperti amoniak dan nitrit, sehingga ikan dapat tumbuh normal.
Secara keseluruhan kelangsungan hidup ikan patin yang dipelihara di kolam
dalam perairan payau sesuai target yang diharapkan (±85%) yaitu sebesar
87,2% karena berasal dari benih kualitas baik dan kemampuan toleransi patin
siam yang baik terhadap salinitas.
236
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Widiyati, A., H. Djajasewaka dan E. Tarupay 1992. Pengaruh padat tebar induk
ikan patin (Pangasius pangasius) yang dipelihara di karamba jaring
apung. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar.
Balitkanwar Bogor. Hal. 201 – 204.
237
UPAYA MENINGKATKAN NILAI TAMBAH
LAHAN UGADI DAN UGAMEDI
MELALUI PENDEDERAN LELE SANGKURIANG DENGAN
MEMANFAATKAN WAKTU PENYELANG
ABSTRAK
Seiring meningkatnya permintaan lele konsumsi, secara
otomatis permintaan bibit ikut mengalami peningkatan. Saat
ini, pembudidaya cenderung menghendaki benih yang
berukuran 7-8 cm karena lebih adaptif pada lingkungan kolam
pembesaran. Sementara itu pendederan di kolam terpal dan
tembok sering bermasalah dengan banyaknya kematian pada
ukuran dibawah 7 cm. Kelangkaan bibit lele pada ukuran 7-8
cm akan berakibat ketidakstabilan harga lele konsumsi
nasional, hal ini sangat merugikan masyarakat pembudidaya
lele dan pelaku usaha lainnya. Inovasi ini adalah melakukan
pendederan di lahan sawah dengan memanfaatkan waktu
penyelang yaitu waktu pasca panen padi sampai penanaman
kembali.Dengan kisaran waktu 30-40 hari.Pendederan yang
dilakukan dengan menggunakan bibit ukuran 1-2 cm (larva
naik turun) dengan padat penebaran 250-500/m2, persentase
kelangsungan hidupnya 40-60%.Untuk menunjang kesetabilan
perairan pemberian probiotik dilakukan secara berkala.
Hasilpemeliharaanlele di sawahselama 40 hari, menghabiskan
pakan rata-rata 50-100 kg. Hasil pendapatan yang didapatkan
dalam 1000 m2 berkisar antara 7-25jt/periode atau 28-
100jt/tahun.
238
PENDAHULUAN
239
BAHAN DAN METODE
Bahan-bahan yaitu benih lele ukuran 1-2cm, pakan benih lele, probiotik,
imunostimulan alami, pupuk organic, kapur tohor. Sedangkan alat-alatnya yaitu
serok, waring, jala dan lain-lain. Desain dan kontruksi lahan sawah berupa
system caren (parit keliling) dengan bagian tengah (plataran) digunakan untuk
menanam padi.Caren tersebut berfungsi sebagai media hidup udang galah dan
leleserta untuk mempermudah pada saat panen. Lebar caren keliling 1,5 -2
mater dengan kedalaman 50 – 60 cm dari plataran padi.
Awal Panen
∑ SR
Wadah Jumlah Bobot Jumlah Bobot FCR SGR(%) %W
Pakan (%)
(ek) (kg) (ek) (kg)
sawah 1 500.000 75 260.000 1170 100 52.00 0.09 9.81 1460.00
sawah2 500.000 75 200.000 900 90 40.00 0.11 8.87 1100.00
sawah3 500.000 75 210.000 945 96 42.00 0.11 9.05 1160.00
RATAAN 500.0 75.0 223.3 1005.0 95.3 44.67 0.10 9.25 1240.00
Standar Deviasi (SD) 6.43 0.01 0.50 192.87
240
Pada table 1 pemeliharaan dilakukan 30-40 hari pada lahan sawah
1000m2 dengan padat tebar 500ekor/m2. Laju pertumbuhan harian (SGR) dari
lelerataan sebesar 9.25% dengan SR (Survival Rate) sebesar 44.67%.dan FCR
(Feed Convertion Ratio) sebesar 0.10%.
Tabel 2.hasil kegiatan pendederan dengan padat tebar 250 ekor/m2
Awal Panen
∑ SR
Wadah Jumlah Bobot Jumlah Bobot FCR SGR(%) %W
Pakan (%)
(ek) (kg) (ek) (kg)
sawah 1 250.000 37.5 150.000 675 70 60.00 0.11 10.32 1700.00
sawah2 250.000 37.5 139.000 625.5 50 55.60 0.09 10.05 1568.00
sawah3 250.000 37.5 148.000 666 80 59.20 0.13 10.27 1676.00
RATAAN 250.0 37.5 145.7 655.5 66.7 58.27 0.11 10.22 1648.00
Standar Deviasi (SD) 2.34 0.02 0.15 70.31
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
243
POTENSI INDIGENOUS BACTERIA PENGHASIL
ENZIM AMILASEPADA BUDIDAYA GURAME
(Osphronemus gouramy)
ABSTRAK
Gurame adalah salah satu ikan air tawar ekonomis penting. Sebagai
salah satu ikan herbivora, gurame membutuhkan porsi karbohidrat yang
cukup besar. Karbohidrat sebagai sumber energi diperlukan untuk
pertumbuhan dan penghematan penggunaan protein. Fungsi ini
menjadikan penggunaan pakan gurame kaya karbohidrat sebagai upaya
efisiensi penggunaan pakan berprotein tinggi. Energi yang dimiliki oleh
gurame sebagian besar digunakan untuk menghidrolisis karbohidrat.
Akibatnya pertumbuhan gurame menjadi lambat. Pemecahan
karbohidrat dapat dilakukan dengan lebih cepat menggunakan enzim
amilase. Sumber enzim amilase yang paling baik adalah dari bakteri
yang berasal dari habitat asli (indigenous bacteria), dalam hal ini berasal
dari usus gurame. Penelitian ini mengisolasi bakteri penghasil enzim
amilase dari usus gurame untuk mempercepat proses pemecahan
karbohidrat. Sebanyak 102 isolat berhasil diisolasi dari usus gurame dan
terdapat satu isolat (Burkholderia cepacia) yang mampu menghasilkan
enzim amilase serta memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam usaha
budidaya gurame.
PENDAHULUAN
Gurame (Osphronemus gouramy) termasuk ikan yang diunggulkan
dalam budidaya perikanan, terbukti dari kenaikan produksinya tahun 2012
244
sebesar 20.320 ton dari tahun 2011 (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,
2013). Harga gurame yang relatif lebih mahal dari ikan lainnya dan
pembudidayaannya yang mudah, membuat banyak petani ikan di Lampung
memilih gurame sebagai komoditas utama budidaya.
Budidaya gurame membutuhkan waktu cukup lama karena perubahan
kebiasaan makan sepanjang hidupnya. Gurame dewasa cenderung bersifat
herbivora (Aslamyah dkk, 2009) yang mampu memanfaatkan pakan dengan
kandungan karbohidrat relatif tinggi bahkan lebih tinggi dari ikan mas
(Mokoginta dkk, 2004). Penggunaan pakan dengan porsi karbohidrat yang
cukup besar memungkinkan gurame mendapatkan sumber energi untuk
pertumbuhan sekaligus penghematan penggunaan protein (Hemre et al., 2002).
Namun, hidrolisis (pemecahan) karbohidrat membutuhkan energi besar dan
waktu lama sehingga pertumbuhan gurame menjadi lambat. Hidrolisis
karbohidrat dapat dipercepat dengan menggunakan enzim pencernaan seperti
amilase. Enzim ini banyak ditemukan di saluran pencernaan banyak ikan
(Krogdahl et al., 2005) yang diproduksi oleh bakteri asli (indigenous bacteria)
saluran pencernaan (Suhita et al., 1997; Bairagi et al., 2004). Walaupun enzim
amilase juga dapat dihasilkan dari sumber lain seperti oleh bakteri termofil dari
sumber air panas (Natsir dkk, 2014), namun penggunaan indigenous bacteria
memiliki keuntungan lebih mudah diaplikasikan pada pencernaan gurame.
Penelitian ini mengkaji potensi indigenous bacteria dari usus gurame sebagai
kandidatpenghasil enzim amilase untuk meningkatkan kinerja saluran
pencernaan gurame menghidrolisis sumber karbohidrat pada pakan.
245
isolat yang memiliki karakter berbeda selanjutnya disimpan dalam media TSA
miring.
Bakteri hasil isolasi diuji kemampuannya dalam menghidrolisis karbohidrat
dengan mengkultur bakteri tersebut dalam media TSA yang telah ditambahkan
sumber karbohidrat yaitu tepung terigu dan tepung kanji yang masing-masing
sebanyak 10%. Media kultur pada setiap cawan petri dibagi menjadi 5 bagian.
Isolat yang akan diuji ke dalam media TSA diinokulasi dengan cara
menempatkan 1 ose biakan di bagian yang telah disediakan, kemudian inkubasi
selama 24 jam. Setelah 24 jam, jika terjadi proses hidrolisis pati akan terlihat
daerah atau zona terang di sekeliling koloni mikroba. Diameter zona terang
yang terbentuk kemudian diukur (Aslamyah dkk, 2009). Isolat yang
menghasilkan zona bening, kemudian diidentifikasi secara konvensional
melalui serangkaian uji morfologi dan biokimianya secara bertahap
berdasarkan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology(Holt, 1994).
Langkapura 1 (L1G1) A 9
2 (L1G2) B 10
3 (L1G3) C 5
2 (L2G2) E 4
3 (L2G3) F 4
Natar 1 (L3G1) G 10
2 (L3G2) H 8
3 (L3G3) I 7
246
Kemiling 1 (L4G1) J 4
2 (L4G2) K 6
3 (L4G3) L 9
2 (L5G2) N 5
3 (L5G3) O 5
JUMLAH 102
Gambar 1. Hasil uji aktivitas enzim amilase (a). terbentuk zona terang, (b).
tidak terbentuk zona terang.
247
Hanya satu isolat yang ditemukan menghasilkan zona terang pada penelitian ini
mengindikasikan hanya sedikit bakteri yang mempunyai potensi mampu
menghidrolisis karbohidrat. Namun demikian, ada kemungkinan isolat-isolat
bakteri dari saluran pencernaan gurame tersebut memiliki potensi-potensi yang
lain, seperti sebagai bakteri probiotik (Suwarsih, 2011; Yulvizar, 2013). Isolat
D2 yang ditemukan juga hanya mampu menghidrolisis substrat karbohidrat
berupa tepung terigu bukan tepung kanji. Beberapa penelitian membuktikan
bahwa penggunaan tepung kanji pada pakan justru menghambat aktivitas enzim
amilase untuk menghidrolisis tepung kanji (Spannhof and Plantikow, 1983;
Mokoginta et al., 2004). Jenis substrat karbohidrat yang dipilih isolat ini akan
mempengaruhi kecernaan pakan (Mokoginta dkk, 2003), sehingga dapat
mempengaruhi efektifitas penggunaan pakan gurame.
Isolat bakteri ini berbentuk bulat dan tergolong Gram negatif (Tabel 2).
Umumnya bakteri yang potensial menghasilkan enzim penghidrolisis
karbohidrat tergolong bakteri Gram negatif (Suhita et al., 1997). Uji katalase
positif menunjukkan bahwa bakteri tersebut memiliki enzim katalase sebagai
katalisator dalam mengurai hidrogen peroksida (H2O2) untuk menghasilkan
oksigen dan air. Bakteri ini juga menghasilkan enzim oksidase dan dapat
mereduksi nitrat menjadi nitrit tetapi tidak menghasilkan gas (Nursyirwani dan
Amolle, 2007). Hasil positif pada uji TSIA menunjukkan bahwa bakteri ini
dapat memfermentasikan tiga jenis gula, yaitu glukosa, laktosa, dan sukrosa.
Uji sitrat (Tabel 2) yang menunjukkan hasil positif berarti bakteri tersebut
menggunakan sitrat sebagai sumber karbonnya.
Tabel 2. Hasil uji morfologi dan biokimiawi bakteri penghasil enzim amilase
No. Jenis Uji Hasil Uji
1. Morfologi Bakteri :
Bentuk Bulat
Gram Negatif
Warna Oranye
2. Katalase +
3. Oksidase +
248
4. Oksidatif/Fermentatif Oksidatif
5. TSIA +
6. TIO Anaerob
7. LIA +
8. SIMON CITRAT +
9. MIO :
Motility +
Indol +
Ornithin -
KESIMPULAN
Isolat yang didapat dari penelitian ini sebanyak 102 isolat dan terdapat satu
isolat potensial (D2) yang diidentifikasi sebagai Burkholderia cepacia yang
mampu menghasilkan enzim amilase dengan substrat tepung terigu.
249
DAFTAR PUSTAKA
Aslamyah, S., Azis, H.Y., Sriwulan dan Wiryawan, K.G. 2009. Mikroflora
saluran pencernaan ikan gurame (Osphronemus gouramy Lacepede).
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan), 19(1): 66-73.
Bairagi, A., Sarkar Gosh, K., Sen, S.K. and Ray, A.K. 2004. Evaluation of the
nutritive value of Leucaena leucocephala leaf meal, inoculated with
fish intestinal bacteria Bacillus subtilis and Bacillus circulans in
formulated diets for rohu, Labeo rohita (Hamilton) fingerlings.
Aquaculture Research, 35: 436-446.
Devi, S.I., Somkuwar, B., Potshangbam, M. and Talukdar, N.C. 2012. Genetic
characterization of Burkholderia cepacia strain from Northeast India: A
potential bio-control agent. Advances in Bioscience and Biotechnology,
3: 1179-1188
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2013. Statistik Produksi Perikanan
Budidaya Tahun 2012. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Hemre, G.-I., Mommsen, T.P. and Krogdahl, A. 2002. Carbohydrates in fish
nutrition: effects on growth, glucose metabolism and hepatic enzymes.
Aquaculture Nutrition, 8: 175-194.
Holt, J.G. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology Ninth Edition.
Wiliams and Wilkins. Baltimore.
Kadir, J., Rahman, M.A., Mahmud, T.M.M., Rahman, R.A. and Begum, M.M.
2008. Extraction of antifungal substances from Burkholderia cepacia
with antibiotic activity against Colletotrichum gloeosporioides on
papaya (Carica papaya L.). Int. J. Agri. Biol, 10: 15-20.
Krogdahl, A., Hemre, G.-I. and Mommsen, T.P. 2005. Carbohydrates in fish
nutrition: digestion and absorption in postlarval stages. Aquaculture
Nutrition, 11: 103-122.
Lewaru, S., Riyantini, I. dan Mulyani, Y. 2012. Identifikasi bakteri indigenous
pereduksi logam berat Cr (VI) dengan metode molekuler di Sungai
Cikijing Rancaekek, Jawa Barat. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3(4):
81-92.
Mokoginta, I., Utomo, N.P., Akbar, A.D. dan Setiawati, M. 2003. Penggunaan
tepung singkong sebagai substitusi tepung terigu pada pakan ikan mas,
Cyprinus Carpio L. Jurnal Akuakultur Indonesia, 2(2): 79-83.
250
Mokoginta, I., Takeuchi, T., Hadadi, A. and Dedi, J. 2004. Different
capabilities in utilizing dietary carbohydrate by fingerling and subadult
giant gouramy Osphronemus gouramy. Fisheries Science, 70: 996-
1002.
Natsir, N.A.N., Natsir, H. dan Dali, S. 2014. Eksplorasi dan karakterisasi
bakteri termofil penghasil enzim amilase dari sumber air panas
Panggo, Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Biokimia UIN
Hidayatullah Jakarta, 22 Mei 2014.
Nursyirwani dan Amolle, K.C. 2007. Isolasi dan karakteristik bakteri
hidrokarbonoklastik dari Perairan Dumai dengan sekuen 16S rDNA.
Jurnal Ilmu Kelautan, 12(1): 12-17.
Radjasa, O.K., Sabdono, A. and Suharsono. 1999. The growth inhibition of
marine biofilm-forming bacteria by the crude extract of soft coral
Sinularia sp. Journal of Coastal Development, 2: 329-334.
Spannhof, L. and Plantikow, H. 1983. Studies on carbohydrate digestion in
rainbow trout. Aquaculture, 30: 95-108.
Suhita, H., Kawasaki, J. and Deguchi, Y. 1997. Production of amylase by the
intestinal microflora in cultured freshwater fish. Letters in Applied
Microbiology, 24: 105-108.
Sultan, M.Z., Park, K., Lee, S.Y., Park, J.K. and Varughese, T. 2008. Novel
oxidized derivatives of antifungal pyrrolnitrin from the bacterium
Burkholderia cepacia K87. J. Antibiot. 61(7): 420–425
Suwarsih. 2011. Isolasi dan identifikasi bakteri probiotik dari ikan kerapu
macan (Ephinephelus fuscogatus) dalam upaya efisiensi pakan ikan.
Prospektus, 1: 48-55.
Tomich, M., Herfst, C.A., Golden, J.W. and Mohr, C.D. 2002. Role of flagella
in host cell invasion by Burkholderia cepacia. Infection and Immunity,
70(4): 1799-1806.
Yulvizar, C. 2013. Isolasi dan identifikasi bakteri probiotik pada Rastrelliger
sp. isolation and identification of probiotic bacteria in Rastrelliger sp.
Biospecies, 6(2): 1-7.
251
252
KATA PENGANTAR
Perikanan budidaya dengan segala potensi pengembangan dan sumber
daya alam yang mendukung, memiliki peluang menjadi salah satu pilar dalam
Ketahanan Pangan dan Gizi dan sebagai penggerak perekonomian nasional.
Disamping itu, perikanan budidaya juga memiliki banyak peluang untuk
menyediakan lapangan usaha dan menyerap tenaga kerja dan mampu
diusahakan secara berkelanjutan. Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015, segala kelebihan yang dimiliki oleh sector perikanan
budidaya harus terus digali dan dikembangkan sehingga produk perikanan
budidaya mampu bersaing dengan kualitas yang tinggi dan jumlah yang
memenuhi kebutuhan pasar.
Untuk mendukung hal tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
menyelenggarakan kegiatan INDONESIAN AQUACULTURE (INDOAQUA)
2014 dengan tema “PERIKANAN BUDIDAYA UNTUK BISNIS DAN
KETAHANAN PANGAN” yang telah dilaksanakan pada tanggal 26 – 29
Agustus 2014 di Hotel Atlet Century (Seminar) dan di Parkir Timur Senayan
(Pameran)
INDOAQUA 2014, merupakan ajang yang diharapkan mampu menjadi
media komunikasi bagi pelaku perikanan budidaya melalui pengenalan
hasil-hasil perekayasaan teknologi, pameran dan temu bisnis di bidang
perikanan budidaya. Ada 6 (enam) kelompok seminar yang diselanggarakan
selama INDOAQUA 2014, yaitu (1) Kelompok Udang, (2) Kelompok Rumput
Laut, Kerapu, Baronang dan Bawal Bintang, (3) Kelompok Bandeng, Kakap,
Nila dan Sidat, (4) Kelompok Ikan Hias, Mutiara dan Abalone, (5) Kelompok
Catfish, Gurame, Mas dan Jelawat, (6) Kelompok Pendukung Akuakultur
(Lingkungan, Pakan, Probiotik, Penyakit dan Monitoring Minapolitan).
Prosiding ini berisi makalah lengkap materi seminar yang dilaksanakan
selama penyelenggaraan INDOAQUA 2014. Semoga prosiding ini, dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat pembudidaya dan seluruh pihak terkait
dengan perikanan budidaya, sehingga mampu mendorong pengembangan
perikanan budidaya yang berkelanjutan dan maju.
Penyusun
DAFTAR ISI
ABSTRACT
PENDAHULUAN
1 4 4
2 6 5
3 6 4
4 5 6
5 4 4
6 5 4
7 5 4
8 4 4
Total 39 35
Rerata 4,875 4,375
Pergantian air dilakukan setiap pagi sebanyak 200 – 300%, selain untuk
menjaga kualits air tetap optimal, hal ini dilakukan untuk merangsang proses
pemijahan pada induk.
Derajat pemijahan
Hasil pengamatan menunjukan bahwa induk yang diberi addititif
fermentatif lebih cepat memijah dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
Setelah 1 bulan pemeliharaan, induk yang diberi pakan additif fermentatif
sudah mulai bertelur. Induk-induk tersebut terus bertelur sampai 5 kali
peneluran selama satu bulan. Berbeda dengan induk yang diberi pakan komersil
(kontrol), sampai akhir pemeliharaan 2 bulan belum berhasil memijah
walaupun sudah dilakukan penyuntikan hormon.
Pakan
Variabel Additif fermentatif pakan
komersil
150
75
50
1 2 3 4 5
Derajat penetasan
Derajat penetasan meningkat menjadi 80-94% dibandingkan dengan
induk lama yang hanya sekitar 40-50 % (Ramelan, personal komunikasi).
200,000 90%
150,000 85%
100,000 80%
Derajat ovulasi Daya tetas
50,000 75%
0 70%
1 2 3 4 5
Hari ovulasi
Kualitas air
Pengamatan parameter kualitas air selama pemeliharaan masih dalam
kondisi optimal yaitu berkisar DO 5-7 ppm dan suhu air 28 – 30 C.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
Budidaya ikan nila telah berkembang semakin pesat, mulai dari sistem
berskala konvensional hingga intensif. Hal ini, menuntut adanya dukungan
teknologi untuk meningkatkan produktivitas budidaya ikan nila. Peningkatan
produktivitas dicapai melalui peningkatan biomassa panen atau pertumbuhan,
tingkat kelangsungan hidup dan persentase keuntungan yang tinggi.
Produktivitas perikanan budidaya dapat ditingkatkan secara efisien dan
signifikan melalui penerapan kombinasi dua atau lebih teknologi. Salah
satunya adalah penerapan produk teknologi yang dihasilkan BBPBAT
Sukabumi yaitu MinaGrow dan probiotik. MinaGrow merupakan suplemen
pemacu pertumbuhan yang bekerja sebagai stimulator agent bagi pertumbuhan
somatik ikan, sehingga dapat mempersingkat waktu pemeliharaan dan
meningkatkan produksi budidaya ikan. Sementara itu, probiotik sangat
berperan dalam pengendalian kualitas air media. Probiotik merupakan
mikroorganisme hidup (seperti bakteri Lactobacillus sp. dan Bacillus sp.) yang
sengaja diberikan dengan harapan dapat memberikan efek yang
menguntungkan bagi ikan/udang (FAO/WHO., 2001 dalam ISAPP., 2004).
Perpaduan antara MinaGrow dan probiotik diharapkan mampu meningkatkan
produktivitas budidaya ikan nila.
Analisis Statistik
Efektivitas pemberian MinaGrow dan probiotik pada pembesaran ikan
nila ditentukan berdasarkan parameter bobot tubuh ikan pada akhir penelitian,
biomassa, dan tingkat kelangsungan hidup. Data dianalisis menggunakan
statistika deskriptif.
Nilai dinyatakan dalam rataan ± simpangan baku. Huruf superskrip yang sama
di belakang nilai simpangan baku pada kolom yang sama menunjukkan nilai
yang berbeda nyata (p<0,05).
Gambar 2. Pertumbuhan panjang tubuh ikan nila yang telah diberi MinaGrow
dan Probiotik (garis biru) serta kontrol (garis merah)
Kondisi kualitas air pada kolam pembesaran ikan nila untuk parameter
suhu, pH, dan DO relatif rendah. Sedangkan, kandungan fosfat relatif tinggi,
dan lainnya masih dalam kisaran baku mutu (Tabel 3).
Tabel 3. Kondisi kualitas air pada kolam pembesaran ikan nila baik dengan
pemberian MinaGrow dan probiotik maupun kontrol.
No. Parameter Nilai Baku Mutu
1. Suhu (oC) 23,40 – 26,10 25 – 30
2. pH 4,72 – 7,20 6,50 – 8,50
3. DO (mg/L) 2,05 – 4,83 >4
4. CO2 (mg/L) 3,57 – 15,18 <12
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 15
5. Alkalinitas (mg/L) 48,00 – 75,11 50 – 300
6. NH3 (mg/L) 0,09 – 0,51 <1
7. NO2 (mg/L) 0,008 – 0,039 <0,06
8. PO4 (mg/L) 0,65 – 2,12 0,006 – 10
Analisis Usaha
Faktor penting dalam kegiatan produksi budidaya selain untuk
meningkatkan produksi perikanan, juga untuk meningkatkan keuntungan.
Penerapan MinaGrow dan probiotik dapat meningkatkan keuntungan
pembesaran ikan nila sebesar 527,8 % (Tabel 4).
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
Low of survival rate of milkfish larvae in BPBAP Ujung Batee’s hatchery still
become a main concern. The The suspicion was directed to feed and water
quality. Biochar, carbonized charcoal, was proven to be effective to improve
water and soil quality especially in agriculture. The experiment used biochar in
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 17
water to culture milkfish larvae and compared to control tank without biochar.
The eggs was stocked each 100.000 eggs for two tanks (biochar and control)
each 16 m2 (10 m3 as effective volume). Larva was reared until 25 days. Four
kg of biochar was placed at day 10th after first stocking eggs, divided into 4
points. Larva was fed with rotifer, formulated feed and Nannochloropsis sp.
Dissolved oxygen and temperature were measured everyday; whereas total
ammonia nitrogen (TAN), nitrite, Fe, alkalinity, total organic matter, total
bacterial count dan total vibrio count were measured once in 5 days. Survival
rate was calculated and analyzed with water quality condition. Result showed
that survival rate of biochar treatment had more survivors 47% than control.
However, the majority of water quality variables are the same in both
treatments. Higher density of biochar treatment larva produce more waste but
biochar can make it equal to low density larva. Green vibrio and alkalinity in
biochar are better than control. It implicitly means that biochar improve
denitrification and reduce pathogen.
PENDAHULUAN
Desain eksperimen
Eksperimen menggunakan dua perlakuan yakni pemberian biochar dan
non-biochar. Dua siklus pemeliharaan nener bandeng dijadikan sebagai
ulangan. Unit ulangan adalah bak semen berluas 4 x 4 m2 dengan volume 10
m3. Perlakuan biochar berisi 4 kg arang batok kelapa yang dibagi dalam 4
strimin. Pemberian arang dilakukan setelah benih berumur 10 hari. Setiap
bungkus biochar digantung di sudut bak. Sedangkan perlakuan non-biochar
dibiarkan tanpa pemberian arang.
Pemeliharaan bandeng
Telur ikan bandeng sebanyak 100.000 butir ditebar dalam tiap bak
bandeng. Hari ketiga ketika benih telah membuka mulut, Nannochloropsis dan
rotifer diberikan ke bak dengan kepadatan sekitar 100.000 sel/ml dan 10
ekor/ml untuk masing-masing bak. Pada hari ke-10 pakan serbuk diberikan
sebanyak 1 gram dua kali sehari. Hari berikutnya perlakuan biochar dimulai.
Penyiponan dilakukan setiap 5 hari sekali.
Pengamatan
Pada akhir penelitian dilakukan pencacahan untuk menghitung
kelangsungan hidup. Sepuluh sampel diambil dari tiap perlakuan untuk
pengukuran panjang badan. Setiap 5 hari sekali dilakukan pengukuran terhadap
TAN (total ammonia nitrogen), nitrit, besi, alkalinitas, bahan organic total, total
bacterial count dan total vibrio count (yellow dan green). Data dianalisis secara
deskriptif dengan MsExcel dan secara inferensial dengan SAS 9.
Kualitas Air
Bila dilihat dari pengukuran kualitas air, secara umum perlakuan biochar
belum dapat menunjukkan perbedaan secara statistik karena inkonsistensi hasil,
yang ditunjukkan dengan besarnya standar deviasi pada masing-masing
variabel. Namun demikian perbedaan ditunjukkan oleh nilai alkalinitas dan
total bakteri vibrio koloni green. Alkalinitas lebih tinggi pada biochar
(76.4+14.9 ppm) dibandingkan non-biochar (76+16 ppm). Sedangkan jumlah
koloni vibrio green pada perlakuan biochar (4+8.9 ppm) lebih rendah dari
perlakuan non biochar (8+8.37ppm).
Semakin padat ikan maka limbah kotoran dan pakan semakin banyak.
Kepadatan nener yang lebih tinggi pada perlakuan biochar tidak membuat
kualitas air pada biochar lebih buruk dibanding non-biochar. Ini berarti biochar
mampu menyerap limbah yang timbul lebih banyak dari jumlah biomassa nener
bandeng yang lebih banyak. Selain menyerap bahan organic biochar bagian luar
yang terkondisikan secara aerobic, gelap dan terlindung dari cahaya dapat
menjadi tempat bagi berlangsungnya nitrifikasi. Sedangkan, kondisi anaerobic
di bagian dalam biochar akan merangsang terjadinya denitrifikasi (Thies and
Rillig, 2008). Terjadinya denitrifikasi secara tersirat ditunjukkan oleh tingginya
alkalinitas. Denitrifikasi mengembalikan karbonat yang hilang dari proses
nitrifikasi sehingga meningkatkan kembali nilai alkalinitas (Crab et al., 2007).
Biochar menyerap racun yang dikeluarkan bakteri pathogen (Thies and
Rillig, 2008). Penurunan vibrio koloni hijau menunjukkan kemampuan biochar
untuk menekan bakteri pathogen, walaupun konsentrasi vibrio berkoloni hijau
belum berpotensi pathogen. Vibrio koloni hijau terkenal sebagai bakteri yang
sering menjangkiti hewan air (Lavilla-Pitogo et al., 1998).
Pertumbuhan
Perbedaan pertumbuhan antara biochar dan non biochar tidak berbeda
nyata, walaupun rata-rata cenderung meninggikan perlakuan non-biochar.
2.5
Pertumbuhan
2 panjang (cm)
1.5
1
0.5
1.85 1.55
0
Non-biochar Biochar
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 25
The low production of shrimp from farms in Aceh is caused by disease in
black tiger shrimp farming. In addition, the cultivation of milkfish is
limited to certain areas. Because of these limitations, coastal pond
farmers need to turn to other livelihoods. Through ACIAR project
FIS/2007/124 Diversification of smallholder coastal aquaculture in
Indonesia, Centre for Brackishwater Aquaculture Development Ujung
Batee has been introducing brackishwater tilapia aquaculture
production to ponds in Samalanga district and Lhokseumawe city. The
project originally used a pilot pond dissemination approach, but
technology adoption by farmers with this method was low. The project
then changed to a dempond approach and with the support of
production inputs to farmers. It appears that this method to enhances
the adoption of brackishwater tilapia culture by farmers in the area.
This approach was further modified to initiate seed production at
farmers level through the establishment of saline tilapia nurseries.
Tilapia nurseries have been established at four locations with number of
male broodstock 470 pcs and female broodstock 840 pcs. These
nurseries have produced a total of 1.918.900 pcs of tilapia seedstock,
which have been sold to farmers wishing to adopt brackishwater tilapia
culture. As many as 79 farmers are now growing out brackishwater
tilapia across 14 locations in seven districts / towns in Aceh. Through
this approach the dissemination is more effective, efficient and
sustainable. These business are now running independently, due to good
selling prices for brackishwater tilapia combined with relatively cheap
production costs.
PENDAHULUAN
Distribusi Induk
Setelah dilakukan penentuan lokasi dan calon pelaku kegiatan nursery
farm, dilakukan pengadaan calon induk ikan nila gesit dan sultan yang akan
dibagikan ke beberapa lokasi dengan jumlah induk dan perbandingan induk
jantan dan betina (tabel 1), walaupun berdasarkan refensi perbandingan induk
jantan dan betina 1:3.
Peningkatan Kapasitas
Untuk mencapai keberhasil produksi benih ikan nila salin di tiap lokasi
nursery farm, dalam upaya meningkatkan kapasitas pelaku nursery farm, BBAP
Ujung Batee menyediakan pelatihan teknis lapangan dengan tenaga ahli dari
BBBAP Sukabumi dan secara regular bantuan teknis didampingi oleh staff
BBAP Ujung batee yang berkompeten dibidangnya. Dengan beberapa topik
penting yang harus disampaikan dalam pelaksanaan kegiatan Diseminasi
teknologi pendekatan nursery farm tilapia salin yakni seleksi induk,
pemeliharaan induk, sistem perkawinan, metode panen larva, metode perawatan
larva, penggelondongan dan panen.
Secara regular BBAP Ujung Batee mendampingi secara teknis setiap 2
minggu sekali, melalui kunjungan lapangan tim teknis untuk meningkatkan
kapasitas pelaku (operator) nursery farm tilapia salin, bersamaan dengan
monitoring kemajuan dan evaluasi kegiatan untuk mengiventarisasi dan solusi
permasalahan yang dihadapi oleh pelaku nursery farm.
Analisis Data
Data yang diperoleh berdasarkan buku distribusi benih dari operator
nursery farm di rekapitulasi berdasar kabupaten dan kecamatan dengan
menggunakan komputer program excel dan dilakukan pengolahan peta
distribusi benih dengan menggunakan program GIS. Selanjutnya dilakukan
survey dampak kegiatan diseminasi teknologi melalui pendistribusian
quisioner, data yang diperoleh berdasarkan quisioner, dikompilasi dan
direkapitulasi dengan komputer program excel dan pengolahan data dengan
program SPSS versi 16.
Produksi Benih
Lokasi nursery farm Arongan Samalanga
Selama periode agustus sampai dengan Desember 2012, jumlah
produksi benih nila terjual sebanyak 242.000,- ekor benih, sedangkan periode
tahun 2013 sebanyak 165.800 ekor, dan memasuki Desember 2013 sampai
Februari 2014 (Bagan 1.), jumlah permintaan benih meningkat drastis, yang
300
250
200 Jumlah ribu (ribu ekor)
150
100
50
0
200
100
50
Bagan 4Jumlah Produksi Benih Nila Lokasi nursery farm Puloe Naleung, Jangka,
Bagan 5. Jumlah produksi benih nila lokasi nursery farm Kota Langsa, Periode
November 2012 sampai dengan Desember 2014.
Lokasi nursery farm Aceh Tamieng, dimulai kegiatan pada bulan November
tahun 2013, selama selama 5 bulan menghasilkan benih 337.000 ekor, dengan
puncak permintaan paling tinggi pada bulan maret 2014, yang masih
mengalami hujan, sehingga permintaan benih nila sangat tergantung pada
musim hujan, rincianjumlah penjualan benih selama periode November 2013
sampai dengan bulan Maret 2014 dapat dilihat pada Bagan 4. dibawah ini.
Harga benih adalah Rp.200-250 tergantung ukuran.
200
100
50
0
Nov 2013 Jan 2014 Febuari 2014 Maret 2014
Bagan 6. Jumlah produksi benih nila lokasi nursery farm Matang Seuping Aceh
Tamieng Periode November 2013 sampai dengan Maret 2014
Gambar 3. Peta distribusi benih dan adopsi budidaya nila salin dari Pulo Naleung
Jumlah
Jumlah produksi benih perlokasi nursery farm Produksi
benih (ekor)
Lokasi Pulo Naleng Jangka (Januari 2013 s/d April 2014) 581.600
Pekerja Mekanik
perikanan Listrik
8% 4%
Guru
4%
Pegawai
lainnya
Pembudidaya
8% perikanan
54%
Tukang
Bangunan
11%
Pedagang ikan
11%
Bagan 7 Persentase pekerjaan utama pembudidaya ikan nila salin yang mengadopsi
teknologi
Langsa
21%
Samalanga
20%
Konsumsi
lokal
Pasar ikan 12%
tradisional
23%
Pengumpul
ikan lokal
65%
12 Harga tinggi
10
Prices
profitable
low cost
easy to culture
fast growing
higher price
increasing productivity
good market
less diseases
no comment
lab-lab overgrowth
slow growth
low temperature
high salinity
flood
predator
diseases
stealing
no problem
no comment
Kesimpulan
1. Diseminasi teknologi melalui nursery farm dapat menjadi sebuah
pendekatan yang efektif dan efisien melalui penyediaan benih yang
berkualitas yang dapat meningkatkan garansi keberhasilan budidaya kepada
pembudidaya sehingga meningkatkan produksi perikanan yang mandiri dan
berkelanjutan.
2. Poin kunci diseminasi adalah : Bantuan teknis, fasilitasi yang cukup,
garansi kualitas benih, pembudidaya melakukan sendiri, and supervisi serta
recording.
3. Sebagai Opsi budidaya tambak selain udang dan bandeng.
4. Melalui nursery farm dapat memfasilitasi adopsi teknologi antar
pembudidaya dan pembelajaran oleh meraka sendiri sehingga lebih mandiri
dan berkelanjutan.
Saran
1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut dampak budidaya ikan nila
terhadap kualitas lingkungan.
2. Perlunya dilakukan adopsi pengembagan yang jumlahnya lokasinya dan
intesitas pendampingan yang lebih banyak terhadap pembudidaya ikan,
untuk mempercepat peningkatan produksi perikanan budidaya.
DAFTAR PUSTAKA
Romana-Eguia, M.R.R., Eguia, R.V., 1999. Growth of five Asian red tilapia
strains in saline environments. Aquaculture 173, 161–170.
Stickney, R.R., 1986. Tilapia Tolerance of Saline Waters: A Review. Progress.
Fish-Cult. 48, 161–167.
ABSTRACT
Water temperature affects the speed of a chemical reaction media both
outside and inside the body fluids of fish which are cold-blooded animals that
metabolism in the body depends on the temperature of its environment. large
fluctuations in water temperature will affect the metabolic system.
Eel can adapt to the temperature of 12-31 ° C but the eel (Anguilla
marmorata) requires an optimal temperature in aquaculture in order to
support the growth tends to be slow. One assumption of the slow growth of eel
is a low water temperature that can affect appetite and the potential emergence
of disease. This activity aims to increase the value of the temperature of the
water in the tub eel enlargement treatment. The water heater is needed on the
location of the source water is abundant but low temperature. Range of water
temperatures in BBAT Tatelu is 22-25 ° C.
Stages ofdesignbeginswithmakingthe systemblock diagramworkingwater
heaterwitheasy operationanddetailingbudgetin order to geta low costcompared
tosimilarproductionequipmentmanufacturer.
The results of the application of a fairly good impact in supporting the
breeding of eel. During the maintenance period, the seed eel is not susceptible
to disease and stable appetite. The resulting temperature can be adjusted with
the desire by the addition of a tool that serves to break the current
microcontroller when the temperature reaches the desired limits so as to save
energy and prevent overheating in the media .
The resulting temperature range that is: For 1 ton of water with initial
temperature of 25 ° C takes about 2 hours to produce a water temperature of
28 ° C. As for the range of costs necessary to make the prototype water heater
is about IDR 3 million and could be reduced if mass production. Specifications
tools: 450 watts of power, discharge: 25 liters / min.
Bahan yang diperlukan adalah pipa paralon, knee, tee, dop, over sock,
lem silikon, lem pipa, cable ties, cutter, kabel, isolasi, tubular bobbin element,
pompa celup, selang pompa, klem pipa.
Alat yang digunakan adalah bor lisrik, tang, obeng, gunting, cutter,
gergaji, alat tulis, microcontroller.
Kegiatan telah dilaksanakan di Balai Budidaya Air Tawar Tatelu.
Pelaksanaan kegiatan selama tiga bulan dimulai dari bulan Januari dan berakhir
pada bulan April tahun 2014.
Perancangan dimulai dengan membuat lay out dan diagram blok sistem
kerja pemanas air dengan operasional yang mudah dan merinci anggaran agar
didapatkan biaya yang murah dibandingkan peralatan sejenis produksi
pabrikan.
Kisaran suhu yang dihasilkan untuk 1 ton air dengan suhu awal 25°C
membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menghasilkan suhu air 28°C.
Sedangkan untuk kisaran biaya yang diperlukan untuk membuat prototipe
pemanas air ini berkisar 3 juta rupiah dan dapat ditekan jika sudah dilakukan
penyederhanaan dan penyempurnaan. Spesifikasi alat : daya 450 watt, debit :
25 liter /menit. Dimensi unit : Panjang 133 cm, Lebar 40 cm, Tinggi 43 cm.
KESIMPULAN
SARAN
Dasep Hasbullah a), Sugeng Raharjo a), Jumriadi a),Imran Lapong b), Irwan a)
Harnita Agusanty a), Mike Rimmer b,c).
ABSTRACT
Penebaran Benih
Penebaran benih setelah tambak dipersiapkan 7 hari sebelumnya.Benih
ikan nila yang digunakan berukuran panjang 3-5 cm yang merupakan anakan
dari hasil kegiatan hibridisasi nila salin di Balai Perikanan Budidaya Air Payau
Takalar. Sebagai kontrol dilakukan juga penebaran benih nila air tawar
(sultana) di lokasi sekitar tambak ujicoba. Pada saat penebaran dilakukan
proses aklimatisasi untuk menghindari stress pada ikan yang dibudidayakan.
Sampling
Untuk mengetahui bobot terkini baik rataan perindividu maupun bobot
total ikan yang dibudidayan dilakukan sampling setiap 20 hari sekali. Sampling
juga dimaksudkan untuk mengetahui laju pertumbuhan, nilai konversi pakan
yang diberikan (FCR), Sintasan/kelulus hidupan (SR) dan Efisiensi
Penggunaan pakan serta dapat menghitung kebutuhan pakan lanjutan. Agar
tidak terjadi dampak negatif dan stress terhadap ikan yang dibudidayakan
sampling dilakukan pada pagi atau sore hari ketika suhu air rendah.
219
200.0 190.0
146.0
110.3 Nila Air Tawar
100.0
75.0
50.4
46.0 Nila Salin
20.0
20.0
- 5.0
5.0
Gambar 2. Grafik Rataan panjang total (cm) ikan nila salin dan
nila air tawar yang diujicobakan di tambak air payau
25.0
22.8
Panjang Rataan (cm)
20.00
10.00
4.00 6.00 5.00 6.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.00 2.00
MingguMingguMingguMingguMingguMingguMingguMingguMingguMingguMinggu
IV II IV II IV II IV II IV II IV
60.00 7.50
8.20 8.14 7.65 8.20
50.00 7.80 7.50 7.23
6.70 6.23 6.74
12.40 9.20 8.40 7.20
7.50
9.40 8.40 8.20 8.21 3.89 28.40
40.00 6.74 29.70 31.00
34.00 33.00
32.00 32.00
31.50 32.00 32.00 29.50
30.00
20.00
16.00
10.00 10.00 9.00
4.00 5.00 4.00 3.00 4.00
0.00 2.00 1.00 3.00
Minggu I Minggu IV Minggu IV Minggu IV Minggu III Minggu II
Salinitas Suhu/Temperatur DO pH
3,000
2,627
3,000
3,000 1,709 87.57
2,000
1,000 56.98
-
Populasi awal Populasi akhir SR
(ekor) uji coba (ekor)
Dari kegiatan ujicoba ini dapat disimpulkan bahwa budidaya ikan nila
salin di tambak memberikan peluang yang besar dalam upaya diversifikasi
komoditas untuk meningkatkan produktivitas tambak dan pasokan ikan nila
hasil produksi tambak dalam memenuhi permintaan pasar/masyarakat yang
membutuhkan.Mengingat begitu pentingnya produktivitas tambak bagi
Peningkatan taraf hidup pembudidaya dan keluarganya, maka upaya
pengembangan teknologi budidaya ikan nila salin di tambak payau ini perlu
terus dilakukan untuk mewujudkan pembangunan perikanan budidaya yang
berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
PENDAHULUAN
Pellet
Naupli
Rotife Artemia
Alga ra
0 5 1 1 2 2 3 Hari
0 5 0 5 0
Gambar 3.1. Skema Manajemen Pakan Larva Ikan Kakap Putih
Pakan buatan berupa pelet mulai diberikan pada larva umur D14.
Ukuran pakan pelet untuk larva ikan bervariasi mulai dari 200-800 µm
disesuaikan dengan bukaan mulut ikan. Pakan pelet dapat diberikan secara
manual yaitu dengan menebarkannya sedikit demi sedikit dan secara langsung
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 64
pada media pemeliharaan atau juga dapat dilakukan dengan menggunakan
automatic feeder. Dosis pakan pelet yang diberikan adalah at satiation (sampai
kenyang).
Kualitas air sangat berperan penting dalam pemeliharaan larva ikan
kakap putih. Kualitas air yang kurang baik akan menyebabkan kondisi stress
dan menimbulkan penyakit pada larva yang dipelihara. Pengelolaan kualitas air
pada pemeliharaan larva dilakukan dengan pergantian air, penyiponan, dan
pengukuran parameter kualitas air. Pergantian air dimulai saat larva umur D8 –
D15 sebanyak 5 – 10%. Pergantian air semakin bertambah seiring dengan
bertambahnya umur ikan, hingga pada saat pakan ikan sudah sepenuhnya pelet,
maka air media pemeliharaan dapat diganti secara terus menerus (pergantian air
minimal 100%).
Penyiponan dilakukan untuk membuang sisa hasil metabolisme, pakan
buatan yang tidak temakan dan kotoran lain yang mengendap didasar bak
pemeliharaan. Penyiponan awal dilakukan pada saat larva berumur D 10, dan
selanjutnya dilakukan setiap 2 hari sekali. Saat larva sudah sepenuhnya
mengkonsumsi pelet, penyiponan dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari.
Penyiponan harus dilakukan dengan hati-hati agar kotoran yang ada didasar bak
tidak teraduk dan naik keatas.
Selanjutnya pengelolaan kualitas air juga dilakukan dengan melakukan
pengamatan beberapa parameter kualitas perairan, seperti suhu, salinitas, pH,
dan Oksigen Terlarut. Pengukuran kualitas air ini dilakukan secara rutin setiap
hari pada pagi dan sore hari. Untuk beberapa parameter lainnya, seperti
Ammonia, Nitrat, dan Nitrit, pengukuran dilakukan secara periodik 5-6 hari
sekali. Suhu optimal untuk pemeliharaan larva ikan kakap putih di BPBL
Batam adalah 30-32 0C, salinitas 30-32 ppt, pH 6,5-8,5, dan Oksigen terlarut
minimal 4 mg/L.
Salah satu hal yang mutakhir yang konsisten diterapkan pada
pemeliharaan larva (dan benih) ikan kakap putih adalah shocking temperature
dengan penggunaan water heater guna menjaga suhu media pemeliharaan agar
berada pada kondisi optimal. Berdasarkan hasil pengamatan, larva dan benih
ikan kakap putih akan mengalami gangguan pertumbuhan bila suhu media air
berada di bawah 30 0C selama 3 hari berturut-turut. Penggunaan water heater
ini juga dilakukan bila ditemukan indikasi kondisi stress dan serangan penyakit
pada ikan (black body) serta terjadi kematian yang meningkat dalam 2-3 hari
berturut-turut. Untuk larva, penggunaan water heater dilakukan dengan
menaikkan suhu hingga 35 0C. Setelah melalui proses pemanasan, akan
diperoleh kondisi ikan yang tidak sehat akan mati, sedangkan ikan yang sehat
akan tetap hidup. Selanjutnya ikan yang mati disingkirkan dari bak
pemeliharaan. Proses ini juga menjadi upaya pencegahan sekaligus
penanggulangan serangan penyakit yang menyerang pada fase larva.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 65
Tabel 3.1. Rata-rata Panjang Larva Ikan Kakap Putih
3 0,2
6 0,3
9 0,4
12 0,5
15 0,7
18 0,9
21 1,2
24 1,6
27 2,1
30 2,7
Panjang
(cm)
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 Hari Ke-
30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 Hari ke-
KESIMPULAN
PENINGKATAN PRODUKSIPEMBESARAN
IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer, Bloch)
DI KERAMBA JARING APUNGMELALUI
PERBAIKAN PAKAN
ABSTRAK
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 71
Pemeliharaan benih ikan kakap putih 15 cm (±20 gram) di dalam KJA
berukuran 4 m x 4 m , dengan padat tebar 2.000 ekor per jaring.
Sebelum benih ikan ditebar terlebih dahulu dilakukan vaksinasi vibro
polyvallen. Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari dengan dosis 3 % -
10 % dari biomassa, persentase pakan disesuaikan berdasarkan ukuran
ikan. Untuk memacu pertumbuhan dan daya tahan tubuh diberikan
penambahan terhadap pakan berupa vitamin C dan probiotik dengan
dosis 2 gram per kg pakan, yang diberikan sebanyak 2 kali per minggu.
Grading (pemilahan ukuran) dan sampling dilakukan setiap 2 minggu
sekali pada saat ukuran di bawah 100 gram, dan ukuran di atas 100 gram
dilakukan 1 kali dalam sebulan. Sedangkan untuk pencegahan terhadap
serangan parasit dilakukan perendaman dengan menggunakan air tawar
setiap satu minggu sekali.
Masa pemeliharan 5 bulan sudah dilakukan panen selektif dengan
ukuran rata-rata 500 gram, sedangkan selesai panen dilakukan pada
bulan ke 7 dengan total panen 3200 kg dan angka kelulushidupan
sebesar 80 %. Rasio perbandingan pakan sebesar 1: 2. Analisa usaha
pembesaran ikan kakap putih di kja adalah sebagai berikut; dimana
biaya investasi adalah sebesar Rp153.000.000., meliputi kja HDPE 4
lubang beserta rumah jaga dan peralatan kerja lainnya. Sedangkan biaya
operasional sebesar Rp183.200.000,. meliputi pembelian benih dan
pakan, obat-obatan serta biaya tak terduga lainnya. Pendapatan dari
penjualan ikan adalah 3.200 kg x Rp75.00., = Rp 240.000.000., sehingga
laba yang didapat adalah sebesar Rp56.800.000., dengan BEP 2,443
maksudnya titik impas produksi akan tercapai bila produksi minimal
2.443 kg.
Kalau dibandingkan dengan pemeliharaan sebelumnya yang dilakukan
di KJA angka kelulushidupan jarang mencapai angka 50 % dan waktu
panen yang dibutuhkan biasanya berkisar 6-8 bulan. Dengan demikian
capaian tingkat kelulushidupan 80 % dan waktu pemeliharaan yang bisa
dipersingkat menjadi 7 bulan sudah merupakan suatu efisiensi dalam
suatu produksi pembesaran ikan kakap putih di KJA, sehingga
peningkatan produksi tersebut juga akan berdampak terhadap
penghasilan pembudidaya.
Kata kunci : ikan kakap putih, kja, perbaikan pakan, pertumbuhan
dan kelulushidupan
PENDAHULUAN
Persiapan Benih
Sebelum dilakukan penebaran benih ada beberapa hal yang harus
diperhatikan. Asal benih ikan kakap putih yang ditebar di keramba jaring apung
idealnya berasal dari panti benih (hatchery). Pemilihan benih merupakan faktor
penting dalam memulai usaha budidaya ikan secara umum. Benih yang
digunakan pada fase pendederan dan penggelondongan dapat disiapkan terlebih
dahulu sebelum ditebar dalam KJA. Ukuran tebar sebaiknya lebih besar dari 10
cm (10-15 gram). Benih yang berasal dari panti benih mempunyai
beberapa keunggulan yaitu ukurannya seragam serta kualitas dan kuantitas
dapat terjaga. Benih hasil tangkapan alam mempunyai banyak kelemahan yaitu
ukuran sering tidak seragam, jumlah dan waktunya tidak dapat ditentukan,
sering terdapat luka akibat penangkapan dan transportasi.
Vaksinasi terhadap benih ikan kakap putih mutlak dilakukan, hal tersebut untuk
mencegah serangan bakteri pathogen. Aplikasi vaksin dapat diberikan dengan
cara penyuntikan terhadap benih ikan kakap putih yang sudah berukuran ≥10
cm. Biasanya bakteri yang sering menyerang ikan kakap putih adalah bakteri
streptococcus dan bakteri vibrio.
Tebar Benih
Setelah persiapan wadah dan persiapan benih, tahap selanjutnya adalah
penebaran benih. Hal yang penting dalam penebaran benih adalah aklimatisasi.
Aklimatisasi adalah proses pengadaptasian/penyesuaian ikan terhadap
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 73
lingkungan barunya. Aklimatisasi perlu dilakukan karena adanya perbedaan,
terutama perbedaan terhadap suhu dan salinitas antara daerah asal benih atau
media transportasi dengan kondisi air tempat pemeliharaan. Apabila sistem
transportasi menggunakan kantong plastik, maka aklimatisasi dilakukan dengan
cara mengapungkan plastik tersebut hingga suhu dalam plastik dengan media
pemeliharaan hampir sama. Tahap selanjutnya membuka kantong plastik dan
memasukan air media pemeliharaan kedalam kantong sedikit demi sedikit.
Setelah kurang lebih 10 menit, biasanya ikan akan aktif dan kantong plastik
dapat dimiringkan sehingga ikan dapat keluar dengan sendirinya.
Padat Tebar
Padat tebar benih merupakan faktor yang sangat menentukan
keberhasilan usaha pembesaran ikan. Padat tebar berkaitan erat dengan
pertumbuhan dan angka kelulushidupan. Apabila kepadatan terlalu tinggi
pertumbuhannya lambat akibat adanya persaingan ruang, oksigen dan pakan.
Seiring dengan bertambahnya ukuran dan berat ikan, maka padat tebar harus
dikurangi secara bertahap. Adapun standar padat tebar ikan kakap putih adalah:
KESIMPULAN
Budidaya pembesaran ikan kakap putih di KJA pada kondisi daerah tertentu
banyak timbul permasalahan. Rendahnya tingkat kelulushidupan, besarnya
rasio konversi pakan dan lambatnya pertumbuhan. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut ada beberapa hal yang harus diterapkan, antara lain :
- Memperbesar ukuran tebar dari yang biasanya 5-7 cm menjadi ≥10 cm
- Aplikasi vaksin sebelum di tebar ke KJA
- Penjarangan kepadatan tebar
- Penambahan vitamin C, multivitamin dan probiotik terhadap ransum pakan
- Melakukan tindakan preventif terhadap serangan parasit dengan
perendaman air tawar secara periodik
- Pendeteksian dini terhadap gejala penyakit
Dengan adanya penambahan vitamin C, multivitamin dan probiotik pada
ransum pakan yang diberikan kepada ikan kakap putih memberikan dampak
yang positif terhadap pertumbuhan, tingkat kelulushidupan dan angka rasio
konversi pakan ikan kakap putih.
Akbar, S. 2000. Meramu Pakan Ikan Kakap Putih : Bebek, lumpur, Macan dan
Malabar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hardjono, 1987. Biologi dan Budidaya Kakap Putih (Lates calcarifer) INFISH
Manual seri No. 47. Ditjen Perikanan-International Development
ResearchCentre. Jakarta
Julinasari dkk , 2002. Pengelolaan Kesehatan Ikan Budidaya Laut. Balai
Budidaya Laut Lampung. Seri Budidaya laut No 10.
Johni F, Roza. D dan Zafran. 2005. Infeksi Bakterial pada Ikan Laut Budidaya
dan Upaya Pengendaliannya. Dipresentasikan sebagai bahan Diseminasi
Budidaya Laut Berkelanjutan 10 – 13 April. BBRBL Gondol Bali. 11
hal.
Mokoginta. Ing, Dr. 1997. Formulasi Pakan Buatan untuk Ikan Laut.
Pertemuan Koordinasi dan Pemantapan Perekayasaan Teknologi Lintas
UPT. Direktorat Jenderal Perikanan.
Slamet,B.: A. Ismail; Wedjatmiko; dan A. Basyarie. 1995. Teknik Budidaya
Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer). Prosiding Seminar Sehari Hasil
Penelitian Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Bojonegoro–
Serang. Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Bojonegoro.
Serang. p. 11-21
Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johny and K. Yuasa.2001. Marine Finfish
and Crustacean Diseases in Indonesia. Gondol research Institute for
mariculture and JICA.
Abstrak
PENDAHULUAN
Latar belakang
Cacing tubifex adalah salah satu alternatif pakan alami ikan terutama
pada fase larva dan benih ikan. Tubifex memiliki kandungan nutrisi yang baik
dan cenderung seimbang dan sangat baik untuk pertumbuhan ikan. Didalam
tubuh cacing tubifex terkandung kira-kira 57% protein dan 13% lemak (S.
Alex, 2011).
Cacing tubifex disebut juga cacing lumpur (sludge worm), cacing
limbah(sewage worm), ular kapur (lime snake), karena dapat hidup dengan baik
pada perairan yang banyak mengandung limbah dan endapan/sedimen lumpur
organik bahkan dapat hidup pada perairan yang sangat tercemar bahan organik
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 79
yang hampir tidak ada spesies lainnya dapat bertahan. Pembentukan kista
pelindung dan penurunan aktifitas metabolime merupakan strategi hidup cacing
tubifex untuk dapat bertahan dalam kondisi kekeringan dan kekurangan
makanan. Kebiasaan makan cacing tubifex adalah dengan cara mencerna
sedimen dan memperoleh nutrisi dengan mencerna bakteri secara selektif dan
menyerap molekul melalui dinding tubuh (Gilbert dan Granath 2003).
Cacing tubifex ini banyak digunakan sebagai makanan untuk larva dan
benih ikan, baik dalam bentuk hidup, beku kering, atau dalam bentuk pellet.
Namun kebanyakan sumbernya bukan hasil budidaya tetapi berasal dari hasil
penangkapan dari alam. Perlu diperhatikan bahwa cacing tubifex biasanya
sangat mudah mengkontaminasi wadah air dan dapat menjadi inang Myxobolus
cerebralis, yang menyebabkan penyakit pada populasi ikan. Perawatan harus
dilakukan ketika cacing tubifex digunakan sebagai pakan ikan pada akuarium.
Kajian budidaya dengan pendekatan teknik produksi skala usaha masih
terbatas.
Tujuan
Menghasilkan cacing tubifex sebagai pakan alami bagi larva dan benih ikan.
METODE
a. Pembuatan wadah kultur
Wadah kultur cacing tubifek terdiri dari 3 blok kolam yang terdiri dari kolam-
kolam tembok persegi empat yang berukuran 2x2 m2 (lampiran 1). Setiap
blok terdiri dari 12 s.d. 18 kolam persegi empat. Kolam diberi pelindung
dari terpal dan paranet untuk melindunginya dari hujan. Air dialirkan
secara grafitasi melalui pipa dari sumber air ke dalam wadah kultur yang
berisi media kultur
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
On abalone hybrid rearing and grow out activities, show that abalone
hybrid grow faster than H. asinina and H. squamata, with performance of
hybrid seed is more active, more attractive with combination of shell color is
greenness red and typical meat taste.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Abalon (genusHaliotis) adalah moluska laut bercangkangtunggal dan
mempunyai otot besar "kaki" yang digunakan untuk melekatkan diri pada
terumbu karang dan substrat.Bagian kaki ini lah yang dapat dimakan dan
dianggap lezat serta diminati oleh beberapa Negara di Asia dan Eropa.
Permintaanglobal untukabalontetap tinggi, khususnya diChina
danAsiaTenggara, dan berkembangdi beberapa bagian negara barat.
Permintaaninidipenuhimelalui peningkatanpasokandari produk budidaya
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 84
daribanyak negara, termasuk China, Korea Selatan, Afrika Selatan dan
Australia.
Budidaya abalon di Indonesia relatif baru dikembangkan dan berfokus
pada dua spesies abalone tropis bernilai ekonomis yang ditemukan di beberapa
wilayah perairan pantai( seperti Lombok,Bali,Banten,Kendari dan daerah
lainnya) yaitu jenis Haliotis asinina (Mimigai) dan Haliotis squamata
(Tokobushi) dimana kedua spesies ini masing masing memiliki karakteristik
individuyang membuat mereka diterima di pasar ekspor dan domestik yang
berbeda. Namun demikian beberapa masalah yang muncul dalam usaha
budidaya abalon yaitu seperti ketersediaan benih secara kontinyu dikarenakan
rendahnya tingkat kelangsungan hidup dari penebaran larva sampai menjadi
benih siap dibesarkan (berkisar 0,5 - 1%). Disamping itu lamanya waktu
budidaya yang menyebabkan masyarakat kurang tertarik untuk
mengembangkan abalon.
Lamanya waktu budidaya abalon sampai mencapai ukuran permintaan
pasar kemungkinan disebabkan karena penurunan kualitas benih,laju
pertumbuhan yang lambat, dan penurunan ketahanan terhadap penyakit.
Kendala ini mungkin bisa disebabkan oleh inbreeding, lingkungan yang buruk,
dan metode budidaya yang tidak tepat. Salah satu upaya untuk mengatasi
permasalahan diatas yaitu dengan program perbaikan genetik seperti seleksi
dan hibridisasi yaitu melalui rekayasa pemijahan perkawinan antar individu
sejenis dari lokasi yang berbeda (intraspesifik) maupun antar individu yang
berbeda (interspesifik).
Metode interspesifik hibridisasi diantara genera dan atau family secara
umum sudah bisa diterapkan dan sudah sukses untuk beberapa ikan dan
kekerangan (seperti ikan mas,lele,salmon,tiram,dan udang) sebagai upaya
perbaikan sifat seperti laju pertumbuhan,kelangsungan hidup, serta ketahanan
penyakit (Bartley dkk.2001; Hulata 2001 dalam Fabiola Lafarga dan Cristian
Gallardo. 2011). Dengan cara yang sama, abalon hibrid juga mempunyai
potensi memperoleh keuntungan produksi melalui pertumbuhan yang lebih
cepat, adaptasi terhadap kondisi lingkungan budidaya dan kualitas permintaan
pasar yang diinginkan,seperti tekstur,warna dan rasa (Elliott 2000;Hamilton
dkk.2009a dalam Fabiola Lafarga dan Cristian Gallardo. 2011).
1.2. Tujuan
Untuk mendapatkan varietas baru abalon melalui hibridisasi
interspesifik abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata
METODOLOGI
Pematangan Gonad
a. Induk - induk yang berasal dari alam diperiksa secara morfologi
tentang status kesehatan sebelum dimasukkan ke dalam bak
aklimatisasi
b. Induk jantan dan betina dipelihara pada bak terpisah dan ditempatkan
pada keranjang plastik industri serta pemberian pakan dilakukan
secara ad libithum/selalu tersedia
c. Pengelolaan air dilakukan dengan sistem sirkulasi (flow through)
dengan debit kencang dan dilakukan penyiphonan terhadap kotoran
setiap hari.
d. Cek kematangan gonad setiap mendekati bulan gelap/purnama dengan
cara melihat TKG secara morfologi,induk yang matang gonad
dipindahkan ke wadah pemijahan,sedangkan induk yang belum
matang gonad dikembalikan ke wadah pemeliharaan biasa.
Pemeliharaan larva
a. Bak pemeliharaan larva dilengkapi dengan rearing plate diisi dengan air
laut yang telah melewati sistem filtrasi dengan volume 1,5 ton dan
dilakukan penumbuhan benthic diatom 1-2 minggu sebelum dilakukan
penebaran larva.
b. Benthic diatom terlebih dahulu di kultur dalam skala Lab (volume 25
liter), setelah 5 - 7 hari dilakukan pemanenan dan dimasukkan ke dalam
bak pemeliharaan larva sebagai starter/inokulan tumbuhnya benthic
diatom
c. Setelah diatom tumbuh pada rearing plate dilakukan pergantian air total
sebelum dilakukan penebaran larva
d. Penebaran larva dilakukan pada sore hari dengan kepadatan 100.000 -
200.000 trochopore
e. Setelah umur 7 hari dilakukan sistem air mengalir(flow through) dengan
debit air 100 % / hari sampai 90 hari
f. Panen dilakukan pada saat benih berumur 90 hari dan sudah
mengkonsumsi makro algae (Gracillaria sp) dengan ukuran 1,0 -1,5 cm
dan siap didederkan
Parameter Pengamatan
3.9
3.6
3.3
panjang cangkang (cm)
3
2.7
2.4 H.asinina
2.1
1.8
1.5 H.squamata
1.2
0.9 Hibrid
0.6
0.3
2 3 4 5 6 7 8 umur abalon(bulan)
6.6
6.3
6
5.7
5.4
5.1
4.8
4.5
berat tubuh (gram)
4.2
3.9
3.6 H.asinina 90
BUKU
3.3 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014
3 H.squamata
2.7
2.4
2.1 Hibrid
1.8
1.5
Gambar 9. Grafik Pertumbuhan rata-rata berat tubuh abalon hibrid
dibandingkan Haliotis Squamata dan Haliotis asinine
Spesies
No. Parameter H.asinina H.squamata Hibrid
1. Bentuk Oval Oval bulat Oval memanjang
cangkang memanjang dan agak melebar
2. Tekstur halus Kasar Kasar
cangkang
3. Warna Kehijauan Kemerahan Merah dengan
cangkang corak kehijauan
4. Warna otot Abu-abu Hitam Dominan hitam
kaki/daging kekuningan
5. Proporsi Besar,terlihat Sedang, terlihat Cukup
otot melebihi ukuran sama dengan besar,terlihat
kaki/daging cangkang pada ukuran cangkang melebihi ukuran
saat bergerak pada saat cangkang pada
bergerak saat bergerak
6. Perilaku Aktif,cenderung Pasif,cenderung Lebih
bergerombol menyebar/soliter aktif/cenderung
menyebar(soliter)
7. Warna Coklat Hitam Hitam
tentakel
8. Rasa otot Lunak,hambar Kenyal,manis Lunak,ada rasa
kaki/daging manis
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam kegiatan produksi benih abalon
hibrid ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemijahan hibridisasi interspesifik induk abalone Haliotis asinina
jantan dan Haliotis squamata betina dapat dilakukan secara alami dan
dapat menghasilkan strain/varietas baru benih abalon
2. Abalon hibrid yang dihasilkan menunjukkan performa yang lebih baik
dari tetuanya terutama dari segi pertumbuhan,tampilan morfologi yang
lebih menarik, dan cita rasa dagingnya yang lebih khas (lembut dan
manis)
Saran
1. Perlu adanya kajian lanjutan untuk mengetahui ketepatan waktu
pembuahan (umur gamet) dalam upaya peningkatan keberhasilan
tingkat pembuahan dan penetasan larva.
2. Perlu adanya kajian lanjutan untuk teknik pemijahan dengan
rangsangan atau dengan kryopreservasi (pengawetan gamet) dalam
upaya peningkatan keberhasilan tingkat pembuahan dan penetasan
larva
3. Perlu adanya kegiatan uji multi lokasi untuk mengetahui (uji tantang)
terhadap kelangsungan hidup,ketahanan terhadap penyakit dan kondisi
lingkungan untuk benih abalone hybrid yang sudah dihasilkan
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
Pompano / jackfish / trevally (Caranx sp) is a fish that is easy and can be
found in almost all waters in the Moluccas and have high economic value
because it is one of the favorite fish Maluku community. However, the
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 95
maintenance of fish requires a lot of amount of feed that is quite high
operational costs.
This activity aims to determine the effect of hormones on fish rearing
bubara RGH given orally through feed trash. Through this application is
expected to suppress the hormone as well as shorten the FCR jackfish
pisciculture.
In the event there are two treatments ie A = feeding trash, trash B =
feeding hormone-treated RGH. The dose of hormones used as much as 3 mg /
kg of feed given over three times in one week. Initial weight of 17.4 grams of
both treatments. In each treatment, fish reared in KJA size 3x3x3 m with a
density of 250 individuals per plot. Feeding as many as 10% of the total body
weight of the fish and kept for three and a half months.
For three and a half months of maintenance that results obtained in the
treatment A average fish weight of 284 g, 94% SR and FCR of 6.6 while on
treatment B was 312 g, with a magnitude of 95% and FCR of 5.9.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan
usaha budidaya perikanan. Pertumbuhan yang lambat akan menyebabkan
lamanya waktu pemeliharaan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan,
lamanya waktu pemeliharaan juga akan meningkatkan resiko-resiko dalam
pemeliharaan, seperti terserang penyakit, kematian massal, dan sebagainya.
Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
hormon rGH pada pembesaran ikan bubara yang diberikan secara oral melalui
pakan rucah. Melalui aplikasi ini diharapkan pemberian hormon dapat
menekan FCR serta mempersingkat masa pemeliharaan ikan bubara.
METODE
Pada percobaan ini, pemberian hormon rGH pada ikan bubara
diaplikasikan secara oral melalui pakan rucah karena lebih praktis dan
mengurangi resiko timbulnya stress pada ikan. Pemberian melalui pakan rucah
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 97
dilakukan karena pada uji pendahuluan selama sebulan, benih tidak mau makan
pellet dan banyak benih yang mati.
Pembuatan larutan hormone rGH adalah sbb: Setelah ditimbang, hormon
dilarutkan dalam larutan PBS sebanyak 100 ml/kg pakan dan dicampur dengan
kuning telur sebanyak 20 mg/kg pakan,lalu ketiganya dicampur hingga
homogen. Larutan disemprotkan secara merata pada pakan ikan rucah,lalu
dianginkan selama 30 menit. Pakan dapat langsung diberikan pada ikan
Pada kegiatan ini ada dua perlakuan yaitu A = pemberian pakan rucah
(kontrol) ,B = pemberian pakan rucah yang diberi hormon rGH . Dosis hormon
yang digunakan sebanyak 3 mg/kg pakan yang diberikan selama tiga kali dalam
seminggu, masing – masing dengan interval tiga hari. Berat awal kedua
perlakuan yaitu 17,4 gr. Pada tiap perlakuan, ikan dipelihara dalam KJA ukuran
3x3x3 m dengan kepadatan 250 ekor per petak. Pemberian pakan dua kali
sehari pada awal bulan pertama, selanjutnya satu hari sekali sebanyak 10 %
dari total berat tubuh ikan dan dipelihara selama empat setengah bulan.
Pengamatan pertumbuhan dilakukan sebulan sekali,sedangkan kelulushidupan
dilakukan pada akhir percobaan.
Data yang diambil dalam kegiatan ini berupa tingkat kelulusan hidup
(SR) dan pertumbuhan dan dilakukan pengambilan sampel sebanyak satu kali
dalam sebulan.
T
Keterangan
SGR = laju pertumbuhan spesifik
Wt = Berat ikan pada akhir kegiatan (kg)
W0 = Berat ikan pada awal kegiatan (kg)
T = Waktu (hari)
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 98
FFCR =Pa/( Wt-Wo+Wm)
Keterangan :
kontrol
hormon
Kesimpulan
Pemberian hormon rGH melalui pakan rucah dapat meningkatkan
pertumbuhan berat dan menurunkan konversi pakan
Saran
Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai dosis yang tepat terutama di
kisaran 10 – 30 mg/kg pakan.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industrilaisasi perikanan budidaya merupakan suatu proses perubahan
dimana arah kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan budidaya,
pembangunan infrastruktur, pengembangan sistem investasi, ilmu pengetahuan,
teknologi dan sumberdaya manusia diselenggarakan secara terintegrasi,
berbasis industri untuk meningkatkan nilai tambah, efesiensi dan skala produksi
yang berdaya saing tinggi. Kedepan, kebijakan industrialisasi perikanan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 103
budidaya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan akan berbasis pada konsep
blue economy melalui pengembangan berbagai inovasi yang berorientasi pada
pelestarian sumberdaya untuk memberikan manfaat secara ekonomi, sosial, dan
lingkungan secara berkelanjutan. Pengembangan blue economy tersebut
diharapkan dapat menciptakan daya saing yang lebih tinggi melalui inovasi
dan efisiensi yang berkelanjutan, melakukan pembangunan tanpa merusak
lingkungan, menciptakan berbagai industri baru, serta menciptakan lapangan
kerja.
Melalui industrialisasi yang berbasis pada blue economy, para pelaku
usaha perikanan, khususnya pembudidaya ikan, diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, sekaligus
membangun sistem produksi yang modern dan terintegrasi dari hulu sampai ke
hilir dengan memperhatikan asas berkelanjutan. Dengan demikian
industrialisasi perikanan budidaya yang berbasis blue ekonomi diharapkan
mampu mengokohkan struktur usaha perikanan nasional, yang membawa
multiplier effect sebagai prime mover perekonomian nasional.
Dalam kegiatan budidaya perikanan, pakan merupakan faktor penting
yang perludiperhatikan.Kandungan zat gizi pakan sangat mempengaruhi hasil
panen yang merupakantujuan akhir dari proses budidaya.Oleh karena itu, aspek
nutrisi dalam pakan ikan mendapatperhatian yang cukup besar oleh para ahli
dan juga usahawan.Selain itu, pakan jugamerupakan komponen biaya
operasional yang cukup besar dalam kegiatan budidaya, sehinggaperlu
diperhitungkan efisiensinya.
Efektivitas pemberian pakan dalam kegiatan budidaya merupakan hal
yang penting, karena menyangkut efisiensi penggunaan waktu pemeliharaan,
jumlah pakan dan jenis makanan optimal yang dikonsumsi oleh setiap individu
ikan. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian yang intensif tentang jenis pakan
yang lebih baik terhadap pertumbuhan, antara pakan rucah segar yang harganya
relatif mahal dengan ikan rucah yang lebih murah, sehingga dapat dijadikan
acuan bagi pembudidaya ikan untuk mengefisienkan biaya yang dikeluarkan
untuk kebutuhan pakan.
Ikan Bubara (C. sexfasciatus) di Maluku umumnya dibudidayakan
dengan sistem budidaya Keramba Jaring Apung (KJA). Ikan bubara memiliki
beberapa keunggulan antara lain: tidak memerlukan perawatan yang terlalu
intensif sebagaimana ikan kerapu (Epinephelus), tahan terhadap penyakit,
mampu beradaptasi pada perubahan kualitas perairan yang ekstrim, merupakan
ikan yang nafsu makannya besar sehingga pertumbuhannya relatif cepat
(Hariyano dkk., 2008).Keunggulan lain dari jenis ikan bubara dalam
lingkungan budidaya selain memiliki pertumbuhan yang cepat juga efisien
dalam memanfaatkan pakan serta mampu hidup dalam kondisi yang cukup
padat.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 104
Dusun Wael merupakan salah satu spot area budidaya yang ada di
Kawasan Minapolitan Kabupaten Seram Bagian Barat. Daerah ini merupakan
pusat budidaya ikan di keramba jaring apung. Penerapan konsep blue economy
ini sebenarnya secara tidak langsung telah diadopsi oleh para pembudidaya
pembesaran ikan bubara di KJA di Dusun Wael Kab. SBB sejak tahun 2010,
dimana pemanfaatan pakan rucah dalam kegiatan ini tanpa adanya sisa limbah
(zero waste). Ada dua keuntungan dari pemanfaatan pakan rucah dalam
kegiatan pembesaran ini, pertama menekan biaya operasional dari 70% menjadi
sekitar 40-50% dan tidak adanya limbah yang terbuang sehingga tidak
mencemari lingkungan budidaya.
Oleh karena pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi oleh faktor makanan
dan biaya untuk pakanmerupakan komponen terbesar dalam operasional
budidaya, maka perlu dilakukan suatu kajian tentang pemanfaatan pakan secara
optimal sehingga dapat diperoleh hasil panen yang optimum dengan biaya yang
relatiflebih murah.Selanjutnya, dengan mengetahui laju pertumbuhan ikan yang
dibudidayakan danbeberapa faktor budidaya lainnya (FCR dan SR) akan sangat
bermanfaat untuk perhitunganinvestasi (biaya operasional) serta perkiraan hasil
panen yang lebih optimum.
METODE
Seleksi Benih
Seleksi benih dilakukan dengan memilih benih yang sehat, tidak cacat pada
sirip maupun ekor, ukuran seragam, gerakan lincah, warna cerah, responsive
terhadap makanan serta bebas penyakit. Benih yang digunakan yaitu : ikan
bubara mata besar (Caranx sexfasciatus).
Pemeliharaan Benih
Pada awal penebaran benih dipelihara dalam keramba jaring apung dengan
kepadatan 500 ekor per jaring (3 x 3 x 3 m) dan selanjutnya ukuran mesh size
dan kepadatan ikan disesuaikan dengan ukuran ikan. Keramba jaring apung
dibersihkan satu bulan sekali. Disamping itu benih juga dibesarkan pada jaring
yang berbentuk lingkaran. Ini dilakukan untuk melihat pengaruh pertumbuhan
dengan bentuk jaring yang berbeda.
Pemberian Pakan
Selama pemeliharaan benih dilakukan pemberian pakan berupa ikan segar
seperti ikan lemuru, ikan layang, kembung, teri dan sebagainya. Dosis
pemberian pakan 5-10% dari berat total ikan dan diberikan 2 kali per hari (pagi
hari jam 07:00) dan sore hari jam 16.30 WIT).
Analisa Data
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 105
Pertumbuhan
Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan dimensi suatu organisme yang
dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pengukuran
pertumbuhan ikan uji dengan menghitung pertambahan berat biomassa dalam
satu wadah, yaitu :
W = Wt-Wo
Keterangan:
W = Pertumbuhan biomassa mutlak ikan uji (g)
Wt = Biomassa ikan uji pada akhir penelitian (g)
W0 = Biomassa ikan uji pada awal penelitian (g)
Logaritma dari persamaan tersebut di atas merupakan regresi linier
dimana "g" merupakan koefisien arahnya. Jadi laju pertumbuhan
"instantaneous growth (g)" didapat dari regresi linier persamaan berikut:
Ln Wt = Ln Wo+gt
Keterangan:
Wt = Biomassa ikan uji pada akhir penelitian (g)
Wo = Biomassa ikan uji pada awal penelitian (g)
g = Koefisien laju pertumbuhan
t = Lama penelitian (minggu).
Efisiensi Pakan
Untuk menghitung efisiensi pakan, maka diperlukan informasi berat total ikan
saat awal (BT0), berat ikan setelah masa pemeliharaan tertentu (BT1) dan
jumlah pakan yang habis setelah masa pemeliharaan tertentu (P) (Safrudin,
2003) dengan formula sebagai berikut:
BT1 x BT0
Effisiensi Pakan: x 100%
P
Konversi Pakan
Konversi pakan atau FCR (Feed Convertion Ratio) adalah jumlah (berat) pakan
yang dapat membentuk suatu unit berat ikan. Adapun rumus untuk menghitung
FCR adalah:
Makanan yang dimakan (g)
FCR =
Pertambahan berat tubuh (g)
S = (1 – Z)x100
Keterangan:
S = Kelangsungan hidup (%)
Z = Koefisien laju kematian, dihitung dengan rumus Z = ln No – ln Nt/t
No = Jumlah ikan Bubara Caranx sexfasciatus yang hidup pada awal kegiatan
Nt = Jumlah ikan Bubara Caranx sexfasciatus selama periode kegiatan
t = Waktu (minggu)
HASIL
Pola Pertumbuhan
Pola pertumbuhan ikan Bubara berdasarkan ukuran berat disajikan pada
Gambar 1. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa pola pertumbuhan (berat
tubuh) ikan bubaramengikuti pola sigmoid dimana pertumbuhan masih akan
terus berkembang sampai dititik pembelokan pertumbuhan mulai melambat.
1 2
Pengukuran Ke-
Laju Pertumbuhan
Hasil analisa laju pertumbuhan ikan bubaramenunjukkan bahwa laju
pertumbuhan pertambahan berat ikan bubarayang diberikan pakan dengan
memanfaatkan semua limbah pakan yang adalah 1,73%.
Analisa Usaha
Analisa usaha secara umum ditetapkan dengan tujuan untuk menilai manfaat
investasi terhadap suatu usaha yang dilakukan, membandingkan tingkat
manfaat investasi terhadap suatu usaha dengan usaha lainnya, dapat digunakan
sebagai kendali terhadap investasi usaha yang dijalankan. Dan berdasarkan
hasil analisa kelayakan usaha kegiatan optimalisasi pemanfaatan pakan rucah
ini dapat menekan biaya operasional sebanyak 20 - 25%.
PEMBAHASAN
Pertumbuhan merupakan rangkaian perubahan ukuran suatu organisme
yang dapat berupa berat atau panjang dalam satuan waktu tertentu. Pada
Gambar 1 tentang pola pertumbuhan terhadap pertambahan berat terlihat bahwa
pada pengukuran sampling ikan bubara pertama sampai keempat pertumbuhan
menunjukan hasil yang agak lambat dan kemudian pertumbuhannya terus naik
pada pengukuran minggu kelima. Lambatnya pertumbuhan yang terjadi pada
pengukuran sampling pertama sampai ketiga diduga merupakan tahap adaptasi
ikan bubara terhadap lingkungannya yang baru setelah ikan diangkut dari
tempat penampungan atau penangkapan oleh para nelayan ke tempat budidaya
karena pada saat pengangkutan kemungkinan ikan mengalami luka sehingga
memerlukan waktu yang agak lama untuk dapat berkembang. Hariyano, dkk.,
(2009; 2010) menyatakan kematian ikan bubara terbanyak terjadi di awal-awal
pemeliharaan karena ikan bubara mengalami luka akibat dari transportasi ikan
dari nelayan tangkap ke tempat budidaya dan memerlukan waktu satu sampai
dua bulan untuk tahap adaptasinya. Untuk itu dalam kegiatan ini sebelum ikan
bubara di tebar di lakukan penyortiran terlebih dahulu dengan memilih ikan
yang sehat. Pattipeilohy, dkk., (2009) menyatakan bahwa ikan-ikan hasil
tangkapan dari alam memerlukan tahap adaptasi atau domestikasi terlebih
dahulu selama beberapa bulan baru bisa makan dengan baik. Selanjutnya Ely
dkk., (2009) menyatakan bahwa benih ikan bubara yang diperoleh dari alam
yang merupakan hasil tangkapan nelayan, biasanya mengalami luka-luka akibat
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 108
penangkapan dan penanganan yang kurang baik. Oleh karena itu perlu
dilakukan domestikasi sehingga dihasilkan ikan yang sehat, mampu beradaptasi
dengan lingkungan budidaya.
Laju pertumbuhan ikan bubarayang diperolehmenunjukkan bahwa laju
pertumbuhan pertambahan berat ikan bubarayang diberikan pakan dengan
memanfaatkan semua limbah pakan yang adalah 1,73%. Hasil ini mungkin
diduga disebabkan oleh padat tebar yang dilakukan sesuai dengan luas wadah
dan kebutuhan ikan untuk dapat tumbuh dengan baik. Hariyano, dkk., (2008)
memperoleh hasil laju pertumbuhan ikan bubara hanya berkisar antrara 1,11 -
1,13%. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Minjoyo, dkk., (2007) yang
dalam penelitiannya memperoleh laju pertumbuhan ikan Bawal Bintang
(Trachinotus blochii) berkisar antara 0,78 % – 1,40 %. Hasil yang diperoleh
dalam penelitian ini bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh
Hariyano, dkk., (2008) dan Minjoyo, dkk., (2007) masih lebih baik. Hal ini
diduga disebabkan oleh padat penebaran yang berbeda antara yang perlakuan
yang dilakukan oleh Hariyano, dkk., (2008) dan Minjoyo, dkk., (2007), dimana
Hariyano, dkk., (2008) dalam perlakuannya menebar dengan kepadatan 100
ekor/m3 jaring dan Minjoyo, dkk., (2007) kepadataannya 70 ekor/m3 jaring,
sedangkan pada kegiatan ini kepadatannya 64 ekor/m3 jaring. Berkaitan dengan
tingkat kepadatan (Kune, 2006) menyatakan bahwa tingkat kepadatan
penebaran ikan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ikan. Makin padat
tebar yang dilakukan makin lambat pertumbuhannya karena terjadinya
persaingan ruang dan pemanfaatan pakan. Demikian halnya yang dikemukakan
Supriyatna, dkk., (2008) bahwa ikan yang dipelihara dengan kepadatan yang
rendah mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dari pada kepadatan yang
tinggi. Lebih lanjut Alit (2009) menyatakan bahwa padat penebaran
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan. Kondisi tentang padat penebaran ini
bila dikaji lebih lanjut diduga disebabkan oleh adanya kompetisi antar individu
untuk mendapatkan makanan dan ruang gerak. Makin padat penebaran yang
dilakukan maka kompetisi akan semakin ketat dan kondisi sebaliknya terjadi
bila padat penebaran makin kecil maka kemungkinan untuk mendapatkan
makanan dan ruang gerak makin besar.
Konversi Pakan yang diperoleh dalam kegiatan ini adalah 2,97.Hasil
ini bila dibandingkan dengan konversi pakan yang diperoleh Minjoyo, dkk.,
(2007) pada pembesaran ikan Bubara famili Carangidae jenis ikan Bawal
Bintang (T. blochii) ternyata lebih besar (1,985). Perbedaan ini disebabkan
perbedaan pakan yang digunakan pada saat pemeliharaan, dimana pada
penelitian ini menggunakan pakan ikan momar putih dan pakan ikan belosoh
sedangkan Minjoyo, dkk., (2007) menggunakan pellet komersial yang
kandungan proteinnya cukup tinggi dengan nilai protein minimal 30%
sebanyak 3% dari total biomassa. Namun hasil konversi pakan ini masih layak
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 109
bagi suatu usaha budidaya ikan Bubara. Menurut Ghufron (2004) menyatakan
bahwa konversi pakan ikan Bubara adalah 3 – 9. Berdasarkan konversi pakan
ikan bubara maka ikan bubara dapat dianjurkan untuk dilakukan usaha
pembesaran karena masih dapat menguntungkan.
Untuk mengetahui pemanfaatan pakan oleh ikan serta untuk mencari
tahu kualitas pakan tersebut maka dilakukan penghitungan efisiensi
penggunaan pakan. EPyang diberikan pada ikan bubara dengan menggunakan
pakan ini adalah 33,3%.Menurut Buwono (2000) dalam Sukoso (2002)
efisiensi penggunaan makanan oleh ikan menunjukan nilai persentase makanan
yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh ikan. Jumlah dan kualitas makanan yang
diberikan kepada ikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan.Dimanajumlah
dan kualitas pakan merupakan faktor penting. Bila pakannya terlalu sedikit,
ikan akan sukar tumbuh. Sebaliknya bila terlalu banyak, kondisi air menjadi
jelek (Assoniwora, 2009).
Kelangsungan hidup (SR) yaitu persentase jumlah benih ikan yang
masih hidup setelah perlakuan (Zonneveld dkk., 1991). Kelangsungan hidup
berfungsi untuk menghitung persentase ikan yang hidup pada akhir kegiatan.
Pada kegiatan ini kelangsungan hidup ikan bubara untuk semua perlakuan
adalah 90-95%. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh manajemen
pemberian pakan yang teratur serta pengontrolan yang dilakukan tiap hari serta
padat tebar yang tidak terlalu tinggi sehingga ada ruang dan pergerakan yang
leluasa dari ikan tersebut.Menurut Fajar (1988) dalam Sukoso (2002) tingkat
kelangsungan hidup ikan dipengaruhi oleh manejemen budidaya yang baik
antara lain padat tebar, kualitas pakan, kualitas air, parasit atau penyakit. Selain
itu menurut Mudjiman (2000) pakan yang mempunyai nutrisi yang baik sangat
berperan dalam mempertahankan kelangsungan hidup dan mempercepat
pertumbuhan ikan.
Analisa usaha secara umum ditetapkan dengan tujuan untuk menilai
manfaat investasi terhadap suatu usaha yang dilakukan, membandingkan
tingkat manfaat investasi terhadap suatu usaha dengan usaha lainnya, dapat
digunakan sebagai kendali terhadap investasi usaha yang dijalankan. Dan
berdasarkan hasil analisa kelayakan usaha kegiatan optimalisasi pemanfaatan
pakan rucah ini dapat menekan biaya operasional sebanyak 20 - 25%. Return of
investasi (ROI) 120% dan benefit cost ratio (B/C) ratio 2,56. ROI adalah nilai
keuntungan yang diperoleh pengusaha dari setiap jumlah uang yang
diinvestasikan dalam periode waktu tertentu. dengan analisis ROI dapat
mengukur sampai seberapa besar kemampuan dalam mengembalikan modal
yang telah ditanamkan. Dengan ROI 114% artinya dari modal Rp 100,- yang
diinvestasikan akan menghasilkan keuntungan sebesar 114 %. Dengan benefit
cost ratio dapat dilihat kelayakan suatu usaha. Bila nilainya satu berarti usaha
tersebut belum mendapatkan keuntungan. semakin kecil nilai ratio ini, makin
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 110
besar kemungkinan perusahaan menderita kerugian. Dan B/C ratio 2,14 berarti
dengan biaya produksi Rp. 100,- diperoleh hasil penjualan 2,14 kali.
Saran
Memperhatikan hasil yang diperoleh dalam kegiatan ini, maka dapat
disarankan:
“ Pembesaran ikan bubara di KJA di spot budidaya Dusun Wael selama ini
hanya mengandalkan benih dari alam untuk itu kedepan perlu usaha
pembenihan yang dilakukan sehingga usaha pembesaran yang terjadi di spot ini
dapat terus berlangsung”.
DAFTAR PUSTAKA
Alit, A. A., 2008. Analisis Finansial Produksi Benih Ikan Kuwe Gnathanodon
speciosus Forsskal Dengan Padat Penebaran Berbeda Dalam Hatchery
Skala Rumah Tangga di Kecamatan Gerokgak Buleleng Bali. BBRPBL-
Gondol Bali.
Alit, A. A. K., Setiadharma T. Dan Katimin, 2008. Pendederan Yuwana Ikan
Kuwe Gnathanodon speciousus Forsskal Dengan Jenis Pakan Yang
Berbeda di Bak Terkontrol. BBRPBL-Gondol.
Alit, I. G. K., 2009. Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Pertambahan Berat
dan Panjang Badan Belut Sawah (Monopterus albus). Jurnal Biologi
XIII (1), 25-28. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana-Bali.
Chrys, 2006. Ikan Kwee (Carangoides).
http://www.stp.dkp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=5
27:ikan-kwee-carangoides-chrysophrys&catid=97:ikan-
laut&Itemid=130.2006.
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Latar belakang
Anamnesa
Gejala Klinis
Gejala yang bisa diamati dari kejadian penyakit adalah serangan
penyakit dengan mortalitas dan morbiditas tinggi. kasus penyakit menimpa
hampir semua populasi lobster dengan gejala lobster mengalami kelemahan
umum, aktivitas hanya pada dasar jaring karamba, hilang nafsu makan,
kematian yang bertahap hingga mencapai 90%. Perubahan warna karapas
kemerahan kadang ditemukan, namun kadangkala juga tidak terjadi, pada
bagian otot perut ditemukan cairan dari semula jernih keputihan hingga putih
kecoklatan. Penyakit ini menular secara cepat diantara lobster dalam satu jaring
dan kemudian dalam satu karamba.
Pengambilan sampel
Kultur Bakteri
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 117
Lobster diletakkan pada sisi punggung berada di atas. Bagian punggung
diulas diantara karapas dan badan/ekor dengan kapas yang telah dibasahi
alkohol 70%.Haemolimph diambil dengan jarum 20G sebanyak sekitar 1ml.
Haemolimp diinokulasi pada TSA dan TCBS dengan beberapa tetes
haemolimp. Lalu diulas pada media untuk mendapatkan koloni yang terpisah
untuk dilakukan identifikasi bakteri.
Pengecatan Gram
Slide direndam dalam alcohol 95 % lalu dibersihkan, Slide dilewatkan
api 3x. Jarum ose dipanaskan, ambil aquadest steril dengan ose tersebut. Dimbil
haemolimp dengan jarum dan diletakkan pada slide beberapa tetes, diratakan
hingga terbentuk film yg tipis. Dikering anginkan selama 5 menit. Tuangkan
crystal violet (Gram A) pada slide biarkan selama 1 menit, Cuci dengan air
mengalir/ ledeng, kemudian dikering anginkan. Tuangkan gram,s iodine pada
slide, diamklan selama 1 menit. Cuci dengan air mengalir dan kering anginkan.
Cuci dengan alcohol 95%, Cuci dengan air mengalir dan kering anginkan.
Lakukan counter stain dengan safranin 1% selama 20 detik. Cuci dengan air
mengalir dan kering anginkan, Amati dibawah mikroskop meliputi warna dan
bentuk sel bakteri
Uji Parasitologi
Dilakukan ulas basah dan pengamatan menggunakan mikroskop
binokuler terhadap keberadaan parasit
Telong-elong - - -
T. Awang - - -
T. Gerupuk - - -
Uji Parasitology
Gambar 5. Pemeriksaan parasit pada insang, ujung sirip ekor dan ulas
haemolimp lobster,tidak ditemukan parasit
Saran
Agar kasus Milky disease tidak berulang pada tempat yang sama,
suplementasi premik dan vitamin padaa pakan disarankan selama treatmen
selain menghindari lalu-lintas masuknya lobster baru pada karamba.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
Alternativestrategiestoreduceandprevent thelethaleffectsfromdiseases
infectiononaquaculture activitiesare needed, especiallyafter it was revealedthat
theuse ofantibioticsproved to be ineffectiveandhas led to the resistance
inseveralstrainsof bacteria. Onealternativestrategyisthe use ofβ-glucan thathas
beenknownin generalplays an important rolein enhancing the innate and
adaptiveimmunesystem. In this study, the protective effect of β-glucans
produced from a specially-selected strain of the yeast Saccharomyces
cerevisiae (MacroGard), was tested on nauplii of the brine shrimp Artemia at
various concentrations under gnotobiotic conditions. Challenge tests were
performed with two pathogenic bacteria: Vibrio harveyi BB120 and a novel
strain of Vibrio HABRA6 (H6), at a concentration of 10 5 cells ml-1. An
autoclaved LVS3 was provided as a food source at a density of 107 cells ml-1 to
the Artemia during observation period. Various challenge tests showed that
three different concentration of β-glucan to enhance the immune system based
on size distribution analysis, 39 µg/L, 100 µg/L dan 200 µg/L was able to
provide a protection effect to the gnotobiotic culture of Artemia from bacterial
infections.This resultconfirms the potentialuse ofβ-glucan as
analternativeprophylactic approachfromthe use ofantibiotics, especiallyfor the
diseaseprevention.
PENDAHULUAN
Industri perikanan budidaya ikan dan udang merupakan sektor yang
sangat diharapkan dapat berkontribusi dalam peningkatan ekonomi masyarakat
di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu kegiatan industri perikanan adalah
penyediaan benih ikan dan udang yang berkualitas agar menjamin
keberlanjutan dan peningkatan produksi budidaya. Program penyediaan benih
berkualitas sangat bergantung kepada penentuan strategi pemberian pakan yang
tepat, sejak masa transisi dari ketergantungan pada kuning telur hingga
konsumsi pakan alami dari lingkungan (Hjort, 1914). Diantara pakan alami,
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 127
Artemia banyak digunakan di berbagai panti benih ikan dan udang dikarenakan
kualitas nutrisi yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan larva dan sistem
penyediaan yang mudah (Sorgeloos et al., 1986). Artemia sebagai pakan alami
mengandung asam lemak 20:5 (Ω-3) eicosapentaenoic acid atau EPA (Leger et
al., 1986) yang sangat dibutuhkan oleh sistem pencernaan larva. Namun, ada
kekhawatiran bahwa Artemia dapat menjadi vektor dalam perkembangan
penyakit, khususnya penyakit yang disebabkan oleh kelompok bakteri patogen
Vibrio penyebab vibriosis yang dapat menyebabkan tingkat mortalitas yang
tinggi (Gomezgil et al., 1994; Muroga et al., 1994; Verdonck et al., 1994).
Pada budidaya Artemia, beberapa bakteri patogen yang termasuk kedalam
genus Vibrio spp dilaporkan telah menjadi mimpi buruk dan menjadi salah satu
faktor penghambat dalam keberlanjutan produksi, diantaranya adalah: Vibrio
hispanicus (Gomez-Gil et al., 2004); Vibrio alginolyticus (Gunther dan Catena,
1980; Rico-Mora dan Voltolina, 1995); Vibrio parahaemolyticus (Gunther dan
Catena, 1980; Puente et al., 1992; Rico-Mora dan Voltolina, 1995; Orozco-
Medina et al., 2002). Fusarium solani (Criado-Fornelio et al., 1989); Vibrio
proteolyticus (Verschuere et al., 1999, 2000b); Vibrio harveyi atau Vibrio
campbelli (Roque and Gomez-Gill, 2003; Soto-Rodriguez et al., 2003a,b); dan
Vibrio vulnificus (Soto-Rodriguez et al., 2003a). Disamping bakteri dari
kelompok genus Vibrio spp, beberapa kelompok genus, seperti: Bacillus sp.,
Micrococcus sp., Staphylococcus sp., dan Erwinia sp juga menyebabkan
kematian pada Artemia (Austin dan Allen, 1982).
Upaya mengatasi penyakit yang disebabkan oleh bakteri umumnya
masih bertumpu kepada penggunaan antibiotika. Namun penggunaan yang
berlebihan dalam industri akuakultur telah menyebabkan bakteri resisten
terhadap beberapa antibiotika. Kajian dari Karunasagar et al. (1994)
menyebutkan bahwa kematian massal udang windu (Penaeus monodon)
disebabkan oleh bakteri Vibrio yang resisten terhadap Cotrimoxazole,
Chloramphenicol, Erythromycin dan Streptomycin. Selain hal tersebut,
penggunaan antibiotik juga menimbulkan ancaman terhadap kesehatan manusia
berupa alergi dan keracunan melalui akumulasi antibiotik pada produk olahan
ikan dan udang (Alderman dan Hastings, 1998; Cabello, 2006). Saat ini, upaya
untuk melindungi organisme akuatik dari infeksi Vibrio tanpa penggunaan
antibiotika sedang terus dikembangkan, salah satunya adalah melalui tindakan
pencegahan penyakit melalui penguatan sistem imun. Dalam konteks Artemia,
penguatan sistem imun alamiah pada inang melalui penggunaan β-glukan dapat
menjadi salah satu upaya pengendalian penyakit yang cukup efektif.
Tujuan dari kajian ini adalah untuk menginvestigasi apakah penggunaan
β-glukan dapat melindungi dan meningkatkan kelulushidupan (%) Artemia dari
infeksi 2 strain bakteri patogen: Vibrio harveyi BB120 dan strain baru Vibrio
H6 yang sebelumnya telah terbukti menyebabkan tingkat kematian yang tinggi
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 128
pada Artemia (Vanmaele et al., 2012). Sebagai tambahan, aplikasi beberapa
konsentrasi β-glukan juga dilakukan untuk memverifikasi konsentrasi optimal
yang dapat meningkatkan resistensi Artemia terhadap infeksi patogen Vibrio
spp.
Kultur Bakteri
Isolat murni Vibrio harveyi BB120 dan strain baru H6 yang sebelumnya
telah disimpan dalam larutan 30% gliserol pada suhu -800 C, diinokulasi secara
aseptik didalam 30 mL media marine broth dan diinkubasi selama satu malam
pada suhu 250-280 C dengan pengadukan yang konstan. Sebanyak 150 µL
selanjutnya ditransfer dan dikembangkan hingga fase stationery dalam 30 mL
media marine broth selama 6 jam sebelum digunakan untuk uji tantang.
Kepadatan bakteri ditentukan secara spektrofotometer pada panjang gelombang
550 nm. Kepadatan bakteri kemudian dihitung dengan menggunakan
perhitungan:
Analisa statistik
Data untuk persentase tingkat kelulushidupan (%) Artemia disajikan
sebagai nilai rata-rata yang diikuti oleh perhitungan penyimpangan baku. Data
kelulushidupan (%) di ubah ke dalam bentuk arcsine untuk memenuhi
persyaratan distribusi normal dan keseragaman data. Data kelulushidupan (%)
kemudian dianalisa menggunakan one way ANOVA yang diikuti dengan
analisa Tukey‟s multiple comparison range menggunakan piranti lunak SPSS.
Seluruh level signifikan ditentukan pada p<0.05.
Analisa
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri akan sangat mengganggu
bahkan dapat merugikan pembudidaya ikan apabila serangan tersebut
mematikan seluruh ikan budidaya yang dipelihara. Salah satu jenis penyakit
bakteri yang sering dijumpai pada budidaya ikan air tawar adalah Aeromonas
hydrophila. Bakteri jenis ini yang menimbulkan penyakit bercak merah, borok
dan ekor keropos pada beberapa jenis ikan seperti ikan lele, patin, mas dan
gurame. Beberapa faktor penyebab timbulnya penyakit ini diantaranya yaitu
kualitas air yang sudah menurun serta perubahan iklim yang tidak menentu.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 138
Berbagai upaya telah banyak ditempuh oleh sebagian besar
pembudidaya ikan untuk menanggulangi penyakit bakteri jenis ini. Salah
satunya adalah penggunaan obat seperti antibiotik. Penggunaan obat ini
dilakukan secara terus menerus tanpa memperhatikan dosis dan cara pemakaian
yang seharusnya sehingga dapat menimbulkan dampak lainnya yang akan
merugikan pembudidaya ikan itu sendiri, misalnya penyakit atau patogen akan
lebih resisten dengan jenis obat tertentu, lingkungan budidaya tercemar obat
dan bahkan terakumulasinya bahan antibiotik di dalam jaringan tubuh ikan.
Oleh karena itu, maka diperlukan upaya untuk mengurangi pemakaian obat-
obatan atau bahan kimia dalam penanggulangan penyakit ikan.
Salah satunya adalah dengan memanfaatkan potensi tanaman obat
yang ada di sekitar kita. Pemanfaatan obat herbal yang berasal dari tanaman
obat masih sangat jarang dijumpai untuk mengatasi penyakit ikan budidaya.
Berbagai jenis tanaman obat telah terindikasi mampu mengatasi atau
mengendalikan jenis bakteri tertentu. Jenis tanaman tersebut di antaranya yaitu
daun sirih, daun papaya, daun jambu biji, meniran, dan lain sebagainya.
Jambu Biji (Psidium guajava Linn) telah lama dimanfaatkan sebagai
tanaman obat yang dapat menyembuhkan diare, keputihan, diabetes, sariawan,
dan luka berdarah (Alisyahbana, 1993 dalam Darsono dkk., 2003). Bagian
tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional adalah daun yang
mengandung minyak atsiri, lemak, dammar, garam-garam mineral, triterpenoid
disamping itu juga tannin dan flavonoid yang diduga berkhasiat sebagai
antidiare. Pemakaiannya dengan cara direbus atau diremas-remas halus dengan
air dan garam kemudian disaring, air remasan tersebut langsung diminum tanpa
direbus (Hembing 1992 dalam Darsono & Artemesia, 2003)
Efek farmakologis yang dimiliki daun jambu biji disebabkan oleh
berbagai kandungan kimia dalam daun jambu biji seperti senyawa fenolat,
flavonoid, karotenoi, terpenoid dan triterpen (Gutierrez et al., 2008 dan Kamath
et al., 2008 dalam Rivai dkk., 2008). Ekstrak kental daun jambu biji
mengandung kuersitrin, minyak atsiri, tannin, β-sitisterol dan asam guatakolat
(Badan POM, 2004 dalam Rivai dkk., 2008). Selain itu berbagai kajian
fitokimia telah menemukan kandungan kimia daun jambu biji yang lebih rinci
antara lain senyawa fenolat total 575,3 mg/g daun kering (Nihorimbere, 2004
dalam Rivai dkk., 2008), kuersetin 0,181-0,393% (El Sohafy et al., 2006 dalam
Rivai, dkk., 2008), morin, morin-3-O-likosida, morin-3-O-arabinosa, kuersetin
dan kuersetin-3-O-arabinosa (Arima & Danno, 2002; Rattanachaikunsopon &
Phumkhachom, 2007 dalam Rivai, dkk., 2008), guajavaria (Arima & Danno,
2002 dalam Rivai, dkk., 2008), guajadial (Yang et. Al., 2007 dalam Rivai, dkk.,
2008) asam ferulat (Chen & Yen, 2007 dalam Rivai, dkk., 2008).
Menurut Sudarsono, dkk. (2002) dalam Daud, dkk (2011) daun jambu
biji mengandung flavonoid, tannin (17,4%), fenolat (575,3 mg/g) dan minyak
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 139
atsiri. Efek farmakologis dari daun jambu biji yaitu antiinflamasi, antidiare,
analgesic, antibakteri, antidiabete, antihipertensi dan penambah trombosit.
Adapun salah satu senyawa dari flavonoid yang terkandung dalam daun jambu
biji adalah kuersetin, yang memiliki titik lebur 310 oC, sehingga kuersetin tahan
terhadap pemanasan.
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (Anonim, 2000). Rosidah & Afizia (2012) membuktikan bahwa
ekstrak daun jambu biji yang diperoleh dengan cara maserasi pada konsentrasi
250 ppm- 3250 ppm berpotensi sebagai antibakteri terhadap bakteri Aeromonas
hydrophila dengan diameter zona hambat berkisar 6,5 -11,5 ml. Potensi ekstrak
daun jaumbu biji dikategorikan berspektrum luas dan aman digunakan untuk
pengobatan benih ikan gurame yang terserang bakteri Aeromonas hydrophila
pada konsentrasi dibawah 600 yaitu 580 ppm.
Tujuan
Kegiatan ini mempunyai tujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak
daun jambu biji dengan metode maserasi dengan jenis pelarut yang berbeda
terhadap zona hambat bakteri Aeromonas hydrophila
METODOLOGI
Pembuatan ekstrak daun jambu biji dengan metode maserasi
Kegiatan ekstraksi dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
1. Simplisia daun jambu biji yang akan digunakan adalah sebanyak 100 gr
untuk satu jenis pelarut dan dimasukan kedalam wadah maserasi.
2. Ethanol 95% dan akuades yang digunakan sebagai solvent sebanyak 500
ml dimasukan ke dalam wadah maserasi.
3. Masing-masing wadah maserasi yang berisi simplisia daun jambu biji
dan jenis pelarut yang berbeda diaduk selama 1 jam pada suhu 60 0C
untuk pelarut ethanol 95% dan suhu 800C untuk pelarut akuades.
4. Setelah pengadukan selesai, hasil pengadukan disaring dengan kertas
whatman.
5. Hasil penyaringan didiamkan selama 1 x 24 jam dalam wadah tertutup
pada suhu ruang.
6. Setelah didiamkan selama 1 x 24 jam, hasil ekstraksi kemudian
dievaporasi menggunakan vacuum rotary evaporator.
7. Pengaturan suhu yang digunakan yaitu suhu 600C untuk evaporasi
pelarut ethanol 95% dan suhu 800C untuk pelarut akuades.
8. Masing-masing diputar dengan kecepatan 120 rpm selama 30 menit
9. Hasil evaporasi disimpan dalam wadah tertutup.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 140
Metode pembuatan media TSA
Menurut Buller (2004), pembuatan media TSA dilakukan dengan cara berikut:
1. Tryptone soya agar yang digunakan berbanding dengan akuades yaitu 1:25
2. Larutan diautoclave pada 1210C selama 15 menit
3. Sebelum dituang ke cawan petri tunggu larutan lebih dingin sekitar 50 0C
Analisa Data
Data hasil uji cakram disk dalam bentuk ukuran diameter zona hambat
dianalisa keseragamannya terlebih dulu sebelum diolah menggunakan one-way
ANOVA pada program SPSS 15. Nilai keseragaman data dapat dilihat dari uji
homogenitas. Apabila nilai sig > 0.05 maka data bersifat seragam atau
homogen, namun jika sebaliknya sig < 0.05 berarti data tidak homogen dan
data tidak dapat dilanjutkan analisa dengan ANOVA. Hasil analisa data
menggunakan ANOVA memiliki interpretasi data sebagai berikut:
Nilai sig < 0.05, maka perlakuan memiliki pengaruh atau berbeda nyata.
Sedangkan nilai sig > 0.05 maka tidak terdapat perbedaan antar perlakuan yang
diberikan terhadap ukuran diameter zona hambat bakteri A. hydrophila.
Tabel 1. Diameter zona hambat bakteri A. hydrophila hasil test cakram disk
Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Between
308.167 1 308.167 49.010 .000
Groups
Within Groups 138.333 22 6.288
Total 446.500 23
Nilai Sig 0.000 < 0.05 menunjukkan perlakuan berbeda sangat nyata
KESIMPULAN
1. Ekstraksi daun jambu biji dengan metode maserasi mampu memberikan
efek hambat pertumbuhan bakteri A. hydrophila secara in vitro.
2. Pelarut aquades menghasilkan diameter zona hambat yang lebih baik dari
pelarut ethanol dalam ekstraksi daun jambu biji secara maserasi.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi
sebagai Unit Pelaksana Teknis Perikanan Budidaya Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya (Nomor 6/PERMEN-KP/2014) melaksanakan salah satu
fungsinya yaitu pengelolaan produksi induk unggul dengan tujuan memiliki
kemampuan untuk menyediakan benih calon induk bernutu
Sejak lama BBPBAT Sukabumi melaksanakan produksi benih ikan
hingga induk Grass carp atau ikan koan (Ctenopharingodon idella) karena ikan
Grass carp tersebut merupakan salah satu spesies ikan air tawar yang memiliki
kemampuan untuk pemanfaatan sumber protein nabati dari berbagai jenis
rumputan atau tanaman hingga menjadi bahan yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber protein hewani bagi manusia yang mengkonsumsinya.
Berbagai teknik pematangan gonad induk betina hingga diperoleh induk
yang siap pijah secara semi alami (Induced spawning) maupun pemijahan
buatan (Induced Breeding) telah dilaksanakan dan demikian pula
pengembangan teknis fertilisasi telur hingga penetasanya pun telah diupayakan.
Karakteristik telur yang dihasilkan oleh induk ikan Grass carp adalah (1)
satu ekor induk matang gonad yang memiliki bobot badan 5 kg mampu
menghasilkan jumlah telur berkisar 400 000-500 000 butir telur dengan ukuran
diameter telur yang telah mencapai pengembangan maksimal berkisar 3.7-5.3
mm (Woynarovich dan Horvath, 1980), (2) telur yang dihasilkan oleh induk
ikan Grass carp adalah tidak memiliki bahan perekat terhadap media (Non
Sticky). (3) memiliki bobot basah telur melebihi dari bobot masa air jernih
(Shireman dan Smith, 1982) sehingga jika tidak terdapa penggerak terhadap air
maka telur akan bertumpuk yang mengakibatkan peluang kerusakan fisik telur
menjadi tinggi dan pemenuhan kebutuhan oksigen menjadi rendah.
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah dibutuhkan wadah
penetasan telur dengan luasan yang relatif yang tinggi. Data dan informasi yang
dimiliki menunjukkan bahwa (1) penetasan telur ikan Grass carp dengan
menggunakan aquarium 50x30x30 cm dibutuhkan jumlah sebanyak 40 buah
dan (2) penetasan telur dalam hapa corong dengan diameter 50 cm dan tinggi
Metodologi
Metodologiyang digunakan mencakup Standar Operasional
Pelaksanaan (SOP) persiapan induk jantan dan betina siap pijah, periapan
wadah pemijahan semi alami, persiapan wadah penetasan telur, pengendalian
terpadu antara aplikasi hormonal, oksigenisasi dan pengaturan pergerakan arus
air dalam wadah yang digunakan dari mulai ovulasi telur dan sperma,
fertilisasi, penetasan telur apung, pemeliharaan benih awal hingga berumur 5
hari dan pendederan intensif mono-kultur stadia benih dalam kolam semi-
permanen.
Persiapan wadah
Wadah-wadah yang digunakan terdiri dari (1) 1 unit bak permanen
3x2x1,5 m yang dilengkapi 1 buah hapa halus berukuran 2.8x0,9x1.0 m, 1 buah
jaring penutup bak berukuran 4x2x1 m, 1 buah High blower 80 watt dan
instalasi pemasukan dan pengeluaran air yang berasal dari pompa air 1,5 pK,
(2) wadah penetasan telur yang terdiri dari 20 buah akuarium berukuran
40x30x25 cm, 5 wadah fiber glass Tipe I bulat dengan ukuan diameter atas
sebesar 100 cm dan diameter bawah sebesar 80 cm dan ketinggian air 100 cm,
4 buah wadah fiber glass bulat Tipe II dengan ukuan diameter atas sebesar 120
cm dan diameter bawah sebesar 100 cm dan ketinggian wadah 100 cm, 1 buah
high blower 120 watt dan 1 buah pompa air 1,5 pk, (3) instalasi penyaring larva
-benih berdiameter 30 cm dan (4) alat perikanan berupa ember plastik 50 lt,
Skop net halus 40 cm. Tampilan tipe fiberr glass yang digunakan sebagai
wadah pentesan telur ikan Grass carp, disajikan pada Gambar 3 A dan 3 B.
Gambar 3. (A) Tampilan tipe fiberr glass I dan (B) Tipe fiber glass II yang
digunakan sebagai wadah pentesan telur ikan Grass carp
A B
Gambar 3. Tampilan contoh telur trasparan (A) dan (B) Tampilan contoh
benih berusia 5 hari ikan Grass carp (Ctenopharingodon idella)
Kaca
Persegi
Akuarium 40x30x30 m 20 20 000 33 12 490 41.6
Volume air 30 lt
Ketinggian air 25
cm
Air tetap
Fiber glass
Selinder
Atas 100 cm
Wadah Dasar 80 cm 4 240 000 60 186 910 77.9
Tipe I Ketinggian wadah
120 cm
Ketinggian air 100
cm
Volume air 1000 lt
Air mengalir
Fiber glass
Selinder
Wadah Atas 150 cm
Tipe II Dasar 120 cm 4 250 000 52 177 600 74.0
Tabel 1.Data hasil penghitungan jumlah telur contoh dan derajat tetas
(Hatching Rate) benih berumur 5 hari ikan Grass carp yang
ditebarkan untuk ditetaskan dalam akuarium, fiber glass tipe I dan
Fiber Glass tipe II
PEMBAHASAN
Tingkat keberhasilan dalam perolehan kuantitatif maupun kuantitatif
produksi benih yang dihasilkan sangat tergantung kepada kemapuan personil
dalam ilmu pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang didukung oleh
ketersediaan induk, bahan dan ketersedian fasilitas atau sarana pendukung
produksi. Woynarovich dan Hovarth (1980) menyatakan bahwa keberhasilan
produksi benih ikan sangat ditentukan oleh (1) ketersediaan induk yang siap
untuk dipijahkan, (2) ketersediaan adah dan peralatan yang dapat digunakan
dari mulai pemijahan hingga pemeliharan benih dan (3) ketersediaan bahan
yang dibutuhkan dalam perangsangan ovulasi, fertilisasi dan pengendalian
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 154
lingkungan dan (4) ketersedianya sarana dan prasarana pendukung dalam
produksi. Sementara itu, Boyd (1990) menyatakan bahwa parameter kualitas air
yang sangat memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan stadia
benih adalah kandungan oksigen terlarut, pH, fluktuasi suhu air dan kandungan
Amonia terlarut (NH3). Hasil-pelaksanaan kegiatan pengendalian karakter
biologi dalam upaya peningkatan stadia benih dalam satu kali periode dengan
jumlah sebanyak 1 ekor induk betina Grass carp matang gonad berukuran bobot
badan 6.2 kg dan 4 ekor induk jantan matang gonad dengan ukuran bobot
badan berkisar 3,3-3,8 kg ditambah dengan aplikasi perangsangan hormonal
dengan dosis 0,6 cc Ovaprim /kg bobot badan induk betina dan 0,2 cc Ovaprim/
kg induk jantan serta menggunakan 1 buah bak permanen berukuran 3x2x1 m
yang dilengkapi 1 buah hapa halus berukuran 2.8x1.8 m, 1 buah high blower 60
watt, 4 buah fiber glass berdiameter 1 m dengan ketinggian 1,2 m dan 1 buah
kolam semi permanen berukuran 350 m2 dapat diperoleh data dan informasi
bahwa ovulasi telur secara alamiah tercapai dengan baik pada pH air 7.2-7.6,
suhu air 22-24 oC, Oksigen terlarut 5-6 ppm dengan jumlah telur sebanyak +
510 000 butir telur dan 377 ekor benih berusia 5 hari
Permasalahan yang dihadapi dalam produksi benih ikan Grass carp
adalah dibutuhkan wadah penetasan telur dengan luasan yang relatif yang
tinggi karena rata-rata telur yang diperoleh dari induk betina matang ganad
berumur 4 tahun dan bobot badan telah berkisar 5-6 kg dapat menghasilkan
telur 100-120 butir telur/kg bobot badan (Woynarovich dan Hovarth (1980)
oleh sebab itu, berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi dalam produksi
benih ikan Grass carp, pendekatan teknis yang dilakukan adalah aplikasi
Siststim dan Teknis (Sistek) dengan dasar pertimbangan wadah penetasan telur
yang memiliki luasan tinggi dan dilengkapi oleh sumber air mengalir dan
sumber udara yang memiliki tekanan sebagai penggerak air. Hasil pelaksanaan
penetasan telur ikan Grass carp menunjukkan bahwa penggunaan wadah fiber
glass tipe I lebih baik dibandingkan dengan menggunakan akuarium atau fiber
tipe II yang memiliki diameter permukaan 150 cm namun kedalam air sebesar
50 cm. meneluri pada aliran air yang digunakan pada wadah fiber glass Tipe I
dan tipe II menunjukan bahwa hasil-hasil penetesan telur dan pemelihaan larva
hingga benih berumur 5 hari relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
penetasan telur hingga pemeliharaan benih dengan menggunakan akuarium
persegi. Rendahnya nilai derajat penetasan telur sangat berkaitan erat dengan
(1) bentuk akuarium segi empat memiliki daerah pojok yang dikenal dengan
nama daerah mati (Dead area) sehingga mengakibatkan banyaknya telur yang
terkumpul dan benturan antara telur banyak terjadi dan (2) tingginya
kandungan amonia (NH3) sebagai akibat dari banyak cangkang telur ikan yang
tidak segera dibuang dan dilakukan penambahan air baru.
DAFTAR PUSTAKA
Dasep Hasbullah 1), Sugeng Raharjo 2), Sadat 3),Harnita Agusanty 4),
Muhammad Amri Tiro 5).
ABSTRACT
Key Words: flying fish, high economic value, extinction and preservation
Tujuan Kegiatan
- Untuk mendapatkan suatu teknologi penetasan dan perawatan larva ikan
terbang yang tepat sehingga kualitas dan kelulushidupan (survival rate)
larva dapat ditingkatkan untuk kesuksesan restocking.
- Mempertahankan kesimbangan dan pengkayaan keragaan biota aquatik
khususnya populasi komoditas ikan terbang (Hirundichtys Oxycephalus).
Pengambilan telur
Telur ikan terbang diperoleh dari para nelayan pencari, penangkap dan
pengepul di wilayah perairan sekitar lokasi pembenihan. Biasanya para
Nelayan baru mendapatkan hasil buruan telur ikan terbang setelah mengarungi
peraian selama dua sampai empat hari. Disamping menangkap telur yang sudah
terurai dalam rerumputan yang mengapung di lautan (sargosum), mereka juga
menciptakan alat penangkap telur sendiri yang terbuat dari belahan bambu dan
kerangka rotan yang dibentuk kerucut sebagai perangkap ikan terbang yang
bertelur (dalam bahasa makassar disebut Pakajja). Untuk menciptakan rumpon
lain bagi telur ikan terbang para nelayan membuatnya dari daun kelapa yang
disebar di perairan dimana kumpulan populasi ikan terbang diketemukan.
Pengangkutan telur
Pengangkutan telur ikan terbang dari laut/perairan menggunakan
wadah/ember/drum plastik/bak fiber volume isi 30 s/d 50 liter, selanjutnya diisi
air laut sebanyak 2/3 bagiannya kemudian telur yang menempel pada substrat
atau yang terjebak dalam pakajja dimasukan ke dalam wadah dengan
memperhatikan tingkat kepadatan dan lama waktu tempuh perjalan.
Pemantauan kualitas air dan penggunaan aerator selama dalam pengangkutan
senantiasa harus dilakukan secara serius termasuk kegiatan penggantian air
dalam wadah setiap interval 1-1,5 jam selama dalam perjalanan terlebih pada
saat kondisi kualitas air rusak agar kualitas telur tetap terjaga dengan baik.
Seleksi telur
Seleksi telur-telur ikan terbang sebelum ditetaskan dimaksudkan untuk
mendapatkan telur yang sehat, berkualitas baik dan siap tetas, dapat dilakukan
secara visual dan manual maupun secara laboratorium.
Disinfektan telur
Telur ikan terbang yang telah terseleksi dengan baik selanjutnya
disucihamakan dengan KMNO4 3 ppm, Malachytgreen oxalat 0,02 ppm dengan
tujuan agar kualitas telur yang hendak ditetaskan terhindar dari serangan hama
yang ikut pada media pembawa atau media yang digunakan sebagai substrat
tempat melekatnya telur.
Tabel 4. Ktriteria kualitas air yang layak untuk pendederan larva ikan
terbang
Pemberian pakan
Pakan alami yang digunakan adalah phytoplankton jenis Tetracelmis
dan Rotifera diberikan pada stadia larva satu hari dengan kepadatan
Tetracelmis antara 5000 – 10.000 cel/cc dengan frekuensi pemberian 2
kali/hari. Untuk larva berumur 3 hari sampai hari ke 12 dan menjelang panen
diberikan pakan berupa naupli Artemia dan pakan komersil berupa pellet halus
(powder dan cramble) sebanyak 5% dari berat total biomasa larva ikan terbang
dengan frekuensi pemberian pakan 5 kali perhari yaitu pada waktu pagi, siang,
sore dan malam hari (jam 07.00, 10.00, 13.00, 16.00, dan 19.00).
Tabel 5. Ciri benih ikan terbang yang telah siap ditebar di perairan dan
laut lepas
Kesimpulan
Kegiatan pembenihan ikan terbang sangat mendukung terhadap
pelestarian alam. Melalui program restocking ini terlihat ada peningkatan
populasi ikan terbang di alam dalam berbagai ukuran dan berdampak positif
terhadap jumlah hasil tangkapan para nelayan yang semakin meningkat, begitu
pula terhadap produktivitas telur ikan terbang di beberapa produsen olahan
telur ikan terbang yang mengalami peningkatan setiap harinya.
Saran
Melihat manfaat dan dukungan berbagai pihak khususnya dari para
belayan penangkap ikan terbang yang banyak merasakan dampaknya secara
langsung, maka kegiatan pembenihan ikan terbang untuk pelestarian alam perlu
terus dilakukan secara keberlanjutan
DAFTAR PUSTAKA
Andi Tamsil (1992), Pertumbuhan dan Kelangsungan hidup larva ikan terbang
(Cypselurus Oxycephalus) pada berbagai jenis pakan. Tesis Program
Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Ujung Pandang.
PENDAHULUAN
Lawi-lawi (Caulerpa.sp) sebagai komoditas baru dari golongan
rumput laut yang dikembangkan oleh Balai Perikanan Budidaya Air Payau
Takalar hingga saat ini telah menunjukkan hasil yng significant. Lawi-lawi
yang dulu dianggap sebagai gulma dan panganan biasa oleh masyarakat,
melalui teknologi budidaya yang dikembangkan BPBAP Takalar dalam
program diversifikasi komoditas untuk meningkatkan produktivitas tambak idle
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 166
di Sulawesi Selatan kini sudah menjadi salah satu komoditas primadona yang
dipilih oleh para petambak untuk meningkatkan penghasilan mereka,
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan pembudidaya. Kini permintaan
lawi-lawi dari beberapa pasar lokal di Sulawesi Selatan semakin menunjukan
peningkatan bahkan sudah mulai merambah pasar ekspor ke beberapa negara
seperti Cina, Korea, Jepang dan Philipina.
Produksi lawi-lawi (Caulerpa.sp) saat ini terus mengalami
peningkatan, hal ini sejalan dengan bertambahnya jumlah pembudidaya yang
mengadopsi teknologi budidanya, kondisi tersebut secara simultan akan
mendongkrak peningkatan nilai produksi lawi-lawi di tambak sehingga
keberadaan lawi-lawi di pasar akan melimpah ruah. Untuk mengimbangi
produksi yang tinggi tersebut selain terus mensosialisasikan lawi-lawi sebagai
bahan pangan lalaban dalam kondisi segar, juga dibutuhkan teknologi
pengolahan lawi-lawi menjadi sumber pangan yang bermanfaat bagi
masyarakat dalam upaya peningkatan gizi dan sumber protein nabati dengan
kemasan/olahan yang disukai masyakat.
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar melalui kegiatan
rekayasa teknologi lawi-lawi merintis pengembangan teknologi pengolahan
lawi-lawi sebagai bahan pangan dalam bentuk aneka olahan higienis yang
diharapkan dapat meningkatkan tren konsumsi lawi-lawi pada masyarakat luas
sebagai upaya peningkatan produksi perikanan budidaya yang ramah
lingkungan dan berkelanjutan. Beberapa teknologi pengolahan lawi-lawi yang
dikembangkan oleh BPBAP Takalar antara lain : Pengolahan lawi-lawi sebagai
panganan segar dalam menu lauk pauk (palu kace, palu cela, sop lawi-lawi
,urab dan gado-gado lawi-lawi) juga dikembangkan teknologi pengolahan lawi-
lawi sebagai panganan hidangan dalam bentuk kue (agar lawi-lawi, puding
lawi-lawi, bolu lawi-lawi dan lapis lawi-lawi), sebagai camilan makanan ringan
lawi-lawi juga diolah menjadi asinan lawi-lawi, kerupuk lawi-lawi dan permen
lawi-lawi. Selain itu juga lawi-lawi diolah menjadi minuman segar yang
menyehatkan (jus lawi-lawi dan minuman herbal lawi-lawi).
Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan nilai tambah
produk lawi-lawi yang dihasilkan dari kegiatan budidaya dan tersedianya aneka
panganan dengan bahan baku lawi-lawi (Caulerpa. sp) disamping sebagai
bahan panganan/makanan segar/lalapan.
METODOLOGI
Waktu dan tempat
Prosedur Kerja
- Menyiapkan bahan baku utama (lawi-lawi hasil produksi di tambak)
- Seleksi kualitas bahan baku lawi-lawi
- Pencucian lawi-lawi
- Menyiapkan bahan baku pendukung (ikan, campuran bahan baku dan bumbu)
- Membuat olahan utama
- Pembuatan aneka menu hidangan dengan bahan baku lawi-lawi
- Pengemasan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 168
- Penyajian/hidangan
Pemberokkan/Penampungan sementara
Lawi-lawi hasil seleksi selanjutnya dilakukan
pemberokkan/penampungan dalam bak dengan media air laut yang steriil,
diberi aerasi yang cukup dan reserkulasi yang cukup untk proses pencucian
(leaching) secara alami agar semua kotoran dan lumpur dari tambak
pemeliharaan yang melekat terlepas dari akar, tallus dan anggur lawi-lawi yang
akan diolah.
Pencucian
Setelah dilakukan pemberokkan selam 3 hari, lawi-lawi dari bak
penampungan selanjutnya ditiriskan selama 10-15 menit, kemudian dilakukan
pencucian dengan menggunakan air tawar yang bersihsebelum dilakukan
pengolahan lebih lanjut
DAFTAR PUSTAKA
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 170
Azizah. Ria. 2006. Percobaan berbagai macam metoda budidaya Latoh
(Caulerpa racemosa) Sebagai Upaya Penunjang kontinuitas
produksi.Ilmu Kelautan Juni 2006. Vol.II (2):101-105.
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. 2010. Evaluasi dan Pemetaan
Kelayakan Sumberdaya Lahan Budidaya Tambak dan Laut di Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Timur.
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros Sulawesi Selatan.
http://www.globinmed.com/index.php?option=com_content&view=article&id=
79160:caulerpa-lentillifera-j-agardh&catid=367:c (28 April 2012).
Batucan, M.L.C and Tanduyan, S.N. 2006. Growth rate of Caulerpa lentillifera
Ag. (Chlorophyta) in different substrates in the marine waters of San
Francisco, Cebu, Philippines. APCAB, College, Laguna (Philippines).
Pariyawathee, Santi, Nakhon Si Thammarat. 2003. Optimum condition of
environmental factors for growth of sea grape (Caulerpa lentillifera: J.
Agardh). Thai Fisheries Gazette.
Pong-Masak, P.R, Abdul Mansyur, dan Rachmansyah. 2007. Rumput Laut
Jenis Caulerpa dan Peluang budidayanya di Sulawesi Selatan. Media
Akuakultur Volume 2.
Trono, G.C.R, Jr. 1987. Studies on the pond culture of Caulerpa. Philippine
Journal of Science 0031-7683 (no. 17) p. 83-98.
http://www.onlyfoods.net/caulerpa-lentillifera.html (28 April 2012)
http://www.fao.org/docrep/006/y4765e/y4765e0b.htm. 8.8 Sea grapes or green
caviar (Caulerpa lentillifera) (28 April 2012)
McHugh, Dannis J. 2003. A guide to the Seaweed Industry. FAO FISHERIES
TECHNICAL PAPER 441. Rome Italia.
Novaczek, Irene. 2001. A Guide to the commom edible and Medicinal Sea
Plants of the Pacific Islands. Community Fisheries Trainning Pacific
Series 3A.
Li, Demao; Guance Wang, Limei Chen, Fang Lu, Zonggen Shen. 2008. Effect
of Irradiance and Temperature on the photosynthesis and Vegetative
Propagation of Caulerpa serrulata.
RADIASI ULTRA VIOLET SEBAGAI STIMULATING GROWTH
FACTOR (SGF) KULTUR MASSAL PHYTOPLANKTON
(CHLORELLA SP)1
1
Makalah disampaikan pada „Indonesian Aquaculture 2014‟ di Jakarta
2
Perekayasa Muda Balai Budidaya Air Payau Takalar
3
Perekayasa Pertama Balai Budidaya Air Payau Takalar
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 171
.
ABSTRACT
Problems in the production of high quality chorella are low density, short
exponential growth charts, as well as contamination. Intensity of ultraviolet
radiation in the sub-optimal in the target organism, tend to inactivate
temporally. Therefore, the engineering activity aims to examine the role of
ultraviolet radiation as a Growth Stimulant Factor (GFS) and the reducing
agent pathogens in mass culture chlorella to produce high quality output. The
test method conducted in combination with mass culture tank volume of 20 m 3
with 4 m3 chlorella as seed with initial density is 5.4 x 10 6 cell/ml, where the
first seed treatment combination is passed to the ultraviolet filter KM-UV Type
I, while in the control tank cultures without UV filter. Culture period is done to
achieve exponential growth charts. Based on the observations: the combination
test (UV irradiated seeds) obtained the highest density of exponential growth in
the D9 which is 36 x 106 cells/ml, whereas in the control tanks on D7 is 31.5 x
106 cells / ml. The decline in growth in the control tanks to D10 recorded 5.0 x
106 cells / ml, whereas in test basins still can last up to 23.0 x 10 6 cells/ml. This
is very different from the culture using seeds that have been carried out UV
radiation, the culture can survive up to a maximum fixed maintenance period
day 9. While the results of microbiological observations (total bacteria and
total Vibrio sp), the D1 total bacteria and total Vibrio sp in test basins lower
than controls. The phenomenon can be explained with assuming that some
pests dead or weakened by UV radiation activity so as not to interfere with the
optimization of culture, as well as sub-optimal UV radiation on seed chlorella
even make it as stimulating growth factor (SGF), which in the form of thymine
dimers was lets get back to normal. This result is expected from the application
of UV filters can become SOP in the mass culture of chlorella for high quality
output and suppress pathogens for use in culturing zooplankton (rotifers) to
support the seed business in aquculture.
Key Words : Stimulating Growth Factor (SGF), eksponential, mass culture
PENDAHULUAN
Input biomass yang berkualitas dan berdensitas tinggi pada produksi
massal plankton dewasa ini, merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
produksi akhir kegiatan aquakultur (final production)(Navarro and Yufera,
1998). Permasalahan yang sering muncul pada klutur chorella yaitu rendahnya
tingkat kepadatan hasil panen, grafik pertumbuhan eksponensial dalam rentang
periode kultur yang pendek, serta munculnya kontaminasi dari berbagai jenis
protozoa, plankton lain dan bakteri patogen.
Tujuan :
Tujuan Kegiatan :
Mengkaji peran ultra violetsebagai faktor perangsang tumbuh (SGF) pada
kultur massal chlorella.
Melihat tingkat performa pertumbuhan eksponensial chlorella yang telah
diaktivasi dengan filter UV.
METODOLOGI
Persiapan media kultur
Air media kultur dari laut disaring dengan filter bag dan saringan kapas
dan ditampung pada bak beton yang berukuran 20 m3. Selanjutnya dilakukan
sterilisasi dengan kaporit 10 ppm. Air laut yang telah diklorin apabila akan
digunakan terlebih dahulu dicek dengan menggunakan chlorin test (ambil 5 ml
air laut dan teteskan 2 tetes klorin test, apabila warna air laut berubah menjadi
kuning tua berarti bahan aktif klorin masih kuat), selanjutkan dilakukan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 174
penetralan dengan menggunakan natrium thiosulfat (1/3 dari jumlah chlorin)
dan diaerasi hingga netral. Selanjutnya dilakukan pengecekan kembali
kandungan klorin, ambil 5 ml air laut dan teteskan 2 tetes chlorin test, apabila
warna air berubah menjadi terang/bening berarti air laut telah netral dan siap
digunakan.
Kemudian dilakukan pemupukan dengan komposisi pupuk antara lain :
ZA 60 ppm, Urea 40 ppm, TSP 30 ppm, NPK 10 ppm, EDTA 5 ppm dan
Daxon 2 ppm (formula dari BBAP Takalar) dan aerasi dijalankan secara
perlahan. Selanjutnya media kultur siap dipakai.
Saran
Untuk memperoleh hasil yang lebih optimal guna mereduksi patogen
sebaiknya pada setiap pemanenan chlorella perlu dilakukan stimulasi dengan
radiasi ultra violet, baik untuk dikultur kembali maupun untuk pakan rotifer.
ABSTRACT
Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas budidaya ikan
patin, papuyu, dan nila yang dipelihara dalam satu kolam lahan gambut,
sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah diperoleh informasi produksi
budidaya ikan patin, papuyu, dan nila dalam satu kolam lahan gambut.
Pengapuran
Jika air kolam telah dibuang, selanjutnya dilakukan pengapuran
menggunakan kapur tohor, dengan tujuan membasmi hama/penyakit,
memperbaiki struktur tanah dan menaikkan pH. Kapur disebarkan secara
merata di permukaan dasar kolam dan dinding kolam. Dosis kapur yang
diberikan antara ≤ 300 g/m2.
Pemupukan
Kegiatan pemupukan dilakukan sekitar 3-5 hari setelah pengapuran
untuk memberikan waktu agar kapur yang ditebar dapat bereaksi dengan tanah
maupun air kolam. Pupuk kandang diberikan dengan dosis 300-500 g/m2
dengan menebarkannya pada kolam atau dapat pula dengan membenamkan
pupuk kandang yang dikemas dalam karung plastik ke dalam kolam, dengan
tujuan untuk menambah unsur hara sehingga plankton dapat tumbuh dan
diharapkan terjadi kenaikan pH air. Sehari setelah pemberian pupuk kandang
selanjutnya ditambahkan pupuk UREA dan TSP masing-masing dengan dosis
20-50 g/m2 dan 10-25 g/m2 yang juga ditebarkan secara merata dipermukaan
air, dengan tujuan untuk menambah kesuburan kolam.
Pemeliharaan Ikan
Secara berkala dilakukan pengukuran pH air, jika pH rendah (< 5) maka
dilakukan pengapuran kembali menggunakan kapur dolomit/tohor sebanyak
300 g/m2.
Pakan yang diberikan berupa pellet dengan dosis 5-3 % dari berat total
perhari, dengan frekuensi pemberian 2 kali sehari (pagi, dan sore hari).
Pemberian pakan dengan cara sedikit demi sedikit agar jangan sampai ada
pakan yang tidak termakan. Pemberian pakan dihentikan apabila ikan yang
dipelihara terlihat sudah mulai berhenti makan atau tidak mau makan lagi
walaupun pakan yang diberikan masih belum sampai 5%. Pada awal
pemeliharaan ikan patin antara 1 – 2 bulan diberikan pakan pelet apung protein
30 – 32% untuk memacu pertumbuhan benih ikan, kemudian diberikan pakan
pelet tenggelam protein 25% sampai panen. Pada awal pemeliharaan ikan
papuyu sampai umur 1 bulan diberikan pakan pelet apung protein 30 – 32% dan
pakan pelet tenggelam protein 25% sampai umur 2 bulan untuk meningkatkan
pertumbuhan benih ikan, selanjutnya ikan papuyu tidak diberikan pakan sampai
panen dengan tujuan agar memanfaatkan sisa pakan yang tidak termakan oleh
ikan patin sehingga pemberian pakan lebih efisien. Sedangkan pada
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 186
pemeliharaan awal ikan nila diberikan pakan pelet apung protein 30 – 32%
selama 1 bulan selanjutnya diberikan pelet tenggelam protein 25% sampai
panen.
Untuk mengetahui pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan serta
jumlah pakan yang diberikan maka dilakukan sampling panjang dan berat ikan
setiap 1 bulan sekali. Untuk menghindari ikan menjadi stress maka sampling
dilakukan dengan hati-hati dan cukup diambil beberapa ekor sampel ikan atau
1-2 % dari jumlah padat tebar per Jaring atau kolam.
Kualitas Air
Selama pemeliharaan secara periodik dilakukan pemantauan kualitas air
(suhu, DO, pH dan amoniak) dan kesehatan ikan setiap satu bulan sekali
sampai menjelang panen. Pemeliharaan kualitas air dilakukan dengan
memeriksa secara langsung kondisi kualitas air di areal perkolaman dan
mengambil sampel air untuk diAnalisis di laboratorium. Pemeriksaan kesehatan
ikan dilakukan dengan mengambil sampel ikan pada saat sampling dan diamati
kondisi tubuhnya apakah terlihat gejala terserang penyakit atau tidak.
SR = x 100%
SR : Sintasan (%)
Nt : Jumlah ikan pada akhir penelitianNo
(ekor)
No : Jumlah ikan pada awal penelitian (ekor)
FCR = x 100%
FCR : Rasio konversi pakan
F : Jumlah pakan yang diberikan (gram)Wt – Wo
Wt : Bobot ikan pada akhir penelitian (gram)
Wo : Bobot ikan pada awal penelitian (gram)
Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa pertambahan berat rerata ikan
patin selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut sebesar 606,07 ±
45,02 g/ekor masih lebih lambat apabila dibandingkan pertumbuhan ikan patin
yang dipelihara di kolam pada kondisi air tawar. Dari data lapangan yang
berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai pertumbuhan
berat ikan patin yang dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan mencapai
rerata 1 kg/ekor. Sedangkan menurut SNI dinyatakan bahwa pertumbuhan ikan
patin yang dipelihara di kolam air tawar selama 6 – 7 bulan mencapai ukuran
berat antara 400 – 600 g/ekor. Pertumbuhan berat ikan patin di kolam lahan
gambut lebih lambat diduga disebabkan adanya proses adaptasi ikan patin
terhadap kondisi lingkungan media pemeliharaan di lahan gambut dimana
fluktuasi pH lebih sering terjadi sehingga apabila pH air turun dibawah 4,5
maka ikan patin mulai kehilangan nafsu makan sehingga hal ini berpengaruh
terhadap pertumbuhan ikan.
Dari hasil diatas diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup rerata ikan
patin selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 90,3%. Hal ini
diduga karena ikan patin termasuk jenis ikan yang kuat dan mampu beradaptasi
dengan baik di lingkungan kolam lahan gambut sehingga ikan dapat bertahan
hidup selama masa pemeliharaan. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT
Mandiangin maupun pembudidaya mengenai kelangsungan hidup ikan patin
yang dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan mencapai diatas 90%.
Sedangkan menurut SNI dinyatakan bahwa pertumbuhan ikan patin yang
dipelihara di kolam air tawar selama 6 – 7 bulan mencapai kisaran SR 80 –
95%.
Dari hasil diatas diketahui bahwa konversi pakan rerata ikan patin
selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 1,53. Hal ini diduga
karena pakan yang diberikan pada ikan lebih banyak yang dimakan daripada
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 190
yang terbuang. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin
maupun pembudidaya mengenai konversi pakan ikan patin yang dipelihara
pada kolam air tawar selama 8 bulan sebesar 1,3 – 1,7.
Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa pertambahan berat rerata ikan
papuyu selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut sebesar 70,2 ±
7,88 g/ekor relatif sama apabila dibandingkan pertumbuhan ikan papuyu yang
dipelihara di kolam pada kondisi air tawar. Dari data lapangan yang berasal dari
BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai pertumbuhan berat ikan
papuyu yang dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan mencapai rerata
80 g/ekor. Pertumbuhan berat ikan patin papuyu di kolam lahan gambut yang
relatif sama diduga disebabkan proses adaptasi ikan papuyu terhadap kondisi
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 191
lingkungan media pemeliharaan di lahan gambut berjalan dengan baik dimana
sering terjadinya fluktuasi pH tidak banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan
ikan papuyu.
Dari hasil diatas diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup rerata ikan
papuyu selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 84,3%. Hal ini
diduga karena ikan papuyu termasuk jenis ikan spesifik lokal sehingga kuat dan
mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan kolam lahan gambut. Menurut
data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya
bahwa kelangsungan hidup ikan papuyu yang dipelihara pada kolam air tawar
selama 8 bulan mencapai diatas 80%.
Tabel 12. Pertambahan berat rerata ikan nila selama masa pemeliharaan 3 bulan
di Jaring dalam kolam lahan gambut
Berat Awal Berat Akhir Pertambahan
Kolam Ulangan
(g) (g) Berat (g)
194,5 ±
P1 1 3,46 ± 0,81
18,27 191,0 ± 14,04
198,2 ±
P2 2 3,46 ± 0,81
20,42 194,7 ± 14,95
203,8 ±
P3 3 3,46 ± 0,81
15,25 200,3 ± 17,09
198,8 ±
Rerata x 3,46 ± 0,81
17,98 195,4 ± 15,36
Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa pertambahan berat rerata ikan nila
selama pemeliharaan 3 bulan di Jaring dalam kolam lahan gambut sebesar
195,4 ± 15,36 g/ekor masih lebih lambat apabila dibandingkan pertumbuhan
ikan nila yang dipelihara di kolam pada kondisi air tawar. Dari data lapangan
yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai
pertumbuhan berat ikan nila yang dipelihara pada kolam air tawar selama 3
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 193
bulan mencapai rerata 300 g/ekor. Sedangkan menurut SNI dinyatakan bahwa
pertumbuhan ikan nila yang dipelihara di Jaring maupun kolam air tawar
selama 5 bulan mencapai ukuran berat antara 400 – 500 g/ekor. Pertumbuhan
berat ikan nila di kolam lahan gambut lebih lambat diduga disebabkan adanya
proses adaptasi ikan patin terhadap kondisi lingkungan media pemeliharaan di
lahan gambut dimana fluktuasi pH lebih sering terjadi sehingga apabila pH air
turun dibawah 4,5 maka ikan nila mulai kehilangan nafsu makan sehingga hal
ini berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan. Selain itu diduga energi yang
berasal dari pakan lebih banyak digunakan untuk proses adaptasi terhadap
perubahan lingkungan dibanding untuk pertumbuhan ikan nila.
Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup ikan adalah persentase jumlah ikan yang hidup
mulai saat ditebar sampai panen.
Tabel 13. Kelangsungan hidup ikan nila selama masa pemeliharaan 3 bulan di
Jaring dalam kolam lahan gambut
Jumlah Jumlah Kelangsungan Total
Kolam Ulangan Awal Akhir hidup (%) Produksi
(ekor) (ekor) (ton)
P1 1 1500 1242 82,80 0,21
P2 2 1500 1210 80,66 0,20
P3 3 1500 1268 84,53 0,23
Rerata x 1500 1240 82,66 0,22
Dari hasil diatas diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup rerata ikan nila
selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 82,7%. Hal ini diduga
karena ikan nila mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan kolam lahan
gambut sehingga ikan dapat bertahan hidup selama masa pemeliharaan. Dari
data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya
mengenai kelangsungan hidup ikan nila yang dipelihara pada kolam air tawar
selama 5 bulan mencapai diatas 80%. Sedangkan menurut SNI dinyatakan
bahwa pertumbuhan ikan nila yang dipelihara di kolam air tawar selama 5
bulan mencapai SR 80%.
Konversi Pakan
Konversi makanan dihitung untuk mengetahui kualitas makanan yang
diberikan, baik tidaknya bagi pertumbuhan ikan, Jumlah makanan setiap
harinya yang diberikan akan mengalami perubahan periode-periode tertentu
berdasarkan pertumbuhan atau pertambahan berat ikan yang dipelihara
Djajasewaka (1985). Besar kecilnya konversi makanan merupakan gambaran
tentang efesiensi makanan yang dicapai.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 194
Tabel 14. Konversi pakan ikan nila selama masa pemeliharaan 3 bulan di
Jaring dalam kolam lahan gambut
Total Pakan Yang Total Berat
Konversi
Kolam Ulangan Digunakan (kg) Ikan Akhir
Pakan (FCR)
(kg)
P1 1 327 212 1,54
P2 2 310 203 1,53
P3 3 365 234 1,56
Rerata x 334 224 1,54
Dari hasil diatas diketahui bahwa konversi pakan rerata ikan nila selama
masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 1,54. Hal ini diduga karena
energi dari pakan yang diberikan pada ikan lebih banyak digunakan untuk
pertumbuhan ikan. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin
maupun pembudidaya mengenai konversi pakan ikan nila yang dipelihara pada
kolam air tawar selama 3 bulan sebesar 1,4 – 1,5.
Kualitas Air
Dari hasil pengamatan parameter kualitas air di media pemeliharaan
diperoleh data kualitas air yang meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, amonia dan
ketinggian air yang diukur pada pagi dan siang hari selama kegiatan
pemeliharaan ikan dalam kolam di lahan gambut. Secara lengkap dapat dilihat
pada Tabel 15. di bawah ini.
Tabel 15. Parameter kualitas air media pemeliharaan ikan di kolam lahan
gambut
Kisaran kualitas air Kisaran Yang
Kolam Parameter media Layak (Pustaka)
pemeliharaan
Suhu (oC) 26 – 32 25 – 32 (Kordi,
pH 4–6 2004)
Oksigen terlarut 3,2 – 4,6 4 – 8 (Asmawi,
(mg/L) 1,8 – 2,7 1984)
P1, P2,P3
Ketinggian air (m) 0 - 0,03 > 3 (Kordi, 2004)
Amonia -
< 0,1 (Kordi,
2004)
Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa kisaran parameter kualitas air pada media
pemeliharaan ikan di kolam lahan gambut masih tergolong layak dan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 195
mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan yang dipelihara di
kolam lahan gambut.
Analisis Usaha
Analisis usaha kegiatan pembesaran ikan patin, papuyu, dan nila di
kolam lahan gambut bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha yang
dilakukan berdasarkan perhitungan ekonomi serta untuk memperbaiki dan
meningkatkan keuntungan dalam melakukan usaha budidaya. Untuk
memperoleh keuntungan yang besar dapat dilakukan dengan cara menekan
biaya produksi atau menaikkan harga jual. Biaya produksi merupakan modal
yang harus dikeluarkan untuk melakukan proses produksi usaha budidaya mulai
persiapan awal sampai akhir pemeliharaan (panen). Biaya produksi ini terdiri
dari 2 macam yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya
yang digunakan tidak habis dalam satu periode/siklus produksi, biasanya
meliputi biaya penyusutan investasi dan bunga investasi. Biaya variabel adalah
biaya yang digunakan dalam satu periode/siklus produksi, biasanya meliputi
biaya pakan, benih dan upah pekerja. Untuk perhitungan Analisis biaya yang
dilakukan meliputi Break Event Point (BEP), Return of Investment (ROI) dan
Revenue Cost Ratio (R/C Ratio).
Perhitungan Analisis usaha pembesaran ikan patin, papuyu, dan nila
dalam kolam lahan gambut selama 6 bulan dengan estimasi menggunakan
pakan buatan komersial secara lengkap dapat dilihat sebagai berikut :
A. Biaya Investasi
- Pembuatan kolam 1 unit ukuran 30 x 20 x 3 m Rp. 5.000.000,-
- Pembuatan Jaring 1 unit ukuran 15 x 5 x 2 m Rp. 2.000.000,-
Jumlah Investasi Rp. 7.000.000,-
B. Biaya Operasional
1. Biaya Tetap
- Bunga Investasi 20 % Rp 1.400.000,-
- Penyusutan Investasi per tahun 10 % Rp. 700.000,-
Jumlah Rp. 2.100.000,-
2. Biaya Variabel
- Benih patin ukuran 3” (5-8 cm)6.000 ekor @ Rp. 400,-
Rp. 2.400.000,-
- Pakan patin 5.075 kg (FCR 1,53; protein 25%) @ Rp. 7.000,-
Rp. 35.525.000,-
- Benih nila ukuran 2” (5-8 cm) 1.500 ekor @ Rp. 200,-
Rp. 300.000,-
- Pakan nila 350 kg (FCR 1,54; protein 25%) @ Rp. 7.000,-
Rp. 2.450.000,-
- Benih papuyu ukuran 2” (5-8 cm) 6.000 ekor @ Rp. 200,-
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 196
Rp. 1.200.000,-
- Pakan papuyu 200 kg (FCR 0,65; protein 25%) @ Rp. 7.000,-
Rp. 1.400.000,-
- Kapur 500 kg @ Rp. 1.000,- Rp. 500.000,-
- Pupuk 300 kg @ Rp. 1.000,- Rp. 300.000,-
- Upah pekerja 1 orang selama 6 bulan @ Rp. 300.000,-
- Rp. 1.800.000,-
- Biaya Panen Rp. 1.000.000,-
Jumlah Rp. 46.875.000,-
Total biaya operasional (a + b) Rp. 48.975.000,-
C. Pendapatan
- Benih patin 6.000 ekor SR 90 % ukuran 600 g/ekor
Harga jual Rp. 14.000,- / kg
Pendapatan persiklus (6 bulan)
= 90 % x 6.000 x 600 g x Rp. 14.000,-
= Rp. 45.360.000,-
- Benih nila 1.500 ekor SR 80 % ukuran 190 g/ekor
Harga jual Rp. 25.000,- / kg
Pendapatan persiklus (3 bulan)
= 80 % x 1.500 x 190 g x Rp. 25.000,-
= Rp. 5.700.000,-
- Benih papuyu 6.000 ekor SR 80 % ukuran 80 g/ekor
Harga jual Rp. 30.000,- / kg
Pendapatan persiklus (6 bulan)
= 80 % x 6.000 x 70 g x Rp. 30.000,-
= Rp. 10.080.000,-
Total pendapatan :
= Rp. 45.360.000,- + Rp. 5.700.000,- + Rp. 10.080.000
= Rp. 61.140.000,-
D. Keuntungan Bersih
- Pendapatan – Total Biaya Operasional
= Rp. 61.140.000,- – Rp. 48.975.000,-
= Rp. 12.165.000,-/siklus/kolam
- pendapatan bersih perbulan Rp. 2.027.500,- per kolam.
E. Cash Flow
- Laba bersih + Penyusutan Investasi
= Rp. 12.165.000,- + Rp. 700.000,-
= Rp. 12.865.000,-
F. Konversi Pakan (FCR)
- Berat pakan yang digunakan (kg) : Berat ikan yang dipanen (kg)
- Patin
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 197
= 5075 : 3300
= 1,54
- Nila
= 350 : 226
= 1,55
- Papuyu
= 200 : 340
= 0,59
Saran
1. Perlu dilakukan pemeliharaan menggunakan pakan (pelet) buatan sendiri
untuk mengurangi biaya produksi mengingat usaha pembesaran ikan
memerlukan biaya pakan yang cukup besar.
2. Penebaran ikan nila, papuyu, dan patin dilakukan dalam rentang waktu
yang sama atau tidak terlalu lama dan waktu pemeliharaan ikan nila di
lahan gambut sebaiknya dilakukan tidak lama maksimal selama 3-4 bulan
untuk menjaga kualitas air di kolam terutama oksigen terlarut dan amonia
dalam kondisi yang sesuai bagi kehidupan ikan nila.
ABSTRAK
Cacing sutra merupakan salah satu dari jenis pakan alami. Cacing sutra
sampai saat ini masih tergantung dari alam dimana ketersediaannya tidak
menentu. Cacing sutra di alam hidup di saluran air yang jernih dan sedikit
mengalir dengan dasar perairan mengandung banyak bahan organik. Untuk
mengantisipasi akan kurangnya ketersediaan cacing sutra, maka dilakukan
kegiatan penggunaan media yang berbeda. Tujuan kegiatan ini adalah
menemukan media yang tepat sebagai media kultur cacing sutra.
Media kultur cacing sutra yang digunakan dalam kegiatan ini terdiri dari
4 media yakni ampas tahu + lumpur, kotoran ayam + lumpur, kotoran babi +
lumpur dan lumpur itu sendiri sebagai kontrol. Wadah pemeliharaan
menggunakan stereofoam sebanyak 12 buah berukuran 75x40x30 cm3.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan A dengan
menggunakan ampas tahu+ lumpur hasil panen total cacing sutra A= 142.53 gr
diikuti perlakuan C= 116.31, perlakuan B= 111.21 gr, sedangkan kontrol 96.6
gr. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa penggunaan media ampas
tahu+lumpur memberikan pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan lainnya.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejalan dengan pesatnya usaha perikanan di Indonesia, sehingga pakan
bagi usaha budidaya ikan sangat berperan, khususnya pada usaha pembenihan.
Hal ini dapat dipahami karena di awal hidupnya ikan tidak menemukan
pakan yang ukurannya sesuai dengan bukaan mulutnya maka kondisinya
akan lemah dan lama kelamaan akan mati. Sebaliknya jika pada awal
kehidupannya ikan dapat menemukan pakan yang sesuai dengan bukaan
mulutnya (dalam hal ini pakan alami) maka ikan tersebut dapat meneruskan
hidupnya. Untuk itulah, ketersediaan pakan alami berkualitas baik dengan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 202
ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut ikan sangat diperlukan agar angka
mortalitas benih dapat ditekan serendah mungkin. Berbagai jenis pakan alami
secara umum cocok untuk makanan larva karena memiliki semua unsur zat gizi
yang dibutuhkan larva serta sifat dari pakan alami yang bergerak tetapi tidak
begitu aktif memungkinkan dan mempermudah larva/benih ikan untuk
memangsanya.
Kegiatan pembenihan ikan dititikberatkan pada kelangsungan hidup dan
kualitas benih, tentunya ini harus ditunjang oleh kualitas induk dan
ketersediaan pakan alami yang cukup untuk kebutuhan benih ikan. Berbagai
jenis pakan alami secara umum cocok untuk makanan larva karena memiliki
semua unsur zat gizi yang dibutuhkan larva serta sifat dari pakan alami yang
bergerak tetapi tidak begitu aktif memungkinkan dan mempermudah
larva/benih ikan untuk memangsanya.
Pakan alami ialah makanan hidup bagi larva dan benih ikan yang
mencakup antara lain fitoplankton, zooplankton dan bentos. Fitoplankton,
zooplankton dan bentos berperan sebagai sumber karbohidrat, lemak, protein
dengan susunan asam amino yang lengkap serta mineral bagi larva atau benih
ikan, disamping mengandung gizi yang lengkap dan mudah dicerna, juga tidak
mencemari lingkungan perairan dan media pemeliharaan. Pakan alami selain
gizinya lengkap juga ekonomis dalam hal pengelolaannya. Dewasa ini yang
sudah berhasil dibudidayakan antara lain infusoria, chlorella, daphnia, moina,
rotifera, artemia, cacing sutra.
Menurut Bulew,1953 dalam Khairuman,dkk(2008), nilai gizi cacing
sutra (Tubifex sp) meliputi; kadar air 87,19 %, Protein 57 %, lemak 13,30 %
karbohidrat 2,04 % dan kadar abu 3,60 %. Cacing sutra merupakan pakan alami
yang belum tergantikan keberadaanya. Sejauh ini usaha budidaya cacing sutra
belum banyak dilakukan, dan hanya mengandalkan pasokan dari alam. Namun
keberadaan cacing sutra di alam tidak menentu, sehingga keberadaan cacing
sutra sangat berfluktuasi. Pada saat tertentu bisa jadi banyak dijumpai di alam
dan dilain waktu jumlahnya sangat sedikit, apalagi saat musim hujan, di alam
akan mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan populasi cacing sutra di
alam juga bisa terjadi mengingat lingkungan tempat hidupnya seperti selokan
dan comberan sering dijadikan tempat pembuangan limbah. Limbah yang
pembuangannya tidak terkontrol, seperti limbah pabrik merupakan limbah
berbahaya yang mematikan organisme di perairan, termasuk cacing sutra.
Habitat dan penyebaran cacing sutra umumnya berada di daerah tropis.
Biasanya berada di saluran air atau kubangan dangkal berlumpur yang airnya
mengalir perlahan dan mempunyai bahan organik yang tinggi, seperti selokan
atau sungai tempat limbah dari pemukiman penduduk atau saluran pembuangan
limbah peternakan (Khairuman dkk., 2008).
Tujuan Kegiatan
Tujuan dari kegiatan ini adalah dapat menentukan jenis media yang sesuai
untuk pertumbuhan cacing sutra.
METODE KEGIATAN
Persiapan media
a. Menyiapkan lumpur sebagai media kultur
Lumpur diambil di pinggiran selokan sekitar lokasi pelaksanaan kegiatan.
Lumpur dibersihkan dari kotoran baik daun, akar, plastik dan bahan organik
lainnya.
Setelah dibersihkan lumpur disaring dengan menggunakan seser/saringan.
Lumpur hasil saringan ditampung kemudian dijemur di bawah panas
matahari selama 3 hari.
Setelah kering disimpan dalam wadah untuk digunakan sebagai media
kultur.
Penggunaan lumpur sebagai media kultur ± 8 kg / wadah
Persiapan Kultur
Tahapan kultur langkah-langkahnya seperti di bawah ini :
Lumpur yang telah kering yang telah dipersiapkan di masukkan dalam
wadah steroform dengan ketebalan ±5 cm.
Selanjutnya masing-masing pupuk ditimbang dan dimasukkan dalam wadah
Selanjutnya masing-masing pupuk dicampur dengan lumpur sampai merata
Setelah merata media segera dimasukkan air secara perlahan-lahan sampai
semua terendam air.
Kemudian media dibiarkan selama 6 hari untuk proses dekomposisi
Pemeliharaan
Pemeliharaan cacing selama kegiatan dengan memasukkan air secara terus
menerus secara perlahan-lahan.
Waktu pemeliharaan dalam wadah dilakukan selama 21 hari
Selama pemeliharaan dilakukan kontrol terhadap inlet pemasukkan air
jangan sampai tersumbat dan air tidak mengalir.
Selama kegiatan berlangsung tidak dilakukan penambahan pupuk.
Pemanenan.
Pemanenan dilakukan diawali dengan cara mematikan aliran air yang
masuk ke dalam wadah
Kemudian menutup wadah dengan kain gelap selama ± 2 jam
Setelah 2 jam cacing sutra telah naik kepermukaan dan diangkat dalam baki
Sisa cacing yang belum terangkat dilakukan membongkar media dan
dimasukkan dalam seser kumudian dibilas pada air berjalan.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 205
Hasil panen cacing setelah bersih dari lumpur kemudian ditimbang dan
diukur panjang dan berat.
Pengambilan Data
Pertumbuhan Cacing Sutra
Pengumpulan data mengenai perumbuhan cacing sutra dilakukan dengan
mengukur pertambahan panjang dan pertambahan berat tubuhnya.
A. Pertumbuhan Berat Cacing sutra
Pertumbuhan mutlak cacing sutra dihitung menurut formula (Weatherley
danGill, 1989):
PM = Wt – Wo
Dimana:
PM = Pertumbuhan mutlak (gram)
Wt = Berat rata-rata akhir cacing sutra (gram)
Wo = Berat rata-rata awal cacing sutra (gram)
B. Pertumbuhan Panjang Cacing Sutra
Pertumbuhan panjang adalah panjang cacing sutra pada awal penebaran
hingga saat pemanenan. Dihitung dengan menggunakan rumus menurut(
Effendi,2003) berikut :
P = Pt - Po
Dimana :
P = Pertumbuhan panjang mutlak cacing sutra (mm)
Pt = Panjang rata-rata cacing sutra pada akhir percobaan (mm)
Po = Panjang rata-rata cacing sutra pada akhir percobaan (mm).
Kualitas Air
Selama kegiatan dilakukan mengukuran kualitas air. Adapun parameter kualitas
air yang akan diukur adalah DO, PH, dan Suhu, Amonia,Nitrit,Nitrat.
53
PERLAKUAN
Ряд1, C, 0.064
Ряд1, A, 0.064
BERAT INDIVIDU (gr)
3
Ряд1, B, 0.052 Ряд1, K, 0.05
PERLAKUAN
Ряд1, K, 96.6
Gambar 5.Histogram Pertambahan Berat Rata-Rata Panen Total Cacing
Sutra
Suhu
Pengamatan suhu air dilakukan pada pagi hari sekitar jam 08.00-09.00
WITA, yang dilakukan sebanyak 8 kali atau setiap 3 hari selama waktu
kegiatan(21 hari). Pengukuran suhu dilakukan terhadap air dan lumpur. Hasil
pengukuran suhu dari masing-masing perlakuan untuk perlakuan A (lumpur
25.23o C – 26.2 oC dan air 25.16 oC -26.3o C), perlakuan B (lumpur 25.20 o C
– 26.2 oC dan air 25.1 oC -26.36o C), perlakuan C (lumpur 25.20 o C – 26.2 oC
dan air 25 oC -26.1o C), perlakuan K (lumpur 25.20o C – 26.2 oC dan air 25.3
o
C -26.2o C)..
Selama kegiatan dalam wadah, cacing sutra tidak mengalami
goncangan fisiologis akibat perubahan suhu yang terjadi. Effendi (2003)
mengemukakan bahwa peningkatan suhu akan mengakibatkan kecepatan
metabolisme dan respirasi metabolisme air, dan selanjutnya mengakibatkan
peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan suhu. Fluktuasi suhu yang terjadi
pada saat kegiatan tidak begitu signifikan karena air yang digunakan mengalir
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 210
secara terus menerus dengan sistem resirkulasi. Penempatan wadah dalam
kegiatan kegiatanini dalam hatchery. Kisaran suhu yang terjadi selama
kegiatancukup stabil baik suhu pada lumpur maupun suhu air yaitu antara 25 –
26.3OC. Menurut Effendi 2003, peningkatan suhu 1 OC akan meningkatkan
oksigen sebesar 10 %.
pH (Derajat Keasaman)
Hasil pengukuran pH air dan pH lumpur pada media kegiatancacing
sutra tidak terjadi perbedaan yang menyolok yakni berkisar antara pH 6-7, 68.
Pada kondisi pH tersebut cacing sutra dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik. Effendi (2003) menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif
terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH sangat
mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan
berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam akan mengalami peningkatan pada
pH rendah.
Boyd (2001) mengungkapkan bahwa titik mati asam dan basa pada
ikan masing-masing kira-kira pH 4 dan pH 11. Namun demikian jika perairan
lebih asam dari pH 6,5 atau lebih basa dari pada pH 9 – 9,5 untuk kurun waktu
yang lama, maka reproduksi dan pertumbuhan akan menurun. Hasil
pengukuran selama kegiatan dapat di lihat dalam gambar 8 dan 9 di bawah ini.
DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu parameter penting dalam analisis
kualitas air. Nilai DO yang biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi ini
menunjukkan jumlah oksigen yang tersedia dalam suatu badan air.
Dalam kegiatan ini sumber oksigen terlarut berasal dari aliran air
dalam media pemeliharaan, masing-masing diatur melalui kran yang diatur
sedemikian rupa untuk dapat menghasilkan debit air yang hampir merata.
Apabila terjadi ketidak normalan kerja kran tersebut maka akan berpengaruh
terhadap aliran air yang menjadi kecil sehingga oksigen terlarut dalam media
kan rendah. Oleh karena itu pengontrolan harus dilakukan setiap saat untuk
menghindari tersumbatnya aliran air pada media kegiatan.
Hasil pengukuran oksigen terlarut pada media kultur selama kegiatan
adalah 4-5 ppm. Ini masih baik untuk perkembangbiakan cacing sutra seperti
yang disampaikan Marian dan Pandian (1984) dalam Utami (1986) yang
mengatakan bahwa kebutuhan oksigen bagi pertumbuhan embrio secara
normal berkisar antara 2,5 – 7,0 ppm, sedangkan kondisi oksigen 3 ppm atau
lebih dapat meningkatkan kepadatan populasi juga menjamin tingginya jumlah
telur yang dikandung (fekunditas) dari cacing tubificidae. Namun keadaan
oksigen yang rendah atau kurang dari 2 ppm akan menghambat aktifitas makan
dan reproduksi.
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 211
NH4(Amonia)
Hasil pengukuran kandungan amonia yang tinggi selama
kegiatanterjadi pada perlakuan B (Lumpur + kotoran ayam) pada minggu kedua
masa pemeliharaan nilainya 0.78 ppm. Hal ini dikarenakan amonia bersifat
racun. Di alam amonia berasal dari pupuk, kotoran ikan dan dari pelapukan
mikrobial dari senyawa nitrogen (Boyd, 2001).
Hasil pengukuran amonia pada perlakuan (B)lumpur +kotoran ayam,
perlakuan (A)lumpur + ampas tahu,(K) kontrol dan kemudian terendah
perlakuan (C) dengan menggunakan lumpur+kotoran babi.
NO2
Kandungan nitrit pada media kultur selama kegiatan tertinggi pada
perlakuan K pada masa pemeliharaan minggu kedua yakni berkisar 0,37 ppm.
Pernyataan Boyd (2001) mengatakan bahwa kandungan nitrit yang tinggi di
dalam perairan sangat berbahaya bagi ikan dan biota air lainnya, karena nitrit
dalam darah mengoksidasi haemoglobin menjadi meta-haemoglobin yang tidak
mampu mengedarkan oksigen, kandungan nitrit sebaiknya lebih kecil dari 0,3
ppm. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akumulasi nitrit dapat timbul akibat
ketidakseimbangan dalam reaksi nitrifikasi.
NO3 (Nitrat)
Hasil pengukuran nitrat dalam penelitian ini bukan hanya dari air
melainkan dari lumpur atau media yang digunakan sebagai perlakuan. Untuk
lebih jelanya hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar 13 di bawah ini. Hasil
pengukuran kandungan nitrat dalam air sungai sebagai habitat alami cacing
sutra adalah < 10 ppm. Ini menandahkan bahwa kondisi perairan sungai
tersebut sangat miskin dalam hal unsur hara yang menjadi sumber nutrisi dalam
perairan tersebut. (Suharyadi, 2012).
SARAN
Dari hasil kegiatan saat ini disarankan untuk menggunakan media ampas tahu
dengan berbagai komposisi dan kemudian dicampurkan dengan lumpur.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan gabus (Channa striata Bloch 1793) adalah ikan asli Indonesia
yang habitatnya di rawa-rawa, sawah, genangan dan daerah aliran sungai arus
tenang yang membawa emulsi lumpur, dan bisa juga di perairan payau.Ikan
gabus tersebar diseluruh Indonesia, terutama di Sumatera, Jawa, dan
Kalimantan (Courtenay et al., 2004). Ikan gabus dikenal dengan berbagai nama
daerah, di antaranya: ikan kutuk (Jawa), ikan gabus (Betawi dan Sunda), ikan
haruan (Kalimantan Selatan), ikan behau (Kalimantan Tengah), ikan deleg
(Sumatra), bale salo (Sulawesi), dan ikan gastor (Papua). Untuk selanjutnya
penyebutan dan penamaan ikan gabus dalam makalah ini digunakan nama
“gabus”. Di dunia sebaran ikan gabus meliputi India, Myanmar, Banglades,
Laos, Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Malaysia. Ikan gabus pascaintroduksi
terdapat di Madagaskar, Philipina, Indonesia bagian timur, Caledonia baru, dan
Fuji.
Ikan gabus sangat disukai masyarakat Kalimantan karena rasanya
gurih, permintaan pasar tinggi dan kontinu, bernilai ekonomis tinggi dan
harganya meningkat drastis pada saat musim tertentu. Harga ikan gabus di
pasar Kalimantan Selatan mencapai kisaran Rp. 30.000,- sampai Rp. 60.000,-
per kilogram, sedangkan di Kalimantan Tengah dapat mencapai harga lebih
dari Rp. 60.000,- per kilogram. Selain itu, tingginya kandungan albumin dalam
daging ikan gabus bermanfaat untuk mempercepat proses penyembuhan luka
pasien pascaoperasi membuat ikan gabus semakin dicari. Menurut data statistik
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011, jumlah produksi perikanan
budidaya kolam di wilayah Kalimantan Selatan untuk ikan gabus sebesar 25 ton
dan budidaya karamba sebesar 309 ton.
Selain rasanya enak ikan gabus juga memiliki manfaat yang sangat
besar untuk kesehatan karena mengandung protein albumin yang sangat tinggi.
Albumin diperlukan tubuh manusia setiap hari, terutama dalam proses
penyembuhan luka pasien pascaoperasi. Albumin berfungsi mengatur
keseimbangan air dalam sel, memberi gizi pada sel, dan mengeluarkan produk
buangan. Selain itu, albumin juga berfungsi mempertahankan pengaturan cairan
dalam tubuh Bila kadar albumin rendah, maka protein yang dikonsumsi akan
pecah. Protein yang seharusnya dikirim untuk pertumbuhan sel, menjadi tidak
maksimal Pemberian daging ikan gabus atau ekstrak dalam bentuk kapsul telah
diujicobakan untuk meningkatkan kadar albumin dalam darah dan membantu
penyembuhan beberapa penyakit dari kekurangan gizi hingga HIV-AIDS.
Tujuan
1. Mengetahui potensi dan prospek budidaya ikan gabus melalui penerapan
teknologi pembenihan dan pembesaran ikan gabus yang dipelihara di
kolam.
2. Menerapkan teknik pembenihan ikan gabus (Channa striata Bloch 1793)
secara alami dan semi buatan serta pembesaran ikan gabus di kolam.
METODE
Teknologi Pembenihan
1. Pematangan gonad induk
- Induk ikan gabus dipelihara di jaring tempat pematangan gonad. Induk di
pisah antara jantan dan betina.
- Tiap hari diberi pakan apung komersil untuk induk protein 30 – 32%.
- Dua minggu sekali di cek kematangan gonadnya.
- Induk yang dipelihara berjumlah 30 ekor jantan dan 30 ekor betina.
2. Persiapan bak terpal
- Sebelum ikan ditebar di bak terpal sebelumnya telah dilakukan persiapan
bak selama 1 minggu meliputi pengisian air,pemupukkan bak terpal serta
penambahan substrat sebagai pelindung dan wadah ikan gabus meletakkan
telurnya mengingat telur ikan gabus bersifat melayang di permukaan air..
- Pemberian pupuk di lakukan untuk menumbuhkan pakan alami jika ikan
gabus memijah dengan pupuk dosis 100 gram/m2.
Teknologi Pembesaran
1. Persiapan Kolam
- Sebelum ikan ditebar di kolam sebelumnya telah dilakukan persiapan
kolam selama 1 minggu meliputi penyedotan air dan penyedotan lumpur
serta pembersihan kolam.
c. Kelangsungan hidup
Prosentase dari jumlah ikan yang hidup dari populasi ikan selama masa
pemeliharaan. Kelangsungan hidup ikan uji diperoleh dengan mengikuti
rumus Effendie (1979) :
K = F_____ x 100 %
(Wt + D) – Wo
e. Kualitas Air
Kualitas air yan diamati dalam kegiatan ini meliputi pH, suhu, oksigen
terlarut (DO) dan amoniak (NH3). Pengamatan kualitas air dilakukan setiap
minggu sekali selama kegiatan pemeliharaan ikan.
Pembesaran
Pertumbuhan berat rerata ikan gabus selama pemeliharaan 7 bulan pada
padat tebar 25 eko//mr 2 sebesar 276 ± 22,31 g/ekor lebih tinggi dibanding
padat tebar 30 eko/m2 sebesar 259 ± 26,52 g/ekor walaupun selisihnya tidak
jauh berbeda. Hasil pertumbuhan ikan gabus ini cenderung lambat karena
ikan gabus sepenuhnya diberikan pakan pellet apung dengan kandungan
protein 30-32% Pemberian pakan buatan (pellet) diduga belum sepenuhnya
memenuhi kebutuhan energy pada ikan gabus agar dapat tumbuh dengan
optimal. Namun demikian hasil pertumbuhan ini dapat menjadi dasar acuan
dimana ikan gabus dapat tumbuh dengan pemberian pakan pellet komersil
tanpa pakan rucah/segar. Menurut Kottelat, et al. (1993) bahwa kecepatan
pertumbuhan ikan yang ideal sangat tergantung pada padat tebar, pakan
yang cukup dan diminati ikan tersebut serta kualitas air yang baik.
Sedangkan menurut Suhaili Asnawi, 1986kecepatan pertumbuhan sangat
tergantung kepada jumlah makanan yang diberikan, ruang, suhu, kedalaman
air, kandungan oksigen dalam air dan parameter kualitas air lainnya.
Makanan yang didapat oleh ikan terutama dimanfaatkan untuk pergerakan,
memulihkan organ tubuh yang rusak, setelah itu kelebihan makanan yang
didapat digunakan untuk pertumbuhan Ikan dalam komposisi zat gizinya
juga membutuhkan mineral dalam campuran pakannya agar ikan dapat
tumbuh dengan baik. Mineral merupakan unsur anorganik yang dibutuhkan
oleh organisme perairan (ikan) untuk proses hidupnya secara normal. Ikan
sebagai organisme air mempunyai kemampuan untuk menyerap beberapa
unsur anorganik ini, tidak hanya dari makanannya saja tetapi juga dari
lingkungan.
Kelangsungan hidup
Tingkat kelangsungan hidup rerata ikan gabus selama masa
pemeliharaan pada kedua perlakuan tergolong baik yaitu sebesar 77,5% dan
73%. Kematian ikan gabus diduga disebabkan sifat kanibal pada ikan gabus
pada masa awal pemeliharaan bulan ke-1 sampai bulan ke-2 cenderung lebih
kuat. Selain itu juga karena tidak dilakukan penyortiran/grading ikan gabus
ukuran besar denganukuran yang lebih kecil, sehingga yang lebih kecil
dimangsa oleh ikan gabus yang lebih besar. Dari data lapangan yang berasal
dari pembudidaya mengenai kelangsungan hidup ikan gabus yang dipelihara di
kolam selama 10 bulan dengan pemberian pakan buatan mencapai 70%.
Konversi Makanan
Konversi pakan rerataikan gabus dengan padat tebar 25 ekor/m2 sebesar
2,11 sedangkan konversi pakanrerata ikan gabus dengan padat tebar 30 ekor/m2
berkisar antara 2,03. Menurut Mudjiman (1983), nilai konversi makanan untuk
ikan berkisar dari 1,5 – 8,5. Jika dibandingkan dengan nilai konversi makanan
hasil kegiatan selama masa pemeliharaan, maka nilai konversi makanan dapat
dikatakan baik hal ini dikarenakan ikan tersebut optimal dalam memanfaatkan
makanan yang diberikan. Pakan yang digunakan adalah pakan pellet apung
komersial dengan protein30–32 %.
Analisis Usaha
Analisis usaha kegiatan pembenihan dan pembesaran ikan gabus di
kolam bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha yang dilakukan
berdasarkan perhitungan ekonomi serta untuk memperbaiki dan meningkatkan
keuntungan dalam melakukan usaha budidaya. Untuk memperoleh keuntungan
yang besar dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi atau
menaikkan harga jual. Biaya produksi merupakan modal yang harus
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 224
dikeluarkan untuk melakukan proses produksi usaha budidaya mulai persiapan
awal sampai akhir pemeliharaan (panen). Biaya produksi ini terdiri dari 2
macam yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang
digunakan tidak habis dalam satu periode/siklus produksi, biasanya meliputi
biaya penyusutan investasi dan bunga investasi. Biaya variabel adalah biaya
yang digunakan dalam satu periode/siklus produksi, biasanya meliputi biaya
pakan, benih dan upah pekerja. Untuk perhitungan Analisis biaya yang
dilakukan meliputi Break Event Point (BEP), Return of Investment (ROI) dan
Revenue Cost Ratio (R/C Ratio).
Perhitungan Analisis usaha pembenihan dan pembesaran ikan gabus
dalam kolam selama 7 bulan dengan estimasi menggunakan pakan buatan
komersial secara lengkap dapat dilihat sebagai berikut :
Saran
1. Perlu dilakukan penyortiran dan pengurangan padat tebar (grading) terutama
pada saat awal pemeliharaan umur 1 sampai 2 bulan untuk menghindari kanibal
pada ikan gabus karena ukuran yang berbeda.
2. Perlu dilakukan pembuatan pakan ikan gabus dengan pengayaan protein untuk
memacu pertumbuhan ikan gabus.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Beberapa jenis bakteri patogen yang sering menginfeksi komoditas
budidaya air payau antara lain : Aeromonas hydrophila ( penyebab penyakit
merah atau Motil Aeromonas Septicemia, umumnya pada ikan air tawar),
Pseudomonas ( penyebab penyakit Pseudomoniasis (Bacterial fin rot/ tail rot
pada ikan tawar,payau dan laut), Vibrio harveyi dan Vibrio parahaemolyticus
(penyebab Vibriosis pada udang ). Sedangkan Salmonella dan E.coli
merupakan kelompok Enterobacter yang sering menjadi indikator lingkungan
dengan sanitasi buruk. Kemunculan bakteri ini pada air media budidaya udang
dan ikan mengindikasikan cara budidaya yang kurang baik sehingga memicu
munculnya penyakit pada udang.
Habatasauda atau jintan hitam dikenal sebagai penawar dari segala
macam penyakit sejak dulu.. Selain nutrisi, habatasauda juga mengandung
minyak-minyak esensial/ atsiri atau volatil yang berfungsi sebagai antibakteri,
fungisida. Fitosterol, alkoloid seperti nigelleine dan nigellamin), arginin,
karotin, dan zat gizi yang penting untuk meningkatkan kekebalan tubuh,
bioregulator, antihistamin, dan penetral racun. Sedangkan kandungan
bioflavonoid pada propolis mampu menghancurkan banyak bakteri yang
resisten terhadap anti biotik sintesis
Kandungan-kandungan inilah yang menjadi menjadi dasar uji coba
habbatussauda dan propolis sebagai penghambat bakteri-bakteri patogen pada
akuakultur (aquabacteria)
Studi ini bertujuan untuk melihat daya hambat habbatussauda dan
propolis terhadap terhadap beberapa bakteri patogen akuakultur seperti: Vibrio
harveyi, V.parahaemolyticus, E.coli, Salmonella, Pseudomonas dan
Aeromonas. Studi ini dilaksanakan pada bulan Januari - Juli Tahun 2014 di Lab
Mikrobiologi BPBAP Ujung Batee.
METODOLOGI
Isolat Aquabacteria
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 230
Isolat bakteri Vibrio harveyi, V.parahaemolyticus, E.coli, Salmonella,
Pseudomonas, Aeromonas yang digunakan dalam studi ini berasal dari koleksi
isolat Laboratorium Ujung Batee. Isolat dimudakan pada media Nutrient Agar
dengan pelarut NaCl fisiologis dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 28 °C.
Tabel 2. Cakram / disc yang digunakan pada uji Antibiogram Kirby Bauer
No Cakram / disc Dosis Keterangan
1 Habbatussauda
(kapsul
minyak)
2 Habbatussauda
(ekstrak
serbuk)
3 Propolis
4 Ampicillin 10 g Oxoid
5 Novobiocin 30 g Unipath
6 Polymixin B 300 Limited,
units Besingstoke,
Hampshire,
UK
Keterangan : 1 – 11 mm = Resisten
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 233
12 – 17 mm = Intermediate
> 18 mm = Sensisitive
Berbeda dengan hasil pada metode antibiogram Kirby Bauer, pada metode ALT
konvensional, lima isolat yang diberi perlakuan pemberian propolis dan
habbatussauda sebanyak 1 % mengalami jumlah penurunan kelimpahan bakteri
setelah 24 jam, kecuali pada isolat E.coli yang cenderung tidak mengalami
perbedaan hasil.
Analisa Data
Hasil perhitungan angka lempeng total diatas dibuat dalam nilai logaritma
untuk memudahkan analisa statisitik (Tabel 6)
Kesimpulan
Kesimpulan dari studi daya hambat habbatussauda dan propolis terhadap
aqua bakteria , yaitu :
- daya hambat habbatussauda sangat besar terhadap isolat Salmonella dan Vibrio
harveyi, dan sedang/intermediate terhadap Vibrio parahaemolyticus
- Isolat E.coli dan Pseudomonas telah resisten terhadap antibiotik sintetis,
habbatussauda maupun propolis
- seluruh isolat aquabakteria resisten terhadap antibiotik sintetis (Ampicillin 10
µg, Novobiocin 30 µg, Polymixin B 300 units)
- pengaruh propolis dan habbatussauda untuk menurunkan kelimpahan
aquabakteria patogen berbeda secara signifikan dibanding kontrol
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
Aceh Rambeu fish (Charanx sp) is well-known as fishing sport fish. The
fish often migrates to brackishwater ponds in schooling. Local fish
farmers recognize the fish as fast growing, voracious and bustle eating
fish. The natures make the fish appropriate for aquaculture
commodities. The research was conducted to 200 aceh rambeu fish
caught from brackishwater aquaculture pond in Aceh Besar. The wild
fry had weight average 13,8 gr and length 9,6 cm cultured in the tank
volume 200 m2. The fish was cultured for 203 days. Trash fish was fed at
satiation to the fish twice time a day. Water exchange was 100% in a
day. Underwater camera recording was conducted for several times to
reveal fish behavior in captivated area. In the last day, fish was
measured by weight and length; weight-length relationship and growth
rate were analyzed. The result reveals that length growth of the fish is
longer at younger age, showed by higher constant order. Accuracy of
weight-length relationship is higher when the two data is united i.e. y =
0.008x3.263 with level of significance 0,998. The formula shows that
length growth impacts to cubical weight growth. Average weight and
length at the end of research are 704,8 gr (range 600-900 gr) and 32,1
cm; average growth rate 25% per day or 102 gr per month (30 day).
Refer to fish farmer experience, in equal time, fish able to grow for more
than 1 kg. Feeding with fresh trash fish could improve the fish growth.
With this reference of excellence growth the fish has the potency for
brackishwater aquaculture species.
PENDAHULUAN
Ikan merupakan komoditas yang sangat disukai dan digemari oleh
masyarakat. bila dilihat dari sisi pasar ikan, selain mengandung gizi yang tinggi
ikan juga memiliki banyak pilihan rasa karena banyak jenisnya, dan tingginya
variasi segmen harga pasar terhadap ikan mulai dari ikan tuna hingga ikan teri,
wisata kuliner seafood, kolam pemancingan, restoran dan ikan asin sekalipun
sangat digemari. Hal ini menyebabkan konsumsi ikan sangat tinggi di
METODOLOGI
Prosedur Pemeliharaan
Pada kegiatan ini dilakukan pembesaran terhadap 200 benih ikan
rambeu alam yang diambil dari tambak air payau di Aceh Besar dengan kondisi
benih tidak boleh luka dan cacat. Benih diadaptasikan pada lingkungan
setempatsebelumditebardanpenebarandilakukanpadapagi, sore atau malam
hari. Benih ikan rambeu terlebih dahulu dilakukan pemeliharaan awal selama
tujuh hari baru dilakukan penebaran benih sesuai dengan jumlah benih yang
sehat (hidup). Benih yang berukuran lebih kecil dipelihara dalam jaring
penampungan untuk dipacu pertumbuhan agar seragam dan kemudian
dipelihara dalam bak bulat bervolume 200 m2. Pakan yangdiberikan berupa
cincanganikanrucahdan diberikan dengan metode at satiation (sampai
kenyang), frekuensi pemberian pakan dua kalisehari (pagi dan sore).
Pemeliharaan dilakukan selama 203 hari.
Pada saat kondisi air pemeliharaan mulai mengeluarkan gelembung
busa yang tidak mudah pecah dipermukaan air, maka dilakukan pergantian air
sebanyak 100% dari volume air di dalam bak. Selama beberapa kali dilakukan
BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 238
perekaman bawah air untuk memahami tingkah laku ikan rambeu di dalam
kondisi budidaya. Pada akhir kegiatan pemeliharaan ikan diukur panjang dan
beratnya lalu dianalisis hubungan panjang berat dan growth rate. untuk
mengetahui laju pertumbuhan dan produktifitas ikan yang dipelihara.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan selama dua tahun, 2008 sampai dengan 2011, di
Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau dengan pertimbangan bahwa daerah ini
memiliki potensi pencemaran lingkungan kegiatan budidaya ikan laut akibat
limbah cair hasil kegiatan pertambangan bauksit.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode pengamatan dan studi dokumen. Penentuan metode ini merujuk pada
penjelasan Arikunto (2010) dengan tujuan untuk mendapatkan data
perbandingan yang memiliki kepercayaan tinggi. Teknik pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara, observasi dan diskusi sejarah usaha budidaya
ikan di pulau Bintan. Sebagai data primer, selain teknik live in untuk
mendapatkan data faktual, peneliti juga memanfaatkan data sekunder berupa
dokumen ijin usaha budidaya ikan, dokumen produksi budidaya, dokumen
analisa lingkungan pembudidaya dan dua direktori putusan Mahkamah Agung
terhadap gugatan class action yang dilakukan oleh masyarakat pembudidaya
ikan di Batu Licin dan Senggarang Pulau Bintan akibat pencemaran limbah cair
bauksit. Dokumen-dokumen ini penting sebagai indikator subjektif kerugian
usaha budidaya akibat cemaran limbah cair.
Analisis data dilakukan berdasarkan tahapan pelaksanaan audit
lingkungan yang dikemukakan oleh Fandelli, dkk., (2006) yang meliputi tiga
tahap, yaitu pre audit, site audit, dan post audit. Pre audit merupakan tahapan
pengumpulan data yang diperoleh melalui informasi dan bahan yang
disampaikan oleh para pembudidaya ikan. Hasil pre audit kemudian
diverifikasi dengan melakukan kunjungan lapangan (site audit). Pada tahapan
site audit ini sangat bergantung kepada hasil wawancara dengan pembudidaya
ikan yang mencakup metodologi, topik prioritas, jadwal waktu, tempat analisa
dan bentuk laporan. Pada tahapan ini metodologi penelitian yang baik sangat
menentukan tingkat objektivitas bukti/temuan audit yang akan tercantum dalam
laporan. Seluruh hasil audit lingkungan yang berupa bukti-bukti objektif
disampaikan kepada pembudidaya ikan sebagai komponen utama dalam post
audit.
Hasil analisa
Lokasi 1 (Batu Licin)1 Lokasi 2 (Senggarang)2
S
N Plu Al N Plu Al
atuan
ikel mbum umina ikel mbum umina
(Ni) (Pb) (Al) (Ni) (Pb) (Al)
m 0 0,7 4, 0 0.2 6,
g/l ,79 - 9 - 0,86 36 – 8.17 ,318 596 11 – 8.12
0,86
1) Jumlah sampel Batu licin = 3 sampel
2) Jumlah sampel Senggarang = 3 sampel
KESIMPULAN
Hasil kajian ini menegaskan bahwa dalam melakukan audit lingkungan,
masyarakat pembudidaya harus selalu berpatokan kepada aturan dan standar
yang memiliki ketetapan hukum di muka pengadilan. Oleh karena itu, harus
terus diupayakan peningkatan pemahaman dan kualitas hasil analisa audit
lingkungan melalui kerjasama yang kuat antara masyarakat pembudidaya,
pemerintah dan organisasi pemerhati lingkungan. Selain itu, dalam skala
makro, pengelolaan sumber daya alam hendaknya dilakukan berdasarkan
prinsip konservasi dan memperhatikan kondisi lingkungan serta mengacu
kepada aturan tata ruang wilayah yang telah ditetapkan, sehingga keberlanjutan
produksi dan angka tenaga kerja di sektor budidaya perikanan dapat terus
ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Penyusun
DAFTAR ISI
ABSTRAK
Pengumpulan data
Pengumpulan datadilakukan dengan mencatat hasil tangkapan 33 orang
pengumpul benih yang menggunakan lampu dan 33 orang pengumpul benih
yang tidak menggunakan lampu. Pengumpulan data dilakukan satu kali
seminggu untuk mengetahui jumlah tangkapan selama periode 1 minggu.
7,000
6,000
Jumlah Tangkapan
5,000
4,000
3,000
2,000 Juni
1,000
-
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
Pengumpul Benih
Gambar 1, 2, 3 dan 4.
6,000
5,000
Jumlah Tangkapan
4,000
3,000
Juli
2,000
1,000
-
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
Pengumpul Benih
2,000
Jumlah Tangkapan
1,500
1,000
500 Agustus
-
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
Pengumpul Benih
1,400
Jumlah Tangkapan
1,200
1,000
800
600
400 September
200
-
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33
Pengumpul Benih
Dari Tabel 2. diatas dapat dilihat bahwa total jumlah tangkapan benih
lobster dari 33 responden yang tidak menggunakan lampu selama bulan Juni –
September adalah 177.438 ekor. Fluktuasi tangkapan benih lobster dari 33
responden yang tidak menggunakan lampu berbeda dengan yang menggunakan
lampu dimana musim puncak tangkapan pengumpul benih yang tidak
menggunakan lampu terjadi pada bulan Juli 2013 dengan total tangkapan benih
71.147 ekor, selanjutnya bulan Juni dengan total tangkapan benih 71.054 ekor,
bulan Agustus 2013 dengan total tangkapan benih 16.703 ekor dan jumlah
tangkapan terkecil terjadi pada bulan September 2013 dengan total tangkapan
benih 18.534 ekor (Gambar 5, 6, 7 dan 8).
3,500
3,000
Jumlah Tangkapan
2,500
2,000
1,500
Juni
1,000
500
-
34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66
Pengumpul Benih
Gambar 5.Grafik tangkapan benih lobster dari 33 orang koresponden
yang tidak menggunakan lampu selama bulan Juni 2013
800
700
Jumlah Tangkapan
600
500
400
Agustus
300
200
100
-
34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66
Pengumpul Benih
1,000
September
500
-
34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64
Pengumpul Benih
Dari Tabel 1 dan Tabel 2 diatas terlihat jelas bahwa terdapat perbedaan
jumlah tangkapan benih lobster antara menggunakan lampu dan yang tidak
menggunakan lampu. Selama kegiatan percobaan berlangsung dari bulan Juni–
September 2013 jumlah benih tertangkap dengan menggunakan lampu adalah
257.661 ekor, sedangkan jumlah tangkapan yang tidak menggunakan lampu
177.438 ekor.
Hal ini berarti jumlah tangkapan benih lobster meningkat sekitar 31%
dengan menggunakan lampu. Hal ini tentunya dapat meningkatkan pendapatan
para pengumpul benih dimana benih lobster dapat dijual dengan kisaran harga
Rp.6000 – Rp. 12.000.
Terdapat 2 spesies lobster yang umumnya ditangkap oleh para
pengumpul benih yaitu lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster mutiara
(Panulirus ornatus) dengan kisaran panjang umumnya 2-3 cm dan juga stadia
yang berbeda mulai dari puerulus sampai dengan post puerulus seperti pada
gambar dibawah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kanna, I., 2006. Lobster Penangkapan, Pembenihan, Pembesaran Seri
Budidaya. Kanisius. Jogjakarta.
Kulmiye, A., J., dan K., M., Mavuti. 2004. Growth and Moulting of Captive
Panulirus homarus in Kenya, Western Indian Korean. Internasional
Converence and Workshop on Lobster Biology and Management.
Hobart, Australia.
Leaflet Balai Budidaya Laut Lombok, 2012. Budidaya Lobster.
Petunjuk Teknis Balai Budidaya Laut Lombok, 2012. Budidaya Lobster
(Panulirus sp.)
ABSTRACT
Although lobster's seed collecting is a new activity at Lombok, but the
market demand for this commodity is so high, even for domestic or
foreign market. Besides, lobster's seed collecting that progressively
extends will open opportunity for grow out activity.
Constraint on this industry is limited or unstable on fresh fish/trash fish
availability. And snail has a good nutrition content that can be used as
feed. The objective of this activity is to find growth rate and survival
rate on lobster (Panulirus homarus) culture use alternatively feed which
is snail. On this activity use 9 baskets as culture container where the
density on every basket is 10 lobsters, with feed composition are trash
fish, snail, and combination trash fish with snail.
Result of this activity is as follows, the best relative growth rate is fed by
trash fish mixed with snail (89,573%), trash fish (86,287%), and snail
(84,016%). The best daily growth rate is fed by trash fish mixed with
snail (0,276% / days), trash fish (0,255% / days) and snail (0,245% /
days). Meanwhile the survival rate on trash fish with snail (63,33%),
trash fish (66,67%) and snail (73,33%).
PENDAHULUAN
Benih lobster yang digunakan berasal dari hasil tangkapan alam dari
perairan teluk Gerupuk. Benih-benih lobster yang akan disampling terlebih
dahulu ditampung kemudian dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat
lobster yang akan ditebar pada wadah yang telah disiapkan. Benih yang
sebelumnya telah ditimbang selanjutnya ditebar pada tiap wadah keranjang
bulat yang telah disiapkan. Pada kegiatan ini wadah yang digunakan berjumlah
9 keranjang dimana pada tiap keranjang jumlah benih yang ditebar berjumlah
10 ekor dengan berat ± 20 gram.
Kegiatan perekayasaan ini dilakukan dari Bulan Maret – Juni 2014 di
Balai Budidaya Laut Lombok. Hewan uji yang digunakan adalah Lobster pasir
(Panulirus Homarus). Pada kegiatan ini menggunakan 3 perlakuan dengan 3
ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah perlakuan A menggunakan pakan
ikan rucah, perlakuan B menggunakan pakan keong, dan perlakuan C
menggunakan pakan campuran ikan rucah dengan keong.
Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan sore hari dengan dosis 12 %
dari biomass. Kegiatan sampling dilakukan untuk mengetahui penambahan
berat lobster dan juga tingkat kelangsungan hidup lobster. Sampling secara
rutin setiap 14 hari sekali. Lobster-lobster pada tiap wadah ditimbang satu per
satu dan dilakukan penghitungan jumlah lobster.
0.280
0.270
0.260
0.250
0.240
0.230
0.220
A B C
90
88
86
84
82
80
A B C
Aslianti, T., B. Slamet, 2004. Budidaya Lobster (Panulirus sp) di Teluk Ekas
dengan Sistem Budidaya Berbeda. Prosiding Seminar Hasil
Pertanian, Perikanan, dan Kelautan. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta
ABSTRACT
PENDAHULUAN
WSSV merupakan patogen yang paling serius menyerang udang windu
dan telah menghancurkan industri udang windu di berbagai negara (YiG et al.,
2004). Virus ini sangat ganas dan sangat sulit dihentikan (Chang et al., 1996).
Sistem budidaya yang intensif dengan menggunakan kepadatan tinggi,
kurangnya sanitasi, serta meningkatnya distribusi udang ke berbagai negara
akibat meningkatnya perdagangan udang dunia maka WSSV dapat menyebar
dengan cepat dan mengakibatkan kerugian yang besar secara ekonomi bagi
industri-industri udang budidaya.
Salah satu alternatif pengendalian penyakit WSSV yang dapat
dikembangkanadalah penggunaan ekstrak bijinyirih.Diketahui ekstrak biji
nyirih mengandung senyawa aktif yaitu : tanin, flavonoid, saponin dan steroid.
Flavonoid ini digunakan sebagai antivirus, mencegah kepanasan (freshener)
dan memiliki aktivitas sebagai sitotoksik (Markham, 1988). Pemberian ekstrak
biji mangrove, melalui pakan diharapkan mampu meningkatkan respons imun
udang vannamei dan dengan pemberian dosis dan frekuensi yang tepat
diharapkan dapat meningkatan pertumbuhan dan resistensi udang terhadap
serangan WSSV. Respons imun pada udang tergambar dari meningkatnya
parameter imun dan resistensi udang tergambar dari kelangsungan hidup udang
yang terinfeksi. Parameter imun yang mengekspresikan respons imun pada
udang, berupa total hemosit, aktifitas fagositik, aktifitas phenoloxidase,
diferensiasi hemosit yang terdiri dari sel hialin, sel granular dan semi granular
(Yeh and Chen 2008).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan rendemen dan
menentukan keberadaan flavonoid di dalam biji mangrove, menguji pengaruh
pemberian ekstrak biji nyirih melalui pakan dalam meningkatkan respons imun
udang vannamei dan mengevaluasi resistensi udang vannamei dari serangan
WSSV yang telah diberi ekstrak biji nyirih dengan dosis yang berbeda. Hasil
penelitian ini di harapkan memberikan kontribusi terhadap masyarakat
pembudidaya udang sebagai alternatif pengunaan zat-zat kimia dan antibiotik
dalam peningkatan produksi udang vannamei, sehingga produknya lebih aman
untuk dikonsumsi.
Penentuan LC50
Berdasarkan, hasil uji penentuan pengenceranlarutan stok WSSV
menunjukkan bahwa letal concentration 50% (LC50) diperoleh pada
pengenceran larutan stok WSSV 10-5, yang diindikasikan terlihatnya pita pada
visualisasi gel agarose pada pasang basa 941, sedangkan pada pengenceran
lebih rendah yaitu 10-7, 10-8 dan 10-9menunjukkan hasil negatif WSSV pada
visualisasi gel elektroforesis, yang ditunjukkan dengan tidak terlihat pada pita
pada visualisasi gel elektroforesis.
Tabel 1. Total hemosit udang vannamei diberi ekstrak biji nyirih 0(A),
0,5(B),1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (C) g/kg pakan selama empat
minggu pengamatan.
Total Hemosit (106 sel/ml)
Perlakuan
Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
A 4,05 ±0,54 a 5,41 ±0,43 a 5,50 ±0,19 a 6,78 ±0,52 a 6,52 ±0,26 a
B 4,52 ±0,25 a 7,25 ±0,24 b 8,40 ±0,35 b 8,80 ±0,43 b 7,48 ±0,20 b
C 4,61 ±0,69 a 7,76 ±0,68 b
8,85 ±0,09 bc 10,18 ±0,30 c 9,16 ±0,24 c
D 4,80 ±0,41 a 7,90 ±0,63 b
9,97 ±0,21 c 8,93±0,75 b 8,59 ±0,66 c
E 4,90 ±0,07 a 8,11 ±0,38 b
9,61 ±0,34d 8,58 ±0,33 b 8,42 ±0,45 c
Aktifitas fagositik
Aktifitas fagositik disajikan pada Tabel 3. Aktifitas fagositik udang
vannamei yang diberi ekstrak biji nyirih menunjukkan peningkatan selama
empat minggu masa pengamatan, dengan kisaran nilai sebesar (19,00 –
26,00)%, sedangkan kontrol hanya memiliki kisaran nilai sebesar (18,33 –
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 27
23,33)%. Berdasarkan analisis ragam dan uji lanjut Duncan, nilai aktifitas
fagositik pada minggu minggu ke-3 dan minggu ke-4 menunjukkan hasil
berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan kontrol dan perlakuan pemberian
ekstrak biji nyirih 1,0 (C) g/kg pakan dibandingkan dengan perlakuan
pemberian ekstrak biji nyirih mangrove 0 (A), 0,5 (B), 1,5 (D), dan 2,0 (E)
g/kg pakan
Tabel 3. Aktifitas fagositik udang vannamei diberi Ekstrak biji nyirih 0(A),
0,5(B),1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (C) g/kg pakan selama empat minggu
pengamatan.
100.00
Kelangsungan Hidup (%)
90.00
80.00
70.00 K-
60.00 K+
50.00
40.00 B
30.00
20.00 C
10.00
0.00 D
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 E
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 29
Hari setelah infeksi (dpi)
Gambar 2. Kelangsungan hidup udang vannamei yang diberi Ekstrak biji
nyirih 0 (A), 0,5(B),1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (C) g/kg pakan
setelah diinfeksi dengan WSSV.
Peningkatan sistem imun yang ditandai salah satunya dengan
meningkatnya jumlah total hemosit pada krustasea sangat penting dalam
menjaga resistensi terhadap patogen. Pada penelitian ini. Walaupun tidak
dilakukan pengujian parameter imun setelah di uji tantang dengan WSSV, patut
diduga udang vannamei yang telah diberi ekstrak biji nyirih pada pakannya
dengan dosis yang berbeda selama empat minggu, memiliki resistensi yang
lebih baik terhadap infeksi WSSV dibandingkan dengan udang vannamei yang
diberi pakan tanpa ekstrak biji nyirih, secara umum yaitu bernilai lebih tinggi
(21,8- 59,4%) dibandingkan dengan udang vannamei yang diberi pakan tanpa
ekstrak biji nyirih (9,37±4,4%). Kelangsungan hidup tertinggi terjadi pada
udang vannamei yang diberi ekstrak biji nyirihpada perlakuan (C), 1 g/kg
pakan yaitu sebesar 59,37±4,41%. Sedangkan menurut Lightner (1996) tingkat
kematian yang ditimbulkan penyakit WSSV akan mengalami tingkat kematian
mencapai 100% selama 3 hingga 10 hari setelah terinfeksi. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa pemberian ekstrak biji nyirih selama empat minggu,
telah mampu meningkatkan resistensi udang vannamei terhadap infeksi WSSV.
Pengamatan histologi pada jaringan insang, hepatopankreas, jaringan otot dan
subkutikula dilakukan pada 12 dpi (Tabel 4) menunjukan abnormalitas pada
semua perlakuan yang diinfeksi WSSV, sedangkan pada perlakuan kontrol
yang tidak diinfeksi WSSV (K-) menunjukan bentuk jaringan yang masih
normal.
Tabel 4. Pengamatan kelangsungan hidup (SR), histologi jaringan insang,
hepatopankreas, jaringan otot dan subkutikula serta PCR udang
vannamei diberi dosis Ekstrak biji nyirih berbeda setelah diinfeksi
WSSV.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: PT
Gramedia.
Chang PS, Lo CF, Wang YC. and Kou GH.1996. Identification of White Spot
Syndrome Associated Baculovirus (WSBV) Target Organs in the
Shrimp Penaeus monodon by In Situ Hybridization. Dis. Aquat.
Org. 27, 131-139
Chou, H.Y,C. Yi Huang, C. H. Wang, H.C Chiang & C.F Lo. 1995.
Pathogenicity of a baculovirus infection causing white spot
syndrome in cultured penaeid in Taiwan. Dis aquat org. 23 : 165-
173
Hamsah. 2004 Peran pakan alami dalam penularan White spot syndrome virus
(WSSV) pada benur udang windu, Penaeus monodon. [Tesis].
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
Hentschel BT and Feller RJ. 1990. Quantitative Immunoassay of the Pro
Ventrikular Contents of White Shrimp Penaeus setiferus Linnaeus:
a Laboratory Study.Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology, vol 139; 85 – 99
Hoyt M, Fleeger JW, Siebeling R, Feller RJ. 2000. Serological Estimation of
Prey-Protein Gut-Residence time and Quantification of Meal Size
for Grass Shrimp Consuming Meiofaunal Copepods. Journal of
Experimental Marine Biology and Ecology, vol 248; 105 – 119
ABSTRACT
Larvae production programmes in giant fresh water prawn,
Macrobrachium rosenbergii focused usually on gonad maturation
process, number eggs production and hatching rate. An effort to
improve larvae production was done throught substitution of feed using
earth worm (Lumbricus rubellus). The tests was conducted in fiberglass
tank 2 m x 2 m with 40 cm water depht and placed in indoor room. 36
- 54 g body weight of M. rosenbergii was used as animal tested. Earth
worm as substitution feed was given 25% from total feed daily that
comprised of fresh potato and squid. As comparison, standart feed
comprised of fresh potato, squid and shrimp pellet with 40 % protein
content was apllied. Result indicated that application of earth worm
increse the number of larvae reached to 14.772 in 36 – 38 g body
weight. M. rosenbergii with 40 – 42 g and 50 – 54 g body weight
produce 21.445 larvae and 39.305 larvae respectively. Maturation
using standart feed produce 9.500, 12.950, and 14.300 larvae in each
body weight of 36 – 38 g, 40 – 42 g and 50 – 54 g. respectively.
Higher percentage of ripe broodstock were observed in apllication of
earth worm, that was 85%, compared to 30 % without earth worm.
Subsequent eggs formation were found 10 days after spawning in earth
worm substitution and 21 days without substitution.
PENDAHULUAN
Udang galah merupakan salah satu spesies udang air tawar yang dapat
tumbuh cepat dalam waktu pemeliharaan yang cukup singkat. Meski pangsa
pasar belum sebesar spesies udang laut, namun potensi ekspornya cukup tinggi
serta mempunyai beberapa segmen pasar baik berupa produk olahan maupun
bahan mentah. Pada kegiatan budidaya, udang galah dapat dipelihara secara
polikultur dengan spesies lain ataupun sebagai spesies pilihan yang tepat selain
tipalia dan udang laut. Benih bermutu merupakan tuntutan untuk meningkatkan
Tabel 1. Berat telur dan jumlah larva yang dihasilkan dengan penambahan
cacing
Kisaran berat Induk Rata – rata panjang Rata-rata berat Rata-rata jumlah
(Gram) induk (Cm) telur/ekor induk larva/ekor induk
(Gram) (ekor)
36 - 38 13.9 3 14.772
40 - 42 14.25 4 21.445
50 - 54 16.35 5 39.305
Tabel 2. Berat telur dan jumlah larva yang dihasilkan tanpa penambahan
cacing
Kisaran berat Induk Rata – rata panjang Rata-rata berat Rata-rata jumlah
(Gram) induk (Cm) telur/ekor induk larva/ekor induk
(Gram ( ekor)
36 - 38 13,6 3 9.500
40 - 42 14,15 4 12.950
50 - 54 15.00 4 14.300
Jenis Pakan Suhu (oC) pH DO (ppm) Salinitas NH3 (ppm) NO2 (ppm)
(ppt)
Penambahan 29.5-30.5 7,8 – 8,1 4.3 – 4.7 6 0.012- 0.009-
cacing 0.024 0.335
Tanpa 27,6 – 28,1 7.9 – 8.0 4.0 – 5.3 5 0.006- 0.016-
penambahan 0.017 0.052
cacing
DAFTAR PUSTAKA
Cavalii, R.O., F.M.M. Batista, P. Lavens, P. Sorgrloos, H.J. Nelis dan A.P
Deleendeer, 2003. Effect of dietary supplementation of vitamin C and
E on maternal performance and larval quality of the prwan
Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 227:131 – 146
D‖Abramo, L.R. dan M.B. New, 2000. Nutrition, Feeds and Feeding. New,
M.B, dan W.C. Valenti (Ed). Freshwarwe prawn culture.The farming
of Macrobrachiumrosenbergii. Blacwell science Ltd
ABSTRACT
Catappa leaves have been used in many sectors of fisheries, mainly for
fish transfortation. Terminalia catappa contains important matters as
alkaloid, flavanoid, tanin, and saponin. The fuction of alkaloid and
flavanoid as antibiotic, tanin as antioxidant, and saponin as supported
for moulting the skin. In this study, Terminalia catappa leaves that were
used that tree shed its leaves. And then the leaves were dried. In the
experimental, there were three doses of treatments. The treatment
without leaves of Termianlia catappa as control, dose at 100 g/m 3 (30
leaves), and the other dose at 200 g/m3 (60 leaves). The result of this
study showed that the treatment with Terminalia catappa accoured
increasing in the survival rate. The survival rate in each dose was
58.2±6.8 %, (control), 64.3±5.0 % (100 g/m 3), and 66.0±11.1% (200
g/m3). Another that, duration of larvae rearing was different in each
treatment, 30-36 days (control), 24-30 days to the dose given at 100
g/m3 and 200 g/m3. The decreased of duration can be used to increase
productivity, because its can be efficiency for feed and waters used.
PENDAHULUAN
Tujuan
Meningkatkan produksi benih udang galah.
Sasaran
Tersedianya benih yang cukup untuk kegiatan budidaya udang galah di
masyarakat.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 45
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan adalah induk udang galah, pakan induk, pakan
larva, pakan benih, Artemia, vitamin C, daun ketapang kering (Terminalia
catappa), bahan kimia (iodine, kaporit dan thiosulfat). Sedangkan alat yang
digunakan adalah kolam pemeliharaan dan pemijahan induk, bak penetasan
telur, bak pemeliharaan larva, bak tandon air tawar, bak tandon air laut,
instalasi air tawar, instalasi air laut, perlengkapan sifon, perlengkapan aerasi,
perlengkapan ganti air, bak penetasan artemia, ember, baskom, scoopnet,
perlengkapan pembuatan pakan egg custard.
b. Pemeliharaan larva
- Menyiapkan wadah pemeliharaan larva berupa bak fiber glass
volume 1,5 m3 sebanyak 9 buah (untuk 3 perlakuan dengan 3
ulangan)
- Wadah diisi dengan air bersalinitas 12 ppt sebanyak 1 m3
- Air media selanjutnya diberi daun ketapang. Perlakuan A (tanpa
daun ketapang), perlakuan B dengan dosis daun ketapang 100 g/m3
(± 30 lembar), dan perlakuan C dengan dosis 200 g/m3 (± 60
lembar). Biarkan selama 12-24 jam
- Lakukan penebaran larva pada pagi hari dengan kepadatan tebar 50
ekor/liter
- Pada umur hari kedua diberi pakan artemia, sedangkan pakan buatan
diberikan mulai hari ke-6. Ketika terjadi perubahan stadia dari larva
ke juvenil pakan yang diberikan adalah pakan benih berbentuk
cramble sebanyak 2 g/m3 dan pakan egg custard mulai dikurangi.
Manajemen pemberian pakan larva disajikan pada Tabel 1
- Lakukan pergantian air sebanyak 20% setiap tiga hari bertepatan
dengan waktu penyifonan kotoran
- Daun ketapang diganti yang baru setiap seminggu sekali dengan
dosis yang sama pada masing-masing perlakuan hingga akhir
pengujian
- Monitoring kesehatan dan lingkungan dilakukan secara rutin
- Penurunan salinitas dimulai pada saat perubahan stadia larva menjadi
juvenil/post larva (PL) sudah mencapai 60%. Penurunan dilakukan
secara gradual dan mencapai salinitas 0 promil pada saat stadia post
larva 5 (PL5)
Tabel 2. Jumlah artemia, egg custard, volume ganti air dan nilai FCR pada
setiap perlakuan
Kelangsungan Hidup
Jumlah tebar larva, juvenile (PL5), durasi pemeliharaan larva, dan
kelangsungan hidup pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6
dan Gambar 1. Jumlah larva yang ditebar pada setaip perlakuan adalah sama
yaitu 50.000 ekor/m3. Kelangsungan hidup pada perlakuan A (kontrol) sebesar
58.2±6.8%, perlakuan B (dosis 100 g/m3) adalah 64.3±5.0% dan perlakuan C
(dosis 200 g/m3) adalah 66.0±11.0%. Persentase kelangsungan hidup pada
media dengan daun ketapang lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan
Kontrol. Kelangsungan hidup yang tinggi dapat terjadi salah satunya sebagai
akibat tidak terinfeksi penyakit. Media pemeliharaan larva yang diberi
perlakuan daun ketapang menunjukkan warna air yang coklat menguning dan
bahan organik terendapkan. Warna media coklat menguning tersebut berasal
dari tannin yang terdapat pada daun ketapang. Daun ketapang mengandung
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 53
tannin (LP2IL Serang, 2014). Menurut Mustafa, daun ketapang (Terminalia
catappa) mengandung tannin sebasar 21%. Tanin berfungsi sebagai antioksidan
yang mampu mencegah terjadinya peroksidasi lemak. Aktifitas antioksidan
pada daun berwarna merah lebih besar dari daun berwarna hijau yaitu 5.12-
9.98% > 2.36-6.08%, menurut Chyau, et al, 2002. Asam tannin, lignin dan
fulvic adalah sub kelas dari asam humic. Zat tersebut semua mewarnai air
sehingga menguning. Asam humic dan tannin bermanfaat untuk menghambat
berbagai jenis bakteri yang membahayakan kesehatan ikan peliharaan. Asam
humic dan tannin juga dapat menyerap dan menetralkan racun dari bahan kimia
logam berat seperti seng, almunium dan tembaga. Menurut D.S. Mohale, et. al,
2009 daun ketapang kering yang dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 0.5
mg/ml mampu menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophyla.
Selain itu mampu mengurangi infeksi jamur pada telur ikan tilapia, dan pada
dosis 800 ppm mampu mengeradikasi ektoparasit Trichodina.
Tabel 6. Jumlah tebar larva , jumlah juvenil (PL5) dan kelangsungan hidup
pada setiap perlakuan
Durasi
Jumlah larva Jumlah juvenil
Perlakuan Ul pemeliharaan SR (%)
(ekor) PL5 (ekor)
(Hari)
1 50.000 25.650 36 51.3
(A) Kontrol 2 50.000 32.400 30 64.8
3 50.000 29.200 34 58.4
33.3±3.1 58.2±6.8
1 50.000 30.300 29 60.6
(B) Dosis 100
3 2 50.000 31.150 29 62.3
g/m
3 50.000 35.000 24 70.0
27.3±2.9 64.3±5.0
1 50.000 26.850 30 53.7
(C) Dosis 200
3 2 50.000 37.800 25 75.6
g/m
3 50.000 34.300 24 68.6
26.3±3.2 66.0±11.0
55
50
A B C
12
laju pertumbuhan harian
10 9.65 10.07
8 8.27
7.98 8.27
7.98
7 A
6.6
(%)
6
B
4
C
2
0
1 2 3
Flavanoid Positif
Analisa Usaha
Dengan berkurangnya durasi larva, kelangsungan hidup meningkat,
nilai FCR lebih rendah dan terjadi efisiensi 21-25% dalam pemanfaatan pakan
serta 28% penggunaan air, maka biaya pemeliharaan larva untuk memproduksi
juvenile udang galah dapat ditekan.
Tabel 8. Analisa usaha pemeliharaan larva udang galah per siklus produksi
dengan aplikasi daun ketapang
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 57
Komponen Jumlah Harga satuan (Rp) Harga total (Rp)
A. Biaya variabel
1. Artemia 20 kaleng 500.000 10.000.000
2. Pakan larva (egg 35.000 350.000
10 kg
custard)
3. Pakan benih 20 kg 20.000 400.000
4. Pakan induk 50 kg 15.000 750.000
5. Obat-obatan 1 paket
- Kaporit 5 40.000 200.000
- Thiosulfat 3 20.000 60.000
- Daun ketapang 33 kg 2.000 66.000
6. Peralatan packing/panen 1 paket
- Isi gas oksigen 2 tabung 100.000 200.000
- Karet 4 kg 25.000 100.000
- plastik 134 kg 30.000 420.000
Total Biaya Variabel 12.546.000
B. Biaya Tetap
1. Tenaga kerja Per siklus 5.000.000 10.000.000
2. Listrik Per siklus 3.000.000 3.000.000
3. Operasional genset Per siklus 500.000 500.000
4. Penyusutan alat Persiklus 500.000 500.000
5. Pajak bangunan Per siklus 100.000 100.000
6. Induk jantan Per siklus 625.000 625.000
7. Induk betina Per siklus 850.000 850.000
Total 15.575.000
C. Total biaya operasional 28.121.000
D. Penerimaan/pendapatan 1 juta 40 40.000.000
E. Keuntungan per siklus 11.879.000
F. Keuntungan per tahun 6 siklus 71.274.000
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Elin, Y.S et.al, 2006. Uji Aktifitas Anti Jamur Salep dan Krim Daun ketapang
(Terminalia catappa, L) pada Kulit Kelinci. Sekolah Farmasi, ITB.
Dalam Majalah Farmasi Indonesia 17 (3) .
D.S. Mohale et. al. 2009. Brief Review On Medicinal Potential Of Terminalia
catappa. P.W. Collage of Pharmacy, Damangaon road, Yavatmal,
India. Journal of Herbal Medicine and Toxicology 3(1) 7-11 (2009).
ISSN:0973-4643.
Hardiko, R.S. 2004. Aktifitas Antimikroba Ekstrak Etanol, Ekstrak Air Daun
yang Dipetik dan Daun Gugur Pohon Ketapang (Terminalia catappa,
Linn), Acta Pharm, Indonesia, 22(4) 129-133.
ABSTRACT
The goal of broodstock improvement is to increase production of seed
production at hatchery and consumsion prawn at prawn pond by
development of synthethic founder broodstock. Materials for synthethic
founder broodstock are broodstock F4 from Mahakam River, Cenranae
River and Citanduy River with diallel crossing from all population
combination. Every step of regeneration are made by individual selected
method. The adult age of GFW prawn is sixt month, average of
standard length is 8,8±0,4 cm and average of total weight is 31,8±5,1
g. The reproductive age of GFW prawn is eight month with spawning
successfully are 26% every spawning period. The Number of relative
fecundity are 742 eggs/g of broodstock female and hatching rate are
81,7%. At hatchery, the survival rate of larvae are 57,4±12,7%; larvae
to juvenile duration are 24-30 days and total length of day-5 juvenile
are 9,0±0,8 mm. The increasing of the survival rate of larvae to juvenile
is very high. That will be increase hatchery productivity and always
ready stock for farmer.
PENDAHULUAN
Tujuan
Tujuan Program pemuliaan udang galah adalah untuk mendapatkan
udang galah unggul yang memiliki kelangsungan hidup tinggi dan pertumbuhan
cepat baik pada masa pemeliharaan di hatchery maupun pembesaran di kolam.
Tahun
2007-2010 2011 2012 2013 2014
No Uraian Kegiatan
Semester ke-
I II I II I II I II I II
Koleksi, Domestikasi,
1
dan Karakterisasi
2 Pembentukan F0
3 Pembentukan F1
4 Pembentukan F2
5 Pembentukan F3
Karakterisasi benih sebar
6
dan induk F3
Material Awal
Udang Galah strain BBPBAT Sukabumi dibentuk oleh tiga strain udang
galah yang secara geografis berasal dari tempat yang berbeda, yaitu Sungai
Mahakam (Kalimantan Timur), Sungai Cenranae-Bone (Sulawesi Selatan) dan
Sungai Citanduy (Jawa Barat). Induk alam ketiga strain tersebut didatangkan
pada tahun 2007. Setiap tahun ketiga strain tersebut diregenerasi sampai pada
tahun 2011 telah mencapai generasi yang keempat (F4) dan secara bersama-
sama membentuk populasi gabungan melalui pembentukan populasi dasar
sintetis (F0).
Metode Seleksi
Metode Seleksi Pemuliaan
Acuan protokol
Metode seleksi yang dilakukan untuk memperoleh karakter
pertumbuhan cepat di BBPBAT Sukabumi adalah program seleksi individu
pada karakter pertumbuhan. Secara garis besar, kegiatan dimulai dengan
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 63
pengadaan induk alam, pembentukan populasi dasar sintetis (F0), serta
pembentukan populasi-populasi generasi berikutnya. Pedoman yang dipakai
adalah protocol #1 : Seleksi Individu untuk Karakter Pertumbuhan Udang
Galah (LRPTBPAT, 2010).
Tabel 2.3 Jumlah induk udang galah F4 dari ke-3 strain hasil koleksi
dan domestikasi di BBPBAT Sukabumi
Pemijahan dilakukan secara dialel crossing dari tetua jantan dan betina
dari masing-masing strain. Hasil pemijahan dan penetasan tersebut
diperlihatkan pada tabel 2.4.
Hasil pemeliharaan larva diperoleh juvenil, untuk kemudian didederkan
sebanyak 202.500 ekor juvenil ukuran 0.0029 g dari 9 kombinasi dialel
crossing (masing-masing 22.500 ekor). Tokolan udang galah hasil pendederan
9 kombinasi tersebut dipilih 50% terbaik kemudian dipelihara secara komunal
untuk membentuk populasi dasar sintetis (F0).
Dialel Jml Betina Jml Jantan Jml Betina Jml Betina Tdk Jumlah Larva
crossing (ekor) (ekor) MT (ekor) Bertelur (ekor) (ekor)
CC 30 30 24 4 144.500
CM 30 30 22 5 158.500
CB 30 30 15 12 63.000
MC 30 30 21 6 80.000
MM 30 30 11 14 80.000
MB 30 30 19 7 100.000
BC 30 30 17 6 128.700
BM 30 30 21 8 102.500
BB 30 30 16 12 85.000
Tabel 3.1. Respon seleksi (RS) pada karakter panjang standar udang
galah hasil seleksi
RS (cm) Rataan RS RS (%) Rataan RS
Populasi
Betina Jantan (cm) Betina Jantan (%)
Total respon seleksi berdasarkan karakter bobot total dari populasi F1 sampai
F3 adalah sebesar 6,29 g atau setara dengan 33,68%, seperti tersaji pada Tabel
3.2.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 69
Tabel 3.2. Respon seleksi (RS) pada karakter bobot total udang galah
hasil seleksi
DS (g) RS (g ) h2 Rataan
Populasi
Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan h2
F1 21,00 16,16 1,62 2,30 0,08 0,14 0,11
F2 2,54 9,04 2,74 2,56 1,08 0,28 0,68
F3 4,20 14,04 1,83 1,52 0,36 0,13 0,24
Rataan Heritabilitas 0,34±0,30
Karakteristik Induk
Terdapat 19 karakter morfometrik yang diamati dan 8 karakter bobot
yang diamati. Hasil pengamatan karakter morfometrik dan morfometrik induk
sintetis F2 tersaji pada Tabel 3.5.
Karakter reproduksi meliputi umur dewasa, umur reproduktif, bobot dan
panjang standar udang dewasa, keberhasilan pemijahan, fekunditas telur dan
jumlah larva relatif disajikan pada Tabel 3.6.
15
Bobot (g)
10
Seleksi
5 Mahakam
0
1 15 30 45 60 75 90
Hari ke-
No Stadia Jumlah Bak atau Jumlah Sampel per Bak Hasil Pengujian
Kolam atau Kolam MrNV
1 Induk 2 10 Negatif
2 Larva 11 1000 Negatif
3 Juvenil H-5 8 500 Negatif
4 Juvenil H-30 4 30 Negatif
5 Tokolan 8 10 Negatif
Kualitas/bagian edibles
Persentase karakter bobot tanpa atau dengan karapas udang galah hasil
seleksi tersaji pada tabel 3.13.
Tabel 3.13 Persentase karakter bobot jantan dan betina udang galah
hasil seleksi
No Karakter Bobot Jantan (%) Betina (%)
1 Bobot Abdomen (Skin on) 38.83 46.80
2 Bobot Kepala 58.42 50.79
3 Bobot edible abdomen (Karkas) 30.46 35.89
4 Bobot edible kepala 26.89 25.98
Ketersedian Induk
Ketersediaan induk udang galah kelas GGPS sebanyak 2000 ekor
dengan rataan bobot jantan 53,29±8,57 g dan bobot betina 31,78±5,14 g,
dengan karakteristik seperti tersaji pada Tabel 3.14
Tabel 3.14 Karakteristik dan ketersediaan induk GGPS
KESIMPULAN
Program pemuliaan udang galah melalui seleksi individu yang telah
dilakukan di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi telah
menghasilkan strain udang galah yang memiliki karakter pertumbuhan lebih
cepat baik pada masa pemeliharaan di hatchery maupun pembesaran di kolam
budidaya.
Di hatchery, Udang galah hasil seleksi memiliki nilai rerata
kelangsungan hidup sebesar 47.77 – 63.91% dengan durasi larva selama 24-30
hari. Udang galah hasil seleksi memiliki nilai rerata heritabilitas pada karakter
panjang sebesar 0.27±0.24, nilai rerata heritabilitas pada karakter bobot sebesar
0.34±0.30. Keunggulan lainnya adalah pertumbuhan cepat (33.68%), bebas
virus MrNV, durasi dan perkembangan larva lebih cepat, tahan terhadap bakteri
vibriosis, sintasan tinggi pada fase pembesaran ≥ 80%, toleransi lingkungan
(pH, suhu, salinitas) tinggi (≥95%), persentase bobot edible tanpa cangkang
sebesar 30,46% (jantan) dan 35,89% (betina).
Abstract
Key words: Artificial feed, jabir, nursery, tiger shrimp and production
Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi mengenai
efektivitas substitusi ikan rucah (jabir) sebagai pakan buatan terhadap
kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih udang windu di penggelondongan.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 82
Sasaran
Sasaran dari kegiatan ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dalam
pengembangan teknik penggelondongan udang windu sehingga mendapatkan
hasil yang lebih baik dan secara ekonomis menguntungkan untuk dilakukan.
Pakan Buatan
Pakan buatan adalah makanan khusus yang diramu dari berbagai macan
bahan yang kemudian dibentuk sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Ketersediaan pakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan bernilai gizi
baik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kegiatan usaha
budidaya. Penyediaan pakan yang tidak sesuai dengan jumlah ikan yang
dipelihara menyebabkan laju pertumbuhannya lambat, akibatnya produksi yang
dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan (Sachwan, 1999).
Protein, karbohidrat dan lemak merupakan zat gizi dalam makanan yang
berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh. Protein bersama dengan mineral
dan vitamin berfungsi dalam pengaturan suhu tubuh, pengaturan keseimbangan
asam basa, pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh serta pengaturan proses
metabolisme dalam tubuh (Afrianto dan Liviawaty, 2004).
Menurut Krebs (1972) dalam Kasim (1996) bahwa sintasan yang dicapai
suatu populasi merupakan gambaran hal interaksi dari daya dukung lingkungan
dengan respon populasi yang ada. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi
sintasan yang utama adalah kepadatan dan jumlah pakan.
Kualitas Air
Jabir
Berdasarkan hasil analisis uji coba penggunaan ikan jabir tersebut maka
dilakukan ujicoba penggunaan ikan jabir sebagai bahan pakan buatan dalam
kegiatan penggelondongan udang windu.Dalam perbaikan pemeliharaan benih
udang windu, dilakukan upaya meningkatkan SR dan pertumbuhan benih, serta
upaya penggelondongan dengan pemanfaatan ikan jabir sebagai bahan
subtitusi pakan Diharapkan dapat menigkatkan kelangsungan hidup benih
gelondongan yang tinggi, sehat dan berkualitas untuk budidaya di tambak
Prosedur Kerja
- Menyiapkan wadah ujicoba berupa fiberglass volume 500 liter sebanya
9 buah.
- Menyiapkan pakan uji dan pakan komersil
- Pakan uji dengan bahan baku ikan jabir (hasil produksi divisi pakan
formula BPBAP Takalar)
- Menyiapkan air media pemeliharaan
- Kegiatan ini dilakukan dengan 2 perlakuan yaitu A (pakan komersil), B
(Pakan dengan bahan Jabir) dan tiga ulangan.
- Mengukur panjang berat awal benih udang windu PL 12
- Melakukan penebaran benih sebanya 2.000 ekor/wadah
- Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari yaitu jam 06.00, jam 14.00,
dan jam 22.00 WITA
- Pergantian air dilakukan secara berkala setiap dua hari sekali
- Pengukuran pertumbuhan dilakukan setiap empat hari.
Pengukuran Peubah
Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah tingkat laju pertumbuhan berat
mutlak, laju pertumbuhan harian, konversi pakan (FCR) dan tingkat
kelangsungan hidup (SR).
W = Wt - W o
Dimana :
W = Pertumbuhan mutlak individu (g).
Wt = Bobot biomassa hewan uji pada akhir penelitian(g)
Wo = Bobot biomassa hewan uji pada awal penelitian (g)
Wt - Wo
LPH = x 100%
t
Dimana :
LPH = Laju pertumbuhan bobot individu harian hewan uji (% hari)
Wt = Bobot rata-rata hewan uji pada akhir penelitian (g)
Wo = Bobot rata-rata hewan uji pada awal penelitian (g)
t = Periode waktu pemeliharaan (hari)
SR = (Nt/No) x 100%
Dimana :
SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor)
No = Jumlah hewan uji pada awal pengujian (ekor)
25.5
20.0 21.9 20.1
18.1 19.2
15.7 14.8 16.3
13.5
10.0 9.7 10.1
7.0 7.4
4.9 5.3
5.0 5.2
-
0 I II III IV V VI VII VIII
Sampling ke
Uji coba pemberian pakan buatan dengan substitusi bahan baku ikan
rucah/jabir ini juga memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap laju
penambahan panjang rataan per individu benih udang windu yang diujicobakan
(dapat dlihat pada gambar 2 di bawah ini). Secara detail Gambar 2 melukiskan
grafik kenaikan ukuran panjang rataan benih pada masing-masing perlakuan,
dimana pemberian pakan buatan dengan substitusi ikan jabir sebagai bahan
bakunya telah mampu mengimbangi pemberian pakan komersial. Hal ini
menunjukan pengaruh positif yang cukup baik dari uji coba pakan buatan
dengan bahan baku jabir yang diberikan pada benih udang windu di
penggelondongan.
Sampling Ke
337.82 313.60
98.00
1.33
98.00
0.93
A B
2,000
1,681
2,000
1,709
2,000
1,500 84.03
1,000
85.47
500
-
Populasi awal Populasi akhir uji SR
(ekor) coba (ekor)
KESIMPULAN
Meskipun belum pengaruhnya belum menyamai pakan komersil yang
biasa digunakan tapi penggunaan pakan buatan dengan substitusi ikan
rucah/berbahan baku ikan jabir dapat direkomendasikan sebagai pakan
alternative pada pemeliharaan bennih udang windu di penggelondongan.Dalam
rangka lebih mengoptimalkan pemanfaatan ikan jabir sebagai pakan buatan dan
mendukung kegiatan penggelondonggan udang windu, maka kami
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 94
menyarankan untukdilakukan pembuatan pellet dalam berbagai ukuran dan
bentuk, agar aplikasi pakan buatan dengan bahan baku ikan jabir dapat
dilakukan dalam berbagai segmentasi budidaya udang windu baik di
penggelondongan maupun di pembesaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arsana, I. N. 2002. Pemberian pakan berupa cacing laut, cumi-cumi dan tiram
dengan persentase perbandingan yang berbeda pada produksi massal
induk udang windu matang gonad. Balai Budidaya Air Payau Takalar,
4 hal.
Basyarie dan D.N. Putra. 1991. Pengaruh Perbedaan Sumber Protein Utama
dalam Makanan Buatan Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Kerapu
Lumpur. Jurnal Penel. Budidaya pantai. Vol 7(2). Hal 102-109.
Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management For Pound Fish Culture.
Development in Aquaculture and Fisheries Science Vol. 9 Elsevier
Science Publishing Company, Netherland.
Hariati, A.M., 1989. Ilmu Makanan Ikan. Fakultas Perikanan Universitas
Brawijaya. Malang. 153 Hal.
Haryati, E. Saade dan Zainuddin. 2006. Peningkatan Kualitas Induk Udang Windu
(Penaeus monodon Fab.) Lokal dengan Pemberian Berbagai Jenis Pakan
Segar. Balitbangda Prop. Dati I Sulawesi Selatan dan Lembaga Penelitian
UNHAS.
Hutagalung S.P., 2009. Udang Primadona Ekspor Perikanan. Tempo Interaktif
Jakarta.
Irwan, I. 2008. Pengaruh Kombinasi Pakan Segar yang Terbaik Diberikan
pada Induk Udang Windu ( Penaeus monodon Fabr) Terhadap Ukuran
Telur dan Nauplii. Skripsi. UNHAS. 30 hal.
Likur, R. 2008. Pengaruh Berbagai Pakan Segar Terhadap Laju Kematangan
Gonad dan Frekwensi Bertelur Induk Udang Windu ( Penaeus
monodon) . Skripsi. UNHAS. 35 hal
Ratnasari. 2002. Pengaruh pemberian cacing laut (Nereis Sp) sebagai
kombinasi pakan terhadap tingkat kematangan gonad dan kualitas telur
induk udang windu (Penaeus monodon Fabr). Tesis Intitut Pertanian
Bogor.
Sachwan, 1999. Pakan Ikan dan Udang. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soleh, M. dan Hamid N., 1994. Pengamatan kematangan telur induk udang
windu yang berasal dari berbagai perairan . Laporan tahunan Balai
Budidaya Air payau Jepara, 1993 – 1994
ABSTRACT
A. Persiapan
Kegiatan persiapan yang dilaksanakan selama kegiatan budidaya
meliputi kegiatan pengeringan, pengapuran, pencucian tambak, perbaikan
pematang dan pintu air, pengisian air, pemupukan serta penumbuhan plankton
sebagai pakan alami pada awal pemeliharaan di tambak. Adapun hasil kegiatan
persiapan tambak seperti tersji pada tabel2 berikut :
Tabel 2. Hasil kegiatan persiapan tambak budidaya rajungan di tambak di
Kabupaten Maros dan Kabupaten Luwu
Kabupaten Standar
Parameter Kabupaten Maros
No. Satuan Luwu Kualitas
Pengamatan Tambak 1 Tambak 2 Tambak 1 Tambak 2
Dari tabel pengamatan selama kegiatan persiapan tersebut secara umum hasil
pengukuran parameter masih dalam kondisi yang standar dan optimal untuk
kegiatan budidaya rajungan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukan
oleh Raharjo,dkk.(2012) bahwa kegiatan persipan tambak budidaya rajungan
meliputi kegiatan pengeringan tanah tambak, pengapuran, pemupukan dan
pengisian air tambak. Pada kegiatan budidaya yang berlangsung di Kabupaten
Maros dan Kabupaten Luwu tidak dilakukan pengapuran pada tanah dasar
tambak karena dari hasil pengukuran parameter tanah yang dilaksanakan
menunjukkan hasil yang optimal untuk kegiatan budidaya dengan nilai pH pada
kisaran 7,64 – 7,85.
Pemupukan yang dilakukan bertujuan untuk menumbuhkan plankton
sehingga digunakan pupuk organik yaitu pupuk kandang dan pupuk
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 100
anorganik.Hal tersebut sudah sesuai dengan tujuan pemupukan yaitu
meningkatkan kesuburan tanah dasar tambak. Menurut Raharjo dan
Nurcahyono (2013) Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk
anorganik dan organik. Pemberian pupuk anorganik untuk menumbuhkan
fitoplankton sedangkan pemberian pupuk organik berguna untuk
menumbuhkan fitoplankton dan zooplanton yang sangat diperlukan sebagai
sumber makanan benih/ crablet rajungan yang masih kecil.
Standar kualitas air selama pemeliharaan masih dalam kondisi yang
optimal untuk kegiatan awal budidaya rajungan di tambak. Pada tambak
Kabupaten Maros kondisi parameter air terutama salinitas diatas kondisi yang
optimal yaitu mencapai 38 ppt,hal tersebut dikarenakan pada saat tersebut
adalah puncaknya musim kemarau di daerah tersebut sehingga terjadi
peningkatan nilai salinitas perairan di tambak. Kondisi yang optimal nilai
salinitas untuk kegiatan budidaya rajungan menurut Sugeng,dkk. (2003)
salinitas air tambak untuk budidaya rajungan adalah 20 – 34 ppt, sedang
Raharjo dan Nurcahyono (2013) menyebutkan salinitas air pemeliharaan
rajungan ditambak pada kisaran 15 – 35 ppt. Perbedaan parameter air terutama
salinitas tidak menjadi masalah karena lokasi budidaya yang dekat dengan
muara sungai sehingga memudahkan untuk melakukan pergantian air apabila
terjadi kenaikan salinitas air tambak yang ekstrim.
B. Penebaran Benih
Benih yang digunakan untuk kegiatan budidaya rajungan di tambak
adalah benih hasil pembenihan dari hatchery rajungan BPBAP Takalar. Benih
yang ditebar mempunyai bobot antara 0,03 gram – 0,14 gram dengan lebar
karapas 0,5 cm – 1,5 cm. Kepadatan tebar adalah 4 ekor/m2, sehingga masing –
masing petakan dengan luas lahan 0,5 Ha dipelihara 20.000 ekor crablet
rajungan. Padat tebar benih yang dipelihara adalah lebih rendah dibanding yang
telah dilakukan Effendy dan Komaruddin (2005); Raharjo,dkk. (2012) dimana
padat tebar yang telah dilaksanakan adalah 5 ekor/m2.Kepadatan tebar yang
lebih rendah ini diharapkan dapat meningkatkan hasil produksi yang diperoleh
pada budidaya rajungan di tambak tradisional.
Kegiatan penebaran benih diawali dengan proses aklimatisasi suhu dan
salinitas. Proses aklimatisasi biasanya berlangsung selama 15 – 30 menit.
Adapun metode penebaran dan aklimatisasi crablet rajungan ditambak adalah
sebagai berikut :
1. Crablet yang telah tiba dilokasi budidaya dibuka dari kantong kemasan.
2. Kantong packing benih/ crablet dimasukkan kedalam tambak dan
dibiarkan selama 15 menit atau sampai kantong terlihat mengembun.
Hal ini mengindikasikan bahwa suhu dalam kantong dan media
pemeliharaan air tambak telah sama.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 101
3. Kemudian kantong packing crablet dibuka dan dimasukkan air tambak
kedalam kantong sedikit demi sedikit sampai penuh dan dibiarkan
selama 5 – 10 menit. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan
penyesuaian salinitas air dalam kantong packing dengan salinitas air
tambak.
4. Crablet rajungan dilepas ke tambak secara perlahan – perlahan. Crablet
yang sehat akan berenang dengan lincah mencari tempat perlindungan /
shelter.
C. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan rajungan ditambak bertujuan untuk memberikan
kondisi yang optimal sehingga dapat tumbuh secara optimal dengan hasil yang
maksimal. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan selama kegiatan budidaya
rajungan di tambak tradisional Kabupaten Maros dan Kabupaten Luwu meliputi
kegiatan pemberian pakan, pergantian air, monitoring pertumbuhan, kualitas air
serta hama dan penyakit yang mungkin menyerang rajungan yang dipelihara di
tambak. Kegiatan pemeliharaan yang dilaksanakan pada kedua lokasi tersebut
adalah kegiatan pembesaran. Hal ini berbeda dengan yang dilaksanakan oleh
Sugeng,dkk. (2003); Effendy dan Komaruddin (2005); Raharjo,dkk. (2012)
dimana kegiatan pemeliharaan dibagi dalam dua tahap yaitu kegiatan
pendederan/ penggelondongan dan kegiatan pembesaran.Perbedaan metode
kegiatan pemeliharaanini bertujuan untuk mengurangi tingkat kanibalisme
selama pemeliharaan pada tahap pendederan/penggelondongan serta untuk
memaksimalkan tambak yang digunakan untuk kegiatan budidaya rajungan.
Pemberian pakan dilaksanakan dengan frekuensi dua sampai tiga kali
sehari yaitu pagi jam 06.00 WITA ; jam 17.00 WITA dan jam 23.00 WITA
dengan dosis disesuaikan pada bobot tubuh rajungan selama pemeliharaan.
Pakan yang diberikan adalah ebi kering pada awal pemeliharaan dan
dilanjutkan dengan ikan rucah segar. Pergantian air dilaksanakan setiap 5 -7
hari sekali dengan memanfaatkan pasang surut air laut sebanyak 40 – 60 % dari
total volume air tambak .Adapun frekuensi,dosis dan jenis pakan yang
diberikan selama pemelihraan seperti pada tabel 3 berikut :
DOSIS
UMUR BOBOT FREKUESI
PAKAN JENIS PAKAN
(HARI) (GRAM) PEMBERIAN
(%)
1–7 0,003 – 0,14 100 Ebi kering 2
8- 15 0,14 -0, 3 100 Ebi kering 2
16 – 21 0,3 – 0,6 100 Ebi kering 2
22 – 28 0,6 – 1,2 100 Ebi kering 2
29 – 35 1,2- 3 100 Ebi kering 2
36 – 42 3-8 80 Ebi kering/ikan rucah segar 2
42 – 49 8 - 14 80-60 Ikan rucah segar 2
50 – 56 14 - 22 60 Ikan rucah segar 2
57 – 63 22 - 34 60-50 Ikan rucah segar 2
64 – 70 34 - 42 50 Ikan rucah segar 3
71 – 77 42 - 56 50-30 Ikan rucah segar 3
78 – 84 56 - 80 30 Ikan rucah segar 3
85 – 90 80 - 150 30 – 15 Ikan rucah segar 3
Dari data hasil pengamatan diatas diperoleh pertumbuhan rata – rata bobot
rajungan tiap minggu setiap petaknya seperti pada gambar 1 grafik
pertumbuhan berikut :
A2
G 40
R 30
A 20
M 10
)
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
MINGGU KE-
Hasil uji performa daging yang dilakukan oleh PT. Kemilau Bintang
Timur dengan buyer dan customer dari USA dapat diketahui bahwa :
1. Warna dan Tekstur daging daging putih mirip daging rajungan hasil
tangkapan alam
2. Ukuran berat 80 gram dapat menghasilkan daging jumbo 4 gram.
3. Rasa daging lebih manisdan gurih dibanding rajungan tangkapan,
pengujian dilakukan oleh buyer dan customer dari USA, kemungkinan
hal tersebut disebabkan oleh rajungan tambak lebih fresh karena waktu
dimasak/dikukus masih hidup.
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 105
Gambar 2. Daging Rajungan Budidaya Tambak
Penebaran awal crablet sebanyak 20.000 ekor (kepadatan 4 ekor/m2 dan luas
tambak 0,5 Ha) ; panen berat 80 gram dengan tingkat kelangsungan hidup 40%.
I Investasi
Jumlah Nilai (Rp) Total
Sewa Tambak (1 hektar/tahun) 1 hektar 2,000,000
Pompa 4" 1 unit lengkap 1 unit 4,000,000
Peralatan lapangan (jala, ember, dll.) 1 paket 1,000,000
Perbaikan konstruksi tambak 1 hektar 1,500,000
8,500,000
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
P
E Tradisional/Semi
Super Intensif Supra intensif
M intensif
B
E Padat Tebar Padat Tebar Padat Tebar 600-
S 10-80 e/m2 200-400 1300 e/m2
A e/m2
R
A Protein pakan Protein pakan Protein pakan min
min 26% min 31% 37%
N
2. Persiapan Tebar
Kelebihan dari persiapan pembesaran di bak beton adalahs ingkatnya masa
persiapan sehingga dalam satu tahun siklus produksi akan semakin tinggi.
Persiapan dalam bak dapat dilakukan dengan cepat dengan waktu maksimal
7 hari.
Persiapan awal usaha pembesaran adalah persiapan wadah, Pengaturan
aerasi dan pemasukan air. Persiapan wadah budidaya dilakukan dengan cara
pencucian biasa yang dilanjutkan dengan pembilasan. Pada budidaya
system supra intensif ini pencucian bak sangat mudah dilakukan karena
kerang maupun teritip yang menempel di dinding bak sangat jarang ditemui
sebab kepadatan udang yang tinggi menyebabkan teritip atau kerang tidak
dapat tumbuh di dinding bak. Pengaturan aerasi dilakukan dengan
menggunakan pipa ukuran satu inchi dengancentral drain. Diharapkan
dengan pengaturan aersasi demikian maka limbah padat pembesaran akan
mudah terbuang dan kualitas air media pemeliharaan tetap terjaga.
Pemasukan air laut dengan pompa 4 inch membutuhkan waktu sekitar 6-7
jam agar bak dapat terisi penuh.
3. Benih
Benih yang digunakan berasal HSRT dengan ukuran minimal 2gr/ekor.
Dengan benih sebesar ini maka diharapkan dapat mempercepat waktu
pembesaran dan meningkatkan kelulus hidupan udang dan tingkat
homogenitas yang baik.Kepadatan benih yang ditebar adlah 1300
ekor/m2.Sehingga setiap bak pemeliharaan dapat diisi minimal 100.000
ekor.
4. Pemberian Pakan
Pakan yang digunakan dalam pembesaran supra intensif adalah pakan
dengan kandungan protein minimal 37%.Ukuran pakan yang diberikan
diseuaikan dengan ukuran udang yang dipelihara.Feeding frekuensi dan
dosis pakan mengikuti feeding program yang telah dibuat oleh BBAP
Takalar. Pemberian pakan 8 kali perhari ini dibagi menurut kuantitasnya
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 115
yaitu 40% untuk empat kali pemberian pagi dan siang serta 60% untuk
empat kali pemberian sore dan malam. Penambahan vitamin C dalam pakan
dilakukan dengan dosis 1000mg/kg.
5. Manajemen Kualitas Air
Kualitas air pada system supra intensif ini dapat dijaga kestabilannya
karena system raceway yang diterapkan. Pemasukan air menggunakan
metode milkfish circulation dimana air yang masuk dapat memutar hampir
seluruh ketinggian media pemeliharaan.Setelah udang berukuran 5 gr/ekor
sebaiknya pemasukan air dilakukan terus sehingga pergantian air sekitar
200% perhari. Dengan tingginya pergantian air ini diharapkan dapat
meningkatkan kandungan oksigen dalam air untuk mencukupi kebutuhan
oksigen udang yang tinggi. Dengan pergantian air ini, plankton akan sulit
blooming, sebab dengan sirkulasi, air pemeliharaan tidak akan pernah
berwarna hijau maupun coklat sehingga pada malam hari diharapkan
persaingan oksigen mayoritas hanya terjadi sesama komoditas yang
dibudidayakan. Prinsip raceway inilah yang diterapkan oleh Dr. Lawrence
dalam patent US0100294202 walaupun dalam skala berbeda.Jumlah persen
sirkulasi air perhari ini masih dalam tahap perbaikan untuk mengejar
kepadatan udang yang lebih tinggi lagi dan menghasilkan udang dengan
ukuran yang lebih besar.
16
14
12
B
e 10
r
a 8
t 6
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Minggu
Grafik 1. Pemeliharaan Udang
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Moss.Et al, 2005.Optimizing Strategis for Growing Larger L. vannamei. Global
Aquaculture Advokat, 68-69.
Avnimelech Y., 2007. Biofloc technology. World Aquaculture Society, 75-90
Lawrence A.L., 2011.New Aquaculture Technology Super Intensive Raceway.
Texas Agrilife Research
Lawrence A.L., 2011.Patent US0100294202. Systems and Methods
ABSTRAK
Metode pentokolan meningkatkan keberhasilan budidaya udang windu
(Penaeus monodon). Selama tahun 2013 BPBAP (Balai Perikanan
Budidaya Air Payau) Ujung Batee telah membina sejumlah unit
pentokolan di seluruh Aceh. Metode produksi tokolan secara in-situ di
kawasan tambak memudahkan aklimasi dan transportasi benih ke
tambak masyarakat. Kegiatan diseminasi teknologi ini dilakukan dengan
metode eksperimental-diseminatif, yakni melibatkan petambak di
kawasan pembinaan. Lokasi pembinaan dibagi menjadi dua kelompok
yakni pantai timur Aceh (multi ponds) 13 lokasi dan di pantai barat
(single pond) 3 lokasi. Unit pentokolan multi ponds dibuat di tambak
dengan luas 5000 m² yang memuat petak 10-20 petak tokolan dengan
ukuran 5x15 m², 4x10 m² dan 5x10 m². Padat tebar benur 400 ekor/m²,
dipelihara selama 15-21 hari dengan Survival Rate (SR) mencapai
79.1%, panjang total 2,6-3 cm/ekor dan bobot 0.28-0.31 gram/ekor.
Sedangkan, unit pentokolan single pond dibuat dalam petakan besar
berukuran 0,5-1 ha yang dikelilingi tambak-tambak pembudidaya
pengguna tokolan dengan kepadatan benur 30-50 ekor/m². Pemeliharaan
dilakukan selama 35-45 hari dengan SR mencapai 60-75%, panjang total
4-5,5 cm/ekor dan bobot 3 -5 gram/ekor. Tokolan hasil multi ponds dan
single pond digunakan untuk pembesaran udang sistem sederhana plus.
Tokolan multi ponds ditebar di tambak pembesaran dengan kepadatan 3-
5 ekor/m², produksi 600-900 kg/ha/siklus selama 3 bulan, SR 75%, dan
Feed Conversion Ratio (FCR) 1,2. Tokolan hasil single pond ditebar di
tambak pembesaran dengan kepadatan 2-3 ekor/m², produksi mencapai
500-800 kg/ha/siklus selama 2,5 bulan, SR 80% dan FCR 1.
Keberhasilan ini memicu sebagian pembudidaya untuk melakukan
budidaya semi intensif dan terbukti berhasil (total panen 5280 kg/ha).
Kriteria Keterangan
Tidak berhasil Klasifikasi buruk >70%
Kurang berhasil Klasifikasi buruk 50-70%
Berhasil Klasifikasi buruk 30-50%
Sangat berhasil Klasifikasi buruk <30%
Dari hasil survey awal didapat bahwa data kualitas lahan di Gampong
Baro, Julok, Aceh Timur adalah pH tanah 5-6, pH air 7-8, dan Salinitas 22-28
ppt. Dengan demikian tanah menunjukkan keadaan asam. Keadaan ini
menyebabkan petani menambahkan dolomite lebih banyak untuk menetralkan
kondisi tanah dasar. Kualitas pH tanah perlu mendapat perhatian lebih dalam
hal ini, agar produksi udang maksimal
Produksi Pembeli Penyerapan tokolan/ Klasifikasi
No Lokasi Diseminasi tokolan/lokasi pembudidaya/tahun penyerapan
1 Desa Pasi Ie Leubeu Kec. Kembang 375,000 34 11,029 cukup baik
Tanjong Kab. Pidie
2 Desa Meuraksa Kec. Meureudu Kab. 1,495,000 26 57,500 Baik
Pidie Jaya
3 Desa Meurah Dua, Kec. Meureudu Kab. - - buruk
Pidie Jaya
4 Desa Lhong Reng Kec. Trienggadeng - buruk
Kab. Pidie Jaya
5 Desa Seuneubok Seumawe Kec. 280,000 12 23,333 Baik
Peulimbang Kab. Bireun
6 Desa Engking Barat Kec. Samalanga - - buruk
Kab. Bireun
7 Desa Puuk Kec. Samudera Kab. Aceh 1,200,000 18 66,667 sangat baik
Utara
8 Desa Jambo Mesjid Kab. Blang Mangat 752,000 14 53,714 Baik
Kab. Aceh Utara
9 Desa Glumpang Umpung Unoe Kec. - - buruk
Tanah Jambo Aye Kab. Aceh Utara
10 Desa Teupin Mamplam Kec. Simpang 1,500,000 13 115,385 sangat baik
Ulim Kab. Aceh Timur
11 Desa Gampong Baro Kec. Julok Aceh 2,670,000 14 190,714 sangat baik
Timur
12 Desa Cot Keh Kec. Peureulak Kota Kab. - buruk
Ceh Timur
13 Desa sungai Pauh Kec. Langsa Barat 2,680,000 12 223,333 sangat baik
Kota Langsa
Total 10,952,000 143 92,709 sangat baik
Keberhasilan pentokolan udang windu terlihat jelas. Selain dari segi kuantitas
yang meningkat juga dari kelangsungan hidup selama pentokolan. SR selama
tahun 2011-2012 tetap dan meningkat setelah 2013 yakni dari 80% ke 85%. Ini
menunjukkan terjadi perbaikan system manajemen budidaya.
KESIMPULAN
Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Pentokolan udang windu dapat disimpulkan berhasil dan dapat diterima
masyarakat.
2. Keberhasilan pentokolan tercermin dari meningkatnya keinginan
masyarakat untuk memproduksi tokolan tiap tahun. Produksi udang di
sekitar lokasi pentokolan meningkat.
3. Keberhasilan teknis ditunjukkan oleh kelangsungan hidup benih yang
tinggi dan pertumbuhannya yang baik.
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Secara umum, Aceh mempunyai beberapa keunggulan geografis, salah
satunya adalah bentangan pegunungan yang hijau dan subur disepanjang
perairan pantai barat telah memberikan konstribusi kelimpahan nutrien yang
masuk kedalam laut sehingga rantai ekosistem cukup lengkap, hasilnya adalah
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 131
keanekaragaman sumberdaya hayati perairan sangat tinggi terbukti banyak
spesies yang tidak ditemukan di daerah lain. Diantaranya adalah udang pisang
dengan nama lokal Aceh udeung pisang, sejeniscrustacea yang secara
morfologis termasuk famili Penaidae.Secara umum udang pisang mempunyai
kemiripan dengan udang windu dari sisi morfologi dan tingkah laku. Udang ini
muncul secara musiman di pesisir barat Aceh dari Lamno hingga Aceh Selatan.
Spesiesini diharapkan menjadi komoditas andalan akuakultur berdasarkan
aspek cita rasa, nilai ekonomis serta keunggulan biologis.
Salah satu kunci keberlanjutan akuakultur adalah diversifikasi
komoditas. Pembenihan udang pisangtelah berhasil memproduksi benih untuk
mensuplai benih ke pembudidaya kebutuhan domestikasi sebagai udang
kekayaan lokal Aceh. Dengan demikian keberadaan udang putih lokal seperti
―udang pisang‖ dapat diperhitungkan dan berkontribusi terhadap industri udang
di Indonesia. Sebagai negara yang kaya dengan plasma nutfah, Indonesia
memiliki peluang diversifikasi komoditas udang dengan program pemanfaatan
jenis udang lokal yang potensial. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung
Batee pernah menyebutnya dengan nama dagang flower king dan hingga saat
ini menjadi komoditas andalan Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP)
Ujung Batee Provinsi Aceh.Pembenihan udang pisang di BPBAP Ujung Batee
masih mengandalkan tangkapan induk dari alam yang di seleksi untuk diablasi.
Ketersediaan benih akan sangat menunjang usaha budidaya udang secara
sustain. Benih yang berkualitas hanya dapat diproduksi dengan menggunakan
induk yang berkualitas dan penerapan teknik produksi yang benar sesuai
standar.
Tujuan dari kegiatan pembenihan udang Pisang adalah menghasilkan
benih berkualitas untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber benur pada tahap
pembesaran di tambak dan sekaligus untuk kegiatan domestikasi. Batas
kegiatan meliputi beberapa capaian yaitu :
1. Sebagai Kajian awal dalam merintis pembenihan udang Pisang skala massal
2. Memenuhi kebutuhan benih udang Pisang pada masyarakat pembudidaya
3. Untuk mengetahui performa reproduksi udang Pisang pada setiap tahapan
stadia.
4. Memenuhi kebutuhan benih untuk kegiatan domestikasi udang Pisang
5. Memenuhi kebutuhan benih pada tahap awal uji multi lokasi udang Pisang.
Sasaran kegiatan ini adalah melakukan pengkajian pembenihan untuk
memproduksi benih udang Pisang dari aspek fekunditas, hatching rate, survival
rate, performa benih.
Pakan buatan yang digunakan berbagai macam jenis dan bentuk yaitu :
bentuk serbuk halus, plek hitam dengan kandungan protein 60%. Sedangkan
pakan alami (alga) digunakan dari plankton jenis diatom yaitu : skeletonema sp
dan chaetoceros sp. Pakan ini dapat tumbuh dengan cara dikultur secara missal
sebagai pakan awal larva udang.
Karantina induk
Induk yang diperoleh dari alam terlebih dahulu dikarantina dengan
memisahkan antara jantan dan betina. Proses karantina ini dilakukan untuk
mengidentifikasi pathogen potensial yang dibawa oleh induk tersebut dengan
cara melakukan pengamatan kondisi dan kesehatannya. Pengamatan kesehatan
induk dilakukan melalui pengujian PCR untuk mengetahui apakah induk
tersebut bebas virus atau tidak. Bagi induk yang matang telur (TKG 3)
dimasukan ke dalam wadah peneluran. Setelah melepaskan telur , dilakukan
pengujian PCR. Setelah satu kali 24 jam dilihat hasilnya, bagi induk yang
negatif dipindahkan ke bak pemeliharaan dan bagi induk yang positif white
spot, baik induk maupun naupliusnya di musnahkan. Beberapa kriteria induk
sehat dapat dilihat berdasarkan pemeriksaan makroskopis, antara lain:
1. Ukuran yang sesuai yaitu betina ( 80–150 gram/ekor) dan jantan (40-60
gram/ekor).
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 133
2. Organ tubuh eksternal seperti mata, rostrum, alat gerak, telikum dan insang
lengkap (tidak cacat)
3. Aktif dan responsif terhadap gerakan atau kontak fisik
4. Warna tubuh tidak terlalu merah
5. Warna insang cerah dan tidak terdapat organisme menempel (fouling)
6. Karapas tidak lembek/keropos, tidak berbintik putih
7. Tidak terdapat bintik hitam pada telikum
Pemeliharaan induk
Semua peralatan (bak, serok, sendok, selang aerasi) dicuci dengan
menggunakan kaporit dengan 20 ppm baik sebelum dan setelah digunakan (
NACA, 2005). Kegiatan diawali dengan persiapan wadah pemeliharaan yang
meliputi kegiatan pencucian bak dan sterilisasi dengan menggunakan kaporit
100 ppm. Wadah yang digunakan adalah bak volume 10m3 ( di isi 4-5 m3 ) dan
kepadatan induk 2-3 ekor/m2 dengan perbandingan jantan dan betina 1 : 1-2.
Air media yang digunakan telah melalui proses sterilisasi hingga layak untuk
induk. Ruang atau bak induk diatur gelap, dikondisikan seperti tingkah laku
induk di alam. Selanjutnya dilakukan ablasi mata untuk mempercepat proses
pematangan gonad.
Pemberian pakan yang berkualitas merupakan salah satu kunci
keberhasilan pada proses pemijahan. Frekwensi pemberian pakan dilakukan 6
– 8 kali sehari. Jenis pakan yang digunakan adalah : cumi – cumi, kepiting,
kerang – kerangan, artemia dan pellet dengan kadar protein tinggi. Porsentase
pemberian pakan juga berbeda – beda tergantung jenis pakan yang diberikan.
Kelemahan dari pemberian pakan segar adalah penurunan kualitas air secara
drastic, sehingga disarankan dua jam setelah pemberian pakan sebaiknya
diganti air sebanyak 100 – 200 %. Hal ini dimaksudkan agar sisa pakan akan
terbuang dan tidak mengalami dalam bak pemeliharaan induk.
Ablasi mata
Induk yang akan dilakukan ablasi harus sehat, tidak sedang ganti kulit
atau keropos, organ lengkap dan tidak ada gejala infeksi penyakit bakteri pada
insang dan induk telah dinyatakan bebas virus. Setelah cukup adaptasi, induk
betina diablasi dengan cara memotong salah satu tangkai mata. Untuk
menghidari terjadinya infeksi pada bekas potongan maupun organ lainnya,
induk direndam dengan larutan iodine 5 – 10 ppm selama 40 detik.
Pengendalian penyakit.
Pengendalian penyakit dengan menggunakan prinsip dasar yaitu
tindakan pencegahan dan pengobatan. Tindakan pencegahan dilakukan dengan
cara mulai dari penerapan biosecurity dengan menggunakan PK (Kalium
Permanganat) sebanyak 1,5 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk
sebelum memasuki dan akan memasuki ruangan pembenihan. Selain penerapan
BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 136
biosecurity dilakukan juga sanitasi peralatan yang dilakukan sebelum dan
sesudah pemakaian peralatan dengan cara diping menggunakan formalin 100
ppm pada setiap bak atau dicuci bersih dengan detergen.
Untuk mengendalikan penyakit bakteri, jamur, protozoa dan parasit
masing-masing diberikan antibiotik, antijamur dan formalin secara berkala pada
setiap stadia. Untuk meningkatkan daya tubuh dan nafsu makan digunakan
vitamin berupa multivitamin dengan dosis 0,2-0,5 ppm/hari. Untuk mengetahui
sejak dini adanya gejala serangan penyakit, maka perlu monitoring secara rutin
terhadap perkembangan benur baik dengan pengamatan visual di lapangan
maupun pengamatan dilaboratorium.
Pemanenan benur
Pemanenan benur dilakukan setelah mencapai stadia PL12 atau lebih.
Benur yang akan didistribusikan,sebelumnya dilakukan pengujian dulu dengan
uji stress dan uji PCR. Uji stress dilakukan dengan merendam benur dalam air
tawar selama 15 menit. Apabila > 80% benur hidup berarti kualitas benur
bagus. Sedangkan uji PCR dilakukan untuk mengetahui apakah benur tersebut
terserang pathogen potensial (WSSV) atau tidak. Hanya benur yang lolos uji
inilah yang akan didistribusikan kepada masyarakat.
Pemanenan dilakukan dengan mengurangi sebagian air media hingga
kedalaman 30 cm, berikutnya benur dikeluarkan melalui hapa penampungan
pada petak panen. Benur diseser, ditampung, disampling/hitung dan dilakukan
pengepakan. Kepadatan per kantong disesuaikan dengan ukuran PL (post larva)
dan jarak tempuh pengiriman benur. Ukuran PL makin besar dan semakin jauh
jarak tempuh maka kepadatan dalam kantong dikurangi.
Pengelolaan Induk
Induk yang lolos seleksi dipelihara pada bak pematangan berbentuk
bulat dengan diameter 4 meter dan kedalaman 0,5 meter. Perbandingan jantan
dan betina 1:2 dengan kepadatan 3-4 ekor/m2. Sebelumnya dilakukan persiapan
bak berupa pengaturan titik aerasi, pengisian air dan penambahkan Na 2EDTA
5-10 ppm. Kematangan induk betina ditentukan dengan cara mengamati
kondisi ovarium yang terletak pada bagian punggung. Kedalaman air pada bak
pemijahan induk 0.5-0.7 meter sedangkan kualitas air yang optimal untuk
pemijahan adalah : suhu (29-32oC) dan salinitas (30-32 ppt).
Tabel 2. : Kriteria induk udang Pisang untuk pembenihan.
Berat/Panjang
>40 g />17 cm
Jantan
Berat/Panjang
>80g / >23 cm
Betina
Tingkat
Kosong - TKG III
Kematangan Gonad
Warna berkilau hijau kemerahan, tidak keropos,
Penampilan fisik
aktif dan tidak berlumut
Pakan ke
Waktu Cacing Kekerangan Cumi
-
1 06.00 6%
2 10.00 4%
3 14.00 6%
4 18.00 6%
5 21.00 4%
6 24.00 6%
Hatching rate
Daya tetas telur udang Pisang menunjukkan hasil yang cukup baik,
ketepatan menetas dari telur menjadi nauplius berkisar 30-36 jam. Dari total
telur yang dihasilkan porsentase menetasnya sebesar 89,5 % atau 247.000 ekor
nauplius.
Pengelolaan larva
Stadia mysis merupakan stadia perubahan dari zoea atau stadia ketiga
dari daur hidup udang Pisang. Pada stadia mysis dilakukan penambahan air
media sebanyak 20-30% serta dilakukan aplikasi antibakterial. Selain
meningkatkan volume air dalam bak, penambahan air media juga membantu
proses moulting dari stadia zoea ke stadia mysis. Mysis merupakan stadia yang
penting, karena menentukan keberhasilan pada saat transisi menuju post larva
(PL).
141
Pengalaman menunjukkan bahwa penanganan stadia mysis yang buruk
sering mengakibatkan mortalitas yang tinggi pada fase transisi mysis ke post
larva. Pakan yang diberikan berupa pakan alami dan pakan buatan
Secara morfologi, stadia post larva menyerupai udang dewasa. Seiring
dengan perubahan morfologi, sifat karnivor udang dewasa mulai muncul
sehingga nauplius Artemia mulai diberikan. Jenis pakan ini sangat penting dan
menjadi faktor penentu kualitas benih. Dosis pemberian nauplius Artemia
sebanyak 60-80 individu/ekor post .
Pergantian air media dapat dilakukan mulai stadia PL-4 berkisar 30-
40%. Pada stadia PL-6 dilakukan transfer benih ke media yang baru. Transfer
dilakukan agar kondisi benih lebih sehat dan lincah serta mengeliminir benih
yang lemah. Benih yang ditransper sebelumnya di dipping selama ± 30 detik
KESIMPULAN
Pematangan gonad induk dilakukan dengan cara di ablasi Kedalaman air
pada bak pemijahan induk 0.5-0.7 meter sementara kualitas air yang optimal
untuk pemijahan adalah : temperatur (29-32oC) dan salinitas (30-32 ppt).
Induk udang Pisang dapat bertelur setelah 5 -7 hari setelah ablasi, ini ditandai
142
dengan kematangan ovariumnya terlihat jelas diatas punggung memanjang dari
kepala hingga menuju ekor.
Produktivitas Induk dapat menghasilkan telur sebanyak 276.000
butir/ekor dengan berat individu 89.7 gram (3000 butir/gram induk),
berdasarkan hasil sampling populasi stadia nauplius mencapai 247.000 ekor,
sementara Post larva hingga mencapai hari ke-13 (panen) mencapai 183.000
ekor. Asumsi survival rate (%) dari stadia naulplii hingga PL-13, mencapai
74.0 %. Dengan volume bak 10 m3
DAFTAR PUSTAKA
143
KAJIAN AWAL PRODUKTIVITAS BUDIDAYA UDANG PISANG
(Penaeus sp)SISTEM INTENSIF
ABSTRAK
Udang putih lokal Aceh atau dikenal udang pisang adalah jenis udang
yang disinyalir hanya ada diperairan Aceh. Penyebaran udang Pisang
cukup unik sebab tidak semua daerah pesisir Aceh terdapat udang putih
jenis ini. Populasi udang pisang terbanyak berada pada daerah pesisir
bagian barat sepanjang pantai Lamno, Meulaboh bahkan sampai ke
Aceh Selatan. Identifikasi secara taksonomi saat ini belum menghasilkan
jenis/species dari udang pisang, tapi secara morfologis, udang ini
banyak memiliki kesamaan dengan udang windu baik rumus rostrum,
performance Post Larva (PL) dan behavior (tingkah laku). Akan tetapi
berdasarkan hasil analisa DNA finger printing dengan Primer AAM,
disimpulkan bahwa Species ini berbeda dengan udang windu (Penaeus
monodon). Metode budidaya yang diterapkan adalah secara intensif,
dengan luas tambak 3000 m2 padat tebar 43.3 ekor/ m2,, ukuran benih PL
13, lama pemeliharaan akan ditargetkan hingga mencapai 120 hari. Hasil
pemeliharaan udang Pisang hingga umur 45 hari menunjukkan bahwa
Survival Rate (SR) 90.0 %, ABW : 4.5 gram/ekor, FCR : 1.2. Kontrol
anco : 1 – 2.5 jam, Persentase anco 0.6 – 1,4 %. Pedoman pemberian
pakan mengacu pada feeding program budidaya udang windu dan udang
vanamae ,pendekatan ini dikombinasikan mengingat bahwa udang
Pisang sifat dan kebiasaan makannya mirip udang windu dan udang
vanamae. Kualitas air selama pemeliharaan, suhu :29 – 31 oC,
Ammonia :0.05 – 1.03 ppm. pH : 7,62 – 8.74. Salinitas : 29 – 33 ppt dan
Alkalinitas : 95 – 120 ppm. Estimasi produksi hingga akhir
pemeliharaan mencapai 5 – 6 ton/ha.
144
PENDAHULUAN
Budidaya udang Pisang intensif belum familiar di masyarakat
pembudidaya di Aceh terlebih lagi diluar Aceh. Populasi dan penyebaran
udang Pisang hanya dijumpai di perairan Aceh. Itupun tidak semua perairan
laut Aceh terdapat udang Pisang, terbatas hanya ada disepanjang perairan
pantai barat Aceh mulai dari Aceh Jaya hingga Aceh Selatan. Berdasarkan
hasil analisa DNA finger printing dengan Primer AAM, disimpulkan bahwa
Species ini berbeda dengan udang windu (Penaeus monodon) hanya 7 %
(Sugama, Pers. Comm. 2014) . Sementara identifikasi morfologi menjelaskan
bahwa udang Pisang mempunyai kedekatan sifat biologis, karakteristik,
behavior dan daya tahan cenderung mendekati udang Windu sehingga sering
disebut kerabat dekat udang Windu, walaupun udang Pisang seluruh badannya
berwarna putih, pertumbuhannya juga tidak kalah jauh dari jenis udang Putih
yang umum dibudidaya ditambak, banyak sisi keunggulan yang dimiliki, mulai
dari sifat makan cenderung sangat rakus, agresif, lincah dan aktif mencari
makan dikolom air.
Seiring dengan penguasaan teknologi produksi benih di BPBAP Ujung
Batee, maka langkah selanjutnya adalah mempersiapkan teknologi pembesaran.
Dalam kajian ini, intensifikasi pemeliharaan menjadi perhatian utama sebagai
landasan pengembangan selanjutnya.
Tujuan
1. Mengetahui produktifitas udang pisang yang dipelihara secara intensif
2. Pola pertumbuhan mulai dari Average Body Weight (ABW) dan Average
Daily Growt (ADG).
3. Kebiasaan, tingkah laku, perfoma dan pola makan.
4. Dinamika kualitas air selama pemeliharaan.
Sasaran
Sasaran kegiatan ini merujuk pada pemeliharaan secara intensif pada luas
tambak 3.000 m2 dapat menghasilkan 1.5 ton dengan padat tebar 43 ekor/m2
dengan target Survival Rate (%) > 85 %, dengan variasi ukuran/size 40-60
ekor/kg.
145
4. Timbangan pakan : 1 unit
5. Ember pakan : 1 unit
6. Peralatan panen : 1 unit
Prosedur Pemeliharaan
Tambak yang digunakan sebagai wadah pemeliharaan seluas 3.000 m2,
dengan kedalaman total 2 meter, luas tambak mempunyai type persegi empat
dengan dimensi 50 x 60 meter 2. Pendukung lainnya adalah tandon difungsikan
sebagai bak pengendapan yang didalamnya terdapat tanaman laut berfungsi
sebagai biofilter (Caulerpa sp), pengendapan air laut sebelum dimanfaatkan
sebagai air media pemeliharaan selama 1-2 minggu. Kuat dugaan dengan
menggunakan air berasal dari tandon yang ditumbuhi Caulerpa sp
menghasilkan air sehat untuk budidaya udang, sehingga penggunaan bahan
kimia saat treatmen tidak lagi digunakan. Selain dapat menghemat biaya
produksi juga dapat menjaga kesimbangan ekosistem budidaya. Interaksi unsur
mikro dalam air sangat dibutuhkan dalam menjaga kesimbangan. Pada air yang
steril/ bersih susah membentuk kesimbangan ekosistem, sebab rantai ekosistem
terputus akibat kematian karena menggunakan larutan kimia tertentu.
Kuncinya adalah mulai dari persiapan tambak hingga pemeliharaan sama sekali
tidak menggunakan bahan kimia tertentu. Persiapan tanah tambak hanya
menggunakan kapur CaCO3 dicampur dengan Ca Mg dengan perbandingan 2:1
artinya kapur CaCO3 sebanyak 1.000 kg dan kapur CaMg sebanyak 500 kg.
Untuk meransang pertumbuhan plankton digunakan pupuk dengan ratio N, P
dan K seimbang, dosis pupuk yang digunakan sebanyak 50 kg. Air media
pemeliharaan yang berasal dari tandon dimasukkan dengan menggunakan
saringan berlapis (double screen), ini sebagai upaya menghindari masuknya
bibit dari jenis krustase yang tidak mampu dibasmi dengan saponin. Pemasukan
146
air dimulai dari kedalaman 25 cm, biarkan selama tiga hari, kemudian kembali
naikkan air hingga menjadi 50 cm lalu dibiarkan selama 3 hari, kemudian
ditambah menjadi kedalaman 120 cm. Untuk mempertahankan kecerahan dan
kepadatan plankton maka ditambahkan pupuk susulan N.P.K sebanyak 2 – 5
ppm yang telah dilarutkan sebelumnya kemudian ditebar pada cuaca cerah
(pagi hari).
Setelah 2 minggu atau terlihat zooplankton sudah tumbuh, benih lalu ditebar.
Kontrol anco : 1 – 2.5 jam, Persentase anco 0.6 – 1,4 %. Pedoman pemberian
pakan mengacu pada feeding program budidaya udang windu dan udang
vanamae ,pendekatan ini dikombinasikan mengingat udang Pisang sifat dan
kebiasaan makannya mirip udang windu dan udang vanamae. Pengamatan
dilakukan pada pertumbuhan udang, pakan alami dan kualitas air. Air tawar
ditambahkan secara bertahap untuk menurunkan salinitas. Panen dilakukan
setelah lingkungan tidak mampu lagi mendukung biomassa.
147
140
120
100
Umur Ke-
80
60
40
20
0
2.25 3.04 4.43 5.98 7.83 9.81 12.9216.3119.91
ABW (grm/ekor)
148
Pertumbuhan ADG
0.30
ADG (gram/ekor/hari)
0.28
0.25 0.26
0.24
0.20
0.05 0.06
0.00
35 49 59 69 79 89 99 109
Hasil Produksi
149
mengatur padat tebar adalah hal yang perlu di evaluasi setiap akan memulai
produksi.
KESIMPULAN
Data pertumbuhan menunjukkan berat awal sampling pertama (umur 35
hari) 2.25 gram/ekor, sampling kedua pada umur 49 dengan berat 3.04
gram/ekor, sampling ketiga pada umur 4.43 gram/ekor. Kenaikan berat rata –
rata per ekor seiring dengan durasi pemeliharaan yang makin hari semakin
bertambah, pertambahan secara signifikan mulai terlihat pada umur 99 hari
dengan berat 12.92 gram/hari, umur 109 juga terlihat cukup bagus dari
sebelumnya dengan berat bisa mencapai 16.31 gram/ekor dan diakhir masa
pemeliharaan pada umur 120 hari beratnya mencapai 19.91 gram/ekor.
Berdasarkan berat rata-rata harian udang Pisang, terlihat variasi
kenaikan berat rata-rata per ekor. Berat ADG terendah pada umur udang 49 hari
dan capaian tertinggi sangat bervariasi, grafik diatas menunjukkan pada umur
89 – 109 hari berat ADG mencapai 0.24 – 0.28 gram/hari/ekor. Jika melihat
perbandingan variasi ADG pada udang Windu, udang Vaname dan udang
Pisang menunjukkan bahwa capaian ADG udang Pisang (0.28 gram/ekor/hari),
dibawah udang Windu (maksimal 0.35 gram/hari/ekor) tetapi sedikit unggul
150
dari ADG udang Vaname (maksimal 0.26 gram/ekor/hari). Hasil akhir
pemeliharaan mencapai kelangsungan hidup 79 %.
DAFTAR PUSTAKA
151
KELANGSUNGAN HIDUP POST LARVA UDANG PISANG NAIK
HAMPIR DUA KALI LIPAT DIBANDING KONTROL DENGAN
PROBIOTIK FERMENTATIF
ABSTRAK
Air steril tidak selalu baik untuk digunakan dalam pembenihan udang.
Ketiadaan mikroorganisme pada awal penebaran dengan cepat meningkatkan
dominasi bakteri oportunis yang bersifat pathogen. Seperti ditunjukkan oleh
Lavilla-Pitogo et al. (1998), Vibrio harveyi naik signifikan pada air laut yang
diautoklaf pada hari ke-3 dan meningkat terus pada hari ke-6 jauh melebihi air
laut tanpa treatment, air larva dan air berplankton.
Pemberian pakan alami seperti mikroalga, ke dalam bak kultur larva
udang berarti menambahkan bakteri yang berasosiasi langsung dengan pakan
alami tersebut. Bakteri tersebut menempel dan berhubungan saling
menguntungkan dengan mikroalga. Sebagai contoh, diatom memberikan bahan
organic kepada bakteri penempelnya sedangkan bakteri mengeluarkan vitamin
B12 untuk diatom (Amin et al., 2012). Bakteri penempel tersebut bermanfaat
positif pada air pemeliharaan. Sebagai contoh bakteri Roseobacter yang
berasosiasi dengan diatom terbukti bermanfaat sebagai probiotik (Planas et al.,
2006). Roseobacter juga ditemukan pada Nannochloropsis oculata dan
menekan Vibrio anguillarum dengan mengeluarkan asam tropoditietat
(TDA/trophoditietic acid) (Sharifah and Eguchi, 2011). Mikroalga juga menjadi
sumber antioksidan level tinggi bagi air dan postlarva. Sebagai contoh
Chaetoceros dan Skeletonema adalah pakan alami dengan konsentrasi vitamin
C paling tinggi diantara jenis pakan alami lain yang digunakan dalam
akuakultur (Brown and Miller, 1992).
Pemeliharaan postlarva yang tidak lagi mendapat asupan mikroalga
segar akan kekurangan antioksidan dan bakteri menguntungkan yang melimpah
dari sumber ini. Penambahan probiotik dapat menanggulangi kedua
permasalahan ini. Dalam akuakultur, istilah probiotik ditujukan tidak hanya
untuk mengoptimalkan kesehatan tubuh biota tetapi juga sebagai bioremediator
air (Gatesoupe, 1999). Probiotik fermentatif seperti bakteri asam laktat
mengeluarkan asam lemak rantai pendek yang dapat menekan pertumbuhan
bakteri pathogen (Defoirdt et al., 2007). Produk probiotik seperti
eksopolisakarida berfungsi sebagai antioksidan yang efektif untuk menangkal
radikal bebas (Kodali and Sen, 2008). Mikroba fermentatif menguntungkan
karena mengkonsumsi lebih sedikit oksigen, tidak menimbulkan bau
(putrefaksi) dan sedikit menghasilkan protease. Senyawa yang dihasilkannya
meningkatkan kekebalan tubuh udang dengan menyuplai antioksidan (Rekha
and Vijayalakshmi, 2008).
153
Eksperimen ini bertujuan untuk menguji keefektifan probiotik
fermentatif komersil dan probiotik RABAL (Saccharomyces cerevisae dan
Lactobacillus casei) terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang
Pisang. Vitamin C sebagai antioksidan dan imunostimulan diujikan sebagai
perbandingan.
Metode eksperimen
Desain eksperimen
Percobaan dilakukan dengan empat perlakuan yakni probiotik
fermentatif komersil/kerjasama swasta dengan BPBAP Ujung Batee (10 ppm 2
hari sekali), probiotik RABAL (S. cerevisae dan L. casei) (100 ppm tiap hari),
vitamin C (0,4 ppm tiap hari), dan kontrol. Masing-masing perlakuan
memperoleh tiga ulangan. Setiap ulangan adalah wadah transparan berisi air 20
L. Sebanyak 1000 ekor postlarva dipelihara dalam wadah tersebut dengan
pakan artemia dan pakan buatan sebanyak 6 kali per hari. Kontrol lingkungan
dilakukan dengan menutup rapat wadah dengan terpal hitam. Aerasi diberikan
pada tiap wadah melalui tutup wadah yang dilubangi.
Pemberian perlakuan
Probiotik komersil berasal dari sampel PT. Indoacidatama tbk. Probiotik
ini berisi 6 agen mikroba yakni Azospirillium sp., Aspergillus sp.,
Actinomycetes, Lactobacillus sp., Saccharomyces cerevisae, dan Rhodobacter
sp. Sebanyak 0,2 ml probiotik diencerkan dalam air tawar 50 ml sebelum
diberikan pada air pemeliharaan. Pemberian probiotik dilakukan dua hari
sekali. Sedangkan RABAL dikembangkan dengan memfermentasikan 0,5 kg
gula merah, 300 ml air kelapa tua, dengan dua butir ragi (S. cerevisae) dan 4
botol kecil L. casei dalam 18 liter air. RABAL diberikan setiap hari dengan
dosis 2 ml. RABAL diencerkan dulu pada air 50 ml sebelum ditebar. Sebelum
diberikan tablet vitamin C dilarutkan dulu dalam air tawar. Satu butir tablet
vitamin C berisi 1000 mg asam askorbat dilarutkan dalam 250 ml air. Larutan
asam askorbat 4 ppt ini diberikan pada air pemeliharaan sebanyak 1 ml dua kali
sehari untuk mendapatkan konsentrasi vitamin C 0.4 ppm per hari. Larutan
disimpan dalam lemari pendingin selama pemakaian.
Prosedur pemeliharaan
Selama pemeliharaan postlarva udang pisang diberi pakan buatan 6 ppm
per hari dan naupli artemia sekitar 450 ekor/L per hari. Pemberian pakan
diberikan secara selang-seling antara pakan buatan dan artemia, masing-masing
3 kali per hari. Kista artemia ditetaskan sebanyak 2 gr/L air laut, dengan hasil
naupli lebih dari 400.000 ekor/L. Setelah dipanen artemia diberikan sebanyak
154
25 ml per unit percobaan per pemberian. Kadar oksigen terlarut, pH dan suhu
diukur tiap pagi dan sore hari sedangkan salinitas diukur tiap 4 hari sekali.
Pengamatan
Pada akhir penelitian pertumbuhan panjang postlarva diukur dengan
jangka sorong. Masing-masing unit perlakuan diambil 5 sampel postlarva.
Rumus pertambahan panjang total adalah Tt-T0, Tt adalah panjang postlarva
akhir, sedangkan T0 adalah panjang postlarva awal. Seluruh postlarva dihitung
untuk menentukan persentase kelangsungan hidupnya dengan rumus (Nt-N0)/N
x 100%, Nt adalah jumlah postlarva akhir penelitian dan N0 adalah jumlah
postlarva awal penelitian. Total bakteri umum dan total bakteri vibrio koloni
kuning diuji di lab mikrobiologi BPBAP Ujung Batee. Sedangkan pengujian
TAN dan nitrit dilakukan di lab kualitas air BPBAP Ujung Batee dengan
metode kolorimetri.
Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup postlarva udang pisang meningkat mendekati dua
kali lipat setelah pemberian probiotik fermentatif. Antara probiotik komersil
(72%) dan RABAL (70,7%) belum menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Sedangkan kelangsungan hidup postlarva udang pisang lebih rendah (45,43%)
pada perlakuan vitamin C (0,4 ppm). Pemberian vitamin C belum juga
menunjukkan kenaikan kelangsungan hidup yang signifikan pada postlarva
udang pisang relatif terhadap control (38,4%).
SR (%)
90.00
80.00
70.00 b b
60.00
50.00
40.00 a
ac
30.00
20.00
10.00 45.43 72.10 70.70 38.40
0.00
vit C Prob. Komersil RABAL Kontrol
Bagan 1. Kelangsungan hidup PL udang pisang lebih tinggi pada perlakuan
probiotik dibanding control.
155
Perlakuan probiotik secara signifikan meningkatkan SR PL udang
pisang mendekati 2 kali lipat. Dengan demikian ada perbaikan kesehatan pada
air atau tubuh udang. Konsorsium mikroba yang terdapat dalam kandungan
probiotik bekerja mengeluarkan zat yang dapat bersifat immunostimulan,
antioksidan dan inhibitor mikroba pathogen. RABAL dan probiotik komersil
memiliki kandungan ragi. Fermentasi ragi menghasilkan alkohol yang
menghambatpertumbuhan bakteri. Vitamin B12 yang dihasilkannya selain akan
memperbaiki efisiensi metabolism tetapi juga bersifat pengkelat sehingga
meningkatkan daya serap mineral. Beta-glucan pada dinding sel ragi bersifat
immunostimulant, meningkatkan kekebalan non-spesifik pada udang (Smith et
al., 2003). Sedangkan fermentasi bakteri asam laktat menghasilkan asam lemak
rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA) seperti asam propionate dan asam
butirat yang menghambat pertumbuhan bakteri (Defoirdt et al., 2007). Bakteri
asam laktat juga mengeluarkan eksopolisakarida yang dapat berfungsi sebagai
imunostimulan dan antioksidan (Kodali and Sen, 2008; Ruas-Madiedo et al.,
2002).
Rhodobacter sp. yang terdapat pada probiotik komersil adalah bakteri
fotosintetik heterotrof pada kondisi anaerobik bercahaya. Namun fungsi
fisiologisnya berubah pada kondisi tanpa cahaya menjadi aerobik fermentatif.
Dalam kondisi tersebut, Rhodobacter sp. mengubah gula menjadi polihidroksi
butirat (PHB) selama fermentasi aerobiknya dan senyawa ini dapat
menghambat pertumbuhan bakteri pathogen (Kobayashi and Kobayashi, 2008).
Sedangkan Azospirillium sp., Aspergillus sp., dan Actinomycetes memproduksi
antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri lain (Mendes et al., 2013).
Vitamin C juga menghambat keganasan bakteri dengan mengganggu
komunikasi antar bakteri (Vissers et al., 2001).
Perlakuan cenderung menurunkan konsentrasi bakteri total (TBC),
walaupun perlakuan menghasilkan keragaman yang besar, dari 67.10 3 cfu/ml ke
rentang 20.103-30.103 cfu/ml. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dapat
menghambat perkembangan bakteri. Perlakuan juga cenderung menurunkan
konsentrasi vibrio total (TBV) kecuali pada RABAL. Sisa sukrosa pada
RABAL mungkin masih merangsang pertumbuhan Vibrio terutama yang
berkoloni kuning.
156
120,000
100,000 Total
bacterial
80,000 count
(cfu/ml)
60,000
40,000
20,000
29,067 24,450 19,700 67,100
0
vit C Prob. RABAL Kontrol
Komersil
Bagan 2. Kontrol cenderung memiliki jumlah bakteri yang lebih banyak.
30,000
25,000
Total
20,000 vibrio
count
15,000 (cfu/ml)
10,000
5,000
2,620 5,798 10,630 11,667
0
vit C Prob. RABAL Kontrol
Komersil
Bagan 3.Kontrol dan RABAL cenderung memiliki jumlah bakteri vibrio
yang lebih banyak.
Pertumbuhan
Kontrol tidak menunjukkan perbedaan pertumbuhan apabila
dibandingkan dengan ketiga perlakuan lain. Sebenarnya, vitamin B12 yang
banyak terdapat dalam ragi berguna untuk memperlancar metabolism energy.
Sedangkan asam lemak rantai pendek dapat merangsang sel kolon untuk
berkembang dengan baik dengan demikian daya serapnya menjadi baik.
Mungkin efek zat nutrisi yang dikeluarkan oleh probiotik tidak terlalu
menambah secara signifikan terhadap peran pakan.
157
2.50
Pertambahan
2.00 panjang
1.50 (mm) a
a
1.00
a a
0.50
1.20 1.60 1.20 1.27
0.00
vit C Prob. RABAL Kontrol
Komersil
Bagan 4. Pertumbuhan belum dipengaruhi oleh perlakuan secara
signifikan
Kualitas Air
Pemberian probiotik tidak menunjukkan perubahan pada konsentrasi
ammonia dan nitrit. Namun, ammonia pada RABAL cenderung lebih tinggi.
2.50
TAN
2.00
TAN Nitrit
1.50
Nitrit
1.00
0.50
0.00
vit C Prob. Komersil RABAL Kontrol
158
Tabel 6. Parameter kualitas air standar
Variabe
l Nilai Pola
DO 7,1-7,6 Turun
pH 8,2-8,5 Turun
Suhu 29-32 Naik
Salinita
s 34-36 Naik
KESIMPULAN
159
DAFTAR PUSTAKA
Amin, S.A., Parker, M.S., Armbrust, E.V., 2012. Interactions between Diatoms
and Bacteria. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 76, 667–684.
Brown, M.R., Miller, K.A., 1992. The ascorbic acid content of eleven species
of microalgae used in mariculture. J. Appl. Phycol. 4, 205–215.
Defoirdt, T., Boon, N., Sorgeloos, P., Verstraete, W., Bossier, P., 2007.
Alternatives to antibiotics to control bacterial infections: luminescent
vibriosis in aquaculture as an example. Trends Biotechnol. 25, 472–479.
Gatesoupe, F.., 1999. The use of probiotics in aquaculture. Aquaculture 180,
Kobayashi, M., Kobayashi, M., 2008. Waste Remediation and Treatment Using
Anoxygenic Phototrophic Bacteria, in: Blankenship, R. e., Madigan,
M.T., Bauer, C.E., Govindjee (Eds.), Anoxygenic Photosynthetic
Bacteria, Advances in Photosynthesis. Kluwer Academic Publisher,
USA, pp. 1269–1282.
Kodali, V.P., Sen, R., 2008. Antioxidant and free radical scavenging activities
of an exopolysaccharide from a probiotic bacterium. Biotechnol. J. 3,
245–251.
Lavilla-Pitogo, C.., Albright, Paner, M.., 1998. Will Microbial Manipulation
Sustain the Ecological Balance in Shrimp (Penaeus monodon)
Hatcheries?, in: Flegel, T.W. (Ed.), Advances in Shrimp Biotechnology.
National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Bangkok,
pp. 185–191.
Mendes, R., Garbeva, P., Raaijmakers, J.M., 2013. The rhizosphere
microbiome: significance of plant beneficial, plant pathogenic, and
human pathogenic microorganisms. FEMS Microbiol. Rev. 37, 634–
663.
Nishio, T., Yoshikura, T., Chiba, K., Inouye, Z., 1994. Effects of Organic Acids
on Heterotrophic Nitrification by Alcaligenes faecalis OKK17. Biosci.
Biotechnol. Biochem. 58, 1574–1578.
Planas, M., Pérez-Lorenzo, M., Hjelm, M., Gram, L., Uglenes Fiksdal, I.,
Bergh, Ø., Pintado, J., 2006. Probiotic effect in vivo of Roseobacter
strain 27-4 against Vibrio (Listonella) anguillarum infections in turbot
(Scophthalmus maximus L.) larvae. Aquaculture 255, 323–333.
Rekha, C.R., Vijayalakshmi, G., 2008. Biomolecules and Nutritional Quality of
Soymilk Fermented with Probiotic Yeast and Bacteria. Appl. Biochem.
Biotechnol. 151, 452–463.
160
Ruas-Madiedo, P., Hugenholtz, J., Zoon, P., 2002. An overview of the
functionality of exopolysaccharides produced by lactic acid bacteria. Int.
Dairy J., NIZO Dairy Conference on Food Microbes 2001 12, 163–171.
Sharifah, E.N., Eguchi, M., 2011. The Phytoplankton Nannochloropsis oculata
Enhances the Ability of Roseobacter Clade Bacteria to Inhibit the
Growth of Fish Pathogen Vibrio anguillarum. PLoS ONE 6, e26756.
Smith, V.J., Brown, J.H., Hauton, C., 2003. Immunostimulation in crustaceans:
does it really protect against infection? Fish Shellfish Immunol. 15, 71–
90.
Vissers, M.C.M., Lee, W.-G., Hampton, M.B., 2001. Regulation of Apoptosis
by Vitamin C Specific Protection of the Apoptotic Machinery Against
Exposure to Chlorinated Oxidants. J. Biol. Chem. 276, 46835–46840.
161
DISEMINASI SISTEM PENTOKOLAN TERPADU DALAM
MENGOPTIMALKAN BUDIDAYA UDANG VANNAME PADA
TAMBAK DI KABUPATEN MAROS PROPINSI SULAWESI SELATAN
ABSTRACT
162
PENDAHULUAN
Bermula pada tahun 2001, perkembangan usaha budidaya udang
vannamei cenderung meningkat di Indonesia sebagai akibat dari permasalahan
dalam usaha budidaya udang windu (Penaeus monodon), masalah yang timbul
antara lain berjangkitnya ―White spot Virus (WSV/SEMBV)‖, pertumbuhan
lambat dan tidak seragam, menyebabkan trauma pada sebagian besar
pembudidaya sehingga para petambak mulai mencari alternatif species udang
lain yang dapat dibudidayakan. Sebagai pengganti udang windu salah satunya
adalah L. vannamei. Keuntungan dari budidaya udang vannamei antara lain
masa pemeliharaan lebih cepat, lebih tahan terhadap penyakit dibandingkan
dengan udang windu, lebih toleran terhadap perubahan kualitas air/lingkungan.
Pada tahun 2005, pemerintah mentargetkan produksi udang sebanyak
300.000 ton meningkat 23 % dari produksi tahun lalu yang mencapai 242.560
ton (Anonim, 2005) Dari target tersebut diharapkan 60 % atau sekitar 200.000
ton berasal dari budidaya udang Vanname dan sisanya 40 % sekitar 100.000 ton
dari udang Windu dan udang lainnya. Untuk mencapai target tersebut, petani
tambak tentunya membutuhkan benih udang vannamei yang cukup banyak.
BeberapakonsepteknologitambakudangtelahditerapkanolehBPBAP
Takalar pada kegiatan diseminasi udang baik udang windu maupun vanname.
Namun pada kenyataannya proses penyebaran teknologi tidakmudahkarena
petambak udang membutuhkan teknologi yang aplikatif, efisien dan
memberikan keuntungan yang lebih dari teknologi lainnya. Berdasarkan
hal tersebut, dilakukan perbaikan sistem budidaya udang di tambak
memalui kegiatan diseminasi dengan menerapkan teknologi pentokolan
sebagai upaya untuk mengoptimalkan budidaya udang di tambak yang
berbasis BMP (base management practice).
Tujuan
Tujuan dari kegiatan diseminasi ini adalah untuk melakukan
perbaikan sistem budidaya udang di tambak dengan menerapkan
teknologi pentokolan secara terpadu sebagai upaya untuk
mengoptimalkan budidaya udang di tambak yang berbasis BMP (base
management practice).
163
Kegiatan diseminasi budidaya udang vannamei dilakukan pada bulan
April 2013 – Juni 2014, dilaksakanan Kawasan Minapolitan, Desa Bonto
Bahari, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan.
Metode
Tambak yang digunakan terdiri atas 2 petakan yaitu petakan pertama
untuk pentokolan dengan ukuran 10 x 15 m dengan kedalaman 60 cm dan
petakan kedua untuk pembesaran atau budidaya dengan ukuran 0,5 Ha dengan
kedalaman 0,8 meter. Sumber air diperoleh dari aliran air sungai yang berjarak
2 km dari garis pantai ketika air pasang dimasukkan ke dalam tambak
pemeliharaan dan juga menggunakan sumur bor air laut untuk penambahan air
ketika dibutuhkan.
Persiapan tambak untuk penggelondongan dimulai dari pengeringan
tanah dasar selama 1 minggu, perbaikan pematang, pengangkatan lumpur,
pemberian pupuk anorganik jika dibutuhkan dan setelah 7 hari pemupukan
untuk menumbuhkan pakan alami dilakukan penebaran benih dengan
kepadatan 400 ekor/m2. Selama pemeliharaan benih dipetakan pentokolan tidak
dilakukan pemberian pakan buatan, hanya mengandalkan pakan alami yang
tumbuh di dalam petakan pentokolan. Untuk pengamatan kualitas air dilakukan
secara rutin.
Selama pemeliharaan benih di petak pentokolan, dilakukan juga
persiapan petakan tambak untuk pembesaran. Persiapan petakan pembesaran
dimulai dari pengeringan tanah dasar selama 3 minggu, pengangkatan lumpur,
perbaikan pematang, pintu air, pemberian pupuk anorganik (urea, SP-36 dan
NPK) dan pemupukan susulan berupa pupuk organik, setelah 7 hari pemupukan
untuk menumbuhkan pakan alami dilakukan penebaran benih.
Sebelum dilakukan penebaran benih di petak pembesaran, terlebih
dahulu dilakukan pemanenan benih pada petak pentokolan. Untuk kemudian
dilakukan penebaran benih di petak pembesaran dengan kepadatan 10 ekor/m2.
Selama masa pemeliharaan dilakukan pengamatan kualitas air, pengamatan
pertumbuhan (panjang dan berat), pemupukan susulan, pergantian air dan
pemberian pakan buatan yang dilakukan pada hari ke-20 setelah dilakukan
pemeliharaan di petak pembesaran. Interval pemberian pakan dilakukan
164
sebanyak 2 kali sehari. Waktu pemeliharaan di petak pembesaran ini
berlangsung selama 38 hari, untuk kemidian dilakukan pemanenan.
165
Perbandingan hasil pengukuran panjang di petak
pentokolan
6
5
Panjang (cm)
4
sistem terpadu
3
konvensional
2
1
0
ke-0 ke-7 ke-14 ke-21 ke-28
Waktu Pemeliharaan (hari)
sistem terpadu
1.5 konvensional
1
0.5
0
ke-0 ke-7 ke-14 ke-21 ke-28
waktu pemeliharaan (hari)
166
Gambar 2. Perbandingan hasil pengukuran berat di petak pentokolan
dengan sistem konvensional.
167
Perbandingan hasil pengukuran panjang di petak
pembesaran
15
Panjang (cm)
10
sistem terpadu
konvensional
5
0
Ke-7 Ke-14 ke-21 ke-28 ke-35 ke-38
waktu pemeliharaan (hari)
Gambar 3. Perbandingan hasil pengukuran panjang di petak pembesaran
dengan sistem konvensional.
sistem terpadu
6
konvensional
4
2
0
Ke-7 Ke-14 ke-21 ke-28 ke-35 ke-38
waktu pemeliharaan (hari)
Gambar 4. Perbandingan hasil pengukuran berat di petak pembesaran
dengan sistem konvensional.
168
Pada petak pembesaran dilakukan penebaran dengan kepadatan 10
ekor/m2 dengan ukuran benih, panjang ± 5 cm dan berat ± 2,9 gr dan dipelihara
selama 38 hari. Dari hasil yang diperoleh pada petak pembesaran dapat dilihat
pada Gambar 3. dan 4., diketahui jika baik panjang maupun berat udang
vannamei yang dipelihara pada sistem pentokolan secara terpadu dengan
pembesaran lebih tinggi dibandingkan pemelihraan dengan sistem
konvensional. Hal ini mungkin disebabkan karena benih yang sebelumnya
dipelihara pada kepadatan yang lebih tinggi dengan persaingan ruang dan
makanan tinggi kemudian di pindahkan ke petak pembesaran yang lebih luas
dan kepadatan lebih rendah dimana persaingan ruang dan makanan lebih
rendah dibandingkan sebelumnya. Menurut Cholik et al. (1990), padat
penebaran akan mempengaruhi kompetisi terhadap ruang gerak, kebutuhan
makanan dan kondisi lingkungan yang pada gilirannya dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan kelulushidupan yang merinci pada produksi.
Pertumbuhan panjang dan berat udang vanname yang meningkat pesat
pada sistem pentokolan terpadu dari pada sistem konvensional kemungkinan
juga disebabkan karena kondisi lingkungan yang baru sehingga pakan alami
yang tumbuh dan berkembang melimpah dan kondisi kualitas air yang pada
petak pembesaran lebih sesuai untuk pertumbuhan benih udang vanname.
Menurut Spote (1987) dalam Badare (2001), menyatakan bahwa kualitas air
turut mempengaruhi kelulushidupan dan pertumbuhan udang dalam sistem
budidaya.
Pada sistem konvensional, dari gambar 3. dan 4., dapat diketahui jika
pada hari pemeliharaan ke-35 dan ke-38 tidak diperoleh hasil pengukuran
panjang dan berat karena pada sistem konvensional hanya bertahan hingga hari
ke-59 pemeliharaan dari penebaran di Pl-12 atau hari ke-31 jika dikonversi
dengan waktu pemeliharaan di petak pembesaran pada sistem pentokolan
tepadu. Sistem konvensional hanya bertahan hingga kurang dari 2 bulan
pemeliharaan sedangkan dengan sisten pentokolan yang terpadu mampu
bertahan lebih dari 2 bulan.
Panen
Setelah dilakukan pemeliharaan di petak pembesaran selama ± 38 hari,
dilakukan pemanenan. Untuk mengetahui perbandingan hasil panen di petak
pembesaran pada sistem pentokolan secara terpadu dengan sistem konvensional
dapat dilihat pada Gambar 5. dan Gambar 6. berikut:
169
Ukuran Hasil Panen
160
140
size panen (ekor/kg)
120
100 sistem terpadu
80
60 konvensional
40
20
0
sistem terpadu konvensional
Harga Panen
40000
35000
30000
Harga (Rp/kg)
25000
sistem terpadu
20000
konvensional
15000
10000
5000
0
sistem terpadu konvensional
170
Dari hasil pemeliharaan di petak pembesaran yang dilakukan selama 38
hari dapat diketahui jika ukuran/size sistem pentokolan terpadu lebih kecil yaitu
85 ekor/kg hal ini berarti ukuran per ekor udang besar pada sistem terpadu dari
pada sistem konvensional yang 150 ekor/kg yang berarti ukuran udang lebih
kecil setiap ekornya. Dan harga untuk penjualan udang vanname hasil panen
lebih tinggi sistem terpadu yaitu sekitar Rp 36.000,00 dibandingkan dengan
sistem konvensional yaitu Rp 24.000,00.
KESIMPILAN
Saran
Penggunaan sistem pentokolan yang terpadu dengan pembesaran sangat
efektif dan efisien pada lokasi tambak yang memiliki pakan alami yang dapat
tumbuh subur dan pada lahan dengan kondisi salinitas yang fluktuatif. Perlu
dilakukan penerapan diloksai diseminasi lainnya untuk mengetahui keefektifan
dan efiesiensi sisten ini.
171
172
DAFTAR PUSTAKA
173
KELANGSUNGAN HIDUP POST LARVA UDANG PISANG
MENINGKAT STABILMENGIKUTI NAIKNYA DOSIS VITAMIN C
LEVEL RENDAH
ABSTRACT
174
PENDAHULUAN
175
Penelitian ini bertujuan menguji efek vitamin C terhadap kelangsungan
hidup, pertumbuhan dan kualitas air PL udang pisang, udang local Aceh yang
sedang dikembangkan BPBAP Ujung Batee.
Pemberian perlakuan
Dalam penelitian ini kandungan besi di air laut dijadikan sebagai acuan
dalam menentukan pemberian vitamin C. Hasil pengukuran di BPBAP Ujung
Batee adalah sekitar 0,1 ppm. Dengan rasio vitamin C dan Fe diatas 1, maka
ditetapkan dosis 0,4 ppm, 0,8 ppm, 1,2 ppm vitamin C per hari.
Satu butir tablet vitamin C yang mengandung 1000 mg sodium askorbat
dilarutkan dalam 250 ml air untuk mendapatkan konsentrasi asam askorbat 4
ppt. Perlakuan 0.4 ppm, 0,8 ppm dan 1,2 ppm dibuat dengan memberikan
masing-masing 1 ml, 2 ml dan 3 ml dari larutan tersebut pada air pemeliharaan.
Pemberian dilakukan 2 kali sehari yakni pagi dan sore hari. Larutan disimpan
dalam lemari pendingin selama pemakaian.
Prosedur pemeliharaan
Sebagai pakan diberikan artemia dan pakan buatan sesuai aturan
pemberian pakan di hatchery pembenihan udang BPBAP Ujung batee. Artemia
ditetaskan dengan dosis 2 gr/L air laut. Naupli yang dihasilkan (>400.000
ekor/L) dipanen dan diberikan sebanyak 25 ml per wadah. Pemberian naupli
artemia dilakukan tiga kali sehari untuk memenuhi dosis lebih dari 3 ekor
naupli/ind PL. Pakan buatan diberikan sebanyak 6 ppm per hari dengan cara
membuat suspensi pakan dengan konsentrasi 20 ppt. Pemberian suspensi pakan
ini adalah 2 ml diberikan ke dalam wadah sebanyak tiga kali sehari. Pakan
artemia dan pakan buatan diberikan secara selang-seling. Variabel kualitas air
utama dimonitor dengan melakukan pengukuran kadar oksigen terlarut, pH,
suhu tiap pagi dan sore hari. Salinitas diukur tiap 3 hari sekali.
176
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada hari terakhir penelitian terhadap
kelangsungan hidup, pertambahan panjang, konsentrasi bakteri total,
konsentrasi bakteri Vibrio dan konsentrasi TAN (total ammonia nitrogen) dan
nitrit. Kelangsungan hidup dihitung dengan mencacah semua postlarva dalam
tiap unit percobaan pada akhir penelitian. Panjang diukur dengan mengambil 5
sampel postlarva pada tiap unit perlakuan. Konsentrasi bakteri total dan Vibrio
diuji di lab mikrobiologi BPBAP Ujung Batee dan dihitung dari koloni yang
tumbuh dalam agar plate. Sedangkan TAN dan nitrit diukur di lab kualitas air
BPBAP Ujung Batee dengan metode kolorimetri.
Kelangsungan hidup
Hasil menunjukkan bahwa kelangsungan hidup PL udang pisang naik
secara bertahap mengikuti kenaikan dosis vitamin C (Grafik 1) (p<0,05).
Keragaman antar satu perlakuan saling terhubung dengan keragaman satu level
perlakuan di bawah dan diatasnya sehingga menunjukkan efek yang tidak
berbeda nyata pada perlakuan yang berdekatan. Sebagai contoh pemberian
vitamin C 0,4 ppm tidak berbeda nyata terhadap control (39,43%) dan juga
tidak berbeda nyata terhadap perlakuan 0,8 ppm, namun berbeda terhadap
perlakuan 1,2 ppm. Perlakuan 1,2 ppm menunjukkan hasil kelangsungan hidup
terbaik yakni 67,4%, mendekati 2 kali lipat dari yang dicapai kontrol.
80
70 SR (%) c
60 b
50 ac
40 a
b
30
20
10 39.43 42.30 55.80 67.40
0
0 0.4 0.8 1.2
Konsentrasi vitamin C (ppm)
177
Kelangsungan hidup (SR) meningkat seiring naiknya dosis vitamin C,
namun belum dicapai titik puncaknya. Hasil ini menyiratkan bahwa perlu
dilakukan uji dosis tambahan untuk mencapai SR maksimal. Ekstrapolasi
dengan kurva kuadratik (y=13.64x2+7.975x+38.80, R²=0.815) memprediksi
dosis 1,8-2 ppm sebagai konsentrasi optimal pemberian vitamin C dengan SR
terbaik.
Peningkatan kelangsungan hidup PL udang pisang mungkin sebagai
efek dari menurunnya radikal bebas di air dan meningkatnya kesehatan tubuh
udang karena asupan vitamin C tambahan. Pemberian vitamin C dapat memicu
apoptosis (kematian sel) pada sel yang terkena kanker akibat terkena radikal
bebas dari air terklorinasi (Vissers et al., 2001). Asupan tambahan vitamin C
akan menghilangkan defisiensi vitamin C yang berakibat kematian yakni
munculnya penyakit black death syndrome. Hal ini muncul akibat gagalnya
pembentukan jaringan ikat karena kurangnya kolagen triple helix yang dibantu
oleh vitamin C sebagai ko-faktor. Ketiadaan jaringan ini akan berakibat pada
menurunnya daya cerna pakan karena hepatopankreas yang tidak berkembang
dan kerusakan jaringan ikat di bawah cangkang, dinding esophagus, usus
bagian belakang, lambung dan insang. Gejala klinisnya adalah warna hitam
pada bagian bawah cangkang (Hunter et al., 1979; Lightner et al., 1977;
Magarelli Jr et al., 1979).
Kenaikan kelangsungan hidup pada aplikasi vitamin C di air mungkin
juga dikarenakan menurunnya keganasan dan pertumbuhan bakteri. Dari
pengujian total bakteri, populasi bakteri menunjukkan kecenderungan menurun
(Grafik 2). Berdasarkan rata-rata, penurunan mencapai 4 kali lipat yakni dari
80.103 cfu/ml menjadi 20.103 cfu/ml. Namun penurunan tetap stagnan pada
konsentrasi vitamin C diatas 0,4 ppm. Berdasarkan rata-rata, konsentrasi koloni
vibrio kuning juga cenderung menurun 2 kali lipat dari konsentrasi control
sekitar 4.103 cfu/ml menjadi sekitar 2.103 cfu/ml. Namun demikian koloni
vibrio hijau tetap stagnan (Grafik 3.).
200,000
Total bacterial
150,000 count (cfu/ml)
100,000
50,000
0
0 0.4 0.8 1.2
Konsentrasi vitamin C (ppm)
Grafik 2. Total bakteri umum pada media pemeliharaan PL udang
Pisang
178
8,000 TBV yellow TBV green 120
(cfu/ml) (cfu/ml)
7,000 100
6,000
5,000 80
4,000 60
3,000 40
2,000
1,000 20
- -
0 0.4 0.8 1.2 1.6
Konsentrasi vitamin C (ppm)
Grafik 3. Jumlah koloni bakteri vibrio berkoloni kuning dan hijau pada media
pemeliharaan PL udang pisang
Vibriosis adalah penyakit bakterial yang umum terjadi pada budidaya udang .
Vibrio menyerang saluran pencernaan terutama hepatopankreas dan
menyebabkan kematian lebih dari 50% benih udang (Lavilla-Pitogo et al.,
1998; Leaño et al., 1998). Vibriosis terdeteksi jelas karena benih nampak
bercahaya karena vibrio mengeluarkan pendar cahaya saat berkomunikasi
dengan jenisnya (Defoirdt et al., 2007). Vitamin C dapat menurunkan
perkembangan bakteri karena sifatnya yang menghambat quorum sensing
(kemampuan bakteri untuk berkomunikasi dengan bakteri sejenis di
sekitarnya), sehingga menurun pathogenisitasnya. Efek ini mungkin berasal
dari struktur dasar vitamin C yakni furanone (Slaughter, 1999). Sebagai contoh
furanones terhalogenasi (furnanone yang berikatan dengan halogen seperti Br
dan Cl) dapat mengganggu menempelnya acyl homoserine lactones (AHLs)
pada protein pengaktif gen quorum sensing (Manefield et al., 2002).
Terhalangnya komunikasi antar bakteri menyebabkan pembentukan
biofilm yang menjadi pertahanan ampuh bakteri pathogen menjadi terhambat
sehingga pembasmiannya oleh antibiotik menjadi lebih mudah (El-Gebaly et
al., 2012). Sifat anti-biofilm juga terlihat ketika diberikan pada kultur
Pseudomonas aeruginosa (Abbas et al., 2012). Pengujian pada Clostridium perf
ringens telah menurunkan auto inducer (sinyal yang dikeluarkan individu
bakteri untuk sel bakteri itu sendiri) pada quorum sensing sampai 100 kali lipat
sehingga mengontrol pertumbuhan, sporulasi dan produksi enterotoksin (Novak
and Fratamico, 2004). Pemberian vitamin C terbukti telah meningkatkan
keefektifan kerja antimikroba lain seperti pemberian quercetin pada
Staphylococcus aureus.
179
Pertumbuhan
Efek vitamin C terhadap pertumbuhan juga berbeda nyata, yakni
panjang PL udang pisang pada keseluruhan perlakuan meningkat dua kali lipat
dibanding control. Sedangkan perbedaan antara perlakuan pemberian vitamin C
tidak berbeda nyata (p<0,05). Selama 12 hari pertambahan panjang postlarva
udang pisang sekitar 1 mm bagi yang mendapat perlakuan vitamin C sedangkan
control hanya menunjukkan kenaikan 0,4 mm.
Vitamin C menjadi ko-faktor dalam pembentukan kolagen yang menjadi
unsur penting jaringan ikat. Jaringan ikat terdapat sebagian besar pada lapisan
di bawah cangkang dan saluran pencernaan dan menyebar di seluruh tubuh
postlarva. Dengan demikian kekurangan vitamin C akan menghambat
pertumbuhan secara keseluruhan. Pada defisiensi parah bahkan akan berakibat
pada kematian (Lightner et al., 1977).
1.80
1.60
1.40 b
1.20
Pertambah b b
1.00
an panjang
(mm) 0.80
0.60
0.40 a
0.20 0.40 1.33 0.93 1.00
0.00
0 0.4 0.8 1.2
Konsentrasi vitamin C (ppm)
*Huruf yang sama menunjukkan perlakuan tidak
berbeda nyata
Grafik 4.Efek pemberian vitamin C terhadap kelangsungan hidup PL
udang pisang
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
182
Dabrowski, K., Köck, G., 1989. Absorption of Ascorbic Acid and Ascorbic
Sulfate and their Interaction with Minerals in the Digestive Tract of
Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Can. J. Fish. Aquat. Sci. 46,
1952–1957.
Defoirdt, T., Boon, N., Sorgeloos, P., Verstraete, W., Bossier, P., 2007.
Quorum sensing and quorum quenching in Vibrio harveyi: lessons
learned from in vivo work. ISME J. 2, 19–26.
El-Gebaly, E., Essam, T., Hashem, S., El-Baky, R.A., 2012. Effect of
Levofloxacin and Vitamin C on Bacterial Adherence and Preformed
Biofilm on Urethral Catheter Surfaces. J Microb Biochem Technol 4,
131–136.
Holme, J.A., Steffensen, I.L., Brunborg, G., Becher, G., Alexander, J., 1999.
Chlorination of drinking water--possible cancer risk from a by-
product. Tidsskr. Den Nor. Lægeforen. Tidsskr. Prakt. Med. Ny
Række 119, 2528–2530.
Hunter, B., Magarelli Jr, P.C., Lightner, D.V., Colvin, L.B., 1979. Ascorbic
acid-dependent collagen formation in penaeid shrimp. Comp.
Biochem. Physiol. Part B Comp. Biochem. 64, 381–385.
Komulainen, H., Vaittinen, S.-L., Vartiainen, T., Tuomisto, J., Kosma, V.-M.,
Kaliste-Korhonen, E., Lötjönen, S., Tuominen, R.K., 1997.
Carcinogenicity of the Drinking Water Mutagen 3-Chloro-4-
(dichloromethyl)-5-hydroxy-2(5H)-furanone in the Rat. J. Natl.
Cancer Inst. 89, 848–856.
Kontara, E.K., Merchie, G., Lavens, P., Robles, R., Nelis, H., De Leenheer, A.,
Sorgeloos, P., others, 1997. Improved production of postlarval white
shrimp through supplementation of L-ascorbyl-2-polyphosphate in
their diet. Aquac. Int. 5, 127–136.
Lavilla-Pitogo, C.., Leaño, E.., Paner, M.., 1998. Mortalities of pond-cultured
juvenile shrimp, Penaeus monodon, associated with dominance of
luminescent vibrios in the rearing environment. Aquaculture 164,
337–349.
Leaño, E.M., Lavilla-Pitogo, C.R., Paner, M.G., 1998. Bacterial flora in the
hepatopancreas of pond-reared Penaeus monodon juveniles with
luminous vibriosis. Aquaculture 164, 367–374.
Lightner, D.V., Colvin, L.B., Brand, C., Danald, D.A., 1977. Black Death, a
Disease Syndrome of Penaeid Shrimp Related to a Dietary
Deficiency of Ascorbic Acid. Proc. Annu. Meet. - World Maric. Soc.
8, 611–624.
MacCrehan, W.A., Bedner, M., Helz, G.R., 2005. Making chlorine greener:
Performance of alternative dechlorination agents in wastewater.
Chemosphere 60, 381–388.
183
Magarelli Jr, P.C., Hunter, B., Lightner, D.V., Benard Colvin, L., 1979. Black
death: an ascorbic acid deficiency disease in penaeid shrimp. Comp.
Biochem. Physiol. A Physiol. 63, 103–108.
Manefield, M., Rasmussen, T.B., Henzter, M., Andersen, J.B., Steinberg, P.,
Kjelleberg, S., Givskov, M., 2002. Halogenated furanones inhibit
quorum sensing through accelerated LuxR turnover. Microbiology
148, 1119–1127.
McDonald, T., Komulainen, H., 2005. Carcinogenicity of the Chlorination
Disinfection By-Product MX. J. Environ. Sci. Health Part C 23, 163–
214.
Melnick, R.L., Boorman, G.A., Dellarco, V., 1997. Water Chlorination, 3-
Chloro-4-(dichloromethyl)-5- hydroxy-2(5H)-furanone (MX), and
Potential Cancer Risk. J. Natl. Cancer Inst. 89, 832–833.
doi:10.1093/jnci/89.12.832
Merchie, G., Lavens, P., Dhert, P., Dehasque, M., Nelis, H., De Leenheer, A.,
Sorgeloos, P., 1995. Variation of ascorbic acid content in different
live food organisms. Aquaculture 134, 325–337.
Merchie, G., Lavens, P., Sorgeloos, P., 1997. Optimization of dietary vitamin C
in fish and crustacean larvae: a review. Aquaculture, Proceedings of
the fish and shellfish Larviculture Symposium LARVI ‘95 155, 165–
181.
Mill, T., Hendry, D.G., Richardson, H., 1980. Free-radical oxidants in natural
waters. Science 207, 886–887.
Moss, S.M., Forster, I.P., Tacon, A.G.J., 2006. Sparing effect of pond water on
vitamins in shrimp diets. Aquaculture 258, 388–395.
National Research Council, 2011. Vitamin, in: Nutrient Requirements of Fish
and Shrimp. The National Academic Press, Washington D.C., pp.
186–220.
Novak, J.S., Fratamico, P.M., 2004. Evaluation of Ascorbic Acid as a Quorum-
sensing Analogue to Control Growth, Sporulation, and Enterotoxin
Production in Clostridium perfringens. J. Food Sci. 69, FMS72–
FMS78.
Richardson, S.D., Plewa, M.J., Wagner, E.D., Schoeny, R., Demarini, D.M.,
2007. Occurrence, genotoxicity, and carcinogenicity of regulated and
emerging disinfection by-products in drinking water: a review and
roadmap for research. Mutat. Res. 636, 178–242.
Slaughter, J.C., 1999. The naturally occurring furanones: formation and
function from pheromone to food. Biol. Rev. 74, 259–276.
Tikkanen, M.W., Schroeter, J.H., Leong, L.Y.., Ganesh, R., 2001. Guidance
Manual For the Disposal of Chlorinated Water (No. 90863),
AWWA Research Foundation Report. Denver.
184
Vissers, M.C.M., Lee, W.-G., Hampton, M.B., 2001. Regulation of Apoptosis
by Vitamin C Specific Protection of the Apoptotic Machinery
Against Exposure to Chlorinated Oxidants. J. Biol. Chem. 276,
46835–46840.
185
APLIKASI BIOFILTER CAULERPA SP PADA PRODUKSI UDANG
WINDU DI TAMBAK
Joko Purwantyo1,Sarifuddin1
1
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee
ABSTRAK
PENDAHULUAN
186
menjaga kesimbangan ekosistem budidaya. Interaksi unsur mikro dalam air
sangat dibutuhkan dalam menjaga kesimbangan. Pada air yang steril/ bersih
rumit membentuk keseimbangan ekosistem seperti penumbuhan pakan alami,
sebab rantai ekosistem akan terputus akibat kematian karena menggunakan
larutan kimia tertentu..
Solusi yang tepat adalah upaya penyediaan air media pemeliharaan
udang windu yang sehat sebelum digunakan pada tambak pembesaran, langkah
yang sederhana melalui memanfaatkan Latoh (caulerva sp) sebagai biofilter.
Karena menjaga kestabilan lingkungan merupakan salah satu faktor yang
sangat penting dalam mendukung proses budidaya.
187
terutama kandungan vitamin dan mineral dan fitokimianya bermanfaat sebagai
makanan berkualitas untuk manusia (Cavas and Pohnert, 2010; Matanjun et al.,
2009; Nguyen et al., 2011).
Permukaan Caulerpa yang luas dan koloninya yang rimbun menjadi
substrat yang tepat untuk organisme penempel, contohnya siput laut
(sacoglossan) menyukai C. lentillifera (Baumgartner et al., 2009). Pada spesies
lain (C. prolifera)terbukti alga penempel pada lebih sedikit karena dimakan
invertebrata penempel. Jenis organisme penempel pada C. prolifera juga lebih
banyak dibanding makroalga lain (Gibson, 2007).
Persiapan Tambak
Persiapan tambak dilakukan untuk memperbaiki wadah/media
pemeliharaan udang. Rangkaian persiapan tambak yang dilakukan adalah
pengeringan, pemberantasan hama, pengolahan tanah dasar dan perbaikan pH
tanah dasar. Aplikasi molase (tetes tebu) dilakukan pada saat peredaman tanah
dasar dengan ketinggian air ± 10 cm
Persiapan Air Media
Kondisi sarana dan tata letak tambak produksi budidaya udang windu
adalah menggunakan tandon yang dilengkapi dengan sistem sadimentasi. Air
dari sumber dimasukan petak tandon sebelum digunakan untuk petak
pembesaran udang. Petak tandon bersedimen juga sebagai petak biofilter
karena berfungsi juga upaya mencegahan infeksi penyakit. Oleh karena itu,
petak tandon ditebari tanaman air berupa rumput laut (Caulerpa sp), keberadaan
Caulerpa sp pada petak tandon ± 60% dari luas petakan 3.000 m2 dengan tujuan
untuk dapat menyerap nutrein hasil perombakan bahan organik. Ikan karnivor
(ikan kerapu) berfungsi sebagau fredator yaitu memangsa udang-udang kecil
yang berasal dari air sumber dimasukan petak tandon. Penggunaan air tandon
siap digunakan setelah mengalami pengendapan ± 2 – 3 hari. Pemasukan air
dari petak tandon ke petak pembesaran udang dengan menggunakan pompa.
Untuk mencegak masuknya crustacea liar dan ikan lainnya, maka dilakukan
penyaringan air dengan saringan kassa mesh size 1 mm, Pengisisan air tahap
awal mencapai di atas 80 cm.
Kondisi air media petak pembesaran udang dikatakan siap tebar apabila
parameter air sudah stabil, diantaranya : pH 7,8-8,5, Tom < 100 ppm,
alkalinitas 90 – 150 ppm, kecerahan 50 cm dengan warna plankton hijau
kecoklatan.
188
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Air
Monitoring kualitas air merupakan salah satu kunci utama dalam
pembesaran udang, air yang sehat sudah pasti akan nyaman untuk udang, baik
dari segi pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup dan daya respon pakan
yang tinggi. Filosopi pelihara udang secara implisit dikatakan bahwa budidaya
udang sebenarnya adalah pelihara air, artinya mengelola air yang ideal maka
sudah pasti udangnya juga akan hidup dan tumbuh secara normal.
189
Tabel 2 : Hasil uji Mikrobiologi
Hasil uji mikrobiologis juga menunjukkan bahwa tandon yang ditumbuhi Latoh
(Caulerpa sp) kandungan vobriosisnya jauh lebih sedikit dari dari tandon yang
tidak ditumbuhi Latoh (Caulerpa sp). Hasilnya juga ditambak memperlihatkan
pertumbuhan vibrio green hanya mencapai 5,4.10 2artinya dibawah ambang
batas maksimum yaitu 1.000 cfu/ml. Terciptanya kesimbangan ekosistem sudah
pasti terjadi karena kandungan pertumbuhan vibriosis terkontrol akibat dari
perombakan bahan organik oleh rumput laut Latoh (Caulerpa sp) .
Capaian Produksi.
Dapat di yakini bahwa Latoh (Caulerpa sp), mempunyai konstribusi
yang sangat kuat dalam membentuk keseimbangan ekosistem, sehingga udang
dapat hidup dan tumbuh secara simultan.
Bukti produksi juga dapat dilihat pada tabel 1, jumlah 4 petakan dengan luas
3.000 m2 yang digunakan sebagai pemeliharaan udang menunjukkan varias
produksi yang fantastis rata-rata produksi tambak 1.951-2.550 kg/petak,
survival rate juga menunjukkan cukup bagus rata-rata 68-85%.
190
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Amade, P., Lemée, R., 1998. Chemical defence of the mediterranean alga
Caulerpa taxifolia: variations in caulerpenyne production. Aquat.
Toxicol. 43, 287–300.
Bartoli, P., Boudouresque, C.F., 1997. Transmission failure of parasites
(Digenea) in sites colonized by the recently introduced invasive alga
Caulerpa taxifolia. Mar. Ecol. Prog. Ser. 154, 253–260.
Baumgartner, F.A., Motti, C.A., de Nys, R., Paul, N.A., others, 2009. Feeding
preferences and host associations of specialist marine herbivores
align with quantitative variation in seaweed secondary metabolites.
Mar Ecol Prog Ser 396, 1–12.
Brunelli, M., Garcia-Gil, M., Mozzachiodi, R., Scuri, M.R.R., Traina, G.,
Zaccardi, M.L., 2000. Neurotoxic effects of caulerpenyne. Prog.
Neuropsychopharmacol. Biol. Psychiatry 24, 939–954.
Cavas, L., Pohnert, G., 2010. The Potential of Caulerpa spp. for
Biotechnological and Pharmacological Applications, in: Seckbach,
191
J., Einav, R., Israel, A. (Eds.), Seaweeds and Their Role in Globally
Changing Environments, Cellular Origin, Life in Extreme Habitats
and Astrobiology. Springer Netherlands, pp. 385–397.
Gibson, A. 2007. Community Composition of Crustaceans and Gastropods on
Caulerpa prolifera, H alodule wrightii and Thalassia testudinum
(Master Thesis). University of South Florida, Florida.
Higa, T., Kuniyoshi, M., 2000. Toxins associated with medicinal and edible
seaweeds. Toxin Rev. 19, 119–137.
Matanjun, P., Mohamed, S., Mustapha, N.M., Muhammad, K., 2009. Nutrient
content of tropical edible seaweeds, Eucheuma cottonii, Caulerpa
lentillifera and Sargassum polycystum. J. Appl. Phycol. 21, 75–80.
Nguyen, V.T., Ueng, J.-P., Tsai, G.-J., 2011. Proximate Composition, Total
Phenolic Content, and Antioxidant Activity of Seagrape (Caulerpa
lentillifera). J. Food Sci. 76, C950–C958.
Paul, N.A., de Nys, R., 2008. Promise and pitfalls of locally abundant seaweeds
as biofilters for integrated aquaculture. Aquaculture 281, 49–55.
Pesando, D., Huitorel, P., Dolcini, V., Amade, P., Girard, J.-P., 1998.
Caulerpenyne interferes with microtubuledependent events during
the first mitotic cycle of sea urchin eggs. Eur. J. Cell Biol. 77,
19–26.
Pesando, D., Lemée, R., Ferrua, C., Amade, P., Girard, J.-P., 1996. Effects of
caulerpenyne, the major toxin from Caulerpa taxifolia on
mechanisms related to sea urchin egg cleavage. Aquat. Toxicol.
35, 139–155.
Raniello, R., Mollo, E., Lorenti, M., Gavagnin, M., Buia, M.C., 2007.
Phytotoxic activity of caulerpenyne from the Mediterranean invasive
variety of Caulerpa racemosa: a potential allelochemical. Biol.
Invasions 9, 361–368.
192
SEX RATIO EFFECT OF MANDARIN FISH ( Synchiropus splendidus )
QUALITY OF EGGS
ABSTRACT
193
PENDAHULUAN
Ikan Mandarin (Synchiropus splendidus) adalah ikan kecil berwarna
cerah yang termasuk dalam famili Callionymidae, yang terkenal dalam bisnis
akuarium air laut. Ikan mandarin terdistribusi dari Samudera Pasifik,
Kepulauan Ryukyu (Jepang Selatan) hingga Australia. Ikan mandarin memiliki
garis-garis warna hijau, jingga, dan kuning, dengan warna biru menyelimuti
sekujur tubuhnya dan memiliki tubuh yang memanjang. Ikan ini biasa
memangksa krustasea kecil dan hewan invertebrata lainnya. Pembuahan ikan
mandarin di alam terjadi secara eksternal, dimana ikan betina mendekati ikan
jantan, kemudian sel telur dan sperma dilepaskan ke kolom air (Mayell, 2001).
Pemijahan merupakan proses pengeluaran sel telur oleh induk betina
dan sperma oleh induk jantan, yang kemudian diikuti dengan pembuahan.
Pemijahan sebagai salah satu aspek dari reproduksi, merupakan mata rantai dari
siklus hidup dalam menentukan kelangsungan hidup dari spesies. Pemijahan
tidak hanya tergantung dari proses gametogenesis tetapi berkaitan dengan
perilaku ikan, seperti migrasi ikan sebelum memijah, seleksi di habitatnya,
musim kawin, dan keberadaan pasangan.
Ikan Mandarin (Synchiropus splendidus) merupakan salah satu ikan hias
air laut yang banyak digemari oleh para pebisnis akuarium air laut di dalam
maupun di luar negeri.Dalam upaya pelestariannya dapat dikembangkan
melalui kegiatan budidaya dengan melakukan tahapan awal yaitu pengumpulan
induk dari alam atau domestikasi induk yang kemudian dilakukan kegiatan
pembenihan
Pembenihan ikan mandarin telah dilakukan, namun induk yang
digunakan berasal dari tangkapan alam, ukuran panjang induk jantan 5 cm dan
ukuran panjang betina 4 cm dengan kepadatan 30 sampai 50 individu ikan
mandarin dan dipelihara pada wadah berkapasitas 2 ton (Gani dkk, 2012).
Selain itu masih minimnya informasi hasil pengamatan tentang kualitas telur
(derajat pembuahan dan derajat penetasan) dan perkembangan embriogenesis
dari ikan mandarin (Synchiropus splendidus). Penyediaan induk merupakan
salah satu cara dalam proses pemijahan dengan mempertimbangkan kualitas
induk ikan tersebut. Induk yang berkualitas dapat diamati dari telur dan larva
yang dihasilkan.
Pemijahan ikan dengan rasio jantan betina berbeda pada wadah
terkontrol secara masal telah berhasil dilakukan, misalnya ikan kuda laut
(Hippocampus kuda) oleh Sukmono (2004), ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) oleh Setiadharma dkk (2008), ikan baronang (Siganus guttatus)
oleh Lante dan Palinggi (2010), dan ikan bada (Rasbora argyrotaenia) oleh
Said dan Mayasari (2010). Sementara pemijahan induk ikan mandarin
(Synchiropus splendidus) dengan menggunakan rasio jantan dan betina belum
194
dilakukan. Untuk mendapatkan kuantitas dan kualitas telur yang baik maka
perlu dilakukan penyediaan calon induk sesuai ukuran panjang dan berat.
Dengan demikian untuk melestarikan ikan mandarin (Synchiropus
splendidus) adalah melakukan pemijahan dengan rasio kelamin berbeda
terhadap kualitas telur (derajat penetasan dan derajat penetasan).
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟𝑦𝑎𝑛𝑔𝑑𝑖𝑏𝑢𝑎ℎ𝑖
𝐹𝑅 = × 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟𝑦𝑎𝑛𝑔𝑑𝑖𝑝𝑖𝑗𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛
195
Sedangkan untuk derajat penetasan (Hatching Rate) merupakan
persentase jumlah embrio yang menetas dari jumlah yang telah dibuahi.
Perhitungan Hatching Rate (HR) menggunakan formula yang dikemukakan
oleh Sedjati, (2002) sebagai berikut:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑒𝑚𝑏𝑟𝑖𝑜𝑦𝑎𝑛𝑔𝑚𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑠
𝐻𝑅 = × 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟𝑦𝑎𝑛𝑔𝑑𝑖𝑏𝑢𝑎ℎ𝑖
Metode yang digunakan dalam analisa data untuk menilai pengaruh
rasio induk jantan betina terhadap Pembuahan telur adalah uji Chi-Square
(Elliot, 1977 dalam Khouw, 2009), dengan formula sebagai berikut:
𝑟 𝑘
2
(𝑂𝑖𝑗– 𝐸𝑖𝑗)2
𝑥 =
𝐸𝑖𝑗
𝑖=1 𝑗 =1
dimana:
Oij = Jumlah data yang diobservasi yang dikategorikan dalam baris
ke-i dan kolom ke-j
Eij = Jumlah data yang diharapkan yang dikategorikan dalam baris
ke-i dan kolom ke-j
k = Jumlah kolom
r = Jumlah baris
196
jantan, adalah polygynandrous yaitu dapat melakukan pemijahan dengan
beberapa induk betina dalam semalam.
Hasil pengamatan dari telur ikan mandarin selama proses fertilisasi
berjalan terlihat adanya lapisan korion dan terbentuknya ruang perivetiline
sedangkan untuk selaput veteline dan selaput plasma tersebut tidak nampak
(gambar 1).
197
dengan ukuran panjang induk jantan yang digunakan berkisar 4,3-4,9 ±0,22 cm
dan panjang induk betina berkisar 3-3,6 ±0,18 cm. Presentase derajat
pembuahan pada rasio 1:3 dengan ukuran panjang induk jantan berkisar 4,6-
4,9 ±0,11 cm dan panjang induk betina berkisar 3-3,7 ±0,21 cm adalah 75,15%
±18,7 dengan demikian hubungan ukuran panjang induk jantan dan betina dari
ketiga perlakuan bervariasi menghasilkan presentase derajat pembuahan yang
bervariasi juga serta kepadatan induk betina untuk masing-masing perlakuan
berbeda dengan jumlah jantan sama. Selain itu media pemeliharaan yang
digunakan berukuran 80 liter serta pakan yang diberikan bervariasi menunjukan
terjadinya pemijahan induk ikan mandarin. Nilai derajat pembuahan sangat
dipengaruhi oleh kemampuan sperma untuk membuahi telur. Kualitas sperma
yang baik dengan indikasi dapat membuahi sel telur yang dilepaskan oleh
betina dalam waktu yang relative singkat sebelum sperma bersifat immotile.
Effendi (1997), menyatakan bahwa spermatozoa motil pada saat
bercampur dengan air yakni 1-2 menit setelah dikeluarkan dari tubuh. Menurut
Sumarianto (2006), bahwa nilai derajat pembuahan ikan buta (Astyanax
fasciatus) 60.5%-63%, sedangkan derajat pembuahaan ikan mandarin
(Synchiropus splendidus) sebesar 75.15%-79.85%. Hal ini disebabkan telur
ikan buta bersifat menempel sedangkan telur ikan mandarin bersifat
mengapung, selain itu dipengaruhi juga oleh spesies.
Rata–rata persentase fertilisasi ikan mandarin selama pengamatan, yaitu
sebesar 77,55%. Hal ini menunjukan bahwa kualitas dan jumlah sperma
cukup baik untuk membuahi telur. Telur yang terfertilisasi dapat diamati dari
warna telur yang bening.Dengan demikian, dari hasil yang diperoleh dapat
dikatakan bahwa derajat pembuahan terbaik pada rasio jantan dan betina 1:2.
Fakta ini mengindikasikan induk jantan ikan mandarin menghasilkan sperma
yang mampu membuahi telur yang dihasilkan oleh dua individu ikan mandarin
betina dalam semalam atau selama musim pemijahan.
Derajat Penetasan
Dalam menentukan kualitas telur yang baik, tidak hanya dapat diamati
melalui derajat pembuahan, namun dapat diamati juga dari derajat penetasan
telur. Hal ini karena penetasan telur merupakan hasil akhir dari masa inkubasi.
Dari hasil pengamatan telur ikan mandarin (Synchiropussplendidus), sebelum
menetas telur menunjukan perubahan penampakan pada cangkangnya yaitu dari
warna bening berubah menjadi kusut (gambar 2). Perubahan penampakan ini
diduga dari kerjanya enzim khorionase yang mengakibatkan lapisan korin
menjadi lunak. Menurut Fitriliyani (2005), menyatakan bahwa pada waktu telur
ikan akan menetas kekerasan lapisan korion akan menurun.
Telur dari ketiga perlakuan setelah diinkubasi selama kurang lebih tiga
belas jam sepuluh menit sampai empat belas jam setelah pemijahan
198
menunjukan adanya perbedaan. Presentase derajat penetasan (HR) dari ikan
mandarin berkisar antara 76,5%-81,35%. Dari data perhitungan menunjukan
rata-rata derajat penetasan dari periode pemijahan dari perlakuan rasio jantan
dan betina 1:1 sebesar 81.35%, rasio jantan dan betina 1:2 sebesar 81.17%, dan
rasio jantan dan betina 1:3 sebesar 76.50%. Berdasarkan Uji Chi-square yang
dilakukan terhadap derajat penetasan pada perlakuan rasio kelamin menunjukan
bahwa 𝑥 2 hitung >𝑥 2 tabel. Dengan demikian, jumlah jantan dan betina yang
sama atau jumlah betina lebih banyak dari jantan mempengaruhi terhadap
derajat penetasan telur ikan mandarin. Pada perlakuan 1:1 menunjukan derajat
tetas yang tertinggi, Hal ini karena pemijahan yang terjadi pada rasio jantan dan
betina 1:1 tidak kontinyu dibanding perlakuan 1:2 dan 1:3, sehingga diduga
kualitas sperma dan telur sangat baik serta kuantitas sperma untuk membuahi
telur yang dikeluarkan oleh induk betina. Selain itu, dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, yaitu suhu dan intensitas cahaya pada media penetasan.
Derajat penetasan telur ikan mandarin (Synchiropus splendidus) cukup
tinggi dibanding dengan ikan bada (Rasbora argyotaenia) dengan derajat
penetasan 60.61% (Said dan Mayasari, 2010).Hijriyati (2012), menyatakan
bahwa derajat penetasan dengan kisaran 30%-50% adalah derajat penetasan
yang rendah. Rendah daya tetas diduga disebabkan oleh guncangan air sewaktu
telur dipanen. Terjadinya penetesan telur ikan mandarin diduga dipengaruhi
oleh kualitas air antara lain suhu dan intensitas cahaya matahari pada media
penetasan serta dipengaruhi juga oleh salinitas, oksigen terlarut dan pH (Tabel
1.).
Tabel 1. Rata-rata Kualitas air Suhu, Oksigen terlarut, Salinitas dan
pH
Salinia
Perla Suhu DO tas (‰) pH
kuan (°C) (mg/l)
1:1 29.3 4.20 30 8.3
1:2 29.2 3.22 30.9 8.4
1:3 29.2 3.37 31.9 8.4
199
setelah pemijahan, sedangkan pada suhu 25°C telur ikan mandarin menetas
lebih lama dengan waktu empat belas jam setelah pemijahan. Hal ini diduga
bahwa pada suhu tinggi akan memacu enzim khorionase bekerja lebih cepat
untuk melunakan lapisan khorion. Selain itu peningkatan suhu menyebabkan
proses metabolisme lebih cepat. Telur yang tidak menetas diduga karena
adanya fluktuasi suhu di pagi hari pada wadah inkubasi yang dipengaruhi oleh
intensitas cahaya matahari, yang mengakibatkan kenaikan suhu pada media
penetasan lebih cepat. Suhu pada media inkubasi pada malam hari setelah
pemijahan rata-rata 27°C kemudian turun pada pagi hari 25°C, dan menjelang
menetas suhu naik 29°C, selain itu fluktuasi suhu juga dapat mengakibatkan
kerusakan benang-benang spindel yang terbentuk saat proses pembelahan sel
dalam telur. Muktidkk. (2009) menyatakan bahwa kenaikan suhu dan densitas
air dapat merusak mikrotubulus yang membentuk spindel selama pembelahan.
Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan.
Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bergantung pada suhu, salinitas,
turbulensi air dan tekanan atmosfir (Effendi, 2003). Semakin besar suhu
dan semakin tinggi tekanan atmosfir, maka kadar oksigen terlarut semakin
kecil (Ardias, 2008). Hal ini dinyatakan juga oleh Nugraha dkk (2012), yang
memperoleh hasil bahwa suhu optimum daya tetas ikan black ghost
(Apteronotus albifrons) 26°C. Selanjutnya dikatakan bahwa akibat kenaikan
suhu, maka semakin rendah oksigen terlarut.
Melalui hasil pengamatan dan uraian yang telah dikemukakan dapat
dikatakan bahwa derajat penetasan telur ikan mandarin untuk ketiga perlakuan
cukup tinggi, tetapi yang terbaik pada perlakuan dengan rasio jantan dan betina
1:1. Fakta ini mengindikasikan proses pemijahan terjadi secara temporal
sehingga sperma dan telur yang dihasilkan dan kualitas telur ikan mandarin
dapat menetas dengan suhu air 25°C – 29°C.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka
dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Jumlah jantan dan betina yang sama atau jumlah betina lebih banyak dari
jantan mempengaruhi kualitas telur
2. Presentase derajat pembuahan telur ikan mandarin berkisar 75,15% ±18.7 -
79,85% ±22.1 dan derajat penetasan untuk ketiga perlakuan berkisar
76,5%-81,35%.
3. Telur ikan mandarin membutuhkan waktu inkubasi 13-14 jam dengan suhu
berkisar 25°C - 29°C
200
DAFTAR PUSTAKA
Effendi. M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan, Yayasan Dewi Sri Bogor.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta
Fitriliyani I, 2005., Pembesaran larva ikan gabus (Channa striata) dan
efektifitas induksi hormon gonadotropin untuk pemijahan induk. Tesis
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Fujaya Y, 2008., Fisiologi Ikan. Dasar pengembangan teknik perikanan.
Diterbitkan PT Rineka Cipta, Jakarta ISBN: 979-518-866-6.
Gani A, Herlina T, Erdy Asmaul Basir dan Agus Darmawan, 2012.,
Pembenihan Ikan Hias Laut Mandarin Fish (Synchiropus splendidus)
Skala Rumah Tangga. Jurnal Teknologi Budidaya Laut. Volume: 2
Tahun 2012, ISSN. 2089-3728
Hijriyati. K. H., 2012. Kualitas telur dan perkembangan awal larva ikan kerapu
bebek (Cromiliptes altivelis, Valenciennes (1928)). Di desa air saga,
tanjung pandan, Belitung. Tesis. Program Studi Magister Ilmu
Kelautan Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Indonesia.
Khouw A. S., 2009., Metode dan Analisa kuantitatif dalam Bioekologi Laut.
Diterbitkan oleh Pusat pembelajaran dan pengembangan pesisir dan
laut (P4L). ISBN: 978-979-16730-8-2
Lante S. dan N. N. Palinggi, 2010., Pematangan gonad dan pemijahan beronang
(Siganus guttatus) dengan ratio jantan dan betina yang berbeda.
Prosiding forum inovasi technology akuakultur.
Mayell H, 2001., Tiny mandarin fish reveal surprisingly complex spawning
ritual.
(http://news.nationalgeographic.com/news/2001/04/0423_mandarinfis
h.hl) 27 April 2001.
Mukti A. T., H. Arsianingtyas dan S. Subekti. 2009. Pengaruh kejutan suhu
panas dan lama waktu setelah pembuahan terhadap daya tetas dan
abnormalitas larva ikan nila (Oreochromis niloticus). Jurnal ilamiah
perikanan dan kelautan. Vol 1, No 2, November 2009.
Nugraha D, M. N. Supardio dan Subiyanto. 2012. Pengaruh perbedaan suhu
terhadap perkembangan embrio, daya tetas telur dan kecepatan
peneyerapan kuning telur ikan black ghost (Apteronotus albifrons)
pada skala laboratorium. Jurnal Penelitian Manajemen Aquaculture.
Volume 1, No 1, Tahun 2012, Hal 1-6
Said, D.S dan N. Mayasari. 2007. Reproduksi dan pertumbuhan ikan
Marosatherina ladigesi pada rasio kelmain berbeda. Jurnal
Aquaculture Indonesia Vol 8(1) 2007.
201
Said, D. S dan N. Mayasari, 2010., Pertumbuhan dan pola reproduksi ikan bada
(Rasbora argyrotaenia) pada rasio kelamin yang berbeda. LIMNOTEK
(2010) 17 (2): 201-209.
Setiadharma, T. A. Prijono, N. A. Giri dan Trijoko. 2008. Manajemen pakan
induk kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) untuk peningkatan
pemijahan dan kualitas telur.
Sedjati, I.F. 2002. Embriogenesis dan perkembangan larva ikan redfin shark
(Labeo erythropterus C.V). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan
Fakuktas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Sukmono, T. 2004., Studi perilaku kawin kuda laut (Hippocampus kuda) di
Balai Budidaya Laut Lampung. Jurnal iktiologi Indonesia, volume 4
nomor 2.
Sumarianto, A. 2006. Embriogenesis ikan buat (Astyanax fasciatus). Skripsi.
Program Studi Teknologi Manajemen Akuakultur Departemen
Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.
Yustina, A dan Darmawati. 2003. Daya tetas dan laju pertumbuhan larva ikan
hias Betta splendes di habitat buatan. Jurnal Natural Indonesia 5(2):
129-132 (2003). ISSN 1410-9379.
202
PENERAPAN VAKSIN DNA GLIKOPROTEIN-KOI HERPES VIRUS
(Gp-KHV) PADA BENIH CALON INDUK DAN BENIH SEBAR KOI
ABSTRAK
Vaksinasi merupakan tindakan untuk memicu sistem pertahanan
tubuh secara spesifik terhadap antigen yang memicunya. Pemberian
vaksinasi dalam kegiatan budidaya ikan terbukti efektif untuk
mendukung proses produksi. Sejak tahun 2010 Inovasi vaksin DNA
Gp-KHV untuk ikan mas telah meningkatkan sintasan pemeliharaan
antara 85-90% pada kondisi uji lapang terbatas. Penerapan vaksin DNA
KHV pada ikan koi telah dilakukan pula pada TA 2013,meliputi: (1) Uji
efikasi vaksin pada koi skala lab; (2) Penerapan vaksin pada calin dan
benih sebar koi. Kegiatan mencakup produksi vaksin, adaptasi ikan
benih, uji efikasi vaksin dan aplikasi vaksin pada benih sebar dan calon
induk. Produksi bahan vaksin meliputi kultur masal glikoprotein-KHV,
pelleting, inaktivasi bakteri glikoprotein KHV, dan isolasi plasmid.Hasil
produksi vaksin selanjutnya digunakan untuk uji efikasi vaksin
menggunakan metoda perendaman; Penerapan vaksin tersebut
selanjutnya diaplikasikan pula pada pada calon induk dan benih sebar
menggunakan metoda injeksi dan perendaman.
Produksi bahan vaksin KHV berupa pellet berisi glikoprotein-
KHV yang dihasilkan sebanyak 1.450 g, dimana dari jumlah tersebut
diproduksi vaksin dalam bentuk plasmid DNA glikoprotein-KHV
sebanyak 25.400 dosis, dan 624.155 dosis vaksin glikoprotein-KHV
bentuk pellet. Berdasarkan uji efikasi menunjukan bahwa, terjadi
peningkatan respon imunitas pada ikan yang koi yang divaksin, ditandai
oleh peningkatan leukosit dan indeks fagositosis; Respon imun yang
lebih baik pada ikan yang divaksin (suspensi pellet Gp-KHV) mampu
meningkatan kekebalan ikan koi terhadap infeksi KHVsehingga mampu
meningkatkansintasan ikan yang divaksin sebesar 76,67% pasca uji
tantang oleh KHV (Sintasan ikan non vaksin 26,67%). Aplikasi vasin
DNA Gp-KHV dalam bentuk plasmid telah dilakukan pada 2.849 ekor
calon induk ikan koi. Sementaran itu penerapan vaksin yang sama dalam
bentuk rendaman suspensi E. coli yang berisi glikoprotein-KHV telah
diplikasikan pada 50.900 ekor benih sebar koi.
203
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan produksi budidaya perlu didukung oleh ketersediaan
jumlah induk yang memadai. Selain itu kondisi kesehatan induk sangat penting
untuk menghasilkan benih yang sehat dalam kegiatan budidaya. Serangan
patogen merupakan salah satu kendala dalam penyediaan induk.
Serangan penyakit masih merupakan kendala bagi budidaya ikan air
tawar. Salah satunya adalah Koi herpesvirus (KHV) yang menyerang ikan
mas dan koi yang dapat menyebabkan kematian ikan 50-90%. Hingga kini,
kendala tersebut belum mampu diatasi sehingga upaya pemulihan kegiatan
budidaya dan produksi ikan mas maupun koi masih terkendala sampai saat ini.
Mengingat permasalahan tersebut, maka diperlukan benih yang sehat dan
tahan terhadap KHV untuk mendukung keberhasilan produksi calon induk.
Salah satu upaya untuk meningkatkandaya tahan ikan terhadap KHV secara
spesifik adalah melalui vaksinasi.
Vaksinasi merupakan tindakan memasukkan antigen (yang dilemahkan)
ke dalam tubuh ikan untuk memicu sistem pertahanan tubuh secara spesifik
terhadap antigen yang memicunya. Melalui pemberian vaksin diharapkan ikan
mempunyai kekebalan spesifik terhadap patogen tertentu. Pemberian vaksinasi
dalam kegiatan budidaya ikan terbukti efektif untuk mendukung proses
produksi. Sejak tahun 2010, Inovasi dan aplikasi vaksin dalam kegiatan
akuakultur telah dilakukan di BBPBAT Sukabumi. Inovasi vaksin DNA
glikoprotein-KHV (Gp-KHV) untuk ikan mas pada skala lapang terbatas di
BBPBAT Sukabumi terbukti mampu meningkatkan sintasan pemeliharaan
antara 85-90%.
Pada Tahun Anggaran 2013 penerapan vaksin GP-KHVdilakukan untuk
mendukung produksi benih calon induk koi yang sehat. Penerapan vaksinasi
tersebut meliputi : (1) Uji efikasi vaksin pada koi skala lab. Dan (2) Penerapan
vaksin pada benih sebar ikan koi. Tujuannya meningkatkan daya tahan spesifik
benih sebar dan benih calon Induk Ikan koi melalui penerapan vaksin
glikoprotein-KHV.
204
instalasi aerasi, sejumlah wadah pemeliharaan meliputi: bak beton/bak fiber
dengan sistem air mengalir, serta kolam air tenang.
205
Tabel 1. Rekapitulasi Produksi Vaksin Glikoprotein-KHV (Gp-KHV)
Tahun 2013
JENIS VAKSIN Jumlah Kondisi Stok Total
Pemakaian Desember Produksi
Vaksin (dosis) 2013 (dosis) (dosis)
a. Bentuk 25.4
plasmid DNA Gp-KHV 20.156 5.244 00
b. Bentuk pellet 460.00 624.
E. Coli : DNA Gp-KHV 159.155 0 155
Uji efikasi vaksin DNA Glikoprotein KHV (DNA Gp-KHV) pada benih
ikan koi metoda perendaman
Kondisi kesehatan ikan benih ikan koi sebelum digunakan untuk vaksinasi
Benih ikan koi yang digunakan merupakan benih sebar. Sebelum
divaksin, ikan tersebut diadaptasikan terlebih dahulu dalam bak fiber selama 2
minggu hingga diperoleh ikan yang benar-benar sehat. Ikan yang akan
digunakan pengujian, dilakukan pemeriksaan KHV dengan PCR (metode Gray
et al. 2002). Hasil uji PCR menunjukkan status ikan uji adalah negatif KHV
(Gambar 1).
M Aw1 Aw2 Aw3 M1.1 M1.2 M1.3 M2.1 M2.2 M2.3 K (-) K(-) K(+)
290 bp
Gambar 1
Profil gel elektroforesis hasil deteksi Koi Herpes Virus (KHV) dari
benih ikan koi sebelum uji efikasi vaksin: Status Awal (Aw1-Aw3), satu
minggu setelah adaptasi (M1.1-M1.3), dua minggu setelah adaptasi (M2.1-
M2.3) menunjukkan ikan tidak terinfeksi KHV; M = marker DNA; K (-) dan K
(+) 8 merupakan kontrol negatif dan positif. Pengambilan sampel insang
berasal dari 5 ekor ikan dipool menjadi satu untuk kemudian diproses untuk
pemeriksaan dengan metoda PCR.
206
Respon imunitas ikan koi hasil vaksinasi
Hasil uji efikasi vaksin dapat dievaluasi melalui respon peningkatan
daya tahan tubuh. Respon daya tahan tubuh yang diamati meliputi total
leukosit dan indeks fagositosis.
Total leukosit
Hasil pengamatan rataan total leukosit pada masing-masing perlakuan
tertera pada Tabel 1, dimana total leukosit pada perlakuan Vaksinasi (A)
sebesar 23.450-60.450sel/mm3, sedangkan pada Kontrol (B) sebesar 16.550-
39.550 sel/mm3. Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa total leukosit pada
perlakuan vaksin lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian vaksin bersifat imunogenik sehingga berhasil meningkatkan
respon pertahanan selular ikan berupa peningkatan sel leukosit. Pola perubahan
nilai leukosit selama masa vaksinasi dan uji tantang terlihat pada Gambar 2.
207
60000
Indeks fagositosis
Hasil pengamatan indek fagositosis tertera pada Tabel 2, pada perlakuan
vaksinasi A dan kontrolsecara berturut-turut adalah 9-32% dan 5-18%. Pola
perubahan indek fagositosis selama masa vaksinasi dan uji tantang terlihat pada
Gambar 3.
209
35
210
vaksinasi; Pada perlakuan vaksinasi respon pertahanan tubuh ikan mampu
mempertahankan nilai indek fagositosis sehingga lebih mampubertahan dalam
menghadapi infeksi KHV yang terjadi.
Gejala klinis
Hasil pengamatan tingkah laku dan gejala klinis pada kelompok ikan
yang divaksin selama masa proses induksi kekebalan tubuh awal proses
vaksinasi hingga bulan hari ke-45(pasca vaksinasi) terlihat bahwa secara umum
dapat dikatakan cukup sehat dan normal. Kondisi yang sama terjadi pula pada
kelompok ikan kontrol selama periode tersebut semuanya tampak sehat dan
normal.
Setelah melewati masa induksi kekebalan selama 45 hari, selanjutnya
ikan diujiketahanannya dengan cara diinjeksidengan KHV hasil pengganasan,
pada kondisi laboratorium(periode uji tantang 21 hari). Hasil pengamatan
gejala klinis dan tingkah laku terhadapikan yang terinfeksi menunjukkan
tingkah laku abnormal seperti nafsu makan menurun, lemah, berenang tidak
terarah, dan megap-megap (umumnya terjadi 5-7 hari setelah injeksi KHV).
Gejala klinis infeksi KHV terutama teramati pada kelompok ikan kontrol/non
vaksin. Beberapa gejala klinis yang teramati meliputi: Pendarahan di sekitar
mata, mulut dan operculum (Gambar 4.K1); Perubahan warna tubuh disertai
pendarahan pada bagian sirip (Gambar4.K1); Kerusakan pada lamella insang,
pendarahan, nekrosa dan akhirnya membusuk (Gambar 4.K2).Mata terlihat
cekung mengalami pendarahan, terdapat ekses lendir, kulit melepuh, serta
geripis pada ujung sirip (Gambar 4.K1). Sebaliknya pada ikan yang divaksin
walaupun sejumlah 23,33% dari populasi mati, namun sebagian besar ikan
kondisinya relatif sehat (Gambar 4. V1 dan 4.V2).
Gambar 4. Gambaran gejala klinis ikan mas yang terinfeksi Koi Herpes
Virus (KHV) saat uji tantang di laboratorium; Ikan bervaksin
yang selamat dari uji tantang tampak menunjukan kondisi tubuh
relatif sehat (V1, V2). Sebaliknya pada ikan non vaksin terlihat
warna tubuh abnormal (K1); Pendarahan di sekitar mata, mulut
211
dan operculum ditunjukan anak panah pada gambar K1.Ekses
lendir hampir di seluruh permuakaan tubuh, kulit melepuh,
kerusakan pada lamella insang, pendarahan, nekrosa dan akhirnya
busuk (K2).
Hasil Sintasan ikan koi hasil vaksinasi setelah proses uji tantang
Evaluasi keampuhan vaksin Gp-KHV yang diberikan pada ikan koi
dapat dilakukan dengan menilai ketahanan tubuh ikan terhadap infeksi KHV
yang virulen (uji tantang). Proses uji tantang tersebut dilakukan dengan cara
meninfeksikan KHV yang telah diganaskan (secara injeksi) terhadap ikan koi
yang telah divaksin. Proses uji tantang ikan hasil vaksinasi dilakukan setelah 2
bulan masa pemeliharaan.Sintasan ikan pasca uji tantang selengkapnya tertera
pada Tabel 3.
N Perla U Ʃ Ʃ Sinta
o. kuan langan Awal Akhir san (%)
(ekor) (ekor)
A: 1 30 25 83,33
1Vaksin
2 30 21 70
3 30 23 76,67
Rataan 76,67
1 30 10 33,33
2 30 6 20
B:
2Kontrol 3 30 8 26,67
Rataan 26,67
212
metoda tersebut tetap dipilih sebagai metoda vaksinasi pada benih calon induk
ikan mas. Dosis vaksin yang digunakan pada calon induk dengan kisaran
bobobt 100-150 g/ekor adalah sebanyak 3 dosis vaksin (3 x 12,5 ug/0,1
ml/ekor). Pelaksanaan vaksinasi dilakukan di Stasiun Kolam Air Deras
BBPBAT Sukabumi. Hasil penerapan vaksin untuk benih calon induk tertera
pada Tabel 4.Sebagai tambahan dilakukan pula uji multilokasi penerapan
vaksin DNA Gp-KHV bentuk plasmid di beberapa pembudidaya dan instansi
binaan BBPBAT Sukabumi. Penerapan vaksinasi vaksin Gp-KHV bentuk
plasmid pada calin ikan Mas dan Koi disajikan pada Gambar 5.
213
Tabel 4. Data PenerapanVaksin Plasmid DNA Glikoprotein-KHV pada
calin Koi
Ʃ calon induk Ʃ Dosis Tempat/
Bulan (Ekor) vaksin Wadah
Maret 501 (aplikasi 3 1.500 Pokja. Koi,
dosis) BBPBAT Sukabumi
Mei 930 (aplikasi 3 2.790 Pokja Koi, BBPBAT
dosis) Sukabumi
Mei 143 (aplikasi 3 429 Pokja Koi, BBPBAT
dosis) Sukabumi
Juli-oktober 33 (aplikasi 3 99 Pokja Koi, BBPBAT
dosis) Sukabumi
Oktober 8 ( 3 dosis) 24 Pembudidaya, Blitar
November 650 (aplikasi 3 1.950 Pokja Koi, BBPBAT
dosis) Sukabumi
November 8 ( 3 dosis) 24 BBI Cikoneng,
Bandung
Penerapan vaksin dalam bentuk bakteri E.coli berisi Gp-KHV pada benih
sebar koi
Berdasarkan hasil pengujian (butir 3.2), penerapan vaksin Gp-KHV
pada benih sebar koi dengan metoda perendaman menggunakan suspensi
bakteri E. coli (berisi Gp-KHV) pada konsentrasi 107 CFU. Penerapan vaksin
dilakukan pada benih sebar ikan koi yang dihasilkan oleh kelompok kerja ikan
koi BBPBAT Sukabumi. Pelaksanaan vaksinasi dilakukan di BBPBAT
(hatchery koi). Kegiatan vaksinasi melibatkan perekayasa, litkayasa, PHPI dan
pembudidaya. Hasil penerapan vaksin untuk benih sebar tertera pada Tabel 5.
Perlakuan
N Jumlah Jumlah Sintasan Lokasi
No tebar panen (%) pemeliharaan
(ekor) (ekor)
Vaksin
1 Kolam
perendaman 15.000 11.172 74,48 BBPBAT
Sukabumi
Vaksin
2 Kolam
perendaman 15.000 11.526 76,84 BBPBAT
Sukabumi
214
Vaksin
3 Kolam
perendaman 15.000 10.584 70,56 BBPBAT
Sukabumi
Vaksin
4 Sudajaya,
perendaman 10.000 7.425 74,25 Pembudidaya
binaan
Non
5 vaksin Sudajaya,
(Kontrol) 10.000 5.251 52,51 Pembudidaya
binaan
Total
Penerapan 55.000
Vaksinasi
Ket: Penebaran ukuran 8-12 cm; lama pemeliharaan 3 bulan (September-
November 2013)
KESIMPULAN
Pemberian vaksin dengan metodaperendaman suspensi E. coli yang
berisi glikoprotein-KHVdengan konsentrasi 107 CFU mampu meningkatan
kekebalan ikan koi terhadap infeksi KHV. Sintasan pemeliharaan pada
perlakuan vaksinasi sebesar 76,67%, sedangkan pada kontrol (non vaksin)
sebesar 26,67%. Dengan demikian aplikasi vaksin dengan metoda
perendamandapat digunakan sebagai alternatif metoda vaksinasi (selain
metoda injeksi). Penerapan vaksin DNA Gp-KHV dalam bentuk plasmid telah
dilakukan pada 2.273 ekor calon induk koi. Sementaran itu penerapan vaksin
yang sama dalam bentuk rendaman suspensi E. coli yang berisi glikoprotein-
KHV telah diplikasikan pada 55.000 ekor benih sebar koi.
Hasil pemeliharaan benih bervaksin (bentuk suspensi pellet E. coli yang
berisi Gp-KHV) memberikan nilai sintasan 70,56-76,84%, sedangkan kontrol
52,51% dan biaya per dosis vaksin sekitar Rp 13,2/dosis/ekor benih. Biaya
tersebut 72 kali lebih murah daripada vaksin bentuk plasmid DNA Gp-KHV.
Namun demikian nilai sintasan yang diperoleh masih lebih rendah dari efikasi
vaksin DNA dalam bentuk plasmid (80-90%) (Santika et al. 2011).
215
Upaya perbaikan teknik pemberian vaksin DNA dengan metoda
perendaman masih perlu dilakukanuntuk meningkatkan nilai sintasan yang
dihasilkan. Selain itu konsistensi keberhasilan vaksin DNA Gp-KHV, masih
memerlukan beberapa uji multilokasi di beberapa tempat/sentra budidaya ikan
koi.
Aplikasi vaksinasi perlu memperhatikan beberapa persyaratan seperti:
(1) Kondisi kesehatan ikan sebelum divaksin harus berada dalam kondisi yang
terbaik (2) Riwayat kesehatan ikan yang divaksin sebaiknya harus diketahui
bahwa ikan belum pernah terinfeksi KHV (3) Masa induksi kekebalan ikan
setelah proses vaksinasi minimal 3-4 minggu (4) Umur ikan yang divaksin
minimal lebih dari 3 bulan relatif memberikan hasil yang lebih baik
Pemberian vaksin DNA Gp-KHV dalam bentuk pellet bisa
dikombinasikan dengan pemberian imunostimulan sehingga bisa lebih
meningkatkan sintasan seperti pada pemberian vaksin dalam bentuk plasmid.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson DP. Siwicki AK. 1993. Basic Haernatology and Serology for Fish
Health Program. Paper Presented. In Second Symposium on
Diseases in Asian Aquaculture "Aquatic Animal Health and the
Environment" Phuket, Thailand. 25-29'h October 1993. 17 ps.
Gatta PG, Thompson KD, Smullen R, Piva A, Testi S and Adams A. 2001.
Dietary organic organic chromium supplementation and its effect on
the immune response of rainbow trout (Onchorinchus mykiss). J Fish
& Shellfish Immunology (2001) 11, 371-382.
Gray, W.L., L. Mullis, S.E. LaPatra, J.M. Groff and A. Goodwin. 2002.
Detection of koi herpesvirus DNA in tissues of infected fish. Journal
of Fish Disease, 25: 171-178.
216
Hastuti S. 2004. Respon Fisiologis Ikan Gurami (Osphronemus gouramy, Lac)
yang Diberi Pakan Kromium-ragi Terhadap Penurunan Suhu
Lingkungan (Disertasi). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Hedrick RP, Gilad 0, Yun S, Spangerberg JV, Marty GD, Nordhausen RW,
Kebus MJ, Bercovier H and Eldar A. 2000. A herpesvirus associated
with mass inortality of juvenile and adult koi, a stain of common
carp. American Fisheries Society. Journal of Aquatic Animal Health
12 : 44-57
Hedrick, 0 Gilad, Yun SC, Mc dowell TS, Waltzed TB, Kelley 60 and Adkison
MA. 2005. Initial isolation and characterization of a herpes-like virus
(khv) from koi and common carp. Bulletin of Fisheries Research
Agency, Yokohama, Japan 86 : 1-7.
Ornamental aquatic trade association (OATA). 2001. Koi Herpes Virus (KHV).
United Kingdom.
217
Taukhid, A. Sunarto, I. Koesharyani, H. Supriyadi dan L. Gardenia. 2005. Strategi
pengendalian penyakit Koi Herpes Virus (KHV) pada ikan mas dan
koi. Serial Bunga Rampai: Strategi Pengelolaan dan Pengendalian
Penyakit KHV, suatu upaya pemecahan dalam pembudidayaan ikan air
tawar. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal. 41-60.
218
TEKNIK INKUBASI LARVA IKAN HIAS ARWANA HIJAU
(Scleropages macrocephalus)FASE KUNING TELUR SECARA IN
VITRODENGAN SISTEM HEMAT AIR
ABSTRAK
219
dengan bantuan bakteri diurai menjadi nitrat yang tidak berbahaya bagi
kualitas air media inkubasi.
Hasil yang diperoleh yaitu : suhu optimal untuk inkubasi larva
arwana hijau fase kuning telur adalah 29 0 C; sintasan larva selama
inkubasi yaitu 100 % dan wadah inkubasi yang telah dibuat
direkomendasikan untuk digunakan dalam kegiatan inkubasi larva
arwana hijau berikutnya karena lebih efektif dan efisien (tidak perlu
ganti air).
PENDAHULUAN
220
BAHAN DAN METODE
221
Setelah semua wadah inkubasi selesai disusun dan diisi air 1 minggu
sebelum larva kuning telur diinkubasi. Pada kegiatan ini, suhu yang digunakan
adalah 280 C, 290 C dan 300 C. Air yang digunakan berasal dari sumber air yang
ada di BBAT Jambi (air rawa) yang sudah diendapkan dan difilter dengan filter
fisik di bak penampungan air.
Selama masa inkubasi dilakukan pengamatan kualitas air dan
perkembangan larva melalui metode sampling yang dilakukan setiap
minggunya.
Setelah kuning telur habis, larva dapat berenang bebas dan mulai
mendapatkan nutrisi dari luar maka larva tersebut dapat dipanen untuk
kemudian dipelihara dalam akuarium / bak pendederan.
Sampling larva dilakukan satu minggu sekali sampai larva habis kuning
telur dan bisa berenang bebas.
Parameter yang diuji dalam kegiatan ini adalah kualitas air,
pertumbuhan (diameter kuning telur, panjang dan bobot larva, laju penyerapan
kuning telur) dan tingkat kelangsungan hidup larva.
Analisis data dilakukan dengan deskriptif, yaitu disajikan dalam bentuk
tabel dan grafik.
222
Tabel 2. Rerata diameter kuning telur
Tanggal
Perlakuan Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke-
1 2 3 4
28oC 1.2 cm 1.1 cm 0.7 cm Habis
29oC 1.2 cm 1.0 cm 0.6 cm Habis
30oC 1.2 cm 0.9 cm 0.5 cm Habis
Kontrol 1.2 cm 1.1 cm 0.8 cm 0.3 cm
Kontrol 50 %
Pada suhu yang lebih tinggi, metabolisme tubuh berjalan lebih cepat
sehingga meningkatkan laju penyerapan kuning telur. Hal tersebut dibuktikan
pada pengamatan diameter kuning telur pada saat panen dimana larva ikan
arwana yang diinkubasi dengan media bersuhu 28 o C, pada minggu ke-3
memiliki rerata diameter telur sebesar 0.7 cm, sedangkan pada suhu 29 oC rerata
diameter telurnya adalah 0.6 cm. Pada suhu 30o C rerata diameter telurnya
adalah 0.5 cm. Pada minggu ke-4, didapatkan larva ikan arwana dengan
kondisi kuning telur yang sudah habis. Lama waktu habis kuning telur pada
inkubasi larva ini adalah 30 hari.
Rerata kelangsungan hidup selama inkubasi larva adalah 100 %, dan
diperoleh total larva yang sudah habis kuning telur berukuran 6,5 - 7,0 cm
sebanyak 98 ekor. Kelangsungan hidup larva pada wadah kontrol sebesar 50%,
didapatkan beberapa larva mati dengan kondisi kuning telur yang pucat dan
kemudian pecah. Selama inkubasi larva, tidak dilakukan pergantian air dan
larva tidak diberi makan karena masih mengandung kuning telur. Data kualitas
air selama inkubasi larva, diperlihatkan pada Tabel 4 sebagai berikut :
223
Tabel 4. Rerata kualitas air selama inkubasi larva
Minggu-1 Minggu-2 Minggu-3 Minggu-4
Parameter
Pagi Sore Pagi Sore Pagi Sore Pagi Sore
pH 6.4 6.4 6.5 6.4 6.6 6.6 6.8 6.8
DO 3.1 3.2 3.1 3.2 2.9 3.2 3.5 3.4
Amoniak 0.05 0.06 0.09 0.09
0.1
0.08
0.06
Amoniak
0.04
0.02
0
1 2 3 4
KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat dari kegiatan perekayasaan ini yaitu suhu yang
optimal untuk inkubasi larva arwana yang masih mengandung kuning telur
adalah 290 C. Kelangsungan hidup larva selama inkubasi dalam wadah
resirkulasi sederhana ini yaitu 100 %. Wadah inkubasi yang telah dibuat,
direkomendasikan untuk digunakan dalam kegiatan inkubasi larva arwana
224
berikutnya karena lebih efektif dan efisien (selama inkubasi tidak perlu ganti
air, jadi lebih hemat air).
DAFTAR PUSTAKA
Emilia, SP. 2002. Mengenal lebih dekat arowana si ikan naga. PT. AgroMedia
Pustaka. Jakarta.
225
PENGELOLAAN CALON INDUK IKAN HIAS BOTIA
(Chromobotia macracanthus, Bleeker, 1852) DI KOLAM TERKONTROL
ABSTRAK
Ikan botia merupakan salah satu komoditas ikan hias lokal yang
diminati. Sejalan dengan berkembangnya pasar ikan hias ini,
penangkapan di alam semakin marak. Ikan-ikan mulai dari ukuran larva
(bubuk) sampai induk ditangkap untuk diperjualbelikan dengan harga
yang menjanjikan, sehingga dikhawatirkan dalam beberapa tahun ke
depan ikan ini akan semakin langka ditemukan di alam. Kendala yang
dihadapi sampai saat ini adalah terbatasnya jumlah induk yang ada.
Dalam rangka pengembangan budidaya ikan hias botia di masyarakat,
disamping teknologi pematangan gonad, pembenihan dan pemeliharaan
larva ikan botia, juga diperlukan teknologi pemeliharaan benih calon
induk ikan botia untuk menjamin ketersediaan induk ikan botia
sepanjang tahun sehingga tidak lagi tergantung dari alam. Maka
dilakukan kegiatan pemeliharaan benih calon induk ikan hias botia asal
sungai batanghari yang diadaptasikan dengan lingkungan budidaya
terkontrol yaitu di kolam.
Kegiatan pembesaran dilakukan di kolam berukuran 250 m2. Pakan yang
diberikan terdiri dari pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yaitu
Moina sp, cacing tubifek/ Chironomus sp. dan jentik nyamuk.
Pemberian pakan dilakukan secara at satiation. Sedangkan pakan buatan
yaitu pellet diberikan setiap hari sebanyak dua kali (pagi dan sore).
Feeding rate untuk pakan buatan yaitu pagi 20% dan sore 10% dari
bobot biomassa total.
Pada saat sampling awal calon induk ikan botia diperoleh kisaran bobot
0,12 - 0,90 gram dengan rerata panjang total 3 cm dan rerata bobot 0,32
gram. Setelah sembilan bulan pemeliharaan, diperoleh rerata panjang
total akhir yaitu 5,7 cm dan rerata bobot 2,74 gram. Perlu dilakukan
kegiatan lanjutan yaitu pemeliharaan calon induk ikan botia yang sudah
beradaptasi dengan wadah budidaya (kolam tanah) dan pakan buatan,
dibesarkan sampai menjadi induk. Diharapkan setelah menjadi induk
bisa lebih tahan terhadap perubahan lingkungan dalam wadah budidaya
dan tidak mudah terserang penyakit seperti halnya apabila
mendatangkan induk-induk botia dari alam yang berukuran besar.
KATA KUNCI : pembesaran, calon induk ikan hias botia, kolam
226
PENDAHULUAN
Ikan hias botia (Chromobotia macracanthus, Bleeker 1852) termasuk
genus Chromobotia dalam subfamili Botiinae, diantaranya adalah mempunyai
pola warna yang unik yaitu pita hitam (satu melewati mata dan dua di badan)
pada warna dasar tubuh orange-merah cerah (Kottelat, 2004).
Ikan botia merupakan salah satu komoditas ikan hias lokal yang
diminati. Sejalan dengan berkembangnya pasar ikan hias ini, penangkapan di
alam semakin marak. Ikan-ikan mulai dari ukuran larva (bubuk) sampai induk
ditangkap untuk diperjual belikan dengan harga yang menjanjikan, sehingga
dikhawatirkan dalam beberapa tahun ke depan ikan ini akan semakin langka
ditemukan di alam.
Beberapa lembaga penelitian seperti Balai Penelitian Ikan Hias di Depok
dan Balai Budidaya Air Tawar Jambi sudah berhasil mengembangkan teknologi
pemijahan dan produksi benih ikan botia. Masalah yang dihadapi pada
pembenihan ikan botia adalah induknya masih tergantung dari alam, dan dari
tahun ketahun semakin sulit didapatkan. Selain semakin sulit didapatkan,
penangkapan induk dari alam juga dikhawatirkan akan mempercepat
kelangkaan dan kepunahan ikan ini.
Berdasarkan hal tersebut, BBAT Jambi salah satunya bertugas untuk
menjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya ikan, akan terus
mengembangkan teknologi budidaya ikan botia. Pada tahun 2013 akan terus
mengembangkan teknologi pembenihan ikan botia (melanjutkan kegiatan tahun
sebelumnya) dan melakukan pembesaran benih calon induk ikan botia dari
alam dalam kolam dan hapa.
227
Tabel 1. Jadwal persiapan kolam pendederan
Hari ke- Kegiatan
0 Pengeringan kolam, pembersihan predator dan
kompetitor
1 Pengolahan kolam dan pengapuran ; 100 gr/m2
2 Pemupukan :
Kotoran ayam kering ; 500 gr/m2 dionggokkan di
beberapa tempat dalam kolam (pinggir)
Tepung ikan BS/ Ikan rucah ; 50 gr/m2
Dedak ; 100 gr/m2
Pemasukan air setinggi 40 cm
Pengisian air hijau setinggi 10 cm
3 Pemasukan inokulan rotifera. Monitoring kelimpahan
plankton
4 Monitoring kelimpahan plankton
Pengadukan kotoran ayam yang dionggokan.
5 Monitoring kelimpahan plankton
6 Monitoring kelimpahan plankton
Pengadukan kotoran ayam yang dionggokan
7 Penambahan air jadi 80 – 100 cm
8 Siap tebar benih
228
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada saat sampling awal calin ikan Botia diperoleh kisaran bobot 0,12 -
0,90 gram dengan rerata panjang total 3 cm dan rerata bobot 0,32 gram.
229
Tabel 5. Data sampling tanggal 10 April (hari ke-57)
Hapa/ TL BW Jumlah Rerata Rerata Rerata
SR
Kolam (cm) (gram) Ikan TL BW SR
230
Gambar 4. Grafik pertumbuhan bobot benih calon induk ikan botia
yang dipelihara dalam hapa dan kolam di BBAT Jambi
231
Tabel 6. Laju pertumbuhan bobot dan panjang harian
Wt W0 Ln Wt - Ln W0 LPH (α)
H1000 0,48 0,32 0,40 22,96
H2000 0,52 0,32 0,48 27,23
Kolam 1,31 0,32 1,41 80,15
Tt T0 Ln Tt - Ln T0 LPH (α)
H1000 3,37 3 0,12 6,56
H2000 3,41 3 0,13 7,38
Kolam 4,49 3 0,40 23,02
232
Parameter kualitas air selama pemeliharaan di kolam masih dalam
kisaran yang baik untukbudidaya.
Tabel 7. Kisaran kualitas air selama pemeliharaan
Dari hasil kegiatan, terlihat bahwa pemeliharaan calon induk ikan botia
di kolam lebih baik jika dibandingkan di hapa, baik dengan kepadatan 1.000
ekor maupun 2.000 ekor per hapa. Hal ini disebabkan selain faktor kepadatan
ikan dalam wadah pemeliharaan yang tentunya juga berpengaruh pada
kompetisi dalam mendapatkan pakan. Kelimpahan pakan alami di luar hapa
dengan kepadatan ikan yang ditebar sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
bobot dan panjang ikan. Hal lain yang menyebabkan pemeliharaan di hapa
hasilnya kurang bagus dibandingkan di kolam karena semakin lama lubang-
lubang hapa tertutup oleh lumut yang menyebabkan sirkulasi pakan alami dan
air juga kurang maksimal, meskipun dalam pemeliharaan setiap hari juga
diberikan pakan buatan (pellet).
Kegiatan dilanjutkan dengan pemeliharaan semua calon induk ikan botia
di kolam. Pertumbuhan calon induk ikan botia selama pemeliharaan di kolam
adalah sebagai berikut :
233
Gambar 9. Rerata pertumbuhan bobot (gram) calon induk ikan botia di
kolam
KESIMPULAN
Dari percobaan ini, pemeliharaan calon induk botia di kolam secara
umum hasilnya lebih baik jika dibandingkan di hapa dengan kepadatan 1.000
ekor dan 2.000 ekor. Data hasil pemeliharaan dikolam dan hapa selama 57 hari
yaitu,
Laju Pertumbuhan
Sintasan
Panjang Bobot Harian
Bobot Panjang
H-1000 3,37 0,48 81,63
22,96 6,56
H-2000 3,41 0,52 27,23 7,38 64,05
Azwar, Z.I. dan T. Ruchimat., 1999. Aplikasi hormonal untuk reproduksi ikan
dalam menunjang upaya pemuliaan. Prosiding Symposium V
Perhimpunan Ilmu Pemulaiaan Indonesia (PERIPI-JATIM).
Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya,
hal.311-322.
235
Legendre, M., J. Subagja, D. Day, Sularto dan J. Slembrouck., 2002. Evolution
saisonniere de la maturite sexuelle et reproduction induite de
Pangasius djambal et de Pangasius nasutus. Rapport au MAE sur le
programme des poisons chats (Siluriformes, Pangassiidae) a
Sumatra et Java (Indonesia), p. 6-33.
Mills, D., 1992. Tropical Aquarium Fishes How to Keep Freswater Fish.
Published by Chancellor Press Michelin House, 81 Fulham Road
London sw3 6rb.
Takeuchi, T., 1996. Essensial fatty acid requirement in carp. Arch Anim. Nutr.,
(49):23-32.
236
APLIKASI PAKAN BUATAN PADA USAHA PENDEDERAN
ABALONE(Haliotis squamata)
ABSTRACT
237
PENDAHULUAN
Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahuiprospek penggunaan
pakan buatan (pellet dan agar) dalam pendederan benih abalone (Haliotis
squamata).
238
BAHAN DAN METODE
239
dengan ukuran 20x20x5 cm dan dibiarkan hingga mengeras lalu disimpan
dalam lemari pendingin. Sebelum diberikan sebagai pakan untuk abalone, agar
dipotong dengan ukuran 1 cm.
Tabel 2. Komposisi bahan pakan buatan (agar)
Bahan Jumlah
Tepung Udang 100 gram
Tepung Ikan 100 gram
Minyak Ikan 20 gram
Tepung Kedelai 50 gram
Tepung Jagung 75 gram
Tepung Singkong 75 gram
Agar – agar dan nutrijel 34 gram
Vitamin C 4 gram
Instan Alga 30 gram
Astaxanthin 1 gram
Pengawet makanan 4 gram
Binder 5 gram
Air 1500 ml
Pemberian Pakan
Pemberian pakan pada benih abalon dilakukan dua kali setiap hari yaitu
pada pagi dan sore hari sebanyak 5% pakan buatan agardan 3% peletdari berat
total biomassa. Pakan yang tersisa ditimbang, untuk mengetahui total pakan
yang dikonsumsi.
240
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan
Tabel 3. Berat (g), panjang (cm) dan Pertumbuhan Mutlak benih abalone
selama percobaan
Sampling ke - Berat (g) Panjang (cm)
PA PP PA PP
1 8.222 8.169 3.64 3.53
2 8.521 8.490 3.75 3.67
3 8.741 8.627 3.86 3.82
4 9.248 8.992 3.93 3.92
5 9.940 9.466 4.04 4.00
Laju Pertumbuhan 1.719 1.297 0.4 0.47
Laju Pertumbuhan
0.316 0.245 0.174 0.208
Spesifik (SGR)
Keterangan :
PA : Pakan Agar
PP : Pakan Pellet awabi
241
2
1.5
1 Pakan Pellet
0.5 Pakan Agar
0
Berat (g) Panjang (cm)
Laju pertumbuhan spesifik berat lebih tinggi pada benih abalone yang
diberi pakan buatan agar sedangkan laju pertumbuhan spesifik panjang lebih
tinggi pada benih abalone yang diberi pakan pellet awabi, meskipun
perbedaannya tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pakan buatan
berupa agar, lebih cepat dicerna dan dimanfaatkan oleh abalone untuk
pertumbuhan daripada pakan pellet awabi. Sedangkan kandungan kalsium yang
lebih tinggi pada pellet awabi memberikan pertumbuhan cangkang abalone
(panjang) yang lebih baik daripada pakan agar.
243
15
10
Pakan Agar
5
Pakan Pellet
0
FCR Efisiensi Pakan
Kualitas Air
Pengukuran kualitas air dilakukan seminggu sekali. Parameter kualitas
air yang diukur adalah suhu, DO (Disolved Oxygen), salinitas dan pH. Hasil
pengukuran kualitas adalah suhu rata-rata yakni 28,6 0C seperti yang
disampaikan Irwan (2006), suhu yang optimal untuk abalon berkisar 24-300C.
Nilai pH rata-rata 7 sama halnya dengan pernyataan Fuadi (2007) bahwa nilai
pH air yang normal adalah netral, yaitu antara ph 6 sampai pH 8. Nilai salinitas
rata-rata pada 35 ppt di dukung oleh pernyataan Setiawati dkk., (1995) bahwa
abalon dapat tumbuh pada kisaran salinitas 35-37 ppt; 33-35 ppt (Fallu, 1991).
Nilai DO rata-rata 4,8 mg/l. Setyono (2009) melaporkan bahwa nilai DO 3,27-
6,26 ppm; 3-4 (Fallu, 1991). Nilai suhu, pH, salinitas dan DO pada kegiatan
pendederan ini sudah termasuk dalam kisaran normal.
244
KESIMPULAN
Kesimpulan
a) Laju pertumbuhan spesifik berat lebih tinggi pada pemeliharaan benih
abalone (Haliotis squamata) dengan pemberian pakan agar
dibandingkan dengan pellet (awabi)
b) Tingkat kelangsungan hidup benih abalone pada pemeliharaan dengan
pemberian pellet lebih tinggi dibandingkan dengan pakan agar, namun
tidak berbeda secara signifikan.
c) Tingkat konversi pakan (FCR) dan efisiensi pakan paling baik adalah
pakan pellet (awabi).
Saran
Perlu ada usaha pembuatan pakan buatan (pellet) dengan komposisi
yang sama dengan pellet (awabi), dengan menggunakan bahan lokal sehingga
lebih efisien dalam biaya produksi.
245
DAFTAR PUSTAKA
Fallu, R., 1991. Abalone Farming. Fishing News Books. Oxford Ox2 OEL.
England. hal:37
Fuadi,2007. Faktor Fisika-Kimia
Air.http://letsbelajar.blogspot.com/2007/08/faktor-fisika-kimia-air.html.
hal:8
Hamzah, M.S., 2009. Pengaruh Suhu dan Salinitas Yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anakan Abalon. Makalah Hasil
Penelitian. LIPI. Mataram. hal:4
Irwan, J.E., 2006. Pengembangan Budidaya Abalon (Haliotis asinina L.)
Produksi Hatchery di Indonesia. Jurusan Perikanan, UNHALU,
Kendari, Sulawesi Tenggara. hal:21
Setyono, D.E.D. 2009. Abalone Biologi dan Reproduksi.LIPI Press.
Jakarta.hal: 1-25.
Setiawati, K.M., Yunus, I. Setyadi dan R. Arfah, 1995. Pendugaan Musim
Pemijahan Abalon di Pantai Kuta Lombok Tengah. J. Pen. Perik.
Indonesia, 3:124-129
Susanto, B., I. Rusdi., S. Ismi dan R. Rahmawati, 2010. Pemeliharaan Yuwana
Abalon (Haliotis squamata) Turunan F-1 Secara Terkontrol Dengan
Jenis Pakan Berbeda. J.Ris.Aquakultur. Vol.5. No.2.hal:199-202.
246
PEMANFAATAN TELUR IKAN KERAPU INFERTIL
PADA PEMBESARAN IKAN HIAS LAUT
ABSTRAK
247
PENDAHULUAN
248
budidaya.Oleh karena itu, aspek nutrisi dalam pakan ikan mendapatperhatian
yang cukup besar oleh para ahli dan juga usahawan.Selain itu, pakan
jugamerupakan komponen biaya operasional yang cukup besar dalam kegiatan
budidaya, sehinggaperlu diperhitungkan efisiensinya. Oleh karena pertumbuhan
ikan sangat dipengaruhi oleh faktor makanan dan biaya untuk pakanmerupakan
komponen terbesar dalam operasional budidaya.
Salah satu aspek penting dalam produksi benih yaitu produksi telur yang
fertile supaya dapat menghasilkan larva dengan sintasan dan pertumbuhan yang
tinggi. Kandungan nutrisi pada pakan yang diberikan dapat berpengaruh
terhadap produksi telur yang dihasilkan. Pada ikan teleostei, banyaknya nutrisi
berhubungan dengan banyak faktor seperti rasio pakan, tingkatan nutrisi dan
komposisi yang telah diketahui berpengaruh terhadap berbagai macam
parameter reproduksi seperti perkembangan gonad, kualitas dan kuantitas telur,
keberhasilan pemijahan, daya tetas dan kualitas larva. Umumnya pakan yang
diberikan adalah pakan buatan (pellet) dan artemia dewasa. Masing-masing
memiliki kandungan nutrisi yang berbeda dan dibutuhkan bagi induk ikan
untuk mampu melakukan reproduksi.
Telur ikan adalah bahan makanan yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia. Telur Ikan mengandung energi sebesar 398 kilokalori,
protein 16,7 gram, karbohidrat 4,5 gram, lemak 34,8 gram, kalsium 235
miligram, fosfor 544 miligram, dan zat besi 25,2 miligram. Selain itu di dalam
Telur Ikan juga terkandung vitamin A sebanyak 0 IU, vitamin B1 0,3 miligram
dan vitamin C 0 miligram. Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian
terhadap 100 gram Telur Ikan, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak
100 %.
Telur infertil merupakan telur yang tidak terbuahi pada saat terjadinya
pemijahan ikan laut dan tidak bisa dimanfaatkan. Dari total produksi telur
kerapu di Balai Budidaya Laut Ambon yang mencapai 20-30 juta butir
perbulan, 10-15 % diantaranya merupakan telur infertil yang tidak
termanfaatkan. Namun seiring dengan berkembangnya pembenihan ikan hias
laut di BBL-Ambon yang mencapai 12 spesies ikan, diperlukan pakan yang
dapat mempercepat pertumbuhan dan sintasan sehingga adanya peningkatkan
produksi. Alternatif yang diambil adalah memanfaatkan telur-telur kerapu yang
infertil sebagai pakan pada pembesaran ikan hias laut tersebut.
Adapun tujuan dilakukan kegiatan ini adalah untuk mengkaji pengaruh
telur kerapu infertil terhadap pertumbuhan benih ikan hias laut dengan sasaran
adanya pengurangan biaya operasional dalam kegiatan budidaya ikan hias laut.
249
BAHAN DAN METODE
Telur-telur hasil pemijahan ikan kerapu yang ada pada kolektor telur,
diambil yang infertil atau yang mengendap didasar wadah penampungan telur.
Kemudian diberikan pada benih ikan hias laut blue devil (Chrysiptera cyanea)
dan ikan nemo biasa (Amphiprion sp.) sebanyak 1000 butir untuk 100 ekor
ikan. Sedangkan ikan hias laut pada wadah yang lainnya diberi pakan pelet
sebagai pembanding.
Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan dimensi suatu organisme
yang dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pengukuran
pertumbuhan ikan uji dengan menghitung pertambahan berat biomassa dalam
satu wadah (Matondang, 1994 dalamMartuti, 1989), yaitu :
W = Wt-Wo
Keterangan:
W = Pertumbuhan biomassa mutlak ikan uji (g)
Wt = Biomassa ikan uji pada akhir penelitian (g)
W0 = Biomassa ikan uji pada awal penelitian (g)
Logaritma dari persamaan tersebut di atas merupakan regresi linier
dimana "g" merupakan koefisien arahnya. Jadi laju pertumbuhan
"instantaneous growth (g)" didapat dari regresi linier persamaan berikut:
250
Ln Wt = Ln Wo+gt
Keterangan:
Wt = Biomassa ikan uji pada akhir penelitian (g)
Wo = Biomassa ikan uji pada awal penelitian (g)
g = Koefisien laju pertumbuhan
t = Lama penelitian (minggu).
Selama proses penelitian dilakukan pengamatan jumlah larva mandarin
fish yang mati dan jumlah larva mandarin fish yang masih hidup, sehingga
dapat dihitung prosentase kematian dan kelangsungan hidup larva mandarin
fish (menurut Chapman, 1968 dalam Martuti, 1989) menggunakan rumus:
S = (1 – Z)x100
Keterangan:
S = Kelangsungan hidup (%)
Z = Koefisien laju kematian, dihitung dengan rumus Z = ln No – ln
Nt/t
No = Jumlah larva mandarin fish yang hidup pada awal pengamatan
Nt = Jumlah larva mandarin fish selama periode pengamatan
t = Waktu (minggu)
251
6
4 BDPTI
Panjang
(cm)
3 BDPP
2 CFPTI
CFPP
1
0
1 2 3 4 5
Pengukur
Gambar 1. Pola Pertumbuhan Ikan Hias Laut Berdasarkan Pertambahan
Panjang Tubuh
252
dengan pakan alami seperti rotifer dan artemia yang sering diberikan kepada
ikan hias laut dari segi bau dan rasa yang lebih natural dan mudah dicerna
disamping kandungan nutrisi yang ada didalam telur ikan tersebut. Menurut
Chumaidi et al., (2009) kandungan nutrisi pakan alami terutama asam lemak
tak jenuh berkaitan dengan sintasan dan pertumbuhan panjang. Selanjutnya
Steffen (1997) menyatakan bahwa asam linoleat, asam linolenat dan EDA pada
pakan alami berfungsi sebagai bahan pembentuk hormon yang penting dalam
proses metabolisme ikan. Walaupun dari perbandingan kandungan protein,
pakan pelet memiliki kandungan yang lebih tinggi (40%) bila dibandingkan
dengan protein telur ikan yang hanya 16,7%, namun dari kandungan lemak
telur ikan mempunyai kandungan yang lebih tinggi (34,8%) dari pelet yang
diberikan (13%). Arif dan Adiwinata (2008) menyatakan bahwa nutrien yang
tidak kalah penting adalah lemak. Lemak dalam pakan dapat menjadi sumber
energi dan sumber asam lemak essensial. Hal ini senada dengan Suprayudi et
al. (2002a) yang menyatakan bahwaDHA mempunyai pengaruh yang lebih
besar dibandingkan dengan EPA dalam mempercepat perubahan bentuk,
pigmentasi, kelangsungan hidup dan pertumbuhan Selanjutnya, Giri et al.
(1999) meyatakan bahwa kebutuhan lemak untuk ikan kerapu mencapai 9%-
125%. Untuk kebutuhan lemak dan profil asam lemak larva ikan–ikan laut
dibutuhkan kandungan lemak yang lebih tinggi dengan DHA/EPA rasio
mendekati 2.0 (Sargent et al., 1997).
Kelangsungan hidup (SR) yaitu persentase jumlah benih ikan yang
masih hidup setelah perlakuan (Zonneveld dkk., 1991). Kelangsungan hidup
berfungsi untuk menghitung persentase ikan yang hidup pada akhir kegiatan.
Pada kegiatan ini kelangsungan hidup ikan hias laut untuk semua perlakuan
adalah 93-96%. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh manajemen
pemberian pakan yang teratur serta pengontrolan yang dilakukan tiap hari serta
padat tebar yang tidak terlalu tinggi sehingga ada ruang dan pergerakan yang
leluasa dari ikan tersebut.Menurut Fajar (1988) dalam Sukoso (2002) tingkat
kelangsungan hidup ikan dipengaruhi oleh manejemen budidaya yang baik
antara lain padat tebar, kualitas pakan, kualitas air, parasit atau penyakit. Selain
itu menurut Mudjiman (2000) pakan yang mempunyai nutrisi yang baik sangat
berperan dalam mempertahankan kelangsungan hidup dan mempercepat
pertumbuhan ikan.
Analisa usaha secara umum ditetapkan dengan tujuan untuk menilai
manfaat investasi terhadap suatu usaha yang dilakukan, membandingkan
tingkat manfaat investasi terhadap suatu usaha dengan usaha lainnya, dapat
digunakan sebagai kendali terhadap investasi usaha yang dijalankan. Dan
berdasarkan hasil analisa kelayakan usaha kegiatan pemafaatan telur kerapu
infertil diperoleh Return of investasi (ROI) 144% dan benefit cost ratio (B/C)
ratio 2,44. ROI adalah nilai keuntungan yang diperoleh pengusaha dari setiap
253
jumlah uang yang diinvestasikan dalam periode waktu tertentu. dengan analisis
ROI dapat mengukur sampai seberapa besar kemampuan dalam
mengembalikan modal yang telah ditanamkan. Dengan ROI 144% artinya dari
modal Rp 100,- yang diinvestasikan akan menghasilkan keuntungan sebesar
144 %. Dengan benefit cost ratio dapat dilihat kelayakan suatu usaha. Bila
nilainya satu berarti usaha tersebut belum mendapatkan keuntungan. semakin
kecil nilai ratio ini, makin besar kemungkinan perusahaan menderita kerugian.
Dan B/C ratio 2,44 berarti dengan biaya produksi Rp. 100,- diperoleh hasil
penjualan 2,44 kali. Sedangkan yang menggunakan pelet diperoleh ROI 0,80%
dan B/C ratio 1,80 kali. Perbandingan hasil yang diperoleh ini dapat
disimpulkan penggunaan telur kerapu infertil dapat menekan biaya 20-30%.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Giri, N.A., K. Suwirya dan M. Marzuqi, 1999. Kebutuhan Protein, Lemak dan
Vitamin C untuk Yuwana Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis).
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 4(3) : 38-45.
254
Ignatius, Boby., G. Rathore, I. Jagadis., D. Kandasami and A.C.C. Victor.
2001. Spawning and larval rearing technique for tropical clown fish
Amphiprion sebae under captive condition. Journal of Aquaculture in
the Tropics. 241-249.
http://www.genchembiotech.com/index.php/zh/homepage/aquaculture-
hatchery/product/27-pufa-emulsion
http://www.indonesianaquaculture.com/showthread.php/190-Aplikasi-
Probiotik-dan-Metodenya.
Sargent JR, McEvoy LA, Bell JG. 1997. Requirement, presentation and sources
of polyunsaturated fatty acids in marine fish larval feeds. Aquaculture
155:117-127.
Sargent JR, McEvoy LA, Estevez A, Bell JG, Bell M, Henderson J, Tocher
D.1999. Lipid nutrition of marine fish during early development:
currentstatus and future direction. Aquaculture 179: 217-229.
255
KELAYAKAN USAHA PEMBESARAN ABALONE Haliotis squamataDI
KARAMBA JARING APUNG
ABSTRACT
256
PENDAHULUAN
Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha budidaya
abalone di KJA ditinjau dari Aspek teknis dan analisa usaha/finansial.
257
BAHAN DAN METODE
258
Laju Pertumbuhan
Data sampling pengukuran panjang cangkang dan berat benih abalon
tiap bulan selama pemeliharaan disajikan pada Tabel 1
Tabel 1. Pertumbuhan panjang dan berat rata-rata benih abalone Haliotis
squamata serta SR selama 12 bulan pemeliharaan.
Bulan ke- Berat Rata-rata Panjang Rata-rata Kelulushidupan
(gr) (cm) (SR%)
1 (Tebar) 3.8 2.1 100.00
2 7.2 2.34 99.69
3 11.1 2.58 99.49
4 13.3 2.83 98.29
5 16.6 3.07 96.69
6 21.2 3.32 93.49
7 26.5 3.56 91.09
8 30.5 3.8 87.40
9 35.3 4.05 81.60
10 36.1 4.3 81.09
11 37.2 4.56 80.09
12 (Panen) 43.9 4.82 80.00
60
50 4.82
4.56
4.054.3
40 3.8
3.56
30 3.32
3.07
20 2.582.83 Panjang
10 2.1 2.34
rata-rata
0 (cm)
5
2
3
4
6
7
8
9
10
11
12
Bulan ke- 1
259
Berdasarkan tabel.1 dan gambar 1 diatas pada kolom berat rata-rata
diketahui bahwa benih abalone H. squamata tumbuh dari berat rata-rata 3,8
gram/ekor menjadi 43,1 gram/ekor dalam waktu pemeliharaan 12 bulan.
Dengan demikian rata-rata laju pertumbuhan harian (Daily Growth Rate)
sebesar 111 mg/hari. Sedangkan pada kolom panjang rata-rata, benih abalone
H. squamata dapat terlihat penambahan dari ukuran tebar 2,1 cm menjadi 4,82
cm dengan waktu pemeliharaan yang sama, mengalami laju pertumbuhan
panjang cangkang sebesar 0.075 mm/hari.
260
12 dimana benih banyak yang mati tergencet diantara wadah dan shelter, hal ini
disebabkan oleh gangguan alam berupa ombak dan angin besar. Kematian
abalone selain disebabkan oleh gannguan alam juga disebabkan karena adanya
hama/predator berupa kepiting dan ikan liar yang masuk kedalam
kurungan/keranjang gantung.
Kelulusanhidupan dari abalone yang dibesarkan di laut sampai mencapai
ukuran pasar/konsumsi, tergantung pada beberapa faktor, namun yang utama
adalah ukuran awal abalone saat ditebar, dimana ketika abalone yang berukuran
kecil ditebar (panjang cangkang < 2 cm), kelulusanhidup akan lebih rendah.
Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa abalone kecil akan lebih mudah
dimangsa oleh predator dan kurang tahan dengan kondisi lingkungan yang
ekstrem (arus,gelombang). Kelulusanhidup abalone juga dipengaruhi oleh
metode atau teknik pemeliharaan/perawatan yang dilakukan setelah benih
ditebar seperti kontrol dan pengamatan secara rutin terhadap hama ,
predator,keutuhan wadah budidaya dan ketersediaan jumlah pakan yang
diberikan.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
261
262
NEMO FISH PRODUCTION OF HYBRID VARIETY OF BLACK
PHOTONHOUSEHOLD SCALE
ABSTRACT
263
PENDAHULUAN
Ikan nemo atau Clownfish berasal dari famili Pomacentridae. Salah satu
famili terbesar dalam komunitas ikan karang Hingga saat ini diketahui ada
sekitar 32 spesies. 2 spesies diantaranya termasuk dalam marga Amphiprion
dan dua lainnya marga Premnas. Sedangkan hybrid sendiri adalah perkawinan
silang antara 2 jenis spesies yang berbeda untuk mendapatkan keturunan yang
berbeda pula. Mengingat jumlah spesies clownfish yang cukup banyak tersebut
dapat memberikan peluang untuk melakukan perkawinan silang. Sampai saat
ini Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon telah mengembangkan 8 spesies
clownfish dan berhasil menghibrid beberapa spesies dari jenis tersebut. Ukuran
maksimal clownfish bisa mencapai 10 – 18 cm.
Pada dasarnya clownfish terlahir dalam keadaan jantan dan yang akan
berubah kelamin menjadi betina adalah yang terbesar dari kelompoknya atau
pasangannya. Untuk mencapai ukuran induk membutuhkan waktu sekitar 8
bulan sampai 1 tahun.
Clownfish merupakan salah satu ikan hias laut yang mempunyai harga
yang bervariasi yaitu mulai dari kisaran harga Rp 5000 sampai jutaan rupiah.
Jika dilihat dari segi ukuran dan usia pemeliharaan, dibandingkan dengan
harganya yang cukup tinggi maka dapat memberikan asumsi bahwa budidaya
clownfish dapat memberikan keuntungan yang luar biasa. Tingginya harga
clownfish sangat ditentukan oleh keunikan warna dan coraknya. Untuk
Amphiprion percula, salah satu factor penentu harga adalah ketebalan warna
hitamnya. Induk Amphiprion percula onyx yang hampir semua tubuhnya
berwarna hitam hanya mampu mewariskan warna yang sama dengan induknya
sekitar 5 – 7 % dan sisahnya hanya memiliki warna hitam separuh badan dan
bahkan ada yang tidak memiliki warna hitam. Oleh karena itu perlu adanya
penelitian dan pengkajian dalam menciptakan corak dan warna yang diinginkan
oleh pasar sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomisnya. Salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk menyikapi hal tersebut adalah dengan melalui
perkawinan silang (hybrid).
Dari hasil temuan hybrid antara clonfish Amphiprion percula dan
Amphiprion ocelaris dapat memberikan warna dan variasi corak yang unik
serta daya tahan tubuh yang lebih baik terhadap serangan penyakit. Dengan
demikian hasil hybrid ini dapat memberikan nilai tambah terhadap benih yang
diproduksi sehingga kegiatan ini dapat menjadi acuan untuk budidaya
clownfish skala rumah tangga yang mandiri dan kreatif.
Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah kegiatan ini bertujuan untuk
menghasilkan ikan hias nemo hybrid varian black photon skala rumah tangga.
264
BAHAN DAN METODE
Kegiatan ini berlangsung dari bulan April – Mei 2014 yang bertempat di
Outdoor Hatchery ikan hias Balai Budidaya Laut Ambon.
Alat dan Bahan
No Peralatan Bahan
1 Akuarium 50 – 100 liter Betina A. percula
2 Bak fiber 2 ton jantan A. ocelaris (biasa)
3 Instalasi air laut dan air jantan A. ocelaris (black
tawar australis)
4 Instalasi aerasi Anemon
5 Potongan pipa paralon Air Laut
4‖
6 Peralatan kualitas air Air Tawar
7 Alat tulis menulis Pakan buatan ( pellet )
8 kemera Artemia
9 Peralatan kerja Cacing darah
Obat-obatan
Metode
Induk yang digunakan adalah induk yang sudah pernah memijah atau
induk produktif dengan asumsi untuk mempercepat proses pemijahan. Induk
betina yang digunakan adalah Amphiprion percula (onyx) berukuran 7 cm
dimana jenis ini mempunyai harga dan pasaran yang cukup bagus. Untuk
menciptakan variasi yang berbeda maka digunakan dua jenis induk jantan yang
berbeda yaitu Amphiprion ocelaris biasa dan Amphiprion ocelaris (black
Australis) dan masing masing berukuran sekitar 5 cm.
Perjodohan dilakukan dengan cara menempatkan keduan calon induk
yang berlainan spesies tersebut dalam akuarium bervolume 50 liter dengan
sistem air mengalir dan dilengkapi dengan aerasi. Selama 3 hari induk tidak
diberikan selter atau anemon dengan tujuan untuk menghindari sifat soliternya.
Apabila didapatkan ketidak cocokan terhadap kedua induk tersebut maka perlu
diganti pasangannya, pada saat mengganti pasangan sebaiknya kedua induk
direndam air tawar secara bersamaan dalam satu wadah. Perendaman air tawar
tersebut bertujuan untuk melemaskan kedua induk dan pada saat dimasukkan
kedalam akuarium, induk betina berkonsentrasi untuk berosmoregulasi
sehingga sifat galaknya berkurang. Setelah keduanya rukun atau sudah cocok
dengan pasangannya maka selter dan anemonpun dimasukkan kedalam
265
akuarium tersebut sebagai rumahnya dengan tujuan untuk memberikan
kenyamanan.
Sebelum ikan memijah biasanya ditandai dengan adanya kerjasama
antara induk jantan dan betina dengan melakukan pembersihan pada selter,
selain itu terlihat dari induk betina dengan perut membuncit dan pada bagian
dubur atau saluran telur terlihat menonjol keluar. Pemijahan biasanya terjadi
pada siang hari atau sore hari. Pada saat pemijahan induk betina menempelkan
telurnya pada selter dan dibuahi oleh jantan. Telur tersebut rutin dibersihkan
dan dijaga oleh kedua induk namun yang paling dominan adalah jantan dan
akan menetas setelah 6 sampai 8 hari tergantung lingkungan dan kualitas telur.
Telur yang mau menetas ditandai warna transparan sehingga larva yang
ada didalampun terlihat jelas, selain itu dapat ditandai dengan mata yang
menyala atau berwarna perak. Sebelum penetasan terlebih dahu bak dibilas
dengan kaporit dan dicuci sampai bersih kemudian diisi dengan air laut. Bak
fiber berkapasitas 2 ton tersebut selanjutnya diisi Phytoplankton sekitar 30-50
liter seperti yang terlihat pada gambar dibawah. Pemindahan telur kebak larva
dapat dilakukan sehari sebelum telur menetas dengan cara memindahkan induk
dan selternya ke bak larva denagn menggunakan keranjang yang sudah diberi
pelampung. Tujuannya tidak lain adalah memberikan kesempatan kepada induk
untuk merawat telur sampai menetas sehingga HRnya bisa lebih bagus dan
dengan metode ini larva bisa beradaptasi langsung dengan lingkungannya dan
larva tidak stress akibat pemindahan.
Larva yang berumur 1 hingga 7 hari terkadan stress dan terkumpul
didinding bak, hal ini biasa terjadi pabila air dalam bak terlalu jernih sehingga
perlu adanya penambahan phytoplankton. Phitoplangton bertujuan untuk
menstabilkan kualitas air dan juga sebagai makanan rotifer sehingga sangat
penting keberadaannya dalam pemeliharaan larva, akan tetapi phytoplankton
yang terlalu padat juga dapat merusak kualitas air. Pakan yang diberikan pada
hari pertama adalah rotifer, selanjutnya naupli artemia dapat ditambahkan
stelah semua larva berubah warna dari hitam menjadi kemerah merahan atau
dapat ditandai dengan munculnya garis putih pada leher dan ini biasanya
terlihat pada hari ke 7 atau hari ke 8. Pakan rotifer dapat dihentikan setelah
semua larva dapat mengkonsumsi naupli artemia. Perbaikan kualitas air dapat
dilakukan dengan penyiponan dan pergantian air pada hari 7 sekitar 20-30 %.
Larava dapat dipanen setelah berumur + 15 hari. Dalam 1 pasang induk dapat
menghasilkan benih sekitar 250 -700 ekor tergantung banyaknya telur, HR dan
SR larva.
Benih yang baru dipanen dipelihara dalam wadah aquarium dengan
system sirkulasi air selama 24 jam dengan kepadatan 5-8 ekor perliter sesuai
ukuran ikan. Frekwensi pemberian pakan dapat dilakukan 4-6 kali sehari
dengan dosis sampai kenyang. Pakan yang digunakan adalah naupli artemia dan
266
pakan buatan yang disesuaikan dengan bukaan mulut. Penyiponan kotoran
dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Grading dilakukan 2 minggu
sekali untuk memisahkan ikan yang berukuran sama. Khusus untuk
pembesaran clownfish sebaiknya dilakukan pada wadah akuarium berwarna
hitam dengan tujuan untuk memunculkan warna hitamnya.
Pemanenan dapat dilakukan berdasarkan ukuran permintaan karena
clownfish saat ini sudah dapat dipasarkan benihnya untuk dibudidayakan di
keramba jaring apung. Khusus untuk budidaya di keramba jaring apung
biasanya pembudidaya memesan ukuran 2 cm. sedangkan untuk eksportir
biasanya dipasarkan setelah berukuran 3,5 cm dan ukuran ini dapat dicapai
setelah pemeliharaan sekitar 3 sampai 4 bulan. Pemanenan harus disesuaikan
permintaan baik itu jumlah, ukuran maupun motif yang diinginkan oleh pasar.
267
biasa disebut dengan black photon dan mempunyai pertumbuhan serta daya
tahan tubuh yang lebih bagus disbanding dengan non hybrid.
Dari hasil uji coba pada beberapa pasang induk baik yang non hybrid
maupun hybrid menunjukan hasil yang sangat berbeda. Amphiprion percula
onyx hybrid Amphiprion ocelaris Black Australis mempunyai kelebihan
terhadap benih yang dihasilkan baik cari segi corak, warna, bentuk, daya tahan
tubuh terhada serangan penyakit serta pertumbuhan yang lebih dibandingkan
dengan ketiga pasang induk lainnya. Ketebalan warna hitam pada keturunan
Amphiprion percula dapat meningkatkan harga berlipat ganda dibandingkan
dengan yang bermotif biasa dan terbukti pada Amphiprion percula onyx hybrid
Amphiprion ocelaris Black Australis mampu memunculkan warna hitam yang
tebal dan memenuhi tubuhnya.
Hasil kegiatan selama tiga bulan masa pemeliharaan diperoleh jumlah
telur sebanyak 8.500 butir dan menghasilkan lebih dari 5000 ekor benih ukuran
3,5 cm. Selanjutnya dilakukan analisa usaha pembanding terhadap kegiatan ini
dan hasilnya ikan hias nemo hybrid black photon dapat memberikan
keuntungan berlipat ganda dari hasil sebelumnya.
KESIMPULAN
Dengan adanya hasil hybrid ini dapat meningkatkan nilai tambah bagi
pembenihan clownfish skala rumah tangga begitupula pembudidaya cloenfish
di keramba jaring apung.Perlu pengembangan lebih lanjut dan didesiminasikan
ke masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G. 1997. Ikan Laut Tropis Australia dan Asia Tenggara. Perth: Museum
Australia Barat.
Arvedlund, M., L. Nielsen. 1996. Apakah ikan anemon Amphiprion
ocellaris (Pisces: Pomacentridae) jejak diri mereka tuan rumah
anemon laut Heteractis magnifica (Athozoa: Actinidae). Etologi
Arvedlund, M., I. Bundgaard, L. Nielsen. 2000. Tuan pencetakan di
anemonefishes (Pisces: Pomacentridae): apakah itu menentukan
preferensi situs pemijahan Ikan Biologi Lingkungan
Fautin, D., G. Allen. 1992 Lapangan Panduan untuk Anemonefishes dan Host
Anemon Laut mereka..Perth: Museum Australia Barat.
Fricke, H., S. Fricke. 1977. Monogami dan perubahan seks dengan dominasi
agresif dalam ikan terumbu karang Alam
268
Nelson, J., P. Phang, L. Chou. 1996. Kelangsungan hidup dan tingkat
pertumbuhan Amphiprion ocellaris dari ikan anemon: suatu
percobaan pengalihan Jurnal Biologi Ikan,
269
USAHA BUDIDAYA ABALON (Haliotis squamata) SISTEM
KERANJANG DASARDI AREAL PASANG SURUT
ABSTRAK
Keberlangsungan usaha budidaya abalon salah satunya tergantung pada
desain wadah yang digunakan dalam kegiatan budidaya. Upaya
menemukan teknologi budidaya abalon yang mudah diadopsi oleh
masyarakat terus dilakukan. Metode budidaya abalon bisa dilakukan di
darat maupun di laut. Sistem budidaya di darat membutuhkan biaya
investasi fasilitas dan peralatan yang cukup besar termasuk biaya
operasional pompa air dan aerasi. Metode budidaya yang berbasis di
laut dapat dilaksanakan dengan menggunakan karamba jaring apung,
keranjang gantung pada rakit apung, maupun yang dilakukan pada
daerah intertidal dengan metode kurungan tancap (pen culure).
Salah satu usaha kegiatan budidaya abalon yang dapat dilakukan
di areal pasang surut yaitu dengan menggunakan sistem keranjang dasar.
Keranjang plastik sebagai wadah budidaya berukuran
60cmx40cmx30cm, dimana bagian dasar dan atas terbuat dari beton
dengan ketebalan 5 cm dan berisi 3 buah shelter dari potongan pipa
HDPE ataupun pipa PVC.Benih H.squamata digunakan dari hasil
pembenihan hatchery dengan ukuran panjang cangkang 2,0-3,0 cm.
Padat tebar dalam tiap keranjang adalah 600 ekor,dan dilakukan
penjarangan kepadatan menjadi 300 ekor setelah 4 bulan lama
pemeliharaan. Pakan yang diberikan berupa rumput laut segar yang
terdapat di sekitar kawasan budidaya (Gracillaria sp,Ulva sp).
Dari hasil kegiatan pemeliharaan selama 8 bulan didapat rata-rata laju
pertumbuhan harian (Daily Growth Rate) panjang cangkang adalah
67,18 μm/hari dan bobot tubuh 68,87 mg/hari dengan tingkat
kelulusanhidup rata-rata 92 %.
Budidaya abalon di areal pasang surut (intertidal zone) dengan
menggunakan keranjang yang di letakkan di dasar ini dapat menjadi
alternative bagi metode pen culture (kurungan tancap) yang sudah
umum dilakukan dan juga diharapkan mudah diadopsi oleh para
pembudidaya dan layak diusahakan dengan nilai R/C rasio > 1 yaitu 1,8
dan B/C > 0 yaitu 0,8.
270
PENDAHULUAN
Haliotis squamata merupakan salah satu spesies abalon tropis yang
bernilai ekonomis yang ditemukan di beberapa wilayah perairan pantai di
Indonesia.( Bali, Banten, dan Yogyakarta )selain jenis Haliotis asinina. Di
pasaran Jepang, Haliotis squamata lebih dikenal dengan nama Tokobushi
karena ukuran dan morfologinya yang juga mirip dengan Haliotis diversicolor
supertexta dari Taiwan. Jenis Tokobushi iniharganya lebih mahal dan
permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Haliotis asinina). Di
pasaran Jepang Tokobushi mempunyai harga sampai Rp.600.000/kg dan lebih
tinggi jika dibandingkan dengan Mimigai/Haliotis asinina yang hanya
mempunyai harga Rp.200.000/kg.Karena sama sama berasal dari daerah
tropis,maka pada prinsipnya teknologi pembenihan maupun budidaya Haliotis
squamata sama dengan Haliotis asinina. Budidaya abalon tropis umumnya
mencapai ukuran pasar/konsumsi dalam satu tahun dimana untuk spesies
abalon dari daerah temperata bisa memakan waktu 2-3 tahun ( Hahn, 1989
dalam Fermin dan Buen, 2000).
Keberlangsungan usaha budidaya abalon salah satunya tergantung pada
desain sistem yang digunakan dalam kegiatan budidaya. Karena lamanya
periode budidaya dan pertumbuhan yang lambat,sehingga keuntungan bisa
menjadi kecil dalam kegiatan budidaya di darat (Capinpin,dkk. 1999). Upaya
menemukan teknologi budidaya abalon yang mudah diadopsi oleh
pembudidaya dan layak secara ekonomis terus dilakukan. Metode budidaya
abalon bisa dilakukan di darat maupun di laut. Budidaya di darat biasanya
dilakukan pada bak beton maupun bak fiber glass. Sistem budidaya ini lebih
mudah dalam hal pengontrolan selama proses budidaya baik terhadap
pemberian jumlah pakan, pengaturan debit air yang masuk, pembuangan sisa
pakan secara periodik maupun pengaturan jumlah padat penebaran,namun
demikian metode ini membutuhkan biaya investasi fasilitas dan peralatan yang
cukup besar termasuk biaya operasional pompa air dan aerasi.
Metode budidaya lainnya adalah metode budidaya yang berbasis di laut.
Metode ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan karamba jaring apung,
keranjang gantung pada rakit apung, maupun yang dilakukan pada daerah
intertidal dengan metode kurungan tancap (pen culure). Metode budidaya di
laut ini relative cepat pertumbuhan dan lebih rendah biaya operasionalnya. Oleh
karena itu dilakukan sebuah ujicoba kegiatan budidaya abalon
(Haliotissquamata) pada daerah pasang surut (intertidal zone) dengan
menggunakan keranjang yang diletakkan di dasar perairan yang masih
terendam air pada saat surut terendah.
271
Tujuan
Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya
siput abalon Haliotis squamata (Tokobushi) yang dipelihara dengan metode
keranjang yang diletakkan di dasar pada daerah pasang surut (intertidal zone).
Metode
(a) Persiapan Wadah
Wadah pemeliharaan yang digunakan adalah keranjang dasar, dimana
kerangka utama berupa keranjang plastik berbentuk persegi ukuran
60cmx40cmx30cm serta pada bagian alas/dasar dan bagian atas (tutup)
dipasang cor beton dengan ketebalan 5 cm dengan kerangka beton terbuat dari
ram kabel tuis ukuran diameter 7mm. Jumlah keranjang yang digunakan dalam
kegiatan perekayasaan ini sebanyak 8 unit. Pada setiap unit keranjang dasar
terdapat 3 buah shelter yang terbuat dari potongan pipa HDPE ukuran
38cmx20cmx18cm atau 2 buah pipa pvc 8 inch panjang 38 cm,dimana pada
setiap bagian ujung pipa dipasang waring penutup.
272
hama/predator. Pemberian pakan dilakukan 3-4 hari sekali dengan Feeding
Rate 30 % dari bobot biomass/hari. Pakan diberikan dengan cara membuka
waring penutup shelter dan memasukkan pakan ke dalamnya.
Parameter Pengamatan
Adapun parameter yang diamati dalam kegiatan ini adalah pertumbuhan
(pertambahan panjang mutlak dan bobot, laju pertumbuhan harian),
kelulusanhidup (SR) dan analisa usaha.
273
Tabel 2. Rata-rata panjang cangkang (mm) dan berat tubuh (gram)
abalon selama 8 bulan pemeliharaan
Tabel 3. Penambahan Panjang cangkang mutlak (L), Berat tubuh mutlak (W),
Laju pertumbuhan harian panjang cangkang (DGRSL), Laju
pertumbuhan harian berat tubuh (DGR BW),serta Kelulusanhidup
(SR) benih Haliotis squamata (Tokobushi) Selama 8 Bulan
Pemeliharaan (240 hari)
Keranjang L W DGR SL DGR BW SR
(mm) (gram) (µm/hari) (mg/hari)
dasar (%)
1 17,20 16,69 71,67 69,54 90
2 15,30 16,07 63,75 66,96 91,33
3 15,90 17,65 66,25 73,54 93
4 15,62 16,83 65,08 70,13 93
5 16,55 16,14 68,96 67,25 93,33
6 16,25 16,01 67,71 66,71 92
7 15,70 15,45 65,42 64,38 92
8 16,48 17,40 68,67 72,50 91,33
Rata-rata 16,13 16,53 67,18 68,87 92,00
275
menunjukkan laju konsumsi pakan (feeding rate) lebih rendah yang diduga
bahwa adanya persaingan untuk tempat telah membatasi akses hewan akan
makanan meskipun kenyataannya bahwa pakan yang diberikan tersebut
diberikan berlebih (Jarayabhand dan Newkirk 1989,Mgaya dan Mercer
1995,Clarke dan Creese 1998). Dijelaskan pula bahwa dengan terbatasnya
tempat menempel, abalon akan bertumpuk satu dengan yang lainnya sehingga
akan membatasi gerakan dan makan hewan/abalon yang ada dibawah (Dourus
1987,Capinpin dkk.1999) sehingga secara langsung akan mempengaruhi
terhadap pertumbuhan abalon. Capinpin dkk (1999) menyatakan bahwa
pertumbuhan individu abalon menurun ketika padat penebaran ditingkatkan.
Hasil yang sama telah dilaporkan pada studi abalon lainnya di dalam karamba
jaring maupun system budidaya lainnya (Koike,dkk.,1979; Chen,1984; jee
dkk.,1988; Mgaya dan Mercer,1995; Marsden dan William,1996). Tingginya
padat tebar di dalam karamba/wadah budidaya akan membuat kesulitan abalon
yang ada pada tumpukan di dasar untuk bergerak dan mencerna
makanan,sehingga akan mempengaruhi tingkat konsumsi pakan meskipun
pakan yang tersedia cukup (Mgaya dan Mercer,1995 dalam Capinpin
dkk,1999). Abalon cenderung akan menumpuk khususnya pada kepadatan tebar
tinggi karena kurangnya tempat utama untuk menempel (Douros,1987 dalam
Capinpin,dkk., 1999). Penumpukan abalon akan membatasi pergerakan selama
aktifitas makan,khususnya dalam area yang terbatas seperti karamba jarring;
oleh karena itu,pembatasan pakan adalah kemungkinan salah satu factor utama
yang mempengaruhi pertumbuhan abalon pada kepadatan tebar tinggi( Mgaya
dan Mercer,1995 dalam Capinpin, dkk., 1999).
Berdasarkan Tabel 3 diatas,terlihat bahwa kelulusanhidup benih
abalon yang dibesarkan di keranjang beton selama 8 bulan lama pemeliharaan
(240 hari) masih tinggi yaitu berkisar antara 90 – 93,33 % dengan rata-rata
kelulusanhidup 92 %. Tingginya tingkat kelulusanhidup benih abalon yang
dibesarkan pada keranjang dasar kemungkinan disebabkan oleh karena benih
abalon yang dibesarkan benar-benar terproteksi dari adanya serangan predator
dimana letak keranjang dasar pada daerah pasang surut cenderung tidak ada
predator penyu dan ikan liar yang sering dijumpai memangsa abalon pada
kegiatan budidaya di KJA, konstruksi keranjang dasar yang dilengkapi dengan
shelter pipa HDPE yang didesain bisa melindungi abalon dari predator yang
ada, ukuran keranjang dasar yang tidak terlalu besar (efisien) sehingga
memudahkan dalam hal monitoring terhadap masuknya predator,disamping itu
dengan adanya pakan alami (makro alga) yang ditemukan pada lokasi budidaya
(Ulva sp,Gracillaria arcuata) memberikan peluang benih abalon yang
dibesarkan memperoleh asupan pakan yang bervariasi. Disamping itu pada
kegiatan budidaya dengan keranjang dasar menggunakan benih dari hasil
pembenihan (hatchery) sehingga benih tersebut benar benar sudah teradaptasi
276
dengan kondisi lingkungan perairan budidaya,berbeda dengan benih yang
berasal dari alam, yang memerlukan proses adaptasi dan kemungkinan banyak
benih yang luka pada saat pengambilan dari alam. Selain itu faktor perubahan
kondisi lingkungan seperti suhu dan salinitas ikut berperan penting dalam
mempengaruhi tingkat kelulusanhidup benih abalon yang dibudidayakan.
KESIMPULAN
Budidaya abalon dapat dilakukan di daerah pasang surut (intertidal
zone) dengan menggunakan keranjang dasar selain dengan menggunakan
metode pen culture (kurungan tancap) yang sudah umum dilakukan. Budidaya
abalon Haliotis squamata di keranjang dasar selama 240 hari memberikan
pertumbuhan panjang cangkang mutlak 16,13 mm dan berat tubuh 16,53 gram
dengan rata-rata laju pertumbuhan harian (Daily Growth Rate) panjang
cangkang adalah 67,18 μm/hari dan bobot tubuh 68,87 mg/hari dengan tingkat
kelulusanhidup rata-rata 92 %. Padat penebaran merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi laju pertumbuhan abalon pada kegiatan budidaya
(budidaya)
Desain konstruksi dan ukuran wadah budidaya salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat kelulusanhidup abalon terkait dengan efisiensi dan
kemudahan dalam memonitoring predator/hama yang merupakan faktor utama
penyebab rendahnya tingkat kelulusanhidup disamping faktor perubahan
kondisi lingkungan perairan.
Dilihat dari hasil analisis kelayakan usaha yaitu analisis biaya manfaat
diketahui bahwa nilai R/C >1 dan B/C > 0, maka usaha budidaya abalon di
daerah pasang surut dengan menggunakan keranjang dasar tersebut dikatakan
feasible (untung).
DAFTAR PUSTAKA
277
Effendie,1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor
Fermin,A.C., and Buen S.M. 2000. Feeding,growth and survival of abalon (
Haliotis asinina Linnaeus 1758)reared at different stocking densities in
suspended mesh cages in flow-through tanks. Philippines Scientist 37 :
31-41
Susanto,B., Rusdi,I.,Rahmawaty,R., Adiasmara Giri,I.N.,Sutarmat,T. 2010.
Aplikasi Teknologi Budidaya Abalon (Haliotis squamata) dalam
Menunjang Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Prosiding Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 . hlm : 295 – 305
278
USE OF RABBIT SEAS (Dolabella auricularia)
ENLARGEMENT OF FISH NEMO (Amphyprion sp)
IN floating net cages
ABSTRACT
In marine fish rearing activities in floating net cages require quite a long time, so that a
variety of organisms found attached to the net. One of the problems in the activities of
enlargement is the closed pores nets resulted in disruption of water circulation, oxygen
for fish cultivation and frequent turnover decreased net .
At nemo fish rearing in KJA , container used is net having a pore size that is very small,
it is adjusted to the size of the farmed fish. Nemo fish rearing fish in cages is very
efficient because it does not require aeration , maintenance of flexible containers, water
pump and does not require electrical power. However, the problems faced during
maintenance nemo fish is quickly covered with netting attachment of biofouling (
macroalgae ) on the surface and the base waring that disruption of water circulation ,
decreasing oxygen demand and shorter service life nets. Sea hare is an organism that
always sticks to the maintenance of fish in sea containers , organime does not have a
hard shell , brown body color, his body as a shield and slow movement, these organisms
usually takes macroalgae Scrab manner. To overcome this, the system performed nemo
fish rearing in cages by using rabbit Sea ( Dolabella auricularia ) with the aim to reduce
the attachment of macroalgae on the net so that the maintenance of circulating water can
run well, needs oxygen for fish nemo maintenance and extend the use of the container.
The results showed that closing the pores of the net by moss plants very quickly, but
with the use of rabbits for three months enlargement sea nemo fish, algae or macroalgae
attachment can be restricted , because rabbits get eaten from the attachment of marine
macroalgae, in addition to the circulating water from outside net can run well , judging
by the presence of small-sized crustaceans in the water column which is the live feed for
fish nemo. In addition, from the results of measurements of growth nemo fish showed
growth tends to increase the length of 2.2 cm
Maintenance and rabbit fish nemo sea for three months in a container does not affect the
growth of absolute length and with the use of fish nemo sea hare can limit the growth of
macroalgae on the net, live food availability for nemo fish nets and extend usage.
PENDAHULUAN
Ikan nemo atau clownfish merupakan salah satu jenis ikan hias yang
sangat digemari oleh para penggemar ikan hias air laut. Ikan ini banyak
ditemukan pada perairan tropis dan bersimbiosis dengan anemon sebagai
habitatnya. Ikan Nemo termasuk dalam kelompok pomacentridae dan beberapa
279
genus yang sering ditemui ialah Amphiprion dan Premnas. Ikan nemo
merupakan ikan omnivore, dengan memakan larva crustacea, parasit pada
anemon dan alga serta ikan ini agresif dalam menjaga teritorinya. Ikan Nemo
berwarna kuning, jingga, kemerahan atau kehitaman. Spesies terbesar mencapai
panjang 18 cm, sementara yang terkecil hanya 6 cm.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ikan_giru
Pembesaran ikan nemo biasanya dilakukan pada wadah akuarium
dengan memiliki sirkulasi air yang baik dan sering melakukan pengontrolan
terhadap jumlah pakan, kualitas air, kebersihan akuarium serta pemberian
pakan berupa artemia, cacing dan pellet. Pembesaran ikan laut dilakukan pada
keramba jaring apung (KJA), dimana selama ini KJA digunakan untuk
pembesaran ikan-ikan konsumsi, namun KJA dapat juga digunakan untuk
pembesaran ikan hias air laut seperti ikan nemo. Dalam kegiatan pembesaran
ikan laut di keramba jaring apung memerlukan waktu cukup lama, sehingga
dijumpai berbagai organisme yang menempel pada jaring. Salah satu masalah
dalam kegiatan pembesaran adalah tertutupnya pori-pori jaring yang
mengakibatkan terganggunya sirkulasi air, oksigen bagi ikan budidaya menurun
dan sering melakukan pergantian jaring.
Pembesaran ikan nemo di keramba jaring apung sangatlah efisien karena
tidak memerlukan aerasi, wadah pemeliharan yang fleksibel, tidak memerlukan
pompa air serta tenaga listrik. Namun permasalahan yang dihadapi selama
pembesaran ikan nemo adalah waring cepat ditutupi dengan penempelan
biofouling (makroalga) pada permukaan dan dasar waring sehingga
terganggunya sirkulasi air, menurunnya kebutuhan oksigen serta umur
pemakaian waring lebih singkat. Salah satu organisme yang sering dijumpai
pada jaring apung adalah kelinci laut (Dolabella auricularia), kelinci laut
merupakan organisme yang selalu menempel pada wadah pembesaran ikan di
laut, organime ini tidak memiliki cangkang keras, warna tubuhnya kecoklatan,
tubuhnya seperti perisai dan pergerakannya lambat, biasanya organisme ini
memakan makroalga dengan cara scrab.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka dilakukan sistem pembesaran ikan
nemo di keramba jaring apung dengan menggunakan kelinci Laut (Dolabella
auricularia) dengan tujuan untuk mengurangi penempelan makroalga pada
waring pembesaran sehingga sirkulasi air dapat berjalan dengan baik,
kebutuhan oksigen bagi ikan nemo dan memperpanjang pemakaian wadah
pembesaran.
280
Alat dan bahan yang digunakan pada kegiatan ini antara lain KJA,
militermeter blok, serok, pemberat waring, kamera digital dan peralatan
lapangan sedangkan bahan antara lain ikan nemo, kelinci laut, pakan pellet dan
pakan rucah
Pelaksanaan pembesaran ikan hias nemo dengan menggunakan kelinci
laut di KJA dilakukan secara eksperimen, dimana ikan nemo, kelinci laut dan
wadah pembesaran (waring) dengan mezh size ± 1mm sebagai objek
pengamatan. Panjang ikan nemo di ukur dengan menggunakan milimeterblok,
kemudian dilakukan penebaran ikan nemo pada wadah pemeliharan (waring)
yang belum adanya penempelan biofouling, ukuran wadah yang digunakan 3 X
1 X 1,5 m, dengan kepadatan ikan nemo 492 individu. Selama pembesaran ikan
nemo diberi pakan pellet 3% dengan frekuensi 1 kali sehari.
Setelah lama pembesaran satu minggu dengan di tandai adanya
penempelan biofouling/makroalga pada wadah pembesaran, dilakukan
penebaran kelinci laut sebanyak 3 individu. Pengamatan yang dilakukan adalah
kondisi wadah pembesaran dan pertumbuhan ikan nemo dilakukan sebulan
sekali serta kualitas air perairan di KJA (suhu, salinitas, pH dan DO).
281
Kondisi waring pembesaran ikan nemo selama tiga bulan menunjukkan
bahwa pertumbuhan makroalga dibatasi dengan adanya kelinci laut, dimana
kelinci laut mendapatkan makan dari penempelan makroalga pada permukaan
waring. Hal ini dilihat dari minggu pertama pemeliharaan ikan nemo tanpa
adanya kelinci laut, menunjukkan bahwa hampir seluruh permukaan waring
ditumbuhi makroalga.
Dari hasil pengamatan selama tiga bulan pada permukaan waring,
pertumbuhan makroalga tersebut dapat dibatasi dengan menggunakan
organisme kelinci laut. ini dilihat dari cara makan kelinci laut yaitu
mengikis/scrab dimana bagian anterior atau bagian kepalanya bergerak
memanjang kedepan serta sebagai pemakan lambat. Sesuai yang dikemukakan
bahwa kelinci laut (Dolabella auricularia) kadang-kadang digunakan oleh para
pencinta akuarium laut, untuk membatasi pertumbuhan alga, karena alga
merupakan makan utama bagi kelinci
laut(wikipedia.Org/wiki/Dolabella_auricularia). Hasil pengamatan kondisi
waring sampai bulan ke-tiga, penutupan pori-pori wadah pembesaran oleh
makrolaga dapat dibatasi oleh keberadaan kelinci laut sehingga umur
penggunaan wadah pembesaran dapat diperpanjang.
2 II 2.4
3 III 3.7
Kualitas air
Hasil pengamatan kondisi lingkungan perairan di sekitar keramba jaring
apung yang digunakan sebagai tempat pemeliharaan ikan nemo
memperlihatkan bahwa secara umum kondisi lingkungan perairan tersebut
berada dalam kisaran normal, kondisi perairan di KJA dapat dilihat pada tabel
2.
Tabel 2. Parameter kualitas air pembesaran
ikan nemo di KJA
Lokasi Pembesaran
Parameter
(rata-rata)
Suhu (⁰C) 30
Salinitas (ppt) 32.7
pH 8.1
DO (mg/l) 5.4
Kecerahan (m) >9
283
KESIMPULAN
Dari hasil yang diperoleh dari pembesaran ikan nemo dengan kelinci
laut di kja maka disimpulkan Penggunaan kelinci laut dapat membatasi
pertumbuhan makroalga, membantu masuk pakan hidup bagi ikan nemo serta
mengurangi pergantian waring.Pemeliharaan ikan nemo dan kelinci laut selama
tiga bulan di dalam satu wadah tidak mempengaruhi pertumbuhan dari ikan
nemo.
DAFTAR PUSTAKA
http://adearisandi.wordpress.com/2012/01/25/ikan-badut-clownfish/
http://www.seaslugforum.net/find/dolaauri).
http://en.wikipedia.org/wiki/Dolabella_auricularia
http://id.wikipedia.org/wiki/Ikan_giru
284
REPRODUCTION PERFORMANCE OF WILD AND CULTIVATED
BROODSTOCK OF PEARL OYSTER (Pinctada maxima)
ABSTRACT
Pearl oyster breeding activity is regarded by mature broodstock
avaibility. Now natural broodstocks are decreasing and hard to get, and
its price is expensive. It is because of the exploitation of pearl oyster
shell that has a high value as handycraft, so ensues on descent of seed
production.
Compared to natural broodstocks, the avaibility of cultivated
broodstocks are abundant, and produce egg or sperm without depend to
season. From study result at Lombok Marine Aquaculture Development
Center (2011), cultivated broodstock that have more than 3 years old
and size 13 cm was mature already and enable for spawning.
The stages on breeding are: selection of gonade maturation,
spawning, hatching, larva nursering, feeding, harvesting. Base on
hatching rate (HR), survival rate (SR) of larva from cultivated
broodstock (F1) that breed with natural broodstock (F0), show that
cultivated broodstock (F1) can be use to increase seed production when
avaibility of natural broodstocks were limited.
285
PENDAHULUAN
286
c. Pakan alami jenis Nanno, isocreisis, pavlova, tetraselmis dan c.
amami, simplek
d. Pupuk
287
Pemanenan larva
Setelah induk tiram berhenti memijah, induk tersebut dipindahkan dari
bak penetasan ke dalam styrofoam dan selanjutnya dipelihara di rakit apung
maupun long line. Adapun telur-telur yang dihasilkan dibiarkan terbuahi
terlebih dahulu di dalam bak fiber. Segera setelah proses pemijahan berhenti
dipasang aerasi satu titik. Hal ini dilakukan agar peluang terjadinya pembuahan
lebih besar. Setelah telur menetas selama kurang lebih 20 jam, kemudian
disaring dengan menggunakan saringan ukuran 40 dan 60 mikron.dan
dipindahkan ke bak pemeliharaan larva dengan volume 3 ton.
Pemeliharaan Larva
Larva mulai diberi pakan setelah mencapai fase D-Shape (D1). Pakan
yang diberikan berupa fitoplankton jenis Isochrysis galbana, Chaetocheros
gracillis, dan Nannoclhoropsis sp.. Setelah mencapai fase umbo 3, pakan yang
diberikan ditambah dengan fitoplankton jenis Nitzchia sp. dan Tetraselmis
chuii. Dilakukan pengamatan terhadap larva dengan mikroskop sebelum dan 4
jam sesudah larva diberi pakan. Hal ini bertujuan untuk melihat kondisi larva,
terutama isi perut.
Fitoplankton yang diberikan berumur 4-5 hari. Larva diberi pakan sehari
sekali, yaitu pada pagi hari jam 10.00. Pakan yang akan diberikan terlebih
dahulu disaring dengan planktonet 10µ, kemudian ditampung dalam toples 15
liter. Di dalam toples tersebut kombinasi pakan yang akan diberikan
dicampurkan. Setelah itu, pakan diambil dengan menggunakan teko berskala
dan dimasukkan secara merata ke dalam bak pemeliharaan larva sesuai dengan
jumlah pakan yang akan diberikan.
Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan cara mengganti air secara
total 3-4 hari sekali. Selain penggantian secara total juga dilakukan penyiponan
pada dasar bak dengan tujuan larva yang kurang sehat yang mengendap pada
dasar bak tidak tercampur dengan larva yang sehat.. Air yang akan diganti
disedot dengan menggunakan selang spiral 1 inchi secara bertahap dengan cara
mengambil larva yang ada di permukaan air terlebih dahulu. Larva yang berada
di atas cenderung lebih sehat, jika dibandingkan dengan larva yang berada di
dasar.
Saringan yang digunakan disesuaikan dengan ukuran larva. Yakni mulai
dari 40 mikron, 80 mikron, 100 mikron, 120 mikron, 150 mikron, 180 mikron,
200 mikron, dan 250 mikron. Setelah larva tersaring, larva kemudian
dimasukkan ke dalam bak 3 ton yang terisi air baru. Penggantian air ini
dilakukan sampai larva siap menempel yakni masuk pada fase plantygrade
dengan ukuran larva kurang lebih 200 – 250 mikron.
288
Pemeliharaan Spat
Setelah melewati fase plantigrade, larva akan tumbuh menjadi spat.
Mulai dari penetasan sampai mencapai fase plantygrade tingkat kelangsungan
hidup larva sanagt kecil yakni mencapai 5 – 10 %. Beberapa factor yang
mempengaruhi SR adalah sebagai berikut: Tingkat kematangan induk,
perlakuan saat pemijahan, kualitas pakan, dan kualitas air media pemeliharaan
itu sendiri. Adapun parameter kualitas air yang media pemeliharaan yang baik
sebagai berikut :
Pada fase peralihan yakni fase plantygrade menjadi spat, sifat hidupnya
akan cenderung menempel pada substrat. Oleh karena itu, larva yang mulai
tumbuh menjadi spat harus diberikan substrat agar tidak menempel pada bak
pemeliharaan. Substrat yang digunakan biasanya terbuat dari tali PE atau orcid
net dengan kerapatan 80-90%.
2 3 5 36.000.000 1 31.800.000 88
3 4 9 27.000.000 1 18.200.000 67
289
Tabel 2. Performa pemijahan induk alam (F0)
Data Perkembangan Larva
Jumlah Jumlah Telur
Hari Jumlah Larva Ket
Induk ( Butir )
(ke-) ( Ekor )
8 betina 42.000.000 1 40.200.000 HR :95 %
dan 4
jantan
Sumber data primer (2010)
Dilihat dari data daya tetas telur (HR) diatas dapat di ketahui bahwa
hasil pemijahan dengan menggunakan induk alam (F0) dengan induk alam (F0)
yang dapat menghasilkan (HR) paling tinggi. Akan tetapi kendala yang di
hadapi ketersediaannya semakin terbatas serta tingkat kematangannya
dipengaruhi musim. Sebagai alternatifnya menggunakan induk hasil budidaya
(F1) jantan yang disilangkan dengan induk alam (F0) betina yang hasilnya
hampir sama dengan perkawinan induk alam.
290
Tabel 4. Performa perkembangan larva siklus 2
Data Perkembangan Larva
Jumlah Jumlah Telur
Jumlah Larva Ket
Induk ( Butir ) Hari (ke-)
( Ekor )
36.000.000 1 31.800.000 HR :86
5 28.000.000 %
8 26.400.000
11 18.600.000
5 betina 14 -
dan 3 17 14.000.000
jantan 20 9.200.000
23 98,800
27 -
40 81.400
SR
akhir
0,25%
291
Sebagai kontrol data pemijahan dengan menggunakan induk alam yakni
pada pemijahan bulan November tahun 2010 dengan menggunakn induk jantan
alam 4 dan induk betina alam 8 yang menempel pada 500 lembar substrat
kolektor dengan kepadatan adalah sebagai berikut :
Kesimpulan
a) Daya tetas telur (HR) siklus 1 : 62 %, siklus`2 : 88 %, dan siklus 3 : 67
%
b) Survival rate (SR) siklus 1 : 0,10 %, siklus 2 : 0,25 % dan siklus 3 : 0,15
%
c) Performa (HR) dan (SR) dari ketiga siklus perkawinan antara induk
jantan hasil budidaya (F1) dengan induk alam (F0) lebih tinggi dan
hampir sama dengan performa pemijahan antara induk alam (F0)
Saran
Pemanfaatan induk hasil budidaya dapat dilakukan untuk peningkatan
produksi benih tiram mutiara terutama pada saat ketersediaan induk alam
terbatas.
292
DAFTAR PUSTAKA
293
PRODUKSI BENIH IKAN HIAS BANGGAI CARDINALFISH
(Pterapogon kauderni) DI KERAMBA JARING APUNG (KJA)
ABSTRAK
294
PENDAHULUAN
Ikan hias Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni) dikenal juga
dengan nama Ikan Capungan Banggai atau Banggai Cardinal dan dalam bahasa
lokal disebut ikan capungan atau bibisan. Ikan ini merupakan spesies ikan laut
endemik di Kepulauan Banggai, Propinsi Sulawesi Tengah. Ikan hias khas
Sulawesi ini menjadi salah satu ikan hias yang diincar para penggemar sejak
tahun 1990 dengan tingkat permintaan yang sangat tinggi. Pada tahun 2008
penangkapan ikan ini mencapai 236.373 ekor dalam setahun di dua lokasi yaitu
Bone Baru dan Toropot.
Ikan Banggai Cardinalfish telah disebutkan sebagai spesies yang patut
dilindungi bahkan ada usulan agar penangkapan dan perdagangannya
dihentikan demi kelestarian spesies tersebut. Namun, hasil survei lebih lanjut
menunjukkan bahwa populasi Banggai Cardinalfish dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Upaya tersebut berupa penggunaan
alat tangkap yang ramah lingkungan, penangkapan dengan ukuran yang telah
disepakati bersama yaitu 2 – 3 cm, lokasi penangkapan yang selalu berpindah
setiap minggunya serta kegiatan budidaya in-situ yang sedang dikembangkan
sebagai usaha alternatif.
Dalam rangka mendukung upaya tersebut di atas, Balai Budidaya Laut
Ambon telah melakukan kegiatan pembenihan Banggai Cardinalfish sejak
tahun 2010 dan masih berlanjut hingga sekarang. Kegiatan tahun 2010 – 2012
yang dilakukan di bak fiber dan bak beton menghasilkan benih yang relatif
sedikit dan Survival Rate yang rendah. Untuk itu pada tahun 2013 dilakukan
upaya peningkatan produksinya melalui kegiatan budidaya di KJA. Tujuan dari
kegiatan ini adalah untuk memproduksi benih ikan hias banggai cardinalfish di
KJA dengan paket teknologi budidaya sederhana yang dapat diterapkan
masyarakat.
295
g) Peralatan kerja : perahu/speedboat, freezer, ember, serokan/seser/
tanggo, gayung, alat penggiling daging/pisau, capit besi, penggaris.
h) Peralatan pengukur kualitas air : thermometer, salinometer atau
refraktometer, DO meter, pH meter.
Pemilihan Lokasi
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi
budidaya ikan hias Banggai Cardinalfish di KJA antara lain :
a) perairan pantai yang terlindung dari gelombang besar dan angin
kencang;
a) kedalaman 7 m – 15 m dari surut terendah dan tidak tercemar;
b) salinitas 28g/l – 32 g/l;
c) mudah dijangkau dan sesuai dengan tata ruang dan peruntukan wilayah.
d) Persyaratan kualitas air yang diharapkan antara lain suhu berkiras antara
27 – 30oC, salinitas 28 – 32 g/l, oksigen terlarut minimal 4,5 mg/l dan
pH berkisar antara 8,0 – 8,4.
Pemeliharaan Induk
Induk/calon induk berasal dari tangkapan alam atau hasil budidaya yang
telah matang gonad, berumur minimal 6 bulan dengan panjang standar 4
cm/ekor, sehat, tidak cacat dan bentuk tubuhnya proporsional.
Selama pemeliharaan induk diberikan pakan rucah yang digiling atau
dicincang halus atau pakan pelet dengan frekuensi 1 – 2 kali sehari sampai
kenyang (ad-satiation).Pemijahan induk berlangsung sepanjang tahun secara
massal dalam wadah pemeliharaan tersebut. Induk jantan akan mengerami telur
hasil pemijahan selama 18 – 25 hari hingga benih siap dikeluarkan dari
mulutnya dengan bentuk morfologi yang sama dengan ikan dewasa.Dalam
wadah pemeliharaan induk ditambahkan pelindung (shelter) berupa bulu babi
(Diadema sp.) dan ranting pohon bakau atau daun kelapa.
296
Padat Tebar Induk Yang Berbeda
Uji coba selanjutnya adalah perlakuan padat tebar induk yang berbeda
yang dipelihara dalam wadah yang sama yaitu waring berukuran 2,8 x 2,8 x 1
m3. Jumlah padat tebar induk yang diuji adalah 25 ekor/waring (A), 50
ekor/waring (B) dan 75 ekor/waring (C) dan perlakuan diulang dengan 3 kali
ulangan.Pemanenan benih dilakukan setiap 1 – 2 minggu sekali.
Pemanenan Benih
Metode pemanenan benihnya tergolong mudah, yaitu dengan
mengangkat benih yang sedang berlindung pada bulu babi.Benih tersebut
diangkat langsung beserta bulu babinya dan diletakkan dalam ember yang telah
diisi air.Kemudian satu per satu bulu babi diangkat keluar dengan
menggunakan jepit besi sehingga benihnya tertinggal dalam ember. Setelah itu
benih dipindahkan ke dalam wadah yang lain. Sebaiknya pemanenan benih
dilakukan pada pagi atau sore hari.
Pemeliharaan Benih
Benih ikan Banggai Cardinalfish dipelihara dalam waring berwarna
hitam dengan ukuran 2 m x 1m x 1 m atau 2,8 m x 1 m x 1 m dengan kepadatan
tebar 250 – 375 ekor/m3. Benih tersebut dipelihara hingga mencapai panjang
standar 3 – 4 cm/ekor selama 4 – 5 bulan yang sesuai dengan permintaan pasar.
Selama pemeliharaan, benih diberikan pakan yang sama dengan
induknya yaitu pakan rucah yang digiling/dicincang halus atau pakan pelet.
Frekuensi pemberian pakan sebanyak 1 – 2 kali sehari dengan dosis
sekenyangnya (ad-satiation).Selain itu, pakan alami berupa zooplankton yang
masuk dalam wadah pemeliharaan banyak tersedia di perairan sehingga dapat
langsung dikonsumsi oleh benih.
Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan bulan Juli
2013. Uji coba yang dilakukan yaitu dengan memelihara induk sebanyak 50
ekor dalam bak fiber bervolume 3 ton dan dibandingkan dengan pemeliharaan
20 ekor induk dalam waring berukuran 2,8 x 2,8 x 1m3 di KJA. Hasil produksi
benih yang diperoleh dapat dilihat dalam Tabel 1.berikut :
297
Tabel 1. Produksi benih Banggai Cardinalfish dalam wadah
pemeliharaan berbeda
Jumlah Produksi Benih
Bulan (ekor)
Bak Fiber KJA
April 39 -
Mei - 164
Juni - 225
Juli - 223
Total 39 612
Dari tabel di atas diketahui bahwa hasil yang diperoleh dari kedua
perlakuan menunjukan nilai yang berbeda nyata. Dari pemeliharaan di bak fiber
selama 4 bulan dihasilkan benih berukuran 1 cm hanya sebanyak 39 ekor,
sedangkan dari pemeliharaan di KJA diperoleh benih sebanyak 612 ekor. Selain
itu, induk di KJA rutin memproduksi benih setelah 1 bulan pemeliharaan
sedangkan di bak fiber hanya diperoleh pada 1 bulan pertama yaitu bulan
April.Tidak adanya produksi benih di bak fiber disebabkan sedikitnya induk
yang memijah diduga karena padat tebar yang terlalu tinggi dan terjadinya
kematian induk akibat perkelahian serta serangan penyakit.Selain itu, adanya
kanibalisme terhadap benih yang baru keluar dari mulut indukan oleh induk-
induk yang lainnya.
Selain produksi benih, parameter lain yang diukur adalah tingkat
kelulushidupan induk yang dipelihara. Pada bak fiber, dari jumlah induk yang
dipelihara sebanyak 50 ekor, tersisa 21 ekor pada akhir pemeliharaan atau
diperoleh SR sebesar 42 %. Sedangkan pada pemeliharaan induk di KJA
jumlah induk yang dipelihara bertahan sebanyak 20 ekor hingga akhir uji coba
atau diperoleh SR sebesar 100 %.
Dari kedua parameter yang diukur dalam uji coba ini, diperoleh
kesimpulan bahwa kegiatan pembenihan Banggai Cardinalfish di KJA lebih
baik daripada bak fiber.Untuk itu, dapat digunakan sebagai acuan dalam
kegiatan selanjutnya.
298
ini dilaksanakan pada Agustus sampai dengan Nopember 2013.Adapun benih
yang dihasilhan pada uji coba ini sapat dilihat pada Tabel 2.di bawah ini :
2,000
1,500
1,000 726 712 681
Jumlah Total
500
- Total Rata-rata
wadah A wadah B wadah C
Perlakuan
299
sebesar 2,179 ekor dan 726 ekor. Kemudian diikuti oleh perlakuan wadah B (50
ekor/wadah) dan nilai terendah pada perlakuan wadah C (75 ekor/wadah).
Walaupun nilai yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan tidak terlihat
signifikan, namun dapat disimpulkan bahwa dengan padat tebar 25 ekor/wadah
memberikan hasil terbaik dibandingkan padat tebar 50 ekor dan 75 ekor per
wadahnya. Sedangkan data SR induk pada perlakuan ini tidak dapat terhitung
mengingat adanya lubang pada wadah pemeliharaan sehingga banyak induk
yang lolos keluar dari waring.
KESIMPULAN
Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Produksi benih ikan hias Banggai Cardinalfish di Keramba Jaring Apung
(KJA) lebih baik dari pada di bak fiber.
2. Padat tebar induk dalam pemeliharaan di KJA sebanyak 25 ekor/waring
menunjukkan hasil produksi benih yang lebih baik daripada 50
ekor/waring dan 75 ekor/waring.
3. Hasil analisa performance menunjukkan bahwa usaha ini menguntungkan.
Saran yang dapar diberikan dalam perbaikan kegiatan ini di depan
adalah sebaiknya pengecekan kondisi waring perlu secara rutin dilakukan agar
diketahui adanya kebocoran waring untuk mencegah lolosnya induk yang
dipelihara.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Riset Perikanan Laut. 2006. Ikan Hias Laut Indonesia. Penebar Swadaya.
Depok.
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan.2010. Pedoman Rehabilitasi
Banggai cardinal Fish (Pterapogon kauderni). Ditjen Kelautan, Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kep.Men LH No. 51 Tahun 2004.Baku mutu air laut untuk biota laut.
Robert M. Fenner. 2007. The Concientious Marine Aquarist : A Commonsense
Handbook for Successful Saltwater Hobbyist. Microcosm Ltd.
Vermont - USA.
Rudie H. Kuiter and Helmut Debelius. 2007. World Atlas of Marine Fishes.
IKAN-Unterwasserarchiv. Frankfurt – Germany. page 335.
Vagelli. 2011. The Banggai Cardinalfish. Natural History, Conservation, and
Culture of Pterapogon kauderni.Wiley-Blackwell Publiction. United
Kingdom.
300
SEGMENTASI USAHA PENDEDERAN TIRAM MUTIARA (Pinctada
maxima)DI LOMBOK, NTB.
ABSTRAK
301
PENDAHULUAN
Tujuan
Memberikan gambaran segmentasi usaha, agar masyarakat dapat turut
serta dalam usaha budidaya tiram mutiara.
Pendederan
Kegiatan pendederan merupakan kegiatan lanjutan dari pemeliharaan
spat di hatchery yang akan di lakukan di laut. Pendederan spat tiram mutiara
dilakukan dengan menggunakan metode long line. Dalam satu siklus
pendederan memerlukan waktu minimal selama 12 bulan dengan ukuran spat
mencapai 6 – 8cm. Dengan laju pertumbuhan rata-rata 0,5 cm per bulan dengan
SR sekitar 1-10 %. Kecilnya SR pada saat pemeliharaan diduga karena adanya
masa transisi dari pemeliharaan di hatchery yang kemudian di pindahkan ke
laut. Banyak dijumpai kematian terjadi pada saat spat berukuran kurang dari 3
cm.
Pendederan spat tiram mutiara di BBL Lombok menggunakan metode
longlineyaitu teknik pendederan dengan menggunakan longline sebagai tempat
untuk menggantung pocket yang berisikan spat kolektor hingga ukuran siap
panen. Longline terbuat dari tali PE 22mm dengan panjang 100 m dilengkapi
bola pelampung sebanyak 20 buah dengan diameter 40 cm dengan jarak
302
pemasangan setiap pelampung yaitu 5 m dan terdapat 5 tali gantungan berjarak
antar tali 80 cm dengan panjang tali 6 m, jadi dalam 1 unit longline terdapat
100 tali gantungan pocket.
Adapun kegiatan yang harus dilakukan selama pemeliharaan adalah
Pembersihan dan penjarangan serta seleksi menurut ukuran. Pembersihan
dilakukan setiap bulan sekali setelah penebaran, pembersihan pertama dengan
mengangkat spat dari kolektor dan cangkang dibersihkan dengan menggunakan
sikat gigi halus. Setelah bersih spat kemudian ditempatkan pada pocket yang
diselubungi waring dan digantung pada longline.
Seleksi pada spat dilakukan dengan tujuan mengklasifikasikan spat
sesuai dengan ukuran, antara spat yang cepat dan lambat dalam
pertumbuhannya. Seleksi dilakukan pada saat penjarangan. Tujuan penjarangan
adalah mengurangi tingkat kepadatan spat persatuan ruang. Penjarangan mulai
dilakukan pada saat pembongkaran spat pada kolektor yang ukurannya sudah
mencapai 1 cm. Seiring meningkatnya ukuran spat maka akan terjadi kompetisi
terhadap ruang pemeliharaan dan pakan. Sering kali spat saling menempel
antara satu dengan yang lain sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan spat
yang tidak normal. Teknik penjarangan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Mengangkat pocket dari laut yang diselubungi dengan waring.
2. Mengangkat spat yang masih menempel pada kolektor dengan cara
memotong bisusnya dengan menggunakan pisau kecil secara hati-hati
agar bisus tidak tertarik. Kemudian ditampung pada ember plastik yang
berisi air laut yang mengalir. Air laut dipompa dengan mesin pompa air
laut dan dialirkan pada bak penampungan.
3. Membersihkan kulit luar spat dengan menggunakan sikat gigi yang
halus satu persatu dan kemudian spat dipelihara pada pocket dengan
kepadatan 40 – 50 ekor per pocket.
4. Pocket yang sudah berisi spat tersebut dibungkus kembali dengan
waring yang bermata jaring 2 mm, kemudian digantung sementara pada
ponton.
5. Setelah semua siput selesai diseleksi, dibersihkan dan dijarangkan,
pocket digantung pada longline.
303
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pendederan tiram mutiara
304
Biasanya usaha pendederan tiram mutiara dilakukan dengan sistem long
line, dimana poket yang berisi benih tiram mutiara digantung pada long line.
Untuk mendapatkan tiram ukuran panen, 7 – 9 cm, dibutuhkan 1 siklus
produksi dengan durasi waktu 1 tahun . usaha skala menengah membutuhkan 5
unit long line dengan kapasitas produksi 36.000 ekor/tahun dan kebutuhan
investasi awal sebagai berikut:
Saran
Untuk mengatasi tingginya mortalitas tiram pada saat pendederan
harusnya pemilihan lokasi untuk kegiatan budidaya sangat diperhitungkan.
Sebab tidak semua lokasi perairan laut bisa digunakan untuk mengembangkan
budidaya tiram mutiara.
DAFTAR PUSTAKA
305
Raswin dan Ayodhyoa, 1972. Budidaya Tiram. Direktorat Jenderal Perikanan,
Departemen pertanian, Jakarta.
306
POLIKULTUR ABALONE (Haliotis sp) DAN IKAN HIAS CLOWNFISH
(Amphiprion sp.) SECARA TERKONTROL DALAM
MENINGKATKAN EFISIENSI WADAH BUDIDAYA
ABSTRAK
307
PENDAHULUAN
Budidaya abalon dan ikan hias clownfish telah banyak dilakukan.
Namun kegiatan budidaya, keduannya cenderung dilakukan secara terpisah.
Dalam pembesarannya, abalon memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 1,-
1,5 tahun dari ukuran 0,5 cm hingga ukuran konsumsi 5-7 cm. Sedangkan ikan
clownfish memerlukan waktu sekitar 3-4 bulan untuk ukuran jual 3-4 cm.
Selama ini abalon banyak dibesarkan di bak beton, keranjang dasar
maupun karamba jaring apung (KJA). Sedangkan ikan clownfish banyak
dibudidayakan di akuarium maupun di bak fiber. Model budidaya keduanya
terkesan berbeda, namun sebenarnya pembesarannya bisa dilakukan secara
bersamaan (polikultur).
Balai Budidaya Perikanan Laut Lombok telah melakukan perekayasaan
teknologi berupa polikultur abalon dan clownfish. Kegiatan ini bertujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan SR ikan hias clownfish dengan memanfaatkan
ruang kosong di bak beton tempat pembesaran abalon (Haliotis sp.). Dengan
polikultur abalon dan clownfish diharapkan keuntungan dari kegiatan
pembesaran lebih optimum.
308
gram/hari dan laju pertumbuhan panjang cangkang harian sebesar 0.09 mm/hari
dengan kelulushidupan rata-rata sebesar 92%. Pertumbuhan yang optimum dan
sintasan yang tinggi ini diakibatkan oleh kondisi bak yang terkontrol dengan
pergantian air dan pemberian pakan yang optimum pula.
Pada grafik ini terlihat bahwa clownfish hingga bulan keempat masih
tumbuh dengan baik untuk mencapai ukuran optimumnya. Dari pengalaman
kegiatan pemeliharaan benih clownfish yang dilakukan di BPBL Lombok
selama ini, pertumbuhan akan melambat setelah ukuran 4 cm. Sedangkan untuk
pertambahan panjang cangkang abalon cenderung lambat. Hal ini karena durasi
pemeliharaan abalone memang cenderung lama yaitu hingga 1-1,5 tahun,
tergantung jenisnya. Menurut Susanto (2010), pertumbuhan abalone sangat
lambat dan berbeda antar spesies, akan tetapi pertumbuhan panjang cangkang
mulai mencolok setelah masa pemeliharaan 8-10 bulan.
309
Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Berat (gram)
8
6
4
Abalon
2
Clown fish
0
Bulan ke- 2 3 4
1
310
Dari pengukuran kualitas air selama perekayasaan polikultur abalone
dan ikan clownfish diperoleh data sebagai berikut:
Dari data kualitas air yang diukur, kualitas air pemeliharaan masih
dalam kisaran normal, yang sesuai untuk pertumbuhan abalone dan clownfish..
Menurut Setyono (2009), semua jenis abalone menyukai suhu perairan 27-30˚
C, salinitas 29-33 ppt, pH 7,6-8,1 dan DO 3,27-6,28 ppm. Sedakan ikan
clownfish menyukai kisaran suhu 27-28˚ C untuk tumbuh (Fautin dan Allen
1992) pH optimum 7,8-8,6 (Ari dan Murdjani 2008), DO antara 4-5 ppm (Ari
et al. 2009), dan salinitas 30-35 ppt (Maddu et al. 2009). Selain itu parameter
kualitas air selalu terjaga karena pemeliharaan dilakukan dalam bak yang
mengalir dengan pergantian air secara kontinyu dan penyiponan setiap pagi hari
untuk membersihkan sisa pakan.
KESIMPULAN
311
DAFTAR PUSTAKA
Ari, K. dan Murdjani, M. 2008. Rekayasa Penyediaan Induk Unggul
Ikan Hias
Amphiprion ocellaris. Makalah Seminar Indoaqua 2008. Yogyakarta.
Fautin, D.G. dan Allen G.R. 1992. Field Guide to Anemone Fishes and Their
Host Sea Anemones. California Academy of Sciences University of
Kansas. California.
Susanto, B. Rusdi, I., Rahmawati, R., Giri, N.A., Sutarmat T. 2010. Aplikasi
Teknologi Pembesaran Abalon (Halotis squamata) dalamMenunjang
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Balai Besar Riset Perikanan
Budidaya Laut Gondol. Bali.
312
PEMBIAKAN ANEMON SECARA VEGETATIF DENGAN METODE
FRAGMENTASI SEBAGAI ALTERNATIF USAHA IKAN HIAS
PENDAHULUAN
Ikan hias merupakan komoditas estetis yang beragam dilihat dari jenis,
bentuk dan warnanya.Salahsatu yang diminati adalah anemone. Anemon
banyak diminati karena dalam penyajian ikan hias dalam akuarium, ia akan
tampil sebagai sebagai pusat perhatian dengan warna dan bentuknya yang
sangat bervariasi.
Selama ini anemone hanya ditangkap oleh nelayan kemudian dijual
begitu saja kepada pengumpul dan eksportir. Penangkapan tentu saja akan
membuat kelestariannya di alam dalam jangka waktu tertentu, akan terganggu.
Untuk mengatassi hal ini perlu dilakukan upaya-upaya tertentu, salahsatunya
adalah dengan melakukan fragmentasi (pembelahan) anemon.
Fragmentasi anemone selama ini hanya dilakukan oleh eksportir
sebagai upaya untuk meningkatkan keuntungan usaha. Namun masyarakat
penangkap ikan belum banyak melakukannya untuk tujuan keuntungan usaha
maupun menjaga kelestariannya di alam.
313
Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok telah melakukan perekayasaan
fragmentasi anemone. Tujuan kegatan ini adalah untuk meningkatkan kuantitas
anemone yang akan berimbas pada peningkatan keuntungan sekaligus menjaga
kelestariannya di alam.
Dari data di atas dapat diketahui bahwa SR anemone karpet lebih tinggi
daripada anemone pasir. Ini berarti anemone karpet memiliki daya tahan yang
lebih baik dalam proses pembelahan. Bila dilihat dari sifat keduanya, daya
tahan anemone karpet dapat diketahui dengan cara menempel yang kuat di
substrat atau di dinding bak, bila dibandingkan dengan anemone pasir. Selain
itu daya pulih (recovery) anemone karpet lebih baik bila dibandingkan dengan
anemone pasir.
Selain jenis anemone, menurut Ulfa (2009), kondisi perbedaan lokasi
pengambilan anemone turut mempengaruhi daya tahan anemone. Anemon yang
berasal dari lokasi pengambilan yang berbeda, akan berpengaruh pada
perbedaan daya tahan anemone terhadap pengaruh lingkungan yang baru.
314
Dari data di atas dapat diketahui bahwa SR anemone karpet lebih tinggi
daripada anemone pasir. Ini berarti anemone karpet memiliki daya tahan yang
lebih baik dalam proses pembelahan. Bila dilihat dari sifat keduanya, daya
tahan anemone karpet dapat diketahui dengan cara menempel yang kuat di
substrat atau di dinding bak, bila dibandingkan dengan anemone pasir. Selain
itu daya pulih (recovery) anemone karpet lebih baik bila dibandingkan dengan
anemone pasir.
Selain jenis anemone, menurut Ulfa (2009), kondisi perbedaan lokasi
pengambilan anemone turut mempengaruhi daya tahan anemone. Anemon yang
berasal dari lokasi pengambilan yang berbeda, akan berpengaruh pada
perbedaan daya tahan anemone terhadap pengaruh lingkungan yang baru.
315
Gambar 2. Morfologi Visual Anemon Pasir
70
Warna Cerah
60
50
40
30 Warna Pucat
20
10
0 Tentakel
Hari 4 6 8 10 12 14 mengembang
ke-2
Sedangkan untuk anemone pasir fluktuasi warnanya terjadi pada hari ke-
1 sampai hari ke -9, dan untuk kondisi tentakel fluktuasi terjadi dari hari ke-1
sampai hari ke-12.Namun dari kondisi tentakel dan warnanya, anemone pasir
mulai menunjukkan gejala stabil pada hari ke-8 sampai hari ke-13, dan mulai
stabil pada hari ke 14. Hal ini menunjukkan rata-rata anemone pasir mengalami
proses pemulihan pada hari ke 6 sampai hari ke 12, dan menunjukkan rata-rata
kondisi normal pada hari ke 14.
.
Kualitas Air
Sedangkan untuk data kualtas air adalah sebagai berikut:
Dari data kualitas air dapat diketahui bahwa kisaran kualitas air
pemeliharaan anemone masih sesuai untuk kehidupan anemone. Menurut
Cervino et al (2003), anemone ideal dielihara pada suhu 28˚C, salinitas 35‰,
dan pH antara 8,10-8,3.
Usaha fragmentasi anemone dapat dilakukan oleh nelayan maupun
pengumpul (middle man). Usaha ini akan lebih menguntungkan apabila
316
dilakukan oleh nelayan, dimana untuk mendapatkan anemone tidak perlu
membeli. Apabila dilakukan oleh pengumpul, maka margin keuntungan akan
lebih bagus apabila anemone yang dikumpulkan lebih banyak dan sebagian
disimpan untuk dibelah kembali apabila kondisi anemone sudah pulih.
Pemeliharaan anemon dalam jangka waktu lama dengan tujuan untuk disimpan
dan dibelah kembali, bisa dilakukan di KJA.
Saran
A. Perlu dilakukan perekayasaan fragmentasi anemone dengan beberapa
metode untuk meningkatkan sintasan anemone yang akan
meningkatkan keuntungan.
B. Perlu kajian usaha untuk kegiatan fragmentasi yang dilakukan di
karamba jaring apung (KJA)
DAFTAR PUSTAKA
Cervino, J.M., Hayes R.L., Honovich M., Goreau T.J., Jones S., dan Rubec P.J.
2003.Changes In Zooxanthelae Density, Morphology, and Mitotic Index
in Hermatypic Corals and Anemones Exposed to Cyanide. Marine
Pollution Bulletin 46 (2003): 573-586.
Ufa, M. 2009. Pengaruh Jenis Lampu yang Berbeda Terhadap Minotik Indeks,
Densitas Zooxantellae dan Morfologi Anemon (Heterectis malu) pada
Skala Laboratorium.IPB. Bogor.
317
ANCAMAN PENYAKIT PARASITIK PADA IKAN HIAS
CAPUNGAN BANGGAI (Pterapogon kauderni)
DI BANGGAI KEPULAUAN
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui frekuensi serangan
ektoparasit yang menginfeksi ikan capungan Banggai (Pterapogon
kauderni) yang dilalulintaskan di Kepulauan Banggai dan potensi
ancaman yang ditimbulkan dari masing-masing jenis ektoparasit
tersebut.Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif secara time
series.Analisis data diperoleh dengan melihat frekuensi serangan pada
tahun 2010 – 2013 dan memprediksi potensi ancaman yang ditimbulkan
pada tahun-tahun mendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
tahun 2010 - 2013 , terdapat enam jenis ektoparasit yang ditemukan
yaitu Chilodonella sp, Trichodina sp, Amyloodinium sp, Vorticella sp,
Zoothamnium sp dan Ichthiopthirius sp. Frekuensi serangan ektoparasit
yang paling banyak adalah Trichodina sp sebanyak 189 kali,
Amyloodinium sp sebanyak 56 kali, Chilodonella sp sebanyak 39 kali,
Zoothamnium sp sebanyak 14 kali, Ichthiopthirius sp sebanyak 10 kali,
dan Vorticella sp sebanyak 8 kali. Dari hasil analisis regresi diperoleh
bahwa kemungkinan potensi ancaman ektoparasit jenis Amyloodinium
sp untuk tahun-tahun mendatang lebih tinggi dibandingkan jenis parasit
lain yaitu sebesar 78%. .Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
frekuensi serangan ektoparasit yang menginfeksi ikan capungan Banggai
pada tahun 2010 - 2013 didominasi oleh Trichodina sp sedangkan
ancaman potensi serangan diperoleh pada parasit Amyloodinium sp.
318
PENDAHULUAN
Ikan capungan Banggai (Pterapogon kauderni) atau yang dikenal
dengan Banggai Cardinalfish (BCF) merupakan spesies ikan hias laut endemik
yang penyebaran alaminya hanya bisa ditemukan di Kepulauan Banggai
Sulawesi Tengah.Semakin besarnya permintaan pasar terhadap jenis ikan ini,
menuntut pembudidaya ikan untuk meningkatkan jumlah produksi. Di Banggai
Kepulauan, budidaya ikan capungan Banggai belum terlalu banyak ditekuni
oleh masyarakat, kebanyakan masih berupa penangkapan di alam dan
ditampung sementara pada karamba jaring apung sebelum dipasarkan ke luar
daerah. Beberapa kendala dalam pembudidayaan ikan capungan Banggai
diantaranya adalah tingginya tingkat kematian. Penyakit merupakan faktor
penghambat dalam pembudidayaan ikan capungan Banggai. Serangan penyakit
pada ikan capungan Banggai yang ditampung dikaramba merupakan faktor
utama pernyebab tingkat kematian yang tinggi dan kerugian besar pada
pembudidaya ikan.
Kewaspadaan terhadap penyakit perlu sekali mendapat perhatian
utama.Ikan yang terserang dapat mengakibatkan penurunan produksi budidaya,
bahkan dapat menimbulkan kematian ikan.Penyakit pada ikan dapat disebabkan
oleh agen infeksi seperti parasit, bakteri, jamur dan virus, agen non infeksi
seperti kualitas pakan yang jelek, maupun kondisi lingkungan yang kurang
menunjang bagi kehidupan ikan.Timbulnya serangan penyakit merupakan hasil
interaksi yang tidak serasi antara ikan, kondisi lingkungan, dan organisme atau
agen penyebab penyakit. Interaksi yang tidak serasi ini menyebabkan stress
pada ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi
lemah, akhirnya agen penyakit mudah masuk kedalam tubuh dan menimbulkan
penyakit (Afrianto dan Liviawaty, 1992).
Salah satu jenis penyakit ikan adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi ektoparasit.Walaupun kerugian akibat infeksi ektoparasit tidak sebesar
kerugian akibat infeksi bakteri atau virus namun infeksi ektoparasit menjadi
salah satu faktor predisposisi bagi infeksi organisme patogen yang lebih
berbahaya tersebut. Kerugian non letal yang lain dapat berupa kerusakan organ
luar, pertumbuhan yang lambat, penurunan nilai jual dan peningkatan
sensitivitas terhadap stressor (Pramono dan Syakuri, 2008). Lebih lanjut,
dijelaskan bahwa tingkat infeksi ektoparasit yang tinggi dapat mengakibatkan
kematian akut, yaitu mortalitas tanpa menunjukkan gejala terlebih dahulu.
Berbagai dampak negatif yang ditimbulkan menjadi faktor yang mendorong
dikembangkannya upaya pengendalian infeksi ektoparasit.
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan adalah mencegah penyebaran
ektoparasit dari satu tempat ke tempat yang lain. Upaya ini termasuk dalam
konsep yang dikenal dengan istilah biosecurity, yaitu serangkaian usaha untuk
319
mencegah atau mengurangi peluang masuknya suaitu penyakit ke dalam suatu
sistem budidaya (Lotz 1997 dalam Pramono dan Syakuri 2008).Adapun
penerapan konsep ini terdiri dari dua aspek, yaitu isolasi dan desinfeksi
(Prayitno dan Sunarto, 2004). Kegiatan isolasi dan proses identifikasi akan
memberikan informasi penting tentang karakteristik pathogen yang diperlukan
dalam menentukan metode desinfeksi yang tepat.
Metode deteksi dini ektoparasit dengan melihat aspek epidemiologi atau
sejarah berkembangnya parasit di suatu tempat merupakan hal yang relatif
baru.Deteksi ektoparasit pada simpul distribusi ikan, seperti farm penampungan
merupakan kegiatan yang perlu dilakukan.Informasi yang diperoleh dari
kegiatan ini sangat berguna baik bagi instansi pemerintah, pembudidaya
maupun pedagang dalam mengendalikan organisme patogen ini.Oleh karena
itu, dalam penelitian ini dilakukan deteksi ektoparasit pada ikan capungan
Banggai (P. kauderni) yang dilalulintaskan keluar wilayah Kepulauan Banggai.
Berdasarkan permasalahan yang telah diidentifikasi, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi serangan ektoparasit beserta
potensi ancaman yang ditimbulkan dengan melihat data frekuensi serangan
selama kurun waktu tahun 2010 sampai dengan 2013.Adapun manfaat
penelitian ini adalah memberikan pengetahuan dan informasi mengenai parasit
yang menyerang ikan capungan Banggai di Kepulauan Banggai dengan
mengembangkan teknik deteksi dini untuk mencegah serangan parasit yang
berpotensi merugikan secara sosial ekonomi.
320
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan selama tahun 2010 sampai dengan 2013,
ditemukan beberapa jenis ektoparasit dengan frekuensi serangan yang berbeda-
beda satu sama lain. Data jenis ektoparasit yang menginfeksi ikan capungan
Banggai pada setiap tahun pengamatan dapat diamati pada tabel 1.
321
cepat, ikan tampak pucat, nafsu makan menurun dan sensitif terhadap infeksi
bakteri (Klinger and Floyd, 1998). Serangan Trichodina sp dengan intensitas
tinggi dapat menyebabkan hiperplasia pada sisik dan kerusakan struktur insang
yang pada akhirnya ikan akan mati (Pramono dan Syakuri, 2008).
Selain kualitas air yang kurang baik, serangan parasit ini dapat juga
disebabkan karena tingkat kepadatan ikan yang relatif tinggi sehingga proses
persinggungan ikan lebih banyak terjadi dan penyebaran Trichodina sp. bisa
menjadi lebih cepat. Selain itu, Trichodina sp. tumbuh dengan baik pada
kolam-kolam dangkal dan menggenang terutama pada tempat-tempat
pemijahan dan pembenihan.Parasit ini pada umumnya menimbulkan kematian
pada benih ikan (Kabata, 1985).
Parasit Amyloodinium sp ditemukan sebanyak 56 kali menginfeksi ikan
capungan Banggai selama tahun 2010 – 2013 atau tertinggi kedua setelah
Trichodina sp. Parasit ini termasuk dalam golongan Dinoflagellata yang
menyerang insang dan kulit ikan air tawar dan air laut dimana memiliki ciri-ciri
berbentuk beludru (velvet) atau disebut penyakit debu emas (Reed and Floyd,
1994). Tingginya kejadian penyakit velvet diduga karena adanya pergantian
musim dari kemarau ke penghujan sehingga kualitas air cenderung tidak stabil
dan ikan mengalami stress sehinga parasit dengan mudah menginfeksi ikan
(Sumiati dan Aryati, 2010).
Serangan parasit Amyloodinium sptertuju pada berbagai jenis ikan air
tawar dengan menunjukkan gejala klinis antara lain ikan yang sakit bergerak
cepat dan liar, kadang-kadang gerakan ikan menjadi lemah, kulit dan insang
tertutup mucus kuning tua, pengamatan histologis menunjukkan kehadiran
organisme berbentuk oval, sering megap-megap di permukaan perairan, terjadi
kerusakan pada kulit dan insang, adanya pendarahan, inflamasi, dan necrosis di
bagian insang, serta dapat juga mengakibatkan kematian massal (Kurniawan,
2012).
Ektoparasit Chilodonella sp ditemukan menginfeksi ikan capungan
Banggai sebanyak 39 kali pada tahun 2010 – 2013. Faktor penyebab infeksi
parasit ini adalah kualitas air yang rendah seperti suhu..Parasit ini berukuran 80
μm dan tertutup oleh cilia-cilia (Roberts, 1989 dalam Zamrud dan Adriany,
2013).Parasit ini menyebabkan penyakit Chilodonelliasis yang dapat
menyebabkan kematian pada suatu kolam.Dalam keadaan yang tidak
menguntungkan beberapa individu dapat memproduksi cystys.Ikan yang
terserang Chilodonella sp mengalami luka-luka, kulit yang terkena infeksi
menjadi rusak dengan lapisan mukosa menjadi suram dan sirip tidak utuh lagi.
Jenis parasit Zoothamnium sp menyerang ikan capungan Banggai
sebanyak 14 kali dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini.Protozoaini
merupakan penyebab penyakit zoothamniumiosis.Protozoaini biasanya
menyerang ikan kakap putih di tambak atau karamba jaring apung. Selain itu,
322
Zoothamnium sp juga ditemukan menyerang udang windu.Gejala klinis
serangan seperti pada umumnya, yaitu nafsu makan berkurang dan ikan
kelihatan lesu, terdapat bintik-bintik seperti lumut di permukaan tubuh, dan
produksi mucus yang berlebih (Kurniawan, 2012).
Penyakit bercak putih disebabkan oleh kelompok parasit
Ichthyophthirius.Pada penelitian ini ditemukan frekuensi serangan sebanyak 10
kali selama empat tahun terakhir.Parasit inibergerombol dalam jumlah puluhan
bahkan ratusan sehingga terlihat sebagai bintik putih (white spot) sehingga
disebut white spot disease.Protozoaini bersarang pada lapisan kulit dan sirip,
merusak lapisan insang dan sel-sel lendir, serta menyebabkan pendarahan yang
terlihat pada sirip dan insang.
Serangan penyakit ini biasanya terjadi pada musim hujan, yaitu pada
saat suhu berkisar 20-24oC dan pada musim kemarau, serangannya bersifat
sporadis saja. Gejala klinis antara lain pergerakan ikan hiperaktif atau kadang
kala malas dan cenderung mengapung di permukaan air, menggosok-gosokkan
tubuh ke pinggir wadah, dasar, atau benda keras di sekelilingnya, nafsu makan
turun dan menjadi lemah, timbul bintik-bintik putih pada sirip, tutup insang,
permukaan tubuh, dan ekor, serta memperlihatkan gejala flashing yang
memantulkan cahaya (Pramono dan Syakuri, 2008).
Untuk membandingkan tren frekuensi serangan ektoparasit yang
menyerang ikan capungan banggai dari tahun ke tahun dapat dilihat pada
gambar 1 dan gambar 2.
60
56
50 50 Trichodina sp
45
40 38 Amyloodinium sp
30 Chilodonella sp
20 Zoothamnium sp
15 16 17
10 10 12 Ichtiophthirius sp
9
8 8
5 3 4
0 2 2 2
1 2 Vorticella sp
2009 2010 2011 2012 2013 2014
323
Gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah frekuensi serangan ektoparasit
terhadap ikan capungan Banggai setiap tahun didominasi (paling tinggi) oleh
parasit Trichodina sp, lalu diikuti oleh serangan parasit Amyloodinium sp, dan
serangan parasit yang paling rendah adalah Vorticella sp. Jika dilihat dari
fluktuasi frekuensi serangan setiap tahunnya (antara 2010-2013), maka dapat
dikelompok atas tiga bagian: pertama, kelompok parasit dengan kategori sangat
berfluktuasi dan kecenderungan serangan meningkat walaupun perubahannya
relatif kecil yakni ektoparasit Trichodina sp (fluktuasi frekuensi serangan
tinggi) dan ektoparasit Ichtiophthirius sp (sedang), kelompok dua: kategori
serangan meningkat setiap tahunnya (jenis parasit Amyloodinium sp), dan
kelompok ketiga: kategori serangan parasit rendah fluktuasinya dan relatif
konstan setiap tahunnya yakni Chilodonella sp, Zoothamnium sp dan Vorticella
sp.
Untuk mengetahui besaran perkembangan dan determinasi frekuensi
serangan ektoparasit setiap tahunnya, maka dilakukan analisis regresi sederhana
dengan melihat dua indikator yakni koefisien determinasi (R 2) dan koefisien
regresi (kemiringan garis regresi). Indikator R2 menunjukkan persentase
perubahan serangan setiap tahun yang dihasilkan oleh setiap
ektoparasit.Sementara kemiringan regresi menunjukkan besaran perubahan
frekuensi serangan parasit pada setiap tahunnya. Makin besar nilai koefisien
regresi, makin besar perubahan frekuensi serangan parasit untuk setiap
tahunnya.
Hasil analisis data secara regresi menunjukkan tren frekuensi serangan
ektoparasit dari tahun ke tahun menunjukkan data yang cukup signifikan
terutama dari jenis Amyloodinium sp. Walaupun data frekuensi serangan
Trichodina sp cukup besar dan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun namun
jika dilihat dari hasil analisis koefisien determinasi serangan (R2) dan koefisien
regresi (perubahan serangan per tahun) menunjukkan nilai yang masih lebih
rendah dibanding jenis Amyloodinium sp.Hal diperilihatkan oleh nilai R2jenis
Amyloodinium sp sebesar 78% dan koefisien regresi (perubahan serangan per
tahun) 2,8. Hal ini berarti bahwa selama empat tahun terakhir (2010-2013),
78% terjadinya serangan parasit didominasi oleh ektoparasit Amyloodinium
spdan kemungkinan akanterjadi peningkatan menginfeksi ikan capungan
Banggai pada tahun-tahun mendatang. Sementara determinasi serangan untuk
parasit lainnya berada pada kisaran 0-16%.
Walaupun frekuensi serangan Trichodina sp cukup besar namun
determinasi serangan hanya 12%, sementara determinasi parasit Zoothamnium
sp dan Ichthiopthirius spmasing-masing 16%.Dari sisi perkembangan serangan
setiap tahun pada jenis Amyloodinium sp menunjukkan nilai 2,8, yang bahwa
setap tahun terjadi peningkatan 2,8 (3) kali serangan dan masih lebih tinggi
324
dari frekuensi serangan jenis parasit lainnya termasuk jenis Trichodina spyakni
2,1 (dibulatkan 2) yang berarti setiap tahunnya terjadi peningkatan serangan
sebanyak 2 kali. Ini berarti bahwa perlu perhatian besar dalam pencegahan
maupun penanggulangan parasit pengganggu pada capungan Banggai terutama
kedua jenis parasit tersebut (jenis Amyloodinium spdan Trichodina sp). Untuk
itulah, metode deteksi dini melalui pendekatan epidemiologi penyakit
dibutuhkan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap serangan penyakit pada
ikan eksotik seperti capungan Banggai.
KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut : terdapat enam jenis ektoparasit yang menginfeksi ikan capungan
Banggai selama tahun 2010 – 2013 yang terdiri dari Trichodina sp,
Amyloodinium sp, Chilodonella sp, Vorticella sp, Zoothamnium sp dan
Ichthiopthirius sp. Frekuensi serangan ektoparasit selama empat tahun terakhir
didominasi oleh Trichodina sp sebanyak 189 kali, lalu jenis
parasitAmyloodinium sp sebanyak 56 kali, Chilodonella sp sebanyak 39 kali,
Zoothamnium sp sebanyak 14 kali, Ichthiopthirius sp sebanyak 10 kali, dan
Vorticella sp sebanyak 8 kali. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa
kemungkinan potensi ancaman ektoparasit jenis Amyloodinium sp untuk tahun-
tahun mendatang lebih tinggi dibandingkan jenis parasit lain yaitu sebesar 78%.
DAFTAR PUSTAKA
325
Prayitno, S.B. dan A. Sunarto. 2004. Pengembangan Budidaya Berbasis
Biosecurity. Makalah Prosiding Seminar Penyakit Ikan dan Udang
IV.Hal. 38 – 43.
Pramono, T.B. dan H. Syakuri. 2008. Infeksi parasit pada permukaan tubuh
ikan nilem (Osteochilus hasellti) yang diperdagangkan di PPI
Purbalingga. Jurnal Berkala Ilmiah Perikanan. Vol. 3 (2): hal 79 – 82.
Sumiati, T. dan Y. Aryati. 2010. Penyakit parasitik pada ikan hias air tawar.
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar
Zamrud, M. dan D.T. Adriany. 2013. Identifikasi ektoparasit pada ikan kerapu
macan (E. fuscoguttatus) yang dilalulintaskan di kepulauan Banggai.
Makalah disampaikan pada Forum Inovasi Teknologi Akuakultur
(FITA) 2013.Balai Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan Perikanan.
326
POTENSI PENGEMBANGAN BUDIDAYA KUDA LAUT (Hyppocampus
kuda) DI KEPULAUAN RIAU
Agung Darmono, Nur Muflich J., Tinggal Hermawan dan Muh. Kadari
ABSTRAK
Upaya pengembangan budidaya laut dapat ditingkatkan dengan
intensifikasi budidaya dan diversifikasi komoditas budidaya.
Diversifikasi komoditas budidaya dimulai dengan mengidentifikasi
komoditas ikan laut yang mempunyai keunggulan : antara lain adanya
permintaan pasar, mempunyai nilai ekonomi dan teknologi produksi
sudah dikuasai. Alternatif diversifikasi komoditas budidaya adalah kuda
laut (Hyppocampus kuda), baik sebagai ikan hias maupun sebagai bahan
baku obat-obatan. Menurut Vincent (1996) dalam Syafiuddin (2004)
yang meneliti tentang perdagangan kuda laut di dunia, bahwa konsumsi
kuda laut di Asia mencapai 45 ton per tahun (≥ 16 juta ekor), dimana
konsumen utamanya adalah China ≥ 20 ton, Taiwan ≥ 11,2 ton dan
Hongkong ≥ 10 ton. Data tahun 1997 menunjukkan bahwa harga impor
kuda laut di Cina mencapai US$ 1200 per kg (Al Qodri dkk., 1998
dalam Syafiuddin, 2004). Di China, kuda laut kering sebagai bahan
baku untuk obat-obatan. Konsumen kuda laut kering terbanyak adalah
dari etnik China, baik yang berasal dari Singapura maupun dari
Indonesia (Romimohtarto & Juwana, 2005).
Kuda laut mempunyai keunikan induk jantan yang hamil, dimana
telur yang dihasilkan induk betina diletakkan dalam kantung perut jantan
dan akan dibuahi oleh induk jantan. Selanjutnya induk jantan juga akan
melahirkan anak kuda laut (juwana).
Kuda laut dewasa berumur 8 bulan dengan bobot 7,5 gr/ekor siap
untuk dipanen dan dijual dalam bentuk kering dengan harga kisaran Rp.
5.000.000 per kg. Dalam setiap kilogram kuda laut kering berisi sekitar
400 ekor.
327
PENDAHULUAN
Persiapan Wadah
Dipersiapkan wadah berupa bak beton atau fiberglass ataupun
aquarium.Dalam bak pemeliharaan juga dilengkapi dengan tempat bertengger
(shelter) induk berupa karang mati, lamun buatan yang terbuat dari plastik dan
tali yang dibentuk seperti piramid dan dilengkapi dengan pemberat dari batu
agar tenggelam di dasar aquarium.Fungsi dari tempat bertengger adalah untuk
328
tempat istirahat yang nyaman dengan cara melilitkan ekornya. Bak
pemeliharaan diberi aerasi yang bergelembung halus.
Pemeliharaan Induk
Calon induk hasil tangkapan dari alam harus dikarantina dan
diaklimatisasi terlebih dahulu. Karantina bertujuan untuk membebaskan
organisme pathogen yang mungkin terbawa dari alam agar tidak menyebar ke
induk yang sudah ada di pembenihan. Disamping itu kegiatan aklimatisasi juga
untuk menyesuaikan calon induk dengan lingkungan yang baru serta pakan
yang biasa digunakan di pembenihan. Induk dipelihara di dalam wadah
pemeliharaan dengan perbandingan jantan dan betina adalah 1 : 1, dengan
kepadatan 20 – 30 ekor/ton dengan tidak memelihara lebih dari 4 ekor/100 liter
air. Induk diberi pakan 2-3 kali sehari secara adlibitum, yaitu pada pagi, siang
dan sore hari, berupa udang rebon dan udang jambret. Induk betina dewasa
dengan panjang tubuh antara 10 – 14 cm dapat memproduksi telur 300 – 600
butir.
Kelahiran Juwana
Induk jantan yang sudah menerami telur pada hari kesembilan
dipindahkan ke bak lain yang telah disiapkan sebelumnya. Pada hari ke
sepuluh, juwana akan dikeluarkan dari kantung jantan. Pengeluaran juwana
umumnya pada malam hari. Setelah seluruh juwana dikeluarkan, induk jantan
dipindahkan kembali ke bak pemeliharaan induk.
329
Pemberian Pakan untuk Juwana
Pakan yang diberikan pada juwana yang berumur 1-15 hari berupa
Nauplii Copepoda.Nauplii Artemiasalina baru diberikan setelah juwana
berumur 14 hari dengan kepadatan 2 ekor/ml dan frekwensi pemberian 3 kali
sehari. Ke dalam bak pemeliharaan dapat juga ditambahkan fitoplankton dari
jenis Tetraselmis dengan kepadatan 50-300 ribu sel/ml. Penambahan
fitoplankton ini selain berperan penting untuk memperbaiki kualitas air juga
berfungsi untuk pakan Copepoda dan Artemia.
330
ditambahkan pupuk organik selam 5-8 hari. Nauplii Copepoda dipanen dengan
plankton net 60 mikron. Kista Artemia dapat ditetaskan dalam fiberglass, yang
dibagian bawahnya berbentuk kerucut dan berwarna terang, diisi air laut bersih
dan diberi aerasi kuat. Kista akan menetas setelah 19-24 jam pada temperatur
kamar. Sedangkan fitoplankton yang diberikan adalah Tetraselmis.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
331
Syarifuddin. 2004. Pembenihan dan Penangkaran Sebagai Alternatif Pelestarian
Populasi Kuda Laut (hyppocampus spp.) Di Alam. afikiki@telkom.net
Teguh.2007. http://teripang-kudalaut.blogspot.com/Vedcabagus. 2008.
http://vedcabagus.wordpress.com/2008/12/
Yahya, H.2005. info@harunyahya.com
332
UPAYA MEMACU KOMSUMSI PAKAN PADA BENIH ABALONE
(HALIOTIS ASININA) DENGAN PEMBERIAN EKSTRAK
TUMBUHAN
ABSTRAK
Ketersediaan pakan sangat dibutuhkan dalam proses
pembesaran benih abalone sehingga efektifitas pencernaan
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan bobot abalone dengan
mengkomsumsi pakan sedikit mungkin. Efektifitas pencernaan
dan penyerapan nutrisi pakan dari abalone dapat ditingkatkan
dengan memberikanperlakuan penambahan ekstrak buah
tomat, sehingga nilai FCR dapat diturungkan hingga kisaran 11
– 13gr dan pertambahan pertumbuhan mencapai 77%
perbulannya.
Kata kunci : kecernaan abalone, ekstrak herbal, bobot
abalone
PENDAHULUAN
Benih merupakan salah tahap suatu kegiatan budidaya yang sangat
menentukan keberhasilan yang akan dicapai. Kesalahan dalam memilih benih
akan menimbulkan danpak kerugian yang besar, seperti tingginya tingkat
kematian saat proses pemeliharaan dan lambatnya pertumbuhan. Oleh karena
itu, seleksi benih sebelum penebaran harus dilakukan dengan tepat.
Ketersediaan pakan sangat dibutuhkan dalam proses pembesaran benih
abalone sehingga efektifitas pencernaan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
bobot abalone dengan mengkomsumsi pakan sedikit mungkin.
Telah menjadi pemahaman masyarakat dari dahulu bahwa beberapa
tumbuhan dapat memacu nafsu makan jika mengkomsumsinya, diantaranya
adalah buah tomat dan daun papaya muda. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka ada kemungkinan buah tomat dan daun papaya dapat pula memacu nafsu
makan pada abalon
Buah tomat merupakan sala satu sayuran yang sangat popular di
Indonesia. Rasanya yang asam segar membuat sangat digandrungi sebagai
lalapan, pelengkap salad, maupun bahan untuk membuat saos atau sambal.
333
Dibalik rasanya yang asam, ternyata memiliki manfaat yang luar biasa bagi
kesehatan dan meningkatkan nafsu makan.
Pepaya merupakan buah tropis yang keberandaannya cukup
melimpah.Buah yang satu ini memang dikenal sebagai buah meja yang nikmat
dikonsumsi langsung tanpa diolah terlebih dahulu. Selain nikmat, pepaya juga
diketahui memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh manusia terutama yang
berhubungan dengan kesehatan perut dan sebagai penambah nafsu makan
Pembuatan ekstrak
Ekstrak daun papaya atau tomat
1. Siapkan gelas piala volume 1 liter yang berisi air laut steril
2. Timbang daun pepaya/tomat 175 gr dan dihaluskan/digerus
3. Masukkan dalam air hangat yang telah disediakan, aduk hingga rata,
kemudian ditapis dan air ekstraknya diambil
Fermentasi
1. Siapkan gelas piala volume 1 liter yang berisi air laut steril
2. Timbang daun papaya dan tomat masing-masing 175 gr dan
dihaluskan/digerus
3. Masukkan dalam air hangat yang telah disediakan, aduk hingga rata,
kemudian ditapis dan air ekstraknya diambil
4. Tambahkan 5 gr biakan saccharomyces (permifan)
334
Parameter yang di Amati
Pertumbuhan Mutlak
Pertumbuhan mutlak abalon (H. asinina)diamati dari awal hingga
berakhirnya perekayasaan. Pertumbuhan mutlak diukur dengan menggunakan
rumus pertumbuhan mutlak Effendy (2000).
G = Wt-Wo
Dimana:
G = Pertumbuhan Mutlak Rata-Rata (g)
Wt = Berat Bibit Pada akhir penelitian (g)
Wo = Berat Bibit Pada Awal Penelitian (g)
337
Tabel 3. Data Pengamatan Pertumbuhan
Pertumbuhan Bulan Ke-3
Kode Bobot Awal
Bobot(gr) Selisih Persen Rata-Rata
A1 46.86 51.06 15.29 43
A2 36.34 39.57 11.63 42 48.40
A3 27.23 31.35 11.86 61
B1 63.92 80.14 45.43 131
B2 49.49 63.67 32.94 107 114.97
B3 43.11 51.73 26.72 107
C1 60.09 70.73 27.76 65
C2 41.86 38.35 7.52 24 70.64
C3 67.22 83.00 45.77 123
D1 117.65 141.20 81.93 138
D2 58.74 71.26 38.66 119 97.89
D3 36.42 36.46 9.82 37
339
bobot tubuhnya.Namun untuk abalone muda dan abalone induk hal tersebut
kurang effektif karena masih banyaknya pakan yang tersisa.
KONVERSI PAKAN
PERBULAN
25
NILAI FEEDING RATE
20
Perlakuan A
15
Perlakuan B
10
Perlakuan C
5
0 Perlakuan D
1 2 3
340
mendekati dan mengkonsumsi pakan tersebut (Harada et al., 1984).Hal tersebut
mengindikasikan bahwa G. arcuata memilki daya attraktan yang lebih baik
dibanding G. verucosa.Selain itu, tekstur antara kedua jenis rumput laut yang
berbeda juga dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan
tingkat konsumsi pakan antara kedua jenis pakan tersebut. Hal ini sesuai
dengan penyataan Fleming (1995) dalam Viera et al. (2005) bahwa tingkat
konsumsi pakan pada abalone H. asinina diduga dipengaruhi oleh faktor lain
selain kualitas nutrisi dari pakan, seperti tekstur (dalam hal ini kekerasannya)
serta kehadiran dari bahan kimia antinutrisi lainnya. Dari hal tersebut diduga
tekstur dari G. arcuata lebih disukai oleh abalone. Stepherd dan Steinberg
(1992) dalam Viera et al. (2005) menemukan bahwa kekerasan tekstur dan
kadar abu pada G. cornea diduga berpengaruh pada konsumsi pakan pada H.
musciformis, di alam. Hal tersebut terkait dengan kemampuan penetrasi radula
ke dalam permukaan alga, sebab radula memilki batas kemampuan untuk
memotong substrat (Steneck dan Walting, 1982 dalam Viera et al., 2005).Selain
itu, keadaan lingkungan yaitu kualitas air (pH, salinitas, DO, photoperiod) juga
dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan abalone (Freeman, 2001).
Tingkat konsumsi pakan yang tinggi tidak menjamin bahwa laju
pertumbuhan juga akan tinggi. Hasil penelitian Mardin (2005) dan Wula (2005)
menunjukkan bahwa pakan rumput laut jenis G. verrucosa memperlihatkan laju
pertumbuhan dan tingkat kematangan gonad yang lebih tinggi dibandingkan
pakan jenis G. arcuata. Hal ini dikarenakan kandungan nutrisi pada G. verucosa
lebih tinggi dari G. arcuata, terutama kandungan protein, lemak dan
karbohidratnya (Wula, 2005) dimana nutrisi tersebut sangat dibutuhkan bagi
pertumbuhan dan perkembangan gonad bagi abalone induk (Bautista dan
Millamena, 1999).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari perekayasaan ini, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Efektifitas pencernaan dan penyerapan nutrisi pakan dari abalone dapat
ditingkatkan dengan penambahan ekstrak buah tomat
2. Penambahan ekstrak daun pepaya tidak memberikan efek positif pada
nafsu makan dan nilai kecernaan abalone
3. Penambahan hasil permentasi ekstrak buah tomat dan daun papaya tidak
lebih baik dari control (tanpa perlakuan)
341
DAFTAR PUSTAKA
Bautista, M.n., dan Millamena, O.M. 1999. Diet Development and Evaliation
for Juvenile Abalone, H. Asinina: Protein/Energy Levels. Aquaculture
178 (1999) 117-126.
Effendy, I.J., R. S. Patadjai dan A.I. Nur. 1998. Studi Tentang Jenis, Kepadatan
dan Penyebaran Setiap Jenis Abalon (H. varia dan H. asinina). Di
Perairan Pantai Pulau Hari Sulawesi Tenggara. Laporan Penelitian.
Lembaga Penelitian Unhalu. Kendari.
Estes, J.A., Lindberg, D.R., dan Wray, C. 2005. Evolution of Large Body Size
in Abalones (Haliotis): Patterns and Implications. Journal
Paleobiology, 31(4), 2005, pp. 591–606.
Fermin, A. 2008.Abalone Aquaculture in the Philippines.Southeast Asian
Fisheries Development Center (SEAFDEC) AQUACULTURE
DEPARTMENT Tigbauan, Iloilo, Philippines.Disampaikan pada
Kuliah Umum di Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan Universitas
Haluoleo pada tanggal 23 Juli 2008.
Freeman, K.A. 2001. Fisheries Research Report: Aquaculture and Related
Biological Attributes of Abalone Species in Australia – A Review.
Department of Fisheries. Australia
Grubert, M.A. 2005. Factor Influencing the Reproductive Development and
Early Live History of Blacklip (H. rubra) and Greenlip (H. laevigata)
Abalone. Submitted in fulfillment of the requirements for the Degree
of Doctor of Philosophy.School of Aquaculture.University of
Tasmania, Launceston, Australia.
Harada, K., Maruyama, S., dan Nakano, K. 1984.Bulletin of Japanese Society
os Scientific Fisheries. 50(9), 1541-1544.
Heasman, M dan Savva, N. 2007. Manual for Intensive Hatchery Production of
Abalone: Theory and Practice for Year-Round, High Density Seed
Production of Blacklip Abalone (H. rubra). Australian Government
Fisheries and Development Coorporation. Australia.
Litaay,M. 2005. Peranan Nutrisi dalam Siklus Reproduksi Abalon. Oseana,
Volume XXX, Nomor 3, 2005 : 1 – 7.
Mardin.2005. Penggunaan Jenis Pakan Rumput Laut yang Berbeda Terhadap
Laju Pertumbuhan dan Sintasan Abalone Muda (H. asinine) di
Hatchery.SKRIPSI.Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas
perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari
Mudjiman, A., 2006. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Olin, P. 1994. Abalone Culture in Hawai H. Fulgens and H. Diversicolor
Supertexta. Aquaculture Specialist, Universitas Hawai Sea Grant
Extension Service. Hawai.
342
Proo, S.A.G., Zaragoza,E.S., dan BeltronesS, S.Q. 2003. Natural Diet of
Juvenile Abalone H. fulgens and H. corrugate (Mollusca: Gastropoda)
in Bahia Tortugas, Mexicol. Pacific Science (2003), vol. 57, no.
3:319-324. University of Hawai‘i Press
Setyono, D.E.D. 2005. Abalone (H. asinina L): Early Juvenile Rearing And
Ongrowing Culture. Oseana, Volume XXX, Nomor 2, 2005 : 1-10.
Stevens, M.M. 2003. Seafood Watch, Seafood Report Cultured Abalone
(Haliotis spp.) Fisheries Research Analyst Monterey Bay Aquarium.
Amerika Serikat.
Tahang, M. 2005. Budidaya Abalone pada bak 4 x 3x 2 m. Jurnal.Balai
Budidaya Laut Lombok.
Ungson, J., Yin, Y. M., Vannsereyvuth S., Yii S.H., Doris AU., 2002. Towards
Sustainable Abalone Culturein Thailand. Monthon Ganmanee : 1-10
(2)
Viera, M.P., Pinchetti, J.L.G., Vicose, G.C.D., Bilbao, A., Suareaz, S., Haroun,
R.J., Izquierdo, M.S. 2005.Suitability of Three Red Macroalgae as A
Feed for the Abalone H. Tuberculata coccinea reeve.Aquaculture 248
(2005) 75– 82.
Wula, R. 2005. Pengaruh Penggunaan Jenis Penggunaan Jenis Pakan Rumput
Laut yang Berbeda Terhadap Perkembangan Gonad Abalone (Haliotis
asinina) Jenis kelamin Jantan dan Betina di Hatchery.Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari.
343