Anda di halaman 1dari 44

INOVASI PAKET USAHA UDANG GALAH

UNTUK MENDUKUNG REVITALISASI TAMBAK UDANG


Oleh :
Ceno Harimurti Adi, Maskur, Endang Mudjiutami, R. Eko Prihartono.

Abstrak

Udang galah merupakan komoditas air tawar penting yang harganya cukup
menjanjikan dibandingkan komoditas ikan air tawar lainnya. Namun demikian geliat
budidayanya masih kurang, padahal peluang untuk budidaya masih sangat terbuka. Salah satu
contohnya adalah di daerah Priangan Timur yang perlu dilakukan revitalisasi untuk
menggalakkan budidaya Udang Galah. Inovasi paket usaha budidaya Udang galah telah
dilakukan di BBPBAT Sukabumi pada tahun 2017 yang bertujuan untuk mendapatkan paket-
paket inovasi produksi udang galah yang meliputi peningkatan mutu induk, juvenil, tokolan dan
pembesaran serta teknologi transportasi, sehingga produksi udang meningkat baik pada level
pembenihan maupun pembesaran dan menjamin keamanan pangan serta ramah terhadap
lingkungan.
Perbaikan mutu yang dilakukan adalah introgesi sumber genetik baru Citanduy (C)
untuk membentuk populasi dasar Siratu 2 dengan metoda seleksi individu, selain itu dilakukan
juga hibridisasi antar strain siratu (S) dengan Gimacro 2 (G) dan penggunaan probiotik pada
pemeliharaan larva. Pada kegiatan pentokolan semi intensif, penambahan pupuk (organik dan
anorganik) untuk meningkatkan kesuburan media selama masa pemeliharaan dan peningkatan
kepadatan, sedangkan pentokolan intensif yang dilakukan adalah budidaya Sistem NWS dan
budidaya Sistem Bioflok. Selain itu dilakukan kegiatan pentokolan menggunakan pekan mandiri.
Pembesaran udang galah dilakukan menggunakan wadah kolam dan sawah dengan
pemeliharaan sistem monokultur dan polikultur dengan ikan mas dan nila, dan dilakukan juga
pembesaran menggunakan pakan mandiri. Untuk mengatasi masalah pengangkutan Udang
Galah dilakukan, dilakukan inovasi transportasi sistem terbuka dan tertutup
Hasil kegiatan pentokolan menunjukkan bahwa penambahan pupuk anorganik dengan
padat tebar 60 ekor/m2 memberikan SR 54,9%, FCR 1,36, biaya produksi Rp 190,-/ekor dan
penambahan pupuk organik dengan padat tebar 60 ekor/m2 memberikan SR 50,67%, FCR 1,44,
biaya produksi Rp 195,-/ekor. Pembesaran udang galah sistim monokultur di kolam
menghasilkan SR (66-80.55)%, FCR 1.5-2.0 , dan efisiensi pakan 30% sedangkan pembesaran
udang galah sistim polikultur menghasilkan SR Udang galah (70-80)%, SR Nila 80 %,, SR Mas
80%, FCR udang galah 1.5-2.0, FCR Mas 2.0, FCR Nila 1.5 dan efisiensi pakan 30%. Hasil panen
udang galah sistem monokultur di sawah adalah 0.14 kg per m2 atau 1.4 ton per Ha, sedangkan
pada sistem polikultur, dihasilkan Udang Galah 0.0044 kg/m2 atau 440 kg/Ha, ikan (mas dan
nila) per hektar adalah 0.20 kg per m2 atau 2 ton/Ha), pada pemeliharaan secara polikultur
udang, ikan mas dan nila. Produksi gabah kering 5 ton (0.5 kg per meter) per hektar pada
pemeliharaan secara polikultur.
Pada kegiatan pakan mandiri, diperoleh formulasi pakan mandiri dengan bahan baku
lokal untuk pentokolan udang galah dengan kandungan protein 42 % dengan biaya pakan
sebesar Rp.11.823/Kg. Hasil kegiatan pentokolan menunjukkan bahwa nilai SR pada perlakuan
pakan mandiri sebesar (72.20-88,81)% dan nilai FCR sebesar 1,25. Nilai pertumbuhan bobot
adalah sebesar 3,233 gram (di Sukabumi) dan sebesar 2,41 gram (di Pelabuhanratu). Pada fase
pembesaran diperoleh formulasi dengan harga pakan Rp.10.495/Kg dan pakan komersial
sebesar Rp. 17.300/Kg dengan kandungan protein 33 %. Nilai SR pada perlakuan pakan mandiri
di Sukabumi, Cisaat dan Pelabuhan Ratu berturut-turut adalah sebesar 62.53%,53.45% dan 50%
sedangkan untuk perlakuan pakan komersial pada lokasi yang sama berturut-turut adalah

1
sebesar 63.33%, 35.75% dan 71.7%. Nilai FCR perlakuan pakan mandiri di Sukabumi, Cisaat dan
Pelabuhan Ratu berturut-turut sebesar 2.06, 2.5, dan 4.35. sedangkan untuk pakan komersial
pada lokasi yang sama adalah 1.27, 3.0 dan 1.85.
Pada Sistem tarnsportasi juvenil secara tertutup dengan penigkatan kepadatan 44%
tidak merubah sintasan juvenil atau mortalitas. Biaya transportasi per ekor lebih efisiens 32%
atau turun dari Rp. 113 menjadi Rp. 77,-. Sistem transportasi tokolan secara tertutup dengan
kepadatan ditingkatkan 50%, sintasan tokolan naik dari 96% menjadi 98% atau mortalitas turun
50% dari 4% menjadi 1,8%. Biaya transportasi per ekor lebih efisiens 25,7% atau turun dari Rp.
303 menjadi Rp. 225,-Sistem transportasi tokolan secara terbuka menggunakan aerasi oksigen
dengan kepadatan ditingkatkan >100%, sintasan naik dari 93 % menjadi 92% atau mortalitas
turun 14% dari 7% menjadi 6%. Biaya transportasi udang per ekor lebih efisiens 64,3% atau
turun dari Rp. 543,- menjadi Rp 194,-. Sistem transportasi tokolan secara terbuka menggunakan
aerasi udara dingin menggantikan O2 dengan kepadatan ditingkatkan 60%, sintasan tokolan
naik 92% menjadi 96% atau mortalitas turun 52,6% dari 7,33% menjadi 3,47%. Biaya
transportasi per ekor lebih efisien 20,3% atau turun dari Rp. 543,- menjadi Rp 433,-. Sistem
tarnsportasi calon induk secara tertutup dengan peningkatan kepadatan 50%, sintasan naik dari
94% menjadi 99% atau mortalitas turun 83% dari 6% menjadi 1%. Biaya transportasi per ekor
calon induk lebih efisiens 20,5% atau turun dari Rp. 888,- menjadi Rp. 706,-. Sistem transportasi
calon induk udang galah secara terbuka menggunakan aerasi Oksigen dengan peningkatan
kepadatan 50% tidak meningkatkan sintasan atau menurunkan mortalitas, tetapi biaya
transportasi per ekor menjadi lebih efisiens 55,6% atau menurun dari Rp 4814,- menjadi Rp.
2137,-.
Sistem transportasi calon induk udang galah secara terbuka menggunakan aerasi
udara dingin dengan peningkatan kepadatan 50%, sintasan meningkat dari 98% menjadi 99%
atau mortalitas turun 100% dari 2% menjadi 1%. Biaya transportasi per ekor lebih efisiens 77,5%
atau turun dari Rp 4814,- menjadi Rp 1085,-. Penerapan transportasi calin udang dengan cara
kering dalam 8 jam mencapai mortalitas kurang 5%, sedangkan biaya trasnportasi per ekor
calon induk udang menurun 72,6% dari Rp 11061 menjadi Rp. 3031,- dengan peningkatan 50%
kepadatan. Penurunan waktu tempuh dari 8 jam ke 6 jam pada transportasi kering tokolan
dengan kepadatan 800 ekor/m2 ( 4 layer) dapat menurunkan mortalitas 26,4% dari 53% menjadi
39% dan menurunkan biaya transportasi 37,4% dari Rp. 1019,- menjadi Rp. 638,-

I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Udang galah merupakan komoditas air tawar penting yang harganya cukup
menjanjikan dibandingkan komoditas ikan air tawar lainnya. Namun demikian geliat
budidayanya masih kurang, spot-spot budidaya masih jarang dan skala usahanya
masih tergolong kecil. Padahal peluang untuk budidaya masih sangat terbuka karena
pasar masih banyak membutuhkan. Udang galah pernah meramaikan usaha
perikanan terutama di Jawa Barat sekitar tahun 1990-an. Namun spot-spot budidaya
tersebut sekarang banyak dialihkan pada usaha lain baik perikanan maupun pertanian.
Oleh karena itu mulai tahun 2017, Kementerian Kelautan Perikanan akan melakukan
revitalisasi guna mengembalikan kesuksesan udang galah mulai dari kegiatan
pembenihan hingga pembesaran.

2
Kualitas benih rendah dapat menyebabkan tingkat produktifitas menurun dan
kuantitas benih berkurang. Selain itu kualitas benih yang rendah dapat menyebabkan
tingkat pertumbuhan lambat. Pertumbuhan yang lambat berakibat waktu untuk
budidaya semakin lama, tonase panen rendah dan konversi pakan menjadi tinggi.
Teknologi pembesaran yang efisien juga sangat diperlukan, untuk memperoleh hasil
yang lebih baik dalam rangka meningkatkan penghasilan pelaku Udang Galah. Hal ini
dilakukan melalui pendekatan sistem budidaya berupa wadah budidaya yang
digunakan maupun pendekatan penggunaan pakan udang galah.
Faktor lain yang perlu mendapat perhatian dan pengelolaan Udang Galah
adalah tranportasi induk, juvenile maupun tokolan yang sampai saat ini masih dinilai
belum ekonomis dan tingkat kelangsungan hidup yang belum optimal, walaupun pada
transportasi udang hidup memerlukan penyiapan panen udang hidup yang dalam
kondisi prima sehingga tingkat kelangsungan hidup selama transportasi tinggi.
Organisasi Fungsional Kerekayasaan (OFK) ini adalah OFK Inovasi Paket Usaha
Budidaya Udang Galah untuk Mendukung Revitalisasi Tambak Udang yang terdiri dari
5 WBS yaitu WBS-1 (Inovasi produksi induk dan juvenil udang galah), terdiri dari WP-
1.1 (Inovasi produksi induk unggul udang galah) dan WP-1.2 (Inovasi produksi juvenil
udang galah); WBS-2 (Inovasi produksi tokolan udang galah), terdiri dari WP-2.1
(Inovasi produksi tokolan udang galah semi intensif) dan WP-2.2 (Inovasi produksi
tokolan udang galah intensif); WBS-3 (Inovasi produksi pembesaran udang galah),
terdiri dari WP-3.1 (Inovasi produksi pembesaran di kolam) dan WP-3.2 (Inovasi
produksi pembesaran di sawah). WBS-4 (inovasi sistek transportasi udang galah)
terdiri dari WP 4.1 (Inovasi sistek transportasi udang galah terbuka) dan WP 4.2
(Inovasi sistek transportasi udang galah tertutup) dan WBS-5 (Inovasi produksi pakan
madiri udang galah) terdiiri dari WP 5.1 (inovasi produksi pakan pentokolan udang
galah) dan WP 5.2 (inovasi produksi pakan pembesaran udang galah. WP-WP
tersebut akan mendukung untuk dihasilkannya produk akhir untuk WBS, dan WBS-
WBS akan mendukung produk akhir program Inovasi paket usaha Udang Galah
untuk mendukung revitalissi tambak udang.

I.2. Tujuan
Tujuan kegiatan untuk mendapatkan paket-paket inovasi produksi udang galah
yang meliputi pentokolan dan pembesaran serta teknologi transportasi, sehingga
produksi udang meningkat baik pada level pembenihan maupun pembesaran dan
menjamin keamanan pangan serta ramah terhadap lingkungan.

3
I.3. Hasil/outcome yang diharapkan
Terpenuhinya kebutuhan sistem produksi tokolan dan pembesaran udang
galah, transportasi udang galah secara terbuka dan secara tertutup serta produksi
pakan mandiri untuk tokolan dan calon induk

II. TINJAUAN PUSTAKA

Sektor budidaya semakin meningkat di beberapa negara seperti China dan


beberapa negara berkembang di Asia Pasifik yang mencapai 89% (FAO, 2008). Salah
satunya budidaya udang galah. Usaha budidaya udang galah merupakan salah satu
skala usaha investasi yang bernilai tinggi pada lingkup usaha bidang perikanan air
tawar. Hal ini dikarenakan harga udang galah yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan
dengan harga jual pada komoditas ikan air tawar lainnya. Saat ini harga jual udang
galah ukuran konsumsi pada pembudidaya mencapai Rp.75.000- Rp.80.000 per
kilogram. Selain mempunyai ukuran yang besar, juga memiliki kandungan nutrisi yang
baik yaitu, 74% protein dan 9.09 % lemak (Reddy et al, 2014).

Pembesaran Udang Galah


Pada tahun 2014, BBPBAT Sukabumi telah membentuk strain induk unggul
udang galah Siratu dan dilepas/rilis tahun 2015 sesuai Kepmen
No.25/Kepmen-KP/2015 (Naskah akademik, 2014). Pembenihan dan pembesaran
yang dilakukan mengikuti SOP pembenihan udang galah (BBPBATS, 2010), SOP
pembesaran udang galah (BBATS, 2007) dan Protokol pemuliaan udang galah
(LRPBAT, 2010 )
Salah satu hal yang herus diperhatikan pada pemeliharaan udang adalah sifat
biologis udang galah yang mengalami moulting pada pertumbuhannya. Menurut
Ferraris et al (1987) dalam Anggoro (1992), kematian akibat gangguan molting
berkaitan dengan terjadinya gangguan osmolaritas internal, kehabisan energi untuk
ganti kulit serta berkurangnya daya pemanfaatan pakan. Gagal molting bisa
diakibatkan oleh kondisi cangkang yang keras sehingga proses pergantian kulit
berikutnya akan sulit dilakukan dan keadaan ini akan menghambat pertumbuhan
udang (Ali dan Waluyo, 2015). Lambatnya proses pengerasan kulit atau lamanya
waktu yang dibutuhkan sehingga terbentuknya kulit yang baru menyebabkan udang
tidak segera aktif makan, semakin lama kulit baru terbentuk maka udang terus tidak
aktif makan keadaan ini tentunya akan menjadi penyebab kematian udang yang
dipelihara (Zaidy 2007).

4
Sistem transportasi udang
Pada dasamya dikenal dua sistem transportasi, yaitu transportasi sistem
terbuka dan sistem tertutup. Pada sistem tertutup, udang diangkut di dalam wadah
tertutup dengan menambahkan oksigen murni dalam jumlah terbatas sesuai dengan
kebutuhan selama transportasi. Sedang transportasi sistem terbuka, udang diangkut
dengan menggunakan wadah terbuka yang suplai oksigennya diberikan secara tems
menerus menggunakan aerasi (Suryaningrum et al. 2005). Menurut Richards dan
Rajudarai (1989), beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam transportasi ikan dan
kerang-kerangan hidup antara lain:
a. Kondisi awal ikan yang akan ditransportasikan.
b. Pencegahan dari stres dan luka-luka melalui penanganan yang tepat.
c. Suhu media air, kepadatan dan lama penyimpanan dalam kemasan.
d. Ketersediaan oksigen dan akumulasi sisa metabolisme beracun seperti amoniak dan
karbondioksida.
Udang yang akan ditransportasikan harus dalam keadaan bugar, sehat, tidak
sedang ganti kulit (molting) dan sebaiknya tidak sedang bertelur. Udang yang sedang
molting atau bertelur mempunyai daya tahan tubuh yang lemah dan berpeluang mati
selama transportasi karena dapat menjadi sasaran kanibalisme (Suryaningmm et al.
2005).
Kemasan
Kemasan yang biasa digunakan pada sistem tertutup adalah plastik polietilen
(Junianto 2003). Transportasi udang dengan sistem tertutup pada umumnya
menggunakan kantong plastik yang tebal (Suryaningrum et al. 2005).
Kelemahan penggunaan kantong plastik dalam pengangkutan umumnya mudah
tertusuk dan terbentur. Udang sangat peka terhadap cahaya dan jika terkena cahaya
matahari maka udang akan meronta dan meloncat sehingga dapat menimbulkan
kerusakan fisik, maka dapat diminimalisir dengan membuat keadaan keadaan gelap
dalam kantong kemasannya (Suryaningrum et at. 2005). Penggunaan wadah plastik
yang diletakkan pada kotak stirofoam dapat meningkatkan kelangsungan hidup sebesar
99,9 % (Gerbhards 1965 dalam Supendi 2006). Kotak stirofoam berfungsi sebagai
insulator atau penahan kestabilan suhu karena konduktivitasnya yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan bahan-bahan lain (Ilyas 1983).

Kepadatan

5
Kepadatan adalah bobot atau jumlah individu yang berada dalam suatu wadah
dan waktu tertentu (Junianto 2003). Secara teoritis, jumlah ikan yang diangkut per
volume air dalam sistem pengangkutan tertutup untuk lama pengangkutan tidak lebih
dari 48 jam dapat dirumuskan sebagai berikut (Frose 1985 dalam Junianto 2003):
Fq = 38 xW0,5
Keterangan:
Fq: bobot ikan per volume (gram per liter)
W: bobot rata-rata ikan per ekor (gram)

Persyaratan Media Pengangkut


Udang galah memerlukan kualitas air yang cukup layak untuk mendukung
kelangsungan hidupnya. Kualitas air yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
udang galah antara lain: oksigen terlarut, keasaman (pH), amoniak serta suhu media
(Hadie dan Hadie 1993).
Oksigen terlarut
Pada dasarnya syarat utama untuk menjamin keberhasilan transportasi udang
hidup adalah dengan menjaga tercukupinya kandungan oksigen dalam media angkut
selama perjalanan. Cara terbaik untuk menjaga tingkat kandungan oksigen dalam air
tetap tinggi adalah dengan cara mempertahankan suhu air tetap rendah, mengganti
media air, mengendalikan laju pernapasan udang serendah mungkin (Suryaningrum et
al. 2005). Ketersediaan oksigen terlarut dalam air sangat dipengaruhi oleh suhu, pH
dan karbondioksida (Junianto 2003). Semakin tinggi suhu air, semakin kurang kadar
oksigen yang terlarut dalam air. Setiap kenaikan suhu 1oC membutuhkan kenaikan
oksigen terlarut sebanyak 10 % (Boyd 1990). Menurut Richards dan Rajudarai (1989),
penambahan oksigen murni selama transportasi ikan air tawar dengan sistem tertutup
dapat meningkatkan kelulusan hidup selama 20-70 jam. Kandungan oksigen terlamt
untuk transportasi udang dapat berkisar antara 5,5 sampai 7 mg/liter. Kelamtan oksigen
dalam air yang rendah selama transportasi akan menyebabkan udang stres
(Suryaningmm et al. 2005).

Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang secara langsung mempengaruhi laju
metabolisme tubuh ikan atau udang. Karena ikan atau udang adalah organisme
berdarah dingin maka suhu tubuhnya akan mengikuti suhu lingkungan. Menurut Berka
(1986), ketika suhu air rendah, pH air akan meningkat dan metabolisme ikan akan
menurun. Batas kritis suhu air bagi udang galah yaitu di bawah 12 oC dan di atas 37oC

6
Penggunaan suhu rendah (18-19oC) selama transportasi akan menekan aktivitas
metabolisme dan respirasi udang, disamping itu juga menekan tingkat stres dan
memperkecil kematian, meningkatkan kepadatan serta memungkinkan udang diangkut
dengan jarak yang lebih jauh (Suryaningrum et al. 2005).
Derajat keasaman (pH)
Nilai pH dipengaruhi oleh suhu, dimana hubungannya berbanding terbalik, yaitu
dengan meningkatnya suhu maka nilai pH akan semakin menurun. Bila suhu air
meningkat, maka konsumsi oksigen oleh organisme poikilothermal akan meningkat,
akibatnya konsentrasi karbondioksida juga meningkat (Boyd. 1990). Nilai pH cenderung
rendah disebabkan konsentrasi karbondioksida yang tinggi, sebaliknya cenderung tinggi
disebabkan konsentrasi karbondioksida yang rendah (Boyd. 1990). Nilai pH air yang
mendukung kelangsungan hidup udang galah berkisar 6,9-9 (Sandifet et al. 1983 dalam
Susilawati 1991). Nilai pH air dapat dijadikan kontrol karena berhubungan secara
langsung dengan kandungan amoniak dan CO2 (Berka 1986). Apabila tejadi penurunan
pada nilai pH air maka akan terjadi peningkatan konsentrasi di dalam air sehingga NH3-
N dapat berubah menjadi NH3+. Tetapi apabila nilai pH air meningkat maka konsentrasi
H+ di dalam air berkurang, akibatnya NH3-N dominan di dalam air dan dapat masuk ke
dalam jaringan (Boyd 1990)
Karbondioksida
Pada pengangkutan sistem tertutup, kandungan CO2 menjadi salah satu faktor
penghambatnya. Kandungan CO2 dalam kantong plastik yang meningkat akan
menurunkan pH sehingga tejadi peningkatan proses ionisasi molekul amonia. Semua
jenis ikan mampu hidup dalam air yang mengandung CO2 dengan kadar 60 ppm,
asalkan kandungan O2 tetap tinggi. Apabila kadungan oksigen terlarut rendah maka
konsentrasi CO2 lebih dari 10-15 ppm akan mengakibatkan terhambatnya pengambilan
O2 oleh ikan (Junianto 2003).
Amoniak
Amoniak adalah senyawa bersifat racun yang berasal dari hasil penguraian
protein secara kimiawi. Protein yang .terurai bersumber dari makanan dan sisa-sisa
metabolisme udang (Hadie dan Hadie 1993). Daya racun amoniak akan meningkat
dengan meningkatnya pH air, jika pH air turun maka daya racun amoniak juga turun.
Kandungan amoniak dalam air pada konsentrasi 0,7 ppm akan menyebabkan insang
mengalami kerusakan, kandungan 02 dalam darah berkurang, serta kemampuan untuk
melakukan osmoregulasi juga berkurang (Junianto 2003). Amoniak tidak terionisasi
sudah berbahaya pada konsentrasi 0,04-0,18 ppm, karena dapat menurunkan kapasitas
darah untuk membawa oksigen sehingga jaringan akan kekurangan oksigen (Boyd
1990).

7
Natrium Klorida (NaCl)
Pengertian garam secara kimia merupakan hasil reaksi penetralan asam
dengan basa. Natrium klorida dibentuk dari HCl dan NaOH, dimana kedua zat ini
merupakan asam dan basa kuat. Asam dan basa kuat artinya bahwa kedua zat ini akan
terionisasi secara sempurna di dalam air. Dengan demikian NaCl akan terionisasi
secara sempurna di dalam air menjadi ion Na + dan Cl- (Wurts 1995). Sifat-sifat garam
natrium klorida antara lain berbentuk kristal tidak berwarna atau serbuk putih, tidak
berbau, rasa asin serta larut dalam air (Hartono 2006). Penambahan NaCl akan
meningkatkan kadar garam media air pengangkutan hingga mencapai tingkat yang
sama dengan kadar garam pada darah ikan sehingga akan mengurangi gradien ion dan
menurunkan metabolisme (Cameiro dan Urbinati 2006). Menurut Wurts (1995), ikan
dapat mentoleransi penambahan NaCl dengan konsentrasi 10 gram per liter selama
pengangkutan, tetapi dianjurkan untuk menambahkan NaCl kurang dari 9 gram per liter.
Natrium klorida dalam jumlah kecil (0,2 %-0,3 %) dapat ditambahkan dalam media air.
Penambahan natrium klorida dabat membantu menenangkan ikan (Singh 2002).
Kondisi stress dapat mengganggu fungsi insang dalam memelihara
keseimbangan elektrolit dan homeostasis (Cameiro dan Urbinati 2001). Insang
merupakan organ utama krustasea air tawar dan payau yang digunakan untuk menjaga
keseimbangan kadar garam tubuh. Alat ekskresi dan osmoregulasi pada ordo Decapoda
adalah kelenjar antena (kelenjar hijau) yang terletak pada pangkal antena kedua
(Suwignyo et al. 1998). Osmoregulasi adalah pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh
yang layak bagi kehidupan ikan sehingga proses fisiologis bejalan normal (Pickering
1981). Ikan air tawar maupun laut pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk
mempertahankan komposisi ion-ion tubuhnya pada tingkat yang secara signifikan
berbeda dari lingkungan okstemalnya. Proses ini merupakan suatu mekanisme dasar
osmoregulasi. Namun kenyataannya setiap organisme mempunyai kemampuan yang
berbeda-beda untuk menghadapi masalah osmoregulasi sebagai respon terhadap
perubahan osmotik lingkungan eksternalnya (Cameiro dan Urbinati 2001).
Osmoregulasi pada ikan air tawar melibatkan pengambilan ion dari lingkungan
untuk membatasi kehilangan ion. Air akan masuk ke dalam tubuh ikan karena kondisi
tubuhnya hipertonik sehingga ikan banyak mengekskresikan air dan menahan ion
(Pickering 198 1). Pada ikan air tawar, garam akan berdifusi dari cairan tubuh ikan yang
berkonsentrasi tinggi ke lingkungan di luar tubuhnya yang berkonsentasi rendah
sehingga garam, terutama natrium dan klorida, secara perlahan namun terus-menerus
akan hilang. Kehilangan garam akan digantikan melalui penyerapan kembali dari
lingkungannya (Wurts 1995).

8
Produksi pakan mandiri
Salah satu kandungan terpenting dalam produksi pakan mandiri adalah
kandungan protein yang terdapat dalam formulasi pakan. Tepung ikan yang merupakan
sumber protein tinggi yang terdari dari beberapa asam amino diantaranya taurine,
hydroxyproline, glycine, arginine, glutamic acid dan alanine yang diidentifikasi berfungsi
sebagai perangsang (Tantikitti C. 2014). Menurut Sandifer & Smith (1977) bahwa
kandungan nutrisi untu protein pakan dengan kisaran 25-35% sudah mampu
mengukung pertumbuhan udang galah, walaupun sangat dianjurkan dengan ransum
kadar protein diatas 30%.
Menurut Craig. S dan Helfrich (2009) bahwa pakan udang galah harus
mempunyai daya tenggelam yang sempurna. Pertimbangan dari cara makan udang
galah yang menggunakan capit dan bersifat makan aktif sehingga fisik pellet sangat
menentukan pertumbuhan (Chavanich S. et al, 2016). Dalam FAO, 2007b bahwa
gandum digunakan sebagai perekat dan sebagai sumber karbohidrat juga dalam
pakan udang galah.

III. METODOLOGI

III.1. Waktu dan Tempat


Kegiatan dilaksanakan pada Bulan Januari-Desember 2017 di Instalasi
Pembenihan Udang Galah - BBPBAT Sukabumi, perkolaman BBPBAT Sukabumi,
petani padi di desa Cikurutug, Kecamatan Cireunghas Sukabumi, dan dipembudidaya
ikan di desa Kadudampit, Cisaat Sukabumi.

III.2. Bahan, Alat dan Prosedur Kerja


III.2.1. Produksi Induk dan Juvenil
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah induk udang galah Siratu,
induk udang galah Citanduy, induk Gimacro 2, pakan induk, pakan larva (artemia dan
egg custard), pakan benih, pakan pembesaran, pupuk, kapur, bahan kimia treatment
air, probiotik, obat-obatan, Sedangkan alat yang digunakan adalah bak pemijahan,
bak penetasan, bak pemeliharaan larva, kolam pentokolan, kolam pembesaran, alat
perikanan, alat packing, hapa, jala, timbangan dan penggaris.
Inovasi Produksi Induk Unggul Udang Galah terdiri dari dua sub kegiatan yakni
Perbaikan Mutu Induk SIRATU dan Hibridisasi Udang Galah Siratu dan Gimacro 2
Metoda yang digunakan dalam kegiatan adalah mengacu pada :
- SOP pembenihan udang galah (BBPBATS, 2010)

9
- SOP pembesaran udang galah (BBATS, 2007)
- Protokol pemuliaan udang galah (LRPBAT, 2007)

III.2.2. Inovasi Produksi Tokolan


Pengujian produksi tokolan udang galah semi intensif dilakukan dengan padat
tebar 60 ekor/m2 pada kolam dengan luas 150 - 250 m 2. Pengujian pada kolam
cengkeh BBPBAT Sukabumi dilakukan 2 kali ulangan waktu, sedangkan pengujian di
IPUG Pelabuhan Ratu dilakukan 1 kali ulangan waktu. Pengujian produksi tokolan
udang galah intensif dilakukan dengan 2 jenis padat tebar 100 dan 150 ekor/m 2.
Pengujian dengan padat tebar 100 ekor/m2 dilakukan pada kolam 250 m2 di IPUG
Pelabuhan Ratu dengan 1 ulangan waktu. Pengujian dengan padat tebar 150 ekor/m2
dilakukan pada kolam beton yang berukuran 5,6 – 12,3 m 2 di BBPBAT Sukabumi
dengan 2 ulangan wadah dan 2 ulangan waktu. Kegiatan pengujian dilakukan sesuai
dengan desain pada Tabel 1.
Tabel 1. Desain Pengujian Inovasi Produksi Tokolan Udang Galah
Peran Kegiatan Pengujian Lokasi Pengujian
OFK
BBPBAT Sukabumi IPUG Pelabuhan Ratu
WP 2.1 Produksi tokolan udang galah semi Padat Tebar Padat Tebar
intensif 60 ekor/m2 1) 60 ekor/m2 2)
ES2.1.1 Produksi tokolan udang galah dengan Kolam Cengkeh, Kolam 250 m2
pengkayaan media pupuk anorganik 150m2
dan organik
ES2.1.2 Produksi tokolan udang galah dengan Kolam Cengkeh, Kolam 250 m2
pengkayaan media pupuk mix 150m2
(anorganik+organik) dan kontrol
WP 2.2 Produksi tokolan udang galah intensif Padat Tebar Padat Tebar
150 ekor/m2 3) 100 ekor/m2 2)
ES2.2.1 Produksi tokolan udang galah dengan Kolam beton, Kolam 250 m2
aplikasi NWS 6,5 - 12,3 m2
ES2.2.2 Produksi tokolan udang galah dengan Kolam beton Kolam 250 m2
aplikasi biofloc dan kontrol 5,6 - 10,2 m2
1) 2) 3)
Keterangan : 2 ulangan waktu, 1 ulangan waktu, 2 ulangan wadah dan 2 ulangan
waktu)

Bahan yang digunakan adalah benih uji juvenile udang galah ± 0,05 gram,
pakan benih, pupuk urea, TSP, pupuk kandang, pupuk TON, EM4, probiotik, kapur,
molase, ragi, dedak, kaporit, dan natrium tiosulfat.
Peralatan yang digunakan adalah wadah kolam budidaya (ukuran 20 m 2, 150
m2, dan 250 m2), instalasi air, instalasi aerasi, hiblow, peralatan perikanan (scopnet,

10
lambit, hapa, ember), peralatan sampling (timbangan, penggaris), dan peralatan
kualitas air (pH meter, DO meter, dan spektrofotometri.
Kegiatan pengujian secara umum dibegi menjadi 3 tahap, yaitu 1) persiapan, 2)
perlakuan media pemeliharaan, dan 3) pemeliharaan udang beserta pengamatan
pertumbuhan dan kualitas air.

Tahap 1. Persiapan
a. Perbaikan sarana dan prasarana
b. Membuat shelter
c. Pengelolaan sumber air
d. Persiapan kolam

Tahap 2. Perlakuan media pemeliharaan

a. Semi intensif
1) Pupuk Anorganik
Memberikan pupuk urea dan TSP, kemudian diamkan selama 1 minggu. Pemupukan
berulang dilakukan setiap 2 minggu sekali.
2) Pupuk Organik
Memberikan/menaburkan pupuk kandang, pupuk organik komersil, EM4, dan diamkan
selama 1 minggu. Pemupukan berulang dilakukan setiap 2 minggu sekali.
3) Pupuk Campuran Anorganik dan Organik
Memberikan/menaburkan pupuk kandang, pupuk organik komersil, EM4, pupuk urea
dan TSP, diamkan selama 1 minggu. Pemupukan berulang dilakukan setiap 2 minggu
sekali.
4) Kontrol
Tanpa pemberian pupuk
b. Intensif
Sebelum pengujian dilakukan sterilisasi air pada semua kolam dengan memberikan
kaporit 30 g/m3 air dan setelah 3 hari diberikan natrium tiosulfat 15 g/m3.
1) Biofloc
Lakukan pemberian probiotik dan molase. Diamkan selama 2-3 hari sebelum
dimasukkan benih. Pemberian molase dilakukan setiap hari.
2) NWS
Masukkan dedak, ragi, probiotik heterotroph, EM4, molase, urea, dan diamkan selama
5 hari sebelum dimasukkan benih.
3) Kontrol
Tanpa perlakuan
Tahap 3. Pemeliharaan udang, pengamatan pertumbuhan, dan kualitas air

11
a. Penebaran udang galah
Menggunakan juvenil udang galah (Macrobrachium rossenbergii) ukuran ± 0,1 g
- Semi Intensif menggunakan padat tebar 60 ekor/m2
- Intensif menggunakan padat tebar 100 ekor/m2 (IPUG Pelabuhan Ratu) dan 150
ekor/m2 (BBPBAT Sukabumi).
b. Pemberian pakan harian
Pemberian pakan pada awal penebaran sebanyak 20% – 7% frekuensi pemberian pakan
2 kali/hari dan selanjutnya sebanyak 5 – 10% biomassa per hari. Pakan buatan (pellet)
yang digunakan mengandung protein 30%.
c. Sampling Udang Galah
Pengamatan udang galah dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan parameter
pengukuran panjang dan bobot individu udang galah sebanyak 30 ekor.
d. Pengujian Kualitas Air
Pengujian kualitas air dilakukan setiap seminggu sekali dengan parameter suhu, pH, DO,
CO2, alkalinitas, nitrit dan amonia

III.2.3. Inovasi Pembesaran Udang Galah


A. Pembesaran Udang galah di Kolam

Desain Wadah

Berikut ini adalah disain wadah pembesaran udang galah di kolam

M N M

shelter shelterr

N M N

UG UG

A B

Keterangan: M =Benih Ikan Mas, G = Benih ikan dan UG = Udang galah

12
Mekanisme kerja kerekayasaan Mono dan Poli-kultur di kolam

Tahapan Persiapan

 Persiapan wadah pembesaran udang gaah berupa 2 buah kolam semi permanen
berukuran 450 m2
 Persiapan pemeliharaan ikan mas dan ikan nila secara terpisah sebanyak 6 buah
hapa berukuran (3x3x1) m
 Persiapan sekat pelindung udang galah berupa 10 buah lembaran paranet dengan
panjang 8 m.
 Persiapan peralatan inlet dana outlet air berasal dari sungai
 Persiapan pakan udang komersial dengan kandungan protein 33%
 Persiapkan kapur tohor yang akan digunakan dengan dosis 50 gram/m2
 Persiapan pakan ikan komersial terapung dengan kandungan protein 26 %
 Persiapan peralatan pendukung berupa bambu, golok, kawat ikat, tang dan palu

Tahapan pelaksanaan

 Pengeringan kolamselama 1 hari


 Pemasangan sekat pelindung paranet di jalur tengah kolam
 Pengisian air kedalam kolam hingg permukaan air 80-100 cm
 Penebaran 20 ekor/m2 tokoln udang galah dengan bobot rtaan bobot badab rataan
5-6 g per ekor
 Penebaran benih ikan mas dan benih ikan nila masing-masing sebanyak 300
ekor/hapa dengan bobot badan 4-5 gram
 Pemeliharaan tokolan udang dan ikan di dalam kolam selama 4 bulan
 Pemberian dosis pakan udang maupun ikan sebanyak 3%/hari/biomas
 Pemberian frekuensi pakan 3 kali/hari
 Perolehan data bobot badan (gram) dan panjang total (cm) udang ikan dilakukan
dengan contoh masing-masing 30 ekordata pertambahan Bobot Badan (gram) dan
Panjang Total (cm) dilaksanakan dengan pengambilan 30 ekor contoh
 Waktu pengambilan contoh tiap-tiap 2 minggu
 Perolehan data parameter kualitas air kolam dilaksanakan dengan mengambilair
yang berasal dari inlet, dead area dan outlet
 Waktu pengambilan data parameter air dilakukan setiap 2 minggu

B. Pembesaran Udang Galah di sawah

13
Bahan, alat dan wadah yang digunakan :
 4 unit sawah berukuran antara 500 – 600 m 2, yang dilengkapi caren keliling
berukuran lebar 1m dan dalam 0.8 m2, saluran pemasukan dan pengeluaran serta
selama budidaya dilakukan suplai air.
 Varietas benih padi Ciherang.
 Benih udang galah tokolan 2.
 Benih ikan mas ukuran 5 g.
 Benih nila ukuran 5 g.
 Pupuk urea.
 Pupuk Tsp.
 Pakan pembesaran untuk udang dan ikan.

Prosedur kerja yang diterapkan adalah sebagai berikut:


 Bersamaan persiapan sawah (peninggian tanggul, pembuatan saluran pemasukan
dan pengeluaran, pembuatan caren, dan perataan plataran sawah) padi disemai
(masa semai ± 7 hari).
 Setelah sawah siap dan dan ketinggian benih padi mencapai 15 cm, padi di tanam
dengan model jajar legowo 4 – 2.
 Pemupukan susulan dilakukan setelah 7 hari padi di tanam,
 7 hari setelah pemupukan susulan pada saat rumpun pada masing – masing padi
mulai bertambah. Benih udang ditebar dengan kepadatan 10 ekor / m2.
 Benh ikan mas dan nila ditebar 5 hari kemudian setelah penebaran bibit udang.
Padat tebar baik benih ikan mas dan nila adalah 1 ekor / m2.
 Pakan udang dan ikan diberikan secara bersama dengan kisaran feeding rate
selama pembesaran yaitu menurun, untuk udang 10% - 2.5% dan ikan 5% - 3%.
 Sampling meliputi panjang dan bobot dilakukan setiap 14 hari sekali.
 Padi dipanen setelah masa tanam 90 hari, sedangkan udang dan ikan 7 hari
sebelum padi dipanen (83 hari masa pemeliharaan).

III.2.4. Transportasi Udang Galah


Peralatan yang digunakan terdiri dari Bak fibre, alat perikanan, peralatan
packing, kendaraan roda 4 bak terbuka, instalasi air, instalasi aerasi, Aerator (Hi-blow),
peralatan gelas lab, dan akuarium. Sedangkan wadah yang digunakan terdiri dari Bak
fibre dan akuarium berukuran 80 x 40 x 50 cm3, timbangan digital, botol sampel,
peralatan lab untuk pengukuran kualitas air, diantaranya alat-alat gelas, pH-meter, DO-
meter dan spektrofotometer

14
Bahan yang digunakan adalah calon induk udang galah (Macrobrachium
rosenbergii, de Man) dengan ukuran 30-40 g per ekor, tokolan udang galah ukuran
minimal 2,5-5,0 g per ekor, dari Hachery Udang Galah BBPBAT di Pelabuhan Ratu
dalam keadaan hidup, sehat, normal (tidak ganti kulit). Bahan lain yang digunakan
terdiri dari air tawar bersih (air sumur yang telah di aerasi), es batu, zeolit, NaCl,
minyak cengkeh, dan kantong plastik kemasan. Bahan lain yang digunakan adalah
gas oksigen murni untuk diisikan ke dalam kemasan, air sumur dan bahan-bahan
untuk menguji kualitas air seperti MnS04, klorox, phenate, indikator PP, Na2CO3, HCI,
dll.

Tahapan Kegiatan:
1) Persiapan media air
Media air tawar terlebih dahulu dipersiapkan sebagai tempat penampungan,
kondisioning dan penyimpanan udang galah. Air sumur diendapkan serta diaerasi
selama 2 x 24 jam di dalam tandon untuk menghilangkar kandungan CO2 kemudian
ditampung dalam akuarium bak fiber.
2) Persiapan udang galah uji
Udang galah uji yang baru diperoleh diadaptasikan dalam kondisi dalam bak atau
yang telah disediakan. Pada persiapan udang galah uji terdapat tiga tahapan yang
dilakukan, yaitu adaptasi, seleksi dan kondisioning.
a) Adaptasi
Perlakuan adaptasi dilakukan agar udang galah dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya terutama pada media air yang sedikit berbeda dengan air di tempat
asal hidup udang galah. Adaptasi udang galah dilakukan selama karang lebih 2 x 24
jam untuk menghindari munculnya sifat kanibalisme dan moulting. Udang
ditempatkan pada bak fiber dengan kepadatan 40 ekor dalam 40 liter air (1 ekor/liter).
Bak adaptasi dilengkapi dengan shelter yang dibuat dari pipa paralon dan keranjang
pelastik sebagai tempat berlindung udang yang moulting dari sasaran kanibalisme
dan aerator yang digunakan untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut di
dalam air. Selama proses adaptasi, udang galah diberi pakan komersil secukupnya,
sebanyak 3-7 % berat tubuh perhari dengan frekuensi 2-3 kali perhari. Setiap 3 jam
setelah pemberian pakan, media hidup udang galah dibersihkan dengan membuang
kotoran dan sisa pakan.
b) Pemilahan udang
Proses pemilahan dilakukan dengan memilih udang galah yang benar-benar sehat
dan tidak cacat untuk digunakan dalam proses kondisioning. Udang uji yang akan
digunakan harus dalam keadaan bugar, sehat, tidak sedang ganti kulit (motilting).

15
c) Kondisioning
Udang galah yang sudah dipilah, dipelihara dalam bak fiber terpisah dan diberi pakan
1 jam sebelum kondisioning. Kemudian udang galah diistrihatkan selama 24 jam dan
selama proses tersebut media hidupnya tetap diaerasi untuk meningkatkan
kandungan oksigen terlarutnya. Selama udang galah diistirahatkan, dilakukan satu
kali pergantian air sebanyak 50% dari jumlah media air untuk membuang kotoran
yang dihasilkan udang galah.
d) Proses packing/pengemasan untuk pengangkutan sistem tertutup
Pengemasan/packing meggunakan kantong plastik (Gambar 1). Dua sudut mati
pada kemasan untuk juvenil dihilangkan dengan diikat karet gelang dan pada bagian
bawah kemasan dipasang kran aerasi sebagai alat untuk mengambil sampel air.
Pada kemasan plastik untuk tokolan dan untuk calon induk tidak dilakukan seperti
diatas. Setiap kemasan diisi air sebanyak 10 liter dan diisi udang dengan kepadatan
udang pada masing-masing cara pengangkutan (Tabel 2).
Masing-masing kemasan udang galah diberi perlakuan sesuai dengan desain
kerekayasaan (Tabel 3). Kantong plastik diisi dengan oksigen murni dengan
perbandingan antara air dan oksigen 1:3. Pengisian oksigen murni dilakukan dengan
cara mengempiskan kantong plastik terlebih dahulu untuk mengeluarkan udara
didalamnya kemudian udara yang telah dikeluarkan tersebut diganti dengan
memasukkan oksigen murni melelui selang. Setelah jumlah oksigen murni yang
ditambahkan memenuhi perbandingan 1:3 kemudian kantong plastik diikat erat
dengan karet gelang dan dimasukkan ke dalam stirofoam.

Tabel 2. Padat penebaran udang pada transportasi terbuka dan tertutup

Kepadatan
No. Perlakuan
Juvenil Tokolan Calon induk
I Tertutup :
1 Kontrol 340 ek/L 20 ek/L 2,5 ek/L
2 Perlakuan 490 ek/L 30 ek/L 5 ek/L
II Terbuka :
1 Kontrol 6 ek/L 1 ek/L
2 Aerasi oksigen 20 ek/L 2 ek/L
3 Aerasi udara dingin 10 ek/L 2 ek/L
4 Tanpa Air + Jerami 200 ek/m2 200 ek/m2

16
e) Transportasi secara tertutup
Udang galah yang telah diikemas dalam kantong plastik kemudian dimasukkan
dalam kotak stirofoam berukuran 75x42x40 cm3. Setiap stirofoam diisi dengan tiga
kemasan udang juvenil dan satu kemasan udang tokolan atau calon induk (Gambar.
Untuk menjaga agar suhu tetap rendah diletakkan batu es di antara kedua kemasan
dan pada bagian samping kemasan sebanyak 250 gram. Setelah itu kotak stirofoam
ditutup rapat dan dilakban untuk menghindari pengaruh suhu lingkungan terhadap isi
kemasan.
Transportasi dilakukan statis dan bergerak dengan cara menyimpan kemasan
udang galah dalam kotak stirofoam selama 8 jam dan menggunakan kendaraan roda
empat, masing-masing terdiri dari 2 kali ulangan untuk setiap perlakuan. Kotak
stirofoam diberi sedikit goncangan secara manual setiap 3 jam sekali selama
penyimpanan statis. Pengamatan dan pengukuran beberapa parameter yang
berpengaruh terhadap kelulusan hidup udang galah dilakukan sebelum dan setelah
perlakuan. Parameter yang diamati yaitu jumlah udang yang hidup dan mati sebelum
dan setelah pengangkutan 8 jam, Pengamatan kualitas air setiap 3 jam sekali.
Tabel 3. Disain dan perlakuan kerekayasaan transportasi udang galah
Cara tarnsportasi Stadia/ukuran udang Perlakuan
Tertutup Juvenil Kontrol + artemia
Kontrol
ZANA + Artemia
ZANA
ZACE + Artemia
ZACE
Tokolan KONTROL
Pakai Es
ZANA + ES
ZACE + ES
ZA + ES
Calon Induk KONTROL
Pakai Es
ZANA + ES
ZACE + ES
ZA + ES
Terbuka Tokolan Kontrol + aerasi udara
ZANA+Rd es + aerasi Oksigen
ZACE+Rd es + aerasi Oksigen
ZANA +Rd Mc+ aerasi udara
ZANA + Aerasi Udara
ZANA + Aerasi Oksigen
ZACE + Aerasi Udara
ZACE + Aerasi Oksigen
Tanpa Air + Jerami
Calon Induk KONTROL + Aerasi Oksigen
KONTROL + Aerasi Udara
ZANA + Aerasi Oksigen
ZANA + Aerasi Udara
ZACE + Aerasi Oksigen

17
ZACE + Aerasi Udara
Rend MC + ZANA +Aerasi Oksigen
Rend MC + ZANA +Aerasi Udara
Rend ES + ZACE +Aerasi Oksigen
Rend ES + ZACE +Aerasi Udara
Tanpa Air + Jerami

f) Transportasi secara terbuka


Wadah transportasi disiapkan dengan disi air sebanyak 25 liter per wadah, kemudian
dimasukan udang tokolan atau calon induk dengan padat tebar yang telah ditentukan
(Tabel 2). Bak wadah pengankutan yang terdiri dari dua buah diisi air bersih masing-
masing sebanyak 400 liter yang kemuadian dimasukan shelter dari keranjang plastik
dengan kerangga dari pipa PVC dan diberi aerasi. Sumber aerasi terdiri dari aerasi
udaran (Gambar 2a) atau aerasi oksigen (Gambar 2b) sesuai dengan perlakuan.
Aerasi udara dingin dibuat dengan mengalirkan udara dari aerator melewati tabung
yang berisi es batu (Gambar 2A dan 2B). Jumlah titik aerasi sebanyak 1 titik setip
0,5 m2 atau setiap 25 iter air. Pengamatan kualitas air dilakukan setiap 3 jam sekali
dengan lama waktu tempuh 8 jam. Parameter yang diamati yaitu jumlah udang
yang hidup dan mati sebelum dan setelah pengangkutan 8 jam, dan pengamatan
kualitas air setiap 3 jam sekali.
g) Transportasi secara kering
Penyiapan media jerami dengan cara dipotong-potong memanjang maksimal 25 cm,
lalu dicuci dengan air bersih lalu direndam selama dua jam, lalu ditiriskan.
Selanjutnya sisimpan di dalam freezer selama lebih kurang 2 jam atau direndam
dengan air es agar suhu suhu mencapai 15 – 20 oC.
Udang baik tokolan atau calon induk dipingsankan dengan penurunan suhu dalam
wadah berisi air sebanyak 10 liter dan diaerasi. Lalu masukan udang sebanyak 50
ekor dan masukan es sedikit demi sedikit sampai suhu mencapai 17-18 oC (jumlah es
sekitar 10 kg dalam 10 liter air). Setelah suhu stabil pada suhu tersebut biarkan
udang selama sepuluh menit atau setelah udang terlihat tidak menggerakkan
anggota tubuhnya mis kaki renang)
Pengangkutan dengan kering mengunakan sterofoam sebagai wadah kemasan
pengangkutan yang diisinjerami dingin. Tambahkan es bila perlu yang dilapisi koran
sekitar 30 kg /m3 (0,03 g/cm 3) wadah pada lapisan dasar sterofoam. Lapisan
dengan jerami awal setebal 5 cm lalu letakan udang yang pingsan dengan kepadatan
lapisan jerami berikutnya lebih tipis sekitar 2 cm lalu diletakan udang di lapisan
kedua dan ditiup kembali dengan jerami dingin 2 cm (Gambar 3). Lalu ditransportasi
dengan waktu tempuh 8 jam. Selama transportasi dimonitor suhu udara dan
kelembaban.

18
Pasca transportasi dilakukan pembugaran dalam wadah yang diisi air
seukupnya (stinggi setengah badan udang). Kemudian buka lapisan jerami biarkan
selama 3-5 menit untuk menghilangkan gas ammoniak. Lalu masukan udang ke
dalam baskom yang telah disipakan. Hitung udang yang masih hidup dan udang
yang telah mati

3) Pengukuran Kualitas Media Air


Pengukuran kualitas air dilakukan pada media air angkut baik dalam kantong plastik
(cara tertutup) maupun bak fiber (cara terbuka) pada setiap unit perlakuan. Metode
yang digunakan untuk analisis kualitas air sebagai berikut:
a) Suhu, mengunakan termometer air raksa atau digital
b) Karbondioksida, menggunakan metode Titrasi Na2CO3
c) Oksigen terlarut, mengunakan DO meter
d) PH, menggunakan pH meter
e) Amoniak total (TAN) menggunakan, Spektrofotometer
4) Pengukuran parameter pada udang
a) Menghitung jumlah udang pada awal pengujian
b) Menghitung jumlah udang pada akhir pengujian
5) Dosis masing-masing bahan tambahan yang digunakan pada media air tarnsport
adalah sebagai berikut
1. Bahan Zeolit : 20 g/L (Nirmala, K. dkk., 2012; Anandasari, R.V., 2015)
2. Bahan Karbon aktif : 10 g/L (Nirmala, K. dkk., 2012; Anandasari, R.V., 2015)
3. Bahan Minyak cengkeh : 4,67 μl/L. (Nirmala, K. dkk., 2012; Anandasari, R.V.,
2015)
4. Bahan NaCl : 0,3 % (Nirmala, K. dkk., 2012)

Pengukuran parameter
Parameter yang diukur terdiri dari parameter jumlah udang pada awal, jumlah udang
pada akhir, jumlah udang yang mati selama perlakuan, bobot individu udang, dan
pengukuran kualitas air (suhu, pH, Oksigen terlarut, CO2, dan TAN) serta menghitung
biaya yang digunakan.

Sampling
Sampling ikan dilakukan awal dan akhir pengujian dengan menghitung jumlah individu
udang setiap unit perlakuan. Sampel air juga diambil pada awal dan akhir pengujian
serta pada setiap interval 3 jam sekali. Cara pengambilan sampel air pada transportasi
tertutup dilakukan dengan membuat lubang outlet pada salag satu sudut plastik
packing.

19
III.2.5. Produksi Pakan Mandiri
Peralatan yang digunakan adalah mesin penepung; mesin pengaduk dan
mesin pencetak pellet. Bahan yang digunakan : tepung ikan; tepung kedelai; telur
bebek; minyak ikan; minyak sayur; terigu; molase; tapioka; vitamin mix dan CMC.

Pembuatan pakan (pellet)


Bahan baku yang digunakan untuk pakan adalah bahan yang berasal dari
produksi lokal yang diambil dari pengepul bahan baku di daerah sekitar Sukabumi dan
Bogor. Dari bahan baku tersebut dilakukan pengilingan seperti tepung ikan dan tepung
kedelai untuk mendapatkan hasil yang halus dengan menggunakan mesin penepung.
Menimbang bahan-bahan sesuai formulasi yang sudah disusun dan kemudian
mencetak pakan. Setelah pencetakan dilakukan peneringan. Cara pengeringan
dilakukan secara manual.
Menguji 16 profile asam amino pada produk pakan. 16 jenis asam amino
tersebut mencakup aspartic acid; glutamin acid; serine; histidin; glycine; threonine;
arginine; alanine; tyrosine; methionine; valine; phenylalanine; I-leucine; leucine;
lysine dan tryptopan. Metode uji yang digunakan untuk menganalisa 16 jenis asam
amino tersebut adalah IK.LP-04.7-LT-1.0 (HPLC). Pengujian dilakukan di laboratorium
Terpadu, Institute Pertanian Bogor.
Pengujian proximat dilakukan di laboratorium BBPBAT Sukabumi. Parameter
protein menggunakan metode uji SNI 01-2354.4-2006; lemak metode uji SNI 01-2354.3-
2006; serat kasar metode SNI 01-2891-1992; abu SNI 01-2354.1-2006 dan kadar air
SNI 01-2354.2-2006.
Pengujian fisik pakan yaitu mencakup uji daya tenggelam dan stabilitas atau
ketahanan dalam air. Pengujian daya tenggelam yaitu dengan cara mengambil 100 butir
pellet secara acak dan melempar kedalam air kolam. Menghitung jumlah pellet yang
tenggelam dan dihitung dalam presentase. Pengujian stabilitas pellet yaitu dengan cara
memasukkan pellet kedalam wadah yang berisi air. Kemudian menghitung waktu mulai
pellet dimasukkan dalam air sampai kondisi pellet tersebut hancur (tidak berupa butiran).
Udang galah
Udang galah yang digunakan berasal dari pembenihan di Instalasi Udang
Galah, Pelabuhan Ratu, BBPBAT Sukabumi, Kabupaten Sukabumi. Ukuran udang galah
rata-rata 4-5 gram/ekor. Pada percobaan ini menggunakan padat tebar 10 ekor/m2
dengan masa pemeliharaan selama 105 hari. Frekuensi pakan diberikan dua kali sehari
yaitu pada jam 09.00WIB dan jam 16.00WIB. Perlakuan pada pengujian ini yaitu
kelompok udang galah yang diberi pakan mandiri dan udang galah yang diberi pakan

20
komersil. Masing-masing perlakuan tersebut diulang 3 kali pada setiap lokasi tempat
pengujian.
Pengumpulan data kualitas air
Pengumpulan data kualitas air pada lokasi kolam BBPBAT Sukabumi
mencakup suhu; alkalinitas; ogsigen terlarut; tingkat keasaman; karbondioksida;
amoniak dan nitrit. Metode uji untuk menganalisa parameter kualitas air tersebut
berturut-turut adalah APHA 2250 ed.21-2005; APHA 2250 ed.21-2005; DO meter; SNI
06-6989.11-2004; APHA 4500-CO2 ed. 21-2005; LU-BBPBATS-III.5.4.1.44 dan SNI
06.6989.9-2004.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


IV.1. Pembesaran Udang Galah di Kolam
Pada kegiatan pembesaran Udang Galah di kolam, dilakukan dengan
sistemmonokultur dan polikultur. Berikut ini hasil kegiatan yang diperoleh:

Laju pertumbuhan rataan (%)

secara umum, udang galah yang dipelihara baik di dalam kolam semi-
permanen, kolam permanen maupun sawah mengalami pertumbuhan namun nilai laju
pertumbuhan harian rataan udang galah sistim mono-kultur menunjukkan terdapat
perbedaan. Nilai laju pertumbuhan harian rta-rata udang galah sistim mono kultur
tertinggi dengan menggunkan kolamsemi permanen sebesar 0.8% perhari sementara
itu, nilai laju pertumbuhan harian rata-rata terendah terdapat pada udang galah sistim
mono-UGADI sebesar 0.10 %per hari. Tingginya nilai rataan laju pertumbuhan harian
baik udang galah yang dipelihara dalam kolam semi permanen maupun permanen
sangat berkaitan dengan perbedaan daya dukung lingkungan. Ketinggian permukaan air
di kolam memiliki nilai rataan 80 cm sedangkan tingginya permukaan air sawah terdapat
2 ukuran yakni pada ketinggian air yang terdapat di bagian saluran tepi keliling sawah
berkisar 40-50 cm dan bagian permukaan batang padi adalah 15 cm.

Membandingkan antara nilai laju pertumbuhan harian rataan udang galah


denga sistim mono-kultur dengan menggunakan kolam semi-permanen dengan
menggunakan kolam permanen (Tabel. 7) menunjukkan terdapat selisih sebanyak
13%. Tingginya nilai laju pertumbuhan harian rataan udang dalam kolam semi
permanen diduga berkaitan dengan ketersediaan pakan alami dalam air yang dapat
dimanfatkan oleh udang galah sementara itu, membandingkan relatifitas kandungan
pakan alami berdasarkan sumber air, ketersediaan pakan alami yang terkandung dalm
kolam semi permanen banyak mengandung pakan alami yang dikandung oleh sumber

21
air yang digunakan di kolampermanen karena sumber air yang digunakan dalam kolam
semi-permanen adalah air sungai Cisarua yang melintas di perumahan masyarakat
sedangkan sumber air kolam permanen berasal dari sumur bor.
nilai tertinggi dari prosentase laju pertumbuhan harian rataan (LPHR %) udang
galah sistim Poli-kultur terdapat dari hasil kegiatan ulangan dengan menggunakan
kolam semi permanen sebesar 1.03% sedangkan nilai terendah adalh hasilkegiatan
ulangan pembesaran udang galah dengan sistim poli-kultur UGADI dengan nilai sebesar
0.02 %. Sementara itu,menghitung nilailaju pertumbuhan harian rataan uda0.97%ng
galah yang diasarkan pada persamaan kegiatan dapat diketahui bahwa LPHR uang
galah sistim poli-kultur kolam semi-permanen dengan padat tebar 20 ekor/m2 adalah
sebesar 0.97%, LPHR uang galah sistim poli-kultur kolam permanen dengan padat tebar
20 ekor/m2 adalah sebesar 0.7% dan Poli-Kultur UGADI sebesar 0.03%.

Membandingkan antara nilai laju pertumbuhan harian rataan udang galah


sistim poli-kultur dengan menggunakan kolam semi-permanen dengan menggunakan
kolam permanen (Tabel. 2) menunjukkan terdapat selisih sebanyak 12%. Tingginya nilai
laju pertumbuhan harian rataan udang dalam kolam semi permanen diduga sama
dengan kegiatan sistim mono-kultur yakni terdapat kaitan erat dengan ketersediaan
pakan alami dalam air yang dapat dimanfatkan oleh udang galah.

Berdasarkan perbandingan laju pertumbuhan harian rataan antara perlakuan


dalam sistim sistim Poli-kultur menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan
pakan alami yang terdapat dalam sumber air. Ketersediaan pakan alami yang
terkandung daalm kolam semi permanen banyak mengandung pakan alami yang
dikandung oleh sumber air yang digunakan di kolampermanen karena sumber air yang
digunakan dalam kolam semi-permanen adalah air sungai Cisarua yang melintas di
perumahan masyarakat sedangkan sumber air kolam permanen berasal dari sumur bor.

Sintasan (%)

Data hasil pengukuran sintaan udang galah sistim mono-kultur, disajikan pada
Grafik 3. Sementara itu, hasil pengukuran laju pertumbuhan harian rataan pembesaran
udang galah dengan menggunakan sistim poli-kultur didalamkolam semipermanen
dengan satu kaliulanga, menggunakan sistimPoli kultur dalamkolam permanen dan
kegiatan Poli-kultur UGADI, dapat disajikan pada Grafik ‘

nilai sintasan (%) udang galah dengan tebaran awal 20 ekor/m2 dengan menggunakan sistim
Mono-kultur di kolam semi permanen dan kolam permanen serta kegiatan sistim mono-kultur
udang galah dengan kepadatan awal 10 ekor/m2 yang dilaksanakan di sawah yang berlokasi
di Desa Cikurutug/ Kecamatan Cirenghas kabupaten Sukabumi.

22
Berdasarkan kepada nilai-nilai sintasan udang galah pada saat pemeliharaan dapat
diketahui bahwa nilai tertinggi sintasan adalah hasil kegiatan kerekayasaan inovasi
pembesaran udang galah sistim mono-kultur di kolam permanen sebesar 91.8%, nilai rataan
sintasan dari 2 kali kegiatan kerekayasaan inovasi pembesaran udang galah sistim mono-
kultur di kolam semi permanen sebesar 74.6% dan nili rataan dari 2 petak sawah yang
memberikan perlakuan mono-kultur UGADI adalah sebesar 56.06%. Sementara itu,
berdasarka selisih anatar nilai sintasan pada perlakuan di kolam permanen dengan kolam
semi permanen diperoleh nilai sebesar 17.2% sedangkan nilai selisih antara kolam permanen
dengan sawah adalah sebesar 35.74%.
Rendahnya nilai sintasan dalam kegitan kerekayasaan pembesaran udang galah di
sawah sangat berkatan erat dengan tingginya nilai mortalitas udang galah akibat stress pada
saat awal tebaran. Berdasarkan catatan mono-kultur UGADI sawah nomor 3, jumlah udang
yang mengalami kematian selama 2 hari adalah sebanyak 522 ekor dari 6000 ekor atau
8.7%. demikian pula jumlah udang galah yang mati di sawah nomor 5 sebanyak 358 ekor dari
jumlah 6000 ekor atau 5.9%.

nilai sintasan (%) udang galah dengan tebaran awal 20 ekor/m2 dengan
menggunakan sistim Poli-kultur di kolam semi permanen dan kolam permanen serta
kegiatan sistim mono-kultur udang galah dengan kepadatan awal 10 ekor/m2 yang
dilaksanakan di sawah yang berlokasi di Desa Cikurutug/ Kecamatan Cirenghas
Kabupaten Sukabumi.

Berdasarkan pada nilai rataan sintasan udang galah poli-kultur di kolam semi
permanen, permanen dan UGADI masing-masing sebesar 68.9%, 89.4% dan 54.45%.

FoodConversion Ratio (FCR)

Data hasil pengukuran nisbah pakan atau Food Convertion Rati (FCR) rataan
udang galah sistim mono-kultur yang dilaksanakan di kolam semi-permanen, permanen
dan sawah UGADI,

nilai FCR udang galah dengan tebaran awal 20 ekor/m2 dengan


menggunakan sistim Mono-kultur di kolam semi permanen dan kolam permanen serta
kegiatan sistim mono-kultur udang galah dengan kepadatan awal 10 ekor/m2 yang
dilaksanakan di sawah yang berlokasi di Desa Cikurutug/ Kecamatan Cirenghas
Kabupaten Sukabumi.

Berdasarkan pada nilai rataan FCR udang galah mono-kultur di kolam semi
permanen adalah 1.4, FCR udang galah sistim mono kultur di kolam permanen sebesar
1.4 dan FCR mono kultur UGADI 2.2. Sementara itu, berdasarkan nilai efisiensi pakan

23
terdapat persamaan antara hasil kerrekayasaan mono kultur di kolampermanen dan
semi permanen yaitu sebesar 71,4% sedangkan nilai efisiensi pakan pada udang yang
dibesarkan di sawah menunjuukan lebih rendah yaitu sebesar 45.5%.

FCR dan nilai efisiensi pakan dalam kegiatan kerekayasaan inovasi


pembesaran udang galah sistim poli kultur di kolam semi permanen dan kolam
permanen dengan tebaran awal 20 ekor/m2 serta kegiatan pembesaran udang galah
sistimpoli kultur UGADI di sawah yang berlokasi di Desa Cikurutug/ Kecamatan
Cirenghas Kabupaten Sukabumi.

Berdasarkan kepada Gambar 30 terdapat perbedan yang menonjol antara


pelaksanaan kegiatan poli kltur di kolam semi permanen tahap pertama yang
dilaksanakan bulan April-Juli 217 sebesar 1.28 dengan kegiatan ulangan pada bulan
Agustus 2017 sebesar 1.52. Sementara itu, nilai FCR perlakuan sistim poli-kulur di
kolam permanen sebesar 1.82. dan nilai FCR udang galah poli kultur UGADI memiliki
nilai 2.21.

Melihat perbandingan nilai FCR yang dihitung berdasarkan selisih antara


perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan pembesaran udang galah sistim poli kultur di
kolam semi permanen memiliki nilai rataan FCR sebesar 0.42 atau efisiensi pakan
sebesar 71.4% lebih tinggi 2.3 kali dibandingkan dengan hasil perlakuan yang sama,
namun kolam yang digunakan adalah kolam permanen dengan sumber air berasal dari
sumur bor. Sementara itu, nilai selisih antara perlakuan semi permanen dengan
polikultur UGADI sebesar 0.81.

Produktifitas
Data hasil pengukuran prduktifitas yang iukur berdasarka bobot badan (kg)
persatuan luasan lahan (m2) udang galah sistim mono-kultur.
Nilai produktifitas rata-rata tertinggi pada hasil kegiatan kerekayasaan mono kultur yang
dilaksanakan dikolam semi permanen dengan nilai sebesar 0.08 kg/m2 sedangkan hasil
kegiatan kerekayasaan pembesaran sistim mono kultur dengan menggunkan kolam
permanen dengan sumber air berasal dari sumur bor memiliki nilai 0.05 kg/m2 dan
produktifitas Mono kultur UGADI sebsar 0.4 kg/m2

Berdasarkan nilai perbandingan diantara perlakuan menunjukan bahwa nilai


fekunditas kolam semi-permanen lebih tinggi sebesar 0.03 kg/m2 dibandingkan dengan
penggunaan kolampermanen dan memiliki nilai fekunditas kolam semi permanen lebih
tinggi sebesar 0.05 kg/m2

24
Parameter kualitas air
Hasil pengukuran parameter kualitas air dalam kolam pembesaran Udang
Galah (Macrobrachium rosenbergii) sistim mono-kultur di kolam semi-permanen 450 m2,
disajikan pada Table 10. Sementara itu, hasil kegiatan pengukuran parameter kualitas
air pembesaran Mono-kultur di kolam permanen 300 m2.
No Parameter 14 Juli 5 Agst 4 Sept 15 Okt 4 Nop 2017
2017 2017 2017 2017
1 Oksigen terlarut (ppm) 2.1-3.4 2.2-2.8 2.5-3.0 3.0-3.5 3.0-3.5
2 Karbondioksida terlarut 33.4-33.8 33.4-36.5 30.3-34.4 20.0-22.8 22.4-25.3
(ppm)
3 pH air 6.5-7.0 6.5-7.0 6.5-7.0 6.5-7.0 6.5-7.0
4 Suhu air (0C) 23-23.5 23-23.5 22.0-22.5 22.0-22.5 21-22.5
5 Amonia (ppm) 0.03-0.05 0.03-0.06 0.03-0.06 0.03-0.05 0.03-0.05

Tabel 10. Hasil pengukuran parameter kualitas air dalam kolam pembesaran Udang Galah
sistim mono-kultur di kolam semi-permanen 450 m2

Tabel 10. Memperlihatkan bahwa kisaran oksigen terlarut (O2) dalam kolam
semi-permanen 400 m2 adalah (2.1-3.0) ppm pada bulan Juli-September 2017 dan
mengalami kenaikan kisaran (3.0-3.5) ppm pada bulan September- Nopember 2017.
Sementara itu, kandungan karbondiksida (CO2) pad bulan Juli-September sebesar
(30.0-36.5) ppmdan mengalami penurunan pada bulan Oktoberr- Nopember 2017
dengan kisaran (20.0-25.3) ppm.
Suhu air pada bulan Juli-Agustus 2017, kolam semi-permanen memiliki kisaran
(23.0-23.5)oC dan pada bulan September-Nopember 2017 mengalami penurunan dengn
kisaran (21.5-22.5)0C. Sementra itu, kandungan pH air dari bulan Juli-Nopember 2017
menunjukan satabil (6.5-7.0)

No Parameter 14 Juli 5 Agst 4 Sept 15 Okt 4 Nop


2017 2017 2017 2017 2017
1 Oksigen terlarut (ppm) 3.1-3.5 3.8-4.2 3.0-3.8 3.3-3.5 3.0-3.5
2 Karbondioksida terlarut 33.4-33.8 33.4-33.5 30.3-34.4 30.0- 30.0-
(ppm) 32.8 32.8
3 pH air 6.5-7.0 6.5-7.0 6.5-7.0 6.5-7.0 6.5-7.0
4 Suhu air (0C) 23-23.5 23-23.5 23-23.5 23-23.5 23-23.5
5 Amonia (ppm) 0.03-0.05 0.03-0.06 0.03-0.06 0.03- 0.03-
0.05 0.05

Tabel 11. Hasil pengukuran parameter kualitas air dalam kolam pembesaran Udang Galah
sistim mono-kultur di kolam permanen 300 m2

Tabel 11. Memperlihatkan bahwa kisaran kandungan Oksigen terlarut (O 2)


dalam kolam pembesarn udang galah sistim mono-kultur permanen 300 m2 adalah
stabil dari bulan Juli-Nopember 2017 dengan kisaran (3.1-3.5) ppm. Sementara itu,

25
kandungan karbondiksida (CO2) pada bulan Juli-September 2017 sebesar (30.0-36.5)
ppm dan mengalami penurunan pada bulan Oktoberr- Nopember 2017 dengan kisaran
(30.0-32.3) ppm. Data Suhu air pada bulan Juli-Npember 2017 memiliki kisaran stabil
(22-23) dan kandungan pH air adalah stabil pada (6.5-7.0).

IV.2. Pembesaran Udang Galah di Sawah


Average Daily Gain (ADG) udang galah
Dari hasil kerekayasaan yang dilakukan dapat diketahui bahwa ADG tertinggi
udang galah yang di pelihara dicapai pada sawah monokultur 2 (M2) yaitu 0.11 g per
hari, selanjutnya semakin menurun pada sawah monokultur 1 (M1) 0.099 g per hari,
polikultur 1 (P 1) 0.037 g per hari dan terendah pada polikultur 2 (P 2) 0.018 g per hari.
Terlihat, dengan rerata bobot tebar awal dan padat tebar yang sama ternyata
udang galah yang dipelihara secara monokultur memiliki ADG yang lebih tinggi tinggi di
bandingkan polikultur. Pada sistem pemeliharaan secara monokultur persaingan pakan
dan ruang gerak lebih lebar jika dibandingkan polikultur. Sifat udang yang lambat dalam
mengkonsumsi pakan menyebabkan pakan lebih banyak dimanfaatkan oleh ikan (mas
dan nila). Agresifitas ikan akan menekan udang untuk mencari tempat berlindung.
Terganggunya aktifitas udang untuk mencari makan dan ruang gerak menyebabkan
pertumbuhanya terhambat, hal ini ditunjukan dengan kecilnya nilai ADG pada P1dan P2.

Rerata bobot udang galah


Rerata bobot udang galah tertinggi dicapai pada M2 yaitu (15.33 g), berturut
turut semakin menurun pada M1 (14.67 g), P2 (7.22 g) dan terendah pada P 1 (8.96
g).
Menurut Effendi (1979), pertumbuhan dicirikan dengan pertambahan bobot dan
panjang pada tubuh kultivan. Kecepatan pertumbuhan udang sangat dipengaruhi
seimbangnya asam amino yang dimakan, kualitasa air yang cocok dan rendahnya stress
yang dialami. Kondisi ini akan mempercepat regulasi moulthing yang selanjutnya
mempengaruhi kecepatan pertumbuhannya. Tingginya rerata bobot tubuh udang yang
dipelihara secara monokultur diduga karena berkurangnya stress akibat lebih
tercukupinya pakan dan longgarnya ruang gerak.

Produktivitas udang galah


Produksivitas udang galah tertinggi dicapai pada M1 (0.144 kg per meter),
berturut - turut semakin menurun pada M2 (0.130 kg per meter), dan terendah dengan
produktivitas yang sama pada P1 dan P2 (0.044 kg per meter).

26
Dalam kondisi perlakuan yang sama seperti : kesuburan lahan, kualitas air,
jumlah pakan yang diberikan, serta musim tanam. Tingginya produktivitas akan
dipengaruhi faktor lain seperti penyakit dan pemangsaan, karena selama pemeliharaan
tidak ditemukanya penyakit yang menyerang sehingga dapat diketahui bahwa tingginya
produktivitas pada sistem pemeliharaan monokultur dibandingkan polikultur disebabkan
oleh rendahnya pemangsaan dari organisme lain yang dipelihara dalam satu sawah.

Sintasan
Pada kerekayasaan ini sintasan tertinggi dicapai pada M1 yaitu, (95.41%)
berturut – turut semakin menurun pada M2 (76.71%), P2 (60.27%) dan terendah pada P
1 (48.60%).
Dibandingkan M1 dan M2, lebih rendahnya sintasan udang galah pada P1 dan
P2 diduga disebabkan pemangsaan yang dilakukan oleh nila. Menurut Irianti dkk (2016)
selama pembesaran kematian udang galah juga diakibatkan rendahnya sediaan pakan,
dan kegagalan saat moulthing.

Laju pertumbuhan spesifik (Lps) ikan mas dan nila

Dari hasil pemeliharaan ikan mas dan nila dapat diketahui bahwa, nilai Laju
pertumbuhan spesifik (Lps) tertinggi dicapai ikan mas yang di pelihara pada P2 (mP2)
yaitu (0.039 % per hari) semakin menurun dengan nilai yang sama pada ikan mas dan
nila pada P1 (mP1 dan nP1) yaitu (0.038 % per hari) dan terendah pada nila P2 (nP2)
yaitu (0.036% per hari).
Daves et al (1993) menjelaskan bahwa, Lps sangat dipengaruhi oleh interaksi
yang baik antara kualitas air pemeliharaan, jumlah pakan, kompetitor serta umur
kultivan. Diduga tingginya nilai Lps ikan mas pada P2 diduga karena usia ikan yang
masih muda dengan lingkungan pemeliharaan yang sesuai.
Rerata bobot ikan
Rerata bobot ikan tertinggi dicapai pada nP1 yaitu (176.13 g), berturut turut
semakin menurun pada nP2 (176.10 g), mP2 (126. 76 g) dan terendah pada mP1
(119.64 g). Ilustrasi rerata bobot ikan yang di pelihara dapat dilihat pada Gambar 38.
Menurut Meiludie (2013) nila mempunyai karakter unggul seperti, bertoleransi
luas terhadap kondisi lingkungan, dan mudah tumbuh dalam sistem budidaya
berkepadatan tinggi. Pernyataan diatas dapat dilihat dari rerata bobot nila pada
pemeliharaan di P1 maupun P2.

Produktivitas ikan

27
Pada kerekayasaan ini terlihat bahwa produktivitas ikan (mas dan nila) P2 lebih
tinggi dibandingkan P1. Produktivitas P2 (0.201 kg per meter) sedangkan P1 (0.161 kg
per meter). Ilustrasi produktivitas ikan yang di pelihara dapat dilihat pada Gambar 39.
Diduga tingginya produktivitas P2, karena adanya kesesuaian ukuran dan kepadatan
ikan saat tebar, selain itu tercukupinya jumlah pakan pada saat pemeliharaan
menyebabkan pertumbuhan ikan terjaga dan kematian dapat dikurangi.

Sintasan
Pada kerekayasaan ini sintasan ikan tertinggi dicapai pada nP1 yaitu, (91%)
berturut – turut semakin menurun pada mP1 (40%), mP2 (38%) dan terendah pada nP2
(24%). Ilustrasi sintasan ikan yang di pelihara dapat dilihat pada Gambar 40.

Tingginya sintasan ikan mas dan nila sawah P1 dibanding P2 selain tidak
adanya kematian masal akibat serangan penyakit juga tidak ditemuinya pemangsaan
yang mengurangi populasinya.

Produktivitas padi

Hasil panen padi pada akhir kerekayasaan memperlihatkan produktivitas padi


(gabah kering) tertinggi dicapai sawah yang hanya di tanami padi saja (K) yaitu, (0.59 kg
per m) dan berturut – turut menurun pada sawah M2 (0.58 kg per meter), sawah P1
(0.33 kg per meter) dan terendah dengan nilai yang sama pada sawah (M1) dan P2
(0.30 kg per meter).
Mahananto dkk (2009) menjelaskan, peningkatan produksi padi sangat di
tentukan oleh : sistem irigasi yang baik, jumlah pupuk, jumlah insektisida, luasnya lahan,
serta pengalaman petani dalam bercocok tanam. Karena pada kerekayasaan ini sistem
pemeliharaan tidak menggunakan insektisida sehingga produktivitas padi ditentukan
oleh luasnya lahan yang tidak dikurangi untuk caren dan kobakan seperti pada sawah
konvensional.
Tingkat keuntungan
Dari hasil perhitungan analisa usaha yang telah dilakukan dapat diketahui
bahwa tingkat keuntungan tertinggi di diperoleh dari sistem pemeliharaan monokultur
yaitu (Rp. 284.973,- per 100 m atau Rp.28.497.300 per hektar), menurun pada polikultur
(Rp. 138.576,- per 100 m atau Rp.13.857.600,- per hektar) dan terendah pada
konvensional (Rp. 93.662,- per 100 m atau Rp.9.366.200,- per hektar).
Tingginya keuntungan pada mina padi sistem polikultur ini disebabkan, panen
akhir udang galah yang diperoleh cukup besar sedangkan harga udang galah sendiri per
kg cukup mahal sekitar Rp. 50.000,-. Analisa usaha mengenai ketiga sistem
pemeliharaan dapat dilihat pada Lampiran 1.

28
IV.3. Transportasi tertutup
Transportasi tertutup pada juvenil udang galah dengan dilakukan dengan
pemberian zeolit, arang, minyak cengkeh dan garam yang dibandingakan dengan
kontrol. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan bahwa sintasan juvenil pada
kemasan perlakuan menunjukan hasil yang lebih baik, begitu juga dengan biaya per
ekor juvenil pada perlakuan lebih rendah dibandingkan kontrol (Gambar 42). Kemasan
juvenil yang tidak diberi artemia ternyata berpengaruh pada sintasan juvenil selama
transportasi tertutup, walaupun demikian biaya transpotasi pada kontrol ternyata paling
tinggi .

Dengan demikian pemberian artemia ternyata masih diperlukan pada


transportasi juvenil secara tertutup, karena ternyata dapat menekan mortalitas juvenile.
Pada kemasan transportasi juvenile yang tidak diberi artemia mortalitas meningkat lebih
dari 10% pada perlakuan dan hampir 40% pada kontrol. Penambahan bahan-bahan
dapat menekan mortalitas dan meningkatkan sintasan, tetapi masih lebih rendah bila
dibandinkan perlakuan yang diberi artemia. Biaya per ekor yang tinggi pada kontrol
disebabkan karena kepadatan udang per liter air dalam kemasan lebih rendah, sehingga
kapasatitas angkutnya lebih rendah sedangkan pada kemasan perlakuan kepadatannya
per liter air dalam kemasan lebinh tinggi sehingga daya angkutnya lebih tinggi, biaya
transportasi per ekor lebih efisien.
Berdasarkan hasil pengamatan kualitas air selama transportasi tertutup juvenil
udang galah dengan perlakuan diberi artemia, kondisi suhu air pada waktu awal atau
sesaat setelah packing, cukup tinggi lebih dari 28 oC tetapi selanjutnya saat transportasi
sekitar 22oC – 25oC, kandungan Oksigen terlarut pada awal dan akhir pada kisaran 4
mg/L sedangkan pada saat transportasi lebih dari 7 mg/L, kondisi pH air dalam kisaran
7-8, kandungan CO2 30 – 50 mg/L, dan kandungan NH 3-N dari awal sampai akhir
cendrung meningkat pada kisaran tertinggi 4-5 mg/L (Gambar 43). Secara umum
kondisi kulaitas air yang diberi Zeolit arang dan garam cendrung pada kondisi yang lebih
baik dari pada kontrol yang tidak diberi bahan-bahan tersebut.

Pemberian bahan zeolit dan arang pada transportasi juvenile yang tidak diberi
artemia tidak memberi pengaruh terhadap penurunan NH3-N. Penambahan minyak
cengkeh terlihat ada kecenderungan meningkatkan CO2 dan NH3-N dalam media air
sehingga mortalitas pada perlakuan tersebut lebih tinggi mencapai sekitar 15% (Gambar
44). Kondisi suhu air media relatif stabil pada perlakuan pada kisaran 25oC – 26oC,
kecuali pada kontrol kondisi suhu pada akhir perlakuan mencapai lebih dari 29 oC
(Gambar 7), sehingga mortalitas nya cukup tinggi atau sintasannya lebih rendah .

29
Transportasi tertutup pada tokolan udang galah dengan pemberian zeolit,
arang, garam dapur dan atau es batu yang dibandingakan dengan kontrol. Sintasan
tokolan udang pada kemasan perlakuan hampir tidak berbeda pada kisaran 97% - 100%
sedangkan pada kemasan kontrol hanya 96% (Gambar 45). Walaupun sintasan
tampaknya tidak berbeda secara significant tetapi kepadatan per litar air dalam kemasan
pada perlakuan lebih tinggi sehingga daya anggkut lebih banyak dan biaya per ekor
menjadi lebih rendah dibandingkan kemasan kontrol sehingga pemberian bahan-bahan
tersebut pada kepadatan yang tinggi cukup efisien (Gambar 45). Terjadi penurunan
biaya dari kontrol kepada perlakuan menyebabkan terutama untuk perlakuan ziolit dan
arang dan penambahan es yang mempunyai biaya paling rendah
Sintasan tokolan udang yang cukup tinggi pada semua perlakuan dan kontrol
didukung oleh kondisi kualitas air yang cukup baik (Gambar 9). Namun demikian kondisi
kualitas air pada perlakuan umumnya lebih baik dari pada kontrol. Kondisi suhu air,
pada semua perlakuan berkisar antara 25 oC - 27 oC, kecuali pada kemasan dengan
perlakuan zeolit dan arang saja yang terus miningkat dari 28 oC – 29 oC. Adapun
kondisi Oksigen terlarut dalam kemasan relatif berfluktuasi antara 5 mg/L – 6 mg/L pada
awal kemudian menurun kepada kisaran 3 mg/L – 4 mg/L pada setelah tiga jam,
mungkin karena sedikit kelarutannya akibat kurangnya difusi oksigen yang dipicu dari
kurangnya goncangan selama transportasi, karena fluktuasi O2 yang terjadi karena
pengaruh guncangan selama penganggkutan yang memicu kelarutan O2 melalui difusi
dari oksigen yang ada di dalam kemasan sehinggga pada jam ke 8 dimana keadaan
statis tidak ada guncangan karena peregrakan kendaraan. Kondisi pH pada semua
perlakuan dan kontrol ada pada kisaran 6-7 cenderung menurun dari jam awal sampai
jam ke 8, sedangkan kandungan CO2 cenderung meningkat seiring bertambahnya
waktu dari kisaran < 20 mg/L terus meningkat sampai kisaran 40 mg/L-50 mg/L pada
jam ke 8. Adapun kondisi NH3-N cenderung terus meningkat tajam seiring
bertambahnya waktu dan terjadi peningkatan yang lebih tajam pada kontrol.
Transportasi tertutup pada calon induk udang galah telah dilakukan dengan
perlakuan pemberian zeolit, arang, garam dapur dan atau es batu yang dibandingakan
dengan kontrol. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan bahwa hasil perlakuan
menggunakan bahan-bahan tersebut menunjukan hasil yang lebih baik dan lebih efisien
(Gambar 47). Sintasan calon induk udang galah dalam setiap kemasan perlakuan
berkisar antara 98% - 100% sedangkan sintasan dalam kemasan kontrol hanya
mencapai 94% saja. Biaya atau harga jual calon induk stelah transportasi pada
perlakuan relatif lebih rendah berkisar antara Rp 5400,- sampai Rp 5800,- sedangkan
harga calon induk pada kemasan kontrol menjadi lebih dari Rp 5900,- . Harga calon
induk sbelum transportasi sekitar Rp. 5000,-

30
Tingginya sintasan pada perlakuan dan rendahnya biaya transportasi calon
induk didukung oleh kualitas air dalam kemasan yang menurut hasil pemantauan setiap
3 jam sekali menunjukan hasil yang lebih baik pada perlakuan dibandingkan dengan
pada kemasan kontrol (Gambar 48). Kondisi suhu pada kemasan calon induk dengan
perlakuan berada pada kisaran 21oC samapi 24oC pada tiga jam pertama sampai 8 jam
tranportasi, sedangkan pada kontrol kondisi suhu airnya terus meningkat dari jam ketiga
sekitar lebih dari 25oC dan terus meningkat mencaai lebih dari 27oC pada jam ke
delapan. Kondisi Oksigen terlarut dalam kemasan cenderung terus stabil sejak 3 jam
pertama sekitar 3 mg/L - 4 mg/L, kecuali pada kontrol yang cenderung terus menurun
sampai level kurang dari 2 mg/L. Kondisi pH cenderung juga stabil pada kisaran 6-7
dan kandungan CO2 pada kisaran 30-80, kecuali pada kemasan kontrol dan perlakuan
ES yang cenderung tinggi pada jam ke 8 lebih dari 80 mg/L. Adapun kondisi NH3-N
berfluktuasi dari sejak tiga jam pertama 0,2 mg/L – 1 mg/L sampai sekitar 1,25 mg/L
pada jam ke 8, kecuali perlauan yang hanya mengunakan Zeolit dan arang saja
yang kandungan NH3-N nya sekitar 0,5 mg/L

IV.4. Transportasi terbuka

Transportasi terbuka untuk tokolan udang galah telah dilakukan dengan


perlakuan pemberian zeolit, arang, garam dapur dan atau es batu yang dibandingakan
dengan kontrol. Pada transportasi terbuka untuk tokolan juga dilakukan dengan
menggunakan aerasi udara dingin dan aerasi oksigen murni
Transportasi terbuka untuk tokolan udang dengan aerasi udara berdasarkan hasil
pengamatan ternyata dengan menggunakan perlakuan menunjukan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan kontrol (Gambar 12). Sintasan tokolan udang galah pada
kemsan perlakuan berkisar antara 96% - 97%, sedangkan sintasan dalam kemasan
kontrol hanya mencapai 93%. Harga jual tokolan setelah transportasi pada semua
perlakuan ternyata lebih rendah dibandingkan dengan yang kontrol, sehingga biayanya
lebih efisien.

Capaian sintasan yang tinggi dan biaya yang lebih efisien karena didukung oleh
kondisi kualitas air yang lebih baik yang merupakan pengaruh dari adanya
penambahan-bahan-bahan seperti zeolit, arang serta kondisi udang yang nyaman
karena adanya penambahan garam dan minyak cengkeh. Berdasarkan hasil
pengamatan kualitas air setiap interval 3 jam sekali selama 8 jam transportasi terbuka

31
dengan aerasi udara untuk tokolan udang galah ternyata pada air yang diberi perlakuan
bahan-bahan tersebut menunjukan hasil yang lebih baik diandingkan pada kontrol.
Kondisi suhu air pada semua perlakuan dan kontrol berkisar 23oC – 24oC yang
merupakan kondisi yang baik untuk transportasi. Kondisi Oksigen terlarut pada
perlakuan setelah tiga jam pertama berkisar dari 4,5 mg/L – 5 mg/L, kecuali pada kontrol
pada jam ketiga pertama terus menurun pada kisaran 3,5 mg/L – 4 mg/L. Kondisi pH air
dalam kemasan perlakuan dan pada kontrol ada dalam kondisi stabil pada kisaran 7,5 –
8,0 dan kondisi CO2 peningkatannya tidak terlalu nyata dan ada pada kisaran 19 mg/L –
30 mg/L. Sementara kondisi NH3-N ternyata ada pengaruh dari perlakuan yang sejak
tiga jam pertama sampai jam ke 8 tidak berfluktuasi nyata tetapi ada pada kisaran 1
mg/L – 1,5 mg/L sedangkan pada kontrol sejak awal sampai akhir terus meningkat
sampai kisaran 2,5 mg/L.
Transportasi terbuka untuk tokolan udang dengan aerasi oksigen murni
berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan menunjukan hasil yang lebih baik baik
dibandingkan dengan kontrol (Gambar 50). Sintasan pada kontrol hanya 94,7%
sedangkan sintasan perlakuan berkisar antara 96% - 98%, kecuali untuk perlakuan yang
diberi cengkeh terjadi penurunan sintasan lebih rendah dari kontrol berkisar antara 89%
- 90%. Namun demikian secara ekonomis harga jual udang setelah transportasi dengan
kemasan kontrol tidak lebih mahal (Rp 382,-) dibandingkan dengan tokolan dengan
kemasan yang diberi perlakuan atau sekitar Rp 450,-
Berdasarkan hasil pengamatan kualitas air selama transportasi terbuka dengan
aerasi oksigen untuk tokolan udang galah ternyata pada semua parameter kualitas air
menunjukan pola yang sama dan tidak menunjukan perbedaan, sehingga pengaruh
perlakuan tidak signifikan terlihat.
Transportasi terbuka pada calon induk udang galah secara terbuka telah
dilakukan dengan perlakuan pemberian zeolit, arang, garam dapur dan kombinasi
dengan rendam udang dalam air es batu sebelum dikemas, yang kemudian
dibandingkan dengan kontrol. Sumber aerasi pada transportasi calon induk udang
secara terbuka juga menggunakan dua sumber sebagai perlakuan aerasi udara dingin
dan aerasi oksigen murni.
Hasil sintasan pada transportasi terbuka calon induk udang menggunakan
aerasi udara dingin berdasarkan pengamatan ternyata pada perlakuan dan kontrol tidak
menunjukan hasil yang signifikan, tetapi pada biaya transportasi yang digambarkan
dalam harga calon induk setelah transportasi untuk yang perlakuan jauh lebih murah,
sehingga lebih efisien.
Berdasarkan hasil pengamatan kualitas air selama transportasi ternyata kondisi
kualitas air juga tidak menujukan perbedaan yang menyolok, kecuali pada kandungan

32
NH3-N pada kontrol yang sejak tiga jam pertama terus mengalami kenaikan sampai
level lebih dari 1,5 mg/L (Gambar 53). Tetapi walaupun demikian tidak mempengaruhi
nyata terhadap sintasan calon induk udang. Perbedaan hrga lebih disebabkan karena
kapasitas angkut pada perlakuan jauh lebih banyak sehingga lebih efisien
Hasil pengamatan pada transportasi dengan sumber aerasi oksigen murni
untuk cara terbuka pada calon induk udang galah menunjukan bahwa pengaruh
perlakuan tidak nyata pada sintasan induk udang galah, secara umum mortalitas calon
induk berkisar dari 0%- 2% atau sintasan induk udang galah 98% - 100% (Gambar 18).
Namun demikian harga jual pasca transportasi yang kontrol jauh lebih mahal dari pada
yang perlakuan sehingga yang perlakuan lebih efisien, hal ini karena kapasitas angkut
yang perlakuan lebih tinggi daripada kontrol.
Hasil pengamatan kualitas air selama transportasi terbuka dengan sumber
aerasi oksigen murni menujukan hasil yang tidak berbeda antara kontrol dan perlakuan.
Kondisi suhu air sejak 3 jam pertama berkisar pada 23,5oC – 24,5oC pada jam ke 8.
Kondisi oksigen terlarut juga cukup baik tidak ada fluktuasi yang tajam, pada semua
perlakuan dan kontrol berada pada 4 mg/L – 7,5 mg/L. Kondisi pH air pada kisaran 7 –
8 pada semua perlakuan dan kontrol dan kondisi CO2 terlarut sejak tiga jam pertama
sedikit berfliktuasi dari 30 mg/L – 40mg/L, kecuali pada perlakuan ZANA mengalami
hingga ke level 70 mg/L pada jam ke 8. Sedangkan kondisi NH3-N pada perlakuan
hanya sedikit mengalami peningkatan sejak 3 jam pertama, kecuali pada kontrol yang
terus meningkat sampai jam ke 8 hingga pada level sekitar 2 mg/L.
Transportasi terbuka udang galah tanpa air atau metode kering dilakukan pada
calon induk, dan tokolan. Transportasi kering pada calon induk dilakukan dengan
perlakuan jumlah lapisan atau layer tempat meletakan udang yang menunjukan bahwa
pada perlakuan dengan yang dua lapis calon induk uadang atau kepadatan 400 ekor/m2
menghasilkan sintasan yang lebih tinggi atau mortalitas yang lebih rendah. Perbedaan
biaya transportasi juga terlihat significan, yang satu lapis sekitar Rp 16.000,- dan yang
dua lapis hanya Rp. 8.000,-
Kondisi suhu udara pada kemasan kering ini menunjukan bahwa pada
perlakuan yang dua lapis calon induk udang (400 ekor/m2) lebih mendukung udang
tetap pada keadaan pingsan. Hasil pengamatan kondisi suhu udara dalam kemasan
menjukan prfil yang konstan pada kisaran 19oC berada di bawah suhu minimum udara
luar yang mencapai 22oC dan suhu maksimum udara di luar mencapai 31oC.

Transportasi kering untuk tokolan udang galah dilakukan dengan perlakuan


berbeda waktu tempuh, yaitu 8 jam dan 6 jam dengan jumlah layer udang sebanyak 4
pada masing-masing perlakuan.

33
Sintasan tokolan udang galah yang diangkut selama 8 jam cenderung lebih
rendah dibandingkan yang 6 jam, tetapi keduanya mencapai sintasan paling tinggi 45%
saja. Sehingga cara transportasi kering tokolan dengan jumlah lapisan 4 lapis atau
kepadatan 800 ekor/2 masih menghasilkan harga tokolan udang yang mahal atau belum
efisien.
Kondisi lingkungan udara dalam kemasan tokolan cara kering ini ternyata tidak
cukup mendukung tokolan untuk tetap dalam kondisi pingsan tetapi malah tingkat
kematian yang tinggi. Suhu udara dalam kemasan tersebut ternyata berda di bawah
suhu minimum sama dengan kondisi pada kemasan calon induk, Kematin udang dipicu
karena udangnya terlalu padat, sehingga memicu adanya fluktuasi suhu dlam kemasan.
Mungkin jumlah kepadatan ideal tidak lebi dari 3 lapis atau tidak lebih dari 500-600
ekor/m2. Hal mana diperlihatkan pada kondisi suhu yang lama transportasinya hanya 6
jam kematiannya lebih rendah tetapi pola fluktuasi suhu sudah terjadi sejak tiga jam
pertama dan suhu sudh melewati suhu uadar minimum di luar (Gambar 59).
IV.5. Produksi Pakan mandiri untuk Pentokolan
Tabel 12. Formulasi pakan untuk fase pentokolan udang galah
 Biaya
Bahan Baku Formula pakan untuk Pentokolan Udang Galah (Rp)
% % % % % % %
Form Protein lemak serat Air Abu NFE
Tepung Ikan 57 29.6 3.4 0.6 7.4 8.6 7.4 5,700
Tepung kedelai 27 11.6 1.1 1.9 3.0 2.7 6.8 2,295
Telor bebek 2 0.3 0.3 0.0 1.4 0.0 0.0 360
Minyak Ikan 0.5 0.0 0.5 0.0 0.0 0.0 0.0 200
Minyak sayur 0.5 0.0 0.5 0.0 0.0 0.0 0.0 65
Terigu 3.5 0.4 0.1 1.0 0.3 0.2 1.4 88
Molase 0.5 0.0 0.0 0.0 0.4 0.0 0.1 25
Tapioka 6 0.2 0.0 0.7 0.9 0.1 4.8 390
Vitamin Mix 1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 300
CMC 2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 2,400
Pakan mandiri 100 42.1 5.9 4.2 13.4 11.6 23.5 11,823
Pakan Komersial 42.0 6.0 3.0 12.0 13.0 22,000
STANDAR ACUAN
(SNI 01-7243-2006) SNI 32 5 4 12 14

Hasil uji fisik produk pellet adalah mempunyai daya tahan (stabilitas) dalam air

selama 15 menit. Hasil cetakan pellet dengan ukuran 3mm dan daya tenggelam yang

belum sempurna (61%).

Tabel 13. Hasil analisa asam amino pakan mandiri (%W/W)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
3.13 4.85 1.45 0.62 1.64 1.18 1.98 1.63 0.89 0.20 1.57 1.51 1.39 2.26 1.45 0.14

34
1) aspartic acid 2) glutamin acid 3) serine 4) histidin 5) glycine 6) threonine 7) arginine 8)
alanine 9) tyrosine 10) methionine 11) valine 12) phenylalanine 13) I-leucine 14) leucine
15) lysine 16) tryptopan

Tabel 14. Hasil analisa proximat produk pakan mandiri

Protein Lemak Serat kasar Abu Kadar air Bahan ekstrak tanpa
(%) (%) (%) (%) (%) nitrogen (%)
37.94 18.06 3.54 12.23 7.08 24.69

Tabel 15. Data pertumbuhan nilai bobot rata-rata udang; SR; SGR; FCR
Parameter BBPBAT Sukabumi Pelabuhan Ratu, Kab. Sukabumi
pakan mandiri Pakan komersil pakan mandiri Pakan komersil
Bobot rata-rata 3,23 2,93 2,41 2,57
per ekor (gram)
SR (%) 72,2 78 76.70 78,22
SGR (%) 4,99 3,89 2,40 2,56
FCR 1,25 1,34 4,4 1,85

Tabel 16. Data kualitas air di kolam udang galah dengan pemberian pakan mandiri,
BBPBAT Sukabumi
Suhu Alkalinitas DO pH CO2 NH3 NO2
0
( C) (mg/l) (mg/l) (mg/l) ((mg/l) (mg/l)

24,7-24.9 43,2-71,04 2,9-6,39 6,98-8,33 12,32-25,61 0,2-0,26 0,01-0,2

Tabel 17. Data kualitas air di kolam udang galah dengan pemberian pakan komersil, BBPBAT
Sukabumi
Suhu Alkalinitas DO pH CO2 NH3 NO2
( C)
0
(mg/l) (mg/l) (mg/l) ((mg/l) (mg/l)

23.1-25.4 50,4-77,28 2,68- 6,61 6,91-8,79 16,72-91,84 0,1-0,35 0,01-0,4

Tabel 18. Data kualitas air kolam pentokolan di Pelabuhan Ratu

Suhu pH DO CO2 Alkalinitas NH3 NO3


C o
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Perlakuan udang galah diberi pakan mandiri
22.6- 3.62- 59.73-
24 6.98-8.06 5.00 5.28-14.08 63.35 0.12-0.2 0.09-0.12
Perlakuan udang galah yang diberi pakan komersial
22,8- 3.62- 59.73-
24 6.98-7.66 5,36 5.28-14.73 66.97 0.12-0.3 0.09-0.15

35
Formulasi pakan udang galah fase pentokolan dibuat dari bahan baku lokal
(Tabel 19). Sumber protein hewani untuk menyusun formulasi pakan diambil dari tepung
ikan dan telur bebek. Sedangkan dari sumber protein nabati diambil dari tepung kedelai.
Dari formulasi tersebut dihasilkan harga perkilo pakan Rp. 11,823. Hasil hasil analisa
tersebut dapat menekan biaya produksi pakan udang galah yang biasanya kisaran
harga pakan komersil adalah Rp.22.000 (harga pakan komersil yang digunakan sebagai
perlakuan kontrol). Dari formulasi pakan pentokolan tersebut didapatkan nilai efisiensi
sebesar 46,25%, dapat menekan biaya kisaran pakan sebesar 40-50%.
Dari hasil produksi pakan juga dianalisa susunan asam amino (tabel 2) dan
analisa nutrisi (tabel 3). Jenis asam amino yang tinggi yaitu glutamin sebesar
4.85%W/W. Tepung ikan yang merupakan sumber protein tinggi yang terdari dari
beberapa asam amino diantaranya taurine, hydroxyproline, glycine, arginine, glutamic
acid dan alanine yang diidentifikasi berfungsi sebagai perangsang (Tantikitti C. 2014).
Dari hasil uji fisik pakan memang belum sempurna. Daya tahan pakan dalam air
hanya selama 15 menit dan ukuran pakan 3mm. Kondisi tersebut juga sangat
berpengaruh terhadap konsumsi udang galah yang ukuranya masih kecil. Dari hasil uji
fisik tersebut sangat diperlukan mofikasi terhadap penggunaan bahan perekat pada
pakan dan mendesain ukuran cetakan ukuran pakan sehingga dapat sesuai dengan
umur udang galah. Menurut Craig. S dan Helfrich (2009) bahwa pakan udang galah
harus mempunyai daya tenggelam yang sempurna. Pertimbangan dari cara makan
udang galah yang menggunakan capit dan bersifat makan aktif sehingga fisik pellet
sangat menentukan pertumbuhan (Chavanich S. et al, 2016). Dalam FAO, 2007b bahwa
gandum digunakan sebagai perekat dan sebagai sumber karbohidrat juga dalam pakan
udang galah.
Hasil uji lapang dengan nilai bobot rata-rata setiap perlakuan, SR, SGR dan
FCR (tabel 4) antara perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada lokasi di BBPBAT
Sukabumi dan lokasi di Pelabuhan Ratu. Menurut Sandifer & Smith (1977) bahwa
kandungan nutrisi untu protein pakan dengan kisaran 25-35% sudah mampu
mengukung pertumbuhan udang galah, walaupun sangat dianjurkan dengan ransum
kadar protein diatas 30%. Begitu pula untuk kandungan lemak tidak kurang dari 5% dan
kadar seratnya tidak boleh lebih besar dari 5%.
Hasil analisa kualitas air pada kedua perlakuan dan pada kedua lokasi juga
tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini membuktikan bahwa kandungan nutrisi yang
terdapat dalam pakan mandiri tidak memberi pengaruh terhadap kualitas air. Hal ini

36
secara otomatis juga tidak memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan dan
kelansungan hidup udang galah pada masa pentokolan.

IV.6. Produksi Pakan Mandiri untuk Pembesaran


Berikut ini disajikan data formulasi pakan dan hasil kegiatan yang telah
dilakukan pada produksi pakan mandiri untukpembesaran Udang Galah

Tabel 19. Formulasi pakan untuk fase pembesaran udang galah


Formula Pakan untuk Pembesaran Udang
Bahan Baku % Galah Biaya
Form % % % % % % (Rp)
Protein lemak serat Air Abu NFE
Tepung Ikan 33 17.2 2.0 0.2 4.3 5.0 4.3 3,300
Tepung kedelai 32 13.8 1.3 1.0 3.5 3.2 8.0 2,720
Telor bebek 2 0.3 0.3 0.0 1.4 0.0 0.0 360
Minyak Ikan 0.5 0.0 0.5 0.0 0.0 0.0 0.0 200
Minyak sayur 0.5 0.0 0.5 0.0 0.0 0.0 0.0 65
Terigu 18 1.8 0.7 5.2 1.6 1.3 7.4 450
Molase 1 0.0 0.0 0.0 0.7 0.1 0.2 50
Tapioka 10 0.4 0.0 1.5 0.1 650
Vitamin Mix 1 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 0.0 300
CMC 2 0.0 0.0 2.0 0.0 0.0 0.0 2400
% Nutrisi Pakan
mandiri 100 33.4 5.3 8.4 13.1 10.6 19.9 10,495
Pakan komersil 33.0 5.0 3.0 11.0 13.0 19,500
STANDAR ACUAN
28 5 6 12 14 28
SNI: 01-7243-2006

Hasil uji fisik produk pellet adalah mempunyai daya tahan (stabilitas) dalam air selama
15 menit. Hasil cetakan pellet dengan ukuran 3mm dan daya tenggelam yang belum
sempurna (61%).
Tabel 20. Hasil analisa asam amino pakan mandiri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

1.78 2.99 0.94 0.35 0.8 0.68 1.14 0.79 0.50 0.05 0.78 0.94 0.80 1.27 0.38 0.41

37
2) aspartic acid 2) glutamin acid 3) serine 4) histidin 5) glycine 6) threonine 7) arginine 8)
alanine 9) tyrosine 10) methionine 11) valine 12) phenylalanine 13) I-leucine 14) leucine 15)
lysine 16) tryptopan
Tabel 21. Hasil analisa proximat produk pakan mandiri
Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Abu (%) Kadar air (%) Bahan ekstrak tanpa
nitrogen (%)
37.94 18.06 3.54 12.23 7.08 24.69

Tabel 22. Data pertumbuhan nilai bobot rata-rata udang; SR; SGR; FCR; pakan dan jumlah
panen

Parameter BBPBAT Kadudampit, Cisaat, Kab. Pelabuhan Ratu, Kab.


Sukabumi Sukabumi Sukabumi
pakan Pakan pakan Pakan pakan Pakan
mandiri komersil mandiri komersil mandiri komersil
Bobot rata-rata per 19,22 23,21 28,03 34,17 19,45 29,35
ekor (gram)
SR (%) 62,53 63,33 53,54 35,75 50 71,7
SGR (%) 14,29 16,87 19,19 24,3 45,83 61,08
FCR 2,06 1,27 2,5 3 4,35 1,85
Biaya pakan selama 350.000 487.000 350.000 585.000 11.575 20.000
pemeliharaan (Rp.)
Banyak Pakan 35.000 25.000 35.000 30.000 1.103 1.764
(gram)
Jumlah Panen (Kg) 16,96 19,74 13,691 9,771 0,575 1,25

Tabel 23. Data kualitas air di kolam udang galah dengan pemberian pakan mandiri, BBPBAT
Sukabumi
No Suhu Alkalinitas DO pH CO2 NH3 NO2
(0C) (mg/l) (mg/l) (mg/l) ((mg/l) (mg/l)
1 26,30 92,00 3,97 6,49 15,41 0,09 0,03
2 22,93 71,33 1,93 6,34 14,67 0,61 0,11
3 22,57 78,67 2,60 6,63 29,33 0,31 0,04
4 22,97 68,67 4,52 6,38 36,96 0,57 0,25
5 24,33 24,33 3,96 6,36 27,76 0,33 0,33

Tabel 24. Data kualitas air di kolam udang galah dengan pemberian pakan komersil, BBPBAT
Sukabumi
Suhu Alkalinitas DO pH CO2 NH3 NO2
0
( C) (mg/l) (mg/l) (mg/l) ((mg/l) (mg/l)
1 25,60 90,67 3,91 6,52 16,24 0,12 0,03
2 23,00 72,67 1,37 6,42 14,08 0,60 0,09
3 24,03 78,67 2,14 6,50 29,33 0,20 0,08
4 23,20 70,67 3,20 6,36 28,16 0,55 0,55

38
5 24,47 24,47 4,25 6,49 23,23 0,24 0,24

Udang galah merupakan organisme karnivora sehingga sangat memungkinkan


untuk saling memangsa. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sehingga udang dapat
tumbuh optimal maka komponen essensial dalam pakan harus mencukupi. Seperti
penggunaan tepung ikan dalam formulasi pakan. Tepung ikan yang merupakan sumber
protein tinggi yang terdari dari beberapa asam amino diantaranya taurine,
hydroxyproline, glycine, arginine, glutamic acid dan alanine yang diidentifikasi berfungsi
sebagai perangsang (Tantikitti C. 2014). Profil hasil uji asam amino (tabel 3) dari hasil
produksi pakan buatan udang galah.
Nutrisi merupakan sumber dari sistem budidaya yang baik dan akan
menghasilkan kualitas produk yang tinggi. Nutrisi berperan utama dalam budiaya,
sebanyak 40-50% dari total biaya produksi (Craig. S dan Helfrich. 2009). Hasil uji
proximat pada pakan udang galah ddisajikan dalam tabel 3. Awal kalkulasi nilai protein
33.4% (tabel 1) sedangkan setelah menjadi produk didapatkan hasil analisa proximat
untuk protein adalah 37.94%. Peningkatan nilai protein diasumsikan dari penggunaan
telur bebek.
Hasil uji aplikasi pakan mandiri di ketiga tempat dengan data hasil pertumbuhan
rata-rata bobot udang, SR, SGR dan FCR pada setiap perlakuan udang galah yang
diberi pakan mandiri dan pakan komersil tidak menunjukkan beda nyata (P>0.05) (tabel
4). Walaupun masih ada kelemahan dalam pembuatan pakan mandiri udang galah ini.
Stuktur fisik pakan yang belum sempurna, seperti lama daya tahan dalam air, daya
tenggelam dan ukuran pellet yang belum sesuai. Menurut Craig. S dan Helfrich (2009)
bahwa pakan udang galah harus mempunyai daya tenggelam yang sempurna.
Pertimbangan dari cara makan udang galah yang menggunakan capit dan bersifat
makan aktif sehingga fisik pellet sangat menentukan pertumbuhan (Chavanich S. et al,
2016).
Pengujian yang dilakukan di Kolam BBPBAT Sukabumi. Nilai bobot udang
galah yang dominan dengan pemberian pakan mandiri yaitu pada ukuran 10-19gram
/ekor sebesar 50% (grafik 1). Sedangkan pada pakan komersil adalah pada ukuran 20-
29gram/ekor sebesar 56% (grafik 2). Kegiatan yang dilakukan di kolam pembudidaya,
Kadudampit, Cisaat didapatkan nilai dominan keragaman bobot udang galah sama yaitu
pada ukuran 20-29gram/ekor (grafik 3 dan grafik 4). Keragaman bobot udang galah
dengan pemberian pakan mandiri dan komersil di Pelabuhan ratu didapatkan ukuran
dominan 10-19gram (grafik 5) dan 20-29gram (grafik 6). Dengan hasil pengujian yang
tidak berbeda nyata tetapi dapat menekan biaya pakan (tabel 4) mempunyai peluang
untuk produksi pakan secara mandiri dengan memanfaatkan bahan baku lokal.

39
Hasil analisa kualitas air pada kolam udang galah yang diberi pakan mandiri
dengan parameter suhu, alkalinitas, oksigen terlarut, tingkat keasaman, karbondioksida,
amoniak dan nitrit tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan kualitas air kolam pada udang
galah yang diberi pakan komersial (Tabel 5 dan Tabel 6).

40
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari kegiatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
 Pada perbaikan mutu induk diperoleh calon induk popupasi dasar sebagai bahan
pembentuk Siratu 2 sebanyak 2.000 ekor;
 Pada hibridisasi udang galah, benih hasil hibrid betina Gimacro2 dan jantan Siratu
menghasilkan performa pertumbuhan yang lebih baik pada masa pembesaran, dan
bisa menjadi kandidat benih yang lebih unggul dari induk pembentuknya;
 Inovasi produksi tokolan udang galah dengan pemberian pupuk campuran
anorganik dan organik memberikan hasil yang paling baik dibandingkan pemberian
pupuk anroganik / organik yang berdri sediri dan control;
 Inovasi produksi tokolan udang galah dengan aplikasi NWS memberikan efisiensi
yang paling baik untuk peningkatan nilai SR, sedangkan aplikasi teknologi biofloc
memberikan efisiensi yang paling baik untuk penggunaan pakan (penurunan nilai
FCR);
 Biaya produksi tokolan dapat ditekan melalui aplikasi teknologi biofloc (10 – 16%)
dan NWS (7,5 – 15);
 Hasil kegiatan kerekayasaan inovasi pembesaran udang galah sistim poli-kultur
dengan tebaran awal berupa tokolan sebanyak 20 ekor/m2 dan dipeliharadi dalam
kolam semi- permanen memiliki 1.3 kali dibandingkan dengan perlakuan yang
sama dalam sistim mono-kultur. Saran yang dapat disampaikan bahwa perlu
dilakukan kajian penerapan pembesaran udang galah sistim poli-kultur yang
dilaksanakan dengan menggunakan kolam semi-permanen;
 Budidaya terintegrasi antara ikan dan padi (minapadi) dapat dilakukan disawah
secara monokultur antara udang galah dan padi dengan padat tebar 10 ekor per m2
dan secara polikultur antara udang galah, ikan mas, ikan nila, dan padi dengan
rasio tebar 10 ekor per m2 (udang galah) : 1 ekor per m2 (ikan mas) : 1 ekor per m2
(ikan nila). Model tanam jajar legowo 4 : 2, pada kedua sistem budidaya tersebut;
 Peningkatan kepadatan udang per liter air, dalam jarak tempuh yang lebih lama 2
jam dengan penambahan bahan zeolit, arang, garam dapur, minyak cengkeh dan
pemberian es pada mdia air transportasi telah dapat menghasilkan dua sistem
transportasi udang galah yang lebih efisien;
 Sistem tarnsportasi juvenil secara tertutup dengan peningkatan kepadatan 44%
tidak merubah sintasan juvenil atau mortalitas. Biaya transportasi per ekor lebih
efisiens 32% atau turun dari Rp. 113 menjadi Rp. 77,-;
 Sistem transportasi tokolan secara tertutup dengan kepadatan ditingkatkan 50%,
sintasan tokolan naik dari 96% menjadi 98% atau mortalitas turun 50% dari 4%

41
menjadi 1,8%. Biaya transportasi per ekor lebih efisiens 25,7% atau turun dari Rp.
303 menjadi Rp. 225,-;
 Sistem transportasi tokolan secara terbuka menggunakan aerasi oksigen dengan
kepadatan ditingkatkan >100%, sintasan naik dari 93 % menjadi 92% atau
mortalitas turun 14% dari 7% menjadi 6%. Biaya transportasi udang per ekor lebih
efisiens 64,3% atau turun dari Rp. 543,- menjadi Rp 194,- ;
 Sistem transportasi tokolan secara terbuka menggunakan aerasi udara dingin
menggantikan O2 dengan kepadatan ditingkatkan 60%, sintasan tokolan naik 92%
menjadi 96% atau mortalitas turun 52,6% dari 7,33% menjadi 3,47%. Biaya
transportasi per ekor lebih efisien 20,3% atau turun dari Rp. 543,- menjadi Rp 433,-
 Sistem tarnsportasi calon induk secara tertutup dengan peningkatan kepadatan
50%, sintasan naik dari 94% menjadi 99% atau mortalitas turun 83% dari 6%
menjadi 1%. Biaya transportasi per ekor calon induk lebih efisiens 20,5% atau
turun dari Rp. 888,- menjadi Rp. 706,-;
 Sistem transportasi calon induk udang galah secara terbuka menggunakan aerasi
Oksigen dengan peningkatan kepadatan 50% tidak meningkatkan sintasan atau
menurunkan mortalitas, tetapi biaya transportasi per ekor menjadi lebih efisiens
55,6% atau menurun dari Rp 4814,- menjadi Rp. 2137,-;
 Sistem transportasi calon induk udang galah secara terbuka menggunakan aerasi
udara dingin dengan peningkatan kepadatan 50%, sintasan meningkat dari 98%
menjadi 99% atau mortalitas turun 100% dari 2% menjadi 1%. Biaya transportasi
per ekor lebih efisiens 77,5% atau turun dari Rp 4814,- menjadi Rp 1085,-;
 Penerapan transportasi calin udang dengan cara kering dalam 8 jam mencapai
mortalitas kurang 5%, sedangkan biaya trasnportasi per ekor calon induk udang
menurun 72,6% dari Rp 11061 menjadi Rp. 3031,- dengan peningkatan 50%
kepadatan;
 Penurunan waktu tempuh dari 8 jam ke 6 jam pada transportasi kering tokolan
dengan kepadatan 800 ekor/m2 ( 4 layer) dapat menurunkan mortalitas 26,4% dari
53% menjadi 39% dan menurunkan biaya transportasi 37,4% dari Rp. 1019,-
menjadi Rp. 638,-; dan
 Pakan buatan untuk fase pembesaran udang galah dapat dibuat secara mandiri
dengan memanfaatkan bahan baku lokal. Formulasi pakan dengan memperhatikan
komposisi kimia pakan dan faktor fisik pakan. Dengan pertimbangan udang galah
yang bersifat kanibal dan dengan cara makan udang yang mencapit sehingga
diperlukan daya tahan fisik pakan yang relatif lama dalam air.

42
DAFTAR PUSTAKA
BBPBATS] Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. 2007. Standar
Prosedur Operasional (SPO) Pembesaran Udang Galah di Kolam. Sukabumi:
BBPBATS, DJPB-DKP.
[BBPBATS] Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi.2009. Standar
Prosedur Operasional (SPO) Pembenihan Udang Galah. Sukabumi: BBPBATS, DJPB-
DKP.
Camargo JA, Alonsi A, dan Salamanca A. 2005. A Nitrate toxicity to aquatic animals: a review
for freshwater invertebrates. Chemosphere 58:1255-1267.
Cedeno V et al. 1998. Quantitative genetics and genetic transformation for the selection of
pathogen-resistent shrimp. Proceedings ti the Special Session on Shrimp Biotechnology
5th Assian Fisheries forum Chiangmai, Thailand.
Cerning, J. 1990. Exocellular polysaccharides produced by lactic acid bacteria. FEMS
Microbiology Review. 87: 113130.
Chavanich S. Viyakarn V, Senanan W dan Panutrakul S. 2016. Laboratory assessment of
feeding-behavior interactions between the introduced Pacific white shrimp
Litopenaeus vannamei (Boone, 1931) (Penaeidae) and five native shrimps plus a crab
species in Thailand. Aquatic Invasions (2016) Volume 11, Issue 1: 67–74
Craig. S dan Helfrich. 2009. Understanding Fish Nutrition, Feeds, and Feeding. Produced by
Communications and Marketing, College of Agriculture and Life Sciences, Virginia
Polytechnic Institute and State University. Publication 420-256
Devi P. V. D., Hareesh K., Reddy S. K. 2015. Enhancement of growth potentials in freshwater
prawn Macrobrachium rosenbergii through supplementation of probiotic diets of
Bacillus subtilis and Lactobacillus rhamnosus. International Journal of Fisheries and
Aquatic Studies 2015; 3(2): 124-131

FAO, 2007b, FAO Feed formulation. Aguaculture Feed and Fertilizer Resourch Information
System

FAO. 2008. “State of World Fisheries and Aquaculture, Food and Agricultural Organization of
the United Nations, http://www .fao.org/docrep/011/i0250e/i0250e00.htm.

FAO. 2002. Farming freshwater prawns A manual for the culture of the giant river prawn
(Macrobrachium rosenbergii). ISSN 0429-9345.

Felixdan Brindo. 2014. Substituting fish meal with fermented seaweed, Kappaphycus alvarezii
in diets of juvenile freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii. International Journal
of Fisheries and Aquatic Studies 2014; 1(5): 261-265
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Hayati dan Lingkungan
Perairan. Kanisius, Yogyakarta.
Http://www.dairyscience.org/cgi/content/full/85/1 1/2705. Diakses : 18 September 2004.
https://shareaquaria.wordpress.com/2008/11/24/probiotik-dan-kegunaanya-dalam-budidaya-
perikanan/

43
Hamida, Abdullaha, Zakariab, Yusofa, Abdullahb. 2016. Formulation of Fish Feed with
Optimum Protein-bound Lysine for African Catfish (Clarias Gariepinus) Fingerlings.
Procedia Engineering 148 ( 2016 ) 361 – 369. Elsevier
Hovanec TA dan DeLong EF. 1996. Comparative analysis of nitrifying bacteria associated with
freshwater and marine aquaria. Applied and Environmental Microbiology 62(8): 2888-
2896.
Jensen FB. 2003. Nitrit disrupts multiple physiological functions in aquatic animals.
Comparatives Biochemistry and Physiology Part A 135: 9-24.
Kleerebezem, M., R. van Kranenburg, R. Tuinier, I.C. Boels, P. Zoon, E. Looijesteijn, J. Hu-
genholtz, and W.M. de Vos. 1999. Exopoly-saccharides produced by Lactococcus
lactis: from genetic engi-neering to improved rheo-logical properties. Antonie Leeuwen-
hoek 76: 357 – 365.
[LRPTBPAT] Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar
Sukamandi.2010. Protokol Pemuliaan Udang Galah. Sukamandi: LRPTBPAT, PRPB-
BRKP.
Masser MP, Rakocy J, dan Losordo TM. 1999. Recirculating Aquaculture Tank Production
Systems, Management of Recirculating Systems. Nevada (US): Sourthern Regional
Aquaculture Center.
Nandlal S dan Timothy P, 2006. Freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii farming in
Pacific Island countries. Vol. 2. Grow-out in pond. Noumea, New Caledonia: Secretariat
of the Pacific Community. ISSN 1683-7568. ISBN 982-00-0065-3.

New MB. 2002. Farming Freshwater Prawns: A Manual for Cultureof The Gaint River Prawn
(Macrobrachium rosenbergii). Roma: Food and Agriculture Organization of The United
Nations.
Pigeon, R.M., E.P. Cuesta and S.E. Gilliland. 2002. Binding of free bile acids by cells of
yoghurt culture bacteria. J. Dairy Science: 85: 2705 – 2710.
Rumei W, Setian F, Guo T, Lizhong F, dan Xiaoshuan. 2003. Evaluation of the Aquaculture
Pond Water Quality. Nevada (US): ASAE Annual International Meeting.
Ramos, A., I.C. Boels, W. M. de Vos, and H. Santos. 2001. Relationship between glycollysis
and exopolysaccharide biosynthesis in Lactococcus lactis. Applied and Environmental
Microbiology. 67 (I): 33 – 41. Http://aem.asm.org/ cgi/content/full/67/1/33. Diakses :
25 Agustus 2003.
Sandifer, P.A., T.I.J. Smith. 1976. Pond Culture of Malaysian prawn. Macrobranchium
rosenbergii (de Man) reared in earthen ponds in South Carolina, 1974-1975. Proc. VIII.
World Maricult. Soc: 62-65
Tantikitti C. Feed palatability and the alternative protein sources in shrimp feed. 2014.
Songklanakarin J. Sci. Technol. 36 (1), 51-55

Velasco M, Lawrence AL, Castille FL. Effect of variations in daily feeding frequency and ration
size on growth of shrimp, (Litopenaeus vannamei), in zero-water exchange culture
tanks. Aquaculture. 1999; 179:141-148

Yang, Z. 2000. Antimicrobial compounds, and extracellular polysaccharides produced by


lactic acid bacteria structures and properties. Dissertation, University of Helsinki,
Faculty of Agriculture and Forestry. Helsinki.

44

Anda mungkin juga menyukai